Menjual Laut, Mengail Kekuasaan: Studi Mengenai Konflik Hak Ulayat Laut di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara1
Dedi Supriadi Adhuri Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI
[email protected]
A. Titik Tolak Kajian Kajian yang ditulis dalam bentuk disertasi ini dikembangkan untuk mengkritik dan sekaligus melengkapi dua wacana tentang pengelolaan sumberdaya laut. Wacana pertama adalah berbagai teori yang bermuara pada penjelasan tentang fungsi sistem kepemilikan (tenurial system) pada pengelolaan sumberdaya laut. Wacana kedua adalah argumen-argumen yang menjabarkan berbagai aspek dari praktek pengelolaan sumberdaya laut tradisional yang berkembang di Maluku. Secara singkat isi dari kedua wacana tersebut adalah sebagai berikut: Wacana 1. Sistem kepemilikan sumberdaya laut (marine tenure) merupakan salah satu issu sentral dalam wacana pengelolaan sumberdaya laut. Jika kita lihat sejarah wacana ini, maka akan ditemukan bahwa popularitas issu ini berawal dari artikel Hardin (1968) yang berjudul ‘The Tragedy of the Commons.’ Dalam tulisannya yang diterbitkan dalam journal Science itu, Hardin mengatakan bahwa sumberdaya alam yang bukan merupakan objek kepemilikan atau dia sebut common property (milik umum) yang juga berarti bukan milik siapa-siapa (free for all), cenderung akan mengalami overeksploitasi. Hal ini terjadi karena, terhadap sumberdaya alam tanpa kepemilikan, secara individual orang akan terdorong untuk memaksimalkan keuntungan pribadi tanpa memikirkan akibat buruknya yang akan diderita oleh lingkungan dan manusia-manusia itu secara kelompok. Mengambil contoh padang rumput, Hardin menjelaskan: ‘Adding together the component partial utilities, the rational herdsman concludes that the only sensible course for him to pursue is to add another animal to his herd. And another and another… But that is the conclusion reached by each and every rational herdsman sharing a 1 Artikel ini merupakan ringkasan dari disertasi penulis pada Dept. Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, ANU, Canberra, 2002.
1
commons. Therein is the tragedy. Each man is locked into a system that compels him to increase his herd without limit—in a world that is limited. Ruin is the destination toward which all men rush, each pursuing his own best interest in a society that believes in the freedom of the commons. Freedom in a commons brings ruin to all.’ (hal. 20)
Teori Hardin ini sangat controversial pada jamannya. Teori ini diadopsi banyak pihak untuk dijadikan landasan bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, laut termasuk di dalamnya. Tetapi, teori ini telah pula jadi bahan polemik dan dikritik banyak pihak. Salah satu kritik terhadap teori Hardin datang dari berbagai studi yang menunjukkan bahwa, pada tidak sedikit komunitas tradisional, laut adalah objek dari pemilikan komunal (communal marine tenure). Studi mengenai communal marine tenure (selanjutnya disingkat CMT) yang popular dalam antropologi sejak tahun 1970an ini (Ruddle dan Akimichi 1984, 1), menunjukkan keyakinan Hardin mengenai prinsip bahwa laut adalah free for all tidak selamanya benar (lihat juga McCay and Acheson 1987). Beberapa komunitas terbukti mengembangkan pranata kepemilikan terhadap wilayah laut. Ini berarti, pada komunitas-komunitas tersebut, ‘use rights for the resource are controlled by an identifiable group and … there exist rules concerning who may use the resource, who is excluded from using the resource, and how the resource should be used’ (Berkes 1989, 10).
Selain itu, keberadaan praktek kepemilikan komunal juga menunjukkan bahwa kecenderungan pola fikir individualisme seperti diasumsikan Hardin tidak selamanya benar. Malahan sebaliknya, berkembangnya pranata kepemilikan komunal menunjukkan kemampuan komunitas mengembangkan kerjasama untuk menghindari tragedy of the commons. Lebih jauh, Berkes (1989, 11-12) mengatakan bahwa CMT memiliki lima peran penting. Pertama, CMT menjamin keamanan penghidupan (livelihood security) dengan memberi kesempatan kepada setiap anggota komunitas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya melalui jaminan akses terhadap sumberdaya alam penting. Peran kedua adalah sebagai alat resolusi konflik. Berkes percaya bahwa CMT menyediakan mekanisma untuk memberi akses pemanfaatan yang sama kepada semua anggota komunitas. Dengan itu, kemungkinan konflik antar anggota komunitas sebagai akibat dari perebutan akses terhadap sumberdaya tersebut dapat dicegah. Ketiga, CMT berfungsi mengikat anggota-anggota komunitas menjadi suatu kesatuan sosial yang kompak. Hal ini terjadi karena CMT secara eksplisit menghubungkan keanggotaan komunitas dengan penguasaan terhadap
2
sumberdaya. Hal ini memfasilitasi terbentuknya kelompok kerja dan kerjasama. Keempat, CMT bersifat konservasi karena ia biasanya terkait dengan prinsip ‘taking what is needed.’ Terakhir, CMT berfungsi untuk menjaga kelestarian ekologi. Hal ini dikaitkan dengan asumsi bahwa praktek CMT didasari prinsip penyesuaian antara perilaku eksploitasi dengan siklus alam. Namun demikian, ini yang disayangkan oleh mereka yang sependapat dengan Berkes, praktek pengelolaan sumberdaya laut tradisional, termasuk CMT, semakin menghilang. Johannes (1978, 356) berpendapat bahwa ekonomi pasar, hancurnya struktur otoritas tradisional, aplikasi aturan-aturan dan praktek baru oleh negara, merupakan faktor-faktor yang telah menyebabkan degradasi praktek CMT di Oceania. Johannes mengatakan bahwa saat komunitas terkespose dengan ekonomi pasar, uang menjadi issu sentral dalam kehidupan ekonomi mereka. Dalam usahanya memperoleh sebanyak mungkin uang, orang terdorong untuk meningkatkan eksploitasi terhadap sumberdaya laut dengan mengalokasikan lebih banyak waktu dan mengadopsi teknologi yang lebih efektif. Ditambah dengan kebijakan pembangunan pemerintah yang juga menekankan pada prinsip-prinsip maksimalisasi keuntungan, pemimpin-pemimpin tradisional dipaksa oleh masyarakat dan pemerintah untuk menghentikan ‘perlindungannya’ terhadap praktek CMT. Kondisi demikian semakin parah pada saat pemerintah kolonial atau modern mengaplikasikan undang-undang dan aturan-aturan baru atas dasar tradisi Eropa, ‘freedom of the seas’ (Johannes 1978, 358). Bagi Johannes, erosi CMT tidak hanya menyangkut masalah hilangnya traditional wisdom tetapi juga lenyapnya sebuah potensi untuk menghindari kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu mereka menganggap erosi CMT lebih jauh haruslah dihindari. Untuk itu diusulkan kepada pemerintah untuk secara formal mengakui keberadaan CMT. Johannes (1978, 360) percaya bahwa pengakuan legal formal pemerintah terhadap CMT ‘akan menguatkan kemampuan komunitas untuk mengawasi sumberdaya laut—sesuatu yang seringkali dilakukan secara sukarela jika hak-hak mereka terlindungi. [Sebaliknya] legislasi yang melemahkan atau menihilkan CMT meningkatkan tanggung jawab pemerintah dan menambah beban departemen perikanan yang seringkali telah kekurangan staf.’ Dengan demikian, diyakini legislasi yang sesuai dan melindungi CMT tidak hanya akan melanggengkan kapabiltias masyarakat tradisional tetapi juga menjamin praktek pengelolaan sumberdaya laut yang effektif dan berkelanjutan. Selain itu, legislasi ini akan mengurangi tanggung jawab pemerintah dalam hubungannya dengan perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan serta pendanaan praktek pengelolaan sumberdaya laut.
