Menghitung “Unit Cost” Pelayanan Kesehatan Menuju Penganggaran yang Lebih Akurat dan Efektif BERAPA biaya yang dibutuhkan suatu Daerah untuk mencapai Standar Pelayanan Minimum (SPM) di Bidang Kesehatan? Pertanyaan ini memulai proses pengkajian yang cukup panjang, dua tahun Proyek BASICS bekerja di Sulawesi Utara bersama sebuah tim yang terdiri dari para akademisi, ahli statistik, berikut konsultasi intensif dengan para staf Puskesmas, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota demi menemukan cara penghitungan anggaran SPM Bidang Kesehatan yang lebih akurat. Salah satu kerja Proyek BASICS di Sulawesi Utara adalah mendukung kerja perencanaan di bidang pelayanan kesehatan dasar, untuk membantu mewujudkan SPM Bidang Kesehatan. Untuk itu, di awal tahun 2011, BASICS menginisiasi serangkaian diskusi dengan beberapa SKPD Provinsi untuk membahas penerapan SPM Bidang Kesehatan dan Pendidikan Dasar. Bersama, mereka mencari ide-ide baru, khususnya untuk mencari celah di mana Proyek ini bisa memberi dukungan. Mereka mencari bentuk dukungan baru. Dalam sebuah diskusi terbatas mencuat kisah-kisah tentang kesulitan menerapkan SPM, terutama mengenai kerumitan menjalankan SPM secara setara di wilayah terpencil dan dengan akses sarana transportasi yang terbatas. Misalnya, pelayanan kunjungan rutin ibu hamil (K1-K4) tidak mudah diselenggarakan bagi mereka yang tinggal di Daerah Kepulauan. Dari rangkaian informasi itulah mereka mulai bertanya soal bagaimana menetapkan anggaran untuk masing-masing wilayah dengan kondisi berbeda itu. Sebab sulit membayangkan, misalnya, bahwa kebutuhan anggaran kesehatan seorang anak di Manado dan di Kepulauan sama besarnya. Aturan-aturan mengenai SPM tidak menjangkau kondisi spesifik semacam itu, padahal jawaban meyakinkan tentang kebutuhan dana masing-masing Daerah yang berbeda kondisi sangat diperlukan untuk perencanaan. Selain itu, model penghitungan biaya yang dapat mereka rujuk bersama sampai saat itu ternyata belum tersedia. Pihak SKPD mengakui bahwa dalam menerjemahkan SPM, mereka belum punya metode untuk membuat perencanaan keuangan yang lebih akurat, sesuai kebutuhan di lapangan. PROSES SULAWESI UTARA terdiri dari wilayah Perkotaan dan Perdesaan, juga Pedalaman, Pesisir dan Kepulauan. Untuk mengatasi tantangan keberagaman itu, model perhitungan yang dibuat harus dapat menentukan besaran kebutuhan dana secara akurat namun tidak terjatuh pada kerumitan yang tak sanggup diatasi akibat keragaman tersebut. Para peneliti kemudian meretasnya dengan menggunakan model dasar penghitungan yang seragam, namun dengan deretan variabel beragam yang dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan antar wilayah.
