ADAT PERKAWINAN HUKUM HANILIT SUKU KEI DI KEPULAUAN KEI PROVINSI MALUKU (SUATU KAJIAN KONFLIK BUDAYA)
Oleh Dzul Kifli Rettob Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura Ambon
Abstrak: Salah satu budaya masyarakat Suku Kei di Kepulauan Kei provinsi Maluku yang masih dipertahankan, dan dikembangkan dalam berbagai sendi kehidupan dalah hukum Larvul Ngabal. Hal ini karena hukum Larvul Ngabal diberlakukan secara universal sebagai hukum dasar, untuk dapat mengatur semua aspek kehidupan masyarakat. Tulisan ini bersifat fenomenal sesuai dengan perkembangan masyarakat dewasa ini dengan tujuan untuk mengungkapkan konflik atau problematika budaya yang terdapat dalam penerapan hukum Larvul Ngabal khususnya bagian dari hukum tersebut yakni hukum hanilit, yang berkaitan dengan kesusilaan di tengah kehidupan masyarakat Kepulauan Kei, seperti perkawinan saudara, perkawinan antar pela, perkawinan antara strata sosial, pertentangan hukum hanilit dengan agama, dan pertentangan hukum hanilit dengan bidang ekonomi. Tulisan ini secara teoritis memberikan pemahaman berupa bahan bacaan kepada masyarakat dalam memahami, melaksanakan, dan membudayakan hukum hanilit. Secara praktis, tulisan ini mengingatkan generasi Kei (Evav) bahwa kita memiliki hukum tentang
kesusilaan atau moral, sehingga perlu dipelajari dan dijaga keberadaanya . Kata-kata kunci: Adat perkawinan, hukum Larvul Ngabal dan Hanilit, konflik. PENDAHULUAN Budaya adalah produk suatu masyarakat yang direkayasa untuk mengatur tata atau sistem kehidupannya. Untuk mengomunikasikan budaya diperlukan bahasa, karena difungsikan sebagai perekat yang mengikat orang atau sistem kemasyarakatan. Komunikasi memungkinkan terjadinya suatu sistem sosial atau masyarakat. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tanpa bahasa tidak mungkin ada kebudayaan. Lebih jelasnya bahwa tanpa bahasa Kei tidak mungkin ada kebudayaan Kei. Dapat kita bayangkan bagaimana mungkin muncul dan berkembangnya kebudayaan seperti hukum, tari-tarian, lembaga pemerintahan, rumah adat, dan lain-lain tanpa adanya bahasa. Bahasa berada dalam suatu buadaya tertentu. Hubungan bahasa dan kebudayaan sangat erat sehingga perlu mempelajari suatu bahasa jika ingin mempelajari suatu kebudayaan. Sejalan dengan penjelasan di atas, maka di awal pembahasan ini diawali dengan 21
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
uraian singkat keberadaan bahasa daerah di Maluku, termasuk bahasa Kei. Rosemari Bolton dan Johnny Tjia (dalam Rettob, 2010:4) menyatakan bahwa di wilayah Maluku (Provinsi Maluku dan Maluku Utara) terdapat 132 bahasa, 129 di antaranya masih hidup dan 3 sisanya sudah punah. Bahasa Kei merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang termasuk rumpun bahasa Austronesia yang dipakai oleh ± 100.000 penutur asli (65-70% dari 147.183 jiwa) yang bermukim di 230 desa/dusun di Kepulauan Kei yang terletak diantara 1320-1330 BT dan 50-60 LS. Suk u Kei adalah s uat u suk u yang sudah ada d i k epulauan Kei sebelum kapal Portugis tiba di daerah tersebut, namun sejarah tentang daerah tersebut hanya terekam cerita lisan saja. Bahasa Kei digunakan oleh suku Kei untuk mengomunikasikan kebudayaannya. Dalam upaya infentarisasi dan pengembangannya, maka bahasa Kei baru diteliti pada tahun 1888 oleh seorang misionaris Belanda bernama Yesuk. Tidak lama kemudian Kuster berhasil mencetak buku-buku Katekismus, daftar perbendaharaan kata dan tatabahasa Kei (Travis, 1990).
Berbagai catatan sejarah membuktikan bahwa masyarakat suku Kei memiliki tatanan kehidupan yang kokoh sejak dahulu kala. Sebagian diantara tatanan kehidupan tersebut termuat di dalam hukum Larvul Nangal yang dijadikan sebagai pedoman dalam bermasyarakat. Hukum Larvul Ngabal terdiri dari tujuh pasal utama dan di dalamnya juga terdapat tiga macam hukum yakni; 1) hukum navnev, yaitu hukum tentang kehidupan manusia, 2) hukum hanilit, yaitu hukum tentang kesusilaan atau moral, dan 3) hukum hawear balwarin, yaitu tentang keadilan sosial. Kajian ini lebih difokuskan pada hukum hanilit yang
berkaitan langsung dengan adat perkawinan. Seiring dengan perjalanan waktu, modernisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain sebagainya maka hukum hanilit kini sedang diperhadapkan dengan dua alternatif pilihan yang dalam tulisan ini disebut konflik budaya. Alternatif pertama adalah “menerima” dengan alasan sebagai warisan leluhur dengan berbagai pandangan dan kesan positif di dalamnya, dan alternatif kedua adalah “menolak” dengan pandangan dan kesan negetif bahwa hukum tersebut diskriminatif dan bertentangan dengan kesamaan harkat dan martabat manusia. Kajian ini bertujuan untuk melakukan analisis tentang konflik budaya dalam hukum hanilit dengan fenomena kehidupan masyarakat suku Kei dewasa ini. PEMBAHASAN Hukum Adat Larvul Ngabal Secara etimologinya, hukum Larvul Ngabal berasal dari dua suku kata, yakni larvul yang berarti “darah merah” dan ngabal yang berarti “tombak bali”. Menurut tradisi lisan, darah dimaksudkan adalah “darah kerbau” dan tombak merupakan simbolisasi dari penerimaan hukum adat. Isi hukum Larvul Ngabal bahasanya lebih banyak bersifat simbolisasi dalam diri manusia sehingga harus dikuasai secara utuh makna symbol-simbol yang terdapat di dalamnya. Secara umum, hukum Larvul Ngabal menyatakan penolakan terhadap kekacauan, sosial dan kesewenang-wenangan kekuasaan. Hukum Larvul Ngabal mempunyai kewibawaan yang tinggi dan dipakai untuk menuntut setiap orang yang melanggarnya. Sebagai orang yang 22
