ANALISIS PENYEDIAAN DAGING HALAL KEPADA KAUM MUSLIM DI NEGARA JEPANG (Berdasarkan Perbandingan Mazhab Fiqih dan Praktek di Indonesia)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : Purwanto NIM : 206043103777
KONSENTRASI STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Desember 2010
Purwanto
KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮ ﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ Puji dan syukur dengan tulus kami persembahkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufiq, hidayah serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini, yang disusun dan ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya serta orang-orang yang menyeru dengan seruannya dengan berpedoman dengan petunjuknya. Suka cita selalu menyelimuti penulis seiring dengan selesainya penyusunan skripsi ini. Hal tersebut tidak lain karena dorongan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya penulis megucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat: 1.
Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA, selaku Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum dan Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum.
i
3.
Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA selaku Pembimbing I dan Drs. Heldi, M. Pd, Selaku Pembimbing II, yang telah rela memberikan bimbingan dengan penuh ketekunan, kesabaran dan perhatian hingga terselesaikannya skripsi ini.
4.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mewariskan ilmunya kepada penulis dengan konsep ikhlas.
5.
Pimpinan, staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah serta Perpustakaan Umum Iman Jama yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk pengumpulan bahan dalam skripsi ini.
6.
Bapak Prof. Dr. Hideomi Muto, yang telah banyak membantu peneliti dalam mengumpulkan data untuk skripsi ini.
7.
Ayahanda tercinta Sugeng dan Ibunda tercinta Sukini, yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik berupa moril maupun materiil hingga selesainya penulisan skripsi ini.
8.
Ustad Abdul Syakur SHI yang telah memberikan banyak bimbingan kepada penulis dalam belajar membaca Al-Qur’an.
9.
Teman-teman seperjuangan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah periode 2006, teman-teman yang tidak disebutkan satu persatu yang telah turut mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman dari Jepang yang telah membantu dan mendukung dalam penulisan skripsi ini.
ii
Atas semuanya itu, penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah Swt semoga amal baiknya diterima dan mendapatkan balasan yang lebih baik. Amin… Akhirnya penulis memanjatkan do’a dan memohon semoga Allah Swt memberikan kemanfaatan atas skripsi ini baik bagi penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya, serta melimpahkan pertolongan dan kebenaran kepada kita semua. Amin…
Jakarta,………. Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................................. i DAFTAR ISI ................................................................................................................. iv DAFTAR TABEL ........................................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... vii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................
6
D. Review Studi Terdahulu .........................................................................
7
E. Metode Penelitian ...................................................................................
8
F. Sistematika Penulisan ............................................................................
11
PANDANGAN IMAM MAZHAB TENTANG DAGING HALAL A. Makanan Umum .....................................................................................
13
1. Definisi Makanan Halal dan Haram Berdasarkan Dalil ...................
13
2. Tabel Jenis-jenis Makanan Halal dan Haram ...................................
19
B. Daging ....................................................................................................
21
1. Definisi Daging Halal dan Haram ....................................................
21
2. Pandangan Para Imam Madzhab ......................................................
24
C. Tatacara Penyembelihan Menurut Para Imam Madzhab .......................
25
1. Tatacara Penyembelihan Menurut Imam Syafi’i .............................
26
2. Pandangan Imam Madzhab Tentang Tatacara Penyembelihan .......
30
STUDI KASUS DI INDONESIA DAGING HALAL DAN HARAM A. Sejarah di Indonesia mengenai LP POM MUI .....................................
46
1. Sejarah Pembentukan LP POM MUI ..............................................
47
2. Isu Lemak Babi 1988 ......................................................................
47
iv
BAB IV
3. Suatu Kaidah Ushul Fiqih ...............................................................
49
4. Visi dan Misi LP POM MUI ...........................................................
50
B. Sejarah Kasus dan Penetapan Fatwa Tentang Daging Halal dan Haram
52
1.
Memakan Kepiting ..........................................................................
52
2.
Memakan dan Membudidayakan Kodok ........................................
56
3.
Memakan dan membudidayakan Cacing ........................................
61
C. Ketentuan Fatwa MUI Tentang Penyembelihan Hewan di Indonesia ...
64
SISTEM PENYEDIAAN DAGING HALAL YANG COCOK DITERAPKAN DI JEPANG A. Masalah Makanan Non Islam Bagi Kaum Islam di Jepang ...................
69
1.
Masalah Budaya Konsumsi Babi ....................................................
69
2.
Masalah Budaya Konsumsi Alkohol ...............................................
73
3.
Kekurangan Daging Halal ...............................................................
77
B. Sistem Distribusi Daging di Jepang yang Sekarang ..............................
77
1.
Sistem Distribusi Daging Non Islam ...............................................
78
2.
Penjualan Daging Halal Oleh Orang Pakistan dan Turki ................
78
3.
Kerjasama Antara Asosiasi Islam Dengan Perusahaan Jepang .......
78
C. Tatacara Penyembelihan Daging Halal yang Memungkinkan
BAB V
diterapkan di Jepang ...............................................................................
79
1.
Analisis terhadap Pendapat Para Imam Madzhab ...........................
79
2.
Hal-hal yang Bisa di Terapkan dari Praktek di Indonesia ..............
86
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................
88
B. Saran-Saran ............................................................................................
90
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
92
LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................................
95
v
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Tabel 1
Daftar Makanan Halal ....................................................................
19
2.
Tabel 2
Daftar Makanan Haram ..................................................................
19
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Gambar 1 Area mie instan, minuman keras ..................................................
68
2.
Gambar 2 Makanan yang mengandung unsur babi .......................................
69
3.
Gambar 3 Area minuman ..............................................................................
72
4.
Gambar 4 Area minuman yang mengandung alkohol ..................................
73
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bagi semua kaum muslim sangatlah penting mengkonsumsi makanan yang diizinkan oleh Allah SWT. Begitu juga dengan pakaian, bagi semua kaum muslim sangatlah penting bahwa memakai pakaian yang diizinkan oleh Allah SWT, serta hidup dengan gaya hidup yang diizinkan oleh-Nya seperti halnya makanan.
Dalam
firman-Nya,
setiap
hamba-Nya
diperintahkan
untuk
menkonsumsi sesuatu yang halal, baik dari makanan maupun pekerjaan. Ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
(168 : 2 / )اﻟﺒﻘﺮة
Artinnya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah [2]: 168) Setiap orang Islam wajib memastikan kehalalan pangan yang akan dikonsumsinya. Sebelum mengkonsumsi sesuatu makanan, setiap muslim sudah harus sangat yakin (haqqul yakin) mengenai kehalalannya.1
1
Aisjah Girindra, LP POM MUI Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetik MUI, 2005), h. 14.
1
2
Dalam ajaran (hukum) Islam, halal dan haram persoalan yang sangat penting dan dipandang sebagai inti keberagaman, karena setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu sangat dituntut oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Jika halal, ia boleh (halal) melakukan, menggunakan atau mengkonsumsinya; namun jika jelas keharamannya, harus dijauhkan dari diri seorang muslim.2 Sejak dahulu umat manusia selalu berbeda-beda pendapat tentang masalah apa yang dapat mereka makan dan mereka minum, apa yang boleh dan tidak boleh, khususnya masalah makanan yang berasal dari hewan. Adapun makanan dan minuman yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, tidak banyak perbedaan pendapat yang dapat dijumpai.3 Sarjana ilmu gizi menyatakan bahwa agar manusia dapat hidup dengan kehidupan yang sehat dan sejahtera maka ia semestinya makan daging dan tumbuh-tumbuhan secara simultan, tidak mungkin untuk memilih salah satu diantara keduanya dengan meninggalkan yang lain. Kiranya perlu mendapat perhatian bahwa bangsa yang menggantungkan dirinya kepada makanan jenis tumbuh-tumbuhan saja, maka akan lahir putra-putra bangsa yang kering dan lemah, sedang kuantitas anak yang lahir pada suatu bangsa seperti ini tidak lebih dari 2 kg, sedang pada bangsa yang lain biasanya tidak lebih dari 3 kg. Oleh karena itu, disamping makan makanan jenis nabati, maka makanan jenis hewani juga perlu mendapatkan perhatian, seperti susu dan telur, jika tidak maka akan mengakibatkan kekurusan dan kekurangan darah.4
2
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008), Cet. I, h.313 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Penerjemah Abu Sa’id al-Falahi dkk, (Jakarta: Robbani Press, 2000), Cet. I, h. 43. 4 Syauqi Al Fanjari, Nilai kesehatan dalam Syariat Islam, Penerjemah Drs. Ahsin Wijaya dkk, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. I, h. 56. 3
3
Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhtumbuhan, seperti sayur-sayuran, dan buah-buahan serta hewan adalah halal kecuali yang beracun dan membahayakan manusia.5 Allah SWT membimbing manusia seluruhnya agar mengkonsumsi yang halal, baik berupa makanan, usaha dan apapun itu halnya yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Kemudian Allah SWT memberi kekhususan bagi umat Islam untuk menjahui yang haram, ditegaskan dalam ayat, yaitu sebagai berikut:
(173 -172 : 2 / )اﻟﺒﻘﺮة
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman makanlah oleh dari sesuatu yang baik dari rizki yang telah kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kalian kepada Allah apabila kalian menyembah-Nya. Sesunggunya diharamkan bagi kalian bangkai, darah, dan daging babi dan sesuatu yang disembelih tidak dengan asma Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang isi tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah [2] : 172-173) Kehalalan atau keharaman pangan berkaitan erat dengan keimanan. Penghalalan atau pengharaman merupakan hak prerogative Allah SWT dan manusia harus menerimanya secara imani. Begitu pula mengenai kemanfaatan 5
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana produk Halal, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 7.
4
atau kemudharatan makanan yang dihalalkan atau diharamkan. Konsekuensinya, penentuan status hukum halal-haram, atau syubhat, mesti mengacu kepada AlQur’an dan sunnah Rasul.6 Kalau negara Islam seperti di Indonesia ini mudah mendapatkan makanan-makanan halal. Karena jelas bahwa negara Indonesia ini adalah mayoritas beragama Islam. Coba dilihat dan diamati, jikalau jalan-jalan di kota Jakarta, dapat diambil contoh di tempat belanja Pondok Indah Mall, disana dapat ditemukan restoran-restoran yang menjanjikan makanan halal. Begitu juga jika berjalan-jalan di sekitar kampus Universitas Islam Negeri Jakarta, banyak warung-warung atau tempat makan yang halal. Jika belanja ke suwalayan dapat membeli sosis sapi yang halal, daging giling ayam yang halal, daging kambing buat gulai yang halal. Begitu juga dapat membeli cemilan-cemilan yang instan dengan bumbu-bumbu yang aman tanpa khawatir dan gelisah akan haramnya cemilan tersebut. Akan tetapi penulis pernah mengalami kondisi yang cukup mengagetkan ketika berkunjung ke negara Sakura, yaitu tidak lain lagi adalah negara Jepang. Bahwa disana sama sekali tidak demikian. Kaum muslim di Jepang bertambah sedikit demi sedikit. Di Jepang ada sejumlah muslim yang berasal dari negara diluar Jepang seperti orang Pakistan dan Indonesia. Penulispun telah bertemu dengan sebagian mereka pada saat berkunjung ke Jepang. Penulis mengetahui
6
Aisjah Girindra, LP POM MUI, h. 23.
5
bahwa mereka hampir tidak dapat membeli makanan halal dalam kondisi seperti sekarang ini. Jika masalah yang berkaitan dengan makanan halal di Jepang dirangkumkan, dapat dikatakan enam point sebagai berikut: 1. Daging yang paling laku terjual adalah daging babi. 2. Dapat melihat minuman-minuman beralkohol yang jumlahnya hampir sama atau bisa dikatakan melebihi minuman-minuman biasa seperti teh botol, jus, susu kalengan, dan minuman-minuman halal yang lainnya. 3. Walaupun daging sapi maupun daging ayam yang halalpun, sulit diketahui dapat dibeli dimana. (setelah itu penulis ketahui bahwa sedikit daging halal dapat dibeli hanya di masjid-masjid yang jarang keberadaannya yaitu hanya berada di kota-kota besar). 4. Selama penulis berada disana tidak dapat menemukan restoran yang bertanda halal. (dari pembicaraan dengan orang-orang ditempat dapat diketahui bahwa mereka bisa makan masakan halal hanya di restoran yang di dalamnya ada koki orang Turki atau Pakistan dan di restoran vegetarian saja). 5. Sebagian besar cemilan-cemilan instan dan mie instan berkomposisi zat-zat yang berasal dari babi. 6. Dalam kue-kue sudah umum menggunakan gelatin (agar-agar yang berasal dari kulit-kulit binatang dan mengandung al-kohol).
6
Berdasarkan pengalaman yang cukup mengagetkan ini, penulis merasa perlu meneliti atau mempelajari mengenai makanan halal dan penyediaan daging halal kepada kaum muslim di Jepang dan menuangkannya dalam judul skripsi ANALISIS PENYEDIAAN DAGING HALAL KEPADA KAUM MUSLIM DI NEGARA JEPANG (Berdasarkan Perbandingan Mazhab Fiqih dan Praktek di Indonesia). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk memikirkan masalah makanan halal dan haram dari dasar serta agar dalam pembahasan skripsi ini terarah dan tersusun secara sistematis, maka penulis memberikan pembatasan masalah dan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kriteria makanan yang diperbolehkan dalam hukum Islam? 2. Bagaimana keadaan Indonesia yang sekarang mengenai makanan halal dan haram? 3. Bagaimana penyediaan daging halal bagi kaum muslim dinegara non Islam seperti di Jepang? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana kriteria makanan yang diperbolehkan didalam hukum Islam? 2. Untuk mengetahui bagaimana keadaan Indonesia yang sekarang mengenai makanan halal dan haram?
7
3. Untuk mengetahui harus bagaimana daging halal bagi kaum muslim di negara non Islam seperti di Jepang? Sedangkan kegunaan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Sebagai kontribusi pemikiran dalam masalah yang berkaitan dengan halal dan haramnya daging yang diterapkan di Jepang dengan perbandingan mazhab fiqih. 2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis khususnya dan mahasiswa serta masyarakat pada umumnya di Jepang maupun di Indonesia dalam masalah halal-haramnya daging. 3. Sebagai salah satu syarat utama untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI), pada program sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas Syari,ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Review Studi Terdahulu Kajian mengenai fatwa MUI dapat dikatakan sudah banyak dilakukan. Namun, penulis merasa bahwa kajian tentang fatwa MUI tentang distribusi daging halal kepada negara non muslim seperi negara Jepang belum pernah dibahas. Ada beberapa kajian di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta membahas tentang fatwa MUI, salah satunya berupa skripsi yang ditulis oleh Winy Trianta Fakultas Syari’ah dan Hukum tahun 2004 yang berjudul, Pengaruh Fatwa MUI No 1 Tahun 2003 tentang Hak Cipta terhadap Kesadaran Masyarakat Muslim
8
Mematuhi Hak Cipta. Dalam sekripsinya, Trianta membahas tentang apakah fatwa tersebut benar-benar murni untuk kemaslahatan umat atau untuk memperkuat Undang-undang hak cipta. Dia juga mempertanyakan, apakah fatwa yang hanya mengikat secara moral lebih efektif untuk melindungi hak cipta dari pada hukum hak cipta yang mengikat dengan sanksi. Dilatar belakangi oleh kedua hal tersebut, maka diadakanlah penelitian yang menghasilkan, fatwa MUI No 1 tahun 2003 ini berfungsi sebagai penjelasan terhadap masyarakat mengenai kedudukan hak cipta. Dalam hukum Islam hak cipta dianalogikan sebagai harta yang harus dilindungi, sehingga pelanggaran hak cipta sama dengan kezhaliman terhadap harta. Sementara itu, masih banyak fatwa-fatwa MUI yang belum dikaji dan dibahas. Salah satunya adalah fatwa MUI tentang penyediaan daging halal yang berada di negara non muslim seperti Jepang yang disana belum ada suatu fatwa tentang penyediaan tersebut. Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti penyediaan daging halal di Jepang.
E. Metode Penelitian Metode merupakan strategi yang dipakai dalam pengumpulan data-data yang diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi, sebagai rencana pemecahan
masalah yang dihadapi, adapun penelitian merupakan pekerjaan
yang terencana dan sistematis untuk mencari jawaban pada suatu masalah. Untuk itu, dalam penelitian, penulis menggunakan metode-metode tertentu yang sesuai
9
dengan prosedur penelitian dengan harapan agar mendapatkan hasil yang benarbenar dapat dipertanggungjawabkan. 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang penulis gunakan dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penelitian normatif empiris. Yaitu menganalisa data dengan berdasarkan suatu keadaan yang bergantung pada bukti atau konsekuensi yang teramati oleh indra atau data yang dihasilkan dari percobaan atau pengamatan.7 Dalam kajian ini adalah menjelaskan teori tentang halal dan haram makanan beserta kelembagaannya menurut pendapat empat Imam mazhab dan praktek yang terjadi di Indonesia (Fatwa MUI) untuk diterapkan di negara Jepang. 2. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (Library Reseach) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca, menelaah dan memahami literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dari berbagai buku-buku baik primer maupun sekunder, yang bisa dijadikan acuan dasar atau sumber-sumber penunjang yang masih ada relevansinya dengan pembahasan masalah yang dimaksudkan dalam judul penelitian ini. Penulis juga melakukan wawancara, yaitu penulis mendatangi dan bertanya langsung
7
Sutrisno Hadi, Metodologi Research. Jilid 1, (yogyakarta: Andi Offset, 1997), h. 42
10
kepada Japan Asosiation Islam di Jepang guna mendapatkan data-data penunjang yang berhubungan dengan permasalahan skripsi ini. 3. Teknik Pengolahan Data Apabila pengumpulan data sudah selesai, selanjutnya peneliti akan meneliti kembali dengan cara editing dan koding. Editing yaitu pemeriksaan kembali oleh peniliti mengenai kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi, relevensinya bagi penelitian, maupun keseragaman data yang diterima oleh peneliti. Koding Artinya, peneliti berusaha untuk membuat klasifikasi jawaban-jawaban dengan memberikan kode-kode tertentu pada jawaban tersebut, agar nantinya mempermudah kegiatan analisis.8 4. Teknik Analisis Data Yang dimaksud dengan analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterprestasikan.9 Setelah terkumpul data-data yang diperlukan maka peneliti mencoba untuk menganalisis data. Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan sekripsi ini adalah deskriptif analisis10, yaitu prosedur pemecahan masalah dengan mengumpulkan data-data yang tertuju pada masa sekarang, disusun, dijelaskan, dianalisa, diinterpretasikan dan kemudian disimpulkan. 8
Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, UI-Press, 1986), Cet.III, h. 264. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta, LP3ES, 1995), Cet. I, h. 263. 10 M. Aslam Sumhudi, Jinoisusu Disain Riset, (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, 1986), h. 45-47 9
11
5. Teknik Penulisan Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 F. Sistematika Penulisan Pada bab I penulis akan menerangkan tentang latar belakang masalah dari skripsi ini, pembatasan dan perumusan masalah yang akan dibahas, tujuan dan manfaat penelitian skripsi ini, metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, review studi terdahulu yang berisi tentang kajian-kajian fatwa MUI dan praktek di Indonesia, serta sistematika dari penulisan skripsi ini. Adapun dalam bab II penulis akan menjelaskan secara umum perbandingan mazhab tentang makanan halal yang memuat makanan umum yang didalamnya akan dijelaskan definisi makanan halal dan haram berdasarkan dalil, tabel perbandingan mazhab, dan tabel jenis-jenis makanan halal dan haram. Selanjutnya akan saya terangkan mengenai daging yang memuat definisi daging halal dan haram selanjutnya tabel perbandingan mazhab. Setelah itu saya akan menjelaskan tatacara penyembelihan yang memuat tata cara penyembelihan menurut
Imam
Syafi’I,
perbandingan
mazhab
tentang
penyembelihan,
selanjutnya penjelasan penerapan hukum perjenis daging. Pada bab III penulis akan menguraikan mengenai Sejarah LP POM MUI dan studi kasus di Indonesia tentang daging halal dan daging haram yang meliputi sejarah dari kasus dan fatwa tentang daging halal dan haram. Bab III ini
12
juga menerangkan pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi di Indonesia yang antar lain makan katak, konsumsi cacing dan juga konsumsi kepiting. Adapun pada bab IV akan berisi tentang daging halal yang cocok diterapkan di Jepang, yang didalamnya akan saya jelaskan mengenai masalah makanan di negara non islam bagi kaum Islam yang masalah budaya konsumsi babi, masalah budaya konsumsi alkohol, serta kekurangann daging halal untuk kaum Islam di negara non Islam. Selanjutnya didalamnya menjelaskan sistem distribusi daging di Jepang yang sekarang meliputi sistem distribusi daging on Islam, penjualan daging halal oleh orang Pakistan dan Turki di Jepang, dan juga kerjasama antara Asosiasi Islam di Jepang dengan Perusahaan Jepang. Selanjutnya menjelaskan juga tatacara penyembelihan daging halal yang memungkinkan di Jepang, yang menerangkan upaya pembangunan sistem distribusi daging halal di Jepang yang baru dan kemudian hal-hal yang bisa diterapkan di Jepang dari Indonesia. Pada akhirnya bab V merupakan penutup dari pembahasan yang telah diuraikan dan dijelaskan yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis yang telah ditulisnya.
