Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia
Edisi 17 | April 2014
Menggerakkan Orang di Jakarta n Tinjauan Transportasi Umum n TransJakarta n Tarif dan Tiket n Membiayai Transportasi Perkotaan
n Transportasi Umum dan Peran Swasta n Ramah Bagi Pejalan Kaki n Penyandang Disabilitas dan Mobilitas
Prakarsa April 2014 ISI
ARTIKEL UTAMA Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan Sistem transportasi umum Jakarta terdiri dari beragam moda yang meliputi sepeda motor, mobil angkutan kota, taksi, dan bus berbagai ukuran…h.4
TransJakarta: Janji Kinerja
TransJakarta belum memenuhi potensinya. Namun, fokus terhadap perencanaan yang tepat, pembangunan kapasitas, investasi, keterlibatan sektor swasta, dan strategi terkait dapat mendorong TransJakarta untuk memenuhi janjinya…h.10
Jadi, Mau Jalan-Jalan?
Banyak rintangan yang harus dihadapi oleh pejalan kaki di Jakarta. Namun, penelitian mengenai “walkability” (ukuran keramahan suatu daerah untuk berjalan kaki) dapat mendukung pembuat kebijakan dalam menangani persoalan ini…h.14
Memahami Struktur Tarif dan Sistem Tiket Transportasi Umum di Jakarta Sebagian besar moda transportasi umum di Jakarta memiliki sistem “tarif flat” yang tidak efisien, yang dapat ditingkatkan dengan menggunakan sistem tiket elektronik yang canggih…h.17
Melibatkan Sektor Swasta dalam Penyediaan Layanan Transportasi Umum Gabungan operator penyelenggara transportasi umum di Jakarta, pemerintah dan swasta, formal maupun informal, yang tidak terorganisir dengan baik perlu direformasi untuk menjamin bahwa masyarakat memiliki akses terhadap layanan yang aman, menarik, dengan tarif terjangkau…h.20
Berjuang untuk Mobilitas: Bagaimana Penyandang Disabilitas Mengakses Sistem Transportasi Jakarta Orang-orang yang berdesak-desakan, tangga dengan undakan tinggi, audio yang rusak, dan jarak lebar untuk dilangkahi merupakan tantangan yang sangat besar bagi para penyandang disabilitas.dalam menggunakan transportasi umum…h.23
Mengelola Pembiayaan Transportasi Perkotaan: Tantangan bagi Pemimpin Daerah Kendala di sektor transportasi perkotaan dan ketersediaan pendanaan Pemerintah Pusat berarti Pemerintah Daerah perlu mencari cara-cara inovatif untuk mendanai program transportasinya…h.27
31
Uraian Kegiatan
37
Menyediakan Air Minum di Klaten
40
Pandangan Para Ahli
42
Hasil & Prakarsa Edisi Mendatang Foto sampul atas perkenan IndII
Jurnal triwulanan ini diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia, sebuah proyek yang didanai Pemerintah Australia untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan meningkatkan relevansi, mutu, dan jumlah Investasi di bidang infrastruktur. Pandangan yang dikemukakan belum tentu mencerminkan pandangan Kemitraan Australia Indonesia maupun Pemerintah Australia. Apabila ada tanggapan atau pertanyaan mohon disampaikan kepada Tim Komunikasi IndII melalui telepon nomor +62 (21) 7278‐0538, fax +62 (21) 7278‐0539, atau e‐mail
[email protected]. Alamat situs web kami adalah www.indii.co.id
2
Prakarsa April 2014
Pesan Editor Dalam dunia ekonomi, rantai perekonomian bisa bersifat kejam atau bisa merupakan lingkaran kebajikan. Apa pun itu, rantai perekonomian ibarat sebuah lingkaran sehingga bila kita memperbesar A akan berakibat pada membesarnya B, yang kemudian memperbesar A, selanjutnya memperbesar B, dan begitu seterusnya. Contoh lingkaran semacam ini ada di mana-mana – salah satunya dapat dilihat di Prakarsa edisi Transportasi Udara (Januari 2012) yang menunjukkan bagaimana pertumbuhan ekonomi suatu bangsa berakibat pada peningkatan penerbangan bisnis/hiburan, yang berakibat pada rute dan jaringan penerbangan yang lebih baik, sehingga menjadikan suatu kawasan lebih menarik untuk bisnis dan pariwisata, yang berakibat pada pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Secara teori, lingkaran seperti ini terus-menerus berlangsung dengan sendirinya (perpetuate themselves). Umpan baliknya terjadi terus-menerus tanpa batas, mengarahkan pada terjadinya situasi yang akan selalu membaik atau selalu memburuk. Kuncinya adalah mengidentifikasi keadaan eksternal yang akan memulai lingkaran kebajikan – atau menghentikan lingkaran setan. Seperti artikel-artikel Prakarsa edisi ini menunjukkan banyak lingkaran-lingkaran tersebut terjadi pada transportasi perkotaan Jakarta. Sayangnya terlihat lebih banyak lingkaran setan daripada lingkaran kebajikan. Misalnya kualitas layanan bus. Bus-bus yang tidak nyaman dan tidak terpelihara dengan baik adalah pengalaman tidak menyenangkan bagi penumpang, sehingga mereka lebih memilih kenyamanan mobil pribadi atau ojek yang relatif cepat dan mudah. Akibatnya pendapatan dari tarif bus kemudian menurun, operator tidak mampu merawat busnya dengan baik menyebabkan kualitas pengalaman naik bus merosot, sehingga penumpang memilih untuk tidak naik bus, selanjutnya pendapatan menurun lagi. Lingkaran umpan balik serupa terjadi dengan kemacetan. Ketika perjalanan sehari-hari menjadi semakin lama hingga berjam-jam, penumpang yang memiliki pilihan lebih suka bertahan dalam perjalanan “tanpa akhir” tersebut di dalam kenyamanan kendaraan pribadi. Ini menambah kemacetan, yang memperlambat perjalanan, yang menjadikan mobil pribadi terlihat sebagai pilihan yang lebih menarik, yang menambah kemacetan. Apakah situasi di Jakarta sudah tidak bisa diperbaiki? Bisa, apabila para perencana kota menciptakan keadaan yang memecah lingkaran setan tersebut – dan mudah-mudahan menghasilkan lingkaran baru yang membawa kebajikan. Solusinya tersedia: Sistem tarif yang lebih canggih yang memungkinkan penarikan tarif yang lebih adil dan di saat bersamaan bisa dijadikan sarana untuk mengumpulkan data pergerakan penumpang. Armada bus dengan ukuran dan rancangan yang sesuai dengan panjang trayek dan permintaan pelayanan. Pembatasan terhadap penggunaan kendaraan pribadi. Berikut ini sebuah lingkaran bagi para pembaca Prakarsa: Setiap hari, warga merasakan kemacetan Jakarta yang parah. Dari bukti ini, mereka menyimpulkan bahwa situasi ini sudah tidak memiliki harapan untuk diperbaiki, maka mereka pun tidak melakukan upaya apa-apa untuk memperjuangkan perubahan. Situasinya semakin memburuk. Dan warga merasakan kemacetan Jakarta yang lebih parah, namun tetap bersikap pasif. Namun ada lingkaran kebajikan yang dapat menggantikan lingkaran setan ini. Bacalah artikel-artikel dalam edisi ini, dan Anda mungkin dapat membayangkan sebuah kota yang warganya mulai menggunakan transportasi umum; omongan mulai menyebar bahwa itu sarana yang efektif dan nyaman untuk bergerak di dalam kota; lebih banyak orang melakukannya; kemauan politik meningkat; pendapatan mengalir masuk; dan sumber daya dikhususkan bagi transportasi umum yang aman, nyaman, dan terjangkau. Itu adalah lingkaran kebajikan yang layak dijadikan cita-citakan. • CSW
Infrastruktur Dalam
Angka Rp 1,4 triliun
Total biaya proyek jalur layang busway yang diusulkan, atau Koridor 12 TransJakarta, yang menghubungkan Ciledug dengan Blok M, berdasarkan perkiraan tahun 2013.
9,9 juta
Jumlah mobil, sepeda motor, truk, dan kendaraan lainnya yang menjelajahi jalan raya di ibu kota pada setiap hari kerja, menurut Dinas Perhubungan Jakarta.
10 km
Rata-rata kecepatan kendaraan per jam di Jakarta di tahun 2013, turun dari 16,8 km di tahun 2012, menurut Dinas Perhubungan Jakarta.
Rp 400 miliar
Besaran dana yang dialokasikan oleh Pemerintah pada tahun 2014 untuk pengembangan moda transportasi massal bus rapid transit (BRT) di enam kota besar (Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, dan Makassar).
Rp 12,8 triliun/tahun
Biaya kemacetan lalu-lintas di Jakarta, menurut Kementerian Perhubungan.
Rp 1 juta
Denda yang dikenakan pada pengendara mobil yang mengambil lajur bus TransJakarta.
65%
Berdasarkan penelitian yang diadakan ADB 2011, persentase trotoar di Jakarta yang dilewati pejalan kaki yang sangat sedikit dimanfaatkan (dengan kata lain, pejalan kaki memilih menyeberang jalan sembarangan daripada menggunakan jembatan penyeberangan) disebabkan buruknya pemeliharaan, kurangnya kebersihan, tangga yang sulit dicapai, dan kurang terjaminnya keselamatan.
3
Prakarsa April 2014
Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan
Pengemudi ojek dan angkot menunggu penumpang di jalan raya yang ramai di Jakarta ini. Atas perkenan Richard Iles
Sistem transportasi umum Jakarta terdiri dari beragam moda yang meliputi sepeda motor, mobil angkutan kota, taksi, dan bus berbagai ukuran. Masing-masing moda memiliki peran yang tepat untuk mengangkut orang secara aman, dengan harga terjangkau, dan dengan mudah ke seluruh penjuru kota. Sistem yang ada saat ini tidak efisien, namun langkah-langkah sedang diambil untuk mengubahnya. • Oleh Richard Iles dan Rudi Wahyu Setiaji Sistem transportasi umum Jakarta sangat beragam. Sistem ini meliputi ojek (transportasi sepeda motor), bajaj (becak bermotor, berpenutup, dengan tiga roda), taksi, dan angkot/mikrolet (mobil dengan 9–14 tempat duduk); dan juga bus dalam berbagai ukuran, konfigurasi, dan standar; serta kereta api. Semua ini akan dilengkapi di masa depan dengan layanan Mass Rapid Transit (MRT) dan monorel. Moda-moda ini memiliki karakteristik, kelebihan, dan kekurangan masing-masing. Namun, pelayanan transportasi tidak selalu disediakan oleh moda yang paling tepat. Ojek menjadi semakin umum di Jakarta. Transportasi ini memiliki keunggulan dapat bergerak lebih cepat dan mudah melalui lalu lintas yang padat, serta murah untuk diperoleh dan mudah dioperasikan. Kendaraan ini memberikan manfaat yang berguna dalam mengangkut penumpang untuk perjalanan jarak dekat ke dan dari pemberhentian bus atau stasiun kereta api, serta melalui jalan sempit dan kecil yang tidak dilayani oleh moda transportasi umum lainnya. Di Jakarta, ojek lebih banyak digunakan sebagai pengganti bus dan taksi di jalan utama, terutama karena
4
keunggulan kendaraan ini bisa bergerak cepat menyusuri jalanan kota yang mengalami kemacetan. Ojek tidak diatur oleh pemerintah, dan tidak tersedia angka resmi mengenai jumlahnya. Meski demikian, terdapat beberapa ribu unit transportasi ini, dan angka ini terus meningkat secara teratur. Ojek sering dikendarai dengan sembarangan dan berbahaya (termasuk di trotoar ketika jalan raya mengalami kemacetan). Dengan basis perhitungan per penumpang, moda ini berkontribusi tinggi terhadap polusi atmosfer dan suara, serta kemacetan lalu lintas. Meski dapat berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan mobilitas perkotaan, perannya yang tepat terbatas, dan beberapa cara harus ditemukan untuk menyingkirkan mereka dari sektor pasar dengan moda lain yang lebih cocok. Bajaj, yang berbasis respon-terhadap-permintaan dan dapat mengangkut sampai dengan tiga penumpang seperti halnya taksi, banyak digunakan di Jakarta, terutama untuk menempuh perjalanan jarak dekat. Seperti taksi, bajaj dapat bergerak mencari penumpang atau menunggu di tempat tertentu. Diperkirakan ada sekitar 13.000 unit bajaj beroperasi di DKI Jakarta (Daerah Khusus
Prakarsa April 2014
Ibu Kota Jakarta). Kebanyakan bajaj, yang dicat oranye, sudah berusia lebih dari 20 tahun, dan menggunakan mesin bensin dua tak dengan tingkat emisi yang tinggi. Banyak bajaj yang berada dalam kondisi yang sudah sangat buruk, bahkan berbahaya. Bajaj yang lebih baru dan bercat biru memakai bahan bakar gas. Ada rencana untuk secara bertahap mengganti semua bajaj dengan kendaraan bertenaga listrik yang bersih. Bajaj mempunyai peran berguna dalam mengangkut kelompok kecil orang untuk jarak dekat di sepanjang jalan yang sempit di daerah pemukiman, tetapi kurang sesuai digunakan di jalan utama, di mana kecepatannya yang rendah dan desain yang terbuka menjadikan kendaraan dan penumpangnya rentan. Apabila tersedia layanan transportasi umum yang lebih formal dan dengan kualitas lebih baik, khususnya layanan bus, besar kemungkinan permintaan akan bajaj menjadi sangat berkurang. Taksi (sedan yang membawa sampai empat penumpang, selain sopir) merupakan komponen yang signifikan dalam sistem transportasi publik di seluruh Jakarta. Semua dilengkapi dengan argo, dan bergerak untuk mencari penumpang atau menunggu di
tempat tertentu, seperti stasiun kereta api, terminal bus, pusat perbelanjaan, hotel, dan gedung perkantoran. Terdapat lebih dari 12.000 taksi yang beroperasi di DKI Jakarta, yang dioperasikan oleh hampir 50 perusahaan, dengan berbagai ukuran. Beberapa perusahaan besar, seperti taksi Blue Bird dan Express, masing-masing mengoperasikan beberapa ribu unit kendaraan. Seperti halnya di kota-kota besar, peran utama taksi di Jakarta adalah mengangkut penumpang hingga empat orang dari satu tempat ke tempat lainnya, terutama bila tidak ada koneksi transportasi umum yang mudah atau langsung. Meski demikian, sebagian besar kebutuhan yang ada terhadap taksi dipastikan disebabkan oleh kurangnya alternatif transportasi umum yang memenuhi syarat. Apabila layanan MRT dan monorel diperkenalkan, dan peningkatan diterapkan pada layanan Bus Rapid Transit (BRT) dan layanan bus lainnya, ada kemungkinan permintaan terhadap taksi akan berkurang secara substansial. Khususnya, jika kondisi lalu lintas ditingkatkan untuk memungkinkan kecepatan operasional bus yang lebih tinggi, ini dapat memicu munculnya layanan bus yang handal dan nyaman
Poin-Poin Utama: Sistem transportasi umum di Jakarta sangat beragam. Sistem ini meliputi ojek (transportasi sepeda motor), bajaj (becak bermotor, berpenutup, dengan tiga roda), taksi, dan angkot/mikrolet dengan 9–14 tempat duduk); dan juga berbagai jenis bus dan kereta api berat, dan di masa mendatang, layanan Mass Rapid Transit (MRT) dan monorel. Masing-masing moda ini memainkan peran, baik yang lebih penting maupun yang kurang penting, namun moda-moda tersebut pada saat ini sering digunakan secara tidak efisien. Baik ojek maupun bajaj berguna untuk perjalanan jarak dekat dan di jalan sempit. Tapi kedua moda ini cenderung berbahaya dan merusak lingkungan, dan seharusnya peran mereka dikurangi dalam sistem transportasi umum. Taksi merupakan komponen penting dari sistem transportasi umum di Jakarta. Besarnya permintaan untuk layanan taksi pada saat ini hampir pasti disebabkan karena kurangnya alternatif yang layak. Angkot atau mikrolet paling cocok untuk trayek-trayek pendek yang menghubungkan daerah pemukiman dengan pusat komersial di dekatnya dan terminal-terminal bus. Namun, banyak mikrolet beroperasi pada trayek-trayek panjang di jalan utama, dan menduplikasi layanan bus. Bus-bus dalam berbagai ukuran, konfigurasi, dan standar beroperasi dalam jaringan ekstensif di seluruh pelosok Jakarta. Unggulan dari sistem bus Jakarta adalah Bus Rapid Transit (BRT). Jenis layanan bus lain, dengan berbagai ukuran dan tingkat kenyamanan, meliputi sektor pasar dan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Tidak ada bus yang beroperasi di Jakarta saat ini yang memenuhi standar internasional untuk desain bus perkotaan, namun kebutuhan untuk mengganti kendaraan yang semakin tua membuka kesempatan untuk mengatasi persoalan ini. Bus yang lebih besar daripada yang saat ini beroperasi di kebanyakan trayek dapat digunakan untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan, serta mengurangi dampak lingkungan. Sekali lagi, proses penggantian kendaraan membuka kesempatan untuk meningkatkan keadaan ini. Transisi menuju armada kendaraan yang lebih kecil dan efisien harus dikelola secara sensitif untuk meminimalisir dampak sosial yang merugikan, berhubung banyak operator kecil/sopir mengandalkan bus kecil untuk mata pencaharian mereka. Layanan komuter yang dioperasikan oleh penyelenggara kereta api nasional, dilengkapi dengan sistem monorel dan MRT, yang akan mulai beroperasi pada tahun 2016 dan 2017, akan meningkatkan kapasitas dan daya tarik transportasi umum. Namun, moda-moda yang sudah ada akan terus berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar penglaju di seluruh DKI Jakarta.
5
Prakarsa April 2014
Peran BRT Bus Rapid Transit (BRT) adalah moda transportasi penumpang bervolume tinggi, yang menggunakan bus yang dioperasikan di sepanjang jalur khusus (busway), yang secara fisik terpisah dari lalu lintas jalan raya lainnya. Di tempat busway bersinggungan dengan jalan berlalu lintas lainnya, sinyal lalu lintas umum mulai dipakai untuk memberikan prioritas kepada bus untuk meminimalisir waktu perjalanan bus. Di persimpangan yang sangat ramai, busway mungkin bisa dipisahkan lintasannya dengan menggunakan flyover atau underpass; perangkat tambahan seperti itu tidak diaplikasikan di Jakarta pada saat ini, namun beberapa telah dimasukkan dalam rencana pemutakhiran koridor. Semakin tinggi kecepatan operasional yang dimungkinkan oleh hak eksklusif penggunaan lahan dan langkah prioritas, ditambah dengan penggunaan bus berkapasitas tinggi, memungkinkan volume penumpang yang semakin besar yang dapat diangkut: lebih dari 10.000 penumpang dapat diangkut per jam di setiap arah, jauh lebih banyak daripada yang bisa dilakukan pada layanan bus konvensional yang harus berbagi ruang jalan dengan lalu lintas lainnya, atau dengan mobil pribadi atau sepeda motor. Namun volume sebesar itu dapat dicapai hanya apabila eksklusivitas busway ditegakkan dengan efektif, apabila ada prioritas yang efektif untuk bus di persimpangan, apabila bus berkapasitas tinggi dan spesifikasi tepat dioperasikan, dan apabila operasional layanan berjalan secara efisien. Kapasitas busway memang bukan tidak terbatas, namun: sebagai patokan, sebuah busway dengan jalur tunggal di setiap arah tidak bisa mengakomodasi lebih dari 100 bus (tanpa memperhatikan ukuran) per jam di setiap arah. Oleh sebab itu, untuk kapasitas penumpang maksimal, perlu dioperasikan bus-bus berukuran maksimal, yang biasanya berarti mengerahkan bus gandeng berukuran besar. Di beberapa kota di negara lain, telah digunakan bus gandeng dobel (bi-articulated bus) yang masing-masing mengangkut lebih dari 250 penumpang. Penggunaan bus yang lebih kecil akan mengurangi total kapasitas yang tersedia, dan ini akan sangat merugikan ketika volume penumpang besar. Juga harus ada peraturan bahwa pada beberapa perhentian yang memungkinkan satu bus untuk mendahului yang lain, sehingga dibutuhkan jalur ganda busway pada bentangan tertentu dari suatu koridor.
dengan kualitas premium, yang menarik tarif lebih tinggi dari bus yang ada, tetapi lebih rendah dari taksi. Ini akan secara signifikan memperlemah bisnis taksi, sementara pada saat yang sama menyediakan bisnis menguntungkan bagi operator bus. Angkot atau mikrolet beroperasi di seluruh pelosok Jakarta. Sekitar 16.500 unit beroperasi di kota, pada sekitar 150 trayek. Pada umumnya pemilik adalah perorangan atau usaha kecil, yang banyak di antaranya hanya memiliki satu kendaraan. Angkot dan mikrolet paling cocok digunakan untuk trayek pendek yang menghubungkan daerah pemukiman dengan pusat komersial di dekatnya dan terminal bus, di sepanjang jalan yang tidak sesuai untuk kendaraan-kendaraan yang lebih besar. Meski demikian, sejumlah besar mikrolet beroperasi pada trayek panjang di jalan
6
Layanan BRT, terutama di mana konfigurasi bus yang dipilih memerlukan penyediaan platform yang ditinggikan untuk menaikkan penumpang, membutuhkan banyak infrastruktur di setiap halte. Ini memerlukan interval antar-pemberhentian yang lebih panjang daripada yang praktis untuk layanan bus konvensional. Layanan konvensional membutuhkan infrastruktur minim, sehingga pemberhentian bus biasanya diberi jarak yang lebih berdekatan; ini memberi kenyamanan yang lebih bagi penumpang, dan terutama bermanfaat bagi penumpang jarak pendek. Peningkatan jarak dari pemberhentian BRT akan memungkinkan kecepatan pengoperasian yang lebih tinggi, tetapi juga memperpanjang jarak rata-rata berjalan kaki ke pemberhentian bus, dengan efek buruk pada kenyamanan penumpang. Oleh karenanya, sampai pada batas tertentu, layanan BRT dan layanan bus konvensional saling melengkapi dalam hal melayani sektor-sektor pasar yang berbeda, dengan BRT melayani penumpang untuk jarak yang lebih jauh dan bus konvensional melayani mereka yang menempuh jarak yang lebih dekat. Untuk volume penumpang yang sangat tinggi, yang tidak dapat secara memadai ditampung oleh layanan BRT, moda dengan kapasitas yang lebih besar, misalnya kereta api ringan atau berat, harus disediakan. Layanan kereta api komuter yang dioperasikan oleh perusahaan kereta api nasional telah memainkan peran penting, yang akan segera ditingkatkan oleh layanan MRT dan monorel. Pengaturan jarak antara stasiun kereta api biasanya lebih jauh dibandingkan dengan pengaturan jarak layanan BRT, dan oleh karena itu, besar kemungkinan akan tetap ada peran baik bagi BRT maupun layanan bus konvensional, bahkan pada koridor yang akan dilayani kereta api. Oleh karena itu, sementara BRT memiliki peran yang penting untuk dimainkan, peran ini tidak boleh dirancukan dengan peran moda transportasi umum lainnya. Layanan BRT dan kereta api sangat penting untuk melayani pergerakan volume tinggi pada koridor utama, namun layanan-layanan ini harus dilengkapi dengan bus konvensional, mikrolet, taksi, bajaj, dan bahkan ojek untuk memenuhi permintaan volume yang lebih kecil, dan di tempat-tempat di mana terdapat pola perjalanan yang kompleks dan tidak mengikuti koridor-koridor utama. Namun, setiap moda harus dibatasi pada layanan yang sanggup mereka berikan secara paling baik, dan untuk itu, langkah-langkah efektif diperlukan untuk menjamin koordinasi dan integrasi layanan. Persyaratan minimal untuk pertukaran antar moda, dan pertukaran yang mulus harus dapat dipenuhi untuk mengatasi hal-hal yang tidak dapat dihindari.
utama, sehingga menimbulkan duplikasi layanan yang dioperasikan oleh bus yang lebih besar. Trayek-trayek seperti itu akan lebih efisien jika dioperasikan oleh kendaraan yang lebih besar dalam yang lebih sedikit, sehingga memerlukan ruang jalan raya yang lebih kecil per penumpang, dengan biaya operasional yang lebih rendah, dan menimbulkan lebih sedikit polusi. Bus dalam berbagai ukuran, konfigurasi, dan standar merupakan komponen yang paling jelas terlihat dari sistem transportasi umum, dan beroperasi dengan jaringan trayek yang ekstensif di seluruh penjuru Jakarta. (Lihat Gambar 1: Infrastruktur Sistem Bus Jakarta – Permasalahan dan Solusi.) Unggulan dari sistem bus Jakarta adalah sistem BRT yang dioperasikan oleh TransJakarta (lihat Boks, “Peran BRT”). Sistem
Prakarsa April 2014
ini terdiri dari busway eksklusif pada 12 koridor trayek, dengan dua koridor baru akan ditambahkan tidak lama lagi. Koridor yang pertama (koridor 1, dari Kota ke Blok M) mulai beroperasi pada tahun 2004, dan sistem Jakarta sekarang mempunyai jarak tempuh busway tertinggi (170km) di antara busway khusus di dunia. Terdapat 579 bus terartikulasi dan tunggal dalam armada busway pada akhir bulan Desember 2013, dan 300 bus lagi akan dikirimkan pada tahun 2014. Busway tersebut umumnya berada di sepanjang lajur tengah dari jalur lalu lintas ganda. Oleh karena itu, sebagian besar pemberhentian bus berada di tengah jalan, dan diakses melalui jalur bawah tanah, penyeberangan pejalan kaki sejajar yang diatur secara sederhana, atau – dalam kebanyakan kasus − melalui jembatan. Trayek inti BRT beroperasi sepenuhnya sepanjang jalur busway, namun semakin lama semakin banyak “layanan langsung” yang diperkenalkan, yang beroperasi sebagian di jalur busway dan sebagian di jalan biasa atau jalan tol. Beberapa dari layanan ini beroperasi dari dan ke titik-titik di luar DKI Jakarta. Terdapat sekitar 500 trayek bus non-BRT yang beroperasi di Jakarta; lebih dari 70 trayek beroperasi di sepanjang koridor tersibuk, Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin, berdampingan dengan BRT Koridor 1. Masing-masing trayek dioperasikan oleh operator tunggal (yang mungkin merupakan sebuah perusahaan atau koperasi yang terdiri dari banyak pemilik perorangan), biasanya menggunakan satu jenis kendaraan. Menurut sebuah studi JICA, pada tahun 2010 ada sekitar 1.000 bus berukuran besar dan 2.500 bus berukuran sedang yang beroperasi di DKI Jakarta, tidak termasuk yang dioperasikan pada sistem BRT. Angka pastinya sulit diketahui karena beberapa bus berlisensi tidak dioperasikan, sementara beberapa yang lain dioperasikan secara ilegal tanpa izin, meski persoalan-persoalan ini sedang ditangani oleh badan pengatur transportasi daerah (Dinas Perhubungan, atau Dishub). Jenis-jenis layanan bus yang berbeda di Jakarta itu meliputi sektor pasar dan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Jenis layanan yang ada termasuk BRT, Patas (yang dilengkapi layanan dengan perhentian terbatas, baik yang ber-AC maupun yang tidak ber-AC, umumnya melayani trayek yang lebih panjang), dan bus reguler (kendaraan dengan standar dasar yang melayani semua perhentian bus, walaupun dalam praktiknya tidak berhenti di semua perhentian, dan bus cenderung berhenti di mana saja). Bus reguler dapat dibagi menjadi bus besar (biasanya dengan badan sepanjang 12 meter, membawa 50–70 penumpang) dan bus ukuran sedang (dengan panjang 8–9 meter, mengangkut 30–50 penumpang). Beberapa bus ukuran sedang yang baru sudah dilengkapi AC, namun sebagian besar tidak. Masing-masing layanan bus dan jenis kendaraan yang berbeda diperlukan untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan. Saat ini, penugasan peran tidak selalu tepat: Misalnya, mayoritas layanan yang disediakan oleh bus ukuran sedang akan lebih efisien bila disediakan oleh bus ukuran besar. Meski demikian, semua jenis layanan bus yang saat ini beroperasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sektor-sektor pasar yang berbeda, dan peran masingmasing yang tepat harus diakui.
Apa yang Dilakukan IndII untuk Membantu IndII telah dan sedang mendukung DKI Jakarta untuk meningkatkan standar pelayanan transportasi umum di provinsi ini melalui Program Peningkatan TransJakarta (TransJakarta Improvement Program), yang dimulai pada tahun 2012. Program ini dibagi menjadi dua subkegiatan. Yang pertama difokuskan pada peningkatan pengelolaan, operasional, dan kinerja keuangan dari sistem BRT TransJakarta, dengan satu tim ahli bekerja sama dengan manajemen TransJakarta di kantor pusat mereka di Cawang. Tim ini memberi saran dan dukungan praktis dalam operasional sehari-hari serta memberi dukungan dengan perencanaan strategis jangka panjang. Sub-kegiatan kedua lebih luas. Intinya, sub-kegiatan ini terutama bertujuan untuk meningkatkan pelayanan transportasi umum non-BRT, khususnya layanan bus konvensional dan mikrolet yang ada di seluruh Jakarta. Satu tim tersendiri, yang terdiri dari spesialis dalam perencanaan transportasi umum, regulasi, operasional dan perekayasaan, ditempatkan di kantor pusat badan pengatur transportasi Jakarta (Dishub) dan memberi dukungan dan saran kepada petugas-petugas kunci mengenai berbagai persoalan jangka panjang, termasuk formalisasi sektor transportasi umum, perencanaan jaringan trayek, desain dan pemeliharaan bus, tarif dan urusan tiket, serta regulasi. Dalam waktu dekat tim ini juga memberi dukungan dengan tugas-tugas yang mendesak, seperti perencanaan dalam mengerahkan armada sebanyak 346 unit bus yang dibeli oleh Gubernur DKI Jakarta, dan perencanaan trayek baru yang diusulkan. Tantangan utamanya adalah untuk mengatasi gangguan terhadap lalu lintas pada saat berlangsungnya pembangunan MRT, dan kemudian perlunya melakukan koordinasi moda-moda transportasi umum jalan dan kereta api ketika MRT sudah mulai dioperasikan.
Bus yang digunakan untuk layanan reguler memberikan kenyamanan dan fasilitas yang mendasar. Bus Patas biasanya memberikan standar kenyamanan yang lebih tinggi; beberapa di antaranya ber-AC, dan dalam kasus bus ber-AC tarif yang dibebankan juga lebih tinggi. Beberapa bus, yang diperoleh dalam keadaan bekas dari Jepang, dikonfigurasi sebagai bus kota dengan lantai yang relatif rendah untuk menyediakan akses mudah dan mengakomodasi penumpang berdiri dalam jumlah banyak. Tetapi, sebagian besar dari bus yang digunakan di Jakarta, selain bus TransJakarta, lebih cocok untuk perjalanan jarak jauh antarkota, daripada untuk operasional dalam kota. Standar internasional yang berlaku saat ini untuk desain bus perkotaan didasarkan pada konfigurasi lantai yang rendah dengan
7
Prakarsa April 2014
Transportasi Pribadi – Lingkaran Setan yang Harus Dipatahkan Masalah kemacetan di Jakarta sudah sangat terkenal. Kemacetan terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa, kapasitas sistem jalan yang telah ada tidak memadai untuk volume lalu lintas yang menggunakannya. Dan volume ini meningkat dari hari ke hari: dilaporkan bahwa jumlah sepeda motor saja bertambah sekitar 1.000 unit setiap hari. Mobil pribadi dan sepeda motor, dalam hal ruang jalan yang dibutuhkan per orang, mempunyai tuntutan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan transportasi umum, khususnya bus berkapasitas tinggi. Sayangnya, pengalaman di seluruh dunia menunjukkan bahwa meningkatkan ruang jalan dengan membangun jalan baru atau melebarkan jalan yang telah ada hanya menimbulkan lalu lintas baru yang akan mengisi ruang tambahan tersebut, dan hasilnya jalan justru menjadi lebih macet daripada sebelumnya. Oleh karena itu, langkah ini bukan solusi jangka panjang yang layak; bagaimanapun, penyediaan ruang jalan baru sangat mahal dan juga sangat merusak lingkungan hidup. Jakarta dihadapkan pada sebuah lingkaran setan. Layanan transportasi umum yang tidak menarik menyurutkan minat pengguna: mereka yang mampu akan beralih ke kendaraan pribadi, terutama sepeda motor dan mobil. Kendaraan pribadi tambahan ini menambah kemacetan, memperpanjang waktu perjalanan bagi semua orang. Transportasi umum menjadi semakin tidak menarik – apabila seorang komuter harus menghabiskan waktu berjam-jam per minggu dalam kemacetan lalu lintas, akan jauh lebih menyenangkan baginya untuk berada dalam kenyamanan dan privasi sebuah mobil pribadi daripada berdiri di bus komuter yang penuh sesak. Selain itu, beralihnya penumpang transportasi umum ke transportasi pribadi juga berarti penurunan pendapatan bagi operator transportasi, dan lebih sedikit uang untuk dibelanjakan pada pemeliharaan atau peremajaan armada − sehingga kondisi kendaraan memburuk dan terjadi penurunan kapasitas sistem secara keseluruhan. Jika harga tiket dinaikkan untuk mengkompensasi penurunan penumpang, bahkan lebih banyak orang akan mencari transportasi alternatif. Singkatnya, kualitas dan daya tarik transportasi umum akan menurun, dan biayanya akan meningkat. Diperkenalkannya sistem BRT telah banyak membantu dalam menangani masalah ini, dan baru-baru ini Gubernur telah memprakarsai pembelian sejumlah besar armada bus baru untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas sistem transportasi umum. Dalam jangka panjang akan ada MRT dan monorel. Namun, meningkatkan transportasi umum saja tidak akan cukup. Sebuah bus, sesenyaman apapun, tidak akan pernah lebih menarik daripada mobil, apabila bus tersebut terjebak diam di tengah kemacetan. Bahkan BRT masih mengalami penundaan serius di persimpangan lalu lintas. MRT dan monorel tidak akan terjebak kemacetan lalu lintas, tetapi tersedia hanya untuk jumlah penglaju yang relatif kecil, dan mereka yang bertempat tinggal jauh dari stasiun, yang tidak dengan
8
mudah terjangkau hanya dengan berjalan kaki, tetap harus menggunakan jalan yang berlalu lintas padat untuk mengakses sistem tersebut. Pemerintah telah lama mengakui bahwa langkah-langkah positif diperlukan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi umum, dan telah mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut. Aturan 3-in-1 di Jakarta merupakan langkah berani untuk mendorong tingkat okupansi kendaraan yang tinggi, dan oleh karenanya, menjadikan pemakaian ruang jalan lebih efektif, meski dampaknya telah dilemahkan oleh praktik umum membayar joki untuk ikut naik mobil, hanya agar jumlah penumpang terpenuhi. Terdapat usul dan rencana untuk membatasi lebih jauh kendaraan pribadi, termasuk jalan berbayar yang diatur secara elektronik dan pembatasan penggunaan sepeda motor di bagian-bagian kota tertentu – yang kesemuanya harus disambut baik. Langkah-langkah lain harus mencakup pembatasan atau pelarangan parkir yang tegas di jalan tertentu, dan penegakan atas semua hukum dan peraturan lalu lintas secara tegas. Beberapa jalan mungkin harus diberi pelarangan untuk transportasi pribadi, dan hanya dapat diakses oleh transportasi umum atau ditempuh dengan berjalan kaki. Prioritas yang lebih banyak juga harus diberikan kepada transportasi umum, melalui metode seperti pemisahan jalur bus di jalan di mana bus lain, akan tertunda oleh kemacetan lalu lintas (ini dilakukan sebagai tambahan atas jalur busway BRT, dan pada beberapa koridor akan bergerak paralel dengan busway); dengan mengizinkan bus untuk berbelok kanan, di mana hal ini dilarang untuk kendaraan lain; dan mengizinkan bus untuk beroperasi melawan arus lalu lintas di jalan satuarah pada jalur bus yang dipisahkan. Pemberhentian bus khusus, dengan naungan atap bila perlu, harus disediakan pada lokasi-lokasi yang nyaman, dengan pengaturan jarak yang sesuai, di sepanjang jalan yang dilayani oleh bus, tidak hanya pada koridor-koridor utama. Selain itu, akses atas layanan transportasi umum harus difasilitasi dengan menegakkan peraturan mengenai penggunaan trotoar, sehingga semua pejalan kaki, termasuk pengguna transportasi umum, dapat memakai semua trotoar yang tersedia di kota dengan aman dan tanpa hambatan. Paket tindakan seperti itu dapat membalikkan lingkaran setan yang terjadi. Layanan bus akan menjadi lebih cepat, lebih menyenangkan, dan lebih nyaman; menjadikan waktu perjalanan lebih singkat dan meningkatkan pendapatan per kilometer, sehingga memungkinkan harga tiket untuk tetap rendah sementara meningkatkan tingkat keuntungan dengan subsidi minimal atau tanpa subsidi sama sekali. Orang akan bepergian lebih cepat, lebih aman di seluruh penjuru kota yang lebih bersih, lebih sehat, dan lebih menyenangkan. Pesan utamanya sudah jelas: peningkatan transportasi umum harus berjalan seiring dengan langkah positif untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi. Jika tidak, bepergian di Jakarta akan terasa tidak tertahankan.
Prakarsa April 2014
Gambar 1: Infrastruktur Sistem Bus Jakarta – Permasalahan dan Solusi Masalah
Layanan yang menyulitkan
Layanan tidak nyaman
Sebab utama
Penanggulangannya
Sistem pengoperasian yang informal dan struktur tarif rata mendorong terbentuknya trayek-trayek pendek
Jaringan trayek yang menyediakan lebih banyak sambungan langsung, mensyaratkan adanya struktur tarif yang lebih kompleks; diperlukan struktur yang lebih formal
Penyediaan pemberhentian bus dan halte bus khusus yang tidak konsisten
Penyediaan pemberhentian bus dan halte bus dalam jarak yang sesuai sepanjang semua trayek, dan penegakan penggunaannya
Kendaraan dengan desain dan spesifikasi buruk
Penyediaan kombinasi jenis kendaraan yang sesuai dalam jumlah yang memadai
Kombinasi armada bus yang tidak sesuai Kapasitas yang tidak memadai berakibat pada kelebihan kapasitas penumpang
Peningkatan penggunaan kendaraan melalui praktik pengoperasian yang lebih baik
Kemacetan lalu lintas: kapasitas jalan tidak memadai untuk volume lalu lintas; pengelolaan lalu lintas yang buruk; penegakan peraturan lalu lintas yang buruk
Prioritas bagi transportasi umum Pembatasan pemakaian sarana transportasi pribadi
Armada transportasi umum dalam kondisi buruk dan tidak aman
Sediakan fasilitas pemeliharaan bus resmi; hapus praktik pengoperasian tidak efisien yang membatasi penghasilan dana untuk pemeliharaan dan penggantian; tingkatkan penegakan peraturan
Biaya transportasi tinggi bagi masyarakat berpenghasilan rendah
Praktik pengoperasian yang tidak efisien mengakibatkan peningkatan biaya
Formalkan industri bus
Kondisi bagi pejalan kaki yang sulit dan tidak aman, sehingga tidak mendorong orang untuk berjalan kaki dan membatasi akses terhadap transportasi umum*
Fasilitas buruk bagi pejalan kaki Buruknya penegakan peraturan; buruknya desain dan pemeliharaan infrastruktur
Tingkatkan standar dan penegakan hukum
Layanan yang tidak dapat diandalkan Kecepatan layanan rendah, waktu perjalanan yang berlebihan Standar keselamatan rendah Tingkat emisi gas buangan yang berlebihan
*Keadaan seperti ini sangat sulit untuk penyandang disabilitas. Lihat artikel di h. 23 mengenai topik ini lebih lanjut.
pintu penumpang yang lebar (biasanya dua atau tiga pintu pada kendaraan dengan ukuran paling besar) yang menyediakan akses yang cepat, nyaman, dan aman saat naik dan turun bagi semua penumpang. Kemudahan akses ini relevan untuk semua penumpang, tetapi terutama bagi mereka yang menyandang gangguan mobilitas atau yang membawa barang atau anak kecil. Tidak ada bus yang beroperasi di Jakarta saat ini yang memenuhi standar ini, namun kebutuhan untuk mengganti kendaraan yang sudah tua memberikan kesempatan untuk mengatasi persoalan ini. Yang juga menjadi perhatian adalah campuran ukuran bus, dengan dominasi bus ukuran sedang. Sebagai aturan umum, untuk layanan bus perkotaan dengan volume penumpang yang tinggi, kendaraan yang paling efisien adalah yang berukuran terbesar yang dapat dengan aman dan mudah digunakan dalam batasan sistem jalan yang ada. Pada beberapa trayek di Jakarta, termasuk banyak yang digunakan oleh angkutan kota atau bus berukuran sedang, bus terartikulasi yang menampung hingga 200 penumpang, termasuk penumpang berdiri, dapat digunakan dengan aman, bahkan di jalan biasa; di sebagian besar trayek, bus standar dengan dektunggal sepanjang 12 meter praktis untuk dipakai. Bus yang lebih besar menggunakan ruang jalan secara lebih ekonomis dan memerlukan jumlah sopir yang lebih sedikit. Selain itu, modal dan biaya operasional per penumpang/km selama masa pakai kendaraan, serta emisi gas buangnya, lebih rendah daripada busbus yang lebih kecil. Sekali lagi, proses penggantian kendaraan akan memungkinkan bus-bus yang lebih kecil untuk secara bertahap digantikan dengan bus-bus yang lebih besar, sehingga memungkinkan berkurangnya jumlah keseluruhan bus. Akan terus ada kebutuhan terbatas untuk bus-bus berukuran lebih kecil, misalnya pada trayek di mana permintaan rendah atau kondisi jalan tidak cocok untuk bus yang lebih besar. Banyak orang menggantungkan mata pencaharian mereka pada bus kecil, dan
transisi menuju armada kendaraan yang lebih kecil dan lebih efisien penting untuk dikelola secara sensitif dan bertahap, untuk meminimalisir dampak sosial yang merugikan. Peran yang dimainkan layanan komuter yang dioperasikan oleh penyelenggara kereta api nasional juga cukup besar. Layanan kereta api ini akan dilengkapi dengan sistem monorel dan MRT, yang masing-masing akan mulai beroperasi pada tahun 2016 dan 2017. Layanan-layanan baru ini akan meningkatkan kapasitas dan daya tarik transportasi umum pada masing-masing koridor, namun moda-moda yang sudah ada akan terus berlangsung untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar penglaju di seluruh DKI Jakarta. n Tentang para penulis: Richard Iles adalah spesialis dalam perencanaan, organisasi, dan pengelolaan sistem transportasi umum, dengan pengalaman hampir 50 tahun di industri transportasi jalan, baik sebagai manajer maupun konsultan. Berasal dari Inggris, ia telah bekerja di lebih dari 30 negara, terutama di negara-negara berkembang. Ia pernah terlibat dalam beberapa proyek konsultasi transportasi di Indonesia, dimulai dengan studi logistik nasional pada tahun 1975, dan saat ini bekerja pada sebuah proyek IndII untuk mendukung DKI dalam meningkatkan pelayanan transportasi umum berbasis jalan di Jakarta. Bukunya “Transportasi Umum di Negara Berkembang” diterbitkan pada tahun 2005. Menyebut dirinya sendiri sebagai “penggemar pendidikan transportasi umum”, Rudi Wahyu Setiaji adalah konsultan IndII. Ia memulai karirnya sebagai asisten peneliti di Laboratorium Rekayasa Jalan dan Lalu Lintas di Institut Teknologi Bandung, di mana ia mengambil spesialisasi dalam bidang manajemen lalu lintas, operasional dan manajemen kereta api, dan perencanaan transportasi umum. Ia juga mengajar perencanaan transportasi di Departemen Perencanaan Perkotaan dan Wilayah, Universitas Diponegoro, sebelum bergabung dengan program IndII.
9
Prakarsa April 2014
TransJakarta: Janji Kinerja
Jumlah penumpang yang menggunakan TransJakarta tidak bertambah sesuai dengan penambahan koridor, malah menurun dalam beberapa tahun terakhir ini. Atas perkenan IndII
TransJakarta belum memenuhi potensinya untuk memberikan pelayanan yang aman, nyaman, dan dapat diandalkan, yang terintegrasi baik dengan moda transportasi lain dan yang berkontribusi terhadap pengurangan kemacetan di Jakarta. Namun, fokus pada perencanaan yang tepat, pembangunan kapasitas, investasi, keterlibatan sektor swasta, dan strategi terkait dapat mendorong TransJakarta untuk memenuhi janjinya. • Oleh Tom Elliott
Angka ini mewakili proporsi sangat kecil dari jutaan perjalanan yang dilakukan orang di Jakarta setiap hari ke segala penjuru kota. Bagi yang tidak bepergian naik mobil atau sepeda motor, tersedia ojek, bajaj, angkot, dan lebih dari 500 trayek bus lainnya – serta
Gambar 1: Penumpang Busway TransJakarta 2004–2013 (Termasuk penumpang dengan tiket gratis tetapi tidak termasuk bulan Desember 2013) 140.000.000 120.000.000
Tiket Penumpang Terjual
Di dalam sistem transportasi umum Jakarta, sistem busway TransJakarta atau bus rapid transit (BRT) sepanjang 170km menawarkan solusi parsial terhadap permasalahan kemacetan Jakarta. Pada tahun 2013, lebih dari 360.000 orang bepergian menggunakan busway setiap harinya, menurut penghitungan manual yang dilakukan di 270 halte TransJakarta (lihat Gambar 1).
100.000.000 80.000.000 60.000.000 40.000.000 20.000.000 0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
2013
15,926 20,799 38,811 61,439 74,619 82,377 86,937 114,78 111,250 101,950
10
Prakarsa April 2014
kereta api, dan pada 2018, MRT dan monorel (lihat “Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan” di halaman 4). Meski demikian, TransJakarta masih menuai lebih banyak perhatian media daripada sebagian besar moda transportasi lain di Jakarta, dan seringkali dengan alasan yang negatif. Busway kini berusia sepuluh tahun. Jumlah penumpang terus bertambah dari 2004 hingga 2011, tapi hanya karena dibukanya koridor. Belum ada pertumbuhan yang signifikan pada jumlah penumpang yang melalui Koridor 1–9. Selain itu, belum ada pergeseran nyata dari pengguna mobil atau motor ke TransJakarta. Malah, jumlah penumpang menurun dari 2011 hingga 2013 meski ada tiga koridor baru yang dibuka. Hal ini mengindikasikan adanya persoalan dengan sistem busway itu sendiri, pengelolaannya, dan kinerjanya dalam hal memenuhi perannya dalam transportasi umum untuk salah satu kota termacet di dunia.
Tanggung jawab untuk mengelola dan menjalankan sistem jatuh pada badan pengawas transportasi daerah (Dinas Perhubungan, atau Dishub). Biaya operasional meningkat secara signifikan karena perluasan koridor, naiknya biaya pemeliharaan tahunan, dan biaya tenaga kerja. Pada tahun 2014, setelah proyeksi penjualan tiket, lebih dari 75 persen biaya operasional TransJakarta akan disubsidi. Jika jumlah penumpang masih statis di angka 360.000 pada tahun 2014, setiap perjalanan penumpang akan disubsidi di tingkat hampir dua kali lipat harga perjalanan standar (Rp 3.500). Ini akan menciptakan posisi keuangan yang tidak berkelanjutan untuk masa mendatang. Mengapa TransJakarta tidak menarik minat lebih banyak penumpang? Alasan utama adalah karena Standar Pelayanan Minimal1 (SPM) untuk busway tidak terpenuhi. Selama jam-jam padat, bus dan halte kelebihan kapasitas dan hal itu membuat pengalaman
Poin-Poin Utama: TransJakarta hanya melayani proporsi kecil dari jutaan perjalanan yang dilakukan orang-orang di Jakarta. Jumlah penumpang terus bertambah dari 2004 hingga 2011, tapi itu hanya karena dibukanya koridor-koridor baru. Belum ada pergeseran yang signifikan dari pengguna mobil dan motor menjadi penumpang TransJakarta. Malah, jumlah penumpang menurun dari tahun 2011 hingga 2013. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh masalah kenyamanan dan keterandalan. Tanggung jawab untuk mengelola dan menjalankan sistem jatuh pada badan pengawas transportasi daerah (Dinas Perhubungan, atau Dishub). Sistem ini disubsidi terlalu besar, menciptakan posisi keuangan yang tak berkelanjutan untuk masa depan. Tidak ada perbaikan cepat untuk meningkatkan kinerja operasi TransJakarta. Upaya untuk membeli lebih banyak bus hanya akan membantu jika dilakukan dalam konteks perencanaan yang baik dengan investasi memadai pada infrastruktur dan sistem tiket modern bagi penumpang. Proposal untuk perbaikan kinerja meliputi strategi kelembagaan, perencanaan dan investasi, penumpang, dan pembangunan kapasitas. Solusinya sederhana dari segi perencanaan, tapi sulit untuk diterapkan. Target sekitar 650.000 penumpang per hari dan pengurangan besar subsidi mungkin dilakukan sebelum tahun 2018 jika pendekatan pemasaran, investasi, dan kinerja yang mendukung naskah Rencana Usaha TransJakarta diadopsi. Keputusan untuk membentuk perusahaan negara baru untuk mengawasi pelayanan dan pengembangan masa depan TransJakarta merupakan awal yang menjanjikan untuk tahun 2014. Badan TransJakarta baru harus: berinvestasi pada depot bus milik pemerintah dan sarana pengisian bahan bakar layak yang berlokasi strategis; mengembangkan alternatif untuk menggunakan dana modal yang langka untuk membeli bus-bus milik pemerintah; berinvestasi pada infrastruktur koridor; melakukan perencanaan yang tepat; mengembangkan kemampuan dan keterampilan teknis di dalam organisasi baru TransJakarta; dan mengatur lalu lintas mobil dan motor dengan memungut denda untuk menggunakan koridor busway dan meningkatkan biaya parkir di pusat-pusat niaga kota.
11
Prakarsa April 2014
Mengapa TransJakarta tidak menarik minat lebih banyak penumpang? Alasan pokoknya adalah karena Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk busway tidak terpenuhi. buruk bagi para penumpang. TransJakarta secara konsisten tidak dapat diandalkan untuk membawa penumpang sampai ke tempat kerja secara tepat waktu. TransJakarta jarang, kalaupun pernah, memenuhi sasaran untuk tiba di halte secara tepat waktu dan teratur. Janji kedatangan bus setiap dua menit antara pukul 6 hingga 10 pagi pada hari Senin hingga Jumat di Koridor 1, misalnya, tidak menjadi kenyataan. Pada akhirnya, sepeda motor merupakan pilihan yang lebih baik. Yang Dapat Dilakukan Tidak ada perbaikan cepat untuk meningkatkan kinerja operasional TransJakarta. Upaya saat ini untuk membeli lebih banyak bus akan meningkatkan kapasitas bus, tapi tanpa intervensi lain, peningkatan keseluruhan mungkin akan minimal. Bus ukuran kecil dan besar digunakan di busway tanpa perencanaan yang tepat. Investasi yang memadai pada infrastruktur dan sistem tiket penumpang (lihat “Memahami Struktur Tarif dan Sistem Tiket Transportasi Umum di Jakarta” di halaman 17) diperlukan jika penambahan bus diharapkan memberi pengaruh yang diinginkan. Strategi yang disarankan untuk peningkatan kinerja memiliki rancangan sederhana, namun sulit untuk diterapkan. Strategi-strategi tersebut memerlukan kepemimpinan kuat dari pemangku kepentingan utama Jakarta. Empat strategi telah diusulkan untuk mengembangkan kinerja berkelanjutan bagi TransJakarta: Strategi Kelembagaan: Mendirikan perusahaan yang dimiliki dan dijalankan pemerintah berdasarkan konsep pengelolaan sistem busway, hubungan antarlembaga, dan kebijakan peraturan yang kuat. Strategi Perencanaan dan Investasi: Mengembangkan dan melaksanakan rencana usaha lima tahun yang didukung oleh investasi modal yang kuat dari pemerintah pada koridor, depot, dan teknologi transit,
12
dengan sasaran kinerja dan sistem pengukuran untuk akuntabilitas umum. Strategi Penumpang: Penegakan SPM yang menangani enam bidang kebutuhan utama penumpang: Keterandalan/Keteraturan; Keamanan; Keselamatan; Keterjangkauan; Kenyamanan dan Kemudahan Penggunaan; dan Kesetaraan. Strategi Pembangunan Kapasitas: Mengembangkan sistem pengelolaan dan operasional. Memutakhirkan kapasitas tim di dalam TransJakarta untuk merencanakan dan mengelola layanan bagi penumpang, dan menjamin agar mereka dapat mengendalikan kinerja operasional harian busway. Target kinerja konservatif berupa sekitar 650.000 penumpang per hari dan pengurangan subsidi hingga Rp 20 miliar per tahun (dari tingkat proyeksi jumlah saat ini yang sekitar Rp 83 miliar pada tahun 2014) merupakan sasaran yang mungkin tercapai pada tahun 2018 jika pendekatan pemasaran, investasi, dan kinerja yang mendukung naskah Rencana Usaha TransJakarta diadopsi. Mengkaji pendekatan untuk kontrak-kontrak operator bus juga dapat menguntungkan penumpang. Awal Baru yang Menjanjikan Keputusan membentuk perusahaan pemerintah baru untuk mengawasi pelayanan dan pengembangan masa depan TransJakarta merupakan awal yang menjanjikan untuk 2014. Badan baru ini diharapkan akan mengambil alih organisasi pada pertengahan 2014. Namun, Badan ini akan menghadapi tantangantantangan sulit terkait harapan jangka pendek masyarakat dan pengembangan jangka panjang yang berkelanjutan. Di bawah ini adalah beberapa prioritas yang harus dipertimbangkan oleh Badan baru bersama-sama dengan Dishub: Melakukan investasi pada depot bus milik pemerintah dan fasilitas pengisian bahan bakar layak yang berlokasi strategis. Ini akan
Prakarsa April 2014
meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan busway, dan penting bagi kinerja operasional. Diperkirakan, lebih dari 200 jam pelayanan hilang setiap harinya saat operator TransJakarta berusaha mengisi bahan bakar bus CNG. Operator harus menyewa kembali fasilitas depot sebagai bagian dari revisi model kontrak untuk pelayanan. Mengembangkan alternatif untuk menggunakan dana modal yang langka untuk membeli bus milik pemerintah. Layanan bus dapat dikontrakkan ke industri bus besar di sektor swasta di Indonesia – tapi menyertakan komponen modal untuk memungkinkan pembelian bus sektor swasta (dengan spesifikasi yang memastikan model bus cocok untuk panjang trayek, jumlah penumpang yang diperkirakan, dan sebagainya) merupakan pilihan yang lebih baik. Efeknya, akan ada lebih banyak modal untuk dibelanjakan untuk halte, perbaikan jalur busway, dan sistem informasi penumpang. Selain itu, operator akan memiliki lebih banyak kepentingan untuk menjamin agar bus mereka lebih terawat dan lebih dapat diandalkan. Melakukan investasi pada infrastruktur koridor. Ini penting untuk pencapaian kinerja jangka panjang dan peningkatan kapasitas layanan. Langkah-langkah yang harus diambil termasuk menambah jumlah bus gandeng yang ditentukan secara tepat, yang mampu membawa banyak penumpang dengan cepat; meningkatkan kualitas aspal busway; melebarkan jalur busway agar bus dapat lewat; menyediakan prioritas bus di persimpangan; dan perbaikan halte. Melakukan perencanaan yang tepat. Perencanaan yang dilakukan secara berhati-hati terhadap sasaran investasi dan peningkatan pelayanan sangat penting demi peningkatan yang berkesinambungan. Perencanaan harus dilakukan bersama Dishub guna menjamin terjadinya integrasi dengan layanan bus dan moda transportasi umum lainnya. Mengembangkan kemampuan dan keterampilan teknis dalam organisasi baru TransJakarta. Ini akan menjamin hubungan antarlembaga yang lebih baik, perencanaan yang lebih baik, dan pada akhirnya kendali yang lebih baik terhadap layanan busway yang teratur dan dapat diandalkan.
Atur lalu lintas mobil dan sepeda motor dengan memungut denda untuk penggunaan jalan sepanjang koridor busway dan meningkatkan biaya parkir di pusat-pusat niaga kota. Ini akan meneruskan kemajuan yang telah dicapai melalui peraturan/ peningkatan denda untuk “mensterilkan” jalur busway. Merencanakan waktu dijalankannya langkahlangkah ini dengan meningkatkan kapasitas busway, dan bekerja bersama lembaga pemerintah lain dan industri bus sektor swasta juga sangat penting bagi peningkatan jangka panjang. Keberhasilan itu Mungkin Dicapai Kinerja TransJakarta bukanlah tentang di mana TransJakarta diposisikan dibandingkan dengan sistem-sistem BRT lain di dunia. Melainkan tentang menetapkan sasaran penumpang, sasaran keuangan, dan standar pelayanan – dan mengembangkan sistem kelola dan operasional untuk mencapai sasaran kinerja yang diatur pemerintah. TransJakarta dapat memberikan kinerja yang diinginkan para pemangku kepentingan dan warga Jakarta, dan memenuhi perannya sebagai bagian dari sistem transportasi kota yang lebih luas. Diperlukan waktu dan kesabaran, serta kepemimpinan yang kuat dari perusahaan baru, perencana dan pengatur transportasi, dan partisipasi yang terus-menerus dari komunitas TransJakarta. n
CATATAN 1. Standar Pelayanan Minimal (SPM) sudah ada sejak beberapa waktu lalu. Namun, baru-baru ini SPM ditulis ulang dengan konteks peraturan provinsi baru yang didasarkan pada UU nasional. Standar yang baru kini digunakan untuk mendukung kualitas pelayanan yang diperoleh penumpang. Standar ini merupakan dokumen resmi dengan definisi, langkah, dan sasaran yang sangat ditentukan. Tentang penulis: Tom Elliott adalah pimpinan program IndII untuk Peningkatan TransJakarta. Artikel ini ditulis berdasarkan pekerjaan yang dilakukan oleh tim konsultan lapangan IndII untuk mengembangkan strategi peraturan dan kinerja, serta rencana implementasi lima tahun yang dikembangkan bersama TransJakarta antara bulan November 2012 hingga Maret 2014.
13
Prakarsa April 2014
Jadi, Mau Jalan-Jalan?
Kendaraan, pedagang kaki lima, dan pejalan kaki saling berebut menggunakan jalan yang sempit merupakan pemandangan khas jalanan di Jakarta.
Foto oleh Rahmad Gunawan
Banyak rintangan yang harus dihadapi oleh pejalan kaki di Jakarta. Namun, penelitian mengenai “walkability” (ukuran keramahan suatu daerah untuk berjalan kaki) dapat mendukung pembuat kebijakan dalam menangani persoalan ini. • Oleh Peter Midgley Berjalan kaki di sebagian besar kota-kota terutama di Asia Tenggara bukan hal yang mudah, Tetapi, di Jakarta ini hampir mustahil dilakukan. Dengan nilai lahan jalan yang sangat tinggi, sebagian besar dialokasikan untuk lalu lintas, sehingga lahan untuk trotoar hanya sedikit dan berjauhan serta terlalu sempit (lebar kurang dari dua meter) atau bahkan sama sekali tidak tersedia.
jalan). Di sebagian besar lokasi di Jakarta, sepertinya terdapat aturan tak tertulis bahwa trotoar jelas bukan untuk digunakan oleh pejalan kaki tetapi merupakan tempat yang dimaksudkan untuk memarkir sepeda motor dan mobil, atau mendirikan warung kaki lima. Semua orang melakukannya dan banyak orang mendapatkan penghasilan dari penarikan biaya atas hak parkir kendaraan atau mendirikan warung.
Jumlah trotoar yang tidak memadai di Jakarta dibuktikan oleh fakta bahwa Jakarta memiliki jalan sepanjang 7.200 kilometer, sedangkan panjang trotoar hanya 900 kilometer. Trotoar yang cukup lebar untuk berjalan kaki masih jarang, dan hanya ditemui di sepanjang jalan raya utama dan di kawasan bisnis yang baru dibangun. Sayangnya, itu merupakan daerah yang jarang dilewati pejalan kaki.
Lebih parah lagi, ketika lalu lintas macet total (dan ini sering terjadi) di sepanjang jalan yang memiliki trotoar yang memadai, pejalan kaki harus berbagi trotoar dengan motor (dan bahkan mobil) yang naik dan melaju di sepanjang trotoar untuk menghindari macet.
Di tempat lain, yang memang dilewati pejalan kaki, trotoar yang tersedia hanya sedikit seringkali terhalang oleh motor-motor yang diparkir dan pedagang kaki lima (PKL), sehingga orang terpaksa berjalan di jalan (yang mengurangi kapasitas lajur
14
Banyak jalur pejalan kaki yang rusak akibat kurangnya pemeliharaan atau hilangnya papan beton penutup selokan, menjadikannya berbahaya untuk berjalan kaki, terutama saat gelap. Terdapat juga tiang-tiang tidak berguna dan trotoar yang rusak sehingga pengendara motor pun bahkan enggan menggunakannya untuk parkir atau untuk menghindari kemacetan – tetapi tetap saja tidak bisa digunakan untuk berjalan kaki.
Prakarsa April 2014
Gambar 1: Parameter Survei Lapangan Walkability Clean Air Asia No
Parameter
Keterangan
1
Konflik Sarana Jalur Pejalan Kaki
Tingkat konflik antar pejalan kaki dan moda lain di jalan seperti sepeda, sepeda motor, dan mobil
2
Ketersediaan Jalur Pejalan Kaki
Kebutuhan, ketersediaan, dan kondisi jalur pejalan kaki. Parameter ini merupakan perubahan dari parameter “Pemeliharaan dan Kebersihan” dalam Global Walkability Index (Indeks Walkability Global)
3
Ketersediaan Jalur Penyeberangan
Ketersediaan dan panjang jalur penyeberangan untuk menjelaskan apakah pejalan kaki cenderung untuk jaywalk (menyeberang di sembarang tempat ) ketika tidak ada jalur penyeberangan atau jarak antara jalur penyeberangan yang ada terlalu jauh
4
Nilai Keselamatan Jalur Penyeberangan
Paparan moda lain saat menyeberang jalan waktu yang diperlukan untuk menunggu dan menyeberang jalan, dan waktu yang diberikan bagi pejalan kaki untuk menyeberang dengan lampu penyeberangan
5
Perilaku Pengendara Kendaraan Bermotor
Perilaku para pengendara kendaraan bermotor terhadap pejalan kaki sebagai indikator jenis lingkungan pejalan kaki
6
Fasilitas
Ketersediaan fasilitas pejalan kaki, seperti bangku, lampu jalan, toilet umum, dan pepohonan, yang secara signifikan meningkatkan daya tarik dan kenyamanan lingkungan pejalan kaki, dan juga, lingkungan sekitarnya
7
Infrastruktur untuk Penyandang Difabel/ Disabilitas
Ketersediaan, penempatan, dan pemeliharaan infrastruktur bagi penyandang difabel/disabilitas
8
Penghalang
Adanya penghalang permanen dan temporer pada jalur pejalan kaki. Ini sangat berpengaruh pada lebar efektif jalur pejalan kaki dan dapat mengakibatkan ketidaknyamanan bagi pejalan kaki
9
Keamanan dari Tindak Kriminal
Perasaan secara umum terhadap keamanan dari tindak kriminal pada bagian-bagian tertentu dari jalan
Jelas berjalan kaki sangat penting dan semua orang – bahkan pengguna mobil dan motor – pasti juga berjalan kaki di tempattempat tertentu dalam perjalanan mereka di Jakarta maupun di seputar Jakarta. Berjalan kaki juga memberikan akses ke dan dari layanan transportasi umum. Juga sangat penting bagi perempuan yang sangat mengandalkan transportasi umum. Selain itu juga menjadi sarana mobilitas satu-satunya bagi warga kurang mampu yang seringkali tidak punya alternatif lain. Oleh karena itu, jalur pejalan kaki adalah sarana transportasi yang sangat penting dan harus dipenuhi. Lihat Boks 1 mengenai sebuah prakarsa yang mendorong terwujudnya “walkability” (kenyamanan berjalan kaki) dan menganjurkan kegiatan berjalan kaki di Indonesia, www.jalan-kaki.org. Dan sepertinya Gubernur Jakarta, Joko “Jokowi” Widodo, sependapat. Menurut pemberitaan The Jakarta Post1, ia menggambarkan kondisi trotoar sebagai “tidak manusiawi” dan gagal menyediakan keselamatan yang memadai bagi pejalan kaki, serta menambahkan bahwa “perbaikan dan konstruksi akan segera dimulai.” Pemerintah selama masa jabatannya telah menetapkan target untuk membuat trotoar dengan paving sepanjang semua jalan raya di seluruh Jakarta hingga akhir 2014 dalam upaya memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Ini merupakan target yang
Sebuah Prakarsa untuk Walkability Indonesia Program Alumni of the Australia Awards – orang Indonesia penerima beasiswa dari Australia yang sangat kompetitif untuk melanjutkan pendidikan mereka yang berkaitan dengan pembangunan Indonesia di universitas-universitas Australia – telah membangun sebuah pusat informasi dan dukungan bagi semua orang di Indonesia untuk terlibat dalam isu-isu terkait walkability. Situs mereka, www.jalankaki.org, merupakan sumber artikel dan berbagi informasi penelitian dan mempromosikan manfaat berjalan kaki yang menggunakan bahasa Indonesia. Selain penelitian dan artikel, situs tersebut memberikan dorongan kepada para pejalan kaki, menjelaskan manfaat kesehatan dan memberikan kiat mengenai cara menghindari kebosanan selama berjalan kaki. Situs ini dibuat oleh Tim Infrastruktur dari Alumni Reference Group (ARG) Australia Awards. Ini merupakan salah satu dari beberapa kegiatan yang mereka lakukan, kegiatan lainnya antara lain kajian, yang dirancang untuk melengkapi penelitian serupa oleh Bank Pembangunan Asia di kota-kota lain, terkait walkability dan sarana pejalan kaki di Padang, Yogyakarta, dan Mataram. (Kajian tersebut mengungkapkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan situasi di ketiga lokasi tersebut.) Sebagaimana disinggung di situs Web ARG, Alumni Reference Group (ARG) – Indonesia Australia Awards diresmikan pada bulan Juni 2010 dan mewakili lebih dari 10.000 alumni Penghargaan Pemerintah Australia di Indonesia. ARG memberikan masukan kepada Pemerintah Indonesia dan Australia untuk mendukung dalam perumusan kebijakan masa mendatang.
ambisius, terutama karena trotoar yang diajukan sepertinya akan selebar delapan meter, dengan pohon-pohon di tepi jalan, termasuk pembangunan toko-toko kecil dan penyediaan bangku-bangku. Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta memiliki rencana untuk melaksanakan peningkatan tersebut (lihat Boks 2). Namun, merupakan tugas yang berat untuk membangun trotoar baru, meningkatkan yang sudah ada, dan menjamin bahwa trotoar tidak dilanggar oleh pengendara sepeda motor dan PKL. Survei komprehensif mengenai kondisi trotoar saat ini dengan mempertimbangkan walkability merupakan alat yang berharga dalam memenuhi tujuan-tujuan tersebut. Walkability adalah pengukuran seberapa bersahabatnya sebuah kawasan untuk dipakai berjalan kaki. Ini dapat diperoleh dengan melakukan
15
Prakarsa April 2014
Strategi Jakarta untuk Jalur Pejalan Kaki Sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta, Upaya Pemda DKI Jakarta dalam Meningkatkan Fasilitas Pejalan Kaki di Jakarta (dapat diunduh dari www.jalan-kaki. org) memberikan wawasan terhadap peningkatan jalur pejalan kaki yang telah direncanakan dan diselesaikan. Dokumen itu mencantumkan strategi pembangunan menyeluruh atas lima komponen: 1. Membangun dan menambah jalur pejalan kaki baru setiap tahunnya. 2. Melebarkan jalur pejalan kaki yang ada, idealnya berukuran 4–8 m. 3. Melibatkan peran serta masyarakat, terutama pemilik lahan yang berbatasan langsung dengan jalur pejalan kaki. 4. Meningkatkan kualitas jalur pejalan kaki dengan menambahkan fasilitas pendukung seperti ramburambu, bangku, dan tiang bollard (tiang pendek untuk menjaga pejalan kaki di trotoar dari bahaya yang bisa diakibatkan oleh kendaraan bermotor). 5. Meningkatkan lanskap sepanjang jalur pejalan kaki dengan penanaman pohon peneduh dan tanaman semak untuk meningkatkan estetika. Menurut dokumen ini, upaya yang dilakukan saat ini dan nantinya mencakup: 1. Membangun jalur pejalan kaki yang memadai baik dari sisi fungsi, estetika, dan ekologis. 2. Melanjutkan kegiatan pembangunan jalur pejalan kaki di kawasan strategis, lengkap dengan akses bagi penyandang disabilitas. 3. Pemasangan rambu untuk penyandang disabilitas sepanjang jalan Thamrin-Sudirman dan daerah sekitarnya dimulai dari sisi barat dan dilanjutkan sisi timur. 4. Melaksanakan pemeliharaan jalur pejalan kaki yang sudah ada.
“audit walkability” yang mengumpulkan data kuantitatif maupun kualitatif pada lingkungan pejalan kaki. Metode audit semacam itu telah dikembangkan oleh Clean Air Asia2 (CAA). CAA menggunakan survei walkability lapangan untuk menilai infrastruktur pejalan kaki yang memiliki volume pejalan kaki tinggi berdasarkan survei persiapan dan konsultasi dengan pemangku kepentingan lokal. Penilaian jalur lengkap (meliputi angka pejalan kaki, panjang jalur survei, kondisi infrastruktur,
16
lebar jalan raya, karakteristik lalu lintas kendaraan bermotor, dsb.) dilakukan untuk memberikan tinjauan komprehensif atas kondisi jalur pejalan kaki, dan survei lapangan ini menggunakan sistem peringkat “walkability” yang seragam berdasarkan sembilan parameter kualitatif (lihat Gambar 1). Petugas survei lapangan diminta untuk menilai rentang jalan yang terpilih dengan nilai 1 sampai 5 untuk setiap parameter (1 yang terendah, 5 yang tertinggi) di setiap jenis kawasan. Nilai rata-rata setiap parameter diterjemahkan menjadi sistem peringkat dari 0 (nilai terendah) hingga 100 (nilai tertinggi). Pendekatan CAA juga menggunakan Survei Wawancara Pejalan Kaki dan Survei Pemangku Kepentingan. Survei pertama menilai perjalanan (moda, waktu perjalanan, tujuan perjalanan, dsb.), preferensi (kebutuhan dan keinginan serta keprihatinan), dan karakteristik sosial pejalan kaki yang menggunakan trotoar dan sarana pejalan kaki di dalam kawasan audit walkability. Survei Pemangku Kepentingan menilai rintangan-rintangan utama dalam peningkatan sarana pejalan kaki. CAA mengembangkan “Aplikasi Walkability”3 untuk memungkinkan siapa saja untuk menjalankan audit walkability dan menyampaikan hasilnya kepada pihak berwenang. Aplikasi ini dapat digunakan di sistem operasi Android dan iPhone serta hasilnya dipetakan menggunakan GPS. Hasil dari Audit Walkability ini memberikan informasi yang tak ternilai bagi pembuat keputusan mengenai apa, di mana, dan bagaimana meningkatkan kondisi pejalan kaki dan memberi dukungan dalam menetapkan prioritas investasi perbaikan dan konstruksi. Saatnya berjalan kaki dan melakukan audit walkability! n
CATATAN 1. “Pedestrians to enjoy city sidewalks next year”, The Jakarta Post, 13 Oktober, 2013. 2. http://cleanairinitiative.org/portal/sites/default/files/documents/18_ Walkability_Survey_Tool_2011.pdf 3. http://walkabilityasia.org/2012/10/03/walkability-mobile-app/# Tentang penulis: Peter Midgley adalah Advisor untuk Mobilitas Perkotaan IndII dan Ketua Tim untuk Proyek Mobilitas Perkotaan Surabaya yang didanai IndII. Ia juga penerima penghargaan untuk kategori Mobilitas Perkotaan (Urban Mobility Theme Champion) dari global Transport Knowledge Partnership (gTKP). Peter telah berpengalaman dalam transportasi perkotaan selama lebih dari 40 tahun. Ia sebelumnya seorang staf Bank Dunia selama 25 tahun. Ia menyusun makalah strategi transportasi perkotaan regional untuk Bank Dunia yang pertama (“Transportasi Perkotaan di Asia: Agenda Operasional untuk tahun 1990-an” [“Urban Transport in Asia: An Operational Agenda for the 1990s”]) dan merupakan anggota tim inti yang merancang serta menjalankan strategi manajemen pengetahuan Bank Dunia. Sepanjang karirnya, ia mendukung kebutuhan mobilitas perkotaan yang berkelanjutan.
Prakarsa April 2014
Memahami Struktur Tarif dan Sistem Tiket Transportasi Umum di Jakarta
Transjakarta memperkenalkan e-ticket untuk penumpang pada bulan Januari 2013. Penumpang harus menempelkan e-ticket-nya di pintu putar ini untuk masuk halte. Atas perkenan Richard Iles
Sebagian besar moda transportasi umum di Jakarta memiliki sistem “tarif flat” yang tidak efisien. Sistem tiket elektronik yang canggih membuka kemungkinan untuk memperkenalkan struktur tarif yang lebih baik dan membuat transportasi umum lebih mudah bagi penumpang. • Oleh Richard Iles dan Rudi Wahyu Setiaji Tarif transportasi umum dapat menjadi isu emosional. Para penumpang sering berpikir bahwa mereka membayar lebih dari yang seharusnya, terutama jika kualitas layanan dianggap buruk – sebagaimana sering terjadi. Warga berpenghasilan rendah mungkin benar-benar merasa terbebani karena biaya untuk perjalanan penting menguras sebagian besar penghasilan mereka – keluarga besar yang memiliki beberapa anak usia sekolah, khususnya, sangat dirugikan.
Subsidi sering dipandang sebagai solusi, tapi sebenarnya memiliki kekurangan juga. Selain biaya yang dibebankan kepada wajib pajak, dan pengalihan dana dari hal-hal lain yang layak, subsidi dapat mengurangi dorongan apa pun yang dimiliki operator untuk menekan biaya operasional mereka: tanpa peraturan yang efektif maka subsidi dapat mendorong ketidakefisienan dan ada kecenderungan bahwa pengeluaran subsidi meningkat sementara kualitas layanan menurun. Ini bukanlah praktik berkelanjutan.
Di sisi lain, para operator transportasi sering mengeluh bahwa penghasilan mereka tidak cukup untuk menutup biaya dan memberi hasil yang memadai. Mereka menyatakan bahwa tingkat kenaikan tarif tidak sebanding dengan tingkat kenaikan biaya operasional, dan menyampaikan bahwa mereka tidak bisa memperoleh pendapatan yang cukup untuk bertahan tanpa memangkas hal-hal penting, seperti pemeliharaan. Sebagian besar dari mereka bahkan tidak bisa mempertimbangkan untuk mengganti kendaraan mereka yang sudah tua dan usang dengan yang baru, sehingga kendaraan-kendaraan yang sudah tua dan tampak berbahaya yang mengeluarkan kepulan asap hitam, menjadi pemandangan umum di Jakarta.
Di Jakarta, layanan bus cepat (Bus Rapid Transit [BRT]) Transjakarta disubsidi, tapi layanan transportasi umum berbasis jalan lainnya tidak. Kenyataan bahwa transportasi umum lain masih terus beroperasi menunjukkan bahwa mereka pasti mampu menutup biaya operasional: tapi harga yang harus dibayar adalah kualitas layanan yang buruk. Namun, faktor lain di dalam perhitungan ini adalah efisiensi operasional. Produktivitas rendah: di banyak rute terdapat terlalu banyak bus atau angkot, sehingga menimbulkan antrean panjang kendaraan di terminal yang menunggu muatan penuh sebelum berangkat. Penjadwalan layanan sesuai permintaan, sehingga hanya perlu mengoperasikan bus dalam jumlah secukupnya, akan mengurangi kebutuhan armada lebih
17
Prakarsa April 2014
Poin-Poin Utama: Tarif transportasi umum dapat menjadi isu emosional. Para penumpang sering berpikir bahwa mereka membayar lebih dari yang seharusnya, terutama jika kualitas layanan dianggap buruk. Para operator transportasi sering mengeluh bahwa penghasilan mereka tidak cukup untuk menutup biaya dan memberi hasil yang memadai. Apabila tarif tidak dinaikkan sebanding dengan tingkat kenaikan biaya operasional, maka pemeliharaan menyangkut hal-hal penting yang ditangguhkan. Subsidi sering dipandang sebagai solusi, tetapi subsidi dapat menghilangkan insentif di pihak pengusaha untuk menekan biaya, dan oleh sebab itu justru mendorong terjadinya ketidakefisienan. Di Jakarta, layanan bus cepat (Bus Rapid Transit [BRT]) Transjakarta disubsidi, tetapi layanan angkutan umum berbasis jalan tidak. Mereka masih mampu menutup biaya operasional, tetapi harga yang harus dibayar adalah kualitas layanan yang buruk. Keefisienan operasional pun dikorbankan. Faktor lain adalah cara pemungutan tarif. Pada sebagian besar rute bus di Jakarta, diberlakukan satu tarif tanpa memperhitungkan jarak perjalanan, meski jumlah yang dipungut beragam sesuai dengan jenis layanan, dan terkadang berbeda dari rute ke rute. Sistem satu tarif atau “flat fare” tersebut memiliki kelebihan dari segi kesederhanaan, mengurangi waktu penumpang menaiki angkutan, serta mencegah penumpang melakukan perjalanan lebih jauh dari jarak yang mereka bayar. Namun sistem ini memiliki kelemahan juga. Penumpang yang melakukan perjalanan jarak pendek dikenakan biaya per kilometer lebih tinggi, sedangkan mereka yang menempuh perjalanan dengan jarak lebih jauh sering kali harus berganti bus karena bagi operator bus tidak ekenomis untuk melayani rute jarak panjang. Jika tarif yang dipungut lebih mendekati perhitungan jarak yang ditempuh, akan dapat disediakan jaringan rute yang lebih nyaman, dan para pengusaha dapat mengoptimalkan pendapatan dari tarif mereka. Namun demikian, semakin rumit struktur tarifnya, pada gilirannya akan diperlukan sistem pengendalian pendapatan atau sistem pengaturan tiket yang lebih rumit. Sistem pengaturan tiket elektronik yang canggih tidak hanya memungkinkan penerapan struktur tarif yang rumit, melainkan dapat membuat penggunaan layanan angkutan umum jauh lebih mudah. Sistem “e-ticketing” atau pengaturan tiket secara elektronik juga dapat menyediakan data berharga tentang pergerakan penumpangan yang dapat bermanfaat untuk tujuan perencanaan.
lanjut, dengan pengurangan yang sepadan dalam hal biaya. Selain itu, kebanyakan bus yang beroperasi di Jakarta tidak sesuai untuk layanan yang diberikan. Sebagian besar terlalu kecil: hanya beberapa bus lebih besar yang menyediakan kapasitas yang sama, dengan modal dan biaya operasional per penumpang yang lebih sedikit; bus-bus ini juga hanya menggunakan ruang jalan yang lebih sempit per penumpangnya. Faktor lain adalah cara pemungutan tarif. Di sebagian besar rute bus di Jakarta, ongkosnya tidak berbeda-beda, terlepas dari jarak perjalanan, meski jumlah yang dipungut beragam sesuai dengan jenis layanan, dan terkadang berbeda dari rute ke rute. Contoh tarif yang dipungut di Jakarta adalah: • • • •
Angkot atau Mikrolet Rp 2.500 BRT Transjakarta Rp 3.500 Bus biasa (ukuran sedang atau besar) Rp 3.000 Bus dengan pengatur suhu udara/AC ( ukuran sedang atau besar) Rp 5.000
Ini dikenal sebagai sistem “tarif flat”. Sistem ini memiliki kelebihan tertentu. Penumpang tidak bisa menumpang secara gratis (“override”), atau melakukan perjalanan lebih jauh dari jarak yang mereka bayar. Tugas kernet dapat disederhanakan dan waktu menaikkan penumpang berkurang jika penumpang membayar
18
saat masuk. Sistem ini dapat meniadakan kebutuhan sistem pertiketan dan biaya petugas. Tetapi sistem ini juga memiliki kelemahan. Jika semua atau sebagian besar penumpang melakukan perjalanan dengan jarak yang kurang-lebih sama, tarif tersebut dapat ditetapkan sesuai dengan rata-rata biaya perjalanan, dan akan mirip dengan tarif yang dikenakan berdasarkan sistem tarif bertingkat berbasis jarak. Situasi ini mungkin muncul bila semua penumpang melakukan perjalanan dengan jarak penuh dari ujung ke ujung rute, atau bila semua menempuh jarak pendek yang kira-kira sama, dengan tingkat pergantian penumpang yang tinggi di sepanjang rute. Namun, bila jarak perjalanan masing-masing orang berbeda jauh, sebagaimana umumnya terjadi, penumpang yang bepergian dengan jarak pendek akan membayar lebih mahal per kilometernya daripada mereka yang bepergian dengan jarak lebih jauh, dan kesenjangan itu menjadi jauh lebih besar ketika panjang rute bertambah. Oleh karena itu, khususnya untuk rute panjang, tarif flat dapat dianggap tidak adil. Selain itu, rute-rute yang rata-rata jarak perjalanan penumpangnya panjang dapat menjadi tidak ekonomis untuk dilayani dengan sistem tarif flat, kecuali tarif ditetapkan pada tingkat tertinggi untuk rute tersebut. Tapi hal ini mungkin akan menghalangi penumpang jarak pendek yang harus membayar tarif tinggi untuk perjalanan singkat – dan mereka akan memilih layanan alternatif yang lebih murah, seperti yang disediakan oleh ojek.
Prakarsa April 2014
Sistem tarif flat sering menyebabkan para operator terdorong untuk memilih rute pendek, dengan tujuan memaksimalkan potensi pendapatan. Penumpang jarak pendek umumnya senang-senang saja dengan tarif rendah, tapi penumpang jarak jauh terpaksa harus berganti kendaraan sebanyak dua rute atau lebih, sehingga pada dasarnya mereka membayar tarif berbasis jarak, tapi juga mengalami ketidaknyamanan karena harus berganti kendaraan. Bagaimanapun sistem itu diterapkan, kecuali ada subsidi besar, sistem tarif flat pasti menjadi kendala terhadap pilihan jaringan rute, dan sering mengakibatkan layanan yang tidak nyaman. Jika tarif yang dipungut lebih mendekati perhitungan jarak yang ditempuh, akan dapat disediakan jaringan rute yang lebih nyaman, dan para operator dapat mengoptimalkan pendapatan tarif mereka. Namun, semakin rumit struktur tarif pada gilirannya akan memerlukan sistem pengaturan pendapatan atau sistem tiket yang lebih rumit. Tetapi hal ini juga akan memberikan peluang peningkatan. Sistem tiket elektronik (e-Ticket) yang canggih tidak hanya memungkinkan pengenalan struktur tarif yang rumit tetapi juga membuat penggunaan layanan transportasi umum menjadi lebih mudah. Sebagai contoh, penumpang dapat menggunakan tiket yang sama untuk perjalanan menggunakan bus, kereta, atau taksi mana pun di dalam wilayah yang besar, hanya dengan menggesek tiket saat masuk dan meninggalkan stasiun, dan saat naik atau turun bus. Tidak perlu mengeluarkan uang tunai, dan peluang penipuan juga sangat berkurang. Sistem e-ticket juga dapat memberikan data yang berharga tentang pergerakan penumpang, yang dapat digunakan oleh operator dan pembuat kebijakan untuk merencanakan dan secara terus-menerus melakukan pemantauan dan menyempurnakan layanan, demi kepentingan semua pihak. Sistem semacam ini menjadi semakin umum di seluruh dunia: contoh-contoh terdekat dapat ditemukan di Hong Kong dan Singapura. Kesimpulannya, dengan kendaraan yang tepat, dioperasikan secara efisien, dan dengan struktur tarif yang pantas serta sistem tiket yang efektif, mayoritas layanan transportasi umum di Jakarta seharusnya dapat beroperasi tanpa subsidi, dengan tingkat tarif yang tidak jauh berbeda dari tarif yang ditetapkan saat ini. Namun, penting diperhatikan bahwa tarif harus dikaji ulang secara teratur dan disesuaikan untuk menutup setiap kenaikan biaya operasional. Penting untuk menetapkan kenaikan tarif secara “sedikit dan sering” daripada jarang-jarang sebagaimana terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Semakin lama kenaikan tarif ditunda, semakin besar kenaikannya ketika sudah tidak bisa ditunda lagi – dan itu yang selalu menciptakan kegelisahan. Manfaat lain dari sistem tiket elektronik adalah bahwa tarif tidak perlu terikat pada denominasi uang koin atau kertas: nilai berapa pun dapat diterapkan jika tidak perlu lagi menangani uang tunai atau memberikan kembalian. Jadi kenaikan atau variasinya bisa kecil dan sering, dengan dampak minimal. Ada potensi besar untuk peningkatan dengan merombak sistem kendali pendapatan, yang saat ini sebagian besar dilakukan berdasarkan prinsip kasar “setoran” (lihat boks teks). Sistem
Sistem Setoran Saat ini, layanan bus non-BRT dan angkot dioperasikan berdasarkan prinsip “setoran”, yaitu sopir diharuskan membayar sejumlah uang tetap kepada operator bus setiap harinya; setelah pengeluaran-pengeluaran tertentu terpenuhi (umumnya termasuk biaya bahan bakar, dan gaji kernet, jika ada), kelebihan yang ada diambil oleh sopir sebagai penghasilannya. Ini adalah sistem pengoperasian yang ditemukan di sebagian besar negara berkembang yang memiliki kapasitas pengaturan dan pengelolaan terbatas. Sistem setoran menyederhanakan pengendalian pendapatan bagi pemilik atau operator bus, karena penghasilan terjamin sesuai jumlah yang telah ditetapkan, tanpa harus mengawasi layanan yang diberikan. Khususnya, sistem ini menghilangkan masalah pencurian uang tarif, yang selalu dihadapi oleh operator yang lebih resmi, dan yang memerlukan langkah-langkah kuat untuk mengendalikannya. Keharusan sopir membayar biaya bahan bakar dari pendapatan tarif menghilangkan masalah umum operator lainnya – yaitu pencurian bahan bakar. Namun, setoran memiliki kelemahan-kelemahan yang serius. Tanpa menggunakan tiket, sistem tarif flat menjadi hampir wajib; tidak ada informasi tentang permintaan penumpang dan pola perjalanan yang dapat diambil dari sistem tiket; dan sopir, yang memiliki dorongan untuk memaksimalkan pendapatannya, mungkin tergoda untuk mengemudi dengan cara yang berbahaya (ugal-ugalan) dan terlibat dalam praktik yang tidak diinginkan, seperti merintangi kendaraan pesaing atau mengusir penumpang sebelum mencapai akhir rute agar bisa berbalik dan mengambil penumpang yang menunggu di arah sebaliknya. Kecuali layanan dikendalikan secara ketat, akan ada kecender ungan terjadi pasokan yang berlebihan pada jam-jam tertentu, dan tingkat layanan yang terlalu rendah ketika permintaan juga rendah. Dengan menggunakan sistem setoran, tidak mungkin terlaksana prosedur penjadwalan yang rumit, dengan frekuensi pengoperasian direncanakan bervariasi dalam satu hari, pada harihari yang berbeda dalam sepekan, dan di ruas-ruas yang berbeda dalam suatu rute guna mengoptimalkan pemanfaatan kendaraan (dan meminimalkan biaya), karena para sopir tidak akan mau menerima pengaturan yang dapat mengakibatkan beberapa bus memperoleh pendapatan lebih banyak dari yang lain. Sistem setoran tidak memiliki tempat di dalam sistem transportasi umum resmi dan terorganisasi.
e-ticket dasar sudah terpasang pada sistem Transjakarta dan kereta penumpang (commuter rail). Pada akhirnya, mengganti sistem ini dan sistem setoran dengan sistem tiket canggih untuk semua jaringan moda, dengan skala tarif dan struktur yang lebih fleksibel, akan memainkan peran penting dalam proses membawa sistem transportasi umum Jakarta ke abad 21. n Tentang para penulis: Informasi biografi tentang para penulis dapat dilihat di halaman 9.
19
Prakarsa April 2014
Melibatkan Sektor Swasta dalam Penyediaan Layanan Transportasi Umum
Kopaja merupakan salah satu operator bus swasta di Jakarta. Atas perkenan Richard Iles
Layanan transportasi di Jakarta disediakan oleh gabungan antara operator pemerintah dan swasta, baik yang formal maupun informal, yang tidak terorganisir dengan baik. Untuk menjamin bahwa masyarakat memiliki akses terhadap layanan yang aman, menarik, dengan tarif terjangkau, Pemerintah harus mengubah lingkungan yang saat ini diregulasi dengan buruk. • Oleh Richard Iles dan Rudi Wahyu Setiaji Banyak organisasi pemerintah dan swasta, dan individu yang terlibat dalam penyediaan layanan transportasi umum di Jakarta, terkadang secara tumpang tindih. Contohnya, layanan bus di Jakarta dioperasikan baik oleh perusahaan pemerintah maupun swasta, dan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI telah terlibat dalam pengadaan kendaraan yang akan dioperasikan oleh perusahaan swasta. Beberapa fungsi diakui secara internasional paling efektif bila dijalankan oleh pemerintah, sementara yang lain lebih efektif dijalankan oleh sektor swasta. Dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengidentifikasi peran yang paling tepat bagi kedua sektor tersebut. Sejak pertama kali layanan transportasi umum diadakan, di banyak negara,
20
pendulum dominasi mengayun di antara kedua sektor tersebut. Ini masih terjadi, namun sebuah konsensus telah kurang-lebih dicapai terkait peran paling tepat untuk masing-masing sektor. Umumnya diakui bahwa fungsi seperti perencanaan dan regulasi layanan transportasi umum perkotaan dan penyediaan infrastruktur paling baik dilakukan oleh badan pemerintah. Fungsi lainnya, seperti kepemilikan kendaraan dan penyediaan layanan itu sendiri, lebih tepat diserahkan kepada sektor swasta. Namun pembedaan ini tidak selalu jelas. Contohnya, beberapa fungsi pemerintah, seperti inspeksi kendaraan atau perencanaan jaringan trayek, dapat dialihdayakan ke sektor swasta, sementara beberapa infrastruktur (seperti garasi bus) dapat dikuasai oleh pemerintah maupun swasta. Namun secara umum, pemerintah
Prakarsa April 2014
harus bertanggung jawab untuk melakukan regulasi terhadap layanan transportasi yang disediakan oleh operator swasta. Apabila kapabilitas sektor swasta terbatas, pemerintah seringkali tergoda untuk melakukan intervensi dan menyediakan layanan secara langsung, namun ini jarang berhasil. Perusahaan transportasi milik negara di seluruh dunia, terutama perusahaan bus, jarang mampu menutupi biaya, dan cenderung menyediakan layanan yang rendah dibandingkan perusahaan sejenis dari sektor swasta.
karena infrastruktur tersebut merupakan investasi jangka panjang, terkadang disediakan oleh pemerintah, yang mendanai konstruksinya menyediakannya untuk operator berdasarkan ketentuan komersial. Terminal bus di Jakarta disediakan dan didanai oleh Pemda DKI. Hanya terdapat beberapa garasi bus atau bengkel, dan semuanya dimiliki oleh operator bus yang lebih besar, baik di sektor swasta maupun pemerintah.
Iidealnya, pemerintah, melalui regulasi yang tepat yang ditegakkan secara efektif, akan memberikan lingkungan yang memungkinkan usaha swasta dapat beroperasi secara efisien dan menguntungkan. Pemerintah dapat menyediakan beberapa atau semua infrastruktur, namun sektor swasta biasanya akan bertanggung jawab atas pengadaan dan pendanaan seluruh kendaraan dan peralatan.
Saat ini ada dua perusahaan bus milik pemerintah, yaitu PPD (Pengangkutan Penumpang Djakarta), yang dimiliki oleh Pemda DKI, dan DAMRI (Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia), yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. PPD menjalankan bus besar di trayek umum; DAMRI menjalankan layanan Lintas Bus Cepat (BRT, Bus Rapid Transit) di bawah kontrak dengan TransJakarta, yang akan menjadi perusahaan bus kota pada tahun 2014 berdasarkan peraturan yang dikembangkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai Pemerintah Australia.
Terminal bus umumnya didanai oleh sektor publik, seperti halnya di Jakarta. Garasi dan bengkel seringkali didanai oleh operator yang menggunakannya; tetapi
Selama bertahun-tahun, PPD memonopoli layanan bus di Jakarta. PPD pernah beroperasi di ratusan trayek dengan armada sejumlah lebih dari 2.000 bus.
Poin-Poin Utama: Banyak organisasi pemerintah dan swasta dan individu yang terlibat dalam penyediaan layanan transportasi umum di Jakarta. Terminal bus disediakan dan didanai oleh Pemda DKI. Bengkel dan garasi dimiliki oleh operator bus yang lebih besar. Dua perusahaan bus di Jakarta dimiliki pemerintah. Pemda DKI menjalankan PPD, yang mengoperasikan bus besar di trayek umum. DAMRI, dimiliki oleh Pemerintah Pusat, mengoperasikan Bus Rapid Transit (BRT) berdasarkan kontrak dengan TransJakarta, yang akan menjadi perusahaan bus kota pada tahun 2014. Pangsa pasar PPD menurun sejak operator swasta memasuki pasar, dan armada busnya sudah tua. Ada beberapa operator bus swasta, beberapa di antaranya berbentuk koperasi. Beberapa operator swasta itu menjalankan BRT di bawah kontrak dengan TransJakarta, biasanya sebagai anggota konsorsium. Di dalam sektor swasta, sebagian besar industri transportasi umum bersifat informal dan tidak selalu memberikan layanan yang aman dan efisien. Peran-peran ini harus didefinisikan ulang dan dilakukan penugasan ulang peran, jika diperlukan, sehingga baik sektor formal maupun informal bertanggung jawab atas layanan yang paling sesuai bagi masing-masing pihak. Pemerintah harus mengubah lingkungan informal dengan regulasi yang buruk saat ini menjadi lingkungan yang mendorong pengembangan sektor transportasi swasta yang efisien yang dapat memberikan layanan yang aman, menarik, dengan tarif terjangkau.
21
Prakarsa April 2014
Saat kapabilitas sektor swasta terbatas, pemerintah seringkali tergoda untuk melakukan intervensi dan menyediakan layanan secara langsung, namun ini jarang berhasil. Sejak operator swasta memasuki pasar, PPD lebih berkonsentrasi pada layanan dasar untuk kelompok berpendapatan lebih rendah; pangsa pasarnya terus menurun. Saat ini, PPD memiliki 370 bus berusia tua, yang diantaranya terdapat sekitar 250 diantaranya dioperasikan setiap hari di 32 trayek. Usia rata-rata armada adalah 15 tahun, dan bus yang tertua sudah berusia lebih dari 20 tahun. Ada beberapa operator bus swasta, yang utama adalah Mayasari Bhakti, Metro Mini, Kopaja, Kopami, Steady Safe, Ratax, Pahala Kencana, Primajasa Perdanarayautama, Ekasari Lorena, dan Bianglala. Mayasari Bhakti merupakan operator terbesar untuk bus besar; Metro Mini dan Kopaja adalah koperasi yang mengoperasikan sejumlah besar bus ukuran menengah. Beberapa dari operator ini juga terlibat dalam pengoperasian layanan BRT di bawah kontrak dengan TransJakarta, biasanya sebagai anggota konsorsium. Di dalam sektor swasta, sejumlah besar industri transportasi umum dapat diklasifikasikan sebagai informal: individu dan usaha kecil yang memiliki satu atau dua kendaraan, yang disewakan ke pengemudi dan dioperasikan dengan cara yang relatif tidak terorganisir dengan baik. Kelemahan dalam penjadwalan dan sistem setoran (dalam sistem ini pengemudi membayar jumlah tertentu kepada operator bus setiap hari dan mengantongi kelebihannya setelah menutupi biaya operasional tertentu; lihat boks di halaman 18 untuk perinciannya) menjadikan perencanaan dan pengendalian layanan yang sesuai tidak mungkin dilakukan, dan bertentangan dengan penyediaan layanan yang aman dan efisien yang selaras dengan kebutuhan penumpang. Meski demikian, sektor informal ini memiliki peran untuk dimainkan, terutama dalam penyediaan layanan yang memenuhi kebutuhan mendadak (demand-responsive) seperti yang diberikan oleh taksi, bajaj, dan ojek. Peran-peran ini harus didefinisikan ulang dan dilakukan penugasan ulang peran, jika diperlukan, sehingga baik sektor formal maupun informal bertanggung
22
jawab atas layanan yang paling sesuai bagi masingmasing pihak. Pengurangan peran sektor informal dan formalisasi layanan bus akan diperlukan. Seluruh layanan terjadwal (terutama yang dioperasikan oleh bus, tetapi juga termasuk angkot atau mikrolet) harus dioperasikan oleh organisasi formal yang terstruktur dan dikelola dengan sesuai (seperti perusahaan atau koperasi). Layanan demand-responsive individu seperti taksi, bajaj, dan ojek dapat disediakan oleh operator informal, meskipun tidak ada alasan bagi perusahaan formal untuk tidak menyediakan layanan tersebut bila mereka menginginkannya. Selain bus yang dioperasikan untuk BRT, mayoritas bus dan angkot sudah sangat tua dan dalam kondisi buruk, dan sudah melampaui batas waktu untuk diganti. Salah satu alasan kurangnya investasi untuk bus dari operator swasta di Jakarta adalah lingkungan operasionalnya tidak memungkinkan mereka untuk mendapatkan cukup penghasilan untuk mendanai pemeliharaan dan penggantian bus dengan tepat. Sebagai solusi jangka pendek, Pemda DKI memilih untuk menangani masalah kekurangan bus dengan membeli bus baru sendiri: ini akan dioperasikan oleh TransJakarta, sebuah operator sektor publik. Namun, dalam jangka panjang, solusinya adalah agar pemerintah menangani penyebab masalah itu, yaitu mengubah lingkungan informal dengan regulasi yang buruk saat ini menjadi lingkungan yang mendorong pengembangan sektor transportasi swasta yang layak dan dijalankan secara efisien yang menyediakan layanan yang aman, menarik, dengan tarif terjangkau. Ini jauh lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan dengan membeli bus, tetapi akan menghasilkan manfaat yang dapat bertahan lebih lama. Tantangan yang dihadapi pemerintah adalah untuk mengelola transisi ini – namun ini tantangan yang sangat layak untuk diambil. n Tentang para penulis: Informasi biografi mengenai para penulis dapat dilihat di halaman 9.
Prakarsa April 2014
Berjuang untuk Mobilitas: Bagaimana Penyandang Disabilitas Mengakses Sistem Transportasi Jakarta Orang-orang yang berdesak-desakan, tangga dengan undakan tinggi, audio yang rusak, dan jarak lebar untuk dilangkahi adalah gangguan kecil bagi mereka yang bukan penyandang disabilitas. Namun bagi para penyandang disabilitas, hal-hal tersebut merupakan tantangan yang sangat besar dalam penggunaan transportasi umum. • Oleh Eleonora Bergita Jika Anda pernah merasa frustrasi ketika mencoba menggunakan fasilitas transportasi umum di Jakarta, bayangkan bagaimana bila Anda mempunyai kesulitan melihat, mendengar, atau bergerak. Bagi penyandang disabilitas, bepergian di Jakarta untuk keperluan sehari-hari seperti bekerja dan rekreasi tentu bisa menjadi kesulitan tersendiri. Dibutuhkan keberanian untuk menghadapi tantangan dalam menggunakan bus, kereta api, dan sarana transportasi umum lainnya. Prakarsa berbincang dengan beberapa penyandang disabilitas yang menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut secara rutin, untuk mendapatkan wawasan mengenai pengalaman mereka dan mencari informasi perubahan pada sistem seperti apa yang akan menjadikan perjalanan mereka lebih mudah. Dari Bus ke Kereta Api Ferry Jansen Situngkir, 41 tahun, bekerja di Biro Pelayanan Penyandang Cacat (BPPC), yang didirikan oleh Keuskupan Agung Jakarta. Ia melakukan perjalanan setiap hari dari rumahnya di Bekasi ke kantornya di Pasar Baru. Selama bertahun-tahun ia bepergian menggunakan bus kota, meskipun banyak kesulitan dan ketidaknyamanan yang dialaminya sebagai seorang tunanetra, karena setidaknya ia sudah akrab dengan rutinitas tersebut. Setelah 14 tahun mengalami banyak permasalahan, dan dorongan dari orang lain yang juga tunanetra, ia memutuskan untuk beralih ke kereta api komuter (KRL, Kereta Rel Listrik) – Kini ia senang dengan keputusan yang telah diambilnya. Ferry naik bus kota dari Bekasi sampai ke pemberhentian sekitar 100m dari kantornya. Waktu perjalanan yang tidak pasti kadang membuatnya terlambat sampai di tempat kerja hingga empat jam. Kadang ia harus berdiri di sepanjang perjalanannya, jika tidak ada penumpang yang dapat melihat memberitahukan kepadanya bahwa ada kursi kosong
Berjalan kaki di Jakarta dapat memakan waktu jauh lebih lama bagi seorang tunanetra, yang tidak dapat melihat halangan dan bahaya yang harus dihindari. Atas perkenan Eleonora Bergita
yang tersedia. Setelah turun dari bus, perjalanan kaki ke kantornya – yang hanya akan membutuhkan sekitar 10 menit bagi orang yang bisa melihat – baginya memakan waktu 30 sampai 40 menit dengan susah payah. Kadang ia menabrak bus atau benda lain yang menghalangi ketika mencoba untuk mencapai trotoar; ini selalu merupakan sebuah tantangan baginya karena busnya tidak berhenti di tempat yang sama setiap hari. Ia menelusuri pinggiran trotoar di sisi kanan jalan raya dengan tongkat bantu putihnya; di sebelah kiri ada berbagai macam kendaraan bermotor (mikrolet, bajaj, dan ojek) yang tengah berhenti untuk menunggu penumpang. Sebagai pejalan kaki di jalan raya, ia selalu berisiko disambar kendaraan. Kenangannya yang paling tidak menyenangkan adalah ketika jalan tergenang banjir dan ia harus berjalan melewatinya. Secara keseluruhan, peralihan ke kereta api komuter merupakan suatu kemajuan besar. Ferry mempunyai ojek langganan yang diperbolehkan masuk ke tempat
23
Prakarsa April 2014
parkir tanpa dikenai biaya melalui pintu masuk bagi penyandang disabilitas, yang menjadikan jarak baginya untuk berjalan kaki ke kereta menjadi lebih pendek dan lebih aman. Ia menaiki tangga, dan kemudian diantar ke peron kereta api oleh petugas KRT yang ramah. Petugas tersebut biasanya bertanya kepada Ferry mengenai rencana perjalanannya, kemudian menyampaikan informasi ini kepada petugas di gerbong kereta api, yang selanjutnya memastikan ia duduk di tempat yang dikhususkan bagi perempuan hamil, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas. Menurut Ferry penumpang kereta api sepertinya lebih ramah daripada mereka yang naik bus. Ia sering menerima tawaran bantuan pada saat menggunakan tangga di Stasiun Juanda, di mana ia turun untuk pergi bekerja.
Meski demikian, beberapa tantangan lain dihadapinya saat menggunakan kereta api. Di beberapa stasiun, seperti stasiun Klender, terdapat lantai peron sangat tinggi, sehingga orang tidak bisa keluar dari pintu meskipun dalam keadaan terbuka. Jika ia berada di salah satu gerbong belakang, tidak mungkin baginya untuk keluar, sehingga ia dan penumpang lainnya harus berjalan ke gerbong depan. Selama jam sibuk, kereta api sangat ramai, sehingga sulit untuk berjalan melalui gerbong. Untuk keluar dari kereta api juga sulit di stasiun Kranji di Bekasi dalam perjalanan pulang. Jarak berjalan kaki yang jauh harus dicapai melalui beberapa tangga untuk mencapai pintu keluar stasiun. Di depan stasiun terdapat ruang terbuka yang luas dengan banyak rintangan dan kendaraan yang bergerak. Pengaturan
Poin-Poin Utama: Bagi penyandang disabilitas, bepergian di Jakarta untuk keperluan sehari-hari, seperti bekerja dan rekreasi, bisa menjadi sulit. Ferry Jansen Situngkir, seorang tunanetra, melakukan perjalanan setiap hari dari rumahnya di Bekasi ke kantornya di Pasar Baru. Selama 14 tahun ia bepergian naik bus, kadang berdiri di sepanjang perjalanannya jika tidak ada penumpang lain yang bisa melihat memberitahunya ada kursi kosong yang tersedia, kemudian berjalan kaki selama 30 sampai 40 menit, menabrak rintangan dan menghadapi risiko tersambar oleh kendaraan bermotor. Keputusan beralih ke kereta api komuter telah membawa kemajuan besar, karena ia diperbolehkan masuk stasiun melalui pintu masuk khusus dan kemudian dibantu oleh petugas kereta api. Meski demikian, ia masih menghadapi kesulitan, seperti keluar dari kereta api yang ramai, menaiki tangga berundakan tinggi, dan berjalan melalui ruang luas yang hampir tidak menawarkan petunjuk tentang lokasi keberadaannya. Ia merekomendasikan lebih banyak pengumuman audio mengenai stasiun pemberhentian, pengaturan tempat duduk prioritas yang lebih efektif bagi penyandang disabilitas, dan lajur serta tiang khusus yang dapat membantu penyandang tunanetra untuk mengidentifikasi posisi tempat mereka berada. Ignatius Tuntas Wijaya (Wiwid), juga seorang tunanetra dan pengguna bus TransJakarta secara rutin. TransJakarta secara aktif melakukan peningkatan sehingga busnya menjadi lebih ramah bagi penyandang disabilitas dan ini membantu Wiwid merasa nyaman menggunakan bus TransJakarta karena ia biasanya dapat menemukan arah di dalam halte bus dan petugasl sering membantu dalam mengawalnya ke tempat duduk atau keluar menuju moda transportasi berikutnya setelah ia turun dari bus. Namun sering tidak adanya pengumuman audio menimbulkan lebih banyak stres dalam perjalanannya. Cucu Saidah, yang menggunakan kursi roda, adalah anggota Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT), yang melakukan advokasi untuk transportasi yang lebih mudah diakses dan menjalankan edukasi publik mengenai isu terkait disabilitas. Cucu melihat ada banyak bus baru yang telah mengakomodasi kursi roda dan merasa bahwa sikap para personil bus TransJakarta sering positif. Tetapi, ia juga mempunyai pengalaman negatif, seperti kursi roda yang tersangkut. Bagi penyandang disabilitas, transportasi umum tidak hanya bisa menjadi sulit, tapi juga lebih mahal, karena mereka harus lebih mengandalkan taksi dan moda transportasi serupa. Ferry memperkirakan bahwa ia menghabiskan sekitar sepertiga dari penghasilannya untuk biaya transportasi. Ia berharap bahwa Indonesia akan mencapai tahap di mana desain yang ramah disabilitas, subsidi, dan masyarakat yang berpendidikan memunculkan fasilitas transportasi umum yang terjangkau, mudah diakses, nyaman, dan aman bagi semua.
24
Prakarsa April 2014
seperti ini rumit bagi penyandang tunanetra. Seperti dijelaskan Ferry, “Kami jago kalau melewati lorong, karena kami bisa meraba sisi kanan dan kiri dengan tongkat, tetapi menjadi sangat bermasalah ketika berada di tempat yang terbuka, karena kami jadi kehilangan arah.” Saran untuk Peningkatan Ferry, yang istrinya juga tunanetra dan yang mempunyai rasa frustrasi yang sama terhadap transportasi umum, mengetahui apa yang akan membuat perjalanannya lebih aman dan lebih mudah. Salah satu pilihan adalah lajur khusus yang ditandai dengan tiang atau benda serupa untuk membantu penyandang tunanetra masuk dan keluar dari stasiun kereta api dengan aman dan secara mandiri. Tanpa alat-alat bantu tersebut, ia kadang mengalami disorientasi dan kepalanya terbentur. Terkadang ia meminta sesama penumpang untuk memberitahu di mana letak beberapa benda penanda; tetapi karena penumpang seringkali bergegas ke tujuan mereka, hal ini tidak selalu dimungkinkan. Menurut Ferry pengumuman audio mengenai pemberhentian selanjutnya sangat penting, dengannyaia tidak harus menghitung jumlah stasiun pemberhentian untuk memastikan agar stasiun yang hendak ditujunya tidak terlewatkan. Meskipun ia cukup puas dengan layanan dari petugas kereta api, ia menyatakan bahwa masih ada ruang untuk peningkatan di berbagai bidang seperti komunikasi antara petugas di kereta api dan di stasiun untuk menyampaikan informasi kepada petugas bahwa ada penyandang tunanetra atau penyandang disabilitas lain di gerbong kereta api tertentu. Ini akan memfasilitasi mereka untuk turun dari gerbong kereta sedang sangat ramai. Menurut Ferry, sebagai penyandang tunanetra yang bertubuh sehat tidak mudah baginya untuk turun dari kereta; apalagi untuk penyandang disabilitas lain yang misalnya menggunakan kruk (alat bantu berjalan) – terutama jika penumpang mendorong dan menekan dari belakang tanpa menyadari ada seorang penyandang disabilitas yang berada di depan mereka. Ferry berharap bahwa di masa depan perusahaan kereta api akan mempertimbangkan pemisahan gerbong khusus untuk para penyandang disabilitas, seperti gerbong yang dikhususkan untuk perempuan. Ferry senang ketika ia bisa berbagi pengetahuan mengenai bagaimana cara menggunakan transportasi umum dengan orang lain yang juga tunanetra. Nasihat dari sesama penyandang tunanetra lebih berguna daripada saran dari orang yang bisa melihat, “Sesama
penyandang tunanetra dapat memberikan informasi yang diperlukan penyandang tunanetra lainnya, seperti mencatat adanya delapan pot bunga antara tempat kereta api berhenti dan pintu keluar; orang yang bisa melihat tidak akan mengetahui hal itu.” Saat ini, Ferry tengah membantu saudara iparnya untuk belajar bagaimana berangkat bekerja dengan kereta api. Menggunakan TransJakarta Ignatius Tuntas Wijaya, 30 tahun, yang dikenal sebagai Wiwid, adalah pengguna transportasi umum lain yang juga tunanetra. Sejak ia mulai bekerja sebagai karyawan di beberapa kantor di daerah Pecenongan dan Kuningan, Wiwid telah menggunakan sistem Bus Rapid Transit Jakarta, TransJakarta yang secara aktif melakukan peningkatan layanan sehingga busnya menjadi lebih ramah terhadap penyandang disabilitas. Wiwid aktif di BPPC dan kini tengah bekerja dengan media online. Ia merasa nyaman menggunakan bus TransJakarta karena, ketika ia perlu untuk berpindah koridor bus, selalu ada fasilitas yang menghubungkan pemberhentian bus tersebut, sehingga ia dapat menemukan arahnya. Ia juga menghargai bantuan dari personil bus, meskipun tidak selalu ada cukup banyak petugas yang bertugas di loket untuk mengawalnya. Tapi mereka sering membantunya untuk mendapatkan ojek atau moda transportasi lainnya untuk melanjutkan perjalanan setelah ia turun dari bus. Di dalam bus, seorang petugas sering membantunya mendapatkan kursi. Ini berguna karena, meskipun ia bisa berdiri dengan mudah, ia selalu membawa sejumlah barang, termasuk tongkat berjalannya. Orang yang tidak dapat melihat juga lebih mudah kehilangan keseimbangan badan ketika berdiri di bus yang bergoyang, karena mereka tidak bisa mengandalkan isyarat visual untuk tetap stabil. Wiwid senang dengan sebagian besar fasilitas-fasilitas TransJakarta, dengan beberapa pengecualian seperti kurangnya informasi audio mengenai pemberhentian bus. Alat audio sering rusak atau tidak dipakai, digantikan oleh musik, yang sangat membuat frustrasi dan dapat menimbulkan masalah. Suatu hari Wiwid naik bus yang salah, mengira ia menuju ke Kampung Rambutan; padahal busnya sedang dalam perjalanan ke Cibinong. Akibatnya ia baru sampai ke rumah ketika sudah hampir tengah malam. Berwisata Tanpa Hambatan Cucu Saidah adalah Koordinator Teknis dari AIPJ (Kemitraan Australia Indonesia untuk Keadilan) dan
25
Prakarsa April 2014
anggota Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT). JBFT, yang didirikan pada bulan Maret 2012, melakukan advokasi untuk transportasi yang lebih mudah diakses dan menjalankan edukasi publik mengenai isu disabilitas. Kelompok ini menyelenggarakan acara jalan-jalan bulanan yang menarik puluhan peserta – termasuk, pada bulan Juli 2013, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, yang menemani kelompok ini dalam perjalanan menggunakan TransJakarta. Kegiatan lainnya antara lain, JBFT memberikan pelatihan kepada personil transportasi umum (untuk informasi lebih lanjut tentang JBFT, lihat halaman Facebook mereka). Cucu, yang menggunakan kursi roda, melihat bahwa banyak bus baru telah mengakomodasi kursi roda. Ia juga merasa bahwa sikap banyak personil bus TransJakarta positif ketika melayani penyandang disabilitas. “Misalnya, ada seorang petugas di loket tiket yang mau membantu dan akan bertanya kepada kami bagaimana mereka dapat membantu,” kata Cucu. Namun, ia juga memiliki pengalaman negatif, seperti contoh menakutkan ketika kursi roda dari seorang peserta JBFT tersangkut ketika mencoba untuk keluar dari halte bus. Bukan hanya penyandang tunanetra, atau mereka yang mempunyai gangguan mobilitas, yang menghadapi masalah. Kadang personil di loket penjualan tiket tidak terlihat dengan jelas sehingga mempersulit penumpang tunarungu untuk memperoleh informasi dengan membaca gerak bibir. Dalam kasus lain, fasilitas yang sebenarnya bermanfaat dibangun namun berada dalam keadaan rusak, tidak dipakai, atau dirancang secara kurang memadai, misalnya lift di beberapa pemberhentian bus yang sulit untuk dijangkau. Beberapa pemberhentian bus mempunyai pintu masuk yang sesuai untuk kursi roda, namun pintu tersebut ditutupi oleh mesin penjual minuman. Demikian juga, ketika pintu masuk untuk pengguna kursi roda tidak digunakan, beberapa penumpang harus diangkat dan dibawa melintasi gerbang masuk, dan ini merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Dalam kasus lain lagi, tangga memiliki undakan yang tinggi dan sulit. Jalur khusus berbidang miring (ramp) kursi roda yang sesuai akan memberi solusi, namun beberapa dari ramp yang ada terlalu curam dan/atau licin.
26
Biaya Bepergian Tinggi Bagi penyandang disabilitas, transportasi umum tidak hanya dapat menyulitkan, tetapi juga mahal. Banyak waktu terbuang dan perjalanan menjadi lebih lambat. Ketika sebuah pemberhentian terlewatkan, dan penumpang harus berbalik arah, biaya yang lebih tinggi harus dikeluarkan. Kebutuhan untuk menggunakan ojek atau kendaraan pribadi lain karena tidak praktisnya berjalan kaki menambah biaya. Cucu menegaskan bahwa para penyandang disabilitas membayar lebih banyak ketika melakukan perjalanan dibandingkan orang lain, karena kalaupun mereka menggunakan bus atau kereta api yang sama seperti orang lain, mereka bergantung lebih banyak pada penggunaan kendaraan transportasi pengumpan, seperti taksi, untuk menyelesaikan perjalanan mereka. Menurut Cucu, “Kami ingin menjadi produktif dan berkontribusi kepada masyarakat. Para penyandang disabilitas juga membayar pajak, dan kami juga berhak atas pelayanan publik yang baik.” Ferry memperkirakan bahwa ia menghabiskan sekitar sepertiga dari penghasilannya untuk biaya transportasi. Ini terjadi karena, meskipun ia menggunakan KRL setiap hari untuk perjalanan pergipulang, ia harus menggunakan ojek pada kedua ujung perjalanan tersebut. Ferry berharap bahwa suatu hari Indonesia akan meniru keadaan di negara lain yang pernah didengarnya, di mana desain yang ramah disabilitas, subsidi, dan masyarakat yang berpendidikan memunculkan fasilitas transportasi umum yang terjangkau, mudah diakses, nyaman, dan aman. Ini mendukung mobilitas dan kemandirian bagi penyandang disabilitas, untuk membantu mereka berpartisipasi secara penuh dan memberikan sumbangsih bagi masyarakat. n
Tentang penulis: Eleonora Bergita (Gite) adalah Senior Program Officer dan Event Manager IndII. Ia adalah seorang penulis dan pengatur acara (event organizer) yang berpengalaman dengan lebih dari 10 tahun pengalaman di bidang jurnalisme dan manajemen kegiatan. Pengalamannya meliputi pekerjaan dengan organisasi non-pemerintah Jerman, beberapa majalah nasional, dan sebuah perusahaan PR. Gite adalah lulusan Sastra Jerman Universitas Indonesia.
Prakarsa April 2014
Mengelola Pembiayaan Transportasi Perkotaan: Tantangan bagi Pemimpin Daerah
Pengeluaran yang sangat besar diperlukan untuk sepenuhnya merasionalisasi sistem transportasi umum di Jakarta. Pemandangan di dekat terminal bus ini menunjukkan beberapa moda transportasi yang diandalkan oleh warga saat ini, termasuk sepeda motor, bemo, bajaj, Kopaja, dan ojek. Atas perkenan Annetly Ngabito
Para pemimpin daerah berada di bawah tekanan untuk membiayai berbagai program infrastruktur dan untuk meningkatkan pelayanan kota. Kendala di sektor transportasi perkotaan dan ketersediaan pendanaan Pemerintah Pusat berarti Pemerintah Daerah perlu mencari cara-cara inovatif untuk mendanai program transportasinya. • Oleh Danang Parikesit Transportasi merupakan sektor pembangunan yang sering mendapat sorotan dari media dan analis dari para pakar. Dari kota besar hingga kota kecil, isu transportasi terus-menerus muncul dan masyarakat memberikan tekanan besar bagi pemimpin daerah (Pemda) untuk merespon. Sejalan dengan meningkatnya ketersediaan informasi, dan SDM pemerintah yang lebih terlatih (dengan dibukanya program S2 transportasi di berbagai universitas dalam 10–15 tahun terakhir); walikota, bupati, dan gubernur seharusnya memiliki wawasan yang cukup untuk mulai menyusun kebijakan dan program di bidang infrastruktur. Organisasi profesi seperti Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI, Indonesia Transportation Society), dan komunitas pengguna transportasi dapat memberi dukungan kepada pemerintah dalam
mengidentifikasi isu kebijakan dan menyusun rencana aksi yang diperlukan. Sebagian besar kota besar dan kota kecil telah memiliki Tataran Transportasi Wilayah (Tatrawil) dan Tataran Transportasi Lokal (Tatralok) sebagai dokumen pedoman transportasi umum di tingkat provinsi/daerah. Melalui regulasi daerah, sebagian Pemda menjadikan dokumen tersebut sebagai dasar hukum dalam merencanakan program atau kegiatan; sementara sebagian lagi menjadikannya sebagai acuan. Ini merupakan kemajuan yang signifikan pasca reformasi 1998. Dengan berbagai revisi UU desentralisasi dan terbitnya PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, sekarang menjadi jelas bagaimana Pemda harus mengelola dan mendanai program daerah.
27
Prakarsa April 2014
Melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Pemerintah Pusat telah memberi dukungan kepada kajian Tatrawil dan Tatralok, serta telah mengalokasikan hibah untuk bus umum bagi kotakota tertentu. Program Kemenhub mendorong strategi-strategi transportasi perkotaan seperti Trans Jogja, Trans Musi, Trans Kawanua dan “Trans” lainnya. Kesuksesan TransJakarta telah menginspirasi kebangkitan transportasi umum di area perkotaan. Beberapa dari program ini mengalami hambatan birokrasi dan sebagian lain tidak terencana dengan baik, sehingga masyarakat tidak menggunakannya secara penuh. Meski demikian, program ini jelas menunjukkan dukungan masyarakat terhadap alokasi anggaran oleh DPR/DPRD bagi program
transportasi perkotaan. Konsep kewajiban pemerintah dalam penyelenggaraan transportasi umum telah mengakibatkan Pemda yang memiliki program “Trans” mengalokasikan 2–3 persen dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) mereka untuk subsidi operasional transportasi perkotaan. Kajian survei belanja publik oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa sektor infrastruktur memperoleh alokasi dana sebesar 5–7 persen dari APBD. Sekitar3–5 persen digunakan untuk mendanai sektor jalan raya. Transportasi umum memperoleh bagian yang lebih kecil. Jelas, daerah memiliki insentif kuat untuk mendorong kepemilikan kendaraan, daripada menekan pertumbuhan tersebut demi transportasi umum.
Poin-Poin Utama: Perundang-undangan, pengawasan publik, dokumen perencanaan, pendidikan lebih tinggi di sektor transportasi, dan masukan dari asosiasi transportasi telah membantu memperjelas bagaimana Pemerintahan Daerah (Pemda) seharusnya mengelola dan mendanai program daerah. Kajian survei belanja publik menunjukkan bahwa infrastruktur memperoleh 5–7 persen dari dana yang teralokasi dari anggaran daerah. Sekitar 3–5 persen digunakan untuk mendanai sektor jalan. Daerah memiliki dorongan kuat untuk mendorong kepemilikan kendaraan. Tidak mudah untuk merespon tantangan ini. Belanja pembangunan untuk sektor transportasi sangat kecil. Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral)/Bina Sistem Transportasi Perkotaan (BSTP) telah memperkirakan bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk transportasi perkotaan di Indonesia setidaknya empat kali lebih besar dari yang telah direncanakan oleh Kementerian Perhubungan. Beberapa daerah mencoba untuk berbagi beban biaya infrastruktur dan layanan transportasi umum dengan sektor swasta, contohnya Terminal Giwangan di Yogyakarta dan dua koridor monorel yang sedang dibangun di Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta dan warga Jakarta telah menunggu 24 tahun untuk dimulainya pembangunan Mass Rapid Transit (MRT). Diperkirakan MRT Jakarta akan menjadi sistem perkeretaapian perkotaan termahal di dunia. Terbukanya ruang fiskal yang diperoleh karena pengurangan subsidi BBM pada bulan Juli 2013 seharusnya menjadi momentum untuk mendorong desentralisasi fiskal di sektor transportasi. Pemerintah Pusat harus berfokus pada penyusunan pedoman kebijakan dan panduan penerapan untuk transportasi perkotaan. Desentralisasi pendanaan untuk transportasi perkotaan akan memperkuat kapasitas Pemda untuk membiayai sendiri program-programnya. Pengurangan belanja pegawai melalui alih daya dan membuka celah fiskal baru harus menjadi tugas Pemda. Apabila fleksibilitas anggaran ini diperoleh, maka angka 5–15 persen anggaran sektor transportasi di APBD akan memberikan ruang gerak bagi Dinas Perhubungan dan Pekerjaan Umum untuk mendanai infrastruktur seperti fasilitas pejalan kaki, terminal, dan halte bus, bersamaan dengan keselamatan jalan dan langkah pengendalian kemacetan. Restrukturisasi pendapatan daerah untuk meningkatkan kontribusi property-related taxes (pajak terkait properti) dan mengurangi ketergantungan pada vehicle-related taxes (pajak terkait kendaraan) harus menjadi prioritas jangka panjang. Bisa diadakan juga pembiayaan hibah bersaing (competitive grants) untuk transportasi yang berkelanjutan yang memberi penghargaan kota-kota yang berkomitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah perlu mengembangkan skema penjaminan risiko bagi prakarsa sektor swasta di sektor transportasi. Bank Pembangunan Daerah harus didorong untuk memanfaatkan simpanan yang tidak hanya untuk menyalurkan pinjaman konsumsi (misalnya untuk sepeda motor dan mobil), tetapi juga untuk jenis pinjaman yang mendorong pembangunan infrastruktur lokal.
28
Prakarsa April 2014
Tidak mudah untuk bisa merespon tantangan ini. Belanja pembangunan untuk sektor transportasi sangat kecil dan seringkali menerima tekanan kebutuhan sektor prioritas lain yang juga memerlukan pendanaan. Sementara itu, sumber utama dari pendanaan pembangunan masih dibebankan pada Dana Alokasi Umum (DAU), yang berfokus pada belanja rutin pegawai dan pelayanan pemerintahan, serta Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kebutuhan spesifik. Saat ini, DAK infrastruktur hanya digunakan untuk sektor jalan Sepertinya DAK untuk transportasi perkotaan, yang digagas Kemenhub di tahun 2008– 2009, akan mengalami kemajuan dalam waktu dekat. Mengenai kebutuhan belanja pembangunan, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL)/Bina Sistem Transportasi Perkotaan (BSTP) pernah memperkirakan bahwa kebutuhan anggaran transportasi perkotaan di Indonesia setidaknya empat kali lebih besar dari rencana yang disusun Kemenhub saat ini. Sebagian besar Dinas Perhubungan menyusun anggaran di bawah kebutuhan sebenarnya karena menyadari bahwa keterbatasan dana akan menjadikannya tidak mungkin bagi DPRD untuk mengalokasikan anggaran yang cukup bagi sektor ini. Beberapa daerah seperti Yogyakarta, dan tentu saja Jakarta, melakukan inovasi untuk berusaha melibatkan pihak swasta untuk turut menanggung biaya infrastruktur dan layanan transportasi umum. Pemerintah Yogyakarta telah mengundang sektor swasta untuk mendanai pembangunan Terminal Giwangan di bagian selatan Yogyakarta, sementara Pemerintah DKI Jakarta mengizinkan inisiatif sektor swasta untuk membangun dua koridor monorel di tengah pusat bisnis Jakarta.
Membangun Terminal dan Monorel
Pemerintah Yogyakarta telah memutuskan untuk membangun Terminal Tipe A dengan pendekatan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), yang memungkinkan sektor swasta untuk mengelola terminal dan bangunan komersial yang ada di dalam area terminal dalam bentuk konsesi Build, Operate, and Transfer (BOT). Gedung terminal dibangun dengan biaya yang lebih murah dibandingkan perkiraan pemerintah (OE, owner estimate) dan dengan produktivitas yang lebih tinggi. Pemegang konsesi tersebut sukses membangun infrastruktur, namun sayangnya mengalami kerugian finansial. Pihak Pemda dan sektor swasta gagal mengelola risiko pengurangan pendapatan karena kebijakan pemerintah lainnya yang berada di luar kendali mereka.
PT Jakarta Monorail (JM) belum lama ini mulai kembali berinvestasi setelah bertahun-tahun terhenti. Dengan bekerjasama dengan investor baru, yaitu ORTUS, JM dapat merancang ulang pengelolaan pendapatan perusahaan karena dengan izin baru, perusahaan tidak lagi harus menjamin angka minimum pendapatan penumpang, seperti keharusan di perjanjian awal. Perusahaan mengakui bahwa pendapatan tarif tidak akan menutup biaya investasi, pemeliharaan, serta modal yang dikeluarkan. JM akan memanfaatkan area stasiun sebagai properti komersial, yang diharapkan memberi pendapatan lebih besar dibandingkan pendapatan dari penumpang. Semangat kewirausahaan investor ini patut diapresiasi, karena sektor swasta tidak memperoleh jaminan apapun dari pemerintah. Pemerintah DKI Jakarta dan masyarakat Jakarta telah menunggu 24 tahun untuk dimulainya pembangunan Mass Rapid Transit (MRT). Diperkirakan MRT Jakarta akan menjadi sistem perkeretaapian perkotaan termahal di dunia. Meskipun Pemerintah Indonesia, dalam kasus ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), secara hukum yang memiliki kewajiban pembayaran pinjaman lunak ke Pemerintah Jepang, Pemprov DKI Jakarta berkewajiban membayarkan 51 persen pinjaman ke pemerintah pusat. Meski pemerintah DKI Jakarta terlihat tidak memiliki risiko, namun sebenarnya mereka harus menanggung subsidi apabila tarif dikendalikan oleh pemerintah dan DPRD.
Pendesentralisasian Pendanaan
Pengawasan belanja sektor publik merupakan intervensi kebijakan yang penting. Saya termasuk yang percaya bahwa penguatan Pemda dalam perencanaan dan implementasi pembangunan, termasuk di sektor transportasi, harus disertai dengan alokasi pendanaan yang memadai dan sesuai. Terbukanya ruang fiskal yang diperoleh karena pengurangan subsidi BBM pada bulan Juli 2013 seharusnya menjadi momentum untuk mendorong desentralisasi fiskal di sektor transportasi. Pemerintah Pusat, sesuai dengan tanggung jawab yang dimilikinya, harus lebih berfokus pada penyusunan pedoman kebijakan dan penerapan untuk transportasi perkotaan. Program hibah bus daerah harus tuntas disertai dengan peningkatan kapasitas daerah untuk menambah armada transportasi melalui investasi sektor swasta. Desentralisasi dana untuk transportasi perkotaan akan menjadi instrumen untuk memperkuat kapasitas Pemda untuk membiayai sendiri programprogramnya, tidak lagi tergantung pada alokasi dana pada Kemenhub, yang memiliki banyak prioritas lain.
29
Prakarsa April 2014
Pengurangan belanja pegawai melalui alih daya dan pembukaan celah fiskal baru harus menjadi tugas Pemda, disertai dengan aturan fiskal oleh Kemenkeu. Upaya untuk membatasi belanja pegawai dan perjalanan dinas hingga maksimal 50 persen dari APBD (saat ini sekitar 60–70 persen dari APBD) harus didukung. Apabila fleksibilitas anggaran ini diperoleh, maka angka 5–15 persen anggaran APBD untuk sektor transportasi akan memberikan ruang gerak untuk transportasi yang lebih inovatif bagi dinas perhubungan dan dinas pekerjaan umum untuk mendanai infrastruktur seperti fasilitas pejalan kaki, terminal, dan lebih banyak halte bus yang modern dan terpelihara. Jumlah yang telah ditingkatkan juga dapat diinvestasikan dalam manajemen keselamatan jalan raya yang lebih baik, termasuk untuk Area Traffic Control Schemes (ATCS), dan kamera pemantau untuk pengelolaan kemacetan yang lebih responsif. Restrukturisasi pendapatan daerah untuk menaikkan kontribusi property-related taxes (pajak terkait properti) dan mengurangi ketergantungan pada vehicle-related taxes (pajak terkait kendaraan) harus menjadi prioritas jangka panjang. Secara umum, di Indonesia rasio kedua jenis pajak tersebut adalah 30:70 persen – angka yang cukup berbeda dengan negara-negara maju lain yang mendukung Pemda untuk mengembangkan area baru, melakukan revitalisasi bagian kota yang lebih tua, serta integrasi pembangunan permukiman, perkantoran, dan transportasi. Semakin banyak pendapatan daerah berasal dari pajak properti maupun value capture tax (pajak nilai terkait fasilitas infrastruktur suatu wilayah), seperti di Jepang, Pemda akan semakin bersemangat membangun area yang menguntungkan secara komersial dan secara lingkungan merupakan kota yang liveable (layak untuk ditinggali). Salah satu pemikiran saat ini adalah pemberian pembiayaan hibah bersaing (competitive grants) untuk transportasi yang berkelanjutan. Dengan diperkenalkannya program “mendukung Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMA)” yang didanai Jerman dan Inggris Raya bagi beberapa kota di Indonesia, seharusnya konsep ini bisa menjadi contoh alokasi hibah daerah di masa depan. Program-program ini dapat digabung dengan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) lainnya, didorong oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Sudah saatnya kita mendorong kota-kota untuk menunjukkan semangat terhadap isu keberlanjutan untuk melakukan inovasi, dan memberi penghargaan berupa hibah dari Pemerintah Pusat.
30
Belajar dari manajemen risiko dari proyek KPS yang didokumentasikan oleh Dana Penjaminan Infrastruktur Indonesia (IIGF, Indonesian Infrastructure Guarantee Fund), pemerintah perlu mengembangkan skema penjaminan risiko bagi prakarsa sektor swasta di sektor transportasi. Di masa depan, sektor ini dapat menarik sektor swasta untuk ikut mendanai proyek yang dapat mendorong peningkatan mobilitas. Perjanjian konsesi yang lebih adil, sistem tarif yang mencerminkan daya beli konsumen, insentif pengelolaan properti untuk memitigasi risiko pendapatan, dan proses perolehan lahan yang masuk akal merupakan faktor-faktor yang mendorong lebih banyak kesempatan bagi KPS.
Mendorong Pembiayaan yang Kreatif
Sektor keuangan dan perbankan telah berekspansi dengan sangat baik di Indonesia. Beberapa bank pembangunan daerah juga dapat memberikan kredit investasi. Mereka harus didorong untuk memanfaatkan simpanan tidak hanya untuk pinjaman konsumsi (misalnya untuk sepeda motor dan mobil), tetapi juga untuk jenis pinjaman yang mendorong pembangunan infrastruktur lokal. Obligasi daerah merupakan salah satu pilihan sumber pembiayaan yang berpotensi, meski masih diperlukan kehatihatian (prudence) untuk menghindari malpraktik seperti yang dialami beberapa negara Amerika Latin. Skema pembiayaan yang telah ada dengan menggunakan fasilitas Pusat Investasi Pemerintah (PIP) juga perlu disosialisasikan karena memiliki tingkat bunga menarik dan mendukung daerah memiliki laporan keuangan yang dapat diandalkan. Diperlukan optimisme dalam mengembangkan kapabilitas pembiayaan untuk program transportasi di masa depan. Tanpa keyakinan tersebut, akan sulit mencapai sistem transportasi yang akan mendorong kesejahteraan rakyat. n
Tentang penulis: Prof. Dr. Danang Parikesit adalah guru besar transportasi, Universitas Gadjah Mada, dan merupakan Kepala Masyarakat Transportasi Indonesia. Sejak 2010 ia bekerja sebagai penasihat kebijakan di Kementerian Pekerjaan Umum. Ia juga menjabat Kepala The International Forum for Rural Transport and Development, sebuah organisasi non-pemerintah pembangunan internasional yang berbasis di Inggris Raya. Ia juga Anggota Dewan (Board of Directors) The Eastern Asia Society for Transport Studies, yang merupakan masyarakat akademis yang berbasis di Jepang dengan sasaran mendorong teori ilmiah dan pendekatan baru untuk sistem transportasi Asia. Ia sedang menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Prakarsa Infrastruktur Indonesia.
Prakarsa April 2014
Uraian Kegiatan: Pembiayaan Sanitasi
PERSOALAN Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memenuhi Sasaran Pembangunan Milenium di bidang sanitasi. Namun, ini ternyata merupakan sasaran yang sulit dicapai meskipun Pemerintah Indonesia sudah menetapkan anggaran untuk sanitasi yang semakin tinggi. Sejumlah faktor menghalangi tercapainya sasaran ini. Alasan yang paling jelas terungkap adalah kurangnya keterlibatan yang signifikan dari Pemerintah Daerah untuk berinvestasi di bidang infrastruktur sanitasi. Kurangnya keterlibatan ini merupakan kegagalan besar karena sanitasi sudah merupakan tanggung jawab wajib Pemerintah Daerah sejak dikeluarkannya UU otonomi daerah tahun 1999 dan 2004, lebih dari satu dekade yang lalu. Di mana letak kesalahannya?
