EDISI 56 • TAHUN V • 30 NOVEMBER 2011
SUARA PEMEGANG SAHAM fokus PENDELEGASIAN KEWENANGAN
Meski di awal masa jabatannya, Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN tidak suka dengan kata “gebrakan”, sepertinya keputusan mendelegasikan sebagian kewenangan Menneg BUMN selaku RUPS ini pantas disebut sebagai “gebrakan” dalam pengelolaan BUMN.
foto: seno
Sebuah “Gebrakan” Atas Nama Efektivitas
utama
DEMI EFEKTIVITAS SURAT KEPUTUSAN Menneg BUMN Nomor: KEP-236/MBU/2011 tentang “Pendelegasian Sebagian Kewenangan dan/atau Pemberian Kuasa Menteri Negara BUMN sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemegang Saham/RUPS pada Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perseroan Terbatas serta Pemilik Modal pada Perusahaan Umum kepada Direksi, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Pejabat Eselon I di Lingkungan Kementerian BUMN” itu tertanggal 15 November 2011. Pertimbangan keluarnya aturan tersebut, sebagaimana tertera di SK itu, adalah untuk
meningkatkan efektivitas pengurusan BUMN dan mengingat hal-hal yang didelegasikan tersebut dianggap tidak “sangat strategis”. Terdapat 22 jenis kewenangan Menneg BUMN yang didelegasikan ke pejabat Eselon I Kementerian BUMN (Sekretaris Kementerian BUMN, Deputi Teknis dan Deputi Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis). Sedang 14 Kewenangan Menteri Negara BUMN didelegasikan/dikuasakan ke Dekom/Dewas. 2 jenis kewenangan didelegasikan ke Direksi BUMN.
FOKUS UTAMA PENDELEGASIAN KEWENANGAN: Sebuah “Gebrakan” Atas Nama Efektivitas 1 KEP-236: Perlu Sosialisasi dan Koordinasi 2 AJANG PENDAPAT Dekom/Dewas Harus Punya Kompetensi 2 WAWASAN KITA Pemimpin & Pemimpi
3
FOKUS PADA STRATEGIS Dengan pendelegasian tersebut, maka Kementerian BUMN sebagai pemegang saham akan lebih fokus pada hal-hal yang lebih strategis, seperti revitalisasi BUMN yang kinerjanya sangat buruk, pembenahan aset-aset BUMN yang tidak produktif dan idle. Untuk mendalami KEP-236 tersebut, di tanggal 18 November lalu dilakukan sosialisasi internal di KBUMN (baca hal 2: PERLU SOSIALISASI). Semoga “gebrakan” itu benar-benar mempercepat pengambilan keputusan di BUMN dan memberi manfaat bagi peningkatan kinerja BUMN kita. [Tbk]
SOSOK TOKOH SAHALA LUMBAN GAOL: Jangan Berhenti Berinisiatif 4
REKAM PERISTIWA DUA TANGIS DAN RIBUAN TAWA: Gaya Memimpin Seorang DIS 7
SUDUT PANDANG Kesederhanaan Adalah Kemuliaan dan Kekuatan 6
PELANTIKAN DIRUT BARU PLN: Kesan Istimewa Di Gardu Induk 7
SARAN PENDAPAT Budaya Kita Untuk Daya Saing Bangsa 6
PENANGGUNGJAWAB PORTAL BUMN: Single Entry Untuk Semua 8 DISKUSI PANEL KEDEPUTIAN JASA: Menuju Pentas Dunia Bukan Main-main 8
fokus
utama
2
BULETIN BUMN • EDISI 56 • TAHUN V • 30 NOVEMBER 2011
KEP-236:
Perlu Sosialisasi dan Koordinasi RUPS dapat mengurangi pembatasan terhadap tindakan direksi yang diatur dalam Anggaran Dasar atau menentukan pembatasan lain kepada direksi selain yang diatur dalam anggaran dasar ini.
YA, ITULAH satu celah yang terdapat dalam Anggaran Dasar BUMN sehingga Menteri Negara BUMN selaku RUPS dapat mendelegasikan sebagian kewenangannya ke Pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian BUMN, Dekom/Dewas dan Direksi. Itulah sebabnya Keputusan Nomor: KEP-236/MBU/2011 itu dapat langsung diterapkan. Dalam KEP-236 tersebut, Pejabat Eselon I KBUMN langsung dapat mewakili Menteri dan bertindak selaku RUPS atau mengambil keputusan di luar RUPS yang punya kekuatan sama dengan RUPS terkait hal-hal yang didelegasikan. KEP-236 juga memberi kewenangan ke Pejabat Eselon I untuk memberikan kuasa/ substitusi pada pejabat Eselon I lainnya atau pejabat Eselon II di lingkungan KBUMN. WAJIB SAMPAIKAN LAPORAN Selain memberi kewenangan, Menteri Negara BUMN dalam KEP-236 tersebut juga
mewajibkan Pejabat Eselon I, Dekom/Dewas dan Direksi yang menerima pendelegasian tersebut untuk menyampaikan laporan berkala kepada Menteri setiap bulan Juli tahun berjalan dan bulan Januari tahun berikutnya. “Atau sewaktu-waktu apabila diperlukan,” demikian bunyi KEP tersebut. Pun dengan KEP-236 ini, Dekom/Dewas dapat langsung mengambil keputusan tanpa meminta persetujuan RUPS/Menteri. Begitu juga Direksi, dapat langsung mengambil keputusan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dekom/Dewas dan atau RUPS/Menteri. PERLU KOORDINASI Meskipun disebut “tidak sangat strategis”, ternyata hal-hal yang didelegasikan tersebut merupakan hal-hal penting dalam korporasi. Seperti kewenangan Deputi Teknis untuk mengesahkan RKAP BUMN yang tingkat kesehatannya 2 tahun berturut-turut tidak mencapai kategori Sehat AA. Sedangkan bagi BUMN yang tingkat kesehatannya 2 tahun berturut-turut dikategorikan sehat (minimal AA), pengesahannya didelegasikan ke Dekom/ Dewas. Bukannya tanpa soal, kategorisasi Sehat AA tersebut hanya dikenal di KEP-100/2002 yang digunakan untuk BUMN Non Keuangan.