13
BAB II PANDANGAN IMAM MAZHAB TENTANG DAGING HALAL
A. Makanan Umum 1. Definisi Makanan Halal dan Haram Berdasarkan Dalil Sebelum membahas persoalan haram dan haramnya makanan, terlebih dahulu disinggung kaidah fiqih menurut madzhab Syafi’i :
ِاَﻟْﺄﺻْﻞُ ﻓِﻰ اﻟْﺄﺷْﯿَﺎءِ اَﻟْﺎِﺑَﺎﺣَﺔ ﺣَﺘﱠﻰ ﯾَﺪُلﱡ اﻟﺪﱠﻟِﯿْﻞُ ﻋَﻠَﻰ اﻟﺘﱠﺤْﺮِﯾْﻢ Artinya : “Hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah mubah (boleh), sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”.1 Maksud yang terkandung dalam kaidah fiqih tersebut dapat dijabarkan sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawi, yaitu: “Pada asalnya, hukum dari sesuatu adalah boleh dan tidak haram, kecuali ada dalil nash shahih dan sharih yang menunjukkan keharamannya, apabila tidak ada dalil yang mengharamkannya maka kembali ke hukum asal yaitu halal.2 Masalah yang halal dan yang haram adalah masalah yang paling dahulu berhubungan dengan manusia. Masalah tersebut telah ada semenjak manusia belum diturunkan ke bumi dan merupakan pelajaran pertama yang
1
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (al-Qowa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Cet.II, h. 25 2 Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram. (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2002), Cet.I, h. 94.
13
14
diterima dari Tuhannya. Halal dan haram berlaku untuk semua ciptaan Allah dan menjadi pondasi neraca kehidupan.3 Sejak dahulu, umat manusia memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai masalah makanan dan minuman. Baik menyangkut makanan yang dibolehkan atau makanan yang dilarang, terutama masalah makanan dari daging binatang. Sementara makanan dan minuman dari tumbuh-tumbuhan, tidak banyak diperselisihkan.4 “Halal” adalah sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Sedangkan “haram” adalah sesuatu yang oleh Allah dilarang dilakukan dengan larangan tegas dimana orang yang melanggarnya diancam siksa oleh Allah di akhirat.5 Halal adalah boleh. Pada kasus makanan, kebanyakan makanan termasuk halal kecuali secara khusus disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadits.6 Makanan yang dihalalkan adalah makanan yang baik dan memenuhi selera jiwa. Dalam surat Al-Maaidah ayat 4, Allah berfirman:
... ... (٤ : ٥ / )اﻟﻤﺎﺋﺪة Artinya : “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik,” (QS. Al-Maaidah [5] : 4) 3
Muhammad Mutawalli Sya’rowi, Halal dan Haram, Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1994), Cet. I, h. 12 4 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Penerjemah Tim Kuadran, (Bandung: Penerbit Jabal, 2007), Cet. I, h. 52. 5 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008), Cet. I, h. 319. 6 LP POM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, (Jakarta: MUI, 2010), Edisi: IV, h.58.
15
Yang dimaksud dengan yang baik-baik dalam ayat diatas adalah makanan yang disenangi oleh jiwa. Ayat ini serupa dengan firman Allah dalam QS. Al-A’raf ayat 157:
(١٥٧ : ٧ / )اﻷﻋﺮاف... ... Artinya :
“…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk….” (QS. AlA’raaf [7] : 157)
Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti sayur-sayuran, dan buah-buahan serta hewan adalah halal kecuali yang beracun dan membahayakan manusia.7 Ini sesuai dengan prinsip dasar bahwa asal segala sesuatu adalah mubah, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang disebutkan oleh nash shahih dan tegas dari pembuat syari’at yang mengharamkannya. Bila tidak terdapat dalam nash yang shahih, atau tidak jelas penunjukkannya kepada yang haram, maka tetaplah sesuatu itu pada hukum asalnya, yaitu mubah.8 Makanan yang halal baik hewani maupun nabati menurut pandangan Islam sangat banyak, sedangkan yang haram sedikit.9 Ketika ada yang
7
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 7. 8 Anton Apriyanto, Panduan Belanja Haram dan Syubhat, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), Cet.II, h. 14. 9 Kantor Menteri Negara Urusan Pangan RI, Makanan Indonesia Dalam Pandangan Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 1995), h. 44
16
bertanya, apa saja barang yang halal, Rasulullah saw menjawab dengan menyampaikan ayat al-Qur’an10:
(٤ : ٥ / )اﻟﻤﺎﺋﺪة
Artinya : “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya." (QS. AlMaaidah [5] : 4) Dari ayat diatas dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa makanan yang dihalalkan oleh Islam ialah semua jenis makanan dan minuman yang baik untuk dikonsumsi oleh tubuh manusia. Baik dalam pengertian Islam adalah sesuatu yang tidak menimbulkan bahaya (kemudharatan) bagi tubuh sesorang apabila mengkonsumsi makanan tersebut. Yang dimaksud dengan yang baik-baik dalam ayat diatas adalah makanan yang disenangi oleh jiwa. Ayat ini serupa dengan firman Allah swt.,
10
Anton Apriyantono, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), Cet. II, h. 19.
17
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raaf : 157)11 Itu sebabnya maka bagi orang muslim, memakan makanan yang halal lagi baik adalah suatu kewajiban seperti yang ditegaskan di dalam surat alMaidah ayat 88:
(88 : ٥ / )اﻟﻤﺎﺋﺪة
Artinya : “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. (QS. Al-Maaidah [5] : 88) Binatang yang hidupnya di dalam air, semuanya halal baik yang berupa ikan atau bukan, mati dengan ada sebab atau mati sendiri.12 Sesuai dengan firman Allah:
(96 : ٥ / )اﻟﻤﺎﺋﺪة …. Artinya :
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan….” (QS. al-Maidah [5] : 96)
Sesuai dengan kaidah ushul fiqih, hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkan. Dengan demikian semua makanan dan minuman yang tidak ada ketegasan dalil
11
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 5, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), Cet. I, h. 330. 12 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Penerbit Attahiriyah, 1954)., Cet. XVII, h. 439.
18
tentang keharamannya, maka harus dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu boleh/halal.13 Adapun makanan haram yang diharamkan dalam Islam secara umum tertera dalam surat al-Baqarah ayat 173:
: 2 / )اﻟﺒﻘﺮة (173 Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2] : 173) Jadi, makanan yang diharamkan dalam Islam pada dasarnya adalah makanan yang merusak sistem homeostatis tubuh sehingga dapat mengganggu kesehatan, biasanya makanan ini mengandung bahan-bahan berbahaya atau bahan-bahan beracun yang bercampur dengan bahan-bahan yang bermanfaat bagi tubuh.14 Makanan itu haram atau tidak boleh dimakan karena ia khabits, yaitu makanan yang tidak baik, buruk, busuk dan tidak enak rasanya, juga
13
Akyunul Jannah, Gelatin: Tinjauan Kehalalan dan Alternatif Produksinya, (Malang: UIN Malang Press, 2008), Cet. I, h. 204 14 Moh. Yanis Musdja, Biologi Dalam Persepektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), Cet. I, h. 249
19
diharamkan jika makanan itu berbahaya bagi tubuh (merusakkan).15 Dengan demikian makanan minuman yang berbahaya untuk jiwa adalah haram.
2. Tabel Jenis-jenis Makanan Halal dan Haram Tabel. 1 Daftar Makanan Halal16 Jenis Minuman
Dalil
semua minuman yang bermanfaat bagi manusia; seperti air, susu, madu, air kelapa dan sebagainya, kecuali khamr (arak/alkohol), dan segala sesuatu yang memabukkan. Tumbuhan semua tumbuhan yang bermanfaat bagi manusia; seperti sayur-sayuran, buah-buahan, kacangkacangan, kecuali tumbuhan berbahaya; seperti yang beracun dan membuat sakit kepada manusia. Binatang yang termasuk dalam pengertian bahiimatul an’aam; yaitu jenis binatang apapun selain binatang yang masuk dalam kategori haram; unta, sapi, kerbau, kambing liar atau dipelihara. Ayam dan ikan Kategori Keledai, keledai hutan, biawak, kelinci, burungdispensasi burung. menurut sunnah
QS. 7:3 QS. 5:4 QS. 7:157 QS. 7:31 QS. 5:4 QS. 7:157 QS. 5:10 QS. 22:30
HR. Bukhari, Muslim, Nasaie dan Turmidi
Tabel. 2 Daftar Makanan Haram17 Jenis Dalil 1. Bangkai, matinya tidak QS. 2:173 disembelih, tercekik, terpukul, terjatuh, baku hantam, disergap binatang lain. 2. Darah (kecuali limpa dan hati) QS. 5:3 15
Hujjah Membahayakan. Merusak jiwa, moral dan
Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia, Makanan Indonesia Dalam Pandangan Islam, h, 28 16 Hasbi Indra, et. al, Halal dan Haram Dalam Makanan, (Jakarta: Penamadani, 2004), Cet.I. h.40-42 17 Hasbi Indra, et. al, Halal dan Haram Dalam Makanan, h. 40-42
20
3. 4. 5. 6.
Babi Anjing Kucing Tikus, dll.
An’am: 145 AnNahl:115
HR. Bhukari Muslim 7. Segala binatang yang disembelih QS. 5:3 tanpa menyebut nama Allah. 8. Segala bentuk binatang yang mati QS. 5:3 tanpa proses penyembelihan yang benar menurut syariah 9. Segala jenis burung yang berkuku tajam a. Elang b. Nazar, dll. 10. Segala yang bertaring dan berkuku dari binatang buas a. Harimau b. Singa c. Ular d. Buaya, dll. 11. Serangga bumi yang berbahaya a. Kalajengking b. Kelabang, dll. 12. Sesuatu yang membahayakan jasmani dan rohani: a. Racun b. Opium c. Ganja d. Kokain e. Bir, dll. 13. Minuman yang memabukkan a. Khamr b. Alkohol c. Bir, dll. 14. Semua binatang yang disembelih untuk selain Allah 15. Hewan yang hidup di dua alam 16. Segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang tidak halal
HR. Bukhari Muslim
HR. Bukhari Muslim
Merusak Aqidah Merusak Syariah; ketaatan dan kesehatan. Buas mempengaruhi jiwa Buas mempengaruhi jiwa
Membahayakan
QS. 2:219 QS. 4:43 QS. 5:90
Merusak akal, ibu kejelekan.
QS. 2:219 QS. 4:43 QS. 5:90
Merusak akal, ibu kejelekan.
QS. 2:173
Syirik dan merusak aqidah Membahayakan kesehatan Merampas hak orang dan merusak akhlak
Syafi’i
21
B. Daging 1. Definisi Daging Halal dan Haram Hewan atau binatang yang sering disebut dengan hewani ada dua macam, yaitu hewan yang hidup di darat dan hewan yang hidup dilaut. Hewan yang hidup di darat hukumnya adalah mubah, kecuali beberapa jenis yang memang telah diharamkan dalam syari’at.18 Dalam beberapa ayat al-Qur’an memang disebutkan apa-apa yang tidak boleh dimakan oleh seorang mukmin. Yang diharamkan itu ialah daging babi, darah yang memancar, dan bangkai (yaitu daging binatang yang mati bukan melalui penyembelihan menurut cara hukum syara’).19 Telah dijelaskan daging yang diharamkan dalam Islam secara umum tertera dalam surat Al-Maidah ayat 3:
(3 : ٥ / )اﻟﻤﺎﺋﺪة ...
Artinya :
18
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala…” (QS. AlMaidah[5]: 3)
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Cet. I, h. 879. 19 Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia, Makanan Indonesia Dalam Pandangan Islam, h. 28.
22
Surat al-Baqarah ayat 173:
: 2 / )اﻟﺒﻘﺮة (173 Artinya :
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah[2]:173)
(96 : ٥ / )اﻟﻤﺎﺋﺪة …. Artinya:
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu…” (QS. Al-Maidah[5] : 96)
(١٥٧ : ٧ / )اﻷﻋﺮاف... ... Artinya : “…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk….” (QS. Al-A’raaf [7] : 157) Dengan melihat ayat-ayat di atas yang menjelaskan halal dan haramnya daging, maka dapat diambil kesimpulan bahwa daging binatang ada dua (2), yaitu daging binatang laut dan daging binatang darat. Daging binatang yang diharamkan telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 3, yaitu bangkai, darah, daging babi, daging binatang yang disembelih selain atas nama Allah. Dan Allah telah mengharamkan
23
daging binatang yang buruk, yang menjijikan dan yang buas sesuai dengan surah Al-A’raaf ayat 157. Daging binatang darat yang dihalalkan adalah setiap yang dianggap enak oleh orang Arab maka halal, kecuali perkara yang datang dari syara’ dengan hukum haramnya. Setiap hewan yang dianggap jijik oleh orang Arab, maka haram, kecuali perkara yang datang dari syara’ hukum yang menghalalkannya.20 Semua daging binatang laut adalah halal, dan tidak haram dari laut kecuali yang beracun yang membahayakan, baik berupa ikan atau lainnya, baik hasil buruan atau bangkai yang ditemukan. Sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 96 diatas. Dan hadits Nabi yang berbunyi: Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah bersabda: “laut suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abu Daud)21. Jadi daging yang halal adalah daging yang selain dari bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah serta disembelih secara syariah. Sedangkan yang haram adalah daging yang berasal dari bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih bukan atas nama Allah, dan juga daging yang berbahaya bagi jiwa manusia.
20 21
Moch. Anwar, Fiqih Islam,(Bandung : PT. Alma’arif, 1973), Cet. I, h. 253. Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram, h. 135.
24
2. Pandangan Para Imam Madzhab Para ulama sepakat bahwa binatang yang tidak halal kecuali dengan disembelih adalah hewan darat yang berdarah mengalir yang tidak diharamkan, tidak tertembus senjata orang yang berkelahi, tidak hampir mati karena dipukul, ditanduk, jatuh, diterkam binatang buas dan sakit. Sedangkan hewan laut tidak perlu disembelih.22 Binatang laut yaitu semua binatang yang hidup di air. Binatang ini semua halal walaupun didapatkannya dalam keadaan bagaimanapun, apakah waktu didapatkannya masih dalam keadaan hidup maupun sudah bangkai. Binatang-binatang tersebut berupa ikan ataupun yang lainnya. Seperti anjing laut, babi laut, dan sebagainya.23 Para ulama telah mengelompokkan hewan darat yang haram menjadi enam macam, yaitu sebagai berikut: a. Hewan yang telah jelas diharamkan dalam nash. b. Hewan yang telah jelas sifat-sifatnya yang diharamkan. c. Hewan yang memakan makanan kotor dan menjijikkan. d. Hewan yang beracun dan berbahaya. e. Hewan yang berasal dari hewan halal, tetapi dilarang untuk memakannya.
22
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid., Penerjemah: M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah. (Semarang: CV Asy Syifa’, 1990), Cet. I, h. 325. 23 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, h.57
25
f. Hewan yang dilarang untuk dibunuh dan yang disuruh untuk membunuh. Selain dari hewan dan burung yang disebutkan di atas maka hukumnya halal.24 Para ulama berbeda pendapat tentang hewan yang tidak berdarah yang boleh dimakan, seperti belalang dan sebagainya. Apakah wajib disembelih atau tidak? Imam Malik berpendapat bahwa belalang itu tidak boleh dimakan tanpa disembelih. Dan penyembelihannya menurut pendapatnya adalah dengan cara melakukan sesuatu yang mempercepat kematiannya, seperti diputuskan lehernya, sayapnya, kakinya disertai niat dan menyebut nama Allah. Kebanyakkan fuqaha berpendapat bahwa bangkai belalang itu boleh dimakan tanpa disembelih terlebih dahulu.25Maka dalam hal mengenai daging halal dan haram tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para Imam, hanya saja ada perbedaan dalam hal hewan laut.