3
Wacana 2. Wacana pengelolaan tradisonal sumberdaya alam di Maluku perpusat pada apa yang disebut sebagai sasi. Istilah ini mengacu pada suatu sistem dari kepercayaan, aturan dan ritual berkenaan dengan larangan temporal untuk mengakses dan atau mengeksploitasi suatu wilayah atau sumberdaya tertentu. Saat aturan sasi diterapkan (tutup sasi) terhadap wilayah atau sumberdaya tertentu, maka tidak seorangpun --termasuk pemilik wilayah atau sumberdaya—diperbolehkan mengambil atau memanfaatkan wilayah atau sumberdaya yang bersangkutan sampai dengan larangan itu dicabut (buka sasi). Saat sasi diaplikasikan terhadap pohon kelapa, misalnya, itu berarti tidak seorangpun diperbolehkan untuk mengambil, bahkan membawa kelapa yang telah jatuh. Hanya bila sasi dibuka, maka pemilik pohon diperbolehkan memetik dan membawa buah kelapa ke rumah mereka. Hal serupa akan berlaku jika sasi diperlakukan terhadap suatu wilayah, laut misalnya. Maka selama sasi ditutup, kegiatan manusia di atas wilayah tersebut sangat dibatasi. Sasi dibeda-bedakan berdasarkan sumberdaya atau wilayah yang dikenainya, sistem kepercayaan, pemimpin dan lokasi ritual.2 Berkenaan dengan sumberdaya, dikenal apa yang disebut sasi kelapa, sasi lola (Top shell atau Trochus niloticus) dan lain-lain. Dikenal juga apa yang disebut sasi darat dan sasi laut yang masing-masing mengacu pada sasi yang diaplikasikan pada wilayah darat dan laut tertentu. Mengacu pada sistem kepercayaan yang mendasari sasi dan pemimpin ritualnya, dikenal sasi negeri, sasi gereja dan sasi mesjid. Masing-masing nama ini secara berturutturut mengacu kepada sistem kepercayaan dan pemimpin tradisional, sistem kepercayaan Kristen, pastor atau pendeta sebagai pemimpin dan gereja sebagai tempat ritualnya serta Islam, imam dan mesjid. Hanya saat membicarakan tentang sasi laut lah –juga disebut sasi meti atau sasi labuhan—secara khusus kita membicarakan pengelolaan tradisional sumberdaya laut. Sebab, sasi laut memang menjadikan wilayah laut sebagai objek dari larangan yang terdapat dalam tradisi itu. Dalam ritual penutupan sasi, pemimpin ritual – atau orang lain yang memang bertugas khusus—akan mengumumkan batas-batas laut yang menjadi wilayah sasi. Dia juga akan mengumumkan sumberdaya apa saja yang dikenai aturan sasi di wilayah tersebut. Jika memang di wilayah tersebut masih diperbolehkan adanya kegiatan eksploitasi sumberdaya yang tidak dikenai sasi, maka pada ritual itu akan juga diberitahukan alat apa dan bagaimana caranya eksploitasi bisa dilakukan di tempat itu. Lebih jauh, jika sasi yang dipakai adalah sasi negeri, maka sangsi atas pelanggaran juga akan diumumkan pada acara tersebut. 2
Lihat Monk, De Fretes and Reksodihardjo-Lilley (1997) untuk penjelasan lebih rinci.
4
Saat sasi dibuka, orang yang sama akan memimpin ritual buka sasi. Selain berkomunikasi dengan dunia ghaib, ritual ini juga berfungsi untuk memberitahukan kepada seluruh anggota masyarakat tentang bagaimana kegiatan pemanenan harus dilakukan, alat apa yang boleh dipakai, berapa banyak sumberdaya yang boleh diambil, siapa saja yang boleh terlibat dan berapa lama sasi dibuka. Jika kita bandingkan praktek sasi dengan pengelolaan sumberdaya laut ‘modern,’ maka sasi merupakan kombinasi dari seasonal prohibition, limiting entry (pembatasan jumlah nelayan atau unit teknologi penangkapan), gear restriction (larangan terhadap jenis teknologi penangkapan tertentu) dan quota (batasan terhadap jumlah hasil tangkapan). Keseluruhan aturan-aturan tersebut biasanya diadakan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya laut sedemikian rupa sehingga sustainability dari sumberdaya bisa dipertahankan. Namun demikian, dalam praktek-praktek pengelolaan modern, seringkali aturan-aturan tersebut diciptakan, diaplikasikan dan dievaluasi oleh pemerintah saja tanpa melibatkan stakeholder lain. Aplikasi aturan-aturan ini seringkali mengalami berbagai macam masalah baik karena keterbatasan pemerintah untuk membuat dan mengawasi implementasinya, maupun karena resistensi dari stakeholder lain. Beranjak kepada wacananya, kita bisa mengatakan bahwa sasi mulai dibicarakan dalam berbagai tulisan dan seminar pada tahun 1980an. Pada awalnya praktek sasi dibicarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pusat penelitian dan akademisi yang berbasis di Ambon. Terinspirasi oleh maraknya gerakan pelestarian alam dan pembelaan terhadap masyarakat adat atau lokal, LSM di Ambon melakukan penelitian dan pemberdayaan. Salah satu kegiatan pemberdayaan dilakukan dengan mendorong tokohtokoh adat untuk merevitaliasi dan sekaligus menuliskan tradisi mereka. Sementara itu, penelitian diarahkan untuk mengidentifikasi unsur-unsur pengelolaan sumberdaya alam tradisional dan distribusinya. Di Maluku, hasilhasil ini telah membuahkan dua hal, pertama adalah penghargaan berupa kalpataru, dan, kedua, tersedianya cukup bahan kajian untuk mengembangkan wacana tentang mengelolaan tradisional sumberdaya alam, khususnya laut. Pada tahap awal ini, sasi dilihat sebagai: ‘[S]angat menunjang konservasi sumber hayati laut . . . selain sangat bermanfaat karena mengatur pemanfaatan, pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hayati tersebut, juga menjamin distribusi hasil panen yang merata.’ (Anonim 1991, x; lihat juga Pusdi-PSL Unpatti 1995).
5
Pemahaman di atas bersesuaian dengan definisi sasi dari seorang pemimpin lembaga penyelenggara sasi (kewang), di Haruku, Maluku Tengah. Dalam buku yang ditulisnya, dikatakan bahwa sasi adalah larangan untuk memanen sumberdaya alam tertentu dengan tujuan untuk melindungi kualitas dan populasi dari sumberdaya alam (binatang atau tanaman) tersebut ’ (Kissya 1995, 4). Pandangan seperti iti juga didukung Prof. Lokollo, seorang ahli hukum di Ambon. Bahkan Lokollo (1988) berargumen lebih jauh dengan mengatakan bahwa sasi mestinya dijadikan sebagai modal dasar untuk kebijakan nasional dalam mengembangan ‘tata bina mulia lingkungan pedesaan.’ Sampai saat ini, argumen seperti di atas masih diyakini kebenarannya oleh sebagian orang, namun pada saat akademisi dan ahli dari berbagai lembaga dari tempat yang beraneka, dalam dan luar negeri, terlibat pada awal tahun 1990an, perpspektif yang lebih kritis mulai berkembang. Perspektif ini mempertanyakan kebenaran argumen-argumen yang berkembang sebelumnya dan menganggap bahwa konstruksi terhadap sasi dikembangkan tanpa mengacu pada konteks sejarah dan sosial politiknya (Pannell 1997). Benar saja, dengan menganalisa dinamikanya dalam dimensi waktu dan tempat berbeda, tampak bahwa sasi memang berwajah lain dari pada wujud yang telah digambarkan sebelumnya. Dalam konteks seperti ini sasi bukanlah suatu wujud yang solid dan tunggal tetapi: ‘sasi has undergone considerable change over the past 400 years… it has developed from a ritual protection of communal resources to a governmentally regulated regime of agro-ecological control of private and common resources, and from there to a largely commercialized and privatized means of theft prevention.’ (Benda-Beckmann, Von BendaBeckmann and Brower 1992, 5)
Menariknya, analisis historis menunjukkan bahwa tradisi sasi lebih sering terwujud sebagai hasil modifikasi, jika bukan ciptaan, dari elit-elit politik baik lokal maupun dari luar komunitas yang mempraktekkannya. Misalnya, pada penghujung jaman kolonial, kodifikasi aturan-aturan sasi dilakukan oleh elit tradisional di Maluku berkolaborasi dengan elit politik pemerintah kolonial. Tujuan kodifikasi ini adalah untuk memenuhi interes politik dan ekonomi dari dua golongan elit tersebut (Zerner 1994, 1087). Dalam kurun waktu belakangan, tepatnya tahun 1960an, inisiatif elit juga jelas tampak pada revitalisasi sasi di desa Nolloth, Saparua (Zerner 1991). Inisiatif ini dirangsang oleh perkembangan pasar terhadap bia lola (topshell, Trochus niloticus). Dengan berkembangnya pasar untuk sumberdaya laut ini, bapak raja (kepala desa) Nolloth mulai membicarakan tradisi sasi lola dan kemudian mengaplikasikannya pada tahun 1968. Namun demikian, kepala desa telah
6
memodifikasi aturan sasi. Sebelum sasi diberlakukan, wilayah laut (petuanan laut atau labuhan) milik desa adalah hak semua warga desa. Artinya, semua warga desa mempunyai hak untuk mengakses wilayah tersebut dan mengambil sumberdaya yang ada di dalamnya, termasuk bia lola. Pada saat sasi diberlakukan, kepala desa mendeklarasikan bahwa wilayah laut desa menjadi di bawah penguasaan pemerintah desa dan hak pengelolaan juga sepenuhnnya berada di tangan aparat desa. Ini berarti, semua penghasilan yang didapat dari panen lola adalah untuk desa dan biasanya digunakan untuk membangun fasilitas umum di desa tersebut. Terhadap perubahan ini, sebagian penduduk mempertanyakan mengapa kepala desa meniadakan hak mereka dan kemanakah larinya uang hasil penjualan kulit lola. Mereka juga mempertanyakan mengapa justru penduduk dari luar desa yang disewa oleh aparat desa untuk memanen lola saat sasi di buka. Tindakan ini tidak hanya meniadakan hak penduduk desa, tetapi juga mengalihkan keuntungan yang mungkin di dapat kepada penduduk luar yang sebenarnya menurut aturan adat yang mereka yakini, tidak mempunyai hak untuk itu. Kajian-kajian yang melihat pelaksanaan sasi yang sudah direvitalisasi pada tahun 1990an memberikan pemahaman lebih jauh tentang sosok pengelolaan sumberdaya laut tradisional ini. Pannell (1997, 297), misalnya, mencatat bahwa: ‘the practices referred to and associated with sasi in the marine environment of Luang [south-eastern Maluku] minimally involve the interest and actions of residents of this island, the commercial machinations of regional traders and internationals exporters, the fashions and fads of distance consumers, the compliance and blessing of the Church and its agents, as well as the endorsement of village representatives of local government institutions and the support of government personnel from other jurisdictions. In addition, let us not forget those fishermen who, though their non-sanctioned exploitation of local marine resources, contribute to the social delimination of the efficacy of invoking sasi.’
