1
Status Penyakit Stewart (Pantoea stewartii pv stewartii) pada pertanaman jagung di Kabupaten Humbang Hasundutan Oleh Lenny Hartati Harahap,SP.MSi. ( POPT Ahli Muda pada Balai Besar Karantina Pertanian Belawan)
Abstrak Tanaman jagung ( Zea mays ) merupakan salah satu komoditas prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dikembangkan karena termasuk salah satu tanaman pangan yang merupakan tanaman asli Indonesia yang dapat ditanam diseluruh areal yang ada di Indonesia. Pantoea stewartii pv stewartii yang disebut juga penyakit Stewart merupakan salah satu OPTK yang menyerang pertanaman jagung seperti yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93/Permentan/OT.140/12/2011
tentang
Jenis Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina. Lokasi pengambilan sampel adalah Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta, Desa Pargaulan Kecamatan Lintong Nihuta, desa Lumban Luhut kecamatan Dolok Sanggul, desa Lumban Barat Kecamatan Paranginan dan desa Silaban kecamatan Lintong Nihuta. Lokasi ini merupakan sentra pertanaman jagung. Pengujian dengan metoda PCR, Hasil ekstraksi tahap-1 digunakan untuk deteksi Pantoea stewartii subsp.stewartii menggunakan metoda PCR, mengunakan primer spesifik: Untuk Gen hrpS yaitu : Forward
primer
HRP1d
(5’GCACTCATTCCGACCAC3’)
dan
Reverse
(5’GCGGCATACCTAACTCC 3’); Pengujian sampel tanaman jagung yang diambil dari
Primer
HRP3c
lima (5) desa di
Kabupaten Humbang Hasundutan menunjukkan hasil yang negatif terhadap penyakit Pantoea stewartii. Kata Kunci : Status, Pantoea stewartii pv stewartii, jagung , Humbang Hasundutan
PENDAHULUAN Latar Belakang Beberapa jenis organisme pengganggu tumbuhan / organisme pengganggu tumbuhan karantina terutama golongan pathogen yang terbawa benih / tanaman, sering tidak dapat dideteksi pada saat dilakukan pemeriksaan di pelabuhan/bandara, baik di Negara pengimpor karena bersifat laten dan tidak menimbulkan gejala, sehingga mempunyai tingkat resiko yang tinggi. Pantoea stewartii pv stewartii yang disebut juga penyakit Stewart merupakan salah satu OPTK yang menyerang pertanaman jagung seperti yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93/Permentan/OT.140/12/2011 Pengganggu Tumbuhan Karantina.
tentang
Jenis Organisme
2
Tanaman jagung ( Zea mays ) merupakan salah satu komoditas prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dikembangkan karena termasuk salah satu tanaman pangan yang merupakan tanaman asli Indonesia yang dapat ditanam diseluruh areal yang ada di Indonesia, dimana pada setiap pekarangan dan tegalan banyak dijumpai tanaman jagung ( Zea mays ) ini. Bila tanaman ini dibudidayakan tidak kalah dengan komoditi lainnya. Jagung adalah tanaman yang paling banyak diproduksi di Indonesia. Saat ini jagung menempati urutan kedua dalam konsumsi pangan nasional. Tingginya tingkat produksi dan konsumsi menyebabkan jagung menjadi komoditas yang sangat potensial dalam menunjang ketahanan pangan melalui pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan masyarakat. Salah satu kabupaten yang merupakan sentra pertanaman jagung adalah Kabupaten Humbang Hasundutan.
Dari data sekunder yang diperoleh di Dinas
Pertanian Kabupaten Humbang Hasundutan, keluasan pertanaman jagung di wilayah ini hingga tahun 2011 mencapai sekitar 596 ha dengan produksi jagung sebesar 2.894 ton.
Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Status Penyakit Stewart (Pantoea stewartii pv stewartii) pada pertanaman jagung di Kabupaten Humbang Hasundutan
Dasar 1. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan. 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1977 juncto Keputusan Presiden republik Indonesia Indonesia Pengesahan Nomor 45 tahun 1990
3
tentang Konvensi Perlindungan Tanaman Internasional (International Plant Protectionconvention). 4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38/Kpts/HK.060/1/2006 jo SK Kepala Badan No.
