MENGEMBANGKAN PARADIGMA NON LITIGASI DI INDONESIA
Kata Pengantar Dengan rasa syukur yang amat dalam, penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah melimpahkan kurnia, rahmat, nikmat, dan ilmu-Nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan buku yang berjudul Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi Untuk Penyelesaian Sengketa Bisnis ini. Pada awalnya, naskah buku ini merupakan disertasi untuk memperoleh gelar doctor pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Tujuan penulisan ini diawali rasa keprihatinan penulis yang mengamati tidak berkembangnya penggunaan paradigma non-litigasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis pada masyarakat Indonesia yang mempunyai budaya musyawarah. Fenomena yang terpotret di masyarakat justru munculnya budaya gugat menggugat yang demikian tinggi, yang menyebabkan munculnya puluhan ribu tumpukan perkara di lembaga peradilan.
Derasnya
arus
perkara
yang
masuk
melalui
menimbulkan kinerja pengadilan tidak bisa optimal, juga
jalur
litigasi
menjadikan
masyarakat tidak lagi mencari keadilan tapi mencari kemenangan dengan menghalalkan secara cara. Kondisi kejiwaan masyarakat tersebut
menemukan
suatu habitat yang cocok di dalam lembaga peradilan Indonesia, di mana sebagian besar kalangan hakim mudah tergoda untuk melakukan jual beli putusan. Lembaga peradilan yang seharusnya menjalankan amanah untuk mendistribusikan
keadilan
bagi
masyarakat,
ternyata
menggunakan
kesempatan tersebut untuk melakukan ‘permainan kotor’. Sehingga lembaga peradilan tidak
semata-mata sebagai tempat mencari keadilan tetapi juga
menjadi ajang jual beli putusan, hal ini berakibat putusan hakim seringkali sulit untuk diramalkan (unpredictable) dan tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Bagi masyarakat bisnis, yang segala sesuatunya mendasarkan pada efektivitas, efisiensi dan velocity, kondisi tersebut jelas tidak menciptakan situasi kondusif untuk menunjang kegiatan mereka. Sedangkan bagi investor asing hal ini akan menyurutkan minat mereka untuk melakukan investasi di Indonesia,
karena tidak adanya kepastian hukum bila terjadi sengketa. Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara melakukan pembangunan paradigma non-litigasi,
yang diharapkan mampu
menggeser dominasi paradigma litigasi, sehingga masyarakat Indonesia tidak hanya mengandalkan jalur litigasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Sengketa bisnis
bisa meliputi berbagai
obyek sengketa, mulai
perbankan, konsumen, investasi, kepailitan, perlayaran, perpajakan, perburuhan, HaKI, dan lain-lain. Walaupun PnLg bisa dimanfaatkan untuk seluruh sengketa bisnis, namun karena dalam aras penanganan di lapangan masing-masing sengketa bisnis mempunyai karakteristik khusus dalam penanganannya. Maka dalam disertasi ini, pembahasan PnLg untuk sengketa bisnis tidak hanya dalam arti yang umum, tapi juga penggunaan alternatif penyelesain sengketa untuk sengketa bisnis bidang HaKI. Hal ini salah satunya disebabkan dalam rangka mengantisipasi munculnya gelombang sengketa
HaKI di Indonesia setelah
disepakatinya TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights) oleh pemerintah. Penulis menyadari sepenuhnya, akan keterbatasan kondisi fisik penulis dan masih terbatasnya bekal ilmu yang dimiliki ketika menyusun buku. Oleh karena itu, kalau hanya mengandalkan kemampuan sendiri, sudah pasti buku ini sulit untuk terealisir. Banyak pihak yang secara langsung atau tidak langsung telah memberikan masukan, dorongan
motivasi, dan meningkatkan wacana
pengetahuan pada penulis dalam menyelesaiakan buku ini. Dalam kesempatan ini, perkenankan penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan dalam pengantar buku ini. Pertama,
penulis menyampaikan terima kasih yang teramat dalam
kepada yang amat terpelajar, Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH., yang berkenan meluangkan waktu untuk membimbing penulis
selaku promotor. Dengan
penuh kesabaran, ketelitian dan kecermatan telah memberikan koreksi, masukan, dan usulan penambahan literatur serta memberikan pinjaman bukubuku literatur untuk dapat menyempurnakan disertasi ini. Bahkan pada saat
sakitpun, beliau masih menunjukan rasa tanggungjawab dan dedikasi yang tinggi dengan keinginan untuk memeriksa dan mengetahui perkembangan bab terakhir dari disertasi ini. Kedua, terimakasih penulis kepada yang amat terpelajar
Prof. Dr. I.S.
Susanto, SH, yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk menjadi
ko-promotor dalam penulisan disertasi ini.
Kesediaan beliau menerima penulis untuk berkonsultasi pada setiap waktu dan kesempatan, dan kesediaan beliau mendiskusikan permasalahan di luar materi disertasi di sela-sela waktu kosong beliau telah menghilangkan hambatan psikologis antara ko-promotor dengan promovendus. Hal ini telah membantu penulis untuk berani mengemukakan pendapat secara bebas dan egaliter tanpa takut adanya perbedaan pendapat dengan beliau. Ketiga, terimakasih
pada yang amat terpelajar Prof. Dr. Sri Rejeki
Hartono, SH., yang telah memberikan masukan penyempurnaan pada seminar proposal,
seminar
hasil penelitian disertasi, dan ujian kelayakan disertasi.
Kritikan, penyempurnaan, dan makalah-makalah beliau tentang HaKI dan Hukum Ekonomi telah membantu menutup kelemahan yang terdapat
pada
buku ini. Ucapan terimakasih pada yang amat terpelajar Prof. Dr.Barda Nawawi Arief, yang telah memberikan masukan, arahan pada seminar proposal penelitian disertasi dan ujian kelayakan disertasi, yang kemudian terbit dalam bentuk buku ini. Pemikiran dan masukan beliau, baik yang dilontarkan waktu mengkritisi proposal penelitian dan ujian kelayakan disertasi maupun yang tertuang dalam suatu makalah yang berkaitan dengan penggunaan ADR dalam lingkup hukum pidana telah membuka wacana baru bagi penulis dan juga telah membantu meluruskan beberapa kesalahan yang terdapat dalam disertasi. Ucapan terimakasih juga pada yang amat terpelajar Prof. Roni Hanitio Sumitro, SH.,
yang secara teliti
ikut mengoreksi dan
memberikan masukan pada saat seminar proposal penelitian disertasi serta ikut memberikan informasi tentang literatur penyelesain sengketa;
dan ucapan
terimakasih pada (alm) Prof. Purwahid Patrik, SH., bersama Erlin Indarti, SH.MSc., yang ikut memberikan masukan dan kritikan pada seminar hasil penelitian disertasi. Serta terimakasih pada yang amat terpelajar Prof. Dr. Esmi Warasih, SH.MS., yang telah memberikan tambahan wacana pemikiran dan pencerahan dalam menganalisis suatu permasalah hukum. Keempat, terimakasih pada yang amat terpelajar Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA yang telah memberikan pencerahan dan telah membuka tabir kegelapan wacana penulis pada bidang penelitian hukum. Penjelasan beliau yang cukup mendasar berkaitan dengan metodologi penelitian hukum benar-benar telah memberi bekal penulis untuk berani melangkah melakukan penelitian disertasi ini. Di samping itu beliau juga telah banyak memberikan masukan
penyempurnaan
dalam
ujian
kelayakan
disertasi,
serta
merekomendasikan sejumlah buku literatur yang harus dirujuk, sehingga membantu melengkapi teori yang digunakan dalam disertasi dan membantu menutup kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam disertasi. Kelima, terimakasih pada yang
amat terpelajar Prof. Ir. Eko Budiarjo,
MSc., Rektor Universitas Diponegoro Semarang, beserta stafnya, yang telah menciptakan iklim kondusif di lingkungan Universitas Diponegoro, sehingga memudahkan penulis untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh lembaga. Keenam, terimakasih kepada yang amat terpelajar Prof.Dr.dr. Soeharyo Hadisaputro, dr.SP.PD (KTI),
Direktur Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro, beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan yang baik dan ikut mendukung kelancaran penulis dalam menyelesaikan studi. Ketujuh, terimakasih kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, dan Prof. Dr.I.S. Susanto,SH, Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, yang telah berhasil menggunakan
mengelola program pendidikan dengan
manajemen profesional yang humanis, sehingga berhasil
meningkatkan wawasan keilmuan sekaligus mampu memompa motivasi dan kepercayaan diri mahasiswa untuk menyelesaikan studinya. Begitupula saya ucapkan terimakasih dan pujian pada staf administrasi Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro (mbak Padmi, mbak Alfi, dik Diah, mas
Mintarso, dan mas Juli), yang telah memberikan pelayanan administratif dengan cekatan, ramah, kekeluargaan dan sangat memuaskan. Mungkin baru kali ini sepanjang karir saya sebagai staf pengajar dipberbagai perguruan tinggi dan sebagai mahasiswa (S1, S2, dan S3),
saya menemukan staf administrasi
perguruan tinggi yang mampu secara profesional menempatkan mahasiswa sebagai ‘Tuan’ (Konsumen Jasa) yang harus dilayani, saya benar-benar puas atas cara pelayanan tersebut. Kedelapan, terimakasih pada The Toyota Foundation dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, yang telah mengalirkan bantuan dana untuk penelitian disertasi ini. Kesembilan, terimakasih pada Prof. Dr. Haris Mudjiman, Rektor Universitas Sebelas Maret, beserta stafnya, yang telah membantu memberikan kelancaran administrasi ketika penulis hendak mengajukan izin melanjutkan pendidikan. Ucapan terimakasih juga pada
Sunarno Danusastro, SH.,
Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan perhatian, memberikan motivasi, dan mendorong penulis untuk menyelesaikan disertasi. Kesepuluh, penghargaan yang tinggi pada yang mulia, ibunda penulis, Almarhumah
Ny. Soekarti, yang telah mengasuh, membimbing,
mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan meletakan dasar keimanan sehingga penulis bisa mengatasi pengaruh-pengaruh buruk pada lingkungan pergaulan penulis. Kenangan yang tak terlupakan pada pengorbanan beliau yang senantiasa melakukan puasa manakala penulis sedang menjalani masamasa ujian dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dan juga ketika beliau sedang sakit parah tak henti-hentinya beliau
memanjatkan doa pada saat
penulis mengikuti ujian masuk Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP.
Penghargaan yang tinggi pada yang mulia, ayahnda penulis, H.Soema, yang senantiasa berpuasa dan mendoakan penulis ketika sedang menyusun disertasi. Kesebelas, terimakasih yang tulus pada Istri penulis, Wahyu Widayati, SE., yang senantiasa berdoa dan berpuasa untuk kesuksesan penulis, menjaga suasana keharmonisan keluarga, dan senantiasa menjaga kondisi fisik penulis, yang dahulu pernah terkena sakit keras, agar tetap dalam kondisi sehat untuk menyusun disertasi. Terimaksih pada ananda tercinta, Fadhil Purnama Adi, sumber inspirasi penulis untuk bekerja keras, yang taat pada larangan tidak menggunakan komputer tanpa sepengetahuan penulis,
untuk
yang kadang-
kadang ikut menunggui penulis bila sedang mengetik disertasi, tapi kadangkadang juga merasa jengkel karena melihat penulis menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer. Keduabelas, terimakasih pada teman-teman Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP angkatan tiga yang mempunyai sense of togetherness untuk menghadapi rintangan-rintangan
selama
proses
pendidikan
program
doktor,
dan
terimakasih pada pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebut satu-persatu yang telah membantu kelancaran penulisan disertasi ini. Semoga budi baik dan bantuan tulus ikhlas yang diberikan akan mendapat balasan dari Allah, SWT. Kemudian, penulis menyadari bahwa untuk kebutuhan penerbitan naskah dalam bentuk buku berbagai hal perlu dilakukan guna memenuhi standar penerbitan buku pada umumnya. Dalam hal ini, sejumlah format tata tulis dan tata letak penulisan naskah diubah seperlunya agar lebih komunikatif dan menjangkau kalangan yang lebih luas. Di samping editing untuk penyesuaian ejaan dan “penghalusan bahasa”, maka sejumlah bahan, data, dan informasi terkait dengan topic penulisan perlu dilakukan up grading agar sesuai dengan perkembangan dewasa ini. Untuk itu, pemutakhiran kepustakaan dan ilustrasi kasus pembahasan perlu ditampilkan. Keseluruhan perubahan itu diusahakan sejauh mungkin untuk tidak mengubah topic pokok dalam penulisan. Sehubungan dengan ini, maka peranan Saudara Isharyanto, S.H.,
M.Hum., dosen/asisten penulis di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret cukup berarti. Dengan terbitnya buku ini, maka penulis berharap dan berdoa agar peranan tadi dapat menjadi amal saleh yang memperoleh ridha Allah Swt., dan sekaligus sebagai wahana pembelajaran untuk dirinya demi pengembangan karir dan ancangan studi lanjut di masa depan. Akhirnya,
penulis menyadari sepenuhnya
bahwa buku ini baru
merupakan studi awal atau hanya sebagian dari pengembangan Paradigma Non-Litigasi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang lebih luas, yang sebenarnya membutuhkan pengetahuan yang komprehensif dan multidisiplin. Penulis menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangannya, jauh dari kesempurnaan, mengingat keterbatasan ilmu dan wawasan penulis. Oleh karena itu, semua kritik dan saran bagi kesempurnaan disertasi ini akan penulis terima dengan hati yang lapang dan ucapan terimakasih. Harapan penulis agar studi yang berkaitan dengan
Paradigma Non-Litigasi ini akan terus dikembangkan,
tidak hanya sekedar untuk melayani kebutuhan bisnis, tapi juga untuk sengketa politik, agama, atau sengketa antar suku.
Adi Sulistiyono
DAFTAR ISI BAB I A. B. C. D. BAB II
A. B. C.
D.
BAB III A. B.
C.
D.
BAB IV
PENDAHULUAN………………………………………………... Catatan Awal……………………………………………………... Ranah Masalah…………………………………………………… Pijakan Teoritis…………………………………………………... Bingkai Buku…………………………………………………….. FUNGSI HUKUM SEBAGAI SARANA PENYELESAIAN SENGKETA DI MASYARAKAT DAN BATAS KEMAMPUANNYA…………………………………………….. Catatan Awal……………………………………………………... Keberadaan Sistem Hukum dan Potensi Konflik yang Ditimbulkannya…………………………………………………… Peran Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis dan Batas Batas Kemampuannya……………………………………………. Paradigma Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat…………… 1. Paradigma Litigasi…………………………………………….. 2. Paradigma Non-Litigasi…………………………… KRISIS DALAM LEMBAGA PERADILAN INDONESIA Catatan Awal……………………………………………………… Paralelisme Global Distorsi Pengadilan dalam Menjalankan Fungsi Penyelesaian Sengketa……………………………………. Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia…………………………... 1. Keberadaan Pengadilan di Indonesia Pada Masa Penjajah sampai Orde Reformasi …………………………………….. 2. Ketidakmampuan Mahkamah Agung Menjalankan Peran Sebagai Pendistribusi Keadilan……………………………….. 3. Konstribusi Hakim Pada Kerusakan Lembaga Pengadilan……. 4. Jalan Panjang Menggapai Putusan Hakim…………………….. Menurunnya Kepercayaan dan Runtuhnya Kewibawaan Pengadilan di Masyarakat………………………………………… MENGEMBANGKAN PARADIGMA NON-LITIGASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS.............................................................................................
1 2 16 17 52
59 59 68 115 140 143 155 183 183 188 209 211 264 285 321
328
349
BAB V
A. Kebutuhan Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi Untuk Menyelesaikan Sengketa Bisnis………………………. B. Eksistensi PnLg Untuk Menyelesaikan Sengketa Bisnis…… 1. Globalisasi Paradigma NonLitigasi……………………………………………… 2. Mengembangkan Paradigma Non Litigasi………….. C. Mengoptimalkan Bekerjanya Hukum Positif……………….. D. Merasionalkan Budaya Musyawarah………………………… E. Pendidikan Sebagai Sarana Untuk Mengembangkan Kesadaran Masyarakat Pada Penggunaan Paradigma NonLitigasi…………………………………………………… F. Mengkomunikasikan Paradigma Non-Litigasi Di Lingkungan Pengusaha………………………………………… G. Penegakan Etika Bisnis Sebagai Upaya Membangun Kepercayaan Pada Paradigma Non-Litigasi……………….. H. Pendirian Alternatif Penyelesaian Sengketa…………………. I. Mendayagunakan Lembaga Dading (Perdamaian)…………. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI………. A. Kesimpulan……………………………………………………… 1. Paradigma Litigasi…………………………………………………… 2. Paradigma Non Litigasi……………………………….. B. Implikasi………………………………………………………… 1. Implikasi Teoritis…………………………………………………… 2. Implikasi Praktis………………………………………... C. Rekomendasi…………………………………………………….
349 352 362 376 393 402
415 424 430 436 453 483 483 483 488 492 492 493 494
BAB I PENDAHULUAN
A. Catatan Awal Memasuki millenium ketiga, masyarakat bisnis di semua penjuru dunia akan menghadapi liberalisasi perdagangan1 dan tingkat persaingan2 pasar yang komplek dan tajam.3 Kompleksitas dan tingginya persaingan dalam dunia bisnis4 akan cenderung berpotensi menimbulkan konflik atau sengketa.5 1
Entitas ini didukung oleh 2 (dua) logika yang menandai perkembangan masyarakat kapitalisme glolbal (ekonomi global, komunikasi global, kebudayaan global) menjelang abad ke-21, yaitu logika pelepasan energi nafsu (libido) dan logika kecepatan (bahasa Yunani: dromo), yang kedua-duanya berperan besar bagi kelenyapan sosial. Di dalam sistem ekonomi semacam ini, misalnya, yang mengalir secara bebas dari satu negara ke negara lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain, tidak hanya sekadar barangbarang atau produk-produk, akan tetapi juga energi-energi libido. Kapitalisme global tidak lagi berkaitan dengan ekspansi kapital, teritorial, dan pasar, seperti pada monopoly capitalism, akan tetapi lebih berkaitan dengan ekspanasi arus libido dan perkembangan getaran nafsu. Periksa: Yasraf Amir Pilliang, 2004, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 141-142. 2
Persaingan ini disebabkan oleh perkembangan masyarakat ke arah masyarakat cyber dan ekonomi ke arah ekonomi yang telah menimbulkan berbagai spekulasi sebagaimana diungkapkan oleh George Soros, yaitu munculnya effective competition (ketimbang perfect competition), yaitu bentuk persaingan di mana situasi nilai dan peluang-peluang selalu berubah. Hal ini ditunjang pula dengan memaksimalkan kebebasan individual untuk memasuki pilihan alternatif yang tersedia secara global, hubungan sosial menurut kontrak sosial, dan nilai-nilai semata hanyalah pilihan seperti orang memilih tempat di mana mau berinvestasi atau berspekulasi. Periksa: George Soros, 1995, On Soros: Staying Ahead of the Curve, New York: John Willey & Sons Inc., hlm. 276. 3
Hal ini berkesebandingan dengan apa yang diungkapkan oleh Jacob Utama, yaitu memasuki millenium ketiga, kehidupan bersama antarumat manusia menjadi masyarakat dunia atau masyarakat global yang ditandai dengan jejaring ekonomi, keuangan, produksi, perdagangan, transportasi, mobilitas penduduk, dan teknologi informasi. Periksa: Jacob Oetama, “Kata Pengantar” dalam J.B. Kristianto, 2000, Nusantara 1000 Tahun, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. xi-xii. 4
Dunia bisnis merupakan arena pekerjaan. Berbeda dengan Adam Smith dan Karl Marx yang memutlakkan pekerjaan, Hegel menempatkan pekerjaan ke dalam seluruh kegiatan manusia. Manusia menemukan diri apabila ia menyadari sepenuhnya dan memiliki diri sebagai kesadaran dalam dunia obyektif. Dengan menemukan diri, manusia semakin menjadi nyata. Dalam proses pernyataan atau perelisasian diri manusia sebagai makhluk yang menyadari dan memiliki diri, pekerjaan memainkan salah satu peranan kunci. Diskusi yang menarik soal ini, periksa: Franz Magnis-Suseno, 2005, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gotholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Posmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 106-128. 5
Pemahaman masalah konflik, menurut pendapat sosiolog Dahrendorf yang dikutip oleh Leo Agustino, mencakup 2 (dua) makna, yaitu: (a) konflik merupakan akibat dan proses integrasi di dalam masyarakat yang tidak tuntas. Dalam konteks ini, konflik merupakan sebuah mencakup 2 (dua) makna, yaitu: (a) konflik merupakan akibat dan proses integrasi di dalam masyarakat yang tidak tuntas. Dalam konteks ini, konflik merupakan sebuah sympton (gejala penyakit) yang dapat merusak persatuan dan kesatuan masyarakat; dan (b) konflik merupakan proses alami dalam rangka sebuah proyek rekonstruksi sosial. Dalam hal ini konflik dapat dilihat secara fungsional sebagai suatu strategi untuk menghilangkan
Terjadinya ‘sengketa’6 sebenarnya sangat tidak dikehendaki oleh pelaku bisnis, namun demikian dalam menjalankan bisnis resiko timbulnya ‘sengketa’ tetap dimungkinkan.