Setelah mencatat keterlibatan berbagai macam agensi serta kepentingan dalam pelaksanaan sasi, Pannell menyimpulkan bahwa sasi sepertinya mempunyai arti yang berbeda-beda bagi agensi yang berlainan dengan kepentingan yang berlainan pula. Contohnya: … for the traders the opening of sasi ensures that they enjoy exclusive rights of purchase [on the harvest]… for people on Luang, the payments made by traders [for his monopolistic rights to buy the harvest] also amount to de facto recognition of their rights and interests as customary
7
and communal title holders of these marine areas. (Pannell 1997, 296)
Studi yang mengevaluasi pelaksanaan sasi di Desa Watlar, Kei Besar, juga menemukan realitas bahwa penguasaan yang bersifat monopoli oleh pemimpin tradisional telah mendorong penduduk untuk melakukan pemanenan lola secara berlebih (over-exploitation) pada saat buka sasi (Antunès 2000; Antunès and Dwiono 1998). Studi ini juga mempertanyakan issu pemerataan distribusi hasil panen karena pada kenyataannya tidak semua orang mendapat jatah yang sama. Selanjutnya, wacana yang lahir atas kajian terhadap pelaksanaan sasi kontemporer juga mempertanyakan aspek konservasi yang dalam wacana sebelumnya telah dianggap sebagai aspek inheren dalam sasi. Setelah dianalisis dalam konteks sosial politiknya, tampak bahwa pemimpin tradisional, LSM dan akademisi telah secara aktif terlibat dalam proses ‘menghijaukan’ sasi. Dalam hal ini, Zerner (1994) menulis bahwa konteks politik dari revitalisasi tradisi sasi yang telah menjadi lebih ‘hijau’ adalah berkembangnya kesadaran tentang lingkungan dan resistensi elit lokal serta LSM atas penguasaan sumberdaya oleh pemerintah pusat dan pihak industri. Oleh karena itu, tumbuhnya kembali tradisi sasi yang hijau bisa dianggap sebagai bagian dari pemberdayaan komunitas local (adat) yang telah termarjinalisasi dan bukan atas kesadaran masyarakat local secara keseluruhan akan perlunya konservasi lingukungan. Menyimak kedua wacana di atas dan melihat apa yang terjadi di Kepulauan Kei, tampak ada gap antara kedua wacana dengan apa yang terjadi di sana. Misalnya, dalam konteks pengelolaan sumberdaya laut, orang Kei lebih banyak bicara tentang penguasaan petuanan laut (hak ulayat laut) dari pada sasi. Pada prakteknya memang tradisi sasi hanya dijalankan di beberapa desa saja, terutama di pantai timur pulau Kei Besar. Sementara itu issu petuanan laut tampak semakin ramai dibicarakan karena memang banyak konflik terjadi berkenaan dengan hal ini. Di Kei Tanimbar, tempat di mana Barraud (1979) tidak melihat issu hak ulayat penting, telah terjadi konflik berkenaan dengan kontrak antara kepala desa dan perusahaan ikan dari luar. Konflik berkenaan batas petuanan laut antara desa Sather dan Tutrean di Kei Besar juga sangat serius, karena tidak hanya telah mengganggu pelaksanaan sasi laut tetapi juga telah mengorbankan nyawa manusia, dibakarnya mayoritas rumah di Sather pada tahun 1988 dan konflik belum berkesudahan sampai saat penelitian dilakukan (1996-1997). Konflik yang terjadi di beberapa desa lain juga tidak kalah mengkhawatirkan baik dalam pengertian kerusakan akibat konflik tersebut maupun relevansinya terhadap pengelolaan sumberdaya laut.
8
Hal-hal yang terjadi di Kei tidak terjelaskan dalam kedua wacana di atas. Jika wacana tentang CMT mengatakan fungsinya untuk mengikat komunitas menjadi suatu kesatuan yang utuh dan mengembangkan kerja sama, yang terjadi di Kei justru sebaliknya, banyak konflik terjadi berkenaan dengan praktek CMT. Sementara itu, wacana tentang pengelolaan sumberdaya laut tradisional di Maluku juga hampir tidak menyentuh isu CMT. Padahal, seperti telah dijelaskan pada wacana 1, dalam wacana pengelolaan sumberdaya laut masalah resource property merupakan salah satu isu sentral. Selain itu, fondasi pelaksanaan sasi itu sendiri sebenarnya adalah praktek CMT. Bagaimana mungkin sasi bisa dilakukan jika tidak ada klaim kepemilikan atau penguasaan terhadap wilayah lautnya? Tidak terlaksananya sasi di Sather dan Tutrean akibat konflik batas petuanan laut juga menunjukkan hal ini. Artinya, dua wacana di atas memang memiliki kelemahan dan lubang pada kajian tentang hak ulayat laut. Kajian dalam disertasi ini dimaksudkan untuk mengeoreksi kelemahan dan menutupi lubang dari dua wacana ini.
B. Argumen-argumen Utama Dengan titik tolak pada pemahaman dan kritik penulis terhadap dua wacana di atas, disertasi difokuskan untuk membahas empat issu pokok. Issu-issu tersebut adalah: (1) karakteristik prakek hak ulayat laut (communal marine tenure, CMT), (2) konteks politik CMT, (3). status hukum CMT dan relevansinya terhadap praktek pengelolaan sumberdaya laut dan (4). pengaruh ekonomi pasar terhadap praktek CMT. Melalui analisis terhadap data yang dikumpulkan selama setahun penelitian lapangan di Kep. Kei3 penulis membangun argumen-argumen pokok dalam masing-masing fokus kajian sebagai berikut: 1. Karakteristik Hak Ulayat Laut (CMT)4. Konsep kunci praktek CMT di Kepulauan Kei adalah petuanan laut. Konsep ini mengacu pada wilayah laut yang diklaim di bawah pemilikan atau penguasaan suatu kelompok sosial tertentu. Kelompok sosial yang mengklaim memiliki atau penguasai petuanan tertentu beragam mulai dari satuan kekerabatan (fam), sebuah kelompok pemukiman (kampung), sebuah desa (negeri), gabungan dari beberapa desa di bawah penguasaan ‘raja’ (ratschap), paruh masyarakat (ur siw dan lor lim) sampai keseluruhan orang Kei. Penentuan batas fisik petuanan maupun kelompok sosial yang menguasainya ditentukan oleh sejarah lisan (toom) tentang wilayah tersebut dan peranan orang-orang tertentu dalam proses 3
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian lapangan meliputi: observasi—termasuk obrservasi partisipasi, wawancara dan pengumpulan naskah. 4 Dalam disertasi hal ini dijelaskan dalam bab 5.
