Mengurai Sindrom Akhir Tahun Anggaran1 Firdos Putra A2. dan Rawuh Edy P3. Magister Ilmu Administrasi - Universitas Jenderal Soedirman
Abstraksi
Seperti tahun sebelumnya, pada akhir tahun 2011 belanja pemerintah melambung tinggi. Kementerian Negara/ Lembaga membelanjakan banyak anggaran melalui berbagai kegiatan (over spending). Bahkan salah satu efeknya, pada bulan Desember angka inflasi naik. Meski demikian, penyerapan APBN 2011 diakui langsung oleh Menteri Keuangan rendah (under spending); Per 27 Desember 2011 APBN hanya terserap 88,2%. Over spending di akhir tahun memperlihatkan penyerapan APBN tidak didasari prinsip efektivitas dan efisiensi. Di sisi lain, under spending memperlihatkan bahwa pemerintah masih menggunakan indikator penganggaran tradisional yang lebih memperhatikan penyerapan anggaran daripada capaian kinerja. Padahal, per tahun 2005 pemerintah sudah berkomitmen untuk menggunakan pendekatan penganggaran berbasis kinerja (performance budgeting) pada Kementerian Negara/ Lembaga. Sehingga sindrom akhir tahun yang memperlihatkan dua tren—over spending dan under spending—bisa jadi sekedar gejala yang berasal dari masalah yang lebih mendasar. Paper ini ingin mengurai dan mengidentifikasi akar masalah munculnya sindrom itu yang terjadi hampir di tiap tahun. Kata kunci: ABPN, penganggaran berbasis kinerja, reformasi birokrasi
Pendahuluan Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo menyatakan prihatin dengan rendahnya penyerapan anggaran lima tahun terakhir (Mediaindonesia.com). Padahal
penyerapan
anggaran
yang maksimal
akan
berpengaruh pada
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sektor lainnya menjadi optimal. Birokrasi cenderung under-spending dalam membelanjakan anggaran. Per September 2011, atau empat bulan sebelum akhir tahun anggaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) baru terserap 54,5% (Koranjakarta.com, 26 Oktober 2011). 1
Telah dipresentasikan pada Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN) ke-2 di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta , pada tanggal 10 Pebruari 2012. 2 Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Administrasi Unsoed, Penerima Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri (BPKL) Kemendiknas RI. 3 Staf Pengajar Pasca Sarjana Magister Ilmu Administrasi Unsoed.
1|Page
Per 7 Desember APBN baru terserap 79,7% (Koranjakarta.com, 20 Desember 2011). Padahal pendapatan negara (dari pos PNBP) sudah menyerap hampir 100%. Kemudian per 27 Desember 2011, selisih 20 hari, anggaran baru terserap sampai 88,2%
atau
senilai
1.165 trilyun
dari pagu
1.320,75
triliun
(Mediaindonesia.com, 2 Januari 2012). Pada bulan Desember birokrasi mulai over-spending dalam menggunakan anggaran. Hal ini terkoreksi atas pernyataan Gubernur BI Darmin Nasution yang menyatakan bahwa kecenderungan inflasi naik karena penumpukan belanja pemerintah di akhir tahun (Okezone.com, 16 November 2011).
Secara umum penyerapan APBN 2011 tidak maksimal (under-spending). Di sisi lain, ketika mendekati akhir tahun, puncaknya bulan Desember, pembelanjaan melambung tinggi (over-spending). Pengaruhnya bukan saja pada masalah inflasi yang naik, melainkan efektivitas dan efisiensi kegiatan yang nampaknya boros tanpa memperhatikan output dan outcome-nya. Ironisnya, fenomena ini sudah menjadi masalah klasik dari tahun ke tahun.
Sindrom akhir tahun anggaran ini cenderung buruk bagi kinerja birokrasi di Indonesia. Kinerja tidak efektif apalagi efisien; Dampak pembangunan dan pertumbuhan di berbagai sektor menjadi tersendat; Parahnya, anggaran yang dihambur-hamburkan dan cenderung tidak tepat sasaran itu, salah satunya diperoleh dari hutang. Lantas bagaimana mengurai sindrom yang sudah menahun ini?