28/Kpts/HK.060/1/2009
tentang
jenis-jenis
Organisme
Pengganggu
Tumbuhan Karantina Golongan I Kategori A1 dan A2, Golongan II Kategori A1 dan A2, Tanaman Inang, Media Pembawa dan daerah Sebarnya. 5. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 09/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Persyaratan dan Tatacara Tindakan Karantina Tumbuhan terhadap Pemasukan Media Pembawan Organisme Pengganggu tumbuhan Karantina ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. 6. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93/Permentan/OT.140/12/2011
tentang
Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina.
TINJAUAN PUSTAKA Gejala Penyakit Layu Stewart Gejala penyakit layu stewart pada tanaman yang rentan memperlihatkan gejala layu menyerupai kekeringan, defisiensi hara, atau terserang hama. Gejala lain adanya goresan berwarna hijau pucat atau kuning, membujur sejajar tulang daun, dengan pinggir bergelombang tidak beraturan. Goresan ini segera berubah menjadi kering dan berwarna coklat. Rongga pada empulur batang terbentuk pada tanaman yang tertular berat di dekat permukaan tanah. Bakteri berkembang dan menyebar melalui jaringan pembuluh sampai ke biji. Tanaman inang utama bakteri Pantoea stewartii subsp. Stewartii adalah tanaman jagung terutama jagung manis, selain itu bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi pada tanaman sorghum, padi-padian, dan beberapa rumput-rumputan dengan inokulasi buatan (Stack et al 2006). Penyakit layu stewart pada jagung terdiri atas dua fase pertumbuhan tanaman: Fase pertama terjadi saat perumbuhan 2-5 helai daun, bakteri memperbanyak diri dalam pembuluh xilem daun dan batang. Pada tanaman muda water soaking (luka kebasahan) yang panjang terdapat di sepanjang daun, daun memperlihatkan garis hijau pucat sampai kuning (Yang 2000; Thomas, 2002). Tingginya produksi polisakarida (EPS) oleh bakteri menyebabkan terjadinya
4
penyumbatan pada pembuluh xilem, hal ini menyebabkan kurangnya suplai air dan nutrisi ke tanaman, sehingga tanaman menjadi layu dan mati. Pada kebanyakan tanaman yang terinfeksi akan terlihat adanya rongga pada pangkal batang. Tanaman yang terinfeksi jika tidak mati akan menjadi kerdil dan tidak akan menghasilkan bulir (Luebker 2003; Stack et al. 2006). Infeksi terjadi sangat cepat dan menyebabkan layu. Fase kedua dari penyakit layu bakteri pada jagung terjadi setelah munculnya malai. Infeksi hanya bersifat lokal (Yang 2000). Umumnya gejala berupa luka pada daun, goresan hijau sampai kuning dengan pinggiran yang tak beraturan dan bergelombang di sepanjang tulang daun dan juga diseluruh permukaan daun. Pada beberapa kasus, permukaan daun akan kering dan mati dengan gejala seperti kekurangan nutrisi. Pada fase kedua ini tidak terjadi layu seperti pada fase pertama (Shurtleff 1980; Yang 2000; Thomas 2002). Jika batang tanaman muda yang terinfeksi dipotong akan terlihat adanya massa bakteri berwarna kuning. Potongan daun yang terinfeksi dimasukkan dalam air steril dan diletakkan pada kaca slide dapat langsung dimati dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x, akan terlihat ooze bakteri pada jaringan vaskular (Yang 2000; EPPO 2007).