9
pembentukan pemerintahan tradisional komunitas yang bersangkutan. Selain batas fisik wilayah laut dan kelompok sosial yang menguasainya, sejarah lisan juga menentukan distribusi hak-hak atas wilayah laut di dalam kelompok sosial itu sendiri. Dalam konteks ini, praktek CMT yang dijalankan masyarakat Kei, mengenal dua macam hak atas wilayah dan sumberdaya laut, yakni hak makan (use right) dan hak milik (property right). Hak makan adalah hak untuk mengakses wilayah laut dan mengeksploitasi sumberdaya yang ada di dalamnya. Hak ini didistribusikan tidak hanya kepada semua anggota tetapi juga mereka yang terkait hubungan perkawinan dengan anggota komunitas. Distribusi seperti ini memungkikan orang yang bukan anggota komunitas untuk mengakses dan mengeksploitasi sumberdaya laut. Hak milik (property right) mengacu pada kombinasi antara hak makan dan hak untuk mentransfer hak makan kepada pihak lain. Namun, berbeda dengan hak makan, hak milik hanya didistribusikan kepada anggota utama (core members) dari komunitas tersebut. Mereka yang termasuk ke dalam core member adalah anggota dari kelompok kekerabatan (fam) yang nenek moyangnya terlibat langsung dalam pembentukan komunitas itu pada masa lampau.5 Distribusi hak milik inilah yang menunjukkan bahwa prinsip equal distribution tidak berlaku pada praktek CMT di Kei. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa sejarah lisan yang mendasari klaim terhadap petuanan seringkali terbuka terhadap interpretasi yang berbeda dan seringkali pula ada lebih dari satu versi sejarah lisan yang menjelaskan tentang satu wilayah petuanan yang sama. Kenyataan ini seringkali menyebabkan terjadinya konflik mengenai batas fisik petuanan laut dan kelompok mana yang menguasai wilayah tersebut. Contoh-contoh kasus yang digunakan untuk menjelaskan fokus lain dari kajian disertasi ini akan memperjelas hal ini. Jika kita hubungkan karakteristik CMT di atas dengan wacana yang telah dijelaskan terdahulu, maka seperti halnya kritik terhadap teori Hardin, praktek CMT juga nampaknya bervariasi dari satu komunitas ke komunitas lain. Paling tidak, praktek CMT di Kep. Kei tidaklah seperti yang dibahas dalam wacana CMT sebelumnya. Ada dua perbedaan karakteristik CMT di Kei dengan karakteristik CMT yang dikembangkan dalam wacana sebelumnya. Perbedaan pertama terletak pada kenyataan bahwa definisi-definisi wilayah dan satuan sosial pemegang hak atasnya pada praktek CMT di Kei bersifat contested. Pada satu pihak ini bisa dianggap menunjukkan fleksibilitas dari 5
Kelompok kerabat seperti ini dalam antropologi dikenal dengan nama origin kin-group (lihat misalnya Fox 1996). Karena peran penting dari nenek moyang kelompok kerabat ini, biasanya wakil dari mereka menempati posisi tertentu pada struktur pemerintahan tradisional di komunitas yang bersangkutan
10
praktek CMT itu, tetapi pada pihak lain realitas ini bisa juga menjadi sumber konflik. Perbedaan kedua adalah bahwa hak atas wilayah dan sumberdaya laut pada praktek CMT di Kei tidak didistribusikan secara merata kepada semua anggota kelompok sosial pemegang hak itu. Perbedaan ini mempertanyakan kebenaran anggapan bahwa CMT dapat menjamin distribusi sumberdaya yang merata dan berfungsi untuk menghindari konflik antar pemakai sumberdaya tersebut (lihat Berkes 1989). 2. Konteks politik CMT. Bab enam dan sembilan dalam disertasi khusus membicarakan keterkaitan antara praktek CMT dengan dinamika politik lokal. Bab enam menjelaskan konflik mengenai hak ulayat laut yang terjadi di desa Dullah Laut, Kei Kecil. Konflik ini dipicu oleh pemberiaan ijin dari seorang keturunan pemimpin tradisional desa (orang kaya, selanjutnya disebut A) dengan pihak perusahaan penangkap ikan kerapu (garopa) yang dimiliki oleh seorang warga Negara Taiwan (selanjutnya disebut B). Dengan mengatasnamakan pemilik petuanan, A memberi ijin kepada B untuk membangun base-camp dan nenangkap ikan di sebagian petuanan Dullah Laut. Kontrak kedua belah pihak ini, mendatangkan kemarahan dari sebagian penduduk desa yang menganggap bahwa kehadiran B dan anak buahnya di petuanan Dullah Laut adalah ‘illegal’ dengan tiga alasan. Pertama, kehadiran mereka di petuanan desa tanpa ijin dari kepala desa yang menjadi pimpinan formal desa tersebut. Kedua, A dianggap tidak mempunyai hak untuk memperbolehkan pihak lain melakukan eksploitasi di petuanan desa karena dia bukanlah pemilik petuanan atau mempunyai hak untuk mewakilinya. Menurut mereka, pemilik petuanan adalah keseluruhan anggota dari kelompok kerabat (fam) inti yang ada di desa yang disebut sebagai Ohoiroa fauur. Ketiga, dilihat dari peralatan yang telah disiapkan, diduga A akan menggunakan bahan beracun (potassium cyanida) pada kegiatan penangkapan ikannya. Dengan keyakinan ini, mereka kemudian mendatangi dan mengusir pihak perusahaan yang sedang membangun base-camp di salah satu pulau yang termasuk wilayah desa. Analisis terhadap kasus ini menunjukkan bahwa sebenarnya konflik ini terkait kontestasi antara tiga orang elit --dan kelompok mereka-- yang terlibat dalam kontestasi untuk menjadi kepala desa di Dullah Laut. Ketiga orang tersebut adalah (1) A yang merasa mempunyai hak untuk menjadi kepala desa karena beliau adalah keturunan dari pemimpin tradisional (orang kaya), (2) kepala desa, yang, tentu saja karena telah memenangkan proses pemilihan kepala desa dan diangkat oleh pemerintah merasa sebagai pemimpin desa itu dan (3) kepala dusun Ohosaran6. Ketiga elit ini, dengan dukungan dari sebagian 6
Desa Dullah Laut terdiri dari dua kampung (dusun): Kampung Islam (Ohoislam) dan Kampung Kristen (Ohoisaran). Meskipun secara tradisional kedua kampung ini merupakan wilayah satu desa (negeri), tetapi pada awal kemerdekaan (1950an) sampai dengan 1989,
11
penduduk desa itu, sudah lama terlibat persaingan untuk memeperebutkan posisi kepala desa. Jika A dan kepala desa memperebutkan posisi kepala desa Dullah Laut, kepala dusun Ohoisaran lebih menginginkan pemekaran desa itu menjadi dua. Pemecahan ini akan membuka kesempatannya untuk menjadi kepala desa di Desa Ohoisaran. Dalam konteks perebutan posisi kepala desa inilah, praktek CMT menjadi sangat strategis bagi semua pihak yang terlibat kontestasi. Bagi A, tindakannya memberi ijin B untuk membangun base-camp dan melakukan usaha perikanan di petuanan Dullah Laut merupakan strategi untuk mendapatkan dua jenis sokongan. Sokongan pertama adalah sokongan ekonomi yang didapat dari B sebagai uang sewa (bukmam) petuanan. Selain memakainya untuk kepentingan pribadi, A menggungakan bantuan ekonomi dari B untuk pengembangan program-programnya yang bertujuan untuk menyaingi program pembangunan yang dilakukan oleh kepala desa. Dengan program-program ini, A tidak hanya menunjukkan sikap oposisinya tetapi juga kemampuannya untuk memimpin kelompok politiknya. Tentu saja tujuan akhir dari tindakannya ini adalah menunjukkan kemampuannya untuk menjadi kepala desa. Sokongan kedua adalah berupa sokongan politik. Sudah menjadi rahasia umum di Kei bahwa praktek perusahaan ikan ini adalah ‘illegal’ karena menggunakan pottasium cyanida. Untuk melindungi usahanya itu, para pengusaha meminta sokongan dari aparat militer dan birokrasi lokal. Hubungan yang dekat antara B dengan aparat militer dan birokrasi lokal lah yang diharapkan A dapat menjadi jembatan untuk mendekatakannya ke para penguasa lokal itu, yang pada akhirnya, tentu saja, diharapkan dapat meningkatkan kekuaatan politiknya untuk menyaingi kepala desa. Bagi kepala desa dan kelompok politiknya, perilaku A merupakan rongrongan terharap kekuasaannya sebagai penguasa desa. Oleh karenanya, mereka harus menunjukkan kekuatan politik mereka dengan mengusir B dari petuanan desa. Aksi tandingan dari kelompok kepala desa ini dilakukan tidak hanya untuk menunjukkan kekuasaan mereka sebagai penguasa desa yang syah, tetapi juga mematahkan kemungkinan kolusi antara A dengan pemegang kekuasaan di birokrasi. Bagi kepala dusun Ohoisaran7, konflik berkenaan dengan CMT ini membuka kesempatan kepadanya untuk membuka koneksi dengan pemegang birokrasi yang mungkin bisa diharapkan untuk dapat kedua kampung itu dianggap sebagai dua desa yang terpisah sehingga masing-masing dipimpin oleh seorang kepala desa. Pada tahun 1989, kedua desa gabung menjadi satu, dan masing-masing desa menjadi dusun. Namun, karena posisi kepala desa ada di Ohoislam, maka induk desa ada di kampung ini. Dengan demikian, kepala desa di Ohoisaran terdegradasi, posisinya turun menjadi kepala dusun. 7 Posisi kepala dusun Ohoisaran dalam konflik ini agak ambivalen. Beliau turut memimpin kelompok pro kepala desa pada saat mereka mendatangi dan mengusir A dari wilayah petuanan desa, tetapi pada acara pertemuan sehari sesudah itu, beliau tampak mendukung A.