Sedang BUMN Keuangan masih merujuk pada Kepmenkeu 826. Solusinya? “Yang penting kita buat perbandingan yang setara dan akan kita kukuhkan dalam satu produk hukum,” jelas Hambra, Kabag Peraturan dan Perundangundangan. KEP-236 tersebut juga menyiratkan perlunya koordinasi lebih erat antara unit Eselon I. Misalnya, dalam pelaksanaan tindak lanjut penambahan dan pengurangan PMN yang telah ditetapkan PP-nya, diperlukan penetapan bersama antara Sesmen dan Deputi Teknis. Contoh lainnya, dalam pengesahan RKA PKBL BUMN yang 2 tahun berturut-turut tidak mencapai kategori Sehat AA, meskipun didelegasikan ke Deputi Teknis, tetap harus berkoordinasi dengan Deputi Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis. “Untuk harmonisasi koordinasi antara unit Eselon I, kalau diperlukan, silahkan susun Standard Operating Procedure (SOP),” ujar Herman Hidayat, Kabiro Hukum. KEP 236 ini mungkin masih menghadapi “masa transisi” dalam implementasinya. Untuk itu sosialisasi dan koordinasi menjadi penting sehingga keputusan ini bisa lebih berdaya guna. [Tbk]
ajang pendapat
Dekom/Dewas Harus Punya Kompetensi
IRNANDA LAKSANAWAN Pengesahan RKAP untuk BUMN yang sehat AA dilakukan oleh Dekom/Dewas. Namun, saya usulkan perlu adanya arahan Menteri dalam penyusunan RKAP tersebut. Arahan itu bisa dituangkan dalam Shareholder’s Aspiration. Jangan sampai Dekom/Dewas mengambil keputusan dalam RKAP BUMN, namun ternyata tidak sejalan dengan strategi dan pemikiran Menteri BUMN. RKAP itu harus jelas arahnya. Yang cukup mengkuatirkan, ada Dekom/ Dewas BUMN yang rapat saja jarang hadir, dan kurang menghayati perkembangan BUMN. Di sisi lain, mestinya Dekom/Dewas juga harus mengembangkan komunikasi ke pemegang saham secara proaktif. Hal ini perlu diatur
agar Kementerian BUMN bisa lebih intens berkomunikasi dengan Dekom/Dewas. Untuk itu, kita butuh Dekom/Dewas yang paham aturan korporasi. Jangan hanya disodori konsep surat, main tanda tangan saja, padahal nggak ngerti. Di samping itu, dengan aturan ini, kita harus sangat berhati-hati memilih Dekom/ Dewas. PANDU DJAJANTO Sudah seharusnya Dekom/Dewas punya pegangan dalam melaksanakan pendelegasian kewenangan ini. Untuk itu perlu ada arahan dari Pemegang Saham. Yang cukup strategis, misalnya dalam mengesahkan RKAP. Pengesahan itu bentuk dari tanggung jawab, yang tidak bisa jalan tanpa persetujuan Dekom/Dewas. Untuk itu tidak ada alasan Dekom/Dewas menyatakan tidak mengerti RKAP. Sebenarnya, saya lihat dalam hal ini ada “benang merah yang hilang”. Dekom/Dewas harus punya KPI, sedang KPI itu merupakan bagian dari RKAP yang disahkannya
sendiri. Semestinya harus ada link ke owner. Dekom/Dewas harus diposisikan sebagai “mata-telinga” dari pemegang saham. Inilah yang perlu diformatkan. Selain itu, kita harus mengangkat komisaris yang punya kompetensi. Entah latar belakang sarjana Sastra, atau Teknik Kimia, yang penting minimal harus bisa baca laporan keuangan. Semestinya kita punya rambu-rambu yang jelas tentang itu. [Tbk]
foto: seno
foto: seno
Sosialisasi KEP-236/2011 tanggal 18 November 2011 menyisakan berbagai hal yang perlu diperhatikan. Antara lain perlunya peningkatan kapasitas Dekom/Dewas BUMN. Inilah petikan pendapat Irnanda Laksanawan (Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur) dan Pandu Djajanto (Deputi Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis) terkait hal itu.
BULETIN BUMN • EDISI 56 • TAHUN V • 30 NOVEMBER 2011
wawasan
3
kita
Pemimpi dan Pemimpin Oleh: Fadjar Judisiawan Pernahkah kita membayangkan perbedaan kedua kata dimaksud? Kalau dilihat dari sisi penulisan, pasti tidak akan banyak bedanya, hanya huruf “n” di akhir katanya. IQ di atas 120 hanya 10% dari populasi, IQ di atas 115 sekitar 15% dan sisanya yang mayoritas 85% memiliki IQ di bawah itu. Oleh karena itu, apabila fokus sistem pendidikan berorientasi pada akademis, 85% siswa pasti tak bisa mengikuti.
foto: seno
Sistem pendidikan di Indonesia yang berorientasi akademis, seharusnya hanya tepat bagi 15% populasi, sedangkan yang tidak bisa mengikuti lebih banyak (85%). Kondisi ini mau tidak mau akan melahirkan generasi pemimpi. Populasi yang 85%, meski terus mengikuti sistem ini, akan tetapi mereka sebenarnya tidak akan dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Hal ini akan menjadikan kendala bagi Bangsa Indonesia. NAMUN APABILA ditelaah lebih jauh, ternyata artinya sangat berbeda. Pemimpi adalah seseorang yang bermimpi atau orang yang lari dari kenyataan (suka berkhayal), sedangkan pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain untuk bekerja dalam mencapai suatu tujuan dengan menerapkan ciri kepemimpinannya seperti nilai, konsep diri, karakter, pengetahuan, dan keahlian (Bass, 1990; Stogdill, 1974; Northouse, 2004). Senge (1995) menjelaskan bahwa pemimpin memiliki kedudukan dan peran kritikal, karena pemimpin sebagai desainer, guru dan sekaligus pramugara. Sedangkan Nanus (1992) menyatakan bahwa kepemimpinan mengandung kemampuan pemimpin sebagai penentu arah, agen perubahan, juru bicara dan pelatih. Dengan pelbagai fungsi dan peran yang harus dijalankan seorang pemimpin, diperlukan penguasaaan atas beberapa kompetensi. Peter F. Drucker menyatakan bahwa untuk menjadi pemimpin Abad 21 diperlukan penguasaan atas tiga kompetensi yaitu personal mastery, leadership mastery, dan organizational mastery. Dengan tuntutan kompetensi dimaksud, seorang pemimpin masa depan diharapkan memiliki multi kecerdasan, antara lain IQ (Intelligent Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), dan AQ (Adversity Quotient). Sayangnya menurut dr. Ratna Megawangi, seorang pendidik serta pendiri Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia) dan IHF (Indonesia Heritage Foundation) yang mengelola hampir 100 sekolah karakter di berbagai penjuru tanah air, bahwa sistem pendidikan di Indonesia justru banyak melahirkan generasi pemimpi daripada generasi pemimpin. Menurut dr. Ratna, hukum alam menunjukkan bahwa mereka yang memiliki
Selamat Ulang Tahun
