HASIL DAN PEMBAHASAN Derajat Keasaman (pH) Rumen Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara jenis ransum dengan taraf suplementasi asam fulvat. Faktor jenis ransum tidak nyata (P>0,05) meningkatkan derajat keasaman (pH) rumen. Faktor taraf suplementasi asam fulvat hingga taraf 10% (Tabel 4) memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) meningkatkan pH rumen. Tabel 4. Pengaruh Penambahan Asam Fulvat terhadap Derajat Keasaman (pH) Rumen Jenis Ransum Perlakuan
Rata-rata
Ransum A (Energi Tinggi) 6,96 ± 0,09
Ransum B (Energi Rendah) 6,95 ± 0,08
6,95 ± 0,005c
K + 2,5% Asam Fulvat
7,02 ± 0,11
7,02 ± 0,12
7,02 ± 0,000b
K + 5,0% Asam Fulvat
7,10 ± 0,12
7,07 ± 0,13
7,09 ± 0,019a
K + 7,5% Asam Fulvat
7,03 ± 0,11
7,07 ± 0,11
7,05 ± 0,026ab
K + 10,0% Asam Fulvat
7,06 ± 0,13
7,08 ± 0,10
7,07 ± 0,014a
Rata-rata
7,03 ± 0,05
7,04 ± 0,05
Ransum Komplit Kontrol (K)
Keterangan: Superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01).
Tidak terjadi interaksi menunjukkan bahwa penggunaan ransum energi tinggi dan rendah tidak saling berkaitan dengan penggunaan taraf suplementasi asam fulvat. Nilai pH rumen yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar 6,95-7,10. Perlakuan suplementasi asam fulvat 5%-10% menghasilkan nilai pH rumen tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya, pelakuan suplementasi asam fulvat 7,5% menghasilkan nilai pH rumen yang sama dengan perlakuan 2,5%. Perlakuan kontrol menghasilkan nilai pH rumen yang terendah. Adanya kenaikan nilai pH rumen adalah dampak dari nilai pH asam fulvat yang basa (9,40) maka terjadi perubahan kondisi kesetimbangan pH rumen. Peningkatan pH rumen ini tidak menggangu fermentasi dalam rumen karena mikroba rumen masih dapat bekerja optimal pada kondisi pH sekitar 5,7-7,3 (Hoover & Miller, 1992). Menurut Jean-Blain (1991) nilai pH rumen optimal berkisar 6,9-7,0. Nilai pH rumen yang dihasilkan masih pada kisaran normal karena penggunaan saliva buatan sebagai buffer masih mampu 18
menjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh terhadap nilai pH rumen karena adanya keragaman kondisi mikroba rumen dalam setiap waktu yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan/musim. Hasil penelitian McMurphy et al. (2011) yang menggunakan senyawa humat sampai taraf 15g/kg pada sapi FH jantan kebiri tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pH rumen tetapi cenderung nilai pH rumen tersebut naik. Nilai pH rumen mempunyai peranan dalam mengatur beberapa proses dalam rumen, baik mendukung pertumbuhan mikroba rumen, maupun menghasilkan produk VFA dan NH3 (Uhi et al., 2006). Nilai pH rumen yang optimal menjadi salah satu indikator terjadinya degradasi pakan yang baik, karena pada pH tersebut mikroba penghasil enzim pencerna serat kasar dapat hidup secara optimum dalam rumen (Jean-Blain, 1991). Menurut Ørskov (1998) bahwa bakteri selulolitik sangat sensitif pada kondisi asam dan berfungsi terbaik pada pH 6,4-7,0. Nilai pH rumen perlakuan diduga juga menunjukkan aktivitas bakteri selulolitik yang tinggi sehingga mengarah pada pembentukan asetat. Nilai