Mengenal Pantoea stewartii subsp stewartii (Smith, 1898) Mergaert et al. (1993) Penyebab Penyakit Layu Stewart pada Tanaman Jagung Oleh LENNY HARTATI HARAHAP, SP. MSi (POPT Ahli Muda pada Balai Besar Karantina Pertanian Belawan)
I.
PENDAHULUAN
Penyakit layu stewart telah menimbulkan masalah besar bagi negara produsen jagung dunia seperti Amerika Serikat yang mengakibatkan kehilangan hasil sampai 95%,. Saat ini penyakit layu stewart telah tersebar di hampir seluruh penjuru dunia seperti: Austria, Bolivia, Brazil, Canada, Costa Rica, Guyana, Mexico, Peru, Puerto Rica, USA, Cina, India, Malaysia, Thailand, Vietnam (Shurtleff,1980;Crop Protection Compendium, 2002). Namun belum ada laporan resmi mengenai keberadaan penyakit ini di Indonesia, sampai tahun 2007 penyakit ini masih tergolong kategori A1 yaitu jenis Organisme Penggangu Tumbuhan Karantina (OPTK) yang belum terdapat diseluruh wilayah Indonesia (Pusat Karantina Pertanian Departemen Pertanian, 2008). Khairul dan Rahma (2007); Rahma (2008) telah mendeteksi keberadaan penyakit ini di sentra produksi jagung Sumatera Barat dengan insidensi penyakit berkisar 1-15%,
sebahagian besar
pasokan benih jagung Sumatera Barat berasal dari Sumatera Utara dan Pulau Jawa, dengan semakin meningkatnya lalu lintas perdagangan benih jagung dewasa ini dan belum memadainya perangkat pengujian kesehatan benih di Indonesia, dikhawatirkan penyakit ini juga telah masuk dan menyebar di beberapa daerah sentra jagung Indonesia lainnya. Penyakit layu stewart merupakan penyakit tular benih yang penting pada jagung, karena benih merupakan alat transportasi yang paling cocok untuk menyebarnya penyakit ini melintasi batas
1
alaminya (Neergaard, 1977). Muncul dan terdeteksinya penyakit ini pada jagung di Sumatera Barat, tidak terlepas dari impor benih yang telah berlangsung selama ini,
sehingga memungkinkan
tersebarnya patogen ini bersama benih-benih tersebut. Resiko dari penularan patogen melalui benih sangatlah penting, terutama dalam pengiriman benih baik secara nasional dan internasional. Lebih dari 50 negara telah melarang impor benih jagung dari Amerika Serikat kecuali benih tersebut telah disertai dengan sertifikat bebas Pantoea stewartii subsp.stewartii (Thomas, 2002).
Penyakit layu stewart tergolong sulit dikendalikan, karena menyerang tanaman pada berbagai fase pertumbuhan, bersifat tular benih dan tular serangga. Sampai saat ini usaha pengendalian penyakit ini di luar negeri masih menggunakan pestisida sintetis yang mengandung imidachlopriod untuk seed treatment (Stack, et al, 2006), namun dikhawatirkan penggunaan bahan ini secara terus menerus dan tidak bijaksana akan mempercepat terjadinya resistensi bakteri patogen ini dan pencemaran lingkungan. Karena penyakit ini bersifat tular benih dan baru terdeteksi di Indonesia, maka perlu dicarikan alternatif pengendalian yang ditujukan pada benih sehingga penyakit ini tidak menyebabkan kerugian yang lebih besar pada petani jagung dikemudian hari. Sesuai dengan program pertanian berkelanjutan yang diterapkan di Indonesia maka teknik pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) harus mengacu pada Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT).
Salah satu komponen utama dari program PHT adalah
pengendalian hayati dengan memanfaatkan agensia pengendalian hayati indigenus. Keuntungan penggunaan agensia hayati indigenus antara lain: ramah lingkungan, berkesinambungan, kesesuaian ekologis, dan dapat diintegrasikan dalam program PHT serta dapat diperbanyak dengan teknologi yang sederhana dan mudah cara aplikasinya.
2
II.
Mengenal Pantoea stewartii subsp stewartii (Smith, 1898) Mergaert et al. (1993) Penyebab Penyakit Layu Stewart pada Tanaman Jagung
IDENTIFIKASI Nama
: Pantoea stewartii subsp. stewartii (Smith) Mergaert et al.