Fenomena bahwa lulusan sarjana (S1) pasti akan meminta kompensasi dan jabatan lebih tinggi serta pekerjaan yang lebih nyaman daripada lulusan SMA atau D3, saat ini dapat kita lihat dengan jelas. Tuntutan ini akan terus meningkat sejalan dengan semakin tinggi tingkat sekolahnya S2 dan S3. Yang menjadi masalah adalah hanya 15% populasi yang benar-benar memiliki keluaran kompetensi yang diharapkan dengan sistem pendidikan dimaksud, sedangkan sisanya yang 85% meski lulus, tetapi sebenarnya tidak memiliki hal tersebut. Akhirnya banyak dijumpai seseorang dengan gelar S1, S2, atau S3 tidak menunjukkan kompetensinya sebagai seorang pemimpin atau pemikir dalam bidang pekerjaannya. Pada akhirnya, diakui atau tidak, hal ini memberikan beban tersendiri bagi organisasi. Jangankan untuk berpikir bagi sebuah pengembangan organisasi di masa mendatang, untuk membaca sebuah artikel pun kemungkinan akan sulit mencerna dan mensintesanya. Inilah kelemahan sistem pendidikan di Indonesia, yang menurut dr. Ratna seharusnya diperbaiki dan diharapkan akan lebih kepada pengembangan karakter seseorang untuk menjadi pekerja unggul. Biarkan yang memang mampu secara kognitif (15% populasi) yang dididik sebagai pemimpin dan pemikir, sedangkan yang mayoritas (85% populasi) dididik sebagai pekerja unggul. Apabila semua dididik dengan fokus kognitif, padahal sebenarnya tidak mampu, mereka akan merasa bisa dan justru akhirnya mementahkan ide-ide pemikiran baru yang dicetuskan oleh pemikir dan akhirnya mengganggu jalannya organisasi. Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya terdapat 2 (dua) item penting yang dapat disimpulkan yaitu pertama, sistem pendidikan di Indonesia perlu diperbaiki sehingga dapat mendukung pembentukan pekerja unggul bagi mayoritas populasi daripada fokus pada optimalisasi kognitif yang hanya tepat bagi 15% populasi. Kedua, bahwa tidak semua pekerja dalam suatu organisasi dapat berperan sebagai pemimpin atau pemikir, mengingat hanya 15% populasi yang memiliki kemampuan kognitif di atas rata-rata. Meski demikian, tidaklah berarti bahwa yang tidak sebagai pemimpin tidak memiliki nilai atau kontribusi. Justru seorang pengikut dapat berperan dan bekerja sebagai seorang pekerja unggul dengan mewujudkan visi dan arah yang telah dicanangkan pemimpin agar dapat terlaksana dengan efisien dan efektif. Ini merupakan hubungan simbiosis mutualisme dan dalam kerangka perwujudan sinergi dalam pencapaian tujuan bersama. Pembagian peran antara pemimpin dan bawahan, dalam agama Islam juga dapat dilihat perwujudannya dalam shalat berjamaah. Tidak semua orang berperan sebagai imam. Hanya satu orang menjadi imam dan yang lainnya bertindak sebagai makmum. Tugas imam adalah membimbing dan memimpin jalannya shalat, sedangkan makmum mengikuti. Biarkan imam memimpin sampai dengan selesainya shalat dan apabila ada kesalahan di tengah pelaksanaan shalat, makmum memiliki kewajiban mengingatkan dengan tata cara yang santun dan baik. Apabila imam telah berkata “waladhdholliin”, maka makmum secara bersama-sama akan segera berkata “aamiin”. Tidak ada satu pun makmum yang menjawab lain dari kata “aamiin” dimaksud. Itulah contohnya cara hubungan pemimpin dan yang dipimpin. Pilihannya sebenarnya adalah jadilah seorang pemimpin apabila memang kompetensinya dimiliki dan apabila tidak, jadilah pekerja yang unggul. Yang patut dihindari, janganlah pernah menjadi seorang pemimpi, bertindak dan menuntut agar diperlakukan sebagai seorang pemimpin, namun sebenarnya tidak memiliki kompetensinya. Penulis, Kabid Riset dan Penyajian Informasi
Sahwandi Azhari Sahala Silalahi Bernadus D. Prasetyo Desty Arlaini Dini Desvalina Herudi Kandau Nugroho Tetdi Hutasoit Engkus Kusnaedi Antonius Yulizar Indriani Widiastuti RR. Dewi Ariyani
02 Des 1961 02 Des 1962 03 Des 1962 04 Des 1968 04 Des 1976 08 Des 1984 08 Des 1984 10 Des 1969 10 Des 1970 12 Des 1956 12 Des 1971 13 Des 1968 13 Des 1969
Sandra Firmania Amrizal Roslyn Sitohang Refdion Tiolina Siagian Ida Bagus Witanaya Syahrudin Joni Darmono Lailly Prihatiningtyas Harun Prabu Heru Mulyono Otto Siallagan Ony Suprihartono
14 Des 1970 15 Des 1970 16 Des 1963 19 Des 1959 20 Des 1975 21 Des 1970 21 Des 1970 22 Des 1972 22 Des 1985 25 Des 1964 27 Des 1970 28 Des 1955 31 Des 1969
sosok
4
tokoh
BULETIN BUMN • EDISI 56 • TAHUN V • 30 NOVEMBER 2011
Dr. Ir. SAHALA LUMBAN GAOL
Jangan Berhenti Berinisiatif Sebagai PNS senior, posisi tertinggi karir PNS telah diraihnya. Itu selaras dengan masa kerja 31 tahun. Karenanya, amat tepat bagi kita semua mendengar pengalaman hidup Staf Ahli Menteri Bidang Kebijakan Publik ini. Pertengahan November ini, redaksi Buletin berhasil menemuinya di lantai 17 KBUMN, ruang kerjanya. pun menamatkan sekolahnya di SMPN 1 Sigompulon. Di sekolah itu ia punya saingan, Lambock Nahattands yang kini Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara. “Ia orang pintar,” pujinya. Selanjutnya ia sekolah di SMAN Tebing Tinggi, Deli. Di masa itu, Sahala menikmati belajar. “Saya juga suka ngasih tutor ke teman-teman,” katanya. Waktu itu, ia punya kelompok yang senang belajar bersama dan menikmati alam.
foto: seno
SUKA EKONOMI DAN JADI AKTIVIS Tahun 1972, setamat SMA, ia pun pindah ke Jakarta. “Mula-mula saya tinggal di rumah abang saya,” katanya. Waktu itu ia ingin masuk ITB. “Tapi akhirnya saya singgah di IPB,” ujarnya. Mulanya ia ingin jadi sarjana Teknik Mesin, namun ia juga suka sektor pertanian. “Akhirnya setelah melalui beberapa tes, saya lulus di IPB,” jelasnya. Ia kemudian masuk Fakultas Peternakan. Kenapa akhirnya ke Peternakan, Pak? “Abang saya kan sarjana mekanisasi Pertanian di UGM, jadi saya pingin masuk jurusan yang lain,” katanya. Ia pun menikmati pelajaran di Peternakan tersebut. Ternyata, ia lebih tertarik dengan Ekonomi Pertanian. “Saya suka pelajaran Mikro dan Makro Ekonomi,” ujarnya. Ia berpikir, teknik memproduksi ternak tidaklah rumit, justru menjualnya merupakan hal menantang.
SAHALA LAHIR di Sibolga, 7 Juli 1952. Ibunya Annur Aruan, seorang ibu rumah tangga. Sedang ayahnya, Lodewijk Lumban Gaol, seorang Jaksa yang ketika ia lahir sedang bertugas di Sibolga. “Walau nama bapak terdengar seperti orang Perancis, sebenarnya bapak saya murni Batak,” jelasnya sambil tertawa. Ia beradik-kakak 10 orang bersaudara. Sibolga hanya jadi tempat lahir saja baginya. Ia dan keluarga kemudian pindah ke Gunung Sitoli karena ayahnya dipindahtugaskan. Walau hanya sampai umur 4 tahun di Gunung Sitoli, namun Sahala kecil punya kesan mendalam tentang tempat itu. “Kekerabatan di sana luar biasa. Hidup terasa indah,” katanya puitis. “Rumah saya tangsi (kompleks, red) polisi,” terangnya.
