ANALISIS USAHA BUDIDAYA TAMBAK BANDENG PADA TEKNOLOGI TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF DI KABUPATEN KARAWANG
MAHFUDLOTUL ‘ULA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng pada Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif di Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2015 Mahfudlotul ‘Ula NIM H34110017
ABSTRAK MAHFUDLOTUL ‘ULA. Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng pada Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif di Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI Rendahnya produktivitas bandeng yang dihasilkan teknologi tradisional mendorong perkembangan teknologi budidaya baru untuk meningkatkan produktivitas. Teknologi semi-intensif telah berkembang sejak tahun 2000an. Namun teknologi ini meningkatkan biaya produksi karena adanya tambahan input berupa pakan buatan. Salah satu kabupaten penghasil ikan bandeng dan menerapkan kedua teknologi budidaya ialah Kabupeten Karawang. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat keuntungan dan efisiensi biaya pada masing-masing teknologi baik teknologi trdisional dan semi-intensif. Metode pengambilan data dilakukan secara purposive sebanyak 30 petani bandeng teknologi tradisional dan 33 petani bandeng teknologi semi-intensif. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa teknologi semi-intensif memberikan tingkat produktvitas yang lebih tinggi dan lebih menguntungkan. Namun, teknologi tradisional lebih efisien. Kondisi ini yang menjadikan budidaya bandeng dengan teknologi tradisional masih tetap bertahan karena memberikan return to capital lebih tinggi meskipun memiliki risiko yang lebih tinggi. Kata kunci : bandeng, teknologi tradisional dan semi-intensif, struktur biaya ABSTRACT MAHFUDLOTUL ‘ULA. Income Analysis Milkfish Cultivation of Traditional and Semi-intensive in Karawang Regency. Supervised by NUNUNG KUSNADI The low productivity of milkfish produced by traditional technology encourage the development of new farming technologies to increase productivity. Semi-intensive technology has evolved since the 2000s. However, this technology increases the cost of production because of the additional input of artificial feed. One of the regencies which produce milkfish using both traditional and semiintensive technology is Karawang Regency. The objective of this research were to analyze profit and cost efficiency in traditional and semi-intensive techonology. The method of data collection conducted purposive as many as 30 milkfish farmers with traditional technology and 33 milkfish farmers with semi-intensive technology. The results show that semi-intensive technology provides a higher level of productivity and higher profitability. However, traditional technology was more efficient than semi-intensive technology. This condition causes the milkfish cultivation with traditional technology are still exist because it provides a higher return to capital. Key words : Milkfish, traditional and semi-intensive technology, cost structure
ANALISIS USAHA BUDIDAYA TAMBAK BANDENG PADA TEKNOLOGI TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF DI KABUPATEN KARAWANG
MAHFUDLOTUL ‘ULA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini ialah usahatani, dengan judul Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng pada Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif di Kabupaten Karawang. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku pembimbing skripsi, serta Bapak Dr Ir Lukman M. Baga, MA.Ec selaku Dosen Pembimbing Akademik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada petani bandeng Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan informasi terkait pertanyaan penelitian, Pihak Kecamatan Tirtajaya dan Dinas Perikanan Kabupaten Karawang atas bantuannya untuk mendapatkan data sekunder. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ayah Ikrom, Ibu Sri Wilujeng, Adik Ahmad Nur Khafidz, Adik Ahmad A’izzal Barid Ikrom, dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan moril dan doa yang tak pernah henti. Terima kasih kepada Ahmad Royhan yang selalu memberikan motivasi, semangat dan doanya. Terima kasih kepada sahabat Dina Azhara dan Nisa Nurbaiti yang selalu memberikan semangat, menemani selama penelitian dalam susah dan senang. Terima kasih kepada teman-teman agribisnis 48 yang telah memberikan dukungan. Terima kasih kepada teman-teman se-pembimbing yang telah memberikan semangat. Terima kasih teman-teman MSA 5 yang telah memberikan dukungan dan semangatnya untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015 Mahfudlotul ‘Ula
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup TINJAUAN PUSTAKA Padat Tebar Benih pada Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif Produktivits Output Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif R/C Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Ektensifikasi dan Intensifikasi Keragaan Usahatani Biaya Usahatani Penerimaan Usahatani Pendapatan Usahatani dan R/C rasio Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis Penerimaan, Biaya, dan Keuntungan Usahatani Analisis Pendapatan Usahatani Analisis Efisiensi Biaya Usahatani Analisis Uji Beda t-Test GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Karakteristik Wilayah Kondisi Geografi Kependudukan Pertanian Karakteristik Petani Responden Jenis Kelamin Usia Tingkat Pendidikan Pengalaman Budidaya Bandeng Jumlah Tanggungan Keluarga
xiii xiv xiv 1 1 3 4 4 5 5 5 6 6 8 8 8 8 9 11 11 11 12 14 14 15 15 15 16 17 17 18 18 18 19 21 21 22 22 23 23 24
Penguasaan Lahan Tambak Padat Tebar Lama Budidaya Pekerjaan di Luar Usahatani USAHA BUDIDAYA TAMBAK BANDENG TEKNOLOGI TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF Keragaan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semiintensif di Kecamatan Tirtajaya Penggunaan Input Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif Biaya Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya Produktivitas Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semiintensif Kecamatan Tirtajaya Penerimaan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semiintensif di Kecamatan Tirtajaya Keuntungan dan Pendapatan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya Analisis Efisiensi R/C SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
25 26 26 27 27 27 28 31 36 37 38 39 40 40 41 41 44 54
DAFTAR TABEL 1 Luas penggunaan tanah dan presentasenya di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 2 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 4 Jumlah dan presentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 5 Produksi perikanan dan pertanian di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 6 Jenis kelamin petani responden di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 7 Jumlah petani responden berdasarkan kriteria usia di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 8 Jumlah petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 9 Jumlah petani responden berdasarkan pengalaman berbudidaya di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 10 Jumlah petani responden berdasarkan jumlah tanggungan di Kecamatan Tirtajaya tahun 2105 11 Jumlah petani responden berdasarkan luas penguasaan tambak di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 12 Jumlah petani responden berdasarkan status lahan yang dimiliki Kecamatan Tirtajaya 2015 13 Jumlah petani responden berdasarkan padat tebar benih bandeng di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 14 Jumlah petani responden berdasarkan jenis pekerjaan di luar usahatani Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 15 Rata-rata kebutuhan input per hektar per musim budidaya pada usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 16 Rata-rata penggunaan tenaga kerja per hektar per musim budidaya pada usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 17 Perbandingan biaya usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 18 Perbandingan produktivitas bandeng per hektar per musim budidaya berdasarkan teknologi budidaya di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 19 Perbandingan penerimaan usaha budidaya bandeng per hektar per musim budidaya berdasarkan teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 20 Perbandingan keuntungan dan pendapatan usaha budidaya bandeng berdasarkan teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 21 Perbandingan R/C rasio usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
19 19 20 20 21 22 22 23 24 24 25 25 26 27
28
30 33 36
37
38 39
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Volume produksi perikanan tahun 2003-2013 (dalam ton) Produksi ikan bandeng di Indonesia tahun 2010-2013 Pengaruh ekstensifikasi dan intensifikasi lahan terhadap produksi Kerangka pemikiran analisis usaha budidaya tambak bandeng pada teknologi tradisional, dan semi-intensif di Kabupaten Karawang
1 3 9 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Konsumsi ikan di Indonesia Sentra produksi bandeng di Indonesia tahun 2010-2012 (dalam ton) Produksi bandeng Kabupaten Karawang tahun 2008-2013 (dalam ton) Luas areal tambak yang dimanfaatkan di Kabupaten Karawang (dalam Ha) Luas tambak, jumlah RTP, dan produksi bandeng masing-masing kecamatan di Kabupaten Karawang tahun 2013 Biaya penyusutan R/C rasio per responden berdasarkan teknologi budidaya Perhitungan mortalitas per hektar Hasil output SPSS uji t independent terhadap penggunaan nener pupuk urea HOK produktivitas biaya total penerimaan dan R/C Dokumentasi
44 44 45 45 45 46 47 48 50 52
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor perikanan berkontribusi cukup besar dalam pembangunan ekonomi nasional melalui penyerapan tenaga kerja, pendapatan nasional, sumbangan devisa ekspor, dan ketahanan pangan dalam memenuhi konsumsi protein dalam negeri. Penyerapan tenaga kerja disektor perikanan dari tahun 2005-2009 mengalami kenaikan 6.43 persen yaitu dari 5.4 juta orang menjadi 6.21 juta orang. Peningkatan penyerapan tenaga kerja disektor ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari nilai produk domestik bruto (PDB) yang terus mengalami kenaikan rata-rata sebesar 27.06 persen dari tahun 2004 sampai tahun 2008 (Badan Pusat Statatistik 2009). Pembangunan perikanan budidaya perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan hasil perikanan tangkap yang cenderung stagnan produksinya. Pembangunan ini ditunjukan pada Gambar 1 bahwa produksi perikanan budidaya menunjukkan trend yang positif dan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21.93 persen. Peningkatan produksi ini sejalan dengan peningkatan konsumsi perikanan Indonesia. Rata-rata kenaikan konsumsi per kapita dari tahun 2004 sampai tahun 2008 sebesar 7.35 persen atau dari 22.58 kg/kapita/tahun di tahun 2004 meningkat menjadi 29.98 kg/kapita/tahun ditahun 2008. Namun, indeks konsumsi ikan Indonesia masih dibawah standar FAO yaitu 30 kg/kapita/tahun. Perubahan yang signifikan terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Tingkat konsumsi ikan mengalami peningkatan dari 33.89 kg/kapita/tahun menjadi 35.14 kg/kapita/tahun (Lampiran 1). Angka ini sudah memenuhi standar FAO. Kenaikan konsumsi ikan ini lebih besar berasal dari perikanan budidaya yang diprediksi terus mengalami peningkatan produksi. 10000000 8000000 Produksi (ton)
6000000 tangkap
4000000
budidaya 2000000 0
Tahun Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014)
Gambar 1 Volume produksi perikanan tahun 2003-2013 (dalam ton)
2 Usaha budidaya tambak merupakan kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya pesisir pantai. Kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani maupun nelayan daerah pesisir pantai, meningkatkan devisa negara dan mengurangi ketergantungan dari produksi perikanan tangkap yang cenderung stagnan. Potensi budidaya tambak dapat dilihat dari luas lahan tambak Indonesia yang terus mengalami peningkatan. Luas tambak di Indonesia tahun 2010 mencapai 2.9 juta hektar dan baru dimanfaatkan sekitar 0.7 juta ha. Artinya masih terdapat peluang sekitar 2.2 juta ha untuk mengembangkan pesisir pantai Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012). Selain faktor lahan tambak yang dimanfaatkan, peran teknologi yang diterapkan juga mempengaruhi peningkatan produksi budidaya tambak. Secara umum tingkatan teknologi budidaya tambak dibedakan menjadi tiga yaitu ekstensif/tradisional, semi-intensif, dan intensif. Perbedaan dari ketiga teknologi budidaya ini dilihat dari dari padat tebar benih yang diusahakan, jenis pakan yang diberikan, serta kincir air untuk menambahkan supply oksigen dalam air. Teknologi tradisional dicirikan dengan padat tebar benih 2-3 ekor per m2 dan menggunakan pakan alami (Afaf 2004). Perubahan teknologi tradisional ke semiintensif dan intensif berarti meningkatnya padat penebaran benih dan peningkatan pemberian pakan serta input lainnya seperti pestisida dan obat-obatan kimia. Perubahan teknologi yang digunakan membutuhkan perencanaan modal yang tepat, karena perubahan teknologi ini menyebabkan biaya produksi budidaya tambak semakin meningkat. Dengan adanya perubahan teknologi ini pembudidaya dapat mengefisienkan faktor-faktor produksi yang dimiliki, sehingga tujuan dari pembangunan pesisir pantai yaitu peningkatan kesejahteraan petani tambak dapat meningkat melalui peningkatan produktivitas usaha tambak yang dijalankan. Perkembangan teknologi ini juga diterapkan pada budidaya tambak ikan bandeng. Petani budidaya bandeng mengarahkan dari teknologi tradisional ke semi-intensif. Tujuan dari perkembangan teknologi ini untuk meningkatkan produksi ikan bandeng dan meningkatkan pendapatan petani. Ikan bandeng merupakan salah satu ikan unggulan yang dibudidayakan di tambak air payau. Keunggulan dari ikan ini dapat tumbuh dalam teknik budidaya tradisional, bersifat herbivora, mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan tahan terhadap serangan penyakit. Selain itu, ikan bandeng juga memiliki nilai ekonomis, jika dilihat dari permintaannya, selama sepuluh tahun terakhir permintaan ikan bandeng rata-rata meningkat 6.33 persen tiap tahunnya sedangkan produksi bandeng rata-rata meningkat 3.82 persen tiap tahunnya 1 . Keunggulan lainnya yang dimiliki oleh ikan bandeng ialah dapat dibudidayakan dengan ikan lainnya seperti udang dan rumput laut. Produksi bandeng di Indonesia menunjukan trend yang positif pada dari tahun 2010 sampai tahun 2013 kenaikan rata-rata bandeng mecapai 16.80 persen dengan pencapaian target 107.6 persen (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013). Dan Indonesia berhasil menepati posisi pertama sebagai negera penghasil bandeng terbesar di dunia pada tahun 2011 dengan share sebesar 52.4 persen dari 1
Bank Indonesia. 2012. Pola pembiayaan usaha kecil (PPUK). [Internet]. [diunduh 2015 Juni 16]. Tersedia pada http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/polapembiayaan/perikanan/Documents/5a2124b609ea49d7aaa4b81f78c30ac7BudidayaBandengKon vensional1.pdf
3 produksi bandeng dunia dan posisi kedua berada pada negera Philipina dengan share 41.8 persen ( Fishstat FAO 2013)2. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa komoditas ikan bandeng memiliki potensi yang cukup besar dan berpeluang menjadi komoditas ekspor untuk meningkatkan devisa negara. Target (ton)
Capaian (ton) 700000 667116
421757 349600
Tahun
2010
467449 419000
2011
503400 518919
2012
2013
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013).
Gambar 2 Produksi ikan bandeng di Indonesia tahun 2010-2013 Secara teknis penggunaan teknologi mampu melipatgandakan hasil produksi dan mengefisienkan faktor-faktor produksi. Namun, petani masih menggunakan teknologi tradisional untuk membudidayakan ikan bandeng. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana penggunaan teknologi terhadap tingkat pendapatan petani. Rumusan Masalah Budidaya bandeng di Indonesia di mulai sejak awal abad ke-12 terutama di pulau Jawa3. Produksi bandeng di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia dari red meat menjadi white meat 4 . Namun, peningkatan produksi belum mampu memenuhi permintaan bandeng di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan produksi bandeng, salah satunya melalui pendekatan teknologi. 2
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2014. Menjadikan bandeng sebagai penggerak ekonomi masyarakat. [Internet]. [diunduh pada 2015 Juni 16]. Tersedia pada http://www.djpb.kkp.go.id/index.php/arsip/c/176/Menjadikan-Bandeng-Sebagai-PenggerakEkonomi-Masyarakat/?category_id=13 3 World Wide Fund Indonesia. 2014. Budidaya ikan bandeng pada tambak ramah lingkungan. [Internet]. [diunduh pada 2015 Juni 16]. Tersedia pada http://awsassets.wwf.or.id/downloads/bmp_budidaya_ikan_bandeng.pdf 4 Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Usulkan Hari Ikan Nasional Untuk Mendukung Upaya Peningkatan Gizi Masyarakat Indonesia. [Internet]. [diunduh 2015 Juni 16]. Tersedia pada http://www.wpi.kkp.go.id/index.php/82-infoaktual/104-kementerian-kelautan-dan-perikanan-kkp-usulkan-hari-ikan-nasional-untukmendukung-upaya-peningkatan-gizi-masyarakat-indonesia
4 Teknologi budidaya bandeng di Indonesia terbagi menjadi 3 teknologi produksi, namun ada juga yang menyebutkan empat teknologi, yaitu teknologi tradisional, tradisional plus, semi-intensif dan intensif. Perbedaan ke empat teknologi ini berdasarkan intensitas padat tebar nener5, pakan, pupuk, obat-obatan dan pemberian kincir angin untuk menambah supply oksigen di dalam air. Namun yang berkembang di Indonesia adalah teknologi tradisional dan semi-intensif. Tidak berkembangnya teknologi intensif pada budidaya bandeng karena budidaya ini memerlukan investasi yang cukup tinggi dan tidak sebanding dengan harga ikan bandeng yang cenderung rendah dibanding harga udang. Teknologi intensif biasanya dikembangkan pada budidaya udang yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibanding bandeng. Meskipun hanya dua teknologi yang berkembang, yaitu teknologi tradisional dan semi-intensif. Namun, proporsi penggunaan teknologi tradisional cenderung lebih tinggi. Padahal dengan perubahan teknologi tradisional ke semi-intensif mampu meningkatkan produksi bandeng sehingga meningkatkan kesejahteraan petani bandeng. Berdasarkan uraian diatas, maka timbul pertanyaan teknologi manakah yang memberikan keuntungan lebih tinggi? Teknologi manakah yang memberikan tingkat efisiensi lebih tinggi? Tujuan Penelitian Untuk menjawab masalah penelitian maka perlu melihat keuntungan usahatani tambak dan perlu melakukan analisis pendapatan serta analisis biaya untuk menyimpulkan sistem mana yang memberikan manfaat lebih besar kepada petani tambak, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengalisis struktur biaya usahatani tambak bandeng pada masing-masing teknologi yang diterapkan. 2. Menganalisis tingkat pendapatan petani tambak bandeng pada masing-masing teknologi yang diterapkan. 3. Menganalisis efisiensi usahatani tambak bandeng pada masing-masing teknologi yang diterapkan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan bidang ilmu yang telah dipelajari serta melatih dalam kemampuan berpikir secara analitis untuk menghadapi persoalan di lapang yang berkaitan dengan agribisnis. 2. Bagi petani tambak diharapkan dapat memberikan informasi mengenai struktur biaya, pendapatan, dan efisiensi usaha tambak yang dijalankan, sehingga mampu membantu petani mampu dalam mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki. 3. Bagi pemerintah dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan terkait potensi perikanan yang ada di Kabupaten Karawang secara khusus.