12
membantu pemekaran kembali desa itu menjadi dua. Kesempatan ini tentu saja membuka kemungkinan kepadanya untuk menjadi orang nomor satu di desa baru. Konflik yang dibahas dalam pada bab sembilan berkenaan dengan penetapan batas petuanan laut antar desa Sather dan Tutrean di Kei Besar. Kedua desa yang terletak di pantai timur pulau Kei Besar ini memang bersebelahan sehingga berbagi perbatasan di wilayah pesisir. Namun demikian, penduduk kedua desa tidak sepakat mengenai titik mana yang menjadi batas antar kedua desa mereka. Masalah ini telah memicu konflik kekerasan yang berkepanjangan. Konflik prebatasan ini sudah terjadi sejak tahun 1930an dan terus berlanjut sampai dengan saat penulis mengadakan penelitian (19961997). Puncak dari konflik terjadi pada tahun 1988 saat hampir semua rumah di Desa Sather dibakar oleh penduduk Desa Tutrean. Meskipun tidak ada lagi konflik separah itu setelahnya, hampir setiap tahun selalu saja terjadi bentrok kekerasan di antara penduduk kedua desa. Biasanya awal dari bentrok adalah kegiatan penangkapan ikan atau penyelaman lola oleh penduduk salah satu desa di wilayah petuanan laut yang menjadi objek sengketa. Analisis terhadap kasus ini menunjukkan bahwa konflik ini merupakan bagian dari konflik yang lebih besar terkait hubungan antara dua strata sosial yang berbeda yakni antara kaum bangsawan (mel-meI) yang tinggal di desa Tutrean dengan ‘orang merdeka’ (ren-ren) di desa Sather.8 Tercatat dalam dokumen pemerintah kolonial Belanda, kedua strata sosial yang tinggal pada dua desa berlainan ini telah terlibat konflik sejak awal abad 20. Konflik antar mereka berhubungan dengan sistem pemerintahan dan petuanan desa Sather. Orang-orang Tutrean, dengan dasar sejarah lisan versinya, meyakini bahwa sebagai Mel-mel, mereka mempunyai kewenangan untuk menguasai pemerintahan di desa Sather dan oleh karenanya mengatur petuanan mereka. Dengan anggapan ini, orang-orang Tutrean selalu berusaha menunjukkan penguasaan mereka terhadap pengorganisasian desa dalam sistem pemerintahannya maupun wilayah petuanannya. Misalnya, pada tahun 1917, mereka mengutus salah satu orang untuk menjadi kepala desa (orang kaya) Sather. Setelah jaman kemerdekaan pun orang Tutrean selalu menghalang-halangi orang Sather dalam usaha mereka untuk memiliki 8
Secara tradisional, masyarakat Kei terbagi ke dalam tiga strata sosial, yaitu Mel-mel (bangsawan). Ren-ren (‘orang merdeka’) dan Iri-iri (‘budak’). Dalam perspektif Mel-mel, mekeka merupakan kelas penguasa yang secara tradisional mempunyai otoritas untuk memerintah kedua kelas yang berada di bawahnya. Dalam perspektif Ren-ren, hubungan mereka dengan Mel-mel bukanlah hubungan hirarkis tetapi horizontal yang ditandai dengan distribusi otoritas antara domain pemerintahan yang dipengang oleh Mel-mel dan domain kewilayahan (petuanan) yang berada di tangan Ren-ren. Dalam perspektif ini, hanya Iri-iri lah yang berada di bawah penguasaan strata lain. Strata sosial ini bersifat ekslusif dengan larangan kawin antara anggota strata yang berbeda –terutama wanita dari Mel-mel dengan pria dari Ren-ren atau Iri-iri -- sebagai mekanisma mempertahankan kemurnian strata sosial.
13
kepada desa sendiri. Dan usaha orang Tutrean ini tampaknya berhasil. Sampai dengan tahun 1997, tercatat hanya sekali saja desa Sather dipimpin oleh orang Sather sendiri, itupun karena kepala desa tersebut diangkat oleh tentara Jepang pada awal tahun 1940an. Kebanyakan pemerintahan desa Sather dipimpin oleh pejabat kepada desa yang bukan orang Sather. Sebaliknya orang Sather menanggap, sebagai ‘orang merdeka,’ mereka mempunyai hak untuk mengatur diri mereka sendiri, baik dalam segi pemerintahan desa maupun dalam penguasaan wilayah desa (petuanan). Kerena keyakinan ini, mereka selalu menolak bentuk penguasaan dari orangorang Mel-mel di Tutrean. Salah satu ekspressi dari penolakan mereka, misalnya, adalah pembunuhan terhadap utusan orang Tutrean yang pada saat itu diutus oleh untuk menjadi kepala desa (orang kaya) Sather pada tahun 1927. Sejak tahun 1930an mereka juga menuntut untuk menguasai petuanan desa sendiri yang batas-batasnya ditentukan oleh mereka berdasarkan sejarah lisan versi orang Sather. Pemerintah telah berusaha menyelesaikan konflik antar antar Mel-mel Tutrean dengan Ren-ren Sather ini, tetapi tidak pernah berhasil mengehentikannya. Misalnya, pada tahun 1936 dan 1939, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan dua surat keputusan (resume) yang mutuskan batas antar kedua desa, tetapi selalu ditolak oleh salah satu atau kedua belah pihak. Pada tahun 1993, pemerintah kabupaten Maluku Tenggara juga menggagas sidang adat yang keputuskannya dikuatkan oleh kepusan bupati, tetapi juga gagal. Seperti telah disebutkan diatas, konflik antar kedua desa itu terus berlanjut sampai 1997, kemungkinan sampai sekarang. Jika kita kembali ke wacana CMT dan pengelolaan tradisional sumberdaya laut di Maluku, jelas sekali bahwa apa yang dibahas pada bab enam dan sembilan seperti telah dijelaskan di atas, sama sekali tidak pernah dikaji. Dalam wacana CMT, praktek kepemilikan hanya dianggap sebagai alat untuk pengelolaan sumberdaya laut. Sama sekali tidak dikaji pemaknaan lain dari CMT. Sementara itu pada wacana pengelolaan tradisional sumberdaya laut di Maluku memang hampir tidak menyentuh masalah CMT. Nampaknya CMT sudah dianggap sesuatu yang taken for granted dan tidak bermasalah. Padahal, analisis pada bab enam dan sembilan secara jelas menunjukkan bahwa praktek CMT pada masyarakat Kei dimaknai secara berbeda. Di Kepulauan Kei, nampaknya, praktek CMT berupakan bagian yang integral dari keseluruhan bagun sosial masyakarat itu. Karena itu CMT tidak hanya berfungsi sebagai alat pengelolaan sumberdaya alam tetapi juga memiliki fungsi-fungsi sosial. Kajian bab enam, memperlihatkan bagaimana elit
