1 Mata Begitu biru beningnya mata Alnord ketika ia masih bayi, tak ada bayangan naga yang melingkari pupilnya seperti ketika ia lebih tua daripada saat itu. Pipinya memerah tertimpa cahaya matahari. Rambut tipisnya melambai karena tertiup angin. Ia tersenyum dan tampak semakin menggemaskan ketika lidah mungilnya dijulurkan. Ia tergelak memandangi Aracruz di bawah yang saat itu mengangkatnya ke udara. Meskipun ia bergerak meliuk-liuk seperti camarcamar di belakang, pandangannya tak bergerak dari mata Aracruz, yang di sekeliling pupilnya melingkar bayangan naga. Sehebat-hebatnya Aracruz di depan rakyat, di hadapan Alnord ia hanyalah seorang ayah biasa. Tak ada mahkota di kepala. Saat itu ia memakai jubah tidur yang hanya dilihat pun memberikan rasa hangat. Rambutnya belum tersisir rapi, ditambah lagi angin laut mengacakacaknya. Ia juga tak lepas menatap mata Alnord seakan mengedip sedikit lama akan membuatnya kehilangan anaknya. Alnord merengut, cuping hidungnya mengembang, bibirnya bergetar. Ia bersin di wajah ayahnya, membuat Aracruz menurunkannya. Aracruz memejamkan mata, 1
mengangkat alis, dan menekuk bibirnya. Alnord terkekeh melihatnya. Liurnya menetes. Aracruz mendudukkan bayinya di paha dan mengambil saputangan di kantung jubahnya untuk mengelap wajahnya lalu menyeka liur Alnord. “Apa itu caramu menyuruh ayah mandi?” katanya sambil mengayun-ayunkan telunjuknya di hidung Alnord. Ia menggelengkan kepala dan menggetarkan bibirnya, membuat bayi itu terpingkal. Aracruz menghadapkan Alnord ke hamparan laut di depan mereka. Memandangi laut di balkon menjadi kebiasaan mereka setiap pagi. Camar-camar naik turun di udara, mandi cahaya. Ada juga yang menghampiri mereka, bertengger di palang balkon. Alnord mengangkat tangan dan membuka tutup kepalan tangan. Bibirnya mengeluarkan erangan seperti meminta diambilkan camar itu. Ia memaju-majukan badan, berusaha menggapai sang camar, tetapi Aracruz menahannya. Ketika camar itu terbang lagi, Alnord merengut dan memekik kesal. Aracruz menggeser Alnord agar lebih dekat dengan dekapannya. Satu tangan menyilang di perut Alnord, tangan yang lain meraih cangkir teh di meja. Ketika melihat kursi satunya lagi, ia termangu sejenak, teringat sosok yang biasanya duduk di sana. Cangkir itu ia letakkan lagi. Ia menoleh ke Alnord. “Maukah kau menemani ayah selama mungkin?” katanya. Alnord menggaruk-garuk lembut pipi Aracruz. “Semua terasa berbeda sejak ibumu tiada.” 2
Erangan Alnord seakan mengiyakan dan kemudian keduanya terdiam. Yang ada hanya suara alam. Desiran ombak lembut berlarian, terjebak di samudra. Pantulan sinar matahari seperti lautan kristal. Biru langit dan laut menyatu. Awan beriring dalam kelembutan putihnya. Burung camar bernyanyi dalam desingan angin. Mereka menari-nari di udara, diiringi tempo alunan ombak yang mengempas karang. Alnord bersin lagi. Dua kali. “Sepertinya kita lebih baik masuk,” kata Aracruz, “Sebelum badan ayah basah kuyup karena bersinmu.” Ia tertawa kecil. Suara berderap terdengar dari belakang mereka. Semakin lama, semakin jelas. Seseorang sedang mendekati mereka. “Anda berdua masih di sini rupanya.” Aracruz menoleh ke arah wanita yang suaranya sangat lembut tersebut. “Hari ini angin lebih kencang dari biasanya, aku membawa baju yang lebih tebal untuk Alnord.” Ia masih muda, umurnya sekitar dua puluhan awal. Rambutnya tergerai dengan sedikit rambut pelipisnya diikat di belakang. Kulitnya putih halus merona. Cantik. Wajahnya lebih cerah saat sinar matahari menyorot wajahnya seperti bulan yang memantulkan sinar. “Terima kasih,” katanya seraya menyodorkan tangan untuk mengambil baju itu. “Biar aku saja yang memakaikannya.” Aracruz bangkit dan menggendong 3
Alnord di pinggangnya. Dekapannya terlihat lebih hangat daripada baju tebal bayinya. Alnord memeluk leher dan merebahkan kepala di pundak Aracruz. Tangan mungilnya mencubiti bibir ayahnya. Ia baru berhenti ketika Aracruz merengut, minta dilepaskan. “Tolong bereskan semuanya,” kata Aracruz. Ia tersenyum ke arah wanita itu sebelum beranjak. Alnord menoleh ke belakang dengan kepala yang masih direbahkan. Tangannya menggapai-gapai ke arah sosok di belakang mereka. Ketika wanita itu melambaikan tangan dan tersenyum, Alnord berteriak, “Bu, bu. Iii-bu.” Ombak besar menghantam karang, menimbulkan suara yang keras. Seakan ombak itu mengempas hati mereka, Aracruz tercekat. Matanya terbelalak sejenak. Langkahnya terhenti. Ia menoleh ke belakang. “Maafkan dia,” kata Aracruz. “Aku tak tahu dia sudah bisa bercanda.” “Aku tahu,” kata wanita itu. “Tak ada yang bisa disamakan dengan istri anda. Beliau begitu istimewa.” Aracruz terdiam sejenak. “Bagiku itu berarti kau sangat menyayanginya seperti Etna,” katanya. “Aku malah harus berterima kasih padamu. Aku permisi dulu.” Wanita itu tersenyum. Aracruz beranjak masuk dan meniti tangga batu yang setengah melingkar. Di telinganya masih terngiang suara Alnord yang memanggil wanita itu ibu. Aracruz berjalan pelan, memasuki rumah megah mereka. Satu per satu anak tangga batu yang setengah melingkar dilewati. Lantai di 4