5
Berdasarkan KBBI, nener adalah benih ikan bandeng yang baru ditetaskan dengan panjang badan antara l0—30 mm; anak ikan bandeng yg masih kecil
5 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis keragaan usaha budidaya tambak bandeng pada masing-masing teknologi yang diterapkan di Kabupaten Karawang, dilihat dari aspek penggunaan input, struktur biaya, pendapatan, serta efisiensi usaha budidaya tambak. Analisis efisiensi usaha budidaya tambak dilihat berdasarkan analisis R/C rasio. Analisis usahatani yang digunakan merupakan analisis finansial, data yang digunakan ialah data riil dari lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan pada satu kali musim panen dengan menggunakan beberapa asumsi agar memudahkan dalam proses analisis. Dan diharapkan dengan adanya batasan ini tidak mengurangi esensi yang akan disampaikan.
TINJAUAN PUSTAKA Padat Tebar Benih pada Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif Budidaya tradisional berbeda dengan budidaya semi-intensif dan intensif dalam hal penggunaan input. Perbedaan ini dilihat dari padat tebar benih, jenis pakan yang digunakan, dan alat penunjang seperti kincir angin untuk menambah supply oksigen dalam air. Teknologi intensif umumnya memiliki padat tebar benih dan penggunaan input lebih tinggi dibanding semi-intensif dan tradisional. Beberapa negara sebagai penghasil bandeng terbesar didunia memiliki perbedaan mengenai padat tebar benih dimasing-masing teknologi. Di Indonesia sendiri padat tebar benih untuk teknologi tradisional/ekstensif memiliki padat tebar 6 000 ekor/ha, sedangkan Taiwan 6 000-7 000 ekor/ha dan Philipina antara 1500 sampai 6 000 ekor/ha (fitzGerald 2004). Untuk teknologi semi-intensif di Indonesia memiliki padat tebar antara 8 000 sampai 12 000 ekor/ha sedangkan Taiwan lebih dari 25 000 ekor/ha (Mayunar et al 2000) dan Philipina sendiri memiliki padat tebar 12 000 ekor/ha. Pada penelitian terdahulu, Afaf (2004) budidaya bandeng tradisional memiliki padat tebar benih rata-rata 6 155 ekor/ha. Sedangkan Kaunang (2006) padat tebarnya lebih rendah 33 persen dari penelitian Afaf (2004). Penelitian lain pada budidaya udang oleh Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) di Thailand budidaya udang hanya mengunakan teknologi ekstensif dan intensif, pada teknologi ekstensif tidak diketahui padat tebar benihnya karena mengandalkan dari alam, sedangkan teknologi intensif padat tebar benih di negara ini sangat tinggi, yaitu 1 151 000 benur/ha. Di Vietnam presentase kenaikan padat tebar benih dari ekstensif ke semi-intensif paling tinggi yakni kenaikannya 3 733 persen dari 3 000 benur/ha, Indonesia kenaikan padat tebarnya 567 persen dari 3 000 benur/ha, sedangkan Philipina kenaikannya relatif rendah dibanding negara lain yakni 43 persen dari 108 000 benur/Ha. Dari ketiga negara tersebut hanya Indonesia dan Vietnam yang membudidayakan secara intensif dengan kenaikan padat tebar benih 226 persen dari jumlah padat tebar teknologi semi-intensif. Berdasarkan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa padat tebar benih mengalami kenaikan dari tradisonal ke semi-intensif dan intensif dan kenaikan
6 lebih tinggi pada saat teknologi tradisional ke semi-intensif. Kenaikan tersebut menyebabkan perlunya tambahan pakan dan kincir angin sehingga tidak menurunkan produktivitas budidaya tambak. Pada budidaya tradisional lebih mengandalkan pakan alami seperti ganggang dan klekap6. Namun, pada kondisi tertentu diperlukan pakan tambahan dalam proporsi lebih kecil untuk mempercepat pertumbuhan. Sedangkan teknologi semi-intensif dan intensif jumlah pakan yang diberikan berkisar antara 3%-5% dari bobot ikan. Produktivits Output Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semiintensif, dan Intensif Penelitian Afaf (2004) menunjukkan bahwa perubahan teknologi tradisional ke semi-intensif mampu meningkatkan produksi bandeng 498.5 persen. Penelitian serupa juga dari data FitzGerald (2004) di negara Taiwan perubahan tradisional ke semi-intensif mampu meningkatkan produksi bandeng 380 persen. Di Indonesia dengan menggunakan teknologi tradisional produktivitasnya mencapai 1 000 kg/ha/tahun sedangkan di Philipina 400 persen lebih tinggi dari Indonesia. Penelitian Zulkarnaenm (2004) menunjukkan budidaya bandeng secara semiintensif produktivitasnya mencapai 7 011 kg/Musim dan penelitian Kaunang (2006) menyimpulkan bahwa budidaya bandeng dengan teknologi tradisional di Kecamatan Pontang produktivitasnya mencapai 400 kg/ha/Musim. Penelitian lain di tambak udang yang dilakukan oleh Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) menunjukkan penggunaan teknologi mampu meningkatkan produktivitas, di Thailand perubahan teknologi tradisional menjadi intensif meningkatkan produktivitas 2 622 persen. Philipina mengalami kenaikan produktivitas dari tradisional ke semi-intensif tertinggi yakni 939 persen sedangkan di Indonesia mengalami kenaikan 812 persen. Namun kenaikan semiintensif ke intensif relatif rendah jika dibandingkan tradisional ke semi-intensif. Di Indonesia perubahan semi-intensif ke intensif produktivitasnya meningkat 196 persen sementara Philipina meningkat 13 persen. Dari penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa perubahan teknologi ke arah yang lebih modern mampu meningkatkan produktivitas lahan tambak, namun perubahan terbesar berada pada teknologi semi-intensif. Hal ini menyebabkan banyak pembudidaya tambak lebih memilih teknologi semi-intensif dibandingkan intensif. Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif Perbedaan teknologi budidaya tambak berimplikasi terhadap perbedaan biaya yang dikeluarkan dan produksi yang dihasilkan sehingga berpengaruh terhadap penerimaan petani.
6
Klekap merupakan pakan alami bandeng terdiri dari ganggang kersik (Bacillariopyceae), bakteri, protozoa, cacing dan udang renik yang sering juga disebut “Microbenthic Biological Complex”. Sumber : [Internet]. [diundah 2015 Juni 16]. Tersedia pada https://mjakfaramir.wordpress.com/2013/12/02/teknik-pembenihan-ikan-bandeng/
7 Penelitian pada tambak udang yang dilakukan oleh Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) di beberapa negara seperti Thailand, Indonesia, Philipina, Malaysia, India, Sri Lanka, Taiwan dan China. Penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa biaya produksi pada teknologi tradisional lebih rendah dibanding semi-intensif dan intensif. Dan biaya produksi teknologi semi-intensif lebih rendah dibandingkan dengan intensif. Rata-rata biaya yang dikeluarkan digunakan untuk biaya variabel seperti biaya untuk benih, pakan, tenaga kerja, dan lain-lain. Pada teknologi tradisional di Thailand, Sri Lanka dan Vietnam biaya terbesar yang dikeluarkan berasal dari biaya tetap, yaitu biaya overhead. Biaya overhead di Thailand sebesar 39.2 persen, 38.6 persen di Sri Lanka dan 35.1 persen di Vietnam, sedangkan negara lain rata-rata biaya terbesar digunakan untuk pembelian benur (benih udang). Di Indonesia sendiri biaya untuk benur sebesar 32.7 persen total biaya, kemudian biaya penyusutan sebesar 20.7 persen total biaya dan ketiga digunakan biaya tenaga kerja sebesar 16.7 persen total biaya. Hal serupa terjadi di Bangladesh biaya terbesar digunakan untuk benur yaitu 43.5 persen dari total biaya yang dikeluarkan, kedua digunakan untuk biaya overhead sebesar 24.3 persen dari total biaya dan ketiga ialah biaya tenaga kerja sebesar 13.8 persen dari total biaya. Pada teknologi semi-intensif dan intensif biaya terbesar ialah biaya variabel. Lebih dari 55 persen dari total biaya digunakan untuk biaya variabel. Biaya ini rata-rata digunakan untuk membiayai pakan dan benur. Di Indonesia biaya pakan pada tradisional sebesar 5.8 persen dari total biaya meningkat menjadi 39.3 persen dari total biaya pada teknologi semi-intensif, tetapi pada teknologi intensif biaya pakan menurun 0.5 persen dari biaya semi-intensif. Hal serupa terjadi di Philipina dan India biaya untuk pakan justru mengalami penurunan dari semi-intensif ke intensif sebesar 16.8 persen di Philipina dan 14.1 persen di India. Namun di Malaysia perubahan teknologi ini justru mengalami kenaikan sebesar 3.1 persen. Penelitian lain oleh Afaf (2004) menunjukkan bahwa biaya tetap seperti sewa lahan mengalami penurunan 28.88 persen dari penggunaan teknologi tradisional ke semi-intensif, sedangkan biaya tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja tetap mengalami kenaikan 2.12 persen untuk tenaga kerja dalam keluarga dan 27.29 persen untuk tenaga kerja tetap. Biaya variabel rata-rata mengalami penurunan dengan adanya perubahan teknologi tradsional ke semiintensif, namun untuk biaya pakan mengalami kenaikan 58.38 persen dan biaya tenaga kerja luar keluarga mengalami kenaikan 0.84 persen. Dilihat dari sisi penerimaan, berdasarkan data Afaf (2004) dan Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) dengan adanya perubahan teknologi tradisional ke semi-intensif dan intensif rata-rata mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan dengan adanya peningkatan padat tebar benih dan kenaikan produktivitas lahan tambak. Namun dari penelitian Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) tidak semua mengalami kenaikan, penelitian di Indonesia justru mengalami penurunan di kedua teknologi semi-intensif dan intensif, di Philipina mengalami penurunan saat tradisional diubah menjadi semiintensif, tetapi ketika semi-intensif menjadi intensif penerimaannya meningkat. Secara teknis dengan adanya perubahan teknologi ke arah yang lebih modern akan meningkatkan penerimaan, namun pada kondisi tertentu dapat mengalami penurunan karena faktor eksogen seperti penyakit sehingga ikan dan udang yang
8 dibudidayakan mengalami kematian. Selain penyakit dapat juga disebabkan harga sehingga penerimaan petani mengalami penurunan. R/C Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif R/C merupakan ukuran efiensi dengan membandingkan penerimaan dengan biaya berbagai jenis usahatani. Petani sebagai seorang produsen akan memilih nilai R/C yang tinggi untuk memanfaatkan faktor produksi yang dimiliki. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan R/C atas biaya total semi-intensif lebih tinggi dibanding tradisional. Afaf (2004) menunjukkan budidaya tambak bandeng dengan teknologi semi-intensif memiliki nilai R/C lebih tinggi dibandingkan teknologi tradisional. Nilai R/C untuk budidaya bandeng teknologi semi-intensif sebesar 1.21, sedangkan teknologi tradisional sebesar 1.03. Namun penelitian yang dilakukan oleh Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) menghasilkan nilai R/C yang berbeda-beda dimasing-masing negara. Di Philipina, India, Bangladesh, Sri Lanka dan China perubahan teknologi dari tradisional ke semi-intensif nilai R/C justru mengalami penurunan. Di Philipina nilai R/C tradisional sebesar 2.78 sedangkan semi-intensif sebesar 1.63 dan menurun lagi dengan teknologi intensif sebesar 1.04, di India nilai R/C tradisional sebesar 1.63 sedangkan semi-intensif sebesar 1.22 dan meningkat dengan teknologi intensif menjadi 1.32. Di Bangladesh terjadi penurunan yang cukup signifikan nilai R/C dari 1.7 menjadi 0.42, di Sri Lanka nilai R/C tradisional sebesar 2.03 sedangkan semi-intensif sebesar 1.66 dan meningkat dengan teknologi intensif menjadi 1.9. Di China nilai R/C dari tradisional ke semi-intensif juga terjadi penurunan dari 1.88 menjadi 1.41. Namun di Indonesia dan Vietnam terjadi kenaikan nilai R/C, di Indonesia dari 1.77 menjadi 1.81 dan Vietnam dari 0.89 menjadi 1.69. Hal ini menyebabkan teknologi tradisional masih tetap bertahan karena manfaat yang diberikan cukup signifikan bagi petani.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Ektensifikasi dan Intensifikasi Tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pesisir pantai untuk mengusahakan ikan, udang dan jenis hewan lainya yang dapat dibudidayakan di air payau (Martosudamo dan Ranoemihardjo 1992). Dalam membudidayakan tambak terdapat tiga teknologi, yaitu tradisional/ekstensif, semi-intensif, dan intensif. Perbedaan ketiganya dilihat dari padat tebar benih, jenis pakan dan peralatan yang digunakan. Untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi yaitu peningkatan produksi dengan cara menambah faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal, seperti menambah luas lahan, menambah jumlah tenaga kerja, menambah jumlah peralatan. Dengan mengasumsikan bahwa lahan sebagai input tetap, maka ekstensifikasi yaitu peningkatan produksi dengan
9 cara meningkatkan luasan lahannya. Ekstensifikasi ini ditunjukkan pada pergerakan kurva produksi yang pertama (y=f(x)1), yaitu penambahan lahan dari x1 ke x2 akan meningkatkan produksi atau output dari y1 ke y2. Intensifikasi yaitu peningkatan produksi tanpa menambah faktor produksi alam (lahan) tetapi berdasarkan kemampuan faktor produksi yang ada, seperti: menggunakan bibit unggul, menggunakan pupuk tepat waktu, perairan/irigasi yang teratur, teknologi, dan tenaga kerja yang terampil. Dengan adanya intensifikasi lahan mampu menggeser kurva produksi dari titik A ke C, sehingga penggunaan lahan yang sama yaitu x1 mampu meningkatkan produksi dari y1 ke y3. Peningkatan produksi yang lebih tinggi dapat dilakukan dengan cara menggabungkan ekstensifikasi dan intensifikasi. Penggabungan ekstensifikasi dan intensifikasi akan menggeser kurva produksi dari titik B ke D, yaitu penambahan lahan dari x1 ke x2 mampu meningkatkan produksi dari y1 ke y4. Proses ekstensifikasi dan intensifikasi lahan dapat digambarkan pada Gambar 3 dibawah ini. Output (y) y4 C
y3 y2 y1
9y 00
D B
y=f(x)2 y=f(x)1
A
x1
x2
Lahan (x)
Gambar 3 Pengaruh ekstensifikasi dan intensifikasi lahan terhadap produksi Pada usaha budidaya bandeng untuk meningkatkan produksi bandeng dapat dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Melalui ekstensifikasi dapat dilakukan dengan menambah luas tambak bandeng, sementara melalui intensifikasi dengan penggunaan luas tambak yang sama produksi bandeng dapat meningkat dengan cara peningkatan padat tebar benih bandeng, penggunaan benih bandeng yang unggul, pemberian pakan tambahan, dan pupuk serta obat-obatan sesuai dengan dosis yang tepat. Keragaan Usahatani Usahatani merupakan kegiatan produksi yang dilakukan oleh seseorang, badan, atau organisasi untuk menghasilkan suatu output tertentu dengan penggunaan input tetentu. Tujuan dai usahatani ini selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga (subsistence farm) juga memiliki tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan (commercial farm). Menurut Soekartawi (1986), usahatani ialah organisasi yang didirikan secara sengaja oleh sesorang maupun