Pendekatan Penganggaran Di Indonesia, reformasi di bidang perencanaan dan penganggaran dimulai pada tahun 2005 yang mengacu pada UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sebelum itu pemerintah menggunakan pendekatan tradisional dengan pendekatan line item budgeting dan/atau incrementalism budgeting (Kumorotomo: 2005).
2|Page
Pendekatan penganggaran tradisional berorientasi pada input, yang mana pengukuran kinerja dinilai berdasar kemampuan mesin birokrasi menyerap anggaran. Titik tekannya terletak pada pengeluaran anggaran publik harus disesuaikan dengan peraturan dan berbagai prosedur yang berlaku. Sedangkan mengenai tujuan (output), kata Kumorotomo (2005), tidak menjadi pokok perhatian.
Pada pendekatan tradisional juga sangat menekankan pada pengawasan pengeluaran yang dibuktikan melalui berbagai catatan/ bukti transaksi. Laporan kegiatan, masih menurut Kumorotomo (2005), biasanya tidak melampirkan realisasi kegiatan apakah tercapai atau tidak.
Di sisi lain, pola tradisional ini mendorong kecenderungan birokrasi untuk melakukan pembesaran biaya (mark-up). Tidak ketinggalan adalah kecenderungan untuk menghabiskan sisa anggaran di akhir tahun (Komorotomo: 2005, Bastian: 2006). Polanya birokrasi cenderung berperilaku budget maximize yang dan kurang memperhatikan hasil dari sebuah kegiatan/ program.
Mulai tahun 2005 kemudian lahir pola baru pendekatan penganggaran. Di bawah payung
besar
Madzhab
Manajemen
Publik
Baru,
lahirlah
pendekatan
Penganggaran Berbasis Kinerja (performance budgeting). Berbeda dengan pendekatan tradisional yang berorientasi pada input, sebaliknya penganggaran berbasis kinerja berorientasi pada output. Oleh karenanya, pendekatan ini sangat memperhatikan visi, misi dan tujuan organisasi.
Untuk pemerintah pusat, pedekatan penganggaran berbasis kinerja ini selain didasari oleh UU No. 17 tahun 2003, UU No. 25 tahun 2004, juga didasari oleh UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara; PP No. 21 tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga; PP No. 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (Depkeu: 2009). Sedangkan untuk pemerintah daerah mengacu pada UU No. 25 tahun 1999
3|Page
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; Dan PP No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Yani: 2002).
Penganggaran berbasis kinerja ini merupakan jawaban atas kelemahan pendekatan tradisional. Titik tekannya pada upaya pencapaian hasil kerja (output). Oleh karenanya, setiap alokasi dana harus dapat diukur hasil yang hendak dicapai dan input yang telah ditetapkan sebelumnya; Sehingga keberhasilan pelaksanaan anggaran dinilai berdasarkan capaian kinerja, bukan pada penyerapan dana dalam suatu pelaksanaan program (Kumorotomo: 2005).
Dalam
penyerapan
anggaran
tersebut,
penganggaran
berbasis
kinerja
memperhatikan value for money. Orientasi logis terletak pada pencapaian hasil melalui perencanaan rasional untuk mencapai efektivitas dan efisiensi (Julnez and Holzer, 2001). Sehingga penganggaran berbasis kinerja erat kaitannya dengan proses perencanaan yang dibuat oleh organisasi.
Pendekatan penganggaran berbasis kinerja ini mempunyai beberapa prinsip sebagai berikut (Depkeu: 2009): 1. Alokasi anggaran berorientasi pada kinerja (output dan outcome oriented). 2. Fleksibilitas
pengelolaan
anggaran
dengan
tetap
memperhatikan
akuntabilitas anggaran. 3. Money follow function, function followed by structure. Dengan tiga prinsip itu diharapkan pendekatan ini dapat membuat anggaran efektif mencapai hasil; efisien dalam mencapainya; Dan meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran.
