Mulawarman, Menggagas Neraca Syari 'ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi..
169
Jumal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Desember 2007, Vol.4, No. 2, hal. 169-192
MENGGAGAS NERACA SYARI’AH BERBASIS MAAL: KONTEKSTUALISASI ’’KEKAYAAN ALTRUISTIK ISLAMI” Aji Dedi Mulawarman Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya aj idedim@yahoo. co. id Abstract The objective o f this research is to formulate Shari 'ate Balance Sheet from the real transaction and business habitus o f Indonesian Moslem Society. Formulation is conducted by utilising Extension o f Integrated Islamic Hyperstructuralism Methodology. In that methodology, conventional concept o f wealth and Baydoun and W illett’s (1994) balance sheet are refined by S h a ri’ate Accounting. The result is then refined by (Islamic) Technosystem and Extension o f Pierre Bourdieu’s Constructivist Structuralism to generate Shari 'ate Balance Sheet. The major result shows that maal is form o f Islamic and Altruistic Wealth. This means that wealth must: (1) have an holistic values (material, mental and spiritual); (2) owned by a wider-stakeholders (Allah, direct, indirect, and nature); and (3) based on shari ’ate ways (halal, thoyib and free from riba). The consequence o f the major result are all the elements in the Shari’ate Balance Sheet based on: (1) obedience (a b d ’ Allah) assets, liabilities and equities, and (2) creativity (khalifatullah fil ardh) assets, liabilities and equities. Keywords:
Maal, Islamic and Altruistic Wealth, SharVate Balance Sheet, Obe dience (abd’Allah) elements; Creativity (khalifatullah f il ardh) ele ments
170
J u r n a l Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol.4, No.2, hal. 169-192
PENDAHULUAN Pendekatan teknologi akuntansi syari’ah idealis merupakan salah satu upaya perekayasaan laporan keuangan yang komprehensif dan utuh, dengan cara menggali substansi norm atif sekaligus praktek/teknik akuntansi syari’ah berbasis S h a ri’ate Enterprise Theory. Aliran pragmatis menyepakati Entity Theory (lihat Syahatah 2001, Zaid 2004, Adnan 2005). Akuntansi syari’ah saat ini terbagi menjadi aliran idealis dan pragmatis. Aliran idealis menginginkan akuntansi syari’ah dibangun secara terstruktur dari filosofi dan teori Islam sampai bentuk teknologi dan praktiknya di lapangan. Aliran pragmatis di sisi lain tetap mengakomodasi teknologi dan praktek akuntansi konvensional disesuaikan dengan filosofi dan teori Islam. Proses pencarian bentuk teknologis telah dimulai oleh Mulawarman (2006; 2007) yang menggunakan tazkiyah sebagai air t metodologis melakukan konstruksi laporan nilai tambah syari’ah (2006) dan laporan arus kas syari’ah (2007a). Tazkiyah seharusnya juga dapat dipakai untuk melakukan rekonstruksi laporan keuangan lainnya. Tazkiyah secara harfiah adalah penyucian. Ahmad dalam Gambling dan Karim (1991; 33) menjelaskan bahwa tazkiyah bersifat menyeluruh dan sinergis, mencakup aspek moral, rohani dan semuanya berorientasi pada cita-cita dan nilai optimasi kesejahteraan manusia dalam semua dimensi, baik dunia maupun akherat. Tazkiyah juga mencakup seluruh perubahan dan keseimbangan kuantitatif maupun kualitatif. Pembahasan akuntansi syari’ah idealis menurut Mulawarman (2007a) masih menekankan pentingnya neraca berbasis nilai sekarang (current value balance sheet) sebagai pengganti neraca konvensional (lihat Gambling dan Karim 1991; Baydoun dan Willett 1994, 2000; Harahap 2001; Triyuwono 2006; Sulaiman 2000, 2001). Penggunaan current values dalam neraca sesuai Islamic Corporate R eport’s (ICR’s) usulan Baydoun dan Willett (1994; 2000) berhubungan dengan penentuan beragam aset perusahaan yang dikenai zakat, khususnya mengenai nishab zakat. Peran penting current value sebagai dasar pembentukan neraca dapat juga dilihat beberapa buku seperti Muhammad (2000); Triyuwono dan A s’udi (2000) dan Adnan (2005). Perkembangan aliran akuntansi sosial kritis di sisi lain, seperti Mook et al. (2003), Ribeiro dan Santos (2002) atau Dorweiler dan Yakhou (2005) misalnya, mengajukan penggantian atau perluasan Balance Sheet berkenaan kepentingan sosial dan lingkungan yang bersifat mandatory. Di sisi lain, akuntansi syari’ah sendiri tidak melakukan perubahan neraca yang mengakomodasi kepentingan sosial dan lingkungan. Sulaiman dan Willett (2003) misalnya, hanya mengusulkan perluasan ICR’s Baydoun dan Willett (1994; 2000) mengenai kepentingan sosial dan lingkungan berbasis syari’ah berupa voluntary reports. Pertanyaannya kemudian
Mulawarman, Menggagas Neraca Syari ’ah Berbasis Maal: Kontekslualisasi.
171
apakah pengembangan neraca hanya mengakomodasi pengukuran current value dengan pengungkapan tambahan dalam voluntary disclosure! Neraca dengan demikian masih perlu disesuaikan atau disucikan (tazkiyah) agar sesuai dengan shari'ate enterprise theory yang memiliki nilai-nilai Islam (Islamic values) dan tujuan syari’ah (maqashid asy-syari’ah). Nilai-nilai utama Islam, yaitu Keimanan kepada Allah (Tawhid), manusia sebagai hamba Allah ( ‘abd Allah) dan manusia sebagai wakil Allah di bumi (Khalifatullahfil ardh). Tujuan Syari ’ah adalah keadilan, kesejahteraan holistik serta kemaslahatan bagi seluruh umat. Dari perumusan masalah di atas dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: bagaim ana bentuk neraca syari’ah? Tujuan penelitian adalah merumuskan bentuk neraca syari’ah. Manfaat penelitian dengan terumuskannya neraca syari’ah diharapkan; pertama, melengkapi laporan keuangan syari’ah yang telah ada seperti laporan nilai tambah syari’ah (Mulawarman 2006) dan laporan arus kas syari’ah (2007a) sehingga dapat segera diimplementasikan di lapangan; kedua, memberi kontribusi praktis kepada akuntan untuk melakukan praktik sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah; ketiga, memberi bukti empiris bahwa masyarakat Muslim masih melakukan bisnis sesuai syari’ah yang dapat dijadikan dasar pengembangan laporan keuangan; keempat, memberi kontribusi konstruktif penyusunan standar akuntansi keuangan perusahaan berbasis syari’ah. SH A R I’ATE ENTERPRISE THEORY: KESEIMBANGANKETUNDUKAN BAN KREATIVITAS Shari ’ate Enterprise Theory (SET) menurut Triyuwono (2007) dikembangkan berdasarkan “metafora zakat" yang pada dasarnya memiliki karakter keseimbangan. Keseimbangan berbasis metafora zakat secara implisit mengandung nilai egoistikaltruistik, material-spiritual dan individu-jama’ah. Konsekuensi dari nilai keseimbangan ini menyebabkan SET memiliki kepedulian pada stakeholders yang luas, yaitu Allah, manusia dan alam. Allah sebagai stakeholders tertinggi agar akuntansi syari’ah tetap bertujuan “membangkitkan kesadaran Ketuhanan” para penggunanya. Manusia dibedakan menjadi direct stakeholders (pemegang saham, karyawan, kreditor, pemerintah, pemasok, pelanggan dan lainnya) dan indirect stakeholders (masyarakat umum khususnya mustahiq dan lingkungan dalam arti menjaga, memperbaiki dan melestarikan alam). Alam adalah pihak yang memberikan kontribusi bagi hidup dan matinya perusahaan sebagaimana pihak Allah dan manusia. Namun alam tidak menghendaki distribusi kesejahteraan dari perusahaan dalam bentuk uang sebagaimana yang diinginkan manusia. Wujud distribusi kesejahteraan berupa kepedulian terhadap kelestarian alam, pencegahan pencemaran dan lainnya.
172
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol.4, No.2, hal. 169-192
SET lanjut Triyuwono (2007) merupakan perwujudan akuntabilitas manusia sebagai wakil Allah di bumi (khalifatullah fil ardh). Akuntabilitas khalifatullah fil ardh dalam pandangan Mulawarman (2006) sebenarnya baru sebatas dimensi pertanggungjawaban dari sisi “kreativitas”. Berdasarkan prinsip keseimbangan SET, Mulawarman (2006) menegaskan akuntabilitas khalifatullah fil ardh juga memiliki pasangannya, yaitu dimensi abd ‘A llah. A b d ’Allah merupakan bentuk pertanggungjawaban dari sisi “ketundukan dan kepatuhan” menjalankan syari’ah Islam. Ketundukan manusia diharapkan berdampak pada terpenuhinya tujuan syari’ah (maqashid asy-syari’ah), yaitu kesejahteraan (mashalah) bagi manusia, sosial dan alam. Bentuk konkretnya bahwa setiap distribusi kesejahteraan harus memenuhi kriteria halal, thoyib dan eliminasi riba. KONSEP KEKAYAAN: ANTARA BARAT DAN ISLAM Kekayaan {wealth) dalam masyarakat Barat menurut Armour (1999) awalnya didefinisikan sebagai kekayaan umum (masyarakat, nasional). Kekayaan saat ini ternyata telah berubah dari wealth' menjadi riches2, yaitu kekayaan merupakan milik pribadi dan untuk kepentingan pribadi3. Kritik mirip Armour (1999) disampaikan Anielsky (2003) mengenai reduksi makna kekayaan. Kekayaan sekarang selalu diasosiasikan dengan uang, tabungan, investasi rumah, atau bentuk-bentuk modal finansial lain. Anielsky (2003) kemudian mengembangkan Genuine Wealthy yaitu sesuatu yang dapat membuat hidup berguna (worthwhile) dan lebih baik (wellbeing)5. Menurut Zohar dan Marshall (2005) kekayaan harus mewujud “menjadi lebih berkualitas”. Artinya, kekayaan tidak hanya berhubungan materi, di dalamnya terdapat makna batin dan spiritual. Konsep kekayaan Armor (1999), Anielsky (2003) dan Zohar dan Marshall (2005) bersesuaian dengan spiritualitas ekologis-kebumian-postpatriarkal dari Capra 1 Wealth dalam konteks peradaban menurut Armour (1999) adalah penguasaan komunitas atas barang, jasa dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan makanan dan minuman yang layak sehingga keberadaban dan kesantunan masyarakat dapat dipertahankan keseimbangannya. ■Riches di sisi lain merupakan penguatan individual, kelompok dan perusahaan serta sebagai sumber kompetisi antar mereka untuk tujuan kekuasaan. 3Konsep kekayaan menurut Armour (1999) memunculkan deviasi dalam 3 basis peradaban. Peradaban Islam niasih berorientasi sesuai wealth , kekayaan untuk semua; peradaban Cina untuk kepentingan keluarga/kelompok; sedangkan peradaban Barat untuk kepentingan pribadi (riches). A Wealth, menurutnya berasal dari dua kata bahasa Inggris lama, “w e a r (well-being) dan “ th ” ( condition ), ketika dua kata tersebut disebut bersama-sama berarti “the condition o f well being". 5 Kekayaan asali dikembangkan untuk meluruskan nila' dan prinsip aktual lebih baik secara personalprofesional-spiritual-lingkungan-finansial. Alat dan proses untuk mengukur/memprediksi kondisi fisik dan kualitatif, segala sesuatu yang membuat hidup lebih berguna.
Mulawarman, M enggagas Neraca Syari "ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi.
173
(1999)6. Di sinilah titik perbedaan konsep kekayaan Barat dan Islam. Kekayaan dalam domain nilai-nilai Islam normatif disebut maal. Seluruh bentuk kekayaan (maal) menurut Jslam adalah milik Allah SWT. Allah akan memberi amanah hak penguasaan atas kekayaan kepada manusia, setelah manusia memanifestasikan keimanan berbentuk ketundukan kepada-Nya dan kreativitas keterwakilan di alam semesta: Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orangorang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya m emperoleh pahala yang besar. (QS. Al-Hadiid ayat 7)
Ayat di atas menegaskan bahwa harta hakekatnya adalah milik Allah. Kepemilikan privat mumi di dunia tidak diperbolehkan. Manusia diberi sebagian dari harta milik Allah (spiritualitas substantif) dan dengan tanggung jawab itu manusia diwajibkan menafkahkan hartanya sesuai ketentuan Allah (materialitassyari’ah) agar mendapat ketenangan dan pahala (mentalitas). Tujuan manusia berusaha dalam konteks ekonomi sesuai Islam adalah mencari nafkah (ma ’isyah) untuk mendapat rejeki (rizq) bernilai tambah bagi dirinya, sosial dan lingkungan (Mulawarman 2007a). Dampak mencari rejeki yaitu kekayaan (maal) penuh berkah (barakah). Perlu ditekankan di sini bahwa kekayaan (maal) bukanlah tujuan utama. Tujuan utama tetap ada pada tujuan syari’ah, yaitu nilai tambah (rizq) untuk mashalah, sedangkan (hasil) kekayaan (maal) hanyalah dampak ikutan7. Untuk menghindari terjadinya penyimpangan hak dan konsentrasi atas kekayaan, Islam mengingatkan perlunya wasathan (keseimbangan). Menurut Al Q ur’an kata wasathan (QS. 2: 143) bersanding dengan ummah, yaitu ummatan wasathan. Ciri ummatan wasathan, dijelaskan Taher (2005) adalah, pertama, hak kebebasan harus selalu diimbangi kewajiban; kedua, keseimbangan antara kehidupan dunia dan ukhrawi", ketiga, keseimbangan akal dan moral. Konsep mirip wasathan menurut Nasr (1994) disebut AlM uhith (QS. 4:126). Al-M uhith merupakan sifat Allah berkenaan dengan keseimbangan alam semesta. Artinya, keseimbangan kekayaan haruslah selalu berdimensi material-batin-spiritual dan mengarah pada kepemilikan proporsional diri-sosial dan lingkungan dalam lingkup kekuasaan Allah. A! Muhith pada konteks akuntansi dengan demikian adalah realitas segala sesuatu menuju kesatuan ketundukan (abd’ Allahy dan kreativitas * Capra (1999) melihat perlunya integrasi organis materi-batin-spiritual konsep ekonomi. Spiritualitas bukan hanya kedirian dan natural saja, tetapi juga sosial berdimensi biologis, k ognitif serta realitas sosial dan makna. Tetapi ternyata, spiritualitas menurutnya adalah dinamika swa-organisasi keseluruhan kosmos atau postpatriarkal kebumian, bukan Tuhan Transendental. 7 Bahkan menurut Hamka kekayaan hanyalah alat dan bukan tujuan itu sendiri, karena tujuan utama adalah mengingat Allah, ridha Allah serta menegakkan jalan Allah (1984). s Representasi nilai spiritual dengan kriteria halal dan reduksi riba , dan mental/batin (ihoyib)
174
Jurnal Akun!ansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol. 4, No.2, hal. 169-192
(Khalifatullah fil ard h f tak terpisahkan. Kesatuan adalah bentuk utuh “Al Muhith Akuntansi” itu sendiri yang harus luruh dalam realitas Yang Maha Meliputi. METODOLOGI TAZKIYAH DUA TAHAP: EKSTENSI “HIPERSTRUKTURALISME ISLAM TERINTEGRASI” Penelitian ini menggunakan metodologi Tazkiyah Dua Tahap, yaitu perluasan metodologi Hiperstrukturalisme Islam Terintegrasi (HIT) dari Mulawarman (2006). Tazkiyah Dua Tahap secara epistemologis merupakan implementasi Islamisasi Ilmu ataupun Pengilmuan Islam Terintegrasi yang memiliki tiga sifat dasar, yaitu Koeksistensi10, Penyucian" dan Adaptasi Kontekstual12. Tazkiyah Dua Tahap berupa pengembangan metodologi dan penerapannya berbentuk metode penelitian. Berikut akan dijelaskan masing-masing tahap dari tazkiyah. Tazkiyah Tahap Pertama: Rumusan Umum Metodologi Menurut Mulawarman (2006) HIT dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme13 dan postrukturalisme14 sekaligus melampaui (hyper) keduanya15. Bentuk melampaui di sini merupakan proses penyucian dan memayungi keduanya dengan nilai-nilai Islam. 9 Representasi nilai finansial, sosial dan lingkungan. 10Koeksistensi memungkinkan sinergi nilai-nilai lokal sekaligus universal yang berakar pada perada ban tertentu, peradaban Islam misalnya. Koeksistensi menyepakati kesederhanaan sebagai antitesis kemewahan, keijasama antitesis persaingan, miskin antitesis kaya, dan lain-lain. 11 Penyucian menyepakati penghilangan nilai-nilai kontradiktif. Ketika nilai-nilai koeksistensi m em i liki sisi keburukan, kesesatan, destruktif, dan tidak dapat disandingkan, maka diperlukan penyucian bahkan reduksi (misal riba-bai\ halal-haram, kejujuran-penipuan dan lain-lain). 12 Adaptasi Kontekstual merupakan penyesuaian munculnya nilai kebaikan “baru” yang tidak tercover dalam realitas sosiologis-historis Islami “lama” tetapi secara substansial bernilai syari’ah. 13 Strukturalisme merupakan usaha menemukan struktur umum yang terdapat dalam aktivitas ma nusia (Ritzer 2003). Struktur sebagai “sebuah unit yang tersusun dari beberapa elem en dan selalu m em iliki hubungan dalam suatu ‘aktivitas’ yang tergambar. Unit tidak bisa dipecah dalam elem enelem en tunggal.” (Spivak 1974; dalam Ritzer 2003). 14 Postrukturalisme merupakan antitesis strukturalisme. Derrida menjelaskan bahwa selalu ada suatu realitas bersembunyi di belakang tanda; selalu ada sesuatu tersembunyi di balik kehadiran sesuatu. Ia adalah realitas dan hubungan dalam realitas (Ritzer 2003). 15 Hiperialitas adalah bentuk beyond atas konsepsi ambigu poststrukturalisme dan strukturalisme, dengan tidak menegasikan konsep yang bermanfaat. Dalam seluruh tahapan ontologi-epistem ologihuman nature sampai metodologi, aspek Realitas Absolut {Allah) merupakan pintu utama masuknya teori dan pengetahuan (akuntansi). Keduanya dalam kaidah tertentr dipakai sebagai tools semata, bukan world-view itu sendiri. Islam tetap digunakan sebagai worldview, dan pada aspek tertentu menyepakati sekaligus melampaui keduanya (Mulawarman 2006).