10 kelompok yang terikat geneologis, politis, maupun teritorial sebagai pengelolaannya. Tujuan dari usahatani yaitu ingin memaksimumkan laba dan meminimumkan biaya. Cara memaksimumkan keuntungan dilakukan dengan cara mengalokasikan sumberdaya seoptimal mungkin agar memperoleh keuntungan semaksimal mungkin, sedangkan konsep minimisasi biaya dilakukan dengan cara menekan biaya sekecil-kecilnya sehingga tercapai produksi tertentu. Keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari internal maupun eksternal. Faktor internal terdiri dari petani itu sendiri sebagai pengelola, lahan yang diusahakan petani, tenaga kerja yang digunakan, modal serta tingkat teknologi yang dimiliki. Sedangkan faktor eksternal meliputi sarana dan prasarana, komunikasi, fasilitas kredit, peraturan pemerintah, peran penyuluh, dan aspekaspek yang berkaitan dengan pemasaran. Selain itu, Hernanto (1996) menyatakan terdapat empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam kegiatan usahatani, yaitu: Lahan 1. Lahan merupakan unsur terpenting dalam melakukan kegiatan usahatani, karena lahan ini memiliki sifat yang terbatas atau langka, dan tidak dapat dipindah-pindahkan, namun dapat diperjual-belikan. Menurut jenisnya lahan dibedakan menjadi kolam, tambak, sawah, perkarangan, perkebunan, tegalan dan lain sebagainya. 2. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan sumberdaya manusia yang melakukan kegiatan usahatani. Berdasarkan jenisnya tenaga kerja dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia itu sendiri dibagi atas tenaga kerja pria, tenaga kerja wanita, dan tenaga kerja anak. Sumbernya dapat dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga. 3. Modal Modal merupakan barang atau uang bersama-sama dengan faktor produksi lain untuk menghasilkan produk pertanian. Modal menurut jenisnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu modal tetap dan modal tidak tetap. Modal tetap terdiri dari bangunan, tanah. Sedangkan modal tidak tetap meliputi alat-alat pertanian, piutang, uang tunai, tanaman, ternak, ikan dikolam. Pada dasarnya modal ini digunakan untuk meningkatkan produktivitas usahatani. Modal ini dapat bersumber dari modal sendiri, pinjaman, hasil sewa, maupun warisan. 4. Manajemen Manajemen usahatani suatu kegiatan yang dilakukan oleh petani dalam hal perencanaan, mengorganisir dan mengkoorganisasikan faktor-faktor produksi, sehingga mendapatkan hasil yang diharapkan. Pada usahatani budidaya bandeng tujuan utama yaitu untuk memaksimumkan keuntungan pada masing-masing teknologi yang digunakan baik melalui ekstensifikasi (teknologi tradisional) maupun intensifikasi (teknologi semi-intensif). Untuk melihat keragaan kedua teknologi tersebut, maka dianalis menggunakan biaya, penerimaan, keuntungan, pendapatan, dan efisiensi R/C rasio
11 Biaya Usahatani Biaya merupakan nilai semua yang dikorbankan atau yang dikeluarkan atas penggunaan faktor produksi untuk menghasilkan output tertentu pada waktu tertentu. Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi biaya variabel (variable cost) dan biaya tetap (fixed cost). Biaya variabel adalah biaya yang sifatnya dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan, semakin besar produksi maka semakin besar pula biaya variabel. Biaya variabel meliputi biaya untuk benih, pakan, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja. Biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan. Contoh biaya tetap adalah sewa tanah, biaya pajak, biaya penyusutan alat, biaya pemeliharaan, dan iuran irigrasi (Soekartawi 2011). Sedangkan Hernanto (1991) mengembangkan konsep biaya usahatani yang dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan (non tunai). Biaya tunai usahatani adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani untuk pembelian barang dan jasa, contoh dari biaya tunai adalah biaya pembelian benih, pupuk, obat-obatan, pakan, dan upah tenaga luar keluarga. Sementara biaya non tunai merupakan nilai atas pemakaian barang dan jasa yang berasal dari kegiatan usahatani itu sendiri. Biaya non tunai dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja keluarga, penggunaan benih dari hasil produksi dan penyusutan dari sarana produksi. Penerimaan Usahatani Penerimaan merupakan hasil perkalian antara output total yang hasilkan pada kegiatan usahatani dengan harga output tertentu (Soekartawi 1995). Output total atau total produksi terbagi menjadi output yang dijual dan output yang tidak dijual. Output yang tidak dijual biasanya digunakan untuk konsumsi rumah tangga petani, dibagikan, digunakan untuk pembayaran usahatani, digunakan kembali dalam kegiatan usahatani, dan disimpan (Soekartawi 2011). Dengan demikian penerimaan usahatani dibagi menjadi dua, yaitu: penerimaan tunai dan penerimaan total. Penerimaan tunai merupakan nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani. Sedangkan penerimaan total merupakan nilai output total baik yang dijual maupun nilai output yang tidak dijual pada waktu tertentu. Secara matematis penerimaan usahatani dirumuskan sebagai berikut: TR = P x Qtot Dimana TR = penerimaan total usahatani P = harga ouput Q = output total yang dihasilkan pada kegiatan usahatani (baik output yang dijual maupun output yang tidak dijual) Pendapatan Usahatani dan R/C rasio Pendapatan bersih usahatani (net farm income) merupakan selisih antara pendapatan kotor usahatani (gross farm income) dengan pengeluaran total usahatani (total farm expenses). Pendapatan kotor usahatani sama halnya dengan penerimaan total usahatani baik yang dijual maupun tidak, sedangkan pengeluaran
12 total usahatani merupakan total biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani, tetapi tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga. Pendapatan bersih usahatani (net farm income) mengukur imbalan atas penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal sendiri atau modal pinjaman yang digunakan untuk usahatani (Soekartawi 1985). Penghasilan bersih usahatani (net farm earnings) merupakan selisih antara pendapatan bersih usahatani dengan bunga modal pinjaman. Jika petani tidak menggunakan modal pinjaman maka nilai penghasilan bersih usahatani sama dengan pendapatan bersih usahatani. Nilai dari perhitungan ini mengukur imbalan atas semua sumberdaya milik petani yang digunakan dalam kegiatan usahatani (Soekartawi 1985). Soekartawi (1985) menyatakan bahwa dalam usahatani semi komersil ukuran yang baik untuk penampilan usahatani adalah imbalan atas modal dan imbalan atas tenaga kerja. Imbalan atas seluruh modal (return to total capital) dihitung dengan mengurangkan nilai kerja keluarga dari pendapatan bersih usahatani dan dinyatakan dalam persen terhadap nilai modal usahatani. Imbalan atas modal petani (return to farm equaty capital) diperoleh dengan cara mengurangkan nilai kerja keluarga dari penghasilan bersih usahatani (net farm earnings) dan dinyatakan dalam persen terhadap nilai modal usahtani. Imbalan kepada tenaga kerja keluarga (return to family labour) dihitung dari penghasilan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga modal petani yang diperhitungkan. Ukuran imbalan ini dapat dibagi dengan jumlah tenaga kerja keluarga untuk mendapatkan imbalan tenaga kerja tiap orang (return per man). Nilai dari ini kemudian dibandingkan dengan upah kerja diluar usahatani. Analisis R/C rasio yang menunjukan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan. Sedangkan jika nilai rasio R/C sama dengan satu, maka kegiatan usahatani memperoleh keuntungan normal. Kerangka Pemikiran Operasional Perkembangan teknologi semi-intensif dan intensif merupakan implikasi dari pertumbuhan ikan bandeng yang lambat pada teknologi tradisional serta menurunnya kualitas air sehingga bandeng tumbuh dengan bobot tidak seragam. Lambatnya pertumbuhan ikan bandeng pada budidaya tradisional karena bergantung pada pakan alami. Penerapan teknologi semi-intensif dan intensif (intensifikasi lahan) ini digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan bandeng dan meningkatkan produktivitas lahan tambak. Teknologi semi-intensif dan intensif memiliki respon yang cukup positif di negara-negara pembudidaya tambak. Sebanyak 45 persen petani di Indonesia telah penerapan teknologi semi-intensif, namun penerapan intensif masih relatif rendah, yakni sekitar 10 persen. Sedangkan di Thailand sebanyak 85 persen telah menggunakan teknologi intensif. Penerapan teknologi semi-intensif juga implikasi dari permintaan ikan bandeng yang mengalami peningkatan tiap tahunnya, sehingga diperlukan peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan tersebut.
13 Salah satu daerah penyumbang ikan bandeng di Indonesia adalah Propinsi Jawa Barat. Daerah di Jawa Barat yang menyumbang cukup besar terhadap produksi ikan bandeng adalah Kabupaten Karawang. Perkembangan tambak ikan bandeng mendapat dukungan dari pemerintah melalui program revitalisasi tambak untuk memperkenalkan teknologi budidaya semi-intensif dan intensif sehingga produktivitasnya dapat meningkat. Namun, program ini hanya memiliki dampak yang kurang nyata bagi petani, hal ini ditandai dengan petani tambak bandeng di Kabupaten Karawang menggunakan kedua teknologi secara berdampingan. Dan proporsi penggunaannya lebih besar pada teknologi tradisional dibanding teknologi semi-intensif. Hal ini disebabkan untuk mengusahakan budidaya secara semi-intensif diperlukan uang tunai lebih besar dibanding teknologi tradisional. Sehingga petani yang tidak memiliki akses terhadap modal akan tetap membudidayakan secara tradisional. Berjalannya kedua teknologi secara berdampingan menimbulkan pertanyaan, sebaiknya teknologi mana yang digunakan petani yang mampu memberikan keuntungan dan efisiensi lebih tinggi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melihat permasalahan ini dari sisi finansial dengan menggunakan pendekatan struktur biaya dan pendapatan. Langkah awal yang dilakukan dengan menganalisis penggunaan faktor produksi seperti jumlah benih yang ditebar, jumlah pakan yang digunakan, obat-obatan, dan tenaga kerja pada budidaya tradisional dan semi-intensif. Perbedaan penggunaan faktor produksi pada masing-masing teknologi menyebabkan perbedaan biaya yang dikeluarkan. Setelah menganalisis struktur biaya pada masing-masing teknologi langkah selanjutnya ialah membandingkan penerimaan yang diperoleh. Nilai penerimaan dihasilkan dari perkalian output dengan harga output. Langkah selanjutnya yaitu menentukan keuntungan usaha budidaya tambak. Keuntungan dihasilkan dari pengurangan biaya total dengan penerimaan total. Namun keuntungan ini bukan imbalan petani atas penggunaan faktor produksi yang dimiliki. Untuk mengetahui imbalan petani atas penggunaan faktor produksi dilakukan analasis return to labour untuk mengetahui balas jasa atas tenaga kerja yang digunakan. Return to capital untuk mengetahui balas jasa atas penggunaan modal. Salah satu cara untuk menganalisis efisiensi biaya adalah dengan melihat R/C rasio. Nilai ini menunjukkan jumlah penerimaan usahatani yang diperoleh setiap satu satuan dan biaya yang dikeluarkan petani. Selain itu, nilai R/C rasio juga mengindikasikan nilai ekonomi (tingkat keuntungan) suatu usahatani, karena semakin tinggi nilai R/C rasio maka semakin besar keuntungan yang diperoleh petani. Berdasarkan uraian di atas, dibuat kerangka pemikiran operasional yang dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah.
14 Teknologi semi-intensif berkembang karena rendahnya produktivitas pada teknologi tradisional yang sangat bergantung pada alam
Salah satu kabupaten yang mengembangkan teknologi budidaya tambak ialah Kabupaten Karawang. Namun teknologi tradisional masih menjadi teknologi yang paling diminati petani dibanding semi-intensif. Sehingga pertanyaan teknologi mana yang memberikan keuntungan efisiensi lebih tinggi dan mengapa kedua teknologi berjalan berdampingan?
Budidaya ikan bandeng tradisional
Keragaan usahatani: - Penggunaan input - Hasil dan harga output
Budidaya ikan bandeng semiintensif
Struktur biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani
Efisiensi biaya: R/C rasio
Teknologi mana yang sebaiknya digunakan Gambar 4 Kerangka pemikiran analisis usaha budidaya tambak bandeng pada teknologi tradisional, dan semi-intensif di Kabupaten Karawang
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan Kacamatan Tirtajaya yang merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Karawang. Kecamatan Tirtajaya dipilih secara sengaja (purposive) karena kecamatan ini merupakan sentra produksi di Kabupaten Karawang. Produksi bandeng di Kecamatan Tirtajaya sebesar 30 persen dari produksi bandeng di Kabupaten Karawang pada tahun 2013 (Lampiran 5). Selain sentra produksi Kabupaten Karawang juga menerapkan
15 kedua teknologi budidaya bandeng, sehingga mampu menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian dilakukan selama bulan Februari 2015. Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel Jenis data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan dan wawancara langsung dengan responden petambak ikan bandeng dengan menggunakan susunan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dalam bentuk kuesioner. Data primer pada penelitian, mencakup karakteristik responden, keragaan usaha budidaya tambak ikan bandeng, seperti teknis budidaya, jumlah yang produksi, harga output, penggunaan input untuk menghitung biaya yang dikeluarkan serta informasi lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian ini. Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer yang bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Data sekunder diperoleh dari catatan-catatan serta dokumentasi dari pihak atau instansi yang terkait, seperti: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistik, Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat dan Badan Pusat Statistik setempat. Selain itu, dilakukan juga penelusuran melalui internet, buku serta penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan Jumlah responden yang digunakan sebanyak 63 petani ikan bandeng, dengan 30 petani teknologi tradisional dan 33 petani teknologi semi-intensif yang dipilih dengan metode purposive sampling. Hal ini dilakukan berdasarkan kriteria penelitian. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk mempermudah dalam memahani akan dilakukan tabulasi data primer dari kuesioner. Pada penelitian ini menggunakan alat bantu seperti kalkulator, aplikasi SPSS dan Software Microsoft Excel 2007. Analisis kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan karakterisktik patani responden, keadaan umum lokasi penelitian, dan keragaan usaha budidaya tambak ikan bandeng. Sedangkan analisis kuantitatif disajikan dalam bentuk tabulasi untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca. Analisis ini digunakan untuk menganalisis struktur biaya, pendapatan, dan efisiensi pada usaha budidaya tambak ikan bandeng dengan berbagai tingkat teknologi, yaitu teknologi tradisional dan semi-intensif. Analisis Penerimaan, Biaya, dan Keuntungan Usahatani Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan total usahatani dengan biaya total usahatani. Apabila nilainya lebih dari nol, artinya usahatani yang dilakukan memberikan keuntungan dan sebaliknya apabila kurang nol, artinya usahatani yang dilakukan tidak memberikan keuntungan atau mengalami kerugian. Pada penelitian ini dilakukan analisis perbandingan keuntungan per hektar per musim budidaya atas usaha budidaya tambak ikan bandeng dari berbagai tingkat teknologi yang diduga sebelumnya memiliki struktur biaya dan