Sahala menamatkan kuliah dalam waktu 5 tahun. Ia cerita, di akhir semester 3 sempat sakit typus dan beristirahat sampai pertengahan semester 4. “Supposedly, saya tamat 4 tahun karena saya nggak pernah ngulang,” katanya. Tahun 1977 ia lulus. Waktu itu sedang hangat-
dok. pribadi
SUKA BUKU WAYANG Dari Gunung Sitoli, ayahnya pindah lagi ke Porsea, Tapanuli Utara. Di Porsea, yang dikenangnya, ia suka berenang bersama temanteman di sungai Asahan. “Saya suka lompat salto dari jembatan sungai Asahan itu,” katanya. Di Porsea itulah Sahala menikmati masa sekolah dasarnya di SDN 2 Porsea hingga SMP kelas 1 (di SMPN Narumonda Porsea). Untuk urusan sekolah, Sahala bintangnya. “Tidak pernah tidak juara kelas,” katanya bangga. Di samping itu, ia juga didaulat sebagai ketua kelas. Ketika kelas 4 SD, ia sudah baca buku Hanoman dan cerita pewayangan lainnya, kiriman abangnya yang kuliah di UGM. Cerita-cerita pewayangan itu banyak mempengaruhi dirinya. “Cerita pewayangan kaya wawasan dan pelajaran hidup,” katanya. Beberapa pelajaran hidup itu, antara lain, pentingnya mengontrol diri, memikirkan orang susah, dan selalu berusaha mensejahterakan bangsa. Kelas 6 SD, Sahala sudah menulis paper tentang pembangkit listrik tenaga nuklir. “Saya sudah dipengaruhi oleh bacaan-bacaan seputar itu,” katanya. Ketika SMP, ia belajar bahasa Batak, juga mata angin dan kalender Batak. “Orang Batak punya pengetahuan dan budaya yang khas,” katanya. Setelah itu, ayahnya pindah ke Tarutung. Ayahnya jadi Kepala Kejaksaan di sana. Ia
Selain aktif belajar, di IPB itu Sahala juga jadi aktivis. Ia pernah jadi Sekjen Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Peternakan. Selain itu ia aktif sebagai panitia di berbagai kegiatan mahasiswa.
hangatnya mahasiswa mengkritik rezim Soeharto. Kondisi itu memuncak hingga 1978, yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Malari”. Bersebab hal itu, Sahala muda mulanya tak ingin jadi Pegawai Negeri. Ia dan temantemannya berbisnis trading alat-alat pertanian dan peternakan. Mereka mengontak produsen alat-alat pertanian di Eropa dan jadi perwakilan di Indonesia. “Semuanya dimulai dengan modal dengkul,” katanya. Namun kongsi itu bubar karena bisnisnya tidak berkembang. “Bisnis tidak maju-maju, padahal semangat tinggi,” katanya menyayangkan. MASUK DEPKEU Tahun 1980 Sahala mendaftar ke Departemen Keuangan (Depkeu). Waktu itu Pak Marzuki Usman dan Pak Dono sedang aktif-aktifnya mencari talent muda. Ia di-interview Pak Marzuki Usman dan Pak Ruru. Alhasil, Sahala lulus. Pertama kali, ia ditempatkan di Direktorat Investasi Kekayaan Negara (IKN). Pelajaran Ekonomi Mikro dan Makro yang ia senangi di kampus dulu sangat mendukung pekerjaannya. Ketika IKN pecah jadi 2 direktorat ia masuk ke Direktorat Dana Investasi. Waktu itu, ada kesempatan sekolah ke luar negeri. 200 pegawai Depkeu disekolahkan ke luar negeri, 8 di antaranya berasal dari Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri. Sahala masih ingat, 7 temannya yang kuliah ke luar negeri itu, yakni Megananda, Firdaus Jailani, Nudirman Moenir, Harry Soesetyo Nugroho, Luhut Hutahayan, Bambang Jatmiko, dan Rusdi Ruslim. Tahun 1983, sebelum berangkat ke luar negeri, ia menikahi kekasihnya, Nur Intan Hasibuan. ANGGOTA PHI KAPPA PHI Ia diterima di University of Illinois, USA. “Itu sekolah bagus. Semua orang ingin sekolah di situ, tapi masuknya sangat sukar,” ujarnya. Di sana, ia mengambil Master Ekonomi dan lulus dengan
5
dok. pribadi
(2003–2004). Ia jadi Ketua Tim Pelaksana Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (2006– 2010). Ia juga jadi Ketua Tim Restrukturisasi PT Garuda Indonesia (2007) dan Ketua Tim Restrukturisasi PT Merpati (2008–2010). Ia juga Ketua Oversight Komite Bank BUMN. Banyak lagi keterlibatannya dengan BUMN, baik di level kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan. Selain itu ia juga jadi Komisaris beberapa BUMN yakni PGN (2002–2007), PT Petrokimia Gresik (2004–2009), PT Garuda Indonesia (2007– sekarang), dan PT PPA (2009–sekarang). PERTAMA, BERI KEPERCAYAAN Waktu jadi Deputi PISET, hal penting menurutnya adalah memberi kepercayaan pada Direksi dan Komisaris. “Lalu kita sepakati bersama, mau ke arah mana bisnisnya yang kemudian dituangkan di RKAP,” katanya. Sahala juga berusaha membantu tercapainya RKAP itu. “Karenanya, untuk Pertamina dan PLN, misalnya, saya berusaha bekerjasama dengan departemen teknisnya,” jelasnya. Itu semua agar BUMN dapat berkembang. Khusus untuk BUMN Industri Strategis, hampir semuanya ia kategorikan ‘tidak sehat’. “Bukunya (laporan keuangan, red) juga jelek,” katanya. Terkait masalah finansial itu, ia mendekati BankBank BUMN untuk membantu BUMN Industri Strategis. Khusus BUMN Dok dan Perkapalan, ia mengarahkan agar mengurangi memproduksi kapal baru dan lebih mengutamakan repair & maintenance. “Bikin uang dulu. Produksi kapal risikonya besar dan marginnya kecil, sedang fluktuasi harga baja sangat tinggi,” alasannya. Sedang industri pertambangan, ia arahkan untuk menguatkan hilirnya. “Secara umum, BUMN-BUMN di PISET pertumbuhannya bagus,” simpulnya. Sahala juga menginisiasi kerjasama BUMN Strategis dengan Kementerian Pertahanan. “Semuanya sekarang juga jalan,” katanya.
sangat baik. Bahkan ia termasuk anggota phi kappa phi, sebuah perkumpulan 5 mahasiswa terbaik di Illinois. “Tak sembarangan mahasiswa masuk perkumpulan itu, jadi anggota atas undangan,” katanya. Ia lulus S2 tahun 1988 dan melanjutkan ke program doktor di Iowa State University. Di angkatannya, dari 4 mahasiswa Depkeu yang mengambil program Doktor, 3 orang menyelesaikan kuliahnya: Sahala, Agus Haryanto, dan Bambang. Ketika mengambil program doktor, bidangnya tetap Ekonomi, dengan 3 bidang spesialisasi yakni Financial and Monetary Economics, International Economics dan Econometrics. “Biasanya orang ngambil 2 spesialisasi saja,” katanya. Tahun 1994 ia lulus dari program doktor itu dan pulang ke tanah air. BUMN BUKAN HAL BARU Ia pun balik ke Direktorat Dana Investasi. “Saya jadi staf 3 bulan,” katanya. Tak lama, ia jadi Kasie Pembiayaan Luar Negeri Sektor Migas. Selain itu, Sahala sempat jadi dosen di Universitas Indo Nusa Esa Unggul (1995–1998). Ia mengajar 3 mata kuliah, yakni Corporate Finance, Investment and Risk Management. Tahun 1997, ia jadi Kasubdit Pasar Modal di DJLK. Setahun kemudian, ia jadi Direktur Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak, lalu jadi Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum. 2005, ia dipercaya jadi Deputi Menteri Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinasi Perekonomian. Tahun 2008, ketika Kementerian BUMN dipimpin Syofyan Djalil, Sahala dipercaya jadi Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi (PISET). “Waktu itu Pak Syofyan langsung minta ke Bu Sri Mulyani (Menko Perekonomian waktu itu, red). Saya malah nggak tahu apa-apa,” akunya.