C. Tata Cara Penyembelihan Menurut Para Imam Madzhab Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitabnya al-Mughni berkata, “Tidak ada perbedaan di antara para ulama bahwa hewan buruan dan binatang ternak tidak halal kecuali setelah disembelih. Menyembelih ini memerlukan lima komponen; yaitu orang yang menyembelih, alat menyembelih, tempat untuk yang
24 25
disembelih,
praktik
menyembelih,
dan
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, h. 879. Thobieb Al-Asyhar. Bahaya Makanan Haram, h. 207-208.
dzikir
(menyebut
nama
26
Allah).”26Perlu diketahui bahwa masing-masing syarat yang lima ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab empat. Untuk membuka tulisan tata cara penyembelihan ini, penulis awali dengan tata cara penyembelihan menurut Imam Syafi’i karena yang paling umum dipraktekkan di Indonesia. 1. Tata Cara Penyembelihan Menurut Imam Syafi’i a. Orang yang memotong 1) Beragama Menurut Madzhab ini, yang menyembelih itu orang Islam atau Ahli Kitab, bukan orang yang beragama Majusi, bukan penyembah berhala dan bukan pula orang yang murtad. Maka sembelihan orang yang beragama Yahudi dan Nasrani halal dimakan sebagaimana sembelihan orang Islam.27Yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nashrani dari kalangan Bani Israil saja. Berdasarkan pendapat ini, Yahudi dan Nashrani dari kalangan bangsa Arab dan Indonesia bukan termasuk Ahli Kitab.28 2) Berakal Dari
kalangan
Syafi’iyyah,
Imam
al-Nawawi
berkata,
“Utamanya, penyembelih adalah seseorang yang berakal. Adapun anak 26
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadits. (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2009), Cet. I, h. 274-275. 27 Syekh Abdurrahman Al-Jazari, Fiqih Empat Madzhab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996), Cet.I, h. 377. 28 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 286.
27
kecil yang mumayyiz (dapat membedakan benar dan salah), maka menurut madzhab Syafi’i, sembelihannya halal.” Imam al-Nawawi, setelah mengemukakan berbagai pendapat dan riwayat dari murid-murid al-Syafi’i, berkata, “Kami sebutkan bahwa pendapat yang shahih dalam pandangan madzhab kami, bahwa sembelihan anak kecil, orang gila dan orang mabuk, adalah halal.”29 Menurut Imam Syafi’i, orang yang syah dalam memotong adalah orang yang beragama Islam dan orang Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dari kalangan Bani Israil saja, Yahudi dan Nashrani yang berasal dari luar Bani Israil dianggap tidak sah (haram). b. Alat Menyembelih Para ulama sepakat bahwa menyembelih boleh dan sah dilakukan dengan semua alat yang tajam, baik berasal dari besi, batu yang keras, kulit bambu, timah, tembaga, emas, perak, atau bahan lainnya. Kriteria alat dalam hal ini adalah setiap benda yang dapat menumpahkan darah dan memutuskan urat leher, sekiranya dapat memotong atau membelah dengan bagian tajamnya bukan dengan beratnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw:
29
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 293
28
ْ وَﻟَﯿْﺴَﺖ, ﯾَﺎرَﺳُﻮْلَ اﷲِ! اَﻧﺎَ ﻟِﺎﻗﻮَاﻟﻌﺪﱠ ﻏَﺪًا: ُ ﻗُﻠْﺖ: َ ﻗﺎَل,ﺣَﺪِﯾْﺚُ رَاﻓِﻊِ ﺑْﻦِ ﺧَﺪِﯾْﺞ ِ ))اَﻋْﺠِﻞْ(( أوْ ))أرِنْ(( ﻣَﺎأﻧْﮭَﺮَ اﻟﺪﱠمَ وَذﻛَﺮَ اﺳْﻢَ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﮫ:َ ﻓَﻘَﺎل.ﻣَﻌَﻨﺎَ ﻣﺪى (ّ )اَﺧْﺮَﺟَﮫُ اﻟْﺒُﺨﺎَرِي...ﺎ اَوْ ﻇُﻔْﺮًا ﻣَﺎﻟَﻢْ ﯾَﻜُﻦْ ﺳِﻨ,ُﻓَﻜُﻠُﻮْه
30 31
Artinya: Rafi’ bin Khadij r.a berkata : ya Rasulullah, kami akan berhadapan dengan musuh esok hari (pagi) dan kami tidak mempunyai pisau. Maka Nabi saw bersabda: Segeralah, “Sembelihlah dengan apa saja yang dapat menumpahkan darah dan disebutkan nama Allah atasnya, maka makanlah sembelihannya, selagi tidak menggunakan gigi atau kuku...” (HR. Bukhari) Menurut Syafi’iyyah, pemotongan hewan itu dilakukan dengan alat yang tajam, sekalipun berupa bambu, kayu, emas atau perak, kecuali gigi, kuku, dan tulang. Apabila hewan tersebut dibunuh dengan alat yang tidak tajam, misalnya dipukul dengan senapan, atau anak panah yang tidak bermata atau tidak tajam, atau dicekik dengan jerat lalu mati, maka dalam hal ini haram dimakan.31Jadi menurut Imam Syafi’i, alat yang digunakan haruslah tajam, tidak boleh menggunakan alat yang tumpul. c. Bagian yang Disembelih Syafi’iyyah juga berpendapat, menyembelih hewan yang sesuai dengan syari’at adalah dengan memotong kerongkongan dan pembuluh nafasnya semuanya. Bila masih ada yang belum terpotong dari keduanya itu berarti hewan yang disembelih tersebut tidak halal. Dan disyaratkan 30
Muhammad bin Isma’il al-Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari: Bab Ma anhara al-Dam min al-Qoshb wa al-Mirwah wa al-Hadid, (Bairut: Dar al-Kutub, 1376H), Juz.VI, h.225 31 Syekh Abdurrahman Al-Jazari, Fiqih Empat Madzhab, h. 376.
29
hendaklah pada hewan itu ada kehidupan yang tetap sebelum disembelih, bila ada sebab yang dapat membinasakan.32 Imam Syafi’i berkata, “Sembelihan itu ada dua; 1) Menyembelih hewan yang dapat dikuasai, yaitu hewan liar atau jinak, baik dengan dzibh (menyembelih) maupun nahr (memutuskan tenggorokan di leher bagian bawah). 2) Menyembelih hewan yang tidak dapat dikuasai, maka caranya sama seperti menyembelih hewan buruan, baik yang jinak maupun liar.33 Yaitu dengan cara jahr (melukai) hewan liar itu dengan benda yang tajam oleh seorang muslim atau mengutus hewan pemburu yang sudah terlatih.34 Dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat yaitu bagian yang disembelih adalah dengan memotong kerongkongan dan pembuluh nafasnya semuanya. Bila masih ada yang belum terpotong dari keduanya itu berarti hewan yang disembelih tersebut tidak halal. d. Teknis Menyembelih Imam Syafi’i berkata, “Sembelihan yang sempurna adalah dengan memutuskan empat urat; tenggorokkan, kerongkongan, dan dua urat leher. Standar yang paling minimal adalah dengan memutuskan tenggorokan dan
32
Syekh Abdurrahman Al-Jazari, Fiqih Empat Madzhab, h, 375. Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 304. 34 Syekh Abdurrahman Al-Jazari, Fiqih Empat Madzhab, h. 374. 33
30
kerongkongan.”35 Jadi menurut Imam Syafi’i selain dari tenggorokan dan kerongkongan maka hewan tersebut tidak halal. e. Membaca Basmalah Saat Menyembelih Menurut madzhab Syafi’i tidak disyaratkan membaca tasmiyah, melainkan disunnahkan saja. Imam al-Nawawi berkata, “Dianjurkan menyebut nama Allah ketika menyembelih dan ketika melepaskan anjing pemburu atau panah yang diarahkan pada hewan buruan. Seandainya tidak membaca basmalah karena sengaja atau lupa, maka sembelihan atau buruannya tetap halal.”36 Dengan demikian membaca basmalah dalam Madzhab Syafi’i adalah hukumnya disunnahkan.
2. Pandangan Imam Madzhab Tentang Tata Cara Penyembelihan a. Orang yang Memotong Para ulama sepakat bahwa orang yang boleh menyembelih itu ada lima, yaitu; Islam, laki-laki, baligh, berakal sehat, tidak menyia-nyiakan shalat. Para ulama juga sepakat bahwa orang yang tidak boleh menyembelih atau sembelihannya tidak halal dimakan adalah orang-orang musyrik penyembah berhala, berdasar firman Allah Swt37:
(3 : ٥ / )اﻟﻤﺎﺋﺪة… …. 35
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 309. Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 318. 37 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, Penerjemah: M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah. (Semarang: CV Asy Syifa’, 1990), Cet. I, h. 314. 36
31
Artinya:
“ diharamkan bagimu hewan yang disembelih untuk berhala” (QS. al-Maidah[5] : 3)
1) Agama Mayoritas ulama fiqih dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nashrani dari bangsa mana pun, tanpa membedakan antara kelompok yang satu dengan yang lain, antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Berdasarkan pendapat ini, orang Yahudi dan Nashrani di Indonesia termasuk Ahli Kitab.38 Alasannya sesuai dengan keumuman makna firman Allah, yaitu:
(5 : ٥ / )اﻟﻤﺎﺋﺪة … Artinya: “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (QS. Al-Maidah[5] : 5) Kriteria Ahli Kitab menurut ulama Hanafiyyah adalah agama, yaitu kalangan Yahudi dan kalangan Nashrani tanpa membedakan Arab dan non-Arab.39Dengan demikian sembelihan Ahlil Kitab menurut ulama Hanafiyyah adalah boleh dimakan. Sedangkan Madzhab Maliki mengemukakan bahwa hukum sembelihan Ahli Kitab adalah makruh tanpa mengharamkannya. Begitu
38 39
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 286. Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 278.
32
juga dengan kemakruhan membeli daging dari tukang-tukang daging Ahli Kitab tanpa mengharamkannya.40 Imam Syafi’i mengatakan bahwa kaum Nasrani Arab bukan termasuk kaum Ahli Kitab, maka sembelihan mereka tidak halal. Dengan demikian apabila yang menyembelih itu orang Yahudi dan Nashrani dari kalangan non-Arab maka sembelihannya halal.41 Ulama Hanabilah mengemukakan bahwa seseorang dikatakan Ahli Kitab atau bukan Ahli Kitab itu tergantung dirinya bukan nasabnya. Dengan demikian setiap orang yang memeluk agama adalah termasuk bagian dari Ahli Kitab. Seperti halnya orang pada masa sekarang ini, maka sembelihannya boleh dimakan.42 2) Berakal Mengenai syarat akal bagi penyembelih, Imam Ibn Abidin dari kalangan Hanafiyyah, mengutip dari al-Jauharah, berkata, “Sembelihan anak kecil yang belum berakal, orang gila, dan orang mabuk yang tidak berakal, tidak halal dimakan. Beliau beralasan bahwa orang gila yang hilang akalnya tidak memiliki qashd (motivasi) sama sekali.43 Dari kalangan madzhab Hanbali, Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi berkata, “akal penyembelih, maksudnya adalah bahwa seorang 40
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 278 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 280 42 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 28141
282 43
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 286
33
penyembelih harus berakal sehingga ia mengetahui (sadar) saat menyembelih. Jika tidak berakal, seperti anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila, dan orang mabuk maka sembelihannya tidak halal.”44 Imam al-Baji (w.494 H) dari kalangan Malikiyyah menuturkan, “Sembelihan orang mabuk dan orang gila, pada saat akalnya hilang, hukumnya tidak halal. Hal ini diriwayatkan oleh Ibn Wahb dari Malik dalam al-Mabsuth.”45 Sembelihan orang gila dan orang mabuk menurut Malik tidak boleh dimakan.46 Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa menurut kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah bahwa sembelihan Ahli Kitab adalah boleh. Kalangan semua ini tidak membedakan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain, antara bangsa satu dengan bangsa yang lain. b. Alat Menyembelih Para ulama sepakat bahwa menyembelih boleh dan sah dilakukan dengan semua alat yang tajam, baik berasal dari besi, batu yang keras, kulit bambu, timah, tembaga, emas, perak, atau bahan lainnya. Kriteria alat dalam hal ini adalah setiap benda yang dapat menumpahkan darah dan memutuskan urat leher, sekiranya dapat memotong atau membelah dengan 44
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 286 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 286 46 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, h. 322. 45
34
bagian tajamnya bukan dengan beratnya.47 Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw :
ْ وَﻟَﯿْﺴَﺖ, ﯾَﺎرَﺳُﻮْلَ اﷲِ! اَﻧﺎَ ﻟِﺎﻗﻮَاﻟﻌﺪﱠ ﻏَﺪًا: ُ ﻗُﻠْﺖ: َ ﻗﺎَل,ﺣَﺪِﯾْﺚُ رَاﻓِﻊِ ﺑْﻦِ ﺧَﺪِﯾْﺞ ِ ))اَﻋْﺠِﻞْ(( أوْ ))أرِنْ(( ﻣَﺎأﻧْﮭَﺮَ اﻟﺪﱠمَ وَذﻛَﺮَ اﺳْﻢَ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﮫ:َ ﻓَﻘَﺎل.ﻣَﻌَﻨﺎَ ﻣﺪى (ّ )اَﺧْﺮَﺟَﮫُ اﻟْﺒُﺨﺎَرِي...ﺎ اَوْ ﻇُﻔْﺮًا ﻣَﺎﻟَﻢْ ﯾَﻜُﻦْ ﺳِﻨ,ُﻓَﻜُﻠُﻮْه
48 45
Artinya: Rafi’ bin Khadij r.a berkata : ya Rasulullah, kami akan berhadapan dengan musuh esok hari (pagi) dan kami tidak mempunyai pisau. Maka Nabi saw bersabda: Segeralah, “Sembelihlah dengan apa saja yang dapat menumpahkan darah dan disebutkan nama Allah atasnya, maka makanlah sembelihannya, selagi tidak menggunakan gigi atau kuku...” (HR. Bukhari) c. Bagian yang Disembelih Pendapat ulama berbeda-beda mengenai anggota dari hewan yang disembelih, sebagai berikut: 1) Menurut Madzhab Hanafi Mereka berpendapat bahwa pemotongan hewan yang sesuai dengan syari’at itu terbagi menjadi dua bagian. Yaitu: Pertama, pemotongan darurat. Ini dilakukan dengan cara melukai bagian mana saja dari badan hewan itu. Ini dilakukan untuk hewan yang tidak jinak. Jika kambing, sapi atau unta menjadi liar dan sulit untuk disembelih, lalu dipanah dan kena pada bagian mana saja
47 48
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h.294. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h.225
35
dari badannya dan mengeluarkan darah serta mematikan, maka halal dimakan.49 Kedua, pemotongan yang tidak darurat, dilakukan dengan menyembelih antara ujung kerongkongan dan ujung dada, yaitu dengan cara memotong dua urat leher, yaitu dua urat besar yang terdapat dikedua sisi depan batang leher dan memotong pembuluh nafas serta kerongkongannya.50 2) Menurut Madzhab Maliki Mereka berpendapat, pemotongan hewan yang sesuai dengan syari’at sebab yang dapat menjadikan hewan darat halal dimakan ikhtiyar (bukan karena terpaksa). Pemotongan ini antara lain yaitu: a) Dzabh. Cara ini dilakukan dengan memotong kerongkongan dan dua urat leher yang terdapat dibagian depan dengan alat tajam dengan niat, dan diisyaratkan memotong pembuluh jalan nafas. b) Nahr. Cara ini digunakan untuk memotong unta, gajah, dan jerapah. Dan makruh digunakan untuk memotong sapi dan kerbau. Cara ini dilakukan dengan menusuk leher pada bagian bawah kalung oleh seorang yang mumayyiz muslim atau Ahi Kitab tanpa mengangkat lama sebelum sempurna, dengan niat.
49 50
Al-Jazari, Fiqih Empat Madzhab, h. 373 Al-Jazari, Fiqih Empat Madzhab, h. 373
36
c) Aqr. Cara ini digunakan untuk memotong hewan liar yang tidak bisa dikuasai kecuali dengan sulit, baik itu hewan berupa burung atau lainnya. Dilakukan dengan cara melukai hewan liar itu dengan benda tajam oleh seorang mumayyiz muslim, atau dengan mengutus hewan pemburu yang sudah terlatih dengan niat dan membaca tasmiyah.51 3) Menurut Madzhab Hanbali Mereka berpendapat bahwa pemotongan hewan secara syara’ adalah penyembelihan hewan yang dapat dikuasai, yang boleh dimakan. Pemotongan yang sesuai dengan syari’at dapat dilakukan dengan cara memotong pembuluh nafas dan kerongkongan. Pemotongan dengan cara nahr dilakukan pada legokan leher yang terdapat di antara pangkal leher dan dada. Dan tidak disyaratkan memotong dua urat leher, akan tetapi memotongnya lebih utama.52 Imam Ahmad berkata,”Menyembelih itu pada bagian atas dan dekat dada. Beliau berhujjah dengan hadits Umar yang diriwayatkan oleh Sa’id dan al-Arsram dengan sanad yang sampai kepada keduanya dari al-Farafishah yang berkata, “Ketika kami berada bersama Umar, Umar berseru bahwa menyembelih pada bagian pada bagian dekat dada atau leher bagian atas adalah untuk hewan yang dapat dikuasai.”53
51
Al-Jazari, Fiqih Empat Madzhab, h. 373 Al-Jazari, Fiqih Empat Madzhab, h. 373 53 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 305. 52
37
Setelah melihat dari pendapat para ulama, ada kesepakatan dalam
memotong
hewan
yang
tidak
dapat
dikuasai
maka
penyembelihannya adalah dengan cara melukai bagian tubuh yang dapat memancarkan darah sampai menyebabkan hewan tersebut mati.
d. Teknis Menyembelih 1) Madzhab Hanafi Mufti al-Diyar al-Mishriyah (Negeri Mesir), Syeikh ‘Abd alQadir al Rafi’ (w. 1323 H), berkata, “Bahwa menurut Imam Abu Hanifah, tiga urat yang mana saja dari empat urat, jika tiga urat itu terputus, maka sembelihannya halal.” Maksudnya, tiga urat tersebut wajib dipotong, tanpa ditentukan urat yang mana. Artinya boleh memotong tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher, atau boleh juga memotong tenggorokkan dan dua urat leher.54 2) Madzhab Maliki Menurut Imam Malik adalah dengan memotong kerongkongan dan dua urat leher yang terdapat dibagian depan dengan alat tajam dengan niat, dan diisyaratkan memotong pembuluh jalan nafas.55 Ada pernyataan dari Imam Ibn al-Qasim berkata, “Beliau (Imam Malik) tidak memakannya kecuali dengan memutuskan keduanya
54 55
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 307 Al-Jazari, Fiqih Empat Madzhab, h. 373.
