MENGUAK KEHIDUPAN KAUM WANITA JEPANG Ina Ika Pratita* Abstract To most Japanese women, family is like a fort that has to be protected and defended. Mothers become the center of all family activities. A mother plays a big role to her children, so women's activities are commonly carried out in domestic domain. This implies that a woman doing more outdoor activities and working for the sake of family's earnings would be considered breaking from Japanese traditional values. Key words: life of Japanese women, sex equality before law, modernism. A. Pendahuluan Sosok wanita dalam kehidupan selalu menarik untuk disimak. Setiap segi kehidupan wanita selalu muncul suatu pemikiran yang membedakan dalam dua sudut pandang (dikotomis) dengan pria. Wanita diletakkan sebagai “the second sex” yang berarti bahwa pria selalu terhormat dan dianggap penting. Anggapan bahwa wanita sebagai “the second sex” yang berarti mendudukkan wanita pada pemikiran bahwa wanita hanya dikodratkan sebagai makhluk lemah yang harus dilindungi oleh pria. Sebagai pelindung, maka pria berwenang untuk mengatur rumah tangga dan kehidupan wanita, sehingga wanita seolah-olah terkekang. Kehidupan kaum wanita Jepang sama seperti wanita-wanita bangsa lain di dunia ini, terutama wanita lain dari kawasan dunia sebelah timur. Perjuangan untuk menunjukkan bagaimana sebenarnya dunia realita wanita itu yang bersama-sama pria menghuni dunia ini tampaknya belum membuahkan hasil seperti apa yang diinginkan mereka. Menurut Reischauer dalam Manusia Jepang (1982:280), dalam hal women's lib (gerakan emansipasi wanita), sebetulnya wanita Jepang dewasa ini lebih *
Dra. Ina Ika Pratita, M.Hum. adalah staf pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya dan Kepala Pusat Kajian Jepang Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya
135
Ina Ika Pratita, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang
leluasa dalam mengekspresikan dirinya dalam kehidupan sosialnya. Hal ini dikarenakan modernisasi yang pesat terutama dalam bidang perekonomian. Tetapi pada kenyataannya, kaum wanita Jepang kurang menyambut gerakan ini, dengan penyebab yang tidak diketahui. Kemungkinan karena mereka merasa mempunyai peran yang dominan dalam keluarganya, walaupun sebetulnya mereka merasa tertindas. Negara Jepang sudah lama membuka diri terhadap dunia luar yang ditengarai semenjak kekaisaran Meiji, telah berlangsung hampir satu setengah abad, namun masih belum mampu menunjukkan bagaimana seharusnya dunia realita wanita Jepang berada bersama-sama dengan realita dunia pria. Agaknya cengkeraman kebudayaan lama yang masih kental, pandangan berat sebelah terhadap kedudukan kaum wanita dalam masyarakat Jepang masih belum berubah banyak. Sedangkan sebagian besar kaum wanita Jepang sendiri tampak belum mampu untuk keluar dari cengkeraman masa lampau yang membelenggu mereka (Haryono, 1999:126-127). Hal ini menunjang pernyataan dari Reischaeur (1982:273-274) yang menyatakan bahwa imej tentang citra wanita Jepang, terkenal dengan sosok yang patuh dan ada dibelakang pria Jepang. Lingkungan sosial Jepang tidak membiarkan adanya kemesraan suami isteri yang ditujukan secara terang-terangan. Kebanyakan para suami membahasakan istrinya dengan kanai (penjaga rumah), para suami tidak pernah membawa istrinya pada jamuanjamuan yang berhubungan dengan urusan kerja (Reischaeur, 1982:273-274). Maka dapat dimengerti mengapa sampai sekarang pada resepsi atau undangan makan wanita yang harus dibaca isteri hampir tidak pernah atau jarang dilibatkan. Sedangkan iateri itu sendiri tidaklah menganggap hal itu terlalu penting, selain pertemuan itu dianggap berbau bisnis, hal itu bukanlah hal yang merendahkan martabat mereka. Mereka lebih menikmati kekuasaan di rumah itu suatu hal yang efektif dan suatu kenikmatan. Angin segar yang dirasakan oleh kaum wanita untuk menentukan keberadaannya dalam dunia ini rupanya tidak berjalan dengan mulus. Akar budaya tradisi yang masih kuat yang sangat mempengaruhi cara berpikir masyarakat Jepang belum mampu dikikis oleh perubahan sosial akibat adanya demokratisasi dan kemampuan ekonomi serta tingginya standar hidup masyarakat Jepang. Adanya kesenjangan-kesenjangan yang sudah menanmpakkan gejalanya pada era kekaisaran Meiji pada permulaan tumbuhnya industri merupakan benih-benih
136
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
tuntutan perbaikan status wanita pekerja. Tuntutan itu baru jadi kenyataan pada masa sesudah PD II. Pada tahun 1947 pada Undang-undang Dasar , pasal 14 menunjukkan adanya perbaikan hukum antara wanita dan pria yang menghapuskan diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi atau sosial diantara keduanya. Disamping itu hukum perdata dan perundang-undangan mengenai pemilihan, dan perburuhan juga direvisi sesuai dengan prinsip persamaan dua jenis kelamin itu. B.