Penyebab Penyakit Layu Stewart dan Virulensi Penyebab penyakit layu bakteri pada tanaman jagung adalah bakteri Pantoea stewartii subsp. stewartii. Sel bakteri berukuran (0,4-0,8) x (0,9-2,2) μm, tidak berflagella, anaerob fakultatif dan tidak dapat bergerak. Pada media Yeast Extractdextrosa-Calcium Carbonat (YDCA) berwarna kuning dan cembung. Pada media Nutrient–Glucosa Agar berwarna kuning krem, kuning lemon atau kuning orange. Dalam media semi selektif nigrosine pertumbuhan Pantoea stewartii subsp. stewartii. tumbuh dengan koloni sedikit cembung, halus dan berkilau, dengan karakteristik pigmen hitam pada pusat koloni dan transparan bagian pinggir (fish eyes), koloni muncul setelah diinkubasi selama 5-7 hari pada 39 oC. Pantoea stewartii subsp. stewartii menghasilkan exstraceluler polysacharide (EPS) yang berhubungan dengan patogenisitas dan virulensi (Bradbury, 1967; Lada, 1967). Suhu optimum untuk pertumbuhan dari Pantoea stewartii subsp. stewartii berkisar dari 27 oC hingga 30 oC suhu maksimum untuk pertumbuhan bervariasi antara 32 oC dan 40 oC. Organisme ini bersifat oksidase-negatif dan katalase-positif, Pantoea stewartii subsp. stewartii memanfaatkan asetat, furnarate, glukonat, malat dan
5
suksinat, sebagai sumber karbon dan menghasilkan sumber energi. Massa bakteri dapat dilihat pada potongan batang atau daun yang terinfeksi apabila dicelup pada air jernih (Bradbury 1967; Krieg dan Holt 1984). Mekanisme virulensi utama dari Pantoea stewartii subsp. Stewartii didasarkan pada produksi lendir EPS yang menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pembuluh xilem sehingga menyebabkan layunya tanaman. Perubahan secara anatomi yang terkait dengan perkembangan penyakit layu stewart yang diamati pada tanaman jagung yang tahan dan rentan menggunakan mikroskop cahaya dan electron, terlihat adanya populasi pathogen yang sama pada daun tanaman tahan dan inang yang rentan (Braun 1982). Ketika inokulasi Pantoea stewartii subsp. Stewartii dilakukan pada tanaman jagung yang memasuki masa generatif (pembentukan malai), maka, luka nekrotik akan berkembang 3-4 kali lebih cepat pada inang yang rentan bila dibandingkan dengan tanaman yang tahan. Terjadi penyumbatan pada jaringan pembuluh oleh EPS seiring dengan meningkatnya populasi Pantoea stewartii subsp. stewartii, hal ini menyebabkan kurangnya suplai air dan nutrisi ke tanaman, sehingga tanaman menjadi layu dan mati (Braun 1990; Coplin et al. 1992). Faktor virulensi lain yang berperanan penting dalam perkembangan gejala penyakit ini adalah kemampuan dari Pantoea stewartii subsp. Stewartii dalam menginduksi kebasahan (water soaking). Dalam hal ini kemampuan menginduksi water soaking pada daun merupakan faktor patogensitas penting dalam menimbulkan penyakit, sedangkan produksi EPS merupakan faktor virulensi sekunder dalam menyebabkan layu. Pada patogen ini gejala water soaking diduga disebabkan oleh beberapa faktor lain dari EPS yang meningkatkan permeabilitas sel dan menyebabkan keluarnya isi sel (Coplin et al. 1986). Jika batang tanaman muda yang terinfeksi dipotong akan terlihat adanya massa bakteri berwarna kuning, pada kebanyakan tanaman yang terinfeksi akan terlihat adanya rongga pada pangkal batang. Tanaman yang terinfeksi jika tidak mati akan menjadi kerdil dan tidak akan menghasilkan bulir (Luebker. 2003; Stack et al. 2006). Ada dua kelompok gen utama yang memainkan peran penting dalam patogenisitas dan virulensi dari P. stewartii: (i) kelompok gen cps, yang diperlukan untuk memproduksi stewartan exopolysaccharide (EPS) (Coplin and Majerczak. 1990), dan (ii) gugus gen hrp, yang mengkodekan sistem sekresi tipe III yang secara umum
6
diperlukan untuk patogenisitas dan produksi luka water soaking (Coplin, Frederick and Majerczak, 1992).
