BAB III POTRET MASYARAKAT KEI 3.1. Letak dan Batas Kepulauan Kei Gugusan Kepulauan Kei merupakan wilayah administratif Provinsi Maluku. Dalam terminologi adat, kepulauan ini disebut Nuhu Evav1 atau Tanat Evav (tanah air). Secara geografis, kepulauan Kei terletak diantar 50 – 60 Lintang Selatan 131° – 133,5° Bujur Timur, dengan batas wilayahnya adalah: sebelah Selatan dengan Laut Arafura, sebelah Utara dengan Irian Jaya (Papua) Bagian Selatan, sebelah Timur dengan Kepulauan Aru, dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Banda dan bagian Utara Kepulauan Tanimbar. Kepulauan ini terdiri dari beberapa pulau, diantaranya Kei Besar (Nuhu Yuut atau Nusteen), Kei Kecil (Nuhu Roa atau Nusyanat), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Kei Dulah (Du), Dulah Laut (Du Roa), Kuur, Taam, dan Tayandu (Tahayad). Selain itu, masih terdapat sejumlah pulau kecil yang tidak berpenghuni.2 Luas wilayah kepulauan Kei adalah kurang lebih 4.049 Km2, yang dibagi dalam dua bagian yakni, Kepulauan Kei Kecil dengan luas daratan 2.468 Km2, dan Kepulauan Kei Besar dengan luas daratan 1.581 Km2. Sedangkan luas lautan Kepulauan Kei diperkirakan 7,6 kali luas wilayah daratan. Secara topografi, pulau Kei Kecil dan pulau Dullah lebih datar, dengan ketinggian kurang lebih 100 meter diatas permukaan laut. Sedangkan pulau Kei Besar topografi lebih berbukit dan 1
Istilah Evav digunakan masyarakat Kei untuk menyebut diri, bahasa, dan tanah kelahiran mereka. Lihat Soleman Ubro, "Orang Evav & Atnebar Evav: Benteng Terakhir yang mulai Goyag" dalam Roem Topatimasang (Penyinting), "Orang-Orang Kalah" Insist Press, 2004: 190. Dengan demikian Evav adalah istilah yang lebih bermakna kultural dibanding Kei. 2 http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Kai#Sejarah. Diunduh 17 Desember 2010, dan Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara, 2006.
46
bergunung, membujur sepanjang pulau dengan ketinggian rata-rata 500-800 m dpl, dengan gunung Dab sebagai puncak tertingi. Dataran rendah merupakan jalur sempit yang hanya terdapat disepanjang pantai 3.2. Kearifan Masyarakat Kei 3.2.1. Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Kei Menurut sejarah lisan, masyarakat ini terdiri dari dua kelompok yakni “penduduk asli” yang dikategorikan sebagai ren-ren dan “pendatang” yang dikategorikan sebagai mel-mel3. Konsensus awal antara dua kelompok inilah yang kemudian
membentuk
kebudayaan
masyarakat
asli
Kei
yang
mencapai
perkembangan puncaknya kurang lebih pada abad ke-16 setelah kekerabatan Utan Lor sebagai kehidupan sosial budaya yang khas di Kei, tatanan pemerintahan tradisional, serta Hukum Adat Larvul Ngabal mencapi bentuk akhir. Hal yang unik pada zaman dahulu bahwa orang-orang yang datang di Kepulauan Kei diterima secara adat, dan dilakukan uji kemampuan (biasanya kesaktian-mistis) terhadapnya. Mereka yang berhasil dari ujian ini akan diberi wewenang peran adat untuk ikut memimpin kehidupan politik dan sosial-budaya dan melebur menjadi satuan tatanan masyarakat adat Kei. Dewasa ini dengan melemahnya kelembagaan adat, cara penerimaan adat seperti itu tidak lagi dilakukan. Secara kultural, satuan komunitas terkecl di Kei adalah Ub, beberapa Ub berkumpul membentuk Riin dan selanjutnya riin membentuk Rahan Yam atau marga4
3
Pengkatogorian seperti ini tidak berlaku lagi untuk para pendatang saat ini. Jadi katogori ren dan mel ini, menurut saya hanya berlaku atas yang memiliki hubungan garis keturunan dengan dua kelompok pertama yang membentuk masyarakat Kei itu. 4 Lihat Sutrisno dan Kutojo dan Soenjata Kartadarmadja (eds), Sejarah Daerah Maluku, Proyek Pengembangan Media Kebudayan, departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977: 25
47
yang pada akhirnya terbentuk Utan Lor. Dengan demikian jika konsep ini diterjemahkan dalam konsep umum antropologis, hasilnya adalah individu-individu bertemu membentuk keluarga (rumah tangga), dan marga atau rahan yam, kumpulan dari beberapa rahanyam inilah yang membentuk kesatuan masyarakat yang disebut Lor. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat lokal terhadap struktur wilayah komunitasnya tampak kuat mulai dari tingkat Rahanyam, Ohoi, sampai dengan Lor. Ohoi merupakan kesatuan komunitas yang terdiri dari beberapa rahanyam, selanjutnya beberapa ohoi membentuk Utan yang di dalamnya terdapat beberapa Woma5. Cotohnya, Ohoi Ohoiwait (yang merupakan wilayah penelitian ini), Ohoi Ohoirenan, Ohoi Nerong, Ohoi Larat, Ohoi Karkarit, Ohoi Daftel, Ohoi Lerohoilim, dan Ohoi Harangur, bersatu mebentuk Utan Lo Ohoi Tel. Dengan demikian dalam utan terdapat beberapa Ohoi, namun yang pasti setiap Ohoi ini memiliki satu Woma. Utan, merupakan kesatuan wilayah adat di bawah Hukum Larvul-Ngabal yang memiliki batas-batas jelas. Batas-batas yang dimaksud mencakup batas petuanan maupun wilayah adat yang membedakan dengan wilayah lainnya. Selain batas wilayah adat, setiap Ohoi memiliki batas-batasnya sendiri, dan terkadang batasbatas ohoi inilah yang sering menimbulkan konflik antar Ohoi. Kejelasan batas wilayah hanya bisa dimengerti oleh masyarakat setempat, khususnya masyarakat 5
Woma berasal dari kata woo = panggil, dan ma = datang, jadi woma adalah proses kedatangan dan penerimaan marga-marga yang disertai dengan pendelegasian fungsi dan tanggungjawab dalam sebuah tempat yang selanjutnya disebut uha (ohoi). Wawancara dengan Anton Notanubun, Hezkia Kudubun, Kanae El Rahaningmas, dan Welhelmus Kudubun, di Ohoiwait 21 Februari 2011.
48
yang berbatasan langsung. Biasanya masyarakat setempat menggunakan benda-benda alam (misalnya batu atau pohon besar) untuk memberi tanda batas wilayah mereka dengan tetangganya. Pemberian tanda batas dilakukan melalui konvensi adat dan tidak pernah dipetakan. Oleh karena itu, sejak dahulu hingga sekarang tidak ditemukan adanya peta batas wilayah petuanan masyaakat Kei. Sedangkan Lor secara etimologis berarti kumpulan orang banyak atau sekumpulan orang yang mendiami wilayah/Utan atau kesatuan masyarakat adat berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial. Dapat juga dikatakan sebagai institusi banding tingkat terakhir dalam penyelesaian setiap masalah sosial suatu wilayah kesatuan adat. Dalam masyarakat Kei, Lor dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni: Lor Lim, Lor Siw-Ur Siw, dan Lor Labay. Kelompok terakhir ini biasanya mengambil posisi non blok yang tidak memihak pada "kepentinga" lor lim dan ur siw. Mereka lebih memilih untuk netral atau penengah untuk menyelesaikan konflik antara lor lim dan ur siw, maupun konflik dalam masing-masing lor tersebut. Penyebutan Lor mulai tidak digunakan sejak masuknya pemerintahan kolonial Belanda. Lor diganti dengan istilah Ratschap, menurut penuturan beberapa sumber, sejak itu orang lebih terbiasa menyebut ratschap dibanding lor. Selain itu, diduga bahwa sejak kedatangan kolonial Belanda “pamor” kelompok Lor Labay mulai menghilang. Karena itu dalam hampir semua referensi tidak ditemukan dengan pasti wilayah adat kelompok lor labay ini. Fakta yang ada sekarang, masyarakat Kei lebih mengenal dua persekutuan adat, yakni, Lor Siw / Ur Siw (Siw Ifaak) dan Lor Lim (Lim Itel). Secara etimologis Siw dan Lim menunjuk pada angka 9 (sembilan) dan 5 49
(lima). Angka ini dipahami sebagai lambang institusi masing-masing persekutuan. Artinya kuantitas massa yang banyak itu terorganisir dalam institusi tersebut 6. sedangkan Lor Labay seakan tanpa pengikut dan hilang begitu saja.7 Dengan memahami kedudukan dua persekutuan masyarakat adat ini, dapat dilihat sisi persamaan dan perbedaannya. Perbedaan disebabkan keduanya saling mempertahankan status quo, menjadi ‘raja-raja kecil’ yang tetap mempertahankan identitas komunal. Identitas komunal tidak hanya merupakan sesuatu yang penting bagi mereka, melainkan juga menentukan kepatuhan atau loyalitas masyarakat kepada raja-rajanya, yang seolah kodrati dan merupakan sesuatu yang terberi, tanpa perlu campur tangan manusia.8 Dengan demikian ada semacam paksaan untuk menerima ikatan kekuasaan yang cenderung absolut, dan ditopang kekerasan simbolis sekaligus menuntut kepatuhan dari para warga Ohoi yang terpenjara rasa takut. Sedangkan persamaannya, keduanya dipayungi oleh hukum adat Larvul Ngabal yang berfungsi sebagai pedoman hidup. Selain itu, mereka hanya mengenal satu identitas bahasa yakni, bahasa Kei (Veve Evav). Simbol Siw digunakan untuk mengenang pertemuan di desa Elar, Kei Kecil, oleh 9 orang Rat/Raja yang berkonsensus membentuk aturan dasar (Larvul) sebagai pedoman perilaku masyarakat (lor siw). Sedangkan Lim merujuk pada pertemuan 5 6
J. A. Pattikayhatu, dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993), 16; sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan fator geneologis dan faktor teritorial, dapat dibaca dalam B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953), 16 7 Namun berdasarkan hasil wawancara, dapat simpulkan bahwa Lor Labay kemungkinan mencakup wilayah Nuhu Fit di Kei Kecil dan Werka di Kei Besar. Walaupun demikian, argumentasi ini belum tentu benar. Karena itu, argumentasi seperti ini masih harus dikaji lebih dalam. Penelitian ini tidak bertujuan mengkaji tema ini. 8 Bandingkan Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi Identitas, (Serpong-Tangerang: Marjin Kiri, 2006), 7-9.
50
orang Rat/Raja di desa Lerohoilim, Kei Besar. Pertemuan ini melahirkan aturan dasar Ngabal, jadi hukum adat Larvul Ngabal yang ada pada masyarakat Kei saat ini adalah gabungan dari dua aturan dasar yang ditetapkan pada waktu dan tempat yang berbeda, oleh dua persekutuan masyarakat adat yang berbeda pula. Penggabungan ini dikarenakan perang antara dua persekutuan masyarakat adat ini selalu berakhir dengan kemenangan di kedua belah pihak - sama-sama kuat. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi penambahan anggota persekutuan akibat penaklukan, yakni Kesatuan masyarakat hukum adat Lor Lim, menjadi 10 Ratschap (setiap ratschap terdiri dari beberapa desa) yaitu: Ratschap Tual, Ratschap Yarbadang, Ratschap Lo Ohoitel, Ratschap Tubab Yam Lim, Ratschap Songli, Ratschap Kirkes, Ratschap Fan, Ratschap Rumahdian, Ratschap Tifleean Mangur, dan Ratschap Ub Ohoifaak. Sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat Ur Siw, juga berkembang menjadi dari 10 (sepuluh) Ratschap, yaitu: Ratschap Famur Danar, Ratschap Dit Sakmas, Ratschap Dullah, Ratschap Sir Sofmas, Ratschap Nerohoinean, Ratschap Me Umfit, Ratschap Maur Ohoi Wut, Ratschap Somlain (Mantilur Somlain), Ratschap Matwair (Magrib) dan Ratschap Kamear Kur. Masingmasing Ratschap dipimpin oleh seorang Raja9. Walaupun demikian, simbol siw dan lim tetap digunakan sebagai labang persekutuan mereka.
9
Lihat penjelasan lengkap dalam J. A. Pattikayhatu, Ibid. 22-25. Sedangkan dalam uraia tentang Ur siw dan Lor Lim, Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-V/2007 Tentang Penolakan Permohonan Pemohon dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku terhadap UUD 1945, (18 Juni 2008), 5-9. Para pemohon yakni Abdul Hamid Rahayaan, yang mengatas-namakan kesatuan masyarakat Hukum Adat Lor Lim; Gasim Renuat, yang mengatas-namakan kesatuan masyarakat Hukum Adat Ratschap Dullah; dan Abdul Gani Refra, yang mengatas-namakan masyarakat Ratschap Lo Ohoitel. Dalam legal standingnya hanya menguraikan bahwa kesatuan masyarakat Lor Lim membawahi 7 Ratschap, tiga ratschap terakhir dalam uraian di atas tidak dimasukan, dan kesatuan
51
3.2.2. Sistem Kepercayaan Masyarakat Kei Secara umum kebudayaan dapat diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.10 Sekalipun sebagai warisan, kebudayaan kemudian tidak serta-merta menjadi statis. Karena itu, dalam pandangan Soedjatmoko, tentang konsep otonomi dan kebebasan, dia menyatakan bahwa kebudayaan sebagai otonomi beraspek statis, bertahan terhadap perubahan; sedangkan kebudayaan sebagai kebebasan beraspek dinamis, mendorong perubahan.11 Dalam perspektif seperti inilah dapat dimaknai prinsip hidup setiap masyarakat termasuk masyarakat Kei. Menurut Yong Ohoitimur, agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur: Animisme, Magi, dan Totemisme.12 Animisme berasal dari perkataan latin, anima artinya “nyawa”13 Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang memasuki benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air, dan sebagainya. Istilah animisme, pertama kali dikemukakan oleh Edward Tylor, melalui bukunya Primitive Culture (1871). Baginya bentuk agama yang paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi Tylor mengenai evolusi agama, disamping masyarakat Ur Siw membawahi 9 Ratschap, satu ratschap terakhir dalam uraian di atas tidak dimasukan. Hal ini kemudian dibantah oleh Gubernur Maluku. Dalam kesaksian Gubernur Maluku pada Sidang di MK, Gubernur Maluku mempertanyakan tendensi politik apa yang melatarbelakangi permohonan para pemohon tersebut, sehingga 3 ratschap dari lor lim dan 1 raschap dari ur siw, tidak dimasukan dalam uraian legal standing para pemohon. lihat Putusan Mahkamah Konstitusi. Ibid. 4044 10 Adam Kuper & Jossica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 199. 11 Dalam Kleden, Ignas., Soedjatmoko: “Sebuah Psikologi Pembebasan”, dalam Soedjatmoko, “Etika Pembebasan” (Jakarta: LP3ES, 1984), xix 12 Yong Ohoitimur, Hukum Adat Dan Sikap Hidup Orang Kei (Manado: Kelompok Studi Communicanda MSC Pineleng, 1996), 13. 13 A. G. Honig Jr cet. Ke 9, Ilmu Agama (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 2000), 54.
52
arwah-arwah dan makhluk-makhluk halus itu, muncul dewata; kemudian diantara para dewata itu salah satunya muncul sebagai dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata yang lain tidak diakui lagi. Defenisi seperti itu sejalan dengan yang dikemukan oleh Durkheim bahwa, religi adalah kesatuan sistem kepercayaan dan tindakan yang berhubungan dengan barang-barang suci. Barang-barang suci yang dimaksud adalah, barang atau benda yang diasingkan dan diberikan larangan atasnya. Durkheim selanjutnya menyatakan bahwa fungsi sosial yang esensial dari religi ialah menciptakan, memaksakan dan mempertahankan solidaritas kelompok.14 Pada masyarakat Kei, terdapat kepercayaan bahwa semua benda di alam semesta memiliki roh. Roh dalam bahasa Kei disebut Duan (Tuan-Pemilik). Duan dianggap menetap dalam segala benda. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama Kristen, Duan itu kemudian mengalami sedikit perubahan dalam penyebutannya menjadi Duad, yang lebih bermakna Tuhan Allah – yang mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud dari animisme dalam masyarakat Kei sampai saat sekarang masih dapat teramati dalam betuk pemberian persembahan (daun siri, buah pinang, tembakau, dan uang logam), yang diisi dalam piring dan dipersembahkan kepada Duan Duad dengan cara diletakan di atas pintu rumah, di bawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Prosesi dalam bentuk kepercayaan ini dikenal dengan istilah woryauf atau dalam bahasa sehari-hari lebih dikenal dengan taha yaik asu manaran, bertujuan memberi "makan"/persembahan
14
Emile Durkheim, The elementary Forms of Religious of Life (London, 1915) dalam Harsojo, Pengantar Antropologi (Bandung: Puta A. Bardin, cetakan kedelapan, April 1999), 224.
