\
MENGASUH ANAK DI ERA DIGITAL Oleh: Drs. Mardiya Perkembangan teknologi sekarang ini berkembang makin pesat menuju ke arah serba elektronik/digital, yang secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruh gaya hidup kita. Dalam keseharian, baik di rumah maupun di tempat kerja, saat ini hampir dapat dipastikan kita tidak bisa lepas dari perangkat yang serba elektronik/digital. Sebut saja radio, tape recorder, televisi, MP3 Player, komputer,
laptop, handphone/telephone, kamera,
setrika listrik, mesin cuci, rice cooker/magic com, mixer, kompor listrik, dan sebagainya. Kita menggunakan
berbagai
perangkat
ini
selain
untuk
memudahkan
kerja,
juga
memanfaatkannya guna memperoleh informasi dari luar, berkomunikasi serta untuk hiburan. Begitu pentingnya peran teknologi dalam kehidupan sekarang ini, mau tidak mau dan suka tidak suka telah membawa peradapan kita ke arah era digital. Berkat kemajuan teknologi pula, berbagai perangkat elektronik yang dulu beragam, sekarang telah makin terintegrasi dengan ukuran yang makin kecil. Smartphone misalnya, alat ini bisa melakukan fungsi mulai dari Global Positioning System (GPS), handphone, telephone, MP3 Player, kamera, televisi, laptop dan komputer. Bahkan dapat untuk mengakses internet dan menyambung ke media sosial seperti Facebook, Twitter, Google Plus, Instagram, MySpace, Linkedin, Path, dan sebagainya. Munculnya smartphone yang multifungsi dengan harga yang makin terjangkau telah mengakibatkan makin banyak orang yang mampu memilikinya. Bahkan dalam keluarga tertentu khususnya di kalangan keluarga menengah ke atas, smartphone bisa jadi telah dimiliki oleh anak sekolah mulai dari SD, SLTP maupun SLTA, termasuk yang masih anak balita. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai tidak kurang dari 139 juta jiwa atau 54,5% dari total penduduk. Sangat luar biasa! Persoalannya, ternyata perkembangan teknologi tersebut tidak hanya berdampak positif, tetapi juga berdampak negatif terhadap kehidupan. Dampak positifnya tidak dapat diragukan lagi. Hidup ini menjadi serba mudah, serba cepat dan serba praktis. Secara sederhana bisa dicontohkan di sini, saat teknologi handphone belum ditemukan, bila kita ingin tahu kabar saudara kita yang berada di luar Jawa setidaknya membutuhkan waktu setengah bulan untuk mendapatkannya, karena harus menulis surat dan mengirimkannya lewat pos. Sementara saat ini, kita hanya butuh waktu tidak lebih dari 1 menit untuk
mengetahui kabar saudara kita tersebut lewat Short Message Service (SMS). Bahkan kita pun bisa saling berkirim foto atau video lewat BlackBerry Messenger (BBM) atau WhatsApp. Teknologi di era digital juga memungkinkan seseorang mengerjakan sesuatu tanpa harus keluar rumah. Dengan fasilitas email, seorang penulis cukup duduk di depan komputer atau laptop yang terkoneksi dengan internet,
menulis apa yang dia angankan dan
mengirimkannya dalam sekejap ke media massa yang dia suka. Sama halnya dengan seorang arranger musik yang bekerja di sebuah perusahaan musik. Dalam kondisi tertentu, sang arranger tidak harus pergi ke Jakarta tempat ia bekerja untuk menyampaikan hasil pekerjaannya, tetapi cukup dikirim lewat email meskipun besar file nya mencapai hitungan giga bits. Namun jangan lupa dampak negatif dari teknologi di era digital ini juga tidak sedikit. Hal ini sangat dirasakan oleh para orangtua yang memiliki anak dan remaja. Setidaknya