2
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
HUKUM KELUARGA DI NEGARANEGARA MUSLIM MODERN
Anugerah Utama Raharja (AURA) Printing & Publishing
2
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
3
Hak cipta pada penulis Hak penerbitan pada penerbit Tidak boleh diproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun Tanpa izin tertulis dari pengarang dan/atau penerbit
1.
2.
Kutipan Pasal 72 : Sanksi pelanggaran Undang-undang Hak Cipta (UU No. 10 Tahun 2012) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal (49) ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masingmasing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1. 000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5. 000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau hasil barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3
4
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
HUKUM KELUARGA DI NEGARANEGARA MUSLIM MODERN *A. Khumedi Ja‟far *Abdul Qodir Zaelani *Syamson Fajar *Ahmad Rajafi *Dewani Romli *Sabdo *Frestia B. Tamza
*Musnad Rozin *Maimun *Mohammad Rusfi *Khoirul Abror *Nasruddin *Syamsul *Susiadi A.S
Pengantar Editor: Abdul Qodir Zaelani
4
5
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
HUKUM KELUARGA DI NEGARANEGARA MUSLIM MODERN Editor : Abdul Qodir Zaelani
Desain Cover : Busyral Hanif
Layout Busyral Hanif Diterbitkan oleh : Anugerah Utama Raharja (AURA) Printing & Publishing ANGGOTA IKAPI Alamat: Jl. Soemantri Brojonegoro Komplek Unila, Gedungmeneng Rajabasa Bandar Lampung Telp. (0274) 758 3211 HP. 081281430268 Website: aura-publishing.com Cetakan Pertama April 2013 xii – 243 Hal : 15.5 cm x 23 cm ISBN : 978-602-9326-56-7
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
5
6
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
PENGANTAR EDITOR
Berbicara hukum keluarga terutama di dunia muslim modern, akan selalu menarik untuk diperbincangkan sebagai bahan kajian, referensi dan pertimbangan dalam rangka mewujudkan hukum yang lebih progressif dan komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan masyakarat. Hal ini disebabkan karena hukum keluarga merupakan hukum yang hidup dan mengakar serta selalu berkembang di masyarakat seiring perkembangan zaman. Sehingga bisa dikatakan bahwa hukum keluarga merupakan hukum yang mempunyai kekuatan moral masyarakat. Dengan demikian, tidak mengherankan jika potensi menerapkan hukum keluarga yang adaptable dan applicable terhadap budaya dan adat sebuah negara adalah sebuah keniscayaan. Bila diteliti dengan seksama akan ditemukan polarisasi (kategorisasi) penerapan hukum keluarga dalam sebuah negara. Setidaknya bisa dikelompokkan menjadi tiga: Pertama, Negara memberlakukan hukum keluarga secara tradisional. Negara masih memberlakukan al-fiqh ala almadzahib al-arba‟ah dan tidak dikodifikasi dalam bentuk perundangundangan. Artinya, pemberlakuan hukum hanya the facto saja tanpa the jure. Negara-negara yang tergolong kelompok pertama ini adalah Negara Saudi Arabia yang menganut madzhab Hambali. Artinya, hukum keluarga Islam didasarkan kepada al-Qur‟an, sunnah, dan teladan dari para sahabat Rasulullah SAW. Di Yaman, hukum Islam didasarkan kepada Madzhab Zaidi. Namun, penduduk Yaman Selatan menganut Madzhab Syafi‟i dan Hanafi. Hukum-hukum ini tidak dikodifikasi dan dilegislasi. Sementara di Bahrain, Madzhab Maliki, Syafi‟i, dan Syi‟i diterapkan secara tradisional, tanpa dikodifikasi dan dilegislasi. Begitu juga di Negara Qatar. Kedua, Negara-negara sekuler di mana hukum keluarga telah digantikan dengan undang-undang atau hukum modern yang berlaku untuk seluruh penduduk. yang telah meninggalkan hukum Islam, dan menerapkan hukum modern dari Barat diantaranya adalah Turki. Turki menerapkan Code Civil Switzerland, tahun 1926 setelah jatuhnya khilafah Usmaniyah. Begitu juga di negara-negara yang terdapat muslim minoritas, seperti di Tanzania yang terdapat muslim minoritas di Zanzibar dan di Kenya. Mereka menerapkan hukum keluarga Barat modern. Ketiga, kelompok Negara yang telah melakukan pembaharuan dalam hukum keluarga Islam. Reformasi yang mereka lakukan berupa proses legislasi modern, seperti Cyprus yang melegislasikan dan mengkodifikasi 6
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
7
hukum perkawinan dan perceraian Islam tahun 1951. Di lima Negara Asia Selatan dan Tenggara, hukum keluarga Islam juga telah direformasi dengan proses legilasi hukum modern yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia yang memiliki muslim mayoritas; dan Singapura dan Ceylon yang memiliki muslim minoritas. Negara lainnya yang telah mereformasi hukum keluarga yaitu Tunisia, Maroko, Iran, Pakistan, Libanon, Jordania, Algeria, Syiria, Irak, yang telah mereformasi hukum keluarga Islam baik dari segi materi maupun pada aspek regulatori, dengan mengadopsi system hukum modern. Begitupun dengan Sudan, hanya saja pembaharuan yang dilakukan oleh Negara Sudan adalah hasil ijtihad para Qadhi yang dilakukan pada saat melaksanakan putusan hukuman di pengadilan. Hal inilah menurut Norman Anderson mengistilahkannya dengan the expedient of reform by judicial decisions (kebijakan reformasi melalui keputusan hakim). Berkaitan dengan cara dan metode reformasi Negara-negara muslim pada kelompok ketiga tersebut, terdapat dua metode dan cara dalam mereformulasikan pembaharuan. Pertama, intra-doctrinal reform, yakni tetap merujuk pada konsep fikih konvensional, dengan cara; takhayyur (memilih salah satu ulama fikih, termasuk ulama di luar mazhab), dapat pula disebut tarjih, dan talfiq (mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama). Metode yang dipakai untuk takhayyur dan talfiq ini melalui cara menyeleksi berbagai pendapat mazhab secara eklektik melalui fatwa (judicial directives) yang mengizinkan pengadilan untuk menyimpang dari aturan mazhab Hanafi. Sebaliknya, mazhab Hanafi diakui sebagai mazhab resmi bagi masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum perdata umat Islam. Teknik ini juga disebut talfiq untuk menggabungkan mazhab satu dengan yang lainnya. Kedua, dengan cara atau metode extra-doctrinal reform, yang pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fikih konvensional, tetapi melakukan reinterpretasi terhadap nash Ada beberapa hal yang menarik sebagai bahan diskusi yang terdapat dalam perundang-undangan di Negara-negara muslim modern yang telah melaksanakan reformasi hukum keluarga. Pertama, berkaitan dengan penerapan hukum pernikahan beda agama. Masih banyak Negara muslim yang melarangnya, seperti UU Pekawinan dan Perceraian Cyprus tahun 1951, untuk orang-orang Turki, diantara perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara orang wanita Muslim dengan pria non-Muslim (Pasal 7 (c)). Begitu juga hukum keluarga di Jordania tahun 1951, menyatakan bahwa perkawinan yang dilarang adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah dan perkawinan antara wanita Muslim dan pria non-muslim (Pasal 29). Dalam hukum Status Personal Irak tahun 1959, Bab 11 tentang larangan Perkawinan Pasal 17, dinyatakan bahwa perkawinan seorang lakilaki Muslim dengan perempuan ahli kitab adalah sah, tetapi perkawinan 7
8
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
antara seorang wanita Muslim dengan laki-laki non-muslim tidak diperbolehkan. Kedua, kriminalisasi pernikahan. Kriminalisasi pernikahan merupakan “sesuatu” yang menjadi trend di dunia muslim modern. Hal ini berbeda dengan hukum klasik yang tidak memberi sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum keluarga. Seperti pelanggaran talak atau cerai di muka pengadilan dan pendaftaran perceraian. Hal ini bisa terlihat di Iran, Malaysia, Mesir, Pakistan, Yordania, dan Srilanka yang mencantumkan sanksi hukum dalam pasal-pasal Hukum Keluarga mereka terkait persoalan ini. Di Iran, misalnya, para suami yang melakukan perceraian atau menarik kembali penjatuhan talak/cerai yang dilakukan tanpa registrasi dapat diancam hukuman penjara 1-6 bulan. Begitupun di Malaysia, penjatuhan talak di luar dan tanpa izin pengadilan dapat dikenakan denda 1000 ringgit; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus. Sedangkan di Mesir, berdasarkan Law on Personal Status 1929 yang dipertegas lagi dalam amandemennya UU No.100 1985 Pasal 23 A, suami yang tidak melakukan pendaftaran perceraian dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 6 bulan; atau denda 200 pound; atau keduanya sekaligus. Begitu pula petugas pencatatan yang menolak atau tidak melaksanakan tugas pencatatan perceraian dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 1 bulan & denda minimal 50 pound Mesir. Di Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan permohonan tertulis ke Pejabat (chairman) berwenang; atau dan tanpa memberikan salinan (copy)nya kepada istri, dapat dihukum penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus. Dalam pada itu, Yordania memberlakukan hukuman menurut UU Hukum Pidana negara itu terhadap suami yang menceraikan istri (di luar Pengadilan) tanpa melakukan langkah registrasi. Sementara di Srilanka, membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 3 tahun. Tunisia tampaknya bergerak sendiri dalam masalah yang satu ini. Menurut UU Tunisia, suami yang menghindar dari kewajiban memberi nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat dikenakan hukuman penjara 3 hingga 12 bulan dan denda antara 100 hingga 1000 dinar. Ketiga, masalah poligami. Secara umum ketentuan (perundangundangan) yang berkaitan dengan poligami dapat diklasifikasikan kepada kategori: 1), negara-negara yang sama sekali melarang praktik poligami, seperti Turki dan Tunisia. 2), negara-negara yang yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat (dipersulit), seperti Pakistan, Mesir, Maroko, Indonesia, dan Malaysia. 3), negara-negara yang 8
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
9
memperlakukan poligami secara lebih longgar, seperti Saudi Arabia, Iran, dan Qatar. Dari ketiga klasifikasi tersebut, kategori kedua menjadi kecenderungan umum Hukum Keluarga di Dunia Islam. Pembatasan poligami yang dilakukan bersifat variatif, dari cara yang paling lunak sampai yang paling tegas. Sebagai contoh, di Libanon, berdasarkan hukum keluarga yang diberlakukan kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917, poligami tidak dilarang namun diharapkan menerapkan prinsip keadilan kepada para istri. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Maroko berdasarkan UU Status Pribadi tahun 1958 yang berlaku di sana. Cara lain bagi pembatasan poligami adalah dengan pembuatan perjanjian. Istri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ternyata nanti ia menikah lagi dengan wanita lain maka si istri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak istri. Hal ini disebutkan misalnya dalam pasal 19 Hukum Keluarga Yordania No. 61 tahun 1976 yang diubah dengan Hukum Keluarga Yordania No. 25 tahun 1977. Hal yang sama juga disebutkan dalam pasal 31 UU Status Pribadi Maroko tahun 1958. Bahkan yang lebih radikal-fundamental, adalah kriminalisasi poligami di Tunisia. Hal ini didasarkan UU No. 3 Tahun 1957 pasal 18 yang menyatakan bahwa poligami dilarang. Siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama. Dan siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama. Dengan demikian, UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Apa yang telah diuraikan di atas, merupakan sekelumit pembahasan yang terdapat dalam buku ini. Sebab keunikan lain masih banyak terdapat di dalam buku ini. Karenanya, kajian hukum keluarga di Negara-negara muslim modern ini bisa dijadikan sebagai kajian baik bersifat analisis maupun komparatif. Diharapkan dengan adanya kajian yang mendalam filosofis-analisis, dapat menjadikan hukum keluarga menjadi hukum yang 9
10
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
progressif memenuhi rasa keadilan bagi setiap umat manusia, sehingga kehadiran Islam dengan Undang-Undangnya menjadi rahmatan lil „alamin. Karenanya, dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, M.A, Bapak Prof. Dr. H. M. Damrah Khair, M.A, dan Bapak Dr. H. Faisal, S.H., M.H., yang telah memberikan pencerahan akademik, memperkaya wawasan dan cakrawala hukum terkhusus hukum keluarga di dunia muslim modern, serta telah memberikan kritik konstruktif kepada kami, karena sejatinya tulisan ini adalah buah dari diskusi dalam mata kuliah Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern. Meskipun demikian, kami menyadari setiap goresan tinta yang terukir dalam buku ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, karena itu kritik konstruktif dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan kajian-kajian berikutnya. Selamat Membaca! Bandar Lampung, 04 Februari 2013 Editor, Abdul Qodir Zaelani
10
11
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
DAFTAR ISI PENGANTAR EDITOR…………………………………………………..v DAFTAR ISI………………………………………………………………x HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA Mohammad Rusfi ………………………………………………………….1 HUKUM KELUARGA DI SINGAPURA DAN FILIFINA (Studi Analisis Hukum Perkawinan) Nasruddin…………………………………………………………………13 HUKUM KELUARGA ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM Kumedi Ja'far …………………………………………………………….24 PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI SUDAN (Studi Komparatif Terhadap Hukum Keluarga Islam di Indonesia) Abdul Qodir Zaelani……………………………………………………...35 PEMBERLAKUAN SANKSI PIDANA DALAM KASUS HUKUM KELUARGA ISLAM DI DUNIA ISLAM MODERN (Studi Komperatif Terhadap Kasus Poligami di Negara Tunisia, Malaysia, dan Indonesia) Syamson Fajar……………………………………………………………54 HUKUM KELUARGA DI NEGARA-NEGARA MUSLIM MODERN: PRAKTEK DI NEGARA YORDANIA Ahmad Rajafi……………………………………………………………...79 HUKUM KELUARGA ISLAM MESIR (SUATU ANALISIS GENDER) Dewani Romli …………………………………………………………….87 PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI NEGERI MAROKO S a b d o…………………………………………………………………...93 DESKRIPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI PAKISTAN Fristia Berdian Tamza ………………………………………………….105
11
12
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
HUKUM KELUARGA TUNISIA Susiadi A.S ……………………………………………………………...112 HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDIA (Studi Tentang Hak Nafkah Perempuan Pasca Perceraian) Musnad Rozin …………………………………………………………...122
HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA ARAB SAUDI Maimun …………………………………………………………………152 HUKUM KELUARGA ISLAM DI AFGANISTAN (Menyingkap Pencatatan Perkawinan di Afganistan dan Negara Islam) Khoirul Abror …………………………………………………………...171 PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI IRAN DAN PEMIKIRAN NASR HAMID ABU ZAID DALAM PERSOALAN POLIGINI Syamsul …………………………………………………………………194
12
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
13
HUKUM KELUARGA ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM A. Kumedi Ja’far I. Latar Belakang Pemikiran Negara Brunei Darussalam merupakan salah satu negara kerajaan Islam di utara Kalimantan berbatasan dengan Lautan Cina Selatan di utara, dan Serawak di barat, dan timur. Luas : 5765 km. Penduduk: 164.000 (1991). Komposisi penduduk: Melayu (69%), Asli (5%), Cina (18%), dan bangsabangsa lain (8%). Agama resmi Islam (67%) dengan bermazhab Syafi'i.1 Sedang yang lainnya Budha (14%), Kristen (9,7%) dan lainnya (12%) termasuk agama pribumi suki layak. Bahasa resmi Melayu. Ibu kota Bandar Sribegawan. Mata uangnya Dollar Brunei (100 Cents) sumber utama penghasilan negara: gas bumi dan minyak.2 Populasi penduduk Brunei adalah 301.000 yang terdiri dari 70,5% orang Melayu yang umumnya bekerja di pemerintahan dan sipil, orang Cina 16% di mana 80% nya tidak terakomodasi sebagai wargi negara resmi, dan beberapa kelompok lokal seperti orang Iban, Kedayan, Kayan, Kenyan, Kiput, Muri Ian Tutung, pendatang yang berjumlah 8,2% umumnya sebagai pekerja industri yang berasal dari Inggris 6.000 orang, Asia Selatan 4.200 orang, Gurkha 1.000 orang, Korea dan Fhilipina. Bahasa Melayu menjadi bahasa utama, disertai bahasa Inggris, Cina, Iban, dan belasan dialek daerah yang berjumlah 17 bahasa. Brunei dikenal sebagai salah satu negara terkaya di Asia karena hasil minyak buminya.3 Negara ini mempunyai otoritas tidak hanya meliputi seluruh Pulau Borneo tetapi juga beberapa bagian pulau-pulau Suluh dan Fhilipina namun mulai abad ke-17 lebih-lebih pada abad ke-18 dan ke-19 kekuasaan kesultanan Brunei mulai berkurang akibat adanya konsesi yang dibuat dengan Belanda, Inggris, Raja Serawak, British North Borneo Company dan serangan-serangan para pembajak. Pada abad ke-19 wilayah negara Brunei
1
David Leake, JR., Dalam John L. Eposito (Ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), Get. 1, h. 232 2 Redaksi Ensiklopedia, Ensiklopedia Islam, h. 256 3 http//:www hukumislamdibruneidarussalam. com.
13
14
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Darussalam tereduksi menjadi sangat kecil sampai batas-batas yang ada sekarang. Pada tahun 1847 Sultan Brunei mengadakan perjanjian dengan Inggris Raya untuk memajukan hubungan dagang dan penumpasan para pembajak. Perjanjian berikutnya diadakan pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara Brunei berada dibawah proteksi Inggris Raya. Pada tahun 1963 negara Brunei berbentuk negara Merdeka Melayu Inggris dengan tidak bergabung dengan Federasi Malaysia. Sampai akhirnya tanggal 1 Januari 1984 Brunei Darusalam menjadi negara Kesulatanan yang merdeka dan berdaulat.4 Bentuk pemerintahan Brunei menurut konstitusi di kesultanan dijalankan oleh Majelis Umum, Dewan Menteri, dan Badan Legislatif. Sultan mempunyai kekuasaan yang sangat besar, kuasa eksekutif tertinggi berada di tangan Sultan sebagai Menteri Besar (Ketua Menteri). II. Pembahasan 1. Sejarah Masuknya Agama Islam di Brunei Darussalam Diperkirakan Islam mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada tahun 1977 melalui jalur Timur Asia Tenggara oleh pedagang-pedagang dari Cina. Islam menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406-1408).5 Perkembangan Islam semakin maju setelah pusat penyebaran dan kebudayaan Islam, Malak jatuh ke tangan Portugis (1511) sehingga banyak ahli agama Islam pindah ke Brunei. Kemajuan dan perkembangan Islam semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan Bolkiah (Sultan ke-5), yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung, seluruh Pulau Kalimantan (Borneo), Kepulauan Sulu, Kepulauan Balakac, Pulau Banggi, Pulau Balambangan, Matanani, dan Utara Pulau Pallawan sampai ke Manila.
4
Inamulah Khan (ed.,), The World Muslim Gazeteer, (Delhi: International Islamic Publisher, 1992), h. 175 5 Ibid,
14
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
15
2. Tata Pemerintahan Brunei Darussalam Pada masa Sultan Hassan (Sultan ke-9) dilakukan beberapa hal yang menyangkut tata pemerintahan: 1) menyusun institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama memainkan peranan penting dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan. 2) menyusun adat-istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka, disamping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja; 3) menguatkan undangundang Islam, yaitu hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian. Pada tahun 1888-1983 Brunei di bawah penguasaan Inggris. Brunei memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 31 Desember 1983. Setelah merdeka, Brunei Darussalam menjadi sebuah negara Melayu Islam Beraja "Melayu" diartikan dengan unsur-unsur kebaikan dan menguntungkan. "Islam" diartikan sebagai suatu kepercayaan yang dianut negara yang bermadzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah sesuai dengan konstitusi dan cita-cita kemerdekaannya. "Beraja" adalah suatu sistem tradisi melayu yang telah lama ada. Brunei merdeka sebagai negara Islam dibawah pimpinan Sultan ke-29, yaitu Sultan Hasanah Boudah Mu'izzadin Waddaulah. Panggilan resmi kenegaraan Sultan adalah "Ke Bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan dan Yang Dipertuan Negara." Gelar Mu'izzadin Waddaulah" (penata agama dan negara) menunjukkan ciri keislaman yang selalu melekat pada setiap raja yang memerintah. Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara lain dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-Undang Agama dan Mahkamah Kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati sultan dalam masalah agama Islam. Langkah ini yang ditempuh sultan adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara. Untuk itu, dibentuk jabatan hal ikhwal agama yang tugasnya menyebarluaskan paham Islam, baik kepada pemerintah beserta aparatnya maupun kepada masyarakat luas. Untuk kepentingan penelitian agama Islam, pada tanggal 16 September 1985 didirikan pusat Dakwah, yang juga bertugas melaksanakan program dakwah serta pendidikan pada pegawai-pegawai agama serta masyarakat luas dan pusat pemerhati perkembangan dunia Islam. Di 15
16
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Brunei, orang-orang cacat dan anak yatim menjadi tanggungan negara. Seluruh pendidikan rakyat (dari TK sampai Perguruan Tinggi) dan pelayanan kesehatan diberikan secara gratis. Brunei juga mengembangkan hubungan luar negeri dengan masuk Organisasi Konferensi Islam, ASEAN, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.6 3. Hukum Keluarga Islam Brunei Darussalam Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul Jabbar (1619-1652 M).7 Pemberian kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris setelah ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat aturan : 1. Bidang kuasa civil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk mengendalikan kes rakyat, kes rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan negara mereka. 2. Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu kes tersebut, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah Tempatan. Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah adanya perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tangan dalam urusan per-UU-an, Pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.
6
Ensiklopedia Islam, Op.Cit, h. 257-258 Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Mahkamah Syari'ah di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya, dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI, 1995, h. 41-42 7
16
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
17
Karena undang-undang adat dan kedudukan hukum syara' dirasa tidak begitu jelas, kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruh Jaya British pada 2 Juli 1906 yang isinya menuntut: 1. Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakimhakim setempat. 2. Meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak, dipindah, dan dilanggar selama-lamanya. Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor satu dan ditindaklanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari'ah yang akan mengendalikan urusan-urusan agama Islam. Sedangkan yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada tujuan perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat sebagai langkah untuk menyelamatkan Brunei dari kehilangan-kehilangan wilayahnya. Untuk seterusnya Mahkamah Syari'ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan undang-undang Islam yang berikatan dengan perkaraperkara kawin, cerai, dan ibdat (khusus) saja. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England. Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti pada tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah mengundangkan undang-undang agama Islam yang dikenal dengan "Muhammadans Marriages and Divorce Enactement." Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Majelis Ugama, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-turut Undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 1967.8 Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang ini pun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan akta Majelis Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.9 Sebenarnya perundang-undangan ini, menurut Hooker, didasarkan pada perundangan yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami 8
Tahir Mahmud, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978), L 198-199. 9 Haji Salim bin Haji Besar, Pelaksanaan Undang-Undang Keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya Dalam Mimbar Hukum, h. 9-10
17
18
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi Brunei. Peraturan ini membuat peraturan tentang : 1. Pendahuluan (Bagian I pasal 1-4) 2. Majelis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44) 3. Mahkamah Syari'ah (Bagian III pasal 45-96) 4. Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122) 5. Masjid (Bagian V pasal 123-133) 6. Perkawinan dan Perceraian (Bagian VI pasal 134-156) 7. Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163) 8. Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168) 9. Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195) 10. Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204) Undang-Undang Keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam UndangUndang Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya masih sama dengan Undang-Undang Majelis Ugama Islam, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu di bawah aturan-aturan Marriage and Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance of Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163.10 Untuk lebih memberikan wawasan, sebagian dari aturan ini akan dijelaskan di bawah ini dengan diberikan perbandingan dengan negara yang berada diwilayah Asia Tenggara yaitu Malaysia dan Singapura. Alasannya, karena ketiga negara ini bertetangga dan mempunyai kesamaan dalam warisan sosial, budaya dan adatnya, di samping itu madzhab yang dianut oleh penduduknya adalah madzhab Syafi'i.11 a. Pembatalan Pertunangan Perbuatan membatalkan perjanjian pertunangan oleh pihak laki-laki yang dibuat baik secara lisan maupun secara tertulis yang dilakukan mengikuti hukum muslim, akan berakibat pada pihak laki-laki, yaitu harus membayar 10
Atho Mudzhar dan Khoirudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), Cet. I, h. 178-182 11 Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, (Bombay: N.M. Tripathi Pvt. Ltd., 1972), h. 198.
18
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
19
sejumlah sama dengan banyaknya mas kawin, ditambah dengan perbelanjaan yang diberikan secara suka rela untuk persiapan perkawinan. Apabila yang membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela. Semua pembayaran baik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui perkawinan. Hal ini tidak dijelaskan dalam fikih Syafi'i secara eksplisit. b. Pendaftaran Nikah Dalam Undang-Undang Brunei, orang yang bisa menjadi pendaftar nikah cerai selain kadi besar dan kadi-kadi adalah imam-imam masjid, di samping imam-imam itu merupakan juru nikah yang diberi tauliah untuk menjalankan setiap akad nikah. Orang biasa melangsungkan sebuah pernikahan adalah orang yang diberi kuasa (tauliah) oleh sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam. Tetapi dalam hal kehadiran dan kebenaran pendaftaran juga diperlukan. Walaupun demikian, pernikahan yang tidak mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi menurut aturan hukum muslim dianggap sah dan hendaknya didaftarkan. Sedangkan yang dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum madzhab yang dianut oleh kedua belah pihak. Aturan-aturan yang berlaku di atas merupakan reformasi hukum keluarga Islam yang sifatnya regulatory, karena dengan tidak adanya pencatatan dan pendaftaran tidak menyebabkan batalnya suatu perkawinan bahkan dalam hal ini ternyata di Brunei terasa lebih longgar dibanding dengan negara tetangganya, karena dengan tidak mendaftarkan perkawinan tersebut tidak merupakan suatu pelanggaran.12 c. Wali Nikah Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan, selain itu wali pengantin perempuan harus memberikan persetujuan atau kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja yaitu apabila tidak ada wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan alasan yang 12
Atho Mudzar, op. cit., h. 184-185
19
20
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
kurang tepat, hal ini juga terjadi di Malaysia, yang memberikan aturan tentang keharusan adanya izin wali dalam nikah. Jika tidak ada wali nasab atau wali tidak memberikan izin dengan alasan yang tidak masuk akal pengadilan dapat memberikan izin kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali. Di Singapura aturan ini ditetapkan melalui ordonansi muslim 1957 yang memberikan otoritas kepada kadi untuk menyelenggarakan pernikahan seorang perempuan yang tidak mempunyai wali nasab, atau walinya tidak memberikan izin dengan alasan yang tidak masuk akal, asalkan tidak ada halangan berdasarkan hukum Islam. d. Perceraian Yang Dilakukan Suami Jika perempuan cerai sebelum disetubuhi maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa iddah. Kecuali telah dibenarkan oleh kadi yang berkuasa di mana ia tinggal. Dalam Undang-Undang Brunei selanjutnya disebutkan bahwa bagi perempuan yang dicerai dengan talak tiga tidak boleh nikah lagi dengan suaminya yang terdahulu. Kecuali ia kawin dengan laki-laki lain dengan cara yang sah dan bersetubuh dengannya kemudian diceraikan dengan cara yang sah sesuai dengan undang-undang. Peraturan perceraian Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya dengan talak 1, 2, 3, dengan hukum Muslim seorang suami mesti memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo 7 hari. Jika seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada kadi dengan mengikuti hukum muslim. Apabila suaminya rela hendaknya dia mengucapnya cerai. Kemudian didaftarkan dan kadi akan mengeluarkan akta perceraian kepada kedua belah pihak. Sebagai perbandingan di negara Malaysia, hukum yang berlaku ternyata membatasi kebebasan seorang suami muslim untuk menceraikan istrinya, lain hal dengan hukum yang berlaku di Serawak, jika suami menuntut perceraian pada istrinya maka ketika dibuktikan bahwa ia tidak bersalah pengadilan akan memberikan waktu 15 hari untuk mempertimbangkan kembali seandainya waktu yang diberikan habis sedang ia masih dalam keputusannya maka diizinkan kepadanya untuk menceraikan istrinya dengan membayar denda. 20
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
21
e. Perceraian Dengan Talak Tebus Di Brunei juga diberlakukan aturan yang menyatakan bahwa jika pihak tidak menyetujui perceraian dengan penuh kerelaan maka kedua belah pihak bisa menyetujui perceraian dengan tebusan atau cerai tebus talak kadi akan menilai jumlah yang dibayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak tersebut, serta mendaftarkan perceraian itu. Perceraian dengan cara ini ternyata berlaku juga di Malaysia. f. Talak Tafwid, Fasakh dan Perceraian Oleh Pengadilan Perempuan di Brunei bisa memohon kepada Mahkamah Kadi untuk mendapatkan perceraian lewat fasakh. Yaitu suatu pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Muslim. Pernyataan fasakh ini tidak akan dikeluarkan, kecuali mengikuti hukum Islam dan pihak perempuan dapat memberikan keterangan dihadapan sekurang-kurangnya dua saksi dengan mengangkat sumpah atau membuat pengakuan. Bagi para istri di Malaysia, pihak istri diberikan hak untuk mengajukan perceraian dengan alasan bahwa suaminya impoten sedangkan di Singapura pengadilan dapat menerima tuntutan dari kaum perempuan muslimah untuk mengadakan perceraian (fasakh) dan memutuskannya berdasarkan hukum keluarga Islam. g. Hakam (Arbitrator) Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri maka kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya. Kadi memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbiterase dan harus melaksanakannya sesuai dengan hukum Muslim, apabila kadi tidak sanggup atau tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam kadi akan mengganti dan mengangkat hakam yang lain. Haruslah diangkat seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, kedua hakam yang diangkat itu adalah orang yang terpercaya dengan persetujuan suami istri dan kedua suami istri itu mewakilkan kepada kedua hakam untuk kumpul lagi atau bercerai apabila kedua hakam itu berpendapat demikian. 21
22
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
h. Rujuk Dalam Undang-Undang ini disebutkan adanya rujuk setelah dijatuhkannya talak, yaitu apabila cerainya dengan talak satu atau dua. Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan kerelaan kedua belah pihak denagn syarat tidak melanggar hukum Muslim dan kadi harus mendaftarkan untuk tinggal bersama. Apabila perceraian yang bisa dirujuk kembali dilakukan dengan tanpa sepengetahuan istri maka ia tidak dapat diminta untuk tinggal bersama sampai diberitahukan tentang perkara itu. Kemudian jika setelah menjatuhkan talak yang masih bisa dirujuk kembali pihak suami mengucapkan rujuk dan pihak istri menerimanya, maka istri dapat diperintahkan kadi untuk tinggal bersama tetapi pihak tersebut tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan. i. Nafkah dan Tanggungan Anak Pembicaan nafkah hanya dipakai dalam tuntutan yang dibuat oleh orang Islam terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk ke dalam ini adalah para istri, anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak di luar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan berdasarkan hukum Muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak di luar nikah, Mahkamah Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai. Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi Besar. III. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut di atas, kiranya dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hukum Islam di Brunei Darussalam mengalami perubahan setelah adanya perjanjian-perjanjian dengan Inggris yang menyebabkan Inggris campur tangan dalam urusan kekuasaan kehakiman, keadilan, hukum serta perundang-undangan. 2. Pelaksanaan hukum Islam secara khusus diserahkan kepada pemerintah Brunei, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Mahkamah Syari'ah. Negara Brunei Darussalam
22
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
23
mengakomodasi hukum Islam, adat, dan Barat tetapi yang sering sekali digunakan adalah hukum Muslim (Islam). 3. Pengambilan hukum Islam di Brunei secara utuh dikembangkan dari mazhab Syafi'i dan sebagian besar bersifat regulatory, meskipun demikian ternyata pembaharuan hukum yang bersifat substansial tidak sejalan dengan Syafi'i sendiri bahkan dengan mazhab lain seperti masalah iddah yang belum disetubuhi oleh suaminya, kemudian ganti rugi batalnya perjanjian pertunangan. 4. Hukum di Brunei dipengaruhi oleh Inggris melalui perjanjianperjanjian, sehingga memungkinkan Inggris untuk campur tangan dan Brunei menjadi pemerintahan yang bergantung pada Inggris.
23
24
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
DAFTAR PUSTAKA Ibn Besar, Salim, Pelaksanaan Undang-Undang Keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya, dalam Mimbar Hukum, No. 23 Tahun VI, 1995 JR., David Leake, dalam Eposito, John L, (Ed.,), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995 Khan, Inamulah, (Ed.,), The World Muslim Gazeteer, Delhi: International Islamic publisher, 1992 Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978 ___________, Family Law Reform in the Muslim World, Bombay: N.M. Tripathi pvt. Ltd., 1972 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indoensia, Jakarta: Kencana, 2006 Mudzhar, Atho, dan Nasution, Khoirudin, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2003 Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan I, Academia, Yogyakarta, 2005 ___________, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, Academia, Yogyakarta, 2009 ___________, Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Academia, Yogyakarta, 2010 Othman, Mahmud Saedon Awang, Mahkamah Syari'ah di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya, dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI, 1995 http//:www hukumislamdibruneidarussalam. com.
24
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
25
PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI SUDAN (Studi Komparatif Terhadap Hukum Keluarga Islam di Indonesia) Abdul Qodir Zaelani I. Latar Bekalang Pemikiran Bila ditilik dalam pernyataan J.N.D Anderson dalam bukunya Islamic Law in The Modern World, bahwa kecenderungan kategorisasi hukum Islam di dunia modern terbagi menjadi tiga yaitu: pertama, sistem yang masih mengaku syariah sebagai dasar fundamental dan menerapkannya secara utuh; kedua, sistem yang telah meninggalkan syariah dan menggantikannya dengan hukum sekuler; ketiga, sistem yang melakukan kompromi kedua pandangan tersebut.1 Ketiga kategorisasi tersebut disebabkan perbedaan masing-masing politik hukum dan kultur Negara yang bersangkutan. Bila dicermati masing-masing kategori, dapat disimpulkan bahwa kategori pertama masih bersifat tradisional-konservatif yang masih mengacu kepada tekstualitas dan normatifitas ajaran agama. Kategori kedua merupakan pemikiran radikal-fundamental yang tidak lagi memakai hukum agama dalam suatu Negara, urusan agama dipisahkan dalam ranah Negara, dikotomi agama dan Negara sangat kentara pada kategori kedua ini. Sementara kategori ketiga, merupakan terobosan progressif dan menerima perubahan sebagai konsekuensi perkembangan dan perubahan zaman. Dalam konteks hukum keluarga, lebih khususnya masalah perkawinan, menurut Muhammad Amin Summa dapat dibedakan menjadi tiga; pertama, Negara memberlakukan hukum keluarga secara tradisional. Masih memberlakukan fiqih mazhab dan tidak dikodifikasi dalam bentuk perundang-undangan. Tergolong kelompok pertama ini adalah Saudi Arabia, Qatar, Yaman, Bahrain, Kuwait dan sebagainya. Kedua, Negaranegara sekuler di mana hukum keluarga telah digantikan dengan undangundang atau hukum modern yang berlaku untuk seluruh penduduk, Negara 1
J.N.D Anderson, Islamic Law in The World, (New York: New York University Press, 1959), h. 83.
25
26
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
yang tergolong dalam tipe ini adalah Turki dan Albania. Ketiga, kelompok Negara yang telah melakukan pembaharuan dalam hukum keluarga Islam. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Mesir, Sudan, Jordan, Syiria, Tunisia, Maroko, Algeria, Irak, Iran dan Pakistan. 2 Dari pemaparan tersebut, Sudan merupakan salah satu Negara yang melakukan pembaharuan di bidang hukum keluarga. Hal ini karena hukum yang dipakai Negara Sudan adalah hasil ijtihad para Qadhi yang dilakukan pada saat melaksanakan putusan hukuman di pengadilan. Hal inilah menurut Norman Anderson mengistilahkannya dengan the expedient of reform by judicial decisions (kebijakan reformasi melalui keputusan hakim).3 Kebijakan inilah yang bisa dipakai oleh hakim sesuai dengan kebutuhan masyarakat ketika itu, tanpa harus berkiblat dengan satu mazhab. II. Pembahasan 1. Sejarah Singkat Negara Sudan Republik Sudan (Bahasa Arab: السودانýas-Sūdān) adalah sebuah negara di Afrika Timur Laut yang merupakan negara terbesar di Afrika dan seringkali dianggap sebahagian Timur Tengah. Ibu negaranya ialah Khartoum.4 Negara ini merupakan Negara Arab dan Negara Islam yang terluas wilayahnya (sekitar 2.506.000 km2), dengan bagian terbesar berupa padang pasir gersang yang membentang luas mulai perbatasannya dengan Mesir. Daerah subur hanya di sekitar dua aliran sungai Nil, yaitu sungai Nil Putih yang berasal dari Uganda, dan sungai Nil Biru dari Ethiopia. Kedua aliran sungai ini bertemu di Khartoum, ibu kota Sudan, dan kemudian mengalir ke Mesir. Kondisi alam yang demikian memberi andil terhadap pertumbuhan ekonomi dengan berbagai dampak sosial politiknya.5 2
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 162-165. 3 Lihat Norman Anderson, Law Reform in The Muslim World, (London: The Anholone Press, 1976), h. 82 4 http://ms.wikipedia.org/wiki/Sudan, diakses tanggal 08-10-2012 5 Adang Jumhur Salikin, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran An-Naim, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 34
26
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
27
Bila dilihat dari persebaran etnik/suku, populasi Sudan terdiri atas Arab (39%), Beja (6%), dan suku-suku lokal Afrika (52%). Sementara dari segi agama, dari 40 juta jiwa (sensus 2005), Islam-Sunni menjadi kekuatan mayoritas (70%), sisanya kepercayaan lokal (25%), dan Kristen (5%). Dari aspek kelas sosial, masyarakat Sudan diklasifikasikan ke dalam empat kasta: kelas pertama ditempati warga Arab-Muslim-Sunni yang kebanyakan tinggal di ibukota Sudan, Khartoum. Kelompok yang jumlahnya sekitar 39% inilah yang mengontrol sistem politik dan ekonomi Sudan sejak merdeka. Dengan begitu merekalah yang menikmati fasilitas, privileges, dan lezatnya kekuasaan di satu sisi, dan yang menjadi sumber utama kekerasan di dalam sejarah Sudan modern. Kelas kedua ditempati warga Muslim non-Arab terutama keturunan Afrika, dan tinggal di Khartoum (Sudan Utara). Kelas ketiga diduduki non-Muslim, tetapi tinggal di Sudan Utara. Dan kelas buntut ditempati non-Muslim (Kristen dan kepercayaan lokal) yang tinggal di Sudan Selatan.6 Berkaitan dengan agama Islam yang telah menjadi agama mayoritas, sebenarnya masuknya Islam ke Negara ini tidaklah sekaligus, akan tetapi secara tadrijan (bertahap) mulai 641 M (21 H), dibawa oleh ‘Amr bin ‘Ash dari Mesir pada masa khalifah Umar bin Khatthab. Kemudian Abdullah bin Sa’ad melanjutkannya pada tahun 625 M (31 H), ketika ia menjadi Wali Mesir pada masa khalifah Usman bin ‘Affan. Sejak Sudan berada di bawah Turki ‘Usmani mulai abad 16 M dan di bawah kekuasaan Mesir sejak tahun 1822 M, kehadiran Islam semakin menguat sehingga akhirnya hampir seluruh warga Sudan Utara menganut agama Islam. Sedangkan Sudan bagian Selatan, hingga sekarang mayoritas penduduknya beragama Nasrani dan sebagian lainnya (17%) tetap sebagai penganut ajaran watsani (animis).7 Konflik antara kedua wilayah (Sudan Utara dan Sudan Selatan) seringkali melatari dan mewarnai kehidupan sosial politik Sudan, menyertai isu Islam yang menjadi agama mayoritas di negeri ini. Meskipun, saat ini kedua wilayah tersebut telah berpisah, menjadi Negara tersendiri.