16 penerimaan berbeda. Oleh karena itu, sebelum menganalisis keuntungan maka dilakukan analisis penerimaan dan biaya. a. Penerimaan atau revenue merupakan nilai output yang diperoleh pada jangka waktu tertentu. Secara umum penerimaan dibagi menjadi dua, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Penerimaan tunai usahatani adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, yaitu jumlah produk yang dijual dikalikan dengan harga jual produk, sedangkan penerimaan non tunai ialah nilai output yang tidak jual, digunakan untuk konsumsi, pembayaran maupun keperluan lainnya. Jadi, penerimaan total usahatani merupakan keseluruhan nilai produksi usahatani baik dijual, dikonsumsi keluarga dan dijadikan persediaan. Yang secara sistematis di tuliskan dengan: Total Penerimaan = P x Q Dimana, P = harga output (Rp/unit) Q = jumlah output yang dihasilkan (unit) b. Biaya merupakan nilai atas pengorbanan faktor produksi yang digunakan dalam usahatani untuk menghasilkan sejumlah output pada waktu tertentu. Secara umum biaya dibagi menjadi dua yaitu biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel dalam penelitian ini merupakan biaya yang dikeluarkan dalam satu periode musim budidaya, biaya ini meliputi biaya benih, pakan, obatobatan, solar dan biaya tenaga kerja. Sedangkan biaya tetap meliputi biaya penyusutan, sewa tambak, TKDK dan pajak tambak. Jenis pembayaran biaya ini dibagi menjadi dua yaitu biaya tunai dan tidak tunai. Biaya tidak tunai atau biaya yang diperhitungkan merupakan biaya atas penggunaan faktor produksi yang dibayar secara tidak tunai atau dalam bentuk natura. Analisis Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani merupakan balas jasa atas penggunaan faktor produksi, seperti lahan, modal dan tenaga kerja. Untuk menghitung pengembalian atas penggunaan faktor produksi, maka harus menghitung pendapatan bersih terlebih dahulu. Pendapatan bersih usahatani (net farm income) merupakan selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan biaya total usahatani, tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga. Hasil dari net farm income akan dikurangi dengan beban bunga pinjaman, maka diperoleh penghasilan bersih usahatani. Apabila petani menggunakan modal sendiri maka penghasilan bersih petani sama dengan pendapatan bersih usahatani. Imbalan atas modal (return to total capital) yang digunakan dapat dketahui dengan cara mengurangkan pendapatan bersih usahatani dengan nilai kerja keluarga, dan dinyatakan dalam bentuk persen terhadap nilai seluruh modal. Sedangkan imbalan atas modal petani (return to farm equity capital) dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan bersih usahatani dengan nilai kerja keluarga, dan dinyatakan dalam bentuk persen terhadap modal milik petani. Namun apabila petani menggunakan modal sendiri secara keseluruhan, maka imbalan modal milik petani sama dengan imabalan seluruh modal. Pada penelitian ini akan melihat apakah usaha budidaya semi-intensif memberikan imbalan modal lebih tinggi dibandingkan tradisional, atau sebaliknya. Perhitungan ini untuk menilai keputusan petani untuk melakukan
17 usaha budidaya tambak ikan bandeng lebih menguntungkan dibandingkan menginvestasikan ke bank. Secara sistematis dituliskan sebagai berikut: tu
to total a tal
t fa
o
nilai tenaga kerja keluarga x total modal
Imbalan atas tenaga kerja dibedakan menjadi dua, yaitu imbalan tenaga dalam keluarga (return to family labour) dan imbalan tenaga tenaga kerja total (return to labour). Imbalan tenaga kerja keluarga dihitung dengan cara membagi total tenaga kerja dalam keluarga dari penerimaan total yang telah dikurangi modal petani, tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga. Sedangkan imbalan total tenaga kerja dihitung dengan cara membagi total tenaga kerja dari penerimaan total yang dikurangi modal petani. Hasil perhitungan ini berupa nilai menunjukkan tingkat upah per HOK dan dibandingkan dengan tingkat upah ratarata yang diberikan kepada petani. Secara sistematis dituliskan sebagai berikut: tu
to fa
l la ou
tu
penerimaan total modal petani biaya T D total tenaga kerja dalam keluarga
to la ou
penerimaan total modal petani total tenaga kerja
Analisis Efisiensi Biaya Usahatani Return cost rasio atau imbangan penerimaan biaya adalah perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan dalam suatu proses produksi usahatani. Analisis R/C rasio digunakan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang dihasilkan dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan pada suatu kegiatan usahatani. Semakin tinggi nilainya maka usahatani yang dilakukan semakin efisien. Secara matematis perhitungan rasio R/C sebagai berikut: Rasio R/C atas biaya tunai =
penerimaaan Biaya tunai penerimaaan
Rasio R/C atas biaya total = Biaya tunai
biaya diperhitungkan
Analisis Uji Beda t-Test Analisis uji beda t-test digunakan membandingkan rata-rata pengunaan input, produktivitas, biaya total, penerimaan total, dan R/C rasio pada masingmasing teknologi, apakah berbeda signifikan secara statistik atau tidak. Dalam menguji t-test ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi, yaitu: sampel data berdistribusi normal, memiliki varians sama atau dianggap sama, datanya berupa interval atau rasio. Pada penelitian ini dianggap sudah memenuhi asumsi-asumsi tersebut. Jumlah sampel kedua teknologi budidaya lebih dari sama dengan 30 sampel. Uji t yang dilakukan ialah independent-sample t-test. Tujuan dari uji ini untuk membandingkan rata-rata dari kedua group, apakah mempunyai rata-rata yang
18 sama atau berbeda secara statistik. Uji beda ini menggunakan taraf nyata 5 persen. Langkah-langkah untuk melakukan uji beda, sebagai berikut: 1. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: H0: Median Y di kedua populasi (petani bandeng teknologi tradisional dan teknologi semi-intensif) tidak berbeda nyata H1: Median Y di kedua populasi (petani bandeng teknologi tradisional dan teknologi semi-intensif) berbeda nyata 2. Statistik Uji thit
n
n
s n
n
s n
n
Dimana: X1 = Rata-rata penggunaan input, produktivitas, penerimaan, biaya total, R/C pada petani bandeng teknologi tradisional X2 = Rata-rata penggunaan input, produktivitas, penerimaan, biaya total, R/C pada petani bandeng teknologi semi-intensif n1 = Jumlah sampel petani bandeng teknologi tradisional n2 = Jumlah sampel petani bandeng teknologi semi-intensif s = Simpangan baku petani bandeng teknologi tradisional s = Simpangan baku petani bandeng teknologi semi-intensif 3. Kriteria Uji Kriteria uji ini membandingkan antara t hitung dengan t sebaran pada tabel t, apabila: t-hitung > t-Tabel, maka tolak H0, artinya kedua populasi berbeda secara signifikan. t-hitung < t-Tabel, maka terima H0, artinya kedua populasi tidak berbeda secara signifikan.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Penelitian berlokasi di Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Gambaran umum lokasi penelitian menjelaskan mengenai karakteristik wilayah yang meliputi kondisi geografi, kependudukan dan pertanian. Sedangkan gambaran petani responden meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan formal, pengalaman budidaya ikan bandeng, jumlah tanggungan keluarga, penguasaan atas lahan tambak, padat tebar benih bandeng, lama budidaya, dan pekerjaan di luar usahatani. Karakteristik Wilayah Kondisi Geografi Kecamatan Tirtajaya apabila ditinjau dari peta Kabupaten Karawang berada di daerah utara Kabupaten Karawang. Jarak Kabupaten Karawang dengan
19 Kecamtan Tirtajaya adalah 37.8 Km. Kecamatan ini memiliki luas 15 666.98 ha yang terdiri dari 11 desa. Secara adminitratif berbatasan dengan: 1. Sebelah timur : Kecamatan Cibuaya 2. Sebelah Selatan : Kecamatan Jayakerta 3. Sebelah Barat : Kecamatan Cibuaya 4. Sebelah Utara : Batas alam yaitu Laut Jawa Ketinggian wilayah Kecamatan Tirtajaya dari permukaan laut adalah 3 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan berkisar antara 1 100-3 200 mm/tahun. Tabel 1 Luas penggunaan tanah dan presentasenya di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Penggunaan Lahan Lahan Sawah Ladang Tambak Kolam Lahan kering Tanah fasilitas umum Total
Luas lahan (ha) Presentase (%) 4 959.71 31.66 1.82 0.01 4 700.00 30.00 194.00 1.24 5 789.95 36.96 21.50 0.14 15 666.98 100.00
Sumber: Data Monografi Kecamatan Tirtajaya (2014).
Lahan kering memiliki presentase paling besar yaitu 36.96 persen. Lahan ini digunakan untuk pemukiman, pekarangan, dan kebun. Potensi pertanian di kecamatan ini adalah padi dan perikanan, dapat dilihat penggunana lahan untuk sawah dan tambak hampir sama. Meskipun lahan sawah lebih besar 1.66 persen. Namun, potensi tambak di kecamatan ini juga cukup besar karena lokasi Kecamatan Tirtajaya berbatasan langsung dengan Luat Jawa yang setiap tahunnya akan meningkatkan luas tambak. Luas tambak paling besar di kecamatan ini berada di Desa Tambaksari dan Tambaksumur. Kecamatan ini memiliki luasan tambak paling besar dibandingkan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Karawang. Kependudukan Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2013 perempuan lebih mendominasi yaitu 0.76 persen lebih tinggi dibanding laki-laki. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 3 5161 jiwa sedangkan perempuan sebanyak 36 250 jiwa. Secara rinci terdapat pada tabel dibawah ini. Tabel 2 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Sumber: Data Monografi Kecamatan Tirtajaya (2014).
Jumlah 35 161 36 250 71 411
Presentase (%) 49.24 50.76 100.00
20 Banyaknya jumlah penduduk di Kecamatan Tirtajaya memiliki potensi besar sebagai penyedia tenaga kerja untuk mengembangkan potensi pertanian di Kecamatan Tirtajaya. Hal ini ditunjukkan dengan jenis pekerjaan di Kecamatan Tirtajaya secara garis besar bermatapencaharian sebagai seorang petani, yakni sebesar 93 persen atau sebanyak 46 735 jiwa. Namun, kebanyakan dari mereka sebagai petani penggarap yakni sebesar 43 790 jiwa sebagai buruh tani. Petani tambak sendiri sebanyak 1 547 sebagai petani milik. Banyaknya buruh tani disana karena pemilik tambak membutuhkan penjaga tambak mereka dengan sistem pembayaran bagi hasil. Sehingga banyak yang tertarik untuk menjadi bujang (penjaga tambak). Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Jenis Pekerjaan Jumlah Presentase (%) Petani 46 735 93.53 Nelayan 12 0.02 Pengusaha besar 8 0.02 Pengrajin 120 0.24 Buruh industri 225 0.45 Buruh bangunan 10 0.02 Pedagang 46 0.09 Pengemudi/Jasa 42 0.08 PNS 25 0.05 ABRI 5 0.01 Peternak 2742 5.49 Total 49 970 100.00 Sumber: Data Monografi Kecamatan Tirtajaya (2014).
Jika dilihat dari tingkat pendidikan, dari 71 411 jiwa hanya 1 918 jiwa yang terdaftar pada tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan di Kecamatan Tirtajaya tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 bahwa sebagian besar penduduknya bertamatan SD dan SMP, yaitu tamat SD sebanyak 24 persen sedangkan tamat SMP 23.04 persen. Tabel 4 Jumlah dan presentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase (%) Buta huruf 275 14.34 Belum sekolah 275 14.34 Tidak tamat SD 38 1.98 Tamat SD 462 24.09 Tamat SMP 442 23.04 Tamat SMA 352 18.35 Tamat Akademi/sederajat 58 3.02 Tamat Perguruan Tinggi/sederajat 16 0.83 Total 1 918 100.00 Sumber: Data Monografi Kecamatan Tirtajaya (2014).
21 Penduduk yang lulus perguruan tinggi tidak mencapai satu persen, yaitu 0.83 persen. Sedangkan buta huruf dan belum sekolah secara berturut sebesar 14.34 persen dan 14.34 persen dari total penduduk. Rendahnya tingkat pendidikan berpengaruh terhadap sikap penduduknya dalam mengadopsi teknologi terutama dalam bidang pertanian. Mereka lebih mempercayai teknik turun-temurun. Pertanian Pertanian di Kecamatan Tirtajaya secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu pertanian padi dan perikanan tambak. Pertanian padi memang menjadi andalan setiap kecamatan yang ada di Karawang sehingga Karawang terkenal sebagai lumbung padi dan perikanan tambak. Produksi dan luas lahan tambak setiap tahunnya mengalami peningkatan. Perikanan tambak yang menjadi unggulan di Kecamatan Tirtajaya adalah ikan bandeng. Hampir semua petani tambak membudidayakan ikan bandeng baik secara monokultur maupun polikultur dengan udang dan atau rumput laut. Budidaya tambak di kecamatan ini menggunakan teknologi tradisional dan semi-intensif. Namun, petani di Kecamatan Tirtajaya melakukan budidaya tidak sesuai dengan SOP yang ada, hal ini mungkin disebabkan rendahnya tingkat pengetahuan serta budaya dalam membudidayakan. Secara rinci potensi pertanian di Kecamatan Tirtajaya disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 5 Produksi perikanan dan pertanian di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Uraian Padi sawah Sapi potong Domba Kambing Bandeng Blanak Udang Mas Nila Lele Lainnya
Produksi (Kg) 88 763 3 120 3 443 738 5 024 390 201 790 589 100 2 000 15 000 15 000 260
Sumber: Data Monografi Kecamtan Tirtajaya (2014).
Selain komoditas padi dan ikan bandeng, Kecamatan Tirtajaya juga memiliki komoditas perikanan lainnya seperti blanak, udang, nila, mas, dan lele. Sektor peternakan juga dikembangkan di kecamatan ini, komoditas peternakan yang diusahakan meliputi sapi potong, domba dan kambing. Produksi ketiganya secara berurutan yaitu 3 120, 3 443, dan 738 kg. Karakteristik Petani Responden Karakteristik petani responden diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan formal, pengalaman budidaya ikan bandeng, jumlah tanggungan keluarga, penguasaan atas lahan tambak, padat tebar benih bandeng,
22 lama budidaya, dan pekerjaan di luar usahatani. Karakteristik petani ini yang nantinya akan berpengaruh terhadap usaha budidaya bandeng serta pemilihan teknologi yang akan digunakan. Jenis Kelamin Jenis kelamin dapat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan terhadap jenis teknologi yang digunakan. Pada usaha budidaya tambak di lokasi penelitian 100 persen dikerjakan oleh pria baik yang berteknologi tradisional maupun yang semi-intensif. Hal ini disebabkan jenis pekerjaan dalam mengusahakan budidaya tambak diperlukan kekuatan fisik yang lebih. Mulai dari pemberantasan hama sampai pemanenan kegiatan ini dikerjakan oleh laki-laki. Tabel 6 Jenis kelamin petani responden di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Petani tradisional Petani semi-intensif Karakteristik Jumlah Presentase Jumlah Presentase (orang) (%) (orang) (%) Jenis Kelamin Pria 30 100.00 33 100.00 Wanita 0 0.00 0 0.00 Total 30 100.0% 33 100% Usia Usia secara psikologis maupun biologis berpengaruh terhadap pekerjaan yag dijalankan. Berdasarkan usia petani responden terbagi menjadi enam kelompok angkatan kerja. Pembagian kelompok ini dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini. Tabel 7 Jumlah petani responden berdasarkan kriteria usia di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Petani tradisional Petani semi-intensif Karakteristik Jumlah Presentase Jumlah Presentase (orang) (%) (orang) (%) Usia (tahun) 20-29 0 0.00 1 3.03 30-39 6 20.00 7 21.21 40-49 13 43.33 10 30.30 50-59 7 23.33 8 24.24 60-69 4 13.33 6 18.18 70-79 0 0.00 1 3.03 Total 30 100.00 33 100.00 Tabel 7 menjelaskan bahwa usia petani responden bervariasi dari usia 29 tahun sampai 72 tahun. Petani responden baik yang teknologi tradisional maupun semi-intensif rata-rata tertinggi berada rentang usia 40 tahun sampai 49 tahun, yaitu 43.33 persen untuk teknologi tradisional, dan 30.30 persen pada teknologi semi-intensif. Rentang usia 50-59 tahun juga ikut mendominasi kegiatan usaha budidaya tambak, yaitu sebanyak 23.33 persen untuk teknologi tradisional dan 24.24 persen untuk teknologi semi-intensif.
