Nama : Aji Permana NIM : G2410002
Praktikum Ke- : 11 Hari/Tanggal : Rabu, 3 Desember 2014
MENGHITUNG DIPOLE MODE INDEX (DMI) DAN KORELASINYA DENGAN KONDISI CURAH HUJAN Pendahuluan Indian Ocean Dipole (IOD) merupakan bentuk interaksi atmosfer-laut tropis lain selain El Niño dan La Niña (Saji et al., 1999; Webster et al., 1999; Behera et al., 1999; Vinayachandran et al., 1999; Murtugudde et al., 2000; Rao et al., 2002). IOD bisa muncul secara dominan terpisah dari ENSO atau bersama-sama dengan ENSO. Behera et al. (1999) menyatakan bahwa IOD sebenarnya bukan peristiwa baru. Sedangkan menurut Kailaku (2009) IOD adalah Gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia di sekitar kathulistiwa. Interaksi tersebut menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian Timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke Barat. Hembusan angin ini akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat massa air dari bawah ke permukaan. Kejadian IOD direpresentasikan dengan satu indeks yang diberi nama Dipole Mode Index (DMI), yaitu perbedaan SPL di bagian barat Samudera Hindia (50o - 70oBT, 10oLS - 10oLU) dan SPL di bagian timur Samudera Hindia (90o 110o, 10oLS - ekuator) (Kailaku 2009). Pada awalnya dampak IOD dianggap hanya terbatas di Lautan Hindia, namun ternyata IOD mempengaruhi osilasi selatan (Allan et al., 2001; Dommenget dan Latif, 2002), curah hujan monsunal (Ashok et al., 2001) dan bahkan kondisi iklim musim panas di Asia (Yamagata et al., 2002). Menurut Rafi (2013) IOD dan El Nino/Southern Osillation (ENSO) adalah dua fenomena global yang diperkirakan cukup mempengaruhi variabilitas interannual di Indonesia. Menurut Boer dkk. (2004) IOD dapat mempengaruhi keragaman hujan di Indonesia yang dapat mengakibatkan perubahan suhu muka laut di kawasan laut India, yang mirip dengan di kawasan Pasifik (fenomena ElNino). Pengaruh IOD dan ENSO pada wilayah tipe hujan Monsunal lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah tipe hujan Equatorial. Argumen Boer Dkk. (2004) tersebut diperkuat dengan pernyataan Kalaku (2009) bahwa IOD dapat berpengaruh terhadap Suhu Permukaan Laut (SPL) di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra akan mengalami penurunan yang cukup drastis, sementara di dekat pantai timur Afrika tejadi kenaikan SPL. Hasil dan pembahasa
Gambar 1 Grafik time series rata-rata SST wilayah Barat Samudera Hindia tahun 1982-2002 1
Grafik time series dari tahun 1982 hingga tahun 2002 (gambar 1) menunjukan suhu tertinggi yaitu pada bulan Juli tahun 1998 dengan suhu mencapai 30,206⁰C dan terendah mencapai 26,510⁰C pada bulan Juli tahun 1984. Pola yang terbentuk yaitu
Gambar 2 Grafik time series rata-rata SST wilayah Timur Samudera Hindia tahun 1982-2002 Grafik time series rata-rata SST dari tahun 1982 hingga tahun 2002 (gambar 2) menunjukan suhu tertinggi yaitu pada pertengahan tahun 1998 dengan suhu mencapai 30,130⁰C dan terendah mencapai 27,174⁰C pada pertengahan tahun 1994. Pola grafik yang terbentu yaitu secara umum hampir mencapai puncak maksimum (amplitude maksimum) di pertengahan tahunsedangkan akan memiliki suhu minimum di setiap akhir tahun. Peristiwa ini ternyata menunjukan bahwa pada bulan pertengahan tahun matahari sangat intensif shingga suhu maksimum sedangkan pada bulan di akhir tahun dominan sedang musim penghujan sehingga menghasilkan suhu yang relatif lebih rendah dibandingkan bulan di pertengahan tahun. Pada praktikum dilakukan analisis antara anomli SST di Barat Hindia dengan wilayah di Indonesia, Asia dan di Australia. Jika anomali SST di Samudera Hindia bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya, maka akan terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat. Sedangkan di Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan, kejadian ini biasa dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif (DM +). Fenomena yang berlawanan dengan kondisi ini dikenal sebagai DM (-) (Ashok et al. 2001).
