1 Redaksi Penanggung Jawab: Dody Budi Waluyo Pemimpin Redaksi: Difi A. Johansyah Redaksi Pelaksana: Harymurthy Gunawan, Rizana Noor, Tutut Dewanto, Dedy Irianto, Diyah Woelandari, Wahyu Indra Sukma, Risanthy Uli N Alamat Redaksi Humas Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin 2 - Jakarta Telp. : 021 - 3817317, 3817187 email :
[email protected], website : www.bi.go.id Foto: “Sanur Pagi Hari” oleh: I Gusti Ngurah B. Pradyana
MEJA REDAKSI Pembaca
yang
budiman, Gerai Info edisi akhir tahun 2012 menyorot persiapan
kehadiran
sebuah institusi pengawas lembaga keuangan baru bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan hadirnya OJK, tugas BI selaku pengawas bank pun dialihkan ke OJK awal 2014 nanti. Selama masa transisi tersebut, BI melakukan berbagai
persiapan.
Misalnya,
penyesuaian
struktur
organisasi
baru di internal bank sentral
pasca
urusan
pengawasan beralih ke OJK. Begitu pula BI akan fokus pada tugas barunya menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) melalui kebijakan moneter dan makroprudensial. Kedua lembaga ini berkolaborasi mengawal kemajuan perekonomian negara ini.
Salam, Difi A. Johansyah Kepala Grup Humas Bank Indonesia Redaksi menerima kiriman naskah dan mengedit naskah sebelum dipublikasikan.
Edisi 33 | Desember 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Pengawasan Bank :
Duet Hebring BI & OJK,
Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi S udah bukan rahasia lagi bahwa bank merupakan industri yang paling banyak punya aturan main (highly regulated) dibandingkan bisnis lainnya. Selain diatur, bank juga diawasi oleh otoritas pengawas. Mengapa bank mesti diatur dan diawasi? Ya, maklumlah karena bank merupakan bisnis kepercayaan yang mengelola dana masyarakat. Pengaturan dan pengawasan bank bertujuan agar institusi tersebut berjalan dalam koridor kehati-hatian yang muaranya melindungi kepentingan nasabah. Biasanya, pengaturan dan pengawasan bank mengikuti perkembangan produk dan layanan jasa perbankan. Ambil contoh Indonesia. Tatkala produk dan layanan perbankan di dalam negeri masih tergolong konvensional, yakni sebatas simpanan dan kredit, fungsi pengawasan bank dalam kerangka menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK) dipercayakan kepada Bank Indonesia (BI). Namun, seiring perjalanan waktu, produk dan layanan perbankan terus mengalami perkembangan yang terintegrasi dengan produk keuangan lainnya, seperti asuransi, pasar modal hingga dana pensiun. Akhir-akhir ini, tren konglomerasi di industri keuangan pun seperti tak terhindarkan. Ada bank yang memiliki anak usaha di industri asuransi, lembaga keuangan nonbank, dana pensiun dan lainnya. Untuk mengawasi industri keuangan yang menggurita ini sudah barang tentu diperlukan pengawasan terintegrasi. Pengawasan terintegrasi barulah salah satu tawaran pilihan dari sekian banyak model yang bisa dipakai sesuai kebetuhan, perkembangan sosial dan politik di setiap negara. Indonesia memilih model pengawasan terintegrasi dalam mengawasi industri perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan nonbank dalam satu atap bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lahirnya OJK melalui Undang-Undang No.21 tahun 2011 tentang OJK tak lepas dari respons atas perkembangan situasi seperti yang digambarkan di atas. OJK adalah sebuah lembaga independen yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang mengatur, mengawasi, memeriksa, dan menyidik keseluruhan kegiatan jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan nonbank. Muara dari kegiatan pengawasan mikroprudensial yang dilakukan OJK adalah semakin terintegrasinya upaya perlindungan nasabah.
Kehadiran OJK mengharuskan BI menyerahkan urusan pengawasan bank paling lambat akhir Desember 2013. Sedangkan urusan pengawasan industri keuangan nonbank dan pasar modal yang dilakukan Kementerian Keuangan dan Bapepam sudah dialihkan ke OJK awal 2013. Pasca OJK, bank sentral akan fokus mengurusi kebijakan moneter dan menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK) melalui pengawasan makroprudensial sebagaimana diamanatkan Pasal 7 UU OJK. Yang dimaksud dengan pengawasan makroprudensial adalah upaya meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan memitigasi risiko sistemik yang timbul akibat keterkaitan antarinstitusi keuangan. Dalam melakukan pengawasan makroprudensial, BI akan mengupayakan sejumlah langkah guna mengidentifikasi potensi ancaman baik yang bersumber dari dalam sektor keuangan maupun kondisi ekonomi domestik dan global. Guna mengendus potensi ancaman, BI memakai laporan keuangan bank yang dikirim ke bank sentral secara regular (harian, bulanan, triwulanan dan tahunan). Informasi tersebut diperlukan sebagai bahan dasar BI mengetahui kondisi perbankan dengan melakukan simulasi (stress test) dan mekanisme early warning signal. Dalam melakukan pengawasan makroprudensial, BI juga akan memanfaatkan laporan industri keuangan nonbank dari OJK untuk mengendus potensi ancaman sistemik terhadap SSK. Pemantauan bank sentral juga akan memindai perkembangan ekonomi makro domestik dan internasional yang berdampak kepada industri keuangan. Hasil surveillance tersebut akan menjadi bahan bagi BI dalam merumuskan kebijakan makroprudensial. Dari paparan di atas terlihat bahwa telah terjadi perubahan besar dalam pengawasan sektor keuangan. Indonesia sudah memutuskan menganut sistem pengawasan terintegrasi yang dijalankan OJK, sementara BI fokus pada pengawasan makroprudensial. Kedua otoritas tersebut saling membutuhkan satu dengan yang lain. Stabilitas mikro tidak akan terjadi kalau kondisi makro babak belur, begitu sebaliknya. Untuk itulah, kedua lembaga pengawas mikroprudensial dan makroprudensial harus membangun mekanisme koordinasi dan kolaborasi yang solid guna mengawal industri keuangan dan stabilitas SSK. Nah, kalau itu terjadi, duet hebring BI dan OJK ini merupakan modal utama bagi perekonomian untuk tetap melaju dan bertumbuh. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | Desember 2012 | Edisi 33
2
IKHTISAR
Menyiapkan
Transisi Pengawasan Bank T
ugas Bank Indonesia (BI) melakukan pengawasan sektor perbankan akan berakhir pada Desember 2013. Selanjutnya, tugas tersebut akan diemban oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pasca berdirinya OJK, tugas BI fokus pada kebijakan moneter dan menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK) melalui pengawasan makroprudensial. BI juga sudah membuat langkah antisipasi dengan tugas barunya tersebut. Pendekatan makroprudensial ditujukan untuk melihat risiko sistemik yang mengancam sistem keuangan secara keseluruhan yang terdiri atas lembaga, pasar dan infrastruktur keuangan, termasuk perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga. Sejatinya, BI sudah mengantisipasi akan pentingnya menjaga SSK dengan membentuk Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK) pada 2003. Tugas biro ini adalah mendeteksi sumber gangguan SSK baik yang berasal dari kegagalan
bank, sektor keuangan dan kondisi makro ekonomi nasional dan internasional. BSSK merilis hasil kajian terkait SSK dua kali dalam setahun sejak tahun 2004. Dalam rangka pengalihan fungsi pengawasan bank ke OJK, agar tidak terjadi tumpang tindih, BI harus menata kembali fungsi pengawasan makroprudensial tersebut. Untuk itu telah dibentuk tim Task Force (TF) untuk menyiapkan proses bisnis BI ke depan setelah pengawasan bank beralih ke OJK. Sejalan dengan itu, juga telah dibentuk TF Pengalihan Fungsi Pengawasan Bank ke OJK (TF OJK) yang sudah mulai bekerja sejak awal 2012. Sesuai dengan namanya, tugas tim ini adalah menyusun seluruh rencana pengalihan fungsi pengawasan bank ke OJK, termasuk mengawal proses implementasinya. Karena itu, tim TF terdiri dari 5 (lima)sub tim besar, yaitu Tim Pengawasan Bank, Tim Pengembangan, Pengaturan & Perizinan Bank, Tim Organisasi,
SDM dan Hukum, Tim Data dan Sistem Informasi, serta Tim Logistik, Dokumen & Komunikasi. Dalam pelaksanaan tugasnya TF OJK selalu berkoordinasi dan bekerja sama dengan Tim Transisi yang telah dibentuk oleh Dewan Komisioner OJK. Dewan Gubernur BI telah menyetujui struktur organisasi BI ke depan dan struktur organisasi pengawasan bank di BI pada tahun 2013. Struktur organisasi pengawasan ini dibentuk sama persis (mirroring) dengan struktur organisasi pengawasan bank di OJK dan pada awal 2013 akan mulai diujicobakan. Promosi, mutasi dan rotasi pegawai telah dilakukan untuk dengan semangat mengawal pelaksanaannya agar sukses sampai ke tujuan. Nah, diharapkan dengan persiapan yang begitu matang tersebut, proses pengalihan pengawasan bank dari BI ke OJK berjalan lancar.
