BUDAYA MEDIA DAN PARTISIPASI ANAK DI ERA DIGITAL Salman Hasibuan
To cite this article: Hasibuan, Salman. (2015). Budaya Media dan Partisipasi Anak Di Era Digital. Proceedings of International Post-Graduate Conference, 01, 829-850.
BUDAYA MEDIA DAN PARTISIPASI ANAK DI ERA DIGITAL
Salman Hasibuan*
Pendahuluan Pengaruh globalisasi membawa penyebaran teknologi, ekonomi, pertukaran politik dan budaya ke penjuru dunia tanpa dibatasi oleh wilayah. Media dan teknologi komunikasi dalam hal ini memainkan peranan penting dalam “memediasi” proses tersebut sehingga keberadaannya telah menjadi poros utama globalisasi media (Littlejohn and Foss, 2009). Sesuai dengan premis Marshall McLuhan (1994) yakni global village, dimana batas-batas antar negara telah hilang dan dunia luas telah menyusut menjadi sebuah kampung global dengan adanya teknologi digital. Pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik- termasuk Indonesia, sejak pertengahan tahun 1970-an telah merubah kehidupan masyarakat. Pada awal tahun 1980-an kondisi ekonomi masyarakat turut membaik, sehingga mulai muncul istilah orang kaya baru (OKB). Termasuk juga golongan lapisan ekonomi menengah mendapat keuntungan dari kondisi lonjakan ekonomi tersebut, sehingga sebagian sudah mulai keluar rumah menuju McDonald untuk makan, membeli telepon selular, televisi, 829
peralatan elektronik dan beragam pilihan gaya hidup lain (Antlöv, 1999). Konsekuensi
dari
produk-produk
tersebut
yakni
melahirkan budaya media (global media). Budaya media muncul dalam kehidupan sehari-hari, membentuk pandangan dunia (world view), politik dan perilaku dalam kehidupan sosial masyarakat dan menyediakan material-material yang dapat digunakan oleh masyarakat (termasuk anak) untuk membangun identitas diri sebagai bagian dari masyarakat tekno-kapitalis (Kellner, 1995). Anak-anak yang lahir setelah era tahun 1980-an merupakan generasi yang hidup dimana teknologi informasi dan beragam aplikasi sosial dimulai secara daring (online). Palfrey dan Gasser (2008) menyebut mereka sebagai pribumi digital (digital native) dan Tapscott (2009) memberi julukan sebagai generasi internet (net generation). Media dan teknologi komunikasi memiliki andil sangat besar membawa beragam produk budaya, teknologi, sosial, politik dari seluruh dunia (globalisasi) ke dalam kehidupan masyarakat, memasuki pelosok-pelosok daerah di penjuru negeri, bahkan menerobos ruang-ruang
keluarga
dan
membawa
konsekuensi
bagi
kehidupan individu di masyarakat. Budaya media telah membawa dampak terhadap cara individu berpikir dan bertindak. Begitu juga dengan kehidupan 830
anak-anak, kehidupan sehari-hari mereka telah dirembesi oleh budaya media melalui produk-produk yang digunakan, makanan dan minuman yang dikonsumsi, program televisi yang ditonton dan perangkat digital yang dimainkan. Anak-anak kini lebih banyak menghabiskan waktu bermain games online, berinteraksi dengan media gadget, seperti telepon selular, laptop dan video games. Aktivitas yang bersentuhan dengan teknologi lebih mewarnai kehidupan anak, daripada berinteraksi dengan teman sebaya di lingkungan rumah, bermain sepak bola, bersepeda dan aktivitas bermain sejenisnya. Budaya media kini sudah mendominasi setiap kehidupan anak-anak, maka banyak pihak yang berargumen bahwa media dapat elektronik dapat berpengaruh negatif terhadap mental dan kesehatan anak, memicu obesitas dan menimbulkan prilaku konsumtif (Bar-on, 2000; Blass, et.al, 2006; Kappos, 2007; Cristea, et.al, 2014). Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
terhadap
sebanyak 589 anak usia 9 sampai 15 tahun di Jakarta, ditemukan lebih dari setengah anak-anak mengatakan bahwa di dalam kamar mereka tersedia telepon seluler (81%), televisi (70%), video game (53%), buku (73%) dan majalah (55%). Hal yang menarik dari penelitian tersebut yakni persentase tertinggi ketersediaan media di tempat tidur bukanlah televisi, melainkan 831