38
(tenggorokan dan urat-urat leher) secara bersamaan. Beliau tidak memakannya jika tenggorokannya saja yang terputus, sedangkan uraturat lehernya tidak, dan beliau pun tidak memakannya jika urat-urat lehernya saja yang terputus, sedangkan tenggorokannya tidak. Beliau tidak memakannya sehingga terputus semuanya, yaitu tenggorokan dan urat leher secara bersamaan.56 3) Madzhab Hanbali Imam Ibn Qudamah berkata, “Adapun praktek menyembelih hewan, maka hal itu dinilai sah dengan memotong tenggorokan dan kerongkongan. Ada riwayat lain dari Imam Ahmad bahwa dalam penyembelihan, selain memotong dua urat itu ditambahkan dengan memotong dua urat leher. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Hurairah ra, beliau berkata:57
ِ ﻧَﮭَﻰ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﻋَﻦْ ﺷَﺮِﯾْﻄَﺔ: َﻋَﻦْ اَﺑِﻰ ھُﺮَﯾْﺮَةَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻗﺎَل وَھِﻲَ اﻟﱠﺘِﻰ ﺗَﺬْﺑَﺢُ ﻓَﺘَﻘَﻄﱠﻊَ اﻟْﺠَﻠْﺪَ وَﻻَ ﺗَﻔْﺮَى اﻷوْدَاج ﺛُﻢﱠ ﺗَﺘْﺮكَ ﺣَﺘﱠﻰ.َاﻟﺸﱠﯿْﻄَﺎن 5855
َ رَوَاهُ اَﺑُﻮْا دَاوُوْد.ُﺗَﻤُﻮْت
Artinya : Hadits dari Abi Hurairah r.a berkata : “Rasulullah Saw melarang mempraktekkan syarat setan, yaitu menyembelih hewan dengan memotong kulitnya, tetapi tidak memutuskan urat-urat lehernya, kemudian hewan itu dibiarkan begitu hingga mati.” (HR. Abu Daud) 56
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 308. Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 310 58 Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, Juz II, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Baabi al-Halabi, 1372 H/1953 M), h. 93 57
39
Beliau berkata, “ Tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa menyembelih yang sempurna adalah dengan memutuskan empat urat; tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Tenggorokan adalah tempat bernafas, kerongkongan adalah tempat masuknya makanan dan minuman, dan dua urat leher adalah dua urat yang ada disekitar tenggorokan.
Karena
memutuskan
empat
urat
tersebut
akan
mempercepat nyawa hewan keluar. Dengan begitu, hewanpun akan mati dengan mudah.59 Kesimpulannya bahwa dalam hal teknis menyembelih tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, penyembelihan yang sempurna adalah dengan memutuskan empat urat leher yang berada diantara dada dan kepala. e. Membaca Basmalah Saat Menyembelih 1) Madzhab Hanafi Para ulama Madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa apabila tidak membaca basmalah dengan sengaja ketika menyembelih, maka sembelihannya tidak halal. Jika tidak membaca basmalah itu karena lupa, maka sembelihannya halal.60 Dengan berdasarkan hadits Nabi Saw bersabda:
59 60
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika. h. 311 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 315.
40
َاَنﱠ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ: َﻋَﻦْ رَﺷِﯿْﺪِ ﺑْﻦِ ﺳَﻌَﺪٍ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨﮭُﻤَﺎٌﻗﺎَل ُ رَوَاه.َ ذَﺑِﯿْﺤَﺔُ اﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺣَﻼَلٌ وَاِنْ ﻟَﻢْ ﯾُﺴَﻢﱠ ﻣَﺎﻟَﻢْ ﯾَﺘَﻌَﻤﱠﺪَ وَاﻟﺼﱠﯿْﺪَ ﻛَﺬاﻟِﻚ: َﻗﺎَل 6156
َاَﺑُﻮْا دَاوُوْد
Artinya: Diriwayatkan dari Rasyid bin Sa’ad berkata : Rasulullah saw bersabda : “Sembelihan orang muslim adalah halal meskipun ia tidak menyebut nama Allah (ketika menyembelihnya), selagi ia tidak sengaja (meninggalkannya), demikian pula hewan buruan.” (HR. Abu Daud) 2) Madzhab Maliki Menurut Imam Malik, dalam hal ini Ibn Qasim meriwayatkan dari Malik dalam kitab al-Mudawwanah tentang orang yang sengaja tidak membaca basmalah ketika menyembelih, beliau berkata, “Sembelihannya jangan kamu makan. Tetapi jika ia tidak membacanya karena lupa, maka kamu boleh memakannya.”62 3) Madzhab Hanbali Imam Ahmad berpendapat bahwa apabila tidak membaca basmalah itu karena sengaja, maka sembelihannya tidak halal. Apabila tidak membacanya itu karena lupa, maka sembelihannya halal. Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw:
61
Al-Imam al-Harits bin Abu Usamah, Bughyah al-Bahits an Zawa’id Musnad al-Harits, juz I, (Bairut: Daar al-Fikr, 1314 H), h.478 62 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika, h. 315.
41
َاَنﱠ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ: َﻋَﻦْ رَﺷِﯿْﺪِ ﺑْﻦِ ﺳَﻌَﺪٍ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨﮭُﻤَﺎٌﻗﺎَل ُ رَوَاه.َ ذَﺑِﯿْﺤَﺔُ اﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺣَﻼَلٌ وَاِنْ ﻟَﻢْ ﯾُﺴَﻢﱠ ﻣَﺎﻟَﻢْ ﯾَﺘَﻌَﻤﱠﺪَ وَاﻟﺼﱠﯿْﺪَ ﻛَﺬاﻟِﻚ: َﻗﺎَل 6360
َاَﺑُﻮْا دَاوُوْد
Artinya: Diriwayatkan dari Rasyid bin Sa’ad berkata : Rasulullah saw bersabda : “Sembelihan orang muslim adalah halal meskipun ia tidak menyebut nama Allah (ketika menyembelihnya), selagi ia tidak sengaja (meninggalkannya), demikian pula hewan buruan.” (HR. Abu Daud) Riwayat yang kedua menyatakan bahwa tidak membaca basmalah saat menyembelih, baik sengaja maupun lupa, adalah boleh. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat bahwa para sahabat Nabi saw memberikan kemurahan untuk memakan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah.
: َ ﺟَﺎءَ رَﺟُﻞٌ اِﻟَﻰ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱢ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻓَﻘﺎَل: َوَﻋَﻦْ أﺑِﻰ ھُﺮَﯾْﺮَةَ ﻗﺎَل اِﺳْﻢُ اﷲِ ﻋَﻠَﻰ: َ ﻗﺎَل. ﯾَﺎ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ أرَأﯾْﺖُ اﻟﺮﱠﺟُﻞَ ﯾَﺬﺑَﺢُ وَﯾَﻨْﺴَﻰ أنْ ﯾُﺴَﻤﱠﻰ اَﺧْﺮَﺟَﮫُ اﻟﺪﱠارُﻗُﻄْﻨِﻲ.ٍﻛُﻞﱢ ﻣُﺴْﻠِﻢ
6461
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ada orang datang dan bertanya kepada Nabi saw. “wahai Rasulullah,” kata orang itu, “Bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang menyembelih hewan, tetapi lupa membaca basmalah.”
63
Al-Imam al-Harits bin Abu Usamah, Bughyah al-Bahits an Zawa’id Musnad al-Harits,
h.478 64
Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, Juz. IX, (India: Mathba’ah Da’irah al-Ma’arif al-Nidzamiyyah al-Ka’inah, 1344 H), h. 402. Lihat juga Sunan al-Daruquthni, Juz.IV, h. 295
42
Nabi saw menjawab, “Nama Allah ada pada setiap muslim.” (HR. Al-Daruquthni) Imam Ibn Muflih al-Hanbali memberikan alasan riwayat ini. Beliau berkata, “Karena membaca basmalah itu, apabila disyaratkan, maka sembelihan yang dilakukan dengan keraguan ketika membacanya hukumnya tidak halal. Sebab, keraguan dalam syarat merupakan keraguan dalam perbuatan yang disyaratkan itu. Padahal sembelihan yang dilakukan dengan keraguan dalam membaca basmalah adalah halal, dengan dalil bahwa sembelihan Ahli Kitab itu halal, padahal kenyataannya mereka tidak membaca basmalah. Dan disyaratkan hendaknya bacaan basmalah itu dimaksudkan untuk pada setiap hewan yang disembelihnya. Jika ia membacanya untuk seekor kambing lalu menyembelih lainnya dengan membaca basmalah itu, maka hewan yang kedua ini tidak boleh dimakan.65 Sebab perbedaan pendapat ulama dalam membaca basmalah adalah Imam Ibn Rusyd berkata, “Sebab perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam hal ini adalah karena adanya pertentangan antara makna lahir ayat al-Quran dengan Hadits”. Adapun ayat yang dimaksud firman Allah Swt:
: 6 / )اﻷﻧﻌﺎم.... (121
65
Al-Jazari, Fiqih Empat Madzhab, h. 378.
43
Artinya: “Dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika disembelih, karena sesungguhnya perbuatan itu adalah kefasikan.” (QS. Al-An’am [6] : 121) Adapun hadits yang bertentangan dengan ayat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Hisyam dari ayahnya, bahwa beliau berkata:
,َ أنﱠ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﺳَﺌﻞَ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ: ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭَﺎ وَﻻَﻧَﺪْرِي,ِ اِنﱠ اﻟﻨﱠﺎسَ ﻣِﻦْ أھْﻞِ اﻟﺒَﺎدِﯾَﺔِ ﯾَﺄْﺗُﻮْﻧَﻨَﺎ ﺑِﻠَﺤْﻤَﺎن,ِ ﯾَﺎ رَﺳُﻮْلَ اﷲ: ُﻓَﻘِﯿْﻞَ ﻟَﮫ َ ﺳَﻤﱡﻮا اﷲ: َ ﻓَﻘﺎَلَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ.َھَﻞْ ﺳَﻤﱡﻮااﷲَ ﻋَﻠَﯿْﮫِ اَمْ ﻻ رواه اﻟﺒﺨﺎري.ﻋَﻠَﯿْﮭَﺎ ﺛُﻢﱠ ﻛُﻠُﻮْا
6663
Artinya: Hadits dari Aisyah r.a : “Ada Kaum yang bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, para penduduk pedalaman (badwi) datang kepada kami sambil membawa daging. Kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah atas sembelihannya atau tidak.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Sebutlah nama Allah atas daging itu, lalu makanlah!”. (HR. Bukhari) Imam Malik berpendapat bahwa ayat di atas menasakh (menghapus hukum) hadits ini. Beliau memahami bahwa hadits ini terjadi pada masa permulaan Islam. Imam Syafi’i tidak sependapat dengan ini. Menurut beliau dari sisi redaksi, hadits tersebut terjadi di Madinah. Sedangkan ayat al-Qur’an tentang membaca basmalah turun di Makkah. Berdasarkan hal ini, Imam Syafi’i mengompromikan dua dalil di atas, yaitu dengan 66
Muhammad bin Yasin bin Abdullah, Nailul Maram fi Syarh Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Juz V, (Makkah: Al-Maktabah al-Bukhariyyah, 1412 H/1992 M), h. 134
44
memahami perintah dalam membaca basmalah sebagai sunnah. Adapun ulama yang mengaitkan kewajiban membaca basmalah ketika ingat (tidak lupa), mereka merujuk pada sabda Nabi saw:
: َﻋَﻦِ اﺑْﻦِ ﻋَﺒﱠﺎسٍ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ أنﱠ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻗﺎَل .ِاِنﱠ اﷲَ ﻋَﺰﱠ وَﺟَﻞﱠ ﺗُﺠَﺎوِزُ ﻟِﻰ ﻋَﻦْ أُﻣﱠﺘِﻰ اﻟْﺨَﻄَﺄِ وَاﻟﻨﱢﺴْﯿَﺎنِ وَﻣَﺎاﺳْﺘُﻜْﺮِھُﻮْا ﻋَﻠَﯿْﮫ رَوَاهُ اﺑْﻦُ ﻣَﺎﺟَﮫْ وَاﻟْﺒَﯿْﮭَﻘِﻲﱡ وَﻏَﯿْﺮِھِﻤَﺎ
6764
Artinya: Hadits dari Ibn Abbas r.a. Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah Swt mengampuni umatku dari sikap salah, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” (HR. Ibnu Majah, Baihaqy dan lainnya) Dalam hal membaca basmalah saat menyembelih ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Membaca basmalah saat menyembelih merupakan suatu kewajiban yang mutlak. Apabila tidak membaca basmalah, baik karena sengaja maupun lupa, maka sembelihannya tidak halal. Ini adalah sebuah riwayat dari Imam Malik dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal. 2) Membaca basmalah tersebut adalah sunnah. Apabila tidak membaca basmalah, baik karena sengaja maupun lupa, maka sembelihannya tetap halal. Ini adalah madzhab Syafi’i dan semua pengikutnya, sebuah riwayat dari Imam Malik bin Anas, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal. 67
Al-Imam Yahya bin Syarifuddin al-Nawawi, Al-‘Arba’in an-Nawawi, (Surabaya: AlHikmah, t.th), h.30
45
3) Membaca basmalah tersebut merupakan suatu kewajiban jika dalam keadaan ingat, dan menjadi gugur jika dalam keadaan lupa. Apabila tidak membaca basmalah dengan sengaja, maka sembelihannya tidak halal, tetapi apabila tidak membacanya itu karena lupa, maka sembelihannya halal. Ini adalah pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, madzhab Imam Malik bin Anas, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad.
BAB III STUDI KASUS DI INDONESIA DAGING HALAL DAN HARAM
A. Sejarah Kasus dan Fatwa Tentang Daging Halal dan Haram 1. Sejarah Terbentuknya LP POM MUI Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia atau lebih dikenal sebagai LP POM MUI, dibentuk oleh MUI supaya isu “lemak babi” yang terjadi tahun 1989 tidak terulang kembali. Pada waktu itu banyak makanan tidak laku karena diisukan mengandung lemak babi. Isu itu demikian hebatnya sehingga jika berlanjut terus diduga dapat mengganggu ekonomi negara. Untuk mengantisipasi keadaan serupa dikemudian hari, didirikanlah LP POM MUI.1 Kini LP POM MUI yang didirikan 6 Januari 1989 itu telah berumur belasan tahun. Dalam selang waktu itulah telah banyak yang dikerjakan. Pada tahun pertama kelahirannya sesuai dengan amanah MUI, lembaga ini mencoba membenahi berbagai masalah dalam makanan sehubungan dengan kehalalannya sehingga dapat menentramkan ummat Islam Indonesia yang mengkonsumsinya. Karena itu pada tahun-tahun pertama, LP POM MUI berulang kali mengadakan seminar, diskusi-diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu Syari’ah, dan kunjungan-kunjungan yang bersifat studi 1
Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, (Jakarta: Pustaka Jurnal Halal, 2008), h. 27.
46
47
perbandingan
serta
muzarakah.
Semua
dikerjakan
dengan
tujuan
mempersiapkan diri untuk dapat menentukan suatu makanan halal atau tidak, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama. Pada permulaan tahun 1994 dengan restu Menteri Agama, barulah LP POM MUI mengeluarkan sertifikat halal.2 2. Isu Lemak Babi 1988 Didalam buletin canopy (Januari 1988), yang diterbitkan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang dimuat tulisan Prof. Dr. Ir. Tri Susanto, M.Sc mengenai beberapa jenis makanan dan minuman yang mengandung lemak babi. Kehebohan mulai merebak ketika hasil penelitian itu dibahas oleh kelompok Cendekiawan Muslim Al Falah, Surabaya. Akibatnya masyarakatpun Panik. Produsen juga tidak kalah paniknya. Masyarakat mulai ketakutan membeli produk-produk yang dicurigai menyebabkan tingkat penjualan turun drastis hingga 80%.3 Kaum Muslimin di Republik ini tercengang. Kesadaran mengenai barang-barang haram bangkit secara sepontan, bersama dengan kecurigaan. Permen Sugus, Kecap ABC, Sabun Camay, pasta gigi Colgate, menjadi barang yang dihindari karena dicurigai memakai gelatin dan shortening.4
2
Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, h. 27. Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, h. 28. 4 Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, h. 28. 3
48
Omset penjualannya anjlok, PT. Sanmaru Food Manufacture, produsen Indomie, mengaku penjualan produknya turun 20-30% dari omset 40 juta bungkus perbulannya. Penjualan Kecap Bango merosot rata-rata 75%. Penjualan Kecap ABC melorot hingga 20%. Produsen Biskuit Siong Hoe terpaksa
mengurangi
produksinya
menjadi
sepertiga
dari
produksi
sebelumnya, yang 5 ton perhari. Penjualan es krim Campina, yang ikut tersikut isu “lemak babi” turun hingga 40%.5 Untuk mendongkrak penjualan susu Dancow, produsennya PT. Food Specialties Indonesia (FSI), mengeluarkan dana iklan Rp. 340 juta. Bahkan karena paniknya, Presiden Direktur FSI Anthony F. Walker, sempat mengatakan tidak akan mengambil susu dari Boyolali, artinya mata pencaharian sekitar 71 ribu peternak sapi didaerah itu juga terancam. Anthony lega ketika Dirjen POM Depkes menyatakan bahwa lesitin yang menjadi bahan susu Dancow yang dicurigai berasal dari lemak babi, sesungguhnya dari lemak nabati.6 Inilah tragedi nasional lemak babi yang menggoncang ketenangan bathin umat, mengharu-birukan dunia industri pangan, menggangu stabilitas ekonomi dan politik nasional itulah yang menjadi momentum didiriknnya LP POM MUI.