14
menggunakan CMT sebagai ‘modal politik.’ Jika sebagai alat pengelolaan sumberdaya laut CMT menentukan siapa saja dan bagaimana kegiatan eksploitasi dilakukan, sebagai modal politik, CMT dipakai sebagai alat untuk mengumpulkan sokongan politik untuk dapat memenangkan kontestasi menjadi pemimpin desa. Bab sembilan juga secara jelas menunjukkan keterkaitan CMT dengan status sosial. Penguasaan petuanan laut bagi Melmel di Tutrean merupakan refleksi dari status mereka sebagai bangsawan. Sementara pengusaan petuanan laut bagi Ren-ren di Sather merupakan ikon kebebasan sebagai ‘orang merdeka.’ Menariknya, jika kita perhatikan konflik-konflik yang terjadi di Dullah Laut dan Sather vs Tutrean, nampak bahwa fungsi CMT sebagai alat pengelolaan sumberdaya tampak kalah oleh fungsi sosialnya. Di Dullah Laut, elit desa menukar hak eksploitasi petuanan laut kepada pengusaha yang akan melakukan penangkapan secara destruktif (menggunakan potassium cyanida) dengan sokongan ekonomi dan politik untuk memenangkan kontestasi menjadi pemimpin desa. Konflik berkepanjangan antara Sather dan Tutrean mengenai batas petuanan laut juga telah mengganggu kegiatan sasi dan kegiatan kenelayanan lainnya. 3. Status hukum CMT dan relevansinya terhadap praktek pengelolaan sumberdaya laut. Pada bahasan wacana CMT telah disebutkan adanya usulan kepada pemerintah untuk memberikan pengakuan legal formal (lihat Johanness 1978). Usulan ini juga terdapat dalam wacana pengelolaan tradisional sumberdaya laut di Maluku. Lokollo (1994), misalnya, mengatakan: ‘[O]leh karena asas-asas hukum adat kelautan tersebut masih hidup dan dikenal oleh masyarakat nelayan, diharapkan asas-asas tersebut dapat ditingkatkan menjadi peraturan daerah, sehingga adanya kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi masyarakat nelayan agar mereka dapat meningkatkan kesejahteraan hidup.’ (hal. 20-21).
Hal senada juga dikatakan Bailey dan Zerner (1992, 12). Dalam tulisan mereka dengan judul ‘Community-Based Fisheries Management Institutions in Indonesia,’ dikatakan bahwa pengakuan dan dukungan pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya alam lokal seharusnya diformalkan. Secara khusus, pengakuaan legal yang eksplisit seharusnya diberikan terhadap hukum adat dan hak ulayat. Bab tujuh dari disertasi dikembangkan khusus untuk mengevaluasi usulan ini. Dalam konteks ini, pada bab ini ditunjukkan bahwa, meskipun seringkali dikatakan bahwa hak ulayat laut tidak diakui secara formal oleh pemerintah Indonesia (lihat misalnya Panell 1997, Bailey dan Zerner 1992 serta Warren dan Elston 1994), kajian penulis tentang hal ini menunjukkan bahwa
15
anggapan ini salah. Pada level undang-undang hak ulayat diakui legalitasnnya pada UU Pokok Agraria 1960 ( pasal 2 dan 5). Jika kita turun ke level provinsi, kita bisa pula menemukan dua indikasi bahwa Dinas Perikanan Provinsi Maluku di Ambon, sebagai lembaga Negara- mengakui praktek hak ulayat laut. Indikasi pertama tampak pada syarat bagi perusahaan perikanan, terutama yang akan melakukan usaha budidaya dan penangkapan di perairan pantai—diharuskan memperlihatkan surat kontrak petuanan dengan penduduk lokal pada saat mereka mengajukan usulan permohon ijin usahanya. Indikator kedua tampak pada penandatanganan surat perjanjian oleh pihak perusahaan pada saat mereka menerima ijin usaha dari Dinas Perikanan. Salah satu pasal dalam surat perjanjian itu menyebutkan bahwa dalam kegiatan usahanya, pihak perusahaan harus menghormati tradisi lokal dalam hubungannya dengan petuanan. Bukti-bukti tambahan akan realitas bahwa praktek CMT di Maluku diakui secara legal oleh pemerintah adalah keputusan-keputusan pengadilan yang secara eksplisit menyebutkan bahwa petuanan laut tertentu adalah hak dari kelompok sosial tertentu. Contoh nyata dari keputusan pengadilan adalah sebagai berikut: ‘[m]enetapkan Pulau Terbang Utara dan Pulau Terbang Selatan bersama metinya [petuanan laut] yang terletak dipulau Damer bagian Selatan, Kecamatan p.p. Kisar, Kabupaten Maluku Tenggara adalah hak milik seluruh rakyat negeri Wulur yang merupakan petuanan dari petuanan negeri Wulur.’ (keputusan Pengadilan Tinggi Maluku, 16 Juli, 1974 No. 113/1973/PT/Perdt)
Dalam bahasa lain, kutipan yang merupakan putusan Pengadilan Tinggi Maluku terhadap perkara perdata antara desa Wulur melawan Desa Keli di Kecamatan Pulau-pulau Kisar, Maluku Tenggara itu, secara jelas menyatakan bahwa perairan atau petuanan laut sekitar Pulau Damer bagian Selatan adalah hak milik orang Wulur. Putusan ini merupakan tambahan bukti hukum pengakuan pemerintah atas hak ulayat laut. Menariknya, saat mencari tahu apakah status hukum ini memang mempengaruhi efektifitas dari praktek hak ulayat laut, jawabannya, ternyata, ‘tidak.’ Untuk sampai kepada kesimpulan itu penulis menganalisa sebuah konflik yang terkait dengan operasi penggunaan potassium cyanide oleh nelayan yang bekerja pada sebuah perusahaan ikan kerapu.9 Konflik diawali 9
Selain dijelaskan dalam bab tujuh, konflik ini juga ditulis dalam Live Reef Fish: The Live Reef Fish Export and Aquarium Trade, Information Bulletin 4:12-17 (Adhuri 1998).