Gambar 3 Korelasi SST dengan curah hujan di Indonesia Korelasi IOD di wilayah indonesia (gambar 4) memiliki sebaran yang tidak merata. Hampir seluruh wilayah di pulau Jawa dan wilayah barat pulau Jawa memiliki
2
nilai korelasi positif antara 0 hingga 0,4. Hal ini berarti di wilayah tersebut terjadi musim kemarau. Nilai positif juga terdapat di wilayah Lampung, Aceh, sebagian besar pulau Kalimantan dan Papua dengan rentang nilai yang sama. Sedangkan hampir sebagian besar di Sumatera Barat dan sebagian besar pulau Sulawesi memiliki nilai negatif dengan rentang nilai korelasi antara -,02 hingga -0,4. Menurut Afifah (2008) dipole mode positif menghasilkan curah hujan diatas normal, sedangkan di wilayah Sumatera terjadi kekeringan, begitu sebaliknya dengan dipole mode negatif. Korelasi yang negatif juga menunjukan bahwa IOD tidak mempengaruhi wilayah tersebut. Indeks bernilai positif selama tahun IOD positif dan bernilai negatif selama tahun IOD negatif. Korelasi negatif menandakan bahwa di daerah tersebut terjadi musim hujan (Fadholi 2013).
Gambar 4 Korelasi SST dengan curah hujan di Asia Wilayah australia memiliki nilai korelasi antara -0,8 hingga 0,8. Nilai korelasi tersebut tersebar acak di berbagai negara . untuk daerah utara sangat jelas dan hampir merata dengan nilai korelasi positif antara 0,2 hingga 0,8. Daerah barat samudera Hindia pun memiliki korelasi positif. Artinya bahwa daerah-daerah yang memiliki korelasi positif mengalami musim kemarau akibat dari effek IOD. Selama fenomena IOD positif , suhu permukaan laut secara anomali menghangat di Samudera Hindia barat, sedangkan di bagian timur lebih dingin dari normalnya (Saji et al. 1999; Yamagata et al. 2004). Tahun-tahun yang merupakan tahu terjadinya IOD positif antara lain tahun 19821983, 1994-1995, 1997-1998 dan 2006-2007. Selain itu juga tahun 2007-2008 yang yang di mana La Nina berbarengan dengan IOD positif di mana La Nina berbarengan dengan IOD positif (BoM 2012)
Gambar 5 Korelasi SST dengan curha hujan di Australia Nilai korelasi wilayah Australia secara umum antara -0,2 hingga 0,5. Hampir seluruh wilayah Australia memiliki nilai korelasi yang positif. Korelasi positif tersebut 3
menunjukan korelasi yang tinggi dan terjadi musim kemarau di daerah tersebut. Nilai positif juga menunjukan bahwa IOD mempengaruhi wilayah Australia.
