BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM 1. Pengertian Waris Hukum Islam atau yang biasa disebut dengan fiqh/syari’ah,1 selalu berkembang penjabarannya. Walaupun jelas artinya “satu”, namun banyak sekali interpretasi atau pendapat yang menyoroti hal tersebut. Hal ini dikarenakan masih adanya ayat-ayat yang “sama” sehingga manusia diberi “wewenang” untuk menjabarkan hal-hal tersebut. Di sisi lain hal ini juga mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk mencurahkan pendapatnya berdasarkan frame yang ada dalam kancah hukum. Kondisi ini pada akhirnya membawa kesempatan para ulama/fuqaha untuk selalu mengembangkan pemikiran dan opininya dalam suatu konteks hukum. Terbukanya pintu ijtihad membawa rahmat bagi perkembangan alam pikiran manusia. Hal ini kemudian harus dicermati oleh para pemikir sebagai realitas kehidupan intelektual yang hakiki. Dalam konteks hukum waris juga terdapat berbagai hal yang disoroti oleh banyak ulama / fuqaha. Persoalan seperti; rad, aul, mafqud, khuntsa2 dan sebagainya merupakan bukti adanya “perselisihan” dalam persoalan waris. Hal ini kemudian memberikan kesan bahwa persoalan amaliah manusia diatur dalam
1
Fiqh menyangkut ketentuan/aturan-aturan yang bersifat syar’i, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata ini sekaligus menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat aqli. Seperti tentang ketentuan bahwa 2X2=4 atau bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas. Lihat Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta; Prenada Media, 2003) hlm. 6-7 2 Rad=mengembalikan sisa harta warisan kepada ahli waris sesuai bagiannya masing-masing menjadi sama dengan jumlah angka mafqud=orang hilang,, khunsa=banci, aul=membesarkan angka masalah sebagai pembilang dari bagian ahli waris
ketentuan hukum. Ketentuan yang ada tetap dalam koridor situasi, kondisi dan domisili (sikondom), dimana sistem yang berlaku dalam masyarakat, tetap dijadikan sandaran berfikir bagi seseorang ulama/fuqaha dalam memutuskan sesuatu. Terdapat sisi menarik yang perlu dikaji lebih lanjut terkait dengan mekanisme
pembagian
waris.
Hal
ini
penting
mengingat
proses
distribusi/pembagian warisan merupakan momentum yang “sarat” akan konflik. Untuk itu persoalan ini berimplikasi pada faktor sosial, individu dan hukum. Keterikatan ketiganya menjadi kajian yang menarik apabila kemudian dijadikan landasan berfikir guna mengetahui situasi sosial, sehingga pada akhirnya akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan hukum Islam. Berikut akan dikaji pengertian / diskursus waris dan latar belakang yang melingkupinya. Pada dasarnya pembahasan tentang hukum waris menyangkut tiga hal pokok, (a) Obyek pewarisan (suatu peninggalan), (b) Yang berhak menerima waris (ahli waris) dan (c) Aturan pembagiannya.3 Dengan demikian ketiganya mempunyai spesifikasi pembahasan yang pada akhirnya berimplikasi pada luasnya
pembahasan
persoalan
waris.
Adapun
yang
akan
difokuskan
pembahasannya dalam skripsi ini adalah hal ikhwal yang termasuk dalam item (c), yaitu aturan pembagiannya. 2. Dasar Hukum Waris Dalam Islam Dikemukakan dalam buku KH.Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris bahwa sumber hukum waris sama dengan sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an, sunnah 3
Dr. Otje Salman, SH, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung; ALUMNI, 1993) hlm. 47
rasul dan ijtihad. Adapun dalam al-Qur’an sendiri yang mengatur tentang hukum waris adalah QS. al-nisa’ (4) ayat 1, 7, 8,9,10,11,12 dan dapat pula ditambahkan yaitu QS.Al-anfal (8) ayat 75.4 Adapun sumber dari hadits adalah beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa harta warisan setelah diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian tertentu.5 Sumber kewarisan yang ketiga adalah al-Ijtihad, yaitu pemikiran sahabat atau ulama’ yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai Mujtahid.6 Adapun ijtihad dalam hukum waris biasanya digunakan menggali dasar hukum yang dalam al-Qur’an atau hadits masih belum dibahas secara jelas (samar) untuk kemudian menggali kejelasan dari para Ulama’ dan ahli hukum. Melihat sumber hukum waris yang ketiga (ijtihad) dapat dikatakan bahwa secara tersurat hukum waris Islam masih memiliki kesamaran dalam aplikasinya. Digunakannya ijtihad sebagai sumber hukum memberikan kesan bahwa umat Islam telah diberi kebebasan untuk menginterpretasikan hukum yang sifatnya samar dan kondisional. Perbedaan kondisi dan situasi kemasyarakatan merupakan alasan diperbolehkannya ijtihad. Dari sini sudah sewajarnya apabila dinamika perbedaan pendapat dan aplikasi pembagian waris terdapat perbedaan.