53
kepada moyang-moyang/leluhur yang sudah meninggal, termasuk kepada Tuhan Duang Duad. 3.2.3. Prinsip Hidup dan Sistem Kekerabatan Masyarakat Kei Dalam hukum adat Larvul Ngabal di temukan bahwa inti dari adat-istiadat orang Kei adalah kekeluargaan. Kekeluargaan pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, dan tidak hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara biologis. Konsekuensi dari sistem adat seperti ini, membentuk karakter, prinsip, dan sikap hidup orang kei Kei: Pertama, Sikap rela menolong, istilah yang dipakai untuk menjelaskan sikap hidup orang Kei ini ialah maren atau hamaren. Maren berarti bekerja bersama-sama. Sikap dasar untuk menolong sesama ini terjadi secara spontan, tanpa undangan resmi. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah (termasuk gereja atau masjid), pesta perkawinan atau kematian. Edward Kudubun dan Apner Notanubun mengatakan kepada penulis bahwa” “Hamaren itu tidak perlu undangan resmi, kalau katong (kita) jalan dan lihat orang lagi kerja rumah atau kabon (kebun-ladang) ya katong ikut. Tapi ada juga keluarga yang kalo (kalau) buat kebon, rumah, kawin (acara pernikahan) biasa juga diundang pada malam hari untuk minum teh/kopi baru dong (mereka) kasih tau dong pu maksud (maksud mereka), lalu katong minum teh sambil bicara (pembagian tugas) untuk ada yang pergi molo ikan (menyelam - mencari ikan), ada yang pergi buat kayu bakar, dan ada yang buat tenda (kalau itu acara syukuran/pesta pernihakan, babtisan)15 Dengan demikian, dalam hamaren semua orang yang merasa terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Sikap rela menolong ini pada dasarnya dilakukan demi kelestarian hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, ada perasaan wajib
15
Wawancara di desa Ohoiwait, tanggal 22 Januari 2011
54
untuk menolong sesama. Kedua, sikap percaya bahwa orang lain akan membantu. Sikap ini erat kaitannya dengan sikap rela menolong yakni dengan membatu orang lain, dia sendiri percaya bahwa orang lain juga akan membantu setiap usaha dan pekerjaannya. Sikap ketiga adalah hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan penghargaan kepada atasan menjadi kebiasaan diseluruh daerah ini. Atasan menurut pandangan orang Kei adalah orang yang dapat mempersatukan suatu kelompok kekerabatan. Dia memiliki kekuasaan dan merupakan representasi hukum yang mengatur seluruh kosmos. Seorang atasan lebih merupakan unsur transenden, mengatasi seluruh kolektivitas. Oleh karena kedudukannya, ia dihormati dan ditaati.16 Keempat, Sikap tahu berterima kasih. Dalam bahasa Kei kata terima kasih berarti “tet ya”. Istilah ini memiliki makna yang sangat mendalam, artinya “karena kebaikanmu, engkau saya tempatkan dalam lubuk hati agar engkau dekat dengan saya”. 17 Jadi hakikat dari ucapan terima kasih orang Kei adalah kebaikan orang lain perlu dibalas dengan sikap yang mengeratkan hubungan sosial. Sikap hidup orang Kei inilah yang mendasari setiap tindakan dan perilaku mereka dalam berintekasi. Selain itu, yang menarik adalah sikap hormat dan taat kepada atasan bahwa ternyata sikap ini tidak hanya berlaku bagi atasan, namun juga berlau bagi para pendatang. Berdasarkan hasil dialog dan observasi ditemukan bahwa 16
Penghormatan kepada Atasan merupakan implemetasi dari pasal 1 hukum adat Larvul Ngabal. Wawancara dengan Kepala Desa Ohoiwait, Abdul Galil Ingratubun, di Ohoiwait 28 Januari 2011. Bandingkan konsep penghormatan kepada atasan ini dengan konsep kekuasaan Jawa dalam Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt, ed. Culture and Politics in Indonesia. (Ithaca , N. Y : Cornell University Press, 1972), 25-27; lihat juga Syahbudin M. Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000), 11 17 Wawancara dengan Welhelmus Kudubun, di Ohoiwait 27 Januari 2011
55
orang Kei khususnya masyarakat desa Ohoiwait memberikan penghargaan yang tinggi kepada “orang baru” atau pendatang yang berkunjung ke desanya. Penghargaan atau penghormatan ini terwujud dalam keseharian mereka yang selalu berkunjung ke rumah tempat “orang baru” tersebut tinggal (menginap). Dalam perkunjungan ini, mereka (warga desa) lebih banyak diam dan bertanya tentangtang informasi-informasi baru yang berkembang, sedangkan “orang baru” didaulat sebagai orang yang banyak tahu kerena itu, dia lebih banyak berceritra, menjawab, dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan dari warga yang berkunjung. Model ini kemudian berlanjut ke sikap tet ya di atas. Semangat kekeluargaan dan kekerabatan di Kei yang diikat oleh hukum adat terwujud dalam relasi Yanur-Mangohoi, Koi-Maduan, dan Teabel. Yanur-Mangohoi, merupakan bentuk kekerabatan orang-orang yang diikat dalam perkawinan adat. Artinya perkawinan dua orang menjadi tanggungjawab dua keluarga besar (fam). Fam merupakan suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal. YanurMangohoi diikat dalam suatu perkawinan dan berlaku terus selama belum ada kematian dari salah satu pihak. Meskipun islilah ini hanya dikenakan dalam konteks perkawinan, namun implikasi dari sistem ini juga ada dalam upacara kematian. Koi-Maduan, secara harfiah, berarti “bawahan dan atasan/tuan”. Maduan adalah orang yang selalu memberikan bantuan, sedangkan pihak penerima bantuan disebut Koi yang berarti “bawahan atau abdi”. Koi-Maduan dapat dipakai dalam beberapa konteks, misalnya dalam perkawinan dan perjanjian sosial-ekonomi, di dalamnya terdapat relasi atasan dan bawahan. Pihak atasan bertindak sebagai yang 56
menguasai, mengatur, menuntut hak, dan bertanggungjawab atas kepentingan bawahannya, sedangkan pihak bawahan selalu mempercayakan diri kepada atasannya ketika berhadapan dengan orang lain dalam masalah adat. Bentuk kekerabatan ini berlandaskan rasa percaya yang tinggi, namun dalam prakteknya, terkadang yang terjadi adalah dominasi atasan terhadap bawahan. Sedangkan Teabel, adalah bentuk kekerabatan atau perjanjian yang diikat oleh “aliran darah”, istilah ini terdiri dari dua kata, yakni Tea yang artinya menggores dan Bel yang berarti darah yang mengalir. Unsur yang utama dari budaya ini adalah solidaritas antara saudara yang menunjuk pada dua hal, yakni, sikap untuk membantu orang/kampung lain yang terlibat dalam perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan orang lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini sebenarnya bertujuan mengangkat derajad semua orang sebagai saudara yang harus dihargai, dilayani dan diperhatikan.18 Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci, dapat diformulasikan bahwa prinsip dan sikap hidup serta sistem kekerabatan orang Kei, merupakan perwujudan dari falsafah hidup mereka, yakni : 1), Ain ni ani yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; 2), foing fo kut fauw fo banglu. Nilai foing fo kut ini bermakan menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi
18
Kekerabatan dalam bentuk Teabel ini mirip dengan Pela di Maluku Tengah. Lih. Johny Christian Ruhulessin, Etika Public: Suatau analisa Sosio Budaya Mengenai Pela Sebagai Dasar Etika Publik. Disertasi: Program Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristan Satya Wacana, (Salatiga: Tidak diterbitkan) 2005, 17.
57
kehidupan, sedangkan fauw fo banglu, bermakna kemampuan menciptakan peluru19 untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi serangan; dan (3), falsafah wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur, yang bermakna persaudaraan, kekeluargaan, dan bahwa semua orang Kei berasal dari keturunan yang sama. 3.2.4. Sekilas Terbentuknya Hukum Adat : Larvul dan Ngabal. Terbentuknya hukum Larwul, berawal dari tibanya seorang musafir beserta keluarganya yang dalam tuturan (tom) diyakini berasal dari Bali.20 Musafir yang dikenal bernama Kasdeu, mendarat di teluk Sorbay bagian Barat pulau Kei Kecil. Kasdeu kemudian kawin dan mempunyai empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Tabtut adalah putra sulung yang kemudian menjadi Rat/Raja di Ohoiwur, sedangkan anak perempuan bungsu bernama Ditsakmas. Putri bungsu ini kemudian kawin dengan seorang tokoh ternama dan pembuat perahu piawai, yaitu, Arnuhu dari Ohoi Danar di ujung selatan bagian timur pulau Kei Kecil. Dikisahkan, perjalanan pertama Ditsakmas untuk menemui tunangannya Arnuhu di Danar, tidak berhasil. Penyebabnya, semua perbekalannya dirampok dalam perjalanan akibat masih berlakunya hukum rimba pada waktu itu. Akhirnya pada perjalanan kedua melalui desa Wain di pesisir timur bagian tengah pulau Kei Kecil, Ditsakmas berjumpa dan kawin dengan Arnuhu. Keberhasilan perjalanan ini, dikarenakan ada bentuk larangan atau sasi yang digunakan oleh Ditsakmas, yakni 19
Peluru yang dimaksudkan adalah tidak dalam pengertian modern seperti peluru yang digunakan oleh ABRI dan Kepolisia, namun lebih pada pengrtian tradisional yang dimaknai dalam bentuk mistik. Karena itu menurut penulis, foing fokut fauw fo banglu, identik dengan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” 20 Uraian ini didasarkan pada hasil wawancara dengan Anton Notanubun, Louis Notanubun, Kanar El Rahaningmas, Welhelmus Kudubun, Yeheskia Kudubun, Robert Renyaan dan Rudi Waremra (keduanya wartawan Suara Daulat). Masing-masing tanggal 19-22 Januari di desa Ohoiwait, dan tanggal 1-3 Februari di Kota Tual.
58
mengikatkan daun kelapa putih21 pada perbekalannya. Diantara barang-barang Ditsakmas dalam perjalanan tersebut, ada seekor kerbau yang dinamakan Kerbau Siw. Kerbau ini kemudian disembeli di desa Elaar Ngursoin, antara Wain dan Danar, yang dibagi-bagikan menjadi 9 bagian untuk perwakilan dari 9 Ohoi yang hadir saat itu. Dalam pertemuan di Elaar Ngursoin ini, lahir 4 (empat) dasar hukum yang dinamakan hukum Larwul (= darah merah). Keempat dasar hukum inilah yang ditetapkan menjadi pasal 1-4 hukum Larwul Ngabal yang ada pada masyarakat Kei saat ini.22 Kerbau yang disembeli tersebut dibagikan secara merata kepada 9 Rat/Hilaai (Raja) yang mewakili 9 Ohoi, diantaranya : 1) Hilaai Danar mendapat bagian kepala, 2) Hilaai Ngursoin mendapat mata, 3) Hilaai Elaar mendapat gigi, 4) Hilaai Hoar Uun/Rahadat/Rahabav mendapat Ekor, 5) Hilaai Mastur mendapat Tanduk, 6) Hilaai Ohoinol mendapat Perut Besar, 7) Hilaai Ributat Yatvar mendapat Perut, 8) Hilaai Ohoider mendapat Empedu, dan 9) Hilaai Wain mendapat Hati 23. Ungkapan adat yang diucapkan dalam proses pembagian itu ialah Larwul In Turak (darah merah membakar-membara), yang bermakna bahwa hukum Larwul akan digunakan untuk menjaga keamanan, ketertiban, menjamin harkat dan martabat manusia dan hak-hak asasinya.
21
Dalam masyarakat Kei saat ini, daun kelapa putih atau pucuk daun/tombak kelapa (janur) digunakan sebagai symbol sasi atau larangan (Hawear). Jika janur ini diikatkan atau digantungkan pada sesuatu benda maka maknanya adalah benda tersebut tidak boleh diambil oleh orang lain. 22 Lihat J. P. Rahail, Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993), 1-4 23 Lihat J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 44
59
Sedangkan terbentuknya hukum Ngabal bermula dari mendaratnya saudara Kasdeu yang bernama Jangra dengan keluarganya di Lerohilim, pantai barat tengah pulau Kei Besar. Kehadiran Jangra di pulau Kei Besar segera tersiar disepanjang pesisir barat pulau Kei Besar sampai ke wilayah hukum raja Bomaf di Fer, ujung selatan pulau Kei Besar. Karena Jangra sudah mengetahui dari seorang penduduk Lerohoilim bahwa Kei Besar memiliki lima orang raja yang memimpin di wilayahnya masing-masing, dan yang paling berpengaruh pada saat itu adalah raja Bomaf dari Fer, maka Jangra mengutus putrinya yang bernama Ditsomar dengan temani oleh Wedifin (seorang penduduk Lerohoilim), untuk menemui raja Bomaf. Perjalanan puteri Ditsomar ini membawa beberapa tombak (terbuat dari mas dan tembaga). Kehadiran Wedifin dengan puteri Ditsomar di Fer diterima oleh raja Bomaf dengan upacara adat, dan tombak-tombak itu ditaman/ditancapkan di Woma El Kel Bui. Woma adalah pusat Ohoi biasanya dianggap sebagai tempat suci dan keramat24, sebagai tempat upacara-upacara penyelesaian pelanggaran terhadap hukum adat, pertikaian dan perang. Woma El Kel Bui adalah satu-satunya tempat tertancapnya tombak yang di bawah Jangra dari Bali, dan tombak ini disebut dengan nama Ngabal yang artinya “Tombak Bali”25 tombak tersebut kemudian dijadikan lambang hukum adat di wilayah Hilaai/raja Bomaf. Atas dasar itu, raja Bomaf kemudian mengambil prakarsa dengan mengundang keempat raja lainnya, demi membahas kedatangan Jagra di Lerohoilim. Undangan itu disambut baik, karena munculnya kesadaran untuk mengakhiri pertikaian dan memulai hidup dalam damai. Pertemuan tersebut berhasil menyepakati
24
Lihat P.M, Laksono, The Common Ground in the Kei Islands, (Yokyakarta: Galang Press,
25
Lihat J. A. Pattikayhatu, Ibid. 47
2002)
60
3 (tiga) dasar hukum yang disebut dengan hukum Ngabal. Ketiga dasar hukum inilah yang ditetapkan menjadi pasal 5-7 dari hukum adat Larwul Ngabal. Untuk penyebaran dan pemberlakuan hukum adat Ngabal, maka sekaligus diadakan pembagian tugas dan wewenang kepada masing-masing Hilaai di wilayah Lor Lim, yang dilambangkan dengan pembagian tubuh seekor ikan paus atau naga laut26 yang kebetulan terdampar di pantai desa Lerohoilim pada saat itu. Pembagian ini mirip dengan proses pembagian Kerbau Siw yang dilakukan di desa Elaar Ngursoin, Kei Kecil.27 Diantaranta: 1) Hilaai Bomaf dari Fer mendapat kepala, 2) Hilaai Hibes dari Nerong (Lo Ohoitel) mendapat perut, 3) Hilaai Ub Ohoifak dari Uwat-Mar mendapat ekor, 4) Hilaai Loon Lair dari Weduar-Tutrean mendapat sayap, dan 5) Hilaai Meljamfak dari Rahangiar mendapat gigi.28 Hukum adat Ngabal mengandung makna perumpamaan dan kiasan, nasihat dan petunjuk. Hukum ini berfungsi untuk melindungi hak-hak asasi, memberikan penghargaan terhadap perempuan dan lembaga perkawinan, serta melindungi kepemilikan pribadi yang lazim disebut Ngabal In Adung. Kata-kata ini diucapkan pada saat proses pembagian naga laut/ikan paus itu. Ngabal In Adung bermakna “Tombak sebagai pengatur dan pelindung”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Larwul In Turak yang menjaga keamanan, ketertiban, menjunjung tinggi harkat dan martabat serta menjaga dan menghormati hak-hak asasi manusia, berfungsi sebagai membatasi kewenangan-kewenangan, dan perpaduannya dengan 26
Nang Lor Lim Yut atau Naga/Ikan Paus Lorlim, Kei Besar, dan Tombak Ngabal adalah merupakan lambang dari kelompok/persekutuan adat Lorlim 27 Walaupun demikian masih ada “perdebatan” soal proses kemenjadian kedua hukum ini, antara hukum mana yang lebih dahulu ditetapkan. 28 Lihat J. A. Pattikayhatu, Ibid. 48-49
61
Ngabal In Adung yang berisi nasihat dan petunjuk, yang kemudian berfungsi sebagai pengatur dan pelindung bagi hak-hak dasar dari setiap individu yang diatur dalam hukum Larwul. Dengan digabungkannya keduan hukum adat ini, maka persekutuan masyarakat adat Lor Siw dan Lor Lim bersatu di bawah nuangan hukum adat Larvul Ngabal, yang memuat 7 (tujuh) pasal.29 Arti dan makna dari hukum adat ini adalah sebagai berikut: Pasal 1. Uud entauk atvunad: berarti “kepala bertumpuh pada pundak kita” artiya dimana kepala pergi maka seluruh badannya ikut. Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh bagian tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala (dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalah Duad atau yang Mahakuasa; para leluhur (moyangmoyang); tokoh-tokoh adat, pemerintah, dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus dihormati, karena mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga masyarakat. Dengan demikian, persekutuan/persatuan dan harmoni dalam masyarakat dapat dijamin, kalau kita saling menghargai dan saling mengakui kewajiban masing-masing, sebagai kepala atau pemimpin dan sebagai anggota tubuh maka harmoni dalam masyarakat akan dengan mudah terwujud.
