Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012
ISSN 1411- 0393
KETIKA PARADIGMA POSITIF MENDAMPINGI PARADIGMA NON-POSITIF DALAM RISET AKUNTANSI Mohamad Suyunus
[email protected]
Departemen Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga ABSTRACT On the last Accounting National Symposium at Banjarmasin, a quantitative accounting research approach was still dominating in the paper presentation, eventhough this event had been conducted more than a decade. So, why the quantitative approach or positive paradigm is still strong enough in its position and having a good track of development during the penetration of a qualitative approach? By understanding the positivist accounting researcher’s thought about qualitative approach, a gap could be seen and then used for developing both approaches simultaneously. This research is on the area of an interpretive paradigm and using case study method. By using in-depth interview, data are collected from informan at Gadjah Mada University, Brawijaya University, and Airlangga University. The results, all informan accept the qualitative approach or a multiparadigm accounting research with a certain note, especially regarding to the research stages. Besides, they think about the need for a dialogue between quantitative and qualitative researchers. Key words: paradigm, accounting research, dialogue ABSTRAK Dalam Simposium Nasional Akuntansi (SNA) terakhir di Banjarmasin tahun 2012, hasil riset akuntansi kuantitatif masih mendominasi presentasi makalah dalam aktivitas tersebut, padahal SNA telah berlangsung lebih dari satu dekade. Lalu mengapa periset akuntansi dengan pendekatan kuantatif atau paradigma positif tetap kokoh dan lebih berkembang ditengah masuknya pendekatan riset kualitatif?. Dengan memahami pemikiran periset akuntansi kuantitatif tentang kehadiran pendekatan kualitatif diharapkan ditemukan celah untuk mengembangkan kedua pendekatan tersebut secara bersama-sama. Riset ini berada di area paradigma interpretif dengan menggunakan metode studi kasus. Wawancara secara mendalam dilakukan terhadap tiga belas informan dari tiga situs JAFEB Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, dan Universitas Airlangga. Hasilnya, para informan menerima kehadiran riset kualitatif atau riset akuntansi multiparadigma dengan beberapa catatan, terutama yang berkaitan dengan tahapan riset. Selain itu, terkuak bahwa dialog antara periset akuntansi dengan pendekatan yang berbeda masih diperlukan. Kata kunci: paradigma, riset akuntansi, dialog
Sejak awal, SNA yang digagas oleh para alumni S-2 dan S-3 dari luar negeri (baca: Amerika dan Australia), membuka ruang bagi para presenter untuk memaparkan riset yang mengikuti aliran kuantitatif dan kualitatif. Sudah menjadi pengetahuan umum dalam dunia riset akuntansi, bahwa
PENDAHULUAN Simposium Nasional Akuntansi (SNA) yang diadakan setiap tahun oleh IAI KAPd merupakan ajang bagi peneliti akuntansi dalam memaparkan hasil risetnya. Peserta SNA pada umumnya adalah para dosen akuntansi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. 409
410
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
riset akuntansi kuantitatif (paradigma positif)1 lebih berkembang pesat daripada riset akuntansi kualitatif (paradigma non-positif). Namun, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (JAFEB UB), malah menggunakan “merk” Multiparadigma untuk menawarkan program S-2 dan S-3. Makna kata Multiparadigma secara umum adalah banyak paradigma (cara pandang) dalam melaksanakan riset akuntansi. Di JAFEB UB, para mahasiswa bisa melaksanakan penelitian akuntansi dengan berbagai paradigma riset. Perbedaan kecepatan dalam perkembangan riset semacam itu juga terjadi di Amerika, sebagaimana yang diamati oleh Merchant (2008). Dia juga memberi beberapa alasan yang diduga menjadi penyebab tidak berkembangnya aliran riset nonpositif di Amerika. Selain itu, Hopwood (2007) menambahkan bahwa ada kemungkinan para dosen memang menolak dan bahkan tidak mencoba memperhatikan dan mengembangkan riset kualitatif dengan berbagai alasan tertentu, diantaranya berkaitan dengan karir mereka. Peneliti ingin menggali pemikiran tersebut mengingat hampir dua dekade riset akuntansi positif dan nonpositif ada di benak periset akuntansi di Indonesia, tetapi dengan perkembangan yang berbeda. Dengan kata lain fenomena perkembangan pemikiran riset kualitatif belum terlalu menggembirakan sebagaimana perkembangan riset kuantitatif. Riset ini unik dan penting untuk pengembangan riset akuntansi di Indonesia. Paling tidak, riset mengenai pemikiran para peneliti akuntansi tentang apa yang diteliti, bagaimana cara atau metode untuk meneliti masih jarang dilaksanakan di Indonesia,
Peneliti cenderung mengucapkan paradigma positif dan non-positif. Sementara itu di SNA dan di situs penelitian ini, UGM dan UA, para informan lebih memilih kata riset kuantitatif dan riset kualitatif (sebagai suatu pendekatan riset), karena mereka kurang akrab dengan kata paradigma (sebagai suatu cara pandang, world view). 1
sehingga penelitian ini menjadi unik sifatnya. Selanjutnya, bila akuntansi adalah infor masi, maka kita banyak melihat bahwa saat ini, riset akuntansi berada di hilir pengetahuan akuntansi, baik mengenai perilaku para penggunan informasi atau pengaruh informasi dari sisi decision usefulness (FASB, 1978); maupun tentang makna informasi itu sendiri. Penelitian tentang perilaku para pengguna informasi akuntansi yang berada di hilir pengetahuan akuntansi, sudah banyak dilakukan. Dengan demikian, keunikan riset ini juga karena penelitian tentang perilaku periset akuntansi, jarang atau bisa jadi belum pernah dilaksanakan di Indonesia. Posisi periset akuntansi berada di hulu pengetahuan akuntansi. Riset ini menjadi penting untuk menambah wawasan pikiran para periset akun tansi dan para editor jurnal ilmiah di Indonesia agar bersikap lebih terbuka dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam realitas akuntansi, maupun ruang lingkup riset akuntansi (Guthrie and Parker, 2006; Williams, 2009). Dengan memperluas cara pandang (paradigma), termasuk, metode penelitiannya maka para periset akuntansi akan lebih leluasa menggunakan berbagai paradigma riset sesuai dengan tujuan risetnya (Burrell and Morgan, 1979; Chua, 1986, Neuman, 2011). Perembesan Pemikiran Riset Akuntansi Sosial Paparan Chua (1986) mengemukakan pendekatan riset akuntansi yang meliputi perspektif (paradigma) positif, interpretif dan kritis. Dua paradigma yang terakhir adalah sebagian dari kelompok paradigma non-positif. Hal yang dikemukakan oleh Chua (1986) berawal dari penjelasan paradigma riset yang dikemukakan oleh ahli riset sosiologi (Burrel and Morgan, 1979). Kemudian, tulisan beberapa ahli riset sosial lainnya muncul di bursa pengetahuan riset seperti Sarantakos (1993) dan Neuman (2011). Selanjutnya, Broadbent (1992) dalam Baker and Bettner (1997), menyatakan bah-
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus
wa dalam kenyataan dan perkembangannya, lebih banyak periset yang mengikuti aliran riset positif (mainstream). Salah satu sebabnya berkaitan dengan publikasi ilmiahnya. Sementara itu Merchant (2008) memberi opini bahwa hal tersebut disebabkan oleh relevansi riset dan kontribusi riset terhadap dunia praktis dan dunia pendidikan, serta lemahnya cara komunikasi para periset2, termasuk publikasi ilmiahnya. Di Indonesia, ditengarai bahwa para alumni dari berbagai Universitas di AS akan berada di paradigma positif, sedangkan para alumni dari Universitas di Australia, terutama alumni dari University of Wollongong, dan belakangan alumni dari Inggris, sebagian besar ada di paradigma riset nonpositif. Ghozali (2004) telah mengingatkan para periset akuntansi di Indonesia mengenai masuknya ilmu sosial dalam riset akuntansi serta bagaimana implikasinya pada pendidikan akuntansi di Indonesia. Artinya ada perkembangan cara pandang terhadap realitas akuntansi (Tomkins and Groves, 1983; Morgan 1988; Triyuwono, 2006; Djamhuri, 2011). Difusi pemikiran ini, sebagaimana telah diungkapkan di atas, paling tampak terjadi di JAFEB UB. Di tempat ini ada Program S-2 dan S-3 Akuntansi dengan berbagai paradigma riset atau cara pandang riset (Multiparadigma). Untuk Apa Riset Ini Dilaksanakan? Perkembangan pemikiran riset akuntansi yang lebih berwarna itu bisa terjadi cepat melalui proses penyebaran pemikiran atau difusi pemikiran. Namun, difusi pemikiran yang dilakukan periset kualitatif melalui berbagai jalur-jalur difusi pemikiran (Suyunus, 2011) belum cukup untuk menghasilkan posisi yang pas bagi periset
Merchant (2008) membahas tentang dampak Interdisciplinary Accounting Research (IAR) di Amerika dan menemukan sebab tidak berdampaknya IAR di Amerika Serikat , baik bagi dunia akademik maupun praktis 2
411
kualitatif dalam dunia riset akuntansi di Indonesia. Dalam hal ini, perubahan realitas akuntansi (realitas sosial) seolah merubah pandangan bahwa pendekatan kualitatif mungkin lebih cocok untuk suatu penelitian akuntansi dengan permasalahan yang berhubungan dengan orang-orangnya atau pelaku akuntansinya (Merchant, 2008; Djamhuri, 2011) Lalu, mengapa para periset dengan (mindset) pemikiran riset akuntansi positif kukuh dan kokoh menyambut penetrasi pemikiran riset akuntansi non-positif? Jawaban dari pertanyaan ini menjadi teks yang penting untuk memahami apakah para periset akuntansi positif menerima atau menolak kehadiran pemikiran riset akuntansi non-positif. Sehingga tujuan pene litian ini untuk memahami (to understand) pemikiran para periset akuntansi kuantitatif (paradigma positif) atas kehadiran pendekatan riset yang lain (paradigma nonpositif). Dengan mendalami alasan-alasan yang dikemukakan akan diketahui dan dipahami berbagai kategori alasan penolakan terhadap pemikiran riset yang baru dan bisa diketahui realitas perbedaan pemikiran riset yang terjadi. Selain itu, riset ini bisa memicu dibukanya dialog di antara periset akuntansi di Indonesia, sehingga bukan tidak mungkin, jika dialog telah berlangsung, akan lahir kolaborasi penelitian akuntansi di antara para periset dari berbagai sudut pandang atas realitas akuntansi di Indonesia. TINJAUAN TEORETIS Berbagai Paradigma Riset Paradigma dimaknai berbeda oleh berbagai periset. Perhatikan saja apa yang dikatakan oleh Kuhn (1970); universally recog nized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners. Peneliti lebih menyukai makna yang umum bahwa paradigma adalah cara pandang tentang dunia, sebagaimana dikatakan oleh Triyuwono (2006).
412
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
Burrell and Morgan (1979) menggunakan istilah paradigma dengan makna “commonality of perspective which binds the work of a group of theoriest together”. Selanjutnya, Burrell and Morgan (1979) mengemukakan paradigma riset ilmu sosial dengan asumsi-asumsinya (lihat juga Goles and Hirschheim, 2000). Asumsi tersebut (tabel 1), amat penting
untuk periset, karena perbedaan carapandang ini akan membawa periset ke tempatnya dalam versi Burrell and Morgan (1979, lihat juga Guba, 1990 dan Sarantakos, 1993). Selain itu, kedudukan periset terhadap realitas yang ingin diketahui sudah tergambarkan dalam asumsi ini. Asumsi berikutnya pada tabel 2.
Tabel 1 Asumption about the nature of social science Assumption Ontological Epistemological
Human nature Epistemological
Subjective Reality is interpreted by individual. It is socially constructed (nominalism) Knowledge is relative. Researcher should focus on meaning and examine the totality of situation (anti-positivism) Humans posses free will and have autonomy (voluntarism) Understanding the world is the best done by analyzing subjective accounts of situation or phenomena (idiographic)
Objective Reality is external to the individual. It is “given” (realism) Researcher should focus on empirical evidence and hypothesis testing, looking for fundamental lawa and causal relationships (positivism) Humans are product of their environment (determinism) Operationalizing and measuring construct, along wih quantitative analysis techniques and hypothesis testing, will uncover universal laws that explain and govern reality (nomothetic)
Sumber : Burrell and Morgan (1979) dan Goles and Hirschheim (2000)
Tabel 2 Assumption about the nature of society Regulation Society tends towards unity and cohesion Society forces uphold the status quo
Radical Change Society contains deep-seated structural conflict Society tends to oppress and constrain its member
Sumber : Burrell and Morgan (1979)
Asumsi yang kedua berkaitan dengan the nature of society. Dengan kedua asumsi tersebut, Burrell and Morgan (1979) telah menggambarkan tempat atau kuadran untuk masing-masing paradigma riset. Garis yang vertikal merupakan garis asumsi keadaan stabil dan konflik; sementara itu garis horizontal menggambarkan posisi periset terhadap relitas, dengan ada dua kutub
yaitu kutub subyektif dan obyektif. Chua (1986), dan Baker and Bettner (1997), ahli riset akuntansi, tidak semata-mata mengikuti pandangan Burrell and Morgan (1979) sebagaimana yang tampak dalam Gambar 1. Mereka tidak memaparkan empat paradigma tersebut, melainkan hanya tiga paradigma; yaitu positif, interpretif dan kritis. Sarantakos (1993) dan Neuman (2011)
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus
adalah ahli riset sosial yang pembahasannya tentang paradigma riset Tidak mirip dengan paparan Burrell and Morgan (1979). Sarantakos (1993) adalah ahli riset sosial
413
yang pandangan paradigmanya sesuai dengan pandangan ahli riset akuntansi, yaitu ada 3 paradigma riset; positif, interpretif, dan kritis.
Radical Change Radical Humanist
Radical Structuralist
Subjective
Objective Interpretivist
Functionalist Regulation
Sumber : Burrell and Morgan (1979)
Gambar 1. Paradigma Riset Sosial
Sementara itu Neuman (2011), menambahkannya dengan 2 paradigma riset sosial yang lain; yaitu paradigma riset feminimist dan paradigma riset postmodernist. Di Indo nesia, Triyuwono (2011) menguraikan paradigma riset akuntansi dalam bentuk yang selalu berkembang. Dalam bukunya ada paradigma positif, interpretif, kritis dan posmodernis (Triyuwono, 2006). Kemudian, akhir-akhir ini dikenalkan paradigma Spiritual. Tujuan dari penggunaan paradigma riset spiritual tentu untuk membangun kesadaran akan Tuhan atau God consciousness. Ada yang menarik ketika Neuman (2011) mengungkapkan pemikirannya tentang paradigma riset sosial. Dia membicarakan hal yang sama dengan asumsi yang dikemukakan oleh Burrell and Morgan (1979) dengan menggunakan 10 pertanyaan. Penolakan IAR di North America Pada tahun awal 2007, seorang pengajar di University of Southern California, memaparkan pemikirannya tentang dampak riset akuntansi interdisiplin (Interdiplinary accounting research atau IAR) terhadap para
akademisi dan periset di Amerika (North America). Dalam pandangan para periset “mainstream” (maksudnya aliran riset positif, kuantitatif), IAR menghadapi tiga masalah penting yang meliputi (a) lack of relevance, (b) questionable research contribution, dan (c) poor communication of findings (Merchant, 2008). Memang Merchant (2008) mengatakan bahwa dirinya merasa tidak ada masalah dengan riset IAR, dan dia telah berusaha menjabarkan dan menemukan per soalan yang timbul dengan adanya difusi pemikiran riset IAR. Namun penjabaran berikut, akan lebih menjelaskan maksud kata-katanya Namun, tiga masalah penting di atas perlu disimak. Pertama, masalah relevan dikaitkan Merchant (2008) manfaatnya secara praktis, dalam jangka pendek di kelas. Dia menginginkan hasil IAR segera bisa mengisi keperluan teori-teori, atau segera mengatasi persoalan praktik akuntansi yang dibahas dalam kelas. Tapi hal ini tidak terjadi. Kedua, Merchant (2008) memang menginginkan hasil IAR, bisa digeneralisasi, sehingga kontribusinya risetnya untuk dunia pendidikan dan praktik akuntansi
414
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
jelas. Tapi dia, mempunyai pandangan bahwa IAR terlalu kompleks dan tidak sederhana (parsimony), dan kurang membahas tentang fakta, serta terlalu focus pada hal yang kurang penting (focus mostly on the exception). Sekali lagi Mercant tidak merasakan manfaat IAR dalam proses mengajarnya dan bagi dunia pendidikan akuntansi. Ketiga, Merchant (2008) mengakui bahwa tidak mudah memahami struktur penulisan laporan risetnya. Dia biasa membaca laporan dalam struktur riset kuantitatif–positif, sehingga tidak mudah untuk membaca lapo ran riset yang tidak serupa strukturnya dengan yang biasa dia baca. Selain itu dia mengkui bahwa ada “jargon” atu istilahistilah di IAR yang sulit dipahami oleh para positivist. Maka dari itu, Merchant (2008) mengatakan bahwa laporan IAR kurang komunikatif. Merchant (2008) menyatakan bahwa dia memang mencoba melihat penyebab penolakan IAR dari kacamata seorang penganut aliran riset “mainstream”, sehingga muncul ketiga masalah tersebut Dari sisi paradigma sebagaimana yang dikemukakan oleh Burrell and Morgan (1979), para periset masalah organisasi dan akuntansi di Amerika Serikat juga tidak mudah untuk merubah pandangannya dari paradigma positif ke paradigma riset yang lain. Stern dan Barley (1996), kemudian disempurnakan Goles dan Hirschheim (2000) menyatakan pendapat bahwa ada beberapa situasi yang menyebabkan para pembangun teori sulit untuk mengadopsi pemikiran (paradigma riset) alternatif. Mereka mengungkapkan lima penyebab tersebut adalah (1) social milieu. (2) search for respectability, (3) problematic boundary setting, (4) social construction for academic careers, dan (5) unpalatable alternatives. Penyebab yang terakhir merupakan pendapat dari Goles and Hirschheim (2000). Dalam uraiannya, kehadiran program sekolah bisnis (MBA) di Amerika adalah simbol rumah baru bagi para periset organisasi. Kepraktisan pengetahuan menjadi ciri yang kuat pada sekolah-sekolah bisnis
yang demikian, Disiplin yang dipelajari seperti akuntansi, keuangan, manajemen sains, sistem informasi dan sebagainya amat menggunakan paradigma positif atau functional paradigm. Para periset sistem informasi (SI) banyak yang berasal dari latar belakang computer scientist dan engineers yang mempelajari “hard disciplines”. Mereka ini tentu amat dekat dengan functionalist paradigm. Sebagai suatu komunitas dalam lingkungan periset yang baru muncul, tentu para periset di lingkungan tersebut ingin capat dihargai oleh lingkungan riset. Jalan tercepat adalah mengikuti cara yang sudah ada. Dalam cara yang sudah ada, untuk melaksanakan riset lebih fokus pada variabel-variabel tertentu (functionalism). Di lain sisi, fenomena dan realitas di dunia organisasi semakin jauh dari sederhana. Selanjutnya, berkaitan dengan masalah penghargaan (respectabity), karir akademik para pengajar dan periset diperguruan tinggi tidak lepas dari keharusan untuk mempublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal ilmiah. Jika para editor di jurnal ilmiah “tidak berubah” dalam menilai artikel mana yang bisa dipublikasi dan ditolak untuk dipublikasikan (masih positivist), maka di lain pihak ada kepentingan yang terabaikan dari sebagian periset (kualitatif) untuk memuat hasil risetnya. Apa yang kemudian terjadi pada para dosen atau periset yang ingin berkarir tentu bisa ditebak (Goles and Hirschheim, 2000), Dari sisi karir para dosen, riset kualitatif dan kuantitatif diyakini amat berbeda dalam durasi risetnya (Merchant, 2008). Tujuan riset akuntansi positif yang menjelaskan dan memprediksi fenomena telah “dibantu” oleh statistik sebagai alat pengukuran dan analisis. Obyektivitas yang berjarak antara periset dengan realitasnya, ditambah dengan alat tersebut (statistik), membuat durasi riset menjadi relatif tidak membutuhkan waktu riset yang panjang. Sementara itu, riset akuntansi yang menggunakan pendekatan kualitatif tentu menye babkan periset harus “nyemplung” atau
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus
terjun langsung ke realitas yang diteliti. Langkah ini diambil karena tujuan risetnya adalah memahami fenomena, membebaskan pemikiran atau melakukan dekonstruksi terhadap realitas. Tentu saja periset membutuhkan waktu relatif panjang. Karir periset di dunia akademik tentu juga dibatasi usia atau waktu. Hasil riset juga perlu dipublikasi. Masalahnya adalah para editor atau gate-keeper di jurnal-jurnal terkemuka belum bisa menerima sepenuhnya aliran pemikiran riset kualitatif. Durasi riset, karir para akademisi dan gate-keeper jurnal-jurnal terkemuka diyakini Hopwood (2008), Merchant (2008) dan Bisman (2010) sebagai tekanan atas periset akuntansi kualitatif. Selama editor tersebut belum bisa mengakomodasi pemikiran riset non-positif, maka perkembangan pengetahu an akuntansi yang dihasilkan dengan cara riset selain dengan pendekatan positif, tidak akan terjadi dengan cepat. Namun Chua (2011), mencoba berargumentasi yang intinya bahwa riset yang baik tidak selalu harus dimuat di jurnal terkemuka. Memang ada artikel yang sukses seperti tulisan Sterling (1975), tetapi nyatanya tidak dimuat di jurnal riset akuntansi terkemuka. Jalur Penyebaran Inovasi Pemikiran Riset Akuntansi Ada beberapa jalur difusi lain, selain seminar. Jalur penyebaran (atau komunikasi) pemikiran riset akuntansi terebut adalah (a) Publikasi hasil riset. (b) interpersonal network, (c) menerbitkan majalah ilmiah sesuai dengan paradigma risetnya (Birnberg and Shields, 2009). Dalam tulisan tersebut, jalur penyebaran pemikiran sebagaimana yang peneliti uraikan, disebut sebagai jalur komunikasi. SNA adalah ajang untuk meng komunikasikan hasil riset, baik itu riset kuantitatif atau riset kualitatif. Beberapa tokoh riset akuntansi non positif di Indonesia, aktif dalam organisasi profesi. Dengan aktifnya para periset dalam SNA (interpersonal network) maka mereka mendapat posisi di organisasi, menjadi editor di
415
majalah ilmiah, bahkan menjadi gatekeepernya. Peneliti yakin dengan pandangan lain yang menyatakan bahwa selain pendapat Birnberg and Shileds (2009), jalur pendidikan juga merupakan jalur penyebaran pemikiran yang penting (Hopwood, 2007, lihat juga Suyunus, 2011). METODE PENELITIAN Dalam tulisan ini perlu dibedakan antara peneliti dengan periset. Peneliti adalah saya yang sedang melakukan penelitian ini. Periset adalah mereka, para dosen (informan) yang pemikirannya menjadi fokus penelitian ini. Penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang ala san penolakan (informan) terhadap pemikiran riset akuntansi non-positif. Oleh sebab itu peneliti akan memasuki kehidupan pemikiran para informan secara mendalam, agar bisa memahami pemikiran mereka (Sugiyono, 2008). Pengumpulan data dan informan Selama dua minggu peneliti berada di kota Jogjakarta, dan muncul di lingkungan Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM untuk berjumpa dengan informan. Selain itu, peneliti sedang melanjutkan studi di Malang, tepatnya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB). Peneliti berhasil menemui tiga orang guru besar yang mengawal perkembangan Riset Akuntansi Multiparadigma (RAM). Peneliti juga mengumpulkan data di kota Surabaya, tepatnya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB UA), dengan menemui 3 orang informan. Berikut ini peneliti sajikan para informan yang peneliti temui di Jogja, Malang dan Surabaya selama beberapa waktu. Walaupun masih ada perdebatan, peneliti memilih untuk menuliskan insial nama mereka. Aksesabilitas peneliti Untuk memasuki dunia pemikiran informan merupakan hasil dari kolegialitas jangka panjang, dalam arti berhubungan
416
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
baik dalam pertemanan dan dalam komunitas akademik, khususnya jurusan akuntansi. Aksesabilitas ini memang telah melancarkan proses wawancara, namun peneliti tetap menjaga prosfesionalitas sebagai peneliti.
Wawancara secara mendalam Dengan pedoman wawancara yang telah peneliti siapkan, wawancara dilakukan secara bebas, dengan pertanyaan-pertanyaan yang terbuka.
Tabel 3 Daftar Informan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama SWD SGR JGH ABH BRT MFS IRF BSB STR ITY SGS IMN ZFN
Sumber: Peneliti
Dosen di UGM UGM UGM UGM UGM UGM UGM UB UB UB UA UA UA
Sepanjang proses wawancara, gerakan spo ntan (gestures) dari para informan juga men jadi data penting untuk proses selanjutnya. Proses wawancara dilakukan dengan bantuan alat perekam (MP3-Transcends) dan buku catatan (field notes). Hasil penelitian, artikel, buku, dan bahan ceramah Para informan yang berkaitan dengan penelitian ini tentu juga menjadi data penting. Kumpulan makalah yang dipresentasikan di SNA, artikel di majalah ilmiah, makalah dalam ceramah, atau karya buku tentu menjadi data penting dalam menyelami pemikiran para informan. Riset kualitatif sifatnya amat subyektif. Sehingga sering dikatakan bahwa alat atau instrument utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Seorang peneliti harus memiliki mempunyai stock of knowledge yang cukup untuk melakukan ber-
Alumni S-2 AS AS AS AS AS AUS UGM UI UGM AUS UGM UB
Alumni S-3 AS UGM AS UGM AS ING UGM UGM AUS UA UGM UB
bagai langkah dalam riset seperti ini. Peneliti suka membaca berbagai topik yang amat berguna dalam riset ini. Beberapa bacaan yang disukai peneliti berkaitan dengan human interest, filsafat, psikologi, spionase, kebudayaan, politik, olahraga, bahasa, dan lain-lain. Dalam beberapa tahun terakhir peneliti banyak membaca artikel tentang pemikiran riset akuntansi multiparadigma, buku-buku maupun artikel tentang pemikiran para ilmuwan akuntansi dan dan pemikir filsafat ilmu yang beraneka ragam pemikirannya. Proses analisis dilakukan dengan meng hubungkan antara tema satu dengan tematema jawaban lainnya. Dalam proses inilah peneliti menjadi amat subyektif berdasarkan stock of knowledge-nya. Pemikiran tentang berbagai paradigma riset di bidang sosiologi (Burrell and Morgan, 1979; Sarantakos, 1993: dan Neuman, 2011) menjadi referensi penting dalam menganalisis.
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Kepak Sayap Rajawali Akuntansi Multiparadigma Rajawali adalah nama burung yang kerap di jadikan simbol kekuatan atau kekuasaan. Dia menjadi simbol kekuatan karena pendidikan anak-anak burung tersebut memang membuat mereka menjadi burung yang kuat. Dia menjadi simbol kekuasaan karena kemampuan terbangnya yang mengarungi angin dan jauh tinggi di atas langit dengan mata yang memandang penuh dengan kekuasaan atas angkasa, lautan dan daratan di sekitarnya. Rajawali akuntansi merujuk pada para periset akuntansi yang mengembangkan akuntansi dengan riset-risetnya. Ada dua nama yang berperan besar di awal perkembangan Riset Akuntansi Multiparadigma (RAM). Dua nama itu adalah ITY dan BSB3. Mereka berdua adalah pencetus ide RAM dan strategy maker yang bersama-sama memulai pengembangan RAM. Pertama, BSB yang 10 tahun lebih senior dari ITY telah banyak membangun Jurusan Akuntansi di UB dan menjadi pengelola jurusan dan fakultas, hingga akhirnya menjadi Dekan FEB UB. Dia dikenal sebagai pribadi yang tenang, tidak bicara jika tidak perlu, santun dalam bertutur kata dan suka berolahraga. Ada dua hal penting yang merupakan keputusan strategisnya sebagai pengayom di FEB UB. Pertama, ketika BSB berbincang dengan ITY yang mengungkapkan pikirannya tentang pengembangan fakultas, khususnya di jurusan akuntansi yang menyepakati pengembangan RAM tersebut. Ke-
3
Mereka peneliti anggap berpengaruh dalam mengembangkan RAM, melalui pendirian Program S-3 di JAFEB UB. Tetapi yang “membidani” kelahiran pemikiran RAM adalah tim yang terdiri dari lima orang dosen muda Jurusan Akuntansi di FEB UB, ketika membangun Program S-2 Akuntansi. Salah satu diantara mereka ITY, sebagai pencetus ide RAM dan kala itu merupakan satu-satunya Ph.D . Empat orang lainnya masih bergelar Master.
417
dua, pada saat BSB menjadi Dekan FEB UB, dia berhasil memindahkan pengelolaan program S-2 dan S-3 dari payung Universitas (Pasca Sarjana) ke Fakultas. Putusan yang pertama membuat lahan pengembangan RAM tersedia, sedangkan putusan yang kedua membuat pengelolaan dan pengembangan pendidikan akuntansi semakin leluasa, dalam arti inovatif dan tidak terjebak oleh birokrasi yang rumit. Berikut adalah penuturan BSB: di sini saya omong-omong sama ITY. Ya pemikiran dia juga, ya… bagus juga. Karna waktu ITY datang, saya kan PD 1 di sini, banyak berinteraksi sama dia waktu itu. Saya berinteraksi dan saya liat .. pemikiran mereka juga harus ditampung gitu lho, jadi saya segera (mengambil) S3, dan setelah saya pulang dari S3.. di sini mau merintis pendirian S3. Tadinya cuman kan, yang ada kan, cuma saya dengan dia… kemudian datang EGS4, ya kita ngomong-ngomong bertiga gitu, ya dia (S3) harus dibuat lain.. karena sumber daya. (FN 2011 1115 BS-pendirian S-3 Multiparadigma).