Mulawarman, Menggagas Neraca S y a ri’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi..
175
Strukturalisme digunakan, pertama, untuk mendalami interkoneksi unsurunsur pembentuk neraca; kedua, mencari struktur di balik unsur-unsur maupun di balik realitas empiris pembentuk unsur; ketiga, menemukan binary opposition unsurunsur neraca; dan keempat, menggali substansi unsur-unsur neraca secara sinkronis di lapangan pada rentang waktu yang sama (bukan diakronis/perkembangan antar waktu). Postrukturalisme digunakan untuk melampaui strukturalisme dalam melihat realitas tersembunyi di luar unsur dan realitas, mulai dari tulisan (writing), jejak (trace), perbedaan sekaligus penundaan tanda (differance), serta hasil penundaan (arche-writing). Postrukturalisme juga melakukan proses penggalian unsur-unsur neraca melalui konteks integrasi sinkronis-diakronis. Integrasi yang dimaksud adalah penggalian antropologis tidak hanyaberdasarkan rentang waktu yang sama (sinkronis) tetapi juga perkembangan antar waktu (diakronis). Teknisnya, penggalian integrasi empiris dilakukan saling silang makna aktivitas bisnis masyarakat Muslim saat ini (sinkronis) maupun masa lampau seperti Sirah Rasulullah SAW (diakronis). Rekonstruksi melampaui (hyper) menurut Mulawarman (2006) dilakukan dengan cara meletakkan filosofi-teori akuntansi syari’ah sebagai pusat perekayasaan dengan penambahan aspek teknosistem. Teknosistem menurut Mahzar (2004) meliputi subsistem-subsistem struktural, dinamis, fungsional dan norm atif6. Keempat subsistem merupakan lapisan-lapisan dari realitas esensial mendalam, yaitu Sumber Nilai (Tawhid) yang disebut Ruh Teknologi (Tazkivah). Tawhid (teknosofi) dilaksanakan secara sosial (teknostruktur) dan berujung pada bentuk peralatan material (teknosfer). Tazkiyah Tahap Kedua: Bentuk Metode Sebagai Turunan Metodologi Metode penelitian ini menggunakan “ekstensi” HIT (Mulawarman 2007a). Ekstensi merupakan perluasan teknosistem agar dapat digunakan secara empiris di lapangan. Ekstensi empiris menggunakan metodologi Constructivist Structuralism (Wainwright 2000) versi Bourdieu (1977; 1989). Meskipun Constructivist Structuralism (CS) sebelum digunakan perlu dilakukan “ekstensi” pula. CS selalu menginginkan titik temu teori dan praktek yang mungkin (Mahar et a l 2005) melibatkan field (ruang sosial) dan habitus (perilaku individu tanpa sadar) 16 Subsistem dasar teknosistem adalah teknosfera yang struktural, yaitu unsur-unsur teknologi ma terial. Subsistem kedua, teknostruktur yang bersifat dinamikal/sosial energetik, yaitu subsistem transistemik dari unsur-unsur, proses yang melibatkan dan menghasilkan materi. Subsistem ketiga, teknologi informatik, yaitu program dan data yang mengarahkan eksistensi proses energetik, bentuk dari hasil subsistem pertama dan kedua yang mewujud dalam bentuk informasi. Subsistem keempat, teknosofi yang bersifat fundamental dan normatif, yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang m endasa ri keberadaan informasi, yang memiliki tiga nilai utama yaitu konsistensi (asas kebenaran), simetri (asas keindahan) dan optimasi (asas kebaikan) (Mahzar 1983).
176
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol.4, No.2, hal. 169-192
(Bourdieu 1977). Unsur penting CS bahwa tiap individu dalam realitas {practice) menjalankan produk sosial (field) sekaligus dipengaruhi kerangka pikir (habitus) dan membentuk perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant 1992). Model CS ditegaskan Mulawarman (2007a) masih menyimpan masalah karena Bourdieu tidak pernah menyeberang lebih jauh pada kesadaran lain dari luar materi individu (yang sebenarnya terdapat pada diri individu itu sendiri). Model CS menyebabkan Bourdieu menolak fenomenologi subjektif. “Ekstensi” CS dari Mulawarman (2007a) tetap memberi ruang intervensi subjektivitas fenomenologi, subjektivitas di luar individu dan sosial, dan spiritual. METODE PENELITIAN Proses rekonstruksi neraca melalui “ekstensi” Constructivist Structuralism dilakukan melalui habitus, field dan practice. Artinya, fase ini merupakan proses empiris untuk membuktikan bahwa sebenarnya terdapat nilai-nilai yang dapat dijadikan dasar neraca sesuai nilai mereka sendiri (habitus) secara material-batinspiritual. Penelitian empiris dengan melakukan pengamatan, wawancara dan pendalaman makna dan simbol dari narasumber. Muslim untuk mengetahui caranya dalam melakukan aktivitas dagang. Narasumber penelitian yaitu: 1. Pak Abbas, pemilik perusahaan real estat dan pertambangan di Malang, Jawa Timur (representasi “trah” Sarekat Islam) 2. Pak Munir, komisaris Bank Persyarikatan Indonesia dan Pak Aziz, produsen sparepart mesin amplas kayu untuk mebelair di Jepara (“trah” Muhammadiyah) 3. Pak Dumairi manajer BMT Sidogiri, Pasuruan (“trah” Nahdhlatul Ulama). Rerangka konseptual penelitian dapat dilihat pada gambar 1. Fase penelitian pada gambar 1 dijabarkan lebih detil dalam tiga tahapan penelitian. Tiga tahapan tersebut yaitu eksplorasi teoretis dan nonteoretis, penelitian lapangan, analisis struktur-struktur dan integrasi. Pertama, eksplorasi teoretis dan nonteoretis adalah aktivitas koleksi data dari sumber-sumber tertulis, seperti buku-buku, artikel, majalah, koran dan teks-teks lain, baik ilmiah dan non-ilmiah yang penting; catatan-catatan aktivitas dagang, laporanlaporan keuangan, maupun laporan-laporan yang ada hubungannya dengan aktivitas perdagangan narasumber. Koleksi data teoretis melakukan kajian literatur untuk menggali konsep teoretis dan hasil penelitian empiris implementasi neraca pada field akuntansi konvensional maupun akuntansi syari’ah pragmatis. Koleksi data teoretis juga dilakukan dari domain akuntansi syari’ah idealis, mulai dari landasan sumber nilai Islam, yaitu Tauhid, sampai dengan kerangka filosoiis-teoretis yang dibangun akuntansi syari’ah.