4
KH.Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris,(Yogyakarta,UII Press, 2004) Cet-XV, hlm 4-7 Ada pula hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang wala’ (harta warisan bekas budak, HR.Ahmad dan Abu Daud, Al-Jama’ah, Amad dan sebagainya tentang waris. Lihat KH.Ahmad Azhar Basyir, ibid, hlm 8-9 6 Yang dimaksud ijtihad disini adalah ijtihad dalam menerapkan hukum waris, bukan untuk mengubah ketentuan dan pemahaman yang telah ada. Lihat Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 27 5
B. SEBAB-SEBAB KEWARISAN DALAM ISLAM Sejarah ketetapan ayat-ayat Al-Qur’an tentang faraid baru diturunkan pada periode akhir dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Pada awal kenabian, Muhammad SAW. belum menerima ketentuan tentang faraid. Dari sini maka pelaksanaan waris yang telah menjadi tradisi masih dilaksanakan. Tradisi tersebut seperti;
qarabah
(hubungan
kerabat),
muaqodah
(janji
setia),
at-tabani
(pengangkatan anak) masih berlaku dan dijadikan sandaran dalam pembagian waris, sebelum datangnya hukum faraid.7 Harta warisan bukan harta yang diberikan kepada sembarang orang. Harta warisan dibagikan kepada mereka yang berhak untuk mendapatkan dengan berbagai sebab-sebab tertentu. Jadi harta warisan bukan semacam hadiah yang diberikan secara cuma-cuma melainkan berdasarkan alasan yang tepat. Dalam hukum Islam, mereka yang mempunyai hak untuk mendapat harta warisan dikarenakan beberapa sebab antara lain; hubungan kekeluargaan, hubungan perkawinan dan hubungan wala’.8 1. Hubungan Kekerabatan Yang dimaksud dengan hubungan kekerabatan di sini adalah hubungan darah / hubungan famili. Hubungan kekerabatan ini menimbulkan hak waris jika salah satu meninggal dunia, misalnya antara anak dengan orang tuanya. Sifat mendapatkannya waris dari hubungan kekeluargaan adalah otomatis. Yang perlu dipertegas adalah bahwa hubungan kekerabatan untuk mendapatkan warisan 7
Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, (Semarang, Mujahidin, 1981) hlm 5-6 Ahli waris karena perkawinan adalah janda atau duda dari yang meninggal, adapun ahli waris karena kekerabatan meliputi tiga golangan, yaitu furu’ (anak keturunan), ushul (leluhur), dan hawasyi (keluarga dalam hubungan ke samping). Lihat DR.Otje Salman SH, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung, ALUMNI, 1993) Cet-I, hlm 69 8
ditentukan kedekatannya dengan yang meninggal. Sehingga dari kedekatan yang berbeda akan berakibat pada perbedaan bagian dalam penerimaan harta warisan. 2. Hubungan Perkawinan Dalam persoalan waris, setiap hubungan perkawinan yang sah menyebabkan saling mewarisi antara suami isteri, baik telah terjadi hubungan badan atau belum. Apabila terjadi talak antara suami isteri dengan talak raj’i, sepanjang iddah (masa menunggu) belum habis, maka keduanya tetap saling mewarisi. Talak bukan merupakan pemutus hubungan perkawinan, kecuali iddah wanita yang ditalak sudah habis.9 Untuk mengetahui adanya perkawinan, hanya dapat dibuktikan melalui akta nikah yang dikeluarkan oleh pegawai pencatat nikah. Terkait dengan sah atau tidaknya perkawinan, sebagian anggota masyarakat sering mempersoalkan untuk tidak mengatakan mempertentangkan antara ketentuan hukum agama dan hukum positif. Dari sini kemudian menimbulkan implikasi, mereka merasa sah perkawinannya, apabila ketentuan hukum agama seperti syarat dan rukunnya terpenuhi, walaupun tanpa akta nikah
