RAGAM ARGUMENTASI KETENTUAN WALI NIKAH DAN POLIGAMI (Studi atas Hukum Keluarga Negara-Negara Muslim Modern) Miftahul Huda∗ Abstrak . Certain guardian (wali) and poligamy in the Marriage Law of many moslem modern countries, as Tunisia, Malaysia, and Pakistan, has been implemented variously on the basis of some argumentations. The writting is effort to describe those some argumentations. By sociology and Islamic Law approach, the writer concludes that the various implementation of certain wali and poligamy in the Marriage Law of the three moslem countries above is absolutely influenced by a social-religious setting, response to modernity, and the mazhab conviction. Keywords: Ijtihad, Siyasah Syar'iyyah, Code Personal Status, dan Arbitrasi A. Pendahuluan Islam sebagai agama samawi telah menyediakan berbagai aturan yang penting terhadap berbagai problem kemasyarakatan dan problem kekeluargaan. Karenanya, Islam memberikan berbagai alternasi objektif dari rangkaian masalah yang ada. Dalam ranah keluarga misalnya, berbagai persoalan penting menghinggapi manusia seperti dalam problem perkawinan, relasi dalam rumah tangga dan kewarisan. Hukum Islam adalah hukum Tuhan (ilahiyyah) yang abadi.1 Karakter inilah yang membedakannya dengan hukum kebanyakan secara umum. Pemahaman terhadap karakteristik hukum Islam ini dianut oleh para orientalis seperti Hurgronye dan Schacht dan para yuris muslim yang tetap mempertahankan pendapat mereka bahwa hukum Islam dalam konsep, sifat perkembangan, dan metodologinya adalah hukum yang abadi.2 Hal ini lalu diperkuat oleh terjadinya pembentukan empat madzhab Sunni di abad ke-9 dan ke-10 ketika syari’ah berhasil dibakukan sebagai hukum Ilahi yang tak dapat diubah, bersifat menyeluruh, dan tidak mungkin membutuhkan tambahan dan perubahan. Karakter ilahiyyah hukum Islam inilah yang menentukan bentuk penalaran hukum (ijtihad) dalam menghadapi persoalan baru yang disebabkan oleh perubahan sosial. Keberanian para fuqaha’ membentuk madzab sendiri berkurang. Mereka cukup membatasi ∗ 1
Penulis adalah dosen Jurusan Syari'ah pada STAIN Ponorogo. J. N. D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: New York University Press, 1959),
hlm. 3 2 Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al Shatibi’s Life and Thought (New Delhi: Jameel al Rahman Offset Press, 1977), hlm. 2
2
diri pada madzhab tertentu yang mereka anut. Kondisi ini diperparah oleh pandangan bahwa pintu ijtihad (penalaran hukum) telah tertutup, yang pertama kali terdengar pada abad ke-13 dan berlangsung hingga abad ke-19.3 Di zaman modern, relatif berbeda dengan hukum Islam yang terdapat dalam kitabkitab fikih klasik dan juga dengan pandangan tentang keabadian hukum Islam di atas. Reformasi hukum Islam dilakukan di negara-negara Islam yang terdapat di Timur Dekat dan Timur Tengah, terjadi perubahan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya pada satu abad terakhir. Perubahan tersebut terjadi baik dalam sistem peradilan maupun dalam sistem yang diterapkan. Perubahan hukum keluarga pertama kali dilakukan oleh Turki4 ketika menerbitkan “Ottoman Law of Family Rights” (Qanun Qarar al Huquq al ‘Ailah al Uthmaniyyah) pada tahun 1917, kemudian disusul oleh Lebanon pada tahun 1919, Yordania tahun 1951, dan Syiria pada tahun 1953.5 Pembaharuan hukum Islam tersebut tampak unik dalam tiga kategori negara-negara muslim. Pertama, beberapa negara yang sama sekali tidak melakukan reformasi hukum Islam dan tetap mengaplikasikan hukum yang ada dalam kitab-kitab fikih sesuai dengan madzhab yang mereka anut. Negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Arab Saudi. Kedua, beberapa negara yang meninggalkan hukum Islam dan menggantikannya dengan hukum sekuler yang biasa diterapkan di Eropa. Turki adalah salah satu negara dalam kategori ini. Ketiga, beberapa negara yang mereformasi hukum Islam dengan mengkombinasikannya dengan hukum sekuler. Negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Mesir, Tunisia, Iraq, Syiria, Indonesia dan lainnya.6 Perubahan-perubahan yang terjadi dalam undang-undang keluarga di negara Muslim, menurut Tahir Mahmood ada tiga belas aspek, yaitu batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam perkawinan, keharusan pencatatan perkawinan, kemampuan ekonomi dalam perkawinan, pembatasan kebolehan poligami, nafkah keluarga, pembatasan hak cerai suami, hak-hak dan kewajiban para pihak karena perceraian, masa kehamilan dan implikasinya, hak wali orang tua, hak waris keluarga dekat, wasiat wajibah dan pengelolaan wakaf.7
3 Wael B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed”, dalam International Journal of Middle East Studies, No 16 (1984), hlm. 3 4 Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (Bombay: N. M. TRIPATHI PVT. LTD, 1972), hlm. 17 5 Ibid., hlm. 73 dan 93 6 J. N. D. Anderson, Islamic Law., hlm. 83 7 Tahir Mahmood, Personal Law in The Muslim Countries, (New Delhi: Triomies Press, 1987), 11-hlm. 12