telepon seluler. Bahkan telepon seluler tersebut merupakan milik pribadi anak (Hendriyani, Hollandr, d'Haenens, Beentjes, 2012). Nuansa modernisasi telah merubah kebiasaan individuindividu dari cara yang tradisional menjadi sebuah kehidupan yang lebih kompleks dengan ragam kemajuan teknologi dan tentunya perubahan gaya hidup yang begitu cepat. Abu Bakar dkk (1984) mencatat bahwa setidaknya terdapat sebanyak dua puluh dua jenis permainan tradisional anak-anak di Sumatera Utara yang kerap dimainkan anak di luar rumah. Namun konteks interaksi anak-anak tersebut kini berubah seiring perubahan budaya media di lingkungan masyarakat. Perubahan yang terjadi pun tampak radikal, sehingga waktu serta ruang aktivitas bermain anak di luar rumah, sudah bergeser dari permainan bola kaki di lapangan rumput hijau, kini berubah konteks menjadi permainan bola kaki di ruangan berpenyejuk udara. Sebuah kontek budaya bermain yang berubah dari tradisional menuju digital dan virtual (Prensky, 2005). Dinamika sosial ekonomi masyarakat yang berubah, juga memberi dampak besar bagi perubahan landskap media dan hal itu terjadi disebabkan evolusi dalam kemutakhiran teknologi media (digital media). Kemutakhiran media memberi peluang bagi masyarakat agar memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas 832
manusia. Tidak hanya itu,evolusi di bidang teknologi media juga memunculkan beragam bentuk keterlibatan masyarakat dalam menggunakan media, khusunya akses terhadap internet. Kini, waktu yang dihabiskan anak-anak dengan media setiap harinya lebih banyak. Waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi rata-rata 3 jam di hari sekolah dan 7.4 jam pada hari libur, waktu bermain permainan elektronik 3.8 jam dan waktu dihabiskan untuk bermain internet rata-rata 2.1 jam. Data dari Nielsen Media menunjukkan bahwa satu dari setiap empat penonton televisi di Indonesia adalah anak, dan waktu yang dihabiskan anak-anak menonton televisi rata-rata tiga jam per hari (Hendriyani, et.al, 2011; 2012). Dimensi
politik,
budaya,
ekonomi
dan
perubahan
teknologi telah merubah landskap media. Beragam haluan memberi sorotan tajam terhadap perubahan landskap media yang menyelimuti kehidupan anak-anak, termasuk pandangan skeptis yang memandang budaya media secara total dikontrol oleh korporasi berdarah kapitalis, sehingga anak-anak berada pada posisi apatis yang hanya bisa menerima cara hidup yang pilihan-pilihannya sudah mereka tentukan.
Paradoksal Konsumen dan Partisipan Aktif Pengaruh budaya media terhadap bentuk partisipasi anak di lingkungan bermedia seperti dijelaskan di awal, kini 833
tampaknya menjadi sebuah kondisi paradoks. Media pada satu sisi membawa kekuatan global ke dalam kehidupan anak. Kepentingan ekonomi korporasi kapitalis melalui media telah membidik anak-anak sebagai target konsumen (Poyntz, 2010), sehingga anak-anak digiring untuk menikmati produk-produk teknologi yang sudah ditentukan bentuk dan jenisnya oleh korporasi besar dan semua itu telah merubah cara anak-anak bersosialisai di lingkungan masyarakat. Pada sisi lain, media justru menyediakan sumber-sumber yang kaya informasi dan sangat potensial dan semua itu dapat bermanfaat sebagai modal untuk memperoleh pengetahuan, membentuk identitas, meningkatkan keterampilan dan potensi diri
anak
di
tengah
kompleksitas
lingkungan
bermedia
masyarakat. Tidak dipungkiri pada kenyataanya, bahwa media dan korporasi kapitalis memiliki hubungan yang harmonis, bekerja sama dengan baik dalam membentuk atau menghasilkan pikiran dan perilaku serta berhasil membujuk individu untuk bisa beradaptasi dengan nilai, kepercayaan korporasi (Kellner, 1995). Buku berjudul "The Corporation", yang ditulis oleh seorang profesor hukum dari University of British Columbia yakni Joe Bakan. Bakan mengajukan sebuah premis bahwa korporsi sebagai sebuah institusi yang memiliki mandat secara legal yang didefenisikan sebagai usaha untuk mendapatkan, tanpa henti, 834