9
Namun terjadi perbedaan pendapat di antara ulama fikih mengenai isteri yang dijatuhkan talak ba’in ketika suaminya dalam keadaan sakit yang membawa kematiannya (talak firar: talak yang dijatuhkan dengan maksud agar isteri tidak mewarisi suami). Menurut Mazhab Hanafi, apabila iddahnya belum habis, isteri tersebut masih berhak mewarisi suaminya. Argumen yang mereka ajukan adalah bahwa tujuan menjatuhkan talak agar isteri tidak mewarisi suami dianggap tidak berlaku (tidak dapat diterima). Mazhab Hanbali berpendapat bahwa isteri tersebut tetap berhak mewarisi suaminya sekalipun sudah habis masa iddahnya selama isteri tersebut belum kawin lagi. Menurut Mazhab Maliki, isteri tersebut tetap berhak mewarisi suaminya sekalipun sudah habis masa iddahnya dan sudah kawin dengan pria lain. Alasan kedua mazhab tersebut ialah tindakan Usman bin Affan (576-565M), khalifah ketiga, yang memberikan hak mewarisi kepada isteri Abdur Rahman bin Auf (w. 31 H/652 M) yang dijatuhkan talak ketika Abdul Rahman sakit (sakit yang membawa ajalnya) pada hal saat itu iddahnya sudah habis. Sedangkan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa isteri tersebut tidak berhak mewarisi suaminya, karena talak ba’in membawa akibat putusnya hubungan perkawinan tanpa dihalangi oleh iddah. Abdul Azis Dahlan dkk, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta; Ichtiar Baru van Hoeve, 1996) hlm 309.
Termasuk dalam ikatan perkawinan apabila isteri dicerai oleh suaminya selama berada dalam masa tunggu (iddah). Alasannya wanita yang berada dalam masa tunggu (iddah raj’i) seorang suamilah yang paling berhak merujukinya, karena itu statusnya dianggap masih terkait dengan perkawinan suaminya.10 Seseorang yang menjalani iddah talak raj’i berkedudukan sebagai isteri dengan segala akibat hukumnya kecuali hubungan kelamin (menurut jumhur).11 Seperti yang dikemukakan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili, “bahwa perempuan (isteri) itu mendapatkan warisan dari suaminya jika ia dalam masa iddah karena disebabkan talak raj’i secara hukum. Selanjutnya seorang isteri tidak berhak mendapatkan harta warisan dari suaminya, walaupun dalam masa iddah apabila seorang suami tersebut mentalak isterinya dalam keadaan sehatnya (tidak haid)” 12 3. Hubungan Wala’ Wala’ merupakan hubungan hukuman, yakni suatu hubungan yang ditetapkan oleh hukum Islam. Dengan kata lain hubungan wala’ adalah hubungan kewarasan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya.13 Maksudnya hubungan yang diberikan oleh seorang majikan kepada budaknya dengan memberikan kenikmatan untuk hidup merdeka dan mengembalikan hak azazi kemanusiaan
(membebaskan
budak).