pH rumen yang rendah dihubungkan dengan penurunan degradasi serat, penurunan rasio asetat/propionat, dan penurunan CH4 (Dijkstra et al., 2012). Nilai pH rumen yang berada pada kisaran normal ini dapat menggambarkan bahwa suplementasi asam fulvat masih dapat menciptakan kondisi rumen yang sesuai untuk proses fermentasi pakan khususnya serat. Berdasarkan nilai pH rumen tersebut juga dapat menjelaskan bahwa asam fulvat berpotensi digunakan sebagai suplemen pakan dalam ransum komplit sapi. Kecernaan Bahan Kering (KCBK) Nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik dapat menunjukkan jumlah kandungan nutrien dalam pakan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Hasil analisa sidik ragam yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara jenis ransum dengan dengan taraf suplementasi asam fulvat terhadap kecernaan bahan kering (KCBK). Faktor perlakuan jenis ransum komplit dan faktor taraf suplementasi asam fulvat tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) meningkatkan kecernaan bahan kering. Nilai kecernaan bahan kering berkisar 63,98%-67,91%. Nilai kecernaan bahan kering tersebut menandakan bahwa 19
suplementasi asam fulvat pada ransum komplit A (energi tinggi) dan B (energi rendah) belum mampu menstimulir pertumbuhan dan perkembangan mikroba rumen, sehingga populasi dan aktivitas mikroba rumen tidak ada peningkatan akibatnya kecernaan pakan sama dengan kontrol. Tabel 5. Pengaruh Penambahan Asam Fulvat terhadap Kecernaan Bahan Kering (%KCBK) Jenis Ransum Komplit Perlakuan
Rata-rata
Ransum Komplit Kontrol (K)
Ransum A (Energi Tinggi) 65,81 ± 0,91
Ransum B (Energi Rendah) 64,81 ± 5,88
65,31 ± 0,71
K + 2,5% Asam Fulvat
66,92 ± 3,01
65,84 ± 6,71
66,38 ± 0,76
K + 5,0% Asam Fulvat
67,91 ± 3,09
63,98 ± 1,33
65,94 ± 2,78
K + 7,5% Asam Fulvat
67,39 ± 3,61
66,97 ± 3,67
67,18 ± 0,29
K + 10,0% Asam Fulvat
66,78 ± 2,50
64,78 ± 3,67
65,78 ± 1,41
Rata-rata
66,96 ± 0,78
65,28 ± 1,16
Menurut Sutardi (1980) bahwa apabila kecernaan bahan pakan lebih besar dari 60% dapat dikatakan memiliki nilai kecernaan yang tinggi. Kecernaan secara in vitro dapat dipengaruhi oleh pH rumen (Selly, 1994). Nilai pH rumen pada penelitian ini meningkat tetapi tidak mempengaruhi kecernaan karena sistem buffer di dalam rumen yang masih bekerja dengan baik sehingga mempertahankan pH pada kondisi normal. Kondisi pH rumen yang normal tersebut mengakibatkan proses fermentasi pakan terutama serat kasar tidak terhambat. Kecernaan nutrien menentukan kualitas pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi kemungkinan nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya (Selly, 1994). Menurut McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering juga dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sember protein pakan memiliki ketahanan degradasi yang berbeda. Nilai kecernaan bahan kering yang tinggi ini juga menggambarkan bahwa kandungan protein dari pakan mudah didegradasi sehingga mampu menyediakan konsentrasi yang cukup untuk pertumbuhan mikroba rumen yang berakibat proses degradasi karbohidrat oleh mikroba rumen optimal.