Tren Penyerapan APBN 2011
Under Spending
Seperti telah diungkap di depan, tren penyerapan APBN tahun anggaran 2011 tidak optimal. Per 27 Desember 2011, APBN hanya terserap 88,2% atau senilai 1.165 trilyun dari pagu 1.320,75 triliun. Dan ironisnya, seperti yang diakui oleh
4|Page
Menteri Keuangan Agus DW. Martowardojo, bahwa kecenderungan under spending ini terjadi pada lima tahun terakhir (Mediaindonesia.com, 21 Desember 2011). Dengan penyerapan APBN yang rendah, maka laju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dan sektor lainnya menjadi terganggu.
Menurut beberapa ahli, rendahnya penyerapan APBN 2011 ini ditengarai karena perumusan APBN-Perubahan yang memakan waktu cukup lama; Buruknya perencanaan anggaran sehingga gagap dalam pelaksanaan; Terlalu berhati-hatinya birokrasi dalam mengeksekusi proyek tertentu (Menkeu, Martowardoyo dalam Mediaindonesia.com, 21 Desember 2011); Prosedur yang berbelit misalnya pada proses
tender
proyek
besar
(Aviliani,
Pengamat
Ekonomi
dalam
Mediaindonesia.com, 21 Desember 2011, Doddy Arifianto, Ekonom Universitas Ma Chung Malang, Kabarbisnis.com, 21 Desember 2011); Dan beberapa kendala teknis lainnya seperti pegantian pegawai yang khusus menangani tender/ proyek.
Melihat fenomena menahun itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar mengusulkan agar APBN dapat direalisasikan dalam waktu 10 bulan (Kementerian PAN dan RB, 2 November 2011). Hal ini dengan memperhatikan sistem saat ini yang biasanya perumusan APBN-Perubahan yang waktunya berlarut-larut. Sehingga pada bulan NovemberDesember, Kementerian Negara/ Lembaga sudah fokus pada rekap dan pelaporan akhir seperti pada organisasi swasta.
Pada masalah yang lain nampaknya perlu kembali mengingat prinsip penganggaran berbasis kinerja sebagaimana di atas. Salah satu prinsipnya yakni fleksibilitas dan akuntabilitas (Depkeu, 2009). Perencanaan yang telah dibuat kadang tak sama betul kondisi lapangan. Oleh karenannya dibutuhkan diskresi atau
keleluasaan-keleluasaan
tertentu
dengan
catatan
dapat
dipertanggungjawabkan.
Adanya diskresi inilah pendekatan penganggaran berbasis kinerja berbeda jauh dengan tradisional. Pada pendekatan tradisional aparatur mengikuti berbagai
5|Page
prosedur ketat yang telah ditentukan. Namun dalam penganggaran berbasis kinerja aparatur dapat mengambil inisiatif tertentu dengan catatan tujuan terpenuhi dan akuntabel. Pada titik ini, Hughes (2003) mengusulkan mempublikasikan realisasi anggaran sebagai bentuk transparasi dan akuntabilitas. Sedangkan mengenai diskresi ia mengatakan, “Increased use of the discretion and initiative of operational managers in achieving targets with policies in place to wind back centrally-held controls over inputs, delegating spending authority, providing greater flexibility to line ministries and agencies and developing a range of incentive for improved performance (Hughes: 2003)” Dalam konteks itu, munculnya Keppres No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang ditujukan mempercepat proses penyerapan anggaran adalah salah satu bentuk diskresi dalam kebijakan. Meskipun dengan Keppres itu belum signfikan mengurai masalah penyerapan APBN seperti pengamatan
Direktur
Jenderal
Perbendaharaan
Kementerian
Keuangan
(Mediaindonesia.com, 21 Desember 2011).
Over Spending
Tren berikutnya yakni over spending APBN di akhir tahun anggaran. Tepatnya pada 30 November – 27 Desember 2011, belanja pemerintah mencapai 163,8 triliun atau sebesar 12,4% dari total APBN (Mediaindonesia.com, 2 Januari 2012). Dengan gelontoran dana sebesar itu tidak mengherankan jika pada bulan Desember 2011 angka inflasi naik sekitar 0,7-1% (Okezone.com, 17 November 2011).
Dalam sistem ekonomi mengambang, inflasi adalah pola umum dan tidak terlalu merisaukan. Justru yang perlu dikhawatirkan bahwa tren over spending itu membuat program/ kegiatan Kementerian Negara/ Lembaga tidak efektif dan efisien. Pembelanjaan bukan sepenuhnya didasari pencapaian kinerja, melainkan lebih karena penghabisan/ penyerapan anggaran.