6
Sumanto al-Qurtuby, Rezim Islamis dan Tragedi Sudan, http://islamlib.com/id/artikel/rezim-islamis-dan-tragedi-sudan, diakses tanggal 08-10-2012 7 Abdullah Mubsir Al-Tharazi, Intisyar al-Islam fi al-„Alam fi al-Sittah wa Arba‟una, Daulah „Aisyiah wa Afriqoh, (Jeddah: Alam al-Muarrafah), 1985, h. 110-113
27
28
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Sudan berdaulat menjadi Negara yang merdeka pada 1 Januari 1956 yang sebelumnya berada di tangan kekuasaan penjajahan Inggris. Pada awalnya, Negara Sudan berada di bawah kekuasaan kerajaan Funj (15041821) kemudian pada 1821 ditaklukkan oleh Muhammad Ali (1765-1849), Sultan Mesir yang berkuasa ketika itu. setelah Mesir dikuasai Inggris, pada gilirannya Sudan pun bagian dari invasi Inggris dan berada di bawah kendali pemerintahannya.8 Pada saat Sudan merdeka dan berdaulat, hal yang paling utama dan mendasar adalah berasas apakah Negara tersebut. Ada tiga pilihan untuk merumuskannya ketika itu, yakni Islam, sekuler dan muslim. Ketiga asas tersebut telah dipakai oleh beberapa Negara muslim, seperti Indonesia, Negara ini berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya Negara Indonesia bukanlah Negara Islam dan bukan pula Negara sekuler. Namun nilai-nilai Islami bisa diterapkan di Negara ini, apalagi kenyataannya masyarakat muslim di Indonesia menjadi mayoritas terbesar di Negara ini bahkan terbesar di dunia. Hal ini terbukti, dengan masuknya agama dalam sistem pemerintahan, yaitu masuknya Kementerian Agama di antara kementerian lainnya. Sistem yang lain yakni Saudi Arabia dengan tegas memproklamirkan negaranya berdasarkan asas Islam sebagai asas Negara, dan Turki menjadikan asas sekuler sebagai asas negara. Keinginan mendirikan Negara dengan menerapkan salah satu dari ketiga asas tersebut tidak berjalan mulus, namun gerakan tarik-menarik kepentingan politik sangat kentara ketika itu. Hal ini seperti keinginan mendirikan Negara Islam dimotori oleh Partai Persaudaraan Muslim (sekarang bernama NIF (National Islamic Front) yang sejak 1986 menjadi partai dominan di Sudan. Pencetus pemikiran ini adalah Hasan Turabi (Sudan, 1 Februari 1932). Sementara yang menginginkan Negara sekuler Inggris sebagai ideology Negara dimotori kekuatan kolonial. Dan keinginan mendirikan Negara Islam moderat yang menyetujui Negara republik dimotori Kaum Republik dengan tokohnya Mahmud Muhammad Thaha.9
8
Safiya Safwat, Islamic Law in The Sudan, dalam Aziz el-Azmeh, Islamic Law: Social and Historical Contects, (London dan New York: Routledge, 1988), h. 231-232 9 Ibid., 1988, h. 240. Lihat pula Safiya Safwat, The Midle East and North Africa 1986, (London: Europa Publication Limited, 1985), h. 690
28
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
29
Dalam merumuskan asas tersebut, Negara ini mengalami polemik dan perseteruan yang cukup menegangkan dalam waktu yang lama. Hal ini terlihat pada saat kemerdekaan, sistem pemerintahan Sudan berbentuk demokrasi parlementer dengan sistem multi partai di bawah kepemimpinan Isma’il al-Azhari. Pemerintahan dengan sistem ini hanya bertahan dua tahun, karena pada 17 November 1958 terjadi kup yang pertama oleh Jenderal Ibrahim Abound. Sebelas tahun kemudian, 25 Mei 1969, terjadi pula pergantian kepemimpinan Sudan melalui kudeta lagi yang dilakukan oleh Kolonel Ja’far Muhammad Numeiri, yang menjadikan Sosialisme Arab ala Gamal Abdul Nasser sebagai idelogi negaranya. Peristiwa kudeta ini dikenal dengan “revolusi Mei”. Baru dua tahun berkuasa, Numeiri sudah berhadapan dengan kudeta yang berlangsung selama tiga minggu, mulai 19 Juni 1971, oleh Hashim al-Ata, bekas sekutu Numeiri yang berhaluan komunis. Namun, Numeiri berhasil mengambil alih kembali kekuasaannya.10 Untuk menarik simpati masyarakat,11 Presiden Numeiri mengumumkan “revolusi Islam” yang memengaruhi tata kehidupan Sudan secara keseluruhan. Sejak itulah Sudan menjadi Negara terbesar di Afrika yang meletakkan hukum Islam sebagai pengatur ketatanegaraannya. Dengan demikian hukum Islam menjadi hukum formal di Sudan. Sejak itu pula, banyak disaksikan dan menjadi hal biasa, hukuman cambuk bagi pemabuk, rajam bagi pelaku perzinaan, pemotongan tangan bagi pencuri, dan hukuman mati bagi yang murtad.12 Tujuan dari pemberlakukn Islamisasi Hukum Sudan oleh Numeiri adalah sebagai cara dan strategi politik untuk menumpas lawan-lawan (rival) politiknya. Salah satu tokoh politik yang terbunuh adalah Mahmud Muhammad Thaha. Terbunuhnya ia karena ada 10
Adang Jumhur Salikin, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran An-Naim, h.37-38 11 Karena Partai Sosialisme Arab (Sudanese Socialist Union, SSU) yang dibangun oleh Numeiri sebagai ideology nasional Sudan, sudah tidak mampu mengumpulkan dari dalam negeri dalam menghadapi berbagai kepentingan agama dan etnis. Kegagalan itu diikuti oleh demontrasi anti pemerintah dan protes pangan pada 1979 dan 1982, setelah Numeiri mengeluarkan kebijakan yang tidak popular, yakni penghentian subsidi kebutuhan pangan. Lihat John L. Esposito (ed.), Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, (Bandung: Mizan, 1994), h. 91 12 Noel J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh University Press), h. 101
29
30
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
koalisi antara Numeiri dan Hasan Turabi, pemimpin Partai Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood), yakni partai yang berseberangan pandangan dengan Partai Republik milik Thaha.13 Setelah Ja’far Numeiri berkuasa kurang lebih 16 tahun, terjadi lagi kudeta di bawah pimpinan Letnan Jenderal Swar al-Dahab yang berujung dengan tumbangnya kekuasaan Numeiri pada April 1985. Selanjutnya, pada tahun 1986, Swar al-Dahab menyerahkan kekuasaannya kepada Sadiq Mahdi dari Partai Ummah (UP). Di tangan pemerintahan sipil Sadiq Mahdi, kembali sistem pemerintahan dilaksanakan dengan sistem multi partai. Akan tetapi, pemerintahan Sadiq Mahdi tidak dapat bertahan lama, karena pada 30 Juni 1989 terjadi kup militer lagi yang dipimpin Brigadir Jenderal Omar Bashir atas nama Komando Revolusioner untuk Keselamatan Nasional (The Revolutionary Common Council of National Salvation). Sejak Omar Bashir berkuasa, semua partai politik yang ada dilarang hidup, diganti dengan parlemen yang keanggotaannya diambil dari tokohtokoh masyarakat. Oleh karena itu, ketika Sudan pada 6-17 Maret 1996 menyelenggarakan Pemilihan Umum yang berlangsung dengan tanpa partai. Hasil pemilihan yang diumumkan pada tanggal 22 Maret 1996 itu mengukuhkan kepemimpinan Omar Bashir setelah berhasil memenangkan pemilihan dengan meraih 75,5 persen dari 5.525.082 suara yang dinyatakan sah. Bersamaan dengan terpilihnya Omar Bashir sebagai Presiden pada pemilu ini, Hassan Turabi, arsitek pelaksanaan syariah Islam di Sudan, terpilih pula menjadi Ketua Parlemen dengan meraih 13.682 suara. Akan tetapi, dinamika kehidupan sosial politik Sudan tampaknya selalu diwarnai oleh berbagai persoalan. Kurang dari setahun, setelah pemilu berlangsung, pada awal 1997, pemerintahan Sudan harus berhadapan lagi dengan berbagai pemberontakan dari kelompok-kelompok oposisi di bawah pimpinan mantan Perdana Menteri Sudan, Shadiq alMahdi, Mohammad Mirghani, dan John Garang, sayap militer dari Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan dari Sudan Selatan, daerah yang mayoritas penduduknya Kristen. Kondisi sosial politik Sudan inilah yang memiliki 13
Peter Woodward, “Hasan al-Turabi”, dalam John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York-Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 240-241
30
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
31
korelasi dengan penerapan syariah Islam. Bahkan, sejak hukum Islam itu diundangkan, dinamika sosial politik Sudan sudah banyak diwarnai oleh isu tersebut.14 2. Pemberlakuan Hukum Keluarga Islam di Sudan Pada dasarnya Umat Islam Sudan sebelum datangnya Mesir pada 1821 telah mengenal hukum Islam.15 Namun pada saat Inggris menguasi Sudan maka sistem hukum Sudan didasarkan pada prinsip-prinsip hukum tidak tertulis (common law) Inggris dan Mesir-Eropa. Sebagaimana berlaku di Negara-negara bekas koloni Inggris lainnya. Hal ini terjadi karena Inggris menjajah Mesir dan Sudan termasuk dalam Anglo-Egyption Condominium antara 1889-1956.16 Namun di sisi lain, ordonansi peradilan hukum Islam mengakui peradilan-peradilan tersebut dan juga mengakui pemegang otoritas yudisial di bawah syariah (Qadi al-Qudat) untuk meletakkan aturan-aturan detail bagi peradilan-peradilan itu.17 Qadhi al-Qudhat inilah yang mempunyai wewenang penuh atas peradilan syariah. Karena Qadhi al-qudhat mempunyai wewenang, maka hasil dari pemikiran para hakim inilah yang menjadi dasar pijakan. Sehingga tidak berlebihan, jika Sudan merupakan negara yang mempunyai progress tentang pembaharuan hukum keluarga. Bentuk pembaharuan yang dilakukan Sudan ini adalah pembaharuan yang telah dilahirkan oleh para hakim dalam bentuk keputusan-keputusan hakim. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Tahir Mahmood bahwa ada dua bentuk pembaharuan yakni; pertama, umumnya (mayoritas) Negara melakukan pembaharuan dalam bentuk Undang-Undang; kedua, Negara yang usaha pembaharuannya lahir dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim
14
Adang Jumhur Salikin, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran An-Naim, h.38-39 15 Safiya Safwat, Islamic Law in The Sudan, dalam Aziz el-Azmeh, Islamic Law: Social and Historical Contects, h. 232 16 John L. Esposito (ed.), Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, h. 102 17 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (Bombay: The Indian Law Institue, 1972), h. 64-65
31
32
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
(Manshurat al-Qadi al-Qudat), yang kedua inilah yang dilakukan Negara Sudan.18 Mengenai sifat dan metode reformasi di Sudan mengacu kepada intradoctrinal reform, yakni tetap merujuk pada konsep fikih konvensional, dengan cara; takhayyur (memilih salah satu ulama fikih, termasuk ulama di luar mazhab), dapat pula disebut tarjih, dan talfiq (mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama).19 Metode yang dipakai untuk takhayyur dan talfiq ini melalui cara menyeleksi berbagai pendapat mazhab secara eklektik melalui fatwa (judicial directives) yang mengizinkan pengadilan untuk menyimpang dari aturan mazhab Hanafi. Sebaliknya, mazhab Hanafi diakui sebagai mazhab resmi bagi masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum perdata umat Islam. Teknik ini juga disebut talfiq untuk menggabungkan mazhab satu dengan yang lainnya.20 Salah satu contoh penggunaan metode talfiq dan takhayyur yang dilakukan di Sudan, pernah terjadi pada tahun 1933 yang memberlakukan ketentuan hukum Maliki berkaitan dengan perwalian dalam nikah dan wewenang untuk memaksa menikah bagi wanita yang berada di bawah perwaliannya. Kemudian pada tahun 1960 Sudan mencabut aturan tahun 1933 dan menegakkan berbagai ketentuan baru yang diambil dari mazhab Hanafi dalam hal kebebasan menentukan pasangan. Namun beberapa ketentuan mazhab Maliki yang dianggap cocok masih tetap diberlakukan. 21 3. Analisis Produk Hukum Keluarga Islam di Sudan Apa yang telah dilakukan Qadi al-Qudat dalam rentang waktu yang cukup lama, bila dikumpulkan hasil-hasil keputusan Hakim, maka peraturan tentang perkawinan dan perceraian di Sudan diatur dalam bentuk 18
Ibid., h. 64 Metode ini adalah salah satu metode pembaharuan. Metode lainnya adalah dengan cara extra-doctrinal reform, yang pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fikih konvensional, tetapi melakukan reinterpretasi terhadap nash. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: Tazzafa dan ACAdeMIA, 2010), h. 25 20 Abdullah Ahmed Naim, Dekontruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional, (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 90 21 Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 103 19
32
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
33
ketetapan-ketetapan hakim (Manshurat al-Qadi al-Qudat) yang terpisahpisah, yaitu: 1. Undang-Undang tentang Nafkah dan Perceraian dalam Manshur No. 17 Tahun 1916; 2. Undang-Undang tentang Orang Hilang dalam Manshur No. 24 Tahun 1921; 3. Undang-Undang tentang Warisan dalam Manshur No. 26 Tahun 1925; 4. Undang-Undang tentang Nafkah dan Perceraian dalam Manshur No. 28 Tahun 1927; 5. Undang-Undang tentang pemeliharaan Anak dalam Manshur No. 34 Tahun 1932; 6. Undang-Undang tentang Talak, Masalah Rumah Tangga (Shiqaq dan Nusyuz) dan Hibah dalam Manshur No. 41 Tahun 1935; 7. Undang-Undang tentang Perwalian Harta Kekayaan dalam Manshur No. 48 Tahun 1937; 8. Undang-Undang tentang Warisan dalam Manshur No. 51 Tahun 1943, sekaligus memperbaharuai Manshur No. 49 Tahun 1939; 9. Undang-Undang tentang Wasiat dalam Manshur No. 53 Tahun 1945; 10. Undang-Undang tentang Wali Nikah dalam Manshur No. 54 Tahun 1960, sekaligus memperbaharui Manshur No. 35 Tahun 1933;22 Sementara ada beberapa ketentuan hukum yang dikeluarkan Qadi alQudat dalam rentang 1916-1960 sebagai berikut:
22
Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, h. 33-34; Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Tazzafa dan ACAdeMIA, 2009), h. 176-177
33
34
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
1. Pengadilan mengakui hak istri untuk menuntut perceraian dengan alasan-alasan tertentu. 2. Perceraian yang tidak disengaja tidak diakui. 3. Batas waktu kehamilan maksimal satu tahun. 4. Pembatasan kekuasaan dan otoritas wali nikah. 5. Dalam hal waris, saudara (laki-laki/perempuan) dan atau kakek tidak dapat menghalangi saudara seayah/seibu. 6. Membolehkan member pusaka/wasiat kepada ahli waris.23
a. Tentang Wali Nikah Berdasarkan hasil analisis Khoiruddin Nasution,24 Negara Sudan menetapkan pernikahan harus ada wali. Hal ini didasarkan Manshur No. 54 Tahun 1960 pasal 2, “seorang yang bertindak sebagai wali nikah harus seorang yang muslim,25 dewasa, dan waras.26 Kalau seorang wali tidak memenuhi syarat tersebut, posisi wali diganti wali lain, sesuai dengan urutannya”, pasal 3. Urutan wali biasanya sesuai dengan mazhab Maliki. Adanya keharusan nikah dengan wali, berdasarkan pendapat Imam Malik, yang diriwayatkan dari Asyhab, yakni wali nikah mutlak dalam suatu perkawinan dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali.27 Selain itu, peraturan tentang harus adanya wali dalam pernikahan karena 23
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, h. 131-132 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1 Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, edisi revisi, (Yogyakarta: Tazzafa dan ACAdeMIA, 2005), h. 115 25 Hal ini didasarkan dari Firman Allah Surat Ali Imran: 28, yang artinya, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” 26 Hal ini didasarkan dari hadis nabi yang artinya, “Diangkat kalam (tidak diperhitungkan secara hukum) seseorang yang tertidur sampai ia terbangun, seseorang yang masih kecil sampai ia dewasa, dan orang gila sampai ia sehat.” 27 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 74 24
34
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
35
berdasarkan hadis la nikaha illa biwaliyyin wasyahhida ‘adlin28 dan pendapat Umar bin Khattab yang menyatakan tidak ada pernikahan wanita kecuali dengan izin walinya atau wali dari keluarganya (dzi al-ra’i min ahliha) atau pemerintah bagi mereka yang tidak mempunyai wali.29 Adanya wali dalam pernikahan, bila di-konteks-kan dalam yuridis Negara Indonesia, akan ditemukan tidak jauh berbeda dengan Mansur di Sudan, hal ini termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 19, 20, 21, 22, dan 23;30 dengan rumusan sebagai berikut: Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Pasal 20 (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ia seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh (2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim Pasal 21 (1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai. Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya. Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
28
Hadis ini tergolong munqati‟ (salah satu perawinya tidak diketahui, yang mengakibatkan putusnya sanad), tetapi mayoritas ulama menggunakannya, dan dijadikan syarat untuk sahnya perkawinan dan menjadi unsur yang membedakan antara nikah yang sah dengan nikah sirri yang dilarang. Hal inilah yang menjadi indikator keabsahan hadis dan sekaligus bisa dijadikan sebagai dalil. Lihat Muhammad bin Indris al-Shafi‟I, al-Umm, edisi al-Muzni, (ttp.: tnp., t.t.,), V: 151 29 Malik bin Anas, al-Muwatta, hadis No. 17, edisi Muhammad Fuad „Abd alBaqi, (ttp.: tnp., t.t.), h. 325 30 Lihat Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia., h. 80-81
35
36
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, sudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka. (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai. (3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. (4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syaratsyarat wali. Pasal 22 Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nnikah itu menderita tunawicara, tunarungu atau sudah uzur, maka hak wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. Pasal 23 (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. (2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
36
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
37
Dari pemaparan berdasarkan yuridis di Indonesia, tampaknya Manshurat Sudan tidak jauh berbeda dalam hal wali nikah, karena pada dasarnya wali adalah rukun dari pernikahan. Hanya saja dalam Manshur ini, tanda persetujuannya dibedakan antara gadis yang belum cukup umur dengan gadis yang sudah dewasa dan janda. Hal ini didasarkan dalam Manshur No. 54 Tahun 1960 pasal 6 (a), “Persetujuan dari wanita yang sudah dewasa penting untuk menentukan pilihan dan jumlah maharnya”. Pasal 6 (b), “Tanda setuju gadis yang sudah yang sudah dewasa adalah dengan pernyataan tegas”. Pasal 6 (c), “Untuk gadis yang belum cukup umur dengan diamnya.” Pasal 6 (d), “Gadis yang sudah pernah nikah (untuk pernikahan kedua) harus dengan tegas.” Dalam Pasal 6 (a) tersebut berkaitan dengan mahar, tidak jauh berbeda dengan yuridis Indonesia. Masalah mahar memang tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, namun di KHI dijelaskan panjang lebar dalam pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, dan 38. Namun yang menjadi titik tekan di sini adalah adanya mahar berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sebagaimana dalam pasal 30 yang berbunyi, “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.” Bila ditilik Manshur No. 54 tahun 1960 Pasal 6 (b), (c) dan (d), mengenai pernikahan boleh terjadi jika ada persetujuan wanita didasarkan dalam kasus al-Khansa’a. Dalam kasus ini, al-Khansa’a melapor kepada Nabi atas kasus yang menimpanya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada anak saudara bapaknya yang tidak ia senangi, nabi balik bertanya, apakah kamu diminta izin (persetujuan)?” jawab al-Khanza’a, “saya tidak senang dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menyuruhnya pergi dan menetapkan hukum perkawinannya yang tidak sah, seraya bersabda, “nikahlah dengan orang yang kamu senangi”. Al-Khansa’a berkomentar, “bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak putrinya dan nabi menyetujuinya”. Ditambah lagi oleh al-Khansa’a, “nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda”.31 Kasus ini
31
Syamsuddin Al-Sarakhsi, al-Mabsut, Beirut: Dar al-Ma‟rufah, 1409/1989, V: 2
37
38
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
mengisyaratkan tidak adanya perbedaan adanya gadis dan janda dalam hal persetujuan pernikahannya. Dalam konteks hukum keluarga Indonesia, tampaknya agak berbeda dengan Manshur di Sudan, hanya saja di Indonesia persetujuan kedua belah mempelai diperjelas di depan Pegawai Pencatat Nikah. Untuk lebih lengkapnya terdapat dalam pasal 16 dan 17,32 yang berbunyi: Pasal 16 (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Pasal 17 (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapkan dua orang saksi. (2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calin mempelai maka pernikahan itu tidak dapat dilangsungkan. (3) Bagi calon mempelai yang menderita tunawicara atau tunarungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Dari komparasi yang ada antara Manshur dan Kompilasi Hukum Islam ada beberapa hal yang berbeda, namun tidak begitu prinsipil karena yang termaktub dalam yuridis bersifat tehnis yang pada intinya adalah persetujuan dari kedua belah pihak untuk menikah dan membangun keluarga yang bahagia.
32
Lihat Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h. 117
38
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
39
b. Tentang Wasiat Satu hal yang menarik juga di Sudan adalah adanya pengadopsian pemikiran dari Syi’ah ‘Itsna ‘Asy’ariyah, hal ini seperti pada tahun 1945 hakim Sudan mengeluarkan surat edaran yang memperbolehkan wasiat kepada ahli waris yang sah sebatas sepertiga dari jumlah bersih harta peninggalan. Asalan kebolehan ini adalah bahwa pembuat wasiat perlu memberi tambahan bagi ahli waris yang hanya mendapat bagian kecil. Mengenai surat wasiat ini pula, Undang-Undang di Mesir tahun 1946 secara diam-diam dan tidak langsung juga mengadopsi pandangan Syiah tersebut.33 Mengenai wasiat, bila dikomparasi dengan peraturan perundangundangan di Indonesia, termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam Bab V Tentang Wasiat memuat 16 pasal. Untuk masalah besarnya harta wasiat, tertera dalam Pasal 195 dan Pasal 201, yang berbunyi: Pasal 195 (1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris. (2) Wasiat hanya dibolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. (3) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal iini dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris. Pasal 201 Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.
33
Dalil mengenai wasiat ini berdasar sabda Nabi, “tidak ada wasiat bagi ahli waris” barangkali harus dibaca dengan tambahan kata “kecuali sebatas sepertiga yang diperbolehkan”. Atau bisa juga ditafsirkan bahwa bukan larangan memberi wasiat seperti itu, tapi sekedar menegaskan bahwa wasiat bukanlah kewajiban. Lihat Noel J. Coulson, A History of Islamic Law, h. 219.
39
40
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Jadi jelaslah ada perbedaan yang cukup kentara antara peraturan perundang-undangan Sudan dan Indonesia. Sudan hanya membolehkan wasiat tidak lebih dari sepertiga, sementara di Indonesia, ada kebolehan wasiat lebih dari sepertiga harta warisan, dengan catatan disetujui oleh para ahli waris, namun bila tidak disetujui maka batas wasiat hanya sepertiga dari tirkah (harta warisan). c. Tentang Bubarnya Perkawinan Dalam Manshur 17 Tahun 1916 dijelaskan tentang bubarnya perkawinan. Didalamnya diungkapkan jika seorang suami pergi menghilang dalam waktu yang panjang, meskipun ia meninggalkan harta, maka seorang istri dapat mengajukan masalah tersebut ke depan pengadilan. Pengadilan akan melakukan pencarian dan melacak informasi keberadaan suami. Jika pengadilan tidak memperoleh informasi maka pengadilan dapat minta kepada sang istri untuk menunggu mafqud-nya suami terhitung empat tahun dan kemudian melaksanakan ‘iddah kematian. Setelah itu, istri dapat kawin lagi dengan laki-laki lain. Jika setelah nikah kedua tiba-tiba suami pertama kembali, maka pernikahan kedua tetap sah, asal ia telah digauli suami kedua tanpa tahu sedikitpun mengenai kehidupan suami pertama. Jika suami kedua mempunyai informasi mengenai kehidupan suami pertama, maka perkawinan kedua dianggap batal dan istri menjadi milik suami pertama.34 Dalam ketentuan yang lain, bila suami meninggalkan istri lebih dari satu tahun dan berakibat si istri jatuh dalam penderitaan atau hampir jatuh dalam perbuatan amoral, maka ia dapat mengajukan tuntutan kepada hakim agar perkawinannya dapat diputuskan. Pada saat menerima tuntutan itu, hakim harus memberi peringatan kepada suami jika dapat dihubungi, baik peringatan untuk kembali maupun meminta kepada si istri untuk ikut suaminya. Jika suami tidak dapat dihubungi maka hakim dapat membubarkan perkawinan tersebut. Demikian juga jika suami berbuat kepada istrinya.
34
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, h. 133-134
40
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
41
Bila diteliti, apa yang dinyatakan dalam Manshur tersebut, mengenai bolehnya wanita menggugat cerai terhadap mafqud-nya sang suami, didasarkan dari Mazhab Maliki yang membolehkan wanita mengangkat perkaranya kepada Qadhi untuk memberi kejelasan tentang masalah suaminya. Sementara lamanya mafqud, didasarkan dari Mazhab Hanbali, yang menyatakan waktu menunggunya selama empat tahun menunggu sejak hilangnya sang suami.35 Atas dasar ini, tampak bahwa talfiq dalam keputusan hukum menjadi hal yang biasa dan tidak tabu. Ini merupakan kemajuan dalam hal legislasi, tanpa memandang satu mazhab. Ta’ashub (fanatisme) tidak menjadi hal yang wajib, apalagi fanatisme buta. Ini berarti reformasi hukum di Sudan telah mengalami kemajuan yang siginifikan di banding beberapa Negara muslim lainnya, yang masih memegang fanatisme mazhab, seperti Saudi Arabi yang menganut faham Wahabisme, dan Iran yang menganut faham Syiah. Manshur yang ada di Sudan mengenai suaminya yang mafqud tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, didalamnya dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang diputuskan oleh Pengadilan disebabkan salah satu pihak suami atau istri bepergian dalam waktu yang cukup lama tanpa ada kabar yang jelas. Undang-Undang ini tidak menjelaskan berapa lama waktu yang menjadi alasan bagi Pengadilan untuk memutuskan perceraian. Undang-Undang ini juga tidak menjelaskan berapa jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang.36 Namun bila ditilik dalam Kompilasi Hukum Islam akan ditemukan jangka waktu hilangnya suami istri. Hal ini seperti pada pasal 116 didalamnya memuat alasan bolehnya perceraian yaitu salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa asalan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.37 Hal ini pula dapat dilihat dalam 35
Ahmad bin Umar ad-Dairabi, Fiqih Wanita: Panduan Untuk Pengantin, Wali & Saksi, ditahkik oleh Musthafa Abdul Qadir „Atha, (Jakarta: Mustaqiim, 2003), h. 131 & 133 36 Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h. 291 37 Dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam keenam alasan tidak jauh berbeda dengan UU No. 1 Tahun 1974 hanya saja ditambah dengan kalimat suami melanggar taklik talak, peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
41
42
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi salah satunya karena Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.38 Dalam Manshur 28 Tahun 1927 dijelaskan pula; 1) perkawinan dapat dibatalkan karena suami pergi meninggalkan istri sebagaimana dalam Manshur 17 tahun 1916, dapat dilakukan hanya jika perceraian tidak dapat diterima karena tidak ada nafkah; 2) seorang suami yang sakit terus menerus dan dapat menghalangi hubungan seks maka istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, asalkan istri tidak mengetahui penyakit tersebut sebelum perkawinan; 3) seorang perempuan pada masa ‘iddah yang tidak menyusui anak tidak dapat menuntut nafkah lebih dari satu tahun; 4) apabila masih menyusui, maka tuntutan nafkah dapat melebihi tiga bulan terhitung dari saat menyapih. Dalam Manshur 41 Tahun 1935 menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan talak: 1) talak yang dilakukan dalam keadaan mabuk atau terpaksa tidak diakui; 2) demikian juga talak bergantung yang tidak bermaksud sungguh-sungguh dan hanya untuk mengancam; 3) talak tiga yang dilakukan dalam satu waktu terhitung satu; 4) ikrar cerai dengan sindiran akan berpengaruh putusnya perkawinan hanya jika suami benarbenar bermaksud untuk cerai.39 Sahnya perceraian di Sudan ini harus di depan hakim dan melalui litigasi. Sama halnya dengan Indonesia, berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 39, maka setiap perceraian dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama atas ketetapan dan keputusan hakim, j.o. Undangundang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bagian kedua, paragraf
38
Bunyi point yang lain adalah Salah satu pihak berbuat zina, menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; Salah satu pihak mendapat cacat bawaan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 39 Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 102-102
42
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
43
1 pasal 65, dan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab XVI bagian kesatu pasal 115. Pengadilan akan memutuskan perkara perceraian jika semua berkas terpenuhi, termasuk di dalamnya adalag para saksi. Kewajiban saksi hadir dalam persidangan sebagai penguat dari permasalahan yang sedang melanda. Hal ini pula didasarkan dari firman Allah surat at-Thalaq [65]: 2 yang berbunyi: “… Saksikanlah dengan dua orang saksi di antara kamu, dan lakukanlah persaksian itu karena Allah ….” Dengan demikian, bila disimpulkan antara Sudan dan Indonesia, tidak jauh berbeda mengenai bubarnya pernikahan. Hanya terperinci dan tidaknya aturan di masing-masing Negara tersebut. Padahal secara substansinya sama. III. Kesimpulan Dari pemaparan yang telah dijelaskan, tersirat bahwa lahirnya produk hukum di Sudan, penuh dinamika dan warna. Mulai dari Islamisasi hukum secara formalistik yang dilakukan oleh Numeiri, hingga akhirnya, kini Sudan terpecah menjadi dua Negara. Dalam konteks hukum keluarga Islam di Sudan dan Indonesia, ada perbedaan yang menonjol maupun yang hampir sama: Perbedaan yang sangat menonjol terlihat nampak dalam hal legislasi perundang-undangan. Di Sudan, segala bentuk keputusan perundang-undangan diberikan hak sepenuhnya kepada Hakim. Hakim boleh memutuskan perkara mengikuti mazhab yang resmi yakni Maliki ataupun boleh keluar dari Mazhab Maliki, sehingga peraturan yang berbentuk Manshur ini penuh dengan warna-warni mazhab. Sehingga bisa dikatakan, di Sudan hakim dibebaskan berijtihad terhadap putusan hukum yang akan dilakukannya. Metode talfik di Sudan dalam memfromulasikan hukum menjadi hal yang biasa dan bukan sesuatu yang asing ataupun tabu. Sementara di Indonesia, peraturan perundang-undangan telah terlegislasi dalam bentuk 43
44
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Semua sumber hukum “harus” berkiblat kepada kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Perbedaan yang agak menonjol adalah masalah wasiat. Dalam Manshur di Sudan, wasiat hanya dibolehkan sebatas sepertiga dari harta warisan. Sementara di Indonesia, peluang wasiat lebih dari sepertiga diperbolehkan dengan catatan dapat disetujui oleh para ahli waris, bila tidak disetujui, wasiat hanya diperbolehkan sebatas sepertiga. Perbedaan yang tidak begitu menonjol dan hanya terbatas tehnis, namun substansinya sama yaitu masalah pernikahan dan perceraian.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2010 Ad-Dairabi, Ahmad bin Umar, Fiqih Wanita: Panduan Untuk Pengantin, Wali & Saksi, ditahkik oleh Musthafa Abdul Qadir ‘Atha, Jakarta: Mustaqiim, 2003 Al-Qurtuby, Sumanto, Rezim Islamis dan Tragedi Sudan, http://islamlib.com/id/artikel/rezim-islamis-dan-tragedi-sudan, diakses tanggal 08-10-2012 Al-Sarakhsi, Syamsuddin, al-Mabsut, Beirut: Dar al-Ma’rufah, 1409/1989 44
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
45
Al-Shafi’i, Muhammad bin Indris, al-Umm, edisi al-Muzni, ttp.: tnp., t.t. Al-Tharazi, Abdullah Mubsir, Intisyar al-Islam fi al-‘Alam fi al-Sittah wa Arba’una, Daulah ‘Aisyiah wa Afriqoh, Jeddah: Alam al-Muarrafah, 1985 Anderson, J.N.D, Islamic Law in The World, New York: New York University Press, 1959 Anderson, Norman, Law Reform in The Muslim World, London: The Anholone Press, 1976 Coulson, Noel J, A History of Islamic Law, Edinburg: Eedinburg University Press, 1964 Esposito, John L, (ed.), Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, Bandung: Mizan, 1994 http://ms.wikipedia.org/wiki/Sudan, diakses tanggal 08-10-2012 Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: Alumni, 1982 Mahmood, Tahir, Family Law Reform in The Muslim World, Delhi: The Indian Law Institute, 1972 Malik bin Anas, al-Muwatta, edisi Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, (ttp.: tnp., t.t.) Nasution, Khoiruddin, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Yogyakarta: Tazzafa dan ACAdeMIA, 2010 ------, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta: Tazzafa dan ACAdeMIA, 2009 -------, Hukum Perkawinan 1 Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, edisi revisi, Yogyakarta: Tazzafa dan ACAdeMIA, 2005 Naim, Abdullah Ahmed, Dekontruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: LKiS, 1994 Safwat, Safiya, Islamic Law in The Sudan, dalam Aziz el-Azmeh, Islamic Law: Social and Historical Contects, London dan New York: Routledge, 1988 ------, The Midle East and North Africa 1986, London: Europa Publication Limited, 1985 45
46
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Salikin, Adang Jumhur, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran An-Naim, Yogyakarta: Gama Media, 2004 Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005 Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006 Woodward, Peter, “Hasan al-Turabi”, dalam John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, New York-Oxford: Oxford University Press, 1995
PEMBERLAKUAN SANKSI PIDANA DALAM KASUS HUKUM KELUARGA ISLAM DI DUNIA ISLAM MODERN (Studi Komperatif Terhadap Kasus Poligami di Negara Tunisia, Malaysia, dan Indonesia) Syamson Fajar I. Latar Belakang Pemikiran Salah satu trend reformasi hukum keluarga di dunia Islam modern adalah diberlakukannya sangsi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan 46
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
47
mengategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Dalam hal poligami misalnya, meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern. Demikian pula jika dibandingkan dengan kebijakan hukum di negara-negara non-Muslim (negara Barat). Seperti disebut dalam judul di atas, tulisan ini hanya memfokuskan kajian pada beberapa negara Muslim: Tunisia, Malaysia, dan Indonesia,40 dengan menggunakan pendekatan komparatif, meliputi: komparasi vertikal (hukum negara-doktrin hukum klasik); komparasi horizontal (hukum antar negara); komparasi diagonal (tingkat dinamisasi hukum). II. Pembahasan 1. Pemberlakuan Sanksi Pidana Dalam Kasus Hukum Keluarga Islam Pemberlakuan sanksi hukum menjadi salah satu ciri dalam UU hukum keluarga di negara-negara Muslim modern. Secara umum sanksi hukum tersebut terkait dengan pelanggaran berbagai masalah seputar perkawinan, perceraian, nafkah, perlakuan terhadap istri, hak perempuan pasca cerai, dan hak waris. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini rincian sejumlah persoalan tersebut:41
40
Pemilihan ke lima negara ini sebagai model lebih didasari pada pertimbangan subyektifitas penulis, dengan memperhatikan tingkat variasi dan relevansinya dengan topik yang diangkat (kriminalisasi praktik poligami). Selain itu penulis juga berupaya menghindari pengulangan seminimum mungkin dari tulisan-tulisan penulis lain sebelumnya. 41 Identifikasi ini berpijak dari hasil telaah penulis terhadap sejumlah UU/Hukum Keluarga Negara-negara Muslim. Sumber rujukan yang digunakan adalah dua karya Taher Mahmood, yaitu Family Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd.,
47
48
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
a. Perkawinan di Bawah Umur (Masalah Batasan Usia Nikah) Masalah ini setidaknya mendapatkan perhatian dari 4 negara Muslim, yakni Bangladesh, Iran, Pakistan, dan Yaman (Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat negara tersebut secara eksplisit memberlakuan sanksi hukum terhadap pelanggaran masalah ini. Di Bangladesh, seseorang yang menikahi anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 taka; atau kedua sekaligus.42 Sedangkan di Iran, siapa pun yang menikahi atau menikahkan seseorang yang di bawah usia nikah minimal dapat dikenakan hukuman penjara 6 bulan hingga 2 tahun.43 Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.44 Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur (nikah).45 Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur.46 Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan.47
Bombay, 1972, dan Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), (New Delhi: Academy of Law and Religion New Delhi), 1987. 42 Child Marriage Testraint Act 1929 dan Amandemennya (Ordonansi No. 28/1984) Pasal 4. 43 The Marriage Law 1931-1937 Pasal 3. 44 Child Marriage Restraint Act 1929 (Act 29 /1929) dan amandemennya (Ordonansi No.8 /1961) Pasal 4. 45 Ibid., Pasal 5. 46 Ibid., Pasal 6 ayat (1). 47 Ibid., Pasal 12 ayat (5).
48
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
49
Dalam pada itu, berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Yaman (Selatan) semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pendukung) melakukan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1. 1974 (antara lain mengenai usia minimal kawin: 18 (pria) dan 16 (perempuan) dan selisih usia maksimal 20 tahun, terkecuali jika calon istri telah mencapai usia 25 tahun), dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau keduanya sekaligus.48
b. Perkawinan Secara Paksa Irak dan Malaysia merupakan negara yang mencantumkan sanksi hukum dalam Hukum Keluarga mereka dalam persoalan ini. Di Irak, ketentuan hukum dirinci menurut pelakunya. Sebagai contoh, setiap pihak yang mengawinkan secara paksa, selain keluarga garis pertama, dapat dijerat dengan hukuman penjara maksimal 3 tahun beserta denda; jika pelakunya adalah pihak keluarga garis pertama maka hukumannya adalah penjara maksimal 3 tahun tanpa denda; apabila pelakunya adalah salah satu calon mempelai maka dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 10 tahun atau kurungan minimal 3 tahun.49 Sanksi yang kelihatannya sedikit lebih ringan di berlakukan oleh Malaysia. Berdasarkan Hukum Keluarga di sana, siapa saja yang memaksa seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘ dapat dikenakan hukuman denda maksimal 1000 ringgit atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua sekaligus.50 c. Pendaftaran dan Pencatatan Perkawinan Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah ini merupakan salah satu hal yang paling banyak diatur dalam Hukum Keluarga negara-negara Muslim. Minimal tercatat ada 5 Hukum Keluarga yang mencantumkan ketentuan tentang masalah ini, yakni Indonesia, Iran, Yaman (Selatan), Yordania, dan Srilanka. 48
Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49. The Code Personal 1959 Pasal 9 (2). 50 Islamic Family Law (Federal Teritory) Act 1984 (Act 304 of 1984) Pasal 37. 49
49
50
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Di Indonesia, sanksi hukuman dapat dijatuhkan terhadap petugas (pencatatan) yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan. Dalam hal ini hukumannya adalah penjara/kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500.,-.51 Sedangkan di Iran sanksi hukum diberlakukan dalam kasus perkawinan yang dilakukan tanpa registrasi. Pihak bersangkutan (pria yang menikah) diancam hukuman penjara 1 – 6 bulan.52 Yaman (Selatan) memberlakukan hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus terhadap semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1/ 1974.53 Sementara di Yordania, mempelai (yang melangsungkan pernikahan), pihak pelaksana dan para saksi terkait perkawinan yang tak terdaftar (tanpa registrasi pihak berwenang) dapat dikenakan hukuman penjara berdasarkan ketentuan Jordanian Penal Code (UU Hukum Pidana Yordania) dan denda maksimal 1000 dinar.54 Menarik untuk dicatat bahwa Srilanka, meskipun penduduk Muslimnya bukanlah mayoritas, malah cenderung lebih banyak memasukkan aturan kriminalisasi dalam Hukum Keluarga Muslim yang diberlakukan di sana.55 Hal tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentuan berikut: a) Membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perkawinan dan perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maks. 3 tahun.56 b) Melanggar ketentuan Ps. 81: 51
Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 Pasal 45 ayat (2). The Marriage Law 1931-1937 Pasal 1 53 Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49. Di antara bentuk perkawinan yang bertentangan dengan UU ini adalah perkawinan yang melanggar ketentuan usia minimal dan selisih usia calon mempelai, bigami tanpa izin Pengadilan setempat. 54 The Code of Personal Status 1976 dan amandemennya (UU No. 25 /1977) Pasal 17 ayat (3). 55 Hal ini tampaknya dilatarbelakangi oleh keberadaan komunitas Muslim yang relatif signifikan di sana. Atas dasar itu pulalah penulis cenderung memasukkan Srilanka dalam daftar negara-negara Muslim yang dibahas dalam bagian ini, tentu dalam konteks pemberlakuan sanksi dalam Hukum Keluarga Muslim. 56 Muslim Marriage and Divorce Act 1951 Pasal 79. 52
50
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
51
1) Mempelai pria; petugas pencatatan yang lalai atau enggan mencatatkan pernikahannya; atau lalai/enggan melaksanakan tugas pencatatan suatu pernikahan; 2) Siapa saja yang mendukung atau membantu seorang lakilaki Muslim untuk memperoleh atau mempengaruhi atau mendaftarkan suatu perceraian di luar (tidak sesuai dengan) ketentuan dalam UU ini atau bersekongkol melanggar melalui cara lain; 3) Qadi, petugas pencatatan, dan pihak yang turut andil (berpartisipasi) melanggar berbagai aturan dalam Ps. 56 ayat (1) tentang larangan bagi qadi atau petugas pencatatan mengizinkan orang lain untuk menempati posisi mereka dan menjaga semua buku, dokumen, berkas terkait; atau Ps. 56 (4) tentang larangan, kecuali qadi atau petugas pencatatan, menyimpan buku, daftar, atau catatan yang dimaksudkan sebagai daftar suatu perkawinan atau perceraian orang Muslim, atau rekaman berita acara mengenai perceraian yang diakibatkan atau mengaku diakibatkan oleh pihak lain. Mereka di atas akan dijatuhi hukuman untuk pertama kali adalah denda maksimal 100 rupee, sedangkan hukuman untuk yang kedua/selanjutnya maksimal 100 rupee atau penjara maksimal 6 bulan atau keduanya sekaligus (denda dan penjara).57 a. Petugas pencatatan yang sengaja melakukan pencatatan, dan pihak lain yang mendukung atau membantu pencatatan suatu perkawinan yang bertentangan dengan aturan Pasal 22 (kawin pada masa iddah), 23 (Perkawinan di bawah umur), atau 24 ayat (4) (berpoligami melalui izin Hakim) dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.58 b. Setiap pihak, bukan seorang qadi (hakim), yang mengeluarkan atau menyatakan untuk mengeluarkan izin atau daftar/catatan sebuah perceraian berdasarkan UU ini, atau pihak yang bukan 57 58
Ibid., Pasal 81 poin (a), (b), dan (c). Ibid., Pasal 82.
51
52
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
petugas pencatatan, melakukan pencatatan atau menyatakan akan mencatat suatu perkawinan berdasarkan UU ini dapat dijatuhi denda 100 rupee; atau hukuman penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus 59 c. Setiap pihak yang sengaja atau mengetahui membuat keterangan palsu dalam suatu pernyataan yang ditandatanganinya berdasarkan Ps. 18 ayat (1) (tentang pengisian dan penandatangan formulir registrasi perkawinan oleh pasangan pengantin dan wali pihak perempuan) dapat dikenakan denda maks. 100 rupee; atau penjara maks. 6 bulan; atau keduanya sekaligus.60 d. Setiap petugas pencatatan: 1) Lalai atau menolak tanpa sebab/alasan yang sah melakukan pencatatan perkawinan; 2) Kecuali dalam kasus yang terdapat pada Pasal 11, melakukan pencatatan suatu perkawinan yang diadakan di luar wilayah tugasnya; 3) Melakukan pencatatan suatu perkawinan yang melanggar kondisi-kondisi atau batasan yang terdapat pada surat tugasnya; 4) Mencatat suatu perkawinan yang tidak dihadirinya; 5) Sengaja menolak untuk melaksanakan atau yang terkait dengan pencatatan suatu perkawinan; suatu kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Pasal 18, 19, atau ps. 58; 6) Sengaja melanggar / menentang berbagai aturan dalam UU ini dapat dikenakan hukuman denda maksimal 100 rupee.61 d. Perkawinan di Luar Pengadilan Di Irak, pria yang melakukan perkawinan di luar pengadilan dapat dijatuhi hukuman Penjara minimal 6 bulan & maksimal 1 tahun; denda minimal 300
59
Ibid., Pasal 83 Ibid., Pasal 85 61 Ibid., Pasal 86 60
52
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
53
dinar & maksimal 1000 dinar.62 Melakukan perkawinan di luar pengadilan saat perkawinan sebelumnya masih berlangsung/terjalin dapat diganjar hukuman penjara minimal 3 tahun & maksimal 5 tahun.63 e. Mas Kawin dan Biaya Perkawinan Di kawasan Asia Selatan (anak Benua India) persoalan mas kawin, hantaran dan biaya perkawinan sering menjadi isu kritis dan menimbulkan persoalan sosial, sebagai akibat masih kuatnya pengaruh tradisi (non Islamis) yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang kelihatan memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian khusus dan menggariskan aturan sanksi hukum dalam masalah ini. Di Bangladesh, memberi atau mengambil atau bersekongkol memberi atau mengambil hantaran kawin diancam dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 5000 taka; atau keduanya sekaligus. Hukuman yang sama juga berlaku bagi siapa pun yang meminta hantaran kawin kepada orang tua atau wali dari pihak mempelai wanita atau pria.64 Sedangkan di Pakistan, pelanggaran atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya dan hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dapat dihukum penjara maksimal 6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang diatur UU ini; atau keduanya sekaligus. Dalam pada itu apabila mas kawin, berbagai barang hantaran dan hadiah yang diberi atau diterima tidak sesuai dengan ketentuan UU ini maka akan diserahkan kepada Pemerintah federal untuk digunakan bagi perkawinan gadis-gadis miskin sebagaimana diatur dalam UU ini.65 f.Poligami & Hak Istri Dalam Poligami 62
The Code Personal 1959 Pasal 10 ayat (5) Ibid., Pasal 10 ayat (5) 64 Dowry Prohibition Act 1980 dan Amandemennya (Ordonansi No. 64/ 1984) Pasal 3 dan 4 65 Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dan amandemennya Ordonansi No.36 /1980 Pasal 9 ayat (1). Disebutkan dalam pasal ini bahwa jika orang tua dari pihak mempelai pria melanggar atau gagal memenuhinya tersebut terdiri dari ayah dan ibunya maka yang dikenakan hukuman adalah sang ayah saja. Sedangkan jika pihak orang tua pria hanya ibunya maka cukup dikenakan denda, bukan hukuman penjara. 63
53
54
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Poligami merupakan masalah yang paling banyak dikenakan pemberlakuan sanksi hukum oleh Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern. Di luar negara-negara yang memberlakukan aturan yang mempersulit ruang gerak poligami tanpa menjatuhkan sanksi hukum terhadap pelakunya, setidaknya 8 negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia. Uraian lebih lanjut mengenai ketentuan kriminalisasi praktik poligami ini akan dipaparkan secara khusus dalam bahasan mendatang.
g. Talak/Cerai di Muka Pengadilan dan Pendaftaran Perceraian Iran, Malaysia, Mesir, Pakistan, Yordania, dan Srilanka mencantunkan sanksi hukum dalam pasal-pasal Hukum Keluarga mereka terkait persoalan ini. Di Iran, misalnya, para suami yang melakukan perceraian atau menarik kembali penjatuhan talak/cerai yang dilakukan tanpa registrasi dapat diancam hukuman penjara 1 – 6 bulan.66 Menurut ketentuan Hukum Keluarga di Malaysia, penjatuhan talak di luar dan tanpa izin pengadilan dapat dikenakan denda 1000 ringgit; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.67 Sedangkan di Mesir, berdasarkan Law on Personal Status 1929 yang dipertegas lagi dalam amandemennya UU No.100 1985 Pasal 23 A, suami yang tidak melakukan pendaftaran perceraian dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 6 bulan; atau denda 200 pound; atau keduanya sekaligus. Begitu pula petugas pencatatan yang menolak atau tidak melaksanakan tugas pencatatan perceraian dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 1 bulan & denda minimal 50 pound Mesir.68 Di Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan permohonan tertulis ke Pejabat (chairman) berwenang; atau dan tanpa memberikan salinan (copy)nya kepada istri, dapat dihukum penjara maksimal 1 tahun; atau
66
The Marriage Law 1931-1937 Pasal 1. Islamic Family Law (Federal Teritory) Act 1984 (Act 304 of 1984) Pasal 124 68 Law on Personal Status 1929 dan Amandemennya UU No.100 1985 Pasal 23 A 67
54
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
55
denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.69 Dalam pada itu, Yordania memberlakukan hukuman menurut UU Hukum Pidana negara itu terhadap suami yang menceraikan istri (di luar Pengadilan) tanpa melakukan langkah registrasi.70 Sementara di Srilanka, membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 3 tahun.71 10. Hak-Hak Istri Yang Dicerai Suaminya Tunisia tampaknya bergerak sendiri dalam masalah yang satu ini. Menurut UU Tunisia, suami yang menghindar dari kewajiban memberi nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat dikenakan hukuman penjara 3 hingga 12 bulan dan denda antara 100 hingga 1000 dinar. 72 11. Masalah Hak Waris Perempuan Harus diakui, mungkin, hanya Libya yang secara khusus memberikan perhatian dalam masalah ini. Berdasarkan UU yang berlaku di Libya, pengabaian (tidak memberi) hak warisan wanita dapat diancam dengan hukuman penjara sampai hak warisan wanita bersangkutan diberikan/dipenuhi.73 Kriminalisasi Praktik Poligami Dalam Dunia Islam Modern Salah satu langkah reformasi Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern adalah meninjau kembali sejumlah ketentuan hukum Islam klasik yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan tuntutan/perubahan modern. Demikian pula halnya dalam masalah poligami. Aturan fikih konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad kini ditinjau kembali dan digantikan dengan produk legislasi yang tampaknya diarahkan pada upaya mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan perkembangan zaman. 69
The Muslim Laws Ordinance 1961 (Ordinance No.8/1981) dan amandemennya (Ordonansi No. 21 & 30/1961) Pasal 7 (2) 70 The Code of Personal Status 1976 dan amandemennya (UU No.25/1977) Pasal 101. 71 Muslim Marriage and Divorce Act 1951 Pasal 79 72 Code of Personal Status 1956-1981 Pasal 53 A 73 Law on Protection of Women‟s Right to Inheritence 1959 Pasal 5
55
56
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Secara umum ketentuan (perundang-undangan) berkaitan hukum keluarga di negara-negara Muslim modern, dikaitkan aturan poligami, dapat diklasifikasikan kepada kategori: pertama, negara-negara yang sama sekali melarang praktik poligami, seperti Turki dan Tunisia. Kedua, negaranegara yang yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat (dipersulit), seperti Pakistan, Mesir, Maroko, Indonesia, dan Malaysia. Ketiga, negara-negara yang memperlakukan poligami secara lebih longgar, seperti Saudi Arabia, Iran, dan Qatar.74 Dari ketiga kategori tersebut, kategori kedua menjadi kecenderungan umum Hukum Keluarga di Dunia Islam. Pembatasan poligami yang dilakukan bersifat variatif, dari cara yang paling lunak sampai yang paling tegas. Sebagai contoh, di Libanon, berdasarkan hukum keluarga yang diberlakukan kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917,75 poligami tidak dilarang namun diharapkan menerapkan prinsip keadilan kepada para istri. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Maroko berdasarkan UU Status Pribadi tahun 1958 yang berlaku di sana.76 Cara lain bagi pembatasan poligami adalah dengan pembuatan perjanjian. Istri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ternyata nanti ia menikah lagi dengan wanita lain maka si istri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak istri. Hal ini disebutkan misalnya dalam pasal 19 Hukum Keluarga Yordania No. 61 tahun 1976 yang diubah dengan Hukum Keluarga Yordania No. 25 tahun 1977.77 Hal yang sama juga disebutkan dalam pasal 31 UU Status Pribadi Maroko tahun 1958.78 Di samping itu, ada pula yang mempersyaratkan kondisi atau izin tertentu. Di Indonesia, contohnya, diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) UU 74
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), (New Delhi: Academy of Law and Religion New Delhi), 1987, h. 14, 273-274. 75 Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay: N.M.Tripathi PVT, Ltd.,), 1972, h. 37. 76 Ibid., h. 117 77 Tahir Mahmood, Personal Law…, h. 80. 78 Ibid., h. 121.
56
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
57
Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983, poligami praktis dilarang.79 Hal yang hampir sama berlaku di Pakistan, poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari istri pertama dan Dewan Hakam (arbitrer) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bahkan bagi pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara atau denda, atau malah kedua-duanya.80 Seperti yang tampak pada contoh yang terakhir disebut ini, praktik poligami malah telah masuk kategori perbuatan yang dikenakan sanksi hukum tertentu. Dengan kata lain, sebagian negara-negara Muslim memberlakukan kriminalisasi praktik poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Sebagaimana telah disinggung dalam bahasan terdahulu, minimal tercatat 8 negara Muslim yang telah memberlakukan penjatuhan sanksi 79
PP No. 10/1983 Pasal 3 ayat (1): PNS yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat. Pasal 4: (1) PNS pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.. (2) PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari PNS. Sedangkan Pasal 16 menegaskan: Pegawai Negeri Sipil melanggar ketentuan Ps.3 ayat (1) dan Ps.4 (1), ayat (2), dan ayat (3), dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah ini kini sudah direvisi oleh PP No.45/1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.10/1983, disebutkan bahwa (PP terakhir ini) mengubah ketentuan Ps.16 dan selanjutnya dijadikan ketentuan Ps.15 baru, sehingga berbunyi sebagai berikut: ayat (1) : PNS yang melanggar salah satu/lebih kewajiban/ketentuan Ps. 2 ayat (1), ayat (2), Ps.3 ayat (1), Ps. 4 ayat (1), Ps. 14, tidak melaporkan perceraiannya, dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilanjutkan dilangsungkan, dijatuhi slah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS; ayat (3) Atasan yang melanggar ketentuan Ps.5 ayat (2), dan Pejabat yang melanggar ketentuan Ps.12, dijatuhi hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS. 80 Tahir Mahmood, Personal Law…, h., 245-246.
57
58
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia. Khusus mengenai tiga negara pertama secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut: di Iran, seorang suami yang ingin menikah lagi (berpoligami) maka wajib memenuhi dua hal: 1) Memberitahukan kepada calon istrinya bahwa ia sudah beristri. 2) Mendapat izin dari Pengadilan. Pelanggaran atas salah satu hal tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi hukum. Berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Iran, poligami yang dilakukan dengan memalsukan keterangan atau tanpa pemberitahuan kepada calon istri tentang eksistensi perkawinan sebelumnya, dapat membuat pelakunya dijatuhi hukuman penjara 6 bulan – 2 tahun. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap pelaku poligami tanpa izin Pengadilan.81 Di Pakistan, seseorang hanya dapat dibolehkan berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari Lembaga Arbitrase (Majelis Hakam). Perkawinan yang dilakukan tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan mengakibatkan perkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-Undang.82Bahkan lebih jauh, terhadap pelaku poligami tanpa izin lembaga arbitrase (arbitration council), dapat dijatuhi hukuman: a) wajib membayar segera seluruh jumlah mas kawin, baik kontan maupun bertempo (cicilan), kepada istri/para istrinya yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar, maka ia dapat ditukar-alih sebagai tunggakan pajak tanah; b) atas dasar keyakinan terhadap pengaduan (dari pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka pelaku poligami dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 1 tahun, atau dengan denda maksimal 5 ribu rupee, atau dengan keduanya sekaligus.83 Sedangkan di Yaman (Selatan), bigami (beristri dua) hanya diperbolehkan setelah adanya izin tertulis dari Pengadilan, yang dapat diperoleh dengan alasan: 1) istri mandul yang dinyatakan oleh dokter dan 81
The Marriage Law 1931-1937 Pasal 5 yo Family Protection Law of 1967 Pasal
14. 82
The Muslim Laws Ordinance 1961 (Ordinance 8/1981) dan amandemennya: Ordonansi 21 & 30 /1961 Pasal 6 ayat (1) 83 Ibid., Pasal 6 ayat (5)
58
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
59
tidak diketahui sebelumnya; atau 2) istri menderita penyakit kronis atau penyakit menular yang menurut medis tidak bisa disembuhkan, serta penyakit tersebut menghalangi kelangsungan kehidupan rumah tangga.84 Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit larangan atau sanksi hukum dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan poligami, akan tetapi Hukum Keluarga yang diberlakun Yaman (Selatan) menggariskan ketentuan bahwa semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No. 1/ 1974 (salah satunya mengenai bigami tanpa izin Pengadilan setempat), dapat dijatuhi hukuman berupa denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus.85 Dengan demikian berdasarkan Hukum Keluarga di Yaman (Selatan), poligami yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan setempat dipandang sebagai tindak kriminal yang dapat dijerat dengan sanksi hukum. Adapun mengenai kriminalisasi poligami dalam Hukum Keluarga di lima negara yang terakhir disebut, yang menjadi model kajian ini, akan diuraikan secara lebih rinci dalam bahasan berikut: 1. Tunisia Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni,86 bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktis kaum Syi’ah menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi
84
Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 9. Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49 86 Larry A.. Barrie, “Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), op. cit., h. 1796. 85
59
60
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.87 Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden pertamanya.88 Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang kontroversial. Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami.89 Majallat itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad 87
Lihat John P. Entelis, “Tunisia” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jilid IV, (Oxford University Press), 1991. 88 Larry A. Barrie, “Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), op. cit., h. 1798. 89 Ibid., h. 235-239.
60
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
61
untuk memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.90 Undang-Undang tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup komprehensif, meskipun belum memuat undangundang mengenai kewarisan. Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya. Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu:91 1) Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki; 2) Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri; 3) Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim; 4) Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik; 5) Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas; Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957. dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, 90
Tahir Mahmood, Personal Law…, h. 152. J.N.D. Anderson, “The Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law Quarterly, 7 April 1985, h. 262. 91
61
62
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.92 Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18 menyatakan: a. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya. b. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama. c. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.93 UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat lain dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3). Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqah±’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.94
92
Kiran Gupta, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Tahun 1992, h. 121. 93 Tahir Mahmood, Personal Law…, h. 155-157. 94 Ibid., h. 54.
62
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
63
Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.95 Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.96 Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama 95
Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World, (London: The Athlone Press), 1976, h. 63. 96 J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, (Surabaya: CV. Amarpress), 1991, h. 35.