ada tiga dampak yang terjadi akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada anak dan remaja kita yang kemudian dalam kesehariannya menjadi akrab dengan gadget, istilah populer untuk menyebut perangkat elektronik yang memiliki fungsi khusus yang dirancang lebih canggih seperti televisi, smartphone, laptop, tablet dan sejenisnya. Pertama, tumbuh kembang anak menjadi tidak optimal karena anak terlalu lama duduk asyik dengan gadget. Selain secara fisik terhambat pertumbuhannya, mereka juga menjadi susah berbicara jelas karena karena terlalu banyak menonton film kartun atau game online yang di situ tidak ada komunikasi verbalnya. Kalaupun ada maksudnya tidak jelas dan lebih banyak berbahasa asing yang sulit dipahami anak. Sebaliknya anak menjadi agresif dan sering memukul-mukul temannya menirukan apa yang dilihatnya di film kartun. Perkembangan jiwa anak
juga sering terhambat/terganggu, mereka juga kehilangan
konsentrasi untuk belajar dan mengalami kematangan semu karena pikirannya yang selalu terfokus pada acara di televisi atau games yang ada pada smartphone. Kedua, anak dan remaja kita mengalami kecanduan untuk selalu menggunakan gadget setiap saat. Bukan sekedar untuk mencari informasi tetapi juga untuk bermain, berkomunikasi dengan orang lain di dunia maya dan mengakses pornografi. Anak dan remaja kita yang kecanduan gadget setidaknya akan menunjukkan 11 tanda yang bisa diamati oleh para orangtua: (1) Fokus berkurang, (2) Menjadi lebih emosional, (3) Sulit mengambil keputusan, (4) Kematangan semu, terlihat besar fisik tetapi jiwanya belum matang, (5) Sulit berkomunikasi dengan orang lain, (6) tidak ada perubahan raut muka untuk mengekspresikan
perasaan, (7) Daya juang rendah, (8) Mudah terpengaruh, (9) Anti sosial dan sulit berhubungan dengan orang lain, (10) Melemahnya kemampuan merasakan sensasi di dunia nyata, (11) Tidak memahami nilai-nilai moral. Yang mengerikan, manakala anak dan remaja kita mulai kecanduan mengakses gambar, cerita atau video porno, akan menimbulkan dorongan yang kuat untuk menirukannya. Oleh karena itu jangan heran bila banyak kasus pelecehan seksual terjadi di masyarakat. Anak kecil berbuat tidak senonoh dengan lawan jenisnya, remajanya bergaul bebas dengan teman sebayanya hingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, dan lain sebagainya, yang semuanya itu terjadi karena kuatnya dorongan dari apa yang mereka lihat di gambar, cerita atau video porno tersebut. Ketiga, dari sisi kesehatan, anak dan remaja kita yang kecanduan gadget, dapat dipastikan pola makannya tidak teratur, makan makanan yang hanya mereka suka dan kurang tidur. Ini jelas akan mengganggu kesehatan sang anak dan remaja. Mereka memforsir perhatian, tenaga dan pikirannya untuk melihat dan bermain dengan apa yang tersedia di gadget sehingga dari waktu ke waktu bisa dipastikan fisiknya menjadi lemah karena kekurangan gizi dan kurang istirahat. Belum lagi pengaruh pada kesehatan mata. Bisa jadi mereka mudah terkena penyakit mata arena kelelahan yang luar biasa dan kena radiasi. Telingapun bisa jadi mengalami kelemahan fungsi akibat terlalu lama mendengarkan musik lewat headset atau terlalu keras volumenya. Khusus anak dan remaja kita yang kecanduan pornografi, menurut Dr. Donald Hilton, ahli bedah otak dari San Antonio, Texas, akan mengalami kerusakan otak pada Pre Frontal Cortex (PFC). PFC ini merupakan bagian penting dari otak yang membedakan antara manusia dan binatang. Dengan PFC yang baik, maka manusia akan memiliki kemampuan untuk memilih dan memiliki adab/nilai/fitrah/kebenaran. PFC mengatur kita