Mulawarman, Menggagas Neraca S y a r i’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi..
177
Gambar 1 Rerangka Konseptual Penelitian Ekstensi Hiperstrukturalisme Islam Terintegrasi
Kedua, penelitian lapangan adalah aktivitas empiris yang dilakukan untuk melihat secara langsung narasumber dalam melakukan aktivitas dagangnya. Aktivitas penelitian lapangan dilakukan dengan interview, pengamatan dan interaksi langsung dengan narasumber maupun tidak langsung pada teman, pelanggan, rekan bisnis dan keluarga narasumber serta beberapa tokoh kunci. Aktivitas penelitian lapangan dilakukan untuk mengetahui secara langsung akuntan praktisi Muslim melaksanakan aktivitas akuntansi. Melihat implementasi keislaman akuntan praktisi dalam fie ld dan practice akuntansi yang (seharusnya) muncul dalam karakter akuntabilitas kesadaran Ilahiah. Artinya, aktivitas yang dilakukan adalah mengambil niiai-nilai dasar individu atau masyarakat muslim yang masih menjalankan aktivitasnya berdasarkan nilai-nilai Islam. Meskipun nantinya dalam proses penggalian informasi, pasti terdapat interaksi antara narasumber muslim dengan non-muslim. Dari proses interaksi tersebut pasti muncul nilai-nilai kebaikan yang belum terakomodasi dalam nilai-nilai Islam ‘lam a’ tetapi sebenarnya secara substansial memiliki nilai-nilai Islami. Hal itu akan diakomodasi dan dilihat kesesuaiannya dengan konsepsi ushul fiq h dan syari ’ah. Ketiga, analisis eksplorasi teoretis-nonteoritis dan aktivitas penelitian lapangan untuk mendesain bentuk neraca. Analisis dilakukan dengan cara analisis terhadap hasil eksplorasi teoretis. Analisis dimulai dari melihat konstruk neraca berdasar konsep dasar teori akuntansi syari’ah, tujuan laporan keuangan dan karakter laporan keuangan akuntansi syari’ah; hingga perluasan karakter laporan keuangan akuntansi syari’ah. Analisis juga dilakukan pada usulan alternatif laporan keuangan seperti usulan Baydoun dan Willet (1994) dan perluasan ICR’s dari Sulaiman (2001; 2003)
178
Jurnal Akuntansi clan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol.4, No.2, hal. 169-192
Setelah itu dilakukan komparasi dengan temuan empiris di lapangan dengan hasil pengembangan model laporan keuangan yang telah didesain. Keduanya dilakukan secara simultan. Dimungkinkan pula studi komparatif teoretis dan empiris di lapangan dapat berubah menjadi eksplorasi konstruktif bila ditemui sebuah struktur dan nilai-nilai baru yang tidak terdapat di dalam eksplorasi teoretis. NERACA DALAM BINGKAI KEKAYAAN ALTRUISTIK ISLAMI Praktik m a ’isyah mendapatkan rejeki berdampak pada kekayaan dapat kita lihat dalam agenda ’’diakronis” sirah Muhammad .raw. setelah hijrah. Menurut Mulawarman (2007a) hijrah Rasulullah dalam konteks ekonomi dilakukan dengan perubahan utama, yaitu mekanisme ekonomi back to nature (kembali ke alam). Ekonomi back to nature berdasarkan nilai-nilai Islam, agar ekonomi merupakan bagian dari kesatuan aktivitas manusia. Kesatuan aktivitas manusia di dalamnya terdapat kesatuan dan sinergi sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, pendidikan dan lainnya. Penyadaran integrasi ekonomi dalam kesatuan aktivitas manusia merupakan penegasan pola ekonomi yang selama ini meninggalkan sifat alam dan tradisi sehingga membentuk masyarakat kapitalistik. Ekonomi back to nature tidak lagi mementingkan pemusatan bisnis berskala besar (wholesaler) sebagai kegiatan utama bekerja. Tetapi kegiatan berproduksi dan ekstraktif juga merupakan kegiatan utama, tanpa meninggalkan sifat spiritual-sosial-alam. Bentuk ekonomi khas Islam inilah yang disebut Ekonomi Altruistik Islami. Apakah bentuk-bentuk kesadaran Ekonomi Altruistik Islami masyarakat Muslim Indonesia muncul khususnya mekanisme mendapatkan kekayaan, yaitu Kekayaan Altruistik Islami? Untuk menjawab pertanyaan tersebut di bawah ini akan dilakukan penelusuran ’’sinkronis” empiris. Penelusuran sinkronis di samping melihat mekanisme mendapatkan kekayaan juga menggali lebih khusus lagi aktivitas ’’akuntansi” kekayaan sebagai source neraca. Internalisasi Habitus dalam Fields dan Practice Trah-trah Bisnis Kekayaan Altruistik Islami “sinkronis” muncul pada habitus bisnis pak Abbas sebagai representasi “trah SI” 17. Habitus terekam dalam ungkapan beliau: 17 Pemikiran ekonomi ST dapat dilihat pada salah satu Prinsip Utama Sosialism e Cara Islam Tjokrominoto, yaitu Kedermawanan Islami. Kedermawanan Islami bukanlah melakukan sedekah sebagai kebajikan semata, tetapi sedekah adalah kewajiban untuk meraih cinta Allah. Kedermawanan ber dampak tiga hal: menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi untuk Keridhaan A l lah; zakat sebagai dasar distribusi dan pemerataan kekayaan seluruh masyarakat; kemiskinan dunia bukan kehinaan, tetapi kejahatan (Tjokroaminoto 1950).
Mulawarman, Menggagas Neraca Syari'ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi..
179
Dalam hidup itu dan apa yang kita usahakan ya harus halal plus thoyib, ini semua dalam rangka berinvestasi untuk membuat kendaraan mengarungi sirotol mustaqim, jalan menuju surga...
Bisnis untuk membangun kendaraan mengarungi shiw tol mustaqim lebih detail diungkapkan sebagai usaha mengumpulkan modal tanpa meninggalkan kewajiban memberi kepada yang berhak. Semuanya merupakan bagian dari amanah pertanggungjawaban utama kepada Allah. Berikut ungkapan beliau: B isnis harus kaya, karena kaya akan dapat saving modal. Tetapi saving modal harus dan tidak pernah lepas dari kewajiban saya memikirkan kepentingan membangun masyarakat jadi lebih baik. Tidak mungkin berbisnis tetapi meninggalkan kewajiban Qur’an dan Sunnah untuk mengabdi pada Allah dan masyarakat tempat saya berpijak. Misalnya investasi membangun sekolah Islam atau masjid di setiap perumahan yang saya kembangkan. Itung-itung investasi masa depan. Dengan membangun sekolah Islam pada akhirnya korupsi bisa tergerus oleh akhla <-akhlak baru kan? Itu yang membahagiakan saya...
Pencapaian keseimbangan modal, bukan hanya saving untuk kepastian aliran masa depan. Membangun masjid, sekolah atau mendistribusikan hak-hak pekerja, pemasok, pemilik merupakan penanaman modal untuk investasi melampaui realitas, investasi surga. Investasi melampaui realitas masa depan sebagai kewajiban atas realitas tak tercandra. Semuanya mengarah pertanggungjawaban kepada Allah. Pesan Kekayaan Altruistik Islami juga muncul di kalangan “trah” Muhammadiyah. Pemikiran ekonomi Muhammadiyah menurut Pak Munir lebih bersifat menyelesaikan masalah sosial ekonomi pra kemerdekaan. Berdasar realitas sejarah seperti itu pak Munir mencoba memberi tafsir pemikiran Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah seperti berikut: Ini tafsir saya ya, tafsir atas realitas sejarah Muhammadiyah, bahwa pikiranpikiran awal Dahlan waktu itu jelas sangat kontekstual daripada tekstual, yang dalam bahasa Anda itu empiris. Muhammadiyah sebelum kemerdekaan wujudnya lebih kontekstual seperti rumah sakit, sekolah, panti asuhan, bahkan keinginan memiliki kapal dagang dan bank sudah ada sejak jaman itu.
Tanggung jaw ab sosial Muhammadiyah menurut Jainuri (2002) berakar pada ajaran Ahmad Dahlan mengenai keterkaitan Iman-lslam-Ikhsan dengan amal sholeh. Menurut beliau membelanjakan harta untuk keridhaan Tuhan berada pada prioritas paling atas. Semangat seperti ini muncul dalam spiritualitas habitus pedagang Muhammadiyah saat ini. Kekayaan diperlukan agar dapat membantu orang lain serta menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga masyarakat luas dapat ikut menikmati kekayaan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Hj. Sus (Qadir 2002) yang berkata:
180
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol.4, No.2, hal. 169-192
Dengan kita kaya, nantinya bisa bersedekah, zakat dan orang lain turut menikmati kekayaan kita.