OPTIMIS DENGAN MP3EI Tahun 2010, Sahala diangkat jadi Staf Ahli Menteri Bidang Kebijakan Publik. Salah satu hal penting yang ia emban dalam kapasitas sebagai Staf Ahli Menteri adalah menjadi Koordinator MP3EI (Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) BUMN. Ia melihat MP3EI sebagai kesempatan untuk mempercepat pembangunan Indonesia. “Dan yang harus berperan di depan adalah BUMN,” tegasnya. Ia memaparkan, di tahun 2011, target proyek senilai Rp 220 triliun. “Hampir semua terealisasi,” katanya. Ia tidak ragu, proyek MP3EI BUMN akan jadi salah satu modal pembangunan Indonesia masa datang, khusus dalam konektivitas dan infrastruktur. “Untuk itu, proyek-proyek BUMN itu akan kita kawal terus,” katanya.
Sampai tahun 2009, ia masih merangkap sebagai Deputi Menteri di Kementerian Koordinator Perekonomian. “Resmi 11 Juni 2009, saya fulltime di Kementerian BUMN,” ujarnya. Itu semua karena Sri Mulyani tetap memintanya mengerjakan tugas-tugas di Menko. Ketika jadi Deputi PISET, BUMN baginya bukan hal yang baru. “Sebelum jadi Deputi PISET, saya sudah kenal secara mendalam kinerja BUMN,” katanya. Ya, Sahala memang punya “jam terbang” yang panjang terkait BUMN. Sebut saja, ia pernah jadi anggota Tim Monitoring Audit Khusus Kinerja atas Pertamina, PLN dan Bulog (1998–1999), Ketua Tim Monitoring Audit Khusus BUMN Tahap II: PT Telkom, PT Jasa Marga dan PTPN IV, Ketua Monitoring Audit Khusus BUMN Tahap III: PT Taspen, PT Semen Gresik, PT Pusri, PT KAI dan PT Dirgantara Indonesia (2002–2003), dan Ketua Tim Monitoring Audit Khusus BUMN Tahap IV: PT BNI, PT Krakatau Steel, PT PAL, PT Pelni dan PT AP II. foto: seno
Sahala juga pernah jadi Wakil Ketua II Tim Persiapan Pendirian Perusahaan PT Pertamina
Menurutnya, untuk mendukung MP3EI, masalah pembiayaan proyek-proyek BUMN harus mendapat perhatian serius. “Baik sumbersumber dari Bank BUMN maupun luar negeri,”
sosok
tokoh
foto: seno
BULETIN BUMN • EDISI 56 • TAHUN V • 30 NOVEMBER 2011
jelasnya. Di samping itu ia melihat perlu ada koreksi atas peraturan-peraturan daerah dan pusat yang tidak sejalan dengan semangat pembangunan. “Perlu ada penyesuaian untuk mendukung program MP3EI,” katanya. Menurut Sahala, hal penting yang harus diingat adalah Indonesia sangat ketinggalan di bidang infrastruktur. “Karenanya kita harus bergerak lebih cepat,” ujarnya. ANAK MANDIRI, PENUHI KASIH SAYANG Sahala dikaruniai 2 putri. “Keduanya lahir di Amerika,” ujarnya. Anak sulung, Christie, sekarang bekerja di Bank Mandiri. Putrinya itu lulus dari Teknik Industri Universitas Indonesia. Anak kedua, Sarah, sedang kuliah di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB. “Tahun depan mudah-mudahan lulus,” harapnya. Ia selalu mengajarkan independensi bagi anakanaknya. Bila anaknya kesulitan mengerjakan tugas sekolah, ia hanya akan mengajarkan prinsip-prinsipnya saja. “Selanjutnya biarkan ia kerjakan sendiri,” katanya. Ia juga membiarkan pengembangan diri anaknya sesuai kemauan masing-masing. Seperti anak sulungnya, yang sudah diterima di sekolah-sekolah bagus di Amerika, namun akhirnya memutuskan kuliah di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada Sarah. “Mereka bertumbuh sendiri, tentu kita penuhi dengan kasih sayang,” jelasnya. Di usia 59 tahun, Sahala terlihat sehat. Rupanya ia berenang hampir setiap hari. “Tiap hari 500 meter,” katanya. Dulu ia suka olah raga lari, jalan kaki dan sepeda statis. Sedang membaca bukan lagi hobi baginya, tapi sudah kebutuhan. “Minimum 3 buku selesai setiap minggu,” jelasnya. Buku-buku favoritnya adalah bukubuku ekonomi, manajemen dan keuangan. Sedang makanan kesukaannya adalah ayam gulai dan ayam pop masakan rumah makan Padang. Motto hidupnya adalah: Yet the truth shall make you free (kebenaran akan membebaskanmu). Ia pasang kata-kata itu di profile picture blackberry-nya. Sahala juga berpesan, jangan bosan menciptakan teman dan berbuat baik. “Dan jangan berhenti berinisiatif,” pesannya lagi, menutup perbincangan yang menarik siang itu. [rudi rusli]
sudut
pandang
6
BULETIN BUMN • EDISI 56 • TAHUN V • 30 NOVEMBER 2011
Kesederhanan Adalah Kemuliaan dan Kekuatan
foto: Seno
Oleh: Ferry Andrianto
NAMUN, MESKI mudah diucapkan, untuk mau hidup sederhana tidaklah mudah, karena kita harus “menahan“ kenikmatan hidup yang semestinya bisa dinikmati. Kata sederhana lebih pas diperuntukkan bagi orang “kaya” atau “mendekati kaya” baik dalam hal harta, ilmu maupun kekuasaan, yang mempergunakannya secukupnya saja, meski punya pilihan untuk hidup berlebih. Biasanya, kelebihannya digunakan untuk halhal positif, produktif dan substantif bagi orang lain. Jadi, orang yang hidup sederhana punya kesempatan lebih banyak untuk bisa berbagi manfaat pada sesama baik dalam bentuk material, moral maupun spiritual. Singkatnya, dengan kesederhanaan membawa kehidupan yang mulia. Sedangkan bagi orang yang miskin (maaf) tidak bisa dikatakan sederhana, karena memang itulah adanya, tidak ada pilihan
saran