5 6
Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, h. 28 Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, h. 28
49
3. Suatu Kaidah Ushul Fiqih Ketika akibat isu lemak babi itu mencapai puncaknya, dalam arti hampir tidak terkendali, Sekretaris Jendral Departemen Agama yang pada waktu itu dijabat oleh Dr. H. Tarmizi Taher diutus menemui Ketua Umum MUI, Kiai Haji Hasan Basri. Menurut cerita beliau, ketika disampaikan apa yang telah terjadi akibat “isu lemak babi” itu, maka dengan tenang Bapak Hasan Basri, mengucapkan suatu kaidah “Ushul Fiqih” yaitu7 : 88
ِدَرْءُ اﻟْﻤَﻔﺎَﺳِﺪِ أوْﻟَﻰ ﻣِﻦْ ﺟَﻠْﺐِ اﻟْﻤَﺼَﺎﻟِﺢ
Artinya : “Mencegah kerusakan lebih baik didahulukan untuk menjaga kemaslahatan orang banyak” Ada dua hal tindakan yang diambil oleh MUI pada waktu itu. Pertama bagaimana memperbaiki keadaan yang sedang berlangsung, yang sudah menjurus terganggunya stabilitas ekonomi dan yang kedua bagaimana supaya hal ini tidak terjadi lagi dikemudian hari. Karena itu MUI segera mengadakan rapat Paripurna terbatas pada tanggal 1 Desember 1988. Rapat ini dihadiri oleh anggota MUI, Menteri Agama dan Menteri Kesehatan. Hasil rapat ini kemudian ditindak-lanjuti dengan memberikan himbauan kepada para produsen makanan, termasuk yang dihidangkan di hotel dan restoran, agar memproduksi,
memperdagangkan
dan
menghidangkan
makanan
dan
minuman yang sungguh-sungguh bersih dari bahan-bahan haram. Semua ini 7
Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, h. 28 Syekh Achmad bin Syekh Muhammad Al-Zarqa, Syarh al-Qaa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1938M/1357H), 205 8
50
harus ditunjukkan secara jelas dengan menggunakan label, papan nama dan sebagainya yang bertuliskan makanan halal. Untuk memperbaiki ini, MUI membentuk suatu Tim, yang bertugas untuk meninjau beberapa pabrik yang dicurigai. Lalu terlihat di layar TV, koran-koran dan majalah, gambar para ulama meminum susu dan memakan mie. Konon menurut cerita, yang diminum adalah susu segar Sapi Gratis tapi umat menganggap itu adalah susu segar Dancow. 9 Semua itu merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh MUI untuk memperbaiki keadaan pada waktu isu lemak babi memanas. 4. Visi dan Misi LP POM MUI Visi dari LP POM MUI adalah menjadi lembaga sertifikasi halal terpercaya di Indonesia dan dunia untuk memberikan ketentraman bagi umat. Islam serta menjadi pusat halal dunia yang memberikan informasi, solusi dan standar halal yang diakui secara nasional dan internasional.10 Ulama berwenang menetapkan hukum kehalalan pangan yang disebabkan modifikasi teknologi atau perubahan lainnya tidak memenuhi dasar pasti. Namun demikian ada banyak faktor yang mempengaruhi dapat dipercayanya suatu lembaga, diantaranya profesionalisme, keterbukaan, kejujuran, kemandirian, dan sebagainya, dan semua ini dalam konteks misi lembaga. Tetapi pada akhirnya kepercayaan kepada suatu lembaga, termasuk
9
Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, h. 30. LP POM MUI. Indonesia Halal Directory. (Jakarta: LP POM MUI, 2010). h. 28.
10
51
lembaga ini, akan ditentukan oleh masyarakat pengguna. Namun kini pada kenyataanya “kepercayaan” umat kepada LP POM MUI telah dapat dibina. Karena itu muncul Visi kedua yang lebih mendunia, yaitu: “Membudidayakan umat Islam untuk mengkonsumsi produk halal dan mengajarkan seluruh pelaku usaha untuk berproduksi halal”11 Sedangkan misi dari LP POM MUI adalah: a. Membuat dan mengembangkan standar sistem pemeriksaan halal. b. Melakukan sertifikasi halal untuk produk-produk halal yang beredar dan dikonsumsi masyarakat. c. Mendidik dan menyadarkan masyarakat untuk senantiasa mengkonsumsi produk halal. d. Memberikan informasi yang lengkap dan akurat mengenai kehalalan produk dari berbagai aspek.12 Dilihat dari visi dan misi LP POM MUI, sangatlah jelas bahwa lembaga ini merupakan lembaga yang khusus dalam menangani kehalalan keseluruhan makanan, obat serta kosmetik di Indonesia.
11 12
Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, h. 114. LP POM MUI. Indonesia Halal Directory, h. 10.
52
B. Sejarah Kasus dan Penetapan Fatwa Tentang Daging Halal dan Haram 1. Memakan Kepiting Masalah kepiting membuat masyarakat mempertanyakan kehalalan memakannya. Untuk itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, dalam rapat komisi bersama dengan pengurus Harian MUI dan
Lembaga Pengkajian
Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H/15 Juni 2002 memutuskan fatwa tentang kepiting. Fatwa tersebut diambil setelah kalangan umat Islam Indonesia mulai mempertanyakan status hukum mengkonsumsi kepiting. Fatwa tersebut menetapkan, bahwa kepiting adalah halal untuk dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia.13 Dalil-dalil yang berkaitan dengan fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
(168 : 2 / )اﻟﺒﻘﺮة
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkahlangkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 168)
13
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 306.
53
(157 : 7 / )اﻷﻋﺮاف…..
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk….” (QS. Al- A'raaf [7] : 157)
(114 : 16 / )اﻟﻨﺤﻞ
Artinya : “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. an-Nahl [16]: 114)
(29 : 2 / )اﻟﺒﻘﺮة
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikanNya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 29)
(88 : 5 / )اﻟﻤﺎﺋﺪة Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. al- Maa-idah [5]: 88)
54
Hadits-hadits Nabi Saw yang berkenaan dengan kehalalan maupun keharaman sesuatu yang dikonsumsi, antara lain:
ِ ﺳُﺌِﻞَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَ ْﯿﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻋَﻦِ اﻟﺜﱠﻤْﻦِ وَاﻟْﺠُﺒْﻦ: ّﻋَﻦْ ﺳَﻠْﻤَﺎنَ اﻟﻔﺎَرِﺳِﻲ اَﻟْﺤَﻼَلُ ﻣَﺎ أﺣَﻞﱠ اﷲُ ﻓِﻰ ﻛِﺘﺎَﺑِﮫِ وَاﻟْﺤَﺮَا ُم ﻣَﺎ ﺣَﺮﱠمَ اﷲُ ﻓِﻰ ﻛِﺘﺎَﺑِﮫِ وَﻣَﺎ: َ ﻓَﻘﺎَل,ِوَاﻟْﻔِﺮَاء (ﺳَﻜَﺖَ ﻋَﻨْﮫُ ﻓَﮭُﻮَ ﻣِﻤﱠﺎ ﻋَﻔﺎَﻟَﻜُﻢْ )رَوَاهُ اﺑْﻦُ ﻣَﺎﺟَﮫ وَاﻟﺘﱢﺮْﻣِﯿْﺬِى Artinya: “Dari Salaman bin al-Faris berkata: Rasulullah Saw pernah ditanya tentang lemak, keju, dan kulit yang berbulu, maka Rasulullah Saw berkata: sesuatu yang halal merupakan apa-apa yang telah dihalalkan oeh Allah dalam kitab-Nya dan sesuatu yang haram merupakan apa-apa yang telah diharamkan dalam kitabNya. Dan apa-apa yang tidak disebutkan dalam kitab-Nya maka akan dimaafkan.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).14
ِ ﺳُﺌِﻞَ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱢ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻋَﻦْ ﻣَﺎء: َﻋَﻦْ اَﺑِﻰ ھُﺮَﯾْﺮَةَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻗﺎَل ﺻَﺤﱠﺤَﮫُ اﺑْﻦُ ﺣِﺒﱠﺎن وَاﺑْﻦُ اﻟﺴﱠﻜَﻦ.ُ وَاﻟْﺤِﻞﱡ ﻣَﯿْﺘَﺘُﮫ,ُ ھُﻮَ اﻟﻄﱠﮭُﻮْرُ ﻣَﺎؤُه: َاﻟّﺒَﺤْﺮِ ﻓَﻘﺎَل وَاﻟﺘﱢﺮْﻣِﯿْﺬِى وَاﻟْﺒُﺨَﺎرِى
1515
Artinya: Hadits dari Abi Hurairah r.a. berkata: Nabi ditanya tentang air laut. Nabi menjawab : “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Ibn Hibban, Ibn Sakn, Tirmidzi dan Bukhari). Dari Qaidah Fiqhiyyah.
ِاَﻟْﺄﺻْﻞُ ﻓِﻰ اﻟْﺄﺷْﯿَﺎءِ اَﻟْﺎِﺑﺎَﺣَﺔِ ﺣَﺘﱠﻰ ﯾَﺪُلﱡ اﻟﺪﱠﻟِﯿْﻞُ ﻋَﻠَﻰ اﻟﺘﱠﺤْﺮِﯾْﻢ Artinya : “Hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah mubah (boleh), sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”.16 14
As-Syaukani, Nailul Awthar, (t.t: Maktabah al-Imam, t.th), Juz. VII, h. 115 Al-Imam Taqyuddin Abi Bakr bin al-Husaini al-Syafi’i, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Daar al-Nasyr al-Mishriyyah, t.th), h. 6 15
55
Selain
dalil-dalil
di
atas,
Majelis
Ulama
Indonesia
juga
memperhatikan dalil-dalil ilmiah yang disampaikan oleh Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) dalam makalah ekobiologi kepiting bakau (Scylla spp) yang disampaikan pada Rapat Komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu 15 Juni 2002. Menurut Dr. Sulistiono,: “ ada 4 (empat jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas masyarakat, yaitu: sylla serrata, sylla tranquebarrica, sylla olivacea, sylla paramamosain. Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan “kepiting”. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan, bahwa kepiting bernafas dengan insang, berhabitat di air, tidak akan pernah mengeluarkan telur di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air. Kepiting termasuk keempat jenis diatas hanya ada yang hidup di air tawar saja, hidup di air laut saja, hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam: di laut dan di darat.)17 Dari ribuan spesies itu, ada tiga jenis kepiting yang dikenal masyarakat Indonesia. Pertama, rajungan, yang hidup di perairan laut, kedua, kepiting kecil yang hidup di darat, biasa digunakan sebagai makanan ternak, ketiga, kepiting yang hidup di tambak air payau, sering disebut kepiting tambak atau kepiting bakau. Masyarakat mengenal kepiting tambak ini hanya
16
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (al-Qowa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Cet.II, h. 25 17 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h.311-312.
56
satu jenis. Hal itu karena memang keempat jenis kepiting tersebut bentuknya sama persis.18 Menurut Sulistiono, dari keempat jenis kepiting yang telah disebutkan, yang paling banyak dikonsumsi adalah Scylla serrata dan Scylla tranquebarica. Bahkan menurutnya, didaerah Cilacap, Scylla tranquebarica ini sudah menjadi makanan sehari-hari. Sulistiono memastikan bahwa kepiting bukan hewan amphibi seperti katak. Katak bisa hidup di air dan di darat karena bernapas dengan paru-paru dan kulit. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan 4-5 hari, kata Sulistiono, karena insangnya menyimpan air, sehingga bisa bernapas. “Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, akan terjadi evaporasi, akhirnya akan mati. Jadi kepiting tidak bisa lepas dari air,” kata Sulistiono kepada Tata Haidar Riza dari Gatra.19 Jadi kepiting itu hanya bisa hidup diair saja, tidak bisa hidup di dua alam yaitu darat maupun air, karena kepiting bernafas bernafas dengan insang bukan dengan paru-paru. 2. Memakan dan Membudidayakan Kodok Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kodok adalah, “Binatang amphibi pemakan serangga yang hidup di air sawah atau daratan, berkulit
18
“Kepiting : Halal atau Haram ?,” dapat dilihat di http://www.gatra.com/2002-0712/artikel.phpid=18889 diakses pada 08 September 2010 19 “Kepiting : Halal atau Haram ?,” dapat dilihat di http://www.gatra.com/2002-0712/artikel.phpid=18889 diakses pada 08 September 2010
57
licin berwarna hijau atau merah kecoklat-coklatan, kaki belakang lebih panjang daripada kaki depan, pandai melompat dan berenang.”20 Pada tahun 1984 Pemerintah telah menganjurkan para petani untuk beternak kodok hijau di Propinsi Sumatra Barat. Dalam usaha agar pemerintah memperoleh dukungan terhadap program itu, maka kantor Departemen Pertanian daerah Sumatra Barat telah mengirimkan surat kepada Majelis Ulama Daerah Sumatra Barat tersebut, meminta pendapat resmi mereka mengenai soal peternakan kodok hijau dan soal memakan dagingnya. Sebagai sambutan atas pertanyaan itu Majelis Ulama Daerah telah bersidang pada tanggal 21 Juli 1984 dan sampai pada kesimpulan, bahwa membudidayakan maupun memakan daging kodok hijau dibolehkan oleh agama Islam. Mereka mendasarkan fatwa pada dalil bahwa setiap makhluk hidup yang dapat dimakan yang diciptakan Allah SWT di dunia pada dasarnya adalah halal, kecuali beberapa binatang tertentu yang jelas dilarang dalam al-Qur’an. Dalam masalah kodok, menurut dalil tersebut, larangan itu tidak ada. Fatwa tersebut dikeluarkan pada hari yang sama dan ditandatangani oleh H. Jalaludin dan Datuk Palimo Kayo, Ketua Umum Majelis Ulama Daerah Sumatra Barat.21 Namun, hasil fatwa Majelis Ulama Daerah Sumatra Barat telah bertentangan dengan hasil fatwa Majelis Ulama Daerah Nusa Tenggara Barat 20
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 452. Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarno, h. 85 21
58
sebuah propinsi yang letaknya kira-kira 30 KM jauhnya dalam kasus yang sama. Fatwa Majelis Ulama Daerah Nusa Tenggara Barat menyatakan, bahwa beternak kodok maupun memakan dagingnya dilarang dalam Islam. Dengan alas an, bahwa kodok merupakan binatang yang hidup baik dalam air maupun di daratan pada waktu yang sama22 Kemudian untuk mencegah
konflik dan
kebingungan dalam
masyarakat pada saat itu, Komisi Fatwa MUI mengadakan rapat di Jakarta pada tanggal 12 November 1984. Selain dihadiri oleh Ketua dan anggota Komisi Fatwa, rapat itu dihadiri pula oleh para wakil Majelis Ulama daerah dari berbagai propinsi, termasuk kedua propinsi yang saling bertentangan, Sumatra Barat dan Nusa Tenggara Barat, sejumlah Dekan Fakultas Syariah dari seluruh tanah air dan beberapa pakar dari IPB. Setelah mempelajari dalildalil dari kedua belah pihak yang bertentangan, maka para hadirin bersepakat untuk mengeluarkan suatu fatwa yang bersifat kompromi, yang menyatakan bahwa MUI membenarkan adanya pendapat Mazhab Syafi’i/jumhur ulama tentang tidak halalnya memakan daging kodok, dan membenarkan pula adanya pendapat Imam Malik tentang halalnya daging kodok tersebut. Kemudian membudidayakan kodok hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Fatwa tersebut ditandatangani oleh Ibrahim Hosen selaku Ketua Komisi, dan Hasan Basri
22
Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, h. 86.
59
dan Prodjokusumo, berturut-turut sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.23 Adapun dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah yang digunakan oleh MUI tentang hukum memakan dan membudidayakan kodok, adalah sebagai berikut: Firman Allah SWT:
... (145 : 6 / )اﻷﻧﻌﺎم Artinya : ”Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.......” (QS. al-An’am [6]: 145)
(96 : ٥ / )اﻟﻤﺎﺋﺪة… Artinya : ”Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan…..(QS. al-Maa-idah: 96)
(157 : 7 / )اﻷﻋﺮاف… ….. Artinya : “…..dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk ….” (QS. al-A’raaf [7]: 157).
23
Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, h.86.
60
Hadits Nabi Muhammad Saw:
ِ ﺳُﺌِﻞَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَ ْﯿﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻋَﻦِ اﻟﺜﱠﻤْﻦِ وَاﻟْﺠُﺒْﻦ: ّﻋَﻦْ ﺳَﻠْﻤَﺎنَ اﻟﻔﺎَرِﺳِﻲ اَﻟْﺤَﻼَلُ ﻣَﺎ أﺣَﻞﱠ اﷲُ ﻓِﻰ ﻛِﺘﺎَﺑِﮫِ وَاﻟْﺤَﺮَامُ ﻣَﺎ ﺣَﺮﱠمَ اﷲُ ﻓِﻰ ﻛِﺘﺎَﺑِﮫِ وَﻣَﺎ: َ ﻓَﻘﺎَل,ِوَاﻟْﻔِﺮَاء (ﺳَﻜَﺖَ ﻋَﻨْﮫُ ﻓَﮭُﻮَ ﻣِﻤﱠﺎ ﻋَﻔﺎَﻟَﻜُﻢْ )رَوَاهُ اﺑْﻦُ ﻣَﺎﺟَﮫ وَاﻟﺘﱢﺮْﻣِﯿْﺬِى Artinya: “Dari Salaman bin al-Faris berkata: Rasulullah Saw pernah ditanya tentang lemak, keju, dan kulit yang berbulu, maka Rasulullah Saw berkata: sesuatu yang halal merupakan apa-apa yang telah dihalalkan oeh Allah dalam kitab-Nya dan sesuatu yang haram merupakan apa-apa yang telah diharamkan dalam kitabNya. Dan apa-apa yang yang tidak disebutkan dalam kitab-Nya maka akan dimaafkan.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).24 Dalil rasional fatwa ini mengatakan, penggunaan kulit hewan yang sudah disamak dibolehkan Islam, maka masalah beternak kodok dapat dipersamakan dengan penyamakkan kulit. Semua binatang, kecuali anjing dan babi, dinyatakan bersih, maka kodok juga termasuk hewan yang bersih. Oleh karena itu, beternak dan menjual kodok adalah halal, karena kodok tidak dianggap sebagai hewan yang najis. Dengan perkataan lain, beternak kodok untuk dijual dibolehkan dalam Islam.25 Menurut keterangan tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor Dr. Muhammad Eidman M. Sc., bahwa dari lebih kurang 150 jenis kodok berada di Indonesia baru 10 jenis yang diyakini tidak mengandung racun, yaitu rana macrodon, rana ingeri, rana magna, rana modesta, rana canerivon, rana 24 25
388
As-Syaukani, Nailul Awthar, Juz VII., h. 115 Shiddiq Muhammad Jamil, Sunnan Abu Daud, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th), h. 387-
61
hinascaris, rana glandilos, hyhrun arfiki, hyhrun pagan, dan rana catesbiana.26
3. Memakan dan Membudidayakan Cacing Selain kodok, binatang yang diperdebatkan kehalalan memakannya adalah cacing. Salah satu bentuk nyata dari pemanfaatan ciptaan Allah SWT secara optimal adalah pembudidayaan cacing dengan menggunakan cocopeat atau palmpeat (serbuk serabut kelapa atau serbuk serabut batang palm) sebagai media dan passing (hasil olahan sampah singkong) sebagai pakan, seperti yang telah diajukan oleh Ketua Avtech Indonesia, melalui suratnya nomor: 0011/Pr/AVTECH/01/00 tanggal 19 Januari 2000.27 Hewan cacing juga bisa digunakan sebagai makanan hewan tertentu, obat-obatan, jamu dan kosmetik, maupun untuk dikonsumsi oleh manusia. Melihat
fenomena
tersebut,
sebagian
umat
Islam
mulai
mempertanyakan boleh tidaknya memakan dan membudidayakan cacing dengan menggunakan cocopeat dan palmpeat sebagai media dan Passing sebagai pakan. Untuk itu, masyarakat memerlukan penjelasan tentang hukum membudidayakan, memakan, dan memanfaatkan cacing.