Kekayaan Altruistik Islami bermakna “kaya melampaui materi”. Bisnis tidak harus kaya dalam arti aset atau ekuitas “materi” meningkat. Pak Aziz misalnya melihat mencari kekayaan itu tidak hanya berbasis tumpukan materi: Cari rejeki itu karena Allah, jadi gak perlu ngoyo. Yang penting lumintu, dapat rejeki supaya ada nilai tambah yang bisa ditabung dan dibelikan perangkat pabrikan, tetapi tidak serakah dan harus tetap bernilai barokah. Gak etis kalo misalnya sudah punya langganan untuk memasok barang saya, tapi hanya karena perbedaan price lebih menguntungkan terus langsung pindah. Itu namanya memutus silaturrahim.. asal cukup untuk biaya makan, anak sekolah, keperluan sehari-hari, ya syukur
Alhamdulillah.
Pak Aziz memandang mencari rejeki sebagai bentuk pengabdian kepada Allah perlu mendapat aset, ekuitas dan keuntungan bersifat nilai tambah. Tetapi aset tidak harus “cepat membesar”, tetapi bertahap. Ekuitas juga dapat berbentuk ekuitas batin, seperti ketenangan karena dapat menabung untuk keluarga dan biaya anakanak sekolah. Kekayaan Altruistik Islami menurut tradisi NU, seperti BMT Sidogiri lebih konkret misalnya dalam laporan keuangan khas mereka. Para penggiat BMT Sidogiri melakukan pencatatan laporan keuangan berdasarkan keseimbangan sikap bisnis dan sosial, yaitu “da ’wah dalam bisnis”. Keduanya harus mencerminkan kesatuan kepentingan ekonomi-sosial halal, thoyib dan bebas riba sesuai fiqh muamalah model ahlus sunnah wal jamaah. Salah satu bentuknya meletakkan qardh,H:1'J pada neraca di sisi aktiva. Berikut penjelasan pak Dumairi: Meskipun PSAK memisahkan qardhul hassan, tapi kami tetap membuat neraca model sendiri. Qardhul hassan dicatat di neraca sebagai Qardh. Itu dilakukan ya karena aktivitas ekonomi dan sosial gak bisa dipisah-pisah... Perhitungannya juga jangan sampe terjebak riba seperti bank plecit.
Gaya-gaya implementatif normatif Islam memangterlihatmencerminkan tradisi yang agak berbeda, tetapi bila ditarik garis umum terdapat kesamaan-kesamaan, tetap mengarah pada prinsip-prinsip utama bisnis Islami seperti dijalankan Rasulullah saw. Prinsip keseimbangan untuk mencari rejeki yang berdampak pada munculnya kekayaan sangat erat hubungannya dengan kesalehan dan ketundukan untuk 18 Konsep ini sebenarnya berasal dari akad Qardh, yaitu penerimaan dan penyaluran dalam ben tuk pinjaman untuk tujuan produktif. Penjelasan mengenai pentingnya Qardh dapat merujuk M ula warman (2007b) 19 PSAK N o. 59 maupun SAK N o 101 IAI mengenai laporan keuangan perusahaan Islam tahun 2007 meletakkan laporan dana kebajikan atau qardhul hasan sebagai laporan sosial, terpisah dari aktivitas ekonomi.
Mulawarman, Menggagas Neraca S y a ri’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi.
181
melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Kewajiban tetap menjalankan d a’wah ketika berbisnis, mengarah pada ketundukan dan pencapaian modal untuk meraih surga. Kekayaan Altruistik Islami dalam Keseimbangan A l Muhith Kekayaan Altruistik Islami yang memiliki kesatuan finansial-sosial-lingkungan berbasis maal dalam realitas practice dan fields Pak Abbas, Pak Munir, Pak Aziz dan Pak Dumairi mirip pandangan lingkungan holistik Nasr (1994). Menurut beliau konsep Lingkungan Paling Agung bersesuaian dengan Al Q ur’an disebut Maha Meliputi [Al Muhith). Kekayaan Altruistik Islami berbasis Al Muhith di atas memenuhi kesesuaian metodologis Ekstensi CS. Field organisasi sosial menggunakan Al Muhith sebagai kesadaran dan ketidaksadaran struktural akan memberikan dampak habitus pada setiap individu. A l Muhith sebagai bentuk tazkiyah jelas berdampak bentuk keseimbangan dan keadilan atas kekayaan (maal). Implikasinya yaitu terbentuknya konsep maal yang terdiri dari empat proses, yaitu proses pembentukan, distribusi, pengakuan dan pengukuran. Proses pertama, pembentukan kekayaan memiliki prinsip keseimbangan berbasis wasathan yang mengarah prinsip neraca keadilan (mizan)10. Wasathan merupakan keseimbangan dan keadilan Ilahi, yaitu prinsip keseimbangan yang harns dicapai setiap manusia, relasi sosial, lingkungan dan alam semesta menuju rahmatan lil alamin21. Mizan adalah bentuk neraca keadilan di dunia untuk menuju keseimbangan hakiki dari wasathan yang menjulang tinggi ke langit. Seperti kita lihat di atas ternyata prinsip keseimbangan sesuai prinsip shirotol mustaqim. Menurut konsep ini pembentukan kekayaan dapat dibangun dengan mempersiapkan modal, kewajiban dan ekuitas berbentuk materi-batin-spiritual yang memiliki relasi finansial-sosial-lingkungan menuju Allah. Proses kedua, distribusi kekayaan hams dilakukan secara optimal untuk kebaikan sesama, merata dan tidak saling menegasikan. Seberapapun keikutsertaan, 20 Mizan sebagai bentuk teknologi terdiri dari garis vertikal dan horizontal yang memiliki fungsi struktural. Fungsi struktural, artinya garis vertikal memiliki sifat yang unik sendiri dan demikian pula uengan garis horisontal. Tetapi ketika garis vertikal dan horisontal yang struktural, yaitu mizan itu bersatu, maka mizan berubah fungsi integratif yang disebut sebagai wasathan. Mizan memberikan gambaran konseptual strukturalistik yang mekanistik-fec/wo/ogf'ca/, sedangkan wasathan memberi kan gambaran konseptual integralistik yang OYgan\k-scientific. 21 Rahmatan lil 'alamin adalah bentuk keseimbangan puncak dari prinsip keseimbangan yang bersi fat universal dari realitas duniawi dan ukhrawi, yang profan dan spiritual. Mudahnya proses menuju wasathan memiliki keseimbangan material sekaligus spiritual yang perlu ditempuh melalui jalan lurus ( shirotol mustaqim) menuju rahmatan lil 'alamin.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol.4, No.2, hal. 169-192
182
harus selalu dicatat dan diakui sebagai potensi yang berhak mendapatkan pembagian kekayaan. Proses ketiga, pengakuan kekayaan harus dilakukan secara konsisten, dengan mematuhi prinsip-prinsip kebenaran dan tidak melanggar ketentuan Allah. Mematuhi prinsip-prinsip kebenaran adalah melaksanakan aktivitas ekonomi sesuai batasbatas yang diperbolehkan syara ’ (halal), bermanfaat (thoyib) dan menegasikan riba (interest). Proses keempat, pengukuran kekayaan berbasis current value. Penggunaan CoCoA sebagai basis pengukuran dapat merujuk Chambers (1975) 22. Menurut Chambers (1975) penilaian aset harus ditetapkan nilainya saat itu (up to date), menggunakan informasi independen berbasis harga pasar saat ini, yaitu purchasing pow er unit pada saat itu juga. Untuk memudahkan digambarkan perbandingan masing-masing konsep kekayaan di bawah: Tabel 1 Perbandingan Konsep Kekayaan K riteria
Konsep D asar Teoretis
Konsep
Pemilik
Pemilik
A kuntansi Syari’ah Idealis
Shari’ate Enterprise Theory
Maal Concept
FSL bernilai M ateri, Batin, Spiritual
Stakeholders dan Allah pemilik utam a
A kuntansi S yari’ah Pragm atis
Entity Theory
Wealth Concept
FSL bernilai M ateri
Stakeholders
A kuntansi Sosial Lingkungan
Enterprise Theory
Genuine Wealth Concept
FSL bernilai M ateri
Stakeholders
A kuntansi Konvensional
Entity Theory
Wealth Concept
Finansial bernilai M ateri
Stockholders
Keterangan: FSL= Finansial-Sosial-Lingkungan 22 Konsep CoCoA menetapkan semua assets dan liabilities dinilai menurut net realizable value dari harga pasar sesuai taksiran biaya penjualan. Assets dijelaskan Chariri dan Ghozali (2000) dinyatakan dalam jumlah kas (atau setara kas) yang dapat diperoleh sekarang dengan menjual aktiva dalam pelepasan normal (orderly disposal ). Kewajiban dinyatakan sebesar nilai penyelesaiannya, yaitu jumlah kas (atau setara kas) tanpa diskonto yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi ke wajiban dalam pelaksanaan usaha normal. Net realizable value menurut N ai’m (2001) berkaitan dengan harga pasar di pasar output atau konsumen. Apabila harga jual sekarang tidak dapat diperoleh di pasar, menggunakan indeks harga jual khusus (dihitung oleh pihak luar atau perusahaan sen diri) dan atau dilakukan penilaian oleh lembaga independen di luar manajemen (seperti perusahaan
appraisal).