PEMERINTAH Provinsi Sulawesi Utara melalui Bappeda yang menjalankan fungsi perencanaan, bersama Dinkes Provinsi, kemudian menginisiasi pengembangan satu model standar dalam
menghitung beban atau biaya pelayanan kesehatan untuk seluruh kabupaten. Model penghitungan itu kemudian dikenal dengan nama penghitungan “biaya per satuan” jenis pelayanan atau “unit cost”. 1 Dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah, jenis pelayanan ini menggunakan frasa ‘cakupan pelayanan’.2 Penghitungan biaya per satuan pelayanan ini belum pernah dilakukan di Provinsi manapun di Indonesia. Di Sulawesi Utara sendiri, Dinkes Provinsi pun belum pernah membuat perhitungan seperti itu. Bila dilakukan, kalkulasi biasanya hanya menimbang jumlah populasi di suatu unit wilayah administratif seperti Kabupaten untuk menetapkan jumlah segmen populasi tertentu yang membutuhkan layanan kesehatan, semisal ibu hamil. Ini dilakukan dengan rumus perhitungan tertentu yang telah dibuat Pemerintah Pusat—yang berdiri di atas banyak asumsi. Atau program baru yang direncakan SKPD dibuat berdasarkan berapa anggaran program yang ‘turun’ dari APBN; atau merujuk kepada jumlah alokasi dana untuk program yang sama pada tahun sebelumnya, lalu menaikkannya beberapa persen di tahun anggaran berikutnya. Kondisi ini antara lain menciptakan keterbatasan dana, sebab sejumlah program yang ditetapkan di level Nasional sering harus dilaksanakan di setiap level di bawahnya: Provinsi, Kabupaten, Puskesmas, dan tingkat masyarakat sendiri. Sehingga tidak mungkin membiayai sebagian besar dari program itu, apalagi seluruhnya. Mereka kerap menjalankan hanya sebagian dari program tersebut, tidak bisa utuh. Alokasi dari APBN dan APBD yang kurang memadai kerap memaksa mereka menyusun prioritas yang cukup sempit. Akibatnya, banyak target yang dipancang oleh program-program Nasional dan Daerah menjadi sulit tercapai. Sementara itu, dalam model perhitungan ‘unit cost’ berbagai aspek spesifik menjadi pertimbangan, yaitu: (1) harga normal dari setiap komponen standar yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan layanan kesehatan dasar, (2) jenis atau ‘cakupan pelayanan’ yang diselenggarakan di level Puskesmas, dan (3) derajat aksesibilitas warga terhadap pelayanan tersebut. Untuk keperluan penghitungan, masing-masing aspek ini diurai ke dalam deretan variabel yang digali berdasarkan kajian dokumen dan kunjungan lapangan. Biaya per cakupan pelayanan kesehatan yang dihasilkan kajian ini mencerminkan beban yang (1) sesuai dengan standar minimal menurut berbagai buku panduan resmi tentang SPM; (2) pengaruh harga komponen pelayanan seperti obat, tenaga kesehatan (jasa) dan alat kesehatan; (3) indeks aksesibilitas atau derajat kemampuan warga mengakses layanan, yang turut menambah atau mengurangi beban satuan pelayanan. Indeks ini menimbang tingkat kemudahan memperoleh akses pelayanan kesehatan yang dipengaruhi letak, kondisi, transportasi, dan jarak terhadap tipologi Puskesmas (Daratan-Perkotaan dan Perdesaan, Kepulauan dan Daerah Terpencil).
1
2
Standar pelayanan minimal kesehatan yang dimaksud dalam cakupan pelayanan kesehatan ini sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan (lihat KOTAK 1). Dalam lingkup Dinas Kesehatan, definisi ‘cakupan pelayanan’ punya dua aspek, yaitu ‘jenis’ pelayanan dan ‘pencapaian’ dari layanan tersebut. Dalam tulisan ini hanya akan digunakan salah satu aspek dari definisi ‘cakupan pelayanan’, yaitu sehimpunan ‘jenis’ pelayanan.