Evolusi Mandor Keuangan M
asih ingetkan pelajaran biologi waktu kita sekolah dulu, soal pelajaran biologi khususnya tentang sistem pembelahan sel dalam teori reproduksi. Teorinya bilang dari hasil pembelahan sel akan muncul organisme baru yang membawa sifat atau DNA yang mirip induk semangnya. Mumpung lagi ngomongin evolusi organisme baru melalui pembelahan sel ini, bukankah kelahiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai mandor pengawas baru sektor perbankan, pasar modal, asuransi, lembaga keuangan nonbank, dana pensiun, boleh dibilang mirip teori evolusi pembelahan sel. Lho, kok bisa begitu? Edisi 33 | Desember 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Tengoklah organisme baru OJK ini secara intrinsik membawa DNA Bank Indonesia dan juga DNA Bapepam sebagai pengawas lembaga keuangan non bank. Keduanya menurunkan sifat waspada dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas. Oleh karena itu, organism baru yang bernama OJK baru, kemanapun pergi akan selalu bersikap waspada dan hati hati, seperti kedua orang tuanya. Bedanya, BI mewarisi sifat mengawasi makroprudensial, sedangkan OJK mewarisi sifat mengawasi mikroprudensial. Kalau dipikir-pikir, lahirnya organisme baru OJK merupakan bagian dari evolusi sistem keuangan guna menghasilkan sebuah organisme yang lebih baik yang mampu
menjawab tantangan alam keuangan. Biologi menunjukkan bahwa makhluk hidup untuk dapat terus hidup haruslah beradaptasi, evolusi dan bahkan juga bermutasi. Caranya dengan selalu meningkatkan sifat yang baik dan mengurangi sifat buruk melalui reproduksi dan juga simbiosis mutualisme alias sinergi. Sinergi yang menghasilkan 1 + 1 > 2! Disinilah kita berhadap adanya sinergi antara BI dan OJK agar menjawab tantangan tadi bahwa satu per satu itu lebih besar dari dua. Jadi, makro + mikro akan lebih bagus ketimbang makro + mikro digabung jadi satu. Kestabilan keuangan tidak lagi kestabilan moneter dan perbankan, tapi kestabilan moneter dan sistem keuangan!
WAWASAN
Permasalahan Pengawasan Bank
Sebagai Public Darling
Triyono, Peneliti Senior Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Dalam penugasan di OJK
I
stilah media darling ditujukan kepada figur yang sering menjadi headline di media massa. Tingkah laku figur publik ini menjadi komoditi yang laku untuk diberitakan guna mendongkrak tiras atau rating media tersebut. Demikian halnya dengan permasalahan bank yang selalu menarik untuk diberitakan. Bahkan kita bisa amati tidak hanya dalam bentuk pemberitaan, namun juga dalam bentuk kolom keluhan atau sekedar cerita mengenai kualitas pelayanan perbankan. Seringkali bahkan permasalahan perbankan yang terjadi justru dikait-kaitkan dengan permasalahan nonkeuangan, sehingga menambah kompleksitas dari permasalahan yang terjadi. Sebut saja misalnya kasus Bank Century, yang penyelesaiannya menjadi semakin rumit ketika merambah ke ranah politik dan penegakan hukum. Sebagai konsekuensinya, permasalahan pengawasan perbankan juga ikut menjadi sorotan publik. Ada beberapa alasan yang menyebabkan permasalahan pengawasan di ranah perbankan menjadi perhatian publik : Pertama, layanan jasa keuangan sudah sangat dalam merasuk kepada aktivitas hidup sehari-hari masyarakat. Bahkan dengan program financial inclusion, akses kepada lembaga keuangan terus didorong, karena dipercaya menjadi salah satu kendaraan menuju perbaikan kesejahteraan masyarakat. Pesan yang ingin disampaikan, tidak ada kesejahteraan tanpa akses keuangan, bahkan kehidupan akan lebih mudah dengan akses keuangan. Kedua, terkait dengan kuatnya ketergantungan kehidupan masyarakat terhadap sistem pembayaran yang dilakukan oleh lembaga keuangan. Secara ketentuan
kliring saat ini hanya dapat dilakukan oleh perbankan, meskipun dalam praktiknya sistem pembayaran secara umum juga bisa dilakukan lembaga keuangan lainnya. Begitu sistem pembayaran berhenti, maka seolaholah dunia bisnis berhenti berputar. Ketiga, uang dalam jumlah sedikit saja selalu menarik perhatian, apalagi dalam jumlah banyak seperti yang dikelola lembaga keuangan. Masyarakat menilai tingkat pencurian di lembaga keuangan memiliki derajat kesalahan lebih tinggi daripada kejahatan di tempat lain. Keempat, lembaga keuangan menjalankan bisnisnya atas dasar prinsip kepercayaan. Tanpa kepercayaan, mustahil para penabung mau menitipkan uangnya dan para kreditur menginvestasikan uangnya. Penabung dan investor selalu ingin mendapat informasi sedini mungkin apabila ada masalah terkait lembaga keuangan yang dipercayainya. Kelima, penyelamatan lembaga keuangan seringkali melibatkan uang negara di dalamnya. Penggunaan uang negara itu sering juga dikaitkan dengan potensi korupsi. Dengan demikian, penyelamatan bank akan menjadi sasaran empuk dari penelisikan oleh penegak hukum, dan publik juga akan menuntut keterbukaan informasi. Kelima alasan di atas walaupun masih bisa ditambah, rasanya sudah cukup menggambarkan betapa pentingnya menangani permasalahan perbankan dengan baik. Ketidak cermatan penanganan akan memberikan dampak yang cukup serius, istilahnya adalah berdampak sistemik. Siapa yang berkewajiban menangani masalah ini? Tentu saja otoritas pengawas perbankan. Jadi bisa diartikan bahwa dalam perbankan modern, kehadiran pengawasan perbankan adalah sebuah keniscayaan. Apabila ingin menjalankan usaha perbankan, bank harus mau diawasi. Pengawasan ini sudah menjadi kebutuhan para nasabah untuk menitipkan mata mereka dalam pengelolaan dana yang diinvestasikan. Bagi perbankan juga pengawasan diperlukan agar memberikan keyakinan kepada nasabah bahwa dana yang dititipkan akan dikelola dengan baik. Pengawasan bank menjadi titik temu yang menjalin ikatan nasabah dan lembaga keuangan. Patut diingat juga bahwa dengan menyadari posisi sentral dari pengawasan bank, maka
3
pengawas bank tidak boleh asal bekerja dan dituntut untuk memiliki kualitas yang sangat baik. Bicara kualitas, tidak hanya mencakup metodologi pengawasan, namun juga faktor integritas dari pengawas. Metodologi dapat dipertajam dengan pelatihan dan riset. Integritas diperkuat dengan budaya kerja dan penegakan etika serta aturan internal. Kalau boleh digambarkan, sebetulnya pengawasan ini berbentuk segitiga. Salah satu sudut ditempati oleh otoritas pengawas, sudut lainnya ditempati manajemen internal dan market conduct. Dengan kata lain, pemilik atau manajemen bank dan masyarakat ikut terlibat dalam proses mengawasi bank. Manajemen bank bertanggung jawab pada pelaksanaan pengendalian internal dan tata kelola usaha yang baik berasaskan prinsip kehati-hatian. Sedangkan masyarakat diperlukan untuk menjadi penjaga dan whistle blower apabila bank melakukan praktik yang menyimpang. Semua kegiatan pengawasan tersebut memerlukan anggaran dalam pelaksanaannya. Biaya pengawasan selama ini tidak terasa, karena dibayar BI. Kesepakatan dan pengaturan diperlukan apabila pada suatu saat biaya pengawasan ini tidak dibebankan lagi kepada anggaran BI. Formula yang paling pas memang diperlukan agar tidak menjadi faktor pemberat bagi bisnis ataupun menjadi faktor penyumbang inefisiensi. Kegiatan pengawasan perbankan mengerucut pada upaya melindungi kepentingan nasabah. Mungkin sebagian menganggap bahwa ada posisi yang tidak berimbang, karena nasabah diberi porsi perlindungan yang lebih besar dari pada bank. Namun sebenarnya bisa dianggap wajar mengingat posisi nasabah sebagai penitip dana yang lebih lemah, dibandingkan dengan bank sebagai lembaga pengelola dana. Pihak pengelola dana sudah selayaknya bersikap lebih hati-hati dalam menjaga amanah. Namun demikian, sebagai otoritas pengawas yang menjaga integritas sesuah sistem, tentu saja praktik penipuan oleh nasabah kepada lembaga keuangan juga akan menjadi perhatian dalam menganalisis sebuah persoalan. Ibarat membawa gerabah yang mudah pecah, permasalahan perbankan ini memang harus ditangani secara berhati-hati dengan keahlian tertentu. Salah dalam penanganan akan mengkibatkan imbas yang tidak terkendali ke semua sektor. Nah, (karena permasalahan pengawasan bank sudah menjadi public darling) sebagai public darling, maka pengawasan bank harus dilakukan secara proporsional dan terukur dalam koridor ketentuan yang telah digariskan. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | Desember 2012 | Edisi 33
4
EDUKASI
Menuju Pengawasan Terintegrasi
Tony, Peneliti Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan
S
istem keuangan terdiri dari beberapa lembaga penyelenggara jasa keuangan. Anggota dari sistem keuangan itu misalnya bank, asuransi, dana pensiun bahkan sampai pasar modal. Pada praktik bisnis sehari-hari, ternyata lembaga keuangan ini saling terkait. Contoh kecil saja, apabila seorang nasabah mendapat kredit pemilikan rumah (KPR), bisa saja kredit itu berasal dari perusahaan pembiayaan nonbank. Perusahaan pembiayaan itu membiayai KPR ini dengan menggunakan dana yang berasal dari bank, karena tidak bisa langsung mengambil dana dari masyarakat. Kemudian sebagai debitur, nasabah KPR ini juga perlu memberikan jaminan pengembalian kreditnya dengan perlindungan asuransi jiwa. Sehingga apabila terjadi sesuatu dengan nasabah, maka bank tetap terlindungi dan tidak menjadi macet kreditnya. Kenyataan di bisnis keuangan ini tentu saja merupakan sebuah kesempatan bisnis tersendiri. Maka sangat wajar apabila kemudian perbankan melebarkan sayapnya untuk memiliki bisnis keuangan lainnya. Bank bisa memiliki asuransi, lembaga pembiayaan nonbank, perusahaan sekuritas dan lainnya. Pemilikan bank atas lembaga keuangan lainnya ini selain membawa manfaat bagi bank, tentu saja memiliki risiko. Untuk membatasi risiko ini, BI melarang bank untuk memiliki anak perusahaan di luar lembaga keuangan kecuali dalam rangka penyelamatan kredit. Faktor lain yang menyebabkan timbulnya keterkaitan antarlembaga keuangan ini juga dipicu oleh kebutuhan dari nasabah itu sendiri. Nasabah ingin praktis dengan mendatangi suatu tempat yang menyediakan one stop service. Edisi 33 | Desember 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Terkadang nasabah tidak semuanya ingin menempatkan dana mereka pada deposito, tetapi mereka juga ingin menempatkan dalam investasi yang memberikan hasil lebih tinggi. Untuk melayani kebutuhan ini, bank bisa menjadi agen produk investasi. Secara alamiah, nasabah ingin di-‘manja’-kan oleh lembaga keuangan yang akan menjadi faktor pembentuk kesetiaan nasabah. Dalam suatu penelitian oleh OECD, dikemukakan terdapat empat tipe struktur konglomerasi, yaitu integrated model, parentsubsidiaries model, holding company model, dan horizontal group model. Integrated model. Dalam model ini, jasa keuangan yang diperbolehkan ditawarkan dalam satu entitas yang sama. Misalnya, model universal bank, dimana bank komersial dan bank investasi dikombinasi dalam satu entitas (legal entity). Struktur ini merupakan struktur yang umum yang diperbolehkan dalam Consolidated Banking Directive dan umumnya ditemukan di negara eropa. Parent-subsidiaries model. Struktur kelompok keuangan ini ditemukan biasanya di Irlandia dan Inggris. Ada banyak varian dari model ini termasuk bank sebagai induk dan lembaga sekuritas sebagai anak perusahaan, bank sebagai induk dan asuransi sebagai anak perusahaan, serta usaha asuransi sebagai induk, dan bank sebagai anak perusahaan. Holding company model. Dalam model ini, satu perusahaan mengendalikan beberapa anak perusahaan yang terspesialisasi, yang umumnya pada sektor keuangan. Fungsi umum seperti manajemen risiko, pemupukan dan alokasi modal, teknologi informasi dan backoffice disentralisasi di holding company, tetapi holding company tersebut melakukan kegiatan operasional, namun tidak berhubungan dengan nasabah. Secara prinsip, bisa terdapat satu atau beberapa entitas dibawah holding company, termasuk holding company lainnya. Sebagai contoh, top holding company membawahi dua holding company, di mana satu holding mengendalikan anak perusahaan berupa bank, yang lain membawahi anak perusahaan berupa asuransi. Horizontal group model. Pada kelompok ini, entitas tidak terhubung satu sama lain melalui modal langsung atau tidak langsung. Sebaliknya, mereka dapat dianggap milik kelompok yang sama karena anggota pengurus perusahaan mereka sebagian besar orang yang sama
Penyatuan dan keterkaitan bisnis keuangan seperti di atas tentu memberikan konsekuensi adanya perubahan cara pengawasan bank. Dulu pendekatan pengawasan hanya kepada banknya saja dan tidak terlalu memperhatikan anak perusahaan lainnya. Harus ada penyesuaian, agar pengawasan tetap efektif, yang kemudian memerlukan pengawasan terkonsolidasi. Pengawasan perbankan secara konsolidasi saat ini dibagi menjadi tiga level. Level 1 merupakan pengawasan atas bank secara solo basis atau invidu, jadi bank dan lembaga keuangan nonbank diawasi secara sendirisendiri. Level 2 merupakan pengawasan atas bank sebagai perusahaan induk yang memiliki anak perusahaan (down stream). Level 3 merupakan pengawasan yang bersifat keseluruhan (upstream dan downstream) yang meliputi perusahaan induk dari bank (parent company), bank, anak perusahaan bank (subsidiaries), dan sister company dari bank. Pada saat ini, BI telah menerapkan pengawasan konsolidasi Level 2 dengan beberapa pengecualian terutama untuk bank yangmemilikianakperusahaanasuransi,namun metodologi ini merupakan suatu landasan awal yang baik. Kedepannya, pengawasan konsolidasi tersebut harus disempurnakan, sehingga dapat tercipta suatu pengawasan yang terintegrasi. Penyempurnaan ini meliputi, misalnya, wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap perusahaan induk dan sister company bank, menyempurnakan kerangka, metodologi, dan standard operating procedure pengawasan, menyiapkan sumber daya manusia, menyempurnakan organisasi pengawasan, dan lainnya. Proses penyempurnaan ini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama, namun hal ini perlu dilakukan sehingga tujuan dari pengawasan dapat tercapai. Pembentukan lembaga pengawasan yang terpadu (integrated approach) seperti OJK sangat memungkinkan diterapkannya pengawasan terkonsolidasi. Seluruh lembaga keuangan sudah berada di bawah pengawasan OJK. Tinggal sistemnya yang disempurnakan. Penyempurnaan itu tentu saja mulai dari mekanisme pelaporan hingga sistem analisis terpadu. Yang tidak kalah pentingnya adalah upgrading pengetahuan bagi para tenaga pengawas agar bisa menjalankan pengawasan secara terkonsolidasi dengan baik.