3
Tunisia, Pakistan, dan Malaysia adalah sebagai negara yang termasuk dalam kategori ketiga, yang akan dikaji dalam tulisan ini, khususnya Tunisia menarik perhatian dunia Islam dalam pelarangan poligami dan tidak mensyaratkan eksistensi wali dalam akad perkawinan. Aturan pelarangan poligami terdapat dalam pasal 18 The Code of Personal Status yang diundangkan pada tahun 19588 yang mengatur tentang hukum perkawinan dan waris. Personal Status Tunisia tidak hanya melarang poligami tetapi juga mewajibkan pelanggar membayar denda dan mereka dipenjara. Ketetapan ini dianggap oleh beberapa negara muslim tidak sesuai dengan hukum Islam. Karena selama ini poligami dilakukan secara luas di kalangan orang-orang Muslim didasarkan pada ayat al Qur’an yang secara tegas membolehkan Muslim melakukan poligami. Begitu juga dengan problem indepedensi perempuan dalam menikah, sangat jelas, Tunisia tidak mensyaratkan wali dalam akad perkawinan. Artinya indepedensi perempuan dijunjung tinggi bahkan boleh melakukan perkawinan atas dirinya sendiri, walaupun wali dapat mengajukan pembatalan putusnya perkawinan bila ada problem seperti tidak sekufu dan sebagainya. Di sisi lain, Malaysia membolehkan poligami sebagaimana yang termaktub dalam Al Qur’an dan beberapa kitab fikih dengan perantara pengadilan. Tentang wali dalam perkawinan, perundangan Malaysia masih sangat ketat dengan mewajibkan eksistensi wali dalam akad perkawinan bahkan ada beberapa negara bagian Malaysia yang masih mengakui hak ijbar wali. Pakistan membolehkan poligami dengan ketentuan sangat ketat selain harus persetujuan istri dan kelurganya juga ijin dewan arbitrase dan pengadilan dengan persyaratan yang sangat kaku, untuk keberadaan wali, walaupun tidak mengenal hak ijbar bagi wali, Pakistan masih tetap mensyaratakan wali dalam formal akad perkawinan bagi perempuan sebagai bentuk persetujuan dan tanggung jawab terhadap anak perempuannya. Karena itu, sangat urgen untuk mengkaji keanekaragaman ketentuan wali nikah dan poligami sekaligus menemukan argumentasi variasi perbedaan pemberlakuan hukum keluarga di negara-negara muslim modern. Untuk itulah dengan pendekatan sosiologi dan filsafat hukum, tulisan sederhana ini berusaha menjawab asumsi di atas, mengingat hal ini masih menjadi perdebatan pro dan kontra di masyarakat sekaligus menjadi pertimbangan dalam menempatkan posisi hukum keluarga Indonesia tentang beberapa persoalan krusial tersebut ke depan. Untuk lebih mudahnya, tulisan ini diawali dengan sejarah pemberlakuan hukum kelaurga negara-negara muslim modern (Malaysia, Pakistan dan Tunisia), ragam 8
Ibid., hlm. 152
4
ketentuan wali nikah dan poligami di antara negara muslim tersebut, argumentasi dari masing-masing hukum keluarga dan diakhiri dengan kesimpulan. B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Keluarga di Malaysia, Pakistan dan Tunisia Di Malaysia, Islam dinyatakan sebagai agama resmi, namun demikian negara menjamin bahwa setiap kelompok agama berhak mengurusi masalahnya sendiri. Apabila orang non-Islam dilindungi secara konstitusional dan legal, maka muslim berada dibawah hukum Islam, dimana Sultan yang mengurus kepentingan mereka dan pengadilan agama digunakan untuk mengawasi agama tersebut.Teks pasal yang berkenaan dengan ini menyebutkan: Hukum Islam serta hukum pribadi dan keluarga dari orang-orang beragama Islam, termasuk hukum Islam yang berkenaan dengan warisan, ada tidaknya warisan, pertunangan, perkawinan, perceraian, perwalian, pemberian, pembagian harta benda dan barang-barang yang dipercayakan, wakaf Islam, penentuan dan pengaturan dana sosial dan agama, penunjukan wali dan pelembagaan orang-orang berkenaan dengan lembaga-lembaga agama dan sosial Islam yang seluruhnya beroperasi di dalam negara, adat Melayu, zakat fitrah, dan baitul mal atau pendapatan Islam yang serupa dengan itu....9 Jadi dalam situasi ini Islam adalah agama negara sedangkan hukum Islam mengatur tingkah laku orang-orang yang beriman, namun secara konstitusional kelompok agama lain juga diberi kebebasan untuk melaksanakan agama mereka menurut kehendak mereka. Mayoritas muslim di Malaysia adalah pengikut madzab Syafi’i, hal ini lebih jelas lagi dalam praktek kehidupan beragama khususnya berhubungan dengan hukum Islam seperti dalam hukum keluarga dan warisan masih tetap mengikuti aliran madzab tersebut. Walau demikian dalam realitasnya penentuan praktek hukum Islam ini harus atas kendali SultanSultan yang memimpinnya mengingat Semenanjung Malaysia pada waktu itu memang dikuasai beberapa kerajaan Islam yang dipimpin langsung oleh Sultan seperti di kerajaan Johor, Malaka, Kelantan dan Trengganu.10 Selama penjajahan Inggris, sistem regulasi terjadi perubahan di mana bentuk dan peraturan lokal yang berhubungan dengan praktek hukum Islam seperti pengadilan syari’ah tentang perkawinan, perceraian dan kewarisan mengikuti model Inggris. Keadaan seperti ini berlanjut sampai Malaysia meraih kemerdekaannya. Setelah dapat melepaskan diri dari 9
