Mengubah Beternak Ayam Secara Tradisional Menjadi Semi Intensif UNAIR NEWS – Terinspirasi dari kondisi masyarakat Desa Tanjungsari, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur, khusunya ibu-ibu yang banyak menggemari memelihara ayam kampung. Sayangnya, sistem pemeliharaannya masih tradisional, padahal kebutuhan ayam kampung di pasaran semakin meningkat. Untuk itulah kelompok lima mahasiswa Universitas Airlangga berinisiatif memberdayakan masyarakat tersebut melalui ternak ayam kampung yang nantinya diharapkan dapat menjadi penopang kegiatan ekonomi produktif di Desa Tanjungsari, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Selain itu juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih baik. Setelah melihat kondisi masyarakat di desa tersebut, Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian (PKMM) UNAIR ini terinspirasi dan melakukan pelatihan program MAMA TERAPUNG, kependekan dari “Manajerial Masyarakat Peternakan Ayam Kampung”. Dibawah bimbingan dosennya, Sunaryo Hadi Warsito, drh., M.P., PKM MAMA TERAPUNG ini dituangkan ke dalam proposal. Setelah melalui penilaian Dikti, proposal bertajuk “MAMA TERAPUNG: Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat di Desa Tanjungsari, Boyolangu, Tulungagung dengan pelatihan manajerial beternak ayam kampung Menggunakan Metode P3E” ini lolos dan berhak memperoleh dana Program PKM dari Kemenristekdikti tahun 2017. Menurut Septiana Megasari, ketua Tim PKMM ini, pelatihan tersebut dilakukan melalui beberapa tahap dan metode, antara lain pendahuluan (survey), tahap pelaksaan yang meliputi penyuluhan dan praktek langsung, serta pendampingan dan yang
terakhir evaluasi. Mitra dari program MAMA TERAPUNG ini, adalah peternak Pak Maripin dan istrinya. Kemudian pada saat penyuluhan dilakukan di Balai Desa Tanjungsari dengan mendatangkan pemateri dari Dinas Peternakan Kabupaten Tulungagung. Kemudian dilakukan praktek langsung atau pemberian contoh yang dilakukan di rumah mitra (peternak), yaitu tentang perubahan sistem kandang dari yang semula umbaran (dibiarkan liar) menjadi semi intensif, yaitu ayam yang biasanya dibiarkan mencari makan sendiri kini diubah dalam manajemen pakan yang terjadwal.
TIM PKMM Mahasiswa UNAIR. (Foto: Dok PKMM) ”Sebagai pedoman ibu-ibu PKK Desa Tanjungsari dalam beternak ayam kampung, juga kami buatkan modul beternak yang di dalamnya meliputi materi pembuatan kandang, pemeliharaan ayam kampung serta penyusunan pakan,” demikian Septiana, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR ini. Melalui progam MAMA TERAPUNG ini dapat menjadikan masyarakat, khususnya ibu-ibu PKK di Desa Tanjungsari menjadi terampil
beternak ayam kampong, sehingga dapat meningkatkan perekonomian keluarga, bahkan dapat menciptakan desa tersebut sebagai pusat percontohan peternakan ayam kampung. Selain dipandegani oleh Septiana Megasari dari FKH sebagai ketua kelompok PKMM, juga terdapat empat orang mahasiswa lain sebagai anggota tim, yaitu Tiara Prastiana Putri dan Evania Haris Chandra (keduanya dari Fakultas Kedokteran Hewan), Arizqa Miftahurrohmah (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), dan Intan Nurmahani (Fakultas Hukum). ”Kami berharap taraf hidup masyarakat di Desa Tanjungsari, Kec. Boyolangu, Tulungagung ini juga meningkat, seiring berkembangnya peternakan mereka,” kata Septiana memungkasi. (*) Editor: Bambang Bes