26
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 207. 27 M. Hamdan Rasyid, Fiqh Indonesia; Himpunan Fatwa-fatwa Aktual, (Jakarta: P.T. AlMawardi Prima, 2003), h. 261.
62
Merespon kebutuhan masyarakat terhadap kejelasan status hukum cacing tersebut, sidang komisi fatwa digelar dan makalah budidaya cacing dipresentasikan oleh Dr. KH. Ahmad Munif, pada sidang Komisi Fatwa MUI pada tanggal 18 April tahun 2000. Fatwa ini juga mengakomodir pandangan para ahli budidaya cacing serta pandangan para peserta Komisi Fatwa. Setelah mempelajari dalil-dalil dari makalah yang dipresentasikan dan pandangan para ahli, maka para hadirin sepakat untuk mengeluarkan sebuah fatwa, yang menyatakan bahwa MUI membenarkan pendapat ulama (Imam Malik,Abi Laila, dan al-Auz’i) yang menghalalkan memakan cacing sepanjang bermanfaat
dan
tidak
membahayakan
dan
pendapat
ulama
yang
mengharamkan memakannya, membudidayakan cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, untuk pakan burung misalnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan hukum Islam, dan membudidayakan cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, untuk pakan burung misalnya, tidak untuk dijual, hukumnya mubah (boleh).28 Dalil-dalil yang digunakan oleh MUI pusat dalam menetapkan fatwa tersebut, adalah sebagai berikut :
(29 : 2 / )اﻟﺒﻘﺮة … Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu sekalian.” (QS. al-Baqarah [2]: 29)
28
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 257.
63
: 45 / )اﻟﺠﺎﺛﯿﺔ … (13 Artinya: “dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya..….” ( QS. al-Jaatsiyah [45] : 13)
(20 : 31 / )ﻟﻘﻤﺎن….
Artinya: “tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin….”. (QS. Luqman [31] : 20) Hadits-hadits Rasulullah Saw:
ِ ﺳُﺌِﻞَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻋَﻦِ اﻟﺜﱠﻤْﻦِ وَاﻟْﺠُﺒْﻦ: ّﻋَﻦْ ﺳَﻠْﻤَﺎنَ اﻟﻔﺎَرِﺳِﻲ اَﻟْﺤَﻼَلُ ﻣَﺎ أﺣَﻞﱠ اﷲُ ﻓِﻰ ﻛِﺘﺎَﺑِﮫِ وَاﻟْﺤَﺮَامُ ﻣَﺎ ﺣَﺮﱠمَ اﷲُ ﻓِﻰ ﻛِﺘﺎَﺑِﮫِ وَﻣَﺎ: َ ﻓَﻘﺎَل,ِوَاﻟْﻔِﺮَاء (ﺳَﻜَﺖَ ﻋَﻨْﮫُ ﻓَﮭُﻮَ ﻣِﻤﱠﺎ ﻋَﻔﺎَﻟَﻜُﻢْ )رَوَاهُ اﺑْﻦُ ﻣَﺎﺟَﮫ وَاﻟﺘﱢﺮْﻣِﯿْﺬِى Artinya: “Dari Salaman bin al-Faris berkata: Rasulullah Saw pernah ditanya tentang lemak, keju, dan kulit yang berbulu, maka Rasulullah Saw berkata: sesuatu yang halal merupakan apa-apa yang telah dihalalkan oeh Allah dalam kitab-Nya dan sesuatu yang haram merupakan apa-apa yang telah diharamkan dalam kitabNya. Dan apa-apa yang tidak disebutkan dalam kitab-Nya maka akan dimaafkan.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).29 Kaidah fiqh:
ِاَﻟْﺄَﺻْﻞُ ﻓِﻰ اﻟْﻤَﻨﺎَﻓِﻊِ اَﻟْﺎِﺑَﺎﺣَﺔ
29
As-Syaukani, Nailul Awthar, Juz VII., h. 115
64
Artinya: “Pada dasarnya mubah/halal.”
segala
sesuatu
yang
bermanfaat
adalah
Fatwa tentang makan dan budidaya cacing serta jangkrik tertuang dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan Nomor : Kep139/MUI/IV/2000, disetujui dan ditandatangani oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen, dan Drs. Hasanudin, M.Ag., selaku Ketua Komisi Fatwa dan Sekretaris Komisi Fatwa pada tanggal 18 April tahun 2000 dan ditetapkan di Jakarta.
C. Ketentuan Fatwa MUI Tentang Penyembelihan Hewan di Indonesia 1. Ketentuan Umum a. Penyembelihan adalah penyembelihan hewan sesuai dengan ketentuan hukum Islam. b. Pengolahan adalah proses yang dilakukan terhadap hewan setelah disembelih, yang meliputi antara lain pengulitan, pencincangan, dan pemotongan daging. c. Stunning adalah suatu cara melemahkan hewan melalui pemingsanan sebelum pelaksanaan penyembelihan agar pada waktu disembelih hewan tidak banyak bergerak.
65
d. Gagal penyembelihan adalah hewan yang disembelih dengan tidak memenuhi standar penyembelihan halal. 30 2. Ketentuan Hukum a. Standar Hewan Yang Disembelih 1) Hewan yang disembelih adalah hewan yang boleh dimakan. 2) Hewan harus dalam keadaan hidup ketika disembelih. 3) Kondisi hewan harus memenuhi standar kesehatan hewan yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan. b. Standar Penyembelihan 1) Beragama Islam dan sudah akil baligh. 2) Memahami tata cara penyembelihan secara syari’i. 3) Memiliki keahlian dalam penyembelihan. c. Standar Alat Penyembelihan 1) Alat penyembelihan harus tajam. 2) Alat dimaksud bukan kuku, gigi/taring atau tulang. d. Standar Proses Penyembelihan 1) Penyembelihan dilaksanakan dengan niat menyembelih dan menyebut asma Allah. 2) Penyembelihan
dilakukan
dengan
mengalirkan
darah
melalui
pemotongan saluran makanan (mari’/esophagus), saluran pernafasan
30
IV. h. 64.
LP POM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, (Jakarta: LP POM MUI, 2010), Cet.
66
(hulqum/trachea), dan dua pembuluh darah (wadajain/vena jugularis dan arteri carotids). 3) Penyembelihan dilakukan dengan satu kali dan secara cepat. 4) Memastikan adanya aliran darah dan/atau gerakan hewan sebagai tanda hidupnya hewan (hayah mustaqirrah). 5) Memastikan matinya hewan disebabkan oleh penyembelihan tersebut. e. Standar Pengolahan, Penyimpanan, dan Pengiriman 1) Pengolahan dilakukan setelah hewan dalam keadaan mati oleh sebab penyembelihan. 2) Hewan yang gagal penyembelihan harus dipisahkan. 3) Penyimpanan dilakukan secara terpisah antara yang halal dan nonhalal. 4) Dalam proses pengiriman daging, harus ada informasi dan jaminan mengenai
status
kehalalannya,
mulai
dari
penyiapan
(seperti
pengepakan dan pemasukan ke dalam kontainer), pengangkutan (seperti pengapalan/shipping), hingga penerimaan. f. Lain-Lain 1) Hewan yang akan disembelih, disunnahkan untuk dihadapkan ke kiblat. 2) Penyembelihan semaksimal mungkin dilaksanakan secara manual, tanpa didahului dengan stunning (pemingsanan) dan semacamnya. 3) Stunning (pemingsanan) untuk mempermudah proses penyembelihan hukumnya boleh, dengan syarat:
67
a) Stunning hanya menyebabkan hewan pingsan sementara, tidak menyebabkan kematian serta tidak menyebabkan cedera permanen; b) Bertujuan untuk mempermudah penyembelihan; c) Pelaksanaannya sebagai bentuk ihsan, bukan untuk menyiksa hewan; d) Peralatan stunning harus mampu menjamin terwujudnya syarat a, b, c, serta tidak digunakan antara hewan halal dan nonhalal (babi) sebagai langkah preventif; e) Penetapan
ketentuan
stunning,
pemilihan
jenis,
dan
teknis
pelaksanaannya harus dibawah pengawasan ahli yang menjamin terwujudnya syarat a, b, c, dan d.31 4) Melakukan penggelonggongan hewan, hukumnya haram g. Ketentuan Rumah Potong Hewan 1) Harus mempekerjakan jagal yang beragama Islam dan terlatih dalam proses penyembelihan sesuai dengan syariat Islam (memiliki sertifikat penyembelih) 2) Lokasi penyembelihan jauh dari tempat peternakkan dan pemotongan babi. 3) Menerapkan standar pelaksanaan penyembelihan sesuai dengan syariat Islam. 32
31
LP POM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal,. 64. LP POM MUI, Pedoman Mendapatkan Sertifikat Halal, (Jakarta: LP POM MUI, 2010),
32
h.4.
68
Dengan demikian ketentuan fatwa MUI tentang penyembelihan hewan adalah sesuai dengan ketentuan hukum Islam, baik menyangkut syarat dan rukun penyembelihan. Adapun tata cara penyembelihan yang sesuai dengan fatwa MUI adalah 1. Memutus jalan nafas (hulqum) 2. Memutus jalan makanan (mar’i) 3. Memutus dua urat nadi (wadajain) 4. Membaca basmalah Teknik penyembelihan dapat dilakukan dengan pemingsanan atau tanpa pemingsanan terlebih dahulu. Apabila hewan potong sebelum disembelih dipingsankan terlebih dahulu maka pemingsanannya dilakukan sesuai dengan fatwa MUI.
BAB IV SISTEM PENYEDIAAN DAGING HALAL YANG COCOK DITERAPKAN DI JEPANG
A. Masalah Makanan Non Islam Bagi Kaum Islam di Jepang 1. Masalah Budaya Konsumsi Babi Memang karunia yang amat besar jika sejak dahulu kala Allah mengharamkan manusia makan babi dan memanfaatkan lemaknya untuk berbagai keperluan. Dalam pengharaman ini Allah telah jelas melarang mengkonsumsi daging babi, yaitu dalam QS al-Baqarah 173:
: 2 / )اﻟﺒﻘﺮة (173 Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah [2]: 173) Keharaman makan daging babi dimaksudkan supaya manusia terhindar dari penyakit-penyakit tertentu yang timbul karena makan daging babi. Salah satunya adalah trichinellosis yang gejalanya adalah muntahmuntah, diare, penyusutan saluran pencernaan, penyakit usus, demam, tumor
69 57
70
dan sesak nafas, yang menyebabkan kematian karena komplikasi berupa pembengkakkan paru-paru atau rendahnya denyut jantung.1 Dapat dipastikan bahwa babi adalah binatang yang paling kotor, karena hidupnya selalu berada dalam lingkungan yang kotor, najis dan merupakan sarang penyakit.2 Kalau seseorang berjalan jarak kurang lebih 200 meter dari kandang babi, orang tersebut sudah menutup hidung karena baunya busuk. Dengan keadaan kandang seperti itu biasanya segala jenis cacing senang bertempat tinggal disitu sudah barang tentu cacing-cacing tersebut langsung masuk dalam tubuh babi lewat makanannya maupun langsung masuk tubuh lewat pori-pori kulit babi.3 Walaupun babi makan rumput atau dedaunan, tetapi ia sering makan bangkai dan memakan kotorannya sendiri sampai kotoran manusia. Secara psikis babi memiliki tabiat yang malas, tidak menyukai matahari, sangat suka makan dan tidur, memiliki sifat tamak, dan tidak memiliki kehendak dan daya juang, bahkan untuk membela diri sekalipun.4 Dalam tinjauan ilmu pangan, binatang babi (khususnya manfaat lemaknya) ternyata memang mempunyai banyak manfaat. Misalnya, lemak babi dipergunakan untuk mencampuri bahan penyedap rasa sehingga 1
Mahmud Ahmad Najib, Pemeliharaan Kesehatan dalam Islam, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1990). Cet. I, h. 24. 2 Abdurrahan Al-Baghdad, Babi Halal Babi Haram,. (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), Cet.V, h. 22. 3 Wagino Ali Mashuni, Kebersihan dan Kesehatan dalam Ajaran Islam, (Pasuruan: PT. Garoeda Buana Indah, 1994), Cet. III, h. 98. 4 www.google.com. Bahaya Daging Babi Bagi Kesehatan. Artikel: Maulana Nusantara, September 21, 2008.
71
menambah lezat, atau bisa dipergunakan untuk mencampuri makanan kecil (snack) agar tetap renyah.5 Lemak babi ini cukup luas pemanfaatannya dikalangan masyarakat non muslim. Lemak juga biasa digunakan sebagai kaldu pada masakkan tertentu. Dalam produk olahan, lemak babi bisa diubah menjadi shortening yang banyak digunakan dalam pembuatan roti, kue, cake, dan biskuit agar teksturnya menjadi renyah dan rasanya gurih.6 Kenyataan yang terjadi di Jepang kebanyakan masakkan dan makanan yang ada di Jepang mengandung daging babi. Hal ini disebabkan karena masalah selera dan ekonomi (daging babi yang lebih disenangi karena lebih murah dari pada daging sapi). 7 Apalagi semenjak kasus sapi gila pada tahun 2001 Orang-orang akan takut pada daging sapi sehingga mendorong konsumsi babi. Pengaruhnya meluas sampai zat-zat makanan seperti minyak, gelatin (agar-agar), kaldu, dialihkan menggunakan bahan dari babi. Karena didorong oleh kebutuhan keamanan makanan.8 Di Jepang sering ada yang disebut dengan Convinience Store (semacam alfa mart atau mini mart 24 jam), di dalamnya menjual berbagai produk makanan yang berrmacam-macam. Seperti yang penulis tandai dengan 5
Thobieb Al-Asyha, Bahaya Makanan Haram, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2002), Cet.I,
h. 205. 6
LP POM MUI, Halal Sebagai Tema Da’wah, (Pustaka Jurnal Halal, 2008), h. 25. Wawancara pribadi dengan Prof. Hideomi Muto, Wakil Ketua Japan Muslim Association, juga selaku Profesor di Takushoku University, Tokyo, Jepang. 22 September 2009. 8 Wawancara pribadi dengan Prof. Hideomi Muto 7
72
sengaja, adalah produk makanan yang semua itu didalamnya mengandung bahan dari unsur babi. Makanan tersebut lebih banyak dibanding dengan makanan yang bebas dengan campuran bahan dari unsur babi. Inilah salah satu penyebab sulitnya kaum muslim menemukan makanan yang bebas dari unsur babi. (Lihat gambar 1.) Dari sekian mie instan yang ditata dengan rapi dan ditawarkan kepada pengunjung supermarket di Jepang, hanya beberapa yang dapat dikonsumsi untuk kaum muslim. (Lihat gambar 2.) Dari sekian banyak mie instan tersebut, hampir semua mengandung bahan dari unsur babi. Hanya yang penulis beri tanda hijau sajalah yang tanpa ada unsur bahan berasal dari babi.
Gambar. 1. (Bagian merah adalah produk yang mengandung unsur haram. Sebelah kiri area mie instan, sebelah kanan minuman keras sedangkan gambar yang didalam adalah area minuman )
73
Gambar. 2. (Hanya yang diberi tanda kotak hijau yang tidak mengandung unsur babi.)
2. Masalah Budaya Konsumsi Alkohol Pengertian Khamar tidak berhenti pada minuman arak saja yang terbuat dari anggur sebagaimana awal diharamkannya, namun sudah mencakup keseluruhan aspek jenisnya yang bisa memabukkan, termasuk didalamnya minuman beralkohol.9 Berapapun kadar campuran yang bisa memabukkan, tetap mempunyai hukum haram. Sesuai dengan hadits yang berbunyi:
9
Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram, h. 194
74
َ ﻣَﺎ اَﺳْﻜَﺮ: َ ﻗﺎَلَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ: َﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ اﷲِ ﻗﺎَل 10
( )اَﺧْﺮَﺟَﮫُ اَﺣْﻤَﺪَ وَاﻷرْﺑَﻌَﺔ وَﺻَﺤﱠﺤَﮫُ اﺑْﻦُ ﺣِﺒﱠﺎن.ٌﻛَﺜِﯿْﺮُهُ ﻓَﻘَﻠِﯿْﻠُﮫُ ﺣَﺮَام
Artinya : Dari Jabir bin Abdillah berkata, Rasulullah saw. bersabda: Minuman yang jika banyak memabukkan, maka sedikitpun haram juga. (HR. Abu Daud) Mungkin tidak asing lagi dengan produk yang bernama sake ini. Di Jepang produk ini lebih banyak ditujukan sebagai minuman yang disajikan pada saat pertemuan. Tetapi di luar negara asalnya, sake lebih banyak ditujukan untuk masakan tertentu, terutama masakan khas Jepang. Sake adalah minuman beralkohol berasal dari Jepang, yang terbuat dari beras. Sementara definisi yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang sendiri terhadap sake adalah: minuman beralkohol yang terbuat dari beras, koji beras dan air, untuk kemudian mengalami proses fermentasi dan filtrasi. Definisi tersebut secara prinsip mengacu pada tipe sake tradisional yang tidak umum di Jepang.11 Di tahun 1944, selama perang dunia II, para produsen sake mulai menambahkan alkohol dalam proses pembuatan sake untuk menambah volume produksi sake mereka. Penambahan alkohol ini bertujuan untuk mengatasi kekurangan produksi sake akibat penurunan jumlah produksi beras akibat perang. Pada saat itu, sudah sekitar 2000 tahun secara tradisional 10
Muhammad bin Yasin bin Abdullah, Nailul Maram fi Syarh Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, (Makkah: Al-Maktabah al-Bukhariyyah, 1412 H/1992 M), Juz. V, h. 76 11 Mengenal Sake. dapat dilihat di http:// www.halalguide.info/2009/03/10/mengenal-sake/. diakses pada 08 September 2010
75
digunakan 100 % beras murni. Produksi sake Jepang dibagi dalam 2 tipe yang berbeda. Pertama tanpa penggunaan tambahan dan yang lain dengan menggunakan bahan tambahan.12 Di Jepang sangat umum dengan budaya mengkonsumsi alkohol. Contohnya, jika anda pergi ke restoran atau rumah makan bersama temanteman orang Jepang, untuk pertama kali mereka pasti akan memesan bir, untuk setiap orang. Kecuali mereka orang yang sedang hamil, dalam pengobatan, sedang diet, sedang dalam keadaan badan yang kurang sehat atau orang tidak bisa minum secara fisik. Sejak remaja mereka sudah boleh minum sake. Namun, tentu saja hanya satu atau dua cangkir. Sake selalu disajikan dalam tiga kategori. Dari yang biasa sampai spesial. Jenis sake yang paling biasa disebut nikyu. Kualitas yang diatasnya disebut ikkyu. Sedangkan yang spesial disebut tokkyu. Untuk acara seperti pernikahan, perayaan karena promosi jabatan atau hanya sekedar makan malam romantis tentu saja harus sake spesial. Tingginya kadar alkohol di dalam sake membuat kesan orang Jepang suka sekali mabuk.13 Penulis juga melihat disetiap supermarket yang ada di Jepang sering disebut dengan Convinience Store (mini mart 24 jam), rata-rata atau bisa 12
Mengenal Sake. dapat dilihat di http:// www.halalguide.info/2009/03/10/mengenal-sake/. diakses pada 08 September 2010 13 Misteri Dibalik Cara Hidup Masyarakat Jepang. dapat dilihat di http://kamale.wordpress.com/2005/12/21/misteri-dibalik-cara-hidup-masyarakat-Jepang. diakses pada 08 September 2010.