6|Page
Beberapa pengamat mengatakan tren ini bisa membuat pengerjaan proyek/ tender menjadi asal-asalan (Ekonom, Drajad Wibowo dalam Mediaindonesia.com, 21 Desember 2011); Perencanaan yang tidak matang, kualitas program buruk karena dikebut pengerjaannya di akhir tahun, ironisnya dananya berasal dari utang luar negeri (KAU, Danni Setiawan, Kabarbisnis.com, 21 Desember 2011).
Bahkan di lapangan sering dijumpai pada bulan Desember lembaga-lembaga publik banyak membuat kegiatan, misalnya lokakarya, seminar, studi banding, pelatihan dan seterusnya. Ironisnya, hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa berbagai kegiatan itu digelar sebagai upaya untuk ―menghabiskan‖ atau membelanjakan anggaran semata. Dan tentu saja, prinsip efektivitas dan efisiensi sama sekali tak diindahkan.
Padahal yang membedakan antara penganggaran berbasis kinerja dengan tradisional terletak juga pada prinsip efektivitas dan efisiensi. Efektivitas bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target/ tujuan pelayanan publik. Sedangan efisien bahwa penggunaan dana itu dapat menghasilkan output yang maksimal (Kumorotomo: 2005).
Kecenderungan budget maximizer yang tidak efisien pada mesin birokrasi pemerintah ini dibaca baik oleh Osborne (1996). Menurutnya kecenderungan organisasi pemerintah berbeda dengan swasta; Pada organisasi swasta yang mana mereka memperoleh dana langsung dari bisnis dengan pelanggan, cenderung efisien dalam menggunakannya. Berbeda dengan organisasi pemerintah yang ―tidak secara langsung‖ menerima dananya dari pelanggan (warga negara), cenderung boros.
Bahkan kecenderungan budget maximizer membuka peluang lebar terjadinya penyelewengan dalam bentuk korupsi. Polanya bisa melalui mark-up biaya program/ kegiatan. Dan makin lebar peluangnya karena pada saat itu pembelanjaan anggaran terjadi secara besar-besaran.
7|Page
Simpul-simpul Masalah Berangkat dari analisis tren penyerapan APBN 2011 di atas dapat diidentifikasi beberapa akar masalah yang membuat sindrom akhir tahun menjadi femomena yang menahun.
Disfungsi Birokrasi
Dwiyanto (2011) mengingatkan bahwa birokrasi Weberian sampai batas tertentu dapat optimal dan lebih dari itu menjadi kontra produktif. Dan Caiden (dalam Dwiyanto: 2011) merumuskannya dengan baik
melalui Teori Kurva-J
Birokratisasi. Prinsip Birokrasi Weberin Hirarki
Fungsional, sebelum melampaui titik optimum Memberikan batasan kewenangan; Memfasilitasi pemimpin dalam supervisi dan kontrol, koordinasi sebagai instrument pengendalian; Mempermudah koordinasi dan memperjelas saluran komunikasi (vertikal) dan pertanggungjawaban.
Disfungsional, setelah melampaui titik optimum Menimbulkan ketergantungan bawahan terhadap atasan, membatasi diskresi dan terjadi fragmentasi dalam pengambilan keputusan; Melembagakan budaya paternalisme dan ―asal bapak senang‖; Menimbulkan distorsi dalam komunikasi dan menghambat kerjasam horizontal.
Sumber: Dwiyanto (2011)
Setelah melampaui titik optimum, birokrasi menjadi disfungsional. Misalnya terlihat pada masih kurangnya diskresi pemerintah untuk merespon rendahnya penyerapan APBN. Padahal tren ini mulai terlihat sejak bulan Maret pada 10 kementerian negara. Pada bulan Maret 2011, Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertahanan, Kementerian Agama, Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pertanian, rata-rata baru 5% merealisasikan masing-masing pagu anggarannya (Kabarbisnis.com, 29 Maret 2011). Dan masih rendah pada bulan Juli 2011 (Infobanknews.com, 7 Juli 2011).