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
dipercaya untuk memangku dan melaksanakan peradilan terhadap setiap pelanggaran yang terdapat di dalam hukum Larvul Ngabal dilimpahkan kekuasaannya kepada pemangku adat. Pemangku adat terdiri dari raja-raja yang ada di seluruh Kepulauan Kei, dan hingga kini pemangku adat tersebut telah dilembagakan yang berkewajiban melaksanakan sidang adat. Pasal-pasal dalam Hukum adat Larvul Ngabal seperti dikutip dari Renyaan (1974:118) antara lain: A. Uud entav atvunad yang berarti kepala bertumpu di tengkuk. 1. Yang berkuasa hendaknya berada di atas 2. Yang atasan wajib melindungi yang bawahan 3. Yang atasan wajib dijunjung, dihormati, dan ditaati B. Lelad ain fo mahiling yang berarti hidup dan kehidupan bersifat agung. 1. Seseorang wajib mempertahankan hidupnya 2. Senantiasa berusaha untuk perbaikan hidup bersama 3. Jangan berusaha untuk merugikan orang lain C. Ul nit envil atumud yang berarti kulit membungkus badan. 1. Jangan memfitnah/membusukan nama orang lain 2. Jangan menyiarkan kesalahan orang, jika tak perlu 3. Jangan menghina sesama manusia D. Lar nakmot ivud yang berarti darah tersimpan dalam perut. 1. Jangan tumpahkan darah sendiri sewenang-wenang 2. Jangan tumpahkan darah sesama manusia sewenangwenang
3. Jangan membunuh sesama/diri sendiri E. Rek fo mahiling yang berarti tanda perbatasan tetap agung. 1. Mengenai batas-batas hukum adat 2. Mengenai sekatan dalam rumah tangga 3. Mengenai pembayarantanah/pekarangan F. Moryain fo kelmutun yang berarti rumah tangga dimurnikan. 1. Tata tertib rumah tangga wajib ditaati 2. Rumah tangga orang lain wajib dihormati 3. Jangan memperkosa G. Hira ni fo ini, it did fo it did yang berarti milik orang tetap miliknya, dan milik kita tetap milik kita. 1. Jangan mencuri milik orang lain 2. Jangan merampas milik orang secara nyata 3. Jangan merampas dengan cara tipu daya/rahasia/jalan gaib terhadap hak milik orang lain yang sah. Hukum Larvul Ngabal dilaksanakan secara turun-temurun dengan menggunakan bahasa Kei, namun bahasa yang dipakai dalam pembicaraan adat ialah bahasa Kei yang halus, menggunakan misil masal (perumpamaan, pantun, atau syair). Bahasa Kei merupakan salah satu bahasa daerah di Maluku, yang sering disebut juga Veve Evav. Secara etimologi kata Evav terdiri dari dua kata, yaitu E dan Vav. E artinya tanah, dan vav artinya di bawah, di sana, selatan. Secara harafiah kata Evav mengandung makna tanah di bawah, atau tanah selatan. Hal ini sesuai pula dengan letak kepulauan Evav dilihat dari letak geografis dan arah mata angin terletak di bawah angin atau di bagian 23
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
selatan. Disebut bahasa Evav, karena penuturnya atau pemakai bahasanya mendiami kepulauan Evav (Kepulauan Kei). Sesudah masuknya bangsa Portugis, nama kepulauan Evav terkenal dengan nama Kai atau Kei. Hal ini disebabkan karena sewaktu bangsa Portugis singga di kepulauan tersebut, mereka mengajukan pertanyaan kepada penduduk asli yang dijawab dengan kata “betkai”. Atas dasar jawaban terhadap pertanyaan tersebut akhirnya kepulauan tersebut diberi nama kepulauan Kai. Kata Kai kemudian mengalami perubahan fonem /a/ menjadi fonem /e/, sehingga dikenal sekarang dengan nama kepulauan Kei (Kasihiuw, 1982). Dengan demikian, bahasa Evav berubah namanya menjadi bahasa Kei. Hukum Hanilit Seperti sudah dikatakan di atas, hukum Hanilit adalah bagian dari Larvul Ngabal yang mengatur bidang kesusilaan atau moral. Sasa Sor Fit hukum Hanilit menetapkan perilakuperilaku yang dilarang secara kongkrit karena melanggar moral Hanilit. Dapat dikatakan bahwa inti dan pusat moral Hanilit terletak pada kedudukan perempuan yang suci, agung dan luhur, sehingga batas-batas pergaulan, kamar dan tempat tidur (yang melambangkan status perempuan) harus dihormati. Pada bagian ini akan diuraikan tentang aturan-aturan perkawinan sebagai konsekuensi dari hukum Hanilit dan Sas Sor Fit-nya yang meluhurkan kaum perempuan. Untuk itu kita harus berangkat dari pengaturan perkawinan menurut adat Kei oleh kekerabatan yang disebut yanur-mangohoi.