76
dibilang semua supermarket tersebut menjual minuman yang beralkohol. Sehingga dimana-mana bisa dilihat dan mudah untuk dibeli bagi siapapun di Jepang. Bahkan anak kecilpun bisa mendapatkannya (secara hukum anak 20 tahun keatas, dilarang bagi anak berumur dibawah 20 tahun kebawah).14 Masalah alkohol sama halnya dengan masalah babi yang menyebabkan pemakaian bahan beralkohol pada makanan-makanan, sehingga membuat kaum Muslim di Jepang waspada terhadap makanan-makanan yang dijual. Hal ini bisa dilihat dari gambar dibawah ini yang penulis ambil pada saat penulis melakukan penelitian di Jepang, yaitu pada gambar 3 dan gambar 4 yang menjelaskan keadaan minuman yang keadaannya antara minuman yang mengandung alkohol hampir sama jumlahnya dengan air minum non alkohol. Bisa dikatakan air minuman yang beralkohol 40% berbanding 60% minuman yang tidak mengandung alkohol.15
Gambar. 3. 14
Wawancara pribadi dengan Prof. Hideomi Muto, Wakil Ketua Japan Muslim Association, juga selaku Profesor di Takushoku University, Tokyo, Jepang. 22 September 2009 15 Peneliti melihat langsung di Jepang.
77
(Sepanjang area minuman, sebagian yang diberi warna merah adalah minuman keras.)
Gambar. 4. (Yang diberi warna merah adalah area minuman keras.)
3. Kekurangan Daging Halal Daging yang umum dijual di Jepang adalah daging ayam, sapi, babi, dan ikan. Pada umumnya daging-daging tersebut tentunya tidak disembelih dengan cara syar’i, karena mayoritas orang Jepang adalah non- Muslim. Maka tidak ada kebutuhan daging halal untuk mereka. Bahkan penyembelihan babi dan sapipun dilakukan pada tempat yang sama, karena bagi mereka babi dan sapi sama saja binatang yang berkaki empat. Dengan kata lain, daging halal sangat sulit didapatkan oleh kaum muslim di Jepang. 16
16
Wawancara pribadi dengan Prof. Hideomi Muto, Wakil Ketua Japan Muslim Association, juga selaku Profesor di Takushoku University, Tokyo, Jepang. 22 September 2009
78
B. Sistem Distribusi Daging di Jepang yang Sekarang Penulis telah sempat menginterview dengan Prof. Hideomi Muto mengenai sistem distribusi daging di Jepang saat ini, sehingga penulis dapatkan keterangan-keterangan sebagai berikut: 1. Sistem Distribusi Daging Non Islam Pasar daging di Jepang, dari produksi hingga pemasokkan ke tempat penjualan seperti supermarket, sudah menjadi sistem yang berlaku. Setiap hari, setiap tempat meski tidak di daerah kota, orang dapat membeli daging yang masih segar. Namun, pada saat ini belum ada pasar daging halal di Jepang. Dalam kondisi ini, apa yang dilakukan oleh kaum muslim di Jepang untuk mendapatkan daging yang aman dan halal? Kebanyakkan mereka mengkonsumsi daging sapi dan daging ayam non halal yang dijual di kebanyakkan tempat dengan konsep darurat. Mereka yang muslim membeli, memasak dan memakannya dengan membaca basmalah untuk mengkonsumsi daging non halal tersebut. 2. Penjualan Daging Halal Oleh Orang Pakistan dan Turki Terkadang, sebagian kaum Islam seperti orang Turki dan orang Pakistan muslim awam (muslim biasa, bukan seorang ahli tentang penyembelihan maupun ilmu islam) yang berhuni di Jepang melakukan penyembelihan secara pribadi. Namun hal ini belum sampai tingkat organisasi tetapi tingkat pribadi. Artinya bagi sebagian besar muslim di Jepang belum mempunyai produk daging halal yang memadahi untuk dikonsumsi.
79
3. Kerjasama Antara Asosiasi Islam Dengan Perusahaan Jepang Saat ini Japan Muslim Association sedang memberikan arahan bagi perusahaan-perusahaan produk daging di Jepang yang ingin mengekspor daging ke Timur Tengah yang berpotensi menjadi pembeli yang baik (menguntungkan) tetapi mereka hanya menerima daging yang berlabel halal, sedangkan di Jepang belum ada komisi yang memberi izin halal. Disisi lain perusahaan-perusahaan daging tersebut tidak memandang pasar daging di dalam negeri melainkan hanya ekspor saja, karena penduduk Islam di Jepang masih dibawah 1 persen.17 Dengan kata lain, pada saat ini, perusahaan tidak dapat diharapkan untuk memproduksi daging halal demi kaum Islam di Jepang.
C. Tatacara Penyembelihan Daging Halal yang Memungkinkan Diterapkan di Jepang 1. Analisis Terhadap Pendapat Para Imam Madzhab Setelah penulis melihat masalah apa yang menyebabkan sulitnya didapatkan daging halal di Jepang, serta diambil dari pemaparan yang penulis telah jelaskan didepan, menurut penulis penyembelihan yang cocok akan diterapkan di Jepang adalah penyembelihan yang tidak menyulitkan bagi konsumen sendiri dan distributor baik dari perorangan maupun sampai perusahaan. Penulis berlandaskan kepada ka’idah fiqih sebagai berikut:
17
Wawancara pribadi dengan Prof. Hideomi Muto
80
َاَﻟْﻤَﺸَﻘﱠﺔُ ﺗَﺠْﻠِﺐُ اﻟﺘﱠﯿْﺴِﺮ Artinya : “Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan.”18
Sesunggunya syariat ini tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu diluar kemampuannya, dan untuk melakukan sesuatu yang menjatuhkannya kepada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter dan hati nuraninya. Dalil-dalil yang menjadi penopang qa’idah ini:
(185 : 2 / )اﻟﺒﻘﺮة … … Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah: 185)
(28 : 4 / )اﻟﻨﺴﺎء…. Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” (QS. anNisa’[4]: 28) Syarat-syarat penyembelihan yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu sebagai berikut: a. Orang yang memotong Menurut penulis setelah memperhatikan pendapat para ulama, dalam siapa yang boleh melakukan penyembelihan adalah ulama sepakat bahwa orang yang menyembelih itu haruslah orang muslim, dan boleh Ahli Kitab. Berhubungan degan Ahli Kitab sebagian ulama berpendapat bahwa 18
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (al-Qowa’idul Fiqhiyyah), (Jakarta: Kamal Mulia, 2001), Cet.II, h. 29
81
Ahli Kitab boleh menyembelih dengan syarat menyembelihnya sesuai dengan Islam. b. Alat untuk menyembelih Menurut kesepakatan para ulama bahwa menyembelih haruslah menggunakan alat yang tajam, sehingga dapat mempercepat keluarnya nyawa hewan tersebut. Maka dari itu menurut penulis berdasarkan kesepakatan para ulama, alat yang harus digunakan haruslah yang tajam. c. Bagian yang di sembelih Dari beberapa pendapat mengenai bagian tubuh yang di sembelih, dapat penulis simpulkan bahwa para ulama tidak berbeda pendapat, yaitu leher bagian atas dan leher dekat dada. d. Teknis menyembelih Apabila kita memperhatikan hal yang disepakati ulama, maka teknis menyembelih hewan adalah dilakukan minimal dengan memutuskan tenggorokan atau kerongkongan, atau sempurnanya dengan memutuskan semua urat leher yang empat. e. Membaca basmalah Menurut madzhab Zhahiri, Ibnu Umar, Syafi’i, dan Ibnu Sirin, wajib secara mutlak. Menurut Malik, Abu Hanifah, dan Tsauri, wajib apabila ingat, dan tidak wajib apabila lupa. Menurut Syafi’i dan para
82
pengikutnya atas dasar riwayat dari Ibnu Abbas dan Abu Hanifah, sunat muakkad.19 Penulis menyimpulkan dari beberapa pendapat ulama mengenai membaca basmalah pada waktu menyembelih. Menurut penulis, membaca basmalah itu sunnah, apabila tidak membaca basmalah, baik karena lupa maupun sengaja maka sembelihannya halal. Pendapat ini diambil dari pendapat Imam Syafi’i. Dari pemaparan tata cara penyembelihan daging halal maka dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa standar syariah penyembelihan untuk mencapai hukum halal secara Internasional adalah mengalirkan darah hewan yang dikuasai, yang dagingnya halal dimakan, masih dalam keadaan hidup, minimal dengan cara memutuskan tenggorokannya atau kerongkongannya dan salah satu dari dua urat lehernya atau sempurnnya dengan memutuskan empat urat leher semuanya dengan menggunakan alat yang tajam, yang dilakukan oleh seorang muslim atau Ahli Kitab dengan syarat-syaratnya. Dalam hal ini penulis mengemukakan bahwa penyembelihan untuk mencapai hukum halal yang dapat diterapkan di Jepang adalah pendapat Hanafi. Adapun mengenai penyembelihan Ahli Kitab, penulis menganalisa bahwa pendapat yang kuat tentang istilah Ahli Kitab adalah pendapat yang mengatakan bahwa Ahli Kitab terbatas pada kalangan bani israil saja,
19
Ibnu Rusyd., Bidayatu’l Mujtahid., Penerjemah: M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Semarang: CV Asy Syifa’, 1990, Cet. I, h. 310.
83
sedangkan kaum Nashrani Arab, Nashrani non Arab dan Nashrani non Bani Israil lainnya tidak dapat dikategorikan Ahli Kitab. Jika demikian, apakah sembelihan Ahli Kitab disyaratkan harus sesuai dengan tata cara syariat Islami
seperti halnya sembelihan kaum
muslimin? Seandainya seorang muslim menyembelih hewan dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat Islam, sembelihannya tidak halal, sementara sembelihan Ahli Kitab dihalalkan, padahal ia menyembelih tidak sesuai dengan syariat islam? Ini berarti adanya sikap ketat terhadap sembelihan orang muslim, sementara terhadap sembelihan Ahli Kitab bersikap longgar, padahal orang muslim lebih tinggi kemuliannya dari pada orang kafir. Oleh karena itu, sembelihan ahli kitab disyaratkan harus sesuai dengan tata cara syariat islam. Apabila mereka menyembelih dengan cara yang tidak sesuai dengan syariah islam, maka sembelihan tersebut haram dikonsumsi oleh kaum muslimin. Hal ini sesuai dengan realita sekarang ini, lembaga-lembaga sertifikasi halal diberbagai negara tidak mengeluarkan sertifikasi halal kecuali penyembelihnya adalah seorang muslim. Tidak ada satu pun lembaga sertifikasi halal yang memperkerjakan seorang Nashrani atau Yahudi untuk memotong hewan-hewan yang dagingnya akan diekspor ke negara-negara muslim. Jika ada lembaga di sebuah negara yang memperkerjakan Nashrani
84
atau Yahudi dalam pemotongan hewan, maka tidak mustahil, pemerintah negara-negara muslim akan melarang inpor daging dari negara tersebut. Kemudian bagaimana dengan penduduk muslim jepang untuk konsumsi daging di negara jepang yang mayoritas penduduknya adalah non muslim dan kemungkinan besar penyembelihan hewan dilakukan oleh orang non muslim? Dalam masalah ini penulis mengemukakan bahwa masyarakat muslim jepang tidak akan terlepas dari mengkonsumsi daging maupun makanan yang mengandung daging. Oleh karena itu, penulis menganalisa bahwa ada 3 (tiga) hal yang dapat dijadikan dasar hukum masyarakat muslim jepang untuk mengkonsumsi daging, yaitu : 1. Islam mengajarkan adanya lima prinsip dasar yaitu menjaga agama, menjaga kelstarian jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan, dan menjaga harta. Dalam hal mengkonsumsi daging bagi masyarakat Jepang adalah untuk menjaga kelestarian jiwa dan akal. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Syauqi Al Fanjari menyatakan bahwa agar manusia dapat hidup dengan kehidupan yang sehat dan sejahtera maka ia semestinya makan daging dan tumbuh-tumbuhan secara simultan, tidak mungkin untuk memilih salah satu diantara keduanya dengan meninggalkan yang lain. Kiranya perlu mendapat perhatian bahwa bangsa yang menggantungkan dirinya kepada makanan jenis tumbuh-tumbuhan saja, maka akan lahir putra-putra bangsa yang kering dan lemah, sedang kuantitas anak yang
85
lahir pada suatu bangsa seperti ini tidak lebih dari 2 kg, sedang pada bangsa yang lain biasanya tidak lebih dari 3 kg. Oleh karena itu, disamping makan makanan jenis nabati, maka makanan jenis hewani juga perlu mendapatkan perhatian, seperti susu dan telur, jika tidak maka akan mengakibatkan kekurusan dan kekurangan darah. 2. Unsur masyaqat (Darurah). Setelah penulis melihat dari kondisi masyarakat Jepang sekarang ini yang disana sangat sulit untuk mendapatkan daging halal, dengan demikian masyarakat muslim Jepang dapat mengkonsumsi daging untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan dasar darurah. Artinya sebelum ada kejelasan tentang daging halal di Jepang, maka boleh orang muslim di Jepang mengkonsumsi daging yang berasal dari sembelihan daging oleh non muslim. Dengan catatan bahwa daging hewan yang dikonsumsi merupakan daging hewan yang dihalalkan menurut ketentuan syariat Islam. Hal ini didasarkan pada pendapat Ibnu Arabi yang pernah ditanya tentang seorang Nashrani yang memelintir ayam kemudian memasaknya. Apakah orang muslim boleh memakan daging ayam tersebut? Ibnu Arabi pun menjawab, ayam itu boleh dimakan meskipun sembelihannya tidak dilakukan berdasarkan syariat Islam. Dengan alasan bahwa Allah SWT telah menghalalkan makanan secara mutlak. Maka sesuatu yang dipandang halal menurut agama adalah halal dan Allah telah mengharamkan sesuatu secara jelas dalam al-Qur’an.
86
3. Solusi untuk konsumsi daging bagi masyarakat Jepang adalah membaca basmalah sebelum mengkonsumsinya. Hal ini sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi:
,َ أنﱠ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﺳَﺌﻞَ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ: ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭَﺎ وَﻻَﻧَﺪْرِي,ِ اِنﱠ اﻟﻨﱠﺎسَ ﻣِﻦْ أھْﻞِ اﻟﺒَﺎدِﯾَﺔِ ﯾَﺄْ ُﺗﻮْﻧَﻨَﺎ ﺑِﻠَﺤْﻤَﺎن,ِ ﯾَﺎ رَﺳُﻮْلَ اﷲ: ُﻓَﻘِﯿْﻞَ ﻟَﮫ َ ﺳَﻤﱡﻮا اﷲ: َ ﻓَﻘﺎَلَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ.َھَﻞْ ﺳَﻤﱡﻮااﷲَ ﻋَﻠَﯿْﮫِ اَمْ ﻻ 20
رواه اﻟﺒﺨﺎري.ﻋَﻠَﯿْﮭَﺎ ﺛُﻢﱠ ﻛُﻠُﻮْا
Artinya: Hadits dari Aisyah r.a : “Ada Kaum yang bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, para penduduk pedalaman (badwi) datang kepada kami sambil membawa daging. Kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah atas sembelihannya atau tidak.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Sebutlah nama Allah atas daging itu, lalu makanlah!”. (HR. Bukhari)
2. Hal-hal yang Bisa di Terapkan dari Praktek di Indonesia Menurut penulis hal-hal yang bisa diterapkan dari praktek di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Stunning (Pemingsanan) Stunning
adalah
suatu
cara
melemahkan
hewan
melalui
pemingsanan sebelum pelaksanaan penyembelihan agar pada waktu
20
Muhammad bin Yasin bin Abdullah, Nailul Maram fi Syarh Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Juz V, (Makkah: Al-Maktabah al-Bukhariyyah, 1412 H/1992 M), h. 134
87
disembelih hewan tidak banyak bergerak. Stunning untuk mempermudah proses penyembelihan hukumnya boleh, dengan syarat: 1) Stunning hanya menyebabkan hewan pingsan sementara, tidak menyebabkan kematian serta tidak menyebabkan cedera permanen; 2) Bertujuan untuk mempermudah penyembelihan; 3) Pelaksanaannya sebagai bentuk ihsan, bukan untuk menyiksa hewan; 4) Peralatan stunning harus mampu menjamin terwujudnya syarat a, b, c, serta tidak digunakan antara hewan halal dan nonhalal (babi) sebagai langkah preventif; 5) Penetapan
ketentuan
stunning,
pemilihan
jenis,
dan
teknis
pelaksanaannya harus dibawah pengawasan ahli yang menjamin terwujudnya syarat a, b, c, dan d.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari penjelasan dan pemaparan yang telah penulis kemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Makanan yang diperbolehkan didalam Islam adalah semua makanan kecuali yang jelas telah di larang oleh Allah SWT, yaitu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali hewan tersebut
sempat
menyembelihnya, dan diharamkan
hewan bagi kita yang disembelih untuk berhala. Dan semua binatang yang hidupnya dilaut adalah halal untuk dimakan, baik matinya ada sebab maupun mati dengan sendirinya, kecuali yang beracun. Begitu juga dengan semua hewan yang tidak mempunyai taring dan berkuku dari binatang buas, juga diperbolehkan didalam Islam. Islam juga membolehkan semua jenis makanan dan minuman yang baik untuk dikonsumsi oleh tubuh manusia, asalkan tidak membahayakan jiwa. Baik dalam pengertian Islam adalah sesuatu yang tidak menimbulkan
bahaya
(kemudharatan)
bagi
tubuh
sesorang
apabila
mengkonsumsi makanan tersebut. Kriteria haram untuk makanan yang tidak
88 57
89
disebut di dalam al-Qur’an dan Hadits, ada lima yaitu khabits (buruk), najis, berbahaya, memabukkan, dan anggota tubuh manusia. 2. Kondisi Indonesia sekarang mengenai makanan halal dan haram telah mempunyai pedoman dan tuntunan dari Majelis Ulama Indonesia yang telah membentuk LP POM. Contoh-contoh yang dikerjakan LPPOM MUI adalah mengatasi isu lemak babi pada tahun 1998. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H/15 Juni 2002 memutuskan fatwa tentang kepiting. Para ulama di Indonesia dalam menetapkan fatwa tidak hanya berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadits saja, melainkan juga mempertimbangkan dan memperhatikan keterangan-keterangan dari para pakar yang bersangkutan dengan apa yang ingin ditetapkan oleh MUI tentang fatwa tersebut, dan dikarenakan juga LP POM MUI belum mempunyai peralatan laboratorium, maka LP POM MUI mengadakan kerjasama dengan Institut Pertanian Bogor dan Departemen Pertanian. 3. Bagaimana penyediaan daging halal bagi kaum muslim di Jepang? Menurut kesimpulan penulis adalah daging yang disembelih tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Oleh karena itu dalam hal mengkonsumsi daging bagi masyarakat Jepang didasarkan pada 3 (tiga) hal yang dapat dijadikan dasar hukum masyarakat muslim jepang untuk mengkonsumsi daging, yaitu :
90
a. Islam mengajarkan adanya lima prinsip dasar yaitu menjaga agama, menjaga kelstarian jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan, dan menjaga harta. Dalam hal mengkonsumsi daging bagi masyarakat Jepang adalah untuk menjaga kelestarian jiwa dan akal. b. Unsur masyaqat (Darurah). Setelah penulis melihat dari kondisi masyarakat Jepang sekarang ini yang disana sangat sulit untuk mendapatkan daging halal, dengan demikian masyarakat muslim Jepang dapat mengkonsumsi daging untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan dasar darurah. Artinya sebelum ada kejelasan tentang daging halal di Jepang, maka boleh orang muslim di Jepang mengkonsumsi daging yang berasal dari sembelihan daging oleh non muslim. Dengan caatatan bahwa daging hewan yang dikonsumsi merupakan daging hewan yang dihalalkan menurut ketentuan syariat Islam. c. Solusi untuk konsumsi daging bagi masyarakat Jepang adalah membaca basmalah sebelum mengkonsumsinya.