EDUKASI
5
Pelaporan Sebagai
Jantung Pengawasan Bank
Filza Kurnia, Pengawas Bank Departemen Pengawasan Bank 3 BI
P
encatatan transaksi sangatlah penting dalam kegiatan ekonomi. Dengan adanya pencatatan ini, maka kita dapat dengan mudah mengetahui informasi terkait kegiatan ekonomi yang kita lakukan. Pencatatan ini biasanya disajikan dalam bentuk laporan keuangan. Berapa jumlah harta yang kita miliki, bagaimana kinerja penjualan yang telah kita capai, dan berapa prestasi laba yang kita peroleh, semua hanya bisa diperoleh melalui pencatatan yang baik. Dari sisi pengawasan, pencatatan dan pelaporan ini juga akan memudahkan proses pengawasan. Beberapa kebijakan dan pengaturan selalu didasarkan kepada data keuangan. Pengawas perbankan merupakan pihak yang melakukan pengecekan terhadap fakta ex-post alias yang telah terjadi. Atas dasar informasi lampau ini, maka dengan kemampuan manajemen risiko yang dimiliki oleh pengawas, prediksi terhadap ex-ante juga akan bisa dilakukan. Kepentingan untuk dapat mengerti mengenai gambaran ke depan ini sangat penting terutama untuk membuat sistem peringatan dini. Belum lagi dengan pengujian menggunakan berbagai skenario (stress testing), maka pengawas dapat memiliki gambaran yang lebih lengkap. Sebagaimana dinyatakan dalam prinsip pengawasan yang baik (dokumen Basel Core Principles for Effective Banking Supervision), pengawas harus memiliki kewenangan untuk memperoleh segala bentuk data dan informasi dari lembaga yang diawasi. Data dan informasi ini disajikan dalam bentuk laporan. Pengawas mewajibkan bank untuk
memberikan laporan baik secara rutin maupun insidentil. Dalam pengawasan yang terkonsolidasi, maka terdapat kewajiban bagi bank untuk menyajikan data keuangan terkait dengan perusahaan lainnya. Secara singkat mungkin dapat dikatakan bahwa pengawasan perbankan akan lumpuh dengan ketidakadaan pelaporan. Dalam kaitan pelaporan ini, kita tentu tidak hanya berbicara mengenai kuantitas saja, melainkan perlu diikuti dengan kualitas. Kualitas pelaporan yang baik tentu harus memenuhi kriteria LAKU (lengkap, akurat, kini, dan utuh). • Pelaporan dikatakan lengkap apabila semua informasi disajikan seluruhnya dalam berbagai bentuk laporan. Regulator menetapkan jenis-jenis laporan bank yang digunakan sebagai materi analisis. • Pelaporan yang akurat mencerminkan kondisi bisnis sewajarnya dengan menggunakan prinsip pencatatan (akuntansi) yang diakui secara luas, sehingga laporan yang dibuat dapat diperbandingkan antarinstitusi dan antarwaktu. • Kekinian pelaporan juga sangat penting, karena keputusan bisnis harus dilakukan dalam waktu cepat. • Terdapat tuntutan bahwa laporan itu harus utuh dan tidak ada yang disembunyikan, karena kekurangan informasi akan mengakibatkan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Penurunan kualitas pelaporan secara sengaja mengindikasikan bahwa lembaga keuangan ingin menghindari atau menyembunyikan sesuatu permasalahan yang tidak ingin diketahui oleh pengawas atau masyarakat. Penyembunyian informasi ini tentu akan berdampak fatal terhadap penilaian institusi tersebut. Berbicara mengenai kualitas pelaporan ini, tidak akan lepas dari kemampuan untuk melakukan verifikasi terhadap laporan tersebut. Begitu laporan itu diterima oleh pengawas, untuk sementara laporan dapat digunakan untuk analisis. Namun pada kesempatan berikutnya, pengawas akan melakukan pengecekan terhadap akurasi pelaporan. Prinsip yang harus dihindari adalah garbage in - garbage out (data yang buruk akan menghasilkan keputusan dan judgement yang salah). Tanpa kewenangan untuk melakukan verifikasi ini, maka akan menurunkan tingkat keyakinan terhadap laporan.
Di dalam era keterbukaan seperti saat ini, publik juga menghendaki adanya pelaporan yang tersedia bagi semua orang. Untuk menjawab tuntutan ini, regulator mewajibkan bank untuk menyajikan laporan keuangan secara teratur di media massa. Bahkan beberapa lembaga swadaya masyarakat maupun akademisi pun akan mendapatkan laporan keuangan tahunan dari perbankan, melalui mekanisme yang ditetapkan oleh regulator. Keterbukaan ini akan sangat bermanfaat bagi para nasabah untuk ikut mengetahui kondisi dari bank yang dipercayainya dan turut serta dalam mekanisme pengawasan. Pelaporan ini tidak hanya akan berguna bagi pengawasan secara mikro per individu bank, namun akan bermanfaat juga bagi pengawasan secara makro. Laporan keuangan akan diagregasi untuk memberikan gambaran yang terjadi di industri perbankan. Kualitas pelaporan individu yang baik tentu akan mempengaruhi kualitas pengambilan kebijakan makro. Saat ini, di Bank Indonesia (BI), melalui pelaporan secara on-line, data perbankan digunakan sekaligus untuk kepentingan formulasi kebijakan makro dan pengawasan bank (mikro). Ke depan, dengan hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diperlukan adanya pengaturan kembali mengenai mekanisme pelaporan perbankan. BI maupun OJK samasama memerlukan data laporan keuangan secara utuh dan akurat. Namun dengan beralihnya fungsi pengawasan bank ke OJK, maka BI tidak dapat melakukan verifikasi terhadap pelaporan yang disampaikan bank. Verifikasi ini hanya dapat dilakukan oleh OJK. Kerjasama yang baik antar BI dan OJK menjadi faktor kunci. Kebijakan makro yang diambil oleh BI, sudah selayaknya mecakup seluruh kegiatan sektor keuangan dan tidak terbatas pada perbankan.Momentumpengawasanterintegrasi yang dilakukan OJK, dapat dimanfaatkan BI agar lebih mudah dalam memperoleh data lembaga keuangan nonbank. Demikian pula, bagi OJK pelaksanaan fungsi pengawasan mikro yang terintegrasi memerlukan informasi dari sisi makro yang dapat diperoleh dari BI. Nah, disinilah urgensi kerjasama dan kolaborasi antara kedua lembaga yang dapat dipenuhi melalui pembuatan sebuah sistem informasi perbankan/keuangan yang terpadu sesuai amanat UU OJK. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | Desember 2012 | Edisi 33
6
RUANG BACA
Melirik Model Pengawasan Lembaga Keuangan
di Berbagai Negara Adief Razali, Pengawas Bank Senior Departemen Pengawasan Bank 3 BI
S