Sinonim
: Erwinia stewartii (Smith) Dye Xanthomonas stewartii (Smith) Dowson
Taksonomi
: Bacteria: Gracilicutes
Nama umum
: Stewart's disease, bacterial wilt (English)
DESKRIPSI Morfologi: Bakteri P. stewartii merupakan bakteri gram negatif, bersifat anaerob, tidak menghasilkan spora, tidak memiliki flagel sehingga tidak dapat bergerak, berukuran 0,4-0,8 x 0,9-2,2 mm. Koloni P. stewartii pada media yeast axtract-dextrose-calcium carbonate berwarna krem kekuningan hingga jingga kekuningan. Bakteri P. stewartii menghasilkan polisakarida secara ekstraseluler yang berkaitan dengan patogenisitasnya (misalnya virulensi). Biologi: Bakteri P. stewartii dapat disebarkan melalui vektor utamanya, yaitu serangga Chaetocnema pulicaria (corn flea beetle). Di sepanjang musim dingi, bakteri P. stewartii berada di dalam sistem pencernaan makanan kumbang C. pullicaria yang berhibernasi. Selain pada vektor, P. stewartii dapat bertahan hidup pada benih dan tanaman inang yang hidup. Tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa bakteri ini dapat bertahan pada tanah atau sisa-sisa tanaman di musim dingin.
Inang Zea
mays
(jagung,
corn,
maize),
Zea
mexicana
(teosinte)
(S): Saccharum officinarum (tebu, sugarcane), Sorghum bicolor (sorgum, sorghum), Triticum aestivum (gandum, wheat), Vigna radiata (kacang hijau, mungbean), Cucumis sativus (mentimun, cucumber), Agrotis alba, Avena sativa, Coix lacryma, Echinochloa americana, Trapsacum spp., Panicum spp., 3
Media Pembawa benih/biji (seed/grain), bunga (flower/infloresence), daun (leaf), akar (root), batang (stem), Vector: Agrotis manchus, Chaetocnema denticulata, C.pulicaris, Diabrotica nigricornis, D. undecimpuctata, D. versifera, Hylemya cilicrura Daerah Sebar Austria, Greece, Poland, Romania and Russia (European). Asia: China (Henan), Malaysia (Peninsular), Thailand, Vietnam. America: Canada (Alberta, British Columbia, Ontario), Mexico, USA (Connecticut, Illinois, Indiana, Iowa, Kentucky, Louisiana, Missouri, Nebraska, New York, North Dakota, Ohio, Pennsylvania, Wisconsin), Costa Rica, Puerto Rico, Brazil (São Paulo), Guyana, Peru (coast). GEJALA SERANGAN Gejala serangan bakteri Pnss di lapangan, (1a) : Daun memperlihatkan garis hijau pucat sampai kuning, (1b) : gejala layu dan kerdil, (1c) : gejala lesio pada daun Penyakit layu stewart merupakan penyakit tular benih yang penting pada jagung, karena benih merupakan alat transportasi yang paling cocok untuk menyebarnya penyakit ini melintasi batas alaminya (Neergaard, 1977). Muncul dan terdeteksinya penyakit ini pada jagung di Sumatera Barat, tidak terlepas dari impor benih yang telah berlangsung selama ini,
sehingga memungkinkan
tersebarnya patogen ini bersama benih-benih tersebut. Resiko dari penularan patogen melalui benih sangatlah penting, terutama dalam pengiriman benih baik secara nasional dan internasional. Lebih dari 50 negara telah melarang impor benih jagung dari Amerika Serikat kecuali benih tersebut telah disertai dengan sertifikat bebas Pantoea stewartii subsp.stewartii (Thomas, 2002).
Penyakit layu stewart tergolong sulit dikendalikan, karena menyerang tanaman pada berbagai fase pertumbuhan, bersifat tular benih dan tular serangga. Sampai saat ini usaha pengendalian penyakit ini di luar negeri masih menggunakan pestisida sintetis yang mengandung imidachlopriod untuk seed treatment (Stack, et al, 2006), namun dikhawatirkan penggunaan bahan ini secara terus menerus dan tidak bijaksana akan mempercepat terjadinya resistensi bakteri patogen ini dan pencemaran lingkungan. Karena penyakit ini bersifat tular benih dan baru terdeteksi di Indonesia, maka perlu dicarikan alternatif pengendalian yang ditujukan pada benih sehingga penyakit ini tidak menyebabkan kerugian yang lebih besar pada petani jagung dikemudian hari.