23 Usia produktif atau pemuda di Kecamatan Tirtajaya lebih memilih bekerja disektor lain, hal ini terlihat bahwa rentang usia 20-29 tahun pada teknologi tradisional tidak ada yang melakukan usaha budidaya bandeng, sedangkan pada semi-intensif pada rentang usia tersebut hanya ada satu petani yang bersedia melakukan usaha budidaya bandeng. Kondisi ini akan berdampak pada keberlanjutan usaha budidaya tambak di Kecamatan Tirtajaya. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan ini berpengaruh terhadap cara berpikir dan sikap dalam berbudidaya. Tingkat pendidikan petani responden dapat dikatakan rendah, karena sebagian besar baik teknologi tradisional maupun semi-intensif tingkat pendidikan formalnya hanya bertamatan SD, tidak tamat SD dan tamat SMP. Responden petani tradisional bertamatan SD sebanyak 33.33 persen, sedangkan semi-intensif sebanyak 45.45 persen. Petani responden yang tamat sarjana/sederajat hanya ada satu orang dan mengadopsi teknologi semi-intensif. Rendahnya pendidikan mempengaruhi terhadap pengambilan keputusan untuk mengadopsi teknologi yang digunakan. Selain itu, tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat keterbukaan informasi baru. Secara rinci sebaran tingkat pendidikan petani responden disajikan pada tabel 8 dibawah ini. Tabel 8 Jumlah petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Petani tradisional Petani semi-intensif Karakteristik Jumlah Presentase Jumlah Presentase (orang) (%) (orang) (%) Pendidikan Terakhir Tidak Tamat SD 9 30.00 7 21.21 Tamat SD 10 33.33 15 45.45 Tamat SMP 9 30.00 7 21.21 Tamat SMA 2 6.67 2 6.06 Tamat Diploma 0 0.00 0 0.00 Tamat S1 0 0.00 2 6.06 Pengalaman Budidaya Bandeng Pengalaman petani dalam melakukan usaha budidaya akan mempengaruhi keterampilan dalam mengelola usahataninya. Pada umumnya semakin banyak pengalaman maka usaha budidaya akan semakin terampil. Karena petani akan mudah dalam memanajemen masalah usahataninya. Pengalaman ini juga berpengaruh terhadap jenis teknologi budidaya. Hal ini ditunjukkan bahwa pengalaman budidaya bandeng petani responden rata-rata diatas 10 tahun. Baik petani responden tradisional dan semi-intensif rata-rata memiliki pengalaman antara 16-20 tahun, yaitu sebanyak 23.33 persen untuk petani responden tradisional dan 18.18 persen untuk petani semi-intensif. Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata petani responden pengalaman budidaya tambak merupakan hasil turun-temurun dari orang tua mereka. Pengalaman budidaya semi-intensif pada dasarnya masih tergolong baru karena budidaya ini ada sejak berkembangnya industri pakan muncul dan
24 rendahnya produktivitas yang dihasilkan oleh teknologi tradisional, sehingga petani yang tadinya membudidayakan secara tradisional beralih ke semi-intensif. Secara rinci sebaran pengalaman budidaya dijabarkan pada Tabel 9 dibawah ini. Tabel 9 Jumlah petani responden berdasarkan pengalaman berbudidaya di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Petani tradisional Petani semi-intensif Karakteristik Jumlah Presentase Jumlah Presentase (orang) (%) (orang) (%) Pengalaman Budidaya Bandeng 1-5 tahun 1 3.33 5 15.15 6-10 tahun 4 13.33 3 9.09 11-15 tahun 4 13.33 5 15.15 16-20 tahun 7 23.33 6 18.18 21-25 tahun 5 16.67 3 9.09 26-30 tahun 3 10.00 2 6.06 31-35 tahun 3 10.00 3 9.09 36-40 tahun 2 6.67 5 15.15 41-45 tahun 1 3.33 1 3.03 Total 30 100.00 33 100.00 Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga secara tidak langsung berpengaruh terhadap usaha budiaya yang dijalankan petani. Karena semakin banyak jumlah tanggungan maka semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dampak dari banyak tanggungan keluarga petani berusaha meningkatkan pendapatannya dengan memperbaiki sistem budidaya yang dijalankan. Tabel 10 Jumlah petani responden berdasarkan jumlah tanggungan di Kecamatan Tirtajaya tahun 2105 Petani tradisional Karakteristik Jumlah Tanggungan Keluarga 1-2 orang 3-4 orang 5-6 orang Total
Jumlah (orang)
18 10 2 30
Presentase (%)
60.00 33.33 6.67 100.00
Petani semi-intensif Jumlah Presentase (orang) (%)
11 20 2 33
33.33 60.61 6.06 100.00
Tabel 10 menunjukkan bahwa petani responden semi-intensif memiliki jumlah tanggungan paling banyak antara tiga sampai empat orang, sedangkan petani tradisional sebagian besar jumlah tanggungannya antara satu sampai dua orang. Petani responden tradisional jumlah tanggungan 1-2 orang sebesar 60.00 persen, sisanya 3-4 orang sebanyak 33.33 orang, dan sebesar 6.67 persen jumlah tanggungan 5-6 orang. Sedangkan petani responden semi-intensif jumlah
25 tanggungan 3-4 orang sebesar 60.61 persen, sisanya 1-2 orang sebesar 33.33 persen, dan sebesar 6.06 persen memiliki tanggungan 5-6 orang. Penguasaan Lahan Tambak Baik petani responden tradisional dan semi-intensif sebagian besar menguasai lahan lambak seluas 3-<6 ha, yaitu sebesar 43.33 persen petani responden tradisional dan sebesar 54.55 persen petani semi-intensif. Jika dilihat sebaran luas tambak yang dikuasai petani responden, petani responden cenderung memiliki luasan tambak lebih kecil dibandingkan petani semi-intensif. Petani responden tradisional menguasai luas tambak 1-<3 ha sebesar 36.67 persen, 6-<9 ha sebesar 16.67 persen sedangkan lebih dari 9 ha hanya 3.33 persen. Berbeda halnya dengan petani semi-intensif menguasai lahan tambak seluas 1-<3 ha sebesar 12.12 persen, 3-<6 ha sebesar 21.21 persen, dan sisanya diatas 9 ha sebesar 12.12 persen. Secara rinci sebaran penguasaan lahan tambak disajikan pada Tabel 11 dibawah ini. Tabel 11 Jumlah petani responden berdasarkan luas penguasaan tambak di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Petani tradisional Petani semi-intensif Karakteristik Jumlah Presentase Jumlah Presentase (orang) (%) (orang) (%) Penguasaan Lahan Tambak Bandeng 1 ha - < 3 ha 11 36.67 4 12.12 3 ha - < 6 ha 13 43.33 18 54.55 6 ha - < 9 ha 5 16.67 7 21.21 ≥ 9 ha 1 3.33 4 12.12 Lahan tambak sebagian besar petani reponden tradisional maupun semiintensif mengusahakan tambak milik perhutani. Meskipun tambak tersebut milik perhutani, tetapi seperti milik sendiri karena lahan ini sejak lama diusahakan petani dan hanya mengganti uang pajak setiap tahunnya sama halnya lahan milik secara pribadi. Sebanyak 90.00 persen petani responden tradisional lahan tambaknya milik perhutani, dan sisanya 10.00 persen milik sendiri. Sedangkan petani responden sebesar 81.82 Persen milik perhutani dan sisanya sebesar 18.18 milik pribadi. Secara rinci ditunjukkan pada Tabel 12 dibawah ini. Tabel 12 Jumlah petani responden berdasarkan status lahan yang dimiliki Kecamatan Tirtajaya 2015 Petani tradisional Petani semi-intensif Status lahan Jumlah Presentase Jumlah Presentase (orang) (%) (orang) (%) Milik Perhutani 27 90.00 4 81.81 Milik Pribadi 3 10.00 18 18.18 Total 30 100.00 4 100.00
26 Padat Tebar Padat tebar disesuaikan dengan luas lahan dan jenis teknologi yang diadopsi. Dan masing-masing negara memiliki ketentuan masing-masing. Menurut Wilfredo G. Yap et all (2007) teknologi tradisional memiliki pada tebar 1 0003 000 ekor/ha, namun padat tebar ini bisa mencapai 6 000 ekor/ha tergantung banyak tidaknya pakan alaminya (klekap). Sedangkan teknologi semi-intensif padat tebarnya mencapai 8 000-12 000 ekor/ha. Peningkatkan padat tebar ini memerlukan tambahan pakan buatan. Sehingga masa tumbuhnya dan produksinya lebih cepat. Di lokasi penelitian, petani responden teknologi tradisional memiliki padat tebar rata-rata 3 165.56 ekor/ha, sedangkan petani semi-intensif memiliki padat tebar rata-rata 4 528.27 ekor/ha. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan teknologi yang digunakan berpengaruh terhadap padat tebar benih. Karena petani semiintensif padat tebar benihnya masih dibawah standar yang dianjurkan. Sehingga akan mempengaruhi produksi yang dihasilkan. Tabel 13 Jumlah petani responden berdasarkan padat tebar benih bandeng di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Petani tradisional Karakteristik Padat tebar 1 000-<2 000 ekor/ha 2 000-<4 000 ekor/ha 4 000-<6 000 ekor/ha 6 000-<8 000 ekor/ha Total
Jumlah (orang) 6 15 8 1 30
Presentase (%) 20.00 50.00 26.67 3.33 100.00
Petani semi-intensif Jumlah Presentase (%) (orang) 0 9 20 4 33
0.00 27.27 60.61 12.12 100.00
Tabel 13 menunjukkan petani responden tradisional yang memiliki pada tebar 1 000-<2 000 ekor/ha sebesar 20.00 persen, 2 000-<4 000 ekor/ha sebesar 50.00 persen, 4 000-<6 000 ekor/ha 26.67 persen dan diatas 6 000 ekor/ha hanya satu oramg atau sebesar 3.33 persen. Sedangkan petani responden semi-intensif pada tebarnya diatas 2 000 ekor/ha, sebesar 27.27 persen memiliki padat tebar 2 000-<4 000 ekor/ha, padat tebar 4 000-<6 000 ekor/ha memiliki presentase paling tinggi yaitu 60.61 persen, dan padat tebar yang sesuai anjuran yaitu 6 000-<8 000 ekor/ha hanya 12.12 persen. Ada beberapa alasan petani tidak meningkatkan padat tebarnya, yaitu menghindari risiko tingkat pertumbuhan yang tidak rata, pakan yang diberikan tidak merata dan risiko kematian. Lama Budidaya Perbedaan teknik budidaya berdampak pada lamanya budidaya. Pada umumnya teknologi tradisional membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membudidayakan dibandingkan semi-intensif. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan pakan sehingga ikan dapat tumbuh dengan cepat. Petani responden tradisional rata-rata membutuhkan waktu 7.93 bulan, sedangkan teknologi semiintensif rata-rata membutuhkan waktu 5.32 bulan.
27 Pekerjaan di Luar Usahatani Selain bekerja sebagai petani tambak, petani responden juga memiliki pekerjaan diluar usaha budidaya. Hal ini dilakukan karena waktu budidaya sangat lama sehingga petani bekerja disektor lain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, pekerjaan usaha budidaya sebagian besar dikerjakan oleh orang lain dengan sistem bagi hasil. Namun ada juga petani yang menggantungkan hasil tambak untuk mencukupi kebutuhannya. Pekerjaan diluar usaha budidaya tambak dirinci pada tabel dibawah ini. Tabel 14 Jumlah petani responden berdasarkan jenis pekerjaan di luar usahatani Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Karakteristik Pekerjaan di Luar Usahatani Tidak ada Pedagang Ojek PNS Bengkel Total
Petani tradisional Jumlah Presentase (%) (orang)
13 12 5 0 0 30
43.33 40.00 16.67 0.00 0.00 100.00
Petani semi-intensif Jumlah Presentase (orang) (%)
12 18 1 1 1 33
36.36 54.55 3.03 3.03 3.03 100.00
Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa selain bekerja sebagai petani tambak pekerjaan lain ialah sebagai pedagang, pedagang ini terdiri dari berbagai jenis pekerjaan pedagang warung, grosir dan pedagang ikan bandeng (tengkulak). Petani responden tradisional yang bekerja sebagai pedagang sebanyak 40.00 persen, sedangkan petani semi-intensif sebesar 54.55 persen. Dan petani responden yang mengandalkan usaha budidaya tambak sebagai pekerjaan utama mereka sebanyak 43.33 persen untuk petani responden tradisional dan sebanyak 36.36 persen petani semi-intensif.
USAHA BUDIDAYA TAMBAK BANDENG TEKNOLOGI TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF Keragaan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya Usaha budidaya bandeng dengan teknologi tradisional yang dimaksudkan di penelitian ini ialah segi perlakuan budidaya yang menggunakan pakan alami berupa klekap dan sejenisnya untuk membesarkan ikan bandeng sampai panen. Sedangkan teknologi semi-intensif yaitu adanya tambahan pakan buatan untuk membudidayakan ikan bandeng. Analisis keragaan ini untuk mengetahui penggunaan input dan teknologi produksi baik secara tradisional maupun semiintensif.
28 Penggunaan Input Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif Penggunaan input yang dianalisis pada usaha budidaya ikan bandeng baik yang teknologi tradisional maupun semi-intensif meliputi padat tebar benih bandeng, pupuk, obat-obatan, pakan, dan tenaga kerja. Secara rinci penggunaan input pada masing-masing teknologi dapat dilihat pada Tabel 15. Meskipun secara kuantitas kedua teknologi memiliki perbedaan. Namun berdasarkan analisis uji statistik input variabel yang berbeda nyata pada taraf nyata 5 persen ialah benih bandeng (nener), pupuk TSP, Pakan dan HOK. Sedangkan input lainnya seperti pupuk Urea, Raja Bandeng, Ursal, Bentan, Saponin, Mitran, Lodan, dan solar tidak berbeda nyata secara statistik pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 9). Tabel 15 Rata-rata kebutuhan input per hektar per musim budidaya pada usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Jenis Input Satuan Tradisional (n=30) Semi-intensif (n=33) a Benih (nener) ekor/ha 3 165.56 4 528.27 Pupuk Urea kg/ha 147.44 348.51 TSP a kg/ha 21.31 44.60 Obat-Obatan Raja Bandeng kg/ha 7.06 10.66 Lodan kg/ha 0.68 0.78 Bentan kg/ha 0.02 0.01 Mitran kg/ha 0.08 0.18 Saponin kg/ha 11.92 10.76 Ursal lt/ha 0.08 0.64 a Pakan Pelet kg/ha 0.00 473.06 Roti kg/ha 0.00 874.49 Solar lt/ha 9.09 9.01 Tenaga Kerja a HOK/ha 14.97 18.69 a
berbeda nyata taraf 5%
Tabel 15 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam penggunaan input, yaitu penggunaan pakan. Petani tradisional tidak menggunakan pakan buatan baik pakan pelet maupun pakan roti. Penggunaan pakan pelet dan roti ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan mempercepat masa pertumbuhan. Pada umumnya pakan buatan yang digunakan ialah berupa pelet, namun petani memiliki alternatif lain yaitu roti yang sudah kadaluarsa. Penggunaan pakan roti bertujuan untuk mengurangi biaya karena dari segi harga pakan roti ini lebih murah jika dibandingkan dengan pakan pelet. Pakan pelet yang digunakan petani semi-intensif bermacam-macam jenisnya, namun rata-rata menggunakan merek dagang Turbo-78 dan Supra Feed. Karena kedua merek ini masih dapat dijangkau oleh petani. Rata-rata petani semi-intensif dalam pembelian pakan pelet dan roti menggunakan sistem bayar setelah panen. Selain bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, penggunaan pakan ini juga disebabkan tidaknya pakan alami atau sedikitnya pakan alami, sehingga untuk
29 merangsang pertumbuhan diberi pakan buatan. Tidak tumbuhnya pakan alami disebabkan oleh banyak hal diantaranya lokasi tambak yang terlalu dekat dengan pantai dan penggunaan bahan kimia yang menimbulkan polutan yang merusak lingkungan. Sedangkan petani tradisional memilih untuk tidak menggunakan pakan buatan karena harganya yang mahal juga dapat merusak kesuburan tambak. Selain itu juga karena lokasi tambaknya terdapat pertumbuhan klekap sangat baik, sehingga cukup untuk pertumbuhan bandeng. Biasanya petani merangsang pertumbuhan pakan alami dengan memberikan pupuk urea dan TSP setelah proses pengeringan dan ditengah-tengah pertumbuhan bandeng. Meskipun budidaya tradisional memerlukan waktu yang lebih lama dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah, petani tetap mempertahankannya. Perbedaan kedua dari sistem budidaya tradisional dan semi-intensif ialah padat tebar nener. Kebutuhan nener pada teknologi semi-intensif lebih banyak dibandingkan tradisional. Dari Tabel 15 dapat diketahui bahwa perubahan teknologi menjadi semi-intensif padat tebarnya meningkat 43.05 persen dari teknologi tradisional. Peningkatan padat tebar benih ini untuk meningkatkan produktivitas lahan tambak. Petani tradisional dan semi-intensif tidak melakukan pemijahan sendiri untuk mendapatkan benih bandeng, tetapi mereka membeli pada penjual benih yang sudah siap tebar. Petani tradisional maupun semi-intensif menambahkan beberapa obat untuk merangsang pertumbuhan bandeng. Obat perangsang pertumbuhan ini meliputi Raja Bandeng, Lodan, dan Ursal. Penggunaan obat-obatan ini proporsinya lebih banyak pada teknologi semi-intensif dibanding tradisional. Petani tradisional ratarata membutuhkan Raja Bandeng sebanyak 7.06 kg/ha sedangkan petani semiintensif membutuhkan 10.66 kg/ha. Sama halnya dengan Lodan dan Ursal juga mengalami kenaikan karena adanya perubahan teknologi. Perubahan ini merupakan implikasi dari peningkatan padat tebar sehingga obat-obatan yang dibutuhkan juga mengalami peningkatan. Perhitungan dalam penggunaan tenaga kerja manusia menggunakan satuan HOK (Hari Orang Kerja). Semua kegiatan budidaya pada penelitian ini menggunakan tenaga kerja pria, kecuali pada saat pengairan menggunakan tenaga kerja mesin. Rata-rata upah tenaga kerja di lokasi penelitian berkisar antara Rp70 000 sampai Rp85 000 per hari kerja (8 jam). Namun kebanyakan petani responden menggunakan sistem bagi hasil. Semua kegiatan budidaya dilakukan oleh penjaga tambak yang disebut dengan bujang. Bujang ini mendapat upah seperenam dari total pendapatan tunai, namun ada juga yang mendapat sepertujuh. Rata-rata jumlah HOK disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa penggunaan tenaga kerja teknologi semi-intensif lebih banyak dibanding teknologi tradisional. Hal ini disebabkan teknologi semi-intensif ada tambahan tenaga kerja pada kegiatan pemberian pakan yang dilakukan kurang lebih dua bulan. Namun, kegiatan pemberantasan hama, pengairan, dan pendederan rata-rata jumlah HOK tidak berbeda jauh. Kegiatan pemberantasan dan pengendalian hama pada umumnya dilakukan setelah panen, namun ada juga yang dilakukan saat ditengah-tengah masa pembesaran bandeng. Hama yang mengganggu pada budidaya tambak adalah bekicot, ulat, ikan liar, dan ular. Cara pemberantasan yang dilakukan petani