Tegasnya
jika
seorang
majikan
memerdekakan budaknya, maka terjadilah hubungan keluarga yang disebut wala’ al-‘itqi. Dengan adanya hubungan tersebut, seorang tuan menjadi ahli waris dari
10
Ahmad Rofiq, Ibid, hlm. 44-45 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Adat Minangkabau, (Jakarta; PT. Gunung Agung, 1984) hlm. 41 12 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VIII, (Damsyq; Dar al-Fikr) cet. III, hlm. 250 13 Ahmad Rofiq, Op-Cit, hlm.45 11
budak yang dimerdekakannya itu, dengan syarat budak yang bersangkutan tidak mempunyai ahli waris sama sekali, baik karena hubungan kekerabatan maupun hubungan yang disebabkan karena perkawinan. Yang perlu dikemukakan kaitannya dengan ketiga hubungan yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan adalah bahwa ketiga hal tersebut menjadi prasyarat untuk mendapat waris. Namun tidak mesti seseorang yang mempunyai hubungan dalam ketiganya otomatis mendapat waris. Ada beberapa kriteria yang menghalangi seorang ahli waris untuk mendapatkan warisan. Terhalangnya seorang ahli waris mendapatkan warisan atau disebut mawani ‘al irs adalah hal yang menyebabkan gugurnya ahli waris untuk mendapatkan harta peninggalan. Beberapa hal yang dapat menghalangi terhalangnya seseorang mendapat warisan antara lain: pembunuhan, berlainan agama, perbudakan dan murtad (keluarnya seseorang dari agama Islam, dan berpindah kepada agama lainnya).14 Dengan demikian yang perlu untuk digaris bawahi adalah apabila seseorang yang termasuk ahli waris melakukan ketiga hal di atas tidak akan mendapatkan warisan. Singkatnya hak seorang ahli waris untuk mewarisi harta warisan otomatis menjadi gugur apabila melakukan empat hal tersebut di atas. 1. Pembunuhan15 14
Ahmad Rofiq, Loc-Cit, hlm.30 Islam secara tegas melarang pembunuhan, khususnya sesama muslim (QS. al-Baqarah (2) : 178) karena pembunuhan salah satu bentuk kejahatan (dosa besar) dan mendapat hukuman di dunia. Sangsi hukumannya ialah qishash yaitu mengambil pembalasan yang sama sesuai yang dilakukan pembunuh dalam proses pembunuhan, kecuali jika pembunuh dapat pemaafan dari ahli waris terbunuh dengan cara membayar diat (ganti rugi). Pembunuhan dikatakan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang termasuk dalam kategori dosa besar. Menurut sistematika Hasan al-Banna ada tujuh (7) jenis kejahatan yaitu pembunuhan, penganiayaan besar (QS. 5 : 45), perampokan (QS. al-Maidah (5) : 33), pencurian (QS. alMaidah (5) : 38), perzinaan (QS. an-Nur (24) : 2), menuduh zina tanpa bukti (QS. an-Nur (24) : 4), dan 15
Pembunuhan merupakan perbuatan yang keji. Maksud pembunuhan di sini adalah ketika seorang ahli waris membunuh pewarisnya. Membincangkan persoalan pembunuhan para ulama bersepakat bahwa suatu pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya, kecuali kaum khawarij16 Landasan yang digunakan terhadap ketentuan ini adalah hadits Rasulullah yang artinya : “Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun si korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya, dan walaupun korban itu bapaknya maupun anaknya”. (HR. Ahmad).17 Di samping itu, ada kaidah fiqh yang berkaitan dengan masalah itu yakni : “barang siapa yang ingin mempercepat mendapatkan sesuatu waktunya, maka ia diberi sanksi tidak boleh mendapatkannya”.18 Berangkat dari keterangan hadits dan kaidah fiqhiyah di atas jelas bahwa pada dasarnya pembunuhan merupakan salah satu tindak kejahatan dan juga menjadikan penghalang bagi orang untuk mewarisi harta warisan.
minum-minuman keras. Ishak Musa al-Husaini, Ikhwanul Muslimin, terj., (Jakarta; Grafiti Press, 1993) hlm. 190-195. Dalam kaitannya dengan hak mewarisi, maka orang yang membunuh pewaris ia tidak mendapat hak mewarisi dari pewaris tersebut. Hal ini tercantum secara tegas dalam sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa, seseorang yang membunuh tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah). 16 Muslich Maruzi, Op.Cit, hlm. 13 17 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung; PT. Al-Ma’arif , 1981) hlm. 86 18 Kaidah tersebut berbunyi : ﻣﻦ اﺳﺘﻌﺠﻞ اﻟﺸﻴﺊ ﻗﺒﻞ اواﻧﻪ ﻋﻮﻗﺐ ﺑﺤﺮﻣﺎﻧﻪyang maksudnya dalam mencegah suatu kejahatan atau sebagai penutup jalan bagi kemungkinan terjadinya suatu kejahatan, yakni dengan mengancam akibat yang akan diberikan kepadanya, dalam hal ini ialah tercegahnya suatu hak yang seharusnya ia terima karena melakukan perbuatan untuk mendapatkan hak itu sebelum tiba saatnya. Dalam hal ini masalah warisan, yang mana waktu pembagiannya adalah setelah matinya orang yang meninggalkan harta waris. Seandainya seorang ahli waris tergesa-gesa untuk mendapatkan bagian harta waris, dengan melakukan pembunuhan terhadap orang yang meninggalkan harta waris, tanpa suatu alasan yang dibenarkan syara’, maka ia tercegah untuk menerima harta waris daripadanya. Asmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih (Qawai’idul Fiqhiyah), (Jakarta; Bulan Bintang, 1976) hlm. 128-129.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jenis-jenis pembunuhan yang menjadi penghalang untuk mewaris. Dalam hal pembunuhan dilakukan dengan sengaja, para ulama sepakat. Perbedaan para ulama mengenai pembunuhan yang tanpa sengaja, antara lain; ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pembunuhan jenis apapun, tetap merupakan penghalang untuk mewaris. Dasarnya adalah keumuman hadits tersebut di atas.19 Ulama Hanafiah membagi pembunuhan menjadi dua jenis, yaitu pembunuhan langsung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak langsung (tasabbub). Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi menjadi 4 (empat), yakni pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang tidak dengan sengaja dan pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang membuat lubang dikebunnya, kemudian ada orang yang terperosok ke dalam lubang tadi dan meninggal dunia, matinya korban disebabkan perbuatan tidak langsung oleh orang yang membuat lubang tersebut.20 Jadi menurut ulama Hanafiah pembunuhan langsung merupakan penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tak langsung, bukan merupakan penghalang untuk mewaris. Menurut ulama Hanabilah, bahwa setiap pembunuhan yang dikenai sanksi qishash21 atau sanksi denda (diat) atau kafarat, menjadi penghalang bagi 19
242
20
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 14, Terj. Mudzakir A.S, (Bandung; Al-Ma’arif, 1988) hlm.
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang,; PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) hlm 40. 21 Sanksi qishash adalah sanksi kepada pembuat jarimah (larangan-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir) dijatuhi hukuman (dibalas) setimpal dengan perbuatannya, jadi dibunuh kalau ia membunuh, atau dianiaya kalau ia menganiaya. Hukuman qishash dijatuhkan atas pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993) hlm. 279
mendapatkan warisan, sedangkan pembunuhan yang tidak dikenai sanksi tersebut tidak merupakan penghalang mendapatkan warisan.22 Dari pembahasan tentang pembunuhan di atas dapat kita ketahui bahwa perbedaan pendapat tentang status ahli waris yang membunuh pewarisnya merupakan dinamika hukum Islam. Konsep Islam dilihat tidak hanya dalam perspektif sosiologis semata, melainkan juga aspek psikologis. Jadi betapa ahli waris harus bersikap legowo terhadap keputusan waris. Ahli waris tidak diperbolehkan menghalalkan cara menghabisi nyawa pewaris demi percepatan pembagian warisan. Betapapun yang perlu dikedepankan adalah menganggap bahwa harta warisan merupakan harta “kaget” yang tidak boleh terlalu diharapkan. 2. Berlainan Agama Berlainan agama berarti agama pewaris berlainan dengan agama ahli waris, misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli waris beragama Kristen. Demikian juga sebaliknya. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi : “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafirpun tidak dapat mewarisi harta orang muslim” (HR.Abu Dawud) Penjelasan di atas dipahami bahwa yang menjadi pertimbangan perbedaan agama adalah pada saat muwarris meninggal, karena pada saat itulah hak warisan itu mulai berlaku. Seorang ahli waris yang pada awalnya berlainan agama sebelum muwaris meninggal dunia dan kemudian memeluk agama yang sama tidak akan terhalang haknya untuk mendapatkan waris.