dan tanpa kecuali, untuk memperoleh keuntungan tanpa mempedulikan
apakah
upayanya
tersebut
berdampak
merugikan kepada pihak-pihak lain. Bakan juga menyebut korporasi sebagai institusi yang memiliki kekuatan untuk melemahkan (wields) orang lain dan masyarakat (Bakan, 2004). Bakan menuliskan bahwa ternyata perusahan telah jauh berpikir dan meneliti, mengamati dan menghitung dampak rengekan anak-anak, dan menemukan bahwa 20 hingga 40 persen pembelian tidak akan terjadi jika anak-anak tidak merengek pada orang tuanya. Pengaruh anak-anak juga meluas hingga ke produk-produk yang tidak diperuntukkan bagi anakanak, bahkan ke barang-barang canggih untuk orang dewasa, seperti mobil, sehingga banyak atribut mobil yang benar-benar menarik bagi anak-anak. Menjadikan anak-anak sebagai konsumen masa depan, bahkan perusahaan menyebut bukan sebagai anak-anak, melainkan sebagai konsumen yang sedang berkembang, sehingga menjadi sasaran empuk bagi pemasaran perusahaan melalui salah satunya yakni televisi (Bakan, 2004: 129-130). Premis yang dikemukakan Bakan (2004) menjadi gambaran bahwa korporasi global sangat ambisius untuk mengeksploitasi peluang, salah satunya melalui pemanfaatan modernisasi di bidang teknologi dan media untuk menjadikan anak sebagai sasaran konsumen produk-produk perusahan. 835
Seperti pandangan Chomsky (2002) bahwa modernisasi media dan globalisasi telah membawa kekuatan besar ke penjuru dunia. Maka konsumerisme seperti yang telah dipropagandakan oleh perusahaan global menjadi kian tumbuh subur melalui kejayaan era teknologi informasi saat ini. Alasan
utama
terkait
intensitas
pemasaran
yang
menjadikan anak sebagai target utama yakni: 1) peningkatan yang luar biasa dalam jumlah ketersediaan saluran (channel) televisi dan teknologi interaktif digital, yang membuka celahcelah baru untuk menciptakan ruang pertumbuhan media untuk anak dan produk-produk lainnya, 2) kemudahan bagi anak untuk mendapatkan
income
serta
kekuatan
mereka
untuk
mempengaruhi orang tua untuk membelikan sesuatu, 3) anakanak merupakan potensi besar untuk menjadi konsumen masa depan perusahaan (Calvert, 2008; Buckingham, 2009; Nicholls & Cullen, 2004; Šramováa, 2015). Dalam pandangan Strukturasi Giddens (Rose, 1991) mengenai struktur (media dan korporasi) dan agensi (anak). Struktur dalam menjalankan kegiatannya memiliki dualitas fungsi yakni power untuk memaksakan kepentingan (constraining) kepada agensi dan di satu sisi memberdayakan (enabling) agensi. Struktur dan agensi saling berhubungan dan saling tergantung,
struktur
membutuhkan
agensi
dan
agensi
membutuhkan struktur (Buckingham and Sefton-green, 2003). 836
Media pada suatu titik memiliki kekuatan dan peluang memanfaatkan
kekuatannya
untuk
membujuk,
mendesak
bahkan memaksa anak untuk membeli dan menggunakan produk-produk korporasi. Pada titik lain, anak juga memiliki daya untuk menjadikan produk media sebagai sumber kekuatan untuk memberdayakan diri, membentuk identitas dan menemukan bentuk partisipasi di tengah kompleksitas kehidupan sosialbudaya multimedia. Memanfaatkan sumber-sumber yang disediakan media, dengan cara itu anak-anak dapat mentransformasi televisi, film, komputer,
games
dan
teknologi
media
lainnya
untuk
dimanfaatkan sebagai instrumen yang memberi nilai positif bagi kehidupan anak di masa depan. Partisipasi penuh di dalam lingkungan budaya media, memberikan anak-anak peluang besar untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan sebagai modal sosial. Era digitalisasi saat ini, memunculkan konvergensi media yang memungkinkan anak-anak menjadi partisipan aktif. Bentuk partisipasi pun lebih terbuka (open-ended), konsumen lebih memiliki kontrol atas penggunaan media yang diinginkan, serta kontrol media menjadi berkurang dan masa kini produser media harus
mengakomodir
keinginan
konsumen
untuk
bisa
berpartisipasi dalam ragam penggunaan media atau mereka akan ditinggalkan konsumen (Jenkins, 2006) 837