30 terbagi menjadi dua cara, yaitu secara mekanis dan kimiawi. Secara kimiawi petani menggunakan pestisida untuk memberantas hama-hama. Jenis pestisida yang semua petani gunakan ialah Saponin, karena dari segi harga Saponin lebih terjangkau dibandingkan obat yang lain. Selain Saponin, petani dapat menggunakan Mitran atau Bentan. Setelah diobat tambak dikeringkan. Cara pengeringan ini disebut cara mekanis. Pengeringan tambak membutuhkan waktu kurang lebih selama 10 hari sampai tanah tambak retak-retak. Pada saat pemberantasan hama, biasanya masih terdapat ikan bandeng sisa dari panen yang tidak terkena jaring. Kegiatan pemberantasan hama baik teknologi tradisional maupun semi-intensif umumnya menggunakan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) dengan jumlah HOK sama yaitu sebanyak 0.15 HOK. Sedangkan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) lebih banyak digunakan pada teknologi tradisional dibandingkan semi-intensif. Tabel 16 Rata-rata penggunaan tenaga kerja per hektar per musim budidaya pada usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Kegiatan
Satuan
Pemberantasan hama Pengolahan lahan tambak Pengairan Pemupukan Pendederan Pemberian Pakan Pemberian Obat-obatan Pemanenan Total Tenaga Kerja
HOK/ha HOK/ha HOK/ha HOK/ha HOK/ha HOK/ha HOK/ha HOK/ha
Tradisional (n=30) Semi-intensif (n=33) TKDK TKLK Total TKDK TKLK Total 0.10 0.15 0.25 0.02 0.15 0.17 0.32 10.15 10.47 0.00 9.49 9.49 0.00 2.85 2.85 0.00 2.81 2.81 0.10 0.15 0.25 0.07 0.45 0.52 0.02 0.02 0.04 0.01 0.05 0.06 0.00 0.00 0.00 0.45 3.74 4.19 0.11 0.10 0.21 0.02 0.25 0.27 0.00 1.04 1.04 0.00 1.18 1.18 0.64 14.45 15.10 0.56 18.13 18.69
Setelah kegiatan pemberantasan hama, petani melakukan kegiatan pengolahan tambak. Proses pengolahan tambak diiringi dengan pengeringan tambak. Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan kesuburan tanah dan menumbuhkan pakan alami berupa klekap. Untuk mengerjakan pengolahan tambak teknologi semi-intesif membutuhkan HOK lebih sedikit dibanding teknologi tradisional. Pada teknologi tradisional jumlah HOK yang dibutuhkan sebanyak 10.15 HOK oleh TKDK dan TKLK. Sedangkan kebutuhan HOK pada teknologi semi-intensif sebanyak 9.49 HOK oleh TKLK Kegiatan pengairan dilakukan oleh mesin penyedot air dengan memanfaatkan air pasang laut. Pada awalnya pengairan dilakukan sampai macakmacak kemudian dipupuk menggunakan Urea dan TSP. Tujuan dari pengairan macak-macak adalah merangsang pakan alami tumbuh. Setelah klekap sudah tumbuh maka dilakukan pengairan kembali sampai ¾ tinggi tambak. Kebutuhan HOK pada kedua teknologi ini tidak berbeda nyata. Jumlah HOK pada kegiatan pengairan teknologi tradisional sebanyak 2.85 HOK sedangkan teknologi semiintensif sebanyak 2.81 HOK. Kegiatan pemupukan dilakukan di awal yang disebut dengan pupuk dasar dan ditengah-tengah pembesaran yang disebut dengan ngawer. Pupuk dasar menggunakan dua jenis pupuk yaitu Urea dan TSP, sedangkan ngawer hanya menggunakan pupuk Urea. Kegiatan pemupukan dilakukan oleh TKDK dan
31 TKLK. Budidaya bandeng teknologi semi-intensif membutuhkan HOK 110.03 persen lebih tinggi dibandingkan teknologi tradisional. Hal ini disebabkan karena teknologi tradisional sebagian besar hanya melakukan pupuk dasar. Kegiatan pendederan dilakukan pada pagi hari agar kualitas dari benih bandeng tidak menurun. Kegiatan ini disertai perhitungan jumlah benih yang akan ditebar dengan padat tebar berbeda-beda antara teknologi tradisional dan semiintensif. Kegiatan pendederan dilakukan oleh TKDK dan TKLK. Kebutuhan HOK teknologi semi-intensif lebih tinggi 60.08 persen dibandingkan teknologi tradisional. Kegiatan pemberian pakan hanya dilakukan pada budidaya semi-intensif karena budidaya tradisional mengandalkan pakan alami. Pemberian pakan buatan berupa pelet dan roti umumnya dilakukan setelah bandeng umur 2-3 bulan setelah pendederan. Pemberian pakan ini dilakukan pagi dan sore, namun ada juga yang pagi saja atau sore saja. Setiap minggunya proporsi pemberian pakan mengalami peningkatan, karena pada dasarnya semakin bertambah bobot bandeng maka jumlah pakan yang diberikan juga akan meningkat. Namun beberapa petani tidak mengikuti sesuai SOP, seharusnya pemberian pakan sebanyak 3%-5% dari total biomassa bandeng (Mayunar dkk 2000). Namun petani memberi pakan sesuai feeling mereka. Jika dirasa bandeng masih ingin makan maka pakan terus ditambah sampai bandeng tidak ingin makan lagi. Kebutuhan HOK pada kegiatan pemberian pakan sebanyak 4.19 HOK. Pemberian obat-obatan berupa vitamin seperti Raja Bandeng, Lodan, dan Ursal bertujuan untuk merangsang pertumbuhan ikan bandeng. Pemberian obatobatan ini juga dilakukan berkali-kali 2-4 kali selama masa pembesaran. Kegiatan ini menggunakan TKDK dan TKLK. Kebutuhan budidaya semi-intensif jumlah HOK lebih banyak dibandingkan budidaya tradisional. Kegiatan pemanenan dilakukan ketika ikan bandeng sudah mencapai ukuran konsumsi. Waktu yang pemanenan masing-masing petani berbeda-beda tergantung dari kebutuhan petani. Tetapi umumnya budidaya tradisional membutuhkan waktu pembesaran lebih lama dibanding budidaya semi-intensif. Dan kegiatan pemanenan ini dilakukan oleh TKLK (tukang jaring) dengan upah tergantung pada hasil panen. Kebutuhan HOK budidaya semi-intensif lebih tinggi dibandingkan budidaya tradisional. Jumlah HOK budidaya semi-intensif sebanyak 1.18 HOK, sedangkan budidaya tradisional sebanyak 1.04 HOK. Secara keseluruhan kegiatan budidaya semi-intensif 1.29 kali lebih banyak dibandingkan budidaya tradisional. Dan secara uji statistik kebutuhan HOK antara teknologi semi-intensif dengan tradisional berbeda nyata pada taraf 5 persen. Biaya Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Tirtajaya akan membandingkan struktur biaya usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif. Biaya yang dibandingkan pada penelitian ini meliputi biaya tunai dan biaya non tunai. Kompenen biaya tunai meliputi biaya benih bandeng, pupuk, obat-obatan, bahan bakar solar, pakan, dan biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK), sedangkan komponen biaya non tunai atau biaya diperhitungkan meliputi biaya sewa tambak per musim budidaya, biaya pajak tambak per musim budidaya, biaya
32 penyusutan per musim budidaya, dan biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Perbandingan struktur biaya usaha budidaya bandeng tradisional dan semi-intensif disajikan pada Tabel 17 dibawah ini. Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan struktur biaya antara teknologi tradisional dan semi-intensif. Pada uji stastistik pada taraf nyata 5% disimpulkan bahwa komponen biaya teknologi tradisional dan semiintensif berbeda nyata. Artinya biaya budidaya tradisional lebih sedikit 61.66 persen dibanding budidaya semi-intensif. Perbedaan ini disebabkan input yang digunakan yaitu pakan dan jumlah tenaga kerja. Pada budidaya tradisional, tidak mengeluarkan biaya pakan, sedangkan budidaya semi-intensif mengeluarkan biaya pakan sebanyak 51.42 persen dari total biaya. Hal yang menarik pada perbandingan struktur biaya antara usaha budidaya tradisional dan semi-intensif adalah perbandingan biaya tunai dan non tunai. Pengeluran biaya tunai budidaya tradisional lebih rendah 74.75 persen dibanding budidaya semi-intensif. Hal ini disebabkan alokasi masing-masing input pada budidaya semi-intensif lebih tinggi daripada budidaya tradisional. Sementara proporsi biaya non tunai, budidaya tradisional pengeluaran biaya yang diperhitungkan lebih tinggi 32.79 persen daripada biaya non tunai budidaya semiintensif. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penggunaan input yang diperhitungkan pada budidaya semi-intensif lebih efisien dibandingkan tradisional. Biaya diperhitungkan seperti sewa tambak, penyusutan serta pajak per musim budidaya pada budidaya tradisional lebih tinggi karena budidaya tradsional memerlukan waktu budidaya lebih lama dibanding semi-intensif, sehingga biaya yang dikeluarkan akan lebih tinggi pula. Tingginya biaya diperhitungkan pada budidaya tradsional juga disebabkan tingginya biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Budidaya tradisional lebih memilih menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dibandingkan budidaya semi-intensif, karena pengelolaannya lebih mudah. Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan selama proses budidaya bandeng dari pengolahan lahan tambak sampai pemanenan. Alokasi terbesar pada budidaya tradisional adalah untuk biaya tenaga kerja, terutama untuk biaya tenaga kerja pengolahan tanah, yaitu sebesar 64.40 persen dari total biaya tenaga kerja luar keluarga. Tingginya biaya pada pengolahan tambak karena pekerjaan ini memerlukan banyak tenaga tenaga kerja agar cepat diselesaikan. Karena kegiatan pengolahan tambak masih menggunakan sistem yang tradisional dan tradisi turun temurun. Meskipun biaya tenaga kerja terbesar kedua pada budidaya semi-intensif, namun jika dibandingkan dengan budidaya tradisional, biaya tenaga kerja budidaya semi-intensif lebih tinggi 37.08 persen dibandingkan budidaya tradisional. Perbedaan ini disebabkan petani budidaya semi-intensif rata-rata menggunakan tenaga kerja bujang untuk mengelola tambak mereka. Selain itu, pada budidaya semi-intensif terdapat tambahan kegiatan yaitu pemberian pakan, sehingga penggunaan tenaga kerja lebih tinggi.
33 Tabel 17 Perbandingan biaya usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Uraian Biaya Tunai Benih (nener) Pupuk Urea TSP Obat-Obatan Raja Bandeng Lodan Bentan Mitran Saponin Ursal Pakan Pelet Roti Solar TKLK Pengolahan lahan tambak Pemupukan Pemberantasan hama Pemanenan Bujang a Total Biaya Tunai Biaya non tunai Sewa Lahan/MB Pajak tambak/MB Penyusutan TKDK Total Biaya Non Tunai Total Biayab a
Tradisional (n=30) Nilai (Rp000) %
Semi Intensif (n=33) Nilai (Rp000) %
625.00
15.07
983.00
9.08
357.00 55.00
8.60 1.33 4.50
841.00 125.00
7.77 1.16 2.46
62.00 18.00 0.69 33.00 65.00 5.00
97.00 26.00 0.17 72.00 56.00 13.00 0.00
0.00 0.00 65.00 743.00 2.00 1.00 130.00 276.00 2 444.00 1 322.00 142.00 195.00 48.00 1 707.00 4 152.00
1.57 27.79
51.42 3 421.00 2 147.00 62.00
0.58 16.94
58.87
728.00 0.00 0.00 207.00 898.00 9 681.00
89.40
31.84 3.43 4.70 1.16 41.13 100.00
875.00 92.00 137.00 42.00 1 147.00 10 829.00
8.08 0.86 1.27 0.39 10.60 100.00
bujang: tenaga kerja luar keluarga yang bertugas untuk menjaga tambak berbeda nyata taraf 5%
b
Perbedaan signifikan pada kedua teknologi ini adalah biaya pakan, pada teknologi tradisional petani tidak mengeluarkan biaya pakan, sementara pada teknologi semi-intensif, biaya pakan memiliki proporsi paling tinggi yaitu 51.42 persen. Besarnya biaya pakan disebabkan kurangnya pengetahuan petani mengenai proporsi pemberian pakan. Berdasarkan standard operating procedure (SOP) pemberian pakan sebesar 3 persen dari biomassa bandeng. Namun, berdasarkan informasi yang didapat pada saat wawancara petani bandeng memberikan pakan disesuaikan dengan selera bandeng pada saat itu, pakan terus ditambah apabila bandeng masih ingin makan dan akan berhenti jika bandeng sudah tidak ingin makan. Jenis pakan yang digunakan petani teknologi semiintensif adalah pakan pelet dengan kisaran harga Rp200 000-Rp300 000 per karung tergantung jenis pakan yang digunakan. Tingginya harga pakan menyebabkan petani tetap konsisten dengan teknologi tradisional. Tidak hanya
34 menggunakan pakan pelet, petani juga menggunakan pakan alternatif lain yaitu roti yang sudah kadaluarsa (expired). Penggunaan pakan roti menjadi alternatif bagi petani karena secara ekonomis lebih hemat. Selain pakan yang membedakan kedua teknologi budidaya bandeng, perbedaan lainnya ialah padat tebar benih bandeng (nener). Pada budidaya tradisional lebih rendah dibandingkan budidaya semi-intensif. Tujuan dari peningkatan padat tebar ialah meningkatkan produktivitas lahan tambak. Meningkatnya padat tebar juga berimplikasi dengan penggunaan pakan lebih tinggi agar bandeng dapat tumbuh lebih cepat dengan bobot yang seragam. Biaya nener teknologi budidaya sebesar Rp625 000 atau sebesar 15.07 persen dari total biaya atau sebesar 25.60 persen dari total biaya tunai. Biaya nener teknologi tradisional lebih rendah 36.35 persen dibanding biaya nener teknologi tradisonal. Nener yang digunakan petani baik teknologi tradisional maupun semi-intensif berasal dari penjual nener, karena petani bandeng dilokasi penelitian tidak melakukan pemijahan sendiri. Berdasarkan wawancara mendalam kepada petani, kegiatan pemijahan memiliki risiko yang tinggi dan kurangnya pengetahuan dalam melakukan pemijahan. Sehingga mereka lebih memilih untuk membeli ke pedagang nener untuk meminimumkan risiko pada kegiatan pemijahan. Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa biaya pupuk teknologi tradisional sebesar Rp412 000 atau sebesar 16.87 persen dari total biaya tunai sementara teknologi semi-intensif sebesar Rp966 000 atau sebesar 9.98 persen. Teknologi tradisional memiliki presentasi lebih tinggi dibandingkan teknologi semi-intensif, karena pada teknologi tradisional memerlukan pupuk yang lebih banyak untuk menunjang pertumbuhan pakan alami. Tetapi secara keseluruhan biaya pupuk teknologi tradional lebih rendah 57.33 persen dibanding teknologi semi-intensif. Jenis pupuk yang digunakan pada kedua teknologi ini adalah pupuk Urea dan TSP, namun penggunaan pupuk TSP ini pada saat pemupukan pertama saja, sedangkan pemupukan kedua dan seterusnya menggunakan pupuk Urea. Hal ini yang menyebabkan biaya pupuk Urea lebih tinggi dibandingkan pupuk TSP. Alokasi biaya tunai selanjutnya adalah biaya obat-obatan. Pada teknologi tradisional biaya obat-obatan sebesar Rp186 000 atau sebesar 4.50 persen dari total biaya atau sebesar 7.64 persen dari total biaya tunai, sementara teknologi semi-intensif sebesar Rp265 000 atau sebesar 2.75 persen dari total biaya tunai. Biaya obat-obatan pada teknologi semi-intensif lebih tinggi dibandingkan tradisional. Hal ini karena pada budidaya semi-intensif dengan pada tebar nener yang lebih tinggi. Padat tebar benih yang tinggi berimplikasi pada penggunaan obat-obatan seperti Raja Bandeng, Lodan dan Ursal lebih tinggi pula untuk membantu mempercepat pertumbuhan bandeng. Sedangkan obat Saponin merupakan jenis obat yang paling umum digunakan petani untuk memberantas hama setelah bandeng di panen atau sebelum dimulai proses budidaya. Selain Saponin petani juga dapat menggunakan Mitran maupun Bentan untuk memberantas hama pada tambak. Biaya bahan bakar solar tidak terlalu besar pada kedua jenis teknologi budidaya bandeng, karena penggunaan solar pada saat proses pengeringan tambak. Apabila letak tambak petani dekat dengan saluran air, biaya solar tidak terlalu tinggi, karena air tambak akan mengalir ke saluran (sungai) dengan dibukanya pintu air. Dan sebaliknya saat pengairan dengan membuka pintu air maka air dari sungai akan masuk ke tambak. Pengairan ini dibantu dengan mesin penyedot air.