BSB juga pernah mengungkapkan bahwa strategi pendirian PDIA berdasarkan sumber daya. Saat itu, dari tiga orang yang merupakan pendiri PDIA, ada dua orang yang orientasi risetnya non-positivistik, dan seorang dengan orientasi riset positif. EGS yang bergabung kemudian telah memperkuat kelompok non-positif dalam membangun RAM. Sebelum mereka mendirikan S-3, tentu saja mereka juga telah membuka program S-2. Saat pendirian itu, baru ada ITY yang merupakan inisiator dan satu-satunya doktor. Bersama dengan empat orang kolega dosen lainnya mereka mendirikan pro-
EGS, tadinya adalah dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang. dia alumni dari University of Wollongong. Kemudian dia pindah ke FEB UB dan dia ikut membangun S-3 Multiparadigma bersama BSB, dan ITY. Sejak 13 Desember 2010, EGS juga menyandang jabatan Guru Besar Akuntansi. 4
418
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
gram S-2 yang pendekatan risetnya juga multiparadigma. Dalam perjalanan pengembangan RAM di JAFEB UB, bukannya tanpa masalah. Hal ini juga dirasakan dan dialami oleh BSB. Program RAM dirasakan menjadi menekan karena setiap dosen diharapkan juga menguasai RAM; artinya setiap dosen diharapkan mampu menguasi riset akuntansi dengan empat paradigma tesebut, positif, interpretif, kritis dan posmodernis. Mungkin saja ini persepsi BSB, tapi perasaan sese orang tidak akan tumpul jika telah terasah ketika mengamati keadaan sekitarnya. BSB tidak setuju dengan proses memultipara digmakan para dosen, dan dia mengusulkan adanya dialog bukan pemaksaan kehendak oleh penguasa5. iyaaaa.. awalnya sama pak, awalnya sama.. wong itu.. kurikulum S3 itu kami rancang bersama-sama… tapi terakhir-terakhir..eee… dia lalu artikan lain gitu ..tidak seperti awal. Namanya proses pemikiran memang berjalan. Tapi..oo iyaa, makanya saya bilang, jangan menggunakan kuasa atau menggunakan kekerasan.. tapi dialog.. nanti bersama dengan berlalunya waktu.. nanti nemu sendiri…makanya kan saya selalu mengatakan dialog.. dialog..ee sonjo-sonjo (bahasa jawa) sonjo itu saling mengunjungi..... kemudian.... omong-omongnya itu bukan.... kalo orang desa itu kalo datang itu, dia omongnya macem-macem gitu, tapi di situ itu nanti… menemukan. Jadi bukan.. misalnya aku mengko ndatangi pak MQ arep ngomong iki.. bukan gitu….(FN 2011 1115 BSpendirian S-3 Multiparadigma)
lahan subur untuk berkembang di FEB UB. ITY memang menjadi motor penggerak berjalannya RAM di UB. Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (JAFEB UB), Prof. Dr. Unti Ludigdo, mengatakan bahwa ada tiga faktor yang membawa keberhasilan penyebaran pemikiran RAM di tempat tersebut. Pertama dari diri ITY sendiri yang kuat argumentasinya. Kekuatan tersebut terbentuk karena dalam masa studi di luar negeri, ITY tekun membaca dan berpikir. Kedua, ITY konsisten penetrasinya. Dia tidak pernah berhenti menyebarkan pemikirannya secara formal, maupun informal. Ketiga, ada dukungan yang kuat dari temantemannya karena telah memahami pikiran ITY (lihat Suyunus, 2011). Kehidupan relijiusnya ITY memantapkan hati untuk menggabungkan antara akuntansi dan Islam sehingga lahir karyanya tentang akuntansi Syariah (Triyuwono, 2000). Pejalanan penyebaran pemikiran riset akuntansi multiparadigma (RAM) bisa dikatakan berawal dari hasil pemikiran dan karyanya tersebut. Di samping mengawinkan Islam dengan akuntansi, ITY juga mengembangkan cara mengajar di kelas dan menyebarkan pemikiran RAM. Jika BSB dan ITY saling mendukung RAM walaupun berbeda “keyakinan”, STR terkenal dalam posisinya sebagai positivist di FEB UB. Pendapat dan tantangan beliau terhadap multiparadigma amat dirasakan oleh para koleganya. Namun, kenyataannya STR juga ikut membangun berkembangnya RAM di JAFEB UB. Dalam satu kesempatan STR mengatakan dengan gayanya, “saya sudah terima multiparadigma. Walaupun saya sudah memberi argumentasi agar kurikulum kita jangan seperti sekarang6. Tapi ya
Perbedaan nilai ini cepat diselesaikan oleh mereka dengan melakukan silaturahmi dan dialog, sehingga RAM tetap memiliki
Dalam konteks ini, pada saat itu, tahun 2011, penyandang jabatan Dekan, Kajur Akuntansi, KPS S-1, KPS S-3 di FEB UB adalah dosen akuntansi dengan orientasi riset non-positif. Itu sebabnya Prof BSB mengingatkan tentqang pendekatan dialog, bukan pendekatan kekuasaan 5
Kurikulum S-3 PDIA di FEB UB akhirnya berubah sejak tahun ajaran 2012/2013/ Pendapat STR merupakan salah satu pertimbangannya. Tetapi pemicunya adalah kedatangan para doktor muda dari berbagai tempat studinya, dan mereka memiliki “kepentingan” untuk ikut berkiprah juga. 6
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus sudahlah, teman-teman sudah setuju”.
Menurut peneliti perkembangan RAM di JAFEB UB justru disebabkan adanya sikap oposan seperti sikap STR. Dengan adanya dua “kubu” yang saling berargumentasi, maka ada kecenderungan kedua pihak itu berusaha untuk saling memahami dengan cara mempelajari paradigma yang lain dan berdiskusi. STR juga pernah menyampaikan hal berikut ini kepada peneliti; “saya sudah tidak ada masalah dengan multiparadigma, dan saya sudah mulai mempelajarinya, tapi saya belum pernah diberi bimbingan yang kualitatif”.
Walaupun STR menyampaikan dengan gayanya yang oratoris, peneliti menganggap bahwa dia setuju dengan RAM, dan dia memilih untuk menjalani satu paradigma saja; paradigma positif sebagaimana halnya BSB. Mendengarkan Suara Rajawali Lain Para akademisi akuntansi FEB UGM dikenal cukup memiliki pengaruh di kalangan akademisi akuntansi di Indonesia. Maksudnya, apa yang menjadi keyakinan mereka segera diikuti oleh para akademisi di Indonesia, termasuk paradigma yang dianut oleh akademisi di Universitas itu. Menurut peneliti, hal ini amat di dukung oleh aktivitas penyelenggaraan S-2 dan S-3 akuntansi di FEB UGM serta tingginya kredibilitas para akademisi UGM dalam setiap pertemuan ilmiah, termasuk SNA. Peneliti berhasil menemui SWD (angka tan 1973), sebagai informan yang pertama. Beliau cukup dikenal sebagai akuntan pendidik yang amat memperhatikan bahasa Indonesia. SWD amat piawai dalam matakuliah Statistik. Filosofi tentang penggunaan alat analisis (statistik) dalam riset amat dikuasai SWD. Sebagai alumni dari sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat (Kent State Univ), tentu sudah bisa diduga, ke-
419
mana orientasi paradigma riset akuntansinya. SWD tidak menolak kehadiran riset akuntansi non-positif, dalam arti dia menerima kehadiran riset kualitatif tetapi tidak ingin mempertanyakannya untuk menghindari argumentasi yang menurutnya merupakan stratagem7. SWD juga tidak berusaha berpihak pada pemikiran riset kuanti tatif maupun kualitatif; tetapi orientasi dia adalah riset akuntansi positif. Alasannya karena academic life experience dia berada di riset akuntansi positif. Selain itu, tentu ada kebijakan jurusan akuntansi yang ingin lebih mengembangkan akuntansi dengan menggunakan pendekatan riset akuntansi positif. Dalam salah satu kesempatan SWD mengatakan …Ya ndak papa, ndak masalah. Kalo kita sudah bicara ilmiah, apapun itu tergantung komunitas. Hanya saja kalau saya menjadi tim untuk membimbing mahasiswa fakultas hukum ya saya frustasi. Menurut saya kalau itu memaparkan undang-undang ini ini, itu itu, menurut saya itu bukan disertasi. Tapi itu tergantung komunitasnya,.. ya sudah kalau begitu. Saya.. ndak bisa memberi banyak. Baca saja disertasinya AT8, pengalaman dia menjadi tokoh ini ini ini, menurut saya itu memoir,..memoir itu bukan penelitian ilmiah... tapi itu pandangan saya.
SWD berusaha konsekuen untuk menganggap bahwa di manapun posisi riset seseorang, akan menghadapi komunitas yang mengakui keilmiahan dan ketidak
Stratagem adalah argumen yang digunakan untuk membela pendapat yang sebenarnya lemah atau tidak dapat dipertahankan secara logis. Tujuannya untuk memaksakan kehendak, menjatuhkan bicara atau membuat yang keliru seolah-olah benar (Suwardjono, 2010,72). 7
AT adalah salah satu tokoh (ketua) partai di era orde baru yang meneruskan studi di universitas “Y”. setahu peneliti dia adalah alumni dari fakultas teknik (S-1), bukan dari fakultas sosial 8
420
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
ilmiahan suatu riset. Dalam komunitas riset akuntansi positif, maka cara atau epistemologi positif adalah yang ilmiah. Sebagai konsekuensinya, cara riset yang lain tentu tidak ilmiah. SWD sepaham dengan cuplikan berikut. If we agree that the meaning of the word “scientific” comes from science (natural science) in the sense of emulating natural science, then anything else that does not follow natural science study may be called “unscientific”. It does not mean that unscientific approach is useless or meaningless. When it comes to social phenomena or policy making, unscientific approach may be shown or even proven to be useful, fruitful, and meaningful (Suwardjono, 2006)
Buku-buku riset yang dibaca SWD tentu buku riset yang yang membahas mengenai riset kuantitatif dan riset kualitatif. Salah satunya SWD menyebutkan buku Social Research karangan Neuman9 (2003). Peneliti bisa memahaminya, karena buku Burrell and Morgan (1979) tidak populer di kalangan mereka, tetapi artikel Chua (1986), dan Gioia and Pitre (1990) yang banyak merujuk pada pikiran para ahli riset sosial amat populer di kalangan mereka, para dosen Jurusan Akuntansi di FEB UGM. Walaupun SWD menerima kehadiran riset akuntansi non-positif dengan segala konsekuensinya, dia masih punya satu pertanyaan penting yaitu; apa bedanya laporan riset non-positif dengan laporan jurnalistik yang ditulis dengan baik setelah melakukan investigasi dengan cermat pula. Peneliti sempat mencatat secara relektif ketika berbincang dengan SWD, dalam field note sebagai berikut; Pertanyaan mendasarnya adalah; kita harus sepakat dulu dengan apa yang disebut sebagai binatang akuntansi. Kemudian kita memilih orientasi kita.
9
Edisi terbaru terbit tahun 2011
Jika laporan penelitian adalah seperti tulisan AT, maka menurut pendapat beliau tulisan itu bukanlah suatu disertasi karena tak memenuhi kaidah-kaidah untuk tulisan yang disebut science. Dengan lugas ditanya kan apa bedanya disertasi dengan tulisan wartawan yang disebut dengan investigation report (Field Note, 2012 0111 U”X”-SWD 1).
Beberapa catatan lainnya adalah dijelas kannya istilah escapism dan pemberontakan. SWD tidak mengharapkan terjadinya pelarian (escapism) dari riset akuntansi positif kuantitatif ke riset akuntansi non positifkualitatif hanya karena seseorang tidak paham dengan statistik (Sugiyono, 2008). Jika ini terjadi, maka escapism merupakan alasannya. Menurut SWD seseorang tidak sekedar memilih (paradigma) orientasi positif atau non positif, riset kuantitatif atau riset kualitatif; tetapi seseorang melakukan pemberontakan. Menarik sekali pandangan SWD tentang pemberontakan yang terjadi ketika seseorang memilih paradigma. Idenya adalah periset hendaknya menguasai metode riset yang standar dulu (positif) sampai periset tersebut menjadi expert dan puas dengan metode tersebut. Kemudian peneliti tersebut bisa melakukan perluasan metode dengan memilih metode baru; itu yang dikatakan bahwa memilih paradigma merupa kan bentuk dari pemberontakan (Suwardjono, 2006). Perubahan paradigm ini biasanya terjadi karena tujuan riset yang berbeda, sehingga cara risetnya juga berbeda Positivism cannot do what non-positivism can do. Non-positivism has its own features and merits. It is true (at least we agree) that cars are the best for travelling and bycycles would be futile. It is so with confronting one paradigm to another especially if the purpose is to win the claim of truth (Suwardjono, 2006)
SWD memang tidak ingin terjebak dalam monism, bahwa harapan para kaum positivism, metode (cara) inilah satu-satunya
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus
yang ilmiah. Tetapi dia punya pendapat tentang anything goes, sepertinya semua bisa diteliti, semua boleh. Dia kuatir jika nantinya akan dihasilkan karya kontemporer, bukan karya ilmiah, padahal maksudnya melakukan riset akuntansi. Orang bisa terjebak, sehingga menjadi seniman kontem porer, bukan melakukan hal yang ilmiah (Suwardjono, 2006). Pengaruh pandangan institusi terhadap individu dosen juga diungkapkan MFS, salah satu dosen muda di FEB UGM. MFS lulus dari UGM tahun 1998, lalu melanjutkan ke The University of Western Australia (S2), kemudian melanjutkan lagi ke The University of Bradford di Inggris (S-3). MFS menerima kehadiran riset akuntansi multiparadigma. MFS mengatakan bahwa kebenaran (Truth) menurut para positivist dan kebenaran menurut non-positivist selalu dilihat dari sudut pandangnya masing-masing sehingga ontologi dan epistemologinya memang ada tempatnya sendiri-sendiri.. Kalo saya kembali ke itu ya…. filosofinya kan, orang mendefinisikan truth itu apa. Artinya begini, kalo orang positivist itu kan jelas, kalo truth adalah out there, di sana… ya positivist kan. Ya mau tidak mau yaaa harus seperti itu. Lalu kalau orang interpretif yaaa, the truth around us, harus diinterpretasikan gitu. Jadi sebenarnya kalo saya pribadi itu ya ndak masalah ya. Karena memang kalo bahasa pak MQ10 yang memang secara ontology sudah beda dan secara epistemology sudah beda. ., ya itu ya nggak mungkin ketemu.
MFS juga menjelaskan bahwa meskipun secara institusi dia positivist, tapi secara pribadi dia bisa menerima kehadiran kedua orientasi riset tersebut. Tapi mengapa mereka tidak mau membimbing riset dengan pendekatan kualitatif? Dia mengatakan bah-
Ini adalah nama kecil peneliti, begitu para informan memanggil peneliti 10
421
wa ekspertis mereka adalah di orientasi riset positif. Jika mereka memaksakan diri untuk mau membimbing mahasiswa dengan orientasi riset kualitatif tentu akan kacau hasilnya, karena itu bukan expertise para dosen di lingkungan pak MFS. Karena ekspertis di riset akuntansi positif, maka ada pertanyaan yang ada di kepala MFS. Mungkin dia menganggap sebagai kelemahan Secara pribadi, kalo sudah gini njur ngopo? Seperti disertasi saya, sesudah selesai ya harus dicari kenapa begitu. Saya harus interview juga; itu untuk memuaskan saya.
Kelemahan yang kedua, berkaitan dengan pertanyaan tentang apakah social science sama dengan natural science. Jika telah telah dilakukan uji validitas dan hasilnya valid; apakah ini memang valid betul sebagaimana yang terjadi pada data di natural science. Pertanyaan ini selalu ada di benak MFS. Dulu sebelum MFS sampai pada tahap skripsi, masih banyak topik skripsi yang judulnya tentang internal control, sistem dan prosedur dan semacamnya. Setelah para dosen berdatangan dari Amerika, maka muncul cara riset baru yang kemudian menjadi bahan ajar bagi mahasiswa. Sejarah di jurusan akuntansi FEB UGM telah mencatat perubahan cara riset yang besar setelah empat orang dosen mudanya pulang dari Amerika, tepatnya dari Temple University, Philadelphia di sekitar tahun 1995 atau 1996. Yang diungkapkan oleh MFS tentang riset yang dulu juga dialami oleh IRF, seorang dosen senior yang dikenal sebagai sosok dosen sederhana dan amat relijius. Peneliti mengenalnya sejak masa kuliah dulu. Dia adalah dosen untuk mata kuliah auditing. Ciri khasnya adalah selalu memakai sepatu sandal dan selalu tersenyum.. Menurut pandangan peneliti, IRF merupakan pribadi yang menyenangkan karena suka membantu. IRF tidak mempermasalah
422
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
kan tentang epistemologi riset akuntansi (kualitatif dan kuantitatif). Namun, dia mulai mempertanyakan manfaat riset akuntansi dengan topik masalah pasar modal. IRF mengatakan bahwa saat ini dia mulai mendorong mahasiswa S-1 untuk menulis tentang internal control, sistem akuntansi, overhead cost dan sebagainya, yang dipikirkan lebih bermanfaat untuk perusahaan yang diteliti. Ini adalah topik dan cara riset jaman dulu yang dimaksudkan oleh MFS. Salah satu dari empat dosen muda UGM yang lulus dari Temple University adalah JGH. peneliti berhasil menemui JGH di ruang kerjanya. Saat itu JGH menduduki posisi sebagai direktur MAKSI (S-2). Dia alumni UGM (S-1), Western Michigan University (S-2), dan Temple University (S-3). Dalam perbincangan itu, peneliti mencatat penjelasan JGH sebagai berikut: “Intinya kami menerima itu sebagai sesuatu yang saling melengkapi dalam akuntansi”. JGH mengatakan bahwa dirinya ingin melihat, mencari tahu akuntansi dari sisi yang nyata, sehingga hasil (riset) nya dapat di gunakan oleh praktisi untuk menjelaskan dan memprediksi. Menurut JGH itu saja amat banyak masalah yang bisa diangkat, dan tidak ada habisnya, sehingga mereka (UGM) fokus ke sana, lalu aku bertanya, apakah semua begitu berpikirnya? Lalu kata JGH, ya tidak semua begitu. Ada yang melihat akuntansi dengan cara dan sudut pandang yang lain, tapi kami sepakat untuk fokus ke sana. Biar yang lain diluar yang diteliti UGM diteliti oleh yang lain. Kata JGH, “kita kan menolak Grounded Theory. Kita melihat fenomena dan menggunakan statistik sebagai alat analisis” (FN 2012 0112 U”X” IBAS 1Ideologi and JGH-Positivism)
JGH mengatakan bahwa masingmasing (pendekatan penelitian) ada kelebihan dan kelemahannya dalam memahami (realitas) akuntansi. Dia merujuk pada pendapat yang ada di buku yang berjudul
Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman (Hartono, 2004), Mengingat posisi JGH yang strategis, peneliti membicarakan tentang arah JAFEB UB yang membangun School of Thought. Pada dasarnya, JGH senang dan menghargai sekali keberanian dan pilihan temanteman di UB untuk berbeda, tidak ikutikutan sehingga ada posisi yang baik bagi JAFEB UB sebagai suatu pilihan tempat studi bagi banyak orang. Di lain sisi temanteman di UB tidak terjebak untuk ikutikutan sebagaimana yang dijelaskan dalam salah teori keperilakuan yang disebut Teori Adjusting and Anchoring (Warsono, 2011). Mendengar pendapat JGH, peneliti yakin bahwa dia juga memahami bahwa di UB, orientasi para dosennya berada tidak hanya di paradigma positif saja, melainkan juga berada di paradigma non-positif. Sementara ini, mereka di JAFEB UGM tidak atau belum mengarah ke school of thought. Mereka hanya “kumpulan orang” yang berpikir untuk mencari solusi dan menjelaskan pada masyarakat mengenai fenomena (akuntansi) yang tampak. JGH mengatakan bahwa mereka meneliti realitas yang tampak dipermukaan, sedangkan teman-teman di JAFEB UB mengarah pada realitas yang ada di bawah permukaan. Tentu lebih sulit untuk meneliti sesuatu yang tidak tampak dipermukaan. Kedua pendekatan riset ini saling melengkapi. Saat menemui BRT yang juga merupakan salah seorang dari four musketeers dari Temple University, peneliti menemui pendapat yang berbeda tantang RAM. Mereka berempat, the four musketeers, menjadi motor gerakan riset positif kuantitatif setelah matang belajar di Temple University. BRT menempuh S-2 di Memphis State University. Menariknya, dalam pandangan pribadi BRT dan khususnya di Indonesia. kehadiran paradigma non-positif merupakan noise. “Saya tidak banyak berinteraksi dengan mereka, paling hanya dua tiga kali. Tapi kehadiran mereka dalam arti mereka itu ada malah
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus noise, sing interpretif kuwi mau. Karena mereka yang saya temui selalu menyerang. Untungnya, saya bisa menahan (diri) untuk tidak nyerang balik. Jadi orang-orang (interpretif) yang saya temui itu noise. (Padahal) saya selalu mengagumi tulisan-tulisan orang interpretif; karena angel tenan kuwi.. dan waktunya luar biasa”.
Menurut BRT, tulisan mereka (kualitatif) tidak banyak di baca dan dinilai orang, dan tentu saja tidak memperkaya pengetahuan akuntansi. Laporan riset yang dihasilkan tampak tidak mengikuti protokol yang seharusnya sehingga sulit untuk menjadi pengetahuan (science). BRT sendiri tidak mau menjadi naïf dalam penelitian. Seorang peneliti harus tahu kelemahan dan kekuatan paradigma yang dipilihnya. Menurut BRT, dirinya amat mengetahui kelemahan metode kuantitatif ini, sehingga dia amat berhati-hati dalam penelitian. Hampir semua peneliti riset kuantitatif mengakui bahwa tantangan terbesarnya adalah saat mencari data. Ini yang disebut dengan keasyikan oleh BRT. “Kalo kekuatan positif, saya tidak pernah memikirkan tentang kekuatan positivis, tapi….itulah yang saya tau. Tapi saya tau kelemahannya yaitu keasyikan. Keasyikan itu bisa terjadi karena tantangane dalam positivis iku koyo wayahe ngumpulne data”.
Perkembangaan riset akuntansi multiparadigma (kualitatif) merupakan hal yang juga menjadi perhatian BRT. Ada kekuatiran di balik tarikan senyumannya ketika peneliti masuk ke topik ini. Dengan gaya khasnya, BRT mengatakan bahwa cara riset akuntansi kualitatif akan berkembang cepat karena belum mapannya atau belum sempurnanya cara riset tersebut di Indonesia. Artinya, cara riset tersebut masih belum benar dan jadi lebih mudah diikuti. Sementara itu, BRT mengetahui kelemahan epistemologi dalam paradigma positif, BRT
423
amat cermat dan berhati-hati dalam risetrisetnyat. BRT tetap menghargai keberadaan riset kualitatif dengan catatan perlu diadakan dialog antara pengikut masing-masing para digma, baik periset kuantitatif, maupun periset kualitatif. Dengan kata lain, BRT adalah seorang peneliti yang menyadari kehadiran dan perkembangan cara riset kualitatif tidak bisa dihalangi, sehingga merasa perlu dilakukan dialog demi penyempurnaan cara riset yang ada saat ini. Menariknya beberapa argumentasi BRT sesuai dengan pemikiran Merchant (2008) dan Wilmott (2008). SGR dan ABH adalah dua orang dosen yang sama-sama meyelesaikan S-1 di UGM dan S-2 di Murray State University. Kemudian mereka meneruskan studi S-3 UGM. Keduanya juga mengikuti sandwich program di University of Kentucky pada saat sedang menempuh kuliah S-3. Peneliti hanya berbincang sebentar dengan ABH. Kami duduk berhadap-hadapan dipisahkan oleh meja. ABH ada di sisi Barat dan peneliti duduk di sisi Timur. Saat itu hari Jumat, menjelang pukul sebelas siang, dan kami agak sedikit tergesa-gesa ketika berbincang. Walaupun demikian, ada yang bisa peneliti peroleh dari perbincangan ini, diantaranya adalah kata-kata berikut ini: “Gini pak, di sini juga sudah lama ada masalah riset kuantitatif dan kualitatif. Kalo saya, nggak ada masalah. Saya tidak keberatan kalo tulisan mahasiswa saya menggunakan pende katan kualitatif. Sementara itu temanteman di sini tidak terlalu setuju atau belum setuju benar dengan kualitatif. Mungkin saya ini secara inherent telah menjadi moderat. Artinya moderat telah melekat (embedded) dalam diri saya sejak lahir.” “Satu saat saya bertanya pada seorang kiai tentang moderat ini, karena saya gelisah. Lalu kata kiai, lho.. nabi Muhammad itu adalah seorang moderat sejati. Tidak pernah ada pemaksaaan untuk memeluk
424
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432 agama Islam kecuali jika untuk mengenalkannya. Ada waktu untuk memutuskan perang dan ada waktu untuk tetap berdampingan dengan pihak lain. Saya merasa senang. Jadi kalau ada yang meminggirkan kualitatif, maka saya berusaha “membela” nya dalam arti menjelaskan tentang bagusnya kualitatif. Demikian pula sebaliknya.”
Jelas sekali apa yang diungkapkan oleh ABH, bahwa kehadiran riset akuntansi kualitatif tidak menjadi masalah bagi ABH. Dalam perjalanan hidup ABH, dia menemukan bahwa ada sesuatu yang oleh Tuhan diberikan kepada masing-masing orang dan itu menjadi wataknya. Misalnya ABH sendiri diberi kemampuan (lebih) untuk selalu moderat, sementara ada orang lain yang diberi kemampuan (lebih) untuk menguasai statistik atau sebaliknya. Nah, dalam riset hal itu kelihatan; artinya ada yang bertahan pada riset positif kuantitatif dan ada yang tetap dalam riset kualitatif. Kalau ABH secara pribadi justru mencoba untuk mengetahui riset kualitatif, ketika cara riset itu muncul. Selain itu secara individu, ABH juga merasakan bahwa koleganya masih belum setuju benar dengan riset kualitatif. Setelah peneliti berusaha mendalami maksudnya, ABH mengatakan bahwa pemilihan orientasi riset Positif bisa jadi karena beberapa hal, misalnya kepentingan tertentu, atau memang tidak mau terganggu dengan belajar lagi tentang cara riset yang sedang berkembang. Dia mengungkapkan bahwa mindset mahasiswa di sini (JAFEB UGM) seperti diarahkan untuk selalu melakukan riset dengan pendekatan positif; padahal tidak sedikit permasalahan yang bisa diteliti dengan pendekatan kualitatif. Menurut ABH, penelitian positif selalu mencoba mengungkapkan hal yang berada dalam area rata-rata, dan kenyataannya ada (data) yang di bawah rata-rata dan ada juga (data) yang di atas rata-rata. Jadi riset kualitatif bisa
digunakan untuk memahami data yang di luar rata-rata atau outlier. ABH berusaha lebih jauh agar masalah dikotomi kuantitatif versus kualitatif bisa dieliminasi. ABH mengusulkan agar para dosen (positif) mau mempelajari riset akuntansi non-positif. Pandangan ABH di atas, berbeda dengan reaksi SGR. Ketika peneliti berjumpa dengan SGR dan menyampaikan maksud kedatangan peneliti, SGR menceritakan pengalaman beliau saat membaca riset yang ditulis oleh GRH11 dan kawannya (mungkin mahasiswanya) di Jurnal Akuntansi Multiparadigma. Muncul pertanyaan dibenaknya, bagaimana ceritanya, artikel itu ditulis dari hasil wawancara dengan 3 pengusaha muslim yang sukses, lalu dengan mudah menyimpulkan sesuatu? Tentu saja SGR mengungkapkan dengan wajah heran, lalu tersenyum yang penuh arti. Memang SGR tidak banyak memberi cerita tentang masalah yang peneliti hendak pahami. Tetapi komentar SGR mengenai artikel GRH yang dibacanya sudah menunjukkan posisi orientasi riset SGR. Justru ada pertanyaan sederhana dari SGR yang membuat peneliti merasa terkjut sekaligus terkesan. “Ki, ITY kuwi dina-dinane piye? Opo dekne dina-dinane koyo sing ditulis nang bukune?” begitu pertanyaan SGR. Rupanya kedalaman pemikiran SGR dalam masalah agama, membuat dia justru bertanya tentang orang yang bukunya amat terkenal. Pertanyaannya adalah tentang bagaimana keseharian ITY, sehingga dia bisa menulis dan memberikan ide untuk akuntansi syariah seperti itu. SGR tampaknya telah mencoba untuk memahami pemikiran ITY dan membutuhkan lebih banyak data atau informasi mengenai ITY sebelum SGR mengambil sikap yang jelas. Hal ini bisa dijelaskan dalam Langkah-langkah Peru-
GRH seorang Guru Besar Akuntansi di Universitas Merdeka - Malang, yang merupakan alumni Program S-3 di UGM 11
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus
bahan Sikap menurut Model Hovland, Janis and Kelly (Azwar, 2010) yang mengungkapkan bahwa perubahan sikap sebagai efek suatu komunikasi tertentu akan tergantung pada sejauh mana komunikasi diperhatikan, dipahami, dan diterima. Peneliti hanya bisa meraba arah pertanyaan itu. Orang bertanya tentang orang lain seperti itu, adalah orang yang ingin tahu sosok sebenarnya orang lain itu. Mungkin ada value yang ingin dicari. SGR mencoba mengaitkan gambaran sosok ITY dengan buku Teori Akuntansi Syariah karya ITY. Mungkin pula, karena dia tidak suka atau amat suka dengan karya orang lain tersebut sehingga dia perlu informasi tentang siapa yang menghasilkan karya itu. Dalam pandangan peneliti, pertanyaan SGR lebih ke arah kemungkinan yang kedua. Bsa juga SGR, sebagaimana halnya BRT merasa ada noise atau hal yang tidak mudah dipahami, yang disebabkan oleh beberapa pikiran di buku karya ITY. Ketika peneliti menawarkan suatu dialog terjadi pembicara an seperti di bawah ini. MSY: “perlu moderator?” SGR: “perlu.”. MSY: “sopo kiro-kiro? (kira-kira siapa?)” SGR: “SJE” Nama yang disebutkan, SJE12, adalah dosen di Universitas Surabaya, alumni dari Australia (S-2) dan Inggris (S-3). Dia dikenal sebagai periset kualitatif yang sering menjadi moderator dalam SNA. Perawakannya yang tinggi, atletis, wajahnya yang terang serta mudah tersenyum, serta pilihan katanya dalam memandu diskusi, membuat SJE sering diminta untuk menjadi moderator.
SJE pernah menjadi Dekan di Fakultas Ekonomi Universitas Surabaya, sebuah Perguruan Tinggi Swasta besar di kota Surabaya. SJE adalah sosok yang menghidupkan penelitian kualitatif di institusinya. Salah satu pandangannya adalah bahwa untuk menyebarkan
Peneliti juga memperoleh informasi bahwa salah satu mata kuliah di S-3, ada yang membahas beraneka macam riset, termasuk riset kualitatif. Untuk topik riset kualitatif, SJE diminta untuk mengisi kelas dalam 2 kali pertemuan. Peneliti jadi maklum jika SGR menyebut nama SJE. Peneliti memulai proses pengumpulan data di FEB UA dengan menemui ZFN, seorang dosen muda Departemen Akuntansi di FEB UA, Surabaya. Dia lahir di Tulungagung dan merupakan alumni dari JAFEB UB. Sejak dari S-1, kemudian S-2 dan S-3, semuanya ditempuh di JAFEB UB. Kemudian ZFN diterima sebagai dosen di FEB UA. Saat ini, ZFN adalah Ketua Program PPAk di FEB UA. Dia mengatakan tidak ada masa lah dengan multiparadigma; tergantung pada tujuan risetnya, dan masing-masing paradigma memiliki kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Ide saya benar tetapi mungkin mengandung kesalahan Ide anda salah tetapi mungkin mengandung kebenaran Kebenaran ada diantaranya (Fanani, 2010) Cara ZFN mengungkapkan pendapatnya membuat peneliti paham maksudnya13. Sebagaimana halnya JGH, dia ingin mengungkapkan kelebihan dan kekurangan masing-masing cara riset. Sementara itu, SGS lebih memandang fenomena riset ini dari sisi praktis danSGS mengungkapkan pandangannya dengan menggunakan metafora simbol. SGS adalah senior peneliti ketika kuliah di UGM, sekarang SGS menjadi kolega senior peneliti di JAFEB UA. Dalam pandangan SGS, akuntansi adalah simbol dan tergantung bagaimana orang mengartikan simbol itu, terutama apa makna di balik simbol itu. Jadi akuntansi yang me-
12
pemikiran di perlukan kekuasaan .
425
13
Dia mengutip kata-kata indah Imam Syafi’i.