Pererat Kerjasama, Pimpinan UNAIR Kunjungi Jepang UNAIR NEWS – Universitas Airlangga terus mempererat kerjasama dengan perguruan tinggi di negara-negara Asia Timur. Salah satunya adalah Jepang. Usai libur Lebaran, Rektor UNAIR beserta jajarannya melakukan kunjungan kerjasama ke tiga universitas di Jepang. Ketiga perguruan tinggi yang disambangi pimpinan UNAIR adalah Universitas Hiroshima, Universitas Kobe, dan Universitas Osaka. Kunjungan jajaran pemimpin disambut baik oleh pimpinan universitas-universitas setempat. Rektor Prof. Dr. Mochammad Nasih mengatakan, kunjungannya
bersama para penggawa universitas dilakukan untuk mengembangkan program-program kerjasama. Tujuan kolaborasi tersebut dimaksudkan untuk mengakselerasi pencapaian UNAIR dalam pemeringkatan perguruan tinggi-perguruan tinggi berkelas dunia. Ke depan, ada tiga agenda kolaborasi yang akan ditingkatkan oleh sivitas akademika antara UNAIR dan ketiga universitas tersebut. Yakni, kerjasama riset, publikasi penelitian, dan mobilitas akademik yang bisa diikuti oleh mahasiswa dan dosen. “Semoga kolaborasi ini dapat menjadi peluang emas bagi mahasiswa dan dosen UNAIR untuk mendiseminasi hasil-hasil riset di tingkat internasional, meningkatkan atmosfer akademik, serta mendorong peran sivitas akademika dalam pencapaian-pencapaian kinerja berkelas dunia,” harap Rektor. Selain itu, Nasih juga menyampaikan apresiasinya kepada pimpinan universitas tamu yang telah menyambut pihaknya dengan baik. Delegasi UNAIR yang berangkat ke Jepang adalah Wakil Rektor III bidang kerjasama akademik dan penelitian, Wakil Rektor II bidang sumber daya dan sarana prasarana, Sekretaris Universitas, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi, Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Direktur dan Sekretaris Airlangga Global Engagement. Penulis: Defrina Sukma S
Selamat
Jalan
Prof.
Laurentius Dyson, Pejuang Pendidikan Antropologi UNAIR UNAIR NEWS – ”UNAIR sangat kehilangan besar seorang putera terbaiknya, pejuang pendidikan,” demikian Wakil Rektor I Universitas Airlangga Prof. Djoko Santoso, dr., Sp.PD-KGH., PhD., FINASIM., mewakili Rektor dalam sambutannya pada upacara persemayaman jenasah dan penghormatan terakhir Alm. Prof. Dr. Drs. Laurentius Dyson Penjalong, MA., di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Sabtu (1/7) siang. Prof. Djoko mengatakan demikian karena Universitas Airlangga sebagai salah satu pusat pengembangan ilmu yang mengedepankan moral dan kejujuran, salah seorang penggiat, pendukung, dan pejuang nilai-nilai moral dan kejujuran itu adalah Prof. L. Dyson, yang sekarang sudah meninggalkan kita untuk selamalamanya pada hari Rabu 28 Juni 2017 lalu. Upacara persemayaman dan penghormatan terakhir Prof. Dyson sungguh meriah dalam keharuan. Ratusan sivitas memenuhi halaman depan kampus “Oranye” FISIP UNAIR, tempat Prof. Dyson, sapaan akrabnya, 37 tahun mengabdi disana. Diantaranya banyak para alumni FISIP dan perwakilan beberapa perguruan tinggi di Surabaya. Diantara Guru Besar, dekan, dan dosen UNAIR itu, bahkan tampak hadir Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD, pria kelahiran Polandia ini adalah salah seorang pendiri Jurusan Antropologi FISIP UNAIR tahun 1984. Dalam situasi yang masih terselimuti oleh suasana Lebaran (Hari Raya), maka diantara yang hadir dalam acara ini pun sekaligus memanfaatkan sebagai silaturahmi bersalam-salaman, saling maaf-memaafkan dan halal-bihalal. Suasanya menjadi terlihat penuh keakraban dan kekeluargaan, sekaligus keharuan.
RATUSAN sivitas memadati Aula depan FISIP UNAIR. Warek I UNAIR Prof. Djoko Santoso menyampaikan sambutannya. (Foto: Bambang Bes) Ditambahkan
oleh
Prof.