Tradisi Yanur dan Mangohoi Perkawinan memang terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Tetapi menurut adat Kei, pengaturan perkawinan itu melibatkan segenap pihak keluarga laki-laki dan perempuan yang akan menikah. Pihak laki-laki yang menerima wanita disebut yanur, sedangkan pihak perempuan pemberi wanita disebut mangohoi. Kata mangohoi tediri dari dua kata yaitu mang artinya orang, dan ohoi berarti kampung. Kadang-kadang disebut juga mang erdok ohoi, artinya orang yang tinggal tetap di kampung. Maksudnya ialah pihak perempuan yang dalam urusan perkawinan tinggal saja dalam rumah dan didatangi oleh pihak laki-laki. Mangohoi tidak bisa pergi meninggalkan rahanyam-nya untuk mencari lelaki. Kata yanur merupakan kependekan dari dua kata yanan yang berarti anak, dan uran yang berarti saudara. Hal ini mengandung makna bahwa dalam perkawinan seorang perempuan beserta masuk dan menjadi “anak” dan “saudara” dalam keluarga suaminya (pihak laki-laki). Itu berarti pihak laki-laki mendapatkan si perempuan yang diperoleh setelah mereka berjalan dan mencari, sehingga dalam perkawinan pihak lakilaki diberi nama yanur. Kadang-kadang dipakai juga istilah vat yanut, berarti karena perkawinannya si perempuan menjadi anak dan saudara dalam rahanyam pihak suaminya. Istilah yanur dan mangohoi tidak dikenakan pada keluarga dalam arti sempit (orang tua dari laki-laki dan perempuan yang kawin), melainkan pada marga atau yang lebih tepat pada rahanyam (rahan yaman) yaitu kesatuan orangorang semata rumah yang berasal dari satu bapa. Dewasa ini kata rahanyam bisa dipakai baik untuk satu rahan yang identik dengan marga (misalnya rahan Rettob) 24
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
maupun untuk satu riin atau ub (misalnya riin Rettoyaan, Rettob, atau Rettobwarin). Setiap perkawinan antara dua orang Kei melibatkan yanur dan mangohoi. Perkawinan Kei tidak pernah menjadi urusan pribadi, melainkan merupakan urusan bersama melalui lembaga yanur-mangohoi. Setiap perkawinan pun menjadi penyebab sehingga pihak yanur dan mangohoi bersahabat dan bersaudara dalam satu persekutuan . Persaudaraan itu tidak terbatas pada urusan perkawinan belaka, melainkan berlangsung terus secara turun temurun. Secara istimewa persekutuan yanur mangohoi tampak pula pada peristiwa kematian, yaitu pihak mangohoi berperan penting dalam duka cita dengan memberikan buut barit (kelengkapan pemakaman dan bahan berupa sandang pangan). Dengan demikian jelas bahwa adat Kei telah memberikan peranan dan ikatan sosial yang amat luas dan mendalam kepada suatu perkawinan. Proses Perkawinan Menurut Adat Kei Perkawinan yang berlangsung secara terhormat dalam adat Kei disebut dengan istilah yang berbeda-beda: (a) dudung ngail (meminta/memohon secara terhormat); (b) hab sol vel taan (meminang secara hormat dengan menyandang tempat tuak/arak dan talam yang berisi harta); (c) Lenan reet fid (meminang secara terhormat dengan masuk melalui tangga dan pintu rumah). Prosesi perkawinan terhormat itu berlangsung sebagai berikut: 1. Hab sol vel taan/lenan reet fid/dudung ngait: meminang Pihak laki-laki menyampaikan berita kepada orang tua pihak perempuan tentang kedatangannya. Pada hari
yang ditentukan, pihak laki-laki datang dan dipersilahkan masuk, lalu duduk di atas tikar yang dihamparkan di lantai. Setelah berbasa-basi sejenak, pihak tuan rumah memberikan gelas atau tempurung dan bersama-sama minum tuak arak yang dibawa oleh pihak lakilaki dalam sol “tempat minuman”. Selanjutnya taan “tempayan” yang berisi harta disodorkan sambil menyatakan maksud kedatangan, menggunakan bahasa adat yang disebut baut atnanii/ungelngel/snehat atau perkataan yang memakai misil masal atau perumpamaan. Pihak perempuan biasanya membalas juga dengan cara dan bahasa yang sama. Kadangkadang pinangan tidak langsung diterima, dan pertemuan tersebut ditunda dua atau tiga hari. Jika pinangan diterima oleh pihak perempuan, maka (sesudah persiapan beberapa waktu) diadakan lagi pertemuan yang disebut Sawe Kot. 2. Sawe Kot Sawe Kot adalah perternuan penyerahan harta adat pertunangan. Harta diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk menyatakan bahwa si gadis sudah menjadi calon suami si laki-laki, karena itu padanya ditaruh tanda larangan. Harta kawin pertunangan ini biasanya disebut juga waut/walut atau atau rov havung. Sejak harta pertunangan diserahkan, pihak perempuan disebut mangohoi dan pihak laki-laki disebut yanur. Pada waktu naun enkik (waktu yang ditetapkan), maka yanur datang ke tempat mangohoi. Setelah berbasi-basi, makan sirih pinang, isap rokok, minum tuak/arak, mangohoi menanyakan maksud kedatangan yanur. Lantas berlangsung acara-acara berikut:
25 Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
(a) Sob Duad tlurut nit fo hoar tovlai. Mangohoi memberikan dua piring kosong, lalu yanur mengisinya dengan uang atau emas. Satu piring diserahkan kepada mangohoi utin (bapak/saudara dari ibu si gadis), sedangkan piring yang satu diserahkan kepada tetua pihak mangohoi. Sambil mengangkat piringpiring tersebut, para penerima berdoa (antoar taroman) mohon berkat Tuhan dan restu para arwah leluhur untuk perkawinan tersebut. (b) voryaf. Pihak yanur minta untuk diberikan piring, selanjutnya yanur mengisinya dengan emas/uang seperlunya. Piring tersebut ditutup dan diberikan kepada orang tertentu dari mangohoi yang dianggap layak menerimanya sebagai “sirih pinang”. (c) Mas mol sian. Menurut adat Kei, apabila sudara laki-laki dari satu keluarga merantau, maka saudarisaudarinya tetap di rumah dan menjaga perilakunya agar tidak mendatangkan malapetaka bagi yang dirantau. Saudari-saudari itu disebut vat molmol karena hir batang mol atau hir dok mol. Jika ada yang kawin maka tempat mereka menjadi kosong. Untuk itu pihak yanur harus memberikan sebuah emas untuk mengisi kekosongan itu agar mereka yang merantau tidak mendapatkan mol mav nitan. Mas tersebut disebut mas mol sian. (d) Lambang dari Hawear Balwirin ialah daun kelapa muda yang dianyamkan degan bentuk tertentu dan diikat pada kayu yang dipancangkan pada tanah yang menandakan bidang tanah tersebut tak boleh dipakai karena ada pemiliknya. Pada si gadis pun harus dikenakan Hawear Balwirin. Untuk itu yanur memberikan sebuah sad-sad (meriam) sebagai lambang kayu hawear dan sebuah gong yang melambangkan dedaunan hawear. (e) Perkawinan dibayangkan oleh moyang Kei laksana