B. Saran-saran 1. Jikalau ada standarisasi seleksi ahli penyembelihan hewan untuk dikirim keluar negeri dari Indonesia, ada kemungkinan hal tersebut bisa dimanfaatkan untuk kerja sama antara LP POM MUI dengan Japan Muslim Association. Dalam rangka pembangunan-pembangunan sistem daging halal di Jepang,
91
seperti mengirim tenaga ahli penyembelihan atau instruktur tata cara penyembelihan. 2. Dalam memakai suatu madzhab, menurut penulis lebih baiknya tidak berpatokkan atau berkukuh keras dalam satu madzhab saja. Karena agama Islam bersifat fleksibel. Memilih yang sesuai dengan hati nurani atau sesuai dengan keberadaan kondisi dalam menjalankan hidup ini. 3. Seperti yang telah dijelaskan dalam skripsi ini keadaan Jepang sangat berbeda dengan negara yang Islam. Jika terealisasi kerjasama mengirim ahli yang tertulis di saran nomor satu di atas, seharusnya seorang ahli yang akan dikirim tersebut tidak hanya tahu tentang tata cara penyembelihan menurut Syari’ah ataupun cukup dengan keberaniannya saja. Melainkan ahli tersebut haruslah mengetahui keadaan dimana ia akan ditugaskan sebagai ahli penyembelih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asyhar, Thobieb., Bahaya Makanan Haram, Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2002, Cet.I Al-Baghdad, Abdurrahan., Babi Halal Babi Haram, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, Cet.V Al-Baihaqi, Ahmad bin al-Husain bin Ali., al-Sunan al-Kubra, India: Mathba’ah Da’irah al-Ma’arif al-Nidzamiyyah al-Ka’inah, 1344 H Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il al-Imam., Shahih al-Bukhari: Bab Ma anhara al-Dam min al-Qoshb wa al-Mirwah wa al-Hadid, Bairut: Dar al-Kutub, 1376 H Al-Fanjari, Syauqi., Nilai kesehatan dalam Syariat Islam, Penerjemah Drs. Ahsin Wijaya dkk, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, Cet. I Al-Fauzan, Saleh., Fiqih Sehari-hari, Penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2005, Cet. I Al-Harits bin Abu Usamah, Al-Imam., Bughyah al-Bahits an Zawa’id Musnad alHarits, Juz I, Bairut: Daar al-Fikr, 1314 H Al-Jazari, Syekh Abdurrahman., Fiqih Empat Madzhab, Jakarta: Darul Ulum Press, 1996, Cet.I Al-Nawawi, Al-Imam Yahya bin Syarifuddin., Al-‘Arba’in an-Nawawi, Surabaya: Al-Hikmah, t.th Al-Sijistani, Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq al-Azdi., Sunan Abu Dawud, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Baabi al-Halabi, 1372 H/1953 M Al-Syafi’i, Al-Imam Taqyuddin Abi Bakr bin al-Husaini., Kifayatul Akhyar, Surabaya: Daar al-Nasyr al-Mishriyyah, t.th Al-Zarqa, Syekh Achmad bin Syekh Muhammad., Syarh al-Qaa’id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1938M/1357H Amin, Ma’ruf., Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: eLSAS, 2008, Cet. I Anwar, Moch., Fiqih Islam, Bandung : PT. Alma’arif, 1973, Cet. I
92
93
Apriyantono, Anton., Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Jakarta: Khairul Bayan, 2003, Cet. II -----, Panduan Belanja Haram dan Syubhat, Jakarta: Khairul Bayan, 2003, Cet.II As-Syaukani, Nailul Awthar, t.t: Maktabah al-Imam, t.th Bagian Proyek Sarana dan Prasarana produk Halal, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003 -----, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991 Girindra, Aisjah., LP POM MUI Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, Jakarta: Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetik MUI, 2005 -----, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, Jakarta: Pustaka Jurnal Halal, 2008 Hadi, Sutrisno., Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1997 Indra, Hasbi., et. al, Halal dan Haram Dalam Makanan, Jakarta: Penamadani, 2004, Cet.I Jamil, Shiddiq Muhammad., Sunnan Abu Daud, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th Jannah, Akyunul., Gelatin: Tinjauan Kehalalan dan Alternatif Produksinya, Malang: UIN Malang Press, 2008, Cet. I Kantor Menteri Negara Urusan Pangan RI, Makanan Indonesia Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Departemen Agama RI, 1995 LP POM MUI, Halal Sebagai Tema Da’wah, Jakarta: Pustaka Jurnal Halal, 2008 -----, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, Jakarta: MUI, 2010 -----, Pedoman Mendapatkan Sertifikat Halal, Jakarta: LP POM MUI, 2010 -----, Indonesia Halal Directory. Jakarta: LP POM MUI, 2010 Mashuni, Wagino Ali., Kebersihan dan Kesehatan dalam Ajaran Islam, Pasuruan: PT. Garoeda Buana Indah, 1994, Cet. III
94
Muhammad bin Yasin bin Abdullah, Nailul Maram fi Syarh Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Makkah: Al-Maktabah al-Bukhariyyah, 1412 H/1992 M Mujib, Abdul., Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (al-Qowa’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Kalam Mulia, 2001, Cet.II Musdja, Moh. Yanis., Biologi Dalam Persepektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, Cet. I Najib, Mahmud Ahmad., Pemeliharaan Kesehatan dalam Islam, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1990 Qardhawi, Yusuf., Halal dan Haram dalam Islam, Penerjemah Abu Sa’id al-Falahi dkk, Jakarta: Robbani Press, 2000, Cet. I Rasjid, Sulaiman., Fiqih Islam, Jakarta: Penerbit Attahiriyah, 1954, Cet. XVII Rasyid, M. Hamdan., Fiqh Indonesia; Himpunan Fatwa-fatwa Aktual, Jakarta: P.T. Al-Mawardi Prima, 2003 Rusyd, Ibnu., Bidayatu’l Mujtahid., Penerjemah: M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Semarang: CV Asy Syifa’, 1990, Cet. I Sabiq, Sayyid., Fiqih Sunnah, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009, Cet. I Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian., Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, 1995, Cet. I Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986 Sumhudi, M. Aslam., Jinoisusu Disain Riset, Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, 1986 Yaqub, Ali Mustafa., Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2009, Cet. I http://kamale.wordpress.com http://www.gatra.com http://www.halalguide.info www.google.com
日本のハラール肉における環境についてのインタビュー Interview Mengenai Lingkungan Seputar Daging Halal di Jepang
1. 日本国内にどういったハラール肉があるか? Ada daging halal seperti apa di dalam negeri Jepang? a. 国内消費: Konsumsi dalam negeri: 日本国内で消費されるハラール肉は、基本的に国内ではハラール肉が 生産されていないため、主に輸入品である。 ただ、在日外国人(トルコ人、パキスタン人)が屠畜場を借りて屠畜 を行うことはあるが、個人レベルであり組織レベルではない。特に専 門家でも専門知識があるわけではない一般人が行っている。また、そ のやり方は日本の環境に会っているとは言えない。 問題のひとつは、日本の屠畜業界は非常に閉鎖的であるため、通常の 日本人が介入することはできず、上記の事項は外国人であるから可能 である状態である。つまり、日本人ムスリムによる屠畜作業は現状非 常に困難である。見学することさえ困難である。ただ、日本における 屠畜場は、豚も牛も同じ場所で行われ、その際に特にその場を清めた りすることはない。 日本でハラール肉生産を行う場合に参考になるのは、オーストラリア や中国のように非イスラム圏でありながら精肉工場を持つケースで あろう。肉の輸出数量が多いオーストラリアでは、イスラーム圏に対 する輸出向けにハラール肉を生産しており、そのためにイスラーム圏 (ニュージーランド、インド、イランなど)からスペシャリストが派 遣されている。一方、中国では屠畜(メッカの方向+バスマラ)およ び認証(検査)担当のみ中国人ムスリムの人材を雇う(2500 人中 1 割) ことで、既存のシステムと人員を使ってハラール肉の生産に成功して いる。このことは、日本も企業も学ぶことが出来る。 我々は、その他にも各国に調査に行っており、また世界会議、展示会 等にも積極的に参加している。 96
Mengenai daging halal yang dikonsumsi di dalam negeri Jepang, sebagian besar barang impor karena pada dasarnya daging halal tidak diporduksi di dalam negeri Jepang. Terkadang ada WNA (orang Turki, orang Pakistan) berkedudukan di Jepang melakukan penyembelihan dengan menyewa tempat penyembelihan, namun hal tersebut masih di tingkat pribadi bukan organisasi. Yang melakukan penyembelihan adalah orang awam yang bukan ahli maupun berilmu. Dan, tidak bisa dikatakan bahwa tata caranya cocok dengan lingkungan di Jepang. Salah satu masalahnya adalah kalangan penyembelihan di Jepang sangat tertutup sehingga orang Jepang biasa yang bukan dari kalangan tidak dapat memasukinya. Dan, di antara kalangan tersebut tidak ada muslim. Hal-hal yang seperti di atas dapat dilakukan karena WNA. Artinya, dalam kondisi sekarang sangat sulit melakukan penyembelihan oleh muslim Jepang, bahkan tidak diizinkan untuk melihatnya.
Ditambah lagi, tempat
penyembelihan di Jepang digunakan untuk babi dan sapi di satu tempat, dan
97
tidak ada kegiatan membersihkan atau mensucikan pada waktu bergantian. Saya kira hal yang dapat dijadikan acuan untuk produksi daging halal di Jepang adalah hal seperti di negeri non-Islam seperti di Australia atau di Cina. Australia yang bertingkat tinggi mengenai jumlah ekspor, memproduksi daging halal untuk diekspor ke wilayah Islam dan mereka mempekerjakan tenaga ahli yang dikirim dari wilayah Islam (New Zealand, India, Iran dll). Di sisi lain, di Cina, mereka mempekerjakan tenaga kerja muslim lokal (10% dari 2500 tenaga kerja) hanya untuk penyembelihan (mengarah ke Mekkah + Basmalah) dan inspeksi, dengan demikian mereka telah sukses memproduksi daging halal tanpa mengubah sistem dan tenaga kerja yang sudah ada. Hal ini dapat dipelajari oleh perusahaan yang berada di Jepang. Selain itu, kami juga melakukan pengkajian di berbagai Negara, juga mengikuti konferensi internasional, pameran, dan sebagainya mengenai Halal secara aktif.
98
b. 出: Ekspor: 多くの日本の企業は、今のところ国内向けのハラール肉生産は市場が 小さいため興味がないが、湾岸諸国向けの輸出に興味がある。日本の 高級和牛肉は世界中で大変人気があるが、日本国内の市場は行き詰ま っているので、裕福である湾岸諸国はポテンシャルの高い市場なので ある。または、今や世界人口の多くを占めるムスリムは無視できない 市場であり、そのことは 2009 年に TIMES 誌で「Halal Global Business」 特集をやったことからもわかる。 しかし、ハラール認証については、日本では今のところない。日本ム スリム協会は、企業に対しセミナー、コンサルティング、検査を行っ ている。相談に来る企業はたくさんあるが、ハラールの基準を満たせ る企業は今のところない。(唯一ハラール認証を発酵されているのは あるパン屋のパンのみ)2009 年ハラールについて簡単に考えた外務省 および日本企業がノンハラール肉をドバイに持ち込んで捕まったこ ともある。 日本の規定では、生きた牛を輸出できないため、ハラールの和牛を生 産したい場合は、日本国内で行わなければならない。しかし、ハラー ル条件の遵守に対しては日本の企業は難色を示している。その他にも、 インドネシアやマレーシアに対し、食品を輸出したい企業が多いが、 同様に難色を示している。 Saat ini, kebanyakan perusahaan di Jepang tidak tertarik pada produksi daging halal untuk dalam negeri karena pasarnya kecil, tetapi tertarik untuk ekspor ke negara-negara teluk. Daging Wagyu yang mewah sangat popular di seluruh dunia. Pasar dalam negeri sudah bisa dikatakan mentok, maka bagi perusahaan Jepang negara-negara teluk yang berdaya ekomoni tinggi adalah pasar yang berpotensi tinggi. Atau, kini muslim yang 99
sudah berpersentase tinggi dalam populasi dunia adalah pasar yang tidak dapat diabaikan. Hal tersebut dapat dilihat dari majalah TIMES meliput edisi “Halal Global Business” pada tahun 2009. Akan tetapi, dalam Jepang belum ada sertifikasi halal. Asosiasi Muslim Jepang telah melakukan seminar, konsultasi dan inspeksi terhadap perusahaan. Ada banyak perusahaan datang untuk konsultasi, tetapi belum ada perusahaan yang dapat memenuhi syarat halal. (Makanan satu-satunya yang diberi sertifikat adalah roti dari sebuah toko roti.) Ada juga kasus bahwa perusahaan Jepang yang mengekspor daging non-halal ke Dubai tertangkap pada tahun 2009 karena Departmen Luar Negeri dan perusahaan tersebut meremehkan konsep halal. Dalam peraturan di Jepang, tidak boleh mengekpor sapi hidup, maka jika ingin produksi daging Wagyu halal, harus dilakukan dalam negeri Jepang. Namun, perusahaan-perusahaan di Jepang keberatan terhadap mematuhi syarat halal. Padahal banyak perusahaan berminat untuk ekspor makanan ke Indonesia dan Malaysia.
100
2. 日本の食品および食肉はどういった状況か?: Bagaimana kondisi makanan dan daging di Jepang?: 日本においては、ハラール食品どころか、ハラームを避けるのが精いっぱ いで、シャリーア的には「アッダルーラ」が適用される。豚やアルコール の含まれる食品はたくさんあるが、その中でも食肉が一番難しい問題であ る。なぜなら、基本的にハラール肉は存在しないからである。その際に、 どこまで許されるかは、また難しい問題である。 どうしてもハラール肉を摂取したい場合は、輸入の肉を手に入れられるが、 味の問題がある。 また、真のハラール肉を得るためには、ナジスがない屠畜場、牛の食べ物、 日本のスタンダードであるスターニング(気絶させる)などの条件をクリ アにしなければならない。 Dalam Jepang, dapat dikatakan kondisi “Addaruurah” secara syariah karena jangankan makanan halal tetapi sudah pas-pasan dengan menghindari haram. Ada banyak makanan yang mengandung unsur babi dan alkohol, tetapi masalah daging adalah masalah yang paling sulit. Sebab, pada dasarnya tidak ada daging halal. Batas toleransi batas halal juga menjadi soal lain. Jika ingin mengkonsumsi daging halal, dapat membeli daging halal yang impor, tetapi masalah rasa soal lain. Biasanya kualitas rasa di bawah daging non-halal di Jepang.
101
Jika ingin produksi daging halal yang sesungguhnya, harus mengatasi masalah-masalah seperti tempat penyembelian tanpa najis, makanan untuk sapi, starning (cara pingsankan hewan penyembelian) yang sudah menjadi standar di Jepang dll. 3. その他: Hal lain: 一方、サウジやエジプトではハラールであることは当たり前のことである という認識から、ハラール認証などは行っていない。ユースフ・カラダー ウィーもハラールかハラームかを決めるのはアッラーだと言っている。し かし、現在では様々な食品が李、其々が何からできているかわからないの で、必要悪である、と言っている。 しかし、2000 年の味の素事件のようなことが起きないためにはあったほ うがよい。 マレーシアには屠畜の専門学校がある。ヨーロッパでは、屠畜者はサーで 呼ばれる人もいるほど位が高く、ペイも高い職業である。また、ハラール 肉の屠畜場で 100%ムスリムがやっているのはインドネシアくらいである。 Sedangkan, di Saudi maupun di Mesir tidak dilakukan sertifikasi halal berdasarkan pemahaman bahwa halal itu sudah wajar. Yusuf Qaradawi juga berkata “yang menentukan halal atau haram itu hanya Allah”. Tetapi, dia juga berkata “karena saat ini, ada berbagai macam makanan dan kita belum dapat ketahui terbuat dari apa, maka menjadi hal yang tidak dapat dihindari.”
102
Tetapi, supaya tidak terulang kasus seperti kasus Ajinomoto pada tahun 2000, lebih baik diadakan. Di Malaysia, ada sekolah kejuruan penyembelihan khusus. Di Eropa, penyembelih dianggap sebagai orang kedudukan tinggi sehingga ada yang di sebut “ser”, dan pekerjaan terhormat yang dibayar tinggi. Tempat penyembelihan untuk halal yang dioperasi 100% oleh muslim hanya ada di Indonesia.
103