Fred R. Von der Mehden, “Kebangkitan Islam di Malaysia”, dalam John L. Esposito (Ed), Kebangkitan Islam pada Perubahan Sosial, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),hlm.251 10
John L. Esposito (Ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, III, (Jakarta: Mizan, 2000), hlm. 329
5
Inggris dan pemerintahan Malaysia berbentuk federal 1963, telah banyak usaha untuk merespon masyarakat untuk membuat Undang-Undang Hukum Keluarga seperti di negara bagian Johor dan Trengganu yaitu Administrasi UU Hukum Islam dan juga negara bagian lainnya seperti Kedah, Malaka, Negeri Sembilan, Penang, Perlak, Perlis dan Selangor dengan administrasi UU hukum muslim. Begitu juga di negara bagian Serawak dan Sabah di mana muslim minoritas, tetap memberlakukan UU Mahkamah Melayu 1915.11 Selama tahun 1983-1985 terjadi usaha untuk menyegarkan legislasi di Malaysia dalam bidang Hukum Keluarga yang diterapkan di beberapa negara bagian. Undang-undang Hukum Keluarga Islam 1984 ini berisi 135 pasal yang terbagi dalam 10 bagian.12 Usaha penyeragaman UU Keluarga Islam di Malaysia pernah dilakukan yang diketuai oleh Tengku Zaid. Tugas komite ini adalah membuat draf UU Keluarga Islam. Setelah mendapat persetujuan dari majelis raja-raja, draf ini disebarkan kepada negara bagian untuk dipakai sebagai UU Keluarga. Sayangnya tidak semua negeri menerima isi keseluruhan UU tersebut. Kelantan Misalnya melakukan perbaikan atas draf. Akibatnya UU Keluarga Islam yang berlaku di Malaysia tidak seragam sampai sekarang.13 Perbedaan di atas bisa saja diakibatkan masing-masing negara bagian mempunyai tujuan sendiri dalam pembentukan UU-nya. Bagi Perlak, Selangor, Negeri Sembilan dan Akta Wilayah pembentukan UU perkawinan daerah ini bertujuan untuk mengubah beberapa hal di bidang perkawinan, perceraian, nafkah, hadanah dan perkara lain yang berhubungan dengan kehidupan keluarga, maka pembentukan di sini hanya mengubah sebagian saja. Sedangkan UU keluarga bertujuan untuk menyatukan UU yang berkaitan dengan keluarga Islam dalam berbagai bidang dan perkara supaya menjadi lebih mengikat. Berarti UU ini bertujuan untuk membuat suatu peraturan yang komprehensif dan agar UU tersebut dipatuhi dan diikuti. Sementara Kelantan selain untuk penyatuan juga untuk meperbaharui UU yang ada. Akhirnya tujuan pembentukan Perundangan di bidang perkawinan di Malaysia adalah untuk meninggikan status wanita dan mengubah peraturan hukum syari’ah mengenai keluarga.14 Negara Pakistan terletak di Asia Selatan dan menurut perhitungan kalkulasi populasi tahun 2004 berjumlah 159.196.336 juta jiwa merupakan negara muslim terbesar kedua di 11Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987),
hlm. 220 Ibid., hlm. 221 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Sebuah Studi Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS, 2002), hlm. 87 14 Ibid., hlm. 88 12 13
6
dunia. Negara ini dihuni oleh beragam kelompok etnis yang berbeda, yang seluruhnya hidup berdampingan secara damai di bawah panji agama yang beragam pula. Islam tercatat sebagai agama terbesar yang dianut oleh 97 % jumlah penduduk Pakistan. Sementara agama lain seperti Kristen, Hindu dan lainnya, hidup secara damai di negara yang berbatasan dengan Iran di Barat, Afghanistan di Barat Laut, India di Tenggara dan Kashmir di Timur Laut. Negara yang beribukota Islamabad ini adalah bekas koloni Inggris ketika menjadi bagian dari wilayah India. Sejarah kontemporer anak benua India dan Pakistan bermula dari hancurnya Imperium Mughal dan pendudukan Inggris di India. Penjajahan Inggris telah menghancurkan posisi politik tertinggi yang dimiliki umat Islam. Kehidupan pribumi, pedagang kecil, pengrajin dan kaum buruh sangat menderita. Tidak hanya kerugian dalam bidang ekonomi dan politik, kolonisasi ini juga mempunyai dampak dan kerugian lebih jauh pada budaya (kultural) di mana pada awalnya mereka bersikap simpatik terhadap program pendidikan tradisional Muslim dan terhadap kultur klasik bangsa India. Namun lambat laun mereka mulai menindas praktek keagamaan di mana mereka sering menjatuhkan hukuman secara sadis dan kejam. Adapaun bahasa Inggris menjadi bahasa pemerintahan dan pengajaran dan bahasa Mughal dihapus sebaga bahasa resmi di pengadilan. Islam merupakan agama mayoritas di Pakistan. Dalam kehidupan keagamaan, di mana yang berbahasa resmi Urdu ini tumbuh beberapa aliran madzhab, madzhab Hanafi dikenal sebagai madzhab mayoritas, ditambah madzhab lain seperti Syi’ah dan Hambali. Toleransi antara umat beragama terjalin baik di Pakistan. Mereka yang minoritas seperti Hindu, Kristen dan Budha hidup dalam alam demokrasi dan toleransinya yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dan lebih dari itu mereka dianggap sahabat. Kehidupan keberagamaan di Pakistan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan keberagamaan di negara muslim lainnya. Islam menjadi jalan hidup (way of life) yang mereka anut secara mendalam. Pandangan hidup, rasa dan kecenderungan mereka sepenuhnya adalah Islam, sementara tradisi dan budaya tidak berpengaruh pada karakteristik Islam secara esensial. Hampir sejak diperkenalkannya Islam di Tunisia, mayoritas Masyarakat Tunis yang beragama Islam sebagaimana kebanyakan masyarakat lain di kawasan Magribi adalah kaum Sunni yang bermadzab Maliki. Namun banyak dinasti yang memerintah di Tunisia, baik asing maupun asli Tunis memiliki keyakinan berbeda. Sebuah dinasti Syi’ah, Fathimiyyah