membuka kebun baru. Menurut tradisi sebelum kebun baru dibuka maka seekor binatang (babi, kambing, atau yang lainnya) dipotong dan dan kemudian mituduan berdoa mengusir malapetaka sekitar kebun baru itu. Untuk itu, mangohoi memberikan sebuah kain sebagai lambang daun pengalas tanah kebun baru, dan yanur memberikan satu emas yang disebut mas vaav ratan. (f) Sistem perkawinan Kei mewajibkan bahwa si gadis meninggalkan nama keluarganya dan menerima nama keluarga (marga) suaminya. Adat Kei mewajibkan pihak yanur untuk memberikan lagi sebuah emas kepada mangohoi. Emas itu disebut Mas Famem yang berfungsi sebagai pengikat wanita kepada lelaki. Mas Famem dari yanur dibalas oleh mangohoi dengan sebuah kain untuk mengikat si pria kepada anak gadis mereka. Dengan emas dan kain tersebut, pria dan wanita tersebut resmi bertunangan secara adat. (g) Seluruh upacara harta pertunangan adat itu dipuncaki dengan Mas Eak Ye yang diberikan oleh yanur dan kain yang diberikan oleh mangohoi. Emas dan kain ini berfungsi sebagai pengikat dan peneguh pertunangan (sama fungsinya dengan cincin pertunangan zaman sekarang). Pria dan wanita yang bertunangan biasanya dipersilahkan duduk di tengah ruang pertemuan, dilingkari dengan kain pemberian mangohoi, selanjutnya seseorang yang dituakan mengangkat mas eak ye sambil entoar taroman (berdoa merestui dan memberkati pertunangan tersebut). Sesudah itu pihak mangohoi erfaan fniluk (memberi makan) pihak yanur. Sebelum makan menuut tata adat, yanur membuka tutup piring makan dengan uang/mas seperlunya saja dan diberikan kepada wanita26
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
wanita mangohoi yang menyediakan makanan. Menurut kebiasaan hari pemikahan dan pembicaraan harta kawin adat ditentukan bersama pada akhir sawe kot tersebut. 3. Sawe Laai : Pembahasan harta kawin adat secara besarbesaran Tempat pertemuan diptersiapkan oleh mangohoi, undangan oleh pihak yanur. Biasanya kalau pada pertemuan ini ada tokoh atau muka baru yang belum muncul pada sawe kot dari pihak mangohoi, maka voryaf perlu diadakan baginya. Sambutan bagi yanur pada proses ini biasanya ramai. Selanjutnya, harta kawin adat yang akan diserahkan oleh yanur berikut ini; a) Ngabaan tenan: sebuah lela sebagai simbol dari kayu pengalas pagar kebun ditanam dengan uang seperlunya; melambangkan pagar yang melindungi si perempuan. Sekaligus juga merupakan lambang penokong dan pendayung perahu yang disebut leat vehe dan tuat wad. b) Mas Aye (ikat kaki) terdiri dari satu gelang emas. Penyerahan emas ini dibalas oleh pihak mangohoi dengan satu kain. c) Mas vov aroan vahan (air obat). Menurut kebiasaan Kei, ibu yang melahirkan, wajib berdiam di rumahnya selama 40 hari dan diberikan minuman atau ramuan obat pahit. Emas ini diberikan untuk membalas jasa ibu tersebut yang telah melahirkannya. d) Mas tod yau. Emas ini diberikan hanya kalau si gadis yang hendak menikah sekarang dibesarkan atau dipelihara bukan oleh orang tuanya melainkan oleh tante, neneknya atau keluarga yang lain. e) Mas dir talik: Karena si gadis akan meninggalkan ibunya, maka yanur
memberikan jenis emas ini untuk menggantikannya. Emas ini sering pula disebut disebut mas tub luv. f) Mas sidsidak: Emas ini berarti si gadis dicabut dari keluarga mangohoi. kadang-kadang sampai berarti putus hubungan sama sekali. Karena itu di banyak tempat, emas ini tidak diberikan lagi. Jika emas ini diberikan oleh yanur, berarti mangohoi wajib melengkapi semua perbekalan si gadis, bahkan termasuk memberikan seorang hamba sebagai pelayan: uun entut ne yean ensel, iri enva luv. Bersamaan dengan itu, kalau mangohoi memberikan seorang hamba, maka yanur menambahkan satu emas yang disebut mas va luv. g) Ada lagi tiga emas yang biasanya diberikan: (1) mas ra lulin: emas diterima oleh orang yang karena kedudukannya dalam keluarga merasa tersinggung dengan persoalan perkawinan yang sedang diatur. (2) mas tufu baing: emas ini diminta oleh mangohoi karena kedudukannya yang agak tinggi dalam masyarakat. (3) mas haruk ded, wada sasos reet tatai: emas ini diminta kalau antara yanur dan mangohoi yang bersangkutan belum pernah terjadi perkawinan sebelumnya. h) Mulin wanan: Mulin berarti pemali; wanan ialah buluh atau bambu tempat menjalin daun rumbia menjadi atap. Harta ini terdiri dari satu lela dan uang seperlunya sebagai ikatan persatuan dan perkenalan kepada bapak/saudara dari ibu si gadis, harta ini dibalas dengan memberikan makanan. i) Mas wear sus vahan: terdiri dari satu gelang emas dan uang seperlunya. Dibalas oleh kakek/nenek dari si gadis dengan sandang dan pangan 27
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
j) Kalau si wanita kawin keluar desanya, maka yanur harus memberikan satu lela dengan leat vehe-nya kepada seluruh masyarakat desa si gadis. Harta ini melambangkan bahwa dengan perkawinan itu, maka tembok desa si gadis runtuh. Karena harta ini disebut lutur vraha (tembok, susunan batu runtuh). Biasanya yang memakan waktu dalam pembahasan harta kawin adat ialah karena mengohoi engail ni tuat wad, teang tam (mendesak untuk mendapatkan sesuatu), sedangkan yanur enfuk ni naan fniluk (memohon, mengharapkan sandang pangan). Bahasa yang dipakai dalam pembicaraan adat ialah bahasa adat yang halus, menggunakan misil masal. Seluruh harta kawin itu sering disebut Vat vilin. 4. Penjemputan Pengantin Wanita Pengantin wanita ditempatkan di dalam kamar orang tuanya, berselimutkan kain sarung dan duduk di atas pangkuan salah seorang tantenya. Di depan pintu masuk rumah atau pintu kamar sering dilintasi atau dihalangi dengan kain sarung sebagai lambang hambatan yang perlu dilewati. Pihak yanur beramai-ramai datang ke rumah mangohoi dan harus melakukan hal-hal sebagai berikut: (a) Memberikan emas untuk membuka kain sarung yang melintasi pintu rnasuk (b) Mas velvel: emas ini diberikan kepada tante/bibi yang memangku si pengantin wanita sebagai permohonan izin agar pengantin wanita direlakan berangkat. Pengantin berdiri selanjutnya sebuah emas diberikan lagi untuk mengambil kain pengalas yang diduduki si pengantin.