29
http://rahanrejau.mysites.nl/mypages/rahanrejau/458929.htmldiundu. diundu 17 juli 2009. lihat J. A. Pattikayhatu , Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 51-58. Juga dalam, I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan), 51-56. Pemaknaan terhadap pasalpasal tersebut juga didasarkan pada hasil wawancara dengan Anton Notanubun, Yeheskia Kudubun, Nimrot Rahaningmas, Kanar El Rahaningmas, Robert Notanubun, di desa Ohoiwait, tanggal 21 Januari 2011.
62
Tugas perlindungan mereka sebagai kepala juga dikuatkan dengan ungkapan peri-bahasa Kei, sebagai dasar sifat hidup orang Kei : Sob Duad, taflur (flurut) Nit, fo hoar towlai, artinya “kita meminta berkat dengan berdoa kepada Tuhan dan leluhur, supaya kita berselamat di dunia dan akhirat.” Pasal 2. Lelad ain fo mahiling: berarti:"Leher bersifat luhur, suci dan murni" pengertian kata-kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei dianggap sebagai pusat hidup dan kehidupan yang bernafas, karena itu harus dilindungi atau dijaga. Perbuatan memegang atau mencengkeram leher seseorang dianggap melanggar hukum adat. Pasal 3. Ul nit envil rumud : berarti “kulit membungkus tubuh kita”, ungkapan ini memiliki dua arti, yakni pertama, harkat dan martabat manusia harus dilindungi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kemampuan menjaga atau memegang rahasia diri dan orang lain. Pasal 4. Laar nakmut naa ivud : berarti “darah beredar atau terkurung di dalam tubuh” makna dari pasal ini adalah penghargaan terhadap kehidupan, karena itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini berarti dilarang melakukan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang mengakibatkan keluarnya darah dari dalam tubuh. Pasal 5. Reek fo kelmutun : berarti, “ambang kamar atau kesucian kaum wanita diluhurkan” ungkapan ini memiliki dua arti, yakni, pertama, bahwa kamar 63
tidur dari suami-isteri atau seorang perempuan tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak; kedua, perempuan juga dilambangkan seperti tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan semena-mena. Artinya tidak boleh mengganggu seorang wanita dengan cara bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya. Pasal 6. Moryaian fo mahiling : “tempat tidur orang yang sudah berumah tangga dan juga wanita yang belum menikah (gadis) adalah agung mulia” hal ini juga berkaitan dengan pasal 5. Bahwa orang lain tidak boleh menggunakan atau tidur di tempat tidur orang yang sudah menikah, termasuk tempat tidur seorang gadis. Pasal 5 dan 6 merupakan pasal yang menempatkan perempuan pada posisi yang mulia dalam masyarakat Kei, mereka harus dijaga dan dilindungi. Bahkan alasan mengapa orang Kei harus berkonflik salah satunya adalah ketika saudara perempuan mereka tidak dihargai atau diperlakukan dengan tidak adil. Pasal 7. Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did: Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita. Pasal ini mengakui kepemilikan pribadi, selama kepemilikan pribadi itu mempunyai bukti (tad) yang dapat membuktikan kepemilikan tersebut. Pasal 7 ini tidak hanya berkaitan kepemilikan dalam hal fisik (benda-benda termasuk petuanan, namum mencakup juga toom tentang kedudukan atau posisi dalam adat. Berdasarkan uraian ke-7 pasal di atas tidak ditemukan adanya pasal yang mengatur tentang sistem kasta pada masyarakat ini. Karena itu, pelaksanaan sistem kasta di Kei tidak ada legalitasnya dalam hukum adat. Dalam pasal 1 hukum adat ini 64
ditemukan adanya penghormatan terhadap “kepala” permasalahannya apakah “kepala” ini adalah mel-mel yang menempati urutan pertama dalam sistem kasta atau “kepala” lebih bermakna siapa saja yang memiliki kecakapan dalam memimpin masyarakat?. Dalam konteks ini penulis lebih berpegang dan memilih makna kedua, bahwa “penghormatan kepada kepala” yang dimaksudkan pada pasal 1 di atas adalah siapa saja atau mereka yang memiliki kemampuan dalam memimpin, baik diri sendiri, dan terutama memimpin masyarakat – mereka yang memiliki visi seperti tergambarkan dalam falsafah adat in’ot rat na’a dunyai (adat menciptakan raja di dunia) yang bermakna terhormat atau tidaknya seseorang bergantung pada perilaku dan tutur katanya. Dengan pengakuan bahwa siapa saja boleh memimpin asal memiliki kualifikasi dalam hal kecakapan dalam memimpin tidak juga berarti bahwa kekuasaan penguasa itu dapat dengan sewenang-wenang mengeliminasi kelompok lain. Dengan demikian, terbentuknya hukum adat Larvul Ngabal tidak dalam kerangka mengangkat atau meninggikan kelompok tertentu (seperti mel-mel) dan merendakan kelompok lain (ren-ren dan Iri-ri). Mel dan Ren bukanlah tingkatan sosial/stratifikasi ataupun kasta, namun merupakan bentuk pembedaan (deferen) antara “pendatang” dan “penduduk asli”. Hukum adat itu dibuat dalam rangka menjaga keharmonisan masyarakat yang hidup dalam kesetaraan, saling membantu, bekerja bersama-sama, dalam kekeluargaan. Kehidupan yang harmoni tanpa dominasi itulah yang disepakati leluhur orang Kei dalam hukum adat itu. Ketidak-mampuan 65
memahami hukum adat atau sengaja menjadikan hukum adat sebagai legitimasi kasta, dengan tetap menjadikan mel dan ren sebagai tingkatan sosial, demi mempertahakan status quo (kekuasaan), hanya akan membuat (kita) masyarakat Kei selangkah lebih mundur dari para leluhur kita yang masih tradisional/primitif. 3.3. Deskripsi Tentang Ohoi Ohoiwait 3.3.1. Kadaan Geografis dan Demografis Ohoi Ohoiwait Ohoi Ohoiwait merupakan salah satu desa diantara sekian desa yang terletak di bagian Timur pulau Kei Besar, Kab. Maluku Tenggara. Awalnya, Pulau Kei Besar adalah satu Kecamatan, yakni Kecamatan Kei Besar, namun dengan pertimbangan akan dilakukan pemekaran Ibu Kota Maluku Tenggara (Tual) menjadi Kota Taul,30 maka Kecamatan Kei Besar dimekarkan menjadi 3 Kecamatan, yakni Kecamatan Kei Besar, Kecamatan Kei Besar Utara, dan Kecamatan Kei Besar Selatan. Dengan adanya pemekaran Kecamatan ini, maka Ohoiwait saat ini termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Kei Besar. Pembagian wilayah yang dilakukan oleh pemerintah cukup bertolakbelakng dengan realitas wilayah adat (ratschap) di Kelupauan Kei. Desa Ohoiwait dalam administrasi pemerintah Kabupaten termasuk dalam wilayah Kecamatan Kei Besar, namun secara adat termasuk dalam persekutuan Lor Lim/Lim Itel, yang kepala ratschap-nya berkedudukan di desa Nerong, Kecamatan Kei Besar Selatan.
30
Pemekaran Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggra (Tual) menjadi Kota Madya telah terealisasi dengan UU No. 31 Tahun 2007, tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. Sebelumnya, pada tahun 1957 Maluku Tenggara menjadi Daerah Swatantra Tingkat II ber-Ibu Kota di Tual, dengan membawahi 8 Kecamatan. Namun, tahun 2000 Kabupaten ini dimekarkan menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), kemudian tahun 2003 Kabupaten Maluku Tenggra kembali dimekaran menjadi Kabupaten Maluku Tengara dan Kabupaten Kepulauan Aru.
66
Ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) No. 03 Tahun 2009 tentang Ratschap dan Ohoi, yang bertujuan mengembalikan sistem pemerintahan adat yang dipimpin raja (Rat), ditengarai menyimpan bom waktu yang akan menimbulkan konflik kepentingan pada tataran adat atau konflik wilayah adat. Perjalanan menuju desa Ohoiwait, dari Kota Kabupaten dapat ditempu dengan menggunakan kapal-motor (KM) yang menuju ke Mataholat dan ke Elat dengan waktu tempu antara 2–2,5 jam, kemudian dilanjutkan dengan kendaraan darat (mobil atau ojek) dengan waktu antara 15 menit–1 jam. Desa yang terletak di bagian timur pulau Kei Besar ini, secara administratif berbatasan dengan desa Ohoirenan di bagian Selatan, desa Ohoiel dibagian Utara, sedangkan pada bagian Barat berbatasan dengan desa Nerong dan desa Werka.31 Ohoiwait mempunyai dua dusun yakni, Mataholat dan Wetuar keduanya terletak di bagian Barat pulau Kei Besar. Berdasrkan data yang dihimpun dari kantor desa32 jumalah penduduk desa Ohoiwait (tidak termasuk dua dusun lainnya), pada tahun 2011 adalah 444 orang, dengan ratio perbandingan jenis kelamin: perempuan 240 orang dan laki-laki 204 orang, Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianutnya adalah: Kristen Protestan sebanyak 395 orang, yang terdiri dari: Perempuan 217 orang serta Laki laki 178 orang, mayoritasnya bertempat tinggal di bagian desa yang disebut
31
Batas-batas desa ini adalah diungkapkan oleh Reveldus Kudubun (sekretaris Desa), karena tidak ditemukan dalam data monografi desa. Dengan kata lain, data ini tidak/belum tercatat dalam monografi desa. 32 Data monografi di desa ini sangat tidak lengkap, karena itu tidak ditemukan jumlah penduduk berdasarkan tingkat umur, pendidikan dan pekerjaan. Selain itu batas-batas desa, potensi desa dan mata pencaharian penduduk juga tidak tercatat. Yang paling memilukan lagi adalah bahwa di desa tersebut tidak ada Balai/Kantor Desa sehingga rumah-tempat tingal masing-masing kepala desa dan KAUR juga sekaligus berfungsi sebagai kantor desa, yang rata-rata tidak ada data lengkap tentang desa.
67
Ohoi Ren dan Ohoi Uun atau biasanya disebut Ohoiratan. Sedangkan yang beragama Islam adalah 49 orang, terdiri dari laki laki 26 orang dan perempuan 23 orang semuanya menempati bagian desa yang disebut Ohoitanan/Kampung Bawah. Kurangnya penduduk yang beragama Islam ini akibat konflik 1999 yang melanda Maluku, sehingga mereka (yang beragama Islam) mengungsi keluar kampung, dan sampai sekarang baru sebagian kecil memilih pulang dan tinggal di Ohoiwait. Sebagian lagi memilih tinggal di kota Tual, dan sebagian lainnya lebih memilih tinggal di dusun Mataholat yang semua penduduknya beragama Islam. Karena itu di kampung bawah ini (Ohoi Tanan) hanya ada sekitar 10 rumah yang baru dibangun kembali setelah “gelombang konflik” yang menimpa desa ini. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Gambar 1 Memandang Kampung Bawah dari Fid Wowo o
3.3.2. Pola Kepemimpinan Desa Ohoiwait Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, ditemukan bahwa sistem pemerintahan desa Ohoiwait menggunakan model pemerintahan desa 68
yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1979. Sistem pemerintahan desa ala UU No. 5 Tahun 1979 memang ditetapkan untuk melakukan penyeragaman, sebab sistem pemerintahan tradisional yang ada di Indonesia kebanyakan masih mengacu pada adat, maka hadirnya UU No. 5 ini dapat dikatakan sebagai “bentuk paksaan” penyeragaman sistem pemerintahan desa. Berdasarkan itu, Ohoi lalu dipaksa untuk menyebut dirinya desa, istilah Jawa untuk ‘kampung.’33 Ketika Peraturan Daerah No. 03 Tahun 2009 Tentang Ratschap dan Ohoi ditetapkan, nama desa yang awalnya digunakan hanya “berganti baju” menjadi Ohoi dan Kepala Desa secara formal kemudian disebut dengan “kepala Ohoi” namun masyarakat sepertinya belum terbiasa dengan sebutan itu, karena pada saat penelitian berlangsung, masyarakat masih tetap menggunakan sebutan “kepala desa” untuk ‘”kepala Ohoi” Kepala Desa Ohoiwait saat ini bernama Abdul Galil Ingratubun (Islam), terpilih pada tahun 2008 menggantikan Librek Ingratubun (Protestan), yang meninggal dunia tahun 2007 sebelum masa kepemimpinannya selesai. Pada waktu Librek Ingratubun meninggal dunia, Sekretaris Desa (Reveldus Kudubun) kemudian ditetapkan menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa menggantikan almarhum, dengan tugas utama mempersiapkan pemilihan Kepala Desa yang baru, pada saat pemilihan, Reveldus Kudubun juga menjadi salah satu kandidat yang dikalahkan oleh Abdul Galil Ingratubun dalam pemilihan tersebut. Ketika Sekretaris desa ditetapkan 33
Bandingkan dengan tulisan Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan Lagi Tuhaku: Perang Saudara Muslim-Kristen di Maluku Tengah (Indonesia) Setelah Hidup Berdampingan dengan Toleransi dan Kesatuan Etnis yang Berlangsung Selama Setengah Milenium, http://yayasanpusaka.blogspot.com/2008/08/model-model-kearifan-masyarakat-adat-di.html, diunduh 21 Desember 2010.
69
sebagai Pelaksana Tugas (Plt) pada tahun 2007, kemudian mengangkat/menunjuk saudara Daud Rahaningmas sebagai Sekretaris LKMD pada tahun yang sama. 34 Yang menarik adalah pengangkatan Daud Rahaningmas sebagai sekretaris LKMD, karena dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan sebab baru pertama kalinya posisi Sekrearis LKMD itu dipercayakan bagi seseorang yang berkedudukan sebagai renren (penduduk asli-keturunan Rat Kanar El). Jika menelusuri garis sejarah kepemimpinan di Desa Ohoiwait seperti yang ditulis saudara Melky (tanpa menyebutkan marga), dengan Eliezer Rahajaan sebagai sumber sejarah35 maka, dapat diformulasikan sebagai berikut: “orang mula-mula yang mendiami desa ohoiwait adalah Mel Reyaur dan Ren Ohoilean Rahangiar, kemudian36 Mel Reyaur dan Ren Ohoilean Rahangiar memanggil Mel Rahajaan dari Watlaar yang hendak menuju Tunkor (desa Tutean) untuk tinggal bersama-sama dengan pengakuan bahwa kekuasaan akan diserahkan kepada Mel Rahajaan. Maka tinggallah Mel Rahajaan di desa Ohoiwait dan kekuasaan diserahkan kepada mereka. Kemudian datang pula Mel Rahawarin dari Haar menuju ke Tunkor, waktu berdirilah Mel Rahajaan di Fid Wo Wo o/Maswo untuk mengundang Mel Rahawarin tinggal bersam-sama di desa Ohoiwait, dalam artian bahwa kekuasaan akan diserahkan pula kepada Mel Renwarin. Maka tinggalah Mel Rahawarin yang bernama Tawuwod di desa Ohoiwait. Selanjutnya Tawawod kawin dengan Baim Wok Rusbal dari desa Ohoiangan dan melahirkan 4 orang anak, yakni: 1). Yahau, sebab waktu ia lahir anjing meraung; 2). Kud, sebab waktu ia lahir orang tua sedang memegang tali sifat dan kapak untuk pergi mencincang kayu perahu; 3). Ingrat, sebab waktu ia lahir ada kebakaran di hutan; dan 4). 34
Hasil wawancara dengan Reveldus Kudubun dan Daud Rahaningmas, di Desa Ohoiwait, tanggal 20 Januari 2011. 35 Tulisan ini dimuat pada UMEL GENERATION (Group Facebook) pada bagian forum diskusi dengan judul “SEJARAH SINGKAT DESA OHOIWAIT”. Saya menanggapi tulisan itu (2010) dengan mengajukan beberapa pertanyaan termasuk menyingung tesis Martinus Ngabalin (di PPs MSA UKSW) untuk didiskusian lebih lanjut namun sampai tesis ini ditulis ajakan diskusi saya belum/tidak ditanggapi, termasuk Martinus Ngabalin yang juga adalah angota group itu tidak menanggapi colekan saya ketika menyinggung tesisnya. Lengpaknya sejarah singkat itu dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 158 tesis ini. 36 Kata-kata yang di underlile adalah tambahan yang saya buat untuk meringkas dan sebagai penyambung cerita tersebut. Sedangkan kata-kata yang di Italic adalah penekanan terhadap kalimat yang dalam tulisan aslinya yang menggunakan tanda petik.