Yang menarik, sekarang ini ‘sengketa’ telah berkembang
menjadi suatu ‘komoditas’
bisnis yang banyak mendatangkan keuntungan.7
Sebagai contoh fenomena di Amerika di mana pengelolaan bisnis ‘sengketa’ telah
dilakukan secara profesional yang disebut Mega Lawyering. Dalam
mengelola bisnis ini, pemberian jasa penyelesaian sengketa dikelola sedemikian rupa sehingga tidak murni lagi menjalankan urusan hukum, melainkan dikelola sebagai suatu perusahaan bisnis, yang full service dan aggressive8. Sengketa pada dasarnya merupakan suatu pencerminan dari watak dan kemauan
di
antara
manusia
yang
tidak
unsur-unsur disintegrasi dalam masyarakat yang tidak terintegrasi secara sempurna. Periksa: Leo Agustino, , 2006, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, hlm. 52. 6
Istilah ‘sengketa’ seringkali dipertukarkan dengan istilah ‘konflik’. Menurut Black, “Dispute. A conflict or controversy; a conflict of claims or rights; an assertion of a right, claim, or demand one side,met by contrary claims or allegations on the other. The subject of litigation”. Henry Campbell Black, 1990, Black ’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern, Sixth Edition, St. Paul. Minn, West Publising, hlm. 471. Menurut Vilhelm Aubert, sengketa atau konflik didefinisikan sebagai suatu kondisi yang ditimbulkan oleh dua orang atau lebih yang dicirikan oleh beberapa tanda pertentangan secara terang-terangan. Secara teoritis dibedakan adanya dua macam konflik, yaitu conflict of interest dan claims of right. Dalam L.M. Friedman, 1975, The Legal System, A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, hlm. 226. Sementara itu, Merrills menggunakan istilah ‘sengketa’. Lihat J.G. Merrills, International Dispute Settlement, London, Sweet & Maxwell, 1994, h.1. Dalam tulisan ini digunakan istilah sengketa yang mengacu pada pendapat Nader dan Todd, yang secara eksplisit membedakan antara: a) pra-konflik, adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang karena diperlakukan tidak adil. b) konflik, adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perselisihan pendapat di antara mereka. c) sengketa, adalah keadaan di mana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau dengan melibatkan pihak ketiga. Lihat Valerine J.L. Kriekhof, “Mediasi, Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum”, dalam T.O. Ihromi, 1993, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta Yayasan Obor Indonesia, hlm. 223-233. Lihat juga T.O. Ihromi, “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan Dalam Antropologi Hukum”, ibid, hlm. 194-213. 7
Hal ini merupakan satu diantara sekian banyak contoh akibat globalisasi ekonomi di mana segala suatu, apapun, harus memasuki sirkulasi dan orbit ekonomi. Segala sumber daya harus dieksploitasi, segala potensi harus dijual di dalam pasar global. Kondisi ini mengkritstal ke dalam gejala hiperealisme ekonomi, di mana ekonomi telah melampaui batas kemungkinannya dan akhirnya dikuasai oleh libido hasrat dari kapital itu sendiri. Uraian lebih lanjut soal ini, periksa: Yasraf Amir Pilliang, op.cit., hlm. 173-177. 8 Lihat Marc Galanter, “Mega-Law and Mega-Lawyering in the Contemporary United States”, dalam Robert Dingwall and Philip Lewis (ed.), 1983, The Sociology of the Professions, London, The Macmillan Press, Ltd., hlm.152- 177.
bisa seragam9. Di dalam masyarakat bila terjadi sengketa pada umumnya diselesaikan melalui berbagai cara10. Masing-masing pendekatan menggunakan paradigma yang berbeda sesuai dengan tujuan, budaya atau nilai-nilai yang diyakini oleh pihak-pihak yang sedang bersengketa.11 Dalam masyarakat bisnis terdapat
2
(dua)
pendekatan
umum
yang
sering
digunakan
untuk
menyelesaikan sengketa. Pendekatan pertama, yaitu menggunakan paradigma12 penyelesaian
sengketa
litigasi
(selanjutnya
hanya
disebut
paradigma
litigasi/PLg). Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan13
melalui
sistem
perlawanan
(the
adversary
system)14
dan
9
Jacques Attali menggunakan istilah ‘pertentangan terhadap barang yang sama-sama dinginkan manusia itulah yang memicu permusuhan’. Selanjutnya dia menyebutkan, di mana ada keinginan di situ ada kekerasan (konflik). Lihat Jacques Attali, 1999, Milenium Ketiga, terjemahan Eny Nor Hariati, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm.21. 10
Kebudayaan manusia untuk menapung dan menangani sengketa meliputi: 1) lumping it (membiarkan saja); 2) avoidance (mengelak); 3) exit (keluar saja); 4) coercion (paksaan); 5) negotiation (perundingan); 6) Mediation (mediasi); 7) arbitration (arbitrase); 8) Self help (main hakim sendiri); 9) peradilan. Lihat dalam T.O. Ihromi, “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa Yang Digunakan Dalam Antropologi Hukum”, dalam T.O. Ihromi, 1993, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 210-212. Donald Black, 1989, Sociological Justice, New York, Oxford University Press, hlm.74. Lihat Juga Marc Galanter, “Justice in Many Rooms”, dalam Mauro Cappelletti, 1981, Acces to Justice and The Welfare State, Italy, European University Institute, hlm. 147-180. Bandingkan dengan 6 (enam) bentuk penyelesaian konflik menurut Schuyt, yaitu: Kelompok pertama, Penyelesain sepihak (penyerahan sementara, menghindarkan diri/meninggalkan, penyerahan); Kelompok kedua, Dikelola sendiri (dengan undian, kesepakatan, perundingan); Kelompok ketiga, Prajuridis (pemakaian jasa penengah, sidang/musyawarah, perdamaian, pengaduan); Kelompok keempat, Juridis-normatif (proses pidana, perdata, administratif, sidang pengadilan, proses singkat, arbitrase); Kelompok kelima, Juridis-politis (bertahap tanpa kekerasan, tindakan politik dan akal sosial, pembentukan keputusan legislatif, penyelesaian melalui saluran pemerintah); Kelompok keenam, Kekerasan. Lihat dalam Rony Hanitijo Soemitro, 1990, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik, Semarang, CV.Agung, hlm.3637. 11
Hal ini berkaitan dengan identitas, yaitu sebuah mata rantai yang menghubungkan nilai-nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang. Identitas merupakan ikhtisar dari masa lalu yang membentuk masa kini dan mungkin masa depan sehingga merupakan sesuatu yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu yang sekaligus membedakan (difference) mereka dari komunitas atau kelompok masyarakat lainnya. Bahkan identitas merupakan sebuah unsur kunci dalam pembentukan realitas sosial. Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Jonathan Rutherford, 1990, Identity, Community, Culture, Difference, London: Lawrence & Wishart, hlm. 10-15. 12
Pemahaman paradigma di sini bukan paradigma sebagai kode etik versi Marton, akan tetapi pandangan hidup versi Thomas Kunt. Konsep paradigma tersebut mulai disebarluaskan pada tahun 1940-an dan segera mendapatkan sambutan hangat dari banyak pakar. Lihat Kunt, 1970, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: University of Chicago Press. 13
Dalam pandangan Selo Soemardjan, keadilan merupakan suatu keadaan serasi yang membawa ketenteraman di dalam hati orang, yang apabila diganggu akan menimbulkan keguncangan. Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa keadilan senantiasa mengandung unsur penghargaan. Rasa akan
menggunakan paksaan (coercion) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu keputusan
win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa.15
Sementara itu, pendekatan kedua, menggunakan paradigma penyelesaian sengketa non-litigasi (untuk selanjutnya hanya disebut paradigma non-litigasi atau PnLg). Paradigma
ini dalam mencapai keadilan
lebih mengutamakan
pendekatan ‘konsensus’ dan berusaha mempertemukan kepentingan pihakpihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan hasil penyelesaian keadilan telah dibawa oleh manusia sedari kecilnya, pengalaman sehari-hari lama kelamaan menimbulkan keinsyafan atas diri manusia dengan patokan bahwa barangsiapa yang berjasa harus menerima naugerah dan siapa yang berbuat salah harus menerima hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Maka, keadilan akan ada apabila setiap golongan merasa dirinya mendapat penghargaan yang sewajarnya dari golongan-golongan lain sedangkan setiap golongan itu tidak merasa dirugikan karena perbuatan kegiatan golongan yang lain. Uraian lebih lanjut soal ini, periksa: Selo Soemardjan, 1972, Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan, Jakarta: UI, hlm. 22. 14
Jalur litigasi ini bersifat ‘pertentangan’ antar para pihak. Oleh karena itu, proses litigasi selalu menghasilkan bentuk penyelesaian yang menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang (a winner’) dan pihak lain sebagai yang kalah (‘a loser’). Menurut definisi dari Black, “Adversary system. The jurisprudential network of laws, rule and procedures characterized by opposing parties who contened against each other for a result favourable to themselves. In such system, the judge act an independent megistrate rather than prosecutor; distinguished from inquisitorial system’, lihat dalam H.C. Black, Op.cit., hlm.34. Keberadaan adversary system pada hakekatnya digunakan untuk mendapatkan suatu kebenaran berdasarkan hukum. Metode untuk mendapatkan suatu kebenaran berdasar adversary ditentukan berdasar pada sistem hukum yang dianut, common law system atau civil law system. Berdasar common law system, menurut M. Freedman, the adversary system assumes that the most efficient and fair way of determining the truth is by presenting the strongest possible case for each side of the controversery before an impartial or jury. Lihat dalam Riskin dan Westbrook, 1987, Dispute Resolution and Lawyers, American Casebook Series, St. Paul, Minn., West Publishing Company, hlm.56-57. Di samping itu Fuller, juga mengemukakan bahwa “Dengan adanya sistem perlawanan ini justru membantu hakim untuk mengambil putusan tidak semata-mata dengan penglihatannya sendiri, tapi berdasar pada dalih-dalih yang dikemukakan pihak-pihak yang berperkara. Bahkan sistem perlawanan justru merupakan sarana yang mungkin paling efektif guna memerangi keburukan birokrasi.” Untuk memahami lebih lanjut filosofi sistem perlawanan (adversary system) di Amerika Serikat, lihat tulisan Lon L. Fuller, “Sistem Perlawanan”, dalam Harold J. Berman, 1996, Ceramah-Ceramah tentang Hukum Amerika Serikat, terjemahan Gregory Churchill, Jakarta, PT.Tatanusa, hlm.27-37. Sedangkan adversary, berdasarkan inquisitorial adalah an attempt to ascertain legal truth in disputes through oligarchial judicial control that places foremost value on the integrity of the substantive law. Discounting confrontational debate as a means of discovering th truth of disputed circumstances, it attributes significant weight to written evidence, an active role to judge in the discovery of facts, and a central authority to the court in the conduct of proceeding. Lihat Thomas E. Carbonneau, 1989, Alternatif Dispute Resolution, Melting the Lances and Diemounting the Steeds, Chicago, University of Illinois, hlm. 26. 15
Dalam pandangan Ahmad Ali, konsep makro ini tidak lepas dari kesadaran munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Dalam hal ini, hukum diidentikkan dengan “negara.” Di dalam masyarakat pra-negara pun terdapat aturan-aturan yang bersifat memaksa terhadap warga masyarakatnya, seperti tentang bagaimana warga harus bertindak jika terjadi konflik, umpamanya jika ternak dicuri, dan orang menyangkal bahwa salah seorang dari suku tersebut yang telah melakukannya. Diskusi yang menarik soal ini, periksa: Achmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan, Jakarta: STIH IBLAM, hlm. 59-60.
sengketa kearah win-win solution.16 Penggunaan salah satu paradigma tersebut ditentukan oleh konsep tujuan penyelesaian sengketa yang tertanam di pikiran masyarakat17, kompleksitas serta tajamnya status sosial yang terdapat dalam masyarakat18, dan budaya atau nilai-nilai19 masyarakat20. Dari kedua paradigma tersebut, PLg yang mengandalkan
perangkat
lembaga peradilan sebagai institusinya telah mewabah penggunaannya selaras dengan makin derasnya infiltrasi hukum modern di setiap penjuru dunia.21 Dalam konstelasi sistem hukum modern, keberadaan lembaga peradilan 16
Dalam literatur ilmu sosial pada umumnya, hal ini berkaiatan dengan salah satu pendekatan untuk menyoroti masyarakat sebagai suatu sistem sosial adalah pendekatan struktural fungsional (sering juga disebut sebagai Harmonic Model atau Consensus Model) yang secara garis besar mempergunakan anggapan-anggapan dasar, antara lain sebagai berikut: (1) Masyarakat merupakan sistem aksi yang dibentuk dari interaksi sosial yang terjadi antara berbagai individu yang tumbuh atas dasar suatu standar penilaian umum yang telah disepekati; (2) Faktor integratis yang paling pokok adalah konsensus dari pada warga masyarakat soal nilai-nilai kemasyarakatan tertentu; dan (3) Masyarakat mempunyai kecenderungan yang kuat untuk bergerak ke arah suatu derajat keseimbangan tertentu. Diskusi soal ini, periksa: Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi…., hlm. 131-132. 17
Dalam skala makro, Yasraf Amir Pilliang yang mengutip pendapat Allen Tough menegaskan bahwa memahami keyakinan umum (common belief) yang hidup dalam masyarakat, memahami mengapa orang-orang bertindak-tanduk tertentu, dan memahami lembaga atau institusi apa yang dapat menghasilkan tingkah laku individual atau kelompok yang peduli terhadap peradaban manusia dalam jangka panjang merupakan cara untuk merubah paradigma sosial untuk merubah pandangan dunia. Lihat: Yasraf Amir Pilliang, op.cit., hlm.278. 18
William J. Chambliss & Robert B. Seidman, 1971, Law, Order, and Power, Massachusetts, Addison-Wesley Publishing Company, hlm.33-34. 19
Menurut R.M. William, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, nilai-nilai tersebut mencakup faktor-faktor sebagai berikut: (1) nilai-nilai merupakan abstraksi dari pengalaman –pribadi sebagai akibat dari proses interaksi sosial yang kontinyu; (2) nilai-nilai senantiasa harus diisi dan bersifat dinamis oleh karena didasarkan pada interaksi sosial yang dinamis pula; (3) nilai-nilai merupakan suatu kriteria untuk memilih tujuan di dalam kehidupan sosial; dan (4) nilai merupakan sesuatu yang menjadi penggerak manusia ke arah hasrat hidupnya, sehingga nilai-nilai merupakan faktor yang sangat penting di dalam pengarahan kehidupan sosial maupun kehidupan pribadi dari manusia. Uraian lebih lanjut soal ini, periksa: Soerjono Soekanto, 1995, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 66-72. 20
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, cara penyelesaian terhadap sengketa atau konflik tidak lain merupakan refleksi dari sistem sosial dan pandangan atau nilai-nilai masyarakat terhadap konflik itu sendiri. Soetandyo Wignjosoebroto, “Mencoba Memahami Pola Perilaku Pemakai Jalan Raya,” Yuridika No.8., 1988, hlm.41. 21
Dalam titik ini, terjadi situasi di mana orang atau masyarakat terlalu mengandalkan hukum. Padahal dengan mengandalkan hukum, maka setiap orang merupakan ancaman bagi yang lain. Saling khawatir dan tidak percaya berkembang di masyarakat sehingga pengendalian hukum jenis yang lain cenderung menghilang. Ketergantungan yang berlebihan pada hukum dapat meningkatkan pelanggaran dan mengurangi tindakan pencegahan kejahatan, karena warga cenderung mengurangi pengawasan. Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Muhari Agus Susanto, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang: Averroes Press, hlm. 84-88.
diantaranya mengemban tugas menyelesaikan sengketa untuk menegakan rule of law.22 Keberadaan pengadilan yang dimaksudkan sebagai sarana fasilatatif23 untuk menegakan wibawa hukum dengan jalan memberikan akses keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat sengketa. Akan tetapi di dalam perkembangannya, penyelesaian sengketa
menggunakan PLg dihinggapi formalitas yang
berlebihan, tidak efisien dan efektif, mahal, perilaku hakim yang memihak, dan hasil putusan hakim yang seringkali mengecewakan pencari keadilan24. Puncak dari kekecewaan tersebut telah menyebabkan masyarakat tidak menaruh hormat pada lembaga peradilan, sehingga timbul krisis kewibawaan dan kepercayaan pada lembaga peradilan.25 Pada aras yang demikian, hukum menciptakan semacam realitas hukum yang melampaui (post-justice), yaitu sebuah dunia hukum, yang di dalamnya pengadilan (court) dan keadilan (justice) hidup dalam 22
Asumsi normatif sebagai dasar fenomena ini adalah bahwa fungsi hukum adalah menertibkan pemecahan konflik. Secara tidak langsung, hukum, dalam hal ini pengadilan, baru beroperasi setelah adanya konflik, yaitu jika seseorang mengklaim bahwa kepentingannya sudah diganggu oleh pihak lain. Tugas pengadilana dalah untuk membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dari gangguan terciptanya kerjasama. Periksa: Achmad Ali, op.cit., hlm. 60. 23
Hukum pada dasarnya mempunyai fungsi represif, fasilitatif, dan ideologi. Lihat Dragan Milovanovic, 1994, A Primer in the Sociological of Law, Second Edition, New York, Harrow and Heston, hlm. 8. 24
Menurut Yahya Harahap, “pengadilan di manapun memang tidak didesain untuk melakukan pekerjaan yang efektif dan efisien. Di pengadilan banyak sekali faktor yang terkait. Sebab itu, penyelesaian sengketa dengan cara litigasi bisa bertahun-tahun. Bahkan, sampai puluhan tahun”, Kompas, “Pengadilan Tak Efektif Selesaikan Perkara”, 16 Juli 1999. Sebenarnya ketentuan perundang-undangan di Indonesia telah memberi mandat pada lembaga peradilan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (lihat dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai pengganti No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas undang-undang No.14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Bahkan Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran No. 1 tahun 1962, Surat Edaran No.4 tahun 1963, Surat Edaran No.6 Tahun 1992, dan Surat Edaran No.3 Tahun 1998, Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, menganjurkan agar perkara yang ditangani oleh pengadilan negeri atau pengadilan tinggi harus sudah selesai dalam waktu 6 bulan. Namun demikian, pelaksanaannya proses beracara di pengadilan untuk mendapatkan sebuah putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap bisa membutuhkan waktu sampai puluhan tahun 25
Persoalan ini, terlepas dari konteks perkara, penting untuk dilakukan karena suatu masyarakat menghadapi krisis apabila eksistensinya terancam karena suatu proses disintegrasi mengganti fungsi sistemnya. Di sini masyarakat menghadapi masalah untuk survival atau menjadi soal to be or not to be. Maka kalau masyarakat tidak mampu mengatasinya, ia akan terancam dengan kepunahan. Ada kalanya krisis muncul sebagai fase transisional, yaitu apabila ditemukan norma atau nilai baru untuk memulihkan keutuhan masyarakat itu. Periksa: Sartono Kartodirdjo, 2006, Sejak Indische sampai Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 42.
wujud simulakra, di dalam wujud topeng-topeng keadilan, di dalam mekanisme seolah-olah adil (as if). Keadilan berkembang di dalam wujud simulasinya, yang menampilkan citra-citra konkret sebagai signifier (pengadilan, terdakwa, jaksa, hakim, saksi konkret) menampakkan aksi-aksi sosial yang faktual, akan tetapi semuanya hadir dalam wujud simulasinya.26 Namun demikian, karena kurangnya pemahaman masyarakat di mana orientasi penertiban konflik pada PnLg, pikiran masyarakat Indonesia selama ini masih tetap
terpola dengan
penggunaan PLg untuk menyelesaikan
sengketanya. Dalam hal ini apapun kondisinya, masyarakat tetap membawa sengketanya untuk diselesaikan melalui lembaga peradilan. Banyaknya sengketa yang terjadi di masyarakat telah menjadikan perkara yang ditangani lembaga peradilan banyak menumpuk dan terlambat untuk terselesaikan. Bahkan penumpukan
perkara di Mahkamah Agung telah mencapai
belasan ribu
perkara. Kondisi ini jelas merugikan dan mengganggu produktivitas pihakpihak bersengketa yang sebenarnya mempunyai hak mendapatkan kesempatan seluas-luasnya
untuk
mengakses
keadilan
melalui
berbagai
lembaga
penyelesaian sengketa (access to justice). Pendek kata, semangat menggunakan PLg telah menciptakan realitas sosial27 sebagai perilaku hukum masyarakat Indonesia. Untuk mengurangi beban penggunaan
PLg, suatu pendekatan
dan
perilaku yang sudah lama digunakan oleh masyarakat, yang juga mendapat
26
Yasraf Amir Piliang, 2004, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika, Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 298. 27
Peter L. Berger dan Thomas Luckman berbicara mengenai sebauh konsep sosiologi tentang realitas. Apa yang diterima sebagai realitas, sebagai pengetahuan, semuanya dikonstruksi secara sosial, artinya dibentuk oleh masyarakat di mana realitas itu mengambil tempat. Kita hidup di sebuah dunia, di mana pengetahuan direpresentasikan lewat tanda-tanda (sign), yang mempunyai makna (meaning) tertentu bagi kita. Akan tetapi tanda-tanda tersebut bukan ciptaan kita, melainkan telah disediakan oleh elit-elit (produser media) bagi kita sebagai anggota masyarakat untuk dipahami kode-kode sosial (social code) dan maknanya, dan makna-makna tersebut akan mencetak diri kita secara sosial. Uraian lebih lanjut soal ini, periksa: Peter L. Berger dan Thomas Luckman, 1981, The Social Construction of Reality, Penguin Books, hlm. 49-61.