untuk berpikir
mengenai sesuatu yang rumit, seperti merencanakan masa depan, memahami dan menganalisa serta mengevaluasi sesuatu dan organisasi. Selain itu juga untuk kontrol diri, mengerti konsekuensi dari suatu perbuatan, mengekspresikan kepribadian, kemampuan bersosialisasi dan pengambilan keputusan. Bisa dikatakan PFC adalah direkturnya otak, tempatnya moral dan nilai. Kalau seseorang sudah kecanduan pornografi, maka ia tidak dapat lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang pantas mana yang tidak, juga kehilangan rasa malu. Mereka bisa jadi tega melakukan apapun. Entah menyakiti orang lain, mencuri atau bahkan membunuh karena kerusakan PFC nya. Sehingga mereka melakukan sesuatu
tanpa berpikir dan tanpa menggunakan hati nurani. Kecanduan ini sama bahayanya dengan kecanduan marijuana, heroin atau kokain. Sama-sama mengakibatkan krusakan otak yang sulit disembuhkan. Untuk mengenali anak dan remaja yang kecanduan pornografi setidaknya ada 10 ciri yaitu: (1) Bila ditegur mudah marah, (2) Impulsif, suka berbohong, jorok, moody, (3) Suka menyakiti adik, (4) Malu tidak pada tempatnya, (5) Sulit konsentrasi, (6) Menghindari kontak mata saat berbicara, (7) Suka menyalahkan orang, emosional, menutup diri, (8) Prestasi akademik menuru, (9) hanya bermain dengan kelompok tertentu, (10) Hilang empati, jika meminta sesuatu harus dipenuhi. Melihat sisi buruk di era digital, maka dalam mengasuh anak dan remaja di era ini akan mengalami banyak tantangan. Membesarkan anak di era digital butuh usaha ekstra dibanding puluhan tahun lalu. Karena ternyata perkembangan dunia digital tidak hanya memberi kemudahan, tetapi tidak jarang membuat gap antara orangtua dan anak. Tak jarang berakhir dengan anak membangkang atau masalah lainnya. Yang terpenting dilakukan oleh para orang tua dalam mengasuh anak di era digital adalah membangun komuikasi dengan anak. Dalam situasi sesibuk apapun, diharapkan ayah atau ibu dapat berkomunikasi dengan anak baik bertemu langsung atau melalui telepon/SMS, sekedar untuk menanyakan kondisi anak. Sekedar untuk menanyakan bagaimana kabarnya hari ini? Sudah sarapankah? Apakah ada PR? Capai Nggak? Nilai ulanganmu berapa? Apa saja kegiatan di sekolah hari ini? Dan seterusnya. Melalui komunikasi ini diharapkan terjadi dialog antara orangtua dan anak yang mendekatkan tidak saja secara fisik, tetapi juga secara emosional. Di sini orangtua dapat memberi pemahaman tentang banyak hal pada anak, mengajari sosialisasi, dan membangun keterbukaan sehingga tumbuh kepercayaan anak terhadap orangtuanya sehingga anak mau bercerita tentang apa yang diinginkannya, apa yang diharapkannya dan apa yang dicita-citakannya termasuk harapan orangtua terhadap anaknya. Selain itu tidak kalah pentingnya dalam pengasuhan anak di era digital ini adalah kesiapan orangtua sebagai pengasuh anak yang diwujudkaan dalam bentuk sikap dan perilaku sebagai berikut: (1) Menjadi contoh/model yang baik di mata anak, (2) Memiliki integritas dan konsekuen, (3) Mampu membangun kesepakatan dengan anak, (4) Tegas terhadap kesepakatan, (5) Tidak selalu mengabulkan permintaan anak, (6) Tidak terpengaruh dengan public opinion yang belum tentu benar.
