Mengapa Harga BBM Harus Naik? Pro dan kontra perihal kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terus menjadi hal yang panas dan memanaskan dalam pembahasan masyarakat Indonesia beberapa bulan belakangan ini. Pemerintah memberikan beberapa alasan mengapa harga BBM harus naik. Pemerintah menyatakan bahwa konsumsi BBM rakyat meningkat melampaui yang sudah direncanakan berdasarkan belanja APBN untuk mengonsumsi BBM. Harga minya di dunia sejak akhir 2011 juga terus meningkat pesat karena beberapa alasan, salaha satunya adalah cadangan minyak dunia yang menipis. Ketika penyusunan APBN di tahun 2011, perkiraan harga minyak mentah Indonesia per barel US$ 90 atau Rp 792.000 (berdasarkan kur 1 US$ 8.800). satu barel sama dengan kira-kira 159 liter. Jadi perkiraan harga minyak mentah Indonesia Rp 4.981 per liter. Dari minyak mentah untk dapat dijadikan bensin premium dan untuk menyalurkannya sampai ke SPBU (pompa bensin) diperlukan biaya kira-kira Rp 3.019 per liter. Maka anggaran belanja negara yang disusun atas harga pkok dan biaya distribusi bensin premium adalah Rp 8.000 per liter. Karena untuk meringankan beban rakyat, bensin premium dijual dengan harga Rp 4.500 per liter jadi pemerintah menanggung selisih sebesar Rp 3.500 per liter. Perkiraan jumlah volume BBM bersubsidi yang akan disalurkan adalah 40 jta kiloliter. Maka subsisdi BBM, Bahan Bakar Nabati dan LPG diperkirakan total sekitar Rp 123 triliun (subsidi listrik adalah sekitar Rp 45 triliun dan total seluruh energi adalah sekitar Rp 208 triliun). Dengan meningkatnya harga minyak mnetah per barel dari US$ 90 menjadi, kira-kira rata-rata US$ 105 (meningkat 16,66%) dan bahkan mungkin bisa naik lebih tinggi lagi maka total subsidi energi itu jika tidak dilakukan perubahan harga BBM bisa lebih dari Rp 230 triliun setahun. Awal Maret 2012 Indonesian Cride Price (ICP) sudah mencapai per barel US$ 112 atau Rp 1.008.000 (berdasarkan kurs 1 US$=Rp 9.000) atau Rp 6.340 per liter. Jika harga BBM tidak dinaikkan pemerintah harus menutup defisit anggaran yang bisa mencapai 1,5% dari batas defisit 4% dari PDB menurut undang-undang Keuangan Negara.
Alur pikir di atas benar. Tapi apakah benar bahwa minyak mentah yang ada di perut bumi Indonesia dianggap harus dibeli dengan harga pasaran dunia yang mencapai US$ 116 per barel? Memang ada yang menjadi milik perusahaan asing dalam rangka bagi hasil. Namun bukankah yang menjadi milik Indonesia tidak perlu dibayar? Sekalipun konsumsi yang diperkirakan lebih besar daripada produksi, sehingga kekurangannya harus diimpor dengan harga pasar Internasional yang mahal. Berikut data dan asumsi perhitungan arus keluar uang tunai BBM (Harga minyak mentah US$105) mengikut pada Kwik Kian Gie. Produksi
1 juta barel per hari
70% dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun. Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US$10 per barel US$ 1 = Rp 9.000 [ (10x9000) : 159 = 566 (dibulatkan)] Harga minyak mentah di pasar Internasional US$ 100 per barrel 1 barrel=159 liter Dasar perhitungan: bensin dengan harga jual Rp 4.500 per liter Perhitungan: Produksi dalam liter per tahun: 70%x(1.000.000)x365
: 40.624.500.000
Konsumsi dalam liter per tahun
: 60.000.000.000
Kekurangan yang harus diimpor per tahun
: 19.375.500.000
Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor : (19.375.500.000)x105x9.000 : Rp 115.156.273.050.000 Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri: Rp 40.624.500.000xRp 3.934 : Rp 159.816.783.000.000 Walaupun harus mengimpor dengan harga US$ 105 barel, pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar: Rp 159.816.783.000.000 - Rp 115.156.273.050.000 = Rp 44.660.509.950.000
Pada dasarnya penentuan jumlah subsidi diproyeksikan oleh Pertamina sesuai dengan persediaan dan biaya operasional pengolahan BBM oleh Pertamina. Berdasarkan hasil audit BPK LKKP TA 2001 dan belanja subsidi transfer pemerintah TA 2007, ditemukan penyimpangan PPN BBM bersubsidi oleh PT. Pertamina TA 20062007 senilai Rp 31, 950 triliun dengan rincian:
PT Pertamina tidak/belum menyetorkan Penerimaan Negara dari Pendaptan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) BBM bersubsidi untuk Tahun 2006-2007
sebesar Rp 15,975 triliun. PT Pertamina, berdasarkan hasil audit BPK terhadap Belanja Anggaran 062 (subsidi dan transfer) ternyata juga mendapat subsidi PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untu TA 2006-2007 senilai Rp 15.975 triliun (anggaran ganda)
Berikut fakta yang terjadi pada pengelolaan anggaran kenaikan BBM tahun-tahun sebelumnya, yang merupakan hasil temuan BPK (koreksi) terhadap subsidi BBM pada Pertamina tahun 2003-2007.
Tahun 2003 hasil pemeriksaan atas biaya pokok dan subsidi BBM Tahun Buku 2003 mengungkapkan 198 temuan yang berkaitan dengan penghematan dan
efisiensi senilai Rp 449,96 miliar. Tahun 2004, biaya subsidi BBM diperhitungkan Pertamina terlalu tinggi senilai Rp 3.644,292 miliar. Biaya tentang hutang pemerintah untuk pembelian BBM
terlalu tinggi senilai Rp 2.203,646 miliar. Terdapat 95 temuan yang mengakibatkan jumlah subsidi BBM yang akan diayar Pemerintah sebesar Rp 110,00 triliun menjadi terlalu besar dan harus dikurangi sebesar Rp 5,22 triliun. Yaitu: 1. Nilai koreksi sebesar Rp 4,13 triliun merupakan nilai koreksi biaya subsidi tahun 2005 karena kesalahan yang terjadi dalam perhitungan biaya pokok BBM tahun 2005. 2. Nilai koreksi sebesar Rp 1,09 triliun merupakan hasil koreksi biaya subsidi tahun 2005 karena kesalahan yang terjadi dalam perhitungan biaya pokok BBM tahun 2005 yang juga
memengaruhi nilai lawan (Hutang PT Pertamina (Persero) kepada Pemerintah) Tahun 2006, ketidaktepatan PT Pertamina menghitung harga patokan dan berkurangnya volume penyaluran JBT sebesar 21.978.269 liter mengakibatkan
subsidi JBT harus dikurangi masing-masing sebesar Rp 1.076.609.016.872 dan
Rp 92.936.905.427 atau total sebesar Rp 169.545.922.299 Tahun 2007, koreksi pemeriksaan sebesar Rp 6.603.361.360.590 terdiri dari: - Perhitungan haraga patokan yang tidak sesuai dengan peraturan sehingga -
mengakibatkan subsidi tahun 2007 terlalu besar Rp 6.553.684.882.618 Ketidaktepatan pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
-
(PBBKB) terlalu besar Rp 736.946.560 Koreksi pengurangan volume penyaluran BBM tahun 2007 sebesar
21.981.810 liter. Total Rp. 19.271.000.000.000. Masalah penggelapan-penggelapan yang dilakukan oleh PT Pertamina bukan masalah yang kecil dan tidak signifikan terhadap dampak penganggaran subsidi. Jumlah miliar dan triliunan rupiah bukan jumlah yang sedikit. Penggelapan ini sangatlah memengaruhi APBN. Pemerintah tidak bisa membiarkan kecurangan yang terjadi pada tata kelola migas dan pengelolaan anggaran kenaikan BBM yang telah terjadi selamabeberapa tahun. Harusnya hal ini menjadi bahan pembelajaran dan rumusan masalah
pengelolaan
APBN.
Pemerintah
tidak
hanya
harus
menyelesaikan
permasalahan perekonomian secara parsial. Menaikkan harga BBM karena alasan harga minyak dunia naik, namun mengabaikan permasalah krusial yang terjadi di dalam negeri. Dampak Kenaikan BBM Dampak kenaikan BBM terhadap kemiskinan sangat tergantung terhadap kenaikan harga BBM terhadap inflasi. Inflasi akan mendorong peningkatan garis kemiskinan. Jika inflasi yang ditimbulkan oleh BBM khususnya inflasi bahan makanan cukup tinggi maka dampak kenaikan BBM terhadap kemiskinan juga tinggi. Kenaikan harga BBM yang disusul dengan naiknya TDL setelahnya per kuartal juga sangat membebani masyarakat. Menaikkan biaya operasional sehari-hari yang pengaruhnya sangata terasa adalah kenaikan biaya tarnsportasi jalan raya, kenaikan biaya listrik dan air, dan kenaikan tarif tol, sehingga mengakibatkan harga kebutuhan pokok naik. Industri-industri yang sumberdaya primernya adalah BBM akan membuat biaya bahan baku dan operasionalnya atau biaya produksinya akan meningkat pula, daya beli masyarkat pun akhirnya menurun sehingga terjadi penumpukan barang-barang
Please download full document at www.DOCFOC.com Thanks