esuai Undang-Undang No.21 tahun 2011 awal Januari 2013 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mulai berdiri. Pada awal berdirinya, OJK akan menjalankan fungsi pengawasan pasar modal dan industri keuangan nonbank (IKNB). Sementara itu, fungsi pengawasan bank akan mulai beralih dari Bank Indonesia pada 2014. Sehingga pada 2014 nanti Indonesia akan memiliki pengawasan terintegrasi dalam satu atap yang bernama OJK. Adapun maksud dibentuknya OJK sebagaimana diamanahkan oleh UU adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan bertanggungjawab (akuntabel). Selain itu, OJK mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Sedangkan tujuan pengawasan secara umum adalah menjaga kesehatan lembaga keuangan (aspek prudential), mitigasi risiko sistemik, keadilan dan efisiensi pasar (market conduct), perlindungan konsumen dan investor. Setidaknya, ada empat jenis pengawasan yang umum berlaku dibeberapa negara yaitu Institutional Approach, Functional Approach, Integrated Approach, dan Twin Peaks Approach. Sekarang coba ditengok satu per satu pengawasan tersebut. Jenis pengawasan pertama, institutional approach. Pengawasan ini disesuaikan dengan institusi/industri yang diawasi. Lingkup tugasnya sudah ditentukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur masing-masing industri (legal mandate). Kelemahan dalam jenis pengawasan ini, seringkali ada produk yang masuk dalam area ‘abu-abu’ sehingga pengawasannya menjadi tidak jelas. Contoh negara yang menerapkan institutional approach antara lain Cina. Negeri Tirai Bambu ini memisahkan pengawasan perbankan, asuransi, Edisi 33 | Desember 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
dan pasar modal. Pesatnya perkembangan industri keuangan di Cina memperlihatkan adanya kelemahan dari pendekatan ini. Model ini masih dipandang relevan, kelemahan diatasi dengan mekanisme koordinasi. Di Mexico, pengawasan lembaga keuangan dilakukan oleh tiga lembaga yaitu National Banking and Securities Commission, National Insurance and Bond Companies Commission, dan National Commission for the Retirement Savings System. Jenis pengawasan model Mexico ini tidak mengenal pengawasan terintegrasi (consolidated supervision). Jenis pengawasan kedua, Functional Approach. Pembedaan lembaga pengawasan disesuaikan dengan aktivitasnya. Contohnya apabila bank melakukan transaksi pasar modal, maka selain diawasi oleh pengawas bank juga oleh pengawas pasar modal. Dengan demikian mesti ada definisi yang jelas terhadap aktivitas, produk, dan layanan dari lembaga keuangan. Apabila tidak jelas, maka akan timbul masalah terkait dengan yurisdiksi. Contoh negara yang menerapkan functional approach antara lain, Italia. Sistem keuangan dibagi menjadi empat aktivitas besar yaitu perbankan, jasa investasi (investment services), manajemen aset, dan asuransi. Masing-masing institusi memiliki pengawas, kerangka hukum dan peraturan. Sejak tahun 2004, telah terjadi diskusi untuk melakukan efisiensi. Perancis mirip dengan Italia. Walaupun menggunakan functional approach namun dalam praktiknya mirip dengan model Twin Peaks. Sejak 2003, Perancis melakukan reformasi pengawasan jasa keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi. Jenis pengawasan ketiga, Integrated Approach. Dibentuk satu lembaga pengawas universal yang mengawasi aspek prudential dan market conduct. Jenis pengawasan ini cukup terkenal pada satu dekade terakhir dan dikenal dengan sebutan FSA-type. Contoh negara yang menerapkan integrated approach antara lain, Inggris yang dianggap pelopor. Pendekatan ini hadir karena perkembangan lembaga keuangan yang cenderung untuk melakukan semua hal sehingga Inggris pada 1997 membentuk Financial Services Authority (FSA). Lembaga ini merupakan superbody yang memiliki kewenangan investigasi, penuntutan hingga pengenaan sanksi. Sebelum 2002, Jerman menggunakan Institutional Approach yang memisahkan
pengawasan perbankan, sekuritas, dan asuransi. Kemudian pengawasan dilebur dan dibentuk lembaga pengawas tunggal yaitu Bundesanstalt fur Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin). Namun bank sentral juga masih memiliki kewenangan pengawasan dengan berkoordinasi dengan BaFin. Untuk menghindari tumpang tindih antara tugas bank sentral dengan BaFin, maka dibuat MoU. Sementara itu, jenis pengawasan keempat, Twin Peaks Approach. Lembaga pengawas dibagi menjadi pengawasan untuk prudential dan pengawasan market conduct. Contoh negara yang menerapkan pendekatan ini antara lain Australia. The Australian Prudential Regulatory Authority (APRA) mengawasi lembaga yang dikategorikan sebagai pemungut simpanan (deposit taking institutions), sedangkan Reserve Bank of Australia (RBA) memberikan dukungan likuiditas dan bekerja sangat erat dengan APRA dalam hal menjaga stabilitas sistem keuangan. Sementara itu, The Australian Securities and Investments Commission (ASIC) adalah pengawas market conduct dengan tugas menjaga intergitas pasar dan melidungi kepentingan konsumen. De Nederlandsche Bank (DNB), bank sentral Belanda, mengadopsi Twin Peaks Approach. DNB melakukan pengawasan terhadap risiko sistemik dan prudensial dari seluruh lembaga keuangan. Sementara itu, The Netherlands Authority for the Financial Markets (AFM) bertanggung jawab pada pengawasan market conduct. Dengan berdirinya OJK, Indonesia mulai memiliki model pengawasan baru dengan pendekatan terintegrasi (Integrated Approach). Pendekatan ini dipilih didasarkan pada proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial yang telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks. Dari beberapa pendekatan model pengawasan di negara maju tidak satupun dapat menjamin hasil lebih baik dari yang lain, setiap model ada kelebihan dan kekurangannya. Pilihan model yang tepat mesti disesuaikan dengan kondisi industri keuangan, masyarakat, dan sosial-politik yang mempengaruhi sistem perekonomian. Nah, dalam praktiknya ternyata yang lebih penting adalah adanya koordinasi, kolaborasi dan komunikasi yang efektif dan efisien antarregulator /pengawas.