Kepribadian Hakiki Wanita Jepang Wanita Jepang memiliki kepribadian yang sangat dikagumi oleh sebagian besar orang yang pernah melihat dan mengalami hidup di tengah masyarakat Jepang. Berbagai pujian pun diberikan untuk memberikan gambaran tentang kepribadian wanita Jepang dalam kesehariannya. Sir Edwind Arnold dalam Watt (1988), memberikan gambaran mengenai wanita Jepang yakni, Dia (wanita Jepang), pada kenyataannya adalah wanita yang paling tidak egois, tidak mementingkan diri sendiri, penurut, sabar, paling penuh perhatian dan menyenangkan; dan saya percaya sepenuhnya bahwa ia lebih setia kepada bentuk kejujurannya yang terbatas dan kuno, namun penuh keunggulan, bila dibandingkan dengan wanita dari negara lain. Ditambahkan pula oleh L.Mervin Maus dalam Watt (1988) bahwa wanita Jepang itu lemah lembut dan sopan, dan bergerak tanpa suara layaknya seekor kucing; disamping itu, mereka menyenangkan di semua kesempatan, ramah dan tersenyum ketika memberi pelayanan, dan berterima kasih dengan cara yang ektrem untuk tip biasa yang selalu dating sebagai kejutan yang menyenangkan. Dari ungkapan-ungkapan di atas dapat dikatakan bahwa wanita Jepang adalah pribadi yang penuh pengabdian, lemah lembut, ramah, sopan, dan menyenangkan. Benar-benar kepribadian yang diidamkan oleh kebanyakan pria. C. Ibu Rumah Tangga Jepang Seorang wanita dalam memasuki dunia perkawinan begitu banyak hal yang masih harus dipegang teguh dan dijalankan dengan patuh. Bahkan dapat dikatakan bahwa dunia perkawinan adalah puncak dari pengabdian seorang wanita terhadap kaum pria. Dalam sistem patriarki, pria memiliki hak untuk memerintah. Kata patriarki sendiri berarti kekuasaan sang ayah (Bhasin dan Khan, 1995:25). Dalam
137
Ina Ika Pratita, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang
sistem ini tugas wanita di dalam keluarga sangat berat. Wanita yang bekerja di luar rumah tetap harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Jadi wanita menjalani kerja rangkap dan beban ganda yaitu beban pekerjaan dengan upah dan beban pekerjaan tanpa upah (dalam rumah tangga) (Bhasin dan Khan, 1995:27-28). Sesungguhnya, pria Jepang adalah orang yang beruntung karena seluruh halhal kecil yang penting dalam hidupnya telah diatur oleh istrinya yang bijaksana, baik, penuh perhatian, selalu melayani, juga selalu ada untuk menghapus kekhawatirannya (Bacon dalam Watt, 1988:18). Namun satu-satunya orang yang tidak menghargai kehadiran wanita Jepang justru adalah pria Jepang itu sendiri (Arnold dalam Watt, 1988:19). Seringkali para suami memperlihatkan kelemahankelemahan pribadinya dan mengakibatkan problem-problem keluarga. Di pihak lain, wanita diharpkan memiliki watak yang kuat, senantiasa “seperti wanita terhormat”, dan menjaga persatuan keluarga. Dan sebagian besar dari mereka memenuhi harapan-harapan ini (Reischeur, 1982:276). Hal ini senada dengan pendapat Haryono yang mengatakan bahwa kenyataan membuktikan bahwasanya wanita Jepang sebagai penguasa kedaulatan dalam rumah tangganya, sebagai pemegang kendali di dalam negerinya berkuasa penuh atas kedaulatan wilayahnya itu. Dia adalah pengatur jalannya pengeluaran keuangan rumah tangganya, pengatur jalan rumah tangganya dan bahkan penentu politik rumah tangganya. Sampai-sampai mereka juga mengatur keperluan sang