20
Kecernaan Bahan Organik (KCBO) Nilai kecernaan pakan dapat digunakan sebagai indikator kualitas pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan maka semakin tinggi nutrien yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat respon interaksi (P>0,05) antara jenis ransum dengan taraf suplementasi asam fulvat terhadap kecernaan bahan organik. Efek perlakuan jenis ransum dan taraf asam fulvat tidak signifikan (P>0,05) mempengaruhi kecernaan bahan organik (KCBO) menunjukkan hasil yang sama dengan kontrol (Tabel 6). Tabel 6. Pengaruh Penambahan Asam Fulvat terhadap Kecernaan Bahan Organik (%KCBO) Jenis Ransum Komplit Perlakuan
Rata-rata
Ransum Komplit Kontrol (K)
Ransum A (Energi Tinggi) 64,84 ± 3,00
Ransum B (Energi Rendah) 63,35 ± 5,09
64,10 ± 1,05
K + 2,5% Asam Fulvat
65,55 ± 2,39
64,84 ± 6,45
65,19 ± 0,50
K + 5,0% Asam Fulvat
67,04 ± 2,71
63,50 ± 0,78
65,27 ± 2,50
K + 7,5% Asam Fulvat
66,59 ± 3,63
66,20 ± 2,77
66,40 ± 0,27
K + 10,0% Asam Fulvat
66,74 ± 2,19
64,40 ± 1,57
65,57 ± 1,66
Rata-rata
66,15 ± 0,93
64,46 ± 1,15
Penggunaan jenis ransum dan suplementasi asam fulvat sampai taraf 10% menghasilkan kecernaan bahan organik yang sama dengan kontrol. Nilai kecernaan bahan organik penelitian ini berkisar 63,35%-67,04%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa suplementasi asam fulvat sampai taraf 10% tidak mengganggu kecernaan pakan. Kandungan serat kasar juga sangat berpengaruh pada nilai kecernaan, semakin tinggi kandungan serat maka kecernaan akan semakin rendah karena pencernaan serat sangat tergantung pada kemampuan mikroba rumen (McDonald et al., 2002). Konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) Total Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa produksi VFA total (Tabel 7) tidak dipengaruhi (P>0,05) oleh faktor jenis ransum dan faktor taraf suplementasi
21
asam fulvat. Nilai VFA tersebut menandakan bahwa suplementasi asam fulvat tidak mempengaruhi aktivitas mikroba dalam memproduksi VFA. Tidak terdapat respon interaksi (P>0,05) antara jenis ransum dengan taraf suplementasi asam fulvat. Konsentrasi VFA pada penelitian ini berkisar 94,63-112,97 mM. Produksi VFA total yang dihasilkan masih berada di atas kisaran konsentrasi VFA yang dihasilkan oleh mikroba rumen dalam kondisi normal yaitu 60-120 mM (Waldron et al., 2002). Tidak adanya respon interaksi menunjukkan bahwa perbedaan jenis ransum tidak saling berkaitan dengan peningkatan taraf asam fulvat. Pada penelitian ini, konsentrasi VFA tidak dipengaruhi oleh jenis ransum komplit dan suplementasi asam fulvat sampai taraf 10% menunjukkan bahwa perlakuan tersebut tidak mempengaruhi pola fermentasi rumen khususnya degradasi serat kasar. Tabel 7. Pengaruh Penambahan Asam Fulvat terhadap Konsentrasi VFA (mM) Jenis Ransum Komplit Perlakuan
Rata-rata
Ransum Komplit Kontrol (K)
Ransum A (Energi Tinggi) 95,08 ± 12,01
Ransum B (Energi Rendah) 112,97 ± 7,08
104,03 ± 12,65
K + 2,5% Asam Fulvat
94,63 ± 12,14
108,76 ± 17,31
101,70 ± 9,99
K + 5,0% Asam Fulvat
108,84 ± 6,63
98,80 ± 15,47
103,82 ± 7,10
K + 7,5% Asam Fulvat
100,59 ± 13,69
97,21 ± 7,09
98,90 ± 2,39
K + 10,0% Asam Fulvat
108,30 ± 6,61
100,95 ± 6,68
Rata-rata
101,49 ± 6,88
103,74 ± 6,81
104,62 ±
5,20
Suplementasi asam fulvat sampai taraf 10% menghasilkan VFA yang sama dengan kontrol diduga karena belum mampu menstimulasi peningkatan populasi bakteri rumen. Konsentrasi VFA menggambarkan sumber karbohidrat yang mudah tercerna di dalam pakan yang dapat difermentasi oleh mikroba rumen (Sakinah, 2005). Semakin tinggi karbohidrat
yang mudah didegradasi maka akan
meningkatkan kecernaan bahan kering. Pada penelitian ini, kecernaan bahan kering yang dihasilkan sama dengan kontrol sehingga belum dapat menstimulir pertumbuhan mikroba rumen akibatnya VFA yang dihasilkan sama dengan kontrol. Konsentrasi VFA yang dihasilkan masih dalam kondisi normal sehingga tidak terjadi penurunan pH sehingga aktivitas mikroba rumen tidak terganggu.