7
menumbangkan dinasti Aghlabiyyah antar 905-909 M. Akan tetapi setelah itu kaum Syi’ah bahkan menjadi kelompok minoritas dan sampai sekarang dianggap telah hilang.15 Setelah kedatangan bangsa Turki yang memerintah di Tunisia dengan membawa madzab Hanafi maka sedikit demi sedikit baik melalui kekuasaan pemerintahan langsung maupun melalui sebuah sistem kedaerahan memberi pengaruh penting di negeri ini. Sehingga keberadaan pengikut madzab Hanafi dan Maliki keduanya saling berdampingan. Ketika Perancis menguasai Tunisia, Perancis menyerahkan soal-saol hukum keluarga, misalnya perkawinan, perceraian, kewarisan dan kepemilikan tanah pada yurisdiksi syariat yang dikepalai oleh hakim-hakim Hanafi atau Maliki, namun dengan catatan dengan menggunakan prinsip-prinsip peraturan hukum Perancis sebagaimana dalam prinsip hukum mereka yang terdapat dalam hukum perdata, pidana, niaga, dan acara di pengadilan. Situasi seperti ini berlangsung dengan mulus karena secara politis, upaya pengembangan dalam berbagai bidang termasuk hukum keluarga sangat tergantung pada peran ulama seperti Khiyar al-Din yang berusaha memahami atas konsep dan perihal baru yang datang dari Perancis. Di Tunisia sangat kecil, bahkan sama sekali tidak ada, ketegangan antara ulama dan beberapa kalangan termasuk pejabat Perancis. Keduanya bekerja sama dalam mengembangkan berbagai hal seperti administrasi wakaf, publik dan menejemen zakat dan pajak.16 Setelah merdeka 1956, upaya bertahap untuk membentuk hukum keluarga secara komprehensip terus dilakukan. Pengembangan dan kodifikasi hukum keluarga di Tunisia terus dilakukan. Materinya adalah pemikiran hukum dari gabungan antara madzab Hanafi dan Maliki. Usaha itupun berhasil dengan berlakunya Undang-undang hukum keluarga Majalla al-Ahwal al-Syahsiyyah tahun 1956.17 C. Ragam Karakteristik Status Wali Nikah Tentang eksistensi wali nikah, perundang-undangan Malaysia baik Undang-undang Persekutuan (federal) maupun di tiap-tiap negara bagian tetap diakui dan mewajibkan adanya wali dalam akad perkawinan, konsekuensinya apabila perkawinan dilaksanakan tanpa adanya wali maka tidak dapat dilaksanakan perkawinan tersebut. Kriteria wali adalah berupa wali nasab (keturunan dari yang paling dekat sampai seterusnya), bila terjadi 15
John L Esposito, Enciklopedi Oxford,.IV,56
16
Ibid., 229-230
17
Tahir Mahmood, Personal law, 152
8
persoalan atau kasus tertentu wali hakim bisa menggantikan wali nasab. Argumen penggantian ini, karena calon pengantin tidak mempunyai wali nasab atau karena ada alasan tertentu, semisal enggan menjadi wali dan wali nasab sendiri tidak cakap bertindak.18 Sedangkan persoalan kebebasan perempuan dalam memilih jodohnya, pada intinya semua hukum keluarga di negara bagian dan persemakmuran menghendaki adanya persetujuan dari perempuan. Bahkan orang lain termasuk wali tidak boleh memaksa calon pengantin bila memang memenuhi syarat keduanya. Bila hal ini tetap dilakukan maka bisa terkena denda maksimal 1000 Ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau keduaduanya. Akan tetapi dalam beberapa UU negara bagian masih ada juga yang mengakui adanya hak ijbar dari wali yaitu bapak seperi UU Kelantan.19 Hukum keluarga Pakistan, The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961, pasal 8 tentang perkawinan anak menyebutkan bahwa usia minimal menikah bagi pria adalah 18 tahun dan wanita adalah 16 tahun. Dan barangsiapa yang melanggar maka akan dikenai saksi penjara beberapa bulan atau membayar denda sampai 1000 rupee. Begitu juga dengan petugas pencatatan yang melanggar juga dikenai sanksi. Dengan adanya klausul ini maka sebenarnya perkawinan di Pakistan adalah bagi mereka perempuan yang sudah dewasa tanpa mengenal paksaan walupun dalam akad masih dihantarkan oleh walinya.20 Tentang wali nikah, Tunisia tidak mengharuskan adanya wali dalam perkawinan. Hal ini sesuai dengan UU Tunisia pasal 3: “Perkawinan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan kedua mempelai, dan disaksikan dua orang saksi dan sejumlah mahar untuk calon isteri”.21 Dari pasal ini tentang kebebasan perempuan dalam perundang-undangan Tunisia dengan tegas mewajibkan persetujuan calon sehingga hak pilih kedua calon sangat diperhatikan.