63
64
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
(egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.” 97 Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat 3. Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada dua orang stri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalm kondisi sekarang, anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak mungkin memenuhi persyaratan Alquran.98 Apa yang dilakukan oleh Tunisia dengan menerapkan UU tersebut, menurut Atho Mudzhar sebagaimana dikutip Fauzul Iman, bukan berarti telah keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih dilihat dari apa yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Antara tahun 1885 sampai tahun 1912, sekitar 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke Paris, meskipun pada saat yang sama orang-orang Perancis melakukan kolonisasi di Tunisia. Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Perancis tinggal di Tunisia dan angka itu melonjak menjadi 144.000 pada tahun 1945. Mereka memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia. Di pihak lain orang Tunisia juga belajar ke Paris, setelah kembali mereka melakukan pembaharuan pendidikan melalui Zaituna dan Sadi College yang kemudian melahirkan Khalduniyyah College—yang menjadi pusat gerakan”The Young Tunisians”.99Jadi terobosan yang dilakukan 97
Entri “Islam” dalam Ilan Yeshua (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV, (Chicago: Encylopaedia Britannica, Inc., 2003, h. 35. 98 Lihat Gordon N. Newby, “Family Law” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jilid IV, (Oxford University Press, 1991). 99 Fauzul Iman, Pemikiran Muhammad Rasyid Ridla tentang Ijtihad dan Manifestasinya Dalam Fiqh (Kajian Terhadap Kitab Yusr al-Islam wa Ushul at-Tasyri„ al-
64
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
65
Tunisia tampaknya tak lebih dari revolusi interpretasi “fikih baru” dari sebuah negara yang sedang gencar-gencarnya mengadakan pembaharuan di berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya.
2. Malaysia Malaysia merupakan salah satu negara di AsiaTenggara dengan wilayah territorial berada di bagian Selatan semenanjung Melayu dan bagian Utara pulau Kalimantan. Negara federasi dengan ibu kota Kuala Lumpur ini meliputi 13 negara bagian: 11 negara bagian Semenanjung Melayu dan 2 negara bagian Sarawak dan Sabah di Kalimantan, dengan populasi penduduk 21.169.000 jiwa (sensus 1996) terdiri dari 58% etnis Melayu di mana hampir keseluruhannya adalah beragama Islam, 27% etnis Cina, 8% etnis India, dan sisanya etnis pribumi (suku asli).100 Sebelum kehadiran penjajah, hukum yang berlaku di Malaysia adalah hukum Islam bercampur hukum adat.101 Namun selama masa pemerintahan kolonial Inggris, nafas Islam telah mewarnai berbagai kebijakan legislatif lokal yang berhubungan dengan fungsi-fungsi negara, keberadaan dan prosesi lembaga peradilan Syariah untuk menerapkan hukum Islam dan regulasi adiministrasi institusi social-legal Islam diberlakukan di seluruh negeri tersebut, seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, dan hukum waris. Kondisi ini terus berlanjut di saat Malaysia memperoleh kemerdekaannya.102 Setelah Malaysia memperoleh kemerdekaannya, konstitusi federal Malaysia tahun 1957 begitu juga konstitusi federal tahun 1963 mendeklarasikan agama Islam sebagai agama resmi negara. Di negeri yang bermazhab Syafi’i ini, hukum Islam dan administrasinya diberlakukan „Am), Sinopsis Disertasi, (Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 32. 100 Felix V. Gagliano, “Malaysia” dalam Bernard S. Cayne, The Encyclopedia Americana International Edition, vol. 18, (Grolier Incorporated, 2001). 101 David C. Buxbaum (Ed.), Family Law and Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, (Martinus Nijhoff, The Haque, 1968), h.107. 102 Tahir Mahmood, Personal Law…, h. 219.
65
66
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
secara resmi di seluruh wilayah negara Malaysia meliputi Perak, Selangor, Negeri Sembilan, Pahang, Kelantan, Trengganu, Kedah, dan Johor. Pada dua negara bagian, Sabah dan Sarawak, penduduk Muslim merupakan minoritas. Sabah yang memiliki jumlah penduduk Muslim lebih sedikit dari Sarawak, memakai adiministrasi hukum Islam pada tahun 1971. Sedangkan Sarawak masih menerapkan Undang-Undang Mahkamah Melayu tahun 1915. Hukuman negara-negara bagian di Malaysia memuat ketetapan hukum keluarga melalui pengadilan-pengadilan kathis.103 Dalam konteks reformasi Hukum Keluarga khususnya di rantau Asia Tenggara—boleh jadi malah skup Dunia Muslim—sebetulnya Malaysia tercatat sebagai negara pertama melakukan langkah ini, ditandai oleh lahirnya Mohammedan Marriage Ordinance, No. V Tahun 1880 di negaranegara Selat (Pulau Pinang, Malak, dan Singapura). Dilanjutkan wilayah negara-negara Melayu Bersekutu (Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang) melalui Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885, kemudian bagi negara-negara Melayu tidak bersekutu atau negara-negara Bernaung (Kelantan, Terengganu, Perlis, Kedah, dan Johor), yang dipelopori oleh Kelantan adalah The Divorce Regulation Tahun 1907.104 Namun demikian, jika dilihat dari era pasca berakhirnya kolonialisme dan imperialisme di seluruh Dunia, perundang-undangan Malaysia telah mengalami beberapa kali pembaharuan. Taher Mahmood mencatat bahwa pembaharuan pertama berlangsung pada tahun 1976-1980 yang berisi tentang perkawinan dan perceraian. Sedangkan pembaharuan kedua dilaksanakan pada tahun 1983-1985 yang diberi nama Islamic Family Law Act. Hukum baru ini berlaku pada tahun 1983 di Kelantan, Negeri Sembilan, dan Malaka. Kemudian tahun 1984 dilaksanakan di Kedah, Selangor, dan wilayah Persekutuan, serta tahun 1985 dilaksanakan di Penang.105 Dalam perkembangan terakhir pembaharuan juga terjadi di Terengganu (1985), 103
Tahir Mahmood, Family Law…, h. 198-205. Khoiruddin Nasution, “Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim” dalam M. Atho‟ Mudzhar dan Khairuddin Nasution (Ed.s), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 20. 105 Tahir Mahmood, Personal Law…, h. 221. 104
66
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
67
Pahang 1987 (No. 3), Selangor 1989 (No.2), Johor (1990), Sarawak (1991), Perlis, dan terakhir Sabah melalui UU No. 18 tahun 1992.106 Mengenai kriminalisasi poligami dalam hukum positif di Malaysia, antara lain tergambar dalam UU Hukum Keluarga Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU 304 tahun 1984). Dalam pasal 123 disebutkan:107 Any man who, during the subsistence of a marriage, contracts another marriage in any place without the prior permission in writing of the court commits an offence and shall be punished with a fine not exceeding one thousand ringgit or with imprisonment not exceeding six months or with both such fine and imprisonment.
Pasal di atas menegaskan bahwa seorang pria yang masih terikat dalam suatu perkawinan hanya dapat berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari pengadilan, bagi mereka yang melanggar ketentuan ini akan dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit; atau dipenjara maksimal 6 bulan; atau dijatuhi hukuman keduanya sekaligus. Pemberian izin poligami oleh pengadilan amat terkait dengan hasil pertimbangan institusi tersebut terhadap keterangan yang diberikan pemohon dan para istri yang lebih dahulu dinikahinya. Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberikan izin poligami berkaitan dengan kondisi/prilaku istri dan suami. Dari sudut istri adalah: 1) Kemandulan; 2) Keuzuran jasmani; 3) Tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh; 4) Sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau 5) Sakit jiwa/ gila. Sedangkan pertimbangan pada sudut suami adalah: 1) Mampu secara ekonomi untuk menanggung istri-istri dan anak keturunan, 2) Mampu berlaku adil kepada para istri 3) Perkawinan itu tidak menyebabkan «ar±r syar‘i (bahaya bagi agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda) istri yang telah lebih dahulu dinikahi, 4) Perkawinan itu tidak akan
106
Khoiruddin Nasution, “Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim”,
107
Tahir Mahmood, Personal Law…, hlm. 235.
h. 21-22.
67
68
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan, langsung atau tidak.108 Secara umum Hukum Keluarga Malaysia tampaknya masih berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami terlihat diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan langkah perlindungan pada kaum wanita juga menjadi bagian inheren dari alasan dasar ditetapkankannya pasal-pasal tersebut.
5. Indonesia109 Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, walaupun sesungguhnya masih bersifat mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain, UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang istri jika ia 108
UU Hukum Keluarga Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU 304) tahun 1984 Pasal 23 ayat (4). Lihat Ibid., hlm. 225; Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (INIS, Leiden-Jakarta, 2002), h. 112. 109 Dalam membahas tentang Indonesia, penulis sengaja tidak menampilkan potret umum mengenai Indonesia, dengan alasan bahwa hal tersebut dianggap telah diketahui sehingga bahasan dapat langsung diarahkan pada pokok persoalan, kriminalisasi poligami di Indonesia.
68
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
69
mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama.110 Meskipun hak tersebut tetap dipertahankan, namun secara prosedur administratifnya tidaklah mudah, secara umum ia membatasi kemungkinan terjadinya penggunaan hak tersebut secara sewenangwenang.111 Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991.112 Pengadilan dalam hal ini memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami. Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Sanksi poligami diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,.113 Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.114
110
Disebutkan dalam Pasal 4: (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan pada Pasal 5 (1): Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (ayat 1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istti-istri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. 111 Simon Butt, “Polygamy and Mixed Marriage in Indonesia: The Application of The Marriage Law in Courts,” dalam Timothy Lindsey (Ed.), Indonesia: Law and Society, (Leichhardt: The Federation Press, 1999), h. 132. 112 Dalam KHI persoalan poligami diatur dalam pasal 55-59, dari segi substansi pasal-pasal tersebut mengacu dan selaras dengan ketentuan yang diatur oleh UU No. 1/1974 Pasal 3, 4, dan 5. 113 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 1975 Pasal 45 ayat (1) 114 Ibid., Pasal 45 ayat (2)
69
70
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Dalam pada itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.115 Berbagai ketentuan dalam UU Perkawinan No. 1/1974 maupun dalam KHI mengenai poligami di atas pada dasarnya tidak bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional, termasuk mazhab Syafi‘i. Hampir sama dengan Hukum Keluarga Malaysia, persyaratan bagi seorang suami yang ingin berpoligami juga dihubungkan dengan kewajiban suami yang diatur dalam konsepsi fikih tradisional, yakni kemampuan memberi nafkah dan dapat berlaku adil kepada para istri. Begitu pula dengan kondisi darurat istri yang dimadu tampaknya dikaitkan dengan alasan fasakh. Lebih jauh produk hukum ini juga diorientasikan untuk mengangkat status wanita dan memberikan perlindungan kepada mereka, suatu hal yang sejalan dengan semangat Alquran dan Sunnah Rasul.
115
Dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bagian VII perihal Sanksi, disebutkan bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS, apabila melakukan salah satu/lebih perbuatan berikut: a. b.
c.
Tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat kepada Pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 tahun setelah perkawinan dilangsungkan. Setiap atasan yang tidak memberi pertimbangan dan tidak meneruskan permintaan izin/pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk melakukan perceraian, dan atau untuk beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan setelah ia menerima permintaan izin/pemberhentian adanya gugatan perceraian. Pejabat yang tidak memberikan putusan terhadap permintaan izin perceraian/tidak memberikan surat keterangan atas pemberitahuan adanya gugatan perceraian dan atau tidak memberikan keputusan terhadap permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan setelah ia menerima permintaan izin/pemberitahuan adanya gugatan perceraian.
70
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
71
Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifas hukum yang mengatur poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”.
III. Kesimpulan 1. Hukum keluarga Islam ternyata bukan hanya menjadi sebuah konsepsi Fikih yang berlaku secara perorangan yang tidak ada sanksi, maka konsep fikih sangat susah untuk mengikat kehidupan masyarakat. Maka dengan trend kanunisasi hukum Islam di beberapa Negara Islam Modern baik di Tunisia, Malaysia dan Indonesia, maka ini adalah kemajuan hukum Islam dimasa yang penuh dengan masalah komplek. 2. Poligami menjadi masalah yang sangat penting untuk diberikan aturan dalam hukum Islam, karena memang tingkat masalah dalam rumah tangga semakin tinggi. Dari tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua pandangan bahwa hukum poligami adalah dilarang dan diperbolehkan dengan syarat. Adapaun yang melarang adalah Tunisia dan yang membolehkan dengan syarat adalah indonesia dan Malaysia
71
72
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
DAFTAR PUSTAKA Anderson, J.N.D., “The Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law Quarterly, 7 April 1985 Barrie, Larry A, “Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), op. cit., Buxbaum, David C, (Ed.), Family Law and Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968 Entelis, John P, “Tunisia” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jld IV, Oxford University Press, 1991 Entri “Islam” dalam Ilan Yeshua (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV, Chicago: Encylopaedia Britannica, Inc., 2003 Gagliano, Felix V, “Malaysia” dalam Bernard S. Cayne, The Encyclopedia Americana International Edition, vol. 18, Grolier Incorporated, 2001 Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Tahun 1992 Iman, Fauzul, Pemikiran Muhammad Rasyid Ridla tentang Ijtihad dan Manifestasinya dalam Fiqh (Kajian terhadap Kitab Yusr al-Islam wa
72
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
73
Ushul at-Tasyri‘ al-‘Am), Sinopsis Disertasi, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004 J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, Surabaya: CV. Amarpress, 1991 Mahmood, Taher, Family Law Reform in the Muslim World, Bombay: N.M.Tripathi PVT, Ltd., 1972 --------, Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), New Delhi: Academy of Law and Religion New Delhi, 1987 Nasution, Khoiruddin, “Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim” dalam Mudzhar, M. Atho’, dan Nasution, Khairuddin, (Ed.,), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih, Jakarta: Ciputat Press, 2003 Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World, London: The Athlone Press, 1976 Newby, Gordon N, “Family Law” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jld IV, Oxford University Press, 1991 Undang-Undang Child Marriage Testraint Act 1929 dan Amandemennya (Ordonansi No. 28/1984) Child Marriage Restraint Act 1929 (Act 29 /1929) dan amandemennya (Ordonansi No.8 /1961) Islamic Family Law (Federal Teritory) Act 1984 (Act 304 of 1984) Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 Dowry Prohibition Act 1980 dan Amandemennya (Ordonansi No. 64/ 1984) The Muslim Laws Ordinance 1961 (Ordinance No.8/1981) dan amandemennya (Ordonansi No. 21 & 30/1961) The Code of Personal Status 1976 dan amandemennya (UU No.25/1977) 73
74
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
HUKUM KELUARGA DI NEGARA-NEGARA MUSLIM MODERN: PRAKTEK DI NEGARA YORDANIA Ahmad Rajafi A. Latar Belakang Pemikiran Islam sebelum tersebar luar ke penjuru dunia, mengandalkan aturan hukum pada kuatnya tradisi riwayat yang dimulai dari masa Nabi Muhammad saw sampai kepada zaman sahabat dan tabi’in. Baru setelah Islam berada di wilayah-wilayah yang jauh dari heart of Islam yakni Mekah dan Madinah, dan Islam saat itu mulai menjadi alat kekuasaan dari para raja-raja kecil di daerah, maka terjadilah pembaharuan hukum di dalamnya melalui jalan ijtihad, termasuk dengan hukum keluarganya. Kuatnya penerapan ijtihad di daerah-daerah tersebut mengakibatkan perbedaan hukum antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, hal ini selaras dengan semangat ijtihad yang dihadirkan akibat adanya perubahan tempat, waktu dan keadaaan.116 Lebih dahsyatnya lagi, sejak tahun 1917 di negara-negara Timur Tengah yang notabene sebagi negara Islam mulai 116
Lihat Muhammad Shidqi ibn Ahmad al-Barnu, al-Wajiz fi Idah al-Fiqh alKulliyyat, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), h. 182
74
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
75
melakukan reformasi hukum di bidang family law seperti Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Oman dan lain-lain. Usaha pembaharuan tersebut diawali oleh Turki pada tahun tersebut dengan lahirnya The Ottoman Law of Family Rights atau dalam bahasa Arabnya yakni Qanun Qarar al-Huquq al-‘A`ilah al-Utsmaniyyah.117 Perkembangan hukum Islam, termasuk masalah hukum keluarga yang begitu dramatis tersebut digambarkan oleh Noel J. Coulson dalam ungkapannya yang begitu menarik, bahwa pembentukan dan perumusan hukum Islam adalah melalui proses yang dapat dibagi-bagi ke dalam beberapa tahapan. Mula-mula arsitektur, diikuti oleh tukang bagunan yang mengimplementasikan rencana-rencananya, kemudian para seniman pengrajin dari tiap generasi menyumbang perlengkapan, perabotan dan hiasan interior bagi bangunan tersebut. Ketika tugas telah selesai, muncullah generasi jurist (ahli hukum) yang tinggal menjadi perawat pasif dari “gedung abadi” tersebut.118 Geliat yang kuat untuk melakukan perubahan hukum keluraga juga terjadi di negara Yordania, hal ini terlihat dari diberlakukannya pula The Ottoman Law of Family Rights pada 1917 sebelum lahirnya UndangUndang No. 92 Tahun 1951. Oleh karenanya melalui makalah ini, penulis akan mencoba untuk menggambarkan tentang sejarah, praktek dan pembaharuan hukum keluarga yang ada di negara tersebut. B. Pembahasan 1. Gambaran Singkat Tentang Negara Yordaina. Yordania merupakan negara yang baru diakui kemerdekaannya pada tahun 1946, sebelumnya masih bernama Transyordania dan sebutan negara diganti menjadi Yordania di tahun 1949. Sebelum merdeka, Jordania merupakan bagian dari territorial kerajaan Ustmani (Ottoman), yang akhirnya berakhir setelah perang dunia satu, wilayah bagian ini sempat menjadi suatu wilayah kontrol dari Perancis dan Inggris dimana bagian
117
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 119 118 Lihat Noel J. Coulson, A History of Islamic Law, (New York: The University Press, 1964), h. 2
75
76
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
wilayah dari sungai Jordan ke arah Timur berada di bawah kontrol Inggris sampai ke wilayah Palestina di bagian Barat sungai Jordan.119 Sebagaimana negara-negara Arab lainnya, berdirinya negara Yordania yang dikenal dengan sebutan al-Mamlakah al-Urdunniyah al-Hashimiyah (al-Urdun) tidak lepas dari politik penjajahan imperialis Barat di Timur Tengah pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Sama seperti Saudi, Irak dan negeri-negeri Arab lainnya, Kerajaan Yordania merupakan bentukan penjajah Inggris yang memberontak terhadap Khilafah Islam yang berpusat di Turki. Tidak aneh jika penguasa Yordan kemudian menjadi penguasa yang tunduk pada kepentingan penjajah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merugikan umat.120 Pasca Perang Dunia I, Yordania, yang sebelumnya dikenal dengan Trans Yordania, merupakan bagian dari Kerajaan Arab Suriah. Inggris dan Prancis kemudian bersepakat untuk saling membagi daerah ini. Suriah berada di bawah pengaruh Perancis, sementara Inggris mendapat bagian TransYordania berdasarkan konferensi di San Remo. Inggris kemudian mengangkat Abdullah ibn Hussein sebagai pemimpin wilayah TransYordania. Abdullah sendiri adalah saudara dari Faisal yang memimpin Revolusi Arab untuk memberontak dari Kekhilafahan Islam. Faisal berasal dari keluarga Hashemite (Hasyimiyah). Ia pernah menjadi penguasa di Makkah namun kemudian diganti oleh penduduk setempat. Jadi, sejarah pembentukan negara Yordania tidak bisa dilepaskan dari keluarga Hashemite dengan bantuan Inggris.121 Abdullah menjadi pemimpin Trans-Yordania setelah ditunjuk oleh sekretaris kolonial Inggris saat itu, Winston Churchill. Dia dikukuhkan pada 1 April 1921 dengan subsidi dari Inggris sebesar 5.000 poundterling setiap bulan. Negeri ini hidup di bawah bantuan Inggris yang memberikan subsidi 100.000 pounsterling setiap tahun pada tahun 1920-an dan meningkat menjadi 200.000 pounsterling pada tahun 1940-an. Inggris kemudian 119
Potensi Jordania Menjadi Negara Adi Daya,http://jokoyordania.wordpress.com/potensi-yordania-menjadi-negara-adidaya/, 22 November 2012 120 Farid Wadjdi, Yordania, dalam http://farid1924.wordpress.com/2008/03/05/yordania/, 22 November 2012 121 Ibid.
76
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
77
memberikan hadiah kemerdekaannya kepada Yordania pada 22 Maret 1946. Namun jelas, pemberian kemerdekaan ini hanyalah “akal-akalan‟ Inggris saja untuk tetap mempertahankan penjajahannya di Dunia Islam. Inggris tentu ingin agar penguasaannya di Yordania tetap ada. Karena itu, berdasarkan perjanjian aliansi di London tanggal 26 Maret 1946, Inggris memberikan kemerdekaan dengan pola yang sama dengan perjanjian Inggris-Irak.122 Melalui perjanjian ini, Inggris mengakui kemerdekaan Trans-Yordania (Yordania), menyetujui perwakilan diplomatik, sanggup memberikan subsidi kepada Legiun Arab, dan berusaha mempertahankan Emirat dari pihak luar. Sebagai imbalannya, Inggris berhak menempatkan tentaranya di wilayah Trans-Yordania, menggunakan fasilitas komunikasinya, dan melatih angkatan perang Abdullah. Kedua negara setuju dengan “konsultasi penuh dan terbuka” dalam segala urusan politik luar negeri yang bisa mempengaruhi kepentingan bersama mereka.123 2. Sejarah, Praktek dan Pembaharuan Hukum Keluarga Pada tahun 1917 Yordania memberlakukan the Ottoman Law of Family Rights sebelum lahirnya Undang-Undang No. 92 tahun 1951. Namun menurut catatan El-Alami, sebelum lahirnya undang-undang tersebut, Yordania pernah memberlakukan Qanun al-Huquq al-‘A`ilah al-Urduniah No. 26 tahun 1947. Oleh karenanya, dengan lahirnya undang-undang No. 92 tahun 1951 maka semua undang-undang terdahulu sudah terhapuskan.124 Undang-undang No. 92 tahun 1951 ini mencakup 132 pasal yang dibagi dalam 16 bab.125 Konon undang-undang ini sangat mirip dengan undangundang Turki tahun 1917, baik dari segi strukturnya maupun aturan 122
Ibid. Ibid. 124 Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang, h. 122 125 Bab yang dimaksud adalah : (I) Peminangan, (II) Syarat-syarat Mempelai, (III) Akad Nikah, (IV) Kafa‟ah, (V) Pembatalan Perkawinan, (VI) Hakam, (VII) Mahar, (VIII) Nafkah, (IX) Aturan Tentang Perceraian, (X) Pilihan untuk Cerai, (XI) „Iddah, (XII) Nafkah Keluarga, (XIII dan XIV) Pemeliharan Anak, (XV) Orang Hilang / mafqud, (XVI) Aturan Umum. 123
77
78
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
rinciannya.126 Kemudian undang-undang ini diperbaharui dengan undangundang yang lebih lengkap (comprehensive) denga lahirnya Law of Personal Status atau yang lebih dikenal dengan istilah Qanun al-Ahwal alSyakhshiyyah No. 61 Tahun 1976 sebelum lahirnya qodi, konsep Hanafi menjadi rujukan di Yordania.127 Adapun reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Yordania antara lain terkait dengan masalah usia menikah, janji pernikahan, perkawinan beda agama, pencatatan perkawinan, perceraian, dan wasiat wajibah. Mengenai usia pernikahan dinyatakan bahwa syarat usia perkawinan adalah 17 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Apabila perempuan telah mencapai usia 15 tahun dan mempunyai keinginan untuk menikah sementara walinya tidak mengizinkan tanpa alasan yang sah, maka perempuan tersebut pada dasarnya tidak melanggar prinsip-prinsip kafa`ah dan pengadilan dapat memberikan izin pernikahan. Demikian juga apabila perempuan telah mencapai umur 18 tahun dan walinya keberatan memberikan izin tanpa alasan kuat, maka pengadilan dapat memberi izin pernikahan.128 Adapun mengenai wali dalam hal ini,meskipun Yordania mayoritas bermadzhab Hanafi, namun hukum keluarga Yordania menganggap penting posisi wali dalam pernikahan padahal dalam madzhab Hanafi, wali bukan suatu kewajiban dalam melakukan pernikahan.129 Terlepas dari usaha penghargaan terhadap kualifikasi perempuan di depan hukum, dengan berpedoman pada madzhab Hanafi Yordania selangkah lebih maju dalam menempatkan perempuan untuk melakukan 126
Anderson, “Recent Development in Shari‟a Law VIII: The Yordanian Law of Family Rights 1951”, The Muslim World, No. 42, (1952), h. 190 127 Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim Marriage, (New Delhi: t.p., 1972), h. 74 128 Pembaharuan Hukum Keluarga Yordania, dalam http://syariahalaudin.wordpress.com, 22 November 2012 129 Hukum keluarga dalam madzhab Hanafi tidak memasukan wali sebagai rukun pernikahan, karena ijab dapat dilakukan mempelai istri atau wakilnya, atau oleh wali, lihat Abdu al Wahhab Khalaf, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah „ala Wafqi Madzhabi Abi Hanifah wama al-„Amal fi al Muhakam, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), h. 22. Jumhur ulama berpendapat bahwa wali menjadi syarat dalam pernikahan, seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya kecuali madzhab Abu Hanifah dan Abu Yusuf, bahwa perempuan yang baligh dan berakal dapat menikahkan dirinya, lihat Sayyid Sabiq, Fiqh alSunnah, (Mesir: al-Fath li al-„Allam al-„Arab, t.t.), h. 84
78
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
79
pernikahan. Bagi seorang perempuan yang telah berusia 18 tahun atau lebih (tingkat kedewasaan perempuan), ia dapat menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki yang ia pilih. Adanya kewenangan orang tua/wali dalam pernikahan bagi perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun, menunjukkan adanya tanggung jawab orang tua bagi anaknya yang belum dewasa. Sementara itu, janji untuk mengadakan pernikahan diatur pada pasal dua dan tiga undang-undang tahun 1951. Pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa janji menikah tidak akan membawa akibat pada adanya pernikahan. Namun setelah adanya perjanjian, kemudian salah satunya meninggal atau perjanjian itu batal, maka beberapa hadiah pemberian sebelumnya dapat diambil kembali oleh pihak laki-laki.130 Adapun mengenai pernikahan beda agama diatur dalam pasal 32 undang-undang 1976. Menurut pasal ini, perkawinan akan menjadi batal jika seorang wanita muslimah kawin dengan pria non-muslim. Begitu juga sebaliknya, perkawinan akan batal jika seorang pria muslim menikah dengan seorang wanita non-kitabiyah.131 Selanjutnya mengenai ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam undang-undang 1976 pasal 17. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa mempelai pria berkewajiban untuk mendatangkan qhadi atau wakilnya dalam upacara perkawinan. Petugas yang berwenang sebagaimana yang ditunjuk oleh qhadi mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan sertifikat perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, maka orang yang mengadakan upacara perkawinan, kedua mempelai, dan saksisaksi dapat dikenakan hukuman berdasarkan Jordanian Penal Code dan denda lebih dari 100 dinar.132 Sedangkan mengenai perceraian (thalaq) diatur dalam pasal 101 dan 134 undang-undang no. 25 tahun 1977. Menurut pasal-pasal ini, suami harus mencatatkan talaknya kepada hakim. Bila suami telah mentalak isterinya di luar pengadilan, dan ia tidak mencatatkannya dalam masa 15 hari, ia harus datang ke pengadilan syariah untuk mencatatkan talaknya. 130
Pembaharuan Hukum Keluarga http://syariahalaudin.wordpress.com, 22 November 2012 131 Ibid. 132 Ibid.
Yordania,
dalam
79
80
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat diancam dengan hukuman pidana di bawah ketentuan Hukum Pidana Yordania. Dan jika seorang suami telah mentalak isterinya secara sepihak tanpa ada alasan yang layak dibenarkan, maka isteri dapat mengajukan permohonan ganti rugi ke pengadilan. Ganti rugi yang diberikan tidak boleh lebih dari nafkah selama setahun sebagai tambahan bagi nafkah ‘iddah. Untuk pembayarannya suami dapat mengajukan permohonan untuk mengangsur.133 Selain itu, undang-udang No. 25 tahun 1977 juga mengatur kewenangan isteri untuk meminta cerai. Dalam pasal 114, 116, 123, dan 130 dijelaskan bahwa isteri memiliki kewenangan untuk meminta cerai dalam kondisi antara lain; a. Apabila suami menderita impotensi dan sakit yang dapat membahayakan isteri apabila mereka hidup bersama. Namun jika penyakit yang diderita suami (selain impotensi) sudah diketahui isteri sebelum perkawinan, maka isteri tidak punya hak meminta perceraian. Dalam hal penyakit kelamin atau lepra, harus ada pendapat ahli kedokteran. Bila dimungkinkan untuk disembuhkan, maka ditunda selama setahun untuk memberi kesempatan penyembuhan. b. Suami meninggalkan isteri dalam jangka waktu satu tahun atau lebih tanpa alasan yang jelas, meskipun suami meninggalkan nafkah untuknya. c. Suami divonis penjara selama tiga tahun, meski ia mempunyai harta yang cukup untuk menafkahi isterinya selama ia menjalani hukuman. Perkawinan bisa dibubarkan setahun setelah vonis dijatuhkan.134 Khusus mengenai wasiat wajibah dijelaskan pada pasal 182 undangundang 1976. Secara eksplisit pasal ini menjelaskan bahwa jika seseorang meninggal dunia dan anak laki-lakinya telah meninggal terlebih dahulu, maka ada sebuah kewajiban wasiat kepada cucu-cucunya tidak lebih dari 1/3 harta warisan dengan ketentuan;
133 134
Ibid. Ibid.
80
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
81
a. Wasiat wajibah untuk cucu-cucu ini harus sama bagiannya dengan yang semestinya diperoleh ayahnya bila dia masih hidup, tetapi tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan, b. Cucu-cucu ini tidak berhak mendapatkan harta wasiat jika mereka berkedudukan sebagai ahli waris dari ayah, kakek, atau nenek mereka, atau mereka telah diberi bagian oleh pewaris di bawah jumlah wasiat wajibah. Jika mereka telah menerima lebih dari jumlah wasiat wajibah tersebut, maka kelebihannya harus dianggap sebagai sebuah pemberian bebas. Dan jika pewaris telah memberikan bagian harta kepada sebagian cucu tersebut, maka cucu-cucu lain yang belum mendapatkan harus tetap diberi, c. Wasiat wajibah ini hanya diberikan kepada cucu dari anak laki-laki dari garis ayah dan seterusnya ke bawah dengan ketentuan dua bagian untuk cucu laki-laki, dan d. Wasiat wajibah ini harus diutamakan dari segala macam jenis pemberian dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan.135 C. Kesimpulan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulannya bahwa pada awal penerapan hukum keluarga di Yordania, negara tersebut menggunakan aturan hukum yang diterapkan di Turki berupa The Ottoman Law of Family Rights tahun 1917 dan kemudian banyak melakukan pembaharuan sampai munculnya atau lahirnya Qanun al-Ahwal alSyakhshiyyah. Pada bagian ini, pembaharuan hukum terjadi pada bagian syarat usia perkawinan,yakni 17 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan dan pentingnya status wali meskipun madzhab Hanafi tidak menjadikan wali sebagai salah satu rukun perkawinan. Lalu masalah perjanjian perkawinan, pentingnya pencatatan perkawinan, batalnya nikah beda agama kecuali pria dengan wanita kitabiyyah, perceraian harus dicatat di pengadilan, jika tidak maka akan terkena hukum pidana. Kemudian masalah ganti rugi atas perceraian sepihak, kewenangan istri meminta cerai. Dan yang terakhir adalah masalah wasiat wajibah, yakni jika seseorang meninggal dunia dan anak laki-lakinya telah meninggal terlebih 135
Ibid.
81
82
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
dahulu, maka ada sebuah kewajiban wasiat kepada cucu-cucunya tidak lebih dari 1/3 harta warisan.
DAFTAR PUSTAKA Al-Barnu, Muhammad Shidqi ibn Ahmad, al-Wajiz fi Idah al-Fiqh alKulliyyat, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983 Coulson, Noel J, A History of Islamic Law, New York: The University Press, 1964 Khalaf, Abdu al Wahhab, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah ‘ala Wafqi Madzhabi Abi Hanifah wama al-‘Amal fi al-Muhakam, Kuwait: Dar al-Qalam, 1990 Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim Marriage, New Delhi: t.p., 1972 Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah dan Teguh, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Mesir: al-Fath li al-‘Allam al-‘Arab, t.t. Jurnal : Anderson, “Recent Development in Shari’a Law VIII: The Yordanian Law of Family Rights 1951”, The Muslim World, No. 42, 1952 Internet : http://jokoyordania.wordpress.com http://farid1924.wordpress.com 82
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
83
http://syariahalaudin.wordpress.com
HUKUM KELUARGA ISLAM MESIR (SUATU ANALISIS GENDER) Dewani Romli I. Latar Belakang Masalah Mesir merupakan Negara Republik dan disebut sebagai Republik Arab Mesir, sebagian besar wilayah Mesir terletak di Afrika Utara, ia juga berbatasan dengan Libia di sebelah barat Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di Utara Timur. Penduduk Mesir 90% penganut Islam, mayoritas Sunni dan 10% menganut agama Kristen.136 Pada awal sejarahnya penduduk Mesir merupakan penganut Mazhab Syafi’i, kemudian ketika masuk dalam kekaisaran Ottoman, Mesir menganut mazhab Hanafi.137 Mesir tercatat dalam sejarah melakukan reformasi hukum keluarga yang dimulai sejak tahun 1874, yakni sejak Mesir merdeka dari kekaisaran Ottoman. Reformasi tersebut adalah dibidang administrasi peradilan (1875-1883) dengan dibentuknya pengadilan Mukhtala (campuran) dan pengadilan ahli (nasional).138 Akibatnya timbul gerakan reformasi di berbagai bidang sosial, ekonomi di Negara tersebut, reformis yang terkenal adalah Mufti Agung,
136
http://id.wikipedia.org/WIKI/Mesir, diakses pada tanggal 06 November 2012 Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Moslem World, (New Delhi: The Indian Law Institute, 1972), h.48 138 Ibid., h. 27 137
83
84
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Muhammad Abduh, Syekh Rasyid Ridha dan Qasim Amin.139 Tidak sampai di situ, reformasi berlanjut pada tahun 1915 dibentuk sebuah panitia yang dipimpin oleh Rektor Universitas Al-Azhar Syekh Al-Maraghi untuk mereformasi hukum keluarga di Mesir, alasannya hukum keluarga yang terdapat pada mazhab tertentu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat Mesir, dan mulailah diberlakukan pada tahun 1920.140 Pembaharuan hukum keluarga yang telah dilakukan meliputi; tentang nafkah, perceraian, waris dan wasiat. Seiring dengan pembaharuan hukum keluarga di maksud nampaknya ada unsur keberpihakkan pada nasib perempuan atau isteri di satu sisi tapi di lain sisi masih bersifat bias gender, misalnya dalam perceraian suami tidak dapat menjatuhkan talaq semenamena terhadap isteri, karena suami harus dapat mengajukan bukti-bukti dan saksi tentang alasan permohonan talaqnya.141 Berangkat dari pernyataan di atas maka timbul pertanyaan, benarkah pembaharuan hukum keluarga di Mesir mengangkat status wanita? Untuk itu penulis mencoba untuk membahas tentang hal tersebut. II. Pembahasan 1. Hukum Keluarga di Mesir Dan Konsep Gender Bila merujuk kepada peraturan dan perundang-undangan berkaitan dengan perkawinan di Mesir, akan ditemukan permasalahan usia perkawinan, yakni bagi pria berusia 18 tahun sedangkan wanita 16 tahun. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa usia perkawinan dibedakan? Sedangkan di Indonesia wanita berumur 19 tahun dan pria 21 tahun. Kenapa tidak disamakan? Inilah ketimpangan gender, karena seolah-olah posisi wanita selalu dalam porsi kecil, di bawah sehingga ia pada posisi sub-ordinat dan cenderung berada pada pihak yang di bawah. Padahal dalam surat An-Nisa ayat 1 yang terkandung maksud bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama. Begitupun masalah mahar, isteri bisa menggugat suami apabila mahar tidak sesuai jumlahnya, sedangkan di Indonesia hal itu tidak dibicarakan. 139
Ibid., h.49 Ibid., 141 Khairuddin Nasution, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012), h.190 140
84
85
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Masalah ketentuan memberi nafkah kepada isteri adalah menjadi kewajiban suami meskipun isteri orang kaya atau beda agama, isteri yang sakit tidak menghalangi untuk mendapatkan nafkah dari suami. Jika isteri murtad suami tidak wajib memberi nafkah, atau menolak untuk hidup bersama tanpa alasan, atau pergi tanpa izin suami. Sedangkan di Indonesia juga tidak dibicarakan dalam hukum perkawinan. Berdasarkan Undang-Undang nomor 25 tahun 1920, bahwa pengadilan berhak untuk memutuskan cerai dengan alasan suami mengidap penyakit yang membahayakan. Sedangkan di Indonesia hal itu dibicarakan dalam Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 1929 alasan untuk menuntut talaq diperluas, pengadilan dapat menetapkan talaq yaitu: 1. Apabila suami tidak mampu untuk memberi nafkah. 2. Apabila suami mempunyai penyakit menular atau membahayakan 3. Apabila ada perlakuan yang semena-mena dari suami (Indonesia: Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang KDRT) 4. Apabila suami pergi meninggalkan isteri dalam waktu yang cukup lama.142 Apabila terjadi pertengkaran yang tidak mungkin ada perdamaian, maka dalam keadaan seperti ini pengadilan berhak menetapkan perceraian (di Indonesia hal ini diatur pada pasal 113 KHI). Jika suami meninggalkan isteri selama satu tahun atau lebih tanpa ada alasan yang jelas dan tanpa keterangan, maka isteri berhak menuntut cerai (di Indonesia ditetapkan selama 2 tahun). Setelah diamandemennya Undang-Undang yang tertuang dalam Undang-undang nomor 44 tahun 1979 yang berisi; isteri harus diberitahu ketika suami akan melakukan poligami, yang harus mendapat izin dari isteri, dan apabila isteri tidak mengizinkan maka ia berhak menuntut cerai. Apabila suami menyembunyikan fakta dari isteri kedua bahwa ia telah beristeri, maka isteri kedua berhak menuntut cerai. 142
Ibid., h.187
85
86
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Dalam perjalanannya setelah mengalami amandemen, Undang-Undang Mesir nampaknya berusaha untuk mengangkat status wanita yakni pada tahun 1943 dan 1945 Menteri Sosial menyiapkan draft yang didalamnya menyebutkan bahwa seorang suami hanya boleh menceraikan isterinya setelah mendapat izin dari pengadilan dan petugas tidak boleh mencatatkan yang tidak diizinkan hakim; pasal 2 menyebutkan bahwa hakim hanya memberikan izin perceraian kalau memang usaha perdamaian tidak berhasil. Orang yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman kurungan atau denda, meskipun perceraian tetap sah. Namun demikian draft ini ditolak,143 hal ini juga terjadi di Indonesia ketika adanya Counter Legal Drafting yang dilakukan dan diusulkan pihak aktivis dan organisasi perempuan di Indonesia. Pada Januari tahun 2000, pemerintah Mesir mengamandemen UndangUndang, yakni isteri berhak menggugat cerai (khulu’) jika terjadi tidak kecocokan tanpa harus menunggu keputusan pengadilan, yang dibuat berdasarkan bukti-bukti substantif, atas perlakuan suami yang tidak baik, konsekuensinya isteri mengembalikan mahar. Kaitannya dengan konsep gender yaitu berisikan tentang persamaan keseimbangan dan keadilan di semua pihak oleh sebab itu hukum keluarga di Mesir masih bersifat bias gender. III. Analisis Mesir sudah banyak melakukan pembaharuan dalam Undang-Undang perkawinan, di banding Negara Indonesia, karena sejak tahun 1974 sampai saat ini belum ada amandemen. Adanya pembaharuan di Mesir, bukan berarti perundang-undangannya lebih lengkap dan lebih menjamin keadilan semua pihak. Hukum keluarga Mesir, khususnya yang mengenai talaq dan cerai, terdapat dalam kitab-kitab Fiqh yang pada umumnya bias gender, karena fiqh yang disajikan tidak menjangkau terhadap budayabudaya lain. Bila ditinjau dalam sejarah, maka akan terlihat bahwa fiqh berkembang secara kasuistik tanpa rencana dan sistem tidak mempunyai teori 143
J.N.D Anderson, Recent Development in Syiria Law V, yang dikutip oleh Khairuddin Nasution dari Status Wanita di Asia Tenggara…, h. 246
86
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
87
mengenai hukum, politik atau ekonomi. Oleh sebab itu, di sini fuqaha tidak diberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu, karena situasi politik sepanjang sejarah Islam. Pada umumnya, ulama mazhab menyetujui hak talaq mutlak suami, sementara isteri hanya mempunyai hak huluk. Dengan demikian, suami secara mutlak dapat menceraikan isterinya, sementara kalau isteri ingin cerai tetap harus melibatkan suami. Sehingga bila dianalisa, maka akan ditemukan bahwa pembaharuan hukum keluarga, baik di Mesir maupun di Indonesia, masih bertumpu pada ketetapan pada kitab-kitab fiqh sehingga masih perlu terus dikembangkan sampai Undang-Undang tersebut benarbenar menjunjung hak-hak dan statusnya. Namun demikian dalam hal talaq dan cerai, baik di Indonesia maupun di Mesir, sudah banyak mengalami kemajuan yaitu dengan dilibatkannya pengadilan. Di Indonesia proses perceraian harus dibuktikan dengan surat cerai, sedangkan di Mesir dengan sertifikat cerai. Sebab-sebab yang disebutkan dalam perundang-undangan Indonesia lebih lengkap dan melibatkan suami isteri sebagai objek pembahasannya. Berbeda dengan perundangundangan di Mesir yang kurang lengkap dan cenderung lebih banyak membahas hal-hal yang berkaitan dengan suami sebagai penyebab perceraian. Begitu juga dalam proses perceraian. Dalam perundang-undangan Indonesia, pengadilan mempunyai peran yang cukup dominan dalam menentukan perceraian. Sedangkan di Mesir tidak demikian. IV. KESIMPULAN Sudah saatnya perundang-undangan perkawinan tentang talaq dan cerai Indonesia masih terus diperluas atau diamandemen meskipun undangundang tersebut lebih relevan dibandingkan dengan Mesir. Karena dalam ketentuan di Indonesia, pengadilan mempunya peran yang cukup signifikan demi adanya kepastian hukum. Kehadiran pengadilan dalam proses perceraian sebagai penengah dan pengawas agar tidak melenceng dari ketentuan dan menghindari kesewenang-wenangan terhadap salah satu pihak oleh pihak yang lain, agar lebih terjamin semua pihak. 87
88
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
DAFTAR PUSTAKA http://id.wikipedia.org/WIKI/Mesir, diakses tanggal 6 November 2012 ------ Instruksi Presiden RI Nomor 01 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta, 2000 ------ Undang-undang Perkawinan Nomor 01 Tahun 1974, dilengkapi Kompilasi Faiqoh, Nyai Agen Perubahan di Pesantren. Pen. Kucica, Jakarta, 2003 Hukum Islam di Indonesia, Pen ARKOLA Surabaya, t t. Nasution, Khairuddin, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern. Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012 Mahmood, Tahrir, Family Law Reform In The Moslem World. The Indian Law Institute New Delhi, 1972
88
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
89
PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI NEGERI MAROKO Sabdo A. Latar Belakang Masalah Hukum Keluarga adalah segala aturan, hukum, dan perundangan yang menyangkut kehidupan berkeluarga. Beberapa negara mempunyai aturan perundangan yang satu dan betul-betul disebut dengan Hukum Keluarga (Family Law). Sementara negara lainnya mempunyai hukum keluarga yang tersebar di berbagai aturan perundangan. Dalam sejarah, sejak dulu hingga kini hukum keluarga ini adalah satusatunya hukum Islam yang selalu diterapkan oleh masyarakat Muslim; baik mereka yang hidup di negara dan kerajaan Islam, seperti Mesir dan Saudi Arabia; negara semi sekuler, seperti Indonesia dan Malaysia; negara sekuler atau non Muslim, seperti komunitas Muslim di Singapura dan Amerika yang tentu saja hanya diberlakukan untuk komunitasnya sendiri. Hal ini berarti bahwa hukum Islam yang berkaitan dengan kehidupan sebuah keluarga hampir bisa dipastikan diterapkan baik secara formal maupun non formal oleh komunitas Muslim tanpa menunggu sebuah negara menjadi Islam atau masyarakat menjadi mayoritas dalam sebuah negara. Islam diyakini sebagai agama yang universal, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku 89
90
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
untuk seluruh umat manusia.144 Oleh karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana manusia itu berada. Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja. Ketika berhadapan dengan modern dengan tantangan modernitasnya, Islam tentunya dituntut untuk dapat menghadapi tantangan modernitas. Amin Abdullah, dalam bukunya Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, menyimpulkan bahwa peradaban Islam tidak lain merupakan buah akumulasi pergulatan penganut agama Islam ketika berhadapan dengan proses dialektis antara ”normativitas‟ ajaran wahyu yang pertama dan ”historisitas‟ pengalaman kekhalifahan manusia dimuka bumi yang selalu berubah-berubah.145 Hubungan tarik menarik antara kedua dimensi tersebut, selalu mewarnai perjalanan pemikiran Islam sepanjang masa. Sejauh mana wibawa normativitas wahyu yang terbungkus dalam pengalaman konkrit kesejarahan manusia di suatu masa tertentu dapat diperlakukan untuk diamalkan dalam era waktu yang lain. Proses dialektis itu senantiasa terjadi, terlebih seiring dengan mengembangnya problematika hidup yang dihadapi manusia dan itu semua membutuhkan akan adanya pembaharuan hukum Islam sebagai bentuk jawaban atau solusi. Dalam konteks ini tak terkecuali hukum keluarga yang berlaku di Indonesia yang terjemahkan dalam UU. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga membutuhkan pembaharuan terkait dengan kondisi sosiologis, kultur dan kompleksitas persoalan hidup bangsa Indonesia yang selalu bergerak dinamis ke depan. Walaupun mungkin dulu diawal atau pada saat hukum keluarga tersebut dibentuk sedikit banyak dapat menjadi jawaban bagi tuntutan realitas sosial yang ada. 144
Kesimpulan ini sebenarnya berangkat dari pemaha man dan keyakinan akan ke universalan agama Islam sebagaimana termaktub dalam Q.S. Saba‟ (34): 28 dan Q .S. Al-Anbiya (21): 107. 145 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, cet.I, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 5.
90
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
91
B. Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim Dalam penelitian mengenai pembaharuan hukum Islam di dunia Islam, J. N. D Anderson dan John L. Esposito146 berkesimpulan bahwa metode yang umumnya dikembangkan oleh pembaharu Islam dalam menangani isu-isu hukum masih bertumpu pada pendekatan yang ad-hoc dan terpilah-pilah 147
dengan menggunakan prinsip takhayyur, dan talfiq.148 Akan tetapi, terlepas benar atau tidaknya kesimpulan kedua tokoh tersebut perlu ditelaah tentang kecenderungan hukum di negara-negara muslim masa kini. Secara garis besar, sistem hukum yang berlaku di dunia Islam atau yang mayoritas penduduknya Islam bisa dibagi menjadi tiga bagian: 149 Pertama, sistem yang masih memberlakukan syari’ah sebagai hukum asasi (pokok) dan berusaha untuk menerapkannya dalam segala aspek hubungan kemanusiaan secara utuh. Di sini, hukum Islam dipahami secara tektual-literal sebagaimana yang tercantum dalam teks-teks hukum (alQuran dan al-Hadits). Contoh hukum keluarga yang diberlakukan adalah otoritas talak hanya dimiliki oleh kaum lelaki, pemberlakuan poligami dan lain-lain. Di antara negara yang hingga kini mempertahankan model semacam ini adalah Arab Saudi dan wilayah utara Nigeria. Kedua, sistem yang meninggalkan Syari’ah dan menggantikanya dengan hukum yang sama sekali sekuler. Negara muslim yang setidaktidaknya secara resmi, telah sama sekali berubah menjadi sekuler adalah Turki yang sangat berbeda atau bertolak belakang dengan Arab Saudi. Pada tahun 1926 hukum Swiss ditetapkan sebagai pengganti syari’ah, bahkan termasuk mengenai hukum keluarganya, monogami diterapkan 146
J.N.D Anderson, Law Reform in the Muslim Word, (London: University of London the Athlon Press, 1976), h.42; John L. Esposito, Women in Muslim Family Law ,(Syracus: Syracus University Press, 1982), h. 94-102. Keterangan tentang ini juga dapat dilihat dalam Amir Mu‟alim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h.7-17 . 147 Takhayyur adalah suatu metode yurisprudensi yang karena dalam situasi spesifik dibolehkan meninggalkan madzab hukumnya untuk mengikuti madzab lain. 148 Talfiq adalah suatu metode mengkombinasikan berbagai madzhab untuk membentuk peraturan tunggal. 149 Amir Mu‟alim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, cet. ke-1, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 7.