bawah kaca terlalu terang. Kaca hias bergambar naga yang semuanya berjejer tinggi di dinding dekat langit-langit meredupkan cahaya yang masuk. Ruangan itu besar, dengan pilar-pilar terukir detail berbanjar sepanjang koridor. Beberapa pintu berdaun dua dengan metal yang meliuk-liuk sebagai hiasannya berjejer di dua sisi. Lantai dengan keramik batu besar persegi dan abuabu semakin meredupkan suasana. Udara di dalam terasa sejuk. Langit-langit yang tergantung tinggi membuatnya seperti itu. Kakinya terus melangkah, menyusuri karpet merah yang melintang sepanjang koridor. Dinding koridor dihiasi lukisan-lukisan. Semua berlukiskan leluhur mereka. Pencahayaan yang tidak langsung menyorot lukisan membuat semua tetap terlihat baik. Di ujung koridor itu, ada tiang batu kecil. Sebuah patung naga bertengger di atasnya dengan sebuah lubang di dahinya. Naga itu memegang sebuah pedang. Di dinding di belakang patung itu tergantung sebuah lukisan. Aracruz berdampingan dengan Etna dan Alnord. Aracruz berdiri tegap, bijaksana. Etna duduk anggun. Alnord tersenyum lugu di pangkuan Etna. Memorinya tentang Etna membuatnya menoleh ke sebuah lukisan tersebut. Ketika sampai di lantai bawah, Aracruz ingin mengingatkan Alnord akan Etna. Mereka sedang berdiri di depan lukisan tersebut. 5
Lukisan itu sangat besar sehingga tinggi badan Aracruz di dalam lukisan itu sama dengan aslinya. Torehan warnawarnanya begitu detail dan nyata, membuat lukisan itu menyerupai cermin. Di dalam dalamnya Etna mengenakan gaun yang sangat indah, sebiru batu safir, dan tiara di kepalanya memancarkan aura keanggunan seorang ratu. Ia duduk di sebuah kursi kayu sederhana dan memangku Alnord yang wajahnya dihiasi senyum merekah dari bibir yang merah segar. Aracruz berdiri di belakang mereka. Tangannya merangkul pundak Etna, menunjukkan rasa ingin melindungi yang kuat. Mereka terlihat seperti keluarga biasa. Mereka terlihat bahagia. “Itulah ibumu, Alnord,” kata Aracruz. Alnord menoleh ke arah mata ayahnya tertuju dan berteriak memanggilmanggil. Kedua tangannya terulur, minta dipeluk. Ketika terlirik olehnya sebuah kumpulan stalagmit yang mengkristal seperti es, mimik Aracruz berubah. Matanya sedikit memerah. Tangannya mengepal. Ia mendekat. Stalagmit itu melintang dari yang paling rendah hingga yang setinggi bahu Aracruz dan mengumpul di ujung, bagian yang paling tinggi. Aracruz berusaha menggapai, tetapi tangannya bergemetar ragu. Ia mengurungkannya. Dari arah tangga terdengar seseorang sedang menitinya dan kemudian berhenti sejenak. “Aku masih tak menyangka sahabat anda melakukannya,” kata wanita itu. Ketika sampai di bawah, ia meletakkan nampan di meja dan mendekati 6
Aracruz. “Alnord terlihat mengantuk, biar saya bawa ke kamarnya.” Alnord menguap berkali-kali dan menggeliatkan kepalanya di pundak Aracruz, mencari posisi ternyaman untuk tidur. “Biar kali ini aku yang menidurkannya,” kata Aracruz. Ia menghela napas. “Ya, dia membuktikan ucapan Etna bahwa kekuatan bisa membuat seseorang jadi sangat tamak. Di sisi lain, bisa dikatakan aku yang salah.” Wanita itu menyentuh stalagmit dan wajahnya mengeras ngeri. “Kalau setiap melihatnya Anda marah,” wanita itu ragu-ragu melanjutkannya, tetapi begitu ingin tahu hingga tetap mengatakannya, “Kenapa semua ini tak Anda hilangkan? Seakan tak ingin melupakannya. Maaf saya lancang.” Aracruz menoleh dan menatap mata wanita itu. “Kenangan menyakitkan mengajari kita banyak hal,” katanya. “Salah satunya kerelaan. Semakin rela, kita semakin tak peduli bila semua orang dan segala sesuatu di sekeliling kita mengingatkan akan hal itu.” “Bagaimana keadaan Anda sendiri?” kata wanita itu. “Masih sama sakitnya saat kejadian itu berlangsung,” kata Aracruz. “Aku gagal mengendalikan amarah ini. Bahkan ada rasa dendam.” Lalu semuanya terdiam. Wanita itu tak tahu lagi katakata yang harus ia ucapkan. Ia bergeming di tempat ia berdiri. 7
Begitu juga Aracruz. Suasana begitu hening seakan mereka berdua tuli. Kesunyian itu lenyap ketika terdengar suara berdebam dari arah pintu depan, mengejutkan. Mereka menoleh ke arah suara tersebut. Ruangan itu langsung menggelap. Cahaya matahari terhalang awan hitam yang bergumul di luar. Mereka menoleh tajam ke arah suara itu datang. Pintu itu terguncang hebat hingga dinding yang merekat padanya berdebum dan serpihan beterbangan dari celah-celah.
8