suami dalam kesehariharinya. (Haryono, 1999:116). Mungkin saja sang istri adalah anggota yang berkuasa dalam keluarga, tetapi kaum wanita masih menduduki posisi yang sangat rendah dalam masyarakat yang lebih luas (Reischaeur, 1982:274). Terlihat dari uraian di atas bahwa penguasa tunggal rumah tangga adalah ibu yang dalam hal ini dianggap sebagai simbol wanita. Wanita yang sudah kawin diharapkan jauh lebih setia ketimbang pria. Benar-benar mereka tidak mempunyai kehidupan sosial di luar keluarga. Kecuali sejumlah kecil sekali di kalangan atas masyarakat yang mungkin turut serta dengan kikuk dan tidak gembira dalam perjamuan-perjamuan resmi, biasanya perjamuan-perjamuan yang juga dihadiri oleh orang-orang asing, wanita yang sudah menikah tidak keluar bersama suaminya ke jamuan-jamuan makan dan pesta-pesta atau menjamu orang-orang asing di rumah-rumah mereka, yang biasanya begitu kecil, sehingga tidak memungkinkan jenis hubungan seperti ini. Kehidupan mereka mungkin terbatas pada suami, anak-anak, beberapa kerabat dekat, beberapa orang teman sekolah
138
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
lama, dan barangkali kegiatan-kegiatan sosial. (Reischaeur, 1982:273-274). Dilanjutkan pula oleh Reischaeur, (1982:274-275) dalam ceritanya berikut ini melaui contoh-contoh yang kecil tetapi berarti Saya ingat benar bahwa dalam tahun 1920-an seorang istri kiranya harus berjalan selangkah di belakang suaminya di jalan raya, mungkin dibebani bayi atau bungkusan apa saja yang harus dibawa, sedangkan sang suami gagah melenggang sebagai tuan. Bertahun-tahun kemudian saya melihat istri berhasil mengejar suaminya, sehingga mereka kini berjalan berdampingan, dan bayi ataupun bungkusan sering ada dalam tangan si suami. Kalau ada mobil keluarga, mungkin istri mengemudikannya hampir sama saja seperti suaminya. Bila dahulu tak seorang suami pun yang mau membungkuk untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, kini makin bertambah jumlah mereka yang turut membantu mencuci piring pada malam hari. Dan banyak istri yang secara tegas menyatakan bahwa tidak mau membiarkan suaminya singgahsinggah di bar atau menghabis-habiskan waktu secara lain. Tak seorang pun dapat mengatakan sejauh mana kecenderungan-kecenderungan ini akan berkembang, tetapi arahnya tidak boleh tidak menuju patokan tunggal entah untuk saling memperbolehkan satu sama lain entah saling hormat dan setia di pihak lain. Dari ilustrasi di atas, dapat dikatakan bahwa di dalam kehidupan ini, wanita memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan teman hidupnya yakni pria sebagai mitra hidupnya, selayaknyalah wanita berada di tempat sejajar dengan kaum pria. Akan tetapi pada kenyataannya eksisitensi kaum wanita terkadang masih tertutup oleh dominasi lawan jenisnya. Oleh sebab itu untuk menduduki posisi sebagai subjek, wanita harus mencapai kemandirian. Satu diantara jalan yang ditempuh adalah dengan memberi kesempatan bagi wanita untuk mendapatkan pendidikan yang memungkinkan dia mengasah daya pikirnya, sehingga dia akan mampu mengembangkan dirinya lebih lanjut, yakni mencapai kemandirian ekonomis. Hidupnya tidak tergantung lagi pada pria, khususnya dalam hal intelektualitas dan keuangan (Djayanegara, 2000:5). Dalam menjalani kehidupannya wanita mempunyai sifat dan kepribadian yang khas dibandingkan dengan pria. Wanita dapat merealisasikan dirinya dengan bakat dan potensi yang dimilikinya untuk memperjuangkan eksistensinya secara