70
Notan, sebab waktu ia lahir ikan besar Otan terdampar dipantai Woar Ngil Wowo. Keturunan Tawawot inilah yang melahirkan 4 marga yakni: Yahaubun, Kudubun, Notanubun, dan Ingratubun ditambah dengan magra Rahajaan, maka kelima marga itulah yang ada di desa Ohoiwait. Diuraikan pula bahwa Mel Reyaur telah punah, maka pada waktu itu juga atas musyawarah bersama mereka mengangkat: Afelar (Susbat) Yahauubun untuk memegang roda pemerintahan desa Ohoiwait, sebab ia adalah anak sulung. Maka jika diurutkan soal kepeminpinan desa Ohoiwait dari Afelar adalah sebagai berikut: 1. Afelar (Susbat) Yahauubun; 2. Basiar Ingratubun; 3. Awat/Muhamad Ren Inggratubun; 4. Kolain/Ahmad Inggratubun; 5. Yakuba Inggratubun; 6. Tahori Inggratubun; 7. Husin Inggratubun; 8. Librek Inggratubun; dan 9. Abdul Galil Inggratubun”. Berdasarkan tulisan yang dikemukakan oleh Melky di atas, diketahui bahwa pemimpin pertam di El Umel saat itu adalah (Mel) Reyaur. Namun setelah kedatangan kelompok Rahayaan dan Rahawarin masing-masing dari Watlaar dan Haar, yang “dipanggil” kemudian kepemimpinana desa (Ohoi) itu berpindah tangan, mula-mula kepada Rahayaan lalu berpindah lagi kepada keturunan Rahawarin yang bernama Afelar (Susbat) Yahaubun, akibat punahnya kelompok/keturunan Reyaur sebagai penduduk asli. Fase berikutnya kepemimpinan (kepala) Ohoi itu berpindah lagi dari Yahaubun kepada Ingratubun, dan sampai dengan saat ini Ingratubun kemudian mengklaim diri (marga) sebagai yang memiliki tampuk kekuasaan di Ohoi. Klaim seperti itu juga diperkuat dengan tuturan sejarah kepemimpinan Ohoi (kepala Ohoi), yang ketika tampuk kekuasaan Ohoi berpindah dari Afelar Yahaubun kepada Basiar Ingratubun, kemudian kepemimpinan selanjutnya tetap dipegang (diwariskan) kepada marga Ingratubun. Seperti terurai dalam cerita di atas, terlihat bahwa status Kepala Ohoi mulai dari “generasi” kepemimpinan kedua sampai dengan “generasi kepemimpinan kesembilan” selalu dipegang oleh Marga Ingratubun. Walaupun sudah dilakukan pemilihan kepala Ohoi, tetapi yang menjadi calon kepala 71
Ohoi harus ada yang berasal dari marga Ingratubun, dan strategi mempengaruhi secara kekeluargaan dengan berpegangan pada fakta sejarah kepemimpinan itu adalah senjata ampuh yang dapat memenangkan calon yang bermarga Ingratubun. Yang menarik adalah calon muncul dari Ingratubun itu harus berasal dari mel-mel (pendatang). Terlepas dari sejarah kepemimpinan (kepala) Ohoi itu, secara keseluruhan menurut penulis terdapat beberapa kelemahan argumentasi dari si penulis dan penutur sejarah (Melki dan Eliazer Rahajaan). Beberapa kelemahan tersebut adalah: pertama, penulis dan sumber sejarah seolah-olah menghilangkan dinamika (situasi) sosial ketika kedatangan para pendatang yang disebutnya sebagai Mel Rahajaan itu. Dinamika yang tidak dipertimbangkan adalah “bagaimana mungkin sekelompok orang memanggil sekelompok orang lain yang sedang hanyut di laut37 dan dengan serta-merta menyerahkan semua haknya untuk diatur oleh orang yang tidak mereka kenal?” Atau “bagaimana mungkin kita memanggil orang lain yang sedang berlayar kesuatu tujuan untuk
tinggal
bersama-sama
tanpa
orang
yang
berlayar
itu
meminta
bantuan/pertolongan?”. Kelemahan Kedua, pada fase kedatangan Mel Rahawarin terlihat jelas kepentingan penulis (Melky dan sumber sejarahnya) mencoba menghilangkan keberadaan dan peran penduduk asli (yang mereka sebut Mel Reyaur dan Ren Ohoilean Rahangiar), dengan menceritakan bahwa “waktu itu berdirilah Mel Rahajaan di Fid Wo Woo untuk mengundang Rahawarin.” Pertanyaanya mengapa Reyaur, Ohoilean, Rahangiar tidak ikut mengundang? Atau mereka ada dimana?. Kelemahan 37
Frasa “sedang hanyut – lo’r fok” ini tidak diuraikan/dikemukakan oleh penulis sejarah. Padahal frasa itu menurut penulis merupakan “kata kunci” dari keseluruhan cerita sejarah tentang kehadiran para pendatang yang kemudian tinggal dan menetap di El Umel sampai dengan saat ini.
72
Ketiga, adalah usaha meniadakan peran (Mel?) Reyaur, Ohoilean dan Rahangiar dalam fase kedatangan Mel Rahawarin itu hanya untuk memperkuat argumentasi sehinga pada bagian cerita berikut dapat dibangun pernyataan bahwa “(Mel) Reyaur telah punah”. Untuk memperkuat argumentasi peneliti tentang ketiga kelemahan cerita sejarah di atas, maka perlu diuraikan secara singkat kedatangan para pendatang, seperti terdeskripsikan di bawah ini. 3.3.3. Kedatangan Rahajaan dan Rahawarin di Desa Ohoiwait Konon kedatangan para pendatang di desa Ohoiwait terjadi dalam dua fase.38 Fase pertama adalah orang yang bermarga Rahajaan dari Watlaar salah satu desa di Kei Besar Utara Timur yang dalam sejarah lisan dikatakan hendak menuju Tunkor (Tutrean) salah satu desa di Kei Besar Selatan bagian timur. Tidak jelas siapa nama sebenarnya orang yang bermarga Rahajaan ini. Dalam cerita yang di buat Melky dengan sumber sejarah Eliezer Rahajaan (salah satu keturunan dari Rahajaan), juga tidak mencantumkan nama leluhur Rahajaan itu, atau mungkin karena Elieser Rahajaan sendiri kurang mengetahuinya. Fase kedua adalah Tawowot Rahawarin bertolak dari Haar salah satu desa di Kei Besar Utara Timur, kononnya juga hendak menuju ke Tunkor atau Teutrean. Pertanyaannya ada apa di Tunkor?
38
Bagian ini diuraikan berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Anton Notanubun, Louis Notanubun, Kanar El Rahaningmas, Welhelmus Kudubun, Nimrot Rahaningmas dan Christian Kudubun di desa Ohoiwait tanggal 16 – 29 Januari 2011; dan Enchi Ohoilean di Dusun Mataholat tanggal 15 dan 16 Februari 2011. Tidak ada data pasti tetang kapan (waktu/tahun) kedatangan para imigran ini di Desa Ohoiwait, bahkan para informan kunci sendiri tidak bisa memberikan waktu/tahun yang pasti tentang hal itu. Mereka hanya mengatakan bahwa kedatangannya terjadi seletah Bun Kanar (Kanar El) telah tiada atau meninggal dunia. Lihat footnote nomor 56, sebab itu kemungkinan kedatangan kedua kolompok ini terjadi sekitar tahun 1700-an.
73
Perjalanan lewat laut menuju Tunkor yang dilakukan oleh dua kelompok ini tidak berhasil sampai ke tempat tujuan mereka. Hal ini dikarenakan keduanya (Rahajaan dan Tawowot Rahawarin), menurut cerita lisan yang berkembang dipanggil untuk tinggal bersama dengan penduduk asli desa Ohoiwait waktu itu. Pertanyaanya, Alasan apakah yang membuat sehingga mereka dipanggil? Dan bagaimana mereka dipanggil?. Kedua pertanyaan itu akan dijawab berdasarkan hasil wawancara dengan para informan penelitian ini, selain itu, deskripsi ini akan dikaitkan dengan cerita sejarah yang telah diuraikan. Fase Kedatangan Rahajaan. Awal mula ketadaangan Rahajaan menurut sejarah lisan yang dituturkan oleh ketujuh informan kunci diketahui bahwa “kelompok Rahajaan” yang sedang berlayar–untuk menghindari kata lo’r fok atau “sedang hanyut” dalam versi sejarah lisannya-dengan perahu (rao habo)39 mereka mendayung “perahu” sambil menyanyikan sebuah lagu dan kemudian berteriak meminta bantuan untuk tinggal bersama disebuah daratan yang bernama El Umel. El Umel adalah sebuah tempat - tanah dataran–yang letaknya di atas bukit yang konon merupakan nama pertama desa ini sebelum menjadi Ohoiwait. Ketika berdiri di atas bukit tersebut orang dapat memandang bebas ke hamparan laut yang terbentang luas. Di atas bukit (Lair Tutu) inilah para leluhur (Teteen) penduduk asli mendengar nyanyian dan teriakan orang-orang yang sedang berlayar tersebut. Bukit (Lair Tutu)
39
Leb-leb atau Rau Habo memiliki arti yang sama yakni “Perahu” (kapal?). Dalam sejarah lisan Rahajaan singga di Lor Un bagian pantai di desa Ohoiwait. Pada waktu itu belum ada Ohoi Tanan (Kampung Bawah) wilayah ini masih merupakan hutan. Rahajaan menggnakan perahu dari Hanoat beb “Kulit Siput”. Kulit Siput sebagai Bukti (tad) itu sekarang tersimpan di Wor salah satu gunung di desa Ohoiwait. Memang sangat sulit untuk diterima secara akal sehat (rasional) kalau ada orang yang pada zaman modern ini dapat berlayar dengan menggunakan kulit siput.
74
ini kemudian diberi nama Fid Maswo40 (pintu memanggil) untuk mengenang tindakan para leluhur yang telah memanggil orang-orang yang sedang meminta bantuan dari laut. Untuk lebih jelas lihat gambar (foto) dibawah ini: Gambar 2. Memandang Laut dari Fid Wowo o
Berdasarkan sejarah lisan, para leluhur sedang berumpul di atas bukit tersebut kemudian mendengar suara yang samar-samar seperti sebuah nyanyian. Nyanyian tersebut adalah Titi Bombai ooo (mungkin semacam nyanyian pemberi semangat), secara lengkapnya adalah sebagai berikut: Sum loi-loi yaruk wehe-yaruk wehe, Karu lab-lab iti waha-iti waha”41 (Orang-orang dewasa ayoo mendayung, dan anak-anak keluarkanlah air dari perahu – timba ruah) Nyayinya tersebut dinyanyikan secara berulang-ulang sebagai pemberi semangat bagi mereka yang sedang mendayung dan menimbah ruang. Leluhur El 40
Maswo/Masvo berasal dari kata Nasmaak berarti “samar-samar” atau “bergemah” biasanya kata ini diawali dengan kata wion/vion “bunyi” atau veve “suara”. Jadi Maswo bermakna “mendengar suara atau bunyi yang samar-samar atau kurang jelas. Namun ketika dibuat gapura pada tahun 20042005, pintu ini kemudian berubah nama menjadi “Fid Wowo o” yang lebih bermakna pintu untuk memanggil. 41 Jika diartikan secara harafiah maka, Sum loi-loi yaruk wehe-yaruk wehe “Bangau bergantung sambil mendayung” dan Karu lab-leb itiwaha-itiwaha “Tikus membuang air dari perahu”. Sum dan Karu dalam hal ini bermakna orang dewasa dan anak-anak. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa jumlah anggota para imigran itu.
75
Umel medengar suara yang samar-samar tersebut, kemudian membuat api yang berasap sebagai tanda (tad) keberadaan mereka. Tanda tersebut direspon oleh mereka yang sedang bernyanyi dengan perlahan-lahan mendekat dan mulai kelihatan (ba’n mel-mel)42, kemudian berteriak: “Mang tet mang im dok nuhu nakmarmar eee, Am raa fo ites it dok ee” (Siapa yang sedang berada di daratan yang kering itu, izinkan kami untuk tinggal bersama-sama dengan kalian) Panggilan dari laut itu didengar oleh leluhur (teteen) El Umel dan mereka bersepakat untuk menolong orang-orang yang sedang meminta bantuan itu, lalu kemudian mereka (menjawab) memanggil: “Im daeee, im da fo tes itdok nuhu yane ee, fo it hamfarmai” (Boleh, datanglah supaya kita tinggal bersama, untuk saling membagi cerita) Berdasarkan dialog (saling teriakan) antara leluhur Rahajaan dari laut dan leluhur El Umel di darat, tampak persamaan dan perbedaan cerita (sejarah) yang dibuat oleh Melky dengan sumber sejarahnya Eliezer Rahajaan dengan yang diuraikan oleh peneliti tersebut. Persamaannya adalah bahwa “leluhur Rahajaan yang sedang berlayar itu memang dipanggil atau dipersilahkan datang untuk tingal bersama” dan perbedaannya adalah “carita yang dibuat berdasarkan tuturan Eliezer Rahajaan tidak mengisahkan tentang latar belakang mereka dipanggil atau mengapa Rahajaan dipersilakang untuk datang tinggal bersama di El Umel”. Sedangkan menyangkut “penyerahan kekuasaan” seperti yang diceritakan Melky diberikan saat pemanggilan itu adalah tidak tepat atau tidak benar. Sebab frasa “im da fo it hamfarmai” tidak bermakna ”penyerahan kekuasaan” frasa itu lebih 42
Bandingkan dengan catatan kaki nomor 2 pada Bab I
76
bermakna “saling membagi cerita”. Entah kemudian dalam “saling membagi cerita” itu ada kekuasaan yang berpindah tangan itu merupakan akibat (“kesepakatan lain”) dari perjalanan panjang dalam kehidupan bersama dengan para pendatang itu. Dikatakan kekuasaan itu berpindah tangan akibat “kesepakatan lain” dari perjalanan panjang kehidupan bersama sebab kedatangan Rahajaan tidak langsung memegang jabatan adat sebagai Luw Sukat atau mituduan –imam. Luw Sukat memiliki dua makna: pertama sebuah wadah yang terbuat dari anyaman rotan atau tali-temali sejenisnya, sebagai tempat untuk mengisi “perbekalan” seperti sirih, pinang, kapur, tembakau, dan uang logam (koin). Ini adalah arti harfiah yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan makna kedua lebih berkaitan dengan kosmologi tentang masyarakat dan dunia, bahwa di dalam Luw Sukat itu tersimpan kearifan komunitas (sejarah asli) yang dituturkan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, disaat sedang bersantai sambil makan sirih. Itulah sebabnya Luw Sukat berfungsi sebagai penjagaan kemurnian sejarah dan sekaligus sebagai Imam yang memanjatkan doa kepada Duang Duad dan Teteen untuk keselamatan dan kesejahteraan komunitasnya. Kedatangan Rahajaan yang diizinkan untuk mendarat dengan perahunya (rau habo) di pantai (Lor Un) tidak dengan serta-merta menerima tugas sebagai penjaga Luw Sukat itu. Mereka datang dan berposisi sebagai orang yang Nafdu – Rafdu atau tingal dibawah penguasaan para leluhur Rahangiar. Kelompok imigran Rahajaan pada saat itu tidak diantar atau dibawah ke woma, mereka diterima di Lor Un kemudian dipersilakan tinggal bersama dan berada dibawah pengawasan Rahangiar atau sebagai 77
pembantu Rahangiar. Dalam kehidupan bersama dengan Rahajaan itu maka para leluhur El Umel memutuskan bahwa : “It tes it dok mo, afa am maan im mian, te afa ain am pak im pak. Im mian te im pak in tub fo am mem, fo im hol aim memab” (kita tinggal bersama, maka apa yang kami makan boleh kalian makan, dan apa yang kami pakai boleh kalian pakai. Tetapi apa yang kalian makan dan pakai tetap menjadi milik kami, karena itu ceritakanlah kami) Dengan demikian, pada saat itu tidak ada penyerahan kekuasaan seperti yang diceritakan Eliezer Rahajaan kepada Melky yang kemudian disebarluaskan dalam jejaring sosial (fecebook) tersebut. Kalimat im hol aim memab (ceritakanlah nama kami)43 kemudian juga dipakai atau ditulis pada gapura yang terletak di Lair Tutu tersebut, yaitu pada bagian depan gapura bertuliskan Fid Wo Wo o dan bagian belakang gapura tertulis “IM HOL MEMAUNG” tulisan ini sedikit berbeda namun maknanya sama yakni “ceritakanlah aku”. Jadi ketika hendak bepergian keluar kampung jika melewati jalan ini maka setiap orang akan melihat tulisan itu. Untuk lebih jelas lihat gambar dibawah ini.