426
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
rupakan angka-angka dan akhirnya menjadi laporan, sebenarnya juga simbol saja. Kita yang mencari makna di balik symbol tersebut SGS mengingatkan bahwa secara praktis orang membicarakan akuntansi sebagai angka-angka dan kebijakan mengenai angka dalam arti angka itu bisa dijelaskan dan dengan angka tersebut bisa diprediksi tentang angka berikutnya. SGS amat menekankan pada azas manfaat dalam riset akuntansi. Hal ini perlu disadari agar riset yang dilakukan memang bermanfaat di Indonesia. IMN punya cara lain ketika mengungkapkan pendapatnya tentang kehadiran riset kualitatif atau sering disebut nonmainstream. Realitas itu ada yang teratur dan ada yang tidak teratur (Chaos). Jika yang ditangkap oleh peneliti adalah realitas yang teratur, maka riset kuantitatif bisa pas jika digunakan. Sebaliknya jika yang tertangkap adalah realitas yang chaos, maka riset kualitatif yang lebih pas digunakan. IMN merupakan alumni S-3 di UGM yang cemerlang. Dia amat terkesan dengan materi kuliah BRT dalam mata kuliah Metodologi Penelitian. Ada sesi kuliah yang membahas materi riset kualitatif. di sana BRT menyajikan berbagai artikel riset kualitatif yang benar menurut keyakinan BRT. Tentu saja benar itu juga menurut tuntunan dan tahapan riset yang ditulis dalam buku-buku metodologi penelitian. Dengan demikian IMN tetap sepakat dan menerima kehadiran riset kualitatif atau RAM. Diskusi Hasil Pandangan Para Rajawali Di lapangan, peneliti ternyata lebih banyak menemui informan yang berorientasi riset positivist daripada berorientsi riset nonpositivist (lihat Tabel 4). Orientasi riset akuntansi para informan di UGM memang di dominasi oleh positivism. Tetapi ada dua informan menganut orientasi positif dan
non positif. Jika di tilik dari asal studi lanjut mereka, rata-rata adalah lulusan dari perguruan tinggi di AS. Sebagaimana yang diketahui, pendidikan di AS seperti mengarahkan para mahasiswa akuntansinya ke orientasi positivism (Hopwood, 2008; Bisman, 2010, Fraser 2012). Dalam tabel 4, Dua informan yang peneliti masukkan dalam orientasi riset multiparadigma adalah sang innovator RAM, ITY, dan muridnya, ZFN. Khusus untuk ITY orientasi risetnya seperti sudah di atas paradigma yang ditawarkan (Triyuwono, 2011). Sementara itu ZFN, memang telah dengan sadar memilih orientasi Positif. Dia menjadi cantrik di S-1, S-2 dan S-3 di Universitas Brawijaya, sehingga pikiran risetnya sudah multiparadigma. Sementara itu, MFS, alumni dari Australia dan Inggris, sadar sekali akan kehadiran pendekatan riset kualitatif, sebagaimana seniornya. Namun posisinya sebagai dosen yang relatif muda, lebih membawanya untuk mengikuti keyakinan dan kebijakan institusi sehingga orientasi risetnya positif. Dengan alasan academic life experience (ALE), maka sebagian besar dari informan penelitian di UGM berada di orientasi positif. Hal ini tentu berkaitan dengan pengalaman mereka ketika studi lanjut, serta di mana mereka melanjutkan studinya. Semakin lama mereka studi, maka akan semakin matang dan naik tingkat keahlian mereka (expertise) dalam orientasi positif. Para alumni dari universitas di AS, UGM, UI tentu akan berada di orientasi ini. Tiga orang informan, SWD, BRT dan JGH mengungkapkannya secara eksplisit kepada peneliti tentang pengalaman kehidu pan akademik merekalah yang membuat mereka berada di orientasi positif. Alasan ALE juga diakui oleh BSB dan STR dan hal ini tidak mengherankan. Kedua nya dibesarkan di lingkungan yang sudah memilih orientasi positif-kuantitatif.
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus
427
Tabel 4 Orientasi Paradigma Riset Akuntansi Para Informan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama SWD SGR JGH ABH BRT MFS IRF BSB STR ITY SGS IMN ZFN
Dosen di UGM UGM UGM UGM UGM UGM UGM UB UB UB UA UA UA
S-2 AS AS AS AS AS AUS UGM UI UGM AUS UGM UB
S-3 AS UGM AS UGM AS ING UGM UGM AUS UA UGM UB
Orientasi Paradigma Positif Positif Positif Positif/Non Positif Positif Positif Positif/Non Positif Positif Positif Positif/Non Positif Positif Positif Positif
Sumber: Peneliti
BSB lulus dari MM-UI dan program S-3 di UGM, sedangkan STR adalah alumni S-2 dan S-3 di UGM. JGH menyatakan pula bahwa para dosen di institusinya (UGM) memang lebih banyak yang melihat fenomena akuntansi di permukaan, jadi riset akuntansi kita dipermukaan saja. Riset akuntansi atas fenomena akuntansi yang di kedalaman biar di teliti oleh pihak lain saja, karena bagi JGH dan koleganya tidak mudah untuk melaksanakan riset semacam itu. BRT yakin bahwa riset kualitatif takes time atau time consuming, sehingga pilihannya lebih kepada orientasi positif, karena begitu banyak tantangan dalam riset akuntansi positif. Kedua orang ini, demikian juga dengan SWD, memahami bahwa realitas menurut riset kualitatif berada di sekitar peneliti, tidak berjarak dengan peneliti, untuk merisetnya, tentu dibutuhkan kemampuan untuk masuk ke lingkungan tersebut dalam waktu yang cukup lama (Burrell and Morgan, 1979, Sarantakos 1993, Guba 1990, Nasution, 1996; Merchant, 2008).
Para informan dari JAFEB UGM, UB, dan UA; semua menerima kehadiran multiparadigma yang berseberangan dengan paradigma positif dalam riset akuntansi. Namun berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar informan memberi catatan. Memilih untuk menerima RAM jika ada pilihan menolak atau menerima hampir pasti berarti tidak menolak kehadiran RAM, akan tetapi dengan memperhatikan komentar mereka dan gesture masing-masing informan dalam proses wawancara, bisa muncul pendapat peneliti yang berbeda. Komentar yang mengatakan bahwa hasil riset kualitatif di Indonesia masih merupakan noise, bisa peneliti artikan bahwa periset (poisitif) tersebut menolak kehadiran RAM. Ada dua kesan yang muncul di UGM ketika pikiran mereka yang menerima kehadiran RAM diungkapkan. Kesan itu nantinya merupakan pesan yang perlu diperhatikan oleh pengikut riset non-positif.
428
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
Tabel 5 Sikap Informan atas Kehadiran RAM No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama SWD SGR JGH ABH BRT MFS IRF BSB STR ITY SGS IMN ZFN
Dosen di
Sikap atas Kehadiran RAM
Memberi catatan atas sikapnya?
UGM UGM UGM UGM UGM UGM UGM UB UB UB UA UA UA
Menerima Menerima Menerima Menerima Menerima Menerima Menerima Menerima Menerima Menerima Menerima Menerima Menerima
Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak
Sumber: Peneliti
Pertama, periset kualitatif hendaknya tidak sembarangan dalam melakukan riset. Ada tahapan yang harus diikuti dalam riset kualitatif agar hasil risetnya bisa diterima secara ilmiah. Menurut BRT, hasil riset kualitatif terkesan masih kurang baik karena tahapan risetnya mungkin tidak diikuti dengan baik. Kedua, sepertinya para periset non-positism kurang bersungguh-sungguh, MFS mengungkapkan secara eksplisit. BRT sampai beranggapan bahwa kaum nonpositif adalah seperti orang yang sedang mencari jati diri, dan belum berhasil. Dalam pandangan peneliti, apa yang diungkapkan oleh Burrell and Morgan (1979) merupakan item yang perlu dipikirkan baik tentang kontinum subyektifobyektif maupun tentang kondisi sosial masyarakat. Tujuan riset akuntansi dalam suatu paradigma, tentu berbeda dengan tujuan riset dengan paradigma lainnya. Perbedaan tujuan tersebut juga terlihat jelas jika dikembangkan pemikiran ontology, epistemology, human nature, dan methodology (Burrell and Morgan, 1979) sebagaimana tampak dalam table 2 di atas. Sebaiknya
masing-masing periset tidak terjebak dalam pemikiran dalam paradigmanya sendiri jika menilai riset dengan paradigma yang lain. STR menerima Multiparadigma, tetapi mengingatkan bahwa akuntansi berawal dari matematika (lihat juga Warsono, 2011). Ketika beliau masih menolak RAM, dia menyangsikan apakah empat paradigma tersebut (positif, interpretif, kritis, dan posmodernis) bisa dipahami sekaligus oleh mahasiswa dalam waktu tertentu selama masa studi. Tetapi karena kebijakan BSB yang saat itu menjadi Dekan, maka STR bisa menerima kehadiran RAM. Ontologi menjadi penyebab penolakan RAM oleh STR, sementara kemapanan cara riset membuat (epistemologi) STR dan hampir semua informan memilih orientasi riset akuntansi positif. BSB menerima RAM dengan catatan tentang ontologi; yang di riset harus akuntansi, dan kebebasan memilih paradigma. BRT mengungkapkannya dengan mengatakan bahwa kehadiran dan perkembangan riset kualitatif tidak bisa pesat karena keterbatasan medianya. Di Indonesia, lebih banyak jurnal yang bisa menerima artikel
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus
riset positif daripada artikel riset nonpositif. Lebih banyak jurnal yang memuat artikel riset positif akan membuka jalan yang lebih bagi para periset dengan orientasi positif untuk mencapai kedudukan akademik yang tinggi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hopwood (2008), Merchant (2008) dan Fraser (2012). Kebijakan institusi menjadi salah satu hal yang diungkapkan secara eksplisit atau implisit oleh informan sebagai penyebab utama para informan memilih paradigmanya masingmasing. Alasan ini bisa juga peneliti analisis dan baca sebagai cara untuk mengatakan menolak kehadiran RAM. Sikap BRT menurut peneliti tidak lepas dari pemikirannya Merchant (2008) tentang kurang relevannya hasil penelitian riset non-positif (IAR), dan tidak banyak kontribusinya. Di samping itu cara berkomunikasi para periset akuntansi non-positif amat berbeda sekali dengan cara yang biasa dilakukannya. Tidak mudah mencari motivasi riset, tujuan riset dan sebagainya dalam laporan hasil riset kualitatif. Laporan yang ditulis panjang lebar ditambah dengan jargon (Merchant, 2008) justru memperbesar gap pemikiran di dua kubu yang berbeda. Namun, jika SNA menjadi ajang untuk menilai, dari sisi peneliti riset Non-positif tidak mudah untuk menyusun laporan riset nya dalam halaman yang terbatas. Beberapa elaborasi yang dihilangkan akan membuat pembaca yang beraliran mainstream bisa kehilangan arah. Akhirnya, memahami perbedaan pemikiran para periset di tiga situs dalam riset ini memang bukan untuk digeneralisasi. Tujuan riset ini memang memahami fenomena sikap periset positivist dalam men dampingi kehadiran RAM. Beberapa keterbatasan yang muncul dalam benak pembaca sebaiknya dilihat dari sisi paradigma yang sama. Keterbatasan riset positif-kuantitatif hendaknya dibaca dari sisi paradigma positif, keterbatasan studi kasus ini hendaknya dibaca dari sisi paradigma interpretif dan seterusnya.