4
Penyakit gejala Bakteri dapat ditemukan pada biji jagung. Tidak ada gejala khas yang terlihat pada biji. Tahap pertama, fase layu, penyakit ini dapat mempengaruhi tanaman bakteri di tahap pembibitan. Penyakit ini menyebar sistematis melalui vaskular sistem. Jika terinfeksi terlambat, tanaman dapat mencapai wajar ukuran. Daun mengembangkan pucat hijau ke kuning, garis-garis membujur, dengan margin tidak teratur atau bergelombang, yang sejajar dengan vena dan dapat memperpanjang panjang daun. Coretan ini kering dan berubah menjadi cokelat. Kecil direndam air mungkin timbul di tempat sekam dari tongkol. Bakteri dapat memancarkan dalam tetesan halus di bagian dalam wajah sekam. Tanaman yang tidak dibunuh dapat menghasilkan dikelantang, mati jumbai. Rongga mungkin tampak dekat dengan tanah dalam empulur batang tanaman yang terinfeksi berat. P. s. stewartii menembus benih mendalam, tetapi tidak embrio. Jagung manis adalah sangat rentan terhadap tahap penyakit. Lapangan dan jagung penyok lebih rentan terhadap fase kedua, hawar daun, biasanya paling jelas setelah tasselling. Pendek panjang, tidak teratur, pucat-hijau bercak kuning, yang berasal dari tanda makan kutu jagung kumbang (Chaetocnema pulicaria), muncul di sepanjang urat daun. Seluruh daun kadang-kadang menjadi jerami berwarna dan mati. Melemah tanaman lebih rentan terhadap busuk batang jamur. dikumpulkan dari plot diperiksa (lapangan) untuk laboratorium ujian- ination. Untuk banyak benih, biji 400 per lot diperlukan untuk pengujian. Ekstraksi bakteri dari sampel tanaman Bagian tanaman (daun, kulit, tassel) menunjukkan gejala yang dipotong di tepi memajukan lesi dan dimaserasi dalam plastik tas dengan homogenizer tangan (atau dalam mortar dengan alu) dengan beberapa mL air steril atau comminuted dalam cawan Petri steril dengan air steril atau steril phosphatebuffered saline. Sebuah alikuot yang tepat dari cairan macerating ditransfer menjadi tabung sentrifus untuk pewarnaan imunofluoresensi. Para macerating cair yang tersisa dikumpulkan dalam Wassermann steril atau plastik tabung sekali pakai untuk isolasi lebih lanjut dan disimpan di +4 ° C atau di atas es. Macerates harus diproses secepat mungkin (segera jika disimpan pada suhu kamar dan dalam hari jika disimpan pada suhu 4 ° C). Meskipun tidak dianjurkan, macerates dapat disimpan lebih lama pada suhu di bawah -18 ° C. Sesuai dengan program pertanian berkelanjutan yang diterapkan di Indonesia maka teknik pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) harus mengacu pada Pengendalian Hama 5
dan Penyakit secara Terpadu (PHT).
Salah satu komponen utama dari program PHT adalah
pengendalian hayati dengan memanfaatkan agensia pengendalian hayati indigenus. Keuntungan penggunaan agensia hayati indigenus antara lain: ramah lingkungan, berkesinambungan, kesesuaian ekologis, dan dapat diintegrasikan dalam program PHT serta dapat diperbanyak dengan teknologi yang sederhana dan mudah cara aplikasinya. Aspiras,R.B & A.R. Cruz. 1985. Potential biological control of bacterial wilt in tomato and potato with Bacillus polymyxa FU6 dan Pseudomonas flourescens pp. 89 – 92. In: Persley, G.J. (ed) Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pasific. Proceeding of an international workshop held at PCARRD. Los Banos, Philippines 8 – 10 October 1985. ACIAR Proceeding N0.13. Canvera, Australia Bargabus, R.L., Zidack, N.K., Sherwood, J.W., and Jacosen, B.J. 2004. Screening for the identiication of potential biological agens that induce systemic acquired resisteance in sugar beet. Biological Control 30: 342-350. Chen W-q, Michaillides TJ. 2004. Collection and trials of biocontrol agents against Botryosphaeria panicle and shoot blight of Pistachio. Postdoctoral research associate. Chen, W.Y., Echandi, E. 1984. Effects of avirulent bacteriocin producing strain of Pseudomonas solanacearum on the control bacterial wilt. Plant Pathology 33: 245-253. Coplin, D.L., and Kado, C.I. 2001. Pantoea. Pages 73-83 in: Laboratory Manual for the Identification of Plant Pathogenic Bacteria.Third Edition. N. Schhaad, J. Jones, and W.Chun.eds. American Phytopathological Sociaty Press, St Paul,MN. Crop Protection
Compendium. 2002. Distribution
map for Pantoea stewartii subsp.