18
Sebagaimana hasil penelitian Khoiruddin Nasution tentang perbandingan hukum keluarga antara Indonesia dan Malaysia, disebutkan dalam beberapa UU negara bagian Malaysia, seperti UU untuk orang Islam Selangor 1952, UU Islam Trengganu 1955, UU Agama Islam Pahang 1956, UU untuk Orang Islam Malaka 1959, UU untuk Orang Islam Pulau Pinang 1959, UU Untuk Orang Islam Negeri Sembilan 1960, UU untuk Orang Kedah 1962, UU untuk Orang Perlis 1964, UU untuk Orang Perak 1964, UU Mahkamah Syari’ah dan Sebab-sebab Hal Ihwal Suami-Isteri Kelantan 1966 dan Majelis Adat dan Melayu kelantan 1966 dan UU Islam Johor 1978, pada intinya mensyaratkan wali dalam perkawinan serta adanya hak Hakim untuk mengganti status wali nasab dalam kasus tertentu, begitu juga tentang persetujuan perempuan dalam menetukan pilihan jodohnya, lihat Status Wanita di Asia Tenggara, Sebuah Studi Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia dan Malaysia, Disertasi, Yogyakarta, 2001,.250-252. Lihat juga M. B. Hokker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, (Kuala Lumpur: Ampang Press, 1992), 165 19 Ibid., 251 20Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay: NM TRIPHATI PVT,1972), 256 21
Ibid., 107
9
Adapun eksistensi wali baru diterima bila dalam kasus calon pengantin yang masih dibawah umur kedewasaan. Artinya keberadaan dan persetujuan wali diperlukan, bila wali menolak untuk memberikan persetujuan maka persoalan ini diserahkan kepada pengadilan. Adapun tentang persoalan kafa’ah sebagaimana yang disyaratkan konsep fiqh Abu Hanifah ketika dapat menikah tanpa wali ternyata dalam kebiasaan di Tunisia sudah tidak berlaku lagi. Kebebasan memilih calon pasangan serta merta telah meniadakan materi kafa’ah sebagaimana yang diatur dalam fiqh klasik, kecuali pada hal yang memang secara ekplisit sangat merugikan bagi perempuan. Artinya memang ketiga perundangan negara tersebut sekali lagi sangat menolak perkawinan paksa kecuali satu negara bagian Malaysia yang masih mengakuinya. D. Ragam Karakteristik Poligami Berdasarkan undang-undang perkawinan Malaysia tentang boleh tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal penting yang dibicarakan yakni: syarat-syarat, alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami dan prosedur. Namun perlu dicatat, berbeda dengan perundangan di Indonesia misalnya yang dengan tegas menyebut bahwa prinsip perkawinan adalah monogami, dalam perundang-undangan Malaysia tidak ada penegasan tentang prinsip perkawinan. Adapun syarat yang harus dipenuhi, semua undang-undang keluarga Malaysia mengharuskan adanya izin lebih dahulu secara tertulis dari hakim (pengadilan). Hanya saja dalam rinciannya ada sedikit perbedaan, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, yang merupakan kelompok mayoritas, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan tidak boleh didaftarkan.22 Kedua, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan.23 Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberi izin atau tidak, dilihat dari pihak istri dan suami. Adapun alasan dari pihak istri adalah: kemandulan, keuzuran jasmani, tidak 22
Kelompok pertama yang mayoritas adalah UU Negeri Sembilan pasal 23 ayat (1), UU Pinang pasal 23 ayat (1), UU Pahang pasal 23 ayat (1), UU Selangor pasal 23 ayat (1) dan UU Perak pasal 21 ayat (1) berbunyi, " Tiada seorang lelaki boleh berkahwin dengan seorang lain dalam masa dia masaih beristrikan isterinya yang sedia ada kecuali dengan terlebih dahulu mendapatkan kebenaran secara tertulis dengan hakim syari'ah". Dan ada tambahan kalimat: "mendapatkan pengesahan lebih dahulu dari hakim bahwa ia kan berlaku adil terhadap isterinya". 23 Kelompok kedua seperti UU Serawak dan Kelantan. Pada UU Serawak pasal 21 ayat (1), ada kalimat " maka perkahwinan itu hanya boleh didaftarkan di bawah ordinan ini tertaktuk kepada seksyen 125". Kalimat tersebut sebagai ganti kalimat " maka perkahwinan itu tidak boleh didaftarkan dibawah enakmen ini", yang ada dalam pasal UU yang tidak membolehkan pendaftaran secara mutlak tanpa izin dahulu pengadilan.
