;lasdflka
3
FAUZI ATMA
KRISTAL ARACRUZ
Kristal Aracruz Oleh: Fauzi Atma fauziatma.multiply.com @fauziatma Copyright © 2010 by Fauzi Atma
Penerbit Imajinusa
[email protected]
Desain Sampul: @JackyStarly
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 3
Daftar Isi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
4
Kabut Pemakan Serigala .........................................5 Hari Istimewa ............................................................ 19 Hadiah Tak Terduga .............................................. 57 Hutan Soulom yang Misterius........................... 86 Danau Nyos ............................................................. 122 Mimpi yang Membekas ...................................... 145 Bulan Berkabut ....................................................... 167 Di Sebuah Gubuk dalam Mimpi Buruk ..... 209 Kebenaran Gila....................................................... 221 Istana Ablahar yang Mengagumkan ............. 235 Raungan ...................................................................... 253 Perintah Ihtizar ....................................................... 276 Sang Penjaga Kristal............................................. 306 Pemakaman Kasih Sayang ................................ 331 Bangkitnya yang Tertidur Lama ..................... 343 Rahasia dan Harapan Baru ............................... 373
1 Kabut Pemakan Serigala
Mimpi buruk adalah satu-satunya hal yang takkan pernah Deimos pahami. Sederhananya, mimpi buruk menjadi hal yang tak diinginkan jika kenyataan selalu jauh lebih menyenangkan. Semua telah terbalik sejak Deimos masih kecil. Ketika terbangun, ia justru mengalaminya. Hidupnya adalah mimpi buruk. Ia begitu cemas seakan waktu kematiannya bukan rahasia lagi. Lebih dari sepuluh tahun ia menunggu jawaban atas tujuan ia dipercayai dan tuannya baru saja menyampaikan perintah pertama. Ia merasa istimewa menjadi orang pertama, tetapi juga merasa terhina karena menganggap dirinya sebagai prajurit depan yang tak berharga. Satu hal yang membuatnya berusaha tak peduli akan hal itu adalah keinginan membalas bangsa yang memperbudak dan menyiksanya belasan tahun lalu. Kini yang ia pikirkan hanya rencana mewujudkannya. Tanpa berhenti berpikir, ia 5
melompat ke punggung kuda. Setelah ia mengentakkan tali kekang, kuda hitam bermata merah itu meringkik berdiri seolah memberi tahu bahwa ia bersedia mengantar ke segala tempat. Entakan kedua memaksa kudanya berderap dan memacu, melewati sebuah gerbang raksasa yang langsung menutup saat mereka berjarak dua kaki di luar. Lambang berbentuk gerhana matahari yang terbelah di pintu gerbang itu bersatu kembali dan berputar mengunci. Mereka pun menerobos kegelapan dan melintasi jembatan yang melintang di atas lembah. Serpihan perlahan runtuh seiring dengan langkah keempat kaki kekar kuda. Runtuhan batu itu jatuh ke dalam lembah. Tak terdengar suara benturannya. Tak ada yang tahu kedalamannya. Deimos terus mempercepat kelajuan, tak gentar dengan lembah yang seperti tak berdasar di sampingnya. Istana Orion sudah jauh di belakang. Bila dilihat dari kejauhan, istana yang terbuat dari kristal hitam itu mengilap, diterangi cahaya hijau zamrud dari dalam dan kilat putih, dari awan spiral yang berputar tepat di atas, yang sering menyambar menara tertingginya. 6
Istana itu di puncak gunung terbesar dari pegunungan batu yang semua puncaknya runcing seperti kumpulan stalagmit raksasa. Teksturnya sama dengan dinding istana. Seakan-akan puncak itu dipahat jadi sebuah istana. Mereka sampai di hutan lebat dengan pohonpohon berbatang sekeras besi, berdaun seseram tangan kurus berkuku panjang. Sebenarnya Tanah Orion adalah tempat terburuk untuk ditinggali. Semua makhluk yang tinggal di sana, bahkan jamur yang suka di tempat busuk sekalipun, merasa lebih baik mati daripada hidup di sana. Tanahnya sedikit berlumpur, tak ada air, yang ada hanya lendir. Cahaya matahari yang hangat tak pernah menyorot. Kegelapan meraja sepanjang masa. Kawanan Lyre saling menyahut. Suara mereka mendominasi hutan. Dengan kemampuan meniru seperti pembual, kicauan mereka berubah-ubah, terkadang seperti erangan binatang lain. Bahkan mereka bisa meniru derik ular beracun untuk menakut-nakuti ular kecil yang hendak memangsa. Mereka berterbangan dengan ributnya ketika kilat besar menyambar sebuah pohon. Dengan cahaya kilat itu, wajah Deimos terlihat jelas. Ada bekas luka panjang dan dalam di pipi kanannya yang tirus. Lekukan 7
matanya menjorok ke dