Mengapa Masih Menentang Perdagangan Bebas? Iqbal D. Wibisono
Hampir seluruh ekonom di seluruh dunia sepakat tentang manfaat dari perdagangan bebas. Penelitian dari Gwartney dan Lawson pada tahun 2001 menunjukkan perdagangan bebas membawa pada kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian dari Sachs dan Warner pada 1995 juga mengatakan demikian, negara industri yang terbuka pada perdagangan lebih tinggi pertumbuhannya jika dibandingkan dengan negara industri yang tertutup. Begitu juga dengan negara berkembang yang terbuka, pertumbuhan ekonominya lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara berkembang yang tertutup. Contoh paling ekstrim adalah China. Negara yang sebelumnya menerapkan perencanaan sentral pada perekonomiannya sedikit demi sedikit direformasi oleh Deng Xiaoping. Reformasi ekonomi berorientasi pasar China yang diawali oleh privatisasi sektor pertanian pada 1978 dan masuknya China ke dalam World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001 telah mendorong pertumbuhan produk domestik bruto China yang pada awalnya hanya 67,9 miliar (dalam renminbi) pada 1953 naik lebih dari 250 kali lipat menjadi 18.232,1 miliar pada tahun 2005. Mengapa masih ada orang atau kelompok yang mendukung kebijakan proteksi dan menentang perdagangan bebas? Milton Friedman menjawab dengan sangat lugas pada pidatonya di Kansas State University pada tahun 1978. Friedman mengatakan bahwa kepentingan kelompok yang ingin bisnisnya diproteksi terkonsentrasi dan terorganisir. Sedangkan konsumen jumlahnya sangat banyak sekali dan tersebar di mana-mana. Tentu saja kelompok kecil dan terorganisir yang bisa melobi kongres untuk menetapkan kebijakan proteksi. Benefit dari penerapan hambatan perdangangan seperti tarif dan kuota jelas terlihat. Sedangkan cost dari kebijakan tersebut tidak terlihat. Friedman bahkan menyindir kebijakan proteksi dengan mengatakan: “We call tariff a protective measure. Yes it does protect, it protects consumers very well against one thing: low
prices.” Contohnya ketika pemerintah Indonesia membatasi impor beras, harga beras menjadi tinggi. Atas nama kemandirian pangan, orang-orang miskin di Indonesia makin sulit memenuhi kebutuhan pokok mereka. Selisih ribuan rupiah pada harga yang seharusnya lebih rendah (apabila tidak ada hambatan perdagangan) harus ditanggung konsumen yang jumlahnya sangat besar. Dengan harga yang lebih tinggi tentu saja kesejahteraan masyarakat secara umum lebih kecil. Dalam sudut pandang ekonomi politik, menerapkan kebijakan proteksi lebih menguntungkan pemerintah karena kelompok yang bisnisnya dilindungi tersebut akan memilih kembali pada pemilu seseorang yang membela kepentingan mereka. Selain itu, ada pandangan umum bahwa suatu negara harus memproduksi barang ekspor dan impor dianggap sebagai hal yang buruk. Friedman berargumen sebaliknya, keuntungan dari perdagangan adalah apa yang kita impor. Barang yang kita ekspor adalah cost. Justru negara yang mengimpor lebih banyak baranglah yang cenderung lebih untung karena kita mengirim lebih banyak barang dan mendapatkan barang lebih sedikit. Friedman menjelaskan, kita cenderung melihat pada sisi produksi saja dan mengabaikan sisi konsumsi. Misalkan kita adalah seorang pekerja di industri pengolahan daging, pemerintah mendukung industri anda dengan menerapkan tarif impor supaya harga produk anda tidak turun dan para pekerja di industri pengolahan daging lebih sejahtera. Ternyata pemerintah melakukan hal yang sama pada industri tekstil, pertanian, dan barang elektronik. Anda diuntungkan dengan harga yang lebih tinggi pada