Djoko
Santoso,
sebagai
pejuang
pendidikan yang sudah mengabdikan diri selama 37 tahun di UNAIR, Prof. Dyson adalah pribadi pekerja keras yang luar biasa. Karena itu ia yakin apapun yang telah dipesankan dan diajarkan oleh Prof. Dyson kepada murid dan yuniornya, pasti akan dipenuhi dan dilaksanakan, terutama sebagai pejuang pendidikan. ”Kami yakin, gugur satu ini akan lahir ribuan semangat Prof. Dyson baru yang akan menegakkan pendidikan, moral, dan kejujuran, sehingga kontribusinya akan menunjang kemajuan Indonesia untuk tetap dalam lindungan Allah SWT,” tandas Prof. Djoko Santoso, Guru Besar FK UNAIR ini. Di akhir sambutannya, Wakil Rektor I ini mengatakan bahwa UNAIR betul-betul sangat berterima kasih atas dedikasi dan kontribusi Prof. Laurentius Dyson Penjalong yang senantiasa kreatif dalam mencetak kader-kader yang kontributif. ”Semoga dengan amalan dan kontribusinya yang luar biasa itu, Prof. Dyson senantiasa dalam kedamaian yang kekal dan abadi,”
lanjut Prof. Djoko. Sebagai wakil sejawat, Dr. Pinky Saptandari, Ketua Jurusan Antropologi FISIP UNAIR, mengatakan bahwa Guru Besar FISIP UNAIR kelahiran Samarinda 3 November 1954 ini, semasa aktifnya senantiasa tidak henti-hentinya memberikan motivasi kepada yuniornya untuk sekolah, sekolah, dan sekolah lagi. Ini menunjukkan semangat pengabdian pada pendidikan pada Prof. Dyson yang luar biasa, dan ditunjukkan dengan keteguhannya pada prinsip, kejeniusannya, keuletannya, sekaligus dengan kejenakaannya. ”Semangat yang ditunjukkan paling akhir adalah ketika kami sama-sama ke Makassar dalam rangka persiapan pembukaan prodi S-2 Unhas, Prof. Dyson selalu menginspirasi kita semua,” tandas Pinky Saptandari, yang juga Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini. Prof. Dr. I.B. Wirawan, Drs., SU., sebagai teman satu angkatan almarhum saat memulai karier di UNAIR tahun 1977-1978, menjelaskan sepak-terjang Prof. Dyson semasa aktifnya. Ia sangat terkesan ketika ada mahasiswa pasca yang akan terkena DO (drop out) tetapi oleh Prof. Dyson dibela untuk diberi kesempatan sampai lulus. Karena bagi almarhum, pendidikan adalah “learning proses” sehingga tidak bisa diselesaikan dengan cara seperti itu. ”Semasa aktifnya, Prof. Dyson adalah sosok yang pemaaf, dinamis, easy going, humoris, sekaligus juga gokil,” kata Prof. IB. Wirawan. Laurentius Yoan Dyson, puteri pertama almarhum, ketika mewakili keluarga menyatakan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu mulai perawatan hingga persemayaman dan pemakaman ayahandanya ke peristirahatan terakhirnya di TPU Keputih Sukolilo, Surabaya. Ia membenarkan, papanya adalah tipe orang yang suka bekerja keras, sangat fight, sangat perduli kepada siapapun; terutama
orang-orang terdekatnya untuk selalu dimotivasi melanjutkan sekolah, sekolah dan sekolah.
agar
”Hal itu dilakukan karena Papa sangat bangga menjadi seorang guru, dan kalau punya mau atau kehendak juga berusaha untuk bisa dipenuhi. Karena sifat-sifat yang demikian itulah kalau ada salah dan tidak berkenan kepada teman-teman papa di FISIP, kami mohon untuk dimaafkan,” kata Yoan, yang mengaku “tertampar” untuk mau sekolah lagi ke S-2 selepas lulus dari FISIP UNAIR juga lantaran ayahnya banyak memotivasi orang lain untuk sekolah, sekolah, dan sekolah lagi. Prof. Dr. Drs. Laurentius Dyson Penjalong, MA., lahir di Samarinda 3 November 1954, dan meninggal di Surabaya pada Rabu 28 Juni 2017. Almarhum meninggalkan seorang isteri, Betsy Remanitha, dan dua orang anak yaitu Laurentius Yoan Dyson, dan Nikolas Dion Dyson. Almarhum menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di Universitas Indonesia, sedang pendidikan S-3 diselesaikan di Universitas Airlangga pada bidang Ilmu Antropologi Psikologi. Almarhum menjadi dosen FISIP UNAIR sejak tahun 1980, lalu dikukuhkan menjadi Guru Besar tahun 2005 pada bidang Ilmu Antropologi Psikologi, dengan judul orasi “Menjadi Orang Indonesia dalam Semangat Otonomi Daerah di Tengah Arus Globalisasi”. Selamat jalan Prof. Laurentius Dyson Penjalong. (*) Penulis: Bambang Bes.