16
dengan penangkapan empat orang nelayan yang sedang beroperasi dengan menggunakan potassium cyanida di petuanan Dullah Laut. Penangkapan yang dipimpin oleh kepala desa ini didasari atas pertimbangan bahwa keempat nelayan telah melakukan dua kesalahan. Kesalahan pertama adalah pelanggaran terhadap pranata hak ulayat laut karena keempat nelayan telah beroperasi di petuanan desa tanpa ijin. Kesalahan kedua berkenaan dengan dugaan penggunaan potassium cyanida yang merusak biologi dan ekologi sumberdaya laut. Setelah diinterogasi di rumah kepala desa, keempat orang ini dibawa dan laporkan ke polisi bahkan bupati dengan harapan pelanggaran, terutama terkait penggunaan potassium cyanida yang dilarang dalam Undang-undang Perikanan maupun Lingkungan Hidup diadili. Namun demikian, petugas kepolisian malah menyarankan kepala desa Dullah laut untuk menyelesaikan masalah ini secara adat. Bupati sendiri menyarankan kepala desa untuk menemui dandim yang pada saat didatangi tidak bersedia ditemui. Akhirnya, dengan berbagai tekanan dari oknum militer dan birokrasi lokal, kepala desa terpaksa menyelesaikan kasus ini melalui ‘sidang adat.’ ‘Sidang’ itu yang dipimpin oleh kepala desa sendiri, dihadiri wakil dari seluruh pemilik petuanan laut, wakil dari pihak perusahaan yang mempekerjaan keempat nelayan dan, menariknya, juga utusan dari koramil Kei Kecil. Persidangan hanya menangani masalah pelanggaran pranata hak ulayat laut, sementara pengadilan terhadap penggunaan potassium cyanida dianggap wewenang pihak kepolisian. Dalam sidang itu diputuskan pihak perusahaan didenda sebanyak enam juta rupiah. Menganalisa kasus di atas, nampak bahwa penggunaan ‘sidang adat’ yang berarti juga penggunaan prinsip-prinsip terkait hak ulayat laut (CMT) sebagai mekanisma penyelesaian tidaklah ditentukan oleh status hukum CMT. Meskipun, seperti telah dijelaskan di muka, kita bisa menemukan dasar hukum untuk berargumentasi bahwa ada pengakuan legal formal terhadap CMT, tetapi tidak ada seorang pun dari pihak terkait yang menggunakan status hukum CMT sebagai dasar untuk memilih penyelesaiaan adat terhadap kasus ini. Penulis melihat bahwa hubungan kekuasaan (power relation) antar pihak-pihak terkait dan ‘kepentingan’ (interest) merupakan alasan mengapa mekanisme ‘sidang adat’ digunakan. Meskipun kepala desa berkeinginan kuat untuk membawa kasus itu ke pengadilan, tetapi dalam struktur hubungan kekuasaan posisinya sangat lemah, kalah oleh kekuasaan yang dimiliki oleh aparat militer dan birokrasi lokal. Karena itu, tidak ada cara lain baginya untuk menyelesaikan kasus ini kecuali mengikuti keinginan mereka yang memunyai kekuasaan lebih tersebut. Sementara itu, meskipun para aparat militer dan birokrat lokal tahu pasti bahwa ada aturan formal yang mengharuskan mereka
17
untuk meproses perkara itu, tetapi kepentingan mereka bertentangan dengan itu. Mengapa? Karena jika pelanggaran penggunaan potassium cyanida yang diatur oleh UU Perikanan dan Lingkungan Hidup itu diperkarakan secara formal, maka ini akan mengancam posisi mereka sebagai penyokong, atau bahkan terlibat langsung, bisnis penangkapan ikan kerapu yang illegal itu. Oleh karenanya untuk melindungi kepentingan bisnis proteksi inilah mereka memaksa kepala desa untuk menyelesaikan perkara ini melalui ‘sidang adat.’ Dengan diselesaikannya kasus ini secara adat, tidak akan ada catatan resmi tentang keberadaan praktek penangkapan ikan illegal dengan pottasyum, oleh karenanya bisnis mereka tidak akan terekpose keluar. 4. Pengaruh ekonomi pasar terhadap praktek CMT. Issu pengaruh ekonomi pasar terhadap praktek CMT dibahas secara khusus pada bab delapan. Tujuan dari penulisan bab ini adalah mengecek apakah anggapan bahwa penetrasi ekonomi pasar dalam kehidupan masyarakat tradisional benar menyebabkan hancurnya tradisi CMT seperti dikatakan Johanness (1978) untuk kasus Oceania atau Conner and Zerner (1992) dan Nikijuluw (1994) untuk kasus Maluku. Atau, sebaliknya bab ini bisa juga dikatakan untuk mengecek kebenaran anggapan bahwa: ‘[e]ven where a fairly open access to fishery resources seems to be the rule, the commercialisation and intensification of marine exploitation may lead to a sudden upsurge of a multitude of ideas about customary boundaries and fishing rights—seemingly from nowhere.’ (Hviding 1989, 5-6).
Dengan menganalisa konflik yang terjadi sebagai akibat beroperasinya bagan yang dioperasikan oleh orang luar di petuanan Dullah Laut, bab ini menjelaskan bahwa realitas di Kei menunjukkan kedua anggapan di atas tidak benar.10 Pengopreasian bagan11 di perairan Dullah Laut adalah respon dari beberapa nelayan terhadap terbukanya pasar internasional, terutama di Taiwan, terhadap ikan teri (anchovy). Ini secara jelas terlihat dari realitas bahwa sebagian pengoperasi bagan memperoleh modal dari perusahaan yang menampung hasil tangkapan mereka dan langsung mengekspornya ke luar negeri. Pada saat konflik terjadi, koneksi antara pasar internasional dengan nelayan juga tampak dari pengangkutan hasil tangkapan bagan langsung ke kapal-kapal pengekspor. Respon yang keras dari orang Dullah 10
Dari bab sembilan yang mendiskusikan konflik antara penduduk desa Sather dan Tutrean, kita tahu bahwa CMT merupakan tradisi yang sudah lama dipraktekkan oleh orang Kei. 11 Sebenarnya bisnis ikan kerapu yang kebanyakan menggunakan potassium cyanida yang muncul di Kei sejak awal tahun 1990an juga menunjukkan semakin gencarnya ekonomi pasar ke dalam dunia kenelayanan di sana. Bisnis ikan kerapu adalah bisnis yang dikembangkan sebagai respon terhadap pasar internasional dari ikan kerapu hidup. Ikan kerapu hasil tangkapan di perairan Kei kebanyakan dieksplor ke Hongkong dan Singapur.
18
Laut menghalau nelayan bagan itu keluar dari petuanannya merupakan ekspresi dari semakin menguatnya praktek CMT di sana. Pada proses pengusiran nelayan luar itu, orang Dullah Laut menjelaskan kepada mereka tentang tradisi CMT, sejarah lisan dan batas-batas wilayah petuanan mereka. Dengan itu, mereka mengatakan kepada nelayan bagan bahwa kegiatan nelayan tersebut adalah melanggar praktek hak ulayat laut. Konflik ini jelas sekali menunjukkan bahwa orang Kei justru terangsang untuk menguatkan tradisi CMT pada saat nilai ekonomi sumberdaya laut meningkat akibat terbukanya pasar internasional untuk sumberdaya itu. Hal itu dilakukan dengan mengencangkan pranata CMT melalui pendefinisian kembali batasbatas petuanan mereka dan mengkomunikasikannya kepada pihak yang dianggapnya ‘orang luar.’ Namun demikian, harus dicatat bahwa pengencangan kembali praktek CMT itu bukanlah karena alasan sustainability dari sumberdaya tetapi justru alasan ekonomi. Dengan peningkatkan praktek CMT, maka hak ekslusif mereka terhadap petuanan laut semakin terjamin dan dengan itu pula orang luar bisa didiskualifikasi untuk mengkases apalagi mengeksploitasi sumberdayanya. Artinya, peningkatan CMT bukanlah untuk alasan pengelolaan yang berkesinambungan tetapi merupakan apa yang dapat disebut sebagai politics of exclusion (Adhuri 2003).