Dengan demikian, terciptalah model seragam untuk menghitung beban untuk setiap ‘cakupan pelayanan’, berdasarkan standar minimal yang diselenggarakan di Puskesmas. Hasil dari model penghitungan ini menampilkan biaya satuan berdasarkan 35 jenis atau ‘cakupan layanan’ yang tersedia di Puskesmas. Dengan satu model perhitungan, perencana dapat mengetahui perkiraan besaran biaya yang dibutuhkan masing-masing Puskesmas yang berbeda jarak dan kondisi geografis. Menggunakan model ini, para perencana dapat mengetahui, misalnya, berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengawal proses kehamilan seorang ibu, sejak awal masa kehamilan hingga pasca-nifas di satu kelompok wilayah tertentu pada kurun waktu tertentu. Tahapan Kerja BUTUH setidaknya dua tahun untuk merampungkan seluruh tahap penelitian ini, 2011-2013 . Mereka kemudian melakukan pengkajian unit cost terhadap seluruh puskesmas di tiga kabupaten, yaitu kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dan Kota Bitung. Tahap pertama kajian ini adalah melakukan kaji cepat (assessment). Mereka mengunjungi 9 Puskesmas terpilih di tiga Kabupaten/Kota, yang dipilih berdasarkan perbedaan karakteristik (Perkotaan dan Perdesaan) dan kondisi geografis (Kepulauan dan Daratan).3 Menurut seorang anggota peneliti, pilihan untuk menjadikan pelayanan Puskesmas sebagai level pelayanan yang akan dikaji datang dari pertimbangan bahwa sekitar 60% dari target pencapaian MDGs ditangani di Puskesmas. Pada tahap ini para peneliti melakukan kunjungan awal ke Puskesmas terpilih untuk mengumpulkan keterangan tentang aspek-aspek pelayanan yang dianggap prioritas, yang menyumbang informasi mengenai variabel-variabel penting untuk dipertimbangkan dalam penghitungan. Di sini mereka menemukan bahwa ternyata lumayan banyak cakupan pelayanan yang diselenggarakan di Puskesmas sehingga membutuhkan pembatasan cakupan penelitian. Temuan lainnya adalah perbedaan biaya (harga obat-obatan dan alat kesehatan) dan tingkat kemudahan akses ke Puskesmas. Pada tahap selajutnya para peneliti mengumpulkan data primer dari survei dan sensus, serta data sekunder dengan meneliti dokumen-dokumen (studi pustaka). Di sini peran Dinas Kesehatan Provinsi dan Puskesmas sangat besar dalam menyediakan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Setelah itu mereka melakukan kajian pustaka, mendalami materi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan yang harus dipenuhi dan dilaksanakan pada Puskesmas sesuai pedoman teknis atau standar resmi yang dikeluarkan Pemerintah Pusat. Sebenarnya, menurut para peneliti, membaca literatur khususnya mengenai SPM mereka lakukan sepanjang penelitian berlangsung. Mereka harus senantiasa merujuk dokumen-dokumen tersebut ketika dibutuhkan, dan kebutuhan itu tidak hanya muncul di tahap pengkajian literatur. Dari kajian literatur ini mereka merangkum dasar-dasar hukum bagi penghitungan unit-cost, yang berguna untuk sekaligus menentukan variabel dan penyusunan kebijakan. Dari kajian ini mereka dapat menetapkan cakupan pelayanan sebagai 3
Puskesmas-puskesmas tersebut adalah sebagai berikut: Kabupaten Kepulauan Sitaro, Puskesmas Ondong dan Ulu. Kab Minahasa Utara, Puskesmas Likupang Timur, Tatelu, Airmadidi dan Kema. Kota Bitung, Puskesmas Lembeh, Lembeh Utara dan Lembeh Selatan.