barang yang anda produksi. Namun, anda dirugikan sebagai konsumen, karena harga barang-barang yang anda beli juga cenderung tinggi. Ada kecenderungan untuk melihat pada sisi produksi saja dan mengabaikan sisi konsumsi. Padahal sejatinya kita cenderung memproduksi satu barang saja dan mengkonsumsi banyak sekali barang dalam hidup kita. Argumen lainnya adalah kebijakan proteksi diterapkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Jika pemerintah melarang impor daging dari Australia, ada pekerja dalam industri daging di Indonesia yang akan
mendapat perkerjaan. Namun, jika kita mengimpor daging dari Australia lebih sedikit, negara tersebut berarti punya lebih sedikit rupiah untuk dibelanjakan di Indonesia, akibatnya ada orang-orang di Indonesia yang seharusnya punya pekerjaan tetapi tidak karena ekspor Indonesia tidak berkembang. Keuntungannya jelas terlihat. Sedangkan kerugian dari kebijakan tersebut tidak terlihat. Seringkali juga muncul pertanyaan, bagaimana jika ada negara yang bisa memproduksi lebih efisien dalam segala hal dibandingkan dengan negara lain? Apakah hal ini bisa menimbulkan perdagangan yang tidak adil? Teori keunggulan komparatif yang dijelaskan David Ricardo bisa menjawab pertanyaan tersebut. Asumsikan ada dua orang: Thatcher dan Reagan. Thatcher memiliki dua keahlian: membuat roti dan membuat sepeda. Sedangkan Reagan hanya bisa membuat roti, itupun tidak lebih efisien daripada Thatcher. Tetapi Thatcher memilih untuk memanfaatkan seluruh waktu kerjanya untuk memproduksi sepeda dan Reagan membuat roti karena hanya itu yang dia bisa. Apakah Thatcher akan rugi ketika dia membeli roti dari Reagan karena dia bisa memproduksi roti dua kali lipat lebih efisien dari Reagan? Tentu saja tidak, keduanya malah diuntungkan karena melakukan spesialisasi. Yang terpenting adalah melakukan apa yang secara relatif paling baik kita kuasai. Adil atau tidaknya perdagangan tersebut adalah relatif. Bukannya perdagangan yang adil adalah perdagangan tanpa hambatan? Ketika kita bisa menjual barang kepada orang lain tanpa dibatasi berapa yang boleh saya jual. Perdagangan yang adil juga berarti ketika kita ingin membeli barang yang diproduksi orang lain di luar negeri tanpa perlu membayar biaya tambahan kepada pemerintah. Perdagangan bebas memungkinkan kita untuk membeli barang atau jasa apa saja yang ingin kita beli, menjual barang atau jasa apa saja yang ingin kita jual dengan sukarela dan tanpa paksaan. Dengan diterapkannya perdagangan bebas tanpa proteksi, produsen akan lebih mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien berdasarkan keunggulan spesialisasinya dan konsumen akan lebih sejahtera karena dapat memilih lebih banyak
barang dengan harga lebih rendah. Tugas pemerintah yang tepat adalah menjamin masyarakatnya melakukan hal tesebut: perdagangan yang adil. Bukannya memproteksi bisnis tertentu dan mengorbankan kesejahteraan masyarakat luas.
Profil Singkat Iqbal D. Wibisono adalah lulusan Ilmu Ekonomi Unpad. Saat ini Iqbal bekerja sebagai research assistant di Center for Economics & Development Studies (CEDS), tim riset di Youth Freedom Network (YFN) dan aktif sebagai ketua Studium Veritatis, klub kajian dan diskusi ekonomi, sosial, dan politik di Bandung. Iqbal penah terlibat dalam penelitian sektor informal di Indonesia yang dilakukan oleh CEDS bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) juga terlibat dalam penelitian analisis kinerja pasar jasa penerbangan di Indonesia yang dilakukan oleh CEDS dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Iqbal bisa dihubungi melalui email:
[email protected]