8|Page
Di sisi lain, mentalitas ―Asal Bapak Senang‖ menjamur pada akhir tahun anggaran. Kecenderungan membelanjakan anggaran dengan boros di bulan Desember 2011, sama sekali jauh dari prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penganggaran berbasis kinerja. Sebaliknya, modus ―penghabisan‖ anggaran itu lebih disebabkan agar ―pantas tampil‖ di depan Presiden. Juga agar tidak terkena punishment dari Kementerian Keuangan.
Nalar infantil ini tentu saja buruk
karena yang mereka sedang menyia-nyiakan APBN hanya untuk ―menyelamatkan muka‖. Pada titik lain, melihat faktor obyektif seperti kendala birokrasi/ kelemahan sistem, ―penghabisan‖ anggaran di bulan Desember sepatutnya tidak terjadi karena anggaran yang tak terpakai akan masuk dalam pos Selisih Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA).
Disfungsi birokrasi ini juga yang membuat berbagai eksekusi proyek menjadi terhambat. Misalnya pada masalah prosedur pengadaan barang yang dinilai berbelit-belit
dan
sering
berubah-ubah
juga
harus
disederhanakan
(Kabarbisnis.com, 21 Desember 2011). Birokrasi yang demikian membuat penyelenggaraan pemerintahan justru kaku dan lamban. Sebagai perbandingan, kecenderungan ini juga muncul pada proses pendirian usaha di Indonesia, yang mana Indonesia menempati peringkat 93 dalam jumlah prosedur, peringkat 118 dalam biaya dan peringkat 143 dalam jumlah hari (Dwiyanto: 2011).
Masa Transisi
Kumorotomo (2005) mengingatkan bahwa realisasi anggaran berbasis kinerja tidak dinilai berdasar penyerapan anggaran, melainkan capaian program/ kegiatannya. Sebaliknya, pendekatan tradisional menilai realisasi berdasar pada penyerapan anggaran. Dalam kasus ini, pemerintah nampaknya berada pada masa transisi mekanisme penganggaran. Sehingga satu sisi pemerintah gunakan indikator optimal-tidaknya penyerapan anggaran (pendekatan tradisional); Pada sisi lain mereka abaikan out put program/ kegiatan (pendekatan berbasis kinerja).
9|Page
Dalam konteks ini Departemen Keuangan (2009) secara terbuka mengakui kesulitan dalam masa transisi itu. Ada beberapa kendala yang belum terselesaikan sehingga result-oriented belum nampak dalam penyerapan APBN, sebagai berikut: 1. Belum digunakannya resource envelope sebagai landasan penyusunan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Renstra K/L; 2. Program dan kegiatan belum dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat efektivitas pencapaian sasaran pembangunan nasional dan efisiensi belanja; 3. Program dan kegiatan juga belum dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur akuntabilitas kinerja suatu unit kerja; 4. Pada tingkat operasional masih ada beberapa pertanyaan mendasar mengenai keterkaitan dokumen perencanaan dan anggarannya. Misalnya bagaimana melakukan penilaian terhadap keterkaitan program dengan sasaran pembangunan nasional; Keterkaitan kegiatan dengan program; Keterkaitan indikator keluaran dengan keluarannya. Kesulitan dalam masa transisi ini dapat juga dibaca sebagai belum siapnya pemerintah Indonesia menggunakan penganggaran berbasis kinerja. Meskipun secara legal-formal (de jure) hal itu sudah tertuang di beberapa undang-undang seperti tersebut di awal. Namun secara de facto pemerintah masih menggunakan pendekatan penganggaran tradisional.
Dinamika Politik
Pembahasan dan perubahan APBN seringkali memakan waktu lama. Salah satunya karena proses itu berlangsung di ruang politis, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tarik-ulur kepentingan antarpartai mewarnai. Sehingga seringkali perumusan dan perubahan APBN memakan waktu dua bulan atau lebih. Misalnya saja pasca APBN-P 2011 ditetapkan, muncul reaksi lain dari kalangan aktivis LSM. Mereka menilai bahwa APBN-P 2011 tidak pro-rakyat, mendorong mereka ajukan judicial review ke MK (Mediaindonesia.com, 26 Agustus 2011; Tribunnews.com, 24 Agustus 2011).
