!"# 32 Bab 32 Nasehatnya Imam kepada Wanita dan Pengajarannya kepada Wanita Penjelasan : Para Imam yang merupakan kaum lelaki wajib memberikan nasehat kepada para wanita, karena kaum lelaki adalam Qoyyum (pemimpin) nya para wanita. Allah berfirman :
, ( )*)+ %$ &' “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” (QS. An Nisaa’ (4) : 34). Imam Al Biqoo’I dalam tafsirnya berkata :
<=# '0 :;# 9!8# 45678 3 { , } 12) + /0 { ())+ %&' } “Laki-laki adalah pemimpin yang mengatur urusan wanita dalam pendidikan, pengajaran serta semua perkara yang diperintahkan dan yang dilarang”. Pada Kitab Iman sebelumnya, kami telah menyinggung nasehat Nabi kepada kaum lelaki untuk senantiasa memberikan nasehat kepada kaum wanita. Namun yang perlu diperhatikan oleh para lelaki hendaknya dalam menasehati wanita agar menjaga diri dari fitnahnya wanita, karena dengan kelembutannya, wanita bisa menjadi sumber fitnah bagi lelaki yang dapat berakibat kepada kerusakan hati laki-laki berupa zina. Allah berfirman :
9H ;$ C ; G(F ;$ C ; A* EF % + 'D *6* C+$ A* B + ? 0@ >
“Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar” (QS. Yusuf (12) : 28). Nabi bersabda :
,> ME ; : K'L F , 8> % #0 G(J > )$I"# “Waspadalah terhadap wanita, karena awal fitnahnya Bani Israil adalah karena wanita” (HR. Muslim). Dalam sabdanya yang lain :
% &' , 'P 0 O 8> ?C! M * ;N ' "
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku yang lebih membahayakan seorang laki-laki daripada (fitnahnya) wanita” (Muttafaqun Alaih).
Berkata Imam Bukhori :
% + Z D U M * !L % + X Y M * !L % + )W50 $ U!*V S CT % + D 'T * ($ L* S CT 98 ,[ A G % )*L@ G(0 Z D U , C* V 0 ] Y % + # 0 9L# A \ ,[ ,U , C* V 0 1$ 0 'N M ! e > b + C B d* ' 0 # b * ) > c *5 9 A* E0 > b %` a
A* ! # ^ ' _ 9L# A \ Z D U % +# l Y )W50 :$ L F % +# . A ) S i ' j ,> h$ _* 7N 5 %` a
# b 9 "gN# f
'$IN ,IN "* 9L# A \ ,[ ,U , C* V 0 40). 40). Hadits no. no. 98 “Haddatsanaa Sulaiman bin Harb ia berkata, haddatsanaa Syu’bah dari Ayyub ia berkata, aku mendengar Athoo’ ia berkata, aku mendengar Ibnu Abbas ia berkata : ‘aku menyaksikan (solat Ied) bersama Nabi -atau Athoo’ berkata : ‘aku menyaksikan (solat Ied) bersama Ibnu Abbas - bahwa Rasulullah pergi bersama Bilaal (setelah memberikan khutbah I’ed), Beliau berpikir para wanita tidak mendengar khutbahnya, maka Beliau memberikan nasehat kepada mereka. Lalu memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka para wanita melemparkan anting dan cincin perhiasannya dan Bilaal mengumpulkannya dengan ujung bajunya”. Ismail berkata dari Ayyub dari ‘Athoo dan berkata dari Ibnu Abbas ia berkata : ‘aku menyaksikan (solat Ied) bersama Nabi ’. Ditakhrij juga oleh Muslim no. 884. Penjelasan biografi perowi hadits :
Semuanya perowinya telah berlalu keterangannya Kedudukan Sanad : Imam Bukhori meriwayatkan dari jalam Sulaiman bin Harb seorang perowi Imam yang tsiqoh lagi Hafidz, sebagaimana penilaian Al Hafidz dalam “At Taqriib” dengan lafadz yang terjadi keraguan apakah Ibnu Abbas yang
berkata “aku menyaksikan sholat Ied bersama Nabi ” atau ‘Athoo yang berkata “aku menyaksikan sholat Ied bersama Ibnu Abbas ”. Kemudian Imam Bukhori pada ujung haditsnya meriwayatkan dengan tegas bahwa Shahabat Ibnu Abbas yang mengatakan : “aku menyaksikan sholat Ied bersama Nabi ” dari jalan Ismail. Seolah-olah Imam Bukhori ingin merojihkan bahwa riwayat yang benar adalah perkataan Ibnu Abbas , bukan perkataan Athoo rohimahulloh. Ismail disini adalah Ismail bin Ulaiyyah (110 H – 193 H) seorang perowi yang tsiqoh lagi hafidz, sebagaimana dikatakan Al Hafidz dalam “At Taqriib”. Berdasarkan data kelahiran dan wafatnya, maka Imam Bukhori yang wafat tahun 256 H tidak mungkin bertemu dengannya, sehingga ini adalah hadits Mu’alaq. Namun bukan seperti itum karena Imam Bukhori dalam kitab shahihnya ini (no. 1449) meriwayatkan dari Muammal (wafat 253 H) seorang perowi tsiqoh (At Taqriib), dari Ismail ini, sehingga ini adalah hadits yang bersambung. Kumudian juga dikuatkan oelh riwayat dari jalan lainnya juga yang Imam Bukhori sebutkan dalam kitabnya ini, bahwa yang berkata memang hanya Shahabat Ibnu Abbas , sehingga kuat dugaan riwayat yang berisi keraguan ini, kesalahan berasal dari Imam Sulaiman bin Harb. Wallahu A’lam.