LIPUTAN
7
Menyiapkan Rumah Bagi
‘Bayi’ OJK A
Rizana Noor, Analis Senior Divisi Relasi Internal dan Publikasi Departemen Perencanaan Strategis dan Humas
da suasana berbeda dari kegiatan sosialisasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) oleh Task Force OJK Bank Indonesia (BI) di Yogyakarta, 6 Desember 2012. Bila kegiatan serupa yang pernah digelar di kantor pusat BI dan Kantor Perwakilan (KPw) BI di sejumlah kota dihadiri hanya oleh para pengawas bank, tapi tidak demikian ketika digelar di Kota Gudeg tersebut. Peserta yang hadir selain para pengawas bank juga tim supporting function seperti bagian logistik dan sumber daya manusia (SDM). Pada waktu acara sosialisasi yang dibuka Ketua TF OJK Endang Kussulanjari Tri Subari berlangsung beberapa saat, muncul figur Muliaman D. Hadad. Acara sosialisasi pun terhenti sejenak. Maklum yang hadir adalah Ketua Dewan Komisioner OJK. Dalam daftar acara sosialisasi tidak ada agenda penjelasan dari orang nomor satu di OJK tersebut. Rupanya, Muliaman sengaja mampir di acara tersebut usai menghadiri acara di Universitas Gadjah Mada (UGM). Mumpung ada petinggi OJK, Muliaman pun didaulat untuk menyampaikan sepatah dua patah kata pada acara itu. Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa OJK dan BI adalah lembaga yang tidak bisa dipisahkan, dan mempunyai keterikatan yang kuat antara satu dan lainnya bersama-sama dengan Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpnan (LPS). “Kedua institusi tersebut akan selalu melakukan koordinasi bersama dengan Kementerian Keuangan selaku otoritas fiskal agar kondisi perekonomian Indonesia dapat terjaga dengan baik,” ujar dia. Muliaman mengatakan bahwa dalam masa pendirian, OJK masih terus melakukan persiapanpersiapan agar pada 2013 fungsi dan tugas OJK dapat berjalan dengan baik. Pada awal 2014, kegiatan pengawasan bank yang selama ini dijalankan BI akan
dialihkan ke OJK. Untuk itulah, kata Endang Kussulanjari, BI melakukan persiapan proses pengalihan fungsi pengawasan bank ke OJK sebagaimana UU No. 21 tahun 2011 tentang OJK dengan membentuk dua TF. Kedua TF yakni yang menyiapkan proses Pengalihan Fungsi Pengawasan Bank ke OJK (TF OJK) dan TF yang menyiapkan bisnis proses BI ke depan setelah fungsi pengawasan beralih ke OJK. “Pada prinsipnya, BI siap melaksanakan pengalihan fungsi pengawasan bank ke OJK,” tandas Endang. Lebih jauh Endang mengatakan bahwa semua elemen di bank sentral sudah komit untuk mensukseskan proses pengalihan tersebut, mulai pipinan tertinggi yakni Gubernur BI, anggota Dewan Gubernur BI, direktur dan staf. Bahkan, GBI Darmin Nasution menaruh perhatian penuh atas persiapan dan pelaksanaan pengalihan fungsi pengawasan bank dari BI ke OJK agar berjalan mulus dan tidak ada goncangan. Ia meminta agar tidak ada pihak-pihak yang cobacoba memanfaatkan masa transisi untuk melakukan perbuatan tidak terpuji (moral hazard). Pengawasan bank tetap berjalan seperti biasa dan tidak ada yang berubah. Selama masa transisi ini, bank diminta untuk mengkonsolidasikan kemampuannya, karena kebijakan baru BI seperti ketentuan multilicensing menuntut bank untuk merencanakan bisnisnya secara akurat, khususnya terkait aspek permodalan. Endang mengibaratkan proses persiapan BI mengalihkan fungsi pengawasan bank ke OJK seperti membangun rumah, rupanya rumah itu sudah jadi, tinggal diisi saja. Bahkan, Gubernur BI Darmin Nasution sudah menyetujui pembentukan organisasi/ kompatemen pengawasan bank di BI tahun 2013. Disainnya serupa (mirroring) dengan organisasi
pengawasan bank di OJK. Sehingga pada saat pengalihan di akhir Desember 2013, tinggal memindahkan saja rumah beserta isinya ke OJK. Ibarat bedol desa, sudah mencakup rumah, hardware, software dan manusianya. “BI ingin bangun rumah baru yang nyaman dari segala aspek, sehingga yang akan mengisi antusias dan bersemangat,” ungkap dia. Sejatinya, kata Endang, proses pengalihan tersebut tidaklah terlalu sulit, karena kesetaraan jabatan baik di struktur organisasi shared function maupun di kompartemen pengawasan perbankan sudah dipersiapkan mirip dengan yang ada di OJK. Begitu pula pola pengawasan yang akan diterapkan pada dasarnya sama dengan yg dilakukan di BI sekarang ini mulai dari siklus pengawasan, prinsip, prosedur pelaksanaan (SOP) dan pengukuran. Selain itu, juga tengah dipersiapkan organisasi bank sentral ke depan dalam hal pegawai memilih kembali ke BI. Untuk lebih memberi kejelasan kerja besar tersebut, TF OJK yang bekerja sejak Februari 2012 hingga Desember 2013 memandang perlu digelar acara sosialisasi. Acara sosialisasi ini merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan Sekretariat TF OJK BI untuk memberi update informasi kepada pegawai khususnya perwakilan pegawai bidang pengawasan bank, logistik dan SDM. Materi sosialisasi terkait perkembangan persiapan pengalihan fungsi pengawasan bank ke OJK di BI. Rangkaian sosialisasi tersebut antara lain dilakukan baik di kantor pusat dan KPw seperti di Medan, Makassar, Solo, Surabaya, Denpasar dan Yogyakarta. BI berharap proses yang sudah dipersiapkan secara matang tersebut akan mengantarkan keliharan “bayi” OJK dengan selamat, berjalan mulus dan sempurna. Nah, bedanya dengan bayi manusia, bayi OJK begitu brojol langsung bisa lari. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | Desember 2012 | Edisi 33
8
REHAT Pengaturan dan Pengawasan Bank
Sejak disahkannya UU No.21 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengawas bank dialihkan ke OJK.
Nah, mulai Januari 2014, pengawasan bank akan dilakukan oleh OJK, selaku otoritas Mikroprudensial. Sedangkan BI otoritas makroprudensial.
Kolaborasi BI + OJK mengawal stabilitas sistem keuangan.
Menyeberang Sungai Tebak-tebakan Bagus : “Budi, apakah isi dari tas besarmu itu?” Budi
: “Isinya ayam-ayam.”
Bagus : “Kalau bisa menebak dengan benar ada berapa jumlah ayam di dalam tasmu, boleh aku dapat satu ayam diantaranya?” Budi : “Kalau kamu bisa menebak dengan benar, aku kasih deh dua-duanya untukmu. Emang ada berapa coba?” Bagus : “Aku rasa jumlahnya ada 3 ekor.”
Tikus Seekor anak tikus sedang melihat ke atas, ia bingung, “Bu, kok kelalawar mukanya mirip ya sama kita ?” Sang ibu menjawab dengan bijaksana, “Mereka sebenarnya memang sebangsa kita, namun mereka ambil jurusan penerbangan...”
Edisi 33 | Desember 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Ada sebuah sungai yang lebar. Di satu sisi sungai tinggal kelinci, dan di sisi lainnya hidup seekor beruang. Suatu hari, beruang duduk di atas tunggul sedang menikmati makan buah-buahan. Lalu ia mendengar kelinci berteriak memanggilnya. “Hei! Hei, Teddy! Menyeberanglah ke sini. Aku punya sesuatu yang mau kutunjukkan padamu!” “Jangan sekarang! Aku sedang makan!” “Oh, ayolah!” kata kelinci, “ini benar-benar penting!” “Tidak mungkin.” “Ayolah! Ini mendesak!” Didesak seperti itu, beruang memutuskan untuk pergi menyeberangi sungai yang lebar itu. Dia memerlukan waktu berjam-jam untuk bisa menyeberangi sungai itu. Bahkan hampir tenggelam. Dan ketika ia akhirnya sampai di seberang dia mengerang dan terengah-engah, dan berbicara kepada kelinci, “Nah, kelinci,” katanya terengah-engah, “apa yang ingin kamu beritahukan kepadaku?” “Hei, Teddy,” kelinci itu berkata, “lihatlah betapa banyaknya buah yang di seberang sungai.”
PERISTIWA
9
Tiga Pemkab Bersatu
Bangun Klaster Kopi T
iga kabupaten sepakat menyatu dalam membangun klaster kopi Arabika. Awalnya, hanya Pemerintah Kabupaten Bondowoso yang mengupayakan klaster Kopi Arabika yang lalu memandang perlu bersinergi dengan dua kabupaten disekitarnya, yakni Situbondo dan Banyuwang. Ketiga Pemkab tersebut sepakat untuk mengajukan perlindungan Indikasi Geografis Kopi Arabika di kawasan Ijen yang dikelola petani di sana ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Gawean bareng membangun klaster kopi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kopi. “Kami tidak ingin ada egosentris kedaerahan,” ujar Bupati Bondowoso, Amin Said Husni. Untuk itulah, ia mengajak
Kepala daerah Situbondo dan Banyuwangi bersama-sama melindungi para petani Kopi Arabika di sekitar Ijen dengan mengajukan perlindungan IG. Dengan adanya perlindungan IG, selain mutu dan kualitas Kopi Ijen Raung tetap terjaga, juga adanya kepastian perlindungan hukum bagi para petani kopi. Nah, jika ada pabrik kopi yang membuat kopi bubuk menggunakan merek Ijen Raung tanpa ijin bisa dituntut. Bank Indonesia (BI) dalam hal ini Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw) Jember selaku inisiator klaster Kopi Arabika di kawasan Ijen ini menyokong
kesatuan aksi bersama tiga Pemkab mengajukan perlindungan IG. “Jadi, hanya petani di tiga kawasan di Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi, yang memiliki hak paten Kopi Java Ijen Raung, sehingga kopi arabika milik klaster kopi Bondowoso pun makin eksklusif,” ujar Kepala KPwBI Jember, M. Nur Zainuddin yang menghadiri kesepakatan tiga Pemkab tersebut yang dihadapi sejumlah pejabat daerah lainnya.