Uses and Gratification: Penjajakan Motif Anak Bermedia Berbeda orang tentu berbeda pula pilihan permainannya dan berbeda juga alasan mereka bermain. Permainan yang sama, akan memiliki perbedaan makna dan hasil bagi masingmasing anak. Berbeda motivasi bermain game online, menonton televisi, memainkan gadget, maka akan berbeda pula kepuasan yang didapatkan dari permainan tersebut, itu merupakan pemahaman sederhana dari uses and gratification. Poin utama teori yang dikembangkan Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch yakni untuk menjelaskan bagaimana orang menggunakan media untuk memuaskan kebutuhan mereka, memahami motif tindakan bermedia, mengidentifikasi fungsi serta konsekuensi yang menyertai dari kebutuhan, motif dan tindakan tersebut (Guosong, 2009). Ketika industri media menyediakan beragam platform dan konten media dan untuk mengetahui apakah penggunaan media berbahaya atau justru bermanfaat, maka uses and gratification bisa dipergunakan untuk menjajaki motif, manfaat dan kebutuhan anak terhadap penggunaan media tersebut. Teori uses and gratification digunakan untuk menjelaskan mengapa masyarakat secara aktif mencari konten televisi tertentu. Setidaknya bisa dilihat tiga aspek penggunaan teori uses and gratification: 1) untuk menjelaskan bagaimana individu 838
menggunakan
media,
teknologi
untuk
memuaskan
kebutuhannya, 2) mengungkap motif yang mendasari individu menggunakan media, 3) mengidentifikasi konsekuensi positif dan
negatif
dari
penggunaan
media.
Keputusan
untuk
menggunakan teknologi media termotivasi oleh tujuan dan kebutuhan dimana penggunaannya berdasarkan keinginan pribadi.
Berbeda
individu
cenderung
menampilkan
jenis
penggunaan yang berbeda, dalam situasi komunikasi yang berbeda dan pada waktu yang berbeda dimana proses komunikasi terjadi (Ruggiero, 2000; Levy dan Windahl, 1984). Seperti halnya menonton televisi, penggunaan media tersebut menggambarkan keterlibatan aktif anak menonton siaran program televisi. Anak-anak tertarik secara emosional, mereka memperbincangkan tontonan dalam percakapan dengan teman, merasa terhubung dengan segala yang terjadi di berbagai dunia merupakan bagian dari bentuk khalayak aktif. Mendiskusikan konten televisi dengan teman, yang menurut Livingstone (2002) sebagai sebuah pemenuhan identitas diri dan legitimasi terhadap nilai-nilai yang diperoleh di dalam diri individu. Schiller (1989), melalui tulisan di dalam buku Culture Inc: the
Corporate
Takeover
of
Public
Expression
memiliki
pandangan optimis tentang khalayak aktif dan memberi himbauan pada paradigma khalayak aktif ini, bahwa penekanan 839
utama yang perlu dilihat dari khalayak aktif yakni pada bentuk perlawanan
(resistance),
subversi
(subversion),
dan
pemberdayaan (empowerment) dari penonton atau khalayak (dalam Antoni, 2004). Pada poin empowerment dapat dilakukan dengan berusaha mengidentifikasi apa yang telah diketahui oleh anakanak mengenai teknologi media yang telah mereka gunakan. Upaya ini merupakan prasyarat untuk mempromosikan literasi media kepada anak. Terdapat tiga faktor yang menurut Buckingham dkk (2005) bagian dari dukungan bagi anak untuk mengembangkan tingkat kompetensi mereka dalam menangani media yakni: 1) tingkat keseluruhan perkembangan kognitif, emosional dan sosial, 2) pengalaman mereka tentang dunia secara umum, 3) dan pengalaman khusus mereka dengan media. Literasi media bukan hanya termasuk cara untuk memahami, menginterpretasi dan mengkritisi media, tetapi lebih jauh dimaknai untuk pemupukan kreatifitas dan ekspresi dalam interaksi sosial. Ketika anak-anak berhadapan dengan beragam bentuk teknologi digital terbaru, lalu hal itu diperbicangkan dalam berinteraksi dengan teman sebaya, orang dewasa, dan aktivitas tersebut di bawah pengawasan orang tua, maka tindakan tersebut merupakan bentuk pengembangan kemampuan literasi media anak. 840
Partisipasi anak bermedia merupakan hasil bentukan dari budaya sosial masyarakat yang berkembang saat ini. Untuk itu masyarakat juga harus bertanggung jawab untuk memberi pendampingan (budaya partisipasi) terhadap anak-anak dengan mengembangkan kompetensi dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk terlibat dalam landskap media yang kini telah berubah. Budaya partisipasi yang digerakkan oleh lingkungan masyarakat bermedia dapat merubah pemaknaan baru terhadap literasi media dari bentuk pemenuhan kreatifitas diri (self expression)
menjadi
keterlibatan
komunitas
(community
involvement). Dengan demikian, pemaknaan yang baru itu atau new media literacy dapat dipandang sebagai suatu keterampilan sosial, suatu cara berinteraksi dengan komunitas yang lebih luas, tidak lagi secara sederhana sebagai penguasaan keterampilan untuk ekspresi individu (Jenkins et. al, 2006). Wujud (output) yang diharapkan adalah munculnya kesadaran kolektif dan kolaboratif dari lingkungan masyarakat bermedia dengan cakupan lebih luas untuk menggaungkan gerakan literasi media, sehingga gerakan literasi media mampu dilakukan secara
terintegrasi,
bisa
masuk
ke
lingkungan
rumah,
masyarakat, sekolah dan diharapkan kesadaran tersebut juga muncul dari korporasi dan media.
841
Implikasi terhadap Penelitian: Catatan Penutup Perkembangan teknologi dan perubahan kehidupan bermedia di lingkungan keluarga dan masyarakat telah membawa perubahan penting dalam kehidupan anak-anak pribumi digital. Perdebatan yang cukup populer mengenai anak dan teknologi media yakni seputar dampak negatif dan manfaat yanng diperoleh dari penggunaan tersebut. Untuk melihat peranan media dan teknologi lainnya bagi diri anak, maka para peneliti perlu memposisikan anak sebagai subjek atau partisipan yang memiliki ruang untuk menginterpretasikan, memberi pemaknaan sendiri terhadap tindakan bermedia yang mereka lakukan (Punch, 2002). Desain penelitian perlu diarahkan kepada perspektif anak sebagai subjek, bukan objek penelitian, terlebih penelitian yang dipahami dari perspektif orang dewasa masih didominasi oleh pemahaman bahwa anak merupakan individu yang tidak kompeten (Mahon et al., 1996), memiliki keterbatasan bahasa dan kurang mampu dalam mengartikulasikan keinginan, maksud atau pun pendapat (Ireland dan Holloway, 1996). Dorongan
masyarakat
global
melalui
Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-Hak Anak atau United Nations Conventions on the Rights of the Child (UNCRC) tahun 1989, yang termuat pada artikel 12 dan 13 bahwa UNRC mengharuskan anak-anak untuk dilibatkan, diinformasikan dan 842
turut diajak berkonsultasi mengenai seluruh keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka. Untuk itu para peneliti perlu mengedepankan perspektif anak dalam desain penelitian dan menjadikan anak-anak sebagai “active researcher” atau “coresearcher” karena keterlibatan mereka sebagai partisipan di dalam penelitian (Kellet, 2005). Partisipasi aktif anak di era digital merupakan sebuah fenomena sosial yang perlu dikaji. Memandang bahwa anak merupakan bagian integral dari masyarakat, yang secara aktif terlibat dalam praktik sosial yang mengalami perubahan seiring budaya media yang tercipta (Corsaro, 2005; Mayall, 1998; Hutchby & Moran-Ellis, 1998). Teori strukturasi Giddens seperti yang sudah diulas di atas, merupakan sebuah pendekatan yang bisa digunakan untuk melihat dinamika dialektik yang terjadi antara anak-anak dan teknologi media yang mereka gunakan. Begitu juga teori uses and gratification, dapat digunakan sebagai instrumen atau pisau analisis yang bisa digunakan untuk mengkaji baik motif, pemahaman, manfaat atau pemenuhan kebutuhan diri sebagai bagian dari aktor sosial yang ingin dicari oleh anak. Untuk melihat motif penggunaan teknologi media yang dimainkan anak dan kepuasaan yang mereka peroleh dari pemakaian tersebut, serta untuk melihat apakah penggunaan teknologi tersebut berbahaya bagi anak atau justru memberi 843