Upaya lain yang perlu dilakukan adalah upaya membangun karakter anak dengan mengajari anak untuk mengembangkan kecerdasan emosi agar mampu memahami suasana hati dengan baik dan mengekspresikan dengan wajar. Juga memberikan kesempatan pada anak untuk belajar menjadi dirinya sendiri, mengambil keputusan, dan membantu memahami konsekuensi dari pilihan. Lebih dari itu memberikan tugas dan pengetahuan sesuai umurnya dan mengajarkan sesuatu terlalu dini. Dalam upaya membangun karakter ini, orangtua juga perlu mengajarkan tentang keberhasilan dan kegagalan serta bagaimana menyikapinya, memberikan kesempatan pada anak untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya serta membangun empati anak dengan pengalaman-pengalaman langsung. Mengasuh anak di era digital, agar bisa berhasil, menuntut para orangtua lebih kreatif. Ini dalam rangka mengurangi frekuensi penggunaan gadget yang tidak perlu. Bentuk kreativitas orangtua dalam hal ini antara lain: (1) Menyediakan alternatif bermain in door out door, bersepeda, lari, main bola, (2) Menyalurkan minat anak: olah raga bela diri, sciene, menari, balet, badminton, sepak bola dan sebagainya, (3) Menyediakan alat-lat yang mendukung anak untuk berkreasi, (4) Menyediakan variasi kegiatan seperti memasak, berkebun, membuat pra karya dan menggambar, (5) Mengajak anak mengenal lingkungan, (6) Bertamu ke tetangga, teman, dan saudara. Elly Risman, psikolog yang banyak berkecimpung dalam pengasuhan anak di era digital memberikan tips bagaimana mengasuh anak di era digital. Tips yang dimaksud mencakup 7 macam, yaitu: Pertama, Tanggung Jawab Penuh. Dalam mengasuh anak, peran ibu seringkali dianggap sebagai pengasuh utama. Padahal, sosok ayah tak kalah penting. Saat anak dititipkan oleh Allah, maka saat itulah orang tua harus bertanggung jawab terhadap jiwa, tubuh, pikiran, keimanan dan kesejahteraan anak secara utuh. Sayangnya saat ini banyak orang tua yang melepaskan pengasuhan anaknya secara total ke tangan orang ketiga, seperti pembantu. Jika hal tersebut terpaksa dilakukan, maka perlu dicek kembali bagaimana sejarah dari orang yang kita rektrut untuk menjaga buah hati. Sebuah tesis pernah membahas mengenai peran ayah. Anak-anak yang kurang dekat pada sosok ayah, untuk anak laki-laki dia akan nakal, agresif, narkoba dan seks bebas, sedangkan anak perempuan biasanya depresi dan seks bebas. Jadi di era digital ini, ayah harus selalu ada untuk mendampingi anak. Kedua, Kedekatan. Perlu adanya kedekatan antara ayah dan anak, juga ibu ke anak. Kedekatan ini bukan hanya berarti melekat dari kulit ke kulit, melainkan dari jiwa ke jiwa.