Menyiapkan Daerah
Menghadapi MEA 2015
“
Kalau mau bersaing di ASEAN, pembicaraan jangan hanya soal level atas. Petani sebagai tulang punggung produksi komoditas pertanian, harusnya diperhatikan”. Begitulah salah satu nukilan resume diskusi sosialisasi kesiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan. Kehadiran MEA
membawa implikasi luas terhadap perekonomian nasional termasuk sampai ke petani di daerah. Hal ini bisa terjadi karena pasca diberlakukannya MEA, akan ada derajat keterbukaan perdagangan atas produk pertanian yang merupakan salah satu prioritas MEA. Untuk menghadapi MEA, tidak ada pilihan bagi dunia usaha termasuk para petani di daerah untuk bahu-membahu bahkan berikhtiar habis-habisan memperbaiki daya saing daerah. Tanpa kesadaran itu, berat rasanya bagi pelaku usaha nasional menjadi regional champion. Salah satu bentuk sinergi yang disarankan peserta sosialisasi dari Kamar Dagang dan Industri Daerah adalah dukungan Kementerian Perdagangan untuk melakukan pembinaan terkait
daya saing produk, termasuk memperbaiki supply chain. Muncul desakan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk membuat paket ketentuan yang memandu pelaku ekonomi menghadapi MEA. Departemen Internasional BI dan Kantor Perwakilan (KPw) Wilayah I BI selaku penggagas acara sosialisasi MEA sengaja memilih Makasar di Sulsel dengan beberapa pertimbangan. Misalnya, positifnya laju pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan kinerja perbankan daerah tersebut yang diprediksi akan menjadi magnet investor negara di kawasan. Kehadiran pelaku usaha negeri jiran akan membuat persaingan usaha di Kawasan Timur pasca-MEA diperkirakan akan ketat, tidak saja persaingan dengan pelaku usaha negeri jiran tetapi juga kompetisi antardaerah. Hadir dalam acara sosialisasi tersebut, dinasdinas Pemda, perbankan, akademisi, asosiasi dan media massa. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | Desember 2012 | Edisi 33
10
PERISTIWA
Stabilitas Sistem Keuangan
Bikin Sejahtera Rakyat
D
epartemen Perbankan Syariah (DPbs) Bank Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah kegiatan Lecture Seri Perdana (Inaugural Lecture) Islamic Development Bank (IDB) bertajuk “The IDB Regional Lecture Series on Islamic Economic, Finance and Banking”, di Bank Indonesia Jakarta, 19 Desember 2012. Pada acara ini
tampil pembicara tunggal yakni Dr. Zeti A. Aziz yang juga menjabat Gubernur Bank Negara Malaysia selaku IDB Prize Winner in Islamic Banking & Finance 1433H/2012. Ia memilih topik “Finance and The Real Economi: Fostering Sustainability”. Pilihan topik yang diangkat Dr. Zeti A. Aziz ini dianggap sangat relevan, karena berbagai kerentanan atau ketidakstabilan yang terjadi dalam sistem keuangan global saat ini yang diikuti dengan dengan krisis keuangan. Kejadian ini acap kali menimbulkan pertanyaan besar bagi otoritas dan pelaku keuangan global, bagaimana menata sistem keuangan dan menjadikannya lebih stabil, kokoh, berkesinambungan. “Stabilitas sistem keuangan pada akhirnya diharapkan mampu memberi kontribusi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara lebih berkeadilan,” ujar dia. Masih kata Zeti, sistem keuangan syariah sebagai elemen dari sistem keuangan memiliki kerentanan dan perlu pula dijaga stabilitas sistemnya. Sistem keuangan syariah memiliki karakteristik dasar yang built-in, yang dapat menjadikannya sebagai sistem yang kuat dengan syarat berbagai disiplin yang diajarkan dalam nilainilai syariah dapat dilaksanakan secara baik. Dikatakannya pula, nilai dan sistem operasi keuangan syariah diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk mengembangkan berbagai pemikiran dalam penataan sistem keuangan yang lebih baik. Acara Inaugural Lecture ini dihadiri pula Gubernur BI Darmin Nasution, pejabat Otoritas Jasa Keuangan, anggota DPR, akademisi dan perbankan.
Studi Banding Petani Mete NTB
Ke Kendari L
ima belas petani jambu mete asal Nusa Tenggara Barat (NTB) melakukan studi banding ke rekan seprofesi di Kendari, Sulawesi Tenggara, 3-4 Desember 2012. Maksud studi banding ini untuk lebih jauh mempelajari teknik pengolahan pasca panen jambu mete. Selama ini di Kendari, petani mempelajari proses pengeringan biji, pergudangan hingga peng acipan (pelepasan isi dari kulit biji), pembuatan makanan jadi, pengemasan hingga pemasaran produk. Dari studi banding ini petani mete NTB mengetahui kekurangan pengolahan pasca panen dan upaya memperbaikinya. Agar studi banding ini tepat sasaran, Kantor Perwakilan (KPw)
Edisi 33 | Desember 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) NTB selaku inisiator, menggandeng Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Propinsi Sulawesti Tenggara. Setidaknya ada 4 obyek
studi banding yakni UD Mubaraq Lombe, UD Atifa, UD Baruasa Membiri, dan Pusat Penjualan OlehOleh Moiyo. Penetapan tempat studi pembelajaran tersebut di atas, disesuaikan dengan kebutuhan
peserta khususnya aspek pengolahan dari berbagai jenis produk makanan ringan berbahan baku jambu mete, seperti mete goreng berbagai rasa, stick mete dan kue baruasa mete. Selama 2 hari berada di Kendari, para petani mete NTB menimba “ilmu” di empat lokasi kunjungan mereka. Misalnya, mereka belajar pengenalan produk dan teknik pengolahan, meracik resep-resep berbagai jenis mete olahan dan praktik ditempat. Sekembali dari studi banding tersebut, para petani mete NTB mengaku banyak menimba pengetahuan dan ketrampilan baru. Sudah barang tentu hal ini memberi harapan baru bagi mereka untuk memulai kegiatan pengolahan hasil mete di tempat asal mereka.
HUMANIORA
KPwBI Kalbar
Lahirkan 15 Direktur UMKM
S
eto Wulantoro, 19 tahun, tersenyum sumringah usai mengikuti program Inkubator Bisnis Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) selam enam bulan. Ia kini punya jabatan baru yang presitise yakni direktur dari perusahaan yang dirikannya sendiri. “Biar cuma bisnis kecil-kecilan jarang ada orang yang berani wirausaha. Semua pada mau jadi pegawai. Setelah masuk inkubator jadi lebih yakin karena sudah tau aspek-aspek dan trik menjalankan
usaha. Apalagi sekarang saya jadi direktur,” ujar Seto. Seto barulah salah satu dari 15 direktur baru hasil godokan Inkubator Bisnis hasil kerja bareng Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Barat dengan Lembaga Swabina Prakarsa. Menurut Deputi KPw Kalbar Purjoko, program ini digagas memang untuk mencetak wirausaha-wirausaha baru dengan membekali ilmu wirausaha dan pendapingan kepada calon pengusaha UMKM ini. “Kami prihatin dengan lambatnya perkembangan UMKM. padahal penyerapan tenaga kerja pada sektor ini cukup besar. Untuk itulah kami bekerja sama dengan lembaga pelatihan untuk membantu perkembangan UMKM,” ujar dia, usai melantik angkatan pertama program inkubator bisnis ini, 24 Nopember 2012.