Gagas Progesteron Paper Strip
Demi Swasembada Daging UNAIR NEWS – Produk daging sapi lokal tercatat belum bisa mencukupi kebutuhan nasional. Hingga saat ini, kebutuhan akan sumber protein hewani tersebut masih didukung oleh produk impor. Tentu saja, kondisi ini cukup memprihatinkan. Terlebih secara faktual, sumber daya alam nusantara sejatinya sanggup untuk memberi suasana maupun nutrisi yang baik untuk pengembangbiakkan sapi. Di sisi lain, fenomena tersebut membangkitkan semangat anak bangsa untuk bercita-cita menjadi produsen sapi unggul. Baik secara kulitas, maupun secara kuantitas. Indonesia harus bisa menjadi produsen sapi yang mampu menjadi penyedia kebutuhan nasional. Bahkan, menjadi pengekspor daging sapi. Dengan demikian, harga sapi di dalam negeri tidak lagi mahal, dan ketersediannya pun tidak lagi langka. Bertolak dari kondisi dan semangat di atas, Prof. Dr. I Komang Wiarsa Sardjana drh., melakukan sejumlah penelitian. Harapannya, penelitian itu menjadi penopang atau pendukung cita-cita swasembada daging sapi. Setelah melalui banyak telaah akademik, dia sampai pada satu perspektif. Yakni, salah satu cara agar Indonesia bisa sukses menjadi produsen daging yang unggul adalah pengetahuan tentang kebuntingan sapi sejak dini. Maksudnya, semakin cepat sapi diketahui bunting atau tidak, semakin baik bagi upaya pengembangbiakkan sapi tersebut. Umumnya, mayoritas peternak sapi di Indonesia masih memiliki pola pikir konvensional. Setelah sapi dikawinkan, baik melalui perkawinan alami ataupun ensiminasi buatan, mereka akan menunggu berbulan-bulan untuk mengetahui kepastian kondisi kebuntingan melalui kasat mata fisik betina. Bahkan, ada yang menunggu hingga sembilan bulan sepuluh hari! Karena, masa kehamilan sapi memang di rentang itu, sama seperti manusia. Kalau selama sembilan sepuluh hari tidak melahirkan, berarti
perkawinan yang dulu itu gagal. Lantas, baru dikawinkan lagi. “Tapi ini kan membuang waktu. Coba kalau sejak sedini mungkin sudah diketahui betina itu hamil atau tidak, tindakan lanjutan bisa segera diambil. Tidak usah menunggu sampai sembilan bulan” papar dia. Berawal dari pemahaman itu, Komang mulai berpikir cara mengetahui kebuntingan sejak dini. Dia pun terinspirasi dengan adanya paperstrip tes kehamilan pada manusia. Bersama rekannya dari Fakultas Kedokteran, dia melakukan penelitian panjang tentang pembuatan paperstrip tes kebuntingan khusus bagi sapi. Yang kemudian dikenal dengan sebutan: Progesteron Paperstrip. Tentu saja, dari segi teknis ada sejumlah perbedaan dengan paperstrip yang dikhususkan bagi manusia. Paperstrip pada manusia, dicelupkan pada urine. Nah, pada sapi perah, paperstrip diceupkan pada air susu. Sedangkan pada sapi pedaging, dicelupkan pada darah yang diambil dari ekor atau leher. “Pengetesan pada sapi dilaksanakan setelah 21 hari dari momen perkawinan,” kata dia. Bila diketahui sapi belum hamil, perkawinan bisa segera dilaksanakan ulang. Tidak perlu menunggu sampai berbulanbulan. Sedangkan jika sapi tersebut ternyata memang hamil, nutrisi yang diberikan pada betina tersebut harus terus mendapat perhatian. Dengan demikian, janinnya kuat dan sehat sampai masa melahirkan. Salah satu problem nasional dari pola pengembangbiakkan sapi adalah pola pikir yang masih tradisional. Yang tidak memperkenankan teknologi menyentuh upaya peternakan. Atau bisa jadi, terdapat kebuntuan atau ketidakmerataan informasi dan teknologi. Maka itu, perlu peran aktif pemerintah untuk memecahkan persoalan ini. Bila pemerintah serius ingin menyelesaikn persoalan ketersediaan daging sapi, eksekutif wajib melakukan pemerataan teknologi di bidang peternakan sapi. Lantas, memberikan