43
Ceritakanlah nama kami, yang dimaksudkan adalah para leluhur El Umel yang telah memanggil dan menerima sekelompok imigran yang walaupun tidak dikenalnnya namun dengan besar hati menerima dan dipersilakan untuk tinggal bersama. Bandingkan dengan sikap hidup orang Kei yang telah diuraikan di atas.
78
Gambar 3 Gapura Di Lair Tutu Tampak Depan dan Belakang
Permasahannya terletak pada bagaimana menginterpretasi kata-kata itu. Pada sudut pandang mel-mel kata-kata itu mengisahkan tentang posisi mereka yang searang berkuasa. Artinya ketika orang membaca kalimat im hol memaung yang dimaksudkan adalah golongan mel-mel yang telah berkuasa itu. Sedangkan pada sudut pandang renren kalimat itu lebih bermakna mengingat kembali dan menceritakan kembali kisah sejarah kampung, para leluhur mereka pada saat menerima imigran Rahajaan dan Rahawarin. Karena itu, bagi peneliti jika tidak ada kesepahaman pada arti dan makna kalimat itu, maka bisa berimlikasi pada munculnya konflik.
Dalam konteks inilah peneliti memahami reproduksi wacana kelompok yang terlanjur dominan itu. Karena itu, diskursus mel dan ren perlu dikembangkan dari sudut pandang yang berbeda berdasarkan pada bentuk-bentuk habitus mereka. Fase kedatangan Towowot Rahawarin. Diatas telah diuraikan bahwa Rahajaan dalam “perjalanannya” menuju Tunkor diketahui oleh leluhur El Umel karena nyanyian “sebagai tanda” yang dilantunkannya. Sedangkan Towowot
79
Rahawarin sama sekali tidak memberikan ‘tanda’ apa-apa. Kelompok ini tidak dipanggil. Dikisahkan dalam sejarah lisan bahwa Towowot Rahawarin terdampar di pantai desa Ohoiwait dan ditemukan oleh leluhur (Teteen) El Umel. Bahwa pada suatu pagi diwaktu itu leluhur El Umel sedang pergi kepantai (hir ba tahit)44 Kemudian melihat seseorang yang sedang duduk di atas sebuah batu besar dan ketika ditanya, orang tersebut memperkenalkan diri sebagai Tawowot Rahawarin bahwa dia berlayar dari Haar bagian Utara Timur pulau Kei Besar dan terdampar disitu. Perahu yang dia gunakan oleh Tawowod Renwarin untuk berlayar adalah Kulit Kenari.45 Sangat sulit untuk menerima fakta ini secara rasional jika ada orang yang berlayar dengan menggunakan “kulit kenari” juga “kulit siput” seperti yang digunakan oleh Rahajaan. Tawowot Rahawarin kemudian meminta pertolongan dan memohon izin untuk tinggal bersama di desa tersebut. Dia lalu diantar ke dalam kampung melewati sebuah jalan kecil yang bernama ded Siot. Towowod Rahawarin kemudian tinggal bersama dibawah penguasaan leluhur El Umel dan mendapatkan hak yang sama dengan kelomok Rahayaan yang telah tiba lebih dahulu. Hak tersebut adalah hak makan dan hak pakai, dan bukan hak milik. Towowod Renwarin juga diberi tugas, yakni memproduksi Sageru (Tuat atau Tuak) untuk diminum oleh lelhuru El Umel pada setiap sore hari.
44
Secara harfiah kata Hir ba Tahit ini berarti “mereka pergi/jalan ke pantai”. Aktivitas ba tahit pada waktu itu selalu dilakukan saat pagi dan sore hari, karena itu makna dari kata ini sebenarnya adalah “mereka pergi kepantai untuk buang air besar”. 45 Kenari adalah salah satu jenis pohon yang paling banyak tumbuh di Kei Besar, buahnya kecil dan rasa dari isi buahnya mirip rasa buah kemiri namun lebih gurih. Buah kenari yang belum terlalu matang terasa manis.
80
Dikisahkan oleh para informan bahwa rumah tinggal para leluhur pada waktu itu adalah berbentuk rumah panggung, jadi untuk sampai pada ruang utama harus menaiki tangga. Towowot Rahawarin yang beri tugas membuat sageru itu tidak diperbolehkan memasuki ruang utama tempat para leluhur duduk bercerita sampbil minum
sageru.
Dia
hanya
membawa
hasil
pekerjaannya
(tuat)
itu
dan
menggantungnya disamping rumah atau tangga menuju ruang utama, dan setiap sore para leluhur akan mengambilnya untuk diminum oleh mereka. Selain itu, Towowot Renwarin juga diberi kesempatan untuk pergi berburuh bersama-sama dengan para leluhur. Tugasnya pada saat berburuh adalah membawa Kauk para leluhur. Kauk ini memiliki makna yang sama dengan makna pertama Luw Sukat di atas, atau dengan kata lain, kauk sebagai tempat (wadah) untuk mengisi atau menyimpan luw sukat. Dalam salah satu kesempatan ketika berburu itu, para leluhur dan juga Tawowot Rahawarin tiba atau mengejar buruannya sampai di salah satu Ohoi yang bernama Ohoinangan. Di Ohoi ini mereka beristirahat dan dijamu oleh Rat Ohoinangan. Sebab diketahui bahwa yang berburuh itu adalah Rat dari El Umel. Dalam pertemuan dengan Rat Ohoinangan itulah Baim Wok Rusbal – perempuan yang menjadi isteri Tawowot Rahawarin - ”diminta” untuk dibawah pulang ke El Umel. Baim Wok Rusbal adalah salah satu pembantu Rat Ohoinangan, dia adalah seorang janda muda yang berasal dari Ohoi Katlarat (salah satu Ohoi kekuasaan Rat Ohoinangan). Tugas Baim Wok adalah memasak atau mempersiapkan makanan untuk 81
raja. Pada saat kedatangan rombongan pemburu dari El Umel itu, Towowot Renwarin tidak ikut serta (duduk) bersama-sama dengan para leluhur El Umel dengan Raja Ohoinangan, dia (Towowot) hanya ”bersantai” di dapur bersama para pekerja lainnya yang mempersiapkan makanan untuk para leluhur. Dalam kesempatan itulah Towowot bertemu Baim Wok Rusbal yang sedang memasak sagu (lew manga). Cinta pada pandangan pertama antara Towowot Rahawarin dengan Baim Wok itu diketahui oleh Tuannya (leluhur El Umel), lalu terjadilah kesepakan dengan Raja Ohoinangan agar Baik Wok ikut pulang ke El Umel. Mas Kawin yang ditinggalkan sebagai tanda perkawinan itu adalah salah satu ’buku tembaga” dan beberapa keping emas. Buku Tembaga, menurut para informan (Kanar El Rahaningmas, Anton Notanubun, dan Welhelmus Kudubun) berisi ”pakatan” atau mantra-mantra kesaktian, sejarah Ohoi, dan silsila keluarga.46 Permasalahannya adalah mengapa perkawinan antara pembantu dengan pembantu, harus dibayar dengan harga yang begitu mahal?. Disinilah makna sebenarnya dari sistem Koi Maduan seperti yang telah digambarkan pada bagian di atas. Koi Maduan harusnya tidak dipahami sebagai bentuk dominasi atasan kepada bawahan, namun lebih bermakna saling percaya dan penghargaan yang tinggi bagi sesama. Sayangnya, sistem ini telah mengalami perubahan makna menjadi atasan 46
Buku Tembaga ini, menurut Nimrot Rahaningmas, Daud Rahaningmas, dan Banon Notanubun masih disimpan oleh keturunan Raja Ohoinangan. Mereka menuturkan bahwa tahun 2008 ketika mereka sampai di Ohoinangan untuk suatu kepentingan tertentu (tidak berkaitan dengan buku itu), ada keturunan Raja yang mengatakan bahwa “im bir harta, am fadai ya” (harta kalian kami masih simpan - masih ada sama kami). Sedangkan buku Tembaga lain yang disimpan oleh Rahangiar di dusun mataholat, menurut Kanar El Rahaningmas, kemungkinan sudah hilang atau terbakar bersama rumah tua itu ketika Kerusuhan tahun 1999. Menurutnya, dia sudah berpesan kepada Adam Rahaningmas untuk menjaga agar rumah tersebut jangan dibakar, namun Adam terlambat sampai ke Mataholat, sebab Adam berada pada barisan keempat dalam “prosesi” menuju Mataholat yang memang sudah tidak ada penduduk itu.
82
(Madua) berkuasa terhadap bawahan (Koi) yang akhirnya menimbulkan bentuk dominasi baru dari maduan terhadap koi. Perkawinan Towowot Renwarin dengan Baim Wok Rusbal tersebut menghasilkan keturunan empat orang anak laki-laki, yakni: Yahau, Kud, Notan, dan Ingrat. Nama-nama inilah yang kemudian menjadi cilak-bakal munculnya empat marga di desa/Ohoi Ohoiwait saat ini, yakni Yahauubun, Kudubun, Notanubun, dan Ingratubun, ditambah dengan marga Rahayaan, maka kelima marga inilah yang saat ini hidup di Ohoi yang dulunya bernama El Umel kemudian menjadi Ohoiwait. El Umel sampai dengan saat ini masih tetap digunakan sebagai nama Woma. Selain itu, ketika terjadi perkawinan campuran (antar penduduk kampung dengan kampung lain), terutama perkawinan masuk (laki-laki yang kawin dan tinggal di Ohoiwait), telah menambah nama marga di desa Ohoiwait, seperti marga Hukubun, dan Resmol, masing-masing dari desa Weduar dan Tutrean yang kawin dan tinggal di Ohoiwait. Jadi, dengan demikian saat ini terdapat tujuh marga yang ada di desa Ohoiwait, namun kedua marga yang lain tidak memiliki fungsi adat di desa ini. 3.3.4. Bentuk-Bentuk Dominasi Mel-Mel Selain beberapa tipe dominasi yang telah muncul pada pembahasan diatas, maka jika mencermati model teori yang telah dikembangkan baik oleh Bourdieu maupun Gramsci (yang telah diuraikan di Bab II), ada semacam konfirmasi dari keduanya tentang ”tanah tak bertuan” diantara paksaan di satu sisi, dan kesepakatan di sisi lain. Bourdieu menyebut hal ini sebagai ”kesalahan pengenalan (misrecognition), yakni suatu konsep yang menunjukan bagaimana proses-proses 83
hubungan terjadi sehingga banyak orang akhirnya terbiasa dengan kekuatan paksaan dari pasar (market forces coersion), konsep inilah yang mendasari teorinya tentang dominasi simbolik. Mendalami teori yang dikemukakan keduanya, maka ada kecenderungan untuk memaknai orientasi dominasi sosial sebagai derajad kekiniaan individu untuk mendukung hirarki sosial berdasarkan kelompok dan dominasi kelompok superior terhadap kelompok inferior. Model seperti inilah yang terjadi dengan hubungan renren dan mel-mel di Ohoi Ohoiwait. Bahwa dalam kehidupan bersama dengan para imigran dari Watlaar dan Haar itu, maka fungsi-fungsi adat berpindah tangan kepada para pendatang ini. Hal ini terjadi akibat bujukan dan rayuan yang dapat dikategorikan sebagai bahasa halus dari paksaan. Beberapa fungsi dan peran adat yang awalnya adalah milik dan dipegang oleh kelompok ren-ren setelah terbunuhnya Bun Liisa dan terjadinya “masa kegelapan” atau foar faraha akhirnya berpindah kepada mel-mel, adalah: 1. Rahayaan Luw Sukat, Imam yang berfungsi untuk berdoa dan flor Nit (meyampaikan persembahan) kepada Duad (Tuhan) dan leluhur dalam kegiatan-kegiatan adat; sebagai tuan tanah (teran nuhu/nuhu duan); dan Taha Kabil atau Hauk Wat yang fungsinya menjemput mempelai perempuan dari luar kampung dan masuk melalui pintu adat.
84
2. Yahaubun/Rahaningmas berfungsi sebagai penjaga dan pemegang sasi adat (Hawear); sebagai pemasangan “tiang raja” rumah yang baru dibangun, dan penutupan atap terakhir (katlab). 3. Kudubun berfungsi sebagai Batang Woma, penjaga Pusat Kampung atau ohoi (Woma); 4. Notanubun sebagai Neran Tal Tal, Panglima Perang, yang fungsinya memimpin pasukan ketika keluar berperang; 5. Ingratubun sebagai Ngarihi Na Nai, penanggngjawab dan juru bicara pada kegiatan-kegiatan adat. Sampai dengan penelitian ini dilakukan, semua fungsi dan peran adat di atas dipegang dan dijalankan kelompok mel-mel. Sedangkan marga ren-ren sama sekali tidak mendapatkan peran. menurut Kanar El Rahaningmas, fungsi dan peran ini adalah milik marga Rahaningmas dan Notanubun dari kelompok ren-ren yang adalah penduduk asli keturunan Rat Buyai. Walaupun fungsi-fungsi adat ini dipegang olah marga/fam namun semuanya dikuasai oleh mereka yang mel-mel, sekalipun marganya sama. Yang menarik adalah di desa ini, pembagian masyarakat kedalam ren-ren, mel-mel, dan iri-ri tidak bisa dilihat dari apa marganya. Sebab baik Rahayaan, Rahaningmas, Kudubun, Ingratubun dan Notanubun merupakan marga yang dipakai oleh mel-mel maupun ren-ren. Sebab itulah bentuk pewarisan marga ini menurut peneliti merupakan dilema bagi kelompok ren-ren (topik ini akan diuraikan pada bagian selanjutnya).
85
Pendelegasian tugas dari setiap marga ini kemudian disimbolkan dengan lima meja batu yang dibangun di Woma El Umel. Namun menurut beberapa informan47 seharunya meja batu yang ada di Woma itu hanya satu meja, namun akibat ”bebeen mel-mel laai kapal” meja itu lalu ditambahkan. Kalimat ”bebeen mel-mel lai kapal” ini bermakna ”permainan orang besar/yang berkuasa”, yang dimaksud dengan ”permainan” disini adalah sebuah tindakan atau strategi mempengaruhi orang lain dengan cara tipu muslihat atau permainan kata-kata sehingga orang lain mengikuti keinginannnya, jadi ”permainan” itu sarat kekuasaan dan paksaan yang dalam terminologi Gramsci dan Bourdieu dapat disebut hegemoni dan dominasi simbolik. Selain itu, ”permainan” itu juga dijelaskan mencakup berpindahnya fungsi dan peran adat itu kepada para pendatang yang menyebut diri mel-mel itu. Robert Notanubun dan Kanar El Rahaningmas mengatakan dengan sedikit emosi di pagi itu bahwa ”hir nhe mel-mel bofof tafaat ta. Woo rda kbo hir dok fabod it did teten” (”mereka itu adalah pendatang yang dihanyutkan” dari kampungnya. Sudah diijinkan tinggal bersama baru menipu lehurut kita”). Fungsi-fungsi adat lainnya juga perpindah tangan akibat ”permainan” dengan tipu-muslihat para pendatang itu. Kelima meja batu di Woma El Umel itu dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
47
Pagi itu tanggal 20 Januari 2011 saya dipanggil oleh Daud Rahaningmas untuk minum kopi di rumahnya. Ketika sampai dirumahnya sudah ada beberapa orang, yakni: Robert Notanubun, Nimrot Rahaningmas, Kanar El Rahaningmas, dan Boby Rahayaan. Kami kemudian bercerita beberapa hal dan termasuk cerita tentang adanya Lima Meja di Woma.