4 3
1 0 -1 -2
Jan-82 Jan-83 Jan-84 Jan-85 Jan-86 Jan-87 Jan-88 Jan-89 Jan-90 Jan-91 Jan-92 Jan-93 Jan-94 Jan-95 Jan-96 Jan-97 Jan-98 Jan-99 Jan-00 Jan-01 Jan-02
DMI
2
-3
Waktu
Gambar 6 Grafik Dipole Mode Index (DMI) tahun 1982-2002 Indeks DMI merupakan indikator gradien temperatur timur-barat melintasi Samudra Hindia tropis, terkait dengan Samudera Hindia Dipole mode atau zonal. Analisis dilakukan menggunakan data tahun 1982 hingga 2002, terlihat bahwa indek dipole mode tertinggi pada tahun 1997 dan terendah pada tahun 2001. Pola yang terbentuk memiliki pola yang beraturan. Semakin besar nilai indeks ini, semakin kuat sinyal Indian Ocean Dipole dan semakin dahsyat akibat yang ditimbulkan. Paa grafik (gambar 6), DMI negatif menunjukan adanya penambahan curah hujan di maritim Indonesia. Pembentukan Indian Ocean Dipole dimulai pada bulan Mei atau Juni, mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan akan berakhir pada bulan November atau Desember. Akibatnya, Indonesia yang biasanya mengalami musim hujan mulai bulan Oktober, akan sedikit mengalami perpanjangan musim kemarau. Kondisi kemarau di Indonesia akan semakin parah apabila fenomena Indian Ocean Dipole diikuti oleh fenomena El Nino. Jika kedua fenomena ini terjadi secara berurutan, seperti pada tahun 1997 - 1998, maka Indonesia akan mengalami musim kemarau yang panjang dan sangat dahsyat, dari bulan Juni hingga bulan Februari tahun berikutnya. Kesimpulan Wilayah Indonesia, Asia dan Australia hampir berkorelasi positif. Korelasi antara Hindia dengan Indonesia menunjukan bahwa dampak IOD terlihat di wilayah Sumatera dan karena berkorelasi positif maka di daerah sumatera terjadi kekeringan. Korelasi yang negatif menunjukan bahwa IOD tidak mempengaruhi wilayah tersebut. Di Australia hampir seluruhnya mendapatkan dampak dari IOD dan di Asia bagian Barat pun mengalami hal yang serupa. Pola pembentukan DMI berdasarkan garfik yaitu secara umum pada pertengahan tahun dan berakhir di peryengahan tahu. DAFTAR PUSTAKA Allan , R., D. Chambers, W. Drosdowsky, H. Hendon, M. Latif, N. Nicholls, I. Smith, R. Stone,Y. Tourre, 2001: Is there an Indian Ocean dipole, and is it independent of the El Niño - Southern Oscillation? CLIVAR Exchanges, 6, No. 3, International CLIVAR Project Office, Southampton, UK, 18-22.
4
Ashok, K., Z. Guan, and T. Yamagata, 2001: Impact of the Indian Ocean Dipole on the Decadal relationship between the Indian monsoon rainfall and ENSO. Geophys. Res. Lett., 28, 4499-4502. Behera, S.K., R. Krishnan, and T. Yamagata, 1999: Unusual ocean-atmosphere conditions in the tropical Indian Ocean during 1994. Geophys. Res. Lett., 26, 3001-3004. Boer, R., I. Wahab., and Perdinan. 2004. The use of global climate forcing for rainfall and yield prediction in Indonesia: Case study at Bandung District. Dept. Of Geophysics and Meteorology, Bogor Agriculture Univ. Mimeograph.
Dommenget, D., and M. Latif, 2002: A cautionary note on the interpretation of EOFs. J. Climate, 15, 216-225. Fadholi, Akhmad. 2013. Studi dampak el nino dan indian ocean dipole (iod) terhadap curah hujan di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol. 11:43-50 Kailaku, T. E. 2009. Pengaruh Enso (El Nino-Southern Oscillation) dan Iod (Indian Ocean Dipole) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Wilayah Tipe Hujan Equatorial dan Monsunal (Studi Kasus Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat dan Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Skripsi. Institut Pertanian Bogor Murtugudde, R.G., J.P. McCreary, and A.J. Busalacchi, 2000: Oceanic processes associated with anomalous events in the Indian Ocean with relevance to 19971998. J. Geophys. Res., 105, 3295-3306. Raffi, Ahmad. 2013. Analisis Respon Tipe Hujan di Wilayah Papua terhadap Fenomena ENSO. Paper. ITB Rao, S.A., S.K. Behera, Y. Masumoto, and T. Yamagata, 2002: Interannual variability in the subsurface tropical Indian Ocean. Deep-Sea Res. II, 49, 1549-1572. Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinayachandran, and T. Yamagata, 1999: A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature, 401, 360-363. Vinayachandran, P.N., N.H. Saji, and T. Yamagata, 1999: Response of the equatorial Indian Ocean to an anomalous wind event during 1994. Geophys. Res. Lett., 26, 1613-1616. Webster, P.J., A.M. Moore, J.P. Loschnigg, and R.R. Leben, 1999: Coupled oceanatmosphere dynamics in the Indian Ocean during 1997-98. Nature, 401, 356360. Yamagata, T, Swadhin K. Behera, Suryachandra A. Rao, Zhaoyong Guan, Karumuri Ashok and Hameed N. Saji, 2002: The Indian Ocean Dipole: a Physical entity. Exchanges No. 24.
5