‘unit-unit’ yang biayanya (cost) akan dihitung. Kotak 1 Dasar hukum penghitungan unit-cost pelayanan kesehatan UU 23/1992 tentang Kesehatan. Regulasi ini menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal (ps 4). Untuk itu, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Pasal 10). Permenkes 741/Menkes/ Per/VII/2008. Kementerian Kesehatan menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan di kabupaten/kota, yaitu upaya kesehatan paling minimal yang ditargetkan secara menyeluruh dapat dicapai mulai tahun 2010 sampai 2015. Pelayanan kesehatan sesuai SPM kesehatan diselenggarakan oleh kabupaten/kota dengan Bupati/Walikota sebagai penanggungjawab. Dilaksanakan oleh perangkat daerah kabupaten/kota bersama masyarakat dan secara operasional dikoordinasikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Pembinaan dan pengawasan teknis dilakukan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM kesehatan yang diterima dari Bupati/Walikota. Menteri Kesehatan bertugas melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM kesehatan oleh pemerintah daerah. Monitoring dan evaluasi ini dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah untuk pemerintah daerah kabupaten/kota. (Pasal 12/2) Kepmenkes nomor 828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis SPM bidang kesehatan di kabupaten/kota. Aturan ini merupakan acuan bagi perangkat kesehatan di kabupaten/kota untuk mencapai target SPM bidang kesehatan. Petunjuk teknis ini mengurai pengertian, definisi operasional, cara perhitungan (yang dilengkapi dengan sumber data dan referensi/rujukan), juga target (indikator dan batas waktu pencapaian) serta langkah kegiatan untuk pencapaian SPM. Kepmenkes nomor 317/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Teknis Perencanaan Pembiayaan Pencapaian SPM bidang kesehatan kabupaten kota (ps 10/1): Menteri Kesehatan memfasilitasi pengembangan kapasitas melalui peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan, personal dan keuangan, baik di pemerintah maupun kabupaten/kota, karena itu diterbitkan untuk digunakan sebagai acuan bagi perangkat kesehatan di daerah untuk melaksanakan SPM di kabupaten/kota. Dalam pedoman teknis tersebut menjelaskan modul perhitungan biaya SPM beserta templatenya, termasuk penentuan biaya investasi penunjang kegiatan SPM. Sumber: Kajian Unitcost SPM kesehatan: Ibu, anak dan penyakit. Bappeda dan BASICS, 2012.
Mengingat banyaknya cakupan pelayanan yang diselenggarakan Puskesmas, kebutuhan untuk membatasi ruang lingkup penelitian, serta tujuan penelitian untuk berkontribusi pada penganggaran resmi Pemerintah, mereka membatasi penelitian kepada dokumen cakupan pelayanan SPM Bidang Kesehatan dan target MDGs. Sehingga, di tahap ini dilakukan seleksi jenis layanan di Puskesmas menurut urgensi pada daerah kajian, serta menimbang SPM dan target MDGs terutama yang berhubungan dengan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Artinya, cakupan pelanyanan yang akan dihitung memang harus ada dan dilakukan di Puskesmas dengan fasilitas yang telah tersedia. Kerja selanjutnya adalah mengembangkan formula untuk menghitung unitcost, dengan menetapkan berbagai komponen atau aspek yang akan diperhitungkan, yang kemudian diurai menjadi variabel-variabel, berikut sub-sub variabel masing-masing. Misalnya, komponen ‘cakupan