Mulawarman, Menggagas Neraca Syari 'ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi..
183
Bentuk Neraca Syari’ah Proses perumusan neraca syari ’ah telah memberikan pencerahan baru mengenai konsep kekayaan sebagai dasar dari pembentukan neraca syari’ah. Konsep norm atif Islam jelas sekali dalam perjalanan sejarahnya masih menjadi salah satu “koridor” utama penerjemahan prinsip bisnis penggiat ekonomi di masyarakat Muslim. Nilainilai yang muncul dari realitas di lapangan dapat disimpulkan bahwa kekayaan syari’ah implementasinya dalam akuntansi syari’ah adalah realisasi keseimbangan bentuk aset, kewajiban dan ekuitas. Arti keseimbangan di sini tidak hanya berkenaan dengan saving untuk kepastian aliran masa depan saja, tetapi juga bentuk penanaman modal untuk investasi yang melampaui realitas, investasi surga serta berhubungan dengan kepentingan finansial, sosial dan lingkungan. Keseimbangan kekayaan syari’ah harus selalu tersucikan melalui proses tazkiyah . Tazkiyah kekayaan bermakna setiap kekayaan perolehannya harus halal, thoyib dan bebas riba. Konsep balance sheet secara normatif maupun empiris jelas harus mengarah pada terciptanya keseimbangan kekayaan material, batin dan spiritual. Dampak dari kekayaan seperti itu akan mengarah pada kewajiban yang juga berprinsip keseimbangan material, batin dan spiritual; serta ekuitas berprinsip keseimbangan material, batin dan spiritual. Keseimbangan hanya dapat terjadi ketika segala sesuatu berada pada suatu tempat yang sama, realitas yang sama, realitas segala sesuatu, A l Muhith. A l Muhith adalah keimanan itu sendiri, Tawhid itu sendiri. Terjemahan Realitas Tawhid dalam konsep kekayaan mengarah pada kewajiban penyembahan yang mendorong seorang Muslim menjalankan tugasnya sebagai wakil Allah di bumi, yaitu menyuburkan kekayaan milik Allah. Menyuburkan kekayaan milik Allah dapat terealisasi ketika kekayaan yang kita miliki telah tersucikan dengan memberikan kekayaan orang lain sesuai haknya secara adil. Berbeda dengan pandangan Barat mengenai Keadilan, menurut Mulawarman (2006a, 286) nilai Keadilan Ilahi yang melandasi pemikiran ekonomi dan akuntansi dalam Islam sejak awal adalah bernilai Ilahiah dan harus diwujudkan secara nyata dalam kesejahteraan sosial. Keadilan harus berwujud kesejahteraan sosial yang dianggap sebagai kewajiban (liabilites) sebagai wujud tazkiyah. Dalam konteks teknologi, keadilan Ilahi seperti ini adalah tujuan akhir dari Ruh Teknologi. Kekayaan (equities) dan kepemilikan (asset) bersifat materi sebenarnya hanyalah bentuk titipan Allah dan sekaligus bersifat kewajiban (liabilities) atas harta. Kepemilikan materi berdampak pada menafkahkan harta. Jadi, basis akuntansi syari’ah berkenaan kepemilikan (assets) sebenarnya ada pada nilai keadilan antara kekayaan (equities) dan kewajiban (liabilities). Keadilan atas kepemilikan (assets) seseorang dapat dianggap sebagai kepemilikan (assets) itu sendiri ketika telah
184
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol.4, No.2, hat. 169-192
terdapat keadilan Ilahiah atas distribusi (kekayaan maupun kewajiban sekaligus sesuai proporsinya) pada pemilik, karyawan, manajemen, pemasok, konsumen, masyarakat sekitar, lingkungan alam dan Allah. Pencapaian kekayaan adalah bentuk awal dari ketundukan ciptaan kepada Allah SWT, atau mudahnya kekayaan adalah kewajiban itu sendiri, yaitu substansi dari tugas manusia sebagai hamba Allah (abd’Allah). Bahkan kematian setiap orang yang mengaku dirinya Muslim akuntabilitas kepada Allah tidak diukur dari kepemilikan atau kekayaan bersih miliknya. Pengakuan (recognition) atas akuntabilitas kepada Allah selalu menggunakan pengukuran (measurement) awal mengenai kekayaan (equities) sekaligus kewajiban (liabilities). Kesimpulan dari diskusi di atas bahwa maal atau Kekayaan Altruistik Islami adalah keseimbangan kekayaan yang dimiliki wider-stakeholders, bernilai holistik dan dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Wider-stakeholders di sini meliputi Allah, direct stakeholders, indirect stakeholders, dan alam. Kekayaan harus memiliki nilai holistik meliputi materi-mental-spiritual. Kekayaan juga harus sesuai kriteria syari’ah, yaitu halal, thoyib dan bebas riba. Secara teknis maal dari aktivitas bisnis (bentuk kreativitas) harus didapatkan dengan cinta, dan bukan dengan cara serakah, progresif, intimidasi, ataupun penjarahan (integritas moralitas teknologi). Maal penuh cinta berdampak sosial dan lingkungan diiringi hati ikhlas, jujur dan empati (integritas realitas sosial dan lingkungan), Pembentukan dan pencapaian maal bermakna ketundukan kepada Allah. Dengan demikian neraca berbasis maal didefinisikan sebagai keseimbangan asetliabilitas-ekuitas berbentuk finansial-sosial-lingkungan, bernilai materi-batinspiritual dan memenuhi kriteria halal- thoyib-bebas riba, untuk akuntabilitas penuh cinta pada Allah. Bentuk umum neraca syari’ah memiliki persamaan akuntansi khas: A sset = D irect stakeholders + Indirect stakeholders A sset = D irect and Indirect Liabilities + Direct and Indirect Equities A sset = Kewajiban Ketundukan dan Kreativitas + Kekayaan Ketundukan & Kreativitas Persamaan di atas mengandung arti setiap penciptaan aset dari hasil kreativitas terdapat hak milik stakeholders langsung maupun tidak langsung. Setiap aset merupakan hasil dari kewajiban dan ekuitas para stakeholders langsung maupun tidak langsung. Stakeholders langsung meliputi pemegang saham, karyawan, kreditor, pemerintah, pemasok, pelanggan. Stakeholders tidak langsung meliputi masyarakat secara umum dan lingkungan alam (lihat Triyuwono 2006). Kreativitas penciptaan aset, kewajiban dan ekuitas pada setiap stakeholders juga harus memenuhi kriteria ketundukan, yaitu halal, thoyib dan bebas riba (lihat Mulawarman (2006). Rumusan di atas mengarah bentuk neraca syari’ah berikut:
Mulawarman, Menggagas Neraca S y a ri‘ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi..
185
Tabel 2 Neraca Syari’ah Neraca Syari’ah Assets Ketundukan a. Aset PLS System b. Brand Image Islami c. Piutang PLS Kreativitas a. Kas b. Green and Social Brand Image c. Beban Dibayar Di Muka d. Tanah e. Gedung a. Penyusutan Liabilities Ketundukan a. Hutang Usaha PLS b. Hutang Obligasi Sukuk Kreativitas a. Kewajiban Kepada Masyarakat (Pinjaman Aset) Lingkungan b. Kewajiban Kepada (Pinjaman Aset) Equities Ketundukan a. Saham Biasa PLS Kreativitas a. Contributed Equities (Sosial) b. Accumulated Affects (Lingkungan) Revaluasi
Kuantitatif
Kualitatif
XI
Y1
X2
Y2
X3
Y3
X4
Y4
Proses penciptaan assets dengan akuntabilitas kepada Allah memperhatikan kewajiban sekaligus ekuitas bagi perusahaan, karyawan, masyarakat dan lingkungan. Assets dibagi menjadi tiga tingkatan, current assets, fixed assets dan intangible assets. Pada current assets terdapat aset likuid yang tidak memisahkan kepentingan ekonomi, sosial maupun lingkungan. Contohnya seperti masuknya qardhul hassan serta kemungkinan penggunaan muzara'ah dan musaqah dalam current assets (X I).