35 Besarnya biaya solar semi-intensif lebih rendah 3.79 persen dibanding tradisional. Rendah biaya solar pada teknologi semi-intensif, karena letak tambak pada teknologi ini berdekatan dengan sungai dan laut. Sedangkan tambak budidaya tradisional jauh dari laut sehingga pasokan air pasang kurang didapatkan. Biaya non tunai merupakan biaya yang tidak diperhitungkan dalam biaya yang dikeluarkan. Pada penelitian ini komponen yang masuk dalam biaya non tunai adalah biaya sewa tambak, biaya pajak, penyusutan, dan biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Perbandingan biaya non tunai pada budidaya teknologi tradisional dan semi-intensif berbanding terbalik dengan perbandingan biaya tunai. Pada biaya tunai teknologi semi-intensif lebih tinggi dibandingkan teknologi tradisional. Pada Tabel 17 menunjukkan bahwa biaya sewa tambak merupakan biaya terbesar pada teknologi tradisional dan semi-intensif. Biaya sewa lahan dimasukkan ke dalam biaya diperhitungkan karena tambak petani responden merupakan milik sendiri dan tambak perhutani. Tambak perhutani sama halnya milik sendiri, karena mereka tidak perlu membayar uang sewa tapi membayar pajak kepada pihak perhutani. Biaya sewa tambak teknologi semi-intensif lebih rendah 33.82 persen dibanding teknologi tradisional. Perbedaan ini disebabkan lamanya budidaya pada teknologi tradisional, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk sewa lahan menjadi mahal. Biaya diperhitungkan terbesar kedua adalah biaya penyusutan. Biaya penyusutan merupakan biaya alat-alat pertanian yang digunakan dalam usahatani yang mengalami penyusutan tiap tahunnya kemudian dikonversikan tiap musim budidaya. Alat-alat pertanian dalam budidaya bandeng meliputi mesim penyedot air (diesel), serok (pintu air), waring, jala, timbangan gantung, cangkul, dan rumah jaga. Pada penelitian ini menghitung biaya penyusutan dengan metode garis lurus, yaitu membagi antara nilai beli dikurangi nilai sisa dengan umur ekonomis alat tersebut. Perhitungan ini mengasumsikan bahwa peralatan habis dipakai dan tidak memiliki nilai sisa. Dengan demikian nilai penyusutan didapatkan dengan cara membagi nilai beli dengan umur ekonomis alat pertanian. Biaya penyusutan teknologi tradisional dan semi-intensif berbeda karena lama budidaya kedua teknologi ini berbeda. Biaya penyusutan teknologi budidaya tradisional lebih tinggi dibandingkan teknologi semi-intensif, secara rinci terdapat pada lampiran 5. Biaya pajak pada tambak milik sendiri berbeda dengan biaya pajak tambak perhutani, biaya perhektarnya lebih mahal pada tambak perhutani dibandingkan tambak milik. Biaya pajak per musim budidaya teknologi semi-intensif lebih rendah 35.06 persen dibanding budidaya tradisional. Biaya pajak per musim budidaya teknologi tradisional sebesar Rp142 000, sedangkan teknologi semiintensif sebesar Rp92 000. Biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) masuk ke dalam biaya yang diperhitungkan. Karena petani menganggap kegiatan usahatani yang dikerjakan sendiri tidak perlu dibayar. Petani responden yang menggunakan tenaga kerja dalam keluarga berarti mereka tidak menggunakan bujang. Karena petani yang menggunakan bujang semua kegiatan usaha budidaya bandeng dikerjakan oleh bujang dan TKLK. Biaya tenaga kerja dalam keluarga budidaya tradisional lebih tinggi dibandingkan budidaya semi-intensif. Tingginya biaya tenaga kerja dalam keluarga pada teknologi tradisional karena sebanyak 56.67 persen petani dengan
36 teknologi tradisional menggunakan tenaga kerja dalam keluarga atau tidak menggunakan tenaga bujang. Sedangkan petani responden teknologi semi-intensif sebanyak 15.15 persen menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan sisanya menggunakan bujang. Perubahan teknologi ke semi-intensif meningkatkan biaya tunai, lebih dari 80 persen pengeluaran biaya dikeluarkan secara tunai. Hal ini berimplikasi untuk membudidayakan secara intensif petani harus memiliki ketersediaan uang tunai lebih tinggi. Bagi petani bandeng yang tidak memiliki akses terhadap modal akan tetap bertahan pada teknologi tradisional. Produktivitas Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semiintensif Kecamatan Tirtajaya Produktivitas untuk menghitung hasil output persatuan lahan. Produktivitas per musim budidaya bandeng disajikan pada Tabel 18. Tabel tersebut menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas teknologi semi-intensif 2.09 kali lipat dibanding teknologi tradisional. Tingginya produktivitas pada teknologi semiintensif diduga perbedaan perlakuan dalam membudidayakan, perbedaan ini dilihat dari padat tebar nener yang lebih tinggi dan pemberian pakan tambahan secara intensif. Perbedaan perlakuan ini berimplikasi pada pertumbuhan bandeng lebih cepat dan lebih seragam dibanding teknologi tradisional, bobot bandeng lebih berat serta waktu budidaya lebih cepat dibanding teknologi tradisional. Tabel 18 Perbandingan produktivitas bandeng per hektar per musim budidaya berdasarkan teknologi budidaya di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Produktivitas bandeng per Tradisional (n=30) Semi-intensif (n=33) hektar (Kg/ha) Rata-rataa 440.08 921.99 Max 1 562.96 1 547.00 Min 130.26 357.78 Standard Deviation 284.54 319.46 Coefficient Variance 64.66% 34.65% a
berbeda nyata taraf 5%
Produktivitas tertinggi berada pada teknologi tradisional yaitu 1 562.96 Kg per hektar, sedangkan teknologi semi-intensif produksi tertingginya sebesar 1 547.00 Kg per hektar. Namun, jika dilihat dari nilai keragamannya teknologi semi-intensif memiliki produksi lebih beragam, hal ini berdasarkan nilai simpangan baku yang dihasilkan. Nilai simpangan baku yang tinggi pada teknologi semi-intensif belum mengindikasikan tingkat risiko yang ada, karena nilai koefisien variasi yang dihasilkan lebih rendah. Rendahnya koefisien variasi pada teknologi semi-intensif disebabkan tingginya rata-rata produksi yang dihasilkan per hektarnya. Artinya, budidaya bandeng teknologi tradisional memiliki risiko produksi lebih besar dibandingkan budidaya bandeng teknologi semi-intensif. Tingginya risiko produksi dapat dilihat dari nilai koefisien variasi budidaya tradisional lebih tinggi, yaitu 64.66 persen. Perkembangan teknologi budidaya semi-intensif dan beralihnya petani dari teknologi tradisional ke teknologi semi-intensif. Selain mengurangi risiko
37 produksi, juga hasil produksi yang didapatkan pada teknologi semi-intensif lebih tinggi dibanding teknologi tradisional. Pada kondisi terburuk, teknologi semiintensif mampu menghasilkan 602.53 Kg per hektar, sementara teknologi tradisional sebesar 155.53 Kg per hektar (lebih rendah 74.18 persen dibanding teknologi semi-intensif). Tingginya tingkat keragaman budidaya semi-intensif proporsi pakan yang diberikan antar petani berbeda-beda. Meskipun tingkat keragaman yang dimiliki tinggi, risiko yang dihadapi lebih rendah dibandingkan teknologi tradisional. Risiko rendah pada teknologi semi-intensif diduga tingkat keberhasilan dalam budidaya lebih tinggi, tingkat mortalitas lebih rendah, bobot bandeng lebih besar dan waktu budidaya lebih singkat dibanding teknologi tradisional. Penerimaan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semiintensif di Kecamatan Tirtajaya Penerimaan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang terbagi menjadi dua bagian, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Penerimaan tunai yang dimaksudkan adalah nilai total produksi bandeng yang dijual pada tingkat harga tertentu. Sedangkan penerimaan non tunai adalah nilai total bandeng yang digunakan untuk konsumsi, dibagikan kepada tenaga kerja maupun tetangga dan saudara. Beralih petani ke teknologi semi-intensif, selain meningkatkan produktivitas juga meningkatkan penerimaan total. Tingginya penerimaan budidaya semiintensif disebabkan tingginya rata-rata harga jual bandeng. Pada teknologi semiintensif rata-rata harga jual bandeng sebesar Rp16 233/Kg, sementara harga jual bandeng teknologi tradisional sebesar Rp14 333/Kg/ Perbedaan harga jual ini disebabkan oleh bobot bandeng pada kedua teknologi ini berbeda. Semakin berat bobot bandeng maka semakin tinggi harga yang diterima petani. Dari hasil wawancara mendalam diperoleh hasil rata-rata jumlah bandeng per kilo gram nya sebanyak 6.10 ekor pada teknologi tradisional selama 7.93 bulan, sementara teknologi semi-intensif jumlah bandeng per kilo gram nya sebanyak 4.20 ekor dengan lama budidaya 5.32 bulan. Hal ini yang menjadikan petani bandeng beralih ke teknologi semi-intensif. Tabel 19 Perbandingan penerimaan usaha budidaya bandeng musim budidaya berdasarkan teknologi tradisional dan Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Tradisional (n=30) Uraian Satuan Nilai (000) Penerimaan tunai Rp/ha 6 245 Penerimaan non tunai Rp/ha 137 Total Penerimaana Rp/ha 6 383 Max Rp/ha 31 259 Min Rp/ha 1 823 Stad.Dev Rp/ha 5 611 Coeff.Var % 84 a
berbeda nyata taraf 5%
per hektar per semi-intensif di Semi-intensif (n=33) Nilai (000) 14 809 157 14 966 27 072 4 830 5 996 39
38 Tingginya produktivitas dan harga jual bandeng pada teknologi semiintensif, menyebabkan total penerimaan bandeng teknologi semi-intensif 134.48 persen lebih tinggi dibanding teknologi tradisional. Selain itu, dilihat dari nilai koefisien variasi budidaya bandeng teknologi semi-intensif memiliki risiko penerimaan lebih rendah dibandingkan budidaya bandeng teknologi tradisional. Dan pada kondisi terburuk budidaya teknologi semi-intensif masih memberikan penerimaan lebih tinggi, yaitu sebesar Rp8 970 000 sementara budidaya bandeng dengan teknologi tradisional sebesar Rp771 000. Hal ini berimplikasi pada perilaku petani bandeng untuk beralih ke teknologi semi-intensif karena memperoleh penerimaan lebih besar dengan risiko lebih rendah. Keuntungan dan Pendapatan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya Salah satu indikator keberhasilan usahatani dilihat dari keuntungan yang diperoleh. Keuntungan ini didapatkan dari hasil pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya. Namun, besarnya keuntungan yang diperoleh belum mencerminkan balas jasa yang atas faktor produksi yang digunakan oleh petani. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan di Kecamatan Tirtajaya menghitung balas jasa atas tenaga kerja dan balas jasa atas modal. Sedangkan untuk melihat efisiensi usaha budidaya bandeng, dilakukan analisis R/C rasio. Perbandingan pendapatan dan R/C rasio dapat dilihat pada Tabel 20 dan 21. Berdasarkan Tabel 20 diketahui keuntungan budidaya bandeng dengan teknologi semi-intensif lebih besar meskipun biaya yang dikeluarkan juga besar. Keuntungan budidaya bandeng teknologi semi-intensif 85.46 persen lebih tinggi dibanding teknologi tradisional. Tabel 20 Perbandingan keuntungan dan pendapatan usaha budidaya bandeng berdasarkan teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Uraian Penerimaan total (Rp/ha) Biaya total (Rp/ha) Keuntungan budidaya (Rp/ha) a Return to Labour (Rp/HOK total) Return to Capital (%) a
Tradisional (n=30) (Rp000) 6 383 4 152 2 230 147 53
Semi-intensif (n=33) (Rp000) 14 966 10 829 4 137 221 38
berbeda nyata taraf 5%
Balas jasa petani merupakan keuntungan yang diperoleh petani atas tenaga kerja, modal, input pertanian, alat, tanah, dan modal lainnya. Modal yang berupa uang tunai digunakan petani untuk membayar upah tenaga kerja dan membeli input pertanian. Modal atas tanah dilihat dari sewa tanah, sedangkan modal alat dilihat dari nilai penyusutan alat tersebut. Dalam usahatani balas jasa atas tenaga kerja yang digunakan dapat diketahui dengan menghitung return to labour, sedangkan balas jasa atas modal diketahui dengan menghitung return to capital. Balas jasa atas modal akan memberikan keuntungan apabila nilai dari return to capital lebih besar dari tingkat suku bunga kredit. Return to capital dari budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif lebih besar besar
39 daripada tingkat suku bunga kredit BRI pada Februari 2015 yaitu sebesar 19.25 persen. Hal ini menunjukkan bahwa menginvestasikan modal ke usaha budidaya bandeng lebih menguntungkan dibandingkan menginvestasikan ke bank. Return to capital budidaya bandeng teknologi tradisional lebih tinggi dibandingkan teknologi semi-intensif, artinya menginvestasikan modal pada usaha budidaya bandeng tradisional lebih menguntungkan dibandingkan usaha budidaya bandeng semi-intensif. Rendahnya return to capital pada budidaya semi-intensif karena modal yang tersebut mengalir ke industri pakan. Budidaya bandeng secara tradisional memberikan balas jasa atas modal lebih besar dibanding teknologi semi-intensif. Namun, dilihat dari nilai return to labour memiliki nilai lebih rendah dibanding teknologi semi-intensif. Artinya, petani bandeng teknologi semi-intensif mendapatkan imbalan atas tenaga kerja yang digunakan lebih besar dibanding imbalan yang diterima petani bandeng teknologi tradisional. Imbalan petani bandeng teknologi semi-intensif atas tenaga kerja yang digunakan sebesar Rp221 000, sementara imbalan atas tenaga kerja petani bandeng teknologi tradisional sebesar Rp147 000. Perbedaan ini disebabkan oleh kebutuhan HOK pada budidaya bandeng teknologi semi-intensif 3.59 HOK lebih tinggi dibanding teknologi tradisional. Jika dilihat dari nilai return to labour kedua teknologi budidaya bandeng memberikan keuntungan karena nilainya diatas upah rata-rata tenaga kerja saat itu, yaitu Rp75 000. Beralihnya petani bandeng dari teknologi tradisional ke teknologi semiintensif, selain meningkatkan keuntungan diperoleh, juga memberikan imbalan atas tenaga kerja yang digunakan. Meskipun kebutuhan HOK juga mengalami kenaikan. Budidaya teknologi tradisional tidak tinggalkan oleh petani, karena imbalan atas modal yang diperoleh petani lebih tinggi dibandingkan teknologisemi-intensif, sementara imbalan atas tenaga kerja yang digunakan tidak berbeda secara signifikan. Analisis Efisiensi R/C Salah satu ukuran efisiensi adalah dengan menganalisis R/C rasio, yaitu untuk mengetahui efisiensi biaya yang dikeluarkan. Perbandingan R/C rasio budidaya bandeng dengan teknologi tradisional dan semi-intensif disajikan pada Tabel 21. Usaha budidaya bandeng dikatakan efisien dan layak untuk dijalankan apabila nilai R/C rasio lebih dari satu dan sebaliknya. Tabel 21 Perbandingan R/C rasio usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Tradisional (n=30) Semi-intensif (n=33) Uraian (Rp000) (Rp000) Penerimaan total (Rp/ha) 6 383 14 966 Biaya total (Rp/ha) 4 152 10 829 a R/C atas biaya total 1.54 1.38 Max 4.46 2.2 Min 0.53 0.34 Stad.Dev. 0.82 0.39 Coef.Var (%) 55 28 a tidak berbeda nyata taraf 5%
40 Nilai R/C rasio atas biaya total pada budidaya bandeng teknologi tradisional sebesar 1.54, artinya setiap Rp1.00 biaya yang dikeluarkan, akan memperoleh penerimaan Rp1.54. Sementara nilai R/C rasio teknologi semi-intensif lebih rendah, yaitu 1.38, artinya setiap Rp1.00 biaya total yang dikeluarkan, akan memperoleh penerimaan Rp1.38. Teknologi tradisional memiliki nilai R/C rasio paling tinggi, yaitu sebesar 4.46. R/C paling tinggi implikasi dari produktivitas yang dihasilkan tinggi dan mampu menekan biaya yang dikeluarkan karena petani bandeng tradisional tidak mengeluarkan biaya pakan dan penggunaan pupuk pada awal produksi. Akan tetapi nilai R/C terendah pada budidaya teknologi semi-intensif yaitu sebesar 0.34. Hal ini disebabkan biaya yang dikeluarkan lebih tinggi sedangkan produktivitasnya rendah. Tingginya nilai R/C yang diperoleh teknologi tradisional menjadikan teknologi ini masih tetap bertahan. Meskipun memberikan tingkat produktivitas dan keuntungan lebih rendah dibanding teknologi semi-intensif. Dan petani yang memiliki akses terhadap modal maka akan beralih ke teknologi semi-intensif karena teknologi semi-intensif mampu memberikan produktivitas lebih tinggi dan risiko gagal lebih rendah. Pada kondisi terburuk pun, teknologi tradisional memiliki nilai rata-rata R/C rasio terendah, yaitu sebesar 0.72. Artinya pada kondisi ini budidaya bandeng teknologi tradisional tidak efisien. Sementara, teknologi semi-intensif pada kondisi terburuk memiliki nilai rata-rata R/C rasio mendekati 1, yaitu 0.99.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Usaha budidaya bandeng secara semi-intensif memiliki konsekuensi terhadap penggunaan pakan buatan yang diberikan secara intensif. Hal ini berimplikasi terhadap biaya tunai menjadi lebih besar. Oleh karena itu, petani bandeng yang tidak memiliki akses terhadap modal akan tetap mempertahankan budidaya bandeng secara tradisional. Keuntungan budidaya bandeng secara semi-intensif lebih besar dibanding usaha budidaya bandeng secara tradisional, namun jika dilihat dari imbalan atas modal teknologi tradisional memberikan imbalan terhadap modal lebih besar dibanding usaha budidaya bandeng secara semi-intensif. Artinya, menginvestasikan modal ke budidaya bandeng secara tradisional lebih menguntungkan dibanding menginvestasikan modal ke budidaya bandeng secara semi-intensif. Jika dilihat dari efisiensi biaya budidaya bandeng secara tradisional lebih efisien meskipun memberikan produktivitas lebih rendah. Kondisi ini menyebabkan teknologi tradisional tetap dipertahankan oleh petani bandeng dan kedua teknologi ini akan terus berjalan secara berdampingan.