10
layak dari segi jasmani untuk bersetubuh, sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan atau istri gila. Sedang pertimbangan dari pihak suami adalah: mampu secara ekonomi untuk menangung kebutuhan istri-istri dan anak keturunan, berusaha untuk adil di antara para istri, perkawinan itu tidak menyebabkan bahaya terhadap agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda istri yang telah lebih dahulu dinikahi, perkawinan itu tidak akan menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan, langsung atau tidak.24 Sebagai pengecualian, UU Serawak tidak mencantumkan poin keempat dari pertimbangan suami, sementara UU Perak hanya mencantumkan akan berlaku adil terhadap istri-istrinya, dan UU Kelantan sama sekali tidak menyinggung tentang syarat yang harus dipenuhi seorang laki-laki yang akan melakukan poligami dari pengadilan, dalam UU Kelantan tidak ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.25 Dengan demikian alasan pertimbangan bagi pengadilan untuk memberi izin atau tidak ada tiga pihak: pihak istri, suami, dan pihak yang terkait. Adapun yang bersumber dari pihak istri adalah karena mandul, uzuran jasmani, kondisi fisik yang tidak layak atau tidak mungkin melakukan hubungan seksual, sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan atau istri gila. Sedang pertimbangan dari pihak suami, yang sekaligus menjadi syarat boleh berpoligami, adalah: suami mempunyai kemampuan menanggung biaya istriistri dan orang yang akan menjadi tanggumgan kelak dengan perkawinan tersebut, suami berusaha berbuat adil di antara para istrinya. Adapun pertimbangan dari pihak orang-orang terkait, yang lebih tepat disebut orang –orang yang terkena akibat dari poligami, adalah bahwa perkawinan tersebut tidak menjadikan istri – istri yang sudah dinikahi menjadi dimudaratkan, poligami tersebut tidak merendahkan langsung atau tidak langsung terhadap tarap hidup (martabat) orang-orang yang sebelumnya menjadi tanggungannya.26 Sedang prosedur untuk berpoligami ada tiga langkah. Pertama, suami yang akan melakukan poligami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari hakim. Dalam permohonan tersebut harus dicantumkan tentang hal-hal yang menjadi tanggungannnya kelak dan ada atau tidaknya izin dari istri atau istri-istrinya. Kedua pemanggilan pemohon dan istri atau istri-istri, sekaligus pemeriksaan oleh pengadilan terhadap kebenaran permohonan dan berkas-berkas (salinan-salinan) yang disampaikan suami. Untuk tujuan ini, satu bandel permohonan (berkas dan permohonan), yang dicantumkan tanggungan kelas, 24
Seperti UU Negeri Sembilan pasal 23 (4), a, c, d; UU Penang pasal 23 (4) a,b,c,d. Khoiruddin Nasution, Status Wanita, 112 26 Ibid., 113-114 25
11
dan ada atau tidaknya izin dari istri, hendaklah disampaikan bersama-sama surat panggilan kepada istri yang sudah ada, untuk kemudian istri atau istri-istrinya bersama-sama dengan laki-laki yang akan berpoligami datang ke pengadilan untuk didengarkan kesaksian dan kebenaran masing-masing. Ketiga, putusan pengadilan berupa penerimaan atau penolakan terhadap permohonan pemohon. Bagi orang-orang yang tidak puas dengan keputusan pegadilan dapat mengajukan permohonan keberatan. Suami yang melakukan poligami yang tidak sesuai dengan aturan perundangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenai hukuman denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya. Kecuali Serawak yang mencantumkan hukuman denda maksimal tiga ribu ringgit atau penjara maksimal dua tahun. Di samping itu suami suami tersebut masih harus membayar maskawin yang belum dibayar dan pemberian yang pernah diberikan kepada istri-istri yang sedang dipakai atau dipinjam. Apabila suami yang bersangkutan tidak membayar, maka maskawin itu dapat dituntut sebagai hutang. Demikian juga seorang suami yang tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya dapat dikelompokkan sebagai orang yang melanggar hukum yang dapat dihukum dengan hukuman denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya.27 Dengan demikian secara umum perundangan Malaysia tentang poligami berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar: mampu secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan (sandang, pangan papan) keluarga (istri dan anak-anak) serta mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya sehingga istriistri dan anak dari suami poligami tidak disia-siakan. Akan tetapi masih ada negara bagian di Malaysia yang sama sekali belum beranjak dari konsep tradisional yakni Kelantan. Demikian juga perundangan Malaysia terlihat berusaha menghargai istri sebagai padangan hidup suami. Pakistan, dengan The Muslim Family Laws Ordinance tahun 1961 menetapkan boleh poligami dengan izin lebih dahulu dari Pengadilan (Arbitration Council). Sementara bagi yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman penjara atau denda. Secara historis, jauh sebelum pemisahan India-Pakistan pada tahun 1947, poligami sudah menjadi budaya dan tradisi umum yang banyak dipraktekkan oleh umat Islam saat itu.28 Di Pakistan masalah poligami ini diatur dalam Ordonansi tentang hukum keluarga
27 28
lihat UU Pinang pasal 23 ayat 7 Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, (Surrey: Curzon Press, 1994), 162
12
Pakistan tahun 1961. peraturan poligami yang tercamtum dalam pasal 6 tersebut menyatakan: 1. selama masih terikat perkawinan, tidak seorang lelakipun yang boleh melakukan perkawinan dengan orang lain kecuali ia telah mendapat izin tertulis dari dewan Arbitrase. 2. permohonan izin (1) akan diserahkan kepada ketua dengan cara yang ditentukan sekaligus dengan biaya yang ditetapkan dan melampirkan alasan-alasan untuk mengajukan perkawinan dengan menerangkan apakah izin tertulis dari isteri atau isteri-isterinya sudah diperoleh. 3. dalam hal penerimaan permohonan (2) ketua akan meminta kepada pemohon dan isteri atau isteri-isterinya yang sah untuk mengajukan wakil masing-masing dan dewan arbitrase akan memberikan izin poligami apabila dewan memandang perkawinan tersebut perlu dan adil sesuai dengan pertimbangan kesehatan. 4. dalam memutuskan permohonan tersebut dewan arbitrase mencatat alasan terhadap putusan tersebut dan pihak pemohon boleh melebihkan surat permohonan untuk revisi surat keterangan tersebut dan menyerahkannya kepada kolektor dan putusannya akan berlaku serta tidak akan dipertanyakan lagi di pengadilan. 5. seseorang yang melakukan perkawinan yang lain tanpa izin dari dewan arbitrase akan (a) membayar seluruh mahar dengan segera kepada isteri atau isteri-isterinya, baik tunai maupun secara ditangguhkan dan jika tidak maka ia kan diperoleh sebagai tunggakan atau sewa, (b) dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal 5000 rupee atau kedua-duanya. Dalam pasal ini poligami dapat dilakulan dengan syarat bahwa diperlakukan izin tertulis dari dewan arbitrase (Hakim) sebelum seseorang dapat menikahi isteri kedua. Izin tersebut hanya dapat diberikan bila dewan arbitrase itu yakin bahwa perkawinan yang diajukan itu memang diperlukan dan benar. Dalam hal ini diperlukan adanya persetujuan dari isteri terdahulu kecuali kalau dia sakit ingatan, cacat jasmani atau mandul.29 Walau bagaimanapun juga izin dewan hakim harus didapatkan sebelum melangsungkan perkawinan kedua. Orang yang melanggarnya dapat dihukum penjara paling lama satu tahun atau membayar denda sampai 5000 Rupee atau bahkan keduanya sekaligus. Bila maharnya ditunda, dia tetap harus membayarnya dengan semestinya sedangkan isteri yang ada berhak menuntut cerai. Selain semua pembatasan ini, jika telah dijalin perkawinan kedua tanpa izin dewan, maka perkawinan tersebut dapat dianggap batal secara hukum.30
29 30
Abdur Rahman I Doi, Shari'ah the Islamic Law, 54 Ibid.