pelayanan’ yang diurai menjadi variabel-variabel seperti pelayanan ibu hamil, dengan berderet sub-variabel seperti tahap-tahap kehamilan, yang masing-masing membutuhkan komponen biaya (alat kesehatan dan farmasi) berbeda. 4 Di sini informasi yang diperoleh dari kunjungan ke Puskesmas sangat bermanfaat. Mengenai tingkat aksesibilitas, sangat banyak waktu dihabiskan untuk mengembangkan formula indeks aksesibilitas, dengan menimbang berbagai variabel seperti letak, kondisi, jenis moda transportasi, dan jarak. Harga setiap ‘komponen biaya’, seperti obat, alat kesehatan dan jasa, tentu berbeda di antara Puskesmas dengan ‘komponen aksesibilitas’ berbeda (lihat Kotak 2). Misalnya, harga obat di Manado tentu berbeda dengan harga obat yang sama di Kabupaten Kepulauan Sitaro. Atau ketika seorang ibu hamil mengalami komplikasi dan harus dirujuk ke rumah sakit, biayanya berbeda untuk dua wilayah tersebut. Semua perbedaan itu coba dipertimbangkan di dalam formula indeks yang dibuat. Seorang anggota peneliti mengatakan, nyaris 60% waktu dihabiskan untuk mengembangkan indeks tersebut. Mereka menentukan koefisien (faktor pengali) variabel untuk setiap kecamatan, di mana biasanya Puskesmas berada. Koefisien inilah yang akan dikalikan dengan unit cost untuk melihat perbedaan beban atau biaya antar kelompok wilayah menurut derajat aksesibilitas. Kotak 2 Cakupan dan Komponen Penelitian Cakupan pelayanan yang dihitung Kesehatan ibu: ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan komplikasi kebidanan. Unitcost ini dipengaruhi fasilitas puskesmas yang mendasari pada tipologi puskesmas, yaitu: puskesmas rawat jalan, puskesmas rawat inap dan PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) Kesehatan anak: neonatus, bayi, anak balita dan komplikasi neonatus. Penyakit: penanganan AFP non-folio, penanganan pneumonia, TBC positif, DBD, diare, dan beberapa penyakit lokal (malaria, kusta, cikungunya dan rabies). Komponen biaya Alat kesehatan Jasa tenaga kesehatan Bahan dan farmasi (obat-obatan) Komponen Akesibilitas Letak: kepulauan, daratan, kota, dan waktu tempuh, keberadaan penduduk di daerah sulit (keterjangkauan) Kondisi: karakteristik geografis, ketersediaan sarana dan prasarana (moda), serta topografi Transportasi: tipe transportasi (darat, air) dan kontinuitas Jarak: jarak ke fasilitas kesehatan, jarak ke kecamatan, kabupaten dan ke ibu kota provinsi (Manado). Sumber: Kajian Unitcost SPM kesehatan: Ibu, anak dan penyakit. Bappeda dan BASICS, 2012.
Untuk membangun rumusan itu, para peneliti kemudian harus melengkapi data tentang harga masing-masing komponen biaya. Harga setiap obat-obatan, bahan kimia, dan alat kesehatan yang dibutuhkan oleh masing-masing cakupan pelayanan tersebut harus ditemukan untuk dapat 4
Satu komponen beban lain, jasa kesehatan, tidak dihitung dalam formula ini, dengan asumsi telah masuk ke dalam alokasi anggaran untuk gaji pegawai.
melakukan penghitungan. Di titik ini para peneliti juga perlu waktu cukup lama, untuk melengkapi seluruh data tentang harga tersebut (lihat di bawah). Khusus mengenai harga alat kesehatan, mereka juga harus menimbang masa pakainya. Ambil contoh, dengan harga 1 juta rupiah, satu alat bisa melayani berapa pasien hingga usia ekonomisnya habis dan harus segera digantikan. 5 Untuk mengetahui informasi detil ini mereka kembali mengunjungi Puskesmas untuk melakukan verifikasi. Mereka melakukan wawancara di beberapa Puskesmas dengan para Bidan, Perawat, Dokter, Apoteker, hingga Penjaga gudang, juga melaksanakan serangkaian FGD. Dari metode-metode itulah mereka menakar harga komponen barang yang paling masuk akal.