41 Saran 1.
2.
3.
4.
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang diberikan sebagai berikut: Pada budidaya tradisional dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan cara memberikan pakan tambahan dengan proporsi lebih sedikit atau menjadi tradisional plus. Oleh karena itu, diperlukan kemudahan dalam mengakses modal. Penggunaan input sebaiknya disesuaikan dengan standar Nasional Indonesia, sehingga produksi dapat teroptimalkan. Misalnya dalam padat tebar nener perlu ditingkatkan lagi, yaitu 5 000 ekor nener untuk budidaya teknologi tradisional dan 8 000-12 000 ekor nener untuk budidaya semi-intensif. Penggunaan pakan disesuaikan standar yaitu 3 persen dari biomasa bandeng. Perlunya penyuluhan dan pendampingan petani karena berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden belum adanya penyuluhan dari Dinas Perikanan. Sehingga informasi maupun teknologi terbaru terkait budidaya bandeng dapat tersampaikan. Tingkat mortalitas dapat diminimalisir dengan penggunaan benih bandeng berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA Afaf N. 2004. Prospek pengembangan usaha pembesaran ikan bandeng di Desa Muara Kecamatan Cilamaya Wetan Kabupaten Karawang Propinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Amalia P. 2014. Analisis pendapatan usahatani pembenihan lele dumbo dan sangkuriang di Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ashari R. 2011. Analisis kelayakan usaha budidaya ikan nila (oreochromis niloticus) dan ikan bandeng (Chanos chanos) di Desa Kanaungan Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep. [Skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Apriani LN. 2011. Analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani bawang merah (studi kasus: Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Beattie BR., Taylor CR 1985. The Economics of Production. New York (US): Wiley. Ekaningtias D. 2011. Analisis pendapatan dan efisiensi teknis usahatani bayam Jepang (Horenso) Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Finanda IT. 2011. Analisis efisiensi produksi dan pendapatan usaha pembesaran lele dumbo (studi kasus: CV. Jumbo Bintang Lestari). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. FitzGerald, William J. 2004. Milkfish aquaculture in the Pacific: Potential for the Tuna Longline Fishery Bait Market. New Caledonia (NC): SPC Headquarters.
42 Guntur B. 2011. Analisis usahatani ikan lele bapukan (Clarias gariepinus) di Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Harcrow GH. 1981. Economic of Agricultural. Japan: MiGraw-Hill.Inc. Hasanudin. 2011. Efisiensi teknis dan pendapatan pembenihan ikan patin di Kota Metro Lampun. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hernanto F. 1991. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Kaunang, Sandra DE. 2006. Analisis land rent pemanfaatan lahan tambak di wilayah pesisir Kabupaten Serang Provinsi Banten. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana Institut Petanian Bogor. Kordi KM, Ghufran H. 2010. Nikmat Rasanya, Nikmat Untungnya-Pintar Budidaya Ikan di Tambak Secara Intensif. Yogyakarta (ID): Andi Yogyakarta. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Produksi ikan bandeng di Indonesia tahun 2020-2013. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Volume produksi perikanan tahun 2003-2013. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. Larasati. 2008. Analisis penawaran ikan bandeng di Kabupaten Pati. [Skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Leung O, Khem RS. 2001. Economics and management shrimp and crap farming in Asia: Collection of Research Paper Based on the ADB/NACA Farm Performance Survey. Thailand (TH): Network of Aquaculture Centers in Asia-Pasific. Ling BH, PingSun L, Yung CS. 2001. Comparing Asian shrimp farming: the domestic resource cost (DRC) approach. Collection of Research Paper Based on the ADB/NACA Farm Performance Survey. Thailand (TH): Network of Aquaculture Centers in Asia-Pasific. Martinez FS et al. 2006. Milkfish (Chanos chanos) culture: situations and trends. J. Fish. Soc. Taiwan (TW) 33(3): 229-244 Martosudamo B, Ranoemihardjo. 1992. Rekayasa Tambak. Jakarta (ID): PT Penebar Swadaya. Mujiman A, Suyanto. 2004. Budidaya Udang Windu. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Murtidjo BA. 2002. Budidaya Dan Pembenihan Bandeng. Yogyakarta (ID): Kanisius Nugroho MH. 2008. Analisis pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil produksi pembenihan ikan gurami petani bersertifikat SNI (Kasus di Desa Beji Kecamatan Kedung Banteng Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rachmatun S, Mudjiman. 1995. Budidaya Udang Windu. Jakarta (ID): Penebar Swadaya Salvator D. 2005. Ekonomi Manajerial. Ichsan Styo Budi, penerjemah; Palupi Wuriati, editor. Jakarta (ID): Salemba Empat. Terjemahan dari: Managerial Economics. Ed ke-5 Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta (ID): UI Press
43 Soekartawi, Soeharjo A, Dillon JHJ. 1985. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Dillon JL, Hardaker JB, Penerjemah; Jakarta (ID): UI Press. Terjemahan dari: Farm Management Research for Small Development. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta (ID): Penerbit UI. Soekartawi, et al. 2011. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): Penerbit UI. Sudradjat, A dkk. 2011. Teknologi Budidaya Ikan Bandeng. Jakarta (ID): Badan Penetian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Trisnani K. 2013. Analisis pendapatan dan efisiensi produksi usahatani budidaya pembesaran ikan mas dan nila pada keramba jaring apung ganda (Studi Kasus Waduk Cirata Desa Bobojong Kecamatan Mande Kabupaten Cianjur). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zelvina O. 2009. Analisis pendapatan usaha pembenihan dan pemasaran benih ikan patin di Desa Tegal Waru Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zulkarnaen A. 2004. Analisis efisiensi faktor produksi ikan bandeng di PT. Muara Biru Kamal Jakarta. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
44
LAMPIRAN Lampiran 1 Konsumsi ikan di Indonesia
Sumber : KKP (2013).
Lampiran 2 Sentra produksi bandeng di Indonesia tahun 2010-2012 (dalam ton)
Propinsi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sumber : KKP (2013).
66 146.00 57 201.00 76 937.00 78 181.00
76 545.00 64 305.00 80 545.00 87 309.00
74 680.00 63 631.00 76 211.00 89 708.00
Rata-rata kenaikan 2010-2013 (%) 6.6 5.6 0.3 7.2
32 812.00
34 158.00
42 733.00
1.4
2010
2011
2012
45 Lampiran 3 Produksi bandeng Kabupaten Karawang tahun 2008-2013 (dalam ton) 17.500 17.000 16.500 16.000 15.500 15.000 14.500 2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : DKP Kabupaten Karawang (2014).
Lampiran 4 Luas areal tambak yang dimanfaatkan di Kabupaten Karawang (dalam Ha) 15.000,00 14.500,00 14.000,00 13.500,00 13.000,00 12.500,00 2008
2009
2010
2011
2013
Sumber : DKP Kabupaten Karawang (2014).
Lampiran 5 Luas tambak, jumlah RTP, dan produksi bandeng masing-masing kecamatan di Kabupaten Karawang tahun 2013 Kecamatan Batujaya Cibuaya Cilamaya kulon Cilamaya wetan Cilebar Pakisjaya Pedes Tempuran Tirtajaya
Luas Areal Budidaya (Ha) Jumlah RTP Produksi bandeng Potensi Dimanfaatkan 2 486.60 1 587.20 96 1 919.67 4 571.00 4 571.00 2 161 1 419.78 79.00 79.00 100 163.67 1 133.25 833.80 506 1 222.33 909.00 909.00 221 624.87 2 049.60 2049.60 287 4 467.41 565.00 561.00 36 1 074.34 663.20 663.20 227 906.34 4 700.00 3575.00 1 547 5 024.39
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karawang (2014).
46 Lampiran 6 Biaya penyusutan a. Biaya penyusutan per musim budidaya teknologi tradisional (7.93 bulan) Peralatan
Jumlah
Harga (Rp000)
Umur (tahun)
Mesin penyedot air 0.22 2 351 Timbangan 0.14 90 Serok 0.34 317 Jala 0.13 110 Rumah Jaga 0.30 2 955 Cangkul 0.35 58 Waring 35.01 4 Total penyusutan/musim budidaya b.
5.05 4.09 3.82 4.18 8.13 3.77 4.00
Penyusutan per tahun (Rp000) 102 3 28 3 109 5 43 295
Penyusutan per periode (Rp000) 67 2 18 2 72 3 28 195
Biaya penyusutan per musim budidaya teknologi semi-intensif (5.32 bulan) Peralatan
Jumlah
Harga (Rp000)
Umur (tahun)
Mesin penyedot air 0.23 3 324 5.48 Timbangan 0.13 192 3.29 Serok 0.37 318 3.35 Jala 0.02 387 4.25 Rumah Jaga 0.23 3 348 10.67 Cangkul 0.25 58 2.88 Waring 43.24 3 3.02 Total Penyusutan/musim budidaya
Penyusutan per tahun (Rp000) 139 7 34 1 71 4 55 315
Penyusutan per periode (Rp000) 61 3 15 852 31 2 24 137
47 Lampiran 7 R/C rasio per responden berdasarkan teknologi budidaya No Resp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Max Min Stad Dev Coef Var
Teknologi Tradisional Total biaya Penerimaan (Rp000) (Rp000) 3 526 4 704 3 375 3 150 3 593 5 550 4 697 6 194 2 337 5 464 5 689 6 846 5 468 10 099 5 179 6 898 5 011 8 107 2 947 2 107 7 001 31 259 4 496 4 050 3 474 3 231 3 105 2 025 3 962 13 166 3 519 1 864 3 136 2 640 3 190 2 383 6 584 10 585 2 860 4 305 2 895 1 823 4 674 9 180 6 368 12 277 4 444 9 345 3 501 5 578 4 321 5 432 3 658 4 479 5 056 9 006 4 253 4 108 3 464 4 317
R/C 1.33 0.93 1.54 1.32 2.34 1.20 1.85 1.33 1.62 0.72 4.46 0.90 0.93 0.65 3.32 0.53 0.84 0.75 1.61 1.51 0.63 1.96 1.93 2.10 1.59 1.26 1.22 1.78 0.97 1.25
4.46 0.53 0.82 0.55
Teknologi Semi-intensif Total biaya Penerimaan (Rp000) (Rp000) 14 045 25 362 14 353 22 869 7 876 13 441 15 237 9 017 14 311 26 588 17 987 27 072 7 432 12 721 7 198 9 873 8 168 5 499 9 235 14 277 7 568 12 472 4 380 4 830 12 918 19 970 6 166 8 212 10 980 14 862 1 2384 13 830 8 077 10 570 7 077 8 850 11 688 18 488 10 146 22 308 8 887 15 666 17 150 18 980 10 610 18 515 11 985 16 137 9 106 11 345 14 111 19 519 10 933 21 725 11 690 10 687 17 611 5 973 9 972 15 198 10 603 14 448 8 022 13 257 12 261 20 007
R/C 1.81 1.59 1.71 0.59 1.86 1.51 1.71 1.37 0.67 1.55 1.65 1.10 1.55 1.33 1.35 1.12 1.31 1.25 1.58 2.20 1.76 1.11 1.74 1.35 1.25 1.38 1.99 0.91 0.34 1.52 1.36 1.65 1 63 2.20 0.34 0.39 0.28
48 Lampiran 8 Perhitungan mortalitas per hektar No. Resp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Jumlah awal (ekor) 2 500 2 500 3 500 3 125 1 428 4 285 4 800 5 000 2 777 2 105 7 407 3 571 2 857 2 395 4 166 1 428 1 923 2 684 4 000 2 212 1 315 6 000 4 444 4 000 3 125 2 365 2 162 3 333 3 200 1 351
Teknologi Tradisional Panen (ekor) Mati (ekor) Mortalitas (%) 2 058 442 17.68 1 837 662 26.50 1 850 1 650 47.14 2 563 561 17.98 910 517 36.25 3 550 735 17.17 3 787 1 012 21.10 3 714 1 285 25.71 2 316 461 16.61 1 204 901 42.80 4 688 2 718 36.70 2 700 871 24.40 1 988 868 30.40 1 402 993 41.46 3 291 875 21.00 1 147 281 19.68 1 540 383 19.92 2 145 539 20.08 2 646 1 353 33.84 1 845 367 16.60 911 403 30.70 4 284 1 716 28.60 3611 833 18.75 3 337 662 16.56 2 390 734 23.50 1 940 425 18.00 1 791 370 17.13 3 002 331 9.93 2 396 803 25.10 1 151 200 14.80
49 No. Resp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Jumlah awal (ekor) 3 947 5 000 4 518 4 411 4 285 7 500 4 385 4 000 5 000 4 807 2 884 2 962 5 555 3 750 5 714 4 000 4 319 3 571 7 968 6 000 4 166 4 166 4 192 5 142 3 750 3 571 4 444 3 500 2 800 6 033 4 000 4 081 5 000
Teknologi Semi-intensif Panen (ekor) Mati (ekor) 2 669 1 277 4 158 842 3 953 564 3 220 1 191 3 692 592 6 188 1 312 3 180 1 205 3 185 815 4 230 770 4 605 201 2 200 683 2 146 816 3 744 1 811 3 285 465 3 963 1 750 3 457 542 2 349 1 970 2 950 621 6 162 1 805 5 408 592 3 133 1 033 2 875 1 290 4 114 78 4 034 1 108 2 836 913 2 568 1 003 3 950 494 2 850 650 2 180 620 3 799 2 233 3 612 388 3 314 767 4 446 554
Mortalitas (%) 32.37 16.84 12.50 27.00 13.83 17.49 27.49 20.38 15.40 4.20 23.70 27.55 32.60 12.40 30.64 13.56 45.62 17.40 22.66 9.87 24.80 30.98 1.87 21.56 24.37 28.09 11.13 18.57 22.14 37.02 9.70 18.80 11.08
50 Lampiran 9 Hasil output SPSS uji t independent terhadap penggunaan nener pupuk urea HOK produktivitas biaya total penerimaan dan R/C
51
52 Lampiran 10 Dokumentasi
Pengolahan tambak
Kegiatan pemberian pakan pellet
Pemberian pakan roti
Pakan pellet
Lodan
Ursal
53
Pupuk Urea dan TSP
Pengangkutan bandeng
Pemanenan
Bandeng hasil panen
Pemanenan
Pintu air (serok)
54
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 12 Juni 1993. Penulis merupakan putri pertama dari keluarga Bapak Ikrom dan Ibu Sri Wilujeng. Penulis anak pertama dari tiga bersaudara. Adik pertama Ahmad Nur Khafidz sekarang duduk dibangku SMP kelas 3 dan adik kedua Ahmad A’izzal Barid Ikrom duduk dibangku Taman Kanak-kanak. Pendidikan akademis penulis dimulai sejak tahun 1998 dengan bersekolah di TK Pamekar Budi Desa Dororejo Kecamatan Tayu Kabupaten Pati. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2005 di SD N Luwang 1 kemudian melanjutkan di SMPN 1 Tayu dan lulus pada tahun 2008, setalah itu melanjutkan sekolah menengah atas (SMA) N 1 Pati lulus pada tahun 2011. Penulis diterima di IPB melalui jalur SNMPTN Undangan di Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama menjalani masa studi penulis aktif diberbagai organisasi yaitu Ketua Lorong 9 di Asrama Putri TPB A3 sekretaris umum OMDA (Organisasi Daerah) Pati tahun 2012, anggota Kopma IPB dari tahun 2011 sampai sekarang Anggota HIPMA Departemen Sosial dan Lingkungan tahun 2012-2013. Sedangkan prestasi yang diraih selama masa studi yaitu Juara 1 Business Plan yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama tahun 2012, Asisten Dosen terbaik ke-II Mata Kuliah Ekonomi Umum tahun 2013, peserta Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan tahun 2012. Peserta Pendanaan Dana Hibah Dikti Program Kreatvitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat tahun 2015, penulis juga terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Magister Sains Agribisnis Departemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor melalui program akselarasi S1 dan S2 (Fast track) dan dari semester 4 sampai sekarang penulis bekerja sebagai Asisten pratikum mata kuliah Ekonomi Umum dan pendiri bimbingan belajar Simple Study.