dukungan dari negara28, merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, kalau hal itu dibiarkan berjalan secara alami. Memasukkan konsep pemikiran ‘alternatif penyelesaian sengketa’ agar menjadi bagian dari perilaku masyarakat untuk menyelesaikan sengketa, dan agar lembaga yang telah digali atau diciptakan tersebut bisa bersanding dengan lembaga
peradilan, nampaknya
sulit kalau hanya mengandalkan pada hukum positif yang diberlakukan oleh negara.29 Oleh karena itu, dipandang perlu untuk melakukan kreativitas30 yang terencana dengan membangun
PnLg secara berkelanjutan pada masyarakat
Indonesia.31 Pemahaman paradigma di sini dimaksudkan bukan paradigma sebagai kode etik menurut Merton, tapi paradigma sebagai pandangan hidup menurut Kuhn32. Paradigma33, sebagai pandangan hidup dalam kaitannya dengan tulisan 28
Hal ini menunjukkan bahwa campur tangan negara dalam memberlakukan pranata dalam masyarakat menjadi penting. Negara adalah konstelasi sistem yang memiliki perangkat-perangkat untuk mengatur ketertiban tatanan sosial. Di dalamnya terdapat aparatus negara, sistem pemerintahan, dan sistem hukum yang memonopoli kekerasan. Periksa: Chris Panggabean, “Negara Pawang” dan Keindonesiaan”, Kompas, 22 Mei 2006, hlm. 42. 29
Dalam konteks ini, penting dikaitkan dengan proses pembudayaan. Konsepsi ini mencakup ruang lingkup yang sangat luas, yang intinya adalah proses belajar baik melalui imitasi, sugesti, identifikasi, maupun simpati. Jadi proses ini meliputi proses difusi yang merupakan proses melalui mana ide-ide menyebar dari sumber-sumbernya sampai kepada ide-ide tersebut diadopsi oleh warga masyarakat kepada siapa ide itu ditujukan. Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi…., op.cit., hlm. 129-141. 30
Kreativitas di sini maksudnya adalah kreativitas konstruktif (constructive creativity), yaitu kreativitas dalam membangun sesuatu yang belum ada sebelumnya, memecahkan masalah ke arah yang lebih baik, menemukan hal-hal baru yang lebih nyaman, indah, teratur dan sebagainya. Periksa: Yasraf Amir Piliang, Posrealitas…., op.cit., hlm. 242. 31
Pada bagian-bagian masyarakat dengan struktur yang relatif homogin, pembudayaan hukum harus dimulai dari bawah oleh karena hukum timbul dan tumbuh secara pararel dengan pengalamanpengalaman hidup masyarakat dan diplehara melalui sistem pengendalian sosial yang langsung. Semakin heterogen struktur masyarakat, semakin besar kebutuhan akan pengaturan dari atas, karena semakin meningkatnya diferensiasi sosial. Pemahaman struktur masyarakat Indonesia dikaitkan dengan upaya penyebaran paradigma PnLg sangat penting untuk dikaitkan titik taut utama agar menjadi tata kelakuan yang menjadi pranata primer. Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Ibid., hlm. 140. 32
Lihat Thomas Kuhn, 1970, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago, University of Chicago Press, 1970, hlm.VIII. Salah satu definisi paradigma menurut Kuhn adalah sebagai “...Universally recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners”. 33
Kaitannya dengan penggunaan istilah ‘paradigma’ dalam bidang Hukum, menurut Satjipto Rahardjo, paradigma adalah suatu konsep tentang hal-hal yang besar dan mendasar. Seringkali paradigma dipakai sebagai sinonim dari model. Lihat Satjipto Rahardjo, “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia dalam
ini dapat diartikan sebagai kesatuan asumsi-asumsi, konsep, nilai-nilai dasar yang diyakini,
dipercaya dan digunakan secara terus menerus dalam
masyarakat untuk menentukan cara atau arah dalam menyelesaikan sengketa. Dikaitkan dengan Paradigma Non-litigasi (PnLg), maka melahirkan pemahaman bahwa PnLg berarti kesatuan asumsi-asumsi, konsep, nilai-nilai
dasar yang
diyakini dan digunakan masyarakat secara terus menerus untuk menentukan cara dalam menyelesaikan sengketa dengan tidak menggunakan nilai-nilai yang melekat pada paradigma litigasi atau nilai-nilai adversarial (pertentangan), yang menghasilkan penyelesaian sengketa win-lose solution, tapi mendasarkan pada konsensus atau musyawarah demi mencapai kepentingan bersama atau win-win solution.34 Dalam karya tulis ini memang sengaja digunakan istilah PnLg bukan ADR (Alternative Dispute Resolution)35 suatu terminologi yang telah umum
Perspektif Sejarah, makalah dalam Simposium Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang 10 Februari 1998, hlm.6. Soetandyo Wignjosoebroto cenderung mengartikan sebagai pendapat fundamental tentang apa yang seharusnya dipelajari oleh suatu ilmu. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, makalah pada acara Simposium Nasional Ilmu Hukum tentang Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Semarang, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, 10 Februari 1998. Lihat Arief Sidharta, “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif Positivis”, makalah pada acara Simposium Nasional Ilmu Hukum tentang Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Semarang, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, 10 Februari 1998. Lihat kupasan menarik tentang pemahaman paradigma versi Erlyn Indarti, “Paradigma: Jati Diri Cendekia”, Makalah Diskusi Ilmiah Program Doktor Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 1 Desember 2000; dan Orasi Ilmiahnya dengan judul “Menjadi Manusia Merdeka, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Hukum untuk Membangun Masyarakat Madani”, disampaikan dalam rangka Dies Natalis Ke-44 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 8 Januari 2001, hlm.14-15. Lihat juga penggunaan istilah paradigma menurut Mahrus Irsyam, “Paradigma TNI: Gerakan Reformasi”, Kompas, 5 Oktober 1999. 34
Pemahaman ini dapat disebandingkan dengan makna bahwa paradigma merupakan pandangan mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oelh suatu cabang pengetahuan (dicipline). Jadi, sesuatu yang menjadi pokok persoalan dalam cabang ilmu menurut versi ilmuwan tertentu. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalanpersoalan apa yang mesti dijawab, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam mengintepretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut. Periksa: Muhari Agus Santoso, op.cit., hlm. xiii. 35
ADR merupakan suatu atribut gerakan reformasi hukum pada awal 1970 di Amerika Serikat, ketika banyak pengamat hukum dan komunitas akademik mulai menaruh perhatian pada meningkatnya krisis dan ketidakpuasan masyarakat pada jalur litigasi. Istilah ADR ini menjadi terkenal ketika pada tahun 1976, mantan chief justice Warren Burger memaparkannya dalam suatu Conference on the Cause of Popular Dissatisfaction, di Saint Paul, Minnesota. Secara resmi, istilah tersebut diadopsi oleh American
digunakan untuk menyebut penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan. Ada sekurang-kurangnya 3 (tiga) alasan yang melatar belakangi hal tersebut, yaitu: pertama, diterjemahkan
‘alternatif
di Indonesia, terminologi ADR telah resmi penyelesain
sengketa’
yang
berarti
lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli36. Sementara itu, konsep PnLg tidak terhenti pada ranah lembaga belaka, tetapi sampai pada nilai-nilai yang menjadi pegangan, keyakinan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa. Kedua, di Indonesia, ADR seringkali hanya diasumsikan untuk menyelesaikan sengketa perdata, padahal dalam konsep PnLg tidak hanya untuk menyelesaikan sengketa perdata tapi juga melintas sengketa-sengketa yang masuk yuridiksi pidana. Ketiga, kata ‘alternatif’ dalam terminologi ADR seringkali selain lembaga pengadilan, hal ini berarti
diartikan
Arbitrase juga masuk dalam
kelompok ADR. Padahal dalam lingkup pemahaman PnLg, arbitrase dianggap tidak termasuk di dalamnya37, karena Arbiter38 dalam memberikan putusan masih menggunakan pendekatan adversarial (pertentangan) dengan hasil winlose solution.
Bar Association (ABA) pada tahun 1976 melalui pendirian komisi khusus ADR. Lihat dalam Nolan-Haley, 1992, Alternative Dispute Resolution, St. Paul, Minnesota, hlm.4-5. 36
Lihat Pasal 1 butir (10) Undang-undang No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 37
Banyak literatur yang mendefinisikan ADR selain ‘lembaga pengadilan’, sehingga arbitrase masuk dalam kelompok ADR. Oleh karena itulah dalam karya tulis ini digunakan definisi ADR menurut Henry Brown dan Arthur Marriott yang menyatakan ADR as ‘a range of procedures which serve as alternative to the adjudicatory procedures of litigation and arbitration for the resolution of disputes, generally but not necessarily involving the intercession and assistance of a neutral third party who helps to facilitate such resolution’. Lihat Henry J. Brown and Arthur Marriott, 1993, ADR Principles and Practice, London, Sweet & Maxwell, hlm. 9. 38
Arbiter adalah seseorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Lihat Pasal 1 butir (7) Undangundang No. 30 tahun 199 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Meminjam perjalanan munculnya suatu paradigma ilmu dari Kuhn, yang dimulai dari paradigma lama kemudian timbul krisis yang kemudian muncul paradigma baru.39 Di samping itu juga meminjam pola pikir Giddens yang menganggap ‘krisis’ merupakan suatu keadaan yang mengganggu ‘rutinitas’ praktik sosial sehingga menyebabkan sesuatu menjadi tidak bisa diramal dan menghancurkan rasa kedatangan masa depan. Untuk itu dengan reflexivity yang dimiliki manusia perlu melakukan penilaian dan menyusun kembali praktikpraktik sosial yang mengalami krisis. Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa, keberadaan PLg pada mulanya diandalkan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat modern, namun dalam perkembangannya PLg
ternyata mengalami krisis sehingga kehilangan kewibawaan dan
kepercayaan dari masyarakat. Adanya krisis yang dialami PLg
inilah yang
mendorong dikembangkan atau dimunculnya kembali PnLg untuk digunakan sebagai alternatif pilihan
untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Dengan
perkataan lain, pembangunan PnLg dilakukan karena adanya krisis yang dialami PLg dalam menyelesaikan sengketa.40 Penting juga dicatat, tawaran pembangunan PnLg tidaklah bermaksud meniadakan PLg. Seperti diuraiakan di muka, krisis yang dialami oleh PLg, yang berarti di dalamnya memuat suatu ketidakteraturan fondasi dan sistem hukum, akan menggiring dunia realitas ke dalam sebuah situasi kekacauan atau ketidakberaturan (disoder) yang tanpa
39
Substansi konsep paradigma dari Thomas Kunh menyatakan bahwa perkembangan ilmu pegetahuan terjadi secara revolutif dan bukan terjadi secara akumultatif. Dengan landasan ilmu alam, Kuhn mengamati bahwa ilmu pengetahuan pada periode tertentu berlaku paradigma tertentu yang dianut oleh oleh komunitas ilmu yang bersangkutan. Meskipun demikian, pertentangan-pertentangan tidak dapat dihindari karena terjadi penyimpangan dan paradigma yang berlaku tidak mampu menyelesaikannya secara tuntas. Jika krisis memuncak, maka timbul keraguan terhadap paradigma yang berlaku, dan suatu revolusi ilmiah akan terjadi di mana di kemudian hari memunculkan paradigma baru yang mampu menjawab semua pertanyaan yang timbul sebelumnya. Lihat: Muhari Agus Santoso, op.cit., hlm. xii. 40
Asumsi normatif dari pernyataan ini adalah bahwa krisis hukum merupakan bagian dari krisis sosial. Pada tahap ini, hukum memasuki era penting yang mampu membawa perubahan sosial yang besar dan menyeluruh. Dalam hal ini hukum harus mampu mengikuti perkembangan sosial yang terjadi, supaya hukum mampu menyelsaikan masalah-masalah sosial yang bermunculan. Uraian lebih lanjut soal ini, periksa: Bouventura de Sausa Santos, 1995, Toward a New Common Sense, Law, Science, dan Politics in the Pradigmatic Trantition, London: Routledge, hlm. 108.
keberaturan (order) atau turbulensi41 tanpa determinasi. Padahal keberaturan hanya
mungkin
terbentuk
bila
ada
ketidakberaturan,
sebaliknya
ketidakberaturan hanya mungkin terjadi bila ada keberaturan. Order dan disoder bukanlah dua kondisi yang saling meniadakan, melainkan saling mendukung. Demikian pula, pasangan-pasangan binner PLg/PnLg bukanlah dua entitas yang saling meniadakan, melainkan saling mengisi di dalam sebuah relasi mutualisme sistem hukum. Pembangunan42 PnLg di sini dimaksudkan untuk melakukan revitalisasi dan merasionalisasi nilai-nilai lama masyarakat yang masih relevan dengan penyelesaian sengketa non-litigasi serta mengembangkan dan melembagakan kembali nilai-nilai tersebut untuk dibuatkan lembaga-lembaga dan peraturanperaturan yang mendukung sehingga bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Dengan adanya pembangunan tersebut diharapkan mampu memberdayakan43 penggunaan ‘alternatif penyelesaian sengketa’, sehingga
41
Turbulensi adalah sebuah keadaan antara, sebuah tapal batas: antara keadaan teramalkan dan tidak teramalkan, dan juga campuran agregat. Seandainya kita membedakan antara keadaan ketidakberaturan dan keberaturan, turbulensi adalah tengah-tengah diantara keadua keadaan ini, ia adalah keadaan, yang sulit digambarkan, sulit untuk dikaji secara ilmiah, akan tetapi bersamaan dengan itu merupakan sebuah keadaan yang umum, meluas, universal, dan sangat indah, yang di dalamnya terdapat keberaturan, sebuah keberaturan yang belum matang atau yang sudah tahap akhir, yang di dalamnya ketidakberaturan dan chaos juga ditemukan. Uraian lebih lanjut soal ini, periksa: Michel Seres, 1995, Genesis, The University of Michigan Press, hlm. 109. 42
Pembangunan adalah suatu upaya untuk mentransformasikan masyarakat dari suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik. Dalam karya tulis ini, proses transformasi tersebut diarahkan untuk melakukan modifikasi dan revitalisasi nilai-nilai lama yang masih relevan dengan kebutuhan dan konteks zaman serta mengembangkan dan melembagakan kembali nilai-nilai yang selama ini telah ada untuk dibuatkan lembaga-lembaga pendukung. Lihat Wardiman Djojonegoro dalam Yaya M. Abdul Aziz, ed., 1998, Visi Global Antisipasi Indonesia Memasuki Abad ke 21, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Satjipto Rahardjo, “Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia”, Analisis CSIS. No.1, Tahun 1993, h. 64-73. Adi Sulistiyono, “Restorasi Pembangunan Hukum Nasional”, Justisia, No.32, Tahun 1995. Menarik untuk disimak gagasan Esmi Warasih, yang menawarkan Human Action Planing Model. Warasih, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNDIP, 2001, hlm. 33. 43
Berdasarkan sejarah, munculnya konsep pemberdayaan merupakan reaksi adanya sistem yang terdapat dalam masyarakat yang serba determinis yang menyebabkan terjadinya proses alienasi dan dehumanisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan. Lihat A.M.W. Pranarka dan Vidhandika Moeljarto, “Pemberdayaan (Empowerrment),” dalam Onny S. Prijono dan A.M.P. Pranarka (ed.), 1996, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta, CSIS, hlm.44-70. Bila konsep ini ditarik dalam bidang penyelesaian sengketa, hal ini mengandung makna bahwa determinis paradigma litigasi
PnLg menjadi bagian perilaku masyarakat dalam menyelesaikan sengketa, dan juga akan tercipta banyak ‘ruang’ bagi masyarakat bisnis untuk access to justice; serta akan tersedia jalur alternatif atau non-litigasi yang mampu memberikan pelayanan penyelesaian sengketa secara efisien44 dan efektif45. Penyelesaian sengketa menggunakan alternatif penyelesaian sengketa memang bukan merupakan panacea46 yang mampu mengatasi semua sengketa,
dalam masyarakat justru telah menyebabkan masyarakat teralienasi dengan keadilan. Oleh karena itu, agar masyarakat mudah menjangkau keadilan, perlu adanya paradigma alternatif yang dipakai masyarakat untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Paradigma non-litigasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya telah lama ada di masyarakat, namun demikian akibat arus modernisasi yang tidak terantisipasi dengan baik telah menyebabkan paradigma tersebut kehilangan pamornya. Dengan adanya pembangunan PnLg, diharapkan akan dapat memberdayakan (empowerment) penggunaan ‘alternatif penyelesaian sengketa’. Pemberdayaan di sini berarti mengandung makna meningkatkan peran penggunaan ‘alternatif penyelesaian sengketa’ sehingga bisa mengurangi peran (depowerment) jalur litigasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis. 44
Efficiency will refer to relationship between the aggregate benefit of a situation and aggregate cost of the situation . A.Mitchell Polinsky, 1983, An Introduction to Law and Economics, Boston, Toronto, Little, Brown and company, hlm.7. Menurut beberapa pakar ekonomi, bidang hukum bisa bermanfaat dan membantu bidang ekonomi apabila hukum bisa bekerja dan menciptakan kondisi secara efisien. Lihat Hernando de Soto, 1991, Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi di Negara Ketiga, diterjemahkan oleh Masri Maris, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm. 241; Djunaedi Hadisumarto, “ Sambutan Pembukaan Seminar Sehari Implikasi Reformasi Hukum Bisnis Terhadap Perekonomian Indonesia”, dalam seminar diselenggarakan oleh Program Magister Manajemen Universitas Indonesia, tanggal 8 Desember 1993, hlm.10, dan Normin Papahan, “Pengaruh Hukum Ekonomi Terhadap Pembangunan Hukum di Indonesia, makalah disampaikan ceramah ilmiah di Fak. Hukum UNS Surakarta, 1995, hlm.2. Menurut Douglass C. North, seorang pemegang hadiah Nobel tahun 1993 dalam Ilmu Ekonomi, kunci untuk memahami peranan hukum dalam mengembangkan atau bahkan menekan pertumbuhan ekonomi terletak pada pemahaman konsep ekonomi ‘transaction costs’ atau biaya-biaya transaksi. ‘Transaction cost’ dalam konteks ini adalah biaya-biaya yang harus ditanggung untuk mencapai suatu transaksi ekonomi.Lihat dalam Djunaedi Hadisumarto, ibid, 1993, hlm. 6. 45
Berkaitan dengan bekerjanya hukum secara efektif, dapat mengacu pada pandangan beberapa pakar sosiologi hukum. Lihat L.M. Friedman, Op.cit., h. 67-166; Satjipto Rahardjo, “Budaya Hukum dalam Permasalahan Hukum di Indonesia”, Seminar Hukum Nasional IV, Jakarta, BPHN, 1979, h.41-42; dan Suryono Sukanto, “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 1983, hlm. 2-3. 46
ADR is not the panacea which cures all ills: neither is it suitable for all disputes, particularly those involving the liberty or rights of the citizen, nor for those cases of general commercial importance where an authoritative judicial decision in required on matter of commercial principle. Arthur Marriot, “The Role of ADR in the Settlement of Commercial Disputes”, Asia Pasicif law Review, Vol 1 Summer 1994, hlm. 1-19. Lihat juga Edwart, “Alternative Dispute Resolution: Panacea or Anathema, Harv. Law. Rev. 668, 1986, hlm. 675-682. Menurut Edwart, A potential danger of ADR is that disputants who seek only understanding and reconciliation may treat as irrelevant the choices made by our lawmakers and may, as aresult, ignore public values reflected in rules of law.
namun demikian dengan menggunakan jalur ini sekurang-kurangnya ada 8 (delapan) keuntungan yang bisa diperoleh 47, yaitu: 1. Untuk mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di lembaga peradilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan. 2. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa. 3. Untuk memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat. 4. Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak (win-win solution). 5. Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah. 6. Bersifat tertutup/rahasia (confidential) . 7. Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihak-pihak bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik. 8. Mengurangi merebaknya “permainan kotor”48 dalam lembaga peradilan.