potensi-potensi yang bermanfaat bagi anak, maka penelitian yang akan dilakukan perlu menghasilkan atau menemukan karakteristik-karakteristik anak yang bisa melakukan perlawanan terhadap media, anak yang bisa memanfaatkan teknologi media untuk memperoleh kepuasan diri dan keterampilan yang bisa bermanfaat di masa depan. Temuan-temuan
lainnya
juga
diharapkan
dapat
menemukan kategori atau karakteristik anak yang memang rawan atau belum mampu untuk memanfaatkan teknologi media sebagai sarana pemenuhan kebutuhan diri. Kekayaan dari penemuan penelitian-penelitian yang dilakukan para sarjana komunikasi, yang melakukan kajian terhadap penggunaan teknologi
oleh
anak-anak,
diharapkan
dapat
menjawab
kekhawatiran, memberi solusi bagi masyarakat atau menjadi informasi yang sangat bermanfaat bagi banyak pihak untuk menjawab tantang globalisasi, penyebaran kemajuan teknologi serta partisipasi anak di era digital ini. Kehadiran
teknologi
media
memang
tidak
bisa
dihindarkan dari kehidupan masyarakat kampung global. Bagi anak-anak native digital, keberadaan media dan beragam jenis teknologi digital sudah menyelimuti hari-hari mereka. Mulai di dalam kandungan sebagian anak-anak sudah diperdengarkan musik Mozard oleh orang tua menggunakan menggunakan perangkat pemutar musik, beranjak usia beberapa tahun mereka 844
juga disuguhkan oleh video- video kartun animasi dan game console. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa lingkungan sekitar anak sudah melibatkan partisipasi mereka dalam beragam jenis teknologi media. Kompleksitas lingkungan bermedia membawa beragam pengaruh bagi anak dan menimbulkan variasi corak pandang mengenai pengaruh tersebut bagi anak, antara positif dan negatif. Untuk melihat permasalahan media dan partisipasi anak di era global media ini, memerlukan sudut pandang yang lebih dialektik, penuh kehati-hatian untuk dapat memberi penilaian terhadap masing-masing komponen. Kekuatan media pada satu titik memang memiliki peran signifikan untuk mempengaruhi kehidupan anak, namun partisipasi anak dalam bermedia juga bukan sebatas sebagai passive victim, melainkan banyak hal positif yang bisa mereka manfaatkan sebagai modal sosial di masa yang akan datang.
Daftar Pustaka Antlöv, Hans. (1999). The new rich and cultural tensions in rural Indonesia. In: Pinches, M (ed.) Culture and Privilage in Capitalist Asia. London: Routledge, pp.189-208. Antoni. (2004). Riuhnya Persimpangan itu: Profil dan Pemikiran Para Penggagas Alternatif Kajian IlmuKomunikasi. Solo: Tiga Serangkai. 845
Bakan, J. (2004). The Corporation. Jakarta: Penerbit Erlangga. Bakar. Abu, Saragih. J.M, Usman.B.CH, Sukapiring. Peraturen, Tanjung.Z. (1984). Permainan Anak-Anak DaerahSumatera Utara. Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bar-on, M. (2000). Current topic: the effects of television on child health:
implications
and
recommendations.Arch.
Dis.Child.83, 289-1357. Blass, E.M., Anderson, D.R., H.L., Pempek, T.A., Price, I., Koleini, M.F. (2006). On the road to obesity: television viewing increases intake of high-density foods. Physiol. Behav. 88, 597-604. Buckingham, D., Sefton-Green. (2003). "Gotta Catch 'em all: Structure, Agency and Pedagogy in Children's Media Culture", Media, Culture & Society, 25: 379-299. Buckingham, David, Banaji, Burn, Carr, Cranmer, Willet. (2005). The Media Literacy of Children and Young People. London, UK: Ofcom. Buckingham. (2009). The impact of the commercial world on children’s wellbeing. London, United Kingdom,Department for Children, Schools and Families. Calvert, S.L. (2008). Children as Consumers: Advertising and Marketing. The Future of Children, 18 (1), pp.205-234. Corsaro, W.A. (2005). Collective action and agency in young children's peer culture. In J. Qvortrup (ed.) Studies in modern 846
childhood: society, agency and culture: 231-247. Palgrave Macmillan. Chomsky, N., Mitchell, P. R., & Schoeffel, J. (2002). Understanding power: The indispensable Chomsky. New York: New Press. Cristea,
Andriana.