86
Gambar 4 Lima Meja di Woma El Umel, Ohoiwait
Kelima meja batu ini baru dibangun sekitar sepuluh tahun terakhir. Awalnya ketika saya (peneliti) masih sekolah SMA di Elat Kei Besar (2007-2000) hanya ada satu meja batu, sebagai tempat penyampaian persembahan (sirih, pinang, tembakau, dan uang logam). Karena itu, penulis memahami bahwa satu meja batu itu adalah wadah yang menampung secara simbolis persembahan, doa, dan permintaan warga satu kampung–permohonan secara kolektif. Namun dengan tambahan empat meja lainnya, maka kemungkinan permohonan atau permintaan doa akan dilakukan secara parsial atau berdasarkan marga masing-masing. Selain itu, kekuasaan yang tersimbolkan dengan 5 (lima) meja itu dapat dimaknai sebagai bentuk pembagian kekuasaan yang merata kepada kelompok melmel yang dapat “dibaca” sebagai strategi dominasi baru. Artinya dengan terbaginya kekuasaan secara merata kepada kelompok mel-mel maka untuk upaya yang dilakukan oleh kelompok ren-ren untuk mengambil alih fungsi-fungsi adat itu menjadi lebih sulit. Logikanya jika hanya ada 1 (satu) meja, maka kekuasaan adat tertinggi (Luw Sukat) akan dengan mudah diambil-alih oleh ren-ren, sehingga dengan membagi Luw 87
Sukat (dalam pengertian tuan tan dan penyampaian doa kepada Duang Duad) kepada semua marga, maka akan lebih sulit untuk direbut kembali. Di satu sisi strategi dominasi baru ini bertujuan memecahbelah kelompok ren-ren, namun di sisi lain lebih mengeraratkan kelompok mel-mel sebab mereka merasa ikut menjadi tuan tan yang awalnya di dominasi mel-mel Rahayaan. 3.3.5. Dimana Keturunan Leluhur El Umel Di atas telah diuraikan bahwa di Ohoi Ohoiwait hanya terdapat 5 (lima) marga maka, pertanyaanya adalah dimanakah keturunan penduduk mula-mula (leluhur El Umel) itu?. Pada kedua dusun lainnya (Mataholat dan Wetuar), masih ditemukan marga yang memiliki keterkaitan sejarah dengan leluhur El Umel, yakni marga Ohoilean, dan Rahangiar. Karena itu, muncul pertanyaan mengapa di Ohoiwait tidak ada kedua marga itu? Apakah pernyataan Melky yang dibuat berdasarkan cerita Eliazer Rahayaan bahwa keturunan Reyaur telah punah bukan merupakan sebuah bentuk spekulasi, dan cerita itu adalah benar? Jika dilihat berdasarkan identitas marga, maka kiranya tepat untuk mengatakan bahwa keturunan Rat Buyai (Raja Kanar El) sudah tidak ada lagi. Namun masalahnya adalah mengapa masih ada sebutan mel-mel dan ren-ren di Ohoi ini? Seandainya keturunan raja pertama telah punah, maka yang tersisah hanyalah keturunan Rahajaan dan keturunan dari hasil perkawinan antara Towowod Renwarin dan Baim Wok Rusbal yang berasal dari Ohoinangan, karena itu, tidak ada lagi golongan ren-ren di Ohoiwait. Berdasarkan sejarah lisan, dikisahkan mitos orang pertama yang hidup di El Umel saat itu adalah bernama KODABAUN. Kodabaun diyakini muncul dari dalam 88
tanah, tepatnya di gunung Elyaur. Gunung yang sampai saat ini ”dikeramatkan” sebagai tempat, kampung atau Ohoi pertama. Karena itu gunung tersebut pernah digali oleh Nimrot Rahaningmas dan rombongannya untuk mencari tengkorak leluhur El Umel itu. Selain Kodabaun, masih ada lagi carita tentang Wat Fit yang dikisahkan juga muncul dari dalam tanah, dan Baran Fit yang dikisahkan berasal dari barat. Sehingga dalam sejarah lisan Wat Fit sering disebut Wat Fit tal Timur, dan Baran Fit tal Warat. Mitos tentang manusia pertama yang muncul dari dalam tanah tersebut berdasarkan tuturan sejarah lisan dikenal dengan istilah Nuhu Met Nhawoak (muncul atau ”dilahirkan olah alam).48 Konon Wat Fit muncul dari dalam tanah, tepatnya di Fid Maswo, dan hidup dengan mendapatkan makanan atau diberi makan oleh burung Rajawali (Nus Yab– dalam bahasa Kei). Dikisahkan bahwa setiap pagi, siang dan sore hari Nusyab membawa makanan dan memberikan makanan bagi mereka.49 Wat Fit secara harfiah berarti ”tujuh perempuan” yang jika dikaitkan dengan frasa ”tal timur” maka akan berarti ”tujuh perempuan dari timur”, karena itu, maka ”Baran Fit tal warat” berarti ”tujuh laki-laki dari barat”. Pada saat wawancara dengan informan penelitian (terutama mereka yang digolongkan sebagai keturunan Rat Buyai atau Kanar El, terdapat kesepakatan atau tepatnya mereka meminta peneliti untuk berjanji agar nama-nama ”generasi pertama” 48
Mereka adalah orang pertama yang diyakini oleh semua informan (lihat footnote 38) sebagai generasi pertama. Namun mereka dikisahkan menyatu dengan alam (atau orang ilang-ilang – mirip orang Bati di Seram), karena itu perlu penelitian khusus untuk membahas tema ini. Dalam penelitian ini mitos Kodabaun, Wat Fit, dan Baran Fit tidak akan diuraikan. 49 Kisah ini (mungkin) memiliki kesamaan dengan kisah Elia dalam kitab Suci Agama Kristen, namun saya belum bisa mengklaim kebenaran kemiripan cerita ini sebab bukan merupakan tema yang diteliti dalam penelitian ini.
89
itu, termasuk orang tua (ayah dan ibu) leluhur pertama (Kanar El) tidak dimasukan dalam penulisan ini. Ketakutan atau kehawatiran para informan itu, dapat diformulasikan dalam dua alasan mendasar: 1). Mereka yang adalah penduduk asli (tuan tan) saat ini tidak diakui hak-haknya, bahkan diwacanakan sebagai iri-iri atau budak belian akibat hegemoni dan dominasi mel-mel; 2). Karena itu, ketika namanama ini dimunculkan, dan diketahui oleh para pendatang (mel-mel bofof tafaat – dalam istilah mereka) maka bisa saja terjadi klaim sejarah asli oleh mel-mel itu, sebab merekalah yang saat ini berkuasa. Peneliti memahami kekhawatiran dan
alasan
mereka sebab reproduksi wacana tentang sejarah asli masih didominasi oleh para melmel. Karena itu, uraian tentang keturunan penduduk asli ini hanya akan dimulai dari Kanar El, yang diyakini sebagai Raja Tanah pertama di Kei Besar dengan gelar Rat Buyai. Raja Tanah artinya raja yang tidak diangkat, namun diakui kedudukan dan penguasaannya terhadap Ohoi Nuhu atau Nuhu Met. Dalam sejarah lisan, Kanar El ditemukan (masih bayi)50 oleh Wat Fit disebuah tempat yang bernama KUK WUL lalu dibawa pulang ke Lair Tutu (saat ini bernama Fid Masvo – sekitar 60 meter dari Woma) untuk dirawat dan dibesarkan. Ketika dewasa, Kanar El dikisahkan menguasai hampir sebagaian wilayah Kei Besar, sebelum masuknya penjajah Belanda yang membagi wilayah-wilayah Kei itu menjadi Ratschap-ratschap. Bahkan kekuasaannya dikisahkan termasuk beberapa
50
Dikisahkan bahwa orang tua Kanar El adalah manusia yang “menyatu dengan alam” atau orang ilang-ilang. Nama orang tuanya, ada di peneliti dan tidak disebutkan karena permintaan para informan
90
wilayah di Kei Kecil.51 Wilayah-wilayah kekuasaan Kanar El ketika masuknya Belanda (Kanar El sudah meninggal ketika Belanda samapi di tanah Kei), kemudian dikurangi dan dijadikan ratschap dengan nama Lo Ohoitel. Namun menjadi aneh sebab Lo Ohoitel ini berkedudukan di desa Nerong. Dikisahkan bahwa Kanar El memiliki seorang istri yang berasal dari Nerong. Saat itu Nerong adalah wilayah kekuasaannya. Walaupun Nerong adalah wilayah kekuasaannya tetapi perempuan yang dikawininya itu, juga ”diperlakukan” dengan terhormat. Artinya mas kawin (belis)perempuan yang bermarga Rumangun itu juga dibayar oleh Kanar El. Belis yang dibayarkan saat itu berupa tanah (petuanan) yang cukup luas dan saat ini dikuasai oleh warga Nerong (khususnya marga Rumangun dan Matwear). Berdasarkan alasan perkawinan itu, diangkatlah rat (raja di Nerong), karena ditengarai sebagain wilayah kekuasaannya, yakni Larat, sebelah utara Nerong akan diserang oleh persekutuan Tubav Yamlim di Feer (yang kemudian menjadi Ratscap Tubav Yamlim di Feer), maka Kanar El mengangkat Rat di Nerong sebagai wakilnya. Awalnya kedudukan rat di Nerong dipegang oleh mereka yang bermarga Rumangun dan Matwear yang bergelar KOSEB, sebab perempuan yang kawin dengan Kanar El berasal dari kedua marga itu. Namun dalam perkembangan selanjutnya, akibat penipuan yang dilakukan para pendatang posisi Rat ini kemudian berpindah tangan ke 51
Ada indikasi bahwa Woma Lodar El di Tual adalah Woma yang didirikan oleh Kanar El, bahkan “pulau” Dulah meliki sejarah khusus dengan Ohoiwait, ketika mereka hampir kalah perang dengan Ohoitel dan meminta bantuan dari Ohoiwait, akhirnya Ohoitel dapat dipukul mundur (kalah perang) sehingga membuat perjanjian Teabel (mirip Pela) dengan Ohoiwait. Sebagai tanda ikatan itu, diberikanlah Kasber (meriam) yang saat ini disimpan di gunung Elyaur dan rantai meriam itu tetap ditinggalkan di Ohoitel sebagai tanda perjanjian itu. Sedangkan nama “Dulah” sebenarnya berasal dari kata “rafdu’ karena meminta bantuan sehingga mereka bersedia tinggal dibawah penguasaan Ohoiwat.
91
magra Refra. Karena itu sampai dengan saat ini marga Refra-lah yang menjadi Raja (Rat) Lo Ohoitel yang bergelar Ihi Bes, dan biasanya di sebut Rat Lo Ohoitel. Perubahan tampuk kekuasaan pada beberapa wilayah di Kei baru terjadi sekitar abad ke–19 seperti yang dikemukakan oleh Van Hoevell (1890) bahwa transfer kekuasaan atas petuanan dari ren kepada pihak mel telah terjadi beberapa tahun sebelum beliau mengunjungi kepulauan Kei pada bulan Oktober dan November 1887.52 Menurut para informan, pengambilalihan tampuk kekuasaan raja (Koseb) di Nerong yang kemudian gelarnya berubah menjadi Ihi Bes terjadi setelah Kanar El meninggal dunia. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa Kanar El telah meninggal dunia sebelum datangnya Belanda di Kei, termasuk sebelum kehadiran Van Hoevel pada bulan Oktober dan November 1887 itu. Kanar El memiliki tiga orang anak, yakni 1). Bun Liisa; 2). Nen Fokokat; dan 3). Bun Tawar El, dari ketiga anak ini yang menikah hanyalah Bun Liisa. Menurut sejarah lisan yang dituturkan secara turun temurun, Bun Liisa ini dibunuh oleh keturunan Yahau, Kud, Notan dan Ingrat. Kanar El Rahaningmas (salah satu informan) mengutarakan bahwa: ”Pada waktu itu, keturunan Yahau, Kud, Notan, dan Ingrat merencanakan untuk membunuh Liisa, sebab Bun Liisa tidak mau memberikan ”kekuasaan” adat untuk mereka. Fungsi-fungsi adat tetap dipegang oleh keturunan Kanar El yang tinggal di Mataholat, Wetuar, dan terutama yang di Umel (Ohoiwait). Lalu ketika Bun Liisa pergi mengunjungi saudarasaudaranya di Ohoi Wetuar.53 Keturunan Yahau, Kud, Notan, dan Ingrat kemudian pergi ke hutan dan menunggu Bun Liisa pulang dari Wetuar. Ketika dalam perjalanan pulang itulah Liisa dipanggil oleh mereka dengan 52
van Hoevell, G.W.W.C. 1890 ‘De Kei-eilanden’, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 33:102-159. 53 Wetuar merupakan salah satu dusun dari desa Ohoiwait. Jarak tempu dengan berjalan kaki dari Ohoiwait ke Wetuar adalah sekitar 2,5 jam.
92
alasan untuk melihat apakah ”warna hitam” di atas pohon itu adalah KusKus (Madar–dalam bahasa Kei) atau bukan. Ketika Bun Liisa sedang melihat ke atas pohon itu, mereka melempar tali kelehernya dan mengikatnya dan digantung sampai mati. Setelah tahu bahwa Liisa tidak bernafas lagi mereka pulang kekampung dan mengatakan bahwa mereka menemukan Liisa tergantung karena terkena jerat.” Setelah Bun Liisa mati dibunuh, maka perlahan-lahan kekuasaan adat itu berpindah tangan. Di sini bagian terakhir dari cerita sejarah yang di utarakan Melky di atas, mungkin ada benarnya, bahwa ”Mel Reyaur telah punah maka atas musyawara bersama diangkatlah Afelar (Susbat) Yahaubun menjadi kepala masyarakat karena dia adalah anak sulung.” Namun demikian kisah tentang punahnya keturunan itu tidak benar. Benar bahwa Afelar Yahaubun memang menjadi pemimpin Ohoi, tetapi itu bukan karena keturunan penduduk asli telah punah. Keturunan Bun Liisa masih ada di Ohoiwat sampai dengan penelitian ini dilakukan. Bun Liisa memiliki empat orang anak, yakni: 1). Mam Bal (perempuan); 2). Bun Adam; 3). Yahau Kud54 (laki-laki - tidak kawin); 4). Nen Suf (perempuan). Karena itu, jika alasan pemindahan kekuasaan dalam cerita sejarah (oleh Melky) di atas didasarkan atas punahnya keturunan penduduk asli, tentu tidak benar. Asumsi saya (peneliti) jika Melky dengan sedikit cerdas menulis bahwa perpindahan kekuasaan itu dikarenakan keturunan pertama (anak pertama) dari Bun Liisa adalah perempuan, yang dalam budaya (adat) Kei belum bisa diakomodir/diterima sebagai pemimpin, maka Afelar Yahaubun yang adalah anak sulung Towowod Rahawarin
54
Yahau Kud sebagai nama disini tidak memiliki kaitan dengan keturunan Towowod Rahawarin yang bernan Kud itu. akan Bun Liisa yang bernama Yahau Kud ini adalah bentuk pewarisan nama leluhur dari leluhur Baran Fit. Diantara “ketujuh orang” yang disebut Baran Fit itu ada seorang yang bernama Kud, dia dikisahkan keluar dari kampung dan pergi ke kepulauan Tenggara Jauh.
93
dipilih sebagai pemimpin, mungkin dapat diterima–walaupun masih akan diperdebatkan. Sayangnya, Melky dan sumber sejarahnya memiliki kepentingan lain. Anak pertama dari Bun Liisa, yakni, Mam Bal menikah dan mempunyai tiga orang anak perempuan. Anak pertama bernama Nen Tel yang menikah dan menetap di desa Tutrean dengan orang yang bermarga Resel; anak kedua, bernama Nen Wat Met, menikah dan menetap/tinggal di desa Weduar; dan anak ketiga bernama Nen Snei, menikah dan menetap atau tinggal di Mataholat, yang keturunannya bermarga Ohoilean. Sedangkan anak laki-laki Bun Liisa, yang bernama Bun Adam menikah di Ohoiwait dan memiliki empat orang anak (tiga laki-laki dan satu perempuan), yakni: 1). Laurens; 2). Kristian; 3). Kaleb; dan 4). Daeng Domin (perempuan). Walaupun demikian, untuk menyederhanakan penelitian ini, saya hanya akan menguraikan keturunan dari anak pertama Bun Adam, yakni LAURENS, sebab kepentingan atau alasan yang mendasari keputusan itu adalah hanya untuk menunjukan bahwa keturunan dari penduduk asli itu masih ada, dan tidak punah seperti yang diuraikan Melky dan sumber sejarahnya. Perlu dijelaskan bahwa keturunan dari Bun Liisa sampai ke Bun Adam pada awalnya belum menggunakan marga, baik Yahaubun, Kudubun, Notanubun, Ingratubun, apalagi Rahayaan. Laurens (anak pertama Bun Adam) pada awalnya juga tidak menggunakan marga, namun keturunannya atau anak-anaknya kemudian menggunakan marga. Karena itu, bagi saya disini ada kontradiksi atau problematika yang perlu diuraikan sebabnya. Laurens memiliki 5 (lima) orang anak (tiga laki-laki 94
dan dua perempuan). Mareka adalah:1). Frans Rahaningmas; 2). Gerson Rahaningmas; 3).Hanggarget Rahaningmas; 4).Priskila Rahaningmas; dan 5). Reinhard Rahaningmas.55 Pertanyaannya adalah mengapa anak-anak dari Laurens menggunakan marga itu? Sebelum mendeskripsikan jabawab bagi pertanyaan itu perlu di uraikan terlebih dahulu keturunan dari kelima orang anak Laurens, dan pekerjaan mereka:56 pertama, Frans Rahaningmas, menikah dengan perempuan dari Tutrean dan memiliki enam orang anak, yakni; 1). Albert Rahaningmas (polisi – tinggal di Nabire, Papua); 2). Kaleb Rahaningmas (swasta – tinggal di Ambon); 3). Kanar El Rahaningmas (petani – tinggal Ohoiwait); 4). Eca Rahaningmas (alm); 5). Bong Mas (perempuan, PNS – tinggal di Papua); dan 6). Mores Rahaningmas (swasta – tinggal di Papua). Hanya satu orang dari keturunan dari Frans Rahaningmas yang tinggal di Ohoiwait. Kedua, Gerson Rahaningmas, memiliki sembilan orang anak, yakni: 1). Eirine Rahaningmas (menikah di Ohoiwait); 2). Marteng Rahaningmas, SH (Swasta di Surabaya); 3). Daud Rahaningmas (Sekretaris LKMD di Ohoiwait); 4). Nimrot Rahaningmas (petani, di Ohoiwait); 5). Adam Rahaningmas, SH (saat ini telah pulang dan tinggal di Ohoiwait); 6). Mathias Rahaningmas, SH (Swasta, di Surabaya); 7). Chandra Rahaningmas (perempuan – menikah di Ohoiwait); 8). Naema Rahaningmas 55
Reinhard Rahaningmas saat ini menetap di Surabaya. Dia kuliah di Fakultas Hukum UNAIR Surabaya, setelah lulus diangkat sebagai dosen di fakultas yang sama dan beberapa tahun lalu telah pensiun. 56 Dari kelima orang anaknya ini, hanya seorang yang masih hidup yakni Reinhard Rahaningmas yang tinggal di Surabaya. Sedangkan empat orang lainnya telah meninggal dunia (almarhum). Sebagaian besar dari keturunan mereka juga telah menikah dan memiliki anak, bahkan cucu. Jadi jika dihitung mulai dari Kanar El sampai ke cicitnya Frans maka setidaknya sudah terdapat 8 generasi. Jika satu generasi dihitung 40 tahun, maka Rat Kanar El kemungkinan telah meninggal dunia sebelum tahun 1690. Hal ini juga dibuktikan dengan perubahan gelar Rat Lo Ohoitel dari KOSEB menjadi IHI BES yang juga terjadi saat Rat Kanar El telah tiada/meninggal dunia.