Metode Diagnostik Penyakit Layu Stewart Teknik
sederhana
untuk
mengkonfirmasi
diagnosis
penyakit
layu
stewart
berdasarkan gejala layu pada jaringan daun adalah dengan mengamati dengan bantuan mikroskop cairan bakteri (streaming) dari jaringan daun yang ditempatkan pada setetes air. Pnss dapat diidentifikasi pada jaringan yang terinfeksi melalui penggunaan teknik pencetakan-batang (stem-printing technique.), batang dipotong pada bagian yang dekat dengan akar, kemudian ditekankan pada media agar (McGee, 1996). Media standar yang rutin digunakan untuk isolasi group Pantoea adalah Luria Bertani (LB) agar, Nutrient agar (NA), Trypticase Soy agar (TSA) dan Casamino-acid peptone glucose (CPG). Koloni terlihat halus dan berkilau. Pada LB agar menghasilkan pigmen karotenoid kuning cerah dan tidak berlendir. Koloni pada Nutrient agar, bulat, pertumbuhan yang lambat dan berwarna kuning, tidak berlendir, sedangkan pada CPG agar, koloni terlihat sangat berlendir, menyebar dan sedikit pigmen (Coplin and Kado in Schaad, 2001). Pnss merupakan bakteri fakultatif anaerob, tidak berflagel, non-motil, tidak berspora, Gram negatif, bentuk batang, 0,40,7 x 0,9-2,0 μm, tunggal dan dalam rantai yang pendek, kultur memperlihatkan warna (Pataky, 2003). Diagnosa suatu penyakit baru yang belum terdapat dalam daftar penyakit yang sudah baku dapat dilakukan dengan cara diagnosa pendugaan (presumptive diagnosis) untuk mendapatkan informasi yang cepat tentang penyakit baru
tersebut
sehingga
metode
pengendalian
yang
memadai
dapat
direkombinasikan. Cara diagnosa pendugaan yang cepat ini biasanya sangat dibutuhkan oleh petani. Pengamatan berdasarkan gejala, karakteristik koloni patogen pada media isolasi, dan sejumlah kecil uji kunci termasuk dalam cara diagnosis pendugaan yang cepat. Kemudian dilanjutkan dengan, diagnosa konfirmasi (confirmatory diagnosis) untuk mendapatkan identifikasi yang akurat sehingga memenuhi standar daftar penyakit dan diterima oleh komunitas keilmuan yang ada. Identifikasi patogen baik secara fisiologi maupun molekuler dengan teknik PCR pada inang termasuk dalam cara diagnosis konfirmasi ini (Hayward 1983; Lelliot dan Stead 1987). Untuk memperoleh hasil diagnosa yang akurat perlu dilakukan uji Postulat Koch, yang bertujuan untuk mengetahui apakah suatu patogen yang diisolasi dari tanaman yang terinfeksi penyakit baru tersebut memang benar
7
merupakan penyebab dari gejala penyakit yang ditimbulkannya. Uji patogenisitas pada Postulat koch merupakan bukti final dan konfirmasi bahwa bakteri yang diisolasi dari tanaman dengan atau tanpa menyebabkan gejala penyakit benar-benar bisa dibuktikan oleh uji patogenisitas menggunakan tanaman inang dari patogen yang dicurigai. Terutama dalam kasus-kasus kritis, misalnya bila patogen terdeteksi untuk pertama kalinya dalam suatu negara akibat eksport antar negara, pengujian ini sangat diperlukan dan wajib ada didalam skema pengujian diagnosa suatu patogen baru. Setelah dilakukan reisolasi, maka langkah reidentifikasi harus dilakukan sepenuhnya didalam memenuhi Postulat koch untuk pengujian akhir (Janse, 2005). Keadaan Geografis dan Keadaan Alam Kabupaten Humbang Hasundutan Kabupaten ini mempunyai luas sebesar 2.335,33 km² dengan ibukota Dolok Sanggul. Kondisi fisik kabupaten ini berada pada ketinggian 330 - 2.075 meter dpl dan secara geografis terletak di bagian tengah Sumatera Utara berada pada posisi 2 13’- 2 28’ dan 98 10’ – 98 57’ BT. Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu dari 19 Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara yang disebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Samosir, disebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, disebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan disebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi. Secara umum Kabupaten Humbang Hasundutan beriklim tropis. Suhu ratarata
17 - 29 ºC, dengan rata-rata curah hujan 2000 mm – 5000 mm / tahun, rata-
rata kelembaban udara ( RH 85,04 % ). Tanah umumnya podsolik dan podsolik merah. Kondisi alam/topografi datar dan bergelombang serta berbukit-bukit. Keadaan vegetasi Kabupaten Humbang Hasundutan
secara umum ditanami dengan komoditi tanaman pangan dan
hortikultura serta komoditi tanaman perkebunan.