91
92
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
sebagai pengganti poligami; dan perceraian berdasarkan atas ketetapan hakim berdasarkan alasan-alasan tertentu , yang sama bagi suami atau istri yang berperkara diterapkan sebagai pengganti talak yang dijatuhkan secara sepihak oleh suami atau yang dijatuhkan atas kesepakatan kedua suami isteri yang bersangkutan. Ketiga, sistem yang mencoba mengambil jalan moderat di antara dua sistem hukum yang ekstrim yakni menerapkan hukum Islam secara penuh dan sistem yang sama sekali menolak hukum Islam. Contoh negara yang berusaha mengkompromikan kedua sistem tersebut adalah antara lain Mesir, Sudan, dan Yordania. Akan tetapi khusus dalam hukum keluarga yang diterapkan seringkali porsi yang banyak diberikan adalah hukum Islam sebagaimana dipahami oleh kelompok pertama. Dari ketiga corak aplikasi hukum Islam di dunia muslim di atas menunjukan bahwa perbedaan sistem dan bentuk pembaharuan hukum Islam bukan hanya disebabkan oleh sistem politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor perbedaan sejarah, sosiologi dan kultur masing-masing negara muslim tersebut. Upaya reformasi hukum keluarga yang adil dan setara salah satunya dapat kita pelajari dari Maroko dengan dengan mudawanah-nya. Mudawanah telah mencapai prestasi yang cukup spektakuler dalam melakukan reformasi hukum keluarga Islam yang didasarkan pada cara pandang yang adil dan setara pada laki-laki dan perempuan baik dalam kedudukan mereka sebagai suami dan istri, maupun orangtua dan anak. C. Sejarah Maroko Maroko (Kingdom Of Marocco) dengan luas wilayahnya 409200 kilometeter persegi, Ibukotanya Rabat, Bahasa Arab sebagai bahasa resminya dan Dirham sebagai Mata Uangnya.”150 Orang Arab menyebutnya Al-Mamlaka Al-Maghribiya atau Kerajaan Barat. Para ahli sejarah dan geografi Muslim di era kekhalifahan Islam menjulukinya Al-Maghrib Al-Aqsa. Sedangkan orang Turki memanggilnya
150
Bintang Indonesia, Atlas Indonesia dan Dunia, edisi ke 33, (Jakarta: PT Bintang Indonesia, t.t.,), h. 93.
92
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
93
Fez. Orang Persia mengenalnya Marrakech (Tanah Tuhan). Beragam nama itu disandang negara yang kini dikenal dengan nama Maroko. Maroko adalah negeri yang memiliki peran penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Afrika Utara. Yang tak kalah pentingnya, negeri berjuluk 'Tanah Tuhan' itu merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke Spanyol, Eropa. Dari Maroko inilah Panglima tentara Muslim, Tariq bin Ziyad menaklukan Andalusia dan mengibarkan bendera Islam di daratan Eropa. Syahdan, Kerajaan Islam di Afrika Utara itu sudah mulai didiami manusia sejak zaman Neolitik - kurang lebih 8000 tahun SM. Salah satu bukti peninggalan Neolitik di wilayah itu ditemukannya budaya Kapsian. Pada masa klasik, wilayah Maroko dikenal dengan sebutan Mauretania. Nama itu sama sekali tak berhubungan dengan Mauritania - negara di era modern. Akhir periode klasik, Maroko sempat dikuasai Kekaisaran Romawi. Namun, di abad kelima, Maroko beralih ke tangan Vandals, Visigoth, dan Imperium Bizantium - seiring pudarnya kekuasaan Romawi. Pada masa itu, wilayah pegunungan tinggi yag menjadi bagian Maroko modern masih belum ditundukkan dan masih berada di tangah bangsa Barbar. Maroko memasuki babak baru setelah Islam menancapkan benderanya di wilayah Afrika Utara. Ajaran Islam tiba di Maroko pada 683 M. Adalah pasukan yang dipimpin Uqba Ibnu Nafi-seorang jenderal dari Dinasti Umayyah- yang kali pertama membawa ajaran Islam ke wilayah itu. Islam benar-benar menguasai Maroko pada tahun 670 M. Namun, ada pula yang menyebutkan ekspansi Islam ke Maroko dimulai ketika negeri itu ditaklukan pasukan pimpinan Musa bin Nusair pada masa Al-Walid I bin Abdul Malik (705-715)-khalifah keenam Dinasti Umayyah. Pada saat itu, pasukan tentara Islam menyebut wilayah itu dengan nama Maghreb Al-Aqsa atau Far West. Setelah Maroko jatuh ke dalam genggaman Dinasti Umayyah, Musa bin Nusair mengangkat Tariq bin Ziyad untuk memerintah Maroko. Dari wilayah itulah, Tariq bin Ziyad menyeberangi selat antara Maroko dan Eropa menuju ke gunung yang dikenal dengan Jabal Tariq (Gibraltar).
93
94
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Maroko menjadi wilayah penyangga bagi umat Islam untuk melakukan ekspansi ke daratan Spanyol, Eropa. Tak mudah bagi pasukan tentara Muslim untuk menundukkan negeri di kawasan Afrika Utara itu. Tak kurang dari 53 tahun waktu yang dilalui para tentara Muslim untuk menjadikan Maroko bagian dari kekuasaan Islam. Butuh waktu satu abad bagi umat Islam untuk berasimilasi dengan bangsa Barbar yang mendiami wilayah Maroko. Maroko modern pada abad ke-7 M merupakan sebuah wilayah Barbar yang dipengaruhi Arab. Bangsa Arab yang datang ke Maroko membawa adat, kebudayaan dan ajaran Islam. Sejak itu, bangsa Barbar pun banyak yang memeluk ajaran Islam. Ketika kekuasaan Dinasti Umayyah digulingkan Dinasti Abbasiyah, Maroko pun menjadi wilayah kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Perubahan kekuasaan itu memicu munculnya dinasti-dinasti kecil di wilayah itu. Pada 172 H/789 M, berdirilah Kerajaan Idrisid dinasti Syiah pertama - yang didirikan Idris I bin Abdullah seorang keturunan Ali bin Abi Thalib. Padahal, Abbasiyah adalah dinasti yang bercorak Suni. Lima tahun memimpin, Idris I terbunuh. Ia digantikan Idris II. Pada masa kekuasaan Idris II, Dinasti Idrisid melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Damaskus. Dinasti ini meraih kemajuan yang pesat sebagai pusat bejar ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Walila ke Fez. Dinasti ini hanya mampu bertahan hingga 364 H/974 M. Sepeninggal Idris II, penggantinya kebanyakan lemah, kecuali Yahya bin Muhammad dan Yahya IV. Dinasti Idrisid mencapai masa keemasannya di bawah kekuasaan Yahya IV. Setelah Dinasti Idrisid tumbang, bangsa Arab mulai kehilangan pengaruh politiknya di wilayah Maroko. Kekuasaan pun kemudian diambil alih Dinasti Fatimiah yang beraliran Syiah. Dinasti yang berbasis di Kairo, Mesir itu menguasai Maroko sampai tahun 1171 M. Ketika Dinasti Fatimiah kehilangan kendali atas Maroko, maka muncullah Dinasti Al-Murabitun yang berpusat di Marrakech. Kekuasaannya meliputi Gunung Sahara, Afrika barat laut, dan Spanyol. Dinasti ini memiliki peran yang begitu besar pada masa kepemimpinan Ibnu Tasyfin. Ia mengirimkan 100 kapal, 7.000 tentara berkuda serta 20 94
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
95
ribu tentara ketika diminta Mu'tad bin Ibad, raja Sevilla untuk melawan tentara Kristen yang ingin melenyapkan Islam dari Eropa. Dalam peperangan itu, tentara Islam menang dengan gemilang. Berkat jasa Ibnu Tasyfin dan pasukannya, Islam bisa berjaya di Spanyol selama empat abad lamanya. Setelah kekuasaan Murabitun jatuh, Maroko menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Al-Muwahhidun (1121 M - 1269 M). Pada masa kepemimpinan Abu Ya'kub Yusuf bin Abdul Mu'min (1163 M - 1184 M), kota Marrakech menjadi salah satu pusat peradaban Islam dalam bidang sains, sastra, dan menjadi pelindung kaum Muslimin untuk mempertahankan Islam dari serangan dan ambisi Kristen Spanyol. Dinasti ini juga ikut membantu Salahudin Al-Ayubi melawan tentara Kristen dalam Perang Salib. Pascaruntuhnya kekuasaan Dinasti Al-Muwahhidun, Maroko dikuasai beberapa dinasti seperti; Dinasti Marrin, Dinasti Wattasi (1420 M - 1554 M), Syarifiyah Alawiyah (1666 M), Abdul Qadir Al-Jazairy (1844 M), dan Sultan Hasan I (1873 M - 1894 M). Secara geografis, Maroko berbatasan dengan AlJazair di bagian timur dan tenggara, Sahara Barat di barat daya, Samudera Atlantik di barat, dan Selat Gibraltar di utara. D. Marrakech, Simbol Kejayaan Maroko Marrakech. Inilah kota yang fantastis yang menjadi simbol Maroko. Orang Barat menyebutnya Marrakesh dan literatur di Indonesia menamainya Marrakus. Kota ini dibangun pada pada 1062 M oleh Yusuf bin Tasyfin atau Ibnu Tasyfin dari Dinasti Murabitun. Dinasti ini menguasai Maroko setelah kekuasaan Dinasti Fatimiah di negeri itu tumbang. Kota itu merupakan terbesar kedua di Maroko setelah Casablanca. Penguasa Dinasti Murabitun memilih Marakech sebagai pusat pemerintahannya yang jauh dari gunung dan sungai. Marrakech dipilih karena berada di kawasan yang netral di antara dua suku yang bersaing untuk meraih kehormatan untuk menjadi tuan rumah di ibu kota baru itu. Selama berabad-abad, Marrakech sangat dikenal dengan sebutan `seven saint' atau tujuh orang suci. Ketika sufisme begitu populer semasa kekuasaan Moulay Ismail, di Marrakech sering diadakan festival `seven
95
96
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
saints'. Pada 1147 M, Marrakech diambil alih Dinasti Muwahhidun. Pada masa itu, bangunan penduduk dan ibadah dihancurkan. Namun, Dinasti itu kembali merekonstruksi seluruh bangunan termasuk pembangunan Masjid Koutoubia dan Menara Gardens - keduanya menjadi landmark kota Marrakech hingga saat ini. Pada 1269 M, Marrakech diambil alih Dinasti Marrin dan ibu kota dipindah ke Fez. Dinasti ini sempat mengalami kemunduran pada tahun 1274 M hingga 1522 M. Mulai tahun 1522 M, Saadians mengambil alih kekuasaan Marrakech. Kota Marrakech yang berubah miskin itu kembali bergairah setelah dijadikan ibu kota Maroko selatan. Pada akhir abad ke-16 M, Marrakech kembali mencapai kejayaannya. Secara budaya dan ekonomi, Marrakech menjadi kota terkemuka dan terdepan di Maroko. Saat itu, jumlah penduduknya mencapai 60 ribu orang. Pada 1669, Marrakech dikuasai sultan Maroko dan ibu kota kembali pindah ke Fez. Pada pertengahan abad ke-18, Marrakech kembali dibangun Sultan Muhammad III. Pada awal abad ke-20, Prancis banyak membangun bangunan bergaya Prancis. Ketika Maroko meraih kemerdekaan pada 1956, ibu kota kerajaan berpindah ke Rabat. Kini, Marrakech menjadi salah satu kota budaya yang dilindungi Unesco. Di kota itu banyak berdiri masjid serta madrasah peninggalan masa kejayaan Islam antara lain; Masjid Koutoubia, Madrasah Ben Youssef, Masji Casbah, Masjid Mansouria, Masjid Bab Doukkala, Masjid Mouassine, serta banyak lagi yang lainnya. Di kota ini juga banyak ditemukan bangunan istana peninggalan kejayaan Islam seperti Istana El Badi, Royal Palace, Istana Bahia serta lainnya. Di Marrakech juga banyak sentra kerajinan tangan. Sebagai kota tua yang dijadikan obyek wisata, Marrakech juga banyak memiliki museum seperti; Museum Dar Si Sa'ad, Museum Marrakech, Museum Bert Flint, Museum Islamic Art, dan lainnya. E. Mudawanah (Hukum Keluarga) Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 19 Agustus 1957, Maroko, yang penduduknya adalah pengikut mazhab Maliki, melakukan
96
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
97
kodifikasi selama tahun 1957-1958, yang menghasilkan Mudawwanah al – Ahwal al – Shakhsiyah.”151 Maroko adalah sebuah negara berbentuk kerajaan Islam dengan populasi sebanyak 31.993.000 jiwa. Jumlah ini sedikit lebih banyak dari populasi Propinsi Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk 30.775.846 jiwa. Bahasa utamanya adalah Arab dan bahasa Asing terpopulernya adalah Perancis. Penganut Muslim mencapai 99 persen dengan mazhab Sunni. Jadi Muslim Sunni dapat disebut sebagai mayoritas tunggal di negara ini. Pada 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah, selanjutnya disebut Mudawanah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-Undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad. Sejarah lahirnya Undang-Undang Maroko berawal pada tanggal 6 Desember 1957 (13 Jumadil Awal 1377 H) dengan terbitnya Dekrit Raja yang bertanggal 22 Nopember 1957 (28 Rabiul Tsani 1377 H), mengumumkan akan lahirnya Undang-Undng Perkawinan dan Perceraian (Code of Personal Status and Inheritance).”152 Akhirnya Undang-Undang Keluarga pertama yang mencakup perkawinan dan perceraian ini mulai berlaku di seluruh wilayah Maroko sejak tanggal 1 Januari 1958. Kedua buku ini adalah hasil kerja dari komite (Komisi) yang di bentuk tanggal 19 Agustus 1957 (22 Muharram 1377 H).”153 Komisi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Raja ini bertugas menyusun rancangan Undang-Undang Hukum Keluarga, termasuk Kewarisan. Penyusunan rancangan Undang-Undang ini didasarkan pada tiga sumber pokok. Pertama, beberapa prinsip hukum dari Mazhab Hukum Islam (fiqih), khususnya Mazhab Maliki yang dianut Muslim Maroko. Kedua, prinsip mashlahah mursalah. Ketiga, UU yang berlakukan di beberapa negara Muslim laainnya. Adapun isinya terdiri dari 8 Bab, Yaitu: I. Perkawinan dan Pinangan; II. Dasar-dasar dan Syarat-syarat Akad Nikah; III. 151
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam Indonesia, dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, cet. ke-1, (Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009 ), h.173 152 Mahmood, Family Law Reform, h. 262 153 Anderson, “Reforms in Family Law in Marocco”, h. 146
97
98
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Wali Nikah; IV. Mahar; V. Pembatalan Perkawinan; VI. Jenis Perkawinan dan Akibat-akibatnya; VII dan VIII. Tentang Perceraian.”154 Beberapa capaian signifikan dalam Hukum Keluarga ini adalah adanya ketentuan sebagai berikut; (1) Keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga; (2) perempuan tidak membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk menentukan sendiri calon suaminya dan menolak untuk dipaksa menikah dengan lelaki yang bukan pilihannya; (3) batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun, yang mengatur agar laki-laki dan perempuan dari praktik pernikahan dini; (4) poligami mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami. Capaian tersebut tentu saja diawali dengan sejarah panjang dalam menentukan dan melaksanakan langkah-langkah strategis. Pertama, melakukan koordinasi dengan aktifis-aktifis perempuan lintas sektoral. Koalisi para aktifis perempuan diakui sebagai kekuatan dahsyat yang memungkinkan revisi Hukum Keluarga ini. Kedua, merumuskan Hukum Keluarga seperti apa yang ingin dicapai dan perubahan-perubahan apa yang dikehendaki. Ketiga, membangun argumentasi teologis maupun non teologis yang kuat dari berbagai perspektif termasuk HAM dan CEDAW. Keempat, melakukan advokasi ke pengambil kebijakan. Tuntutan perubahan Hukum Keluarga dengan berbagai argumentasi tersebut dikemukakan kepada anggota DPR yang mempunyai otoritas membuat UU, pemerintahan, dan partai. Kelima, membentuk opini publik agar masyarakat memahami dan menyadari apa yang sedang diperjuangkan, baik melalui media, demonstrasi di jalan-jalan dan memobilisasi massa dari berbagai elemen masyarakat dan kekuatan politik. Keberhasilan gerakan Mudawanah dalam melahirkan hukum keluarga (al-Mudawanah al-Usrah) yang adil dan setara ini tidak bisa dilepaskan dari peran penting Raja Muhammad al-Malik as-Sa'id sebagai pemilik otoritas tertinggi di bidang politik sebagai pemimpin negara sekaligus otoritas 154
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam Indonesia…., h. 174
98
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
99
tertinggi di bidang agama sebagai pemimpin para Ulama di Maroko. Pada awalnya perlunya revisi hukum keluarga untuk menjamin keadilan bagi laki-laki sekaligus perempuan ini selalu dibahas di mana saja hingga ke kerajaan. Setelah proses yang cukup lama akhirnya tuntutan perubahan Hukum Keluarga tersebut mendapat sambutan yang positif dari Raja dengan dibentuknya Komisi Khusus yang menelaah draft usulan perubahan Hukum Keluarga dan selalu melibatkan kalangan aktifis perempuan dalam setiap pembahasannya. Setelah tiga tahun diproses oleh Komisi Khusus ini, akhirnya Raja mengesahkan Revisi Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) pada 2004. Proses perjuangan tidak kalah penting dengan hasilnya. Ditetapkannya Hukum Keluarga yang mengakomodir perempuan dalam setiap prosesnya merupakan jalan bagi terwujudnya demokrasi bagi perempuan di Maroko. Tentu peran serta Raja tidak bisa diabaikan dalam hal ini karena ia sendirilah yang menghadapi serangan dari kelompok Muslim Konservatif. Namun tidak sedikit dari kalangan konservatif yang kemudian menyetujui revisi tersebut dan menyadari bahwa penolakan tersebut bukanlah soal agama melainkan politik. Misalnya, mereka mengatakan bahwa keharusan ijin wali bagi perempuan untuk menikah hanyalah soal politik (bukan agama). Salah satu catatan penting dari keberhasilan reformasi Hukum Keluarga di Maroko ini adalah pentingnya membangun argumentasi yang didasarkan pada tradisi agama dan sosial Maroko sendiri sehingga masyarakat dapat diyakinkan bahwa reformasi ini adalah dari dan untuk mereka sendiri. Perspektif sosial merupakan argumen yang utama. Perubahan sosial saat ini telah memungkinkan banyak perempuan terlibat dalam mengurus negara dengan menjadi anggota legislatif dan menjalankan tugas negara. Tidak mungkin ketika perempuan bisa mengendalikan negara, tidak bisa mengendalikan diri sendiri. Artinya, dalam era di mana seorang perempuan yang sudah bisa mengendalikan negara dengan menempati berbagai jabatan strategis negara, pastilah para perempuan lainnya telah bisa mengendalikan diri sendiri. Secara teologis pun ternyata banyak ditemukan tradisi pemikiran Islam di berbagai bidang yang dapat dijadikan argumentasi untuk mendukung 99
100
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
perubahan Hukum Keluarga ini. Sayangnya baik ayat, hadis, maupun pandangan para ulama klasik yang mendukung dan mendorong lahirnya keadilan gender dalam keluarga Muslim ini kalah dengan berbagai macam kepentingan yang bertentangan dengannya. Apa yang terjadi di Maroko sesungguhnya merupakan contoh konkrit di mana Islam selalu ditafsirkan ulama dalam konteks politik tertentu, lebih-lebih jika melibatkan penguasa. Tafsir dapat melahirkan ketidakadilan bila dilakukan dengan asumsi yang tidak adil dan oleh subyek yang tidak adil. Namun, juga bisa melahirkan dan menjamin keadilan bila dilakukan oleh pemegang otoritas yang adil dan mempunyai cara pandang yang adil pada laki-laki dan perempuan sebagaimana terjadi Maroko. Jika keadilan gender telah terjadi semenjak dalam keluarga, maka mimpi tentang dunia yang adil pun dapat lebih mudah menjadi nyata.155 Hukum Kewarisan Prinsip wasiat wajibah yang diadopsi oleh Tunisia dari hukum wasiat Mesir (1946) juga diberlakukan oleh Maroko dengan beberapa perubahan. Maroko merupakan negara keempat dan terakhir setelah Mesir,Syiria dan Tunisia yang mengadopsi aturan ini. Menurut Undang-Undang Maroko (1958) hak untuk mendapat wasiat wajibah tersedia bagi anak dan seterusnya kebawah dari anak laki-laki pewaris yang telah meninggal. Aturan ini tidak ditemukan dalam mazhb maupun dalam fiqih tradisional, sebab warisan hanya diperuntukkan bagi ahli waris yang masih hidup.156 Revisi Undang-Undang Keluarga Maroko 1958 Pada tahun 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-Undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad. Beberapa perubahan yang berhasil digolkan adalah
155
Rabea dan Amina; Aktifis Perempuan Maroko di Kantor Komnas Perempuan Jakarta, pada tanggal 14 April 2010 156 http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-maroko/ diakses pada hari minggu,21-12-2012, jam 06.00 WIB
100
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
101
a. Keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggungjawab tunggal keluarga. b. Perempuan tidak membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk menentukan sendiri calon suaminya. c. Batas usia minimun pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum dimana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun. d. Poligami mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami.157 III. Kesimpulan Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa negara Maroko adalah Negara yang telah menggabungkan pendapat dari beberapa mazhab dalam mencapai keterangan yang ada dalam hukum Islam yang ada di negara Maroko dari beberapa masalah yang direformasi dalam Undang-Undang Keluarga (2004) di Maroko, sebagaimana yang telah ada di negara-negara Islam lainnya.
157
http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukum-keluargayang-setara.html diakses pada hari minggu 21-12-2012 jam 06.00 WIB
101
102
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
DAFTAR PUSTAKA Amir Mu’alim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001 Bintang Indonesia, Atlas Indonesia dan Dunia, Edisi ke-33, Jakarta: PT Bintang Indonesia, t.t. Anderson, J.N.D, Law Reform in the Muslim Word, London: University of London the Athlon Press, 1976 Esposito, John L, Women in Muslim Family Law, Syracus: Syracus University Press, 1982 Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata Islam Indonesia, dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim, Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009 Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995 Mahmood, Family Law Reform in The Muslim Wordl, New Delhi: The Indian Law Institute, tt., Rabea dan Amina, Aktifis Perempuan Maroko di Kantor Komnas Perempuan Jakarta, pada tanggal 14 April 2010 Roffiah, Nur, Perjuangan Hukum Keluarga Yang Setara di Maroko, http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukumkeluarga-yang-setara.html diakses, Kamis, 11-10-11 jam 16:30 WIB http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negaramaroko/ diakses pada hari minggu,21-12-2012,jam 06.00 WIB http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukumkeluarga-yang-setara.html diakses pada hari minggu 21-12-2012 jam 06.00 WIB
102
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
103
DESKRIPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI PAKISTAN Fristia Berdian Tamza A. Latar Belakang Pemikiran Salah satu trend reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern adalah diberlakukannya sangsi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan mengategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Dalam hal poligami misalnya, meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negaranegara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini. Pembahasan menjadi menarik jika kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern. Demikian pula jika dibandingkan dengan kebijakan hukum di negara-negara non-Muslim (negara Barat). Pemberlakuan sanksi hukum menjadi salah satu ciri dalam UU hukum keluarga di negara-negara Muslim modern. Secara umum sanksi hukum tersebut terkait dengan pelanggaran berbagai masalah seputar perkawinan, perceraian, nafkah, perlakuan terhadap istri, hak perempuan pasca cerai, dan hak waris. Makalah ini akan membahas mengenai hokum keluarga Islam di Pakistan.
103
104
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
B. Pembahasan 1. Sejarah Hukum Keluarga Pakistan Pakistan sejarah hukumnya hingga 14 Agustus 1947 berbagi dengan India. Pada saat pembentukan negara ini pada tanggal tersebut, ia mewarisi dari negara induknya, India, UU Hukum Keluarga, seperti berikut ini: a. UU Penghapusan Ketidakcakapan Hukum Kasta Sosial Tahun 1850; b. UU Perceraian tahun 1869 dan UU Perkawinan Kristen Tahun 1872 c. UU Orang Dewasa Tahun 1875 d. UU Perwalian dan Orang yang di Bawah Perwalian Tahun 1890 e. UU Validasi Wakaf Tahun 1913-1930; f. UU Wakaf tahun 1923 (diamandemen di Propinsi Sind oleh UU lokal, yakni UUNo.18/1935); g. UU Pencegahan Perkawinan Anak Kecil tahun 1929; h. UU Hukum Keluarga Islam (Syariah) Tahun 1937; dan i. UU Perceraian Islam Tahun 1939. 158 Pada tahun 1961, Komisi Nasional negara itu merekomendasikan beragam masalah keluarga bagi penyempurnaan UU Hukum Keluarga yang ada. Atas dasar rekomendasi yang dibuat Komisi itu, suatu ordinansi yang dikenal sebagai Ordinansi Hukum Keluarga Islam disahkan pada 1961. Konsitusi pertama Republik Islam Pakistan yang diresmikan pada 1956 menetapkanbahwa tidak satu pun UU yang bertentangan dengan ajaranajaran dasar Islam akan diberlakukan, dan UU yang demikian harus ditinjau ulang dan direvisi agar sejalandengan ajaran-ajaran dasar Islam. Konstitusi ini dicabut pada 1958. Ketika Konstitusi 1956 dicabut Pemerintah Pakistan meresmikan Ordonansi Hukum Keluarga Islam 1961-yang didasarkan pada rekomendasi yang disampaikan dalam laporan Komisi Nasional tersebut. Suatu konstitusi baru disahkan di Pakistan pada 1962, yang sekali lagi memberi mandat/amanat kepada negara untuk tidak memberlakukan UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam; dan Konstitusi ini
158
Azizah Y Al-Hibri, Pernikahan dan Perceraian: Landasan Hukum, dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), jilid 5, (Bandung: Mizan, 2000), h. 343-346
104
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
105
mengakomodasi kembali ajaran-ajaran dasarIslam seperti yang terdapat dalam Konstitusi terdahulu. 159 Bidang hukum Islam seperti didefinisikan dalam UU Hukum Keluarga 1961 itu adalah lebih luas dibanding yang ada di bawah UU Shariat 1937. Pada 1964 UU Peradilan keluarga mengamanatkan pembentukan peradilan keluarga di seluruh wilayah Pakistan, yang tugasnya menyelesaikan perkara-perkara yang berkenaan dengan perselisihan keluarga dan perkawinan. Konstitusi Pakistan yang baru, yang diumumkan pada 1973, menyatakan bahwa semua UU yang ada harus disesuaikan dengan jaranajaran dasar Islam seperti ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa tidak satu pun UU yang diberlakukan bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam tersebut. 160 Pada 1979 Pemerintah Pakistan memutuskan untuk kembali menegakkan di negeri itu supremasi Syariah dalam semua bidang hukum. Sepanjang 1980-1985, Konsitusi 1973 (sejak mengalami sejumlah amandemen) diamandemen kembali, yakni berkenaan denganperihal norma-norma Syariah. 2. Ketentuan-Ketentuan Terkait Undang-Undang di Pakistan a. Poligami Pakistan dengan The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961 menetapkan bolehpoligami dengan izin lebih dahulu dari pengadilan (Arbitration Council). Sementara bagi yang melanggar ini dapat dihukum dengan hukuman penjara atau denda. Badan arbitrasi ini tidak akan mengeluarkan persetujuan sang suami mengambil satu isteri lagi sebelum ia yakin betul terhadap keadilan dan perlunya suami kawin lagi. Izin tersebut hanya dapat diberikan bila dewan arbitrase itu yakin bahwa perkawinan yangdiajukan itu memang diperlukan dan benar. 159
Eleanor Abdella Doumanto, Pernikahan dan Perceraian: Paraktik Modern dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), (Bandung: Mizan, 2000), h. 346 160 Azizah Y Al-Hibri, Pernikahan dan Perceraian: Landasan Hukum, dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), jilid 5, (Bandung: Mizan, 2000), h. 343
105
106
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Dalam hal ini diperlukan adanya persetujuandari isteri terdahulu kecuali kalau dia sakit ingatan, cacat jasmani atau mandul. Jika telahdijalin perkawinan kedua tanpa izin dewan, maka perkawinan tersebut dapat dianggapbatal secara hukum. Pelaku poligami tanpa izin lembaga arbitrase (arbitration council), dapat dijatuhi hukuman: a) wajib membayar segera seluruh jumlah mas kawin, baik kontan maupun bertempo (cicilan), kepada istri/para istrinya yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar, maka dapat ditukar-alih sebagai tunggakan pajak tanah; b) atas dasar keyakinan terhadap pengaduan (dari pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka pelaku poligami dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 1 tahun, atau dengan denda maksimal 5 ribu rupee, atau dengan keduanya sekaligus. b. Pencatatan Perkawinan Dalam MFLO Tahun 1961, Pakistan mengaharuskan pendaftaran (pencatatan) perkawinan (akad nikah). Penetapan ini didasarkan pada Qur’an yang menyuruh mencatat transaksi penting. Ulama tradisional Pakistan juga setuju dengan keharusan pencatatan perkawinan, dengan syarat tidak dijadikan syarat sah perkawinan. Kalau perkawinan dilakukan di luar Pakistan, satu salinan surat nikah harus dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan untuk dicatatkan. Bagi yang melanggar aturan dapat dihukum dengan hukuman penjara selama 3 bulan dan/atau denda 1000 Rupee. Dengan demikian, pencatatan sebagai syarat administrasi merupakan kompromi antara kelompok tradisional dan modernis yang menghendaki pencatatan sebagai syarat sah. Pasal 5 ordonansi Pakistan itu menyatakan bahwa apabila suatu perkawinan tidak dilakukan oleh Pejabat Pencatat Nikah maka orang yang memimpin pelaksanaan ijab qabul itu harus melaporkannya kepada Pejabat Pencatat Nikah dan kelalaian mengenai hal ini merupakan pelanggaran. Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah adalah Majelis Keluarga (Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada 106
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
107
satu orang pada setiap daerah tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah dianggap batal. Hanya saja, para pihak berakad dan saksi yang melanggar ketentuan ordonansi itu dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu rupee. The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961 pasal 5 (1), “Setiap perkawinan yang dilakukan berdasar hukum Islam harus didaftarkan sesuai dengan aturan yang ada dalam Ordonan ini”. c. Batas Usia Nikah Dalam Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Dalam ordonansi No. 8/1961 pasal 4, 5 dan 6 ayat (1) Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur (nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan dibawah umur. Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukumanpenjara maksimal 3 bulan. d. Proses Perceraian Di Pakistan, seorang suami masih dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan, tetapi segera setelah itu ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang kemudian akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan mendamaikan kembali pasangan suami istri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu gagal maka talak itu berlaku. Seperti dikatakan sebelumnya, Pakistan masih 107
108
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
mengakui perceraian di luar pengadilan, sesuai dengan MFLO Tahun 1961 pasal 7 ayat (1), Seorang yang menceraikan istrinya, segera setelah ikrar talak harus membuat laporan tertulis kepada ketua Arbitration Council dan satu copy dikirim ke istrinya”. Pasal 7 (2),”Bagi seorang yang melanggar ayat (1) pasal ini dapat dihukum dengan hukuman penjara 1 tahun ataudenda 5.000 Rupee atau kedua-duanya”. Pakistan berdasarkan The Dissolution Of Muslim Marriage Act 1939, yang diperbarui tahun 1961, menunjukan bahwa seorang suami yang ingin melakukan poligami dapat menjadi alasan perceraian. MFLO Tahun 1961 pasal 2, “Seorang istri dapat minta cerai karena suami nikah lagi dengan seorang wanita dengan cara yang tidak sejalan dengan aturan MFLO, 1961.” Sebagai tambahan, istri yang dimadu boleh minta cerai dengan alasan suaminya tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Dalam MFLO tahun 1961 pasal 2 bahwa seorang istri dapat minta cerai karena suami yang poligami tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya.” e. Mas Kawin Dan Biaya Pernikahan Di Pakistan, pelanggaran atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya dan hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry and Bridal Gifts) dapat dihukum penjara maksimal 6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang diatur UU. Keputusan tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan. III. Kesimpulan Hukum keluarga Islam yang berlaku di Pakistan adalah The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 196, yang memuat: (1) ketentuan kewajiban pencatatan perkawinan, (2) Batas Usia nikah yaitu laki-laki 18 tahun dan perempuan 16 tahun (3) Ketentuan keharusan adanya persetujuan lebih dahulu dari Majelis Arbitrasebagi perkawinana bigami/poligami; ketentuan keharusan pemberitahuan perceraian yang diberikan kepadapegawai negeri sipil yang berkompeten membentuk Majelis Arbitrase, (4) Ketentuan tidak efektifnya perceraian selama tiga bulan; (5) Ketentuan hukuman bagi
108
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
109
perbuatan melawan hukum tentang maskawin dan pembatasan biaya dan hadiah perkawinan
109
110
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
DAFTAR PUSTAKA Al-Hibri, Azizah Y, Pernikahan dan Perceraian: Landasan Hukum dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), Bandung: Mizan, 2000 Eleanor Abdella Doumanto, Pernikahan dan Perceraian: Paraktik Modern dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), Bandung: Mizan, 2000 Taufiq, Prospek Peradilan Agama dalam Jurisdiksi, Jakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah, 1996.
110
111
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDIA (STUDI TENTANG HAK NAFKAH PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN) Musnad Rozin A. Latar Belakang Pemikiran Hukum keluarga di India agak unik karena harus sangkat spesifik untuk berbagai agama yang dipraktekkan di sini. Daerah hukum memperhitungkan kebiasaan, keyakinan dan ajaran agama seperti Hindu, diatur oleh hindu hukum, islam (hukum Islam), Zaoroastrianisme (Persia hukum) dan Kristen (Christian law). Sistem hukum keluarga didasarkan pada hukum umum Inggris. Sumber hukum pribadi muslim seperti yang diterapkan di India adalah Hanafi fiqh. Hukum personal muslim (syariat) aplikasi Act 1937 mengarahkan penerapan hukum personal muslim untuk muslim di sejumlah bidang yang berbeda, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Undang-Undang ini juga mengarahkan penerapan hukum pribadi muslim dalam hal yang berkaitan dengan wasiat suksesi. Berkaitan dengan pemelihraan proses perceraian, hukum Hanafi klasik telah di modifikasi di India oleh wanita muslim (Perlindungan Hak atas perceraian) Act 1986. Bagian 5 dari undang-undang juga memungkinkan untuk seorang wanita muslim bercerai dari suaminya. Seorang wanita bercerai berhak ketentuan yang wajar dan adil dalam pemeliharaan yang harus di buat dan di bayarkan kepadanya dalam periode iddah oleh mantan suaminya. Berangkat dari uraian diatas, tulisan ini akan memfokuskan pada pemberian nafkah pasca perceraian. B. Undang-Undang Hukum Keluarga Muslim India 1. Sejarah Perundang-Undangan Keluarga Muslim India Kajian tentang sejarah perundang-undangan keluarga muslim di india dapat dibagi kedalam tiga fase perkembangan. Fase pertama adalah masa sebelum penjajahan. Fase kedua, masa penjajahan. Fase ketiga, masa kemerdekaan.
111
112
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
a. Sebelum penjajahan Pemerintah islam yang menguasai India, membuka babak baru dalam sejarah sistem peradilan dan legislasi yang ada di India. Pemerintah muslim membawa sebuah bentuk peradaban yang telah berkembang yang diwarnai dengan budaya perkawinan (agricultural), urbanisasi, dan keagamaan yang terorganisir secara mapan.161 Tetapi hal ini tidak menyebabkan konflik dengan agama lain. Islam memasuki lingkungan masyarakat India, pada umumnya melalui bentuk-bentuk yang diasimilasikan menjadi cultur pribumi. Sehingga batas-batas antara Islam dan Hinduisme lebih fleksibel dibandingkan ajaran yang terkandung di dalam doktrin formalnya. Para penguasa Islam di India,162 pada tahap selanjutnya menerapkan kebijakan tidak campur tangan dalam masalah agama dan praktek religious dari Hindu, Budha, Jain, Sikh, Jew, dan Parsi di India, dan tidak mendiskriminasikan antara mereka dengan orang Islam dalam berbagai hal non-religius.163 Meski elit pemerintah secara resmi adalah warga muslim, namun terdapat sekitar 20% warga Hindu sebagai Aristocrat Mugal. Warga Hindu juga cukup banyak yang menjabat sebagai pembesar-pembesar familiter, pejabat administrative, pejabat keuangan, pengadilan, dan pemilik tanah. Para pejabat Hindu pada umumnya mengambil pola Kultur Persia dari Muslim sejawat mereka.164 Kombinasi antara migrasi dari Timur Tengah dan Asia Tengah serta bentuk Islam lokal melahirkan varietas Islam dengan kualitas kultural yang 161
Ira M. Lapidurs, Sejarah Sosial Ummat Islam, alih bahasa Ghufron A. Mas‟adi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), II: 671. 162 Invasi Islam di India, dimulai dari Dinasti Gaznawiyah pada tahun 1030 M yang kemudian digantikan oleh dinasti Guridiah pada akhir abad ke dua belas. Setelah itu India, diperintah oleh Kesultanan Delhi yang meliputi Dinasti Aybeg, Khalji, Tugluq, Sayyid, dan Lodi. Sebagai kelanjutan dari Kesultanan Delhi, Imperium Mugl menandai puncak perjuangan panjang untuk membentuk sebuah imperium Islam India yang memusat, puncak dari usaha yang membentuk sebuah Kultur Islam yang didasarkan pada sebuah sintesa antara warisan Persia dan India, dan puncak dari Pergumulan antara Identitas Persia-India, dan Identitas Islam bagi negara dan Masyarakat. Ibid., h. 672-673. 163 Tahir Mahmood, Statute Law Relating to Muslims In India a Studi in Constitutional and Islami Perpectives, (New Delhi: Institiute of Objective Studies New Delhi, 1995), h. 4. 164 Ira M. Lapidurs, Sejarah Sosial, h. 695.
112
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
113
khas dalam peradaban Islam-India. Demikian juga dengan kecenderungan otonomi dan pluralitas keagamaan menjadikannya sebuah varian yang unik dari pola Islam Universal. Dalam posisi seperti ini, Ulama menjadi perhatian dari kekuasaan Negara. Para Sultan mengangkat seorang Kepala Sadr, seorang kepala Qadi (qadi al-qudat). Kepala Sadr mengepalai seluruh aktivitas keagamaan, termasuk pengadilan, pasar, dan dana wakaf. Kepala Qadhi mengelola sistem peradilan, dan sejumlah Qadhi diangkat di tingkat propinsial dan disteric. Sadr propinsial menangani pertahanan lokal dan urusan registrasi sedangkan qadhi menangani perkara perdata dan pidana.165 Pada rentang abad ke tujuh belas, kekuasaan Sadr dibatasi oleh peraturan administratif yang memberikan kepada pejabat-pejabat lain hak menguasai tanah dan oleh pembentukan sebuah administrasi keagamaan yang lebih bersifat desentralisir di beberapa propinsi.166 Kontribusi bidang hukum yang sangat penting dari fase pemerintahan Islam di India ini adalah adanya usaha sistematisasi hukum Islam yang dapat dilihat dari usaha keras pihak kerajaan ke arah kodifikasi, prinsipprinsip dan presiden-presiden dalam hukum Islam. Undang-Undang Hukum Islam pertama yang diterapkan di India adalah Fatawa al-Giyasiyah yang diresmikan pada masa kekuasaan Giyasuddin Balban yang menguasai India dari tahun 1266-1288 M. Undang-Undang ini diganti pada masa kekuasaan Khilji (1290-1321 M) dengan Fatawa alQarakhani yang kemudian digantikan lagi dengan Fatawa at-Tatarkhani pada masa kekuasaan Dinasti Tuglaq (1321-1414). Dinasti Mugal (15261857) pertama kali memberlakukan Undang-Undang dalam bentuk kodifikasi Fatawa al-Babari yang kemudian digantikan dengan Fatawa alHindiya (Kode India) yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Fatawa al-Alamgiri pada akhir abad ke-17 oleh suatu komisi pengawas yang dipimpin oleh ahli hukum kenamaan waktu itu, Syaikh Nizam Burhanpuri.167 Selama masa pemerintahan Muslim menguasai India, semua peraturan di tiap komunitas keagamaan dijalankan, meliputi materi yang 165
Ibid., h. 686. Ibid., h. 704. 167 Thahir Mahmood, Statute Law, h. 9. 166
113
114
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
berhubungan dengan status perseorangan, hukum keluarga, wasiat, hakhak kebendaan yang sesuai dengan hukum adat dan kebiasaan mereka. 168 Hal ini terus berlangsung ketika Inggris menjajah India. b. Masa Penjajahan Inggris telah menjalankan usaha perdagangan di India sejak tahun 1600 M yang diawali oleh sebuah perusahaan East India Company (EIC; Perusahaan India Timur).169 Sejumlah pabrik Inggris didirikan di Surat pada tahun 1612 M, di Madras pada tahun 1690 M. Lambat laun EIC melibatkan diri di dalam sebuah pemerintahan lokal. Setelah memenangkan beberapa pertempuran besar di Plassey (1757 M) dan Baksar (1764 M), pihak Inggris semakin memperkuat psosisi merka di India. Pada tahun 1772 M, Warren Haastings, seorang gubernur Inggirs di Bengal, mengambil alih sejumlah pabrik Inggris di Madras dan Bombay dan membentuk sebuah rezim kesatuan bagi sejumlah pabrik di India. Keberhasilan Hastings menandai awal sebuah imperium British-India.170 Pada masa awal kekuasaannya, pemerintah Inggis menerapkan kebijakan bidang hukum dengan langkah membiarkan penduduk pribumi menjalankan hukum yang ada dan menurut kepercayaan di tengah-tengah masyarakat. Kebijakan politik Kolonial Inggris ini adalah hasil adopsi dari tradiwi warisan pemerintahan Mugal di India yang mengaplikasikan hukum Hindu dan Islam sebagai dua sistem hukum yang fungsional dan saling berdampingan.171 Pada awalnya, EIC hanya menangani masalah perpajakan, sedangkan masalah administrasi peradilan, meliputi hukum perdata dan pidana tetap berdasarkan hukum Islam. Hanya dalam masalah perdata, warga nonMuslim seperti Hindu dan lain-lain tetap menerapkan hukum menurut
168
M. B. Ahmed, Administration of Justice in Medieval India, (Aligarhi; tnp., 1941),
h. 32-33. 169
Abdullahi. A. An-Na‟im (Ed.), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book, (London dan New York: Zed Books Ltd., 2002), h. 204. 170 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial, h. 715. 171 Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, Edisi IV (Delhi: Oxford University Press, 1974), h. 55.
114
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
115
agama dan kepercayaannya.172 Regulasi II pada tahun 1772 pasal 27 berbunyi: Pada masalah warisan, wasiat, perkawinan, kasta, ritual, dan tradisi serta institusi keagamaan, maka hukum Al-Qur'an diterapkan untuk penduduk yang beragama Islam dan hukum Dharmasastra diterapkan untuk penduduk beragama Hindu (Gentoos).173 Peraturan ini berlaku di bagian Timur India, kemudian pada decade berikutnya yaitu tahun 1781 Pengadilan tinggi Inggris memberlakukan Hukum Islam dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu Timur, Barat, dan Selatan India. Pasal 7 Undang-Undang tahun 1781 menyatakan bahwa segala masalah mengenai segala kewarisan tanah, sewa meyewa, perjanjian kontrak antara individu, maka dalam kasus pemeluk agama islam diatur menurut aturan dan tradisi islam, dan dalam kasus pemeluk Gentos (Hindu) diatur menurut hukum dan tradisi Hindu.174 Pada fase selanjutnya, setelah kemenangan pada perang besar di tahun 1857 M, kekuasaan kekusaan Inggris Inggris di India semakin meluas. Beriringan dengan hal tersebut, pemeritah Inggris menerapkan secara penuh suatu sistem perundang-undangan yang berdasarkan sistem yurisprudensi Inggris. Sehingga mendorong pembuatan berbagai perundang-undangan dalam rangkaian yang cepat, dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana India (1860), Undang-Undang Hukum Waris India (1865), UU Pembuktian India (1872), dan UU Mayoritas India (1875). Meskipun UU tersebut bukan berdasarkan material sistem hukum India, hukum ini tetap menggunakan term "India". Namun penamaan ini tidak digunakan dalam beberapa peraturan umum lain yang ditetapkan selama periode itu --(CPCs 1859 – 1908, TPA 1882, Cr.PCs 1861-98).175 Dari sini, semakin terlihat dengan jelas adanya Britishsasi dalam bidang hukum dan aturan peradilan di India.176 Hukum Islam secara gradual 172
Ibid., h. 49 . Tahir Mahmood, Statue Law, h. 73. 174 Ibid., h. 74. 175 Tahir Mahmood, Statute Law, h. 11. 176 Negara lain yang memperlihatkan pengaruh hukum Inggris adalah Malaysia ketika berkuasa di Malaysia, Inggris memperkenalkan dan menerapkan UU Inggris secara berangsur-angsur, yang akhirnya menggantikan UU Islam. Demikian juga dengan kasus di Brunei Darussalam yang meskipun bukan Negara Jajahan, namun sebuah Negara yang 173
115
116
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
digantikan oleh doktrin hukum Inggris atau dengan kata lain hukum Islam berangsur-angsur berubah menjadi Anglo-Mohammedan Law. 177 Begitu juga batasan inerpretasi yudisial hukum Islam dan Hindu, beralih ke tangan pengadilan Anglo-Indian dan tidak lagi di monopoli oleh pemikiranpemikiran yuris Muslim.178 Hal ini dapat terlihat dari kebijakan yang diterapkan pemerintah Inggris, dalam menangani berbagai kasus yang berhubungan dengan hukum keluarga dan masalah keagamaan awalnya pengadilan kolonial Inggris mengangkat pejabat hukum pribumi (native law officer) yang menguasai hukum dalam kasus ini adalah hukum Hindu dan Islam sebagai pendamping di pengadilan yang memberikan pandangan berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam norma hukum Hindu dan Islam. Posisi para ahli hukum ini akhirnya dihapuskan pada taun 1864 M dan digantikan dengan hadirnya terjemahan beberapa literatur hukum terkenal dari hukum Hindu dan Islam ke dalam bahasa Inggris.179 Beberapa literatur hukum Islam yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, dan menjadi acuan dalam lembaga pengadilan Anglo – India dalam Fatawa Alamgiri (mazhab Hanafi) dan Syara'i al-Islam (Madzhab Syi'ah Isna ‘Asyariyah) oleh N.E Baillie ke dalam dua jilid buku Digest of Muhammadan Law, Charles Hamilton menerjemahkan al-Hidayah, Minhaj at-Talibin dari mahab Syafi'I diterjemahkan E.C. Howard, dan F. Ruxton yang menterjemahkan kitab hukum maliki berjudul Mukhtasar Sayyid Khalil. Namun pada perkembangan selanjutnya, literatur hukum Islam yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris terserbut menuai kritikan tajam karena banyak terdapat kesalahan dalam penerjemahannya, khususnya dalam penerjemahan kitab al-Hidayah yang menjadi acuan pokok dalam
berada di bawah naungan Inggris. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Perempuan di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indoneia dan Malaysia, (Jakarta : INIS, 2002), h. 67 dan 89. 177 David Pearl dan Werner Menski, Muslim Family Law, Edisi III (London: Sweet & Maxwell, 1998), h. 33. 178 Saleem Akhtar, Shah Bano Judgement in Islami Perpetive (New Delhi: Kitab Bhavan, 1994), h. 12. Lihat juga Asaf A.A. Fyzee, Outlines, h. 57. 179 Abdullahi A. An-Na‟im (Ed.), Islamic Family Law, h. 220.
116
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
117
peradilan British-India dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan hukum Islam.180 Dalam posisi tidak adanya sumber legislasi yang spesifik, pemerintah Inggris memberkan otoritas pada Privy Council di London dan pengadilan Tinggi Agama sebagai interpretor tertinggi hukum Islam bagi peduduk Muslim di India untuk membentuk sebuah kompilasi yang bersifat mengikat. Kompilasi pertama adalah Principles and Precedents of Muhammadan Law (Calcutta 1825 M) oleh W.H. MacNaughten. Berikutnya adalah Muhammadan Law (Calcutta 1873 – 1875 M) oleh S.C. Sircar, Principles of Muhamadan Law (Bombay 1906) oleh Dinsaw Faridunji Mulla, dan terakhir Anglo-Muhammadan Law (London 1930) oleh Ronald Wilson.181 Dari tahun 1872-1887, beberapa peraturan khusus diberlakukan di Punjab, Madras, Bengal, Assam, Agra, dan Oudh yang berkaitan dengan sistem hukum dan Yudisial yang harus diikuti. Ketetapan yang diberlakukan tersebut menggambarkan cakupan wilayah yudisial hukum islam yang meliputi masalah waris, wasiat, pertunangan, perkawinan, perceraian, mahar, adopsi, perwalian, hubungan keluaga, harta pusaka, hibah wakaf, dan berbagai urusan yang bersifat keagamaan. Hal ini juga berlaku di Bombay dan Ajmer melalui Regulasi ada tahun 1827-1877, Jammu-Kasmir dengan Sri Pratap Laws Act 1920, Hyderabad, Baroda, Muli dan daerahdaerah lainnya.182 Di beberapa wilayah yang dikuasai oleh Portugis seperti Goa, Daman, dan Diu hingga tahun 1862, hukum yang diberlakukan adalah UndangUndang Portugis termasuk hukum keluarga, waris, dan wakaf. Namun kemudian terjadi perubahan kebijakan yang sangat signifikan dalam
180
Al-Maududi mengkritik tajam beberapa buku terjemahan seperti Hamilton yang dianggapnya tidak mengerti bahasa Arab. Ia menambahkan bahwa Hailton menerjemahkan kitab Al-Hidayah dengan bantuan buku Parsi karena tidak mengerti isi buku Al-Hidayah sehingga mengakibatkan banyak kesalahan fatal dalam menerjemahkan istilah-istilah Hukum Islam. Begitu juga dengan karya Baillie Digest of Muhammad Law yang terdiri dari bagia-bagian terjemahan Fatawa al-Alamgiri. Lihat Abul A‟la Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, alih bahasa Achmad Rais, cet. Ke-7 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 65. 181 Tahir Mahmood. Statue Law, h. 13-14. 182 Ibid., h. 74-78.