Gerakan
Tanam Sayur di Tidore
“
….Menanam sayur di kebun kita ...ambil cangkulmu kita bekerja tak jemu-jemu …cangkul, cangkul, cangkul yang dalam …” Nukilan lagu kanak-kanak yang popular di era tahun 1980-an ini agaknya cocok untuk mengiringi kampanye Gerakan Tanam Sayur di Pekarangan (Genta Sekar) di wilayah Kota Tidore Kepulauan, Propinsi Maluku Utara. Kampanye Genta Sekar ini merupakan kelanjutan dari program yang sama di Kota Ternate
dan Kabupaten Halmahera sejak September 2012. Program yang digagas Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Propinsi Maluku Utara ini bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Maluku Utara dan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kota Tidore Kepulauan. Kampanye Genta Sekar ini mengajak masyarakat di Kota Tidore Kepulauan untuk menanam tanaman sayuran di kebun rumah atau tanahtanah kosong yang belum tergarap. Muara dari gerakan ini diharapkan masyarakat Tidore setidaknya mampu memenuhi kebutuhan akan sayuran dari hasil produksi sendiri. Gerakan ini juga diharapkan mampu meredam gejolak inflasi di wilayah tersebut yang sering dipicu oleh pergerakan harga sayuran yang sebagian besar masih
11
Tidak seperti pelatihan lainnya yang hanya mengambil waktu 2–5 hari, di Inkubator Bisnis UMKM, pelatihan dilakukan selama 6 bulan. Kalau hanya beberapa hari, ilmu yang didapat nantinya jadi hanya sekedar tahu saja. Pelatihan ini dilakukan secara intensif selama 6 bulan agar peserta paham benar dan siap terjun ke lapangan. Pelatihan tidak hanya berupa teori namun juga praktik mendirikan dan menjalankan UMKM. Sebanyak 26 “bayi” UMKM menjadi peserta pelatihan pertama program ini dan 16 orang lulus menjadi direktur. Untuk mengikuti program ini, peserta diseleksi melalui pendaftaran terbuka dengan membayar Rp300.000. Biaya ini merupakan suatu cara yang dilakukan agar yang masuk inkubator adalah mereka yang serius dan memiliki kemauan kuat. Pada akhirnya, biaya ini digunakan untuk biaya konsumsi peserta selama 6 bulan menjalani pelatihan. Setelah lulus, peserta tidak hanya memperoleh pengetahuan tapi juga kini memiliki CV atau persekutuan komanditer dan menjadi direktur di perusahaannya sendiri. didatangkan dari Sulawesi Utara. Genta Sekar sudah memperlihatkan hasil di Kota Ternate dan Halmahera yang mampu meredam gejolak harga cabai merah dan tomat penyumbang utama inflasi di kedua wilayah tersebut. KPw BI Malut menggandeng Kelompok Tani Wanita Lolobi dan Kelompok Tani Dou Kalupa di Kota Tidore Kepulauan memanfaatkan lahan yang belum terpakai untuk mengusung program Genta Sekar. Untuk maksud itu, pada 17 Desember 2012, KPw Malut melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) menyerahkan sarana produksi pertanian (saprotan). Sedangkan untuk pendampingan dan pelatihan budidaya tanaman akan diberikan BPTP Provinsi Maluku Utara dan BP4K Kota Tidore Kepulauan. Acara penyerahan bantuan yang mengambil tempat di Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Kelurahan Dowora Kota Tidore Kepulauan itu dirangkai dengan kegiatan penanaman berbagai jenis tanaman hortikultura dan tanaman pangan. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | Desember 2012 | Edisi 33
12
HUMANIORA
Kisah Inspiratif
Membangun Sukses Usaha
“
Wah, hebat sekali! Anda melepaskan kesempatan berkarir di BI dan justru berani mencoba bisnis laundry yang belum tentu berhasil pada saat itu. Janganjangan jika Anda pada waktu itu memutuskan masuk BI, yang saya tanya sekarang adalah Pak Mahdi
Mahmudy dan yang duduk di depan saya justru Anda dong,” celetukan khas Andy F. Noya itupun membuat ….. geerrr dan gemuruh peserta temu responden yang digelar Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) di Yogyakarta, 22 Nopember 2012. Celetukan Andy itu sebenarnya ingin memancing suasana, karena Mahdi Mahmudy adalah Kepala KPw BI Yogyakarta. KPw Yogya sengaja menggelar acara temu responden yang beda dari biasanya dengan mengundang Andy F. Noya selaku host acara Kick Andy di Metro TV agar terbangun suasana entertainment. Layaknya siaran langsung acara Kick Andy, acara temu responden bertajuk “Inspiring Business Stories” menampilkan dua figur pengusaha sukses yakni Ratidjo, seorang pengusaha jamur dan owner RM Jejamuran dan Agung N. Susanto,
Enterpreneur Day Digelar Agar Lahir Wirausahawan
S
uasana Balairung Universitas Jambi pagi itu terasa berbeda.Sejak pagi mahasiswa dan kalangan muda Jambi berduyun-duyun memasuki ruang besar itu dengan semangat dan wajah penuh keceriaan. Ya, pagi itu, Sabtu 8 Desember 2012, Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Propinsi Jambi bersama dengan Universitas Jambi menggelar acara Enterpreneur Day bertajuk “Who wants to be a
Edisi 33 | Desember 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
millionaire?” dengan pembicara dan motivator kondang Helmy Yahya. Setidaknya 4.000 peserta memadati Balairung yang sebagian besar adalah mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi di Jambi dan kaum mudanya. “Apa yang paling kita idamkan, inginkan, itulah impian.Buatlah daftar impian yang ingin dicapai dan selalu optimis mewujudkannya. Setinggi apapun impian itu tidak ada masalah. Karena nothing is impossible, impossible is nothing , tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini,” kemuka Helmy. Ia mengatakan bahwa enterpreneurship itu bisa dipelajari. Siapapun berhak mencapai kesuksesan. Masalahnya adalah mau apa tidak mewujudkannya. Ingat, kemiskinan bukan untuk diwariskan dan bukan keturunan. Kita sendiri yang bisa mengubahnya.
pemilik Simply Fresh Laundry dan Simply Guest House. Ratidjo, misalnya. Pria berusia 68 tahun ini justru memulai bisnis dikala usia menjelang pensiun, yakni 53 tahun. Pria yang punya prinsip “belajar itu tidak harus di bangku kuliah” ini meninggalkan jabatan direktur di salah satu perusahaan eksportir jamur milik Korea di Yogyakarta, dan membangun usaha bisnis jamur dan rumah makan jamur dengan omzet miliaran rupiah. Sementara Agung N. Susanto memegang teguh prinsip “tunda dulu kesenangan-kesenanganmu yang membuatmu menjadi tidak fokus, teruslah konsisten terhadap tujuan” dalam membangun bisnis laundry. Di usia belia, 28 tahun, ia sudah memiliki bisnis jaringan waralaba laundry kiloan yakni Simply Fresh Laundry dengan 220 outlet di seluruh Indonesia, plus 21 jaringan Guest House bertajuk Simply Guest House di Yogyakarta dan Bandung, serta bisnis resto Bobby Steak di Jakarta. Kalangan muda Jambi dihimbau agar merubah orientasi kehidupan bukan hanya ingin jadi pegawai negeri sipil atau pegawai tapi mampu membuka lapangan kerja secara kreatif dan inovatif. Sementara itu Rektor Universitas Jambi Prof. Drs. H. Aluia Tasman, MSc, Ph.D menyampaikan apresiasi kepada KPw BI Jambi yang telah berinisiatif menggelar kegiatan akbar ini. “Kegiatan ini bukan hanya menunjukkan dukungan kepada dunia pendidikan, tetapi juga bentuk nyata dalam melahirkan SDM Jambi yang lebih produktif, “ ungkap Rektor Jambi. Pada kesempatan yang sama Kepala Perwakilan BI Provinsi Jambi, Marlison Hakim mengatakan bahwa BI memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan enterprenurship di Jambi. Hal ini sebagai bagian dari upaya memperkuat perekonomian Jambi yang berbasis SDM dengan melahirkan banyak para wirausahawan handal yang mampu bersaing di lingkup nasional dan regional.