Masalahnya rentang periodesasi anggaran hanya sepanjang 12 bulan (satu tahun). Dikurangi waktu perubahan, praktis hanya tersisa waktu 10 bulan. Dengan jangka waktu yang pendek ini membuat realisasi anggaran tidak optimal dan cenderung menumpuk di akhir tahun. 10 | P a g e
Perubahan APBN biasanya disebabkan karena adanya perubahan-perubahan asumsi makro ekonomi, kurs rupiah terhadap dolar, harga minyak bumi dunia, inflasi dan seterusnya. Faktor-faktor tersebut bersifat obyektif dan berada di luar sistem. Menurut Gunawan, Pakar Keuangan, faktor eskternal ini tidak berdampak signifikan pada lambatnya pembahasan APBN-P (Medanbisnisdaily.com, 2 Januari 2012).
Sedangkan pada internal sistem, faktor politik lebih sering menjadi kendala. Seperti pada masalah pembahasan APBN 2012 muncul konflik politik dengan mogok kerjanya Banggar DPR. Sebagian partai mendukung boikot yang dilakukan Banggar itu, seperti PDIP dan PKS (Mediaindonesia.com, 24 September 2011; Detiknews.com, 23 September 2011). Sedangkan Pengamat Ekonomi, A Prasetyantoko, menilai seharusnya DPR lebih mengoptimalkan pembahasan anggaran. Masalahnya, lambatnya pembahasan RAPBN akan berpengaruh terhadap pencairan anggaran di tahun 2012 (Tempo.co, 24 September 2011).
Transformasi Tiga Lini Agar penganggaran berbasis kinerja dapat berjalan dengan efektif, paling tidak dibutuhkan transformasi dalam tiga hal mendasar. Pertama penyesuaian struktural terkait dengan berbagai kesiapan struktur Kementerian Negara/ Lembaga menggunakan pendekatan tersebut. Kedua reformasi birokrasi dalam konteks kemampuan birokrasi (level atas) membuat diskresi-diskresi untuk mempermudah dan mempercepat realisasi anggaran. Dan ketiga, rasionalisasi sistem politik, agar kasus boikot Banggar dan/atau aksi politik lainnya berkurang.
11 | P a g e
Penyesuaian Struktural untuk Operasionalisasi PBK
Reformasi Birokrasi
Rasionalisasi Politik
Penyesuaian Struktural
Penyesuaian struktural perlu dilakukan oleh Kementerian Negara/ Lembaga dalam beberapa hal: (1) Penetapan visi dan misi K/L; (2) Perumusan sasaran strategis K/L (outcomes); (3) Restrukturisasi program; (4) Perumusan outcome program; (5) Penetapan indikator kerja utama program; (6) Perumusan kegiatan per Eselon II/ Sakter; (7) Penetapan output kerja; (8) Penetapan indikator kinerja kegiatan Depkeu, 2009).
Pointer di atas harus diturunkan sedemikian rupa agar operasional. Termasuk di dalamnya bagaimana menghubungkan antar bidang agar tidak overlapping kegiatan. Penyesuaian struktural itu mencakup beberapa struktur seperti terlihat di bawah ini:
Sumber: Bappenas, 2009 12 | P a g e
Reformasi Birokrasi
Di bawah payung Madzhab Manajemen Publik Baru, reformasi birokrasi harus memberi perhatian lebih pada diskresi-diskresi kebijakan untuk merespon kondisi lapangan yang di luar rencana. Rendahnya penyerapan APBN salah satunya disebabkan oleh ketakutan berlebihan aparatur negara untuk mengeksekusi proyek/ tender tertentu. Mereka takut jika terjadi kesalahan prosedur atau penyimpangan yang berbuntut pada dakwaan korupsi (Mediaindonesia.com, 21 Desember 2011). Dalam konteks seperti ini, seyogyanya ada pejabat pada struktur tertentu yang bisa mengambil kebijakan cepat-tanggap dengan landasan hukum tertentu untuk mempercepat dan mempermudah operasionalisasinya.