117
118
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
perjalanan hukum Islam yaitu dengan diterbitkannya Undang-Undang Sipil Portugis Tahun 1867 yang diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1870. Undang-Undang ini memerikan keleluasaan bagi masyarakat muslim di Goa, Daman, dan Diu untuk menjalankan aturan dan hukum agama selama tidak bertentangan dengan peraturan, moral, dan tradisi masyarakat yang berkembang. Aturan-aturan ini menyangkut masalah perkawinan, perceraian, adopsi, waris, dan wakaf.183 Bagi daerah-daerah yang dikuasai Perancis, Undang-Undang Sipil Perancis memberikan wewenang penuh kepada komunitas Muslim dan Hindu untuk menjalankan aturan agam masing-masing. Dalam masalah yang berkaitan dengan hukum keluarga, warisan, wakaf, dan institusiinstitusi religius, pemerintah Perancis memposisikan hukum "adat" setara dengan Undang-Undang Sipil Perancis.184 Dari sini dapat dilihat bahwa wilayah-wilayah di luar kekuasaan Inggris, yaitu daerah Goa, Daman, dan Diu yang dikuasai Portugis dan daerah yang dikuasai Perancis, memberikan otonomi di bidang hukum untuk mengaplikasikan tradisi keagamaan yang dominan di sebuah wilayah, seperti umat Islam menjalankan hukum berdasarkan aturan-aturan agama Islam. Pada saat Muslim India bersikap defensif dan memiliki sensitifitas yang tinggi untuk melindungi hukum personal mereka, maka ditetapkanlah Muslim Personal Law (Shari'at) Application Act 1937 yang men-cover segala permasalahan hukum keluarga Muslim India.185 Di bawah konstitusional India, seluruh sekte dalam Islam186 tercakup dalam pengertian muslim sehingga Undang-Undang ini berlaku untuk semua aliran. Tidak ada 183
Ibid., h. 76. Ibid., h. 77. 185 Tahir Mahmood. Family Law Reform in The Muslim World, (New Delhi: The New India Press, 1972), h. 168. Bandingkan dengan Saleem Akhtar, Shah Bano Judgement, h. 12. 186 Sebagai besar Muslim India adalah Sunni, dan kebanyakan bermazhab Hanafi, dan sebagian bermazhab syafi‟i khususnya di bagian selatan India (yang merefleksikan hubungan dagang samudera dengan Timur Tengah). Sekitar sepuluh persen adalah Syi‟ah umumnya adalah Imamiyyah Isna 'Asyariyah (Ja‟fari). Komunitas Syiah yang tidak besar tetapi penting yakni Ismai‟liyyah. Jadi di India menurut Tahir Mahmood tidak terdapat mazhab Maliki, Hanbali, maupun Zaidi. Baca Tahir Mahmood, Statute Law, h, 40 dan Family Law Reform, h, 170-171. 184
118
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
119
diskriminasi di antara Hukum Hanafi, Syafi'i, dan hukum Syi'ah semuanya tercakup dalam konteks Undang-Undang Muslim India. Shari'ah Act 1937 yang diberlakukan pada tanggal 7 Oktober 1937 berlaku untuk semua wilayah India dan befungsi sebagai penghapus segala ketentuan hukum yang berlandaskan hukum adat yang tidak sesuai dengan hukum Islam dalam berbagai kasus yang dihadapi oleh kaum muslim di India.187 Sehingga dengan pemberlakuannya, secara otomatis menghapus berbagai perundangan lokal yang menetapkan hukum adat sebagai sebuah landasan hukum walaupun bertentangan dengan hukum syari'at yang berlaku sebelumnya yaitu pasal 26 Bombay Regulation IV tahun 1827, pasal 16 Madras Civil Courts Act 1873, pasal 3 Oudh Laws act 1876, Pasal 5 punjab Laws Act 1872, Pasal 5 Central Provinces Laws Act 1875, dan pasal 4 Ajmer Laws Regulation 1877.188 Usaha pembaharuan berkaitan dengan masalah hukum keluarga pada tahun 1937 ini merupakan buah perjuangan kelompok Islam di India yang berjuang untuk merestorasi hukum Islam dari berbagai pengaruh administrasi yudisial Inggris yang memberlakukan budaya dan adat yang berasal dari tradisi non-muslim. Gerakan ini dipelopori oleh Tahrik an-Nifaz asy-Syari'ah di tingkat propinsial. Kemudian dilanjutkan oleh Jami'at alUlama' al-Hind yang didirikan pada tahun 1919 yang bersifat nasional. Organisasi Wanita Muslim di India juga mendukung gerakan restorasi hukum Islam ini. Apalagi setelah hukum Islam memberikan mereka status hukum yang lebih baik dan hak properti perempuan dalam peradilan.189 Peran organisasi Perempuan India ini juga sangat besar atas lahirnya dissolution of Muslim Marriages Act 1939 yang mulai berlaku pada tanggal 17 Maret 1939. Pengaruh dari gerakan Perempuan India terlihat dari materi yang ada dalam Dissolution of Muslim Marriages Act 1939 yaitu khusus menyoroti tentang institusi perceraian yang mengadopsi prinsip-prinsip hukum Maliki yang lebih demokratis dalam masalah perceraian.190 Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengembalikan hak faskh perempuan muslim 187
Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, h. 58. Pasal 6 Muslim Personal Law (Shari‟at) Application Act 1937. 189 Tahir Mahmood, Statue Law, h. 80. 190 Abdullahi A. An-Na‟im (Ed.), Islamic Family Law, h. 223. 188
119
120
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
yang sebelumnya hilang bersamaan dengan dihapusnya institusi qadhi atau mufti dalam sistem yudisial Negara pada tahun 1864.191 Menurut ketentuan Undang-Undang tersebut, ada sembilan alasan yang dapat dipergunakan perempuan muslim untuk mengajukan perceraian di depan pengadilan yaitu jika suami tidak diketahui keberadaannya (mafqud al-khabar) selama 4 tahun, lalai dalam memberikan nafkah selama 2 tahun, di penjara selama tujuh tahun lebih, lalai melaksanakan kewajiban rumah tangga selama tiga tahun, impoten pada saat perkawinan dan terus berlanjut, gila selama dua tahun atau sakit keras yang membahayakan isteri, khiyar al-bulug, melakukan tindakan kekerasan baik dalam bentuk fisik maupun psikis, dan sebab-sebab lain yang dapat diakui sebagai alasan yang valid untuk memutuskan tali perkawinan menurut hukum Islam.192 Undang-Undang sentral mengenai perceraian tahun 1939 ini diikuti oleh beberapa legislasi lokal yaitu: 1) Jammu and Kashmir Dissolution of Muslim Marriages Act 1942. Undang-Undang yang hanya berlaku di Jammu dan Kasmir ini dapat juga diterapkan pada perempuan nonMuslim yang berada di bawah kekuasaan hukum Islam seperti perempuan ahl al-kitab yang menjadi isteri seorang muslim. Di samping itu dalam alasan kebolehan mengajukan perceraian khususnya mengenai kelalaian menunaikan nafkah oleh suami hanya dapat dijadikan alasan perceraian khususnya mengenai kelalaian menunaikan nafkah oleh suami hanya dapat dijadikan alasan perceraian jika kelalaian itu disengaja. Begitu juga jangka waktu penyakit gila suami lebih lama lagi yaitu empat tahun (dalam undang-undang sentral 1939 hanya dua tahun) dan khiyar al-bulug tidak ditentukan bahwa perempuan yang dinikahkan oleh ayahnya atau wali yang berkompeten sebelum mencapai 15 tahun dan tidak
191
Tahir Mahmood, Statue Law, h. 144-145. Abdullahi A. An-Na‟im (Ed.), Islamic Family Law, h, 223. Lihat Pasal 2 Dissolution of Muslim Marriages Act 1939. 192
120
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
121
menerima perkawinan sebelum mencapai umur 18 tahun, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah). 2) Mysore Dissolution of Muslim Marriages Act 1943. 3) Saurastra Dissolution of Muslim Marriages Act 1952. Lahirnya berbagai Undang-Undang yang bersifat sentral maupun lokal tersebut memperlihatkan eksistensi hukum Islam sebagai hukum pribumi yang berlaku di tengah-tengah masyarakat India pada masa penjajahan meskipun batasan yudisialnya semakin menyempit hanya berkutat pada wilayah hukum personal. Hal positif yang dapat dilihat adalah kebijakan pemerintah kolonial yang tidak ikut campur tangan dalam masalah agama dan praktek religious dari Hindu, Islam, Budha, Jain, Sikh, Jew, dan Parsi di India, khususnya dalam bidang personal, meskipun dalam bidang lainnya pengaruh system hukum Inggris sangat dominan. Pada perkembangan selanjutnya, sikap non-intervensi terhadap hukum personal Muslim terus dijalankan dan menjadi spirit bagi legislasi pada saat India merdeka. c. Masa Kemerdekaan India memperoleh kemerdekaannya dari Inggris tahun 1947 dan berdiri atas dasar konstitusi yang disetujui oleh Parlemen pada tahun 1950.193 Preambul konstitusi menetapkan India sebagai sebuah republik “sekuler”. Konteks sekuler yang dimaksud bahwa India tidak menetapkan sebuah agama resmi. Jadi, semua agama berlaku dan mempunyai hak yang sama di India.194 Secara hukum, pemerintah tidak dapat mendiskriminasikan pemeluk agama yang minoritas. Sehingga komunitas agama di India menjalankan aturan-aturan hukum menurut agamanya masing-masing. Aturan-aturan hukum tersebut meliputi status perseorangan, hukum keluarga, hukum waris, dan hukum kebendaan. Hingga sekarang, hanya umat Islam saja 193
Sampai dasawarsa 1980-an, di India masih terjadi berbagai tuntutan otonomi yang lebih luas bagi beberapa bagian dan bahkan ada yang menginginkan menjadi Negara merdeka terpisah dari India. LIhat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), II: 210. 194 Keterangan lebih lanjut tentang Negara sekuler India, lihat Syed Ameenul Hasan Ali Rizfi, “Muslim Problems-Constitutional Perspective” dalam Iqbal A.Ansari (Ed.), The Muslim Situation in India, (New Delhi: Institute of Objective Studies, 1989), h. 147.
121
122
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
yang mempunyai hukum personal yang terpisah.195 Adapun penganut Budha, Jain, Sikh mengikuti hukum personal Hindu yaitu Hindu-Law Enactments 1955 atau yang lebih terkenal sebagai Hindu Code, sebab ketiga penganut agama tersebut tidak memiliki hukum personal dalam kitab suci mereka. Sedangkan penganut Kristen dan Parsi, hukum personal mereka telah dikodifikasikan selama pemerintah Inggris menjajah India.196 Semenjak kemerdekaan India, banyak dilakukan pengundangan oleh pemerintah India dalam ruang lingkup hukum personal muslim baik dalam ruang lingkup sentral maupun local. Beberapa perundangan yang signifikan pada masa kemerdekaan adalah beberapa amandemen terhadap Muslim Personal Law (Shari’at) Application Act 1937 yang bersifat lokal. Amandemen ini terjadi antara tahun 1949-1963 di Wilayah India Selatan, yaitu Madras, Tamilnadu, Andhra Pradesh, dan Kerala. Di Madras, pada tahun 1949 diundangkan Muslim Personal Law (Shariat) Application (Madras Amandement) Act 1949 yang mulai berlaku pada tanggal 12 Juli 1949. Pada tahun 1960, di Tamilnadu Undang-Undang lokal Tamilnadu Amandement Act 1960 diaplikasikan dan mulai efektif sejak tanggal 1 Februari 1961. Sedangkan di Andhra Pradesh, pemberlakuan Andhra Pradesh Amandement Act 1949 merupakan adopsi dari Madras Act 1949.197 Pada tahun 1963, badan legislative (Rajya Sabha) Negara bagian Kerala mengundangkan Kerala Amandement Act 1963 yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Desember 1963.198 Aspek-Aspek yang menjadi subyek amandemen berkaitan dengan bidang agrikultural, sadaqah dan institusinya, serta wakaf. Aspek-aspek ini belum tercakup dalam pasal 2 Undang-Undang sentral Shariah Application
195
Ada alasan historis mengenai hal ini. Kongres Nasional India pada tahun 1931 saat meletusnya perang kemerdekaan memberikan jaminan kepada kaum muslim bahwa badan ini tidak akan mencampuri hukum personal muslim. Umat islam diberikan kebebasan menjalankan agama yang dianut menurut pemahaman mereka. Lihat Saleem Akhtar, Shah Bano, Hlm.11-12. Bandingkan dengan Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkah Assegaf, Cet.ke-2 (Yogyakarta: LSPPA, 2000), h, 254. 196 Tahir Mahmood. Statute Law, h, 15-16. 197 Ibid., h. 99. 198 Ibid., h. 99-100.
122
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
123
Act 1937. Pengaruh kuat dari perubahan ini menjadi catatan tersendiri dalam putusan Pengadilan Tinggi di India. Berkaitan dengan masalah registrasi perkawinan dan perceraian, ada beberapa Undang-Undang lokal yang dikeluarkan badan legislatif Negara bagian. Di antara Undang-Undang tersebut yang paling lengkap adalah Orissa Muhammadan Marriages and Divorces Registration Act 1949 yang berlaku di seluruh negara bagian Orissa. Undang-Undang kedua adalah Assam Act 1935 yang merupakan adopsi dari Muhammadan Marriages and Divorces Act 1876 yang masih berlaku sampai sekarang di negara bagaian Bihar dan Bengal Barat.199 Assam Act 1935 ini kemudian pada tahun 1935 diamandemenkan oleh Undang-Undang lokal 1953. Undang-Undang Assam yang diamandemenkan tahun 1953 kemudian diadopsi oleh negara bagian Meghalaya dengan mengeluarkan Meghalaya Act 1974.200 Perbedaan antara Undang-Undang tersebut adalah tidak seperti Orissa Act 1949, dalam Undang-Undang Bengal Barat Bihar dan Assam Meghalaya tidak ada ketentuan referensi spesifik dan buku yang terpisah yang menjelaskan registrasi dalam kasus talaq tafwid. Begitu juga pasal 10 pada Undang-Undang Bengal-Bihar dan Orissa yang membahas tentang pembayaran sekian persen untuk panitera tidak ditemui dalam undangundang Assam-Meghalaya.201 Di samping UU yang memberlakukan mengenai registrasi perkawinan dan perceraian di tingkat lokal dengan berdasarkan hukum personal muslim, pemerintah India juga mengundangkan Special Marriages Act 1954 yaitu hukum perdata yang bersifat pilihan (opsional). Sehingga penduduk India diberikan hak untuk memilih dalam mencatatkan perkawinan mereka. Pencatatan perkawinan dan perceraian dianggap sebagai masalah pribadi antara pasangan suami isteri. Apakah mereka menggunakan hukum personal agama mereka atau berdasarkan Special Marriage Act 1954 yang
199
Abdullahi A. An-Na‟im (Ed.), Islamic Family Law, h. 222. Perubahan yang ada hanya pada pasal 1 yang berkaitan dengan judul undangundang tersebut menjadi Meghalaya Muslim and Marriages and Divorces Registration Act 1974. Tahir Mahmood, Statue Law, h. 121. 201 Ibid. 200
123
124
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
menjadikan bentuk perkawinan mereka sebagai perkawinan sipil.202 Jika seseorang mencatatkan perkawinannya di bawah Undang-Undang perkawinan khusus, dia tidak diatur oleh hukum personalnya tetapi oleh undang-undang peralihan India dan hukum-hukum nasional lainnya. Secara praktis, Undang-Undang ini adalah hukum bersama yang bersifat pilihan. Orang-orang yang menjadi penganut berbagai agama Hindu, Islam, Kristen, Parsi, Jain, dan sebagainya mencatatkan perkawinan mereka di bawah Undang-Undang ini dan mengambil manfaat dari hukum-hukum bersama negeri ini. Dalam kasus perkawinan antar kasta dan antar agama, orang lebih sering mengambil jalan mendaftarkannya di bawah Special Marriage Act 1954 sehingga tidak ada komplikasi hukum yang bisa muncul kemudian, jika suami danj isteri mengikuti hukum personal yang berbeda. Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa muslim minoritas di India menikmati pengakuan pemerintah non-muslim terhadap hukum personal mereka. Namum demikian, sistem perundangan di India menyisakan inkonsistensi dan kekurangan berkaitan dengan administrasi hukum personal keagamaan yang seringkali di salah gunakan. Seperti pada kasus perkawinan muslim yang tidak di syaratkan untuk didaftarkan sebagai perkawinan sipil maka membuka hak suami untuk menceraikan isterinya secara sepihakdi negara bagian lainnya. Selanjutnya, larangan poligami menurut hukum sipil tidak diberlakukan pada kasus perkawinan yang tidak didaftarkan menurut Special Marriage Act 1954, sementara menurut hukum Islam poligami dibenarkan.203 Kasus lain yang menampilkan inkonsistensi antara hukum islam dan hukum perdata India adalah larangan perkawinan di bawah umur. Umur minimum yang ditetapkan hukum perdata India adalah 18 tahun bagi perempuan dan 21 tahun bagi lakilaki.204 Sedangkan menurut hukum islam, perkawinan di bawah umur diperbolehkan dan bersamaan dengan itu institusi perwalian terus diberlakukan. Lebih lanjut, hukum islam memberikan hak pada isteri di 202
John L. Esposito, Women in Muslim Family Law, edisi ke-2 (New York: Syracuse University Perss, 2001), h. 111. 203 Meskipun poligami dianggap sah menurut hukum, namun hak ini diiringi dengan hak isteri untuk mengajukan perceraian dengan alasan poligami. Pasal 2 ayat 8 (f) Dissolution of muslim Mariages Act 1939. 204 Pasal 2 (a) Child Marriage Restrain Act 1978.
124
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
125
bawah umur untuk menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak pernah ada (khiyar al-bulug).205 Perdebatan lebih lanjut berkaitan dengan hukum personal muslim terfokus pada isu sentral tentang pertimbangan hukum apa yang lebih diprioritaskan, apakah menurut aturan agama atau hukum perdata nasional.206 Pada sub bab berikut akan dibahas mengenai perdebatan tentang eksistensi hukum personal muslim khususnya dalam kasus kewajiban finansial seoranag suami terhadap mantan isterinya ketika terjadi perceraian. Hal ini terjadi pada tahun 1986 dengan berlangsungnya agitasi kasus Shah Bano yang menyebabkan konfrontasi komunal nyaris pecah. 2.
Kondisi Sosial-Politik yang Melatari Lahirnya Undang-Undang Hak Perempuan Muslim Pasca Perceraian. Keputusan Mahkamah Agung India (Supreme Court) yang menjamin nafkah bagi perempuan muslim setelah terjadinya perceraian melampaui periode ‘iddah telah menarik perhatian secara luas berbagai kalangan di India. Keputusan Mahkamah Agung tersebut berkaitan dengan kasus Shah Bano yang diceraikan suaminya Muhammed Ahmad Khan seorang advokat di Indore. Mereka kawin pada tahun 1932 dan hidup berumah tangga lebih dari 40 tahun dengan tiga orang anak laki-laki dan dua anak perempuan dari perkawinan tersebut.207 Namun pada tahun 1975, Ahmad Khan mengusirnya dari rumah dan dua tahun kemudian, ia juga menghentikan nafkah sebesar Rs. 200 per bulan.208 Enam bulan setelah tuntutan tersebut, Ahmad Khan pada tanggal 6 November 1978 menceraikan isterinya dengan
205
John L. Esposito, Women, h. 112. Ibid., h. 112-113. 207 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, ahli bahasa Agus Nur Yanto, cet. Ke-1, (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 53. Ketiga anak laki-lakinya adalah Hamid Ahmad Khan, Saeed Ahmad Khan, dan Jamil Ahmad Khan. Ahmad Khan memiliki isteri lain yaitu Halima Begum. Dari Halima ia mempunyai satu anak laki-laki dan enam anak perempuan. Shah Bano dan Halima Begum adalah saudara sepupu sendiri dari Ahmad Khan. Lihat Saleem Akhtar, Shah Bano, h. 243. 208 Amrita Chhachhi, “Forced Identities: The State, Communalism, Fundamentalism, and Women in India,” dalam Deniz Kandiyoti (Ed.), Women Islam in The State, (London: Macmillan Press Ltd., 1991), h. 146. 206
125
126
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
talak Ba’in dengan membayar sejumlah Rs. 3000 termasuk didalamnya mahar dan nafkah selama masa iddah. Pada bulan agustus 1979 setelah mendengar kesaksian dari kedua belah pihak, pengadilan mengabulkan tuntutan nafkah Shah Bano. Namun jumlah nafkah yang ditetapkan sama sekali tidak rasional yaitu sebesar Rs. 25 per bulan. Tidak puas dengan keputusan pengadilan tingkat satu di Indore, Shah Bano mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi Madya Pradesh, sebab menurutnya penghasilan mantan suaminya kurang lebih Rs. 60.000. Pengadilan Tinggi mengabulkan tuntutan Shah Bano dan merevisi jumlah nafkah yang harus diberikan diluar masa ‘iddah sebesar Rp. 179, 20 per bulan. Ahmad Khan kemudian mengajukan banding melawan revisi ini kepada Mahkamah Agung (Supreme Court)209. Mahkaman Agung menolak pendapat Ahmad Khan bahwa mantan isterinya hanya berhak atas mahar dan nafkah selama periode ‘iddah setelah diceraikan. Menurut lima hakim210 Konstitusi Bench dari Mahkamah Agung setelah berdebat tentang kasus ini dengan berbagai pihak memutuskan menerima gugatan isteri dan menetapkan hak nafkah perempuan yang diceraikan lebih dari periode ‘iddah dengan beberapa pertimbangan, yaitu: a. Perempuan yang diceraikan berhak menuntut hak nafklah kepada mantan suaminya berdasarkan pasal 125 Cr.PC 1973 (Criminal Procedure Code 1973).211 b. Mahar adalah jumlah yang menjadi hak isteri yang diterima dari suaminya karena alasan perkawinan maka pembayaran mahar tidak menggugurkan kewajiban pembayaran nafkah setelah terjadinya
209
Saleem Akhtar, Shah Bano, h. 244. Kelima hakim tersebut adalah Ketua Pengadilan YV Chandrachud, C.J.D.A. Desai, O. Chinnappa Reddy, E.S. Venkataramiah, Ranganath Misra JJ. Ibid., h. 245. 211 Pasal 125 Cr.PC menetapkan bahwa perempuan yang diceraikan berhak untuk menuntut nafkah dari mantan suaminya hingga ia menikah kembali atau meninggal. Lihat M. Afzal Wani, The Islamic Law On Maintenance of Women, Children, Parents and Other Relatives, (Kashmir: Upright Study Home, 1995), h. 140-141. 210
126
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
127
perceraian dan penggunaan argumen pasal 127 ayat 3 (b)212 tidak berlaku. c. Jika ada konflik hukum antara pasal 125 Cr.Pc dan Hukum Personal Muslim, maka pasal 125 yang harus dijadikan pedoman. d. Pemerintah harus mengimplementasikan pasal 44 Konstitusi India tahun 1949.213 Disamping itu, Mahkamah Agung juga menegaskan bahwa tidak ada konflik sama sekali antara ketetapan pada pasal 125 dan Hukum Personal Muslim berkaitan denan kewajiban suami muslim untuk memberikan nafkah bagi isterinya yang diceraikan yang tidak dapat menafkahi dirinya sendiri.214 Mahkamah Agung mendasarkan diri atas terjemahan ‘Allamah Yusuf’ Ali atas ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2): 241 yang bersembunyi: “Bagi perempuan yang dicerai harus diberikan nafkah menurut kadar yang masuk akal. Ini adalah tugas bagi mereka yang bertaqwa.”215 Keputusan tersebut menimbulkan reaksi besar dan kontroversi yang didukung dan ditentang oleh berbagai kalangan di India.216 Persoalannya tidak hanya mengenai persoalan nafkah yang diputuskan oleh Mahkamah Agung dengan berdasarkan Cr.PC 1973 lagi namun merambat ke isu sentral tentang pemberlakuan hukum perdata secara menyeluruh di India. Pihak yang mendukung putusan Mahkamah Agung India dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan tujuan yang ingin dicapainya. Pertama, kalangan sekularis yang argumennya didasarkan atas keyakinan sekuler murni, tidak mengandung bias non-muslim. Menurut kalangan ini, di India perlu adanya pemberlakuan hukum perdata secara nasional. Argumentasi yang diajukan bahwa sebuah negara sekuler tidak boleh mempunyai hukum keagamaanyang berbeda-beda untuk berbagai 212
Pasal 127 ayat 3 (b)menyatakan bahwa perempuan yang diceraikan tidak berhak menuntut nafkah jika ia telah menerima sejumlah uang dari mantan suaminya, apakah sebelum atau sesuadah tanggal ditetapkannya perceraian pengadilan. Ibid., h. 268. 213 Pasal ini memberikan arahan bahwa berusaha melindungi semua warga negara India dengan sebuah hukum perdata yang seragam. Asghar Ali Engineer, Hak, h. 261. 214 M. Afzal Wani, Maintenance Rights of Muslim Women Principles, Precedents and Trends, (New Delhi: Genuine Publications, 1994), h. 75. 215 Ibid. 216 Amrita Chhachhi, “Forced, h. 146.
127
128
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
kelompok keagamaan, ini akan membawa diskriminasi atas dasar agama dan hal itu tidak sejalan dengan konstitusi. Dikemukakan pula bahwa di bawah sebuah konstitusi sekuler, semua warga negara harus mempunyai status yang sama di depan hukum. Jika hukum persoalan dipraktekkan, maka tidak hanya akan terjadi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dari masyarakat yang sama tetapi juga ketidaksetaraan antara perempuan dari satu komunitas keagamaan tertentu dengan perempuan dari komunitas agama lain. Dengan diberlakukannya keseragaman hukum perdata, maka akan membawa keseragaman dan juga kesamaan status hukum di Indian.217 Kelompok kedua adalah kelompok feminis dan yang memerangi ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang lemah atas dominasi laki-laki. Organisasi militan dan kelompok yang mempunyai keinginan murni akan perubahan dan pembaharuan hukum Islam sesuai dengan kondisi zaman modern termasuk dalam kelompok ini.218 Argumen yang dilontarkan bahwa hukum personal muslim cenderung bersifat opresif terhadap perempuan. Padahal secara keseluruhan hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan cenderung sangat progresif dan memanusiakan perempuan. Al-Qur’an telah mengajarkan suami agar bersikap baik kepada isteri yang diceraikan, tidak menyakiti perasaannya serta menyediakan mata’ah (perbekalan) yang diberikan untuk menopang kehidupan ekonomisnya. Sehingga keputusan Mahkamah Agung walaupun tidak sejalan dengan tradisi fiqh klasik namun selaras dengan semangat yang diajarkan oleh AlQur’an. Argumen ini dibuat dengan concern yang murni atas keadaan perempuan yang menyedihkan dan upaya pembaharuan dalam hukum personal muslim di India. Kelompok ketiga yang mendukung putusan Mahkamah Agung India adalah kalangan Hindu Komunalis yang sangat vokal dalam menuntut diberlakukannya suatu hukum perdata nasional. Menurut mereka umat Islam mendapat keistimewaan (privilege) tertentu dalam pemberlakuan hukum personal, seperti mempunyai isteri lebih dari satu dan bisa menceraikan mereka, sementara umat Hindu, Kristen, dan Parsi dipaksa 217 218
Asghar Ali Engineer, Hak, h. 256. Asghar Ali Engineer, Pembahasan Perempuan, h. 55.
128
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
129
untuk melakukan monogami dan tidak dapat menceraikan isterinya secara sepihak. Kelompok ini melakukan propaganda bahwa populasi umat Islam telah bertambah dengan cepat karena laki-laki muslim diperbolehkan beristeri sampai empat orang.219 Lebih lanjut kelompok ini berargumen jika perubahan-perubahan dilakukan dalam hukum personal Hindu, mengapa hal tersebut juga dilakukan dalam hukum personal Islam? Dengan kata lain, motif mereka lebih bersifat komunal dari pada sekuler ataupun perasaan murni terhadap penderitaan perempuan. Sikap kalangan ini memperkuat sikap muslim yang menentang intervensi hukum terhadap hukum pesonal muslim. Pihak yang menentang putusan Mahkamah Agung tentang kasus Shah Bano yang bergeser kepada masalah pemberlakuan hukum perdata nasional juga terbagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kalangan fundamental dan komunalis. Menurut kelompok ini syari’at (terutama mazhab fiqh Hanafi yang diikuti oleh mayoritas muslim Sunni di India) secara total adalah suci dan oleh karenanya tidak dapat berubah.220 Kalangan ini sama sekali tidak membolehkan reinterpretasi sedikit pun hukum Islam meskipun pembaruan atau perubahan tersebut mengandung kebaikan. Kalangan fundamentalis melebihkan problem emosional ini sehingga eksploitasi politik gampang terjadi. Islam sering dipergunakan sebagai senjata politik sehingga agama berubah menjadi entitas politik dari pada entitas spiritual. Sikap kaku kelompok ini seringkali menyebabkan munculnya ketegangan komunal antara umat islam dan umat Hindu di India. Kelompok kedua terdiri umat Islam yang bukan komunalis ataupun fundamentalis, termasuk di dalamnya para intelegensia. Sikap penolakan
219
Pada masa Ekatamata Yagna yang diorganisir oleh Vishwa Hindu Parishad, banyak pemflet disebarkan yang melukiskan seorang laki-laki muslim dengan empat isteri dan dengan slogan:”kami berlima, kepunyaan kami menjadi dua puluh lima.” Propaganda ini menciptakan keprihatinan kuat dala pikiran umat Hindu akan adanya pelipatgandaan penduduk Islam secara cepat dan kemungkinan menjadi Pakistan yang lain. Di samping isu poligami, isu lain yang diangkat adalah talaq yang memberi kewenangan bagi suami untuk menceraikan isterinya apabila suami menginginkannya dan dapat dilakukan di luar pengadilan. Sementara Hindu, Kristen, dan Parsi tidak dapat melakukan hal tersebut. Ibid., hlm. 57. Bandingkan dengan Amrita Chhachhi, “Forced, h. 148-149. 220 Ibid., h. 56.
129
130
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
terhadap keputusan Mahkamah Agung dan lebih jauh lagi tentang pemberlakuan hukum perdata nasional lebih menyangkut pada personal identitas dan perlindungan. Menurut Dr. Ambedkar, sebagaimana yang dikutip oleh Asghar Ali, selama terjadi perdebatan di Dewan Konstituante berkaitan dengan pasal 44 Konstitusi India menyatakan bahwa bagian yang tak terlengkapi oleh hukum perdata seragam hanyalah masalah yang menyangkut hukum personal.221 Sehingga hukum-hukum personal adalah satu-satunya identitas yang tertinggal dan karena itu tidak boleh diganggu gugat. Di samping itu, sikap defensif untuk memelihara hukum Islam secara personal merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga identitas muslim minoritas sebagai akibat dari adanya ketegangan komunal antara Hindu dan Muslim di India yang bermula dari dendam politik namun telah digeser ke antagonisme agama. 222 Kelompok ketiga adalah umat non-muslim yang sensitif terhadap masalah identitas kelompok-kelompok minoritas. Kelompok ini menyatakan bahwa hukum perdata tidak dapat diberlakukan dengan terburu-buru. Persoalan harus dilihat dari kondisi-kondisi konkret yang ada di India dan tidak hanya berpikir tentang cita-cita sekuler.223 Sebuah hukum perdata nasional jika diberlakukan dari atas berpotensi menimbulkan konflik komunal dan gangguan terhadap integrasi negara. Agar dapat diterima, perubahan harus berlangsung melalui cara demokratik dan komunitas yang bersangkutan harus terlebih dahulu diyakinkan.
221
Di India telah ada hukum perdata yang seragam yang mencakup hampir semua hubungan legal begitu juga yang menyangkut perundingan lainnya yang dapat diterapkan di seluruh negara, Asghar Ali Engineer, Hak, h. 261-262. 222 Bertambahnya komunialisasi masyarakat dan politik di India, telah menciptakan resistensi terhadap perubahan apapun karena perubahan yang progres menciptakan ketakutan akan kehilangan identitas keislaman mereka. Beberapa penelitian di Institute of Islamic Studies Mumbai, di Mumbai, Delhi, dan Benaras juga menunjukkan arah yang sama. Sejumlah perempuan terdidik ditanya tentang keinginanperubahan dalam Hukum Pesonal Muslim. Meskipun mereka setju bahwa perubahan semacam itu diperlukan tetapi kebanyakan mereka berpendapat bahwa itu akan melibatkan pertanyaan tentang identitas mereka. Pertanyaan tentang identitas menjadi sangat penting dalam suatu masyarakat komunal yang eksistensi minoritas tertentu terancam. Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 297. 223 Asghar Ali Engineer, Hak, h. 262.
130
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
131
Dari kontroversi putusan Mahkamah Agung berkaitan dengan kasus Shah Bano tesebut, mayoritas penduduk Muslim India berada pada kelompok yang menentangnya sebab dianggap mencampuri hukum personal muslim. Ratusan ribu muslim India turun ke jalan menentang keputusan Mahkamah Agung. Tekanan agitasi tersebut begitu intens sehingga berhasil memaksa pemerintahan Rajiv Ghandi untuk membatalakan keputusan kasus Shah bano tersebut dan memberlakukan hukum tersendiri bagi perempuan muslim dalam hal nafkah. Pemberlakuan tersebut dikenal dengan Muslim Women (protection of Right on Divorce) Act 1986 (Undang-undang Perlindungan Hak-hak dalam Perceraian bagi Perempuan Muslim 1986).224 3. Hak Nafkah Pasca Perceraian dalam Perundang-undangan India Sebelum pemberlakuan Muslim Women (Protection of Right on Divorce) Act 1986, ketetapan hak nafkah isteri diatur oleh Criminal Procedure Code (Cr.PC) yang berlaku untuk semua warga negara India.225 Cr.PC 1898 memberikan hak nafkah pada isteri yang diceraikan hanya selama periode ‘iddah. Undang-Undang ini sebenarnya tidak memuat aturan secara eksplisit tentang nafkah isteri pasca perceraian. Sebab term “isteri” dalam Bab XXXVI Cr.PC 1898 pasal 488 ayat 1 hanya berlaku ketika perkawinan berlangsung. Pasal 488 (1) berbunyi: Jika seseorang lalai atau menolak untuk menafkahi isterinya atau anaknya yang sah atau tidak sah yang tidak dapat menafkahi dirinya sendiri, hakim pada pengadilan Disterik, 224
M. Afzal Wani, The Islamic Law, h. 151. Sejak tahun 1874 pemerintah India memerintahkan Komisi Hukum untuk mempersiapkan draf UU Pidana India. Pada tahun 1861 draf undang-undang ini diterima sebagai Criminal Procedure Code (Cr.PC) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1862. Namun undang-undang ini cakupannya masih sangat sempit dan banyak aturan yang belum terkondifikasi. Akhirnya pada tanggal 26 Oktober 1876 Sekretaris Negara India meminta pemerintah untuk mengambil langkah dengan memasukkan segala ketetapan berkaitan dengan hukum pidana. Hasilnya adalah pemberlakuan Cr.PC 1882. Dalam undang-undang ini, ketetapan tentang nafkah perempuan telah dimasukkan. Perempuan dapat menuntut nafkah dari suaminya melalui pengadilan. Untuk meningkatkan efektifitas Undang-Undang ini, maka pada tahun 1898 diberlakukan Cr.PC denga beberapa amandemen dari waktu ke waktu hingga tahun 1974. Ketetapan Cr.PC 1898 sampai sekarang tetap dipergunakan di Jammu dan Kashmir tanpa perubahan apapun berkaitan dengan nafkah isteri. M. Afzal Wani, Maintenance, h. 44. 225
131
132
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
kepala hakim, hakim pada pengadilan sub divisi, atau hakim pada pengadilan tingkat pertama, dengan bukti-bukti kelalaian dan penolakan, dapat memutuskan sesorang untuk memberikan nafkah bulanan kepada isterinya dan anaknya dengan tidak melebihi Rs. 500, dalam jumlah menurut pertimbangan haim pantas, dan utuk membayar yang serupa pada kasus orang serupa oleh hakim dalam jumlah yang mungkin dari waktu berubah. Dengan ketetapan tersebut maka seorang dapat menuntut ke pengadilan karena suami tidak memenuhi kewajibannya untuk menafkahi diri dan anaknya. Pemberlakuan ketentuan ini hanya dapat dilakukan oleh perempuan dalam kapasitas isteri dengan adanya ikatan perkawinan. Sehingga dengan putusannya perkawinan maka status “isteri” pun menjadi hilang. Namun dalam kasus perceraian di kalangan muslim yang tetap memberlakukan kewajiban nafkah selama ‘iddah, Undang-Undang ini akhirnya mengadopsi ketetapan hukum Islam tersebut.226 Para hakim Inggris menngaplikasikan hukum fiqh Hanafi. Dalam praktisnya, pengadilan menetapkan kewajiban nafkah berdasarkan pasal 488 dan terus berlangsung pada kasus nafkah pasca perceraian selama masa ‘iddah. Hal ini dapat dillihat dalam kasus Mt Maryam v, Kadir Baksh, Kepala Pengadilan Oudh menetapkan bahwa isteri yang diceraikan berhak memperoleh nafkah selama masa ‘iddah dan tidak setelahnya.227 Cr. PC 1973 yang merupakan amandemen Undang-Undang sebelumnya (Cr.PC 1898), membuat perubahan besar berkaitan dengan nafkah pasca perceraian sehingga posisi isteri mencapai dimensi baru dalam legislasi India. Seorang isteri dapat menuntut hak nafkah setelah perceraian berdasarkan undang-undang ini melampaui masa ‘iddah bahkan hingga ia menikah kembali atau meninggal dunia. Modifikasi hukum ini
226
Sebetulnya institusi yang paling tepat dalam menangani perkara, berkaitan dengan nafkah pasca perceraian adalah pengadilan perdata. Namun karena Cr.PC sebelumnya telah mengatur „iddah. M.Afzal Wani, The Islamic Law, h. 127. 227 Saleem Akhtar, Shah Bano, h. 154.
132
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
133
membuka babak baru dalam legislasi India yang peduli terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi isteri yang tidak mampu.228 Perubahan mengenai nafkah merupakan aspek yang paling penting dalam amandemen ini. Perubahan tersebut merupakan implikasi dari perluasan makan wife yang sebelumnya hanya terbatas selama perkawinan. Dalam BAB IX Criminal Procedure Code 1973 status isteri masih disandang walaupun telah terjadi perceraian. Klausal (b) dalam eksplanasi pasal 15 (1) mendefinisikan wife sebagai berikut: ‘wife’ include a women who has been divorced by, or obtained a divorce from, her husband and has not remarried. Eksplanasi ini membuat perempuan berhak untuk menuntut nafkah dengan menggunakan pasal 125 Cr.PC 1973 dari mantan suaminya bahkan hingga di luar masa ‘iddah yang hak ini tidak berlaku menurut hukum personal mereka. Dengan kata lain, seorang muslim dapat dipaksa untuk menafkahi isteri yang diceraikannya hingga di luar masa ‘iddah menurut undang-undang ini. Sebab ketentuan pasal 125 di aplikasikan untuk semua isteri di India termasuk isteri muslim dalam sebuah perkawinan atau setelah terjadinya perceraian. Berkaitan dengan prinsip hukum Islam, definisi wife yang ada dalam klausal (b) eksplanasi dari pasal 125 (1) ditolak oleh komunitas muslim dan anggota muslim di Parlemen India yang menyatakan bahwa term wife bertentangan dengan konsep fundamental yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan perceraian. Setelah melalui perdebatan yang sengit mengenai masalah ini, akhirnya pemerintah menawarkan amandemen dengan pasal 127 dalam Rancangan Undang-Undang yang berhubungan dengan pembatalan dan menghentikan nafkah dalam situasi dan keadaan tertentu, yaitu: a. Jika isteri menikah kembali setelah perceraiannya.229 b. Perempuan yang diceraikan oleh suaminya, dan dia menerima, apakah sebelumnya atau setelah tanggal perceraian terjadi, sejumlah pemberian (the whole of the sum), yang di bawah
228 229
Ibid., h. 162. Pasal 127 (3) (a).
133
134
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
berbagai hukum personal atau hukum adat diaplikasikan kepada mereka.230 c. Perempuan yang memperoleh hak cerai dari suaminya dan dia dengan suka rela melepaskan hak nafkah setelah perceraian.231 Amandemen ini diterima oleh Lok Sabha dan kemudian oleh Rajya Sabha.232 Dengan adanya ketetapan-ketetapan tersebut maka perkawinan di kalangan muslim yang diputuskan dengan berbagai bentuk seperti talaq, khul, faskh, atau mubara’at dan dia menerima segala macam pemberian dari mantan suaminya menurut hukum Islam atau melepaskan hak nafkahnya, maka perempuan tersebut tidak mempunyai hak untuk menuntut nafkah bulanan dari mantan suaminya menurut pasal 125 Cr.PC 1973. Dengan adanya ketentuan ini maka ketetapan pada pasal 125 yang berkaitan dengan perempuan muslim, telah disesuaikan dengan prinsipprinsip hukum Islam. Namun demikian dalam tataran praktis di pengadilan-pengadilan India, undang-undang ini mengalami disparitas dalam putusan berkaitan dengan nafkah perempuan muslim yang diceraikan suaminya. Perbedaan timbul dalam masalah interpretasi kata-kata dalam klausal (b) pasal 127 (3) the whole of the sum yang dapat membatalkan ketetapan dalam pasal 125 Cr.PC 1973. Beberapa pengadilan tinggi India menyatakan bahwa jumlah pemberian tersebut tidak termasuk di dalamnya mahar yang ditangguhkan (mahr gair al-musamma),233 sebab mahar adalah atribut perkawinan itu sendiri dan telah menjadi hak isteri ketika perkawinan berlangsung.234 230
Pasal 127 (3) (b). Pasal 127 (3) (c). 232 Badan legislatif pusat memiliki dua kamar, yakni Lok Sabha (Dewan Rakyat) dan Rajya Sabha (Dewan Negara Bagian). Anggota Lok Sabha dipilih oleh rakyat setian lima tahun sekali. Sedangkan anggota Rajya Sabha dipilih oleh anggota badan legislatif negara bagian. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeven, 1993), II: 210. Artikel “India”. 233 Mayoritas perempuan India tidak secara langsung menerima mahar yang diberikan oleh suaminya pada saat pernikahan berlangsung. Hal ini dapat dipahami sebab praktek seperti ini banyak terjadi pada tatanan masyarakat yang berfasilitas pada mazhab Hanafi. Namun dalam sebagian kasus, hal ini dilakukan sebagai tindakan preventif jika ia diceraikan sewaktu-waktu oleh suaminya. Lihat John L. Esposito, Women, h. 113. 234 Pengadilan tinggi tersebut adalah Pengadilan Tinggi Kerala pada kasus Kunhi Moyin v. Puthamma, Pengadilan Tinggi Karnataka pada kasus U.A Khan v. 231
134
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
135
Sehingga hak nafkah tidak gugur hanya dengan pembayaran mahar pada saat perceraian terjadi. Sedangkan dalam beberapa pengadilan lainnya menetapkan bahwa mahar tersebut masuk katagori the whole of he sum dalam klausal (b) pasal 127 (3) yang menyebabkan hak nafkah dapat digugurkan.235 Isu tentang mahar yang berposisi sebagai the whole of the sum mendapat respon dari Mahkamah Agung dalam kasus Bai Tahira v. Ali Hussain di Bombay.236 Ali Hussain menikahi Bai Tahira sebagai isteri keduanya pada tahun 1956. Beberapa tahun kemudian mereka dikaruniai seorang anak. Pada bulan Juli 1962, Bai Tahira diceraikan suaminya dengan memberikan uang sebesar Rs. 5000 sebagai mahar dan Rs. 180 sebagai nafkah selama masa ‘Iddah. Beberapa lama kemudian tercapai rekonsiliasi dan hidup bersama lagi. Namun akhirnya kembali berpisah karena adanya ketegangan dalam hubungan mereka. Bai Tahira mengalami kesulitan dalam menafkahi dirinya dan anak hasil perkawinan dengan Ali Hussain dan akhirnya ia mengajukan tuntutan nafkah untuk diri dan anaknya ke pengadilan berdasarkan pasal 125 Cr.PC.237 Pengadilan dengan mempertimbangkan taraf tertinggi kehidupan di Bombay, memutuskan Rs. 400 untuk isteri yang diceraikan dan Rs. 300 per bulan untuk anaknya. Mahkamah Agung pada tahun 1979 menyatakan bahwa pemberian sejumlah uang pada saat perceraian menurut pasal 127 (3) (b) sebagai sarana membatalkan ketetapan pada pasal 125 tidak berlaku pada pemberian yang tidak rasional. Hakim memprioritaskan kewajiban dan tanggungjawab sosial yang berkaitan dengan keadilan ekonomi mantan isteri dari pada ritual keagamaan dan dokterin yang dapat
Mehaboobunnisa, Pengadilan Tinggi Bombay pada kasus Khurshid Khan v. Husnabani, dan Mehbubabi Nasir v. Nasir Fareed, Pengadilan Tinggi Allahbad dalam kasus Abdul Salim v. Najma Begum, dan Shah Bano, h. 189-197. 235 Keputusan pengadilan tersebut dapat dilihat dalam kasus Hamid Khan v. Janni Bai dan kasus Rukshana Parveen pada Pengadilan Tinggi Bombay, kasus Qayyum Khan v. Noorunnisa dan Sambaiah v. Sheikh Zahir pada Pengadilan Tinggi Andhra Pradesh, dan kasus Kamalakshi v. Saukaran pada Pengadilan Tinggi Kerala. Ibid., h. 199-202. Bandingkan dengan Mahmood, Statute Law, h. 165. 236 John L. Esposito, Women, h. 114. 237 Saleem Akhtar, Shah Bano, h. 207.
135
136
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
dimanipulasi oleh kaum patriarkal sebagai bias interpretasi mereka terhadap teks-teks religius. Mahkamah Agung dalam putusannya pada tahun 1979 menyatakan bahwa penghapusan kewajiban suami pada pasal 125 (1) dengan jalan memberikan sejumlah pembayaran pada saat perceraian menurut pasal 127 (3) (b) harus dengan jumlah yang rasional dan tidak hanya bersifat ilutif belaka.238 Ketetapan ini akhirnya menjadi aturan yang bersifat general dan diaplikasikan pada para suami muslim dan mewajibkan untuk menafkahi mantan isterinya hingga isteri tersebut menikah kembali atau meninggal dunia.239 Perdebatan mengenai nafkah perceraian ini memuncak pada kasus Shah Bano v. Mohd. Ahmed Khan pada tahun 1985 yang menimbulakan protes besar-besaran oleh kaum muslim India dan berhasil memaksa pemerintah memberlakukan Musalim Women (Protection of Right on Divorce) Act 1986 (Undang-Undang Perlindungan Hak-Hak Dalam Perceraian Bagi Perempuan Muslim 1986).240 Undang-Undang ini berlaku hanya untuk perempuan muslim yang menikah menurut hukum Islam. Sehingga perempuan yang menikah tidak menurut hkum Islam seperti pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan Khusus 1954, tidak termasuk dalam jangkauan UndangUndang ini, pasal 2 (a) The Muslim Women 1986 menjelaskan definisi “perempuan yang diceraikan” sebagai berikut: “Divorced women” means a Muslim women who was merried according to Muslim law, and has been divorce by, or has obtained divorce from, her hushband in accordance with Muslim Law. “Perempuan yang diceraikan” adalah seorang perempuan Muslim yang menikah menurut hukum Islam dan telah diceraikan oleh atau memperoleh hak cerai dari suaminya menurut hukum Islam.