139
Ina Ika Pratita, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang
khusus dan manusiawi. Dalam keberadaannya di dunia, wanita mempunyai hubungan tertentu dengan realitas, sehingga ia sanggup melepaskan diri dari situasi sekarang dan disisi lain menuju hari esok (Kartono, 1992:10) D. Realita Persamaan Secara Hukum Bagi Pria dan Wanita Jepang Untuk mewujudkan emansipasi wanita, banyak sekali rintangan yang dihadap dalam masyarakat Jepang. Rintangan-rintangan tersebut berasal dari dalam diri wanita sendiri maupun berasal dari masyarakat Jepang. Perwujudan emansipasi di Jepang juga memerlukan waktu yang cukup lama. Walaupun usaha ataupun gerakan emansipasi wanita sudah dimulai sejak jaman Meiji, namun hasil dari gerakan itu masih belum sepenuhnya dapat dirasakan. Berbagai kalangan sangat membantu dalam mewujudkan emansipasi ini.Banyak tokoh-tokoh ataupun dari pemerintah Jepang sendiri yang membantu perwujudan emansipasi wanita di Jepang. Tindakan pemerintah itu antara lain mengeluarkan undangundang yang intinya berusaha memperoleh persamaan hak antara pria dan wanita. Perubahan dalam pola kehidupan wanita dapat dikatakan terutama berkat keadaan sosial dan ekonomi tapi faktor dasar lainnya di balik perubahan tersebut adalah tercapainya persamaan secara hukum bagi pria dan wanita. Hal ini terlihat adanya perubahan sikap orang Jepang terhadap kaum wanitanya sebagai akibat masuknya kebudayaan barat dan keterbukaannya itu pada kehidupan bangsa Jepang. Dengan bermunculannya industri-industri yang dibarengi pula dengan meningkatnya sumber daya wanita lantaran mereka memperoleh kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum pria mendorong kaum wanita untuk meninggalkan sarangnya untuk bekerja di luar rumah dengan mendapatkan upah. Konstitusi Jepang yang mulai berlaku pada tahun 1947, mendukung prinsip persamaan antara pria dan wanita. Pasal 14 dari Undang-undang Dasar dimulai dengan: “Semua orang sama menurut undang-undang dan tidak akan ada diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi atau sosial dikarenakan ras, kepercayaan, jenis kelamin, status sosial ataupun asal keluarga.” Sesuai dengan Konstitusi, Hukum Perdata telah direformasi untuk menghapus status hokum dari ie , sistem keluarga yang merupakan unit dasar dari masyarakat tradisional Jepang, dan menjamin persamaan antara suami dan istri dalam hak-hak harta benda, warisan, perkawinan, dan perawatan anak. Undang-
140
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
Undang Pokok Pendidikan juga telah diamandemen untuk memberi kesempatan pandidikan yang sama bagi anak laki-laki dan perempuan. Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan kini menetapkan bahwa pria dan wanita harus mendapat upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama. Pria dan wanita dewasa ini mempunyai hak yang sama untuk memberi suara dan untuk dipilih memegang jabatan. Dalam reformasi Hukum Perdata yang dibuat pada tahun 1979 disebutkan bahwa bagian istri atas sebuah warisan dinaikkan dari sepertiga menjadi separoh. Secara hukum, persamaan antara pria dan wanita hampir tercapai semua. E.