13
Pada hakekatnya, ketentuan yang diperkuat ini merupakan upaya untuk mengurangi atau membatasi praktek poligami beserta implikasi negatif yang ditimbulkannya, terutama ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Tunisia dengan UU Keluarga (Code of Personal Status/Majalat al Ahwal al Syakhsiyyah No 66 Tahun 1956), yang ditetapkan tahun 1957 oleh presiden Habib Borgoibe, melarang poligami secara mutlak, dan menghukum orang yang melanggar aturan poligami. Bahkan pada tahun 1964, pelaku poligami bukan saja dapat dikenakan hukuman, tetapi dinyatakan perkawinannya tidak sah. Adapun alasan yang digunakan Tunisia melarang poligami adalah ada dua. Pertama institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan tetapi dilarang setelah menjadi masyarakat berbudaya. Kedua surat Nisa (4): 3, yang menetapkan bahwa syarat mutlak seorang suami boleh berpoligami kalau dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi yang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. David Pearl menilai, Tunisia tetap melandaskan penetapan larangan Poligami pada Qur’an karena Tunisia ingin modern tetapi tetap berada pada koridor agama. Dengan demikian, Tunisia adalah negara Muslim ketiga setetlah Turki dan Lebanon yang melarang Poligami secara mutlak. Dalam Undang-undangnya terutama pasal 18 menyatakan:31 “Bahwasannya beristeri lebih dari seorang adalah dilarang. Setiap orang yang telah masuk dalam satu ikatan perkawinan lalu menikah lagi sebelum yang terdahulu bubar secara hukum, maka ia dapat dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda 240.000 malims atau kedua-duanya”. Dalam hal poligami, para ahli hukm modern Tunisia yang dipengaruhi oleh pola kehidupan Barat telah menyatakan bahwa petunjuk al Qur’an dalam surat al Nisa ayat 3 tidak dihubungkan secara ketat sebagai peringatan moral melainkan sebagai suatu persyaratan hukum yang mendahului poligami—menurut mereka—tidak ada perkawinan kedua yang dapat diperkenankan sampai terdapat bukti bahwa isteri-isteri ituakan diperlakukan dengan adil.32 Para ahli hukum Tunisia juga berpendapat bahwa kondisi sosial dan perekonomian yang modern ini, perlakuan adil tidak mungkin dipraktekkan, maka mereka mempertahankan bahwa persyaratan pokok poligami tidak mungkin dapat dipenuhi.
31 32
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, 156 Abdurrahman I Doi, Shari'ah the Islamic Law, 52
14
Dengan kata lain mereka bahkan telah melangkah lebih jauh serta melarang sama sekali poligami, bertentangan dengan penjelasan al Qur’an yang eksplisit.33 E. Argumentasi Pemberlakuan Hukum Wali Nikah dan Poligami Adapun tentang argumentasi status wali nikah ternyata merupakan usaha keberanjakan dari konsep fikih madzhab. Tunisia misalnya membolehkan perempuan menikah tanpa wali karena mengikuti pendapat dari Hanafi. Akan tetapi Pakistan yang note bene masyarakatnya menganut madzhab Hanafi ternyata secara lebih ketat mengharuskan wali nikah dalam prosesi perkawinan ini tidak terlepas dari ketentuan siyasah syar'iyyah yang ia terapkan. Sedangkan Malaysia yang nota bene masyarakat menganut madzhab Syafi'i, ternyata tidak beranjak dari anutan madzhab ketika diimplementasikan dalam kodifikasi hukumnya. Akan tetapi ketiganya mengakui adanya larangan nikah paksa mengingat adanya mainstream internasional tentang HAM dan usaha untuk memperkuat status wanita dalam keluarga dan masyarakat. Tunisia dengan UU Keluarga (Code of Personal status/Majalat al Ahwal al Syakhsiyyah No 66 Tahun 1956), melarang poligami karena ada dua argumentasi. Pertama institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan tetapi dilarang setelah menjadi masyarakat berbudaya. Kedua surat Nisa (4): 3, yang menetapkan bahwa syarat mutlak seorang suami boleh berpoligami kalau dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi yang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tunisia tetap melandaskan penetapan larangan Poligami pada Qur’an karena Tunisia ingin modern tetapi tetap berada pada koridor agama. Dengan demikian, Tunisia adalah negara Muslim ketiga setelah Turki dan Lebanon yang melarang Poligami secara mutlak. Undang-undang poligami di Malaysia, Pakistan dan Tunisia merupakan personifikasi di antara enam model penafsiran yang berkembang, yakni pertama menekankan ketentuan berlaku adil sebagaimana ditetapkan dalam al Qur’an, kedua memberi hak kepada isteri untuk menyertakan pernyataan anti poligami dalam surat perjanjian perkawinan. Ketiga harus memperoleh izin lembaga peradilan. Keempat hak menjelaskan dan mengontrol dari lembaga perkawinan kepada pihak yang akan berpoligami. Kelima benar-benar melarang poligami. Dan keenam memberi sangsi pidanan bagi yang melanggar aturan poligami. 34
33 34
Ibid., 53. Tahir Mahmood, Family Law Reform, 257-258
15
Dari beberapa argumentasi di atas, UU ketiga negara sekali lagi masih mendasarkan secara normatif terhadap teks-teks al Qur'an walaupun dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang, kedua mendasarkan pada siyasah syar'iyyah berupa adanya sangsi denda dan pidana bagi mereka yang melanggar atau persyaratan administratif izin poligami dengan persetujuan isteri sebelumnya dan anutan madhab masyarakat yang terus diikuti sebagaimana dalam kasus wali nikah. F. Penutup Seiring dengan perkembangan hukum perkawinan bahwa status wali nikah dan poligami ternyata beragam dalam perundangan keluarga di negara muslim, khsususnya Tunisia, Pakistan dan Malaysia. Hal ini dapat dilihat dari beragam ketentuan di negara muslim tersebut sebagaimana berikut: 1.