(c) Mas vavav: emas yang diberikan kepada paman atau saudara pengantin yang mendukungnya sampai ke rumah pengantin pria (d) Mas uvuv: salah seorang saudara pengantin pria membuka kain selubung pengantin wanita dengan memberikan satu emas. Pengantin wanita dipersilahkan masuk duduk. Biasanya seorang wanita tua dari yanur membuat lagi acara penyambutan. (e) Mas batuang: yanur memberikan lagi emas kepada orang-orang mangohoi yang ikut mengantar si pengantin. Setelah pengantin tiba di rumah, lazimnya saudari-saudiri perempuan dari pengantin laki-laki datang menemui ipar mereka dengan piring-piring yang berisi uang atau emas sebagai voryaf. Pada malamnya, orang-orang tua biasanya mengadakan tiva tet/tiva ngelngel selama tiga malam sebagai ungkapan kegembiraan. Manuu Marai Manuu (nafnuu, naftuu) berarti kawin lari, pemuda melarikan pemudi yang hendak diperisterinya. Jenis perkawinan ini pada dasarnya merupakan suatu penyimpangan yang alasannya bisa bermacam-macam. Misalnya, orang tua tidak setuju, perkawinan mau dipercepat, dan seterusnya. Marai selengkapnya rai umat hoar/wat ite, artinya seorang pria kawin dengan isteri orang lain. Jenis perkawinan ini pun merupakan satu penyimpangan yang lebih berat. Oleh karena itu, adat Kei menyediakan jalan penyelesaiannya: 1. Manuu Vat vilin seperti telah diuraikan di atas disesuaikan dengan kasus ini (umumnya dimintakan: mas ra lulin, 28
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
mas aye famen, mas sidsidak, mas dir talik, ngaban tenan). Perlu ditambahkan beberapa penjelasan sebagai berikut: (a) Mas malaan atau mas luang: emas ini diberikan kepada orang-orang yang mencari pemudi yang dibawah lari. (b) Luan tubre: satu lela diberikan untuk mengantarkan pihak yanur kepada mangohoi untuk menyelesaikan urusan perkawinan tersebut. (c) Mas mol sian: emas yang harus disediakan pihak laki-laki karena cara perkawinan ini dianggap melawan aturan perkawinan sehingga harus didenda. (d) Beberapa tempat (tidak berlaku umum), biasanya yanur memberikan lagi lela dengan tuat wad-nya yang perlu dibalas dengan sandang dan pangan. Ada lagi kebiasaan yang bersifat relatif, yaitu; taha rau habo u, it vaha inantufu laar flear, ryaf, fadad fid tav, dan sebagainya. 2. Marai Marai adalah jenis perkawinan yang terjadi jika salah satu dari suami atau istri berkhianat dan meninggalkan suami/istri dan anak-anaknya dengan tujuan untuk menikah lagi dengan orang lain. Jenis perkawinan ini jarang terjadi, tetapi kalau itu terjadi maka biasanya disertai perselisihan antara pihak lakilaki dan perempuan. Penyelesaian kasus perkawinan ini secara adat yang dilakukan oleh pemangku adat. Pihak laki-laki harus memberikan harta yang disebut hutan kepada pihak wanita (suami si wanita dari perkawinan pertama): (a) Membayar kembali semua vat vilin (harta pernikahan suami pertama) yang pernah diberikan oleh yanur kepada pihak keluarga si wanita (mangohoi) dari perkawinan
pertama. (b) Mas hoan: pengganti isteri yang dibawah lari (c) Mas sus vahan: pengganti air susu bagi anak-anak yang ditinggalkan (d) Pihak wanita juga dikenai denda pelanggaran kemurnian rumah tangga. Besarnya denda ditentukan oleh pemangku adat pada siding adat. Jika seorang laki-laki yang telah beristri membawa lari seorang gadis, maka sangsinya ditetapkan oleh siding adat, untuk menentukan sangsinya baik untuk laki-laki maupun permpuan. Selain itu, yang wajib dibayar oleh perempuan adalah membayar denda kepada istri laki-laki tersebut, sedangkan laki-laki membayar denda kepada pihak keluarga perempuan (gadis) dan istrinya yang pertama, serta pihak mangohoi dari perkawinan pertamanya. Marvuan Fo Ivun: Menghamilkan di luar nikah Jika seorang pemuda menghamilkan seorang pemudi di luar nikah, maka penyelesaiannya ditetapkan sebagai berikut: (a) Jika pemuda mengaku bersalah dan hendak mengawini perempuan itu, maka umumnya vat vilin biasa saja yang dituntut sesuai dengan ketentuan adat Hanilit. Karena perkawinan ini terjadi menurut cara yang tak terhormat, maka di berapa tempat biasanya sidang adat menetapkan denda tertentu. Misalnya mas mol sian juga dituntut. (b) Jika pemuda mengaku bersalah tetapi tidak ingin menikahi wanita yang dihamilkan itu, maka sangsinya: (1) mas yaman hoan (emas untuk keluarga dan saudara) (2) hawear balwirin (sad-sad) adanya peradilan untuk kepentingan soaial 29
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