47
Lihat S.B. Golberg, F. Sander, and N.H. Rogers, 1992, Dispute Resolution: Negotiation, Mediation, and Other Processes, Boston, Toronto, Little, Brown and Company, hlm. 8; Jacqueline M. Nolan-Haley, 1992, Alternative Dispute Resolution, Toronto, West Publishing Coo. Thomas E. Carbonneau, op.cit. Muladi, “Sambutan Menteri Kehakiman pada Seminar Sehari Tentang Court Connected ADR”, Depkeh R.I., 21 April 1999, hlm. 3; H.P. Panggabean, “Potensialitas Pengembangan Court Connected ADR di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Tentang Court Connected ADR, Dep. Kehakiman RI, 21 April 1999, h. 2. Lihat juga Christopher W. Moore, 1995, The Executive Seminar on Alternative Dispute Resolution Procedure, Colorado, CDR. Associates, hlm.1-2. 48
Istilah ini digunakan oleh Barda Nawawi Arief untuk mengganti istilah “mafia peradilan”. Lihat dalam “Kebijakan Pengembangan Peradilan”, makalah Seminar Nasional Reformasi Sistem Peradilan Dalam Menanggulangi Mafia Peradilan di Indonesia, Semarang, FH.UNDIP, 6 Maret 1999.
Keuntungan tersebut diharapkan juga bisa menjadi modal pendorong dilakukannya pembangunan PnLg, sehingga hasilnya mampu memberdayakan penggunaan alternatif penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan seluruh sengketa di bidang bisnis. Namun sayang
sampai sekarang masyarakat
Indonesia belum tergugah untuk menggunakan PnLg, walaupun pemerintah dan Mahkamah Agung telah mengeluarkan peraturan untuk memasyarakatkan penggunaan PnLg. Berkaitan dengan hal tersebut, maka karya tulis ini hendak meneropong secara mendalam faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya krisis dalam lembaga peradilan di Indonesia dan implikasi adanya krisis tersebut pada kredibilitas PLg. Diangkatnya dan terungkapnya krisis dalam lembaga peradilan Indonesia, yang merupakan tulang punggung PLg, akan semakin memperkuat atau merangsang gerakan di masyarakat
perlunya pemberdayaan alternatif
penyelesaian sengketa. Sehingga diharapkan, masyarakat mempunyai ruang yang luas untuk akses keadilan dan tidak lagi hanya mengandalkan penggunaan PLg untuk menyelesaikan sengketa yang dialaminya. Lebih jauh, karya tulis ini hendak juga mengangkat ke permukaan keuntungan yang diperoleh apabila PnLg menjadi bagian perilaku masyarakat untuk menyelesaikan sengketa. Lewat ujaran-ujaran keuntungan-keuntungan dan
penggunaan PnLg di berbagai negara diharapkan akan
merangsang
masyarakat, pelaku bisnis, pemerintah, atau lembaga peradilan untuk memanfaatkan sarana tersebut. Selanjutnya juga berusaha mendapatkan langkah yang tepat untuk digunakan mendukung pembangunan PnLg. Dengan berbekal pada teori para pakar, budaya masyarakat, dan data empiris yang ada, diharapkan akan ditemukan suatu langkah yang tepat untuk memasyarakatkan PnLg dalam kehidupan sehari-hari. Dengan usaha tersebut diharapkan pembangunan PnLg tidak terjebak hanya pada pembuatan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan dalam bidang alternatif penyelesaian sengketa, atau hanya sekedar membuat lembaga-lembaga alternatif penyelesain sengketa.
Yang lebih penting di sini justru bagaimana pembangunan PnLg mampu menjadikan kembali nilai-nilai musyawarah atau konsensus atau perdamaian menjadi bagian perilaku masyarakat untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Hasil paparan dalam karya tulis ini kiranya akan bisa memberikan pikiran alternatif bagi ilmuwan hukum, praktisi hukum dan mahasiswa fakultas hukum bahwa lembaga peradilan bukan satu-satunya lembaga yang mampu mendistribusikan keadilan (keadilan distributif) pada pihak-pihak yang bersengketa di bidang bisnis. Dengan adanya kesadaran itu diharapkan mereka akan mengembangkan secara teori, keadilan yang tumbuh, muncul atau bersumber dari pihak-pihak yang bersengketa atau dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat (keadilan komutatif). Harapan yang lebih luas, penulis mencoba memaparkan pemahaman yang mampu menembus batasbatas, pagar-pagar yuridiksi yang telah dibangun dalam sistem hukum di Indonesia yang selama ini hanya memberikan kewenangan yang terbatas pada lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Dengan adanya pembangunan ini, lembaga alternatif penyelesaian sengketa tidak lagi hanya sebatas menangani perkara-perkara perdata, tapi juga perkara-perkara pidana tertentu. Keberadaan lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien, dalam jangka panjang di samping menguntungkan pelaku bisnis lokal, juga dapat meningkatkan kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, karena merasa adanya kepastian hukum bila terjadi suatu sengketa.Pada akhirnya, ada semacam hasrat pribadi penulis agar apa yang diuraikan dalam tulisan ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi ilmiah tentang model penyelesaian sengketa bisnis
di Indonesia, dan juga dapat
dijadikan sumber informasi ilmiah untuk acuan penyelesain sengketa bisnis.
B. Ranah Permasalahan
pembangunan hukum
Berdasarkan kondisi yang telah dikemukakan di muka, maka sudah saatnya di Indonesia dilakukan pembangunan PnLg untuk memberdayakan alternatif penyelesaian sengketa sehingga bisa menjadi sarana alternatif yang dipercaya oleh masyarakat untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Untuk itu, tema sentral yang diangkat dalam karya tulis ini adalah Membangun Paradigma Non-Litigasi Dalam Rangka
Memberdayakan
Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis. Ada 2 (dua) permasalahan penting
hendak
dibahas yang berkaitan dengan tema utama karya tulis ini, yaitu: 1) Apa yang menyebabkan krisis yang terjadi dalam lembaga peradilan dan seberapa parah krisis lembaga peradilan di Indonesia, sehingga sampai menyebabkan Paradigma Litigasi masyarakat? 2)
kehilangan kewibawaan, kredibilitasnya di hadapan
Penggunaan Paradigma Non-Litigasi untuk menyelesaikan
sengketa mempunyai banyak keuntungan. Namun sampai sekarang, walaupun masyarakat Indonesia mempunyai budaya musyawarah, Paradigma NonLitigasi kurang berkembang untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Langkah apa saja yang harus diambil agar Paradigma Non-Litigasi bisa menjadi salah satu pilihan pendekatan yang dipercaya masyarakat untuk menyelesaikan sengketa bidang bisnis?
C. Pijakan Teoritis Setiap masyarakat bisnis memiliki tujuan, keyakinan,
tradisinya atau
perhitungannya sendiri dalam mengelola atau menentukan cara penyelesaian sengketa yang dihadapinya.49 Masyarakat dalam hal ini
49
bisa menjangkau
Sehubungan dengan hal ini, menarik untuk dikaji secara makro perihal kaitan antara pola interaksi sosial dengan perikelakuan masyarakat, termasuk dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa. Ada 4 (empat) model, yaitu: (1) Model “traditional integrated group”, yaitu jika wargamasyarakat berperikelakuan terhadap warga masyarakat lainnya atas dasar kaidah dan nilai sama sebagaimana diajarkan oleh warga masyarakat; (2) Model “audience” yaitu interaksi yang didasarkan pada pengertian sama yang diajarkan oleh sumber secara individual” (3) Model “public” yaitu interaksi yang didasarkan pada pengertian sama yang diperoleh melalui komunikasi langsung; dan (4) Model crowd, yaitu interaksi yang didasarkan pada perasaan yang sama dan keadaan fisiologis yang sama. Periksa: Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 137.
keadilan dengan menggunakan PLg atau PnLg. Keadilan50 yang dicapai melalui pendekatan PLg dinamakan keadilan distributif51, sedangkan keadilan yang diperoleh melalui pendekatan PnLg dinamakan keadilan komutatif.52 Dalam bahasa Marc Galanter53, berkaiatan dengan penyelesaian sengketa, masyarakat bisa mendapatkan keadilan melalui forum resmi yang telah disediakan oleh negara (pengadilan), maupun forum tidak resmi yang terdapat di masyarakat. Keadilan
yang
diperoleh
oleh
pihak-pihak
yang
bersengketa
melalui
pendistribusian secara eksklusif oleh negara, dalam hal ini lembaga pengadilan, dinamakan
‘sentralisme
hukum’
atau
‘paradigma
Sementara itu, keadilan yang didapat oleh
sentralisme
hukum’.
pihak-pihak yang bersengketa
melalui forum-forum di luar jalur litigasi dengan mendasarkan pada hukum rakyat atau hukum pribumi dinamakan ‘desentralisme hukum’ atau ‘paradigma desentralisme hukum’. Berkaitan dengan tindakan manusia untuk melakukan suatu pilihan pendekatan, ada beberapa teori yang terkait dengan hal tersebut. Menurut teori tindakan voluntaristik Parson54, aktor adalah pelaku aktif dan kreatif serta 50
Konsep keadilan di sini mengacu pada David Hume yang berpendapat bahwa keadilan merupakan suatu keutamaan artifisial yang lahir dari kesepakatan di antara manusia. Lihat dalam A. Sony Keraf, 1997, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik, Yogyakarta, Kanisius, hlm. 47. 51
Keadilan distributif menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya (suum cuique tribuere). Jatah ini tidak sama untuk setiap orang, akan tetapi bergantung kepada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan, dan sebagainya. Yang dinilai adil di sini ialah jika setiap orang mendapat hak atau jatah secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemamp[uan, dan sebagainya. Periksa: Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm. 78. 52
Dalam hal ini keadialan komutatif memberi kepada setiap orang sama banyaknya. Dalam pergaulan di dalam masyarakat, keadilan komutatif merupakan kewajiban setiap orang terhadap sesamanya. Di sini yang dituntut adalah kesamaan. Yang adil ialah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya. Periksa: Ibid., hlm. 79. 53
54
Marc Galanter, “Justice in Many Rooms”, Op. cit., 1981, hlm. 147-180.
Teori tindakan individual voluntaristik dari Talcott Parsons ini merupakan tahap pertama dari tiga tahap refleksi teoritiknya. Teori ini terdapat dalam bukunya The Structure of Social Action (Glencoe: Free Press, 1949). Teori tindakan sudah tidak disinggung lagi oleh Parsons ketika dia mulai menyusun buku The Social System (New York, Free Press, 1951), yang mendasarkan pada teori sistem. Pada tahapan yang ketiga, ketika menyusun buku Societies, Evolutionary and Comparative Perspectives (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966) Parsons telah menggunakan teori fungsionalisme pada evolusi masyarakat.
mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif tindakan. Aktor mengejar tujuan dalam situasi di mana norma-norma mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan alat untuk mencapai tujuan. Di sisi lain, normanorma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor sendiri untuk melakukan suatu pilihan. Kemampuan inilah yang dalam teori Dengan kata lain
Parson disebut
voluntarisme adalah
sebagai voluntarisme.
kemampuan individu melakukan
tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya
ditengah-tengah kondisi dan
norma serta situasi penting lainnya yang kesemuanya membatasi kebebasan aktor. Tampilan teori aksi dari Parson di sini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada dasarnya manusia aktif, kreatif dan evaluatif dalam melakukan suatu tindakan. Namun demikian, dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa, di mana pihak-pihak yang sedang bersengketa bisa bertindak rasional, irasional ataupun emosional, sengketa
yang
tergantung pada sampai seberapa dalam dan kompleks
dialaminya,
teori
Parson
kurang
bisa
secara
lengkap
memunculkan alternatif-alternatif kemungkinan tindakan yang akan diambil oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pilihan terhadap kemungkinan tindakan yang akan diambil oleh pihakpihak yang bersengketa tidak dapat dilepaskan dari penjelasan tempat hukum dalam masyarakat.
Berdasarkan teori yang dikemukakan Parsons di atas,
tindakan individu pada tempatnya yang pertama tidaklah dilihat sebagai suatu kelakuan biologis, melainkan suatu kelakuan yang bermakna. Oleh karena itu, Parsons lebih suka menggunakan istilah action dari behavior. Tindakan seseorang itu senantiasa ditempatkan dalam kerangka suatu sistem yang besar dan yang terbagi atau terurai ke dalam subsistem-subsistem. Hal ini dapat diilustrasikan di dalam ragaan berikut ini:
Ragaan 1 Tindakan Seseorang dalam Sistem
Realitas terakhir
Sistem
-subsistem budaya tindakan;
Umum
-subsistem sosial tindakan
Tindakan
- subsistem organisme kalkuan tindakan - subsistem kepribadian tindakan
Alam fisik organik Dari ragaan di atas, tampak bahwa tindakan manusia itu dibatasi oleh 2 (dua) macam lingkungan yang masing-masing bersifat fisik dan ideal, yang disebut alam fisik organik dan realitas terakhir. Masing-masing subsistem tersebut mempunyai fungsi primernya sendiri yang dikemukakan sebagai berikut: Subsistem subsistem
Fungsi-fungsi Primer
Sosial Budaya Kepribadian Organisme kelakuan
Integrasi Mempertahankan pola Mencapai tujuan Adaptasi
Di bawah ini akan diuraikan arti dari masing-masing fungsi primer tersebut:55
55
Disarikan dari Otje Salman dan Anthon F. Susanto, op.cit., hlm. 73-75.
1.
Fungsi Adaptasi (Adaptation). Fungsi ini mempunyai hubungan yang paling dekat dengan lingkungan fisik organis. Melalui tindakan yang berupa adaptasi ini orang menyesuaikan dirinya pada lingkungan fisik organiss tersebut. Dengan demikian, adaptasi inimewujudkan diri dalam bentuk teknik-teknik untuk memanfaatkan lingkungan bagi kelangsungan hidup manusia seperti pemanfaatan teknologi dan aktivitas perekonomian;
2.
Fungsi mencapai tujuan (Goal Attainmment). Fungsi ini berhubungan dengan subsistem keperibadia, yaitu sesuatu yang merupakan perantara untuk melakukan tindakan-tindakan. Kepribadian ditujukan sebagai kategori tersendiri oleh karena ia merupakan sesuatu yang unik dan oleh karena itu diterima sebagai suatu sistem yang secara analitis adalah independen. Pencapaian tujuan merupakan prasyarat fungsional agar tindakan diarahkan kepada tujuannya;
3.
Fungsi melakukan integrasi (Integration). Ini adalah subsistem yang berhubungan erat dengan proses interaksi dalam masyarakat. Proses interaksi itu tidak cukup untuk digarap oleh fungsi mempertahankan pola saja, yaitu berupa penegakan nilai-nilai. Proses interaksi itu sendiri sebetulnya mempunyai potensi konflik sheingga menimbulkan masalah ketertiban. Oleh karena itu diperlukan suatu fungsi yang sifatnya lebih memaksa dan tidak sekadar mempertahankan asas-asas terakhir yang mengatur kehidupan masyarakat; dan
4.
Fungsi mempertahankan pola (Latent Pattern Maintence). Fungsi ini menghubungkan subsistem sosial tindakan dengan subsistem budaya. Melalui fungsi dari aktivitas yang demikian itu maka hubungan-hubungan dalam masyarakat lalu menjadi bermakna. Pemberian makna oleh subsistem budaya yang demikian itu menampakkan diri dalam bentuk penggunaan lambang-lambang dalam masyarakat. Konsep ini menunjukkan pada berhentinya interaksi.
Dalam menjelaskan teori Parsons di atas, Satjipto Rahardjo56 mengatakan bahwa subsistem-subsistem serta fungsi-fungsi tersebut di atas terhubung dalam keadaan arus hubungan yang disebut sebagai hubungan sibernitika, yaitu bahwa sistem-sistem yang memiliki informasi tinggi tetapi energi rendah mengatur sistem-sistem yang memiliki infrmasi lebih rendah tetapi energi lebih tinggi. Keempat masalah fungsional yang mendasar itu dilihat tidak sebagai tahaptahap yang memberi sifat dinamika-dinamika kelompok tugas yang kecil, melainkan sebagai dimensi-dimensi fundamental dalam ruang tindakan. Sistem sosial57
sebagai
satu
keseluruhan
juga
terlibat
saling
tukar
dengan
lingkungannya.58 Bahkan Parsons ingin menunjukkan bahwa sistem sosial itu merupakan sistem yang terbuka.59 Dari kerangka teori Parsons itu, dapat digunakan
untuk
menjelaskan
bagaimana
kedudukan
hukum
dalam
masyarakat, yaitu: 1.
Hukum ditekankan fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur atau fungsi integrasi;60
2.
Hukum sebagai sentral dari sistem-sistem dalam bentuk input dan output; dan
56
Satjipto Rahardjo, 1983, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, hlm. 29.
57
Dalam pandangan Parsons, lingkungan sistem sosial meliputi cultural and personality system, the behaviroal and othe subsystem of the organism, and, through the organism, the physical environment. Lihat: Talcot Parsons, 1961, The Social System, New York: The Free Press, hlm. 36. 58
Alur pikir ini tidak jauh berbeda dengan konsep Niklas Luhmann, yang juga mengkonsentrasikan diri lebih jauh kepada perilaku yang mengacu sistem sosial, yang disebut “jalinan keterkaitan makna dari perlaku sosial.” Artinya, fokus diletakkan pada perilaku yang menimbulkan dampak pada hubungan anggota masyarakat. Lihat: Budiono Kusumohamidjojo, op.cit., hlm. 234-235. 59
…a social system is always open, engaged in processes of tinterchange with environing system.” Ibid., hlm. 30. 60
Oleh karena itu watak pemikiran Parsons adalah konsensus. Dalam hal ini jalinan hubungan antarfungsi dalam masyarakat membangun struktur dari sistem. Di sisi lain, stabilitas dari sistem ini bertumpu, baik sadar maupun tidak sadar, pada konsensus anggota masyarakat. Konsensus ini melembagakan diri sebagai pranata dan hukum dalah salah satu pranata-pranata sosial tersebut. Lihat, Budiono Kusumohamidjojo, op.cit., hlm. 235.
3.
Hukum berperan manakala timbul suatu sengketa dalam masyarakat sebagai mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat.61 Berbeda dengan Parson, Max Weber
membagi
perilaku manusia
(conduct) dalam 4 (empat) jenis, yaitu pertama, Purpose-rational conduct, yaitu perilaku manusia yang ditentukan secara rasional dan diorientasikan menuju suatu tujuan (rasional tujuan).
Perilaku manusia dalam hal ini mencakup
perhitungan yang tepat dan pengambilan sarana-sarana yang paling efektif untuk mencapai tujuan-tujuan yang dipilih dan dipertimbangkan dengan jelas. Kedua, Value-rational conduct, yaitu tingkah laku manusia yang didasarkan pada rasional nilai. Menurut model ini seorang pelaku terlibat dalam nilai penting yang mutlak atau nilai kegiatan yang bersangkutan. Dia lebih mengejar nilainilai (misal ethicts, aesthetics, atau religion) daripada memperhitungkan saranasarana dengan cara yang secara evaluatif netral. Di sini rasionalitas kalkulatif muncul hanya dalam pilihan atas sarana-sarana yang paling efektif untuk tujuan-tujuan yang dinilai, dan secara khas nilai-nilai menentukan pilihan sarana-sarana dan juga tujuan, sehingga sebuah tujuan yang secara moral baik mesti dicapai hanya dengan sebuah sarana yang secara moral baik. Ketiga, Affectual conduct, yaitu tindakan manusia yang berada di bawah dominasi langsung perasaan-perasaan atau emosional. Di sini tidak ada rumusan sadar atas nilai-nilai
atau kalkulasi rasional sarana-sarana yang cocok. Keempat,
Traditional conduct, yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan
61
Integrasi versi Parsons ini merupakan konsensus, yang oleh Jurgen Habermas dikembangkan sebagai konsep intersubyektivitas. Karena konsensus merupakan pranata yang dihasilkan dari diskursus, hukum dianggap sebagai bagian dari perilaku komunikatif manusia. Uraian lebih lanjut soal ini, periksa: Bur Rasuanto, 2004, Keadilan Sosial Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta: Gramedia, hlm. 120-125.
yang muncul dari praktik-praktik yang mapan dan menghormati otoritas yang ada62. Berkaitan dengan perilaku manusia untuk menyelesaikan sengketa, menurut Chamblis & Seidman63 berpendapat bahwa pendekatan yang diambil dalam hal penyelesaiaan sengketa dipengaruhi
oleh
tujuan yang hendak
dicapai oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan hal itu, ada 2 (dua) cara, yaitu, pertama, apabila tujuan yang hendak dicapai adalah untuk merukunkan para pihak sehingga selanjutnya dapat hidup bersama kembali dengan baik sesudah penyelesaian sengketa, maka perlengkapan yang dipakai akan lebih menekankan pada mediasi dan kompromi. Kedua, apabila tujuannya adalah untuk melakukan penerapan peraturan-peraturan, maka cara-cara penyelesaian yang birokratis mungkin akan lebih banyak dipakai. Menurut Ury dalam persoalan penyelesain sengketa ada 3 (tiga) faktor yang
melekat pada pihak-pihak
bersengketa, yang
berpengaruh pada
pendekatan yang akan digunakan. Ketiga faktor tersebut, yaitu64 kepentingan (interest), hak-hak (right), dan status kekuasaan (power). Setiap pihak yang terlibat sengketa memiliki kepentingan yang ingin dicapai, hak-hak yang ingin dipenuhi dan status kekuasaan yang ingin diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan.