Kemajuan Wanita Jepang Pada majalah Aneka Jepang terbitan tahun 1992 ada suatu hal yang menarik untuk dikemukakan mengenai perintis kemajuan wanita Jepang yakni Umeko Tsuda. Beliau adalah pendiri Joshi Eigaku Juku (sekolah Bahasa Inggris untuk putri), yang merupakan cikal- bakal dari Tsuda College yang dewasa ini merupakan salah satu dari lembaga pendidikan wanita yang terkemuka di Jepang. Meski sebagian besar usahanya ditujukan untuk peningkatan pengajaran bahasa Inggris, Umeko amat menekankan daya upaya untuk membantu kaum wanita agar dapat berdikari. Umeko Tsuda belajar di luar negeri selama 17 tahun dan mengabdikan semua pengetahuannya untuk meningkatkan pendidikan kaum wanita Jepang. Yang menarik dari Umeko Tsuda adalah citranya yang tidak mementingkan diri sendiri serta ketulusikhlasannya, seorang wanita yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi pembebasan dan pendidikan kaum wanita Jepang. Berkat perjuangannya, tercatat pada tahun 1987 bahwa dari jumlah siswi lulusan SMTP, 95,3% melanjutkan studi ke SMTA. Prosentasi ini lebih tinggi daripada prosentasi untuk anak laki-laki. Satu dari setiap tiga orang siswi lulusan SMTA meneruskan pelajaran ke Universitas atau Junior College (semacam akademi). Berdasarkan majalah The Association for Overseas Technical Scholarship (1994:15), pada tahun 1990 prosentasi angkatan kerja wanita mencapai 50,1%. Hal ini memang menunjukkan perubahan yang luar biasa, karena pada tahun 1987 sudah ada sekitar 45,7% tenaga kerja wanita. Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja bagi kaum wanita karena meningkatnya sumber daya manusia mereka, karena meningkatnya pendidikan mereka terutama pada bidang pendidikan tinggi. Kemudahan-kemudahan yang disediakan
141
Ina Ika Pratita, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang
teknologi pada industri, menyebabkan kaum wanita mendapatkan kemudahan dalam penyelenggaraan pekerjaan rumah tangganya yang dibarengi dengan menurunnya pekerjaan yang memerlukan tenaga fisik. Selain itu semakin tingginya pendidikan yang diperoleh kaum wanita dan makin longgarnya keterikatan mereka pada tugas rumah tangganya, maka makin terbuka kesempatan mereka untuk mencari pekerjaan sebagai pengisi waktu luangnya yang akhirnya pekerjaan itu bukan lagi hanya sekedar pengisi waktu luang tapi sudah berubah menjadi suatu kedudukan yang tetap. Wanita sudah bisa memasuki lapangan pekerjaan seperti halnya pria. Walaupun wanita sudah bisa bekerja seperti pria, namun masih ada diskriminasi wanita dalam pekerjaan. Perbedaan gender masih mendominasi pria untuk memegang jabatan-jabatan penting. Selain dari masalah jabatan, pemberian upahpun wanita masih mengalami diskriminasi. Humm menyatajkan bahwa diskriminasi sendiri adalah suatu proses panjang interaksi antar patriarki dan kapitalisme. Diskriminasi sendiri tidak dapat berakhir tanpa penghapusan pembagian kerja yang jelas secara seksual (Humm,2002:112). Alasan yang membuat perusahaan masih memandang pekerja wanita dengan sebelah mata, karena pada kenyataannya wanita tidak dapat bekerja dalam waktu yang lama. Orang yang bekerja dalam waktu yang lama dapat meningkatkan produktifitas dan merupakan investasi perusahaan yang bagus. Wanita yang dianggap sering berhenti bekerja pada saat mereka menikah, melahirkan atau merawat anak ataupun pindah kerja ke pekerjaan lain yang dianggap lebih bagus, menyebabkan perusahan lebih memilih pria untuk tugas yang memerlukan tanggung jawab besar. Hal ini sesuai dengan yang ditulis dalam Pacific Friend (2001:26) yaitu dari sudut pandang perusahaan, ketika pengeluaran untuk sumber daya manusia bertambah, sesorang yang dapat bekerja dalam waktu yang lama akan dapat memajukan produktifitas dan investasi yang bagus. Wanita akan sering berhenti bekerja ketika mereka menikah, merawat anak, atau akan pindah ke tempat yang lebih bagus. Dengan adanya kenyataan tersebut pemerintah Jepang tetap berusaha agar hak wanita dapat sejajar dengan pria. Baik itu hak untuk penggajian ataupun yang lainnya. Dan wanita bisa menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Seiring dengan berkembangnya hal tersebut di atas, pada majalah Aneka Jepang 1992, dimuat sebuah artikel yang berjudul OL Belajar ke Luar Negeri yang