Stewartii. Stewart’s Wilt. http://wwwl.cabicompendium.org/cpc/datasheet.asp Hadiotomo. S.R. 1990. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Bandung. ITB Press. Khairul. U, A. Hanafiah dan Aprianto. 2001. Pemanfaatan strain avirulen Burkholderia solanacearum (E.F.Smith) Yabuuchi et al untuk pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman cabai dan metoda aplikasinya. Laporan Penelitian Dana SPP/DPP Lembaga Penelitian Univ. Andalas Padang Khairul. U. 2005. Analisis Keragaman Molekuler Bacillus subtilis Dengan Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Dan Studi Potensi Antagonisnya Terhadap Ralstonia solanacearum
6
(E.F.Smith) Yabuuchi et al Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Cabai. Laporan Penelitian Dosen Muda (BBI). Dikti Depdiknas. Jakarta
Khairul. U, H. Rahma. 2007. Deteksi penyakit layu stewart oleh bakteri Pantoea stewartii subsp. Stewartii. Penyakit baru pada tanaman jagung di Sumatera Barat. Laporan field trip Lapangan Jurusan HPT. Padang. Tidak dipublikasi. Khalid A, Arshad M. Zahir ZA. 2004. Screening plant growth-promoting rhizobacteria for improving and yield of wheat (abstract). App Microb 96: 473 Klement Z. Rudolph K. Sand.D.C. 1990. Methods In Phytobacteriology. Akademiai Kiado, Budapest. Kopperl MLS, Mitchell DJ. 2002. Selection of Streptomyces spp. with potential for biocontrol of Fusarium oxisporum on tomato. http://www.bspp.org. uk/icpp98/5.2/76.html. 15 Nopember 2004 Luebker Leonard. 2003. Stewart’s Wilt. Technical Resource http://www.ianrpubs.unl.edu/epublic/pages/index.jsp. [18 Oktober 2006]. Machmud. M, 1985. Bacterial wilt in Indonesia. In Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pasific. ACIAR Proceedings. 13 : 30-34 Mitchell R, Alexander M. 1962. Lysis of soil fungi by bacteria. Can J. Microbiol 9:169-177 Munif A. 2001. Studies on the importance of endophytic bacteria for the biological control of the rootknot nematode Meloidogyne incognita on tomato [Dissertation]. Zu Bonn: Doctor der Agrarwissenschaften. Rheinischen Friedrich-Wilhelms-Universitat Neergaard P. 1977. Seed Pathology. Volume 1. New York: John Wiley & Sons. Pataky. E. 2003. “Stewart’s Bacterial Wilt and Leaf Blight of Corn”. Ohio State University Extension. 2021 Coffey Road, Columbus. Pusat Karantina Departemen Pertanian. 2007.
“Jenis-jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina (OPTK) Golongan I dan Golongan II (Kategori A1)”.. Departemen Pertanian RI. Rahma. H. 2008. Sebaran penyakit layu stewart di Sumatera Barat. Laporan penelitian Dosen Muda. Lembaga Penelitian Universitas Andalas Padang. Romeiro, W., Baker KF, Franks N, Holland J. 1997. Effect of Bacillus subtilis on increased growth of 7
seedling in steamed and nontreated soil. Phytopathology 97:1027-1034. Romeiro RS, Moura AB, Matsuoka K, Fernandes MC. 1997. Actinomycetes selected for biological control of tomato wilt (Ralstonia solanaceraum) and growth promotion after seed microbialization. http://wwwcp.scisco. org/docs/pm/am0591.htm. 8 Nopember 2004. Saravana, T, Bhaskaran, R., and M. Muthusamy. 2004. Fluorescens induced enzymological change in banan root (Cv. Rasthali) against Fusarium wilt disease. Plant Pathology 3 (2): 72-80. Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2001. Laboratory Guide for Identification of Plant. Pathogenic Bacteria. St Paul: The American Phytopatology Societ Stack
J,
Chaky
J,
and
Giesler
L.
2006.
Publication
Wilt
of
Corn
in
Nebraska.http://www.unl.edu/unpub/search/default.shtml. [18 Oktober 2006]. Thakuria D, Talukdar NC, Goswani C, Hazarika S, Boro RC. 2004. Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of rice grown in acidic soils of Assam. Current Science 83: 1140-1143. Thomas A. Zitter. 2002. Stewart’s Bacterial Wilt-Still a Problem After 107 Years. Department of Plant Pathology Cornell Universityu Ithaca, NY 14853. (25 Januari 2007). Vasudevan P, Reddy MS, Kavitha S, Velusamy P, Paulraj RSD. 2002. Role of biological preparations in enhancement of rice seedling growth and grain yield. Current Science 83: 1140-1143.
8
9