238
Tahir Mahmood, Statute Law, h. 166. John L. Espesito, Women, h. 114. 240 Asghar Ali Engineer, Hak-Hak, h. 200. 239
136
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
137
Berdasarkan definisi dari term “divorce women” dalam pasal 2 (a) tersebut, maka bentuk perceraian yang diatur meliputi: a. Perempuan yang diceraikan oleh suaminya secara sepihak dengan jalan talaq. b. Perempuan yang memutuskan perkawinan dengan jalan Khulu’. c. Perempuan yang memutuskan perkawinan dengan menggunakan hak cerai yang didelegasikan oleh suami (talaq tafwid) dalam akta perkawinan (nikah nama’). d. Perempuan yang bersama-sama dengan suaminya sepakat memutuskan perkawinan mereka (mubara’at) e. Perempuan yang perkawinannya diputuskan oleh pengadilan menurut Undang-Undang Perceraian tahun 1939.241 Dari berbagai bentuk perceraian yang dipaparkan di atas, termasuk di dalamnya bentuk perceraian secara sepihak oleh suami tanpa melihat apakah perceraian tersebut dengan bentuk ba’in atau raj’i, terlihat bahwa isteri dalam keadaan bagaimanapun tetap dilindungi hak-haknya, khususnya berkaitan dengan hak finansial berupa hak nafkah. Di samping itu, undang-undang ini berlaku untuk semua perempuan muslim yang diceraikan tanpa memandang mazhab yang diikuti. Hak nafkah perempuan yang diceraikan dalam undang-undang ini meliputi dua hal yaitu nafkah selama masa iddah dan nafkah dalam kasus menyusui. Di samping hak nafkah, perempuan yang diceraikan juga mempunyai hak lain yaitu berupa hak pemenuhan mahar dan seluruh propertinya yang didapat sebelum menikah, pada saat pernikahan, atau setelah perkawinannya.242 Pemenuhan hak-hak ini memberikan perlindungan dan jaminan finansial yang besar bagi perempuan yang diceraikan. Di samping itu, perdebatan panjang di antara para hakim di India adalah tentang eksistensi hak mut’ah bagi perempuan yang diceraikan. Perdebatan ini berakar pada interprestasi terhadap pasal 3 (1) (a) yang berbunyi:
241 242
Tahir Mahmood, Statute law, h. 171-172. Pasal 3 ayat 1 (c) Muslim Women (Protection of Rihgt on Divorce) Act 1986.
137
138
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
A reasonable and fair provision and maintenance to be made and paid to her within the iddat period by her husband Kata penghubung and antara prevision (perbekalan) dan maintenance (nafkah) memunculkan problem interpretasi yang tidak dapat diatasi.243 Sebagai hakim menetapkan bahwa antara prevision (perbekalan) dan maintenance (nafkah) hanya mempunyai satu makna yaitu nafkah selama masa ‘iddah menurut ayat 6 surat At-Talaq. Di samping itu, interpretasi ini merupakan hasil penelaahan terhadap berbagai transliterasi bahasa Inggris terhadap ayat Al-Qur’an khususnya pada ayat 241 surah Al-Baqarah. Dari beberapa sumber yang digunakan Mahkamah Agung menerjemahkan mata sebagai prevision atau maintenance. Implikasinya menurut sebagian hakim tidak ada perbedaan substansi antara prevision dan maintenance. Menurut sebagian hakim lagi bahwa kalimat tersebut harus dirujuk pada ayat 228, 236, 241, dan 242 surah At-Talaq. Dengan analisis tematis ini, maka akan dipahami dengan jelas perbedaan antara mut’ah dan nafkah. Implikaisnya, para hakim dapat memutuskan bahwa perempuan yang diceraikan tidak hanya berhak nafkah selama masa ‘iddah saja namun juga berhak memperoleh mut’ah dari mantan suaminya. Beberapa pengadilan seperti Pengadilan Tinggi Kerala dalam kasus Chelangadan v. Sufaira menetapkan keputusan seperti ini.244 Berkaitan dengan nafkah, undang-undang ini hanya memberlakukan hak nafkah bagi perempuan yang diceraikan terbatas pada masa ‘iddah saja, kecuali dalam keadaan menyusui yang diperpanjang hingga usia anak mencapai dua tahun dari tanggal kelahiran anak tersebut.245 Meskipun hak nafkah ini terbatas selama menjalani masa ‘iddah saja, namun dalam kasus perempuan yang tidak menikah kembali setelah perceraiannya dan tidak mampu menafkahi dirinya sendiri setelah berakhir masa ‘iddah karena berbagai alasan maka pasal 4 undang-undang ini telah mengantisipasi perlindungan terhadap masalah ekonomi perempuan tersebut. Pasal 4 Undang-undang 1986 menerangkan pihak-pihak yang memikul tanggung jawab nafkah permpuan tersebut, yaitu: 243
Tahir Mahmood, Statute Law, h. 173. M. Afzal Wani, The Islamic Law, h. 171. Lihat juga Saleem Akhtar, Shah Bano, h. 380-381. 245 Ibid., pasal 3 ayat 1 (b) 244
138
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
139
a. Anak-anaknya b. Orang tua c. Keluarga lain yang mempunyai hubungan waris mewarisi d. Badan wakaf Pihak-pihak yang memikul tanggungjawab nafkah itu diatur secara hirarkis. Dengan kata lain pihak yang paling bertanggungjawab nafkah atas perempuan yang diceraikan setelah melampaui masa ‘iddah dan ia tidak mampu menafkahi dirinya sendiri adalah anak-anaknya sendiri. Jika anakanaknya tidak mampu maka tanggungjawab berpindah kepada orang tua. Begitu juga orang tua tidak mampu maka tanggungjawab berpindah kepada keluarga yang mempunyai hubungan waris mewarisi dengan perempuan tersebut. Dalam kasus tidak seorangpun keluarga yang mampu memberi nafkah, maka tanggungjawab berpindah pada komunitas muslim yang direpresentasikan oleh Badan Wakaf sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 9 The Wakf Act 1954.246 246
India merupakan yang mempunyai manajeman wakaf yang baik. Undang-Undang pertama yang mengatur tata administrasi wakaf adalah Mussalaman Wakf Act 1923 yang diundangkan dengan tujuan memperbaiki pengurusan harta wakaf,menjamin pemeliharaan, serta pengumuman pertanggungjawaban keuangan yang sewajarnya. Undang-Undang ini kemudian diperbaharui lagi untuk disesuaikan dengan keadaan-keadaan suatu daerah. Sedikitnya dalam tiga propinsi di India: di Bengal Barat ia digantikan dengan West Bengal Wakf Act 1934; di Bombay diubah oleh Musslaman Wakf (Bombay Amandement) Act 19355; dan di Uttar Pradesh dengan Muslim Wakf Act 1936. Pada tahun 1954 dan kemudian 1993 pemerintah pusat mengundangkan Wakf Act 1954 dan Wakf Act 1993 yang khusus mengatur administrasi dan institusi wakaf dengan lebih lengkap. Undang-undang ini sifatnya nasional dan berlaku untuk semua negara bagian di India. Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut masalah administrasi wakaf ditangani oleh sebuah lembaga yang disebut Central Wakf Council yang bertanggungjawab langsung pada pemerintah pusat. Untuk oprasionalisasi berikut dibentuk sebuah Lembaga Wakaf (Board of Wakf) di berbagai daerah di India. Adapun fungsi dari Board of Wakf ini adalah: a. Mengurus dokumen yang memuat informasi mengenai asal-usul, penghasilan, objek, dan orang yang berhak untuk harta wakaf (termasuk di dalamnya memenuhi nafkah janda) b. Memastikan bahwa income dan harta wakaf lainnya disalurkan untuk tujuan yang dibuat waqif pada saat melakukan wakaf c. Memberikan arahan tentang administrasi wakaf d. Menentukan perencanaan manajemen wakaf e. Mengatur dan menyetujui Surplus income wakaf f. Menetapkan dan menyetujui anggaran belanja yang dijangkau oleh mutawalli dan memeriksa keuangan wakaf Dengan diundangkannya Wakf Act 1954 dan Wakf Act 1993 dapat dilihat kemajuan sistem wakaf di India khusunya dalam masalah institusi perwakafan dan juga mengenai tata
139
140
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Berkaitan dengan kelalaian suami untuk memenuhi tanggungjawabnya berupa penunaian hak nafkah isteri, pihak isteri dapat menuntut ke pengadilan. Pengadilan setelah memeriksa kasus ini dan terbukti suami lalai dan mengabaikan kewajibannya dapat mengirimkan surat kuasa yang memaksa suami memenuhi tanggungjawabnya. Jika suami tetap tidak mengindahkan surat kuasa pengadilan tersebut maka paengadilan dapat menerapkan sangsi kurungan selama satu tahun atau hingga suami bersedia menunaikan kewajibannya.247 Meskipun pada awalnya Undang-Undang perlindungan hak perempuan setelah perceraian 1986 dinilai oleh para gerakan feminis dan reformis sebagai langkah mundur dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh Cr.PC 1973 pasal 125 (1), sebab periode nafkah dibatasi hanya selama ‘iddah namun undang-undang ini telah memberikan solusi yang sangat revolusioner terhadap perempuan yang diceraikan setelah melampaui masa ‘iddah dan ia tergolong perempuan yang tidak mampu dengan membebankan tanggungjawab pada keluarga perempuan atau jika tidak mampu ditanggung oleh Badan Wakaf. Di samping itu, menurut UndangUndang ini perempuan yang sedang menyusui berhak memperoleh nafkah selama menyusui anaknya yang terpisah dari hak nafkah ‘iddahnya. Ketentuan ini tidak ada diatur dalam Cr.PC 1973. Begitu juga mengenai jumlah maksimal dari nafkah yang menjadi tanggungjawab suami. Menurut Cr.PC 1973, jumlah maksimal nafkah adalah Rs. 500248 tanpa memperhatikan kapabilitas finansial tertinggi mantan suami dan status sosial serta keperluan-keperluan yang dibutuhkan smantan isteri. Sedangkan dalam Undang-Undang 1986, tidak mengatur jumlah maksimal sehingga hakim mempunyai kekuasaan penuh untuk menciptakan besar nafkah yang ditanggung mantan suami dengan mempertimbangkan faktor-faktor relevan yang mengiringinya.
administrasinya. Keterangan lebih lanjut baca Tahir Mahmood, Statute Law, h. 356-395. Bandingkan dengan Asaf A.A Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, h. 85-120. 247 Pasal 4 Muslim Women (protection of Right on Divorce) Act 1986. 248 Pada perkembangan selanjutnya uang sebesar Rs. 500 sebagai jumlah maksimal yang dibebankan pada mantan suami untuk menafkahi mantan isterinya dapat naik menjadi Rs. 1000 berkaitan dengan naiknya inflasi dan harga kebutuhan di India. Saleem Akhtar, Shah Bano, h. 398.
140
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
141
Meskipun muslim India bersikap defensif dan memiliki sensitifitas yang tinggi untuk melindungi hukum personal mereka, namun jika dipandang secara general, reformasi hukum keluarga di sebuah negara yang komunitas muslimnya minoritas cukup signifikan. Tingkat kesuksesan dalam reformasi sistem hukum tradisional dikondisikan oleh beberapa faktor, termasuk di dalamnya keseimbangan kekuasaan (balance of power) antara kelompok konservatif dan modernis yang ada di belahan naka benua India. e. KESIMPULAN Dari uraian dan paparan di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan: 1. Hukum keluarga di India sangat spesifik untuk berbagai agama yang dipraktekkan di sana. 2. Sebelum pemberlakuan Muslim Woman Act. 1986, ketetapan hak nafkah isteri di atas oleh Criminal Prosedure Code (Cr. PC) yang berlaku untuk semua warga India. 3. Cr. PC. 1973, yang merupakan amandemen Undang-Undang sebelumnya (Cr. PC), seorang isteri dapat menuntut hak nafkah setelah perceraian. 4. Berdasarkan Muslim Woman (Protection of Rights On Divorce) Act. 1986, hak nafkah bagi perempuan yang diceraikan terbatas pada masa ‘iddah saja.
141
142
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
DAFTAR PUSTAKA Ahmed, M. B., Administration of Justice in Medieval India, Aligarhi: tnp., 1941 An-Na’im, Abdullahi. A, (Ed.), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book, London dan New York: Zed Books Ltd., 2002 Akhtar, Saleem, Shah Bano Judgement in Islami Perpetive, New Delhi: Kitab Bhavan, 1994 Chhachhi, Amrita, “Forced Identities: The State, Communalism, Fundamentalism, and Women in India,” dalam Deniz Kandiyoti (Ed.), Women Islam in The State, London: Macmillan Press Ltd., 1991 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993 Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 -----------, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkah Assegaf, Cet.ke-2 Yogyakarta: LSPPA, 2000 -----------, Pembebasan Perempuan, alih bahasa Agus Nur Yanto, cet. Ke 1, Yogyakarta: LkiS, 2003 Esposito, John L., Women in Muslim Family law, edisi ke-2, New York: Syracuse University Perss, 2001 Fyzee, Asaf A.A., Outlines of Muhammadan Law, Edisi IV, Delhi: Oxford University Press, 1974 Ira M. Lapidurs, Sejarah Sosial Ummat Islam, alih bahasa Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999 Mahmood, Tahir, Statute Law Relating to Muslims In India a Studi in Constitutional and Islami Perpectives, New Delhi: Institiute of Objective Studies New Delhi, 1995 -----------, Family Law Reform in The Muslim World, New Delhi: The New India Press, 1972 Maududi, Abul A’la, Kawin dan Cerai Menurut Islam, alih bahasa Achmad Rais, cet. Ke-7, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
142
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
143
Nasution, Khoiruddin, Status Perempuan di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indoneia dan Malaysia, Jakarta: INIS, 2002 Pearl, David, dan Menski, Werner, Muslim Family Law, Edisi III, London: Sweet & Maxwell, 1998 Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeven, 1993 Rizfi, Syed Ameenul Hasan Ali, “Muslim Problems-Constitutional Perspective” dalam Iqbal A. Ansari (Ed.), The Muslim Situation in India, New Delhi: Institute of Objective Studies, 1989 Wani, M. Afzal, The Islamic Law On Maintenance of Women, Children, Parents and Other Relatives, Kashmir: Upright Study Home, 1995 Wani, M. Afzal, Maintenance Rights of Muslim Women Principles, Precedents and Trends, New Delhi: Genuine Publications, 1994
143
144
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA ARAB SAUDI Maimun A. Latar Belakang Pemikiran Islam sebagai agama rahmatan li al-‘alamin (Q.S. al-Anbiya’: 107) memberikan rahmat kepada alam sejagat raya yang ada di dunia ini. Negara yang ada di dunia saat ini tidak kurang dari 196 negara, dan 193 negara telah tercatat dan bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Semua negara di dunia ini dilihat dari jumlah penduduk sampai Agustus 2012, telah mencapai 7.000.000.000 (tujuh milyar) jiwa. 1.761,8 milyar (26%) pemeluk agama Islam. Dan pemeluk agama Islam terbesar di dunia adalah Indonesia.249 Perkembangan pertambahan penduduk di dunia merupakan manifestasi dari beranak-pinak setiap keluarga di masing-masing negara di dunia ini. Karena itu, hampir di setiap negara melakukan upaya menekan lajunya pertambahan penduduk untuk mencegah ketidak-seimbangan antara pertumbuhan perekonomian dengan pertambahan penduduk. Secara teknis pengaturan kelahiran pada setiap keluarga mungkin melalui Keluarga Berencana (KB), kalender alami, dan lain-lain. Tetapi pengaturan secara teknis aturan perundang-undangan dan syari’at Islam diatur sedemikian rupa melalui undang-undang perkawinan, dan/atau hukum keluarga. Dan setiap negara pasti memiliki hukum keluarga, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak memiliki hukum keluarga, termasuk negara Arab Saudi.250
249
Catatan materi kuliah dengan Prof. Muhammad Amin Suma, tanggal 6 Oktober
2012. 250
Penyebutan istilah negeri sahara ini dalam beberapa literatur, ada yang menyebut dengan negara Arab Saudi, negara Saudi Arabia, dan ada yang sering menyebut Kerajaan Arab Saudi (al-Mamlakah al-„Arabiyyah al-Su‟udyah). Kelihatannya sebutan itu semua benar.
144
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
145
Arab Saudi dikenal sebagai negara kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., tumbuh dan berkembangnya awal mula agama Islam. Oleh sebab itu, Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju. Ia dengan cepat bergerak mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.251 Namun di sisi lain, Arab Saudi dikenal juga sebagai negara yang menjadikan alQur’an dan hadis sebagai dasar konstitusinya, dengan madzhab Hanbali sebagai madzhab negara. Dengan kata lain, Arab Saudi tidak memiliki konstitusi formal. Hal ini tentunya sangat berimplikasi pada aplikasi hukum public maupun hukum privat di negara ini, khususnya hukum keluarga. Bertolak dari latar belakang pemikiran di atas, muncul beberapa pertanyaan, mengapa negara Arab Saudi tidak memiliki konstitusi formal khususnya hukum keluarga, ? dan bagaimana penerapan sistem hukum keluarga yang berlaku di Arab Saudi.? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi focus pembahasan tulisan ini. B. Pembahasan 1. Sekilas Gambaran Umum Negara Arab Saudi Arab Saudi adalah sebuah negara yang merupakan bagian dari bangsa Arab. Bangsa Arab hidup di daerah-daerah di sekitar jazirah. Jazirah Arab sebagai tempat kediaman bangsa Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah, dan bagian pesisir. Bagian tengah merupakan daerah jazirah padang pasir sahara yang memiliki kondisi dan sifat yang heterogin, yang dihuni oleh suku-suku Badawi (istilah lain suku Badui) yang mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomadik. Sedangkan daerah pesisir merupakan sebuah daerah kecil, bagaikan selembar pita yang mengelilingi jazirah, dan penduduknya sudah menetap dengan mata pencaharian
251
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. Ke 2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 2.
145
146
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
bertani dan berniaga.252 Dan dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Arab memiliki dan resmi menjadi sebuah negara Arab Saudi setelah diproklamirkan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Su’ud (Kingdom of Saudi Arabia) pada tanggal 23 September 1932, dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd, Ha’il, Asir, dan Hijaz.253 Untuk melihat sekilas gambaran umum bagaimana kondisi objektif Arab Saudi saat ini perlu dilihat dari letak geografis, asal usul penduduk dan jumlahnya, politik , ekonomi, dan hukum. Dilihat dari segi geografis, Arab Saudi terletak di antara 15 o LU – 32 o LU dan antara 34 o BT-57 o BT. Luas wilayah 2.240.000 km2. Arab Saudi merangkumi empat perlima kawasan di Semenanjung Arab dan merupakan Negara terbesar di Asia Timur Tengah. Keadaan permukaan terendah di Teluk Persia pada 0 m, dan Jabal Sauda’ pada 3.133 m. Arab Saudi dikenal sebagai negara yang datar dan memiliki banyak kawasan gurun sahara. Gurun yang terkenal di sebelah selatan Arab Saudi disebut “daerah kosong” (rub al-khali), yang paling luas di dunia. Sedangkan di bagian barat daya-nya terdapat kawasan pegunungan yang berumput dan hijau. Hampir tidak ada sungai permanen di kawasan ini, tetapi terdapat banyak danau. Dan beberapa kawasan subur dapat ditemukan dalam endapan alluvial di wadi, basin, dan oasis. Dilihat dari segi asal usul keturunan, bahwa penduduk asli bangsa Arab yaitu kaum badawi (sebutan lain badui),254 yang beranak pinak menyebar ke seluruh jazirah Arab. Dari penduduk asli ini dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu keturunan qahthan (qahthaniyyun) dan keturunan Isma’il ibn Ibrahim (adnaniyyun).255 Pada awalnya wilayah jazirah Arab (sekarang Arab Saudi) bagian utara diduduki oleh keturunan adnaniyyun, dan wilayah bagian selatan didiami oleh keturunan ahthaniyyun. Akan 252
Ibid., h. 10. Lihat, John L. Esposito, Islam and Politics, alih bahasa, HM. Joesoef Sou‟yb, Cet. Ke 1, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), h. 144. 254 Philip K. Hitti, The Arabs a Short History, alih Bahasa Usuludin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing, Cet. Ke 7, (BandungPenerbit Sumur Bandung, tt.), h. 13. 255 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 10. 253
146
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
147
tetapi lama kelamaan kedua golongan keturunan ini berasimilasi dan berintegrasi, karena gaya kehidupan yang nomadik. Mereka, baik yang nomadic maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan badui. Adapun penduduk Arab Saudi berdasarkan sensus 2006 diistemasikan berjumlah 27.019.731 jiwa. Dilihat dari segi politik, Arab Saudi menggunakan sistem kerajaan (absolute monarch). Hukum yang digunakan adalah hukum syariat Islam dengan berbasis pada pemahaman dan pengamalan salaf al-shalih. Pemahaman dan pengamalan salaf al-shalih di sini sering disebut dengan ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Madzhab resmi negara adalah madzhab Hanbali. Konstitusi remi yang digunakan adalah al-Qur’an dan sunnah. Keluarga raja mempunyai kompetensi luas dalam banyak bidang untuk menggagas dan merumuskan dalam bentuk konsep operasional sesuai kebutuhan yang tidak ada ketentuannya di dalam al-Qur’an dan sunnah.256 Adapun politik luar negerinya, Arab Saudi memiliki hubungan internasional, baik dengan negara-negara yang tergabung dalam United Arab Emirates (UAE), negara-negara anggota Organisasi Konfrensi Islam (OKI), negaranegara yang tergabung dalam Liga Arab maupun dengan negara-negara lain.257 Dilihat dari segi ekonomi, Arab Saudi di samping dikenal sebagai wilayah perdagangan, terutama di kawasan Hijaz (antara Yaman, Makkah, Madinah, dan Damaskus) dan Palestina, juga dikenal sebagai daerah pertanian dan perkebunan dengan kurma dan gandumnya, dan daerah peternakan dengan unta, sapi, dan dombanya, sehingga dapat menghasilkan olahan daging dan susu. Di era abad ke 20 sejak ditemukan banyak sumber minyak yang luar biasa di antaranya di Kuwait, Bahrein, dan di Arab Saudi sendiri, daerah-daerah sumber minyak ini ternyata menambah pentingnya politik Arab Saudi, dan sangat membantu permainan pembentukan kekuatan peran dari keluarga Kerajaan baik di
256 257
John L. Esposito, , Islam and Politics, h. 144 dan 148. Philip K. Hitti, The Arabs a Short History, h. 248.
147
148
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
dalam maupun luar negeri.258 Misalnya, Arab Saudi menggunakan kemakmuran minyaknya untuk membiayai komperensi-komperensi Islam, membiayai publikasi dan penyaluran bahan-bahan Islam, merangsang dan membantu negara-negara muslim untuk kepentingan Islamisasi dari pemerintahnya dan lembaga-lembaganya, dan menyokong organisasiorganisasi Islam seperti ikhwanul muslimin di Mesir dan Suria serta Jama’at al-Islami di Pakistan.259 Arab Saudi era sekarang ini tampak sudah menjadi negara modern, perindustrian yang umumnya bertumpu pada sector minyak bumi dan petrokimia telah menjadi kekuatan ekonomi negara, proyek-proyek pembangunan infra struktur telah terlaksana dengan baik seperti industry desalinasi air laut di kota Jubail, pertanian, perkebunan, dan peternakan telah dimodernisir dengan digalakkan sistem terpadu untuk meningkatkan capaian hasilnya. Dan kota-kota yang terkenal selain kota suci Makkah dan Madinah, terus dibangun secara arsitektur dan estetika yang unggul, seperti Riyadh sebagai ibukota kerajaan, Damman, Dhahran, Khafji, Tabuk, dan Jeddah. Dilihat dari segi hukum yang berlaku, bahwa semua aturan hukum yang berlaku di Arab Saudi itu harus sesuai dengan syariat Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah. Atau minimal aturan-aturan itu tidak kontradiksi dengan syariat Islam, seperti tradisi yang berkembang di masyarakat Saudi (‘urf/’adat). Kita akui bagi masyarakat Saudi sterilisasi adat sangat kuat dibandingkan dengan negara-negara lain, dan dari ketentuan ini tidak ada ketentuan lain. Karena itu, John L. Esposito mengatakan bahwa, “sekalipun bentuk kerajaan bukan lembaga yang bersifat Islam, tapi kerajaan itu diberi landasan Islam yang rasional bahwa seluruhnya, bahkan juga raja, tunduk kepada hukum Islam. Al-Qur’an dan syariat memberikan basis dan struktur fundamental bagi Negara: konstitusi, hukum, dan peradilan”.260 Yang disebutkan terakhir ini dalam kaitan dengan peraktik hukum di peradilan, terdapat empat tingkat pengadilan syariah, yaitu Pengadilan 258
Ibid ., h. 243. John L. Esposito, Islam and Politics, h. 152. 260 Ibid., 259
148
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
149
Kecil, Pengadilan Umum, Pengadilan Kasasi, dan Dewan Pengadilan Tertinggi. Maka berdasarkan perkembangan baru dari titah raja (royal order) tanggal 1 Oktober 2007 diketahui bahwa, hirarki pengadilan di Arab Saudi menjadi tiga tingkat, yaitu Pengadilan Tinggi sebagai Mahkamah Agung (MA), Pengadilan Tingkat Banding, dan Pengadilan Tingkat Pertama. Di dua pengadilan tersebut terdapat Pengadilan Perdata, Pengadilan Pidana, Pengadilan Perdagangan, Pengadilan Perburuhan, dan Pengadilan Hukum Keluarga.
2. Hukum Keluarga Islam Arab Saudi Hukum keluarga (ahwal al-syakhshiyyah) dalam bidang hukum perkawinan negara Arab Saudi ternyata hingga sekarang ini masih belum tertulis (uncodified law), atau belum dikodifikasikan sebagaimana negara-negara muslim lainnya. Hukum perkawinan Saudi didasarkan pada kitab-kitab fiqih madzhab yang dianut resmi oleh negara, yakni madzhab Hanbali. Pelaksanaan perkawinan dan hal-hal lain yang terkait dengan hukum perkawinan seperti batas usia perkawinan, perwalian, poligami, perceraian (talak), rujuk, hak asuh anak akibat perceraian, dan kewarisan, pada umumnya ditangani oleh ulama, dan/atau institusi keagamaan setempat yang dianggap berkompeten menangani masalah keagamaan umat Islam.261 Untuk itu, akan dibahas di bawah ini hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dimaksud.
2.1. Batas Usia Perkawinan Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Arab Saudi tidak memiliki Undang-undang hukum keluarga yang mengatur bidang perkawinan, dan dalam pelaksanaan perkawinan hingga saat ini didasarkan pada kitab-kitab 261
Lihat Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Cet. Ke 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 150. John L. Esposito, Islam and Politics, h. 148.
149
150
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
fiqih bermadzhab Hanbali. Karena itu, tidak ada batasan minimal usia perkawinan, seseorang kapan dan di manapun berada boleh mengawini wanita di bawah umur, dan wali dari wanita tersebut boleh mengawinkan anaknya secara mujbir, baik diminta izinnya atau tidak. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat boleh seorang bapak atau orang yang diwasiyati untuk mengawinkan anak wanitanya yang belum baligh.262 Bahkan menurut Ibn Mundzir telah terjadi ijma’ ulama, bapak boleh mengawinkan anak gadisnya yang belum dewasa kepada pria yang sekufu tanpa menggantungkan kepada persetujuannya, dan tidak ada pilihan bagi anak gadis itu setelah baligh.263 Praktik nikah di bawah umur (pernikahan dini) ini tanpak oleh pemerintah Arab Saudi diperbolehkan, karena oleh sumber hukum atau madzhab fiqh yang dianutnya adalah dibolehkan sebagaimana pandangan Imam Ahmad bin Hanbal di atas.
2.2. Wali Nikah Perwalian dalam perkawinan merupakan suatu kekuasaan atau wewenang syar’I atas sekompok manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu kepada orang yang diberi mandate itu, demi kemaslahatannya sendiri. Ibn Qudamah mengatakan bahwa wali harus ada dalam perkawinan, yakni hadir ketika akad nikah dilaksanakan. Dasarnya hadis Nabi s.a.w. yang mengatakan bahwa tidak ada nikah kecuali ada wali (la nikah illa biwaliyyin).264 Tapi kelihatannya kedudukan wali dalam perkawinan di kalangan ulama kontemporer dipahami bahwa yang dipentingkan dalam perkawinan adalah izin wali, bukan kehadirannya. 262
Muwaffiquddin dan Syamsuddin ibn Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarh alKabir „ala matan al-Muqna‟ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz ke 7, (Bairut: Dar alFikr, tt.), h. 392. 263 Ibid., hlm. 393 264 Hadis ini diriwayatkan oleh Turmudzi, Abi Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad dari „Aisyah, yang menurut Ibn Qudamah berdasarkan penilaian dari Imam Ahmad dan Yahya termasuk hadis shahih. Karena itu konsekuensinya dapat dijadikan dasar hukum, Ibid., h. 338.
150
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
151
Dasarnya hadis dari ‘Aisyah dari Nabi s.a.w. bahwa wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal.265 Pandangan ulama kontemporer ini dikritik oleh Ibn Qudamah, bahwa hadis yang mengharuskan adanya wali itu bersifat umum, yang berarti berlaku untuk semua. Sementara hadis yang menyebut hanya butuh izin walinya saja itu bersifat khusus. Menurutnya, dalil yang bersifat umum harus didahulukan dari dalil khusus. Karena larangan nikah tanpa wali sesungguhnya bertujuan untuk menghindari kecendrungan wanita kepada pria yang terkadang kurang pertimbangan yang matang. Karena itu, diharapkan kehadiran wali dapat menghindari kecendrungan tersebut.266 Selanjutnya Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan, jika seorang wanita yang sudah dewasa (al-balighah) dan berakal sehat (al‘aqilah) itu masih gadis, maka yang berhak mengawinkan adalah walinya, akan tetapi, jika ia sudah janda maka hak mengawinkan itu ada pada keduaya; Wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetjuannya. Sebaliknya, wanita janda itu tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu walinya. Meskipun wanita itu lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya.267 Dari pernyataan Imam Ahmad ini menunjukkan bahwa kedudukan dan peranan wali dalam perkawinan adalah sangat menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.
2.3. Poligami Di kalangan para ulama konvensional (fuqaha dan mufassir) telah terjadi ijma’ tentang boleh seorang pria (suami) mempunyai isteri lebih dari satu,
265
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya dari „Aisyah, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal dikatakan sampai tiga kali, kemudian, jika wanita itu telah disetubuhi, maka baginya maskawin karena dianggapnya halal menyetubuhinya. Jika mereka terjadi berselisih, maka sulthan (hakim) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. Ibid. 266 Ibid., h. 339. 267 Ibid., h. 380.
151
152
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
dan maksimal empat orang isteri sekaligus.268 Karena itu, Ibn Qudamah (w. 620 H.) dari madzhab Hanbali berpendapat, seorang pria (suami) boleh menikahi wanita maksimal empat orang isteri, berdasarkan pada surat alNisa’: 3,269 dan hadis kasus Ghailan bin Salamah,270 dan kasus Naufal bin Mu’awiyah.271 Kecuali Qasim bin Ibrahim, ia membolehkan seorang suami boleh mempunyai isteri sembilan; Dasarnya al-Nisa’: 3. Menurutnya, bahwa “wawu” pada ayat/kata matsna, watsulatsa, waruba’ itu menunjukkan bilangan penggabungan (li al-jam’), dan Nabi s.a.w. sendiri setelah meninggal dunia meninggalkan isteri sebanyak sembilan orang.272 Dari sini dapat dimengerti bahwa di kalangan madzhab Hanbali, poligami itu dibolehkan dengan maksimal empat orang isteri.
2.4. Perceraian Sebelum terjadi perceraian, pasangan suami-isteri sudah barang pasti melalui proses perkawinan. Dimaksudkan dengan perkawinan sebagaimana pasal 1 UU No. 1 tahun 1974, ialah ikatan perkawinan antara seorang pria
268
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah al-Mujtahid an Nihayah al-Muqtashid, Juz ke-2, (Bairut: Dar al-Fikr li al-Thiba‟ah wa al-Nasyr wa alTauzi‟, tt.), h. 31. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid ke-2, Cet. Ke 4 (Bairut: Dar al-Fikr li al-Thiba‟ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1404 H./1983 M), h. 95. Mahmud „Ali al-Sarthawi, Syarh Qanun al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Bagian ke-1 (Bairut: Dar al-Fikr li al-Nasyr wa alTauzi‟, tt.), h. 118. Muhammad „Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Bagian ke 2, (T.tp., tt.), h. 24. 269
Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak (perempuan) yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang menyenangkan hatimu dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” 270 Ketika Ghailan bin Salamah masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang isteri, kemudian ia menginformasikan kepada Rasulullah s.a.w. Lalu beliau bersabda: Peganglah empat orang di antara mereka, dan ceraikanlah yang lainnya. Muwaffiquddin dan Syamsuddin ibn Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir „ala matan al-Muqna‟ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, h. 436. 271 Demikian juga Naufal bin Mu‟awiyah, ketika ia masuk Islam mempunyai lima orang isteri, kemudian menginformasikan kepada Nabi s.a.w. Lalu beliau bersabda: Ceraikan satu di antara mereka., Ibid. 272 Ibid.
152
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
153
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.273 Lebih dipertegas lagi pada pasal 3 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.274 Oleh sebab itu, jika sebuah rumah tangga yang telah dibangun berdasarkan asas perkawinan (monogami) dan tujuan perkawinan tidak mampu lagi untuk dipertahankan, maka Allah S.w.t. memberikan solusi terakhir dengan apa yang disebut perceraian (talak). Tetapi, jika ia hendak mentalak isterinya sekalipun itu menjadi haknya, harus memperhatikan kapan waktu dibolehkan menjatuhkan talak. Paling tidak sesuai petunjuk-Nya, seorang suami boleh menjatuhkan talak kepada isterinya apabila dalam keadan suci (al-thuhr wa laisa fi al-haidh) dan tidak dicampuri, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap suami berbasis takwa dan taat aturan Allah, benar dan selamat. Pada dasarnya menjatuhkan talak (menceraikan) kepada isteri itu sesuatu perbuatan yang dibolehkan, tetapi sangat dibenci Allah. Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya di antara perkara yang mubah yang sangat dibenci Allah ‘Azza wa Jall adalah talak” (Inna min abghadh almubahat ‘ind Allah ‘Azza wa Jall al-thalaq).275 Teks lain berbunyi: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (Abghadh al-halal ila Allah althalaq).276 Dalam konteks ini Madzhab Hanbali berpendapat bahwa talak itu pada asalnya dilarang karena mengandung arti mengkufuri nikmat perkawinan, sedangkan dibolehkannya talak kalau ada keperluan, maka
273
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (Surabaya: Penerbit Arkola,
tt.), h. 1. 274
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Depag RI Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,2000), h. 14. 275 Muhammad „Ali al-Shabuni, Rawai‟I al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min alQur‟an, Juz ke 2 (Bairut: Dar al-Fikr, tt.), h. 596. 276 Lihat Mahmud Syaltut dan Muhammad „Ali al-Sayis, Muqaranah al-Madzahib fi al-Fiqh (Al-Azhar: Muhammad „Ali Shabih wa Auladuh, 1953 M-1373 H.), h. 71.
153
154
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
pengertian mubah berarti sesuatu yang dibolehkan dalam situasi tertentu apabila memang ada keperluan yang dibolehkan.277 Dalam konteks ini, Ibn Qudamah membedakan antara talak sunnah (sebutan lain sunni), dan talak bid’ah (bid’iy). Dimaksudkan dengan talak sunnah yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya, yakni menjatuhkan talak kepada isteri dalam keadaan suci tanpa dicampuri menjelang ia ceraikan.278 Sedangkan talak bid’ah yaitu manakala seorang suami menalak isterinya ketika isteri dalam keadaan menstruasi (haidh), atau keadaan suci (thuhr) tetapi sudah dicampuri. Dalam keadaan seperti itu kalau suami tetap menalak isterinya, maka ia berdosa, tetapi talaknya adalah sah.279 Ibn al-Mundzir dan Ibn ‘Abd al-Barr menguatkan pembedaan talak tersebut dan mengatakan bahwa tidak akan ada yang menentang pendapat para ulama madzhab itu kecuali para pelaku bid’ah dan kesesatan. Tetapi bila dikatakan bahwa mengikuti Allah dan sunnah RasulNya itu merupakan bid ‘ah, maka mengikuti syetan haruslah dikatakan sebagai sunnah dan hidayah.280 Oleh karena demikian, praktik perceraian di Arab Saudi tanpak dibenarkan sesuai dengan aturan fiqih madzhabnya sepanjang sesuai dengan perintah al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Sekurang-kurangnya suami, atau isteri menalak atau menggugat cerai ke pengadilan ada alasanalasan yang dibenarkannya. Dalam kaitan dengan praktik perceraian ini, menurut Kantor Pusat Statistik Arab Saudi mengatakan bahwa tingkat perceraian di kerajaan Arab Saudi itu mencapai 62 %, prosentase ini termasuk tertinggi di dunia.281 277
Muhammad „Ali al-Shabuni, Rawai‟i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-
Qur‟an. 278
Muwaffiquddin dan Syamsuddin ibn Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarh alKabir „ala Matan al-Muqna‟ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz ke 8, (Bairut: Dar alFikr, tt.), h. 236. 279 Ibid., h. 254. 280 Ibid. 281 www.facebook.com/maret 2012
154
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
155
Senada dengan ini, Kementerian Urusan Sosial Kerajaan Arab Saudi menegaskan bahwa tingkat perceraian di Arab Saudi lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata dunia yang berkisar 18 sampai dengan 22 prosen. Dan sekitar 60 prosen perceraian terjadi pada tahun pertama pernikahan.282 Sumber lain dari Business Arab Com. Menyebutkan bahwa hampir 62 % pernikahan di Arab Saudi berakhir dengan perceraian.283 Berdasarkan data-data ini menunjukkan bahwa ternyata tingkat perceraian di Kerajaan Arab Saudi adalah tinggi mencapai 60 % lebih. Hal ini tentunya menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut, mengapa tingkat perceraian di Kerajaan Arab Saudi relatif tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara muslim modern lainnya. Seperti kasus perceraian di Bahrain (27 %, tahun 2007), Uni Emirat Arab (25,6 %, tahun 2008), Qatar (34,8 %, tahun 2009), dan Kuwait (37,1 %, tahun 2007).284
2.5. Rujuk Dalam istilah mayoritas ulama dan ahli tafsir, ruju’ (diindonesiakan menjadi rujuk) disebut dengan al-raj’ah, yang artinya secara bahasa yaitu kembali dari pergi. Sedangkan pengertian menurut istilah syara’ yaitu wanita yang kembali kepada pernikahan semula dari talak yang tidak ba’in.285 Dalam pengertian lain didefinisikan dengan “kembalinya suami kepada isterinya yang ditalak, yaitu talak satu atau dua, ketika isteri masih dalam iddah, dan dengan sighat (ucapan).” 286
282
Koran Fesbuk, 6 September 2012. www.theglobal-review.com. 2 September 2008. 284 www.Voa.Islam.com/lintas berita/Hidayatullah/2010. 285 Sa‟di Abu Habib, Al-Qamus al-Fiqhy Lughatan wa Ishthilahan, (DamaskusSuriyah: Dar al-Fikr, tt.), h. 144. 286 Shadiq dan Shalahuddin Chaery, Kamus Istilah Agama, Cet. Ke 1, (Jakarta: CV Sienttarama, 1983), h. 294. 283
155
156
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Rujuk ditetapkan berdasarkan al-Kitab, al-sunnah, dan al-ijma’. Berdasarkan al-Kitab, surat al-Baqarah: 228,287 dan 232,288 dan berdasarkan al-sunnah, kasus Ibn Umar yang menceraikan istrinya dalam keadaan haidh.289 Adapun berdasarkan ijma’ ulama sepakat bahwa talak yang dijatuhkan ketika isteri sedang haidh adalah dilarang, sedangkan isteri dalam keadaan suci yang belum dicampuri diizinkan untuk menceraikannya.290 Berdasarkan beberapa ayat dan hadis serta ijma’ ulama tersebut dapat ditegaskan bahwa seorang suami yang telah mentalak isterinya kemudian mau merujuknya adalah diperbolehkan dengan syarat status talak belum talak ba’in, ketika ditalak dalam keadaan suci, belum dicampuri, dan dengan cara yang ma’ruf. Demikian pandangan di kalangan madzhab Hanbali.291
2.6. Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Pihak suami adalah pihak yang memegang hak utama dalam kasus perceraian. Namun demikian, hakim dapat mempertimbangkan kekuatan dan kelayakan mantan suami (bapak) atau mantan isteri (ibu) dalam mengasuh anak,292 akibat perceraian. Mayoritas ulama fiqih sepakat bahwa hak asuh anak itu berada di pihak ibu. Tetapi mereka berbeda pendapat 287
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru‟ … dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” 288 Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, kemudian habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.” 289 Hadis riwayat muttafaq alaih dari Ibn Umar r.a., bahwa ia telah mentalak isterinya dalam keadaan haidh, kemudian oleh Umar hal itu diinformasikan kepada Nabi s.a.w., lalu beliau marah seraya bersabda: Hendaklah ia merujuknya kembali. 290 Muwaffiquddin dan Syamsuddin ibn Qudamah, Op. Cit., hlm. 471-472. 291
Muhammad „Ali al-Shabuni, Al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir „ala Matan alMuqna‟ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, h. 598. 292 Dimaksudkan mengasuh anak di sini adalah hadhanah, yaitu persoalan mengasuh anak pasca perceraian, dalam arti mendidik, membimbing dan menjaga sampai usia dewasa untuk kehidupan masa depan anak-anak, dan tentunya siapakah yang lebih berhak mengasuhnya, mantan suami (bapak), dan/atau mantan isteri (ibu).
156
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
157
tentang siapa yang paling berhak sesudah ibu, persyaratan pengasuhan, berapa lama waktu mengasuh, dan hak upah (gaji) mengasuh. Dalam hal ini, di kalangan madzhab Hanbali mengatakan bahwa hak asuh itu berturutturut berada pada pihak ibu, ibunya ibu, ibu kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan ayah sekandung, seibu dan seterusnya.293 Kemudian ungkap Hanbali selanjutnya, apabila anggota keluarga yang berhak itu jumlahnya berbilang dan sejajar, misal nenek dari pihak ayah dengan nenek dari pihak ibu, atau bibi dari pihak ayah dengan bibi dari pihak ibu, maka dilakukan undian manakala mereka berebut ingin mengasuh. Orang yang namanya ke luar sebagai pemenang, dialah yang paling berhak mengasuh sampai orang ini meninggal, atau menolak haknya.294 Pengasuh menurut Hanbali harus orang yang sehat, terbebas dari penyakit lepra dan belang, dan yang penting dia tidak membahayakan kesehatan anak.295 Sedangkan masa lamanya mengasuh anak laki-laki atau perempuan adalah tujuh tahun, dan sesudah itu anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu ayahnya, lalu anak tinggal bersama orang yang dipilihnya.296 Adapun hak upah (gaji), Hanbali menegaskan bahwa wanita yang mengasuh berhak atas upah bagi pengasuhan yang diberikannya, baik dia berstatus ibu sendiri maupun orang lain bagi anak itu.297
2.7. Waris Orang yang berhak menerima harta peninggalan disebut dengan warits, sedangkan orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta disebut 293
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „ala Madzahib al-Khamsah, Alih Bahasa Afif Muhammad, cet. Ke 1, (Jakarta: Basrie Press, 1414 H./1994 M.), h. 134. Lihat, Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar ibn Qayyin al-Jauziyyah, I‟lam alMuwaqqi‟in „an Rabb al-„Alamin, Juz ke 2, (Bairut: Dar al-Fikr, 1424 H./2003 M.), h. 593. 294 Muwaffiquddin dan Syamsuddin ibn Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarh alKabir „ala Matan al-Muqna‟ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz ke 9 (Bairut: Dar alFikr, tt.), h. 310-311. 295 Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir „ala Matan al-Muqna‟ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, h. 135. 296 Ibid., h. 136. 297 Ibid., h. 137.
157
158
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
muwarits. Dan harta yang ditinggalkan itu sendiri disebut dengan mauruts.298 Dalam persoalan kewarisan ini, Arab Saudi termasuk negara yang tidak menjadikan hukum kewarisannya ke dalam sebuah undangundang, akan tetapi, Saudi dalam menangani dan menyelesaikan masalah waris langsung mengacu kepada al-Quran dan sunnah. Dalam hal ini Ibn Qudamah menetapkan pembagian warisan baik untuk ahli waris (dzaw alfurudh), ‘ashabah ataupun dzaw al-arham.299 Secara teknis ia jelaskan dalam bab/kitab al-faraidh dengan panjang lebar.300
2.8. Wakaf Perlu ditambahkan di sini sebagai bagian dari hukum keluarga tentang wakaf. Hukum wakaf sama halnya dengan hukum keluarga, merupakan hukum yang hidup di seluruh negara-negara muslim di dunia, apakah itu di negara-negara berpenduduk muslim minoritas ataupun di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim, seperti Indonesia. Begitu penting kedudukan dan strategisnya wakaf bagi jaminan social dan peningkatan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan. Arab Saudi yang notabene sebagai negara kaya dengan sumber minyaknya telah lama memiliki menteri perwakafan, dan departemen wakaf301 dengan tugas utama menangani berbagai hal yang berkaitan dengan wakaf, seperti membuat perencanaan, pengembangan dan
298
TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, Hukum-Hukum Warisan dalam Syari‟at Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, tt.), h. 17. 299 Lihat, Q.S. al-Nisa‟, ayat 11, 12, dan 176. 300 Muwaffiquddin dan Syamsuddin ibn Qudamah, Al-Mughni, Juz ke 7, AlMughni wa al-Syarh al-Kabir „ala Matan al-Muqna‟ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, h. 3. 301 Kerajaan Saudi kelihatannya melalui kementerian dan departemen wakafnya terus melakukan penataan dunia perwakafan. Saudi sebagai negara muslim yang berbasis syari‟at Islam telah konsisten mengikuti tradisi wakaf yang dicanangkan dan dikembangkan Nabi Muhammad s.a.w. 14 abad yang lalu. Beliau sendiri pada tahun ketiga hijriyah pernah mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah, di antaranya kebun a‟raf, shafiyah,dalal, barqah dan kebun lainnya. Lihat, Fiqih Wakaf, Edisi Revisi, Cet. Ke 5, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama RI, 2007), h. 4.
158
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
159
pengelolaan harta wakaf, mensosialisasikan program-program wakaf yang telah dibuatnya, mendistribusikan hasil wakaf kepada masyarakat yang berhak menerimanya, dan memelihara aset-aset wakaf serta menyusun laporan lengkap dan rinci untuk dilaporkan kepada pihak kerajaan Saudi. Sejak tahun 1966 hingga sekarang ini Arab Saudi melakukan pengelolaan wakaf dengan baik dan terus berkembang, terutama pengelolaan wakaf di dua kota yang paling dihormati umat Islam, yaitu Makkah dan Madinah. Tanah di sekitar dua kota tersebut dibangun pertokoan, perhotelan, dan rumah penginapan dikelola secara profesional. Hasil dari pengelolaan dapat membiayai perawatan berbagai asset di dua kota tersebut. Pengelolaan berbagai aset wakaf, Kerajaan Arab Saudi tanpak mengikuti fatwa-fatwa dari kalangan madzhab Hanbali, sebagai madzhab resmi negara, di antaranya mengenai menjual masjid. Hanbali membolehkan menjual masjid apabila penduduk di sekitar masjid itu pindah, sehingga tidak ada lagi yang shalat di situ, atau tidak mencukupi warga di situ, dan tidak mungkin masjid itu diperluas dibangun kembali sebagiannya, kecuali dengan menjual sebagiannya, maka boleh dijual. Selain itu masjid tidak bisa dimanfaatkan kecuali dengan menjualnya, maka boleh dijual. Sementara pandangan Imam Syafi’i melarang menjual masjid secara mutlak, meskipun kondisi masjid itu rusak barat, tidak boleh dijual.302
3. Analisis Berdasarkan uraian pembahasan sekilas gambaran umum Negara Arab Saudi, dan hukum keluarganya, maka pada bagian analisis ini dapat ditegaskan bahwa, Arab Saudi merupakan sebuah negara yang tidak 302
Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat fi al-Waqf, Cet. Ke 2, (Dar al-Fikr al„Arabi, 1971), h. 164-165. Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ahkam al-Waqf, Cet. Ke 3, (Mesir: Mathba‟ah al-Nahr, 1954 M./1374 H.), h. 76. Muhammad Mushthafa Syalabi, Ahkam alWashaya wa al-Auqaf. (Qahirah: Dar al-Jami‟ah, tt.), h. 417.
159
160
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
memiliki undang-undang hukum keluarga secara formal, sebagaimana negara-negara muslim modern lainnya, seperti Mesir, Turki, Irak, Tunisia, Siria, dan lain-lain. Kelihatannya cukup beralasan, karena Arab Saudi telah menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai konstitusi formal negara. Semua berbagai persoalan bangsa pengaturannya langsung berpedoman kepada konstitusi tersebut. Tetapi, jika persoalan-persoalan itu tidak terakomodir di dalam konstitusi, maka didasarkan kepada Dekret Kerajaan. Karena itu, keluarga raja mempunyai kompetensi penuh untuk menginterpretasikan dan menjabarkan konstitusi dalam banyak bidang yang secara tersurat tidak ada ketentuannya di dalam konstitusi (al-Qur’an dan sunnah). Implementasi teknis operasional seperti ini kelihatannya didasarkan pada hadis Mu’az bin Jabal ketika Rasulullah s.a.w. mengutusnya ke negeri Yaman untuk memimpin dan membangun negeri itu. Sebelum Mu’az berangkat sempat berdialog dan ditanya oleh Rasulullah yang intinya bahwa dalam menyelesaikan kasus-kasus yang mungkin terjadi pertimbangannya secara kronologis didasarkan pada al-Kitab/al-Qur’an, alsunnah, dan ijtihad.303 Yang disebutkan terakhir inilah tanpaknya sebagai dasar Dekret Kerajaan dan kewenangan penuh keluarga raja untuk menjabarkan konstitusi dalam bentuk perundang-undangan sebagai manifestasi dari hal-hal yang belum terakomodir di dalam konstitusi. Sebagai contoh, pemerintah Arab Saudi mengeluarkan peraturan tentang perdagangan (1954), perundang-undangan tentang pertambangan (1963), aturan hukum tentang perburuhan dan karyawan (1970), aturan hukum tentang asuransi social (1970), dan aturan hukum dinas sipil (1971). Aturan perundang-undangan ini diterbitkan sangat terkait dengan pihak asing yang masuk dan bekerja di Arab Saudi. Di samping mengenai status kewarganegaraan; Bagi orang asing sekalipun sudah puluhan tahun berada dan berdomisili di Saudi mereka tidak mudah untuk mendapatkan status kewarganegaraan Negara Arab Saudi, dan memang dalam hal kewarganegaraan ini Saudi sangat ketat sekali, karena akan berimplikasi pada pertambahan jumlah penduduk. Oleh sebab itu, apabila dikemudian hari terjadi peristiwa sengketa, kasus ketenaga-kerjaan, dan lain-lain dapat 303
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid. Ke 3, (Mesir: Musthafa al-Babi alHalabi, 1952), h. 412-413.