8
Lokasi pengambilan sampel adalah Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta, Desa Pargaulan Kecamatan Lintong Nihuta, desa Lumban Luhut kecamatan Dolok Sanggul, desa Lumban Barat Kecamatan Paranginan dan desa Silaban kecamatan Lintong Nihuta. Lokasi ini merupakan sentra pertanaman jagung.
METODOLOGI
Pengambilan Sampel di Lapangan Sampel tanaman yang diambil adalah berupa tanaman yang memperlihatkan gejala khas. Sampel diambil dari lokasi yang ditetapkan dan disimpan di dalam wadah dengan pendingin (termos es). Sampel berupa daun dan benih dapat disimpan dalam kertas koran dan di bawa ke laboratorium dan diberi label. Sebelum diamati sampel tersebut disimpan dalam refrigerator. Ekstraksi Pnss dari bahan tanaman Isolasi bakteri Pnss dilakukan berdasarkan protokol Thai Agricultural Standard (2008). Deteksi bakteri Pnss dilakukan dengan menggunakan media selektif dan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Sampel dipotong menjadi potonganpotongan kecil untuk mendeteksi penyakit. Metode ekstraksi bakteri terlebih dahulu dilakukan sterilisasi permukaan NaOCl 2% selama 5 menit. Kemudian sampel direndam dalam volume yang tepat dalam larutan PBS steril atau media selektif. Hasil ekstraksi dari kedua metode ini kemudian dicentrifus selama 30 menit, kemudian eksudatnya dapat digunakan untuk tahap pengujian selanjutnya. Suspensi hasil ekstraksi dipindahkan ke tabung eppendorf steril, diencerkan 10 atau 100 kali menggunakan PBS 0,01 M, dan di beri label sesuai dengan perlakuan pengenceran dan biakkan pada media selektif Agar yang ditambahkan 200mg/L nystatin atau 200 mg/L cycloheximide) dan diratakan dengan glass beads steril, dan diinkubasi pada suhu 25-27oC selama 2-3 hari. Koloni yang mencirikan Pnss pada media Nigrosin agar berbentuk koloni-koloni yang menyerupai mata ikan (fish-eye), koloni tampak dengan pusat berwarna gelap (hitam) dikelilingi dengan massa bakteri yang translusens, konveks, licin dan menyerupai lendir. Bakteri yang telah murni digunakan untuk tahapan pengujian selanjutnya.