Di sisi lain, secara sistematis pemerintah perlu menyederhanakan berbagai macam prosedur birokrasi, waktu dan biaya pengurusan. Berbagai kendala birokrasi harus dikurangi dengan tetap memperhatikan proses dan sisi akuntabilitasnya (Dwiyanto: 2011).
Rasionalisasi Politik
Reformasi birokrasi tidak berdiri sendiri, di seberangnya ruang politik juga perlu dirasionalkan. Mengingat administrasi merupakan pengejawantah politik, maka adminitrasi publik sangat terpengaruh dinamika politik. Berabad lalu Woodrow Wilson (dalam Shafritz: 1995), sudah mengingatkan, ―Administrative lies outside the proper sphere of politics. Administrative questions are not political questions. Although political sets the tasks for administration, it should not be suffered to manipulate its offices”. Namun dengan memperhatikan pengaruh dinamika politik terhadap proses administrasi, maka anasir politik tetap perlu diperhatikan. Perlu diperhatikan aksi boikot Banggar pada perumusan APBN 2012. Politisi menggunakan momen pembahasan APBN sebagai komoditi politik. Padahal boikot itu akan berdampak pada lambatnya realisasi APBN dan tentu saja berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan bidang-bidang pembangunan lainnya.
13 | P a g e
Rasionalisasi politik perlu dilakukan dengan membangun etika politik bersama antara legislatif dan eksekutif. Etika politik ini memberi kerangka dasar agar dinamika politik pada level elit tidak berdampak negatif pada kepentingan rakyat banyak dan pembangunan nasional. Penutup Sindrom akhir tahun anggaran 2011 dengan tren over spending dan under spending merupakan gejala permukaan semata. Gejala itu sebenarnya disebabkan oleh kompleksitas masalah yang sampai saat ini belum selesai. Masalah itu seperti belum siapnya pemerintah menggunakan pendekatan penganggaran berbasis kinerja; Hambatan struktural karena berbagai masalah birokrasi; Dan dinamika politik yang kemudian mempengaruhi waktu realisasi APBN.
Kompleksitas tersebut kemungkinan bisa diselesaikan melalui reformasi triangulasi yang berpusat pada tiga hal, penyesuaian struktural Kementerian Negera/ Lembaga untuk menggunakan penganggaran berbasis; Reformasi birokrasi yang memberi perhatian pada munculnya diskresi-diskresi guna mempercepat realisasi APBN; Juga perlu melakukan debirokratisasi berbagai prosedur yang menjadi hambatan struktural realisasi anggaran. Dan terakhir, rasionalisasi politik perlu dilakukan melalui pembangunan etika politik bersama antara legislatif dan eksekutif agar konflik politik tidak berdampak negatif pada kehidupan masyarakat dan pembangunan nasional. []
Pustaka Bastian, Indra. 2006. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. Bappenas. 2009. Modul Kerangka Pemikiran Penganggaran, Jakarta: Bappenas.
Reformasi
Perencanaan
dan
Depkeu. 2009. Pedemoman Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja. Jakarta: Departemen Keuangan RI. Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia. Hughes, Owen. 2003. Public Management and Administration: Introduction (Third Edition). London: Palgrave.