95
(perempuan – menikah di Ohoiwait); 9). Manasye Rahaningmas (SMK-Perhotelan di Surabaya, dan telah bekerja sebagai salah satu Manager di Hotel Suita – Langgur, Malra). Ketiga Hanggarget Rahaningmas, menikah di Ohoiwait dan memiliki dua orang akan perempuan, yakni: 1). Oktovina Kudubun/Resel (menikah di Tutrean dengan Ambe Resel, dan saat ini tinggal di Kaimana, Papua); 2). Rosina Kudubun (menikah di Ohoiwait, dan saat ini tinggal di Jayapura, Papua). Keempat, Priskila Rahaningmas, menikah di Ohoiwait dengan Matius Kudubun,57 dan memiliki sembilan orang anak, yakni: 1) Yunus Kudubun (alm); 2). Laurens Kudubun, SH (pengacara di Surabaya); 3). Yotam Kudubun (swasta di Ambon); 4). Edwardo Kudubun (petani di Ohoiwait); 5). Suryani Kudubun (swasta di Kaimana, Papua); 6). Nelci
Kudubun
(Tata
Usaha
GPIB
Torsina,
Surabaya);
7).
Tineke
Kudubun/Ingratubun (menikah di Ohoiwait); 8). Sepnat Kudubun, SH (swasta di Surabaya); dan 9). Elly Kudubun, S.Sos (swasta, di Salatiga). Kelima, Reinhard Rahaningmas memiliki dua orang anak, yakni: 1). Melkisedek Rahaningmas, S.Kom (swasta di Surabaya); dan Yaneke N. Rahaningmas, S.Kom (swasta di Surabaya). Setidaknya terdapat dua hal menarik yang datap teramati dari keturunan Frans, Gerson, Hanggarget, Priskila dan Reinhard, yakni: 1). Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk tinggal dan menetap di luar kampung (Ohoiwait), bahkan di luar Maluku Tenggara (Kei), yaitu Papua, Ambon dan Surabaya; dan 2). Dilihat dari tingkat pendidikan, kebanyakan dari mereka berhasil sekolah, minimal Sekolah Menengah Atas (SMA). Walaupun demikian, kebanyakan dari mereka memilih untuk 57
Matius Kudubun dan (alm) Priskila Rahaningmas adalah ayah dan ibu peneliti.
96
tidak ”mengadu nasib” atau mencari pekerjaan di Maluku Tenggara sebab ada pandangan umum dari mereka, bahwa mereka tidak akan berhasil mendapatkan pekerjaan di Maluku Tenggara sebab masih kuatnya wacana tentang kasta di Kei, dan lagi yang menduduki posisi penting dipemerintahan Maluku Tenggara saat ini adalah mel-mel dari Ohoiwait.58 Cara berpikir yang juga terwariskan dari orang-orang tua ini menciptakan semacam ketakutan pada generasi muda yang berakibat pada keputusan untuk tidak pulang. 3.3.6. Marga sebagai Bentuk Asimilasi Setelah kepemimpinan Ohoi ”berpindah tangan” dari penduduk asli kepada keturunan Towowod Rahawarin, yakni Afelar (Susbat) Yahaubun, maka keinginan untuk mendominasi dan mengeliminir penduduk asli itu mulai muncul. Anton Notanubun dan Kanar El Rahaningmas menjelaskan kepada peneliti bahwa ”setelah Liisa dibunuh, maka hari-hari kehidupan selanjutnya dari penduduk asli diwarnai dengan ancaman, pemerkosaan dan pembunuhan dari para pendatang itu.” Konsep yang mereka (Anton dan Kanar El) gunakan untuk menjelaskan situasi itu adalah foar faraha. Secara harfiah foar berarti ”gila atau menggilai, bisa juga berarti setan” dan faraha berarti ”pemerkosaan atau pelecehan seksual.” Dengan demikian, foar faraha bermakna ”keinginan yang berlebihan atau nafsu kesetanan kepada perempuan yang
58
Karena itu, sejak tahun 2000 muncul wacana di Tual bahwa kantor Daerah Maluku Tenggara itu dipelesetkan menjadi kantor NKRI. NKRI yang dimaksud adalah Notanubun, Kudubun, Rahayaan, Rahaningmas, dan Ingratubun. Wacana ini muncul dikarenakan sebagaian besar pegawai di kantor Daerah itu berasal dari Ohoiwait mel-mel, sedangkan kelompok ren-ren Ohoiwait tidak ada seorangpun yang berhasil menjadi PNS di Maluku Tenggara.
97
mengakibatkan tindakan pelecehan seksual bahkan pembunuhan, kemudian menuduh dan mengkambinghitamkan59 orang lain. Dengan kata lain, kelompok ren-ren dikambinghitamkan atau menjadi tumbal atas semua ”tindakan brutal” yang muncul saat itu tanpa bukti awal yang jelas. Situasi ini secara psikologis membuat penduduk asli semakin terdesak dan memilih untuk pergi meninggalkan El Umel (Ohoiwait) menuju ke Mataholat dan Wetuar, sebab dikedua tempat ini hidup sebagian saudara mereka. Sebagian dari mereka memilih untuk meninggalkan kampung dan tinggal di hutan (kebun-kebun mereka). Karena itu, tradisi tinggal di kebun (tub wee – tidur di kebun) itu masih dipertahankan samapi sekarang. Biasanya satu keluarga membuat kebun, kemudian menetap atau tinggal di kebunnya itu samapi waktu panen baru pulang lagi ke kampung (desa). Tindakan keluar dari kampung, dapat dikatakan sebagai bentuk resistensi tanpa kekerasan. Tindakan ini, di satu sisi dapat ”dibaca” sebagai tindakan penyelamatan diri dan kelompok (klen), dan di sisi lain memiliki implikasi negatif yang tampak sampai saat ini. Implikasi negatif itu adalah beralihnya fungsi-fungsi adat kepada para pendatang (mel-mel). Walaupun demikian, perlawanan dengan memilih keluar dari kampung itu telah membuat para pendatang (mel-mel) ”berkecil hati” atau ketakutan dan berusaha mencari dan membujuk mereka yang dalam ”pelarian” itu untuk pulang dan tinggal bersama di Ohoiwait. Anton Notanubun mengisahkan tentang sebab mengapa mereka menggunakan marga ”Notanubun.” Menurutnya, ”kakeknya telah bertekad untuk meninggalkan
59
Penjelasan yang sangat baik tentang “kambing hitam” dapat dibaca dalam Sindhunata, Kambing Hitam; Teori Rene Girard, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006: 173
98
Ohoiwait dan pergi ke Wetuar, namun sebelum sampai ke Wetuar, kakeknya memutuskan untuk tinggal dan berkebun di Leswuan (salah satu petuanan mereka). Ketika tinggal dan berkebun itulah, datang mereka yang bermarga Notanubun (Anton tidak menyebutkan nama orang– menurutnya jika menyebut nama orang hanya akan membuat masalah tambahan)60 dan memanggil pulang kakek dan keluarganya yang lain. Berkali-kali mereka (Notanubun) itu datang membujuk, barulah kakeknya mau untuk kembali ke Ohoiwait. Opa Anton mengisahkan: ”kami (maksudnya adalah leluhurnya) mau pulang ke Ohoi karena ada perjanjian dari mereka. Karena bujukan dan rayuan mereka ditolak, leluhur Notanubun itu berkata ’im ro fo im dok imbail ohoi ro’o, im dok fo im mel te im ren, im’mehe antur’ (kembalilah untuk tinggal dikampung dan mendoakan keselatan kampung dan isinya, kalian akan tinggal merdeka, mau menjadi mel atau ren semua terserah pada kalian saja). Karena kata-kata itulah saya punya kakek-nenek (para leluhur) mau kembali lagi. Kalau tidak kami sudah pergi dan tinggal di Wetuar” Ketika kembali ke kampung serta mengingat kembali jasa mereka yang membujuk dan merayu itulah, kakeknya mengatakan kepada bapaknya Anton (waktu itu Anton belum lahir) agar jika menikah anaknya harus dikasih fam (marga) Notanubun, sebagai penghargaan terhadap niat baik Notanubun yang sudah ”membawa” mereka kembali ke Ohoi. Namun bukan berarti mereka ada dibahwa mel-mel yang Notanubun itu.
60
saya (peneliti) tidak memahami apa yang Opa Anton sebutkan dengan “masalah tambahan” dan ketika saya bertanya dia hanya mengatakan “O maskol ok’mo, omkai he” (kau sudah sekolah jadi pasti mengertilah). Opa Anton kemudian mengatakan “o’m horak naa yamam, Notanubun mangbe yanar-ubun hir foar naa ohoi i” (tanyalah kepada bapakmu, keturunan Notanubun siapakah yang selalu gila-memiliki kelainan jiwa-di kampung ini). Memang di Ohoiwait, mereka yang bermarga Notanubun (bukan keluarga Opa Anton) ini pasti salah satu anggota keluarganya memiliki kelainan jiwa, berprilaku menyimpang. Opa Anton mengatakan merekalah yang paling banyak melakukan foar faraha itu, sampai menguburkan orang hidup-hidup, setelah diperkosa.
99
Pola mengikuti marga ini menurut saya merupakan bentuk asimilasi (pembauran) yang didasarkan niatan baik untuk mengembalikan kehidupan bersama yang ”telah tercabik” sebelumnya. Jika mencermati penjelasan Anton Notanubun di atas, jelas bahwa tindakan”pulang kampung” disebabkan adanya sistem wewenang yang diberikan, yakni ”im ro fo im dok imbail ohoi ro’o, im dok fo im mel te im ren, im’mehe antur” karena itu, upaya mengembalikan penduduk asli yang telah meninggalkan kampung itu perlu dimaknai dalam perspektif ”tahu diri” dari kelompok mel-mel terhadap: a) tradisi; apa yang dari dulu ada sentiasa sah; b) keterkaitan emosional; apa yang dianggap baik senantiasa harus dianut; c) kepercayaan terhadap nilai-nilai yang mutlak; apa yang dianggap mutlak sah adalah sah; dan d) pernyataan positif yang legalitasnya diakui, sehingga tidak boleh dipermasalahkan lagi.61 Pola ”membawa pulang” penduduk asli yang hendak keluar dari kampung itu terjadi untuk semua ”yang melarikan diri” itulah sebabnya mereka yang kembali ke Ohoiwait itu kemudian keturunanya mengikuti marga dari orang yang memanggil pulang. Dalam perspektif mel-mel tindakan itu disebabkan karena mereka ”tahu diri” bahwa keselamatan Ohoi Nuhu (tanah air–termasuk isinya) secara tradisi adat ada ditangan penduduk asli (ren-ren) itu – mereka yang mempunyai kewenangan dalam mendoakan keselamatan Ohoi Nuhu. Sedangkan dari perspektif mereka yang melarikan diri (ren-ren) upaya yang dilakukan oleh mel-mel itu adalah sebuah ”niat
61
Lihat Validitas Wewenang yang sah, dalam Soerjono Sukanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002: 66-68
100
baik” yang perlu mereka dukung, demi mempertahankan keutuhan Ohoi Nuhu sebagai bukti keberadaan (sejarah) leluhur mereka. Memang tidak semua yang ”pulang ke Ohoi” mendapatkan atau menerima janji seperti yang diterima oleh kakeknya Anton Notanubun itu. Walaupun demikian, pola mengikuti marga tetap terjadi. Inilah makna pasal 1 (Uud entauk Atvunad) dari Hukum Larvul Ngabal itu. Artinya, dalam perspektif adat Kei, apa yang dilakukan oleh pemimpin, pengikut perlu mengikuti–walaupun pasal ini masih bisa diperdebatkan. Tidak semua yang kembali ke Ohoi itu mengikuti marga Notanubun, namun menikuti siapa yang ”merayu” mereka untuk kembali. Karena itu, ada yang bermarga Yahaubun, Kudubun, Notanubun, Ingratubun, dan Rahayaan. Marga Yahaubun ini kemudian berubah menjadi Rahaningmas. Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang perubahan ini. Pandangan pertama, mereka yang mel-mel (dan Islam) menolak penggunaan nama marga Yahaubun sebab secara harfiah, ”Yahau” berarti ”anjing” dan ”Ubun” berarti ”anak cucu” jadi Yahaubun berarti ”anak cucu anjing”, di Ohoiwait, marga Yahaubun tidak digunakan lagi, hanya satu orang yang masih menggunakan marga ini, namun berdomisili di Ambon bukan di Ohoiwait. Sedangkan pandangan kedua, oleh mereka yang ren-ren khususnya Gerson dan Frans (lihat keturunan Laurens, di atas), berpandangan bahwa ”Rahaningmas” adalah nama (marga) asli mereka dari sebutan ”Tan Mas” atau ”tanah emas, tanah pusaka” jadi mereka adalah pemilik Ohoi Nuhu. Hal yang menarik dari pola mengikuti marga ini adalah, bahwa mereka yang bermarga Notanubun (khususnya opa Anton dan Lius serta anak cucunya), dan 101
Rahaningmas (khususnya bapak Frans, Gerson, Reinhard, dan anak cucu mereka) mereka tidak hidup dibawah penguasaan mel-mel siapapun juga. Mereka hidup dan menentukan ”nasibnya” sendiri. Sayangnya, eksklusifitas hidup yang mereka miliki itu tidak diikuti dengan pengakuan akan hak-hak dan fungsi-fungsi adat oleh mel-mel. Fungsi-fungsi adat tetap dipegang oleh mel-mel, jadi ada pengakuan bahwa mereka adalah keturunan penduduk asli yang tidak berada dibawa penguasaan mel-mel, namun tidak disertai dengan fungsi dan peran adat sebagai tuan tan (tuan tanah), mituduan (Imam), dan taha kabil (menjemput pengantin perempuan). Fungsi dan peran ini masih dipegang oleh marga Rahajaan. 3.3.7. Mel, Ren, dan Iri di Desa Ohoiwait Seandainya saja semua orang Evav mau jujur terhadap sejarahnya (Tom Tad), maka praktek kasta di Kei saat ini tidak ”mengganas”, dalam artian mendominasi, mengeliminir, dan memarjinalkan kelompok yang lain (ren dan iri). Setiap sejarah tentu terbentuk dengan dinamika yang berbeda-beda. Memang secara umum munculnya kasta di Kei berasal dari sumber atau referensi yang hampir sama, namun kelihatannya dikisahkan secara berbeda, atau dengan kata lain ”bahasa sejarah (tom tad) dibunyikan sesuai dengan keinginan dan kepentingan masing-masing kelompok bahkan masing-masing orang.” Karena itu, siapa yang memegang atau memiliki kekuasaan adat, dia akan memproduksi tom tad untuk mendukung kedudukannya.62
62
Wawancara dengan Reinhard Rahaningmas, tanggal 23 dan 28 Desember 2011.