22
M. Ali al-Syabuni, Mughni al Muhtaj, Juz 3, (Beirut-Libanon; Dar al-Fikr, T.th) hlm. 17
Sedangkan bagi ahli waris yang berlainan mazhab, menurut kesepakatan fuqaha bukan merupakan penghalang untuk mewaris,23 karena mereka tetap sesama muslim. Jadi dalam pembagian waris tetap mempertimbangkan unsur persaudaraan sesama muslim. Nilai yang terkandung dalam konsep ini mengilustrasikan
bahwa
Islam
menanamkan
nilai
kebersamaan
dan
ersaudaraan berdasarkan agama. 3. Perbudakan Mayoritas ulama sepakat bahwa perbudakan menjadi penghalang untuk mewaris. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa seorang budak tidak memiliki kecakapan bertindak. Dengan kata lain, seorang budak tidak dapat menjadi subyek hukum, al-Qur’an surat an-Nahl ayat 75 menegaskan hal ini. Disamping itu status kekeluargaan dari kerabatnya dianggap putus karena ia sudah termasuk keluarga asing.24 Untuk keadaan di Indonesia, faktor perbudakan ini sudah tidak relevan lagi, karena memang tidak pernah ada tradisi semacam itu. Apalagi Islam sendiri bertujuan untuk menghilangkan praktek perbudakan dengan jalan memberikan kemungkinan secara luas dan mudah melalui pelbagai institusi misalnya kompensasi kaffarah akibat pembunuhan “mirip sengaja” (QS. an-Nisa’ (4) : 92. 4. Murtad Orang murtad ialah orang yang keluar dari agama Islam. Karena seseorang keluar dari agama Islam, maka ia tidak dapat mewarisi harta peninggalan keluarganya. Latar belakang diberlakukannya hal ini dikarenakan salah satu 23
Fatchur Rahman, Op.cit., hlm. 95-96 Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam (Study Kasus, Perbandingan Ajaran Syafi’i (Patrilinial) Hazairin (Bilateral) dan Praktek di Pengadilan Agama, (Jakarta, Indo-Hillco, 1984) hlm. 40. 24
faktor atau prasyarat terjadinya pewarisan adalah hubungan keagamaan (Islam), disamping hubungan kekeluargaan. Dasar hukum ditetapkannya orang murtad tidak mendapat warisan seperti disebutkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Bardah, yang menceritakan bahwa Abu Bardah telah diutus Nabi kepada laki-laki yang nikah dengan isteri bapaknya. Nabi supaya membunuh
laki-laki itu dan
membagi hartanya sebagai harta rampasan karena ia murtad.25 Dari keempat hal yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan atau hal yang menggugurkan warisan di atas dapat di ambil benang merah bahwa secara esensial harta warisan diberikan kepada seseorang yang dapat bertanggung jawab terhadap harta tersebut. Keempat perbuatan di atas merupakan cerminan dari seseorang yang tidak dapat menjalankan tanggung jawab. Disamping itu warisan secara substansial merupakan ketentuan Tuhan yang harus dilakukan oleh umat Islam, sehingga mengingkari hukum ini merupakan bentuk “pengkhianatan” terhadap Tuhan. C. RUKUN DAN SYARAT Dalam hukum waris terdapat rukun dan syarat yang harus dilakukan oleh umat yang akan membagi waris. Rukun dan syarat merupakan hal-hal yang harus dipenuhi. Hal ini dikarenakan keberadaannya merupakan aturan- aturan lain yang harus dilakukan. 1. Rukun Mawaris
25
hlm.246.
Moh Rifa’i. dkk.,
Terjamah Khulasah Kifayatul Akhyar, ( Semarang, Toha Putra 1978)
Rukun merupakan seperangkat orang/alat yang digunakan dalam melakukan sesuatu. Rukun menjadi prasyarat penting dalam terselenggaranya suatu pekerjaan/perbuatan. Menurut Sayyid Sabiq rukun mawaris ada tiga, yaitu:26 1). Pewaris (al-Waarits). Yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh warisan. 2). Orang yang mewariskan (al-Muwarrits) yaitu mayit itu sendiri, baik nyata ataupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang hilang atau diyatakan mati.27 3). Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan warisan, yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris. 2. Syarat Kewarisan Mengenai syarat kewarisasn paling tidak ada tiga syarat kewarisan yang harus dipenuhi, yaitu :28 1). Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun kematian secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian 26