14 | P a g e
Julnes, P. deL. and Holzer, M. (2001). ―Promoting the Utilization of Performance Measures in Public Organizations, An Empirical Study of Factor Affecting Adaptation and Implementation‖, Public Administration Review, 61 (6), 693701. Kumorotomo, Wahyudi dan Erwan Agus P. (Editor). 2005. Anggaran Berbasis Kinerja: Konsep dan Aplikasinya. Yogyakrata: Magister Administrasi Publik UGM. Osborne, David dan Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi (Terjemahan). Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Shafritz, Jay M. and Albert C. Hyde . 1995. Classics of Public Administration (4th Edition). America: Harcourt Brace. Yani, Ahmad. 2002. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Media Massa ―Akhir Tahun Tekanan Inflasi Naik Akibat Gelontoran Dana Pemerintah‖, Infobanknews.com, 16 November 2011, diakses melalui http://www.infobanknews.com/2011/11/ akhir-tahun-tekanan-inflasi-naik-akibatgelontoran-dana-pemerintah/, pada 5 Januari 2012 ―APBN Perubahan Digugat ke MK‖, Tribunnews.com, 24 Agustus 2011, diakses melalui http://www.tribunnews.com/2011/08/24/apbn-perubahan-2011-digugat-ke-mk, pada 5 Januari 2012 ―APBN-P 2011 Digugat ke Mahkamah Konstitusi‖, Mediaindonesia.com, 8 Agustus 2011 diakses melalui http://www.mediaindonesia.com/ read/2011/08/08/254160/284/1/-APBN-P-2011-Digugat-ke-MahkamahKonstitusi, pada 5 Januari 2012 ―BI: Penyerapan Akhir Tahun Buat Inflasi Melambung‖, Okezone.com, 16 November 2011, diakses melalui http://economy.Okezone.com.com/ read/2011/11/16/20/530062/bi-penyerapan-akhir-tahun-buat-inflasi-melambung, pada 5 Januari 2012 ―Dibutuhkan Kreativitas Agar Penyerapan Anggaran Tinggi‖, Medanbisnisdaily.com, 2 Januari 2012, diakses melalui http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2012/01/02/74183/dibutuhkan_krea tivitas_agar_penyerapan_anggaran_tinggi/, pada 6 Januari 2012 ―Kementerian dan Lembaga Pemerintah Masih Rendah Serap Anggaran‖, Infobanknews.com, 7 Juli 2011, diakses melalui http://www.infobanknews.com/2011/07/kementerian-dan-lembaga-pemerintahmasih-rendah-serap-anggaran/, pada 5 Januari 2012 ―Masalah Klasik Penyerapan Anggaran Numpuk di Akhir Tahun‖, Mediaindonesia.com, 21 Desember 2011, diakses melalui http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/21/285837/4/2/-Masalah-KlasikPenyerapan-Anggaran-Numpuk-di-Akhir-Tahun, pada 5 Januari 2012
15 | P a g e
―Pacu Serapan Anggaran, Sikat Hambatan Birokrasi‖, Kabarbisnis.com, 21 Desember 2011, diakses melalui http://www.kabarbisnis.com/ read/2825206, pada 5 Januari 2012 ―PDIP Dukung Banggar DPR Mogok Rapat‖, Mediaindonesia.com, 24 September 2011. Diakses melalui http://www.mediaindonesia.com/read/ 2011/09/24/262394/291/7/PDIP-Dukung-Banggar-DPR-Mogok-Rapat, pada 5 Januari 2012 ―Perlu Strategi Agar APBN Bergulir Efektif 10 Bulan‖, Menpan.go.id, 2 November 2011, diakses melalui http://www.menpan.go.id/ index.php/berita-index/824-perlustrategi-agar-apbn-bergulir-efektif-10-bulan, pada 5 Januari 2012 ―PKS Dukung Aksi Banggar‖, Detiknews.com, 23 September 2011, diakses melalui http://www.detiknews.com/read/2011/09/23/ 165446/1729249/10/pks-dukungaksi-mogok-banggar, pada 5 Januari 2012 ―Pengamat, Boikot Banggar Rugikan Rakyat‖, Tempo.co, 24 September 2011 diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2011/ 09/24/087358055/Pengamat-Boikot-Banggar-Rugikan-Rakyat, pada 5 Januari 2012 ―Penyerapan Anggaran Makin Buruk‖, Koranjakarta.com, 20 Desember 2011, diakses melalui http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/78786, pada 5 Januari 2012 ―Penumpukan Serapan Anggaran di Desember perlu Dievaluasi‖, Mediaindonesia.com, 2 Januari 2012, diakses melalui http://www.mediaindonesia.com/read/2012/01/02/288572/4/2/PenumpukanSerapan-Anggaran-di-Desember-perlu-Dievaluasi, pada 5 Januari 2012 ―Rendah Penyerapan APBN 2011 di 10 Kementerian‖, Kabarbisnis.com, 29 Maret 2011, diakses melalui http://www.kabarbisnis.com/read/2819103, pada 5 Januari 2012 ―Penyerapan Anggaran Masih Payah‖, Koranjakarta.com, 26 Oktober 2011, diakses melalui http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/74579, pada 5 Januari 2012
16 | P a g e