102
Dalam laporan penelitian LIPI63 yang dilakukan selama dua minggu di Kei, salah satu bagian (sub) laporan itu mengisahkan tentang tiga gelombang migran yang masuk di Evav. Gelombang pertama, masuk melalui gugusan pulau-pulau dibagian selatan Nusantara dan lebih dahulu menempati Kepulauan Tanimbar sebagi pemukiman pertama. Kemudian sebagain dari mereka melanjutkan pergerakannya ke Kepulauan Kei dan menempati pulau Yuut (Kei Besar); gelombang kedua, juga datang melalui pulau-pulau terselatan Nusantara dan mengakibatkan kelompok migan pertama terdesak dan tuntas berpindah dari Tanimbar dan bergabung dengan sesama sukunya di Kepulauan Kei, dan membentuk tiga dialek induk dalam bahasa Kei yaitu: dialek Kei Besar Utara, Kei Kecil dan Tanimbar Kei; dan gelombang ketiga, masuk ke Kepulauan Kei dari wilayah barat Nusantara melalui jalur pulau-pulau terselatan Maluku Tenggara seperti keluarga Tubtut, Jangra, Baran Fit-Tafitik64 dan lain-lain; maupun melalui Pulau Kur sebagai pintu masuk dari wilayah Sulawesi, Maluku bagian Tengah dan Utara seperti warga Tallaut, Jamlean, Fofid, keluarga Baldu Wahadat, Vu Aha Kaneu, Fabrait Ohoililir dan banyak lagi kelurga lain. Menurut laporan LIPI mingrasi kedua dan ketiga inilah yang sangat berperan dalam pembentukan tatanan pemerintahan dan hukum
adat di Kepulauan Kei.
Karena itu, masuknya imigran dari Watlaar dan Haar (Kei Besar Utara) ke Ohoiwait (lihat uraian di atas) tentu bukan ”orang-orang hebat” yang berperan penting dalam 63
Lihat Sri Yuniarti, Thung Ju Lan, Josephine Rosa Marieta, Mardyanto W. Tryatmoko, Problematika Capacity Building: Kelembagaan Pemerintah Lokal dalam Pengelolaan Konflik di Maluku, Jakarta: LIPI Press, 2006. 64 Kemungkinan “Baran Fit Tafitik” inilah yang juga dikenal di Ohoiwait. Namun menurut Kanar El Rahaningmas, sepertinya kurang tepat sebab “Baran Fit” ala Ohoiwait ini hampir semuanya kemudian bermigrasi keluar dari Ohoiwait, baik ke Kepulauan Aru, Tanimbar (Tenggara Jauh), Sathena (Kei Kecil), dan juga Feer (Kei Besar Selatan).
103
pembentukan tatanan pemerintahan dan hukum adat. Artinya ketika mereka sampat di Ohoiwait tatanan masyarakat dan pemerintahan adatnya sudah terbentuk.
Egen
Toffy,65 ketika diwawancarai tentang adanya orang-orang yang berasal dari Haar dan ”singgah” di Ohoiwait itu mengatakan bahwa ”Rahawarin keluar dari Haar karena di usir. Mereka melakukan kesalahan adat (hir hawaing dalam bahasa Kei) dan diusir dari kampung. Hir hawaing menurut Egen Toffy adalah membuat orang lain sakit bahkan mati dengan ilmu hitam. Egen, melanjutkan bahwa mereka menjadi mel-mel di Ohoiwait sebab memang mereka pendatang, tetapi bukan mel-mel dalam arti ”kasta pemimpin.”66 Nimrot Rahaningmas, Anton Notanubun, Christian Kudubun, dan Kanar El Rahaningmas, ketika diwawancarai mengenai praktek kasta di Ohoiwait mengisahkan bahwa: ”kalau kita mau jujur terhadap praktek kasta (mereka menjebutnya bang’sa67 mel, ren dan iri), maka itu merupakan kesepakatan yang baik dalam menjaga Ohoi Nuhu dan tatanan adatnya. Sebab ada bang’sa atau kelompok ”penjaga” karena sebagai pemilik, tau batas-batas serta bahasa adat seperti doa-doa kepada leluhur (ta tar yoman–flurut nit); kemudian ada kelompok ”pemimpin” yang diangkat karena kecakapan-kecakapan tertentu; dan ada ”pengabdi” yang sebenarnya muncul dari dua kelompok itu atau yang diambil karena kalah perang, termasuk dibeli. Penjaga, Pemimpin, dan pengabdi inilah yang disebut dengan Ren, Mel, dan Iri. Mereka ini adalah
65
Egen Toffy adalah orang Haar (desa dimana Towowod Rahawarin berasal) yang menikah di desa Waur Kei Besar. Dia berprofesi sebagai tukang ojek di Elat. Saya mengenal Egen, sewaktu saya masih sekolah SD dan SMP di Pulau Adi, Papua (PT Adi Jaya Mulia), perusahaan dimana waktu itu Egen bekerja sebagai Satpam, dan bertemu dengan perempuan yang menjadi istrinya. Egen adalah mel-mel (kasta pemimpin di kampungnya). Istrinya yang orang Waur itu adalah ren-ren. Wawancara dengan Egen di Waur tanggal 28 Desember 2010. Pagi itu dia datang di Ohoiwait untuk menjenguk saya, dan kemudian mengajak saya ke Waur untuk sekalian bertemu Istrinya. 66 Bandingkan penjelasan Egen ini dengan hasil penelitian Triko Beruatwarin yang telah disinggung pada BAB I (kajian literatur). 67 Mungkin maknanya sama dengan defenisi bangsa. Hanya saja penekanan dalam “membunyikan” atau intonasinya berbeda
104
”tiga tungku” yang mesti bekerjasama dalam menjaga kampung.68 Dan sejarah kampung ini membuktikan bahwa dulu Bun Kanar El adalah Rat, dia pemimpin juga sekaligus penjaga, sedangkan moyang Tan Ef adalah panglima perang yang ditakuti Ohoi-Ohoi lain, belum ada yang disebut kasta itu sebab memang tidak ada pendatang, yang ada adalah satu komunitas asli pembentuk Woma. Yang disebut kasta itu mulai muncul setelah adanya pendatang dan terbentuknya Larvul Ngabal, tapi kasta waktu itu (terbentuknya) bukan untuk saling meniadakan atau satu menguasai/menjajah yang lain, mereka hidup dan menjalankan fungsi masing-masing untuk menjaga keutuhan Ohoi. Tapi begitulah, anak cucu dari orang-orang yang berlayar dari Watlaar dan Haar, kemudian mengatakan bahwa mereka mel-mel itu seolah melupakan hal ini, mungkin juga karena pengaruh Belanda untuk memecah-bela orang Kei sehingga orang-orang yang diangkat oleh Belanda lalu mempertahankan kekuasaannya sampai sekarang. Kalaupun mereka ingat kasta yang asli, itu karena ada kepentingan, misalnya pemilihan kepala desa, atau ada proyek pemerintah yang masuk kampung dan mengajak semua orang untuk menerima dengan bayaran yang minim karena mereka makan lebih banyak, atau mendekati pemilu karena kepentingan untuk menang atau memenangkan seseorang. Selain kepentingan-kepentingan itu, ’diluar’ (maksudnya adalah diluar kampung) dong bilang katong iri-iri. Tapi katong sabar saja ”teten hir tub nit hir lilik umat ni beben” (leluhur yang mati akan melihat siapa yang benar dan siapa yang salah). Tiga orang kepala desa mati ketika masa tugasnya belum berakhir, bahkan ada yang duduk didepan meja kerja langsung mati, itu tidak wajar. Namun sepertinya ada yang belum sadar. Ohoiren itu hanya ada rumah saja, tapi hampir semua penghuninya sudah pergi tinggal di Tual, nanti ada kegiatan baru datang dikampung ”ohoi’i in tuak umat fel hir ot adat inba nablo waaidi” (”kampung” menolak orang yang tidak adil dalam menjalankan adat) tapi mereka belum sadar. Dikampung ini hanya ada ren dan mel, kalaupun ada iri-iri itu adalah iri yang mengabdi kepada ren – ada beberapa orang, tapi mereka sudah dimerdekakan oleh leluhur, itu yang bermarga Rahaningmas di depan gereja itu dulunya kan dibeli dari Tutrean dan menjadi pembantu leluhur kita, tapi setelah menikah, dia kan dimerdekakan dengan diberi tanah dan lain sebagainya.” Berdasarkan penjelasan itu, dapat disimpulkan bahwa praktek kasta di Ohoiwait adalah bertujuan mempertahankan status quo mereka yang telah memimpin,
68
Nimrot berkata kepada saya (peneliti): “adik, coba tengok/lihat usi Eya yang lagi masak itu, dan bayangkan kalau tungku itu hanya dua atau hanya tinggal satu, apa yang terjadi?... kampung ini akan hancur atau runtuh.” Mendengar itu saya hanya termangu dan mengangguk tanda setuju.
105
yang pada awalnya kepemimpinan itu didapatkan dengan cara membunuh salah satu leluhur yang bernama Liisa. Namun akhirnya fakta itu diterima kelompok ren-ren dengan mengakui kepemimpinan mel-mel, walaupun praktek kasta saat ini sudah menyimpang sebab kelompok ren-ren merasa bahwa hak-hak mereka tidak diakui, bahkan diambil-alih oleh mel-mel, yang menarik mereka tetap sabar dan menyerahkan atau berserah diri (naasib) kepada luluhurnya yang telah tiada. Bentuk kepasrahan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh pemahaman mereka (keturunan penduduk asli tentang makna Ohoiwait sebagai ”kampung hidup” dan kepercayaan kepada leluhur yang telah mati namun ”hidup” akan ”bertindak” menyelamatkan kampung dan orang-orang yang hidup dengan memegang teguh pesan-pesan leluhur untuk menjaga ketentraman dan kemaslahatan atau harmoni Ohoi Nuhu dengan taat kepada adat. Pemahaman seperti ini merupakan implementasi dari konsep ”sob Duad flurut Nit fo hoar towlai, hanya dengan memahami dan menjalankan pesan-pesan luluhur dan tetap memohon pada ”yang kuasa” maka akan berimplikasi pada ”adat in ot rat naa dunyai” (terhormat atau tidaknya seseorang tergantung dari perilaku dan tutur katanya). Berdasarkan sejarah lisan yang berkembang, baik di Ohoiwait secara khusus maupun di Kei secara umum struktur asli masyarakat Kei itu terbentuk ketika terjadi pertemuan ”penduduk asli” dan ”pendatang.” Pertemuan itu, seperti pernah disinggung sebelumnya, terjadi atas dasar semangat kekeluargaan yang berujung pada kesepakatan bahwa ren-ren sebagai kakak dan mel-mel sebagai adik, sebab itu keduanya dilarang kawin. Ren-ren sebagai kakak itu menempati posisi sebagai ’kasta 106
penjaga’ artinya menjaga kampung dan memberi arahan adat kepada si adik mel-mel yang menempati posisi ’kasta pemimpin’ itu, dan selanjutnya, siapapun dari ”kedua kasta” yang melanggar aturan (nilai dan norma) adat akan diturunkan statusnya sebagai iri-iri atau ”kasta pengabdi” jadi iri-iri ini muncul karena ada pelanggaran adat. Iri-iri bukan satu komunitas manusia yang ada dengan sendirinya. Karena itu, struktur asli masyarakat Kei itu dapat di gambarkan sebagai berikut:69 Tabel. 2 STRUKTUR ASLI MASYARAKAT KEI PENDUDUK PERTAMA
PENDATANG
SEMUA KATEGORI
Kasta Penjaga
Kasta Pimpinan
Kasta Pengabdi
REN-REN
MEL-MEL
IRI-RI
Struktur masyarakat yang terbentuk atas kesepakatan antara penduduk pertama (asli) dengan pendatang itu, didasarkan atas dua fungsi adat Kei yakni: Ngarihi Nanai dan Ngeran Taltal yang awalnya kedua fungsi ini dimiliki oleh penduduk asli (ren-ren) itu. Secara harfiah, Ngarigi berarti “bicara/pembicaraan” dan Nanai berarti “bilang/mengatakan sesuatu” jadi Ngarihi Nanai bermakna “hak untuk berbicara atau mengatakan sesuatu tentang pembicaraan adat yang berlangsung antara dua pihak yang berbeda”, inilah yang disebut dengan Rasdow (rapat atau sidang atau bermusyawarah). Sedangkan Ngeran berarti “tajam/alat tajam” dan Taltal berarti 69
Formulasi ini dilakukan berdasarkan “data awal” yakni tahun 2006-awal tahun 2008, ketika saya berada di Maluku Tenggara dan pernah mengunjungi beberapa desa baik di Kei Besar maupun Kei Kecil, dan hasil wawancara selama penelitian. Termasuk wawancara mendalam dengan Josep Ufie di kantornya tanggal 3 Maret 2011 di UNPATTY (Doden FISIP UNPATTY-Ambon) yang berasal dari Ohoinol salah satu desa di Kei Kecil. Selain itu, jika membaca laporan penelitian LIPI 2006, pola seperti ini juga akan tampak. Artinya “perdebatan” secara akademis tentang Struktur Asli Masyarakat Kei ini sudah menemukan titik terang penyelesaian bahwa struktur itu baik adanya, namun dalam prakteknya struktur atau sistem kasta ini mala menindas karena ada kepentingan-kepentingan tertentu.
107
“berasal dari”, jadi Ngeran Taltal bermakna “hak untuk memimpin sebuah peperangan atau konflik dengan dengan pihak lain.” Kedua fungsi utama adat inilah yang dilembagakan sebagai “kelompok penjaga” dan “kelompok pemimpin” itu. Kelompok penjaga kemudian memegang fungsi “Luw Sukat/Mituduan, tuan tan, batang woma” yang dikategorikan sebagai “ngarihi nanai.” Hal ini dikarenakan kelompok ren-ren yang adalah penduduk asli mengerti dan memahami sejarah asli pembentukan Ohoi, batas-batas dan segala ritual adat yang berkaitkan dengan praktek kepercayaan kepada Duan–Duad. Sedangkan kelompok pendatang kemudian mendapat fungsi sebagai ngeran taltal yang memberi hak pada mereka untuk memimpin peperangan dengan pihak lain, dan juga sebagai Laai Kapal Ohoi (pembesar kampung–kepala Ohoi). Dengan berjalannya waktu, kelompok pendatang itu, kemudian “berekspansi” mendominasi fungsi Ngarihi Nanai70 yang memperkukuh kedudukannnya sebagai benar-benar memimpin, tidak hanya memimpin perang namun juga memimpin adat Ohoi Nuhu. Fenomena tentang penguasaan fungsi adat itulah yang terjadi di Ohoiwait. Kelompok yang seharusnya memegang peranan sebagai tuan tan dan mituduan, batang woma, atau Ngarihi Nanai yang dikategorikan selalu berkedudukan sebagai ren-ren tidak diakui keberadaannya. Bahkan diwacanakan sebagai iri-iri dan lebih memiluhkan lagi dikatakan telah punah. Padalah, jika memperhatikan silsila (keturunan) yang telah diuraikan di atas (bagian 3.3.5) membuktikan bahwa kelompok ini masih ada.
70
Wawancara dengan Anton Notanubun, Louis Notanubun, Welhelmus Kudubun, Hezkia Kudubun, Kanar El Rahaningmas, dan Enci Ohoilean.
108
Di Ohoiwait, kedua fungsi utama adat itu dikuasai oleh mel-mel, bahkan Tuan Tan dan Mituduan dipegang oleh marga Rahayaan yang menyebut diri sebagai melmel, adalah sesuatu yang kontradiktif dalam adat Kei, karena itu patut dipertanyakan. Marga Ingratubun (mel-mel) yang memegang jabatan Kepala Desa atau Kepala Ohoi, bagi saya (peneliti) adalah wajar jika ditempatkan dalam perspektif “struktur asli masyarakat Kei” di atas, walapun masih patut diperdebatkan juga tentang apakah mereka yang hadir di Ohoiwait (dari Watlaar dan Haar) dapat dikategorikan sebagai mel “kasta pemimpin” itu? Sebab kedua fungsi utama adat itu sebelum kedangan imigran dari Watlaar dan Haar dipegang atau dimiliki oleh kelompok ren-ren. Struktur asli masyarakat Kei pada awalnya terbentuk atas dasar kekeluargaan yang kuat. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Ohoiwait, struktur itu terbentuk dikarenakan pembunuhan dan pengkambinghitaman atau foar faraha yang telah diuraikan di atas. Demikian juga kesepakatan luhur bahwa ren dan mel tidak boleh saling menikahi sebab keduanya adalah kakak-beradik, di Ohoiwait kesepakatan itu dipelesetkan bahwa ren tidak boleh menikah dengan mel sebab ren adalah kelas bawah dan mel kelas atas, yang lalu dikaitkan dengan bangsawan, pandai, dan kaya. Faktanya, kepemilikan tanah (jika ini dijadikan ukuran kekayaan) di Ohoiwait dikuasai oleh mereka yang ren-ren itu. karena itu, dapat dikatakan bahwa praktek kasta di Ohoiwait menjadi sangat didominasi (penguasaan terhadap ren) oleh pendatang dari Watlaar dan Haar, penguasaan ini kemudian terlembaga hingga sekarang dimana mereka merasa sebagai manusia yang bermartabat lebih tinggi dari pada keturunan penduduk asli. 109