Dalam
proses
penyelesain
sengketa,
pihak-pihak
yang
bersengketa lazimnya akan bersikeras mempertahankan ketiga faktor tersebut. Hirarki antara ketiga faktor di atas sangat menentukan jalannya proses penyelesaian sengketa dan hasilnya. Berdasarkan 3 (tiga) faktor tersebut, Ury mengambarkan 2 (dua) macam hirarki. Pertama adalah di mana faktor status kekuasaan menjadi faktor yang dominan, di atas hak-hak, dan kepentingan. Hirarki ini dinamakan Distressed System. Kedua adalah faktor kepentingan yang 62
Edward Shills dan Max Rheinstein,1954, Max Weber on Law in Economic and Society, New york, Simon and Scuster, hlm.1-2. Lihat juga dalam Campbell, 1994, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Jogyakarta, Kanisius, hlm. 208-209. 63
Chamblis & Seidman, Op.cit ., 1971, hlm. 33-34.
64
Lihat W.L. Ury, J.M.Brett and S.B. Goldberg, 1993, Getting Disputes Resolved, PON Books.
dominan dan faktor status kekuasaan yang lemah. Hirarki ini disebut Effective System. Sistem kedua inilah yang dapat melancarkan proses pencarian titik temu (common
ground)
dan
akhirnya
memungkinkan
dicapainya
pertemuan
kepentingan (reconciling of interest). Kalau mengacu pendapat tersebut, pada PLg
menggunakan
pendekatan
Distressed
System,
sedangkan
PnLg
menggunakan pendekatan Effective System65. Uraian di muka
memang
menunjukkan bahwa manusia memang
mempunyai pertimbangannya atau rasionalitasnya sendiri untuk melakukan suatu tindakan berdasar pada tujuan atau kepentingan yang dikehendakinya. Namun kaitanya dengan pilihan pendekatan untuk menyelesaikan sengketa, bagaimana mungkin seseorang akan mengambil
pendekatan PnLg untuk
dijadikan bahan pertimbangan bila ternyata keuntungannya, orang yang menangani, metode penyelesaian, lembaga yang menangani, cara mengakses, kredibilitasnya, dan keberhasilannya menangani sengketa bisnis belum dikenal dalam masyarakat. Hal ini juga bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan PLg untuk menyelesaikan sengketa. Menyambung pendapat Weber kaitannya dengan Value-rational conduct, Affectual conduct, Traditional conduct, dalam kaitannya dengan penyelesain sengketa ada beberapa pendapat yang mendukung tesis tersebut. Di antaranya Chambliss & Seidman
66
menyusun tabel hubungan antara struktur masyarakat
dengan pendekatan penyelesaian sengketa yang diambil sebagai berikut: Tabel 1 Hubungan Struktur Masyarakat dengan Pendekatan Penyelesaian Sengketa
65
Sebagaimana dikemukakan oleh Eekhof, orang yang menangani konsiliasi berupaya untuk “medeidiologikan perselisihan, dan menekankan arti kepentingan bersama -kepentingan pihak-pihak yang berselisih dan kepentingan masyarakat. Dalam Daniel S. Lev, Hukum dan Politik ....Op.cit, hlm.160. 66
William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Op.cit., h. 33-34.
Masyarakat Yang Kurang Komplek
Masyarakat Yang Lebih Komplek
Masyarakat yang Kurang Terlapis
Perukunan Perukunan
Penerapan Hukum Perukunan
Masyarakat yang Lebih Terlapis
Perukunan Penerapan Hukum
Penerapan Hukum Penerapan Hukum
Dari pemetaan tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat yang tidak komplek dan kurang berlapis lebih senang menggunakan penyelesaian sengketa perukunan, sedangkan yang lebih komplek dan lebih terlapis lebih senang menggunakan penerapan hukum. Hart67 juga menyusun teori penyelesaian sengketa dengan mendasarkan pada struktur masyarakat pihak-pihak yang bersengketa, tatanan normatif yang terdapat dalam masyarakat dapat dibagi dalam 2 (dua) katagori, yaitu: primary rules of obligation dan secondary rules of obligation. Adanya pembedaan ini berpengaruh pada penyelesaian sengketa yang timbul dalam masyarakat. Pada tahapan primary rules of obligations, masyarakatnya mempunyai karakter sebagai berikut: komuniti kecil, didasarkan pada ikatan kerabatan, memiliki kepercayaan dan sentimen umum, dan berada di tengah-tengah lingkungan yang stabil. Pada tahap ini masyarakat menyelesaikan sengketa dengan jalan relatif sederhana, hal ini disebabkan masyarakatnya tidak mengenal peraturan terperinci, hanya mengenal standar tingkah laku, dan tidak ada diferensialisasi dan spesialisasi badan-badan penegak hukum. Dalam tatanan secondary rules of obligation, masyarakatnya mempunyai kehidupan terbuka, luas dan kompleks. Dalam tahapan ini masyarakat mendasarkan pada otoritas rules of recognition, rules of change, dan rules of adjudication. Berdasarkan teori Hart tersebut, masyarakat yang hidup pada jaman 67
Hart, 1972, The Concept of Law, london, Oxford University Press, hlm. 78-96.
modern seperti sekarang ini
lebih cocok untuk dikategorikan pada tatanan
secondary rules of obligation. Sementara itu, Schuyt,
sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali68
menguraikan macam-macam cara penyelesaian konflik (hukum) menjadi 6 (enam kategori), yaitu: 1. Penyelesaian sepihak; 2. Dalam penguasaan sendiri; 3. Pra-yuridis; 4. Yuridis-Pengadilan; 5. Yuridis-Politik; dan 6. Penggunaan kekerasan. Kategori pertama menunjuk cara penyelesaian konflik dengan cara pihak yang berada di posisi lemah atau posisi sebagai bawahan menyerah kepada situasi tidak mengenakkan dan menguntungkannya. Jika pihak yang lemah mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri dari kekuasaan pihak yang kuat, maka konflik pun terselesaikan. Jadi, penyelesaian konflik dengan kategori ini akan terwujud jika keadaan-keadaan seperti: antara pihak yang berkonflik tidak saling bertemu lagi satu sama lain, menetap di tempat yang berjauhan, atau salah satu pihak mengasingkan diri. Suatu bentuk penundukkan yang sifatnya sementara akan muncul jika pihak yang berposisi paling lemah tidak dapat membebaskan diri dari kekuasaan pihak yang kuat, tetapi sambil menunggu kesempatan untuk meneruskan atau melawan kembali. Inilah yang membedakannya dengan cara penyelesaian konflik di mana penundukkan atau penerimaan pihak yang kalah terhadap putusan penyelesaian konflik itu bersifat permanen, seperti putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
68
Op.cit., hlm. 63-70.
Di dalam kategori kedua, yaitu dalam penguasaan sendiri, konflik ditandai dengan partisipasi sederajat dari kedua pihak dalam penyelesaian konflik. Tidak ada pihak ketiga atau instansi tertentu yang diikutsertakan. Hal ini memberikan kebebasan yang lebih besar untuk penyelesaian konflik, tetapi membutuhkan upaya keras dari pihak-pihak yang berkonflik itu. Ciri-ciri model ini
adalah
berpikir,
bersedia
berunding,
atau
menggunakan
cara-cara
pengundian. Dalam hal kategori ketiga, yaitu cara pra-yuridis, mengandung ciri-ciri adanya pengaduan, menggunakan penengah, dan menghasilkan perdamaian. Oleh karena itu ada keterlibatan pihak ketiga. Hanya saja pihak ketiga ini tidak pernah menonjolkan diri mereka dalam penyelesaian konflik dan mereka muncul secara insidental sesuai dengan permintaan pihak yang berkonflik. Tuntutan adanya wibawa dan kepercayaan dari pihak yang berkonflik terhadap pihak ketiga sangat mutlak. Sasaran utama cara ini adalah mengutamakan terwujudanya perdamaian. Ciri penyelesaian konflik kategori keempat adalah bersifat arbitrase, melalui
suatu
proses
singkat,
perdamaian
bersifat
yudisial,
proses
penyelesaiannya melalui proses hukum administratif dan proses sipil serta menghasilkan putusan yang bersifat menghukum. Kategori ini mencakup semua bentuk yang khas dari penggunaan penengah, yaitu para hakim atau arbitror dalam penyelesaian konflik, di mana meskipun inisiatif keterlibatan penengah itu berasal dari pihak yang berkonflik, namun keputusannya terletak pada hakim itu. Kategori kelima adalah penyelesaian konflik dengan menggunakan cara yuridis politik. Ciri penyelesaian konflik tipe ini adalah berlangsung tanpa kekerasan, berwujud tindakan politik dan sosial, yang mengenal pembentukan putusan badan legislatif di mana penyelesaian konfliknya terpimpin. Tipe ini membawa penyelesaian konflik dari ruang pengadilan yang tenang ke medan laga keputusan pemerintah yang bersifat politis dengan penggunaan tekanan
politik terhadap bentuk putusannya. Contoh dalam hal ini adalah pembuatan undang-undang dan gerakan sosial-politik. Akhirnya, kategori keenam penyelesaian konflik yaitu dengan kekerasan. Dalam hal ini, kekerasan merupakan suatu bentuk penyelesaian konflik di mana satu pihak atau kelompok melalui penggunaan alat-alat yang bersifat fisik, merugikan pihak atau kelompok lain dalam usaha penyelesaian konflik. Penggunaan kekerasan sering dibenarkan dengan anggapan bahwa hal ini justru merupakan cara yang paling tepat dan satu-satunya yang masih tersisa. Dalam kaitan ini, perlu dibedakan antara penggunaan kekerasan oleh negara
69dan
penggunaan kekerasan oleh warga masyarakat. Menurut Daniel S. Lev70, satuan masyarakat yang kecil-kecil yang di dalamnya hubungan tatap muka lebih menonjol cenderung menekankan pada penyelesaian perselisihan secara kekeluargaan
(konsiliasi) dan kompromi
(penyelesaian perselisihan melalui jalan tengah). Sebaliknya hubungan yang tidak akrab menjadikan keputusan pihak ketiga dengan status resmi adalah lebih tepat. Salah satu keuntungan penyelesaian perselisihan oleh pihak-pihak yang berselisih itu sendiri ialah bahwa perhatian pihak ketiga penyelesai perkara yang tidak berpihak (impersonal) dapat diabaikan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Gluckman71, yang meneliti sistem hukum dari orang Zambia, yang menyimpulkan bahwa jenis-jenis relasi antara orang-orang bersengketa banyak pengaruhnya pada cara penyelesaian sengketa yang dipilih. Hubungan antara orang yang bersengketa bisa saja bersifat apa yang disebut simpleks, yaitu mereka yang mempunyai hanya satu jenis hubungan, hubungan majikan pekerja, misalnya atau bersifat mutipleks, yaitu mempunyai hubungan yang
69
Menurut Gadis Arivia, negara pada dasarnya adalah kekerasan. Keberadaan negara ditopang oleh kekerasan. Artinya negara menghidupi dirinya dengan cara mengatur dan mengolah kekerasan. Adapun sumber kemampuan negara mengolah kekerasan bermuara kepada kekuasaan politik. Lihat: Gadis Arivia, 2006, Feminisme: Sebuah Kata Hati, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 219. 70
Daniel S. Lev, op.cit., h.156-157.
71
Lihat dalam T.O. Ihromi, Op.cit. 1993, h. 212.
beragam-ragam misalnya dengan tetangga, pada saat yang sama juga berhubungan dengan keluarga. Bila terjadi sengketa maka hubungan yang simpleks, pemecahan yang tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya hubungan yang semula dapat saja ditempuh, sedangkan pada hubungan yang multipleks pilihan yang pada umumnya akan ditempuh adalah pemecahan masalah yang masih memungkinkan hubungan-hubungan yang multipleks itu berlanjut, misalnya
dengan
menggambarkan
negosiasi. bahwa
pilihan
Jika
dicermati,
terhadap
cara
maka
paparan
penyelesaian
tersebut sengketa
menunjukkan bahwa hukum berkaitan dengan aturan tentang kesadaran dan sikap tindak yang serasi dengan patokan yang telah ditetapkan oleh masyarakat dan negara.72 Di samping struktur masyarakat pihak-pihak yang bersengketa,
budaya
yang dimiliki suatu suku bangsa juga mempengaruhi cara penyelesaian sengketa yang diambil oleh anggota masyarakatnya. Dari sudut pandang antropologi hukum73, hukum merupakan bagian integral dalam kompleks manusia dan karyanya. Dan dalam antropologi, karya manusia itu dalam arti luas disebut kebudayaan. Mengutip E.B. Taylor, Harsojo74 merumuskan “kebudayaan” sebagai suatu keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung unsurunsur ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Aspek-aspek kebudayaan tidak berdiri sendiri malainkan saling bertalian dan bahkan saling mempengaruhi. Namun, jika kita
72
Soerjono Soekanto dan Otje Salman, op.cit., hlm. 68-69. 73 Antropologi hukum adalah cabang dari antropologi budaya (cultural anthropology). Antropologi budaya mencakup 2 (dua) subdisiplin, yaitu etnografi (deskripsi tentang masyarakat) dan etnologi (analisis tentang masyarakat). Antropologi hukum ini adalah pengembangan dari apa yang dulu disebut etnologi hukum. Periksa: B. Arief Sidharta, op.cit., hlm. 131. Menurut Soerjono Soekanto dan Otje Salman, antropologi hukum merupakan disiplin yang relatif muda usianya. Lihat: Soerjono Soekanto dan Otje Salman, 1988, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial (Bahan Bacaan Awal), Jakarta: Rajawali Press, hlm. 33. 74
Harsojo, 1988, Pengantar Antropologi, Jakarta: Buna Cipta, hlm. 92.
memusatkan diri pada hukum sebagai salah satu aspek dari sejumlah aspek kebudayaan, maka hukum itu terkondisikan sebagai berikut:75 1.
Realisasinya dapat berbeda-beda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain. Artinya, jika kebudayaan aneka masyarakat dapat berbeda satu dari yang lain, demikian juga realisasi hukum dalam aneka masyarakat tidak terjadi dengan cara maupun hasil yang sama;
2.
Sebagai suatu sistem, hukum itu hanya diperoleh dan diterapkan melalui proses belajar. Setiap warga masyarakat menerima hukum itu tidak secara alamiah, melainkan melalui suatu proses pembelajaran yang disadari maupun yang tidak disadari;
3.
Sebagai suatu tatanan yang regulatif, hukum itu mencerminkan dimensi manusia yang biologis, psikologis, ekologis, dan historis. Karena itu hukum mengatur berbagai aspek kehidupan manusia mulai bagaimana dia memenuhi
kebutuhan
biologisnya
(pangan,
kesehatan,
reproduksi),
menanggapi “panggilan” psikologis (menyalurkan cinta kasih, kemarahan, kepuasan, kekecewaan, komunikasi, dan sebagainya), memenuhi kebutuhan ekologisnya
(sandang,
tempat
tinggal,
habibat,
transportasi,
dan
sebagainya), dan bahkan memelihara kesinambungan historis (seperti yang terutama menonjol dalam hukum waris); 4.
Sebagai suatu sistem, hukum itu mempunyai struktur, yaitu bangunan konseptual yang terdiri dari bagian-bagian yang integratif sifatnya. Sebagai suatu struktur hukum, hukum mengenal antara lain unsur pembuat hukum beserta pelaksananya, perangkat hukum material, prosedur pelaksanaan hukum, prasarana pelaksanaan hukum, dan sebagainya. Ketiadaan atau tidak berfungsinya salah satu bagian akan mempengaruhi keseluruhan struktur hukum itu;
75
Ibid., hlm. 93.
5.
Sejajar dengan aspek kebudayaan lainnya, hukum itu terjalin dalam aspek kepercayaan dan tata nilai, sosial, ekonomi, teknologi, estetika, dan bahasa. Pada akhirnya hukum berfungsi untuk mengatur manusai yang mempunyai kompleks kepercayaan atau religi, hidup dalam kelompok sosial, dan berkomunikasi dengan bahasa. Di samping itu, dia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara ekonomis,serta mempergunakan teknologi untuk maksud itu. Akhirnya, manusia tidak hanya membuat itu semua sekadar fungsional, melainkan juga estetik juga;
6.
Sebagai bagian yang integral dari kebudayaan yang tidak pernah statis, hukum itu bersifat dinamis dan karenanya selalu berkembang menjadi lebih kompleks. Hal itu terutama tampak dari perangkat hukum material maupun formal yang semakin lama menjadi semakin kompleks dan terspesifikasi, sehingga juga menjadi semakin sukar untuk dipahami oleh orang awam; dan
7.
Sejajar dengan nilai-nilai dalam suatu kebudayaan, hukum itu juga mencerminkan nilai-nilai yang relatif. Hal itu tampak misalnya dari pergeseran-pergeseran yang dialami oleh rasa keadilan masyarakat, sekalipun rasa keadilan itu pada asasnya bersifat konstan.76 Menurut
Satjipto
Rahardjo,
hukum
dan
kebudayaan
sama-sama
melakukan kontrol terhadap kehidupan masyarakat, kendati kekuatannya berbeda.77 Hukum modern itu memiliki kualitas yang kuat untuk disebut
76
Serupa dengan ini apa yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo. Dalam dunia hukum ada rutinitas dan ada “kejutan.” Ada putusan-putusan rutin yang dari tahun ke tahun sama saja, tidak berubah, dan tidak diinginkan untuk diubah, yang lazim disebut konstante jursprudentie. Tetapi sewaktu-waktu ketenangan rutinitas itu diguncang oleh putusan-putusan yang berani dan menolak hal-hal yang dianggap adil selama ini. Uraian lebih lanjut, periksa: Satjipto Rahardjo, “Hukum dan Radikalisme”, Kompas, 10 Oktober 1996, hlm. 4. 77
Hal serupa dikemukakan oleh Dorojatun Kuntjoro-Jakti, bahwa kebudayaan berfungsi sebagai parameter karena dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa dunia, sektor kebudayaan merupakan sektor yang tidak gampang berubah dan tidak mudah hilang, walaupun berbenturan dengan sekro-sektor lain. Lihat: Suara Pembaruan, 26 Oktober 1996.
sebagai “teknologi dan mesin.” Berbeda dengan kualitas tersebut, kebudayaan adalah jauh lehih lembut, karena ia bekerja dengan persuasi.78 Sebagaimana juga digambarkan dalam peradaban Barat di mana pada tahun 1780 tumbuh pandangan hukum yang melancarkan pendirian “hukum bagi kemanfaatan untuk masyarakat” dan “hukum sesuai dengan realitas dalam masyarakat.”79 Pandangan hukum yang demikian itu mengajarkan kepada sarjana hukum bahwa hukum sebagai sarana yang mengatur dan mengiringi perkembangan masyarakat sesuai dengan realitas. Sarjana hukum tidak terpancang
kepada
bunyi
peraturan
undang-undang
belaka,
tetapi
menghubungkan hukum dengan kemanfaatan masyarakat dan meninjau sesuatu dalam konteksnya pada masyarakat. Ditambahkan juga oleh Roeslan Saleh80 bahwa seleksi dan menetapkan kejadian-kejadian serta keadaan-keadaan yang relevan menurut hukum itu masih saja selalu merupakan suatu masalah. Meskipun demikian, betapapun segala sesuatunya ini akan dipecahkan dengan baik bila teori-teori hukum senantiasa dapat emngikuti perkembangan masyarakat,
baik
mengenai
segi
normatif-sistematis
maupun
segi-segi
perubahan dan perkembangan kehidupan masyarakat itu sendiri. Singkatnya, menurut Roeslan Saleh81, berbagai perubahan itu menyebabkan praktik hukum tak semata-mata mempertimbangkan yuridis tetapi juga meliputi pertimbangan etis, pertimbangan politis, ekonomi, dan sosial, serta mendapatkan tempat secara terang-terangan dalam hukum. Dalam kaitan ini tepat apa yang dikatakan oleh Otje Salman dan Anthon F. Susanto82 ketika mengatakan bahwa hukum dari 78
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 102. 79
Roeslan Saleh, 1983, Mengadili sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Jakarta: Aksara Baru, hlm.
80
Roeslan Saleh, 1978, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, hlm. 18-
81
Ibid., hlm. 20.
14-15. 19. 82
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung: Alumni, hlm. 2.
waktu ke waktu senantiasa mengalami perkembangan. Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan hukum itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hukum yang ada sekarang ini tidak muncul secara tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan suatu hasil dari perkembangan itu sendiri. Tesis serupa dikembangkan lagi, di antaranya oleh L.M. Friedman83, Daniel S. Lev84, Marc Galanter85, dan Yosiyuki Noda86. Dalam kaitannya dengan pengaruh struktur
dan budaya masyarakat
dengan pengambilan pendekatan penyelesaian sengketa, manusia dalam hal ini bukan berarti hanya dipandang sebagai ‘robot’ steril yang tindakannya sematamata diprogram berdasar pada struktur dan budaya masyarakatnya. Kedua variabel tersebut sedikit banyak tetap mempunyai pengaruh pada pihak-pihak yang bersengketa, namun dalam memilih pendekatan yang akan diambil, pihakpihak yang bersengketa tetap saja mendasarkan pada pertimbangan rasionalitas untuk mencapai tujuan dan kepentingannya. Dalam membicarakan mengenai tempat manusia dalam hukum dan dalam kedudukannya yang sentral, niscaya pemahaman tentang sifat-sifat manusia yang menjadi subyek dalam hukum, berada dalam urutan pertama. Arsitektur serta desain hukum yang dibangun harus bisa mewadahi sifat-sifat manusia sebagai subyeknya itu. Di sisi lain, kendati manusia di manapun di dunia secara biologis-filosofis adalah sama, tetapi secara sosial yang berbeda-beda. Dan, hal itu niscaya berpengaruh kuat terhadap institusi yang dipakainya, termasuk hukum. Artinya, untuk sifat atau karakteristik sosial yang berbeda, dibutuhkan institusi yang berbeda pula. Oleh sebab itu, mengenali sifat khas suatu bangsa didahulukan sebelum mulai membangun perumahan hukumnya.