429
Proses mengambil sikap menolak atau menerima pandangan baru bisa melalui tahap memperhatikan, memahami, dan mengambil sikap. Persuasi dari pembawa pandangan riset akuntansi yang baru perlu diperhatikan agar bisa dipahami, setelah itu baru yang bersangkutan mengambil sikap (Azwar, 2010). Beberapa dari informan riset ini baru sampai tahap memperhatikan atau tidak memperhatikan, belum sampai pada tahap memahami. Jika seseorang belum memahami dan dihadapkan pada keputusan sikap, biasanya yang bersangkutan bersikap menolak (Azwar, 2010). SIMPULAN DAN SARAN Pemikiran RAM seringkali diartikan sebagai pemikiran riset akuntansi kualitatif. Sebenarnya RAM terdiri atas berbagai paradigma riset, termasuk paradigma positif, dan non-positif seperti paradigma interpretif, kritis dan lainnya. Dalam situs penelitian di UGM dan UA, sebagian besar periset menggunakan kata riset kuantitatif untuk riset dengan paradigma positif dan riset kualitatif untuk riset dengan paradigma lainnya. Bagi periset yang tidak mendalami makna RAM, kata tersebut diidentikkan dengan riset kualitatif. Para periset akuntansi paradigma posi tif tidak menolak kehadiran periset dengan paradigma non-positif. Akan tetapi agar tetap bisa berdampingan dalam mengembangkan riset akutantansi di Indonesia, para periset dengan paradigma positif menyaran kan agar periset akuntansi non-positif memperbaiki cara risetnya(epistemologi) dengan mengikuti protokol atau langkah-langkah riset non-positif yang benar. Saran ini peneliti simpulkan sebagai indikator bahwa ada perbedaan realitas akuntansi (ontologi) dan cara riset (epistemologi). Di lain sisi, saran itu juga bisa dianggap sebagai bentuk menerima kehadiran riset akuntansi kualitatif dengan syarat tertentu di Indonesia. Peneliti menengarai pola pikir positivist masih digunakan dalam menyikapi kehadiran pemikiran RAM (Merchant, 2008).
430
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
Dengan demikian ada celah untuk riset berikutnya. Academic life experience, kekuatan insti tusi, protokol dalam riset akuntansi positif yang mapan, membuat kukuh dan kokoh posisi seseorang dam dunia riset akuntansi. Di samping itu lebih terbukanya media bagi hasil riset positif, serta sistem kenaikan karir dosen, juga bisa menyebabkan pilihan periset jatuh pada paradigma positif (Merchant, 2008 ; Hopwood, 2008). Zona nyaman ini menyebabkan para periset positif enggan untuk mencoba mempelajari dan memahami paradigma lain, apalagi berpindah paradigma. Dengan demikian, mereka belum mengenal betul bagaimana riset akuntansi non-positif dilaksanakan. Jika kesadaran diri dalam hubungan manusia dengan alam telah muncul, tentu muncul keinginan untuk mendalami riset kualitatif (Guba, 1990), proses pemahaman akan berlangsung lebih cepat. Dialog atau sonjo-sonjo merupakan usulan dari beberapa informan untuk mengatasi perbedaan pemikiran atas riset akuntansi. Tanpa diadakan dialog, bisa saja proses hegemoni aliran riset tetap akan terjadi baik disengaja atau tidak disengaja (Hopwood 2007, 2008;. Monism, sebagai mana yang diungkapkan olah SWD bisa terjadi terus menerus jika dialog belum pernah dilakukan. Namun, menjadi peringa tan SWD bagi periset akuntansi untuk tidak menghasilkan laporan riset akuntansi kontemporer. Walaupun demikian, para periset tidak perlu ragu untuk melakukan penelitian akuntansi lebih banyak dalam konteks akuntansi Indonesia. Peneliti juga mendorong periset akuntansi untuk melakukan penelitian tidak hanya di hilir pengetahuan akuntansi, tetapi juga ke arah hulu pengetahuan akuntansi di Indonesia agar pemikiran periset Indonesia dari berbagai Perguruan Tinggi di Indoensia, misalnya Prof. Hadibroto, Prof. Zaki Baridwan, Prof. Katjep A, Prof. Bambang Sudibyo, Prof. Roni K Muntoro, Prof. Suwardjono, Prof.
Tjiptohadi, Prof. Sidharta dan lain-lainnya, tidak hilang ditelan masa. Sejarah pemikiran mereka, di manapun orientasi riset akuntansi mereka, bisa memicu perkemba ngan pemikiran riset akuntansi di Indonesia. Selain itu, hal tersebut juga akan menjadi kebanggaan bangsa, khususnya bagi profesi akuntan di berbagai bidang. Pemikiran JGH dan ungkapan Imam Syafi’i yang digunakan ZN merupakan kristalisasi pemikirannya setelah mempelajari berbagai paradigma riset. Khusus ZN, ada dialog pemikiran riset akuntansi dibenaknya setelah dia melahap berbagai pemikiran riset sosial (Burrell and Morgan, 1979; Chua, 1986, 2010; Sarantakos, 1993, Neuman, 2011) dan berbagai ulasan kritis mengenai Interdiciplanary Accounting Research (Mechant, 2008; Willmott, 2008; Williams, 2009; Bisman 2010). Pemilihan orientasi paradigma positif, diputuskannya setelah dia bergerak “ke atas” untuk memahami berbagai paradigma riset, sehingga dia menjadi seorang periset dengan orientasi positif yang mendampingi periset nonpositif karena dia memahami berbagai paradigma riset. Menurut peneliti hal ini bisa menjadi sarana menuju titik temu bagi kedua kubu pemikiran riset akuntansi, dalam dialog pemikiran riset akuntansi. Dalam konteks ini jalan yang telah ditempuh ZN juga dilakukan oleh beberapa orang yang peneliti kenal. Artinya, ini sah untuk dilakukan oleh orang lain. DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. 2010. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi 2. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Baker, C. R. and M. S. Bettner (1997). Interpretive and Critical Research in Accounting: A Commentary on its Absence from Mainstream Accounting Research. Critical perspectives on Accounting Research 8: 293-310 Birnberg, J. G., and M. D. Shield, 2009, Organizationally Oriented Management Accounting Research in the
Ketika Paradigma Positif Mendampingi Paradigma Non-Positif … -- Suyunus
United States: A Case Study of the Diffusion of a Radical Research Innovation, in Accounting, Organizations, and Institutions. Edited by Christopher S. Chapman, David J. Cooper and Peter B. Miller. OXFORD University Press. Bisman, J. 2010. Postpositivism and Accounting Research: A (Personal) Primer on Critical Realism. Australasian Accounting Business and Finance Journal 4(4): 325 Burrell, G. and G. Morgan. 1979. Sociological Paradigm and Organizational Analysis. Ashgate Publishing Company. Aldershot-Hants. England. Chua, W. F. 1986. Radical Development in Accounting Thought. The Accounting Review LX1(4): Oktober 1986 Chua, W. F. 2011. In Search of Successful Accounting Research. European Accounting Review 20(1): 27-39. Djamhuri, A. 2011. Ilmu Pengetahuan Sosial dan Berbagai Paradigma dalam Kajian Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 2(1): April 2011. Fanani, Z. 2010. Kritik Terhadap Teori dan Metodologi Akuntansi Positif. Makalah, dalam Debat Epistemologi dan Temu Alumni Program Doktor Ilmu Akuntansi JAFEB UB, di Malang 20 Desember 2010. FASB. 1978. Statement of Financial Accounting Concepts No. 1: Objectives of Financial Reporting for Business Enterprises. Stamford, CN:FASB Fraser, K. 2012. Reinventing philosophical foundation of positivism: breaking through the traditional (positive) accounting research methods. Paper dalam The 4th International Consortium on Accounting – Brawijaya University. 20-24 November 2012 Ghozali, I. 2004. Pergeseran Paradigma Akuntansi dari Positivisme ke Perspektif Sosiologis dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Akuntansi di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Akuntansi. Fakultas Ekonomi, Universi
431
tas Diponegoro. Semarang, 11 Desember 2004. Gioia, D. A. and E. Pitre. 1990. Multiparadigm Perspective on Theory Building. Academic of Management Review 15(4): 584-602 Goles, T. and R. Hirschheim. 2000. The paradigm is dead, the paradigm is dead…long live the paradigm: the legacy of Burrell and Morgan. Omega. 28: 249-68 Guba, E G. 1990. The Paradigm Dialog. SAGE Publications: The International Professi onal Publisher, the United States of America Guthrie, J. and L. Parker. 2006.Editorial: The coming out of accounting research specialism. Accounting, Auditing and Accountability Journal 19: 1. 2006 Hopwood, A G. 2007. Whither Accounting Research. The Accounting Review 82(5): 1365-1374 Hopwood, A. G. 2008. Changing Pressure on the Research Process: OnTrying to research in an Age when Curiousity is not Enough. European Accounting Review 17(1): 87-96 Hartono, J. 2004. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah kaprah dan Pengalaman-Pengalaman. BPFE. Yogyakarta Kuhn, T. S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions.The University of Chicago Press. USA. Merchant, K. A. 2008. Why interdiciplanary accounting research tends not to impact most North American academic accoun tants. Critical Perspectives on Accounting 19: 901-908 Morgan, G. 1988. Accounting as reality construction: Towards a New Epistemology for Accounting Practice. Accounting, Organizations and Society 13(5): 447-485 Nasution, S, 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Penerbit TARSITO. Bandung Neuman, W. L. 2011. Social Research Methods. Qualitative and Quantitative
432
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 16, Nomor 4, Desember 2012 : 409 - 432
Approaches. 7th Edition. Pearson Education Inc. Rutherford, B. A. 2010. The social scientific turn in UK financial accounting research: a philosophical and sociological analysis. Accounting and Business Research 40(2): 149–171 Sarantakos, S. 1993. Social Research. Australia. Macmillan Education Australia PTY LTD. Sterling, R. R. 1975. Toward a Science of Accounting. Financial Analysts Journal September-October 1975. Stern, R. and S. Barley. 1996. Organizations and social systems: organization theory’s neglected mandate. Adminitrative Science Quaterly 41(1): 146-62 Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. C.V. Alfabeta. Bandung Suwardjono. 2006. Positivism in Accounting Research: What It Can and What It Cannot Do. Paper. The Second Postgraduate Consortium on Accounting 2006. Multiparadigm Accounting: Broadening Our View. Malang. Suwardjono. 2010. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi ketiga. BPFE-Yogyakarta. Suyunus, M. 2011. Mengikuti Perjalanan Pembawa Bendera: Penyebaran Pemikiran Radikal Riset Akuntansi Multiparadigma. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 2(1): April 2011,
Tomkins, C. and R. Groves. 1983. The Everyday Accountant and His Reality. Accounting, Organizations and Society 8(4): 361-374. Triyuwono, I. 2000. Organisasi dan Akuntansi Syari’ah. LKiS. Yogyakarta. Triyuwono, I. 2006. Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah. PT Raja Grafindo Persada. Triyuwono, I. 2011. “Sususaya” Melampaui Paradigma-Paradigma Metodologi Penelitian. Makalah. Accounting Research Training Series 2. Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Brawijaya. 7-8 Desember 2011 Warsono, S. 2011. Adopsi Standar Akuntansi IFRS: Fakta, Dilema, dan Matematika. ABpublishER. Yogyakarta. Williams, P. F. 2009. Reshaping accounting research: Living in the world we live. Accounting Forum 33: 274-279 Willmott, H. 2008. Listening, interpreting, commending: A commentary on the future of interpretive accounting research. Critical Perspective on Accounting 19: 920-925. Field Notes 1. FN 2011 1115 BS-pendirian S-3 Multiparadigma 2. FN 2012 0112 U”X” IBAS 1-Ideologi and JGH-Positivism