186
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol.4, No.2, hal. 169-192
Intangible Asset misalnya brand image (X I) yang tidak hanya berkaitan rasio keuangan, bahkan mungkin tidak mementingkan rasio keuangan. Brand image mementingkan proses dan aktivitas sesuai prinsip-prinsip syari’ah (ketundukan). Brand image bukan hanya “dianggap” tetapi memiliki hubungan baik dan berempati terhadap pemberdayaan, seperti kesehatan, sosial, pendidikan, pemberdayaan ekonomi rakyat (kreativitas). Memiliki hubungan baik dan berempati juga tidak hanya pada golongan tertentu tetapi pada semua golongan, asal tetap berdampak pada kemaslahatan (ketundukan). Brand image juga peduli lingkungan atau disebut Dorweiler dan Yakhou (2005) sebagai Green Image (kreativitas). Liabilities bukan hanya berhubungan dengan kewajiban pada supplier maupun kreditor pos zakat untuk menetapkan kriteria syari’ah (halal, thoyib dan bebas riba) seperti pada modal cadangan merupakan liabilities ketundukan (X2). Pos penguasaan aset milik masyarakat seperti ijin usaha di lokasi masyarakat adat merupakan bagian liabilities bersifat ketundukan sekaligus kreativitas (X2). Artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan ketetapan kewajiban syari’ah seperti hak penyucian (tazkiyah) zakat serta akuntabilitas (hak masyarakat) berada pada elemen liabilities. Sedangkan kepemilikan perusahaan harus tetap memperhatikan kepemilikan (ekuitas) bersama baik internal maupun eksternal (X3). Dengan demikian ekuitas harus menetapkan hak kekayaan bersih pada masyarakat dan lingkungan (kreativitas) n . Neraca syari’ah tidak hanya mengakui dan mengukur elemen dan pos-pos kuantitatif, tetapi juga mengakomodasi yang bersifat kualitatif. Sifat kualitatif elemen dan pos masuk dalam satu kesatuan utuh neraca. Hal ini dilakukan agar sifat kualitatif tidak menjadi kriteria voluntary, tetapi mandatory (Y1,Y2,Y3,Y4). Tanggung jawab sosial dan lingkungan akuntansi syari’ah berbeda dengan akuntansi konvensional maupun lingkungan seperti Mook et al. (2003; 2005) atau Dorweiler dan Yakhou (2005). Berbeda juga dengan Sulaiman dan Willett (2003) tentang kinerja ekonomi-sosial-lingkungan, tiga hal tersebut tidak dapat diukur terpisah dari tiga laporan utama menggunakan voluntary disclosure. Extended GRI oleh Sulaiman dan Willet (2003) masih memberi peluang perusahaan melakukan manipulasi dan disparitas kepentingan ekonomi-sosial-lingkungan dalam Islam. Meskipun demikian usulan-usulan voluntary diselosurebergimauntukpengembangan informasi kualitatif neraca dan bersifat mandatory. Neraca syari’ah menekankan keseimbangan pelaporan materi-batin-spiritual dan finansial-sosial-lingkungan, baik kualitatif (Y) maupun kuantitatif (X). Informasi kualitatif neraca harus mencakup misalnya jumlah pemilik saham Muslim dan saham yang dimiliki, perusahaan telah menjalankan kriteria halal, perusahaan mencatat aktivitas yang bersentuhan dengan kriteria haram. Perusahaan juga harus 21 Pos ekuitas bersama mirip gagasan Dorweiler dan Yakhou (2005), yaitu contributed equity untuk kepentingan sosial dan accumulated affects untuk kepentingan lingkungan
Mulawarman, M enggagas Neraca S y a ri’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi..
187
tidak menerapkan interest pada seluruh transaksinya. Indikator kinerja sosial harus juga mencantumkan apakah karyawan dari eselon-eselon yang lebih tinggi memiliki tingkat kepatuhan ibadah sholat dari manajer level bawah dan menengah. Indikator kinerja sosial lainnya adalah: (1) Apakah juga pekerja atau karyawan Muslim diberi hak menjalankan shalat tepat waktu ketika mereka bekerja? (2) Apakah mereka disediakan tempat untuk menjalankan shalat (mushala atau masjid)?. Definisi elemen liabilities, assets dan equities dalam akuntansi syari’ah dengan demikian juga berubah. Liabilities memiliki pos-pos ketundukan24 dan kreativitas25 baik kuantitatif maupun kualitatif. Begitu pula assets dan equities. Ketiganya merujuk kriteria informasi dan akuntabilitas ketundukan dan kreativitas sesuai tujuan dasar maupun karakter laporan keuangan syari’ah. Elemen-elemen laporan keuangan syari’ah jelas berbeda dari definisi konvensional. Definisi asset2621 di Indonesia merupakan translasi SFAC No. 6: Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a particular entity as a result o f past transactions or events.
Definisi liabilities28 maupun equities29juga tidak lepas dari “tradisi” translasi pula. Suwardjono (2005) menjelaskan elemen laporan30keuangan merupakan bahan pembentuk informasi semantik yang dikandung laporan keuangan. Jadi, elemenelemen laporan keuangan lanjut Suwardjono (2005) harus ditentukan atas dasar informasi semantik yang ingin disampaikan dalam pelaporan keuangan. Apakah pendefinisian di atas sudah tepat, sesuai dan operasional, sesuai logika semantik masyarakat Indonesia? Padahal, menurut Suwardjono (2005) informasi semantik neraca misalnya berpusat pada tujuan laporan keuangan versi FASB di “Amerika Serikat”, yaitu untuk kepentingan investor dan kreditor 24 Ketundukan sebagai karakter a b d ’Allah, 25 Kreativitas adalah karakter khalifatullahfil ardh 26 Assets didefinisikan sebagai manfaat ekonomi masa datang yang cukup pasti (probable ) yang di peroleh atau dikuasai oleh suatu entitas sebagai hasil transaksi atau kejadian masa lalu (Suwardjono 2005; Chariri dan Ghozali 2000). 27 Definisi assets juga dapat dilihat APB 1970 atau Committee on Terminology’ AICPA 1953 (Wolk, Francis dan Teamey 1989). Meskipun definisi umum biasanya banyak merujuk FASB. IAI juga mendefinisikan assets dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan hasil translasi dari IASC yang mirip SFAC No. 6 FASB dengan terjemahan Aktiva. 28 Liabilities didefinisikan Suwardjono (2005) maupun Chariri dan Ghozali (2000) sebagai pengor banan manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang timbul dari keharusan ( obligations ) sekarang suatu entitas untuk mentransfer aset atau menyerahkan jasa kepada entitas lain di masa datang sebagai akibat dari transaksi atau kejadian di masa lalu 2I’ Equities menurut Suwardjono (2005) serta Chariri dan Ghozali (2000) adalah hak residual terhadap aset suatu entitas yang masih tersisa setelah mengurangi aset dengan kewajiban. 30 Suwardjono (2005) menyebut statement
188
Jurnal Akuntansi dun Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol. 4, No.2, hal. 169-192
berbasis pasar modal dan pasar bebas. Jelas di sini terjadi yang dikatakan Bourdieu (1977) sebagai doxa, yaitu menetapkan tatanan sosial asing (baca: Barat) pada diri individu tanpa sadar (habitus) dalam realitas sosial (field) untuk menjadi budaya lokal (baca: Indonesia). Doxa berujung pada symbolic violence, kekerasan sangat halus melalui intervensi simbol pikiran. Realitas simbolik “dunia lain” (Barat) dipaksakan lewat semantisasi teori akuntansi sebagai bentuk doxa akuntansi (lokal). Doxa akuntansi jelas telah’’memenjara” ruang kreativitas empiris penggiat organisasi untuk menjalankan pelaporan keuangan melalui symbolic violence elemen-elemen neraca. KESIMPULAN Penelitian ini baru melakukan konstruksi awal neraca syari’ah dan belum melakukan pendalaman seperti definisi, pengakuan, pengukuran dan penyajian elemen-elemen utama aset, liability maupun ekuitas syari’ah. Definisi, pengakuan, pengukuran dan penyajian elemen memang merupakan keterbatasan dalam penelitian ini. Misal aset, apakah Islam menggunakan pembagian kas dan stok (Zaid 2004) atau aktiva lancar dan aktiva tetap (Lewis 2001)? Bagaimana liability yang memang benar-benar lepas dari jerat time value o fm o n e yl Begitu pula ekuitas, bagaimana bentuknya ketika aset dan liabilitas berubah? Berkaitan pengukuran nilai sekarang berbasis nishab zakat juga perlu ditemukan formulasi lebih tepat sesuai mekanisme pencatatan syari’ah. Secara umum bentuk neraca syari’ah dalam penelitian ini berdampak misalnya pencatatan akitivitas berbentuk qardhul hassan, seperti yang dilakukan dalam PSAK No 101. Qardhul hassan hendaknya tidak diproyeksikan untuk kepentingan charity. Qardhul hassan perlu dikaji ulang dari prinsip dasarnya, yaitu Qardh, yang lebih berorientasi produktif dan menganut mashlaha sosial-lingkungan31. Standar Akuntansi Keuangan versi IAI perlu mengkaji ulang qardhul hassan. Qardhul hassan semestinya tidak terpisah dari laporan keuangan utama, tetapi perlu masuk dan setara dengan produk lainnya. Terakhir, titik tekan bentuk-bentuk elemen neraca syari’ah perlu mengarah pada keadilan kepemilikan dan distribusi nilai tambah “lokalitas” atas kekayaan, memiliki relasi finansial-sosial-lingkungan serta bermanfaat secara materi-batinspiritual. Mudahnya elemen-elemen neraca syari’ah harus berpedoman pada prinsip Kekayaan Altruistik Islami ala Indonesia. Insya Allah.