bagi wanita, keluarga, dan masyarakat (3) Emas atau uang yang akan diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai keputusan siding adat. (c) Jika pemuda menyangkal dan dibenarkan sangkalan itu pada saat siding adat, maka si gadis yang harus membayar mas tiga tahil sebagai pemulihan nama baik si pemuda, dilengkapi dengan uang dan pakaian seperlunya, ditentukan oleh sidang adat. (d) jika yang menghamilkan ialah seorang lelaki yang sudah beristeri, maka denda adat tersebut di atas digandakan. Perkawinan Saudara Perkembangan masyarakat khususnya penduduk keturunan suku Kei dewasa ini telah terjadi perkawinan saudara yang bertentangan dengan tatanan kehidupan masyarakat adat, seperti diatur dalam hukum Larvul Ngabal, khususnya hukum Hanilit. Perkawinan saudara yang dimaksudkan disini bukanlah perkawinan antara saudara kandung (satu bapak dan satu ibu) dari seorang laki-laki dan perempuan, melainkan perkawinan antara anak dari keturunan dua orang tua yang bersaudara kandung. Lebih tepat lagi perkawinan antara dua orang bersaudara sepupu. Misalnya, seorang anak-laki akan dinikahkan dengan anak perempuan dari paman atau tante/bibinya. Rencana perkawinan semacam ini lebih terencana, yakni anak lakilaki dan perempuan tersebut dijodohkan sejak kecil dengan tujuan untuk meneruskan keturunan atau mempertahankan rin atau marganya. Dijodohkan dalam rencana
perkawinan ini dengan sendirinya telah melemahkan hukum Hanilit yang mengatur tentang Perkawinan yang berlangsung secara terhormat dalam adat Kei seperti; (a) dudung ngail (meminta/memohon secara terhormat); (b) hab sol vel taan ( meminang secara hormat dengan menyandang tempat tuak/arak dan talam yang berisi harta); dan (c) Lenan reet fid (meminang secara terhormat). Selain itu dengan adanya perkawinan dalam suatu keturunan yang masih dekat tersebut, maka yang dikedepankan adalah faktor pertimbangan kemampuan keluarga antara kedua belah pihak sehingga ketentuan-ketentuan sawe kot dan sawe laai dalam hukum hanilit terkesan diabaikan. Semua syarat yang dianggap mengikat yang dimulai dari proses meminang seperti dikemukakan pada kajian teori di atas dengan sendirinya dikesampingkan. Kondisi ini tentu menciptakan konflik budaya yang perlu dicari solusi pemecahannya oleh pemangku adat setempat dengan mempertimbangkan alasan yang lebih rasional dan tegas dalam menyikapi kondisi ini. Pada satu sisi, sebagai pewaris kebudayaan patut menjunjung “taat asas” terhadap hukum hanilit sebagai peninggalan leluhur, namun disisi lain juga dipertimbangkan alasan riin/faam dalam keberlanjutannya. Perkawinan antar pela Pela adalah suatu kebudayaan sosial kemasyarakatan yang dilestarikan oleh sejak leluhur yang hanya dikenal oleh masyarakat di Maluku. Pela dilakukan dalam wujud pengakuan antara daerah (pulau/desa) yang satu dengan yang lainnya sebagai keluarga. Walaupun berbeda keturunan, dengan budaya pela dapat mengikat antara yang satu dengan yang lain. 30
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
Di kepulauan Kei kabupaten Maluku Tenggara misalnya menjalin pela dengan kepulauan Geser, Gorom, Kur, dan Mangur yang hingga kini masing-masing adalah kecamatan tersendiri, bahkan khusus kepulauan Gorom dan Geser (merupakan suku tersendiri) kini menjadi Kabupaten tersendiri yaitu kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Dengan kekeluargaan yang dibangun melalui pela tersebut, hukum hanilit mengalami hambatan dalam penerapannya apalagi telah dibatasi oleh ruang daerah administratif tersendiri. kabupaten SBT memiliki tradisi atau budaya tersendiri dalam mengatur perencanaan suatu perkawinan, sedangkan hukum hanilit hanya berlaku di kepulauan Kei. Bila terjadi perkawinan antara kedua suku tersebut, maka tidak mungkin hukum hanilit diberlakukan begitu pula sebaliknya. Beberapa proses pernikahan antar pela telah menunjukan bahwa jika jerjadi perkawinan antar desa yang menjalin hubungan kekerabatan pela sering tidak memberlakukan hukum hanilit secara baik. Hal ini disebabkan karena pertimbangan kekerabatan sehingga pihak wanita atau mengohoi tidak engail ni tuat wad, teang tam (mendesak untuk mendapatkan sesuatu), mulin wanan, vat vilin (harta untuk pihak wanita), dan sebagainya tidak dijalankan dengan baik sesuai ketentuan hukum hanilit. Hal ini juga terjadi pada pihak laki-laki yanur yang tidak juga mengharapkan untuk mendapatkan enfuk ni naan fniluk (memohon, mengharapkan sandang pangan). Bahasa yang dipakai dalam pembicaraan adat juga bukan lagi bahasa adat Kei halus dengan menggunakan misil masal.