informasi tentang manfaat dan peranannya dalam kesuksesan beternak. Paling tidak, penggunaan teknologi sederhana yang digagas Komang, dengan tujuan mengetahui kondisi kebuntingan sapi sejak dini. Sebab, ada banyak manfaat turunan yang diperoleh bila peternak sukses mengaplikasikan ide tersebut di lapangan. Yang jelas, pekerjaan yang mereka lakukan bakal lebih efektif dan efisien. Sentuhan modernisasi merupakan suatu keniscayaan, bila bangsa ini ingin memiliki industri daging sapi semaju Australia, Selandia Baru, atau negara Eropa lainnya. Sejauh ini, problem terlampau lamanya selang kelahiran dan kecilnya peluang kebutingan adalah persoalan fundamental para peternak. Terlebih, bagi mereka yang selama ini melaksanakan kerjanya secara tradisional. Bangsa Indonesia pasti ingin mandiri di segala bidang. termasuk, di ranah peternakan. Di era erba canggih seperti sekarang ini, penggunaan teknologi sudah tidak dapat diabaikan. Semua pihak mesti sadar akan hal ini. sementara pemerintah, harus giat untuk menerapkan optimalisasi teknologi di segala lini kehidupan masyarakat. Khususnya, di aspek-aspek yang menyangkut dengan pergerakan roda ekonomi kerakyatan dan kesejahteraan sosial. “Sebagai akademisi, saya siap melakukan riset aplikatif. Salah satu yang sudah saya hasilkan, inovasi Progesteron Paper Strip ini,” papar Komang. (*)
Racik Kulit Manggis dan Kumis
Kucing Menjadi Obat Diabetes dan Kolesterol UNAIR NEWS – Salah satu pakar farmasi dan obat herbal yang berasal dari Universitas Airlangga (UNAIR) adalah Prof. Dr. Sukardiman, Apt., MS. Dia telah banyak melakukan penelitian panjang tentang tumbuh-tumbuhan berkhasiat di Indonesia. Salah satu yang saat ini tengah digagas untuk dapat diproduksi secara massal dan dipasarkan dengan bebas adalah ramuan ekstrak kulit manggis dan kumis kucing. Manfaat ramuan yang dimaksud ada dua. Yakni, sebagai obat herbal antidiabetes (penurun kadar gula) dan antikolesterol yang merusak. Guru Besar Farmasi itu mengungkapkan, setidaknya ada tiga pendekatan untuk mencari khasiat obat pada tanaman. Pertama, melakukan full screening pada semua tumbuhan. Dari situ, dapat terlihat, tumbuhan yang satu berkhasiat apa, sedangkan tumbuhan yang lain, berkhasiat apa. Kedua, melakukan pemetaan berdasarkan “keluarga” tanaman. Misalnya, bila satu tanaman memiliki kandungan yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, bisa jadi, tanaman lain yang berasal dari “keluarga” yang sama memiliki kandungan yang sama. Sedangkan yang ketiga, dan inilah yang dilakukan oleh Sukardiman selama ini, dengan cara etnofarmasi. Yakni, melakukan pemetaan berdasarkan data empirik yang ada di masyarakat. Tepatnya, dari kebiasaan masyarakat di Indonesia, yang diwariskan secara turun-temurun, terkait khasiat tanaman tertentu untuk obat penyakit tertentu. “Bangsa Indonesia mesti bersyukur. Kekayaan dan kearifan lokal di negeri ini sudah membuat para leluhur gampang mendapatkan obat alami. Obat-obat tradisional itu yang bisa kita nikmati khasiatnya hingga sekarang,” papar dia. Khazanah alam yang begitu melimpah di Nusantara juga berpotensi membuat negara ini unggul di bidang obat-obatan