Dengan begitu, seluruh data dapat diperoleh dan kemudian analisis. Di fase ini, telaah dilakukan terhadap data yang terhimpun dengan mencari beban per unit pelayanan dan tingkat aksesibilitas layanan tersebut. Penghitungan unit cost dilakukan terhadap cakupan pelayanan kesehatan ibu, anak dan penyakit sesuai ketetapan pemerintah mengenai SPM Bidang Kesehatan. Sementara pengkajian mengenai tingkat aksesibilitas berguna untuk melihat akses pelayanan kesehatan ke Puskesmas menurut variabel yang telah ditetapkan dari hasil kunjungan lapangan di atas. Analisis terhadap aksesibilitas menghasilkan indeks yang diperoleh dari analisis regresi logistic dan MDA dengan bantuan aplikasi statistik SPSS. Unitcost dihasilkan dari penggunaan koefisien yang diperoleh dari analisis deskriptif, analisis beban satuan, dengan bantuan aplikasi formula di microsoft-excel. Sesudah itu, mereka melakukan ujicoba penghitungan dengan mendapat masukan terjadwal dari narasumber yang mempunyai keahlian spesifik menurut bidang kajian kesehatan. Formulasi unitcost untuk kesehatan ibu, kesehatan anak dan balita, dan penanganan penyakit, diperoleh dengan memperhitungkan indeks aksesibilitas. Indeks aksesbilitas terhadap jenis cakupan pelayanan di Puskesmas dipengaruhi jarak dan waktu ditinjau dari letak, kondisi, dan kelancaran transportasi, telah dihasilkan indeks aksesibilitas kesehatan di seluruh Puskesmas. Penggunaan model penghitungan unitcost pada SPM Kesehatan dilakukan dengan mengalikan unitcost dengan indeks aksesibilitas untuk memperoleh angka beban satuan pelayanan kesehatan di puskesmas dengan nilai yang wajar pada wilayah tertentu. Dengan demikian, diperoleh pula nilai signifikan pada Puskesmas lainnya pada wilayah yang berbeda sesuai nilai indeks aksesibilitas. Untuk pengembangan, penggunaan pendekatan geografi dapat lebih memberi dukungan perhitungan indeks-aksesibilitas pelayanan kesehatan. Hasil kajian unit cost bermanfaat bagi berbagai pihak. Bagi Puskesmas, model ini dapat membantu menghitung capaian SPM sesuai dengan data dasar, termasuk pembiayaan atau beban belanja atas kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai SPM. Sementara untuk Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, penghitungan ini dapat membantu menemukan total yang dibutuhkan untuk mencapai SPM berdasarkan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh seluruh Puskesmas di Kabupaten/Kota tersebut. Kotak 3
5
Artinya, alat tidak harus secara kasat mata terlihat ‘rusak’ baru diganti, yang dapat berisiko bagi pasien. Para peneliti menyebutkan bahwa dari keterangan sejumlah informan, kondisi semacam ini masih kerap terjadi karena keterbatasan dana.
Batasan-Batasan Penghitungan
Dari 18 indikator pencapaian SPM bidang kesehatan hanya 11 indikator yang diperhitungkan oleh unit-cost, yaitu: a. Kesehatan ibu (IP #1-4) b. Kesehatan Anak (IP #5-10) c. Penemuan dan Penanganan Penyakit (IP #13) Tidak memperhitungkan kesehatan rujukann ke rumah sakit terdekat Tidak memperhitungkan bias data mobilitas pengunaan layanan puskesmas domisili, maupun pengguna dari puskesmas lain. Beberapa asumsi yang digunakan: a. 20% dari ibu hamil akan mengalami komplikasi dengan rujukan Puskesmas PONED b. Pola maksimal atas dosis penggunaan farmasi (obat, vitamin, bahan kimia, alat uji lab) pada penyakit yang sama dari jenis yang berbeda terhadap umur dan berat badan yang berbeda. Tidak diperhitungkan dalam unit-cost: a. Pendidikan tenaga medis tingkat lanjutan dan pelatihan non-nakes b. Pemantauan dan evaluasi atau rapat/pertemuann c. Pembangunan sarana kesehatan d. Beban atas rujukan pasien (karena telah dijamin Askes, Jamkesda, Jamkesmas)
Sumber: Panduan Praktis Unit-cost SPM Bidang Kesehatan, BASICS, 2012
Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota, model ini berguna untuk menghitung biaya pelaksanaan SPM dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk Pemerintah Provinsi, mereka dapat mengetahui kebutuhan dana untuk pencapaian SPM Kabupaten/Kota, yang memerlukan dukungan dana bersumber dari Provinsi. Dan jika tidak mencukupi, penghitungan ini dapat menjadi dasar Pemerintah Provinsi mengusulkan kebutuhan dana pencapaian SPM kesehatan kepada Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Mengenai keberlanjutan dan pengarusutamaan model penghitungan ini, beberapa perkembangan menarik tengah berlangsung. Pertama, bagi Bappeda Sulawesi Utara, kajian unit cost khusus Bidang Kesehatan ini merupakan semacam proyek mercusuar (pilot project), yang kelak akan diterapkan di sektor/urusan lain, bahkan dapat diluaskan penggunaannya hingga ke level Nasional. Untuk itu, Bappeda sering mengkampanyekan metode ini, sebagaimana juga Dinas Kesehatan dan Pemerintah Provinsi. Salah satu yang cukup penting dalam pengarusutamaan model ini adalah upaya memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan (kursus) reguler para perencana keuangan daerah yang diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri. Ini tengah dilakukan oleh salah satu pengusung model penghitungan unit cost. Kedua, kajian unit cost masih bertahan di Dinas Kesehatan Provinsi, digunakan untuk menghitung perkiraan biaya guna menyusun perencaan anggaran pada tahun ini. Bahkan mereka tengah mengusahakan agar metode ini akan menjadi standar baku untuk penyusunan anggaran di lingkup Dinas Kesehatan Propinsi. Ketiga, di level Kabupaten/Kota, sebagian dari (seluruh) Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara yang telah mengikuti pelatihan mengoperasikan metode penghitungan ini telah menerapkannya, meski belum sampai pada tahap pemanfaatan untuk penyusunan anggaran. Ini berarti bahwa metode ini sanggup meyakinkan banyak pihak akan
kemanjurannya dalam menakar kebutuhan pendanaan.
TANTANGAN SECARA praktis para peneliti tidak menghadapi terlalu banyak tantangan dalam mengorganisasikan kerja-kerja penelitian. Menurut para peneliti, seluruh pemangku kepentingan seperti Dinas Kesehatan, Bappeda, Puskesmas, dan BASICS sangat responsif dan mendukung penuh kerja penelitian ini. Di samping karena anggota tim yang ramping dan semua SKPD yang terlibat mudah melakukan koordinasi. Sehingga kebanyakan yang mereka alami adalah hambatan yang berhubungan dengan metode penelitian seperti kerja mendapatkan data dan mengembangkan indeks aksesibilitas.
Data Harga - Salah satu hambatan yang cukup menguras waktu adalah ketika para peneliti mencoba melengkapi data tentang harga masing-masing komponen biaya seperti obat-obatan dan alat kesehatan. Untuk menemukan data harga tersebut mereka coba bertanya kepada distributor obat dan alat kesehatan atau PBF (Pedagang Besar Farmasi), yang sering enggan memberikan informasi mengenai harga barang yang mereka salurkan. Mereka menangkap kesan bahwa para distributor khawatir memberikan informasi tersebut. Memakan waktu cukup lama untuk melengkapi harga obat dan alat kesehatan untuk setiap komponen cakupan pelayanan.
Pencatatan Ganda - Soal metodologis lainnya berhubungan dengan penemuan keterbatasan penelitian, salah satunya soal kerumitan menghadapi pencatatan ganda terhadap kasus terlapor. Misalnya, kasus komplikasi terlapor ibu hamil bisa tercatat di lebih dari satu tempat, karena dia harus dirujuk dari Puskesmas di Perdesaan yang jauh ke Puskesmas di Kota atau di Rumah Sakit. Ini melambungkan angka komplikasi atau kematian ibu hamil di Daerah-daerah Perkotaan seperti Manado dan Bitung. Soal-soal metodologis semacam ini kemudian menjadi bagian dari batasan-batasan penelitian yang berguna sebagai wanti-wanti dalam penggunaan model penghitungan unit-cost.
PEMBELAJARAN MANFAAT penghitungan unitcost adalah mengetahui kebutuhan dasar program. Ini menghasilkan beberapa pembelajaran.