Sayyid Sabiq, Op-Cit, hlm. 240 Mati di sini dapat dikategorikan menjadi tiga macam: 1. Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia; 2. Mati hukmi, adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusn hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqud) tanpa diketahui di mana dan bagimana keadaannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim, orang tersebut dinyatakan meninggal dunia. Sebagai suatu keputusan hakim, maka ia mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan karena itu mengikat; 3. Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriah diduga dapat mengancam keselamatan dirinya. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal. Lihat Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 28-29. 28 Sayyid Sabiq, Op. cit., hlm. 241 27
seseorang
yang hilang. Keputusan itu menjadikan sesorang yang hilang
sebagai orang yang mati secara hakiki, atau mati menurut dugaan seperti seseorang memukul seorang perempuan yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati, maka janin yang gugur itu dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata.29 Kematian orang yang mewariskan itu harus jelas baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia takdiri (menurut dugaan).30 Dari sini jelaslah bahwa harta warisan adalah harta yang dibagikan setelah meninggalnya seseorang. Harta yang dibagi ketika seseorang belum meninggal bukan waris, melainkan hibah. 2). Hidupnya ahli waris setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya secara hukum. Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal. Orang / ahli waris yang telah meninggal, pada saat muwaris meninggal menjadikan haknya gugur untuk mewarisi. 3). Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.31 Ini sangat terkait dengan rukun waris. Jadi seorang ahli waris wajib memenuhi rukun dan syaratnya. Namun, setelah terpenuhinya rukun dan syarat waris, terlebih dahulu yag harus dilakukan adalah bagaimana pengaturan jenasah yang meliputi tiga hal. Pertama, biaya perawatan jenasah, kedua pelunasan hutang-hutang si mati dan ketiga 29
pelaksanaan wasiat.32 Dari ketiganya dapat dilihat bahwa perawatan
Ibid, hlm 241 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung; PT. Al-Ma’arif , 1981) hlm. 79 31 Sayyid Sabiq, Loc. cit. hlm 242 32 Muslich Maruzi, Loc. cit. hlm 17-21 30
jenazah merupakan proses yang harus dilakukan sampai dengan dikebumikannya muwarrits, dan ini merupakan syarat mutlak juga. Lebih lanjut terkait dengan pembayaran hutang dapat dikatakan bahwa seseorang yang meninggal tidak selamanya mempunyai harta waris yang dapat dibagian kepada ahli waris. Dengan ini yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa harta warisan dapat juga berwujud hutang, sehingga pembayaran hutang tersebut dibebankan kepada ahli waris. Adapun pelaksanaan wasiat dalam pelaksanaan pengaturan seseorang yang meninggal tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta yang ditinggalkan. Maka yang terkandung disini adalah, Islam memperhatikan kebebasan dan keinginan seorang muwaris. Jelas bahwa hukum waris Islam menghormati keputusan wasiat muwaris semasa hidupnya, juga memperhatikan ahli waris yang masih hidup. Bisa dibayangkan apabila hukum waris Islam tidak membatasi pelaksanaan wasiat yang diperbolehkan adalah 1/3, maka tidak menutup kemungkinan seorang ahli waris tidak mendapatkan apa-apa. D. PENYELESAIAN URUTAN WARISAN 1. Urutan Ahli Waris Sebagian ahli hukum mengatakan bahwa Undang-undang adalah firman Allah yang memberi faedah hukum. Akan tetapi ahli hukum yang lainnya mengatakan bahwa firman Allah cukup dengan kodifikasi (himpunan peraturan). Dengan kata lain bahwa kewarisan merupakan persoalan manusia secara umum dan setiap manusia berkewajiban untuk melaksanakannya.33 33
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian Hukum Dengan Pendektan Tafsir Tematik , (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 1995) hlm 10-11