22
Hasil tersebut sama seperti yang dilaporkan oleh McMurphy et al. (2011), bahwa tidak terjadi pengaruh signifikan terhadap konsentrasi total VFA pada penambahan senyawa humat sampai taraf 15 g/kg tetapi berpengaruh terhadap fraksi VFA isobutirat dan isovalerat yang semakin meningkat. Energi yang tersimpan pada ikatan karbon senyawa humat menyediakan energi pada ternak untuk reaksi metabolik. Asam fulvat meningkatkan permeabilitas sel dengan mengurangi pergerakan elemen mineral pada sel membran sehingga meningkatkan transportasi beberapa mineral nutrien yang dibutuhkan pada reaksi metabolik (Williams, 2003). Berdasarkan kemampuan asam fulvat tersebut diduga asam fulvat bekerja optimum dalam pencernaan hidrolitik di abomasum sehingga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kondisi fermentasi rumen. Menurut Damron (2006), VFA merupakan produk akhir fermentasi utama yang berfungsi sebagai sumber energi ternak ruminansia dan merupakan sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba. Nilai konsentrasi VFA yang masih normal menyediakan energi untuk bakteri rumen agar dapat menggunakan ammonia. Sesuai dengan pernyataan Griswold et al. (2003) bahwa penggunaan amonia oleh bakteri rumen dipengaruhi oleh ketersediaan energi dalam sistem. Berdasarkan hal tersebut, untuk mendapatkan pertumbuhan mikroba rumen yang optimum, dibutuhkan keseimbangan antara ketersediaan energi dan amonia dalam rumen. Konsentrasi Amonia (NH3) Amonia merupakan sumber nitrogen pada ruminansia yang utama dan penting untuk sintesis protein mikroba serta konsentrasinya harus dalam keadaan cukup sehingga dapat menunjang sintesis protein mikroba (McDonald et al., 2002). Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat respon interaksi (P>0,05) antara jenis ransum dengan taraf suplementasi asam fulvat. Efek faktor perlakuan jenis ransum dan taraf suplementasi asam fulvat menunjukkan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap peningkatan produksi konsentrasi NH3 (Tabel 8). Konsentrasi NH3 yang dihasilkan berkisar 3,82-5,14 mM.
23
Tabel 8. Pengaruh Penambahan Asam Fulvat terhadap Konsentrasi Amonia (mM) Jenis Ransum Komplit Perlakuan
Rata-rata
Ransum A (Energi Tinggi) 3,82 ± 0,60
Ransum B (Energi Rendah) 4,62 ± 0,65
4,22 ± 0,57
K + 2,5% Asam Fulvat
4,33 ± 0,66
5,14 ± 0,99
4,74 ± 0,57
K + 5,0% Asam Fulvat
4,38 ± 0,81
4,81 ± 0,76
4,60 ± 0,30
K + 7,5% Asam Fulvat
4,05 ± 0,93
4,33 ± 1,38
4,19 ± 0,20
K + 10,0% Asam Fulvat
4,63 ± 0,49
4,37 ± 0,58
4,50 ± 0,18
Rata-rata
4,24 ± 0,31
4,65 ± 0,33
Ransum Komplit Kontrol (K)
Tidak terjadinya interaksi menunjukkan bahwa jenis ransum tidak saling berkaitan dengan peningkatan taraf suplementasi asam fulvat. Faktor jenis ransum dan taraf suplementasi asam fulvat tidak terdapat pengaruh nyata menunjukan bahwa penggunaan ransum yang tinggi maupun rendah energi dan suplementasi asam fulvat memberikan efisiensi penggunaan amonia yang sama. Nilai konsentrasi NH3 yang dihasilkan dari seluruh perlakuan kedua ransum komplit berada di bawah batas konsentrasi optimum yang dinyatakan McDonald et al. (2002) berkisar 85-300 mg/l (setara 6-21 mM). Menurut Satter dan Roffler (1977) bahwa mikroba rumen tumbuh sejalan dengan konsentrasi NH3 dalam rumen sampai 5 mg/100 ml (setara 3,57 mM/l). Konsentrasi tersebut setara dengan kadar protein kasar ransum 13% dari bahan kering. Menurut Syahrir et al. (2009) bahwa konsentrasi amonia yang rendah dalam cairan rumen dapat menujukkan proses fermentasi yang berjalan baik sehingga terjadi pemanfaatan amonia, protein ransum yang sulit terdegradasi atau kandungan protein ransum yang rendah. Ransum komplit A (energi tinggi) dan B (energi rendah) perlakuan mengandung protein kasar masing-masing sebesar 15,63% dan 15,09%. Rendahnya konsentrasi NH3 yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan proses protein by pass sehingga protein dapat lolos dari degradasi yang selanjutnya dapat digunakan untuk pertumbuhan ternak atau proses degradasi protein pakan yang lebih lambat daripada proses pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan tidak terakumulasi di dalam rumen.