142
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
perlu disimak. Dalam artikel itu dikatakan bahwa beberapa tahun belakangan ini terjadi boom belajar ke luar negeri. Banyak OL (Office Ladies, para gadis karyawan kantor) pergi ke luar negeri untuk belajar dan hal ini sudah menjadi bagian yang lumrah dalam kehidupan Jepang masa kini. Kebanyakan mereka berusia di atas 20 dan 30 an. Meski seperti sebelumnya, kebanyakan pergi ke luar negeri untuk belajar bahasa asing, kecenderungan kini telah beralih karena para wanita tersebut menganggap belajar ke luar negeri merupakan jalan untuk membantu mereka bergerak ke jenjang atas dalam perusahaan. Para pelancong baru ini meninggalkan pekerjaan mereka, terbang ke luar negeri dengan tujuan agar kelak memperoleh pekerjaan yang menarik yang menantang kecerdasan mereka dan memberikan tugas yang memerlukan tanggung jawab besar. Mereka tengah berusaha menunjang niat mempunyai karier yang akan diemban seumur hidup. Penasihat kepala dari ICS (International Cultural Studies and Educations ) di Tokyo, Yoshiko Fujinobe, mengidentifikasi para wanita yang belajar ke luar negeri dalam dua kategori. Mereka yang pergi dengan motivasi karier, yakni dengan harapan agar kelak dengan tambahan pengetahuan kariernya akan meningkat. Ada pula mereka yang telah bekerja beberapa tahun lamanya dan akhirnya berlibur ke luar negeri sebagai penyegaran. Apapun kategorinya, mereka berharap dapat bekerja kembali sekembali di Jepang. Usia mereka berkisar 20 tahun hingga pertengahan 30 tahun.. Usia wanita bekerja di jepang rata-rata 20 tahun hingga kurang lebih 50 tahun. Karena pada usia sekitar 20 tahun itu wanita sudah lulus dari college dan siap bekerja. Pada usia 50 tahun wanita harus menjalani masa pensiun. Kaum wanita menyadari bahwa sudah lewat masanya bahwa belajar di luar negeri langsung mempermudah segala-galanya. Dengan demikian, kini mereka pergi ke luar negeri untuk belajar dengan tujuan yang lebih jelas. Itu pun masih belum cukup. Di masa mendatang mereka harus melakukan pendekatan strategis, mendapatkan ketrampilan/kemampuan yang benar-benar dibutuhkan oleh pasar Jepang, atau membawa skill baru ke Jepang dan membentuk pasar baru. Adanya perubahan sosial akibat perkembangan ekonomi setelah PD II semakin menyadarkan wanita Jepang untuk menuntut persamaan haknya dengan kaum prianya. Dan puncak perjuangan kaum wanita yang paling ekstrem seperti yang diceritakan oleh Haryono (1999:128) adalah kecenderungan wanita Jepang yang tidak ingin menikah demi mempertahankan keberadaannnya di tengah-
143
Ina Ika Pratita, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang
tengah masyarakatnya, agar tidak dianggap sebagai warga negara kelas dua. Dikatakan pula oleh Haryono (1999:122) bahwa kecenderungan wanita muda Jepang untuk tidak menikah merupakan reaksi terhadap tudingan bahwa wanita itu berada dalam posisi lemah. Melalui demokratisasi seluruh sistem sosial menyebabkan kaum wanita menyadari akan haknya sebagai manusia yang harus mampu menunjukkan bahwa dari segi mencari nafkah untuk mendukung hidupnya, wanita ternyata dapat mencari nafkahnya sendiri. Pernyataan di atas memperkuat pernyataan Benedict, yang menyatakan bahwa kecenderungan wanita Jepang untuk tidak menikah, jika calon suaminya anak pertama dan ibunya masih hidup, walaupun cinta. Karena penerus generasi ada dianak laki-laki pertama, tetapi pemegang kuasa dalam rumah tangga adalah ibu mertua bukan seorang wanita yang berstatus isteri. Dan sebagai seorang istri dituntut untuk pandai melayani suami, dan anak-anaknya dengan kelembutannya sebagai sosok wanita (1997:131).Tetapi dengan adanya proses demokratisasi setelah perang, telah mengubah segala aspek kehidupan keluarga Jepang. F.