Kata “sederhana “ bisa jadi sebagai nasihat yang paling sering kita dengar, apalagi dalam kondisi kehidupan yang serba mahal, ruwet dan sulit ini. Sepertinya kita dituntut untuk bisa berpola hidup sederhana, agar bisa menyelesaikan permasalahan hidup. lain, serba terbatas dan tidak ada lagi yang mesti dibatasi. Jadi, bila ingin bertahan hidup, mau tidak mau, kesederhanaan menjadi suatu keharusan dan keterpaksaan. Bagi orang yang bergaya hidup mewah, biasanya kurang punya kesempatan yang sepadan dibandingkan kemampuannya dalam hal kemanfaatan/berbagi kepada sesama, karena cenderung lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri (egois), berorientasi dilayani dan boros/konsumtif. Di samping tanda kemuliaan, kesederhanaan juga merupakan tanda sebuah kekuatan, karena dengan pola hidup sederhana mampu menundukkan egonya yang cenderung rakus dan penikmat materi (hedonis) dan haus gengsi yang bisa jadi sumber segala masalah. Di samping itu, ia pun mampu menahan diri dari godaan untuk memainkan “senjatanya” baik yang berupa harta ataupun kekuasaan yang dimilikinya, yang setiap saat bisa saja digunakan. Baginya, tak peduli apakah dipuji atau dimaki, yang penting baginya bisa berprestasi, baik di mata insan maupun Tuhan, karena kesederhanaan telah menjadi “life style” yang spontan dan mungkin menjadi sebuah karakter. Konsep sederhana menjadi komitmennya dalam menjalani kehidupannya. Kesederhanaan ini meliputi segala aspek baik dalam hal makanan, pakaian, tutur, perilaku maupun pola pikir. Kesederhanaan bisa sebagai tanda kedewasaan dan kecerdasan. Kedewasaan tampak saat ia rela menerima perlakuan “biasabiasa” saja, yang semestinya mendapat perlakuan “luar biasa” dari lingkungannya. Kecerdasannya akan tampak saat ia bisa menyederhanakan masalah yang ruwet, dan sebaliknya orang yang membuat ruwet masalah yang sederhana, tandanya tidak cerdas. Dengan hidup sederhana biasanya melahirkan pribadi yang sederhana, tenang, tidak suka neko-neko atau banyak nuntut, tidak mau repot ataupun merepotkan banyak orang. Baginya, mungkin lebih nyaman membiarkan hidupnya mengalir apa adanya dan tidak membuang energi untuk sesuatu yang tidak prinsip. Dengan kesederhanaan, biasanya urusan apapun jadi lebih mudah, murah, dan hidup pun bisa jadi lebih tenang dan nyaman, semoga. Penulis, Kasubbag Administrasi SDM KBUMN
pendapat
foto: Seno
Oleh: Umi Gita
DI TENGAH masalah perubahan dan isu strategis yang dihadapi Kementerian BUMN, juga BUMN, ada hal yang menarik dan menjadi perenungan saya. Ketika kita bicara tentang ‘world class company’ tak dapat ditampik, suatu perusahaan atau organisasi harus siap dengan masuknya budaya bangsa lain dalam perusahaan tersebut. Di sinilah tantangan muncul dengan terjadinya benturan budaya. Pertanyaannya adalah, budaya manakah yang akan dipakai? Secara manajemen, perusahaan itu perlu membentuk budaya baru yang disepakati bersama dan menjadi perilaku seharihari. Bisa jadi, kita perlu menerima beberapa hal budaya dari bangsa lain yang menjadi partner kepemilikan saham perusahaan. Namun, beranikah kita memunculkan budaya kita sendiri? Banggakah kita terhadap budaya kita untuk berkontribusi menjadi corporate culture? Bahkan budaya itu menjadi daya saing bangsa di kancah global. Mungkin yang saat ini terpikirkan tentang budaya Indonesia hanyalah korupsi, jam karet, tidak tertib, malas berusaha dan hal-hal negatif
Budaya Kita Untuk Daya Saing Bangsa Dua hari saya dijejali materi pelatihan tentang “Strategic Management and Corporate Culture pada BUMN”. Ya, materi yang berat bagi saya untuk memahaminya. Sepertinya itu bukan ranah saya. Saya kan cuma staf yang kerjanya teknis dan administratif. Namun, setidaknya ilmu saya bertambah dan siapa tahu di kemudian hari ilmu tersebut dapat berguna. lainnya. Tapi mengapa itu yang bertahan di pribadi kita? Apakah kita tak memiliki hal-hal yang positif dalam budaya kita? Pikiran saya kembali melayang ketika saya kuliah ‘Psikologi Lintas Budaya’ yang diajar oleh Prof. Djamaluddin Antjok. Saat itu Pak Antjok bertanya, “Apakah orang timur, termasuk Indonesia, tidak lebih kreatif dibandingkan orang barat? Yang dibuktikan dengan kekayaan intelektual yang didaftarkan, begitu juga dengan penemu-penemu teknologi?” Saat itu saya bersepakat dengan kakak angkatan saya bahwa kekayaan intelektual orang timur khususnya Indonesia tidak bersifat individual. Namun sebuah hasil kebersamaan yang komunal, hasil masyarakat yang guyub dan rukun. Dan mulai saat itu, saya sadari bahwa itulah harta berharga bangsa ini. Itulah budaya kita. Kita memang tak memiliki Edison si pencipta lampu, James Watt si pembuat mesin uap, hingga Einstein yang merumuskan teori relativitas. Tapi kita punya kerajaan yang mampu membangun Borobudur. Kita punya sekelompok prajurit yang mampu menyatukan Nusantara. Kini, beranikah kita memakai budaya kita untuk dijadikan corporate culture dan membawa perusahaan itu menjadi perusahaan kelas dunia? Menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal untuk bersaing di era global? Sehingga perusahaan kita dapat diperhitungkan dalam percaturan dunia, masuk dalam Forbes, Business Week dan sebagainya. Ya. Kita bisa. Ya. Kita mampu. Dan lagu “the Power of the Dream’-nya Celine Dion mengalun mengiringi tulisan ini, There’s nothing ordinary/In the living of each day/There’s a special part/Every one of us will play/Feel the flame forever burn/Teaching lessons we must learn/To bring us closer to the power of the dream. Penulis Staf Pengembangan SDM Kementerian BUMN. Judul ini terinspirasi oleh Pak Abdi Mustakim (Kasubag Perencanaan Kementerian BUMN)
BULETIN BUMN • EDISI 56 • TAHUN V • 30 NOVEMBER 2011
7
rekam
peristiwa
DUA TANGIS DAN RIBUAN TAWA:
Gaya Memimpin Seorang DIS Inilah buku kenang-kenangan bagi Dahlan Iskan (akrab dipanggil: DIS) ketika memimpin PLN. Semuanya dapat terlihat rekam jejaknya dalam kumpulan catatannya di CEO Noted. Itulah media komunikasi antara dirinya dengan hampir 50.000 karyawan PLN yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara.