Praktik Baru - Penghitungan menghasilkan praktik-praktik baru di kalangan SKPD yang terlibat. Salah satu yang paling penting adalah perhitungan ini dapat digunakan untuk mengadvokasi anggaran. Dengan pengetahuan akurat tentang besaran kebutuhan, mereka bisa mengajukan permintaan tambahan anggaran dengan lebih meyakinkan. Misalnya, dengan mengajukan permintaan untuk program spesifik yang memang menjadi prioritas, seperti penerapan SPM menuju pencapaian target-target MDGs yang masih tertinggal. Bila dulu program mengikuti anggaran, sekarang anggaran yang mengikuti program. Ini juga berarti bahwa perhitungan unitcost bukan hanya berperan di dalam kerangka Proyek BASICS, tetapi juga
di luar itu. “Jadi tidak hanya kerja rutin, menerima saja apa yang ada,” ungkap seorang staf Dinkes Provinsi. Hasil penghitungan yang dibutuhkan untuk upaya advokasi demi mengatasi kekurangan alokasi dana juga berguna di level Kabupaten/Kota. Untuk mengusahakan penambahan biaya, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau bahkan Puskesmas dapat membawa data akurat mengenai kebutuhan aktual mereka ke pihak-pihak yang dapat menentukan kebijakan anggaran.
Meyakinkan Para Pihak - Penghitungan ini juga memudahkan meyakinkan pihak Kabupaten/Kota untuk turut berpartisipasi mendukung program yang ditawarkan Dinkes Provinsi. Dulunya mereka sulit meyakinkan pihak Kabupaten/Kota untuk bersama-sama menjalankan program tertentu. Dengan hanya mengatakan bahwa sebuah program penting dilaksanakan bersama, itu tidak cukup. Bila pihak Kabupaten/Kota bertanya mengapa program itu penting, akan sulit untuk merespons dengan jawaban meyakinkan.
Alokasi Anggaran - Setelah melakukan penghitungan, mereka memang menemukan bahwa seluruh Kabupaten kekurangan dana untuk melaksanakan pencapaian SPM Bidang Kesehatan. Keawasan mengenai besaran dana yang dibutuhkan menciptakan komitmen di sisi Pemerintah Provinsi untuk mengatasinya. Ini memunculkan pertanyaan baru, yang akan mengantar mereka mengembangkan satu lagi inovasi baru: di bagian mana dari anggaran Pemerintah Propinsi yang dapat ditransfer ke Kabupaten/Kota? Bagaimana cara melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan? SEJUMLAH pembelajaran lain juga datang dari proses penelitian itu sendiri, setidaknya menurut perspektif sebagian peneliti yang terlibat.
Indikator Pencapaian SPM - Soal Indikator Pencapaian SPM tertentu yang masih harus dipertajam sesuai kondisi setempat. Misalnya, menurut SPM, persalinan minimal harus ditangani tenaga kesehatan setidaknya Bidan dengan standar pendidikan D3. Di lapangan para peneliti menemukan sebagian besar kelahiran dilayani oleh Bidan dengan standar kualifikasi D1. Sehingga SPM ini sulit diterapkan di seluruh wilayah, yang dalam kenyataannya justru sering tidak cukup tersedia Bidan di Desa.
Alat Kesehatan - Dari hasil wawancara dan FGD para peneliti juga menemukan bahwa ada beberapa alat yang tidak termasuk di dalam indikator pencapaian SPM ternyata sangat dibutuhkan dan berguna bagi para petugas Puskesmas. Biasanya karena kekurangan anggaran mereka sering tidak dapat mengadakan alat-alat tersebut. Fakta bahwa alat-alat tersebut tidak termasuk dalam SPM membuatnya sangat rentan untuk tidak dianggarkan.
Peran Puskesmas - Dari pengalaman meneliti dan melihat hasilnya para peneliti juga berpandangan bahwa manfaat penghitungan ini bagi upaya mengatasi masalah kesehatan secara umum dapat dilakukan dengan memperkuat kualitas pelayanan di Puskesmas. Langkah semacam itu dapat mengurangi beban Rumah Sakit dengan semakin kurangnya pasien yang harus dirujuk ke sana. Dengan diketahuinya secara lebih akurat dana yang dibutuhkan, penyusunan prioritas menjadi lebih baik dan advokasi penambahan anggaran bisa berjalan dengan lebih efisien. “Bila puskesmas diperkuat, tidak perlu anggaran besar untuk membangun lagi Rumah Sakit besar.”