Penutup Posisi wanita sebagai pihak inferior juga disebabkan oleh negara, hukum, moralitas, dan ilmu pengetahuan yang merupakan ciptaan laki-laki. Pada umumnya gagasan ciptaan pria tersebut disetujui oleh kaum wanita. Kekuasaan pria berakar pada anatomi, mengacu pada pria sebagai manusia besar, kuat, keras, dan berat. Sedangkan wanita adalah kecil, lemah, lembut, dan ringan. Berdasarkan sifat jasmaniah inilah orang cenderung membuat perbedaan-perbedaan seksual, baik mengenai sifat dan sikap, maupun mengenai ruang lingkup dan peran (Djayanegara, 1995:40). Bagi mayoritas wanita Jepang, keluarga adalah benteng. Jadi pada keluarga di Jepang, ibu adalah pusat segala kegiatan keluarga. Seorang ibu mempunyai peran sentral bagi keluarga terutama bagi anak-anaknya, sehingga kegiatan wanita pada umumnya berada dirumah (Okamura, 1980:11). Sesuatu yang menjadikan hidup sangat berarti adalah keluarganya khususnya anak-anaknya. Seorang wanita yang berperan sebagai istri ataupun ibu dalam kehidupannya akan lebih mengutamakan anak-anak daripada suami karena interaksi dan komunikasi dengan suami sangat sedikit. Sehingga jika ada seorang wanita yang selalu beraktifitas di luar rumah dan bekerja bagi keluarganya, itu merupakan suatu pendobrakan dalam sistem tata
144
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
norma adat di Jepang. Penghidupan keluarga tidak hanya bertumpu pada suami saja. Tetapi sosok wanita sebagai ibu atau istri juga berperan dalam hal mencari nafkah bagi keluarga. Tentu saja melihat kondisi Jepang sekarang ini, karakter wanita yang dianggap lemah, semakin lama semakin luntur. Seiring dengan keterbukaan negara Jepang dan terbukanya kesempatan memperoleh pengetahuan barat, namun pengaruh budaya tradisi yang sudah melekat dalam tubuh bangsa Jepang masih merupakan kendala utama bagi perjuangan kaum wanita Jepang dalam menyukseskan perjuangan mereka. Daftar Pustaka Benedict, Ruth. 1997 Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-Pola Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan. Bhasin, Kamla dan Night Said Khan 1995 Feminisme dan Refleksinya. Terjemahan. S Herlinah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Djajanegara, Soenarjati 1995 Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika. Depok: Fakultas Sastra UI. 2000
Kritik sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia
Haryono, Joharni. 1999 “Perempuan Jepang di mata Perempuan Indonesia” dalam Kumpulan Artikel Budaya Jepang Masa Kini. Ed. Djodjok Soepardjo dan Setiawan. Surabaya: CV. Bintang. Humm, Maggie. 2002 Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
145
Ina Ika Pratita, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang
Kartono, Kartini. 1992 Psikologi Wanita Jilid 2 : Mengenal Wanita sebagai Ibu dan Nenek.. Bandung: Mandar Jaya. Kedutaan Besar Jepang. 1989 Jepang: Sebuah Pedoman Saku. Akiyama: Foreign Press Center. Nurgiyantoro, Burhan. 1998 Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Okamura, Masu. 1980 Women Status. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Reischaeur, Edwin O. 1982 Manusia Jepang. Jakarta: Gramedia. Watt, Andrew. 1988. The Truth About Japan. Tokyo: Charles E. Tuttle Company.
146