foto: seno
memiliki riwayat kewartawanan yang panjang. Dahlan menyatakan, dalam setiap tulisannya, ia hindari gaya khotbah atau pidato. “Saya lebih banyak menggunakan gaya bercerita sebagaimana wartawan menulis reportase,” katanya. Dalam tulisan itu ia menuangkan pikiran-pikiran dan pengalaman hariannya. Kadang bernada curhat, namun bukan berkeluhkesah. Kadang ia terlihat jengkel, tapi bukan berarti ia marah. Seringkali terlihat banyak keinginannya yang tidak ia sebut sebagai perintah. Dan di tulisan ini, banyak berserak pandangannya tentang suatu hal, walau ia enggan menyebutnya sebagai pengarahan. DAN KETIKA tugasnya berakhir seiring dipercaya sebagai Menteri Negara BUMN, 30 tulisan di CEO Noted itu seakan jadi kenangan manisnya. Buku itu diluncurkan di Gandaria City, 2 November 2011, walau DIS bilang rencana peluncuran itu sudah lama. GAYA MENULIS REPORTASE Buku “Dua Tangis dan Ribuan Tawa” ini jenis bacaan yang mengalir. Itulah kepiawaian dan kekuatan seorang DIS dalam menulis, yang
Dalam berbagai tulisan, berbagai isu ia sodorkan dengan gamblang. Misalnya, ketika menghadapi masalah pengadaan baju seragam. Ada yang bilang telah terjadi KKN di situ, juga permainan komisi. Ada yang menghendaki agar baju seragam diatur per provinsi. Jangan dipusatkan. Bahkan ada yang minta agar baju seragam diberikan dalam bentuk uang. Terhadap semua itu, permintaan mana yang harus ia penuhi? Bukankah kalau dipenuhi salah satunya akan menimbulkan ketidakpuasan yang lain? Lalu itu akan jadi pembicaraan di
kalangan wartawan yang tak henti-hentinya? Mengalahkan pembicaraan untuk mengatasi krisis listrik? Ia pun memutuskan: baju seragam dihapus. Keputusan itu menghentikan semua keinginan yang tidak fokus pada upaya “mengurus konsumen”. Dahlan berpandangan, jangan sampai karyawan terlihat sibuk dan bekerja keras, tapi ternyata untuk kepentingan diri sendiri. “Itu bencana,” simpulnya. SUNTIKKAN NILAI Dalam setiap tulisan, ia selalu suntikkan sebuah “nilai”. Seperti ketika ia nyatakan akan membawa seorang teman ketika memimpin PLN. Teman itu ternyata bernama “antusias”. Ia bilang, hanya orang yang hidupnya penuh antusias yang bisa membawa kemajuan. Virus antusias itu yang ingin ia sebarkan ke seluruh PLN. Sepertinya kita juga akan menikmati tulisantulisannya memimpin BUMN ini. Satu tulisannya sudah muncul dan menghiasi berbagai media massa, cetak dan online berjudul: “Langkah Pertama: Manufacturing Hope”. Rasanya, tak sabar untuk menunggu tulisan beliau berikutnya. [Tbk]
PELANTIKAN DIRUT BARU PLN
Kesan Istimewa Di Gardu Induk
foto:rr
Ya, pelantikan dirut baru PLN, awal bulan November 2011 (baca: tanggal 1 bulan 11 tahun 2011) itu berkesan istimewa. Selain waktu pelantikan yang dipenuhi angka 1 itu, terdapat dua keistimewaan lainnya. Yang melantik adalah mantan dirut PLN, yang saat ini jadi Menteri BUMN dan pelantikannya di Gardu Induk. Ini “beda” dengan pelantikan dirut BUMN lainnya. YA, DI Gardu Induk Karet itulah, Nur Pamudji dilantik Dahlan Iskan jadi dirut PLN. Sebelumnya, ia adalah Direktur Energi Primer PLN. Melalui Surat Keputusan Menteri Negara BUMN selaku RUPS Nomor: KEP-224/MBU/2011, selain diangkat dirut baru, juga diputuskan mengubah dua nomenklatur jabatan anggota-anggota direksi PLN, sehingga Nasri Sebayang Direktur Perencanaan dan Teknologi jadi Direktur Konstruksi, sedang Murtaqi Syamsudin Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko jadi Direktur Perencanaan dan Manajemen Risiko. Khusus jabatan Direktur Energi Primer tidak diisi, dan nomenklatur jabatan direksi lainnya tetap. Alhasil, saat ini, termasuk Dirut, PT PLN memiliki sembilan direksi. Surat keputusan itu juga mengukuhkan pemberhentian dengan hormat Dahlan Iskan sebagai Dirut
PLN yang diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor: KEP-252/ MBU/2009 tanggal 22 Desember 2009, terhitung sejak tanggal 19 Oktober 2011 (sejak pelantikan menjadi Menteri Negara BUMN). SOSOK ENERGIK DAN DIRUT TERMUDA Menurut Dahlan Iskan, Nur Pamudji sosok energik. Dalam sejarah PLN, ia adalah dirut termuda. “Usianya baru 50 tahun,” katanya. “Dia punya integritas dan brilian,” puji Dahlan. Secara berkelakar Dahlan menyatakan, faktor lain yang membuat dirinya menunjuk Nur Pamudji sebagai dirut PLN adalah latar belakang Nur Pamudji yang dulunya juga pernah menjadi wartawan. “Kalau jawaban guyonnya, saya ini kan wartawan. Tentu saya minta pengganti saya itu dari wartawan juga. Dulu Nur Pamudji itu wartawan pers kampus yang hebat, dia
juga pengasuh (rubrik) ilmu dan teknologi di Sinar Harapan sebelum dibredel,” katanya. Sedang Nur Pamudji menegaskan, sebagai dirut baru, ia akan lanjutkan program yang telah dicanangkan dirut sebelumnya. “Di masa Pak Dahlan, kami sudah rumuskan langkah-langkah sampai tahun 2014. Kita juga sudah siapkan PLN setelah 2014 secara jangka panjang,” ujar Nur Pamudji. Menurutnya, dipilihnya Dahlan sebagai Menteri Negara BUMN akan mendorong kesuksesan program PLN itu. “Beliau secara langsung atasan kami, direksi semua BUMN, termasuk PLN. Tentu hubungan kami yang dekat jadi satu poin tersendiri kalau perlu bantuan,” kata Nur. Menurutnya, saat ini dukungan pemerintah terhadap PLN sangat baik dalam hal regulasi ataupun investasi. [Tbk]
rekam
peristiwa
8
BULETIN BUMN • EDISI 56 • TAHUN V • 30 NOVEMBER 2011
PENANGGUNG JAWAB PORTAL BUMN
Single Entry Untuk Semua foto: hendra
31 Oktober 2011 bertempat di Istana Ballroom Sari Pan Pacific Hotel Jakarta, diadakan Sosialisasi Penunjukan Corporate Secretary sebagai Penanggungjawab Portal/Aplikasi Kementerian BUMN yang dihadiri sedikitnya 124 BUMN. DALAM PENJELASANNYA, Kabid Sistem Informasi Imam Bustomi menyatakan perlunya single entry agar data yang dipegang oleh semua pihak sama dan terbarukan. Posisi Corporate Secretary/Sekretaris Perusahaan (Sekper) BUMN memegang peran yang strategis sebagai Liaison Officer antara Kementerian BUMN dan BUMN yang diwakilinya. Sebagai pool data perusahaan dari berbagai unit kerja, seyogianya Sekper dapat menjadi penanggungjawab pengisian portal/aplikasi. Imam Bustomi mengarahkan agar setiap BUMN mulai memastikan PIC di bawah Sekper untuk mengisi portal/aplikasi dimaksud. PIC ini nantinya akan dimasukkan ke dalam milis dan mengikuti berbagai program dan pelatihan dari Kementerian BUMN. Untuk memudahkan Sekper memantau kinerja admin TI, Sekper akan dilengkapi dengan aplikasi yang menampilkan posisi masukan data terbaru oleh admin TI BUMN-nya.