Pencapaian Sasaran Pembangunan Milenium dan sasaran lainnya terhambat karena tidak adanya keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda). Mekanisme pendanaan non-inklusif merupakan satu faktor ketidakpedulian Pemda terhadap investasi.
Bukti mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah bukan memilih untuk tidak melibatkan diri, tetapi karena mekanisme pembiayaan yang non-inklusif di sektor tersebut. Hasil observasi yang sama dapat diamati dalam fungsi-fungsi lain yang didesentralisasi, pekerjaan umum, kesehatan, dan pendidikan. Pemerintah Daerah mengatakan bahwa mereka ditugaskan tanpa diberi sarana untuk melaksanakannya. Betulkah ini? Jika kita bandingkan anggaran Kurangnya komitmen Pemerintah kementerian untuk sanitasi, maka jumlah anggaran tersebut delapan hingga terhadap pendanaan saluran sepuluh kali lebih besar daripada dana yang disediakan secara langsung kepada Pemerintah Daerah melalui DAK. Mengingat penyediaan sanitasi pembuangan air limbah yang telah merupakan fungsi wajib Pemerintah Daerah, kelihatannya dana tidak berlangsung lama mengakibatkan mengikuti fungsi sehingga Pemerintah Daerah barangkali mempunyai dasar terjadinya ketertinggalan parah. untuk mengajukan gugatan. Bagaimana Pemerintah sampai pada sistem pendanaan seperti ini? APA YANG TERJADI SELAMA INI? Secara historis, Pemerintah selama ini mengandalkan rumah tangga untuk menyediakan fasilitas sanitasi sendiri. Ini merupakan pendekatan yang dapat diterima ketika kepadatan penduduk perkotaan masih rendah. Sayangnya, investasi untuk infrastruktur saluran pembuangan air limbah kota semakin ditunda karena cara penyediaan fasilitas oleh perorangan lebih disukai selama 25 tahun terakhir. Akibatnya, hanya 11 di antara 500 Pemerintah Daerah yang menyediakan saluran pembuangan air limbah perkotaan. Tingkat cakupan layanan ini kurang dari satu persen dari jumlah penduduk perkotaan dan menempatkan Indonesia pada peringkat kedua terakhir pada skala indeks layanan negara-negara Asia Tenggara. Belum lama ini, Pemerintah mengumumkan kebijakan yang lebih agresif menerapkan investasi saluran pembuangan air limbah kota, terutama melalui pembiayaan dari luar. Ini merupakan bagian dari program Pendanaan untuk saluran pembuangan air untuk mempercepat pembangunan sanitasi, atau Percepatan Pembangunan limbah mensyaratkan adanya komitmen Sanitasi Permukiman (PPSP). Tujuannya adalah pembangunan fasilitas saluran dari Pemda, namun hingga kini tidak pembuangan air limbah kota baru di lima Pemerintah Daerah. Programprogam sedang dipersiapkan untuk pinjaman eksternal dari JICA untuk kunjung ada dalam lingkup yang signifikan. membangun saluran pembuangan air limbah di Jakarta dan untuk ADB di
31
Prakarsa April 2014
empat kota lain di Indonesia. Namun, kapasitas pendanaan Pemerintah Daerah untuk berkontribusi pada investasi tersebut merupakan kendala utama dalam menentukan ukuran skema yang diusulkan. Secara sederhana, Pemerintah Daerah tidak memiliki anggaran untuk mendukung investasi tersebut. Rencana PPSP yang digelar diperkirakan memerlukan total investasi sebesar USD 7 miliar selama periode lima tahun 2010–2014. Ini adalah investasi sekitar USD 1,4 miliar setiap tahun. Apakah pemerintah sanggup mendanainyai? Alokasi anggaran pusat maupun daerah untuk fungsi-fungsi lokal tidak sesuai. Perolehan manfaat yang lebih besar dapat dicapai melalui hibah langsung, dibandingkan dengan pendanaan pusat yang justru memberikan dampak sebaliknya.
ADAKAH CARA UNTUK MAJU? Pemerintah, dengan mengumumkan sebuah rencana yang lebih agresif untuk mencapai sasaran sanitasi, menaikkan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum sekitar 100% untuk masa pembangunan lima tahun periode 2010–2014. Besarnya anggaran ini sekitar A$ 380 juta per tahun. Sebagai perbandingan, Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk sanitasi kepada semua Pemerintah Daerah berjumlah A$ 45 juta setahun. Dua hal seketika menjadi jelas: pertama, total pendanaan yang diidentifikasi jauh di bawah yang diperlukan; dan kedua, diharapkan bahwa pendanaan langsung kepada Pemerintah Daerah untuk fungsi layanan kota seharusnya lebih tinggi daripada pendanaan pusat.
Kenyataannya, UU otonomi daerah dan perimbangan keuangan mensyaratkan adanya devolusi pendanaan yang progresif dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Ini tidak terjadi. Akuntabilitas dan transparansi yang rendah dalam penggunaan DAK dikemukakan sebagai salah satu alasan kelambanan transisi ini. Khususnya, kementerian-kementerian sektoral paling vokal dalam mengkritik kinerja DAK yang rendah. Akibatnya, Pemerintah Pusat lamban dalam menyalurkan dana langsung kepada Pemerintah Daerah, dan lebih memilih untuk menggunakan jalur Tugas Pembantuan (TP) di mana kementerian “mendukung” Pemerintah Daerah untuk mendanai fungsi wajib mereka. Meski Pendanaan dari Dana Alokasi Khusus demikian, berlawanan dengan pandangan ini, analisis yang baru dilakukan atas (DAK) lebih baik daripada pendanaan pembelanjaan untuk infrastruktur menunjukkan bahwa, meski kurang terdapat dari pusat, tetapi tidak sebaik program Hibah untuk mendapatkan dana tambahan transparansi dan akuntabilitas, DAK berpengaruh dalam menghasilkan lebih dari Pemerintah Daerah. Peningkatan banyak dana dari Pemerintah Daerah dibandingkan dengan TP. Bahkan, ternyata mekanisme DAK merupakan salah satu TP menghasilkan efek substitusi. Ini berarti bahwa untuk setiap unit pendanaan solusi. Yang lain adalah menerapkan TP, Pemerintah Daerah mengurangi pendanaannya sendiri sebesar separuh unit. program Hibah secara lebih luas. Meski tidak sempurna, setidaknya DAK dapat menghasilkan sepuluh persen dari Pemerintah Daerah. Jelas, meningkatkan kinerja pendanaan DAK akan menghasilkan kenaikan bersih pendanaan Pemerintah Daerah. Bank Dunia mendukung prakarsa seperti ini melalui Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (Local Government and Decentralization Project). Pilihan yang lebih baik lagi mungkin adalah mencari mekanisme hibah lain yang dimungkinkan oleh peraturan baru, yang meningkatkan akuntabilitas dan pengaruh. Ini merupakan Hibah yang telah diterapkan dalam format uji-coba selama Fase 1 IndII dan yang ditingkatkan skalanya dalam tahap kedua IndII. APA YANG BERBEDA DENGAN HIBAH? Hibah adalah penyediaan dana kepada Pemerintah Daerah yang diberikan melalui perjanjian hibah yang mengikat secara hukum antara kepala Pemerintah Daerah dan Menteri Keuangan. Perjanjian Hibah ini merinci apa yang wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan dana hibah tersebut, bagaimana metode verifikasi pekerjaan, dan cara pembayaran dana tersebut. Mekanisme ini berguna untuk modalitas berbasis hasil yang menambahkan lapisan akuntabilitas pada proses tersebut. Sebagai perbandingan, sekali alokasi DAK ditetapkan oleh DPR, dana tersebut menjadi hak anggaran Pemerintah Daerah dengan sedikit kemungkinan untuk dilakukan intervensi dan pengkajian oleh Pemerintah Pusat. Pada Fase 1 IndII, Program Hibah Air Minum dan Sanitasi diperkirakan telah menghasilkan sekitar 60%
32
Prakarsa April 2014
hibah tersebut sebagai kontribusi dari Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat secara luas mengakui tingkat efisiensinya. Peningkatan skala Hibah dalam Fase 2 IndII mencakup sasaran tata kelola pemerintahan dan keterkaitan kinerja pada program Pemerintah Indonesia lainnya untuk meningkatkan dampak dan penetrasi Hibah tersebut. Langkah logis selanjutnya adalah bagi Pemerintah untuk mengakomodasikan mekanisme Hibah ke dalam arus utama pembiayaan dan menautkannya pada peningkatan kinerja Pemerintah Daerah.
Hibah merupakan mekanisme pendanaan yang mengikat secara hukum, akuntabel, dan transparan. Mengarusutamakan Hibah adalah langkah lanjutan yang logis.
PENGARUSUTAMAAN – LANGKAH-LANGKAH SELANJUTNYA Pada awal lembar informasi ini, kita mengkaji kendala dalam mencapai sasaran sanitasi dengan mengidentifikasi kelemahan pada mekanisme pendanaan. Langkah pertama yang barangkali dapat Penerapan infrastruktur Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat berperan dilakukan adalah memberlakukan dana sebagai pembiayaan pengganti, yang mengurangi tingkat komitmen Pemerintah pinjaman pada Hibah. Ini telah dilakukan Daerah. Pembiayaan hibah kepada Pemerintah Daerah melalui program Hibah, untuk pinjaman infrastruktur lain. menghasilkan timbulnya dana, yang meningkatkan tingkat komitmen mereka. Mencapai tujuan Sasaran Pembangunan Milenium dan PPSP menuntut adanya komitmen yang lebih besar dari Pemerintah Daerah. Dalam Pemerintah mungkin ada perbedaan pendapat mengenai kesiapan penggunaan dana APBN untuk Hibah dengan berbagai alasan teknis. Namun, apa yang tersurat dan tersirat dalam perundang-undangan otonomi daerah adalah untuk melakukan devolusi terhadap pendanaan TP yang berkesinambungan kepada Pemerintah Daerah. Langkah pertama untuk mencapai tujuan ini barangkali adalah mengalokasikan sebagian dari dana pinjaman untuk saluran pembuangan air limbah dari pinjaman yang diberikan JICA dan ADB yang akan datang melalui jalur Hibah. Ini sudah dilakukan untuk pinjaman infrastruktur lain, termasuk pinjaman untuk pembangunan MRT di DKI dan pinjaman Irigasi dari Bank Dunia. Langkah semacam itu akan menghasilkan pendanaan Pemerintah Daerah yang lebih besar, yang dapat mengatasi tidak adanya komitmen dan keterlibatan Pemerintah Daerah saat ini. MANFAAT JANGKA PANJANG SELANJUTNYA Keterlibatan Pemerintah Daerah yang lebih besar akan menghasilkan lebih banyak layanan sanitasi yang berkelanjutan. Di bawah pendanaan Hibah, Seiring dengan berakumulasinya aset, Pemerintah Daerah akan memperoleh hak milik atas aset dan memegang beban pemeliharaan, pembaruan, dan tanggung jawab tunggal untuk memelihara dan merawat aset-aset tersebut penggantian aset melampaui biaya untuk sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku. Infrastruktur yang dibangun aset baru. Penting adanya kejelasan berdasarkan pendanaan TP dialihkan pada Pemerintah Daerah untuk mereka kepemilikan dan tanggung jawab atas aset gunakan. Mengingat hak kepemilikannya tetap berada pada Pemerintah Pusat, yang diinvestasikan seiring berjalannya Pemerintah Daerah tidak berada di bawah tekanan untuk memeliharanya. waktu untuk mempertahankan Bahkan sebaliknya, terdapat insentif buruk untuk menghemat uang dan manfaatnya secara jangka panjang. membiarkan nilai infrastruktur tersebut turun, mengingat adanya bukti historis bahwa ada kemungkinan Pemerintah Pusat akan menggantikannya. Beban pemeliharaan, pembaruan, dan penggantian menjadi semakin penting seiring dengan berakumulasinya aset infrastruktur. Apabila aset infrastruktur akan bertambah dan bertumbuh untuk memenuhi sasaran layanan sanitasi yang diproyeksikan, para penerima manfaat dan operator aset harus memikul tanggung jawab hak kepemilikannya. Mekanisme Hibah akan sekaligus mengikat Pemerintah Daerah pada kewajiban hukum untuk memelihara aset dan tingkat layanan, lama setelah dana hibah dicairkan. Insentif jangka panjang selanjutnya dapat dihasilkan dengan menautkan Hibah pada pencapaian standar layanan minimum sebagaimana ditetapkan dalam PP no. 65/2005 tentang fungsi wajib Pemerintah Daerah, dan penilaiannya dilakukan melalui PP no. 6/2008 yang menguraikan cara melakukan mengevaluasi kinerja Pemerintah Daerah dalam mencapai standar layanan minimum. — Jim Coucouvinis, Direktur Teknis Program Air Minum dan Sanitasi
33
Prakarsa April 2014
Uraian Kegiatan: Meningkatkan Layanan Transportasi dengan Memperhatikan Perbedaan Gender: Mengapa, Apa, dan Bagaimana MENGAPA PERLU MEMPERTIMBANGKAN PERBEDAAN GENDER DAN TRANSPORTASI? Transportasi berkontribusi terhadap kualitas hidup seorang individu Infrastruktur dan layanan transportasi dengan memungkinkan adanya akses terhadap layanan kesehatan, yang efisien, efektif, dan berkelanjutan pendidikan, dan pekerjaan. Ini akan berakibat pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Setiap orang menginginkan adalah infrastruktur dan layanan sistem transportasi berkualitas tinggi yang memaksimalkan efektifitas, yang memberikan respon terhadap efisiensi, dan keberlanjutan. Namun, untuk membangun sistem ini, kebutuhan yang berbeda bagi perencana dan operator harus responsif terhadap kebutuhan konsumen perempuan dan laki-laki. mereka. Sementara transportasi dilihat sebagai hal yang netral gender – sebagai sesuatu yang memberikan keuntungan yang sama bagi setiap orang – kajian yang dilakukan baik di negara berkembang maupun negara maju menunjukkan bahwa, jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan mempunyai kebutuhan transportasi yang jauh lebih kompleks yang harus diatasi. Diperlukan respon yang inovatif dan dipertimbangkan dengan baik dan yang mengembangkan sistem transportasi menarik yang dapat dinikmati oleh baik perempuan maupun laki-laki. APA PERBEDAAN GENDER DALAM PENGGUNAAN LAYANAN TRANSPORTASI? Perempuan lebih banyak membuat perjalanan yang tidak berkaitan Perempuan mempunyai kebutuhan dengan pekerjaan dan mempunyai pola perjalanan yang jelas berbeda akan transportasi yang jauh lebih jika dibandingkan dengan laki-laki karena perbedaan tanggung jawab kompleks daripada laki-laki karena mereka. Jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memainkan perjalanan yang berhubungan dengan berbagai peran sebagai penghasil pendapatan, pengelola serta pengasuh rumah tangga, sosial, dan yang terkait dalam rumah tangga, dan juga peran dalam masyarakat. Mereka juga dengan pekerjaannya; dan mereka lebih mungkin membawa banyak barang atau bepergian dengan anak kecil bergantung kepada transportasi umum atau saudara yang berusia lanjut. Perempuan mempunyai kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. lebih banyak melakukan perjalanan yang pendek dan lebih sering, serta cenderung bepergian ke berbagai tempat sepanjang hari. Beberapa perempuan bekerja sampai larut malam atau pada dini hari, misalnya dengan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga dan perawat. Mereka mempunyai lebih banyak kemungkinan, dibandingkan dengan laki-laki, untuk melakukan “perjalanan berantai” yang kompleks, misalnya, mereka pergi dari tempat kerja ke tempat perbelanjaan, kemudian ke rumah orang tua mereka, sebelum akhirnya pulang ke rumah mereka sendiri. Pola perjalanan seperti ini berarti bahwa perempuan memerlukan fleksibilitas dalam waktu dan trayek layanan transportasi yang tersedia. Pengaruh lain terhadap pola perjalanan adalah kepemilikan dan penggunaan kendaraan. Laki-laki lebih mungkin memiliki sepeda motor atau mobil yang
34
Prakarsa April 2014
mereka gunakan untuk bepergian, dibandingkan perempuan yang sangat bergantung pada layanan transportasi umum untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka. Jika dibandingkan dengan perempuan, kebutuhan laki-laki akan transportasi lebih sederhana, dan lebih kecil kemungkinannya melibatkan “perjalanan berantai”. Kebutuhan laki-laki lebih banyak terkait pekerjaan, dan lebih sering menggunakan kendaraan milik sendiri. APA YANG DIINGINKAN KAUM PEREMPUAN DALAM BIDANG TRANSPORTASI? Hanya terdapat sedikit penelitian mengenai gender dan transportasi untuk lingkungan perkotaan dan perdesaan di Indonesia. Ini merupakan jurang lebar yang perlu dijembatani. Meski demikian, penelitian yang dilakukan di negara lain dan informasi yang diberikan oleh sumber lain di Indonesia, seperti misalnya media, memberikan arahan kepada berbagai bidang yang menjadi perhatian perempuan: • Perempuan mengapresiasi upaya untuk menjamin keselamatan dan keamanan serta melindungi mereka dari pelecehan, seperti misalnya penyediaan penerangan, adanya hubungan dengan transportasi pengumpan (feeder) sehingga mereka tidak perlu berjalan kaki jauh, dan fasilitas seperti halte yang terbuka, tidak tertutup. Salah satu fitur yang disukai perempuan dari halte Proyek Peningkatan Bus (BIP, Bus Improvement Project) IndII adalah desainnya yang terbuka, sehingga orang lain dapat melihat apa yang terjadi di halte. Perempuan kurang ingin menggunakan layanan transportasi yang mereka rasa akan dapat membuat dirinya terekspos pada situasi yang membahayakan, dan mungkin akan menghindari bepergian atau mencari alternatif yang kurang efisien atau lebih mahal. Aspek keselamatan yang menjadi pertimbangan antara lain meliputi langkah-langkah seperti adanya pegangan tangan (handrails), lantai dengan permukaan yang tidak licin, dan penanda yang dapat dirasakan (tactile markings) untuk menjamin bahwa perempuan hamil, mereka yang berusia lanjut, perempuan yang membawa beban berat, atau perempuan yang membawa anak kecil, tidak terjatuh. • Jarak antara perempuan dan laki-laki merupakan persoalan penting bagi perempuan. Bus, kereta api, dan bahkan tangga penghubung (gangplank) yang penuh-sesak, berarti laki-laki akan dapat merapat dan menyentuh/meraba-raba perempuan. • Fasilitas transportasi perlu mempertimbangkan ukuran tubuh perempuan yang lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan lebih sulit menaiki tangga yang tinggi dan jarak antara platform dengan bus, ketimbang laki-laki. Tempat duduk dan pegangan di atas penumpang ketinggiannya perlu disesuaikan dengan ukuran tubuh perempuan. • Trayek, waktu, dan frekuensi layanan perlu disesuaikan dengan pola bepergian perempuan yang berbeda, seperti misalnya menyediakan layanan rutin ke pertokoan, klinik kesehatan, sekolah, dan tempat kerja. Privatisasi transportasi umum dapat
Terdapat kekurangan data mengenai kebutuhan dan pertimbangan khusus perempuan Indonesia akan transportasi. Keamanan dan keselamatan; kecukupan ruang; pertimbangan atas keterbatasan karena ukuran tubuh perempuan yang lebih kecil; trayek, waktu, dan frekuensi pelayanan; kenyamanan – terutama bagi perempuan hamil dan perempuan yang membawa anak kecil; keterjangkauan; dan peluang untuk bekerja merupakan pertimbangan penting bagi perempuan.
35
Prakarsa April 2014
berakibat pada kurangnya minat untuk melayani trayek kurang menguntungkan yang menarik bagi perempuan. • Perempuan hamil dan perempuan yang membawa bayi dan anak kecil memerlukan fasilitas yang mudah untuk diakses dan menyediakan tempat duduk yang mencukupi dan nyaman. • Keterjangkauan perlu dipertimbangkan. Perempuan umumnya mempunyai lebih sedikit uang untuk digunakan dibanding laki-laki karena, rata-rata, mereka berada pada posisi pendapatan yang lebih rendah, atau hanya memiliki akses terhadap uang untuk kebutuhan rumah tangga saja. • Sistem transportasi menawarkan banyak peluang pekerjaan, namun sektor ini didominasi oleh laki-laki. Perempuan mungkin ragu-ragu melamar pekerjaan di bidang yang kurang lazim; namun dengan dukungan, mendapatkan pekerjaan di bidang transportasi akan memperluas pilihan kerja mereka. BAGAIMANA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN MENGARAHKAN PENCAPAIAN SASARAN ITU? Studi pelingkupan IndII mengenai Pengarusutamaan Gender mengidentifikasi sejumlah peluang berharga untuk meningkatkan cara isu gender ditangani oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Tiga langkah strategis yang dapat ditempuh adalah:
Perhatian yang efektif terhadap isu gender di Kemenhub memerlukan dukungan nyata yang jelas dari staf senior; pengumpulan dan analisis data untuk mengidentifikasi isu gender dalam transportasi; dan integrasi gender dalam dokumen kebijakan dan perencanaan dengan pembangunan kapasitas bagi staf terkait untuk mengimplementasikannya.