83
L.M. Friedman, Op.cit. hlm.209.
84
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik ...Op.cit., hlm.161.
85
Marc Galanter, “Justice in Many Rooms”, Op.cit., hlm.147-182.
86
Yosiyuki Noda, Introduction to Japanese Law, Tokyo, University Press, 1976, hlm.159.
Bila mendengar istilah “hukum bagian dari kebudayaan” sebenarnya mengisyaratkan bahwa pendekatan yang digunakan oleh beberapa ahli terpengaruh oleh pendekatan “struktur fungsional” seperti pernah disampaikan oleh Malinowski yaitu menelaah kebudayaan sebagai sebuah sistem yang terbagi ke dalam sub-sub sistem, antar sub-sub sistem saling terkait, berhubungan dan berinteraksi. Dan masing-masing sistem memiliki fungsi-fungsi yang saling melengkapi. Akibatnya, bila salah satu sistem terganggu, maka sub-sub lainnya juga akan terganggu. Kelak, sistem juga akan terganggu. Itulah mengapa hukum, sebagai bagian dari pranata pengawasan sosial, bertugas untuk menertibkan
anggota-anggota
masyarakat
dan
mengendalikan
perilaku
mereka.87 Berdasarkan pendapat di antara beberapa pakar tersebut di atas, khususnya yang berkaitan dengan budaya,
sebenarnya penggunaan atau
berkembangnya PnLg menemukan habitat yang cocok pada
masyarakat
Indonesia. Di Indonesia, nilai harmoni, tenggang rasa, dan kumunalisme atau kebersamaan lebih diutamakan daripada individualisme, pengutamaan yang demikian itu dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa tipe manajemen yang menonjolkan konsensus dengan hasil win-win solution lebih cocok daripada penyelesaian
sengketa melalui jalur
litigasi, yang menghasilkan
win-lose
solution. Karena menurut Jack Ethridge88,”Litigation paralyzes people. It makes them enemies. It pets them not only against one another but against the other’s employed cambatant”. Di sisi lain, Thomas E. Carbonneau89, menyatakan bahwa keadilan yang diperoleh melalui jalur litigasi adalah “dehumanizing and riddled with abusive interpretations of truth.”
87
Djaka Soehendra, “Realitas Kemajemukan Masyarakat dalam Hukum”, Jentera, Edisi 3 Tahun II November 2004, hlm. 10. 88
Lihat dalam Peter Lovenheim, 1989, Mediate Don’t Litigate, New York, Mc Graw-Hil Publishing Company, hlm. 23. 89
Thomas E. Carbonneau, Op.cit., hlm.1.
Berdasarkan penelitian beberapa pakar, pada dasarnya budaya untuk konsiliasi atau musyawarah90 merupakan nilai masyarakat yang meluas di Indonesia. Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian sengketa secara damai, misalnya masyarakat Jawa, Bali91, Sulawesi Selatan92, Sumatera barat, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Irian Jaya93, dan masyarakat Toraja94.
Bahkan di kalangan masyarakat Cina yang ada di
Indonesia juga menyelesaikan sengketa bisnisnya menggunakan konsiliasi95. Menurut Mattulada96, masyarakat Indonesia pada masa lalu bersifat kosmis yang menganggap manusia adalah bagian dari alam besar (kosmos) sehinggan hubungan manusia dan masyarakat merupakan satu kesatuan. Menurut Noor M.S. Bakry97, atas dasar pandangan tersebut dapat diperoleh kesan bahwa 90
Dalam bahasa Arab, perkataan musyawarah berasal dari kata dasar syawara-yasy’urumusyawarah atau syura yang artinya tanda, petunjuk, nasihat, pertimbangan. Dengan demikian, berdasarkan asal-muasalnya, kata musyawarah merupakan kata kerja yang dibendakan dan mengandung makna “saling memberi isyarat, petunjuk, atau pertimbangan yang bermakna resiprokal dan mutual”. Kata “musyawarah” dalam terminologi ketatanegaraan Indonesia biasanya disandingkan dengan kata “mufakat” yang berasal dari bahasa Arab. Istilah ini berasal dari asal kata itifaq-muwaafaqah yang berarti “memberikan persetujuan atau kesepakatan.” Persetujuan di sini dapat berupa suara yang terbanyak dan secara teknis dilakukan lewat pemungutan suara atau konsensus bulat. Akan tetapi, dalam pengertian teknis di Indonesia dewasa ini, istilah “musyawarah mufakat” mengandung pengertian “konsensus bulat.” Periksa: Nurcholish Madjid, 1995, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina.hlm. 194 dan M. Quraish Shihab, 1996,Wawasan Alquran, Bandung: Mizan, hlm. 361. 91
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik ....Op.cit., hlm. 158. Untuk pelengkap lihat juga Denys Lombard, 1996, Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid I, 2, dan 3, Jakarta, Gramedia. 92 Lihat H.M.G. Ohorela dan H. Aminuddin Salle, “Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Pada Masyarakat di Pedesaan di Sulawesi Selatan”, dalam Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk (ed.), 1995, Arbitrase di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 105-119. 93
Lihat Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Antropologi Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 177-205. 94
T.O. Ihromi (ed.), 1984, Antropologi dan Hukum, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm. 17.
95
Lihat penelitian Yoyok Widoyoko pada masyarakat Cina di pertokoan Glodok, dalam Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia, Volume III, Bappenas, 1996. Lihat juga Daniel.S. Lev, Op.cit., hlm. 165-166. Menurutnya penyelesaian sengketa bisnis melalui konsiliasi yang dilakukan kalangan masyarakat Cina di Indonesia disebabkan mereka merasa penggunaan hukum (pengadilan) tidak menguntungkan bagi golongan mereka. 96
Mattulada, “Masyarakat dan Lembaga Hukum Adat dalam Proses Modernisasi”, Simposium BPHN dan Unhas, 9-11 Maret 1981, hlm. 13. 97
63.
Noor M.S. Bakry, 1994, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Penerbit Liberty, hlm. 61-
manusia sebagai individu dan manusia sebagai anggota kelompok sosial saling terkait dan saling mempengaruhi. Hal ini tampak dalam doktrin tentang hakekat manusai bahwa ia diakui sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Dikaitkan dengan hukum, maka suatu masyarakat hukum merupakan suatu
kesatuan
masyarakat
yang
mempunyai
kewibawaan
di
dalam
pembentukan, pelaksanaan, dan pembinaan hukum.98 Namun demikian derasnya hukum
nasional
di
Indonesia
arus modernisasi dan diberlakukannya telah
menyebabkan
pranata-pranata99
penyelesaian sengketa dengan mendasarkan musyawarah atau konsiliasi mengalami kehancuran, sehingga nilai-nilai musyawarah yang diyakini masyarakat untuk menyelesaikan sengketa tidak mudah menemukan suatu ruang atau tempat untuk dimplementasikan dan sulit menemukan sumber daya manusia yang dapat dipercaya untuk bertindak sebagai mediator.
Menurut
Daniel S. Lev, perubahan sosial dan ekonomi yang cukup luas, juga menyebabkan perubahan dalam budaya hukum masyarakat100.
Hal ini
menimbulkan perilaku gugat menggugat melalui pengadilan merasuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Munculnya perilaku gugat menggugat menimbulkan implikasi menumpuknya jumlah perkara yang harus ditangani oleh lembaga peradilan. Kondisi ini diperparah dengan adanya krisis kewibawaan yang menghinggapi lembaga peradilan. Pengadilan
yang
seharusnya menjalankan amanah untuk memberikan keadilan bagi masyarakat,
98
Iman Sudiyat, 1991, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm. 192.
99
Pranata adalah organ-organ kemasyarakatan yang memberi kerangka terlaksananya berbagai fungsi kemasyarakatan. Karena itu, dilihat dari proses pertumbuhannya, pranata berakar dalam kebiasaan orang banyak yang kemudian berkembang menjadi ukuran-ukuran dan tumbuh matang berupa aturanaturan atau perilaku nyata tertentu. Maka jika kebiasaan orang banyak bisa hanya berupa perilaku berulangulang tanpa dasar pikiran yang jelas, pranata justru memili ciri dasar pikiran yang jelas dan sadar, sehingga juga lebih permanen dibanding kebiasaan orang banyak saja. Periksa: Nurcolosih Madjid, 2000, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Paramadina, hlm. 3. 100
Ibid., h.166.
ternyata memanfatkan tumpukan perkara tersebut untuk melakukan ‘permainan kotor’. Pembicaraan mengenai krisis pengadilan dalam hal ini tidak akan mendapat gambaran yang lengkap bila hanya dipandang dari positivist, yang melihat
kacamata
pengadilan merupakan suatu insitusi yang bersifat
otonom dan netral serta mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang101. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan untuk meneropong krisis lembaga,
meminjam pola pikir
legal realist dan critical legal study102.
Dengan sudut pandang ini, lembaga peradilan
menjalankan
tugasnya
menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat
tidak bisa dilihat sebagai
suatu badan yang otonom, netral dan steril, melainkan diterima sebagai suatu badan
yang terkait dengan dari pengaruh politik, ekonomi atau pengaruh
lainnya di masyarakat. Menurut John Chipman Gray103, salah satu tokoh legal realist terkemuka selain Holmes, menyatakan bahwa hakim-hakim bukanlah pribadi yang bebas dari anasir-anasir non-hukum dalam menjatuhkan putusanputusannya. Di samping unsur logika sebagai faktor utamanya pengambilan keputusannya, mereka juga sangat dipengaruhi oleh subyektifitas pribadinya, prasangka, dan unsur-unsur non-logika lainnya.
Menurut
Chambliss dan
Seidman104, lembaga pengadilan dalam menjalankan tugasnya juga mendapat
101 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah mengalami perubahan berdasar Undang-undang No. 35 Tahun 1999. 102
Legal realist adalah aliran pemikiran yang memberatkan perhatiannya terhadap penerapan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dibanding pengkajiannya terhadap asas atau doktrin hukum. Critical legal study adalah aliran pemikiran yang memandang hukum bukan ranah yang esoterik dari wacana politik dan ekonomi. Dalam hal ini penguasaan yang baik terhadap materi-materi hukum atau ‘relasi internal’ tetap merupakan yang primer; tetap diperlukan terlebih dahulu sebelum mengkaitkannya dengan realitas hubungan sosial, politik, dan ekonomi. Lihat kumpulan karangan tokoh-tokoh critical legal study dalam Allan C. Hutchinson (ed.), 1989, Critical Legal Studies, New Jersey, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., Lihat juga Jerry D. Leonard, 1995, Legal Studies as Cultural Studies, a Reader in (post) Modern Critical Theory, New York, State University of New York Press. 103
Philip Shuchman, 1979, Readings in Jurisprudence and Legal Philosophy, Boston and Toronto, Little, Brown and Company, hlm. 56-59. 104
Chambliss and Seidman, Op.cit., hlm.12.
berbagai pengaruh lingkungan di masyarakat. Sehingga ada sindiran penganut legal realism yang menyatakan bahwa “judicial decisions often have less to do with legal precedent than with what judge had for breakfast”105. Dengan melihat pengaruh tersebut, tidak aneh apabila dengan meminjam istilah Chamblis dan Seidman106, kita mengatakan bahwa bagaimana para hakim itu menjalankan tugas seharihari secara tidak memihak sebagaimana diamanatkan dalam aturan-aturan normatif merupakan suatu mitos dan mitos itu setiap hari dibuktikan kebohongannya. Senada dengan hal tersebut, menurut Spence107, ... tidak ada peradilan yang tidak berpihak, tidak ada preseden, yang ada hanya oportunisme spontan dari kelas baru yang merencanakan bangunan kekuasaan, yang memihak kelasnya sendiri. Kelebihan dalam kemampuan ekonomi finansial ternyata banyak artinya untuk dapat mengongkosi kemenangan hukum. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Dahrendorf108 juga berkesimpulan, bahwa mimbar pengadilan merupakan suatu panggung di mana lapisan masyarakat yang satu mengadili lapisan yang lain. Tulisan Marc Galanter109 yang berjudul Why The “haves” come out ahead: Speculations on the limit of Legal Change semakin memperkuat tesis bahwa pengadilan sulit untuk berbuat netral dalam menyelesaikan sengketa. Hal ini mirip dengan yang dikatakan oleh Harry C. Bredemeier, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali110 ketika mengatakan bahwa pengadilan tidak mandiri karena selalu berlangsunghubungan saling mempengaruhi antara
105
Donald Black, Sociological Justice, New York, Oxford University Press, 1989, hlm.5.
106
Chamblis dan Seidman, Op.cit,.hlm. 3. Menurutnya “This myth of the operation of the law is given the lie daily”. 107
Gerry Spence, With Justice for None, New York, Penguin Book., 1989. Dalam ranah praktik istilah Equal Justice Under Law, yang menjadi lambang kebanggaan lembaga peradilan Amerika Serikat, oleh Spencer ‘diplesetkan’ menjadi Equal Justice Under Law-to all Who Can Afford It. 108
Dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Op.cit, h.59.
109
Lihat dalam Richard L.Abel (Ed.), 1995, The Law and Society, New York, New York University Press, hlm.297-323. 110
Op.cit., hlm. 110.
pengadilan dengan subsistem lain yang ada di dalam masyarakat. Ketika pengadilan menerima suatu sinyal, di dalam bentuk suatu gugatan, maka terdapat bentrokan ekpentingan di mana yang pertama mensyaratkan “agar memahami.” Hal ini mengandung 2 (dua) hal. pertama, ia berarti mencari hubungan faktual antara kerugian yang diduga dan peristiwa yang diduga menjadi penyebabnya. Kedua, hal itu juga berarti konteks fungsional dari tindakan penggugat dan tergugat. Adapun yang dimaksud adalah: 1.
Peran yang mereka lakonkan;
2.
Arti penting dari fungsi itu bagi sistem-sistem peran; dan
3.
Keharusan (bagi pelaksanaan yang efisien) memainkan peran-peran dengan cara sebagaimana para pihak telah memainkannya di dalam kenyataan. Menurut Satjipto Rahardjo111, banyaknya masyarakat menggunakan
lembaga peradilan sebagai sarana untuk menggugat lawannya dikarenakan lembaga-lembaga tradisional yang dulu dipakai oleh masyarakat untuk menyelesaikan
sengketa
secara
musyawarah
telah
musnah
oleh
arus
modernisasi. Selanjutnya Satjipto Rahardjo112 mengemukakan, “ Memang tidak dapat disangkal bahwa musyawarah untuk mufakat itu merupakan sebagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia. Namun dalam konteks masyarakat yang semakin terbuka dan individualistis serta pengorganisasian masyarakat secara modern rasional, maka pranata tersebut masih membutuhkan penyempurnaan secara kelembagaan serta penghayatan oleh masyarakat Indonesia sendiri”. Hal itu sebenarnya juga berkaitan dengan kesadaran hukum di mana pemaknaan terhadap hukum memerlukan juga kajian dari sudut pandang psikologis.113 Menurut D.H.M Meunssen, ada 3 (tiga) sumbangan psikologi
111
Lihat Satjipto Rahardjo, “Perilaku Gugat Menggugat”, Kompas, 25 Februari 1998.
112
Lihat Satjipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, hlm.52.
113
Di Indonesia, pendidikan psikologi baru diberikan pada tahun 1953 di bawah rintisan Slamet Imam Santoso, seorang guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saat itu ia mendirikan lembaga pendidikan psikologi yang pertama sebagai lembaga otonom di luar kurikulum ilmu kedokteran. Upaya ini akhirnya membawa lembaga ini ke bentuk mandiri berupa Fakultas Psikologi pada tahun 1960.
terhadap hukum. Pertama, dari sudut psikoanalisis (Freud dan pengikutnya) gejala-gejala hukum dan negara dapat diintepretasi menurut cara ini (dilakukan misalnya oleh Fromm, Marcuse, dan Ehrenzweig). Kedua, psikologi humanistik, yang antara lain menelaah kesadaran hukum dan perasaan hukum. Ketiga, psikologi perilaku (empiris) untuk mengamati tingkah laku manusia dengan pertolongan model penjelasan kausal yang dipahami dari sudut konstelasi tertentu.114 Intinya, studi dari kalangan psikologi hukum terhadap perilaku masyarakat dalam melakukan tindakan dan pilihan cara penyelesaian sengketa perlu dilakukan dan dikembangkan terus menerus.115 Hal ini perlu disampaikan karena perhatian ilmu hukum terhadap kondisi mental subyek hukum sudah terumuskan sejak lama dalam peraturan perundang-undangan.116 Pada saat Burgelijk Wetboek dan Wetboek van Stafrecht dirancang lebih dari seabad lampau, perkembangan ilmu kedokteran jiwa kehakiman (sekarang psikiatri forensik atau psikiatri sosiolegal) belum berkembang, tetapi kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental sudah berkembang.117 Peninggalan rumusan tersebut dapat dilihat dalam hukum positif Indonesia, antara lain dalam Pasal
Uraian lebih lanjut soal ini, periksa: Irwanto dkk, 1994, Psiokologi Umum: Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 7, dst. 114
D.H.M. Meussen, “Pengembangan Hukum”, terjemahan oleh B. Arief Sidharta, Jurnal Pro Justitia, Tahun XII No. 1, Januari 1994, hlm. 67-88. 115
Sebenarnya upaya sebagai rintisan penelitian psikologis hukum nampak antara lain dalam hasil penelitian Bank Dunia dan Indonesian Corruption Watch (ICW) tentang perilaku pengadilan. Sayangnya, penelitian itu tidak memuat kajian mendalam tentang dimensi psikologis perilaku aparat penegak hukum di lingkungan pengadilan. Kajian justru diarahkan kepada pelaku kejahatan. Sebagai informasi lihat: Kantor Hukum ABNR-MKK, 2000, Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Cyber Consult dan Wasingatu Zakiah, dkk, 2002, Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, Jakarta: ICW. 116
Berkaitan dengan hal ini, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa dalam konteks perlunya pemahaman tentang sifat-sifat manusia, maka sumbangan pemikiran para psikolog sangat diperlukan. Selama ini, para psikolog masih bersikap diam-diam dan tenang-tenang saja, misalnya di tengah-tengah gencarnya pembicaraan tentang hak asasi manusia (HAM). Saya pikir, sikap seperti itu memang tidak bisa disalahkan, sebab selama ini masalah HAM sudah terlalu keras disayat-sayat dan dikunyah-kunyah oleh kalangan politik dan hukum. Politik dan hukum memang sudah terlalu memonopoli pembicaraan HAM, seolah-olah hanya mereka sendirilah yang ahli untuk berbicara mengenai soal itu. Uraian lebih lanjut soal ini, periksa: Satjipto Rahardjo, “Manusia Indonesia dalam Hukum Indonesia”, Kompas, 1 September 1993, hlm. 4. 117
Hasan Basri Saanin Dt. Pariaman, 1983, Psikiater dan Pengadilan: Psikiatri Forensik Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 3 dan 26-27.
61118 dan 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 44119 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menurut Satjipto Rahardjo120 terlihat besar peran dan jasa yang bisa disumbangkan oleh psikologi terhadap diskusi mengenai masalah-masalah yang melampaui batas-batas kajian psikologis yang bersifat teknis. Bagaimanapun, institusi-institusi dalam masyarakat seperti hukum, berintikan, berdasarkan, dan berpusat pada manusia, sehingga tanpa terlebih dahulu membicarakan apa dan siapa manusia itu, maka pembicaran mengenai institusi dalam masyarakat menjadi sesuatu yang sedikit banyak kosong. Dengan budaya yang hampir sama dengan Jepang, ternyata masyarakat Indonesia berbeda dalam mencerna nilai-nilai hukum modern. Masyarakat Jepang walaupun diterpa arus modernisasi yang kuat, namun masyarakatnya masih tetap menyelesaikan
mempertahankan sengketa
yang
nilai-nilai
dasar
‘harmoni’
untuk
dialaminya. Menurut Noda, “bagi seorang
seorang Jepang terhormat, hukum adalah sesuatu yang tidak disukai, malahan dibenci.... Mengajukan seseorang ke pengadilan untuk menjamin perlindungan kepentingannya ..., meskipun dalam urusan peradata, adalah sesuatu yang memalukan121. Sedangkan menurut Kawashima,
‘...bagi masyarakat Jepang,
litigasi telah dinilai salah secara moral, bersifat subversif atau membrontak, dan
118
Pasal ini mengatur tentang pencegahan perkawinan oleh orang tua kndung. Salah satu alasan pencegahan menurut ayat (3) Pasal ini adalah bila salah satu pihak, yang karena cacat mental berada dalam pengampuan, atau dengan alasan yang sama telah dimohonkan pengampuan, tetapi atas permohonan itu belum diambil keputusan. 119
Pasal ini memmuat salah satu hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana. Dikatakan tidak mampu bertanggung jawab, menurut ayat (1) pasal ini, adalah barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. 120
Satjipto Rahardjo, Manusia Indonesia…, loc.cit.