Adanya ketentuan memberi tahu bagi laki-laki apabila ingin menikah lagi tentang pernikahan sebelumnya kepada calon pengantin wanita kedua dan harus adanya perizinan dari pengadilan sebagaimana yang berlaku di Pakistan dan sebagian negara bagian Malaysia serta ketentuan izin tertulis dari isteri pertama sebagai hal yang mutlak bagi suami yang ingin menikah lagi pada perkawinan kedua dan pembentukan berbagai sanksi bagi pelanggar ketentuan poligami diatur dalam perundangan semisal Pakistan, dapat diartikan sebagi penafsian modern terhadap al Qur'an guna membatasi poligami karena berakibat buruk yang ditimbulkannya, terutama kaum perempuan. Sedangkan perundangan Tunisia mendasarkan pelarangan poligami pada agama, yakni alasan yang dikemukakan oleh para modernis bahwa al Qur'an menuntut adanya kesanggupan untuk berbuat adil sebagai syarat dibolahkannya berpoligami. Menurut UU tersebut bahwa berbuat adil tidak mungkin dilakukan oleh siapapun. Karena itu poligami hukumnya haram. Sedangkan tentang status wali nikah adanya anutan masyarakat akan konsep fikih dalam kehidupan sehari-hari yang juga mempengaruhi perkembangan kodifikasi hukum, khususnya keharusan adanya wali dalam perkawinan dan ini terlihat dalam perundangan Malaysia dan Pakistan. Ketiga negara termasuk Tunisa juga melarang perkawinan paksa kecuali ada satu negara bagian Malaysia yang masih mengakui nikah paksa. Secara spesifik Tunisia menekankan bahwa wali tidak menjadikan syarat atau rukun dalam prosesi perkawinan bahkan perempuan yang sudah dewasa bisa menikah sendiri.
16
2.
Adapun metode atau argumentasi yang dipakai oleh perundangan ketiga negara yaitu ada yang memakai metode secara normatif terhadap teks-teks al Qur'an walaupun dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang. Demikian pula, ada yang mendasarkan pada siyasah syar'iyyah berupa adanya sangsi denda dan pidana bagi mereka yang melanggar atau persyaratan administratif izin poligami dengan persetujuan isteri sebelumnya dan anutan madhab masyarakat yang terus diikuti sebagai kasus wali nikah. Argumentasi lain berupa pemikiran madzhab dengan metode penemuan hukum Islam melalui maslahah dan sadd zari’ah. Ada juga yang secara komulatif merangkai dalil normatif dan metodologis (sadd Zariah dan Maslahah) dengan menggabungkan di antara keduanya tanpa menafikan teks yang ada dan pola pikirnya. Perihal terakhir ini sangat berkait erat dengan setting local area, respon atas modernitas dan serapan perundangan ketiga negara tentang wacana baru dalam hukum Islam. DAFTAR PUSTAKA
J. N. D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: New York University Press, 1959) Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al Shatibi’s Life and Thought (New Delhi: Jameel al Rahman Offset Press, 1977) Wael B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed”, dalam International Journal of Middle East Studies, No 16 (1984) Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (Bombay: N. M. TRIPATHI PVT. LTD, 1972) Tahir Mahmood, Personal Law in The Muslim Countries, (New Delhi: Triomies Press, 1987) Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2004) H.M. Atho Mudhar, Studi Hukum Islam Dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, dalam rapat senat terbuka IAIN Sunan Kalijaga tanggal 15 September 1999, Yogyakarta. Bruce A. Chadwick dkk, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, (Yogyakarta: IKIP Press, 1991) Fred R. Von der Mehden, “Kebangkitan Islam di Malaysia”, dalam John l. Esposito (Ed), Kebangkitan Islam pada Perubahan Sosial, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) John L. Esposito (Ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, III, (Jakarta: Mizan, 2000) Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Sebuah Studi Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia dan Malaysia, Disertasi, Yogyakarta, 2001 M. B. Hokker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, (Kuala Lumpur: Ampang Press, 1992) Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, (Surrey: Curzon Press, 1994. UU Hukum Keluarga Tunisia UU Hukum Keluarga Pakistan
17
UU Hukum Keluarga Beberapa Negara bagian Malaysia.