C. Penutup Melihat wacana tentang pengelolaan sumberdaya laut, kita bisa mengidentifikasi tiga praktek pengelolaan yang telah menjadi issu pokok wacana ini. Pertama adalah praktek pengelolaan sumberdaya laut yang tersentralistis, yaitu praktek pengelolaan yang dirancang, diimplementasikan dan dievaluasi hanya oleh pemerintah pusat saja. Pada saat banyak studi menunjukkan kelemahan praktek ini ditambah dengan gerakan masyarakat adat yang didukung LSM mulai menyuarakan kepentingan mereka, wacana tentang praktek pengelolaan sumberdaya laut yang disebut communinybased marine resource management muncul pada tahun 1980. Praktek community-based management adalah praktek pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat berdasarkan pranata-pranata yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Sama seperti praktek pengelolaan sumberdaya laut pendahulunya, community-based management juga kemudian dikritik karena berbagai kelemahannya. Sebagai alternative, kemudian disodorkan praktek pengelolaan yang disebut collaborative management (Co-management) masuk ke dalam perbendaharaan wacana pengelolaan sumberdaya laut. Pada prinsipnya, co-management adalah praktek pengelolaan sumberdaya alam di mana pemerintah mendelegasikan sebagian otoritasnya kepada
19
masyarakat (McCay and Jentoft 1996). Atau, dalam yang lain, comanagement adalah praktek pengelolaan yang dibuat dan dilaksanakan melalui kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat. Bagaimanakah posisi praktek CMT dalam ketiga praktek pengelolaan sumberdaya laut seperti dijelaskan di atas? Pada praktek pengelolaan sumberdaya laut tersentralisasi, CMT diangap tidak ada, karenanya bugan merupakan issu yang dibicarakan. Pembicaraan CMT mulai masuk dalam wacana pengelolaan sumberdaya laut sebagai pembuka jalan yang mengarahkan masuknya konsep community-based management. Argumentasi community-based management memang dibangun dari temuantemuan terhadap CMT. Seringkali dikatakan bahwa CMT merupakan alasan mengapa pengelolaan sumberdaya laut harus dikembalikan kepada komunitas lokal setelah dalam praktek pengelolaan tersentralisasi hak-hak dan kemampuan mereka untuk mengembangkan pengelolaan yang berkelanjutan dikebiri. Meskipun berbagai kritik telah bermunculan sehingga orang mulai membicarakan co-management, CMT masih dianggap sebagai modal yang baik untuk pengembangan co-management. Anggapan ini didasari keyakinan bahwa bagaimanapun CMT masih menunjukkan potensi positif masyarakat lokal terhadap sustainability dari sumberdaya laut. Juga, sering dikatakan bahwa pengakuan CMT dalam co-management akan meningkatkan posisi tawar masyarakat lokal dalam berhubungan dengan stakeholder lain. Dengan ini kemungkinan terjadinya marjinalisasi komunitas lokal oleh stakeholder lain semakin mengecil. Kajian yang dikembangkan dalam disertasi ini menunjukkan bahwa wacana itu masih mempunyai kelemahan dan oleh karenanya harus dikoreksi dan dilengkapi. Kelemahan dalam wacana itu adalah perspektif yang hanya melihat CMT sebagai alat untuk pengelolaan sumberdaya laut. Bahasan disertasi menunjukkan bahwa masyakarat Kei, paling tidak, menganggap CMT tidak hanya sebagai alat pengelolaan sumberdaya laut, tetapi juga mempunyai fungsi lain, misalnya sebagai ‘modal politik’ dan representasi dari status sosial. Kajian ini juga menunjukkan bahwa, pada konteks-konteks tertentu, fungsi sosial dari CMT lebih dominan dan penggunaannya mengabaikan fungsi pengelolaannya. Realitas bahwa fungsi sosial kadang-kadang lebih dominan dari pada fungsi pengelolaan serta kenyataan yang menunjukkan bahwa status legal tidak berpengaruh signifikan pada efektifitas CMT, mengharuskan kita berfikir ulang terhadap usulan kepada pemerintah untuk mengakui secara eksplisit praktek hak ulayat laut pada sistem hukum Negara. Temuan disertasi malah menunjukkan kemungkinan buruk jika praktek CMT dilegalkan secara eksplisit. Jika praktek hak ulayat laut di Kei dilegalkan, maka bisnis sokong
20
menyokong aparat militer dan dan birokrasi lokal terhadap usaha perikanan illegal akan terlindungi secara hukum. Kembali ke bab tujuh, tekanan aparat militer dan birokrat lokal kepada kepala desa pada kasus itu adalah ‘illegal’ karena berarti mereka melanggar UU Perikanan dan UU Lingkungan hidup, jika CMT diakui secara formal tekanan itu menjadi legal dengan alasan menjalankan aturan hukum tentang CMT. Dalam konteks demikian, legalitas CMT malah justru memberi kekuasaan (power) tambahan kepada pihak-pihak penguasa untuk memaksakan pemenuhan kepentingan mereka dengan mengorbankan sustainability dari sumberdaya alam dan kepentingan masyarakat. Terakhir, kekhawatiran akan hilangnya CMT karena penetrasi ekonomi pasar juga nampaknya perlu dipikirkan kembali. Disertasi ini menunjukkan bahwa penetrasi pasar internasional justru merangsang masyarakat untuk mengencangkan praktek CMT. Namun demikian, yang harus juga diingat adalah bahwa pengencangan ini tidak selalu dilandasi oleh kesadaran akan sustainability atau keadilan distribusi sumberdaya alam. Apa yang terjadi di Kei lebih menunjukkan bahwa pengencangan praktek CMT ini adalah bagian dari politic of exclusion yaitu strategi untuk mendiskualifikasi orang luar untuk mengakses dan mengeksploitasi sumberdaya laut. Meskipun ini ada baiknya untuk mengurangi jumlah orang yang mengeksploitasi sumberdaya –dengan demikian mengurangi tekanan terhadap sumberdaya itu-- tetapi bisa saja komunitas lokal sendiri mengembangkan praktek eksploitasi yang destruktif dan berlebihan.
D. Daftar Pustaka Adhuri, D.S. 1998. Who Can Challenge Them? Lessons Learned from Attempting to Curb Cyanide Fishing in Maluku Indonesia. Live Reef Fish: The Live Reef Fish Export and Aquarium Trade, Information Bulletin 4:12-17. ———. 2003. Does the Sea Divide or Unite Indonesians? Ethnicity and Regionalism from a Maritime Perspective. Working Paper No. 49, Resource Management in Asia and Pacific Program, Australian National University. Canberra Anonim. 1991. Laporan Penelitian Hak Adat Kelautan Di Maluku. Ambon: Yayasan Hualopo, Fak. Hukum dan Pusat Studi Maluku Unpatti.
21
Antunès, I. 2000. Le développement local de la pêche en Indonésie, entre unité politique et diversité culturelle. Une approche à partir de deux cas d’étude contrastés, Bendar à Java et Watlar aux Moluques, PhD Thesis, Université de Paris-IV Sorbonne et Sydney University, Sorbone and Sydney. ——— and S. A. P. Dwiono. 1998. Watlar, an Eastern-Indonesian Village Caught Between Tradition and Modernity. Monpellier: Centre Orstom. Barraud, C. 1979. Tanebar-Evav : une societe de maisons tournee vers le large. Cambridge England: Cambridge University Press. Bailey and C. Zerner. 1992. Community-Based Fisheries Management Institutions in Indonesia. Maritime Anthropological Studies 5 (1): 1-17. Berkes, F. (ed.) 1989. Common Property Resources: Ecology and Community-based Sustainable Development. London: Belhaven Press. Benda-Beckmann, F. von, K. von Benda-Beckmann and A. Brouwer. 1992. Changing 'Indigenous Environmental Law' in the Central Moluccas: Communal Regulation and Privatization of Sasi. Paper read at Congress of the Commission on Folk Law and Legal Pluralism, August, at Victoria University, Wellington. Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Science 162:1243-1248. Hviding, E. 1989. "All Things in Our Sea," the Dynamics of Customary Marine Tenure, Morovo Lagoon, Solomon Islands. Papua New Guinea: The National Research Institute. Johannes, R.E. 1978. Traditional Marine Conservation Methods in Oceania and Their Demise. Annual Review of Ecology and Systematics 9:249364. Kissya, E. 1995. Sasi Aman Haru-ukui: Traditional Management of Sustainable Natural Resources in Haruku. Jakarta: Sejati Foundation. Lokollo. 1988. Hukum Sasi di Maluku: Suatu Potret Binamulia Lingkungan Pedesaan yang Dicari Pemerintah. Ambon. McCay, B.J and S. Jentoft. 1996. From Bottom Up: Participatory Issues in fisheries Management. Society and Natural Resources 9:237-250. ——— and J.M. Acheson (eds). 1987. The Question of the Commons: The Culture and Ecology of Communal Resources. Tucson: The University
22
of Arizona Press. Monk, K.A., Y. De Fretes and G. Reksodiharjo-Lilley. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Vol. V, The Ecology of Indonesia. Singapore: Eric Oey. Nikijuluw, V. P.H. 1994. Indigenous Fisheries Resource Management in the Maluku Islands. Indigenous Knowledge & Development Monitor 2 (2):68. Pannell, S. 1997. Managing the Discourse of Resource Management: the Case of Sasi from 'Southeast' Maluku, Indonesia. Oceania 67:289-307. Pusdi-PSL Unpatti. 1995. Kajian Hukum Tentang Norma Adat dalam Perlindungan Lingkungan. Ambon: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI dengan Pusdi-PSL Universitas Pattimura. Ruddle, K and T. Akimichi. 1984. Introduction. In K. Ruddle and T. Akimichi (eds) Maritime Institutions in the Western Pacific, pp. 1-9. Osaka: National Museum of Ethnology. ——— (eds) 1984. Maritime Institutions in the Western Pacific. Osaka: National Museum of Ethnology. Warren, C. and K. Elston. 1994. Environmental Regulation in Indonesia, Asia Paper 3. Nedlands: University of Western Australia Press. Zerner, C. 1991. Imagining the Common Law in Maluku: Of Men, Molluscs, and the Marine Environment. Paper read at The Second Annual Meeting of the International Association for the Study of Common Property, 26-29 September, at Manitoba. ———. 1994. Through a Green Lens: The Construction of Customary Environmental Law and Community in Indonesia's Maluku Islands. Law & Society Review 28 (5): 1079-1122.
23