24
Tidak adanya pengaruh suplementasi asam fulvat terhadap konsentrasi NH3 sama dengan penelitian yang dilaporkan oleh McMurphy et al. (2011) bahwa penambahan senyawa humat hingga taraf 15 g/kg tidak nyata mempengaruhi NH3. Respon yang sama juga didapatkan pada penelitian Galip et al. (2010) penambahan asam humat hingga 10 g/hari pada domba tidak mempengaruhi nilai NH3. Populasi Protozoa Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara faktor jenis ransum dan taraf suplementasi asam fulvat. Faktor jenis ransum dan taraf suplementasi asam fulvat tidak nyata (P>0,05) memberikan pengaruh terhadap populasi protozoa total (Tabel 9). Hasil tersebut menunjukkan bahwa asam fulvat tidak mempengaruhi perkembangan protozoa sehingga proses fermentasi karbohidrat pakan oleh protozoa dapat berlangsung. Perkembangan protozoa dalam rumen dapat dipengaruhi oleh kondisi pH rumen (Kamra, 2005). Nilai pH rumen pada penelitian ini masih dalam kondisi optimal sehingga perkembangan populasi protozoa tidak terlalu terpengaruh. Tabel 9. Pengaruh Penambahan Asam Fulvat terhadap Populasi Protozoa (x104/ml Cairan Rumen) Jenis Ransum Komplit Perlakuan
Rata-rata
Ransum Komplit Kontrol (K)
Ransum A Ransum B (Energi Tinggi) (Energi Rendah) 1,63 ± 0,54 1,15 ± 0,24
1,39 ± 0,34
K + 2,5% Asam Fulvat
1,73 ± 0,36
1,25 ± 0,74
1,49 ± 0,34
K + 5,0% Asam Fulvat
0,83 ± 0,38
1,81 ± 0,72
1,32 ± 0,69
K + 7,5% Asam Fulvat
1,27 ± 0,61
1,02 ± 0,49
1,15 ± 0,18
K + 10,0% Asam Fulvat
1,10 ± 0,81
1,44 ± 1,13
1,27 ± 0,24
Rata-rata
1,31 ± 0,18
1,33 ± 0,33
Populasi protozoa pada penelitian ini berkisar 8,3x103-1,81x104/ml cairan rumen. Populasi tersebut masih dalam kondisi normal yang menurut Kamra (2005) berkisar 104-106/ml cairan rumen. Tidak adanya penurunan populasi protozoa dapat mengindikasikan bahwa asam fulvat tidak berperan sebagai agen defaunasi. Respon yang sama juga didapatkan pada penelitian Galip et al. (2010) bahwa penambahan
25
asam humat sampai 10 g/hari tidak mempengaruhi jumlah protozoa dalam rumen domba. Pertumbuhan protozoa akan berpengaruh terhadap proses fermentasi pati menjadi VFA. Menurut Ulya (2007) bahwa penurunan populasi protozoa berkaitan dengan produksi VFA total. Produksi VFA akan meningkat pada 3 jam inkubasi sebagai akibat dari pertumbuhan mikroba sudah mulai meningkat sehingga aktifitasnya dalam mendegradasi pakan juga meningkat. Produksi VFA yang tinggi menyebabkan pH rumen menjadi turun sehingga menurunkan populasi protozoa. Pada penelitian ini, VFA yang dihasilkan dalam kondisi normal sehingga tidak menurunkan nilai pH rumen akibatnya tidak terjadi penurunan populasi protozoa. Menurut Brock dan Madigan (1991) menyatakan bahwa protozoa lebih menyukai substrat yang mudah difermentasi seperti pati dan gula, namun mempunyai kemampuan memecah pati lebih lama dibandingkan bakteri. Populasi protozoa yang dalam kondisi normal dapat menjaga pH rumen karena apabila dilakukan pemberian konsentrat terlalu banyak maka akan mengakibatkan konsentrasi VFA yang tinggi sehingga terjadi penurunan pH rumen, maka adanya protozoa akan memecah pati lebih lambat sehingga mencegah asidosis.
26