9
Karakterisasi Pnss Secara Molekuler dengan Teknik PCR Isolasi DNA Genom Total Isolate bakteri dengan koloni tunggal ditumbuhkan pada medium yang diinkubasi pada rotary shaker pada suhu 31 oC, 80 rpm 24 jam. Bakteri dipanen dengan mengambil 1.5 ml suspensi biakkan, disentrifugasi pada suhu ruangan pada 10.000 rpm selama 3 menit. Ekstraksi DNA dilakukan sebagai berikut: pellet bakteri disuspensikan dalam 1 ml 1 x TES buffer ( 1 M Tris HCl, 5 M NaCL, 0,5 M EDTA, pH 8,0) lalu sentrifugasi pada suhu ruang dengan kecepatan 12.000 rpm selama lima menit. Supernatant dibuang dan diganti dengan 200 μl 1 x TES baru, lalu diresuspensi secara perlahan. Selanjutnya ditambahkan dengan 40 μl SDS 10% diresuspensi dengan cara membolak-balik ependorf secara perlahan dan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit. Setelah itu ditambahkan dengan 20 μl proteinase-K (2 mg/ml). campuran tersebut ditambahkan lagi dengan fenol:kloroform (3:5) sebanyak 200 μl, dibolak-balik selama 5 menit, supernatant diambil secara hatihati dan dipindahkan ke tabung ependorf baru dan steril, tahap ini dilakukan 4-5 kali. Supernatant ditambahkan dengan kloroform 200 μl lalu disentrifugasi pada suhu ruang dengan kecepatan 12.000 rpm selama lima menit. Supernatant diambil dan dipindahkan dalam ependorf baru steril dan ditambahkan satu ml etanol 95% dingin dan 50 μl NaOAc 3 M, dibolak-balik secara perlahan. Benang-benang DNA yang terbentuk diambil secara hati-hati dengan tip kuning baru dan steril, lalu dikeringkan dengan posisi tip berdiri selama semalam. Setelah DNA kering, dimasukkan dalam tabung ependorf dan ditetesi dengan 40 μl akuabides steril dan tip diputar hingga DNA terlepas dan larut dalam akuabides. DNA tersebut diinkubasi pada suhu 65 oC selama 10 menit. Kualitas DNA diamati dengan spektofotometer, selanjutnya disimpan pada suhu -20 oC.
Pengujian dengan metoda PCR Hasil ekstraksi tahap-1 digunakan untuk deteksi Pantoea stewartii subsp.stewartii menggunakan metoda PCR, mengunakan primer spesifik: Untuk Gen hrpS yaitu : Forward primer HRP1d (5’GCACTCATTCCGACCAC3’) dan Reverse Primer HRP3c (5’GCGGCATACCTAACTCC 3’);
Teknik ini dimulai dengan pencampuran 2 μl
larutan ekstraksi dengan larutan mixture reaction yang berisi larutan dengan konsentrasi akhir sebagai berikut; 1X buffer PCR; 0,20 μm dNTP; 0,25 mM MgCl2;
10
0,20 μm Forward primer; 0,20 μm Reverse primer; Taq DNA polimerase 0,3 unit; larutan sampel 2 μl dalam total larutan reaksi 15 μl. Protokol PCR yang digunakan adalah: Pre-PCR (94 °C selama 120 detik), Denaturasi 94 °C selama 20 detik, annealing Primer 58 °C selama 15 detik (untuk primer HRP, Elongation atau pemanjangan primer (72 °C selama 90 detik), danPost-PCR (72 °C selama 5 detik), dengan jumlah siklus s ebanyak 24 kali. Deteksi DNA dilakukan dengan teknik Elektroforesis gel agarosa. Konsentrasi gel agarosa yang digunakan adalah 0,8% dalam buffer TBE 0.5x dan dicampur dengan 0,5 ug / ml etidium bromida dan kekuatan arus listrik 100 volt selama 40 menit. DNA standar digunakan sebagai kontrol. DNA hasil amplifikasi PCR diambil 3 ul dan dicampur dengan bromophenol blue sebanyak 2 ul kemudian masukkan ke dalam sumuran gel elektroforesis. Pada visualisasi ini disertakan juga 1 KB DNA ladder. Gel selanjutnya di running dengan kekuatan 100 volt selama 40 menit. Elektroforesis dihentikan jika warna ungu telah mencapai 2/3 dari gel. Pita DNA diamati dengan sinar UV akan menghasilkan Pita DNA pada 900 bp untuk gen hrpS (Coplin dan Majerezak 2002)
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan pada sentra – sentra hasil produksi tanaman jagung di Kabupaten Humbang Hasundutan, Propinsi Sumatera Utara.
Gambar hasil pengamatan langsung dilokasi pertanaman jagung.