160
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
161
diselesaikan secara aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku melalui proses peradilan. Demikian juga tentang peradilan Mahkamah syar’iyyah yang berbasis pada karya-karya fiqih klasik, terutama yang bercorak Hanabilah. Para hakim mempunyai yurisdiksi penuh untuk mempergunakan hukum syariat Islam. Tetapi bercorak seperti ini bukan berarti tidak menerima perubahan dan pembaruan dalam bidang peradilan, justru yang demikian inilah sikap fleksibilitas dan pembaruan yang diperkenalkan pemerintah Arab Saudi kepada dunia, yang konsekuensinya menciptakan kementerian kehakiman, untuk menggantikan jabatan keagamaan tradisional dari Syekh al-Islam, yang selama itu bertugas mengawasi administrasi peradilan dan sistem yang digunakan dalam mahkamah-mahkamah syar’iyyah. Dan sekarang sistem peradilan berdasarkan titah raja (royal order) Abdullah bin Abdul Aziz, tertanggal 1 Oktober 2007 tentang pembaruan peradilan, maka Majelis Tertinggi Peradilan tidak lagi berperan sebagai Mahkamah Agung (MA), tetapi sebagai pusat administrasi peradilan. Sedangkan hirarki pengadilan menjadi tiga tingkat, yaitu Pengadilan Tinggi sebagai MA, Pengadilan Tingkat Banding, dan Pengadilan Tingkat Pertama. Di dua pengadilan disebut terakhir ini terdapat Pengadilan Perdata, Pengadilan Pidana, Pengadilan Hukum Keluarga, Pengadilan Perdagangan, dan Pengadilan Perburuhan. Khusus mengenai Pengadilan Hukum Keluarga, lembaga ini bertugas menyelesaikan kasus-kasus hukum keluarga, seperti perkawinan, perceraian, talak, rujuk, kewarisan, hibah, wasiat, dan perwakafan. Dalam kaitan dengan kasus-kasus perceraian yang terjadi di Arab Saudi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan berdasarkan keterangan dari Kantor Statistik Arab Saudi hingga tahun 2012 ini telah mencapai 62 %. Atau naik 35 % angka tingkat perceraian di Arab Saudi sejak tahun 2011-2012. Tingginya tingkat perceraian ini kelihatannya disebabkan banyak pasangan nikah yang melaksanakan pernikahan di bawah usia 30 tahun. Dengan kata lain, mereka melaksanakan pernikahan pada usia muda (rata-rata 20-29 tahun) yang kematangan sikap, mental dan financial belum siap secara maksimal (manistatha’a minkun al-ba’ah). Selain itu, akibat terjadi KDRT dalam rumah tangga yang pada klimaksnya 161
162
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
mereka lebih memilih untuk bercerai. Analisis ini terbukti dari hasil survey yang dilakukan oleh Departemen Keuangan dan Perencanaan Arab Saudi mengungkapkan bahwa 97,4 % perempuan Arab Saudi menikah sebelum usia 30 tahun. Angka perceraian terus meningkat di Saudi, 2,4 % dari komunitas perempuan 180.000 orang perempuan di tahun 2007. Sebagian kasus perceraian di Saudi terjadi dalam rentang waktu tiga tahun pertama pernikahan. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Ibtisam alHalwani dari University King Abdul Aziz yang diterbitkan oleh website Artarab.com., Agustus 2008. Al-Halwani mengungkapkan bahwa kekerasan dan perlakuan buruk suami terhadap isteri dijadikan sebagai alasan perceraian. Temuan ini juga merupakan fakta yang menguatkan bahwa tingkat perceraian di Saudi terus meningkat disebabkan banyak faktor yang mempengaruhinya. Karena itu al-Halwani memprediksi pada tahun 2020 perempuan tidak menikah akan mencapai 8 juta perempuan. Dan kini, ada 180.000 perawan tua di Saudi yang telah mencapai usia 30 tahun, mereka lebih memilih untuk tetap melajang dari pada menikah.304 Sekalipun demikian, di satu sisi Arab Saudi melakukan upaya-upaya pembaruan seperti terlihat dalam bidang peradilan di atas, tetapi di sisi lain khususnya mengenai hukum keluarga, Arab Saudi hingga saat ini termasuk kelompok negara-negara yang hukum keluarga Islamnya bercorak tradisonal dan berbasis kemadzhaban. Hal ini terus diberlakukan secara turun temurun sepanjang masa. Di antara negara-negara yang tergolong ke dalam kelompok ini ialah Yaman, Bahrain, Kuwait, dan Arab Saudi itu sendiri.
C. Penutup Demikian pembahasan dan uraian tentang hukum keluarga Islam di Arab Saudi. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat, dapat menambah wawasan, dan perbendaharaan ilmu, khususnya dalam studi hukum keluarga di negara-negara muslim modern. 304
www.theglobal-review.com.
162
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
163
163
164
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim wa Tarjamah Ma’anih ila al-Lughah al-Indonesiyyah, Mujamma’ Khadim al-Haramaian al-Syarifah al-Malik Fahd, tt. Amin Suma, Muhammad, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Cet. Ke 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Chaery, Shalahuddin dan Shadiq, Kamus Istilah Agama, Cet. Ke 1, Jakarta: CV Sienttarama, 1983. Esposito, John L., Islam and Politics, Alih Bahasa, HM. Yoesoef Sou’eyb, Cet. Ke 2, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990. Fiqih Wakaf, Edisi Revisi, Cet. Ke 5, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama RI, 2007. Habib, Sa’di Abu, Al-Qamus aL-Fiqhy Lughatan wa Ishthilaha, DamaskusSuriyah: Dar al-Fikr, tt. Hitti, Philip K., The Arabs a Shart History, Alih Bahasa, Usuluddin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing, Cet. Ke 7, Bandung: Sumur Bandung, tt. Ibn Rusyd, Abu Walid Muhammad bin Ahmad, Bidayah al-Mujtahid ‘an Nihayah wa al-Muqtashid, Juz ke 2, Bairut: Dar al-Fikr li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, tt. Ibn Qudamah, Muwaffiquddin dan Syamsuddin, Al-Mughni wa al-Syarh alKabir ‘ala Matan al-Muqna’ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz ke 7, 8 dan ke 9, Bairut: Dar al-Fikr, tt. Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz ke 2, Bairut: Dar al-Fikr, 1424 H./2003 M.
164
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
165
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2000. Khallaf, Abdul Wahab, Ahkam al-Waqf, Cet. Ke 3, Mesir: Mathba’ah alNahr, 1374 H./1954 M. Mughniyah, Muhammad Jawad, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Khamsah, Alih Bahasa, Afif Muhammad, Cet. Ke 1, Jakarta: Basrie Press, 1414 H./1994 M. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Jld. Ke 2, Cet. Ke 4, Bairut: Dar al-Fikr li alThiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1404 H./1983 M. Shabuni, Muhammad ‘Ali, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min alQur’an, Juz ke 2, Bairut: Dar al-Fikr, tt. Sarthawi, Muhammad ‘Ali, Syarh Qanun al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Bagian ke 1, Bairut: Dar al-Fikr li al-Nasyr wa al-Tauzi’, tt. Sayis, Muhammad ‘Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Bagian ke 2, T.tp., tt. Sayis, Muhammad ‘Ali dan Mahmud Syaltut, Muqaranah al-Madzahib fi alFiqh, Al-Azhar: Muhammad ‘Ali Shabih wa Auladuh, 1373 H./1953 M. Syalabi, Muhammad Mushthafa, Ahkam al-Washaya wa al-Waqf, Qahirah: Dar al-Jami’ah, tt. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Surabaya: Penerbit PT Arkola, tt. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Cet. Ke 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. Zahrah, Muhammad Abu, Muhadharat fi al-Waqf, Cet. Ke 2, Dar al-Fikr al‘Arabi, 1971.
165
166
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA Mohammad Rusfi I. Latar Belakang Pemikiran Berbicara tentang Negara Malaysia ada keunikan tersendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia menyuguhkan suatu pengalaman Islam yang unik. Malaysia adalah sebuah masyarakat yang multi-etnik, multi-komunal dan multi-agama tempat bangsa Melayu yang merupakan 45 persen dari seluruh penduduknya. Namun demikian bangsa melayu mempunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sisanya terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan dan yang terbesar adalah komunitas Cina (35 persen) dan India (10 persen). Tidak dapat dielakan bahwa keberadaan dua etnik tersebut di Malaysia merupakan produk sejarah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia (Melayu) berada pada persimpangan jalur perdagangan Asia Tenggara, semenanjung Melayu menjadi pusat berkumpulnya berbagai pengaruh Agama dan Kebudayaan karena disinilah para pedagang dari India, Arab, dan Cina serta kaum penjajah Portugis, Belanda dan Inggris membawa serta ajaran Hindu, Budha, Kristen dan Islam ke Asia sehingga membentuk mozaik kebudayaan yang sangat kaya warna. Dua proses kebudayaan yang paling kuat membentuk wilayah tersebut adalah Indianisasi yang berlangsung selama berabad-abad yang kemudian disusul dengan Islamisasi dari abad keempatbelas disaat para pedagang Muslim dan para Sufi dari Arab dan India mengajak para penguasa (sultan) Melayu untuk memeluk Agama Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara.305 Karena Negara Malaysia juga merupakan bekas daerah jajahan Portugis dan Belanda yang kemudian disusul dengan kedatangan Inggris pada akhir abad ke-18. Tentunya hal 305
John L. Esposito dan John O.Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1999), h.165
166
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
167
tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap produk hukum yang dibuat Malaysia, karena tidak menutup kemungkinan hukum yang dibawa penjajah juga membumi di Malaysia. Dari beberapa uraian diatas merupakan pijakan penulis untuk membahas Hukum Keluarga Islam di Malaysia karena disamping menengok sejarah Malaysia ke belakang tentunya juga harus melihat kondisi sosio politik yang berkembang di Malaysia yang kesemuanya itu merupakan faktor penentu dari produk hukum yang dihasilkan. II. GAMBARAN UMUM TENTANG NEGARA MALAYSIA Malaysia merupakan Negara bagian yang memiliki tigabelas Negara Federasi diantaranya Johor, Kedah, Kelantan, Malaka, Negerisembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, Serawak, Selangor dan Trengganu dan tiga wilayah persektuan306 diantaranya Kuala Lumpur, Labuan dan Putra Jaya. Negara Malaysia pernah berada di bawah kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris sejak akhir abad ke-18. Traktat Inggris-Belanda yang ditandatangani pada tahun 1824 di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini adalah penerus wilayah-wilayah yang pada masa penjajahan disebut Straits Settlement (Penang, Singapura dan Malaka), Federated Malay States (Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan Unfederated Malay States (Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor). Sabah dan Serawak yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung dengan Malaysia.307 Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal 31 Agustus 1957. Penganut Agama Islam pada tahun 2004 sekitar 60 persen dari keseluruhan jumlah penduduk, sebagian besar umat Islam di Malaysia bermazhab Syafi'I sekalipun ada juga yang menganut mazhab 306
Wilayah persekutuan adalah salah satu negeri atau wilayah yang membentuk persekutuan tanah Melayu (Malaysia).Wilayah persekutuan diperintah secara langsung oleh kerajaan persktuan dibawah kekuasaan Perdana Mentri. Lihat Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Negeria, (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004) h.156 307 Ibid., h.156
167
168
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Hanafi walau dalam jumlah sedikit. Agama-agama lain yang ada di Malaysia diantaranya Budha ( Cina dan India), Hindu dan Kristen. Sebagaimana termaktub dalam konstitusi Malaysia pada bagian 1 Pasal 3 dinyatakan bahwa " Islam adalah agama Federasi", tetapi agama-agama lain diterima dan diperkenankan. Dalam konstitusi Malaysia juga menetapkan bahwa Kepala Negara bagian adalah kepala agama Islam. Dalam pasal 11 juga disebutkan bahwa Malaysia menerima prinsip kebebasan beragama.308 Hal yang menarik dari Konstitusi Malaysia sebagaimana dikatakan John L. Esposito309 adalah bahwa konstitusi tersebut mengabadikan identifikasi agama dan etnik (kedudukan istimewa bagi Islam, Sultan dan kaum Muslim Melayu). Menurutnya konstitusi tersebut mendefinisikan orang melayu sebagai "Orang yang mengaku memeluk agama Islam, terbiasa berbicara dengan bahasa melayu, dan menyesuaikan diri dengan adat-isitiadat Melayu". Orang-orang melayu menikmati hak istimewa yang mencakup system kuota Melayu dalam pendidikan, pemerintahan, dan bisnis. III. SOSIO POLITIK NEGARA MALAYSIA Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia merupakan Negara multikomunal. Sejak awalnya dengan adanya dua etnis yakni Cina dan India merupakan masa dimana Malaya dalam proses Indianisasi, yang kemudian disusul pula upaya Islamisasi dari beberapa pedagang muslim dan para Sufi dari Arab. Atas dasar itu maka John L. Espositro310 menganggap bahwa sejak periode paling awal di Malaysia, Islam mempunyai ikatan erat dengan politik dan Masyarakat, secara tradisional di Negara-negara bagian Melayu, seluruh aspek pemerintahan, jika tidak diambil langsung dari sumber dan prinsip keagamaan, diliputi oleh aura kesucian agama. Islam menjadi unsur inti identitas dan kebudayaan Melayu, memberikan kesadaran tentang agama, nilai-nilai tradisonal, kehidupan pedesaan dan kehidupan keluarga secara terpadu. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa Islam merupakan sumber legitimasi para sultan, yang memegang peran sebagai pemimpin agama, pembela iman, dan pelindung hukum Islam, sekaligus pendidikan dan nilai308
Ibid, h.157. John L. Esposito, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1999), h.167 310 Ibid., h.166 309
168
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
169
nilai adat. Islam dan identitas Melayu saling berjalin berkelindan, menjadi orang Melayu berarti menjadi Muslim. Pada saat Melayu dijajah oleh Inggris nilai-nilai Islam sebagaimana tersebut di atas menjadi terusik, karena memang watak kolonialisme inggris adalah politik pecah belah, disamping itu juga adanya upaya Inggris untuk memisahkan antara Agama dan Negara hal ini terwujud dengan diperkenalkannya administrasi sipil dan sistem hukum yang berbeda dengan sistem hukum dan peradilan Islam. Pada saat yang sama, masyarakat juga menjadi lebih pluralistis yang disebabkan adanya imigrasi besar-besaran orang-orang non- Muslim Cina dan India. Usulan – usulan Inggris kepada serikat Melayu untuk bersatu dengan kesamaan hak warga Negara bagi semua orang ditolak oleh bangsa Melayu, karena dikhawatirkan adanya pertumbuhan populasi, kekuatan ekonomi, serta pengaruh komunitas Cina dan India. Dari serentetan gejolak politik bangsa Melayu maka pada saat yang sama yakni pada tahun 1951 munculah Partai Islam Pan Melayu (PMIP: Pan Malaya Islamic party) yang kini dinamakan dengan PAS (Partai Islam SeMalaysia) yang menawarkan pesan dan program partai yang menggabungkan nasionalisme Melayu dan Islam.311 Menurut Taufik Adnan bahwa partai ini lebih bersifat konservatif karena ingin menjadikan Islam sebagai landasan perjuangannya serta menjadikan Islam yang mereka pahami sebagai sistem cara hidup sempurna, yang mencakup aturanaturan pidana Islam, sebagai konstitusi dan hukum yang berlaku di Malaysia.312 Sementara UMNO (United Malaya National Organization) yang didukung oleh ABIM.313 (Angkatan Belia Islam Malaysia) lebih kepada menggunakan pendekatan akomodatif dan moderat dan tidak kaku dalam
311
Ibid., Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Negeria. 313 ABIM adalah gerakan pemuda Islam yang lebih mendukung UMNO dipimpin oleh oleh aktivis muda Anwar Ibrahim almunus Universitas Malaysia, diantara pemikirannya adalah dia tidak sepakat dengan adanya usaha pembentukan undang-undang yang ditawarkan PAS mngenai khalwat yang dan bagian-bagian kecil lain dari ajaran Islam. Menurutnya bahwa hal yag perlu mendapat perhatian pada persoalan hubungan komunal, politik dan ekonomi. Lihat John L. Esposito, Identtas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), h.261. 312
169
170
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
memaknai Islam. Dapat penulis simpulakan bahwa dalam kancah perpolitikan nasional Malaysia terdiri dari dua kubu yang bersimpangan pendangan mengenai Islam. PAS lebih cendurung untuk menjadikan Negara Islam dalam arti Negara yang menjadikan hukum Allah sebagai hukum yang berdaulat yang berarti syariat islam menjadi konstitusi Negara. Sedangkan UMNO dan ABIM lebih kepada upaya menghidupkan nilai-nilai islam dalam konteks masyarakat yang pluralis serta bersikap akomodatf terhadap dua etnis (Cina dan India) yang ada di Malaysia. IV. HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA Menurut Khiruddin Nasution bahwa setelah terjadinya pembaharuan UU Keluaraga Malaysia maka apabila dikelompokan maka Undang-Undang keluarga Islam yang berlaku di Malaysia akan lahir dua kelompok besar:314 UU yang mengikuti akta persekutuan yakni Selangor, Negeri Sembilan, pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu, Serawak dan Sabah di suatu pihak, serta Kelantan, Johor, Malaka, dan Kedah di pihak lain, meskipun dicatat banyak persamaannya tetapi ada perbedaan yang cukup menyolok, yakni dari 134 pasal yang ada terdapat perbedaan sebanyak 49 kali. A. UU Perakawinan di Malaysia dalam Sejarah Sebelum Penjajahan Inggris Sebelum masuknya Inggris hukum yang berlaku adalah hukum Islam yang masih bercampur dengan hukum adat, Abdul Munir Yaacob mengatakan bahwa Undang-Undang yang berlaku di negara-negara bagian sebelum campur tangan Inggris adalah adat pepatuh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di Negeri sembilan dan beberapa kawasan di Malaka, dan terdapat Temenggung di bagian semenanjung. Sedangkan orang Melayu di Serawak mengikuti Undang-undang Mahkamah Melayu Serawak. Undang-undang
314
Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.22
170
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
171
tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum Islam dan utamanya dalam masalah perkawinan, perceraian dan jual beli.315
B. Masa Penjajahan Inggris Pada tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan memperkenalkan Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk diberlakukan di Negara-negara selat (Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore) yang isinya: 316 BAB I : Pendaftaran Perkawinan dan perceraian ( Pasal 1 sd 23) BAB II : Pelantikan Qadi ( pasal 24 s.d 26) BAB III : Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 27) BAB IV : Ketentuan Umum ( Pasal 28 s,d 33) Sementara untuk Negara-negara Melayu bersekutu (Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885, dan untuk Negara-negara Melayu tidak bersekutu atau Negara-negara bernaung (Kelantan, Terengganu, Perlis, Kedah dan Johor) diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907.317 C. Setelah Merdeka Setelah Malaysia merdeka upaya pembaharuan hukum keluarga sudah mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, bukan hanya pendaftaran perkawinan dan perceraian seperti pada Uundang-Undang sebelumnya. Usaha tersebut dimulai pada tahun 1982 oleh Melaka, Kelantan dan Negeri sembilan yang kemudian diikuti oleh Negara-negara bagian lain. Undang-Undang perkawinan Islam yang 315
Abdul Monir Yacob, Pelaksanaan Undang-Undang dalam Mahkamah Syariyah dan Mahkamah Sipil di Malaysia, ( Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Malaysia (IKIM), 1995), h.8 316 Nasution Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h. 62-65 317 Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqih, h. 20
171
172
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
berlaku sekarang di Malaysia adalah Undang-Undang perkawinan yang sesuai dengan ketetapan Undang-Undang masing negeri. Undang-Undang Keluarga tersebut diantaranya :318 UU Keluarga Islam Malaka 1983, UU Kelantan 1983, UU Negeri Sembilan 1983, UU Wilayah Persekutuan 1984, UU Perak 1984 ( No.1), UU kedah 1979, UU Pulau Pinang 1985, UU Trengganu 1985, UU Pahang 1987, UU Selangor 1989, UU johor 1990, UU Serawak 1991, UU Perlis 1992, dan UU Sabah 1992. V. MATERI HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA A. Pencatatan Perkawinan di Malaysia Hukum Perkawinan di Malaysia juga mengharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan perkawinan. Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah Akad Nikah. Hanya saja dalam prakteknya proses pencatatan ada tiga jenis diantaranya : Pertama: Untuk yang tinggal di Negara masing-masing pada dasarnya pencatatan dilakukan segera setelah selesai akad nikah, kecuali Kelantan yang menetapkan tujuh hari setelah akad nikah dan pencatatan tersebut disaksikan oleh wali dan dua orang saksi dan pendaftar. Sebagaimana dalam UU Pulau Pinang Pasal 22 Ayat 1 dinyatakan: Selepas Sahaja akad nikah sesuatu perkahwinan dilakukan, Pendaftar hendaklah mencatat butir-butir yang ditetapkan dan ta'liq yang ditetapkan atau ta'liq lain bagi perkahwinan didalam daftar perkahwinan. Kedua: Orang asli Malaysia yang melakukan perkawinan dikedutaan Malaysia yang ada diluar negeri. Untuk kasus ini proses pencatatan secara prinsip sama dengan proses orang Malaysia yang melakukan perkawinan di negaranya. Perbedaanya adalah hanya pada petugas pendaftar, yakni bukan oleh pendactar asli yang angkat di Malaysia , tetapi pendaftar yang diangkat di kedutaan atau konsul Malaysia di Negara yang bersangkutan. Sebagimana dalam UU Pulau Pinang Pasal 24 Ayat 1 dinyakatakan: (1) Tertakluk kepada subsyksen. (2) perkahwinan boleh diakadkan mengikuti hokum syara oleh pendaftar yang dilantik dibawah seksyen. Dalam Pasal 28 Ayat 3 dinyatakan : Dikedutaan Suruhhanjaya Tinggi atau pejabat konsul Malaysia dimana-mana Negara yang telah memberitahu kerajaan Malaysia 318
Ibid., h.20-21
172
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
173
tentang bentahannya terhadap pengakad nikahan perkawinan di kedutaan Suruhanjaya Tinggi atau pejabat konsul itu. Ketiga: Orang Malaysia yang tinggal di luar negeri dan melakukan perkawinan tidak di kedutaan atau konsul Malaysia yang ada di Negara bersangkutan. Proses untuk kasus ini adalah bahwa pria yang melakukan perkawinan dalam masa enam bulan setelah akad nikah, mendaftarkan kepada pendaftar yang diagkat oleh kedutaan dan konsul terdekat. Apabila yang bersangkutan pulang ke Malaysia sebelum habis masa enam bulan maka boleh juga mendaftar di Malaysia. Ketentuan ini berdasarkan UU Serawak pasal 29 ayat 1, UU Kelantan dan UU Negara sembilan. B. Pembatasan Usia Perkawinan Dalam peraturan perundang-undangan Malaysia membatasi usia perkawinan minimal 16 tahun bagi mempelai perempuan dan 18 tahun bagi mempelai laki-laki. Ketentuan ini berdasarkan UU Malaysia yang berbunyi: Had umur perkahwinan yang dibenarkan bagi perempuan tidak kurang dari 16 tahun dan laki-laki tidak kurang daripada 18 tahun. Sekiranya salah seorang atau kedua-dua pasangan yang hendak berkahwin berumur kurang daripada had umur yang diterapkan, maka perlu mendapatkan kebenaran hakim syariah terlebih dahulu. C. Perceraian di Malaysia Adapun alasan–alasan perceraian dalam Undang-Undang keluarga di Malaysia adalah sama dengan alasan-alasan terjadinya fasakh. Sebagaimana dalam UU Perak dan UU Pahang disebutkan ada lima alasan yang menyebabkan terjadinya perceraian, diantaranya: 1. Suami gila/mengidap penyakit kusta. 2. Suami impotent. 3. Izin/perstujuan perkawinan dari istri secara tidak sah, baik karena paksaan. 4. Pada waktu perkawinan istri sakit jiwa. 5. Atau alasan–alasan yang sah untuk fasakh menurut syari'ah. Sementara yang berlaku di Negarasembilan, Persekutuan Pulau Pinang dan Selangor, tercatat beberapa alasan sama seperti di Perak dan Pahang tetapi ada beberapa tambahan alasan diantaranya: 1. Tidak diketahui tempat tinggal suami selama satu tahun. 2. Suami tidak memberi nafkah selama tiga bulan. 173
174
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
3. Suami dipenjara selama tiga tahun atau lebih. 4. Suami tidak memberikan nafkah batin selama satu tahun. 5. Isteri dinikahkan bapak sebelum berumur enam belas tahun menolak perkawinan tersebut dan belum disetubuhi suami. 6. Suami menganiaya isteri. Dari beberapa alasan tersebut diatas ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, meskipun semua undang-undang menjadikan unsur gila sebagai alasan perceraian. Undang-undang Negeri sembilan, Pulau Pinang, Selangor dan Serawak mensyaratkan sakitnya minimal 2 tahun. Sementara UU Kelantan, Pahang, Perak tidak mensyaratkan batas minimal. Kedua, semua undang-undang mencantumkan alasan-alasan lain untuk fasakh. Ketiga, Undang-undang kelantan, Negeri sembilan, perskutuan Pulau Pinang, Selangor dan Serawak mencantumkan perkawinan paksa sebagai salah satu alasan perceraian. D. Poligami di Malaysia Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami. Adapun mengenai syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang hendak melakukan poligami adalah adanya izin tertulis dari Hakim, ketentuan ini hampir tercantum di semua undang-undang perkawinan Negara bagian. Namun demikian ada beberapa perbedaan yang secara garis besar dapat dikelompokan menjadi diantaranya: Pertama, yang merupakan kelompok mayoritas (UU Negeri Sembilan Pasal 23 ayat 1, UU Pulau Pinang Pasal 23 ayat 1, UU Selangor pasal 23 ayat 1, UU Pahang Pasal 23 ayat 1, UU Wilayah Persekutuan Pasal 21 ayat 1, UU Perak Pasal 21 ayat 1 dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan: Tiada seorang laki-laki boleh berkahwin dengan seorang lain dalam masa dia masih beristrikan istrinya yang sedia ada kecuali dengan terlebih dahulu mendapatkan kebenaran secara tertulis daripada hakim syari'ah, dan jika dia berkahwin sedemikian tanpa kebenaran tersebut maka perkawinan itu tidak boleh didaftarkan dibawah Enakmen. Dalam UU Perak pasal 21 ayat 1 ada tambahan kalimat: Mendapat pengesahan lebih dahulu dari Hakim bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya. 174
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
175
Kedua, poligami tanpa adanya izin dari pengadilan boleh didaftarkan denga syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan. Ketentuan ini berlaku terhadap Negara-negara seperti Serawak dan Kelantan. Pertimbangan pengadilan memberi izin atau tidak, dilihat dari pihak isteri dan suami. Adapun beberapa alasan yang dapat dikemukakan isteri diantaranya, karena kemandulan, udzur jasmani, tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh, isteri gila. Sedangkan beberapa alasan yang dapat dikemukakan suami diantaranya, kemampuan secara ekonomi, berusaha untuk bisa berbuat adil, perkawinan yang dilakukan tidak membahayakan agama, nyawa, badan, akal, atau harta benda isteri yang lebih dahulu dinikahi. Ketentuan Pidana dalam UU Perkawinan di Malaysia. Ketentuan piadana UU Perkawinan di Malaysia secara tegas diatur dalam perundang-undangannya, seperti dalam beberapa masalah seperti berikut: 1. Poligami. Suami yang melakukan poligami tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenakan hukuman berupa hukuman denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal 6 bulan atau kedua-duanya sekaligus. Demikian juga bagi suami yang tidak mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dapat digolongkan sebagai orang yang melanggar hukum dapat dikenakan sangsi hukuman denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal 6 bulan atau kedua-duanya. 2. Pencatatan Perkawinan; Bagi orang yang melakukan perkawinan di luar Malaysia dan tidak sesuai dengan aturan yang ada adalah perbuatan melnaggar hukum maka dapat dihukum dengan membayar denda sebesar seribu ringgit atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya. 3. Perceraian; Bagi orang yang malanggar peraturan tentang perceraian, baik suami atau isteri, misalnya melakukan perceraian di luar pengadilan dan tidak mendapatkan pengesahan atau pengakuan dari pengadilan, atau membuat surat pengakuan palsu bias dihukum dengan hukuman denda sebesar seribu ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya. 175
176
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
4. Perkawinan Beda Agama; Larangan perkawinan beda Agama di Malaysia didasarkan pada ketentuan yang termuat dalam seksyen 51 Akta pembaharuan UU (Perkawinan dan Perceraian) 1976 sebagaimana disebutkan: Jika salah satu pihak kepada suatu perkahwinan telah masuk Islam, pihak yang satu tidak masuk Islam boleh untuk perceraian. Dengan syarat bahwa tiada suatu permohonan dibawah syeksen boleh diserahkan sebelum tamat tempo tiga bulan dari tarikh masuk Islam itu.
VI. KESIMPULAN Dari tulisan ini dapat penulis simpulakan beberapa kesimpulan sbb; 1. Malaysia adalah sebuah negara “Federasi” yang merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal 31 Agustus 1957. 2. Malaysia terdiri dari multi etnik, multi komunal dan multi agama, yang terbesar adalah bangsa Melayu 45 persen, Cina 35 persen, India 10 persen, namun pemerintahannya telah menetapkan bahwa Islam adalah sebagai agama resmi negara Sebagaimana termaktub dalam konstitusi Malaysia pada bagian 1 Pasal 3 dinyatakan bahwa "Islam adalah agama Federasi", tetapi agama-agama lain diterima dan diperkenankan. Dalam konstitusi Malaysia juga menetapkan bahwa Kepala Negara bagian adalah kepala agama Islam. Dalam pasal 11 juga disebutkan bahwa Malaysia menerima prinsip kebebasan beragama. 3. Bahwa dalam kancah perpolitikan nasional Malaysia terdiri dari dua kubu yang bersimpangan pendangan mengenai Islam. PAS lebih cenderung untuk menjadikan Negara Islam dalam arti Negara yang menjadikan hukum Allah sebagai hukum yang berdaulat yang berarti syariat islam menjadi konstitusi Negara. Sedangkan UMNO dan ABIM lebih kepada upaya menghidupkan nilai-nilai Islam dalam konteks masyarakat yang pluralis serta bersikap akomodatf terhadap dua etnis (Cina dan India) yang ada di Malaysia. 4. Menelusuri undang-undang perkawinan di Malaysia terdiri dari beberapa pase yaitu; 176
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
177
a. UU Perakawinan di Malaysia Sebelum Penjajahan Inggris. Di masa ini Undang-Undang perkawinannya berlaku adat pepatuh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di Negara Sembilan dan beberapa kawasan di Malaka, dan terdapat Temenggung di bagian semenanjung. Sedangkan orang Melayu di Serawak mengikuti Undang-Undang Mahkamah Melayu Serawak. Undang-undang tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum Islam dan utamanya dalam masalah perkawinan, perceraian dan jual beli. b. Masa Penjajahan Inggris. Pada tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan memperkenalkan Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk diberlakukan di Negara-negara selat (Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore) yang yang teridir dari 4 bab dan beberapa pasal; BAB I : Pendaftaran Perkawinan dan perceraian ( Pasal 1 sd 23), BAB II : Pelantikan Qadi ( pasal 24 s.d 26), BAB III : Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 27), BAB IV : Ketentuan Umum (Pasal 28 s,d 33). Sementara untuk Negara-negara Melayu berskutu (perak, Selangor, Negerisembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885. dan untuk Negara-negara Melayu tidak bersekutu atau Negara-negara bernaung (Kelantan, Terengganu, Perlis, Kedah dan Johor) diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907. c. Setelah Merdeka; Setelah Malaysia merdeka upaya pembahruan hukum keluarga sudah mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, bukan hanya pendaftaran perkawinan dan perceraian seperti pada undang-undang sebelumnya. Usaha tersebut dimulai pada tahun 1982 oleh Melaka, Kelantan dan Negeri sembilan yang kemudian diikuti oleh Negara-negara bagian lain. Undang-undang perkawinan Islam yang berlaku sekarang di Malaysia adalah undang-undang perkawinan yang sesuai dengan ketetapan undang-undang masiang negeri. Undang-undang Keluarga tersebut diantaranya; UU Keluarga Islam Malaka 1983, UU Kelantan 1983, UU Negeri Sembilan 1983, UU Wilayah Persekutuan 1984, UU Perak 1984 ( No.1), UU kedah 1979, UU Pulau Pinang 1985, UU
177
178
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Trengganu 1985, UU Pahang 1987, UU Selangor 1989, UU johor 1990, UU Serawak 1991, UU Perlis 1992, dan UU Sabah 1992.
DAFTAR PUSTAKA Adnan Amal, Taufik, dkk, Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2000 L. Esposito, John, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986 -----------, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, Jakarta: Penerbit Mizan, 1999 Nasution, Harun dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985 Nasution, Khairuddin dan Atho' Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari KitabKitab Fiqih, Jakarta: Ciputat Press,2003
178
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
179
HUKUM KELUARGA ISLAM DI AFGANISTAN (Menyingkap Pencatatan Perkawinan di Afganistan dan Negara Islam) Khoirul Abror
A.
Latar Belakang Pemikiran
Pada abad 20 an ini, salah satu fenomena yang muncul di dunia Islam adalah upaya pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negaranegara yang berpenduduk mayoritas muslim. Hal ini sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tujuan dilakukannya pembaruan hukum keluarga di dunia Islam, yaitu sebagai upaya unifikasi hukum, mengangkat status perempuan, dan merespon perkembangan dan tuntutan zaman, karena konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.319 Pembaharuan hukum keluarga yang dilakukan oleh berbagai negara muslim, secara garis besar mencakup tiga aspek, yaitu perkawinan, perceraian dan warisan. Dalam masalah perkawinan, salah satu bentuk pembaruan yang dilakukan adalah pencatatan perkawinan. Hal ini dianggap penting karena ditujukan sebagai upaya untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, melindungi 319
Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 10-11
179
180
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
kesucian perkawinan dan secara khusus ditujukan untuk melindungi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Fenomena yang terjadi di tengah masyarakat, sungguh menyakitkan, terutama pada posisi perempuan dan anak, perkawinan tanpa adanya catatan dari PPN sebagai tugas dari pemerintah, menjadikan sewenangwenangnya seorang lelaki (suami) yang tidak bertanggung jawab untuk melaksanakan perkawinan. Setelah itu melepaskan tanggung jawabnya dalam menafkahi istri dan anak-anaknya, karena tidak ada bukti otentik yang menjelaskan tentang adanya perkawinan, sehingga menyulitkan sang istri untuk menuntut haknya kepada pengadilan. Dengan makin berkembangnya zaman, menghendaki mayoritas negara yang berpenduduk muslim terbanyak, mengharuskan adanya pencatatan perkawinan sebagai salah satu upaya legetimasi hukum. Pada dasarnya, pencatatan perkawinan tidak diatur di dalam naş, baik al-Qurȃn maupun sunnaḥ. Hal ini berbeda dengan transaksi muamalat yang didalam al-Qurȃn diperintahkan untuk mencatatnya. Atas dasar inilah, fiqh tidak menganggap penting terhadap eksistensi pencatatan perkawinan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan alat bukti otentik terhadap sebuah perkawinan menjadi suatu kebutuhan. Untuk itulah keharusan pencatatan perkawinan dianggap sebagai salah satu solusi terhadap kondisi demikian. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka pencatatan perkawinan dianggap sebagai salah satu bentuk pembaharuan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara-negara dunia Islam. B. Permasalahan Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan di atas, maka masalah utama yang akan dibahas adalah: Bagaimanakah pandangan Islam tentang konsep pencatatan perkawinan? Dan Bagaimanakah praktek pencatatan perkawinan pada beberapa negara Islam, terutama di Afganistan? C. Pembahasan 1. Pencatatan Perkawinan dan Prakteknya Pada Masa Awal Islam
180
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
181
Konsep pencatatan perkawinan pada dasarnya, merupakan suatu bentuk pembaruan yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam. Hal ini disebabkan oleh tidak diungkapnya keharusan pencatatan perkawinan di dalam al-Qurȃn dan sunnah. Atas dasar inilah, para ulama fiqh tidak memberikan perhatian serius terhadap pencatatan perkawinan. Ada beberapa hal yang dianggap sebagai faktor penyebab pencatatan perkawinan luput dari perhatian para ulama pada masa awal Islam; Pertama, adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis sesuatu selain alQurȃn. Tujuannya untuk mencegah tercampurnya al-Qurȃn dari yang lain. Akibatnya, kultur tulis tidak begitu berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan (oral). Kedua, sebagai kelanjutan dari yang pertama, mereka sangat mengandalkan ingatan (hafalan). Agaknya mengingat suatu peristiwa perkawinan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimaḥ al-`urusy yang dilakukan dianggap telah menjadi saksi, disamping saksi syarʻi tentang suatu perkawinan.320 Olehkarenanya, pada masa awal Islam, pencatatan perkawinan sebagai alat bukti yang autentik belum lagi dibutuhkan.Walaupun demikian, pada masa awal Islam, sudah ada tradisi iʻlan an-nikȃh (mengumumkan suatu perkawinan ditengah masyarakat setempat). Menurut pendapat yang kuat, iʻlan an-nikȃh merupakan salah satu syarat sahnya aqad nikah. Artinya, apabila pernikahan tidak diumumkan, maka pernikahan tersebut tidak sah, bahkan menurut pendapat sebagian ulama, yang membedakan antara pernikahan dan perzinaan adalah bahwa pernikahan diumumkan sedangkan perzinaan tidak diumumkan.321 Imam Malik menyatakan bahwa keberadaan saksi bukan merupakan suatu keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau asal pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak di pandang sudah sah. Senada dengan Imam Malik, Abu Țaur dan mażhab Syiʻah menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi, sebab pada
320
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 121 321 Aep Saepulloh Darusmanwiati, “Mahar dan Adab Pernikahan dalam Islam”, http://www.indonesianschool.org, diakses tanggal 22 Januari 2007
181
182
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi.322 Pendapat ini diambil setidaknya berdasarkan dua hal. Pertama, analogi terhadap jual beli. Allah dalam al-Qurȃn memerintahkan adanya saksi dalam jual beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan. 323 Oleh karena itu, apabila saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi lebih tidak disyaratkan dalam pernikahan. Kedua, adanya hadiś yang memerintahkan untuk memberitakan pernikahan. Hadiś tersebut adalah:
Adanya perintah Rasulullah untuk memberitakan pernikahan diangap merupakan esensi dari perintah adanya saksi. Dengan kata lain, adanya saksi bukan merupakan syarat sah nikah, melainkan hanya agar pernikahan tersebut diketahui oleh masyarakat. Apabila tujuan diketahui oleh khalayak tersebut telah terpenuhi, maka saksi tidak lagi diperlukan .324 Praktek iʻlan an-nikȃh pada masa awal Islam merupakan salah satu hal yang disunnahkan dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hal ini terbukti dengan adanya hadiś yang menyatakan demikian, diantaranya:
ق ال م ص هلل ر سول أن ال زب ير اب ن هلل ع بد عن:(أحمد جهأخر ) ال ن كاح أع ل نوا Artinya: Dari Abdullah Ibn Zubair bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Umumkanlah pernikahan itu".Dalam hadiś lain dinyatakan:
M. Najib al-Muti‟i, Al-Majmu‟ Syarh al-Muhaḍab li al-Syairozi, (Jeddah: Maktabah al-Irșad, tt) h. 296. Lihat juga dalam Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islȃmi wa Adillatuhu, Juz IX, (Beirut: Dȃr al-Fikr, 2002) h. 6559 323 Ayat-ayat pernikahan berikut tidak mencantumkan saksi,: 322
اءال نس من ل كم طاب ما ف ان كحوا, ك ممن األي امى وأن كحوا.
.
Lihat keterangan dalam al-Maktabaḥ asy-Syȃmilaḥ, Tuhfaḥ al-Ahwaḍi, Bab Pernikahan Tanpa Saksi, juz III, h. 131 324
182
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
183
ق ال ت عائ شة عن: م ص هلل ر سول ق ال:ال م ساجد ف ي اج ع لوه و ال ن كاح أع ل نوا (ال ترمذي أخرجه) ب ال ض فوف ع ل يه وا ضرب وا Artinya: ʻAisyah berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: "Umumkanlah pernikahan itu dan jadikanlah tempat mengumumkannya di masjid-masjid dan tabuhlah rebana-rebana". Salah satu bentuk iʻlan annikȃh adalah walimaḥ al ʻurusy (resepsi pernikahan). Dalam sebuah hadiś, Rasulullah memerintahkan untuk melaksanakannya, walaupun secara sederhana: م ص هلل ر سول ق ال: (ال بخري رواه) ب شاة ول و أول م Artinya: Rasulullah Saw bersabda: "Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing." Berpijak dari beberapa hadiś yang telah dikemukakan, terlihat bahwa walaupun pencatatan perkawinan belum dilakukan pada masa itu, namun, spirit dan substansi yang ingin dicapai dari pencatatan perkawinan telah dimanifestasikan, meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa tradisi walimaḥ al ʻurusy yang merupakan salah satu bentuk iʻlan an-nikȃh dianggap menjadi saksi telah terjadinya suatu perkawinan, disamping adanya saksi syar`i. Lebih lanjut, terkait dengan hal ini, menurut Atho` Mudzhar dalam bukunya Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, pencatatan perkawinan yang dilakukan saat ini harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan pernikahan (iʻlan an-nikȃh). Lebih jauh lagi, menurutnya, pencatatan perkawinan ini dianggap lebih mașlahat, terutama bagi perempuan dan anak-anak.325 2. Urgensi Pencatatan Perkawinan
325
M. Atho` Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi dalam Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 135
183
184
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Pencatatan perkawinan merupakan suatu hal yang urgent, bahkan menjadi sebuah persyaratan administratif yang harus dilakukan. Tujuannya adalah agar perkawinan itu jelas dan menjadi bukti bahwa perkawinan itu telah terjadi, baik bagi yang bersangkutan, keluarga kedua belah pihak, orang lain, maupun bagi masyarakat karena peristiwa perkawinan itu dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan dalam suatu daftar yang sengaja dipersiapkan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang autentik. 326 Dengan adanya surat bukti tersebut, maka secara hukum dapat dicegah terjadinya suatu perbuatan lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun ketentuan pencatatan perkawinan hanya merupakan persyaratan administratif, namun ketentuan ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap ketentuan administrasi lainnya, khususnya yang terkait dengan peristiwa dan perbuatan hukum. Sebagaimana yang telah dikemukakan, akta perkawinan pada dasarnya merupakan salah satu alat bukti yang sah. Terkait dengan hal ini, pada Buku keempat, Bab I, Pasal 1865 Kitab Undangundang Hukum Perdata dinyatakan bahwa tujuan diadakannya alat bukti adalah: a. Sebagai dalil bahwa seseorang mempunyai hak; b. Untuk meneguhkan dan menguatkan bahwa seseorang mempunyai hak; c. Untuk membantah atau menyatakan ketidakbenaran bahwa orang lain mempunyai hak; d. Untuk menunjukkan dan menyatakan bahwa telah terdapat suatu keadaan atau telah terjadi suatu peristiwa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keberadaan akta perkawinan secara hukum memegang peranan yang sangat penting, khususnya dalam upaya mempertahankan dan melindungi hak-hak seseorang serta untuk membuktikan bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan. Olehkarena itu, ketika terjadi tuntutan ataupun gugatan dari pihak lain tentang keabsahan suatu perbuatan hukum, maka peranan alat bukti (dalam hal ini adalah akta perkawinan) menjadi sangat penting. 326
Kamal Muchtar, Nikah Sirri di Indonesia dalam Jurnal Al Jami`ah No. 56 Tahun 1994, h. 14-15
184
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
185
Apabila dikaji lebih jauh, keberadaan alat bukti tertulis, khususnya dalam penyelesaian perkara di pengadilan memegang peranan yang penting, bahkan merupakan alat bukti yang paling banyak digunakan dibanding alat bukti lainnya. Selain itu, alat bukti tertulis ini dapat berlaku untuk jangka waktu yang lama, selama surat-surat tersebut masih ada. Berbeda dengan kesaksian yang terbatas masa berlakunya, yaitu selama yang bersangkutan masih hidup, kecuali jika kesaksian itu ditulis.327 Tidak adanya alat bukti berupa pencatatan suatu perkawinan akan berdampak pada tidak terlaksananya hukum Islam dengan baik, khususnya hukum yang berhubungan ahwal asy-syakhșiyah seperti dalam hal nafkah isteri, nafkah anak, pendidikan anak, waris mewarisi, hukum tentang halangan perkawinan (mahram), dan sebagainya. Tanpa adanya alat bukti yang lengkap mungkin saja terjadi perkawinan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya, tidak dapatnya ditentukan dengan cepat siapa ahli waris seseorang, siapa yang bertanggung jawab terhadap nafkah dan pendidikan anak, sehingga tidak adanya kepastian hukum. Atas dasar pertimbangan kemaslahatan inilah, pencatatan perkawinan kemudian diterapkan bahkan diperkuatkan dengan berbagai peraturan terkait di berbagai negara muslim di dunia. 3. Pencatatan Perkawinan di Berbagai Negara Muslim a. Turki Turki, adalah negara penganut mazhab Hanafi, dan merupakan Negara pertama yang melakukan usaha pembaruan hukum keluarga di dunia muslim, yang dilakukan tahun 1917, dengan lahirnya Qȃnȗn Qarȃr alHuqȗq al-ʻᾹilah al-uțmȃniyah, demikian menurut Khoiruddin Nasution;328 Lebih lanjut dikatakan, dengan mengutip tulisan Tahir Mahmood, undangundang sivil yang didasarkan pada maẓhab Hanafi sudah dipersiapkan tahun 1876 di Turki, yang disebut Majallat al-Ahkȃm al-adlĩya, tetapi 327
Ibid, h. 21
328
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, )Yogyakarta: ACAdeMIA, Tazzafa, 2009(, h. 166.