11 U sulan muzara ’ah, musaqah dan qardhul hassan “baru” lihat Mulawarman (2007b; 2007c)
Mulawarman, M enggagas Neraca Syari 'ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi.
189
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. Akhyar. Akuntansi Syari ’ah: Arah, Prospek dan Tantangannya. Yogyakarta: UII Press, 2005. Anielski, Mark. “Measuring the Genuine Wealth o f Communities: Accounting for That Which Makes Life Worthwhile.” Anielski Management Inc., 2003. http:// www.anielski.com/ Armour, Leslie. “Economics and Civilization.” International Journal o f Social Economics 26 (12) (1999): 1455-1491. Baydoun, N. dan R. Willett. “Islamic Accounting Theory.” In Papers from The AAAN ZAnnual Conference, 1994 ----------. “Islamic Corporate Report.” ABACUS 36 (1): 71-90, 2000. Bourdieu, P. “Outline of A Theory of Practice.” Cambridge University Press, 1977. ----------. “Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.” CambridgeMA: Harvard University Press, 1989. Bourdieu, P, dan LJD. Wacquant. "‘An Invitation to Reflective Sociology.” The University o f Chicago Press, 1992. Capra, Fritjof. The Tao o f Physics, 4'" ed. Terjemahan. Yogyakarta: Jalasutra, 2005. Chambers, RJ. “Accounting for Inflation.” Exposure Draft. Australia: University o f Sydney, 1975. Chariri, Anis. dan Imam Ghozali. Teori Akuntansi, edisi revisi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000. Dorweiler, V P. dan M Yakhou. “APerspective on the Environment’s Balance Sheet.” The Journal o f American Academy o f Business 1 (2005). Gambling, Trevor dan Rifaat AA Karim. Business and Accounting Ethics in Islam. London: Mansell, 1991. Harahap, Sofyan Syafri. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam. Jakarta: Pustaka Quantum, 2001. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59. Tentang Akuntansi Perbankan S ya ri’ah. Jakarta: IAI, 2002. Jainuri, Ahmad. Ideologi Kaum Reformis. Surabaya: LPAM, 2002. Lewis, Mervyn K. “Islam and Accounting.” Accounting Forum 25 (2001): 103127. Mahar, C., R. Harker, dan C. Wilkes. “Posisi Teoritis Dasar.” Dalam (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Terjemahan. Yogyakarta: Jalasutra, 2005. Mahzar, Armahedi. Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami. Bandung: Penerbit Mizan, 2004.
190
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol.4, No.2, hal. 169-192
Mook, Laurie. “A Social Accounting Framework for Cooperatives: The Expanded Value Added Statement.” ACE Institute, Wisconsin., 2003. http://www.wisc. edu/ Mook, L., BJ Richmond, dan J. Quarter. “Social Accounting for Nonprofits: Two Models.” Nonprofit Management & Leadership 13 (4) (2003): 308-324. --------“Social Accounting for Social Economy Organizations.” Research Bulletin 27. Toronto: Centre for Urban and Community Studies, University of Toronto, 2005. http://www.urbancentre.utoronto.ca/ Muhammad. Prinsip-prinsip Akuntansi dalam Alquran. Yogyakarta: UII Press,
2000.
Mulawarman, Aji Dedi. Menyibak Akuntansi Syari’ah. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana, 2006. --------- . “Menggagas Laporan Arus Kas Syari’ah.” Prosiding Simposium Nasional Akuntansi X, Makassar, 26-28 Juli 2007a. --------- . “Keuangan Syari’ah: Antara Konsep, Perkembangan Terkini dan Prospek Ke Depan.” Dalam Soft Opening Lembaga Riset Keuangan Syari’ah, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, 28 Maret 2007b. --------- . “Ekonomi Islam dalam Bingkai Pemikiran HOS Tjokroaminoto.” Dalam Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, 12 September 2007c. N a’im Ainun. Akuntansi Inflasi, edisi pertama. Yogyakarta: BPFE. Nasr, Seyyed Hossein. “Islam dan Krisi Lingkungan.” Jurnal Islamika 3 (JanuariMaret 1994): 4-18. Qodir, Zuly. Agama dan Etos Dagang. Jakarta: Pondok Edukasi, 2002. Ribeiro, Maisa S. and A. Santos. “Disclosure o f the Democratization o f Social and Economic Development through the Social Balance Sheet Data on The Authors.” Dalam 14th. Asian Pacific Conference on International Accounting Issues, Los Angeles, EUA, November 2002. Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan. Yogyakarta: Kreasi WacanaJuxtapose, 2003. Sulaiman, Maliah. “Corporate Reporting From An Islamic Perspective.” Akauntan Nasional, Oktober 2000, 18-22. ----------. “Testing a Model of Islamic Corporate Financial Reports: Some Experimental Evidence.” IIUM Journal o f Economics and Management 9 (2) (2001): 11539. Sulaiman, Maliah dan Roger Willett. “Using the Hofstede-Gray Framework to Argue Normatively for an Extension of Islamic Corporate Reports.” Malaysian Accounting Review 2 (1 ) (2003). Suwardjono. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan, edisi ketiga.
Mulawarman, Menggagas Neraca S y a r i’ah Berbasis Maal: Konlekslualisasi..
191
Yogyakarta: BPFE, 2005. Syahatah, H. Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Akbar., 2001. Taher, Tarmizi. 2005. Konsep Ummatan Wasathan. Koran Republika. 16 Desember. Tjokroaminoto, HOS. Islam dan Socialism. Jakarta: Bulan Bintang, 1950. Triyuwono, Iwan dan M. A s’udi. Akuntansi Syari'ah: Memformulasikan Konsep Laba dalam Konteks Metafora Zakat. Penerbit Salemba Empat Kerjasama dengan PPBEI FE-Universitas Brawijaya, 2001. Triyuwono, Iwan. Akuntansi Syari'ah: Perspektif Metodologi dan Teori. Jakarta: Rajawali Press, 2006. ----------. “Mengangkat ’Sing Liyan’ Untuk Formulasi Nilai Tambah Syari’ah.” Prosiding Simposium Nasional Akuntansi X, Makassar, 26-28 Juli, 2007. Wainwright, S. P. “For Bourdieu in Realist Social Science.” Dalam Cambridge Realist Workshop 10th Anniversary Reunion Conference, 2000. Zaid, Omar A. Akuntansi Syari’ah: Kerangka Dasar dan Sejarah Keuangan Dalam Masyarakat Islam. Terjemahan. Jakarta: LPFE Universitas Trisakti, 2004. Zohar, Danah dan lan Marshall. Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2007, Vol.4, No.2, hal. 169-192