11
Dari hasil pengamatan langsung dilokasi pertanaman jagung, tanaman sebenarnya tidak menunjukkan gejala terserang Pantoea stewartii pv stewartii dimana gejala penyakit layu stewart pada tanaman yang rentan memperlihatkan gejala layu menyerupai kekeringan, defisiensi hara, atau terserang hama. Gejala lain adanya goresan berwarna hijau pucat atau kuning, membujur sejajar tulang daun, dengan pinggir bergelombang tidak beraturan. Goresan ini segera berubah menjadi kering dan berwarna coklat. Rongga pada empulur batang terbentuk pada tanaman yang tertular berat di dekat permukaan tanah. Bakteri berkembang dan menyebar melalui jaringan pembuluh sampai ke biji. Namun untuk memastikannya dilakukan deteksi dan identifikasi. Tabel
Hasil Pengujian sampel tanaman jagung untuk deteksi Pantoea stewartii pv stewartii di Kabupaten Humbang Hasundutan
No
Lokasi Pengambilan sampel
Kec.Lintong
Bagian Tanaman
Hasil uji
Sampel
dan Metode Pengujian
1
Daun, Metode PCR
Negatif (-)
1
Ds.Sigumpar Hubahas
2
Ds. Pargaulan Kec. Lintong Nihuta Kab Hubahas
1
Daun, Metode PCR
Negatif (-)
3
Ds. Lumban Luhut Kec. Dolok Sanggul Kab Hubahas
1
Daun, Metode PCR
Negatif (-)
4
Ds.Lumban Hubahas
1
Daun, Metode PCR
Negatif (-)
5
Ds. Silaban Kec. Lintong Nihuta Kab Hubahas
1
Daun, Metode PCR
Negatif (-)
barat
Nihuta
Jumlah
Kec.Paranginan
Kab
Kab
Pengujian sampel tanaman jagung yang diambil dari
lima (5) desa di
Kabupaten Humbang Hasundutan menunjukkan hasil yang negatif terhadap penyakit Pantoea stewartii pv stewartii ini menujukkan bahwa di Kabupaten Humbang Hasundutan status dari Pantoea stewartii pv stewartii masih negatif atau belum ada.
12
KESIMPULAN Status Penyakit Stewart (Pantoea stewartii pv stewartii) pada pertanaman jagung di Kabupaten Humbang Hasundutan dinyatakan masih negatif.
DAFTAR PUSTAKA Braun, E.J. 1982. Ultrastructure investigation of resistant and susceptible maize infected with Erwinia stewartii. Phytopathology 72:159-166. Coplin, D. L., Majerczak, D. R., Zhang, Y., Kim, W.-S., Jock, S., and Geider, K. 2002. Identification of Pantoea stewartii subsp. stewartii by PCR and strain differentiation by PFGE. Plant Dis. 86:304-311. EPPO quarantine Pests. 2007. Data Sheets on Quarantine Pests. Pantoea stewartii subsp. Stewartii. Prepare by CABI and EPPO for the EU under contract 90/399003. Janse. J. D. 2005. Phytobacteriology principles and practice. Plant Protection Service Wageningen The Netherlands . British Library, London, UK. McGee DC. 1996. Relevance of seed pathology research priorities to worldwide movement of seed. di dalam McGee DC. Editor. Plant Pathogens and the worldwide movement of seed. Minnesota: APS Press. Pataky, J. K., Block, C. C., Michener, P. M., Shepherd, L. M., McGee, D. C., and White, D. G. 2003. Ability of an ELISA-based seed health test to detect Erwinia stewartii in maize seed treated with fungicides and insecticides. Plant Dis. 88:633-640. Schhaad NW., Jones JB, and Chun W. 2001. Laboratory Manual for the Identification of Plant Pathogenic Bacteria.Third Edition..eds. American Phytopathological Sociaty Press, St Paul, MN. Stack J, Chaky J, and Giesler L. 2006. Publication Wilt of Corn in Nebraska.http://www.unl.edu/unpub/search/default.shtml. Thai Agricultural Standard. 2008. Diagnostic Protocols For Pantoea Stewartii Subsp. Stewartii Bacterial Wilt Of Maize. National Bureau Of Agricultural Commodity And Food Standards Ministry Of Agriculture And Cooperatives. Thomas A. Zitter. 2002. Stewart’s Bacterial Wilt-Still a Problem After 107
13
Years. Department of Plant Pathology Cornell Universityu Ithaca, NY 14853. (25 Januari 2007). Yang. XB. 2000. More on Stewart’s wilt. Integrated Crop Management. May 29, 2000