Penjelasan Hadits : 1. Kaum laki-laki punya tugas mendidik kaum wanita, sebagai amanah yang telah telah dititipkan Allah kepadanya. Nabi bersabda :
A G m * & #*'>$ 9*8N n8L# A G ( 7 d* )*"*hN _ 0 9$mEJ > ,> A G )$I" > “Takutlah kepada Allah terhadap wanita (istri) kalian, karena kalian telah mengambilnya dengan amanah Allah dan kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah ”. 2. Karena kaum laki-laki sebagai pembimbing wanita yang akan mengajari mereka, maka konsekuensinya seorang laki-laki harus belajar ilmu agar bisa menjadi Imam mereka. Sebagaimana pada bab-bab sebelumnya Imam Bukhori telah menyinggung beberapa sahabat laki-laki yang diajari oleh Rasulullah , kemudian diperintahkan untuk menyampaikan kepada orang lain termasuk juga wanita. 3. Sekalipun kaum laki-laki nanti yang mendidik para wanita, bukan berarti para wanita berpangku tangan menunggu pendidikan dari suaminya,
mereka juga dapat menuntut ilmu selama aman dari fitnah dan telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bagaimana wanita para shahabiyah mereka belajar langsung kepada Nabi . bersabda :
9D * p:;$ , ` o 5 '> 9 N ! N 4 * j
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Imam AlAlbani). Sekalipun disini dalam bentuk isim mudzkar (nama laki-laki) yakni ditujukan kepada Muslim (laki-laki), namun mencakup juga didalamnya para wanita, karena telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih, bahwa khithob (obyek) syar’I yang ditujukan secara bahasa dengan bentuk mudzakar (laki-laki), maka itu mencakup juga wanita selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Imam Ibnul Qoyyim dalam “I’lamul Muwaqi’in” (1/122) berkata :
% &' %$ # 8" EJ > u Ev * N (N ' 8IN " 9 # M I jN 0$ tF 5 'G;h * N s B 1 @ )$;hN N mT 7N G(0 q
@ r i '* <> 'I 8L C + # “telah baku dalam istilah syariat bahwa hukum yang disebutkan dengan bentuk mudzakar jika dimutlakkan dan tidak digabungkan dengan muanats (bentuk wanita) maka ia mencakup laki-laki dan wanita”. Bahkan sebelumnya Imam Al Amidiy dalam “Al Ahkam” (2/287) telah menukil adanya ijma hal ini, kata beliau rohimahulloh :
} )# '#| {" mT0 3 %&' ;@r5 (0 , qz 6I!E c ';hy Yx q'r '#0 'w;0 (0 {h; (; y Y~ {t 3 _C5 “kebanyakan perintah syariat dalam bentuk obyaknya mudzakar (laki-laki) bersama adanya ijma bahwa wanita sama kedudukannya dengan laki-laki dalam masalah hukum-hukum perintah tersebut, seandainya wanita tidak dicakupkan dalam obyek perintah syariat, tentu wanita berarti tidak diperintah dan dilarang”. Maksud perkataan Imam Al Amidi, seandainya wanita tidak dikatakan tercakup dalam obyek pensyariatan, karena Syar’I mayoritasnya ketika memberikan beban taklifi dalam bentuk yang ditujukan kepada isim mudzakar baik mufrod (tunggal) maupun jamak, berarti syar’I hanya berbicara kepada kaum laki-laki, sehingga wanita terbebas dari hukum syariat, ini tentu tidak akan dikatakan oleh orang yang sehat akalnya. Sehingga khithob syar’I yang berbentuk mudzakar (laki-laki) mencakup juga didalamnya para wanita. Kecuali memang adanya pengkhususan
bahwa hal ini berlaku bagi laki-laki saja, tentu syariat akan menjelaskannya. Komisi tetap ulama saudi Arabia yang pada waktu itu diketuai oleh Imam bin Baz dalam salah satu fatwanya (no. 5921) menjawab :
CT| w8L A> & 2F !z # %&' )! mT| 3 :[| “Asal dalam masalah hukum adalah umum kepada laki-laki dan wanita semuanya, kecuali ada pengkhususan pada salah satunya”.