A.,
Apostol,
Mihaela.
S.,
Dosesu,
Tatiana.Corina. (2014). The Impact of Mass-Media On Consumer Behaviour Among Children and Young People. Knowledge Horizons-Economics.Vol.6 (3).107- 110. Guosong Shao, (2009) "Understanding the appeal of user‐ generated media: a uses and gratification perspective", Internet Research, Vol. 19 Iss: 1, pp.7 - 25. Hendriyani, Ed Hollander, Leen d'Haenens & Johannes Beentjes. (2011). Children's Television in Indonesia,Journal of Children and Media, 5:01, 86-101. ______________.(2012). Children's media use in Indonesia. AsianJournal of Communication. Vol.22, No.3, p. 304-319. Hutchby, I., Moran-Ellis, J. (1998). Situating children's social competenc. In I. Hutchby & J. Moran-Ellis (eds), Children and social competence: Arenas of Social Action. London: Falmer Pess, pp.7-26. Ireland, L. and I. Holloway. (1996). Qualitative Health Research with Children. Children &Society 10: 155–64. Jenkins, H. (2006). Convergence culture: Where old and new 847
media collide. New York: New York University Press. Kappos, Andreas. D. (2007). Theimpact of electronic media on mental and somatic childrens's health. Int. J.Hyg. Environ. Healt. 210, 555-562. Kellet, M. (2005). Children as active researchers: a new research paradgm for the 21st century?. Retrieved November 12, 2015,
from
http://www.ncrm.ac.uk/research/outputs/publications/method sreview/MethodsReviewPaperNCRM-003.pdf Kellner, Douglas. (1995). Media Culture: Cultural studies, identity and politics between the modern and thepostmodern. London: Routlegde. Levy, M., Windahl, S. (1984). Audience activity and gratifications: A conceptual clarification and exploration. Communication Research, 11, 51-78. Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of communication
theory.
Thousand
Oaks,
CA:
SAGE
Publications. Livingstone, S. (2002). Young People and New Media, London: Sage. Lucas, K., & Sherry, J. L. (2004). Sex differences in video game play. Communication Research, 31(5), 499. Mahon, A., C. Glendinning, K. Clarke and G. Craig. (1996). Researching Children: Methodsand Ethics, Children and 848
Society 10(2): 145–54. Mayall, B. (1998). Towards a sociology of child health.Sociology of Health & Illness, 20 (3).269-88. McLuhan,
Marshall.
(1994).
Understanding
Media:
The
Extension of Man. London; The MIT Press. Nicholls ,A., Cullen, P. (2004). The child-parent Purchase Relationship: Pester Power, Human Rights and RetailEthics. Journal of Retailing and Consumer Services, Vol.11, pp.7586. Poyntz, Stuart R. (2010). The Participation Paradox, or Agency and Sociality in Contemporary YouthCultures. Jeunesse: Young People, Texts, Cultures 2: 110–9. Prensky, M. (2005). Computer games and learning: Digital gamebased learning. In J. R. J. Goldsten(Ed.).Handbook of computer game studies (pp. 97–122). Cambridge: MIT Press. Punch, S. (2002). Research with Children: The Same or Different from Research with Adults?. Childhood, 9 (3): 321-341. Rose, Daniel. (1991). Anthony Giddens. In Beilharz, Peter (Ed.).Social Theory: A Guide to Central Thinkers. Sydney: Allen and Unwin. Ruggiero, T. E. (2000). Uses and gratifications theory in the 21st century. Mass communication & society, 3(1), 3-37. Schiller, H. I. (1989). Culture, Inc: The corporate takeover of public expression. New York: Oxford University Press. 849
Sherry, J. L., & Lucas, K., Greenberg, B. S., & Lachlan, K. (2006). Video game uses and gratifications as predictors of use and game preference. In: P. Vorderer & J. Bryant (Eds.), Playing video games: Motives, Responses, and Consequences(213224). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Šramováa, B. (2015). Marketing And Media Communications Targeted To Children As Consumber. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 191, pp. 1522-1527. Tapscott, Don. (2009). Grown Up Digital: how the net generation is changing your world. New York: McGrow Hill.
*) Salman Hasibuan, Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Jln. Prof.A.Sofyan No. 1 Kampus USU Padang Bulan Medan 20155, e-mail:
[email protected]
850