Pelaksanaan waris Islam memberikan kesan bahwa terdapat aturan main di dalamnya yang terkait dengan mekanisme pembagian, dan juga urutan ahli waris. Dalam hukum waris Islam terdapat struktur ahli waris yang jelas. Urutan ahli waris dapat terlihat dari bentuk kewarisan Islam itu sendiri.34 Pada dasarnya susunan atau urutan keluarga ahli waris adalah suami dan isteri. Di bawah suami isteri adalah anak-anaknya, dan diatas suami/isteri ada Bapak/Ibu. Dan ke samping ada saudara-saudara Suami/Isteri. Hubungan kekerabatan inilah yang biasa disebut dengan hubungan nasab. Disisi lain terdapat hubungan yang biasa di sebut dengan dzawil arham.35 Jadi dapat dikatakan bahwa urutan ahli waris dapat dilihat dari hubungan kekeluargaan, dan hubungan tersebut telah ditentukan dalam Al-Qur’an bagianbagiannya. Selain bagian yang ditentukan apabila terdapat sisa maka dikembalikan kepada ahli waris ashabah.36 Pembahasan selanjutnya tentang bagian ahli waris akan dibahas berikut ini. 2. Macam-Macam Bagian dan Ahli Waris Yang Menerimanya Telah diketahui bahwa dalam pembagian waris terdapat bagian-bagian yang berbeda antar ahli waris. Perbedaan ini didasarkan pada status hubungan 34
Ada sisi menarik terkait dengan sistem waris Islam. Noel.J.Coulson, menyatakan bahwa waris Islam merupakan gubahan sebagian dari hukum kebiasaan waris bangsa rab. Sementara itu Hazairin menyatakan bahwa hukum waris Islam merupakan rombakan total dari hukum waris bangsa Arab. Dua pendapat inilah yang kemudian dijadikan alasan munculnya perbedaan pendapat tentang bentuk hukum waris Islam. Lihat, N.J Coulson, The History of Islamic Law, (Inggris; Edinburg University Press) 1964 hlm 17 Bandingkan dengan Hazairin, Hukum Kewarisan Billateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta; Tinta Mas, 1982) hlm 75. Lihat Juga dalam Ali Parman, Op-Cit, hlm 90-92 35
adalah ahli waris yang mempunyai hubungan kekeluargaan karena nasab. Dengan ini dapat dikatakan bahwa kekerabatan yang lebih dekat berhak menerima waris daripada yang jauh. Lihat Muhammad Isma’il Ibrahim, Mu’jam al-Alfaz wa al-A’lam al-Qur’aniyyah (Qairo; Dar- al-Fikri al-Arabiy, 1968) hlm 51. Dikutip dari Ali Parman, Op-Cit, hlm 92 36
Adalah golongan ahli waris yang dapat menghabiskan sisa harta dari pembagian saham, Ali Parman, Op-Cit, hlm 91 .
yang ditimbulkan oleh masing-masing ahli waris. Status ini dijadikan sebagai patron untuk menentukan “siapa mendapatkan apa / berapa”. Hal ini lazim berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa kedekatan seseorang akan berimplikasi pada perolehan bagian waris. Adapun ketetapan Allah mengenai bagian ahli waris telah termaktub dalam QS. An-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176. Mengenai bagian-bagian yang telah ditetapkan adalah ½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 yang disesuaikan dengan posisi ahli waris yang mendapatkannya.37 Aplikasi dari bagian-bagian yang ada kemudian dilaksanakan sesuai posisi masing-masing. Mengenai bagian-bagian ahli waris dapat diklasifikasikan sebagai berikut; 1. Hak anak laki- laki dan Perempuan • Anak Perempuan Tunggal mendapatkan ½ • Anak perempuan lebih dari dua orang mendapat 2/3 • Anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan 2. Hak Ayah dan Ibu • Ibu dan ayah masing-masing mendapat 1/6 bila terdapat anak • Ibu menerima 1/3 bila tidak ada anak • Ibu meerima 1/6 bila tidak ada anak, namun ada saudara 3. Ayah dan Ibu bersama dengan Anak-anak berada dalam kedudukan yang sama 4. Hak suami/isteri • Suami mendapatkan ½ apabila tidak ada anak, dan ¼ kalau ada anak
37
Prof.Dr.Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta; Prenada Media, 2004) hlm 40
• Isteri mendapatkan ¼ apabila ada anak, dan 1/8 apabila tidak ada anak38 Mencermati bagian-bagian ahli waris diatas dapat diketahui bahwa tendensi diberikannya warisan adalah suatu usaha untuk meneruskan pengaturan harta/kekayaan seseorang setelah meninggal dunia. Terbersit dalam benak penulis, apabila seseorang yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris, lantas mau dikemanakan harta warisannya ?. Dari sini jelas nampak bagaimana seorang ahli waris berkewajiban untuk mengatur dan mengelola harta yang warisan. Selain itu melihat bagian-bagian yang ditimbulkan dari posisi masingmasing ahli waris dapat dibuat struktur, bahwa yang lebih diprioritaskan dari penerimaan waris menurut hukum Islam adalah anak dan orang tua (Ibu & bapak). Asumsi yang sementara dapat dibangun adalah, keberadaan anak dalam hukum waris Islam sebagai penerus pengaturan harta kekayaan orang tuanya. Sementara itu dibaginya harta waris terhadap orang tua, dikarenakan kedekatannya dengan anak, disamping sebagai “balasan” terhadap hal-hal yang telah dikeluarga untuk kebutuhan anak, begitu seterusnya.
38
Ibid, hlm 40-42