Artinya, orang tua bukan sekedar memeluk anak secara fisik tapi juga harus dekat secara emosional. Banyak anak yang tidak mendapatkan itu dari kecil, sehingga jiwanya hampa. Ketiga, Rumuskan Tujuan Pengasuhan. Dari riset yang pernah dilakukan oleh Elly Risman, banyak pasangan muda yang tidak merumuskan tujuan pengasuhan untuk anakanak. Mereka tidak tahu anak ini mau dibawa ke mana. Elly Risman menyarankan agar orang tua mulai merumuskan tujuan pengasuhan sejak anak dilahirkan. Selain itu, perlu membuat kesepakatan bersama pasangan tentang prioritas apa saja yang diberikan kepada anak dan bagaimana cara pendekatannya. Keempat, Berbicara Baik-baik. Orang tua harus belajar berbicara baik-baik dengan anak. Berbicara dengan benar, tidak boleh berbohong, tidak boleh tergesa-gesa, tidak mengenal anak, tidak menyapa keunikannya, tidak pernah membaca bahasa tubuhnya, tidak mendengarkan perasaan serta tidak punya waktu untuk mendengar aktif. Menyalahkan, memerintah, mencap, membanding-bandingkan, komunikasi seperti ini akan menimbulkan kantong jiwa anak menjadi kempot, dia merasa tidak berharga, otak tidak berkembang, tidak terbiasa memilih dan tidak bisa mengambil keputusan. Jiwa anak-anak juga hampa, emosi dan spiritual tidak terjaga. Kelima, Mengajarkan Agama. Mengajarkan agama merupakan kewajiban orang tua. Pendidikan agama perlu ditanam sejak sedini mungkin, bukan sekedar menyerahkan pendidikan agama di sekolah. Dalam hal ini, mengajarkan agama pada anak bukan sekedar bisa membaca Al Quran, berpuasa atau pergi ke gereja. Orang tua perlu menanamkan secara emosional agar anak menyukai aktivitas itu. Tanamkan anak untuk suka, bukan sekedar bisa. Sehingga, ketika tidak ada orang tuanya, anak dengan sendirinya menjalankan perintah agama, tanpa harus disuruh, termasuk ketika melihat hal-hal buruk di era digital. Keenam,
Persiapkan Anak Masuk Pubertas. Kebanyakan orang tua malu
membicarakan masalah seks dengan anak dan cenderung menghindarinya. Padahal, menurut Elly Risman, pembicaraan seperti itu justru perlu dimulai sejak dini dengan bahasa yang mengikuti usianya. Kalau sudah keluar air mani, sudah menstruasi, itu artinya anak sudah aktif secara seksual dan susah dikendalikan jika sudah seperti itu. Saat tidak ada persiapan itulah, anak akan melakukan kegiatannya sendiri, dia bebas melakukan berbagai macam hal. Ketujuh, Persiapkan Anak Masuk Era Digital. Perkembangan teknologi kian canggih dan sulit dibendung. Salah satu cara mencegah agar anak tidak terlalu terpapar terhadap perkembangan tersebut yakni dengan memberi pemahaman pada anak tentang penggunaan
gadget. Ada baiknya orang tua membatasi akses internet agar bisa mencegah anak melihat situs yang tidak diinginkan. Ajarkan mereka untuk menahan pandangan, menjaga kemaluan. Karena jika otak anak rusak, kemaluannya tidak bisa dikendalikan. Jika kita tidak membicarakan, anak tidak tahu bagaimana akan bersikap. Selanjutnya kedepankan komunikasi sebagai pengganti aktivitas teknologi. Ajaklah anak bicara, bukan hanya tentang kegiatannya saja, tapi juga perasaannya. Misalnya, tanya perasaan hari itu, apa yang membuatnya bahagia dan apa yang membuatnya sedih. Dengan begitu, secara otomatis anak akan dengan mudah berberita pada Anda tiap kali merasakan sesuatu. Saat orang tua membatasi penggunaan gadget pada anak, berilah alternatif lain untuk kegiatannya saat ayah dan bunda tidak berada di rumah, seperti misalnya ikut les berenang, menari, basket, futsal, gitar, drama, atau apapun yang disukai anak. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mengasuh anak di era digital membutuhkan perhatian ekstra dari orang tua. Bukan cuma ibu, tetapi juga ayah. Mereka harus memiliki komitmen yang sama untuk mewujudkan anak sebagai generasi masa depan yang berkualitas, berkarakter dan berkepribadian. Suami dan isteri harus saling membantu manakala anak mengalami kesulitan, tidak saling menyalahkan manakala anak berbuat sesuatu yang tidak sesuai harapan dan tidak saling melempar tanggung jawab manakala anak membutuhkan bimbingan dan pendampingan.
Drs. Mardiya, Kabid Pengendalian Penduduk OPD KB Kabupaten Kulon Progo