Suatu pernikahan yang terjadi jika pihak wanita dari suku Kei, maka sebagian dari ketentuan adat juga dilakukan, hanya tidak ditegaskan ketentuan mana yang wajib diberlakukan. Selain itu vat vilin selalu dalam bentuk uang atau emas dan tidak atau jarang ditemukan lagi benda adat seperti mas dan sadsad. Kondisi yang telah diuraikan tersebut perlu mendapatkan perhatian dari pemangku adat untuk segera mendapatkan solusi pemecahanya. Perkawinan antara strata sosial; mel (strata tinggi), ren (strata menengah), dan iri (strata bawah) Secara singkat dapat dijelaskan bahwa, masyarakat di kepulauan Kei berdasarkan silsilah keturunannya terdiri atas beberapa strata sosial, yakni mel (strata tinggi), ren (strata menengah), dan iri (stara bawah). Strata mel merupakan strata paling tinggi untuk keturunan raja dan pemuka agama atau ulama. Strata ren untuk golongan menengah seperti para pegawai, guru, dan pemangkupemangku adat. Sedangkan iri untuk menyebut kelompok atau golongan yang bawah seperti pesuruh atau pekerja kasar. Sehubungan dengan hukum hanilit, maka jika terjadi penikahan antar stata, maka sulit ditegakkan hukum tersebut. Hal ini karena pihak iri (bila dari calon laki-laki) maka dengan sendirinya ia beserta keluarganya tidak mampu untuk melaksanakan niat pernikahan karena konsekuensi perkawinan dengan aturan yang mengikat, serta tidak didukung oleh faktor ekonomi. Tidak ada aturan mendasar yang mengatur tentang dispensasi yang diberikan kepada kaum yang lemah inilah yang menjadi konflik 31
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
pembudayaan hukum hanilit. Selain itu dalam hukum dasar Larvul Ngabal juga tidak diatur tentang apakah diperbolehkan atau melarang perkawinan antara strata sosial yang ada tersebut. Sehubungan dengan itu maka jika terjadi peristiwa perkawinan antar strata sosial, maka hukum hanilit tidak dapat diberlakukan, dan solusi penyelesaian selalu dilakukan di luar ketentuan hukum hanilit, seperti kawin secara diam-diam atau di luar wilayah Kepulauan Kei. Dengan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta meraknya penyiaran dan pemahaman agama, khususnya kesamaan harkat dan martabat manusia, maka fenomena yang terjadi dewasa ini bahwa sebagian penduduk di Kepulauan Kei sudah tidak lagi memandang latar belakang strata sosial sebagai acuan atau bentuk pandangan dasar dalam suatu perkawinan. Hal ini berdampak pada keberadaan dan pemberlakuan hukum hanilit di masa yang akan datang. Pertentangan budaya hukum hanilit dengan agama Setiap agama mengajarkan tentang nilai-nilai luhur tentang kamanusiaan sebagai makhluk yang mulia dan sama derajatnya disisi Tuhan. Selain itu setiap agamapun mengajarkan agar manusia terus hidup berkelompok (keluarga), berkembang biak, dan saling kenal-mengenal. Masalah perkawinan juga menjadi perhatian khusus bagi setiap agama sesuai dengan ajaran kitab sucinya. Ajaran agama melarang meminum-minuman keras sementara dalam hukum hanilik ada ketentuan atau ritual yang dilewati tuat-arak yaitu meminum minuman keras, terutama yang berhubungan dengan Hab sol vel
taan/lenan reet fid/dudung ngait: meminang dan sawe kot. Dalam hab sol vel taan/ lenan reet fid/ dudung ngait: proses meminang setelah berbasa-basi sejenak, pihak tuan rumah memberikan gelas atau tempurung dan bersamasama minum tuak arak yang dibawa oleh pihak laki-laki. Sedangkan dalam sawe kot, pada waktu naun enkik (waktu yang ditetapkan untuk mengantarkan harta perkawinan), maka yanur datang ke tempat mangohoi. Setelah berbasi-basi, makan sirih pinang, isap rokok, minum tuak/arak, mangohoi menanyakan maksud kedatangan yanur. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama yang melarang penganutnya untuk meminum minuman keras (khamar) karena merupakan salah satu perbuatan dosa. Kalau kita memahami penjelasan sebelumnya, maka dapat dipahami banyaknya harta yang harus disiapkan oleh seorang yanur saat ingin menikah, baik yang berhubungan banyaknya jenis mas, sad-sad (meriam), sandang, dan papan. Dengan demikian, maka jika hukum hanilit ini ditegakan dengan benar, maka dengan sendirinya akan terjadi klasifikasi antara manusia yang satu dengan yang lain, kaya dengan miskin, strata tinggi dan rendah, dan sebagainya. Dengan memahami penjelasan tersebut, maka jelas terjadi konflik antara agama dengan budaya, khususnya hukum hanilit yang diagungkan tersebut. Pertentangan budaya hukum hanilit dengan bidang ekonomi Setelah kita memahami syarat yang harus dijalankan sesuai hukum hanilit, mulai dari hab sol vel taan/lenan reet fid/ dudung ngait: meminang, sawe kot, sawe laai, sampai penjemputan perempuan dari yanur ke mangohoi, maka sudah barang tentu memerlukan 32
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
banyak harta yang disiapkan untuk suatu pernikahan oleh kedua belah pihak, terutama pihak laki-laki. Memahami hal tersebut, maka ditinjau dari sisi ekonomi dengan berbagai dimensi dan latar belakang kehidupan ekonomi dewasa ini yang semakin sulit, hukum hanilit sangat sulit untuk diterapkan dan dibudayakan secara menyeluruh oleh masyarakat Kei. Hal ini disebabkan karena bila kita memahami letak geografis dan sumber daya alam yang tidak mendukung ekonomi masyarakat Kei terutama kaum petani dan nelayan, maka hukum tersebut terkesan sangat memberatkan. Bila hal ini terus dipertahankan maka akan menimbulkan pergeseran nilai hukum tersebut. Kajian pustaka pada bagian terdahulu mengisyaratkan bahwa hampir setiap kegiatan dalam rangkaian proses sebelum, saat, dan setelah pernikahan selalu digunakan emas dalam bentuk dan jenis yang telah ditentukan. Hal ini tentu sangat memberatkan pihak (terutama pihak laki-laki) bila dari kalangan ekonomi menengah dan bawah untuk melangsungklan pernikahan sesuai ketentuan hukum Hanilit. Patut diingat bahwa hukum hanilit sangat menyakralkan dan menjunjung harkat wanita, tanpa dispensasi atas keterbatasan ekonomi pihak lelaki. Modernisasi ekonomi dan teknologi modern berdampak pula terhadap pemberlakuan hukum hanilit. Banyak masyarakat lebih memilih untuk melakukan proses perkawinan dengan hal yang lebih praktis dan bernilai ekonomis. Misalnya, mas adat (baik bentuk dan jenisnya), sad-sad dan lain-lain diuangkan dengan alasan bahwa benda-benda tersebut kini tidak diproduksi lagi dan sudah menjadi benda langkah di masyarakat. Proses pernikahan juga