Masukan data dari admin TI seluruh BUMN ini nantinya akan langsung masuk ke dalam Dashboard Eksekutif. Dashboard yang direncanakan mulai efektif pada bulan Januari 2012. Dashboard ini nantinya akan memperlihatkan perbandingan growth BUMN berdasarkan sektor usaha dan kelompok industri sejenis. “Bagaimana bisa kerja, kalau data yang di-entry BUMN saja tidak ada. Ujungujungnya kita rapat lagi,” kata Bustomi. Tidak main-main, data Dashboard Eksekutif ini akan memiliki dampak yang signifikan terhadap Kementerian BUMN. Jika ada BUMN yang tidak memberikan laporannya, maka value yang diketahui oleh Kementerian BUMN akan berbeda dengan kenyataan di lapangan. Padahal, value inilah yang akan disampaikan ke UKP4 sebagai sumbangan BUMN dalam bentuk deviden terhadap negara. Jika value-nya di bawah angka target deviden, hampir dapat dipastikan Kementerian BUMN akan mendapat
rapor merah dari Presiden. UNTUK AGENDA BESAR “Selain itu, dengan entry data seperti ini kan nanti kita bisa lihat posisi sebenarnya dari BUMN. Tidak ada data yang bisa ditutupi oleh BUMN dalam laporan kepada Menteri nantinya,” jelas Bustomi. Pentingnya pengisian data semacam ini mendorong bagian TI Kementerian BUMN untuk mengembangkan sistem serupa untuk agenda-agenda besar Kementerian BUMN sebagai bentuk monitoring. Sosialisasi dan arahan untuk pengisian data portal ini akan ditindaklanjuti dengan pendalaman di Rapat Koordinasi Teknologi Informasi 23–24 November di Yogyakarta. Di sana, masing-masing BUMN akan dimonitor perkembangan dan pemanfaatan sistem TI mereka. Semakin efisien TI kita, semakin sederhana monitornya. [Tbk]
DISKUSI PANEL KEDEPUTIAN JASA
Menuju Pentas Dunia Bukan Main-Main foto: seno
Kedeputian Bidang Usaha Jasa menyelenggarakan Diskusi Panel BUMN Jasa di Hotel Nikko Jakarta, 17 November lalu. Tema diskusi panel itu menarik: “Transformasi BUMN Jasa menuju World Class Company”. DALAM KEYNOTE speech-nya, Deputi Bidang Usaha Jasa, Parikesit Suprapto, menyatakan ada empat proses transformasi BUMN. Pertama, transformasi budaya kerja yang berawal dari benchmark performance industri sejenis. Performance ini wajib didukung SDM berkualitas. “Untuk itu, perlu pelatihan dan jenjang karir dalam sistem yang mendukung,” katanya. Ia juga menunjuk remunerasi berkelas dunia mestinya terkait Transformasi tersebut. Kedua, restrukturisasi melalui pembentukan subholding per sektor. Dari subholding ini dibentuk holding yang mengerucut pada superholding. Sesuai target pemerintah, tahun 2025 nanti akan tersisa 25 BUMN melalui langkah merger, akuisisi, holding. Langkah yang diarahkan Dahlan Iskan, Menteri BUMN, adalah pengambilalihan BUMN kecil oleh BUMN besar yang membutuhkan subsidiaries. Langkah ketiga adalah privatisasi. Paradigma pelepasan saham BUMN telah jauh berbeda, dari sekedar menutup defisit APBN, menjadi penguatan permodalan dan transparansi perusahaan. Transformasi keempat, pengembangan strategis. “Menuju pentas dunia tentu bukan main-main,” kata Parikesit. Ia sarankan perlu memperkuat BUMN di lingkup lokal sebelum ke internasional, antara lain melalui sinergi BUMN. LEBIH BAIK SUPERHOLDING Diskusi panel yang dimoderatori Aviliani, Komisaris BRI Tbk itu berlangsung sangat
menarik. AB Susanto, Chairman the Jakarta Consulting Group menekankan pentingnya akuisisi. “Kita harus pandai berbelanja perusahaan yang bagus, dengan putusan yang tepat,” tekan AB Susanto. Khusus terhadap rencana superholding, ia pertanyakan dukungan politik pemerintah. “Memang lebih baik superholding, tapi apakah ada political willingness dan political courage?” tanyanya ragu. Menurutnya, untuk membentuk superholding perlu arahan dari pimpinan nasional yang berpikir secara korporasi. Menurutnya, transformasi BUMN mestinya harus berawal dari Kementerian BUMN. Lin Che Wei, Independent Research and Advisory Indonesia (IRAI) melihat BUMN punya peluang dan kekuatan yang besar. Sebaliknya, Che Wei mempertanyakan kemampuan pemerintah dalam menggerakkan ekonomi melalui spending APBN. “Mengapa pemerintah mengumpulkan pajak, deviden dan privatisasi perusahaan kalau tidak bisa spending?” tanyanya. Baginya, sebelum bicara transformasi BUMN, sebaiknya pemerintah berbenah diri dengan transformasi di level government yang masih bingung antara kewenangan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN dalam mengelola BUMN bidang investasi yang baru lahir. Haryanto T. Budiman, Executive Vice President Bank Mandiri Tbk menutup diskusi panel dengan mempertanyakan kembali
tentang UU Kekayaan Negara yang menyatakan BUMN adalah bagian dari kekayaan negara yang tidak dipisahkan. “Artinya, kerugian BUMN adalah kerugian Negara,” katanya. Ini akan membatasi gerak pimpinan BUMN karena takut menyebabkan kerugian negara dan dikenai sanksi hukum. [Tbk]
SUSUNAN KEPENGURUSAN BULETIN BUMN Pelindung: Menteri Negara BUMN Pembina: Sekretaris Kementerian BUMN, Kepala Biro Umum dan Humas Pemimpin Umum/Penanggung Jawab: Mahmud Husen Pemimpin Redaksi/Ketua Tim: Rudi Rusli Tim Editor: Teddy Poernama, M. Khairur Roziqin, Ferry Andrianto Dewan Redaksi Dan Desain Grafis: Riyanto Prabowo, Sandra Firmania, Erwin Fajrin, Sentot Moelyono Sekretariat: Sahala Silalahi (Koordinator), Umi Gita Nugraheni, Hendra Gunawan, Nur Wahid, Sutarman. Alamat Redaksi: Lantai M Gedung Kementerian BUMN (Biro Umum dan Humas), Jl. Medan Merdeka Selatan No.13, Jakarta Pusat 10110. Telp: 021-2312373, Fax: 021-2311224 E-mail:
[email protected], Website: www.bumn.go.id Redaksi menerima kontribusi tulisan dari pegawai Kementerian BUMN, karyawan BUMN atau pihak lain yang relevan dengan semangat Buletin Kementerian BUMN, dengan syarat diketik rapi dengan spasi ganda, maksimal 2.000 karakter (setengah halaman), dengan disertai identitas diri penulis. Setiap tulisan yang dimuat merupakan pendapat pribadi penulis.