36
• Dukungan nyata, yang ditingkatkan secara substansial, dari staf senior di Kemenhub untuk upaya dalam perencanaan dan implementasi serta kegiatan Pokja Pengarusutamaan Gender, sebagai contoh, dengan mengeluarkan instruksi dan surat resmi yang mengharuskan staf untuk mendukung prakarsa gender, serta menghadiri pertemuan dan lokakarya terkait gender. • Mengumpulkan, terutama oleh Badan Litbang, data terpilah (disaggregated information) mengenai gender; analisis isu gender; serta penerapan temuan mereka dalam kebijakan transportasi, perencanaan, dan program. Ini termasuk menjamin konsumen dan organisasi perempuan memperoleh kesempatan untuk memberikan informasi, diadakan konsultasi terhadap kebutuhan mereka, dan berpartisipasi sebagai anggota dari forum transportasi atau kelompok konsumen manapun yang dibentuk. • Dokumen kebijakan dan perencanaan, seperti Renstra, yang mengintegrasikan isu gender untuk secara berarti membahas perbedaan kebutuhan dari kelompok laki-laki dan perempuan, disertai dengan dukungan pembangunan kapasitas kepada Pokja Pengarusutamaan Gender (PUG) dan staff lain yang terkait untuk memungkinkan mereka mengimplementasikannya. — Gaynor Dawson, Spesialis Gender
Prakarsa April 2014
Kerja Keras untuk menyediakan Air Minum di Klaten “Saya ingin kesejahteraan karyawan meningkat sampai 20 kali. Itu yang memacu saya untuk mencapai target dan tentu harus kerja keras.” Itulah pernyataan Ambar Muryati (48 tahun), Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dia telah bekerja di PDAM Klaten selama 29 tahun dengan memulai karirnya sebagai staf pembukuan secara manual. Dia juga aktif menjadi pengurus enam organisasi sosial maupun olahraga di Klaten dan di tingkat provinsi. Dia adalah mantan anggota Dewan Direksi Persatuan perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI). Tidak terlalu banyak perempuan yang memiliki posisi strategis di sektor infrastruktur, sektor yang selama ini didominasi laki-laki. Ambar adalah salah satunya. Prakarsa mewawancarai Ambar untuk menemukan inspirasi bagaimana kepemimpinan perempuan juga bisa membawa kemajuan yang berarti dan bahwa hubungan dengan masyarakat juga merupakan aspek yang penting bagi kemajuan PDAM. Tidak banyak perempuan menjadi pemimpin di sektor infrastruktur seperti PDAM. Tentu ini menjadi prestasi menggembirakan. Tapi bagaimana Anda bisa menjadi seperti ini sekarang, bagaimana masa kecil Anda? Pada masa kecil, saya hidup dalam lingkungan sosial di mana anak-anak perempuan tidak didorong memiliki cita-cita tinggi dan akses pendidikan yang tidak sebaik anak laki-laki. Namun demikian saya justru hidup dalam keluarga yang sangat disiplin. Orangtua saya menghendaki agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan tinggi, yang lebih baik dari mereka. Dari kecil saya punya cita-cita sangat tinggi dan berpikir bagaimana bisa meraih citacita itu. Orangtua saya miskin, tapi setiap anak didorong untuk bersekolah dan meraih prestasi. Kami juga terlibat dalam pekerjaan orangtua kami; bahkan sejak kelas 2 SD, saya sudah ikut bekerja mencari uang untuk biaya hidup keluarga dan sekolah. Saya bekerja menjadi buruh tani dan jualan makanan untuk mendapatkan uang biaya sekolah dan menabung. Bagaimana pandangan Anda tentang kepemimpinan di PDAM di Klaten, apa yang dibutuhkan dan apa yang perlu dilakukan? Secara umum kepemimpinan di PDAM sama dengan di institusi lainnya. Terlepas dari kelemahan dan kekuatan kepemimpinan seseorang, PDAM Klaten memang membutuhkan kepemimpinan yang bisa membawa perusahaan berkembang maju dan mampu mensejahterakan karyawannya. Menjadi pemimpin itu memang harus bisa memberikan inspirasi dan motivasi
Atas perkenan Eko Setyo Utomo
bagi anak buah untuk mengikuti arahannya. Selama bekerja di PDAM saya telah mengalami tiga kali pergantian direktur dan saya diajarkan banyak hal mengenai loyalitas dan dedikasi yang tinggi dalam membesarkan perusahaan. Saya juga terinspirasi untuk melakukan banyak hal ketika menghadapi situasi sulit. Pada intinya, saya belajar bagaimana pemimpin harus bekerja keras dan disiplin supaya dapat diikuti anak buahnya. Apa visi anda dalam memimpin PDAM Klaten? Sejalan dengan visi Kabupaten Klaten: untuk memberikan layanan air minum kelas satu dan menjadi perusahaan yang sehat secara keuangan dan mendiri – menjadi perusahaan yang sehat dengan mimpi-mimpi yang besar. PDAM bisa menjadi perusahaan yang memenuhi tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG). Saya ingin perusahaan ini besar dan mampu memberikan kepuasan kepada pelanggan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Prinsip-prinsip apa yang Anda yakini selama ini dalam bekerja dan memimpin perusahaan ini? Ada banyak hal yang saya yakini dan bersifat prinsipil dalam bekerja.
37
Prakarsa April 2014
Pertama, terbuka dan berpikir positif. Dua periode menjadi Direktur PDAM, saya berusaha menerapkan prinsip kepemimpinan yang inklusif, membangun hubungan yang dekat dengan semua pegawai dan bawahan. Terbuka terhadap kritik dan masukan sekaligus memberikan pengawasan langsung kepada bawahan tentang hal-hal yang sangat prioritas. Sehingga karyawan akan mempercayai para pemimpin mereka dan pada gilirannya akan sangat membantu perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang terbuka dan positif. Kedua, dorong disiplin dan kerja keras. Bagi saya memimpin perusahaan yang pernah mengalami masa suram membutuhkan kerja keras, disiplin. Juga perlu adanya komitmen untuk dapat diberi kepercayaan oleh pemerintah maupun oleh karyawannya. Dibutuhkan dedikasi dan loyalitas yang tinggi yang memungkinkan perusahaan berkembang dan mengalami kemajuan dengan cepat. Ketiga, lurus dan bertanggung jawab. Prinsip dalam hidup saya adalah bekerja dengan baik seperti yang diminta. Saya berusaha bekerja selaras dengan aturan dan tata tertib. Semua pekerjaan harus bisa dipertanggungjawabkan di manapun dan kapanpun. Sehingga salah satu prinsip corporate governance yaitu transparansi dapat tercapai. Apa pendapat anda tentang perempuan bekerja di sektor infrastruktur? Bagi saya perempuan dan laki-laki sama saja. Memang perempuan di manapun memiliki beban yang lebih karena perannya dalam mendidik anakanak dan menjaga keluarga. Tapi bagi saya itu dua hal yang bisa dijalankan sekaligus. Beruntung saya punya suami yang mau berbagi dalam hal pengurusan rumah tangga. Dulu, waktu pekerjaan saya sangat banyak sampai harus lembur hingga malam di kantor, suami saya yang menjaga anak-anak. Keberadaan perempuan di sektor infrastruktur saya kira juga mulai banyak. Asalkan mau bekerja keras, jangan manja dan mau disiplin, kita bisa menjadi apa yang kita inginkan. Bagaimana hubungan Anda dengan staf PDAM? Saya menganggap staf atau karyawan sebagai teman dan itu bagi saya membuat hubungan kerja menjadi lebih nyaman dan tidak berjarak tetapi tetap profesional. Dengan menganggap mereka seperti teman saya bisa menggerakan mereka lebih fleksibel. Memberi motivasi untuk bekerja keras dan mencapai target lebih enak kalau disampaikan dalam suasana pertemanan.
38
Apa yang Anda lakukan untuk membangun jaringan dan berhubungan dengan dengan pihak luar? Kunci utama dalam membangun jaringan adalah komunikasi dan lobby. Saya melihat bahwa PDAM harus mampu menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan berbagai pihak yang strategis termasuk dengan pemerintah, DPRD, Pemerintah Pusat dengan PDAM daerah lain, masyarakat bahkan dengan pihak donor. Apa pandangan Anda tentang posisi masyarakat dalam program PDAM? Hubungan kami dengan masyarakat merupakan bagian penting dalam strategi kami. Kemajuan perusahaan akan turut ditentukan oleh seberapa besar perhatian perusahaan dalam membangun hubungan baik dengan masyarakat dan calon pelanggan. Oleh karena itu kami bekerja keras mengupayakan agar masyarakat berminat untuk menyambung saluran air minum. Dengan bekerja keras, bagaimana capaiannya? Berapa sambungan rumah tangga sekarang? Sekitar tujuh tahun yang lalu, jumlah sambungan air minum hanya 25.000 sambungan, kini telah mencapai 35.000 sambungan rumah tangga. Saya kira di tengah minat masyarakat yang masih rendah dan bahan baku air yang masih terbatas, capaian ini juga termasuk cukup signifikan. Bagaimana Anda dan PDAM membangun hubungan dengan masyarakat? Kami PDAM Klaten selalu menjaga reputasi kami di mata masyarakat dengan menunjukkan bukti produk dan layanan yang baik. Sehingga masyarakat memiliki ketertarikan untuk menyambung. Banyak orang enggan menyambung hanya dengan mendengarkan penyuluhan atau sosialisasi, tapi mereka dengan cepat mengambil keputusan ketika melihat kualitas air minum dan layanan yang disediakan PDAM bagus. Kami telah mengembangkan empat pendekatan untuk mendukung pencapaian ini: Pertama, menetapkan tarif wajar yang dapat dijangkau oleh masyarakat. PDAM tidak perlu mengambil keuntungan banyak dengan menaikkan tarif karena yang paling penting adalah jumlah pelanggan banyak dan berkelanjutan. Harga yang ditentukan terjangkau bagi masyarakat. Kedua, pendekatan kepada tokoh masyarakat. Pendekatan ini akan menjembatani efektifitas program PDAM kepada masyarakat serta memudahkan PDAM menyelesaikan masalah jika terdapat pengaduan masyarakat. Kami mencoba
Prakarsa April 2014
mengidentifikasi seorang tokoh masyarakat di tiap desa yang bisa menjadi penghubung komunikasi antara PDAM dengan masyarakat. Ketiga, menawarkan layanan segera. Pelanggan yang memiliki keluhan harus segera direspon dan ditanggapi, kalaupun tidak bisa penanganan langsung yang penting mereka mendapatkan informasi tentang penanganannya. PDAM Klaten menerapkan prinsip bahwa pelanggan adalah raja, dan mereka harus mendapatkan pelayanan 24 jam. Keempat, memberikan bukti pada masyarakat mengenai produk PDAM yang berkualitas tinggi. Air minum PDAM seharusnya memiliki tekanan yang tinggi dengan kuantitas dan kualitasnya bagus. Layanan PDAM juga harus prima dan terjaga keberlanjutannya. Maka masyarakat akan mempercayai dan tertarik untuk menyambung air minum. Bagaimana Anda mengelola SDM? Meskipun dengan berbagai keterbatasan manajemen, kami berupaya membangun kapasitas SDM kami. Berbagai pelatihan yang diselenggarakan PDAM maupun tawaran dari pihak luar telah diikuti pegawai senior dan junior, namun sebagai perusahaan yang sedang bekerja keras menata diri, perubahan tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. Saya akui juga bahwa masih banyak masalah pengelolaan SDM yang belum maksimal seperti delegasi kerja yang kurang merata. Namun demikian di masa depan kami akan menerapkan sistem punishment and rewards secara efektif. Penilaian sangat memuaskan dalam manajemen pengelolaan kepegawaian oleh tim AUDIT dari Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan kami jadikan sebagai pemicu untuk meningkatkan kinerja kami. Apa inovasi anda untuk mendorong managemen yang lebih baik? Kami sedang melakukan inovasi-inovasi yang berorientasi pada peningkatan sistem produksi dan pelayanan PDAM. Pada dasarnya saya ingin sekali melakukan perubahan yang positif baik dari aspek manajemen dengan mengadopsi berbagai sistem yang dianggap efektif seperti pembayaran rekening dengan bekerjasama dengan kantor pos dan bank. Manajemen sistem informasi juga sedang dikembangkan menggunakan basis IT yang memungkinkan informasi dapat diakses dan dipantau secara online baik dari aspek teknis maupun administratif. Namun demikian, upaya ini belum bisa direalisasikan karena SDM kami masih belum siap.
Bagaimana Anda melihat tata kelola keuangan PDAM Klaten? Pengelolaan keuangan di sini mendapatkan pengawasan yang ketat dan detail. Saya selalu mengecek dengan detail. Saya selalu berorientasi pada prinsip cost and benefit. Biaya yang dikeluarkan harus dalam pengelolaan yang efisien dan memberikan keuntungan yang maksimal namun tidak memberatkan pelanggan. Hasilnya kita bisa lihat dari penilaian audit bahwa pengelolaan keuangan kami juga menunjukkan efesiensi, wajar, dapat diterima dan bagus. Penagihan dan pembayaran juga dianggap baik. Apa pesan anda terhadap para perempuan dan anak muda lainnya supaya bisa menjadi pemimpin yang baik? Teruslah berkerja keras dan disiplin. Menjadi pribadi yang jujur dan ulet. Saya kira anak-anak muda sekarang jauh lebih punya kesempatan untuk maju karena banyak pilihan. Cita-cita yang baik pasti akan menemukan jalannya. — Wawancara ini dilakukan oleh Eko Setyo Utomo, Staf Gender IndII
Apakah Anda masuk dalam daftar pengiriman IndII? Jika Anda saat ini belum menerima terbitan jurnal triwulan Prakarsa dan ingin berlangganan, silakan mengirimkan e-mail ke:
[email protected]. Nama Anda akan kami masukkan dalam daftar pengiriman Prakarsa versi elektronik dan e-blast IndII. Jika Anda ingin menerima kiriman jurnal Prakarsa versi cetak, silakan menyertakan alamat lengkap pada e-mail Anda.
The Prakarsa Editorial Team Carol Walker, Managing Editor
[email protected] Eleonora Bergita, Senior Program Officer
[email protected] Pooja Punjabi, Communications Consultant
[email protected] Annetly Ngabito, Senior Communications Officer
[email protected] David Ray, IndII Facility Director
[email protected] Jeff Bost, Deputy Facility Director
[email protected] Jim Coucouvinis, Technical Director – Water and Sanitation
[email protected] John Lee, Technical Director – Transport
[email protected] Lynton Ulrich, Technical Director – Policy & Investment
[email protected]
39
Prakarsa April 2014
t
Pandangan Para Ahli
Pertanyaan:
Bagaimana upaya lembaga Anda memberi kontribusi bagi tercapainya tujuan mobilitas perkotaan secara keseluruhan?
M. Akbar, MSc Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta “Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memiliki kebijakan untuk menunjang mobilitas perkotaan yang merupakan keberpihakan/prioritas terhadap sistem transportasi umum massal yang memadai dalam melayani kebutuhan perjalanan masyarakat, baik di Jakarta sendiri maupun antara Jakarta dengan daerah di sekitarnya (Jabodetabek). Arah kebijakan pembangunan transportasi DKI Jakarta hingga tahun 2020 tertuang dalam Pola Transportasi Makro (PTM), yang diimplementasikan melalui tiga strategi, yaitu: pengembangan transportasi umum massal, pembatasan lalu lintas, dan peningkatan kapasitas jaringan. Pengembangan transportasi umum massal meliputi pembangunan busway (BRT, Bus Rapid Transit), Light Rail Transit (LRT)/monorail, dan Mass Rapid Transit (MRT). Pengembangan keempat jenis transportasi ini, di bawah Dinas Perhubungan, diharapkan selesai pada tahun 2020. BRT (busway) telah beroperasi sejak tahun 2004, dan hingga saat ini telah beroperasi 12 koridor dari 15 koridor yang akan dibangun, dengan jumlah armada sebanyak 794 unit, dan akan ada penambahan sekitar 500 unit di tahun 2014. Untuk menunjang layanan busway, telah dilakukan penambahan bus berukuran sedang (Kopaja/MetroMini) yang akan terintegrasi dengan busway yang dikenal dengan nama Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB). Untuk memberi pelayanan transportasi umum yang terpadu bagi daerah penyangga yang menuju Jakarta, telah dioperasikan Transportasi Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) pada tahun 2012, yang hingga saat ini telah beroperasi di 13 trayek dengan 143 unit APTB. Selain itu Jakarta juga akan mempunyai MRT, yang pembangunannya untuk tahap 1 Lebak Bulus–Bundaran HI telah dimulai tahun 2013, dan diharapkan selesai pada tahun 2016. Pembangunan monorail yang sempat terhenti telah dilanjutkan kembali oleh pihak swasta, yaitu PT Jakarta Monorail, dan direncanakan selesai pada tahun 2017. Beberapa kebijakan Pemprov DKI yang telah dilakukan dalam pembatasan lalu lintas antara lain 3-in-1 pada kawasan tertentu, penertiban parkir liar (on street), pembangunan fasilitas park-n-ride di Terminal Ragunan, dan Electronic Road Pricing (ERP) yang sedang dalam tahap pembangunan. Pemprov DKI juga tengah melakukan peningkatan jaringan jalan dengan pembangunan Area Traffic Control System (ATCS), pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang terintegrasi dengan stasiun kereta api (JPO Tanjung Barat dan JPO Lenteng Agung), dan juga telah direncanakan pembangunan fasilitas terintegrasi antara halte busway dengan stasiun kereta api (di daerah Jalan Juanda dan Manggarai), koridor busway yang terintegrasi dengan terminal bus, pembangunan jalan, pembangunan jaringan jalan, pembangunan flyover/ underpass, dan pengembangan kawasan pejalan kaki.
40
Prakarsa April 2014
t
Salah satu kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang merupakan kebijakan non-kendaraan bermotor (non-motorized) adalah dibangunnya jalur sepeda sepanjang 16,4km dengan jalur Cipinang–Pondok Kopi sepanjang 6,7km dan di Jalan Raya Bekasi Rorotan–Marunda sepanjang 9,7km. Kami harapkan kebijakan-kebijakan tersebut dapat mengatasi masalah lalu lintas di DKI Jakarta, sehingga dapat meningkatkan mobilitas perkotaan. Dukungan serta kepedulian masyarakat ikut menentukan keberhasilan berbagai kebijakan tersebut.” Azas Tigor Nainggolan, S.H., M.Si Ketua Dewan Masyarakat Transportasi Jakarta (DTKJ) 2006–2014 “Ada beberapa hal yang telah kami lakukan. Pertama, kami melakukan berbagai kajian mengenai persoalanpersoalan transportasi di Jakarta. Persoalan utama adalah kemacetan, yang disebabkan oleh buruknya kondisi transportasi umum, yang menyebabkan masyarakat memilih menggunakan alat transportasi pribadi. Kini Pemerintah Provinsi telah melakukan beberapa langkah terobosan, seperti membangun sistem BRT, Namun langkah ini baru merupakan salah satu pendekatan untuk memecahkan persoalan buruknya layanan transportasi umum di Jakarta. Masih banyak persoalan lain seperti transportasi reguler, serta integrasi dengan moda lain yang masih menjadi persoalan. Sistem transportasi yang baik perlu dibangun supaya orang mau beralih dari moda lain ke transportasi umum massal. Dalam konteks ini, menjadi tugas DTKJ untuk melakukan kajian-kajian tersebut dan memberi masukan pada Gubernur tentang kebijakan transportasi. Di samping itu, kami juga berupaya membangun kesadaran baru di masyarakat untuk mengubah perilaku, dari dengan mudah menggunakan kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum massal, dengan melakukan sosialisasi permasalahan transportasi di Jakarta, baik dengan membuka pos pengaduan melalui telepon, faks, surel, maupun media sosial, maupun mengadakan dialog publik dengan masyarakat mengenai isu-isu yang kami anggap penting. Kami juga mengadakan penyuluhan media (media briefing) terutama pada saat ada kajian yang kami terbitkan, atau bila terdapat masalah transportasi yang sedang ditangani, dan kami baru menyampaikan rekomendasi kepada Gubernur. Kami juga ingin agar media massa memiliki perspektif dan wawasan dalam persoalan transportasi. Selain beberapa hal di atas, kami juga melakukan advokasi kebijakan. Ada tiga Perda yang berhasil kami dorong untuk disahkan setelah tiga tahun, yaitu Perda BUMD TransJakarta, Perda Transportasi, dan Perda BRT. Kami memberi dukungan dengan melakukan lobi kepada DPRD. Meski tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) DTKJ ada di Dinas Perhubungan, namun lingkup kerja kami kembangkan sendiri. Misalnya, ketika ada pengaduan soal trotoar, yang menjadi wilayah dinas Pekerjaan Umum, kami juga melakukan pendekatan dan mengembangkan isu tersebut ke aksesibilitas kelompok penyandang disabilitas. Atau, ketika kami akan membuat busway koridor 13 yang menggunakan jalur jalan layang (elevated), prosesnya tidak ada hambatan, karena kami juga melakukan lobi ke Bappeda dan ke UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Jadi, kami tidak hanya berhubungan dengan Dinas Perhubungan saja, karena persoalan transportasi bukan cuma persoalan transportasi umum, juga bukan sekedar persoalan teknis semata, namun lebih banyak merupakan persoalan nonteknis; seperti perilaku masyarakat, persoalan politis, dan lainnya. Kalau bicara transportasi, ya, bicara politik.”
41
Prakarsa April 2014
Hasil: Proyek Pelabuhan Makassar Bergerak Maju Tujuan Kegiatan Percontohan Pelabuhan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS,/Public Private Partnership, PPP) dari IndII adalah untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi pelabuhan. Hal ini dilakukan dengan mendukung pengembangan rencanarencana induk pelabuhan dan menyediakan sebuah prosedur model untuk menyiapkan proyek pengembangan pelabuhan dengan partisipasi sektor swasta. Kegiatan ini dibagi menjadi dua tahap. Pencapaian Tahap 1 sekarang ini tengah merintis jalan untuk pelaksanaan Tahap 2. Sebagai bagian dari tahap pertama, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menerbitkan sebuah keputusan, KP no. 1304/2013, untuk memberi kewenangan kepada Tim Teknis, yang terdiri dari wakil-wakil dari Kemenhub, Bappenas, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia (BKPM), Otoritas Pelabuhan Makassar, dan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Daerah Kota Makassar. Selanjutnya, Rencana Induk Pelabuhan Baru Makassar (Makassar New Port) dan studi prakelayakannya akan dinilai. Selain itu, pegawai pelabuhan dilatih mengenai persiapan proyek dalam dua lokakarya peningkatan kapasitas. Pemangku kepentingan lain yang telah terlibat dalam diskusi kegiatan mencakup Kementerian Keuangan, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) dan PT Sarana Multi Infrastruktur. Dukungan mereka sangat penting sementara kegiatan ini bergerak maju menuju dikembangkannya proyek KPS yang layak dan menguntungkan lengkap dengan semua persetujuan pemerintah dan dukungan penjaminan yang diperlukan.
PRAKARSA EDISI MENDATANG Penyediaan Layanan Lokal Seorang politisi Amerika pernah mengucapkan kalimat yang kemudian jadi terkenal, “Semua politik bersifat lokal.” Pengamatan ini dapat juga diterapkan pada pelayanan di sektorsektor seperti air minum dan sanitasi. Terutama di era pasca-desentralisasi, penyampaian layanan yang efektif bergantung pada pengaturan tata kelola yang baik di tingkat lokal: buy-in (dukungan dan partisipasi) dari pejabat-pejabat Pemerintah Daerah, keterlibatan masyarakat, dan akuntabilitas pihak-pihak yang memberi layanan. Prakarsa edisi bulan Juli 2014 akan menelaah topik penyampaian layanan lokal melalui sudut pandang pekerjaan yang dilakukan IndII, yang menggambarkan dinamika seputar Indeks Air Minum dan Sanitasi, pengembangan standar layanan lokal, dan keterlibatan Organisasi-Organisasi Berbasis Masyarakat dalam menyediakan layanan air minum.
42