herbal. Tak ayal, saat ini Kementerian Kesehatan lagi gencargencarnya menjalankan program kemandirian pengadaan bahan baku obat dan bahan baku obat tradisional. Meski memang, birokrasi untuk menuju ke arah swasembada itu juga perlu dibenahi. Sukardiman mengatakan, sudah sepantasnya, izin produksi obat herbal terstandar melalui proses yang panjang. Namun, tidak pas juga bila birokrasi dibuat berbelit. Apalagi, bila SDM yang berada di balik produk obat herbal itu adalah mereka yang sudah terbukti memiliki integritas dan komitmen bagi kemajuan bangsa. Di sisi lain, pengawasan terhadap promosi obat herbal juga harus dibuat proporsional. Selama ini, ada banyak pihak yang bebas melakukan promosi obat herbal di televisi, padahal kompetensi yang bersangkutan masih dipertanyakan. “Saya pernah lihat, ada satu obat tetes yang bisa menyembuh banyak sekali penyakit. Saya heran, itu logikanya di mana? Apakah kandungannya memang tercukupi? Apakah penelitiannya sudah melalui banyak proses?” papar dia. Sebab, saat membuat obat herbal, ada tiga aspek yang harus diperhatikan. Pertama, kualitas bahan baku yang terstandar. Hal ini terkait pula dengan penelitian yang komprehensif tentang bahan baku tersebut. Tak terkecuali, di mana lokasi bahan baku itu diambil. Kedua, jaminan produk yang aman bagi kesehatan. Hubungannya dengan dosis dan berapa lama produk dapat dikonsumsi. Ketiga, khasiat dari obat herbal itu sendiri. Untuk melihat khasiat, harus melalui tahapan pengujian yang tidak pendek. Maka itu, pemerintah harus turun tangan untuk mengawasi obatobat herbal yang ada di pasaran dan dipromosikan dengan gencar di media massa. Sebab, ini terkait standar khasiat dan keamanan masyarakat. Selain melakukan eksteraksi kulit manggis dan kumis kucing, Sukardiman juga telah melakukan riset tumbuh-tumbuhan yang lain. Dia mencetuskan banyak produk yang aplikatif bagi masyarakat. Antara lain, membuat obat kanker dari sambiloto,
obat kanker dari kencur, obat diabetes dari sambiloto dan mahoni, obat pegal linu dari kencur, dan peningkat stamina dari kencur. Sukardiman optimistis, bangsa Indonesia dapat menjadi mendiri di bidang obat-obatan. Asalkan, ada koordinasi yang baik antar instansi plat merah yang mengurusi segala hal terkait. Pemerintah pun mesti mendukung program riset unggulan dari dosen ataupun peneliti yang dilakukan dengan serius dan cermat. Sukardiman adalah salah satu dosen Fakultas Farmasi yang memiliki catatan cemerlang. Dia adalah Guru Besar Termuda Fakultas Farmasi pada 2008. Pria kelahiran Kebumen ini tercatat sebagai anggota reviewer penelitian DIKTI sejak 2010, dan Penelitian Binfarkes Kemenkes RI sejak 2013. Selain itu, dia juga menjadi Anggota Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sejak tahun 2010 dan Anggota Bidang Obat Bahan Alam dari Koligeum Ilmu Farmasi Indonesia (KIFI) pada tahun 2016. Di sela kesibukannya, dia produktif menghasilkan buku dan menorehkan paten. Prestasi yang sudah banyak dia raih, sudah dimulai sejak dahulu. Misalnya, pada 1999, Sukardiman mendapatkan penghargaan “Young Investigator Award” dari Perhimpunan Dokter Ahli Mikrosirkulasi Asia. Selain itu, dia juga ditetapkan sebagai Penyaji Terbaik Hasil Penelitian Ilmu Penelitian Dasar (IPD) oleh DIKTI pada 2004. (*)