185
186
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
didalamnya belum ada aturan perkawinan dan kewarisan. Hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian baru dibuat tahun 1915 dan diperbarui tahun 1917. Hasil kodifikasi tahun 1917 inilah yang disebut Qȃnȗn Qarȃr al-Huqȗq al-ʻᾹilah al-uțmȃniyah. 329 Sebagai kelanjutan dari dua dekrit raja yang dikeluarkan tahun 1915. Namun sayangnya UndangUndang Turki baru memuat aturan perkawinan, perceraian, hubungan kelurga, dan waris.330 Belum sama sekali menyentuh tentang pencatatan perkawinan. Tahun 1912 Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss (The civil code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish civil code of 1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912. Materi yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (terutama masalah taklik talak), batas usia minimal untuk kawin, larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-lain. Menurut hukum perdata Turki tahun 1926, seorang suami atau isteri yang hendak bercerai diperbolehkan melakukan pisah ranjang. Jika setelah pisah ranjang dijalani pada waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi rumah tangga, maka masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di pengadilan. 331 b. Afghanistan Reformasi hukum keluarga, khususnya perkawinan di Afghanistan baru dimulai pada tahun 1971 yaitu dengan ditetapkannya Qanȗn al-Izwȃj 329
Lihat. Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (New Delhi: tnp, 1972), h.17. 330 Ibid. 331 Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Makalah, Disampaikan pada acara Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama, Antara Cita, Realita dan Harapan, Hotel Red Top, Jakarta, 19 Februari 2010
186
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
187
sebagai hukum yang mengatur masalah perkawinan. Proses pembentukan hukum ini tidak terlepas dari pengaruh hukum keluarga di Mesir tahun 1929. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum perkawinan ini juga memiliki kesesuaian dengan hukum perkawinan muslim yang berlaku pada tahun 1939 di India. Sejalan dengan itu, mengenai hak wanita untuk mengajukan cerai juga diberlakukan secara menyeluruh. Namun, beberapa ketentuan dari hukum ini kemudian diamandemen oleh Keputusan tentang Hak-hak Wanita Tahun 1978. 332 Salah satu materi reformasi hukum perkawinan yang dilakukan di Afghanistan adalah kewajiban pencatatan perkawinan.333 Walaupun materi ini merupakan salah satu ketentuan khusus dari hukum keluarga yang berlaku di Afghanistan, namun tidak terlihat adanya aturan ataupun penjelasan secara detail mengenai prosedur dan akibat hukum dari pencatatan suatu perkawinan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapannya hanya sebagai syarat administratif saja yang ditujukan untuk melindungi hak-hak perempuan Sebagai contoh: Pakistan dengan The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961 menetapkan boleh poligami dengan izin terlebih dahulu dari Pengadilan (Arbitration Council). Sementara bagi yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman penjara atau denda. Secara historis, jauh sebelum pemisahan India-Pakistan pada tahun 1947, poligami sudah menjadi budaya dan tradisi umum yang banyak dipraktekan oleh umat Islam saat itu. di Pakistan malah diatur dalam Ordonansi tentang hukum keluarga Pakistan tahun 1961. peraturan poligami yang tercantum dalam Pasal 6 menyatakan: (1) Selama masih terikat perkawinan, tidak seorang lelakipun yang boleh melakukan perkawinan dengan orang lain kecuali ia telah mendapat izin tertulis dari Dewan Arbitrase. (2) Permohonan izin akan diserahkan kepada ketua dengan cara yang ditentukan, sekaligus dengan biaya yang ditetapkan dan 332
Atho, Mudzhar dan Khoiruddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 139-140 333 Ibid, h. 149
187
188
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
melampirkan alasan-alasan untuk mengajukan perkawinan dengan menerangkan apakah izin tertulis dari istri atau istrinya telah membolehkan. (3) Dalam hal penerimaan permohonan ketua akan meminta pemohon dan istri atau istri-istrinya yang sah untuk mengajukan wakil masing-masing dan Dewan Arbitrase akan memberikan izin poligami apabila dewan memandang perkawinan tersebut perlu dan adil sesuai dengan pertimbangan kesehatan. (4) Dalam memutuskan permohonan tersebut Dewan Arbitrase mencatat alasan terhadap putusan tersebut dan pihak pemohon boleh melebihkan surat permohonan untuk revisi surat keterangan tersebut dan menyerahkannya kepada kolektor dan putusannya akan berlaku serta tidak akan dipertanyakan lagi di Pengadilan. (5) Seseorang yang melakukan perkawinan yang lain tanpa izin dari Dewan arbitrase; a) akan membayar seluruh mahar dengan segera kepada istri atau istri-istrinya, baik tunai maupun secara ditangguhkan dan jika tidak maka ia akan diperoleh sebagai tunggakan atau sewa, b) dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal 5000 Rupee atau kedua-duanya. Dalam pasal ini poligami dapat dilakukan dengan syarat diperlakukan izin tertulis dari dewan arbitrase (Hakim) sebelum seseorang dapat menikahi istri kedua. Izin tersebut hanya dapat diberikan bila Dewan Arbitrase itu yakin bahwa perkawinan yang diajukan itu memang diperlukan dan benar. Dalam hal ini diperlukan adanya persetujuan dari istri terdahulu kecuali kalau dia sakit ingatan, cacat jasmani atau mandul. Walau bagaimanapun juga izin dewan hakim harus didapatkan sebelum melangsungkan perkawinan kedua. Orang yang melanggarnya dapat dihukum penjara paling lama satu tahun atau membayar denda sampai 5000 Rupee atau bahkan keduanya sekaligus. Bila maharnya ditunda, dia tetap harus membayarnya dengan semestinya sedangkan istri yang ada berhak menuntut cerai. Selain semua pembatasan ini, jika telah dijalin
188
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
189
perkawinan kedua tanpa izin dewan, maka perkawinan tersebut dapat dianggap batal secara hokum Pada hakikatnya, ketentuan yang diperkuat ini merupakan upaya untuk mengurangi atau membatasi praktek poligami beserta implikasi negatif yang ditimbulkannya, terutama ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Pakistan yang nota bene masyarakatnya menganut mazhab Hanafi ternyata secara lebih ketat mengharuskan wali nikah dalam prosesi perkawinan, ini tidak terlepas dari ketentuan siyasah syar’iyyah yang ia terapkan. Undang-Undang poligami di Pakistan merupakan personifikasi diantara enam model penafsiran yang berkembang, yakni pertama, menekankan ketentuan berlaku adil sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qurȃn, kedua, memberi hak kepada istri untuk menyertakan pernyataan anti poligami dalam surat perjanjian perkawinan. Ketiga, harus memperoleh izin lembaga peradilan. Keempat, hak menjelaskan dan mengontrol dari lembaga perkawinan kepada pihak yang akan berpoligami. Kelima, benarbenar melarang poligami. Dan keenam, memberi sangsi pidana bagi yang melanggar aturan poligami. Dari beberapa argumentasi di atas, UU Negara tersebut sekali lagi masih mendasarkan secara normatif terhadap teks-teks Al-Qurȃn walaupun dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang, kedua mendasarkan pada siyasah syarʻiyyah berupa adanya sanksi denda dan pidana bagi mereka yang melanggar atau persyaratan administratif izin poligami dengan persetujuan istri sebelumnya dan anutan mazhab masyarakat yang terus diikuti sebagaimana dalam kasus wali nikah. c. Malaysia Pencatatan perkawinan di Malaysia merupakan suatu hal yang diwajibkan. Walapun masing-masing negara bagian di Malaysia mempunyai UndangUndang tersendiri yang mengatur tentang administrasi hukum Islam, 189
190
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
namun ketentuan pencatatan perkawinan ini diberlakukan oleh seluruh negara bagian Malaysia. Meskipun diwajibkan, pencatatan perkawinan di Malaysia tidak menentukan sah atau batalnya suatu perkawinan. Ketentuan sah atau batalnya perkawinan didasarkan pada hukum Islam. Namun, kelalaian mencatatkan perkawinan dianggap sebagai pelanggaran pada sebagian besar Negara di Malaysia.334 Pola administrasi hukum Islam yang diterapkan di Malaysia, kemudian diikuti oleh Kesultanan Brunei. Beberapa pasal yang tercantum dalam hukum keluarga Brunei, secara umum memiliki kesamaan dengan prinsipprinsip yang terdapat dalam hukum keluarga Malaysia.335 Menurut Undang-Undang Brunei, orang yang bisa menjadi pencatat perkawinan dan perceraian adalah Qaḍi Besar, Qaḍi-qaḍi, dan imam-imam di setiap masjid yang diberi tauliah (wewenang) oleh Sultan. Lebih lanjut, terkait dengan pencatatan perkawinan, aturan hukum Brunei menetapkan bahwa hal ini hanya persyaratan administratif. Pernikahan yang tidak mengikuti ketentuan ini, tetap dianggap sah menurut aturan hukum Islam. Perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum mazhab yang dianut oleh kedua belah pihak (Pasal 138).336 Sejalan dengan dua negara tetangganya, Singapura juga memberlakukan aturan pencatatan perkawinan. Ketentuan ini didasarkan pada Ordonansi 1957. Di Singapura, pencatatan perkawinan juga tidak berpengaruh pada sah atau batalnya suatu perkawinan karena ketentuan ini hanya disandarkan pada aturan hukum Islam.337 d. Indonesia
334
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi : Academy of Law and Religion, 1987, h. 201 335
Ibid, h. 199
336
Atho Mudzhar, dan Khoiruddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Op Cit, h. 185 337
Ibid, lihat juga Tahir Mahmood, Personal Law…, h. 201-202
190
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
191
Tarik menarik diantara dua hukum yang berbeda atau dualisme hukum dalam masalah perkawinan telah menjadikan masalah tersendiri dalam hukum nasional Indonesia. Nikah siri atau talak tanpa Pengadilan Agama dianggap sah secara agama Islam, namun menurut hukum positif yang berlaku justru dipandang tidak sah. Dualisme hukum di Indonesia yang aturannya saling bertentangan terkait pernikahan atau talak merupakan hal yang bermasalah. Salahsatu penyebab terjadinya dualisme adalah karena di Indonesia ada dua kelompok ’mażhab’ yang mendukung sepenuhnya atau mengikuti ajaran Islam total dan yang mendukung atau mengikuti hukum positif. Supaya terjadi sinkronisasi maka dipakailah keduanya, sebab bagi negara seperti Indonesia yang berdasarkan hukum yang mana hukumnya dibuat berdasarkan persetujuan rakyat, tentulah sebagai warga yang baik kita harus mengikutinya. Di Indonesia, pencatatan perkawinan ditempatkan sebagai sesuatu yang penting. Hal ini ditandai dengan adanya pengaturan mekanisme yang jelas tentang proses pencatatan perkawinan. Disamping itu, juga ada konsekuensi hukum dibalik penetapan peraturan ini. Di Indonesia, ketentuan mengenai pencatatan perkawinan secara umum, diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 ayat (2) undangundang tersebut dinyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun di dalam undangundang perkawinan, masalah pencatatan perkawinan ini hanya diatur oleh satu ayat, namun masalah pencatatan ini sangat dominan. Hal ini akan tampak dengan jelas dalam tata cara perkawinan yang semuanya berhubungan dengan pencatatan. Lebih lanjut, di dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan pada Pasal 3 ayat (1) dinyatakan: "Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan". Khusus bagi umat Islam di Indonesia, pencatatan perkawinan diatur secara tersendiri dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 yang menyatakan:
191
192
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undangundang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954. Selanjutnya pada Pasal 6 ditegaskan: (1) Untuk memenuhi ketentuan pada Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. 338 Dari beberapa ketentuan yang telah dikemukakan, terlihat bahwa pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan. Persyaratan ini bersifat prosedural dan administratif. Terkait dengan hal ini, A. Mukti Arto menjelaskan bahwa suatu perkawinan dianggap sah bila memenuhi dua persyaratan. Pertama, memenuhi ketentuan hukum materil, dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam. Kedua, memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang. Bentuk perkawinan yang hanya memenuhi persyaratan materil, dianggap tidak pernah ada atau tidak diakui. Sementara perkawinan yang hanya memenuhi syarat formil, dapat dibatalkan. 339 Dengan demikian, perkawinan baru dianggap sempurna, jika telah memenuhi syarat dan rukun hukum Islam dan telah dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang.
338
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 114 339
A. Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan dalam Iskandar Ritonga, Hak-hak Wanita dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), h. 64-65
192
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
193
Walaupun secara ideal, perkawinan baru dianggap sempurna apabila telah memenuhi syarat materil dan formil yang telah ditentukan, namun realita yang terjadi ditengah masyarakat masih menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang kurang penting. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya praktek nikah sirri. Pada dasarnya, perkawinan seperti ini merupakan tindak pidana pelanggaran administrasi yang dapat dijatuhi sanksi pidana, baik bagi pelaku maupun petugas yang melaksanakan pernikahan tersebut. Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 3 Undangundang Nomor 22 Tahun 1946. Ketentuan mengenai sanksi pidana, baik bagi orang yang tidak menghiraukan pencatatan perkawinannya, maupun bagi Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan juga dimuat dalam Bab IX Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975: (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka: a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa perkawinan menjadi batal karena adanya pelanggaran dalam pelaksanaan perkawinan tersebut. Sebenarnya, apabila ditelaah, kondisi ini terkait erat dengan perbedaan pendapat tentang eksistensi pencatatan perkawinan. Sebagian orang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan hanya merupakan persyaratan administratif dan tidak menjadi syarat sah suatu perkawinan. Alasannya bahwa ketentuan ini tidak diatur dalam nash dan fiqh. Di sisi lain, ada yang 193
194
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
berpandangan bahwa pencatatan perkawinan menjadi syarat sah suatu perkawinan. Argumen mereka didasarkan pada pasal-pasal yang terdapat dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 dan juga substansi. dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Selain itu, hal ini juga didukung oleh praktik hukum dari badan-badan publik. 340 Dalam kasus nikah sirri tersebut, tentunya akan sangat menyudutkan dan memperlemah kedudukan perempuan, karena kedudukannya sebagai istri serta hak-hak yang berkaitan dengan kedudukannya itu tidak diakui berdasarkan undang-undang. Olehkarena itu, pencatatan perkawinan menjadi hal yang mutlak dan harus dilakukan. Menyikapi banyaknya perkawinan yang tidak tercatat, maka undang-undang memberikan solusi dengan dibukanya peluang permintaan iśbat nikah ke Pengadilan Agama, yaitu permohonan agar pernikahan tersebut (tidak dicatatkan/ tidak punya akte nikah) dinyatakan sah, dan selanjutnya diperintahkan kepada PPN/ KUA kecamatan setempat untuk mencatat perkawinan semacam ini dan memberikan Kutipan Akta Nikah berdasarkan keputusan Pengadilan Agama. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam. Selain itu, ketentuan ini juga dimuat dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 31 ayat (3) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990. Namun, berdasarkan Pasal 7 KHI tersebut, solusi yang ditawarkan melalui permohonan iśbat nikah ini hanya dapat diterima dan dikabulkan oleh Pengadilan Agama apabila: 1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian 2. Hilangnya akta nikah 3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
340
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 131-133
194
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
195
4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.341 Selanjutnya, juga dijelaskan bahwa yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah adalah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa permintaan itsbat nikah ke Pengadilan Agama oleh pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya para isteri merupakan salah satu upaya perlindungan hukum kepada para wanita. Dengan demikian, hak-hak mereka sebagai isteri dapat terjamin dan dinyatakan sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan inilah yang dipertegas oleh Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. d.1. Pendaftaran dan Pencatatan Perkawinan Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah ini merupakan salah satu hal yang paling banyak diatur dalam Hukum Keluarga negara-negara Muslim. Minimal tercatat ada 5 Hukum Keluarga yang mencantumkan ketentuan tentang masalah ini, yakni Indonesia, Iran, Yaman (Selatan), Yordania, dan Srilanka.342 Di Indonesia, sanksi hukuman dapat dijatuhkan terhadap petugas (pencatatan) yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan. Dalam hal ini hukumannya adalah penjara/kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500.,Sedangkan di Iran sanksi hukum diberlakukan dalam kasus perkawinan yang dilakukan tanpa registrasi. Pihak bersangkutan (pria yang menikah) diancam hukuman penjara 1-6 bulan. 341
Abdurrahman, op.cit., h. 115
342
Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, makalah Disampaikan pada acara Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama, antara Cita, Realita dan Harapan, Hotel Red Top Jakarta, 19 Februari 2010
195
196
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Yaman (Selatan) memberlakukan hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau keduanya sekaligus terhadap semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1/ 1974. Sementara di Yordania, mempelai (yang melangsungkan pernikahan), pihak pelaksana dan para saksi terkait perkawinan yang tak terdaftar (tanpa registrasi pihak berwenang) dapat dikenakan hukuman penjara berdasarkan ketentuan Jordanian Penal Code (UU Hukum Pidana Yordania) dan denda maksimal 1000 dinar. Menarik untuk dicatat bahwa Srilanka, meskipun penduduk Muslimnya bukanlah mayoritas, malah cenderung lebih banyak memasukan aturan kriminalisasi dalam Hukum Keluarga Muslim yang diberlakukan disana. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentuan berikut: a. Membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perkawinan dan perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maks. 3 tahun. b. Melanggar ketentuan Pasal 81: - Mempelai pria; petugas pencatatan yang lalai atau enggan mencatatkan pernikahannya; atau lalai/enggan melaksanakan tugas pencatatan suatu pernikahan; - Siapa saja yang mendukung atau membantu seorang laki-laki Muslim untuk memperoleh atau mempengaruhi atau mendaftarkan suatu perceraian di luar (tidak sesuai dengan) ketentuan dalam UU ini atau bersekongkol melanggar melalui cara lain; -
Qaḍi, petugas pencatatan, dan pihak yang turut andil (berpartisipasi) melanggar berbagai aturan dalam Ps. 56 ayat (1) tentang larangan bagi qadi atau petugas pencatatan mengizinkan orang lain untuk menempati posisi mereka dan menjaga semua buku, dokumen, berkas terkait; atau Ps. 56 (4) tentang larangan, 196
197
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
kecuali qadi atau petugas pencatatan, menyimpan buku, daftar, atau catatan yang dimaksudkan sebagai daftar suatu perkawinan atau 9 perceraian orang Muslim, atau rekaman berita acara mengenai perceraian yang diakibatkan atau mengaku diakibatkan oleh pihak lain. Mereka di atas akan dijatuhi hukuman untuk pertama kali adalah denda maksimal 100 rupee, sedangkan hukuman untuk yang kedua/selanjutnya maksimal 100 rupee atau penjara maksimal 6 bulan atau keduanya sekaligus (denda dan penjara). c. Petugas pencatatan yang sengaja melakukan pencatatan, dan pihak lain yang mendukung atau membantu pencatatan suatu perkawinan yang bertentangan dengan aturan Pasal 22 (kawin pada masa iddah), 23 (Perkawinan di bawah umur), atau 24 ayat (4) (berpoligami melalui izin Hakim) dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus. d. Setiap pihak, bukan seorang qaḍi (hakim), yang mengeluarkan atau menyatakan untuk mengeluarkan izin atau daftar/catatan sebuah perceraian berdasarkan UU ini, atau pihak yang bukan petugas pencatatan, melakukan pencatatan atau menyatakan akan mencatat suatu perkawinan berdasarkan UU ini dapat dijatuhi denda 100 rupee; atau hukuman penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus e. Setiap pihak yang sengaja atau mengetahui membuat keterangan palsu; f. Dalam suatu pernyataan yang ditandatanganinya berdasarkan Ps. 18 ayat (1) (tentang pengisian dan penandatangan formulir registrasi perkawinan oleh pasangan pengantin dan wali pihak 197
198
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
perempuan) dapat dikenakan denda maks. 100 rupee; atau penjara maks. 6 bulan; atau keduanya sekaligus. g. Setiap petugas pencatatan: 1) Lalai atau menolak tanpa sebab/alasan yang sah melakukan pencatatan perkawinan; 2) Kecuali dalam kasus yang terdapat pada Pasal 11, melakukan pencatatan suatu perkawinan yang diadakan di luar wilayah tugasnya; 3) Melakukan pencatatan suatu perkawinan yang melanggar kondisikondisi atau batasan yang terdapat pada surat tugasnya; 4) Mencatat suatu perkawinan yang tidak dihadirinya; 5) Sengaja menolak untuk melaksanakan atau yang terkait dengan pencatatan suatu Perkawinan; suatu kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Pasal 18, 19, atau ps. 58; 6) Sengaja melanggar / menentang berbagai aturan dalam UU ini dapat dikenakan hukuman Denda maksimal 100 rupee. d.2. Pemikiran Tentang Pencatatan Perkawinan di Indonesia. Undang-undang RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
198
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
199
itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Dari Pasal 2 Ayat (1) ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata hukum agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini dimata agama dan kepercayaan masyarakat tersebut juga perlu dicatat oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan. Hal ini terus terjadi karena perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sudah dianggap sah, banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan perkawinannya. Alasan yang paling umum adalah biaya yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah sirri. Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari 199
200
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang tidak tetap, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan dijadikannya satus anak tersebut sama dengan anak yang lahir dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak. Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan atau pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam [KHI] Pasal 7). Namun, Iśbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a) dalam rangka penyelesaian perceraian; b) hilangnya akta nikah; c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d) 200
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
201
perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974. Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dapat dipergunakan, dapat segera mengajukan permohonan Iśbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Tetapi untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang. Bila telah memiliki Akte Nikah, maka harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, anda terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak dalam akte kelahirannya bukan lagi anak di luar kawin. d.3. Pencatatan Perkawinan dalam Ajaran Islam Menurut hukum Islam, bahwa tujuan syari’at Islam (maqaşidus syari`ah) adalah mendatangkan maslahat dan menghindarkan bahaya, karena perkawinan yang tidak dicatat pemerintah menimbulkan muḍarat kepada istri, anak, dan harta bersama (gono gini), maka pencatatan perkawinan oleh pemerintah menurut sebagian orang dapat dipandang sebagai masalah ḍarurat karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur`an dan Al-Hadiś. Hukum yang diterapkan berdasarkan ijtihad ini dapat berubah sesuai kondisi, selama perubahan hukum itu untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan Hadiś, atau maqaşidus syari`ah berdasarkan qaidah fiqhiyah: 343 343
Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah:
Pandangan
201
202
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
ت غ يراالح كام واألزم نة ب ت غ يراالح وال Artinya: “Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman”344. Menurut Abdul Manan, ada beberapa faktor yang menjadi alat atau factor pengubah hukum, yaitu faktor arus globalisasi, faktor sosial budaya, faktor politik, faktor ekonomi, faktor iptek, pendidikan, hukum, dan supremasi hukum. 345 D. Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk reformasi hukum keluarga yang dilakukan oleh negara-negara muslim di dunia. Tujuannya adalah agar tercapainya kepastian hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan hukum atas suatu perkawinan. Oleh karena itu, berbagai negara di dunia Islam menjadikan pencatatan perkawinan sebagai suatu kewajiban yang dilegalkan dalam suatu perundang-undangan. 2. Walaupun menimbulkan perbedaan pandangan mengenai eksistensi pencatatan perkawinan, namun, berdasarkan realita yang ada, berbagai negara muslim hanya memberlakukannya sebagai persyaratan administratif dan tidak berkaitan dengan validitas
Hukum Islam, Jakarta GT2 dan GG Pas, h. 22. 344
Menurut Syamsul Anwar, dalam kesempatan memberi kuliah Program S3 Hukum Keluarga pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung, hari Sabtu 03 Nopember 2012 mengemukakan bahwa ada 4 (empat) syarat hukum dapat berubah: 1) Bila ada tuntutan untuk berubah; 2) Tidak menyangkut ibadah mahḍah (ibadah pokok); 3) Hukum itu tidak bersifat Qaț`I tapi bersifat ẓanni; 4) ada landasan syar`inya. 345
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005,
h. 57.
202
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
203
perkawinan. Dalam hal ini validitas perkawinan tetap disandarkan pada ketentuan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA 203
204
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992). Anhari, Masyhur, Usaha-usaha Untuk Memberikan Kepastian Hukum. Anwar, Syamsul. Studi Hukum Islam Kontemporer, RIM Books, Jakarta, 2007. Arto, A. Mukti, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan dalam Iskandar Ritonga, Hak-hak Wanita dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Nuansa Madani, 1999). Darusmanwiati, Aep Saepulloh, “Mahar dan Adab Pernikahan dalam Islam”, http://www.indonesianschool.org, diakses tanggal 22 Januari 2007 Djubaidah, Neng, Pencatan Perkawinan & Perkawinan tidak dicatat (Jakarta : Sinar Grafika, 2010). Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World (New Delhi: tnp, 1972). --------------, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi : Academy of Law and Religion, 1987. Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005. Manan, Abdul dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata, Wewenang Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001
204
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
205
--------------, Islam and Islamic Law, a Socio-Historical Approach, Jakarta: Depag RI, 2003 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta:Graha Ilmu, 2010). Muchtar, Kamal, Nikah Sirri di Indonesia dalam Jurnal Al Jami`ah No. 56 Tahun 1994. Mudzhar, Atho, dan Khoiruddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003). Muttaqien, Dadan (ed.), Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1999. Najib, M. al-Muti’i, Al-Majmu’ Syarh al-Muhaḍab li al-Syairozi (Jeddah: Maktabah al-Irșad, tt). Ritonga, Iskandar, Hak-hak Wanita dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Nuansa Madani, 1999. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000. Shihab, M. Quraish, Tafsir al Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2004, Volume 1 Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2009. --------------, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Leiden-Jakarta, 2002.
205
206
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Nuruddin, Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2004). Tahido Yanggo, Huzaemah, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan Hukum Islam, Jakarta GT2 dan GG Pas. Tebba, Sudirman, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara, Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Bandung : Mizan, 1993 Umar, Nasaruddin, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Makalah, Disampaikan pada acara Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama, Antara Cita, Realita dan Harapan, Hotel Red Top, Jakarta, 19 Februari 2010. al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islȃmi wa Adillatuhu, Juz IX (Beirut: Dȃr alFikr, 2002). online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/.../488Bagikan (Dian Mustika) Jenis File: PDF/Adobe Acrobat -oleh D Mustika - 2011 http://ebookbrowse.com/makalah- Nasaruddin dirjen-bimas-islam-hukumkeluarga kontemporer-di-negara-muslim-pdf-d35800502 openlibrary.org/.../Hukum_keluarga_di_dunia_Islam_arab_...1 Apr 2008 kuliahhukumkeluargaislam12.blogspot.com/.../kedudukan-...Bagikan15 Mar 2012
HUKUM KELUARGA
DI SINGAPURA DAN FILIFINA (Studi Analisis Hukum Perkawinan)
206
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
207
Nasruddin A. Pendahuluan Hukum perkawinan termasuk dalam hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan antara anggota keluarga. Hubungan ini meliputi hubungan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak-anaknya dan hubungan antara keluarga dan pemerintah. Maka, cakupannya adalah peraturan tentang perkawinan, perceraian, hak-hak kebendaan dari pasangan, pengasuhan anak, kepatuhan anak terhadap orang tua dan intervensi pemerintah terhadap hubungan anak dan orang tua, serta penyelenggaraan hubungan orang tua dan anak melalui adopsi. Paling tidak, ada tiga fungsi hukum keluarga yaitu perlindungan terhadap individu dari kekerasan dalam keluarga, untuk menyediakan penyelesaian jika hubungan antara anggota keluarga putus, dan untuk memberikan dukungan masyarakat tempat keluarga itu berada. Dalam hal penerapan hukum keluarga dan hukum perkawinannya, Negara-negara muslim dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a. Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan hukum perkawinan dari berbagai madzhab yang dianutnya, dan belum diubah; b. Negara-negara yang telah mengubah total hukum keluarga dan hukum perkawinannya dengan hukum modern, tanpa mengindahkan agama mereka; c. Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan perkawinan Islam yang telah direformasi dengan berbagai proses legislasi modern. Yang termasuk kelompok pertama, yang menerapkan hukum tradisional dari madzbah-madzhab yang dianutnya, diantaranya adalah Negara Saudi Arabia yangh menganut madzhab Hambali. Hukum keluarga Islam didasarkan kepada al-Qur’an, sunnah, dan teladan dari para sahabat Rasulullah SAW. Begitu juga di Negara Qatar. Di Yaman, hukum Islam didasarkan kepada madzhab Zaidi. Namun, penduduk Yaman selatan menganut madzhab Syafi’i dan Hanafi. Hukum-hukum ini 207
208
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
tidak dikodifikasi dan legislasi. Sementara di Bahrain, madzhab Maliki, Syafi’i, dan Syi’i diterapkan secara tradisional, tanpa kodifikasi dan legislasi. Adapun Negara kelompok kedua, yaitu yang telah meninggalkan hukum Islam, dan menerapkan hukum modern dari Barat adalah Turki dan Albania. Code civil diadopsi di Negara ini untuk menggantikan hukum Islam –terutama di Turki setelah jatuhnya khilafah Usmaniyah. Turki menerapkan Code Civil Switzerland, tahun 1926. Begitu juga dinegara-negara yang terdapat muslim minoritas, seperti di Tanzania yang terdapat muslim minoritas di Zanzibar dan di Kenya. Mereka menerapkan hukum keluarga Barat modern. Kelompok ketiga, yaitu Negara-negara yang telah mereforasi hukum keluagra Islam dengan proses legislasi modern; seperti Cyprus yang melegislasikan dan mengkodifikasi hukum perkawinan dan perceraian Islam tahun 1951. di lima Negara Asia Selatan dan Tenggara, hukum keluarga Islam juga telah direformasi dengan proses legilasi hukum modern; yaitu di Brunei, Malaysia, dan Indonesia yang memiliki muslim mayoritas; dan Singapura dan Ceylon yang memiliki muslim minoritas. Lainnya yaitu Libanon, Jordania, Algeria, Iran, yang telah mereformasi hukum keluarga Islam baik dari segi materi maupun pada aspek regulatori, dengan mengadopsi system hukum modern. Berdasarkan pengelompokan Negara-negara muslim berkaitan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan yang diterapkan sebagimana terpapar di atas, maka dapat dikatakan bahwa kelompok pertama yang menerapkan hukum keluarga sebagaimana dalam hukum Islam tradisional berdasarkan madzhab-madzhab yang Islam tradisional yang dikaji dalam berbagai madzhab); cenderung tidak memperbolehkan perkawinan antara seorang Muslim dengan non muslim, kecuali ahli kitab (yaitu yang pada masa Nabi, mereka beragama Yahudi atau Nasrani, yang ajarannya dianggap masih murni). Dalam fiqh, biasanya seorang Muslim laki-laki diperbolehkan menikahi seorang perempuan ahli Kitab; dan sebaliknya, seorang Muslim perempuan tidak diperbolehkan menikah dengan seorang laki-laki ahli Kitab.
208
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
209
Adapun di Negara-negara kelompok ketiga yaitu Negara yang mereformasi hukum Islam dengan system hukum modern, juga masih banyak yang tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Dalam UU Pekawinan dan Perceraian Cyprus tahun 1951, untuk orang-orang Turki, diantara perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara orang wanita Muslim dengan pria non-Muslim (Pasal 7 (c)). Begitu juga hukum keluarga di Jordania tahun 1951, menyatakan bahwa perkawinan yang dilarang adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah dan perkawinan antara wanita Muslim dan pria non-muslim (Pasal 29). Dalam hukum Status Personal Irak tahun 1959, Bab 11 tentang larangan Perkawinan Pasal 17, dinyatakan bahwa perkawinan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan ahli kitab adalah sah, tetapi perkawinan antara seorang wanita Muslim dengan laki-laki non-muslim tidak diperbolehkan.346 Berdasarkan uraian diatas, terkait dengan hukum keluarga di Negara-negara mayoritas muslim, berikut penulis tertarik untuk membahas hukum keluarga terkait dengan dinamika perkawinan beda agama di Negara Singapur dan Negara Filipina. B. Hukum Keluarga di Singapura 1. Gambaran Umum Hukum Islam di Singapura Singapura nama resminya Republik Singapura, adalah sebuah negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya, 137 kilometer (85 mil) di utara khatulistiwa di Asia Tenggara. Negara ini terpisah dari Malaysia oleh Selat Johor di Utara, dan dari Kepulauan Riau, Indonesia oleh Selat Singapura di selatan. Singapura adalah pusat keuangan terdepan keempat di dunia dan sebuah kota dunia kosmopolitan yang memainkan peran penting dalam perdagangan dan keuangan internasional. Pelabuhan Singapura adalah satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia.347
346
http://www.bphn.go.id/data/documents/perkawinan_beda_agama.pdf, diunduh tanggal 21 Desember 2012 347 http://id.wikipedia.org/wiki/Singapura, tgl 21 Desember 2012.
209
210
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Singapura memiliki sejarah imigrasi yang panjang. Penduduknya yang beragam berjumlah 5 juta jiwa, terdiri dari Cina, Melayu, India, berbagai keturunan Asia, dan Kaukasoid. 42% penduduk Singapura adalah orang asing yang bekerja dan menuntut ilmu di sana. Pekerja asing membentuk 50% dari sektor jasa. Negara ini adalah yang terpadat kedua di dunia setelah Monako. A.T. Kearney menyebut Singapura sebagai negara paling terglobalisasi di dunia dalam Indeks Globalisasi tahun 2006. Ketika Negara Singapura masih menjadi satu dengan nama Negaranegara selat, dibuat beberapa piagam kesepakatan dengan Inggris yang berkaitan dengan masalah hukum Islam. Salah satu piagam yang dimaksud adalah “Piagam Keadilan”.348 Piagam Keadilan berisi : 1. Penetapan pengadilan, dan 2. Kehendak agar pengengenadilan menggunakan undang-undang Inggris kecuali mengenai agama Islam dan adat Melayu.349 Dengan lahirnya Piagam Keadilan ini, beberapa ahli hukum mengomentari, bahwa piagam ini ada kesamaan artinya dengan awal Inggris membawa Undang-undang Inggris kenegara-negara selat Malaysia, dengan mengadakan perubahan seperlunya.350 2. Perkawinan di Singapura Lahirnya Piagam Keadilan ini, sebagaimana komentar beberapa ahli hukum; bahwa piagam keadilan ini ada kesamaan arti dengan awal Inggris membawa Undang-undang Inggris kenegara-negara selat Malaysia.
348
Khoiruddin Nasution,MA., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Penerbit ACAdeMIA+TAZZAFA, Yogyakarta, 2009, h. 159. 349 Ahmad Muhamed Ibrahim, Pentadbiran Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia, Kuala Lumpur, Institut Kefaman Islam Malaisia (IKIM), 1997, h. 6 350 Abdul Monir bin Yaacob, Perlaksanaan Undang-undang Islam, h. 7
210
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
211
Menurut Yacoob, Undang-undang yang diperlakukan Inggris hanya terbatas pada undang-undang tentang perkawinan (Keluarga Islam) dalam skop yang sempit.351 Selanjutnya pada tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan Hukum Perkawinan dan Perceraian Islam, sebagaimana terdapat dalam “Mohammaden Marriage Ordinance”, Nomor V tahun 1880, Isi undang-undang ini : bahwa perkawinan dan perceraian di kalangan orang Islam harus didaftarkan dan yang berkuasa mendaftarkan adalah Kadi, meskipun keputusan Kadi dan Pendaftar boleh direvisi atau dimodifikasi atau dirubah oleh Governor (pemegang Mahkamah Agung).352 Undang-undang ini diperbaharui pertama kali tahun 1894, Muhamaden Marriage Ordonance (Amendement), No. XIII tahun 1894, kemudian diperbaharui lagi tahun 1902 dengan Ordinance No, XXXIV of 1902. Isi Ordenance ini adalah memberikan kuasa kepada Governor untuk melantik Pendaftar Perkawinan (registrar) di masing-masing Negeri-negeri Selat, kemudian Ordinance XXXIV of 1902 ini diperbaharui lagi tahun 1908, dengan “The Mohamaden Marriage Ordinnce Tahun 1908”. Ordonance XXV / 1908 yang Memperbaiki “Ordonan Naiki Ordonan” Nomor V/ 1880 berisi353 : 1. Mewajibkan suami-suami membuat pendaftaran perkawinan dan perceraian dalam tempo tujuh hari setelah selesai akad nikah dan kalau dilanggar dapat dihukum denda 25 ringgit; 2. Memberikan kuasa kepada Governor melantik dan memecat Kadi; 3. Melantik Kadi sebagai pembantu Pendaftar Perkawinan dan Perceraian; 4. Memeberikan kuasa kepada kadi untuk menyelesaikan masalah nafkah yang tidak melebihi dari 50 ringgit; dan
351
Ibid. Abdul Monir bin Yaacob, Perlaksanaan Undang-undang Islam, h. 7 353 Abdul Kadir bin haji Muhammad, Sejarah Penulisan, h. 102-103. 352
211
212
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
5. Masalah lain yang berhubungan denggan perkawinan dan perceraian. Undang-undang Keluarga Islam pertama yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian, yang meliputi fasakh, taklik talak, khulu’ dan thalak, setelah Singapura menjadi Negara sendiri, yaitu “The Muslem Ordinance 1957” diundangkan tanggal 30 Agustus 1957 dan berlaku mulai tanggal 24 November 1958.354 Kemudian Akta tahun 1957, yang diamandemen tahun 1960, diamandemen lagi tahun 1966 dengan Akta 1966, yakni Akta Pentadbiran Undang-undang Islam 1966, yang didalam bahasa Inggris disebut The Administration of Musli Low Act 1966 diringkas AMLA, yang berlaku hingga sekarang.355 Kosekuensi adanya AMLA adalah dibentuknya The Majlis Ugama Islam Singapura. Majlis ini mempunyai komisi yang terdiri dari mufti Singapura, yakni dua anggota majlis dan dua yang bMajlis ini mempunyai komisi yang terdiri dari mufti Singapura, yakni dua anggota majlis dan dua yang bukan anggota majlis. Komisi hukum ini berfungsi untuk mengeluarkan fakta yang berkaitan dengan hukum Islam. Berdasarkan pasal 32 AMLA, Peraddilan Agama (Mahkamah Syari’ah/ Syari’ah Court) diberi kuasa untuk mendengan dan memutuskan masalah-masalah yang terjadi di kalangan Muslim atau perkawinan yang didasarkan pada hukum Islam, yang mencakup : 1. Perkawinan, 2. Perceraian, meliputi talak, cerai taklik, fasakh dan khulu’, 3. Pertunangan, 4. Pembagian harta bersama, 5. Pembayaran maskawin, nafkah dan mut’ah.356 354
Tuan Haji Sallim Jasman, Perlaksanaan Undang-Undang Keluarga Islam: Penglaman Singapura, “Kumpulan Paper Seminar Serantau Undang-Undang Keluarga Islam dan Wanita”, 9 -10 Maret 1998, oleh Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), h. 3 355 Ibid, h. 4 356 Ibid., h. 9
212
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
213
Adapu cakupan peraturan dibidang hukum keluarga yang tercantum didalam AMLA adalah : 1. Usia minimal boleh kawin , yakni 16 tahun bagi laki-laki dan perempuan, namun Kadi mungkin mengijinkan perkawinan dibawah umur denan syarat-syarat sudah dewasa dan dengan alasan dan dalam kondisi tertentu. 2. Wali boleh memohon untuk perkawinan anaknya atau memita Kadi melangsungkannya. 3. Kadi boleh menempao wali nikah dalam kondisi wanita tidak mempunyai wali nasab atau wali nasab tidak berkenan menjadi wali tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum Islam. 4. Pencatatan perkawinan adalah wajib, yang dilakukan oleh Kadi atau pengganti Kadi. Perkawinan dan perceraian yang tidak dicatatkan tidak diakui validitasnya. 5. Poligami diperbolehkan dengan syarat harus ada ijin tertulis dari Kadi atau pengganti Kadi. 6. Pencatatan perderaian dan ruju’ adalah wajib, dan pihak yang melanggar dapat dihukum. Namun sebelum memutuskan perkara di peradilan, hakim (pengadilan) mengangkat juru damai terlebih dahulu untuk berusaha mendamaikan. 7. Pemeliharaan anak diatur terrsendiri dalam The Guardian of Infants 1961.357 3. Perkawinan beda agama di Singapura Singapura merupakan salah satu negara yang memperbolehkan perkawinan beda agama. Singapura merupakan negara sekular menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama.
357
Khairuddin Nasution,MA., Op.cit., h. 165.
213
214
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Singapura mengklaim bahwa mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun agama mereka berbeda-beda, dan juga menyatakan tidak melakukan diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu. Singapura juga tidak memiliki agama nasional. Salah satu contoh perkawinan beda agama yang dilangsungkan di Singapura adalah perkawinan antara Iwan Suhandy yang beragama Budha dengan Indah Mayasari yang beragama Kristen Katholik dan keduanya berdomisili di Batam.358 Keduanya merupakan pasangan beda agama yang tidak dapat menikah di Indonesia, dan keduanya sepakat untuk melangsungkan perkawinan di Singapura. Persyaratan utama untuk dapat melangsungkan perkawinan di Singapura adalah yang bersangkutan harus tinggal di singapura minimal 20 hari berturut-turut. Setelah memenuhi persyaratan tersebut, calon pengantin baru mulai dapat mengurus administrasinya secara on line di gedung Registration for Merried. Pemerintah Singapura memberikan layanan perkawinan dengan pendaftaran on line baik bagi warga negara Singapura, permanent resident, maupun foreigner 100%. Hanya dalam waktu 20 menit mendaftarkan diri ke legislasi perkawinan Singapura dengan biaya paling banyak 20 dollar singapura, tanpa mempermasalahkan beda agama, dijamin sertifikat perkawinan legal dan bisa diterima oleh hukum manapun di dunia.359 Untuk dapat melangsungkan pernikahan oleh Bidang Konsuler, yang berkepentingan harus mengajukan surat permohonan kepada Duta Besar Republik Indonesia di Singapura, untuk perhatian/UP Kepala Bidang Konsuler, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: 1) Surat permohonan dari ayah atau wali calon mempelai wanita; 2) Surat persetujuan nikah dari kedua belah pihak; 3) Surat keterangan untuk nikah dari kelurahan; 358 359
Certificate of Marriage tanggal 28 Oktober 2007. Registry of Marriage, http//www.honey.telcom.us/2007/08/21/registry/ of/
marriage/
214
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
215
4) Surat keterangan asal-usul dari kelurahn; 5) Surat keterangan orang tua dari kelurahan; 6) Akte kelahiran asli, masing-masing calon pengantin berikut foto copynya; 7) Foto copy paspor dan ijin tinggal; 8) Bagi yang menetap di Singapura, surat keterangan belum menikah dari pemerintah setempat. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri, dalam waktu 1 tahun setelah mereka360 kembali ke Indonesia wajib mendaftarkan Surat Bukti Perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil tempat tinggal mereka dengan melampirkan : 1) Foto Copy Bukti Pengesahan perkawinan di luar Indonesia. 2) Foto Copy Kutipan akta Kelahiran. 3) Foto Copy KK dan KTP. 4) Pasport kedua mempelai. C. Perkawinan di Filipina 1. Gambaran Umum Islam di Filipina Muslim Philipina digelar dengan ‘moro’ oleh penjajah Spanyol di abad ke-16 Label ini diberikan kepada 13 etnik bahasa yang tinggal umumnya dibagian Barat Daya Fhilipina.361 Berbicara Islam di Philipina, adalah sejarah panjang perjuangan anak bangsa beragama Islam untuk mmepertahankan diri dari penindasan dan penjajahan. Image negatif yang disematkan kaum minoritas muslim Philipina saat ini tak bisa dipisahkan dari sejarah penjajahan Spanyol yang mengadu domba rakyat Philipina, mewariskan perang saudara yang berkepanjangan. Islam di Philipina nyatanya meninggalkan sejarah panjang yang pahit. Layaknya sebuah perjuangan, Islam di Philipina mengalami beberapa kendala. Pengaruh dari kebudayaan Spanyol datang kemudian dan membuat sebagian besar masyarakat Philipina beragama Katholik. 360
Ibid. Khoiruddin Nasution,MA., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Penerbit ACAdeMIA+TAZZAFA, Yogyakarta, 2009, h. 166. 361
215
216
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
Bahkan, kata Manila sebagai nama ibukota Philipina berasal dari bahasa Arab, yaitu Fiamanilah yang berarti dalam lindungan Allah. Menurut sejarah, sebelum 1565 ketika bangsa spanyol menguasai Philipina, para pemimpin Islam bergelar datuk atau raja telah menguasai sepanjang pantai kepulauan Philipina. Tercatat, beberapa sultan dari Brunai dan Johor-pun telah menempati lokasi tersebut. Para datuk dan raja menyebarkan ajaran agama Islam di sepanjang Philipina dan menjadi tokoh sentral atas berkembangnya Islam di Philipna. Pada akhirnya, mereka juga tidak bisa lepas dari sejarah perjalanan Islam di Philipina tersebut. Islam di Philipina dewasa ini, berdasarkan data yang ada Islam di Philipina dibedakan menjadi tiga belas kelompok etnolinguistik atau perbedaan bahasa menurut bagian daerah, yaitu Iranun, Maranau, Yaqan, Sama, Mapun, Tao-Sug, Ka’gan, Kalibungan, Sangil, Molbog, Palawani, dan Bazau. Selain itu, Islam di Philipina juga tersebar ke wilayah Luzon dan Fisayaz, meskipun berjumlah tidak sebanyak daerah-daerah yang disebut terdahulu. Masih menurut data, jumlah penduduk Philipina yang menganut agama Islam pada tahun 2005 berjumlah 4,5 juta jiwa atau hanya 5% dari jumlah penduduk keseluruhan. Islam di Philipina semakin dikokohkan dengan berdirinya masjid pertama. Masjid tersebut didirikan oleh Makhdum Karim atau Sharif Aulia yang merupakan keturunan Arab, yang dibangun sekitar tahun 1830.362 2. Hukum Perkawinan di Filipina Hukum keluarga Islam pertama yang diberlakukan secara khusus bagi muslim Philipina adalah Code Of Muslim Personal Laws of the Philippines Tahun 1977. Kodefikasi ini ditetapkan berdasarkan Dekrit Presiden Ferdinand E.Marcos, No, 1083 pada tanggal 4 Pebruari 1977. Kemudian kodifikasi ini di amandemen tahun 1987 dengan lahirnya Exsecutive Order No. 209 tahun 1987, yang di amandemen oleh Exsecutive Order No. 277 tahun 1987.
362
http://www.anneahira.com/islam-di-filipina.htm, diunduh tanggal 23 Desember
2012.
216
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
217
Pernikahan di Filipina adalah suci dan dihargai tidak hanya di mata sekte keagamaan yang mendominasi masyarakat Filipina saat ini tetapi juga di mata hukum Filipina. Pada hasilnya, perceraian saat ini tidak diijinkan oleh Konstitusi Filipina sebagai sarana untuk meniadakan pernikahan semua warga negara Filipina yang menikah. Berbagai debat telah dilakukan di seluruh negara tentang masalah ini, dan juga sejumlah besar tagihan rumah dan proposal senat telah diserahkan dan dibesarkan di rumah bawah dan atas baik untuk memungkinkan perceraian di Filipina atau secara permanen mencegah dari yang pernah menjadi salah satu hukum negara. Pembatalan perkawinan bagi pasangan Filipina, di sisi lain, hanya diakui jika kedua pasangan dapat membuktikan bahwa serikat perkawinan mereka dapat dibenarkan dibatalkan oleh pengadilan. Makna, kedua belah pihak harus memiliki alasan yang sah dan masuk akal untuk memaksa penghapusan lisensi mereka saat pernikahan. Beberapa kasus, dimana pengadilan Filipina membolehkan atau mengakui keputusan perceraian (dekrit) dinyatakan dalam Pasal 26. (Ayat 2) Orde Eksekutif Tidak ada. 209 atau lebih umum dikenal sebagai 'Kode Keluarga dari Filipina'.363 Pasangan suami istri Filipina harus setia hingga maut memisahkan mereka.364 Mereka mengucap janji untuk saling setia hingga maut memisahkan mereka. Di jiran itu mereka harus sungguhsungguh dengan janji tersebut. Pasalnya, tinggal Filipina dan Vatikan dua negara tersisa di dunia yang melarang perceraian. Menurut satu polling yang dibuat Social Weather Station, sekitar separuh warga Filipina mendukung pengesahan undang-undang perceraian. Namun, perubahan undang-undang sangat ditentang oleh Gereja Katolik yang sangat berpengaruh di negeri itu. Menurut Konstitusi Filipina tahun 1987 sudah dikatakan dalam deklarasi hak hak kebebasan dan kebijakan negara, bahwa keluarga 363
http://www.allphilippines.com/divorce-and-annulment-of-marriage-issues-andlaws-in-the-philippines/?lang=id, diunduh tanggal 10 Januari 2013. 364 Sabtu, 10 Desember 2011 09:25 Madonna T. Virola, - Download Bulan Juni, yang berasal dari nama Juno dewi pernikahan mitologi kuno Romawi, merupakan bulan yang populer bagi para pasangan di Filipina untuk menikah.
217
218
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
harus dilindungi dan dikuatkan sebagai satu institusi yang mendasar. Ini adalah hukum yang bertentangan dengan Tuhan. Dalam firman Tuhan, Yesus sangat jelas ketika menyatakan apa yang dipersatukan Tuhan dalam satu pernikahan suci, adalah penyatuan laki-laki dan istrinya hingga maut memisahkan mereka. D. Kesimpulan 1. Perkawinan di Singapura: Perkawinan dan perceraian di kalangan orang Islam harus didaftarkan dan yang berkuasa mendaftarkan adalah Kadi, meskipun keputusan Kadi dan Pendaftar boleh direvisi atau dimodifikasi atau dirubah oleh Governor (pemegang Mahkamah Agung). Persyaratan utama untuk dapat melangsungkan perkawinan di Singapura adalah yang bersangkutan harus tinggal di singapura minimal 20 hari berturut-turut. Setelah memenuhi persyaratan tersebut, calon pengantin baru mulai dapat mengurus administrasinya secara on line di gedung Registration for Merried. Pemerintah Singapura memberikan layanan perkawinan dengan pendaftaran on line. Hanya dalam waktu 20 menit mendaftarkan diri ke legislasi perkawinan Singapura dengan biaya paling banyak 20 dollar singapura, tanpa mempermasalahkan beda agama, dijamin sertifikat perkawinan legal dan bisa diterima oleh hukum manapun di dunia. 2. Perkawinan di Filipina Di Filipina agama Islam adalah minoritas, sebagai mayoritasnya adalah pemeluk agama Katolik. Kondisi demikian ini sangat mempengaruhi terhadap hukum keluarganya, termasuk masalah perkawinan dan hal-hal yang terkait dengan perkawinan. Perkawinan di Filipina adalah suci dan dihargai tidak hanya di mata sekte keagamaan yang mendominasi masyarakat Filipina saat ini tetapi juga di mata hukum Filipina. Dalam firman Tuhan, Yesus sangat jelas ketika menyatakan apa yang dipersatukan Tuhan dalam satu pernikahan suci, adalah penyatuan laki-laki dan istrinya hingga maut memisahkan mereka. 218
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
219
DAFTAR BACAAN Ibn haji Muhammad, Abdul Kadir, Sejarah Penulisan. Ibn Yaacob, Abdul Monir, Perlaksanaan Undang-undang Islam. Ibrahim, Ahmad Muhamed, Pentadbiran Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia. Kuala Lumpur: Institut Kefaman Islam Malaisia (IKIM), 1997. Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2009. Jasman, Haji Sallim, Perlaksanaan Undang-Undang Keluarga Islam: Penglaman Singapura, “Kumpulan Paper Seminar Serantau UndangUndang Keluarga Islam dan Wanita”. 9 -10 Maret 1998, oleh Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM). Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/Singapura, tgl 21 Desember 2012. http://www.allphilippines.com/divorce-and-annulment-of-marriage-issuesand-laws-in-the-philippines/?lang=id, diunduh tanggal 10 Januari 2013. http://www.anneahira.com/islam-di-filipina.htm, diunduh tanggal 23 Desember 2012. http://www.bphn.go.id/data/documents/perkawinan_beda_agama.p df, Registry of Marriage, http//www.honey.telcom.us/2007/08/21/registry/ of/ marriage/Certificate of Marriage tanggal 28 Oktober 2007, diunduh tanggal 21 Desember 2012
219
220
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
220
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
221
221
222
METODE PENEMUAN HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA PADA KASUS-KASUS HUKUM ISLAM
222