121
Yosiyuki Noda, Op.cit. hlm. 159.
dipandang membahayakan hubungan sosial yang harmonis122 . Di Jepang terdapat lembaga konsiliasi di luar pengadilan, yaitu Jidan.123 Bagi orang Jepang membawa perkara ke pengadilan merupakan sifat yang tidak terpuji. Paling bijaksana adalah menyelesaikannya terlebih dahulu melalui forum mediasi Jidan. Penyelesaian sengketa lewat pengadilan dianggap mengandung kelemahan, yaitu memakan waktu yang lama, memakan biaya yang tinggi, dan merenggangkan hubungan pihak-pihak yang bersengketa. Hampir sama dengan budaya Jepang, budaya orang Korea Selatan menganggap berperkara ke pengadilan sebagai simbol konflik. Orang yang dianggap memperkarakan orang lain ke pengadilan dianggap sebagai deklarasi perang dengan lawannya. Penyelesaian melalui sarana hukum dianggap dapat merusak hubungan sosial yang harus dijaga keserasiannya.124 Bagi orang Korea, apa yang dikenal sebagai hukum dalam masyarakat modern dianggap identik dengan pemidanaan. Forum hukum formal dilihat sebagai forum yang menyandarkan diri pada kekuatan dan kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan, kedamaian, dan keselarasan.125 Dalam kasus di Indonesia masyarakat justru merasa ‘telah melek hukum’ bila bisa mengatasi atau terlibat langsung atau menang berperkara di pengadilan. Nampaknya virus hukum modern yang mendasarkan pada manajemen pertentangan telah merasuk dalam perilaku masyarakat. Kondisi demikian tepat jika dikatakan sebagai kesadaran hukum yang berwatak teknologi.
122
Takeyoshi Kawashima,“Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer”, Dalam A.A.G. Peters dan Koesrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta, Sinar Harapan, 1988, hlm. 95-123. 123
Hideo Tanaka (Ed.), 1988, The Japanese Legal System, Tokyo: University of Tokyo Press, hlm. 492500. 124 Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali, hlm. 225. 125 Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan, Bandung: Alumni, hlm. 89.
Sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo126, kesadaran semacam itu menimbulkan 2 (dua) aliran dalam memahami hukum, yaitu “Aliran Minimalis” dan “Aliran Idealis.” Dalam hal ini, aliran minimalis mentakan bahwa hukum sudah dijalankan apabila peraturan-peraturan sudah diterapkan sesuai dengan apa yang tercantum di situ. Ini adalah tampang hukum sebagai teknologi. Sementara itu, aliran yang kedua berpendapat bahwa menerapkan peraturan begitu saja tidak cukup, melainkan juga perlu memikirkan nilai-nilai dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh hukum dan yang tidak dengan mudah dibaca dalam peraturan. Hukum bukan semata-mata teknologi, melainkan sarana untuk mengekspresikan nilai dan moral. Berkaitan dengan upaya penyelesaian sengketa, maka manajemen konfliktual dengan menjadikan pengadilan sebagai jalan tunggal untuk akses kepada keadilan merupakan salah satu watak dari hukum sebagai teknologi. Dalam kondisi di mana masyarakat,
terjadinya
perilaku
gugat menggugat meningkat di
krisis dalam lembaga
berkembangnya penggunaan
pengadilan,
dan tidak
alternatif penyelesaian sengketa. Usaha untuk
melakukan pembangunan PnLg nampaknya merupakan suatu langkah urgen yang perlu dilakukan. Beberapa pendapat membenarkan
bahwa alternatif
penyelesaian sengketa merupakan salah satu cara yang harus dikembangkan manakala lembaga pengadilan mengalami krisis kewibawaan dan kepercayaan dari masyarakat. Menurut Friedman, salah satu langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis lembaga peradilan
adalah pengembangan mekanisme
penyelesaian sengketa yang efisien di luar sistem pengadilan yang berlaku127. 126
Satjipto Rahardjo, “Negara Hukum Tanpa Moral dan Tanpa Disiplin”, Kompas, 23 Februari 1996, hlm.
4. 127
Lihat dalam Satjipto, Hukum dan Masyarakat. Op.cit., hlm.88-89. Lihat juga dukungan dikembangkannya penggunaan alternatif penyelesaian sengketa karena adanya krisis lembaga peradilan, dalam beberapa buku literatur, di antaranya Thomas E. Carbonneau, 1989, Alternatif Dispute Resolution, Melting the Lances and Diemounting the Steeds, Chicago, University of Illinois; S.B. Golberg, F. Sander, and N.H. Rogers, 1992, Dispute Resolution: Negotiation, Mediation, and Other Processes, Boston, Toronto, Little, Brown and Company, hlm. 8; Jacqueline M. Nolan-Haley, 1992, Alternative Dispute Resolution, Toronto, West Publishing Coo. 1992.
Selanjutnya Congress USA ketika terjadi krisis lembaga peradilan di Amerika Serikat juga memberlakukan the Civil Justice Reform Act of 1990, di mana di dalamnya termasuk adanya usulan untuk memberdayakan program Alternative Dispute Resolution. Bahkan hasil penelitian hukum di Indonesia128, yang cukup monumental, melibatkan puluhan pakar hukum
dan menghabiskan dana
miliaran rupiah, juga merekomendasikan untuk dikembangkannya alternatif penyelesaian sengketa. Tujuan pembangunan PnLg bukan untuk mengganti PLg, namun penggunaan alternatif penyelesaian sengketa
juga bisa
agar
menjadi pilihan
masyarakat untuk menyelesaikan sengketa bisnis, sehingga masyarakat (pihakpihak yang bersengketa) tidak hanya mengandalkan PLg untuk menyelesaikan sengketa. Membangun PnLg bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena yang dibenahi
tidak sekedar pembangunan fisiknya saja, seperti pembuatan dan
pendayagunaan
peraturan perundang-undangan yang memuat penggunaan
alternatif penyelesaian sengketa, pendirian lembaga penyedia jasa yang mudah diakses masyarakat, atau pendirian dan pengembangan asosiasi profesi, juga
tapi
membangun kepercayaan masyarakat agar bersedia menggunakan
alternatif penyelesaian sengketa menjadi bagian dari perilaku masyarakat untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Menurut Satjipto Rahardjo129, membangun kepercayaan tidak terletak pada kawasan rasional-teknologis, melainkan pada perasaan. Usaha tersebut dapat dipertanggungjawabkan, oleh karena hukum juga mempunyai fungsi simbolik. Membangun kepercayaan berarti merombak perilaku dan budaya hukum.
128
Pada awal 1995, Bappenas mendapatkan bantuan dana dari the World Bank untuk melakukan “Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia”. Kemudian dengan melibatkan pakar-pakar hukum, penelitian tersebut dilakukan pada tahun 1996. Hasil penelitian itu selesai pada awal tahun 1997, yang terbagi dalam 5 (lima) volume yang kesemuanya lebih dari 2000 halaman. 129
Lihat Satjipto Rahardjo, “Negara Hukum dan Deregulasi Moral”, Op.cit.
Untuk itu diperlukan langkah-langkah signifikan mempengaruhi kognitif, afektif, dan konatif
yang dapat
manusia130, khususnya yang
berkaitan dengan penggunaan alternatif penyelesaian sengketa. Menurut Saifuddin Azwar131, yang bisa mempengaruhi kognitif, afektif, dan konatif manusia adalah pengalaman pribadi, pengaruh orang yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan pengaruh emosional. Hak ini harus menjadi perhatian, karena
perilaku masyarakat bisnis
dalam penyelesaian sengketa seringkali di luar bingkai teori yang dikemukakan oleh beberapa pakar. Misalnya, beberapa pakar mengkaitkan hubungan antara struktur masyarakat dengan penyelesaian sengketa. Dalam konteks yang demikian,
seharusnya masyarakat bisnis, yang notabene bukan masyarakat
primitif, lebih tepat bila menyelesaikan sengketanya melalui jalur litigasi atau melalui lembaga peradilan. Hal ini juga selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Yahezkel Dror, bahwa tindakan-tindakan di dalam masyarakat yang semata-mata bersifat instrumental seperti dalam kegiatan komersial, dengan nyata sekali dapat menerima pengaruh dari peraturan-peraturan hukum yang baru dibanding bidang-bidang kehidupan sosial yang erat hubungannya dengan kepercayaan132. Namun demikian dalam tataran praksis, kejadian yang berlangsung dalam masyarakat bisnis kadang-kadang justru menyimpang dari apa yang telah didikemukakan para pakar. 130
Dari pisau analisis psikologi, menurut Fishbein, dalam teorinya tentang keinginan berperilaku (theory of behavior intentions), menyatakan bahwa keinginan berperilaku ditentukan secara bersama-sama oleh persepsi tentang manfaat perilaku tersebut, dan persepsi tentang sikap kelompok referensi terhadap perilaku tersebut. Untuk medukung teorinya Fishbein mengemukakan beberapa preposisi, yaitu: 1) perilaku seorang dipengaruhi niatnya untuk melakukan perilaku tersebut; 2) Niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai konsekuensi dari tindakan tersebut serta manfaat bagi dirinya; 3) Niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai harapan-harapan kelompok panutan serta motivasinya untuk memenuhi harapan tersebut. Lihat dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989, Metode Penelitian Survai, Jakarta, LP3ES, hlm.20-21 & 38. 131 132
Saifuddin Azwar, 1995, Sikap Manusia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 30-38. Lihat dalam Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Op.cit., hlm. 121.
Menurut
Weber,
walaupun
di
masyarakat
modern
terdapat
kecenderungan penegakan hukum untuk menjadi semakin formal-rasional dan birokratis. Namun, perkembangan dari hukum modern juga menunjukkan tendensi yang anti-formalistik.
Keadaan yang cukup bertentangan ini
dijelaskannya dengan mengatakan, bahwa perkembangan kualitas formal dari hukum justru melahirkan antinomi-antinomi yang aneh. dengan mengambil hukum bisnis sebagai sasaran pembicaraan, dikatakannya bahwa, jika orang mendasarkan pada cara-cara formalistik demi untuk mencapai kepastian dalam menjalankan bisnis, maka pada saat yang bersamaan orang juga harus bertindak secara informal demi menjalankan kelangsungan bisnisnya133. Pendapat
tersebut didukung hasil penelitian Stewart Macaulay.
Penelitian yang dimaksud adalah tentang praktek para pengusaha sehubungan dengan
kontrak
yang
dibuat
di
antara
mereka.
Penelitian
tersebut
mengungkapkan, bahwa sebagian pengusaha hanya menerima pembuatan kontrak itu sebgai suatu formalitas dan untuk selebihnya praktek-praktek mereka lebih dituntun oleh pertimbangan-pertimbangan untung rugi bisnis tanpa memperimbangkan kontrak yang telah mereka sepakati. Pertikaian sering diselesaikan tanpa referensi kepada kontrak atau potensi sanksi-sanksi hukum yang sesungguhnya. Terdapat
suatu keseganan untuk
berbicara tentang hak-hak hukum atau untuk mengancam akan menggugat .... Bahkan meskipun pihak-pihak mempunyai suatu persetujuan yang terinci dan direncanakan secara cermat yang menunjukkan apa yang akan terjadi, bila misalnya, penjual gagal untuk menyerahkan barang pada waktu yang ditetapkan, sering mereka tidak
pernah menunjuk kepada persetujuan,
melainkan akan menegosiasikan suatu penyelesaian apabila problem muncul, nampaknya seperti tidak pernah ada suatu kontrak asli apapun .... Seperti dikatakan oleh seorang usahawan, ‘engkau akan dapat menyelesaikan pertikaian
133
Weber, Op.cit., h.320.
apapun, selama engkau tidak memasukkan pengacara-pengacara dan akuntanakuntan ke dalamnya. mereka sama sekali tidak mengerti memberikan dan mengambil dalam bisnis134. Berkaitan dengan hal tersebut, berarti tesis Hart yang berkaitan dengan pengaruh struktur masyarakat dengan penggunaan pendekatan penyelesaian sengketa perlu mendapat perhatian secara
kritis, bahwa ketika masyarakat
sudah berada dalam tahapan secondary rules of obligations bukan berarti tahapan primary rules of obligation menjadi ‘mati’. Pada saat itu, tahapan primary rules of obligation sementara memang berada di atas permukaan. Namun demikian, apabila perangkat-perangkat hukum yang ada pada secondary rules of obligation mengalami suatu distorsi atau mengalami kegagalan ujian setelah dilakukan referendum135 oleh masyarakat. Maka pada saat itu perangkat-perangkat yang terdapat dalam primary rules of obligation akan muncul kembali untuk mengatasi permasalahan baru yang sebelumnya tidak bisa diselesaikan. Ditarik dalam proses penyelesaian sengketa, kondisi masyarakat yang telah sampai pada tahap secondary rules of obligation seperti sekarang ini, peranan pengadilan merupakan tumpuan utama, namun demikian ketika pengadilan sedang mengalami krisis dan gagal menjalankan tugas dan fungsinya, maka perangkat-perangkat yang ada pada tahapan primary rules of obligation, seperti mediasi, konsiliasi atu perangkat yang lain akan muncul kembali untuk menjadi alternatif. Dengan kata lain, keberadaan dua pendekatan tersebut tidak saling meniadakan satu dengan yang lain, tapi dua-duanya memang dibutuhkan masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya.
134
Stewart Macaulay, “Non-Contractual Relations in Business”, American Sociological Review,
28., 1963. 135
Istilah referendum digunakan untuk menguji otoritas dan kekuatan hukum dalam masyarakat, dengan teori referendum ini dapat diketahui bahwa berlakunya hukum di masyarakat itu tidak gratis atau berlaku dengan sendirinya (taken for granted). Lihat dalam Satjipto Rahardjo, “Hukum dalam Kekacauan”, Forum Keadilan , No.7, 13 Juni 1998, dan “Konstitusional, dari Dua Sudut Pandang”, Kompas, 7 September 1998.
Bagi masyarakat bisnis, selain senantiasa menggunakan pertimbangan rasionalitas136,
masalah
kesinambungan
hubungan
(harmoni),
unsur
kepercayaan (trust), membangun image, efisiensi, dan velocity telah menjadi faktor yang melekat pada perilakunya. Beberapa faktor tersebut, berdasarkan pilihan hirakhi kepentingan ketika
pengusaha,
juga akan
menjadi pertimbangan
akan memilih pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan
sengketa bisnis.137 Semua teori yang telah dipaparkan di muka memang bermanfaat untuk memahami dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pihakpihak yang bersengketa, sehingga
membantu untuk menemukan langkah-
langkah yang tepat untuk membangun PnLg. Namun demikian, keberadaan teori-teori tersebut terasa belum lengkap, karena masih sekedar memotret variabel yang berpengaruh pada seseorang untuk menggunakan salah satu paradigma penyelesaian sengketa. Padahal dalam penyelesaian sengketa, penting juga untuk memahami hubungan antara perilaku masyarakat untuk menyelesaikan sengketa dengan terbentuknya PnLg. Dalam kaitan dengan hal tersebut, teori strukturasi dari Anthony Giddens138 bisa dijadikan alat untuk membantu memahami fenomena tersebut.
136
Dalam sosiologi juga dikenal rational choise theory. Teori ini memfokuskan pada tujuan dan maksud yang hendak diambil sang aktor. Rasional aktor dalam mencapai tujuan atau kehendaknya untuk melakukan suatu pilihan adalah will maximize utility atau the satisfaction of their needs and wants. Namun menurut teori ini, tindakan yang diambil aktor harus mempertimbangkan dua hal, yaitu: scarcity of resources dan social intutions. Lihat dalam George Ritzer, 1996, Modern Sociological Theory, New York, The McGraw-Hill Companies, Inc., hlm. 263-264. 137
Dalam segala macam transaksi dalam sektor ekonomi dan bisnis di seluruh dunia, orang semakin cenderung untuk merumuskan segala hak dan kewajiban timbal balik dengan memanfaatkan konstruksi hukum yang sifatnya kontraktual. Selama pelaksanaannya berjalan mulus tidak akan ada pihak yang akan memulai suatu perdebatan atau bahkan “perkata”. Namun tidak jarang juga, bahwa hubunga antarpihak bermuara dalam jalan buntu. Kendati demikian, karena proses ekonomi dan bisnis acapkali berlangsung dalam semangat yang pragmatis, lingkungan itu juga mengembangkan institusi-insitusi yang relatif efisien untuk mengatasi perselisihan. Periksa: Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil, Jakarta: Grasindo, hlm. 5-6. 138
Pemahaman teori stukturasi bisa dibaca di antaranya dalam Philip Cassell (ed.), 1993, The Giddens Reader, Stanford, Stanford University Press; Anthony Giddens, 1984, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, Cambridge, Polity Press. Lihat juga karyanya yang telah
Teori stukturasi menfokuskan penelitian pada praktik sosial yang terpola dalam lintas ruang dan waktu (social practices ordered across space and time). Dalam teori ini pelaku dan struktur (subyek dan obyek) tidak dipandang sebagai dua hal yang berdiri sendiri (dualisme), lepas satu dari yang lain, melainkan sebagai dua hal yang saling tergantung serta saling mengandaikan satu sama lain (dualitas). Dualitas struktur-pelaku terletak dalam proses di mana struktur sosial merupakan hasil dan sekaligus sarana praktik sosial. Pelaku menunjuk pada orang kongkret dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia. Sementara struktur di sini dipahami sebagai pertama, aturan-aturan dan sumber daya yang berperan di dalam reproduksi sistem-sistem sosial. Kedua, mengacu ke bentukbentuk yang terinstitusionalisasi dalam masyarakat.139 Struktur ada hanya dalam perwujudan seketika dalam sistem sosial dan sebagai jejak-jejak ingatan bagi orientasi perilaku manusia. Dalam hal ini, analisa prinsip-prinsip struktural mengacu ke bentuk-bentuk diferensiasi dan artikulasi institusi-institusi dalam bentang waktu dan tempat. Oleh karena itu, struktur tidak bersifat eksternal, melainkan tidak terpisah dari tindakan dan praktikpraktik sosial. Ada 3 (tiga) gugus besar struktur.140 Pertama, struktur ‘sinifikasi’ (signification) menyangkut skemata simbolik, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur ‘dominasi’ (domination) yang mencakup skemata penguasaan orang atas orang dan barang. Ketiga, struktur ‘legitimasi’ (legitimation) menyangkut peraturan normatif yang terungkap dalam tata-hukum. Menurut kerangka teori
strukturasi,
tindakan pelaku tak dapat
didiskusikan terpisah dari tubuh dengan penempatannya dalam ruang dan waktu. Dalam kontekstualitas ruang-waktu, tindakan manusia dipandang sebagai suatu proses dan bukan tindakan terpisah-pisah ataupun sekumpulan
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. A.Giddens, Jalan Ketiga, Pembaharuan Demokrasi Sosial, diterjemahkan Ketut Arya Mahardika, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, 1999. 139
Anthony Giddens, 1984, op.cit., hlm. 185.
140
Ibid., hlm. 29.
tindakan. Dengan kata lain, tindakan manusia dilihat sebagai duree, sebagai ‘aliran tindakan yang terus menerus’, ‘suatu proses terus menerus’, dan bukan sebagai ‘sekumpulan tindakan’. Tindakan-tindakan manusia yang mengambil cara penyelesaian sengketa dengan menggunakan jalur no-litigasi yang berlangsung terus menerus akan membentuk suatu struktur (Paradigma Non-Litigasi) dan struktur tersebut nantinya juga akan menjadi sarana bagi tindakan penyelesaian sengketa berikutnya.
Berarti
memberdayakan,
struktur
maksudnya
dalam
gagasan
memungkinkan
Giddens
juga
bersifat
berlangsungnya
praktik
penyelesaian sengketa berikutnya. Di samping itu, Giddens juga adanya
dimensi
sintagmatik
maupun
paradigmatik
dalam
mengenali
penstrukturan
hubungan-hubungan sosial (structuring of social relations). Dimensi sintagmatik meliputi reproduksi praktik-praktik yang tadinya terikat pada ruang-waktu tertentu (reproduction of situated practices), sedangkan dimensi paradigmatik meliputi suatu tata virtual cara-cara penstrukturan (modes of structuring) yang terlibat berulangkali dalam proses reproduksi tersebut. Kaitannya dengan tindakan pelaku, terdapat 3 (tiga) dimensi internal pelaku: motivasi tidak sadar (unconscious motives), kesadaran praktis (practical consciousness), dan kesadaran diskursif (discursive consiousness). Motivasi tak sadar
menyangkut
keinginan/kebutuhan
yang
berpotensi
mengarahkan
tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri. Misalnya, sangat jarang orang pergi ke pengadilan digerakkan oleh motif mencari keadilan. Dorongan tak sadar yang menggerakan biasanya karena sudah terbiasa melihat pelaku lain menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Kesadaran diskursif mengacu pada kapasitas pelaku merefleksikan dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan pelaku. Misalnya, orang menyelesaikan sengketa melalui ‘alternatif penyelesaian sengketa’, karena mengetahui lembaga ini lebih efektif dan efisien. Kesadaran praktis menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai.