tidak mengikuti langkah-langkah dalam hukum hanilit yang dianggap membutuhkan perhatian khusus, terutama waktu, biaya, dan tenaga. Bagi calon pengantin pria maupun wanita yang telah bekerja (wirausaha, pegawai, polisi, TNI, dll.) tentu sangat berpengaruh dalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentu menjadi konflik budaya yang perlu dicari alternatif pemecahannya, karena hukum hanilit perlu dipertahankan sebagai warisan leluhur, pengembangan karier dan fungsi pelayanan publik juga merupakan bagian dari keajiban yang harus dilakukan. Hal ini belum dijabarkan secara konkrit dalam hukum hanilit. KESIMPULAN
Masyarakat suku Kei di provinsi Maluku memiliki tatanan kehidupan yang kokoh sejak dahulu kala. Sebagian diantara tatanan kehidupan tersebut termuat di dalam hukum Larvul Nangal yang dijadikan sebagai pedoman dalam bermasyarakat. Hukum Larvul Ngabal merupakan hukum dasar terdiri dari tujuh pasal utama dan di dalamnya terdapat tiga macam hukum, salah satu diantaranya adalah hukum hanilit yaitu hukum tentang kesusilaan yang berkaitan langsung dengan adat perkawinan yang kini sedang diperhadapkan dengan dua alternatif pilihan, pertama “menerima” dengan alasan sebagai warisan leluhur dengan berbagai pandangan dan kesan positif di dalamnya, alternatif kedua “menolak” dengan pandangan dan kesan negetif bahwa hukum tersebut diskriminatif dan bertentangan dengan kesamaan harkat dan martabat manusia. Sasa Sor Fit hukum Hanilit menetapkan perilaku-perilaku yang dilarang secara kongkrit karena melanggar moral Hanilit. Dapat 33
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
dikatakan bahwa inti dan pusat moral Hanilit terletak pada kedudukan perempuan yang suci, agung dan luhur, sehingga batas-batas pergaulan, kamar dan tempat tidur (yang melambangkan status perempuan) harus dihormati. Pengaturan perkawinan menurut kekerabatan adat Kei disebut yanurmangohoi. Pihak laki-laki yang menerima wanita disebut yanur, sedangkan pihak perempuan pemberi wanita disebut mangohoi. Perkawinan yang berlangsung secara terhormat dalam adat Kei disebut dengan istilah yang berbeda-beda: (a) dudung ngail (meminta/memohon secara terhormat); (b) hab sol vel taan (meminang secara hormat dengan menyandang tempat tuak/arak dan talam yang berisi harta); (c) Lenan reet fid (meminang secara terhormat dengan masuk melalui tangga dan pintu rumah). Prosesi perkawinan terhormat itu berlangsung dengan melewati tahapan; (1) hab sol vel taan/lenan reet fid/dudung ngait: meminang; (2) sawe kot: perternuan penyerahan harta adat pertunangan; (3) sawe laai: pembahasan harta kawin adat secara besar-besaran; (4) penjemputan pengantin wanita. Hukum Hanilit juga mengatur tentang (1) manuu (nafnuu, naftuu): berarti kawin lari; (2) Marai: jenis perkawinan yang terjadi jika salah satu dari suami atau istri berkhianat dan meninggalkan suami/istri dan anak-anaknya dengan tujuan untuk menikah lagi (3)
marvuan fo ivun: menghamilkan di luar nikah. Dewasa ini telah terjadi pergeseran nilai hukum adat Hanilit oleh masyarakat suku Kei yang pada akhirnya melemahkan keberadaan hukum tersebut, misalnya (1) perkawinan saudara (anak dijodohkan sejak kecil) dalam kenyataannya semua syarat yang dianggap mengikat
yang dimulai dari proses meminang sampai sawe laai dikesampingkan; (2) perkawinan antar pela: proses pernikahan antar pela telah menunjukan bahwa jika jerjadi perkawinan antar desa yang menjalin hubungan kekerabatan pela sering tidak memberlakukan hukum hanilit secara baik (3) perkawinan antara strata sosial; mel (strata tinggi), ren (strata menengah), dan iri (strata bawah). Jika terjadi penikahan antar stata, maka sulit ditegakkan hukum tersebut. Hal ini karena pihak iri (bila dari calon laki-laki) maka dengan sendirinya ia beserta keluarganya tidak mampu untuk melaksanakan niat pernikahan karena konsekuensi perkawinan dengan aturan yang mengikat, serta tidak didukung oleh faktor ekonomi. Hukum adat hanilit dalam pelaksanaannya perlu ditinjau kembali karena beberapa hal yang bertentangan dengan bidang agama, ekonomi, HAM, dan lain-lain. SUMBER RUJUKAN Felix Ma. 2007. Logat-logat Bahasa Kei. Makalah Kongres Internasional. Pusat Bahasa, Depdiknas, Pemerintah Provinsi Maluku: Ambon. Kasihiuw, J., dkk. 1982. Struktur Bahasa Kei. Jakarta: Pusat Bahasa Rahail, Johannes Paulus. 1995. Bat Batang Fidroa Fidnangan. Jakarta: Yayasan Sejati. Renyaan, Ph. 1974. 1200 Misil-Misal, Liat-Dalil, Ukat-Sarang Evav. Ambon: Yayasan Willibrodus. Rettob, Dzul Kifli. 2010. Morfologi Bahasa Kei. Tesis, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. (belum dipublikasikan). 34
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
Travis, Eddy. 1990. The Kei Language, a Proposed Ortography. Ambon: Unpatti-SIL.
35 Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12