Misalnya, pelaku menyelesaikan sengketa HaKI
melalui pengadilan niaga,
karena memang aturanya demikian. Dalam rangka
pengembangan ketiga kesadaran tersebut, peranan
pemerintah, tradisi, surveillance, dan trust perlu diperhatikan. Dalam kerangka pikir Giddens, pemerintah tetap dibutuhkan, namun harus mampu menjadi lebih fleksibel dan cepat bereaksi, ini artinya pemerintah tidak mungkin lagi hanya mengandalkan birokrasinya. Kaitan dengan
penyelesain sengketa,
pemerintah sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan lembaga peradilan, karena sudah dipandang oleh dunia bisnis tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu pemerintah harus memfasilitasi untuk membangun ‘alternatif penyelesaian sengketa’. Di antaranya pemerintah
harus mendukung terus menerus
pengembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam sistem pendidikan, sehingga membuka peluang terciptanya tenaga-tenaga profesional pada bidang ‘alternatif penyelesaian sengketa’. Pemerintah juga perlu ikut andil dalam membudayakan nilai-nilai PnLg pada masyarakat. Dalam kaitannya dengan tradisi, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut tetap harus diperhatikan sebagai pegangan sebab tanpa tradisi masyarakat akan ambruk atau tidak punya arah. Hanya persoalannya bagaimana kita dapat membela tradisi itu dengan cara-cara yang tidak tradisional, sehingga tradisi itu masih bisa diterima di zaman sekarang. Dalam konteks dengan penyelesaian sengketa, persoalannya adalah bagaimana kita mampu merasionalkan tradisi musyawarah dengan menggunakan metode-metode ilmiah, yang dikembangkan melaui sistem pendidikan, sehingga bisa dimanfaatkan untuk menangani sengketa bisnis, termasuk yang sangat komplek sekalipun.
Surveillance di sini dipahami
sebagai akumulasi informasi dan pengawasan. Berkaitan dengan pemahaman surveillance sebagai akumulasi informasi. Tidak adanya atau kurangnya informasi
tentang
cara
mengakses
‘alternatif
penyelesaian
sengketa’
sebagaimana termuat dalam peraturan perundang-undangan bidang ekonomi, jelas akan sulit menggerakan pelaku untuk menyelesaikan sengketa dengan
menggunakan PnLg. Berkaitan dengan kelangkaan surveillance tentang PnLg, lembaga pendidikan dan media bisa menjadi kekuatan utama untuk penyebarannya. Sementara itu dalam kaitannya dengan trust, yang diartikan sebagai percaya terhadap dapat dipercayanya seseorang atau bekerjanya suatu sistem, adalah ditujukan pada abstract system dan person.
Dalam kaitannya
dengan penyelesaian sengketa menggunakan PnLg, maka trust di sini adalah percaya pada ‘PnLg’ (sebagai abstract system) dan adanya kepercayaan antara pihak-pihak yang bersengketa (sebagai persons). Orang bisa percaya pada PnLg, kalau kinerja ‘alternatif penyelesain sengketa’ yang dalam hal ini diwakili negosiator, mediator, atau orang yang dipercaya menyelesaiakan sengketa (sebagai wakil dari abstract system) mampu bertindak secara profesional dalam menyelesaikan sengketa. Sedang kepercayaan pihak-pihak yang bersengketa (personal trust) muncul apabila mereka saling terbuka mengungkapkan identitasnya, posisinya, dan permasalahannya secara jujur, serta mempunyai itikad baik untuk mencari solusi atas sengketa yang timbul. Di samping itu, karena kontinuitas tindakan sosial merupakan salah satu kunci strukturasi, maka ‘rutinitas’ merupakan hal sangat dibutuhkan karena rutinitas melahirkan rasa aman ontologis (ontological security). Sebaliknya situasi krisis akan mengacaukan rutinitas yang dapat diramalkan dan menghancurkan rasa kedatangan masa depan (futural sense). Dalam konteks dengan penyelesaian sengketa, krisis yang terjadi di lembaga peradilan jelas menimbulkan situasi tidak aman bagi kepentingan dunia bisnis, karena mereka tidak bisa meramalkan resiko bisnis yang akan terjadi bila terjadi suatu sengketa. Kalau situasi krisis ini tidak ada jalan keluar, pelaku bisnis akan enggan menanamkan investasi di Indonesia. Pada kondisi demikian, munculah reflexivity dalam masyarakat untuk mecari mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih efektif dan efisien. Dari uraian tersebut di muka, dapat diketahui bahwa usaha melakukan pembangunan
PnLg
untuk
memberdayakan
penggunaan
alternatif
penyelesaian sengketa bisnis ternyata bukan mengada-ada, tapi mempunyai argumentasi yang cukup memadai, lebih-lebih dalam kondisi di mana lembaga peradilan mengalami krisis kepercayaan dan kehilangan kewibawaan
dari
masyarakat. D. Bingkai Buku Penulisan dan pembahasan buku ini tersusun dalam 5 (lima) bab, yaitu: Bab I Pendahuluan; Bab II Fungsi Hukum Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa di Masyarakat
dan Batas
Kemampuannya; Bab III Krisis Dalam Lembaga
Peradilan; Bab IV Membangun
Paradigma
Non-Litigasi Dalam Rangka
Memberdayakan Penggunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis; dan Bab V, Penutup. Bab pertama, merupakan maket dari buku. Bagian ini
memberikan
gambaran tentang tema utama yang ditulis dalam buku, permasalahan buku yang akan dibahas, dianalisis, dan disimpulkan dalam buku ini. Pembahasan diawali
dengan
memaparkan
adanya
dua
paradigma
utama
dalam
menyelesaikan sengketa, yaitu: PLg dan PnLg. Dominasi penggunaan PLg merupakan fakta yang terdapat di masyarakat, namun demikian ketika PLg mengalami krisis kepercayaan dan kewibawaan, yang menyebabkan kegiatankegiatan produktif di masyarakat terganggu, maka perlu diupayakan untuk menempatkan posisi PnLg, yang sementara ini belum berkembang dan belum mampu merespon sengketa-sengketa bisnis yang kompleks, agar juga menjadi alternatif pilihan utama masyarakat bisnis. Hal inilah yang mendorong munculnya tema utama sekaligus merupakan permasalahan utama disertasi ‘Membangun Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi Dalam Rangka Memberdayakan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis’. Dalam dikemukakan
sejumlah
permasalahan
yang
masing-masing
buku ini
mempunyai
keterkaitan erat dengan permasalahan utama disertasi. Permasalahan tersebut terbagi dalam; pertama, masalah pondasi, merupakan masalah yang melatar belakangi atau mendorong untuk diambilnya tema utama buku. Kedua, masalah
solusi, masalah yang bila dipecahkan akan memberikan solusi dan masukan pada tema utama buku. Ketiga, masalah hasil, masalah yang bila dipecahkan bisa memberikan hasil yang bisa diaplikasikan oleh pelaku bisnis. Untuk tidak menimbulkan salah penafsiran pada pembaca tentang pemahaman suatu istilah, dalam bab ini juga menampilkan penjelasan pada istilah yang nantinya kan muncul dalam penulisan buku, di antaranya seperti istilah ‘sengketa’, ‘adverserial’, ‘litigasi’, ‘paradigma’, ‘alternative dispute resolution’, ‘alternatif penyelesaian sengketa’, ‘arbitrase’, ‘paradigma litigasi’, ‘paradigma non-litigasi’, ‘pembangunan’,
‘pemberdayaan’.
Penempatan
penjelasan
tersebut
tidak
terangkum dalam suatu sub.bab definisi operasional, tapi dimasukan dalam suatu catatan kaki. Hal ini dimaksudkan agar pembaca memahami pengertian tersebut secara lengkap sesuai dengan konteks bacaannya. Di samping itu, juga ingin memudahkan pembaca bila ingin melakukan penyelusuran literatur yang terkait dengan suatu istilah yang ingin dipelajarinya lebih dalam. Namun demikian, keinginan untuk memberikan informasi yang lengkap tentang suatu istilah, konsep, teori dalam suatu catatan kaki, seringkali menyebabkan catatan kaki sebagai sumber rujukan sekaligus sumber informasi tersebut menjadi ‘menggunung’
mendesak
kalimat
dalam
tubuh
karangan.
Sehingga
mengganggu nilai ‘estetika’ tubuh karangan, hal ini merupakan resiko yang sudah diperhitungkan oleh penulis. Bab ini juga memaparkan tujuan dan manfaat diambilnya tema utama karya tulis ini dan kerangka teori yang akan memandu dalam membahas, menganalisis, memecahkan, memberikan solusi permasalahan. Teori-teori yang digunakan di samping menggunakan teori-teori ilmu hukum, juga meminjam teori-teori sosial. Namun dalam kerangka ini, penulis tetap konsisten dengan saran penganut critical legal studies, yang menyatakan sebelum mengaitkan dengan realitas bidang lain (sosial, politik, ekonomi), penguasaan yang baik merupakan hal primer.
terhadap materi-materi hukum tetap
Bab dua, merupakan sumber informasi yang bermanfaat untuk dipakai menghantar memahami dan menganalisis permasalah-permasalahan disertasi yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya. Karena yang melatar belakangi pembangunan PnLg adalah timbulnya krisis yang terjadi di lembaga peradilan, yang notabene merupakan tulang punggung PLg, maka sebelum sampai pada pembahasan tersebut perlu ditarik ke atas terlebih dahulu pada payungnya atau pada yang memberi legitimasi keberadaan lembaga peradilan di masyarakat. Keberadaan lembaga peradilan di tengah-tengah masyarakat pada dasarnya mengemban salah satu amanah fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa di masyarakat. Namun demikian, karena hukum dalam menjalankan tugasnya berada di tengah-tengah masyarakat yang mempunyai perkembangan dan permasalahan yang kompleks dan seringkali tidak teramalkan, sedangkan hukum dalam mengimplementasikan norma-normanya di wakili oleh resources yang mempunyai banyak keterbatasan dan rentan terhadap tekanan atau pengaruh lingkungan. Sehingga
dalam
menjalankan
tugasnya,
hukum
sebenarnya mempunyai keterbatasan-keterbatasan, sebagaimana keterbatasan yang dimiliki oleh resources-nya (aparat penegak hukum). Bagian ini diawali dengan sub.bab ‘Keberadaan Sistem Hukum dan Potensi Konflik yang Ditimbulkannya Dalam Masyarakat’. Penggunaan terminologi ‘sistem hukum’ pada sub-bab ini, memang
menimbulkan kesan
bahwa terdapat suatu
keteraturan, kerapian bekerjanya sistem tersebut kaitannya dengan sistem lain dalam masyarakat, seperti teorinya Parsons. Untuk menghindari kesan yang demikian, maka juga ditambahkan “ ...dan potensi konflik.... ”
Keberadaan
sistem hukum, yang di dalamnya membawa nilai-nilai atau norma-norma yang merupakan hasil negosiasi beberapa kepentingan, di samping dipakai sebagai acuan atau bingkai oleh masyarakat dalam melaksanakan aktifitasnya seringkali justru berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat tempat sistem hukum tersebut diberlakukan. Pada aras praktik sosial di masyarakat, karena suatu sistem hukum mengandung nilai-nilai yang tidak dipahami, bahkan berbenturan
dengan nilai-nilai masyarakat yang hendak diaturnya, seringkali justru menjadi sumber munculnya sengketa atau menimbulkan situasi chaos di masyarakat. Misalnya diberlakukannya perundang-undangan HaKI yang ternyata juga menimbulkan
gelombang
sengketa
yang
sangat
besar
di
masyarakat.
Selanjutnya, karena sengketa yang dicarikan solusi merupakan sengketa bisnis, maka sub.bab berikutnya membahas ‘Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis dan Batas-batas Kemampuannya’. Hukum yang dalam hal ini diwakili oleh pengadilan memang mempunyai keterbatasan-keterbatasan ketika harus menyelesaikan sengketa di masyarakat, sehingga seringkali tidak bisa memenuhi dan mengecewakan harapan pelaku bisnis. Namun demikian dalam menyelesaikan sengketa sebenarnya pelaku bisnis tidak perlu hanya tergantung pada lembaga peradilan, yang notabene merupakan tulang punggung PLg, karena di masyarakat juga ada PnLg (‘Paradigma Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat). PnLg menyediakan banyak sarana yang bisa diakses oleh pihakpihak bersengketa, di antaranya perdamaian di pengadilan, pemeriksaan juri sumir, evaluasi netral secara dini, pencarian fakta yang bersifat netral, negosiasi, mediasi, konsiliasi, minitrial, dan ombudsman. Keseluruhan materi tersebut di atas terangkum dalam suatu judul bab ‘Fungsi Hukum Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa di Masyarakat dan Batas Kemampuannya’. Bab ketiga mengambil judul ‘Krisis di dalam Lembaga Peradilan’. Untuk mendapat gambaran lengkap adanya ‘krisis’,
penulis berusaha mendekati
dengan kerangka pikir legal realist dan critical legal studies yang melihat lembaga peradilan bukan suatu insitusi yang otonom, netral, dan steril dari pengaruhpengaruh yang terdapat dalam masyarakat. Adanya pengaruh, tekanan, atau intervensi pihak luar menjadi salah satu penyebab lembaga pengadilan mengalami krisis, dan hal itu dalam kadar yang berlainan telah menjadi fenomena global. Oleh karena itu, sub. bab ini diawali dengan bahasan ‘Paralisme Global Distorsi Lembaga Pengadilan’. Sub.bab. ini diangkat juga untuk membuktikan tesis bahwa netralitas lembaga pengadilan, di manapun
berada
merupakan hal yang sangat langka. Selanjutnya pembahasan masuk
dalam wilayah Indonesia,
dengan mendeskripsikan, menganalisis adanya
‘Krisis Lembaga Pengadilan di Indonesia’. Krisis lembaga pengadilan di Indonesia ternyata sudah berlangsung lama dan sudah mencapai tingkatan stadium yang cukup parah serta tidak mudah teratasi. Oleh karena itu, agar bisa memahami penyebab awal adanya krisis lembaga peradilan di Indonesia, sub.bab ini diawali dengan membahas ‘Keberadaan Peradilan di Indonesia Pada Masa Penjajah Sampai Orde Reformasi’. Potensi krisis lembaga peradilan di Indonesia ternyata sudah dimulai ketika pemerintah (mulai dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati) tidak mempunyai political will untuk menempatkan lembaga peradilan sebagai variabel strategis dalam membangun bangsa. Bahkan penguasa justru merusak kinerja lembaga pengadilan dengan melakukan intervensi pada kemandirian lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa. Keadaan ini bertambah tidak menentu ketika Mahkamah Agung ternyata tidak mampu memegang amanah konstitusi sebagai institusi yang mandiri, ulasan lengkap tentang hal ini termuat dalam ‘Ketidakmampuan
Mahkamah Agung
Menjalankan
Pendistribusi Keadilan’. Tidak itu saja, rendahnya
Peran Sebagai
kredibilitas hakim dalam
menangani dan memutus perkara juga menyebabkan krisis lembaga pengadilan bertambah parah. Untuk itu dalam bagian sub.bab ini juga diulas ‘Kostribusi Hakim Pada Kerusakan Lembaga Pengadilan’. Di samping itu, perjalanan panjang yang harus ditempuh untuk menggapai putusan pengadilan semakin menambah kekecewaan pihak-pihak yang bersengketa.
Uraian tentang
panjangnya alur penyelesaian sengketa terkemas dalam judul ‘Jalan Panjang Menggapai Putusan Hakim’. Kesemuanya itu telah menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga pengadilan, hal itu ditandai adanya demonstrasi, kritikan, dan pelecehan pada lembaga pengadilan. Fenomena tersebut dapat Runtuhnya
Kewibawaan
terlihat dalam sub.bab. ‘Kepercayaan Peradilan di
dan
Masyarakat’. Krisis dalam lembaga
peradilan telah mengganggu pemulihan perekonomian bangsa. Krisis dalam lembaga peradilan juga telah menjadi komoditi di berbagai seminar untuk dicarikan solusinya, namun sampai sekarang krisis itu belum menunjukan tanda-tanda mereda. Di negara-negara lain adanya krisis lembaga peradilan, di samping ditindak lanjuti dengan
melakukan reformasi pada lembaga
peradilannya, juga membangun dan mengembangkan penggunaan alternatif penyelesaian sengketa. Sementara itu, Bab empat mengambil judul Non-Litigasi
Dalam Rangka
Memberdayakan
‘Membangun Paradigma Penggunaan
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa Bisnis. Dalam bab ini, berdasarkan data-data penelitian
yang dimiliki,
telah menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh agar
alternatif penyelesaian sengketa bisa memasyarakat penggunaannya untuk menyelesaikan sengketa, dari kasus-kasus bisnis yang sederhana sampai yang yang komplek. Dalam bab ini sebelum menentukan langkah-langkah yang diharapkan bisa untuk memberdayakan, akan dibahas terlebih dahulu suatu ilustrasi untuk mencari suatu justifikasi arti pentingnya pembanguna PnLg. Oleh karena itu, sub.bab pertama diawali dengan membahas suatu tema ‘Eksistensi Paradigma Non-Litigasi Untuk Menyelesaikan Sengketa Bisnis’, dan ‘Globalisasi Paradigma Non-Litigasi’. Setelah itu pembahasan baru masuk pada arti pentingnya ‘Pembangunan Paradigma Non-Litigasi’.
Untuk suksesnya
pembangunan tersebut diperlukan langkah-langkah sebagaimana tergambar dalam kerangka teori. Pertama, memberikan informasi pada masyarakat tentang keberadaan alternatif penyelesaian sengketa dalam hukum nasional. Langkah ini dalam kerangka pikir Giddens dianggap sebagai usaha surveillance oleh negara. Langkah ini terkemas dalam judul ‘Pemberdayaan Bekerjanya Hukum Positif’. Hal ini penting karena banyak pelaku bisnis yang belum mendapatkan informasi tentang adanya
perundang-undang bidang hukum ekonomi,
yang telah
memberikan dasar hukum yang kuat dan kesempatan luas pada masyarakat untuk
menggunakan
alternatif
penyelesaian
sengketa
selain
lembaga
pengadilan. Berikutnya, dengan mendasarkan pendapat beberapa pakar yang menyatakan bahwa budaya merupakan salah satu variabel yang ikut menentukan perilaku masyarakat dalam menyelesaikan sengketa. Untuk itu budaya musyawarah yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat perlu harus diperjuangkan terus menerus, sehingga nilai tersebut bisa menjadi pegangan
dan
diaplikasikan
dalam
penyelesaian
sengketa
bisnis
(‘Merasionalkan Budaya Musyawarah’). Pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis untuk
mengembangkan dan merasionalkan
budaya
musyawarah (Pendidikan Sebagai Sarana Untuk Menanamkan Kepercayaan Masyarakat pada PnLg). Untuk itu sistem pendidikan harus mampu mempengaruhi kognitif, afektif, dan konatif masyarakat, sehingga pendekatan konsensus menjadi bagian perilaku masyarakat untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Sebagai share holder pada PnLg, pelaku bisnis mempunyai peran yang sangat vital pada penggunaan PnLg, oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk
memberikan informasi yang memadai tentang keberadaan dan
keuntungan penggunaan PnLg. Dalam rangka membangun kepercayaan (trust) agar pengguna PnLg merasa aman, maka diperlukan suatu usaha untuk membangun personal trust dan abstract system trust. Berkaitan dengan hal itu, perlu dilakukan ‘Pemasyarakatan dan Penegakan Etika Bisnis’, langkah ini merupakan suatu usaha membangun kepercayaan di antara para pihak yang bersengketa (personal trust). Setelah terbentuk kepercayaan di kalangan pelaku bisnis,
perlu diusahakan untuk ‘Memberdayakan Lembaga Dading’ dan
‘Pendirian Lembaga Penyelesaian Sengketa Bisnis’
yang bisa dipercaya
masyarakat. Langkah ini sebagai suatu usaha membangun abstract system trust. Bab kelima, Penutup, berisi kesimpulan, implikasi teori dan praktis, dan rekomendasi.
Kesimpulan penulisan terbagi dalam 3 (tiga) bagian, sesuai
dengan konsep sentral dalam penulisan ini, yang meliputi:
Paradigma Litigasi
dan Paradigma Non-Litigasi. Selanjutnya diungkap juga berbagai temuan yang menimbulkan implikasi teoritis dan praktis, yang diharapkan bisa merangsang
ilmuwan
lain
untuk
melakukan
penelitian
atau
menfaatkannya
demi
kepentingan praktis. Pada akhir bab ini dilontarkan berbagai rekomendasi penulisan, yang bisa dijadikan acuan untuk memberdayakan alternatif penyelesaian sengketa bisnis, dan juga bermanfaat untuk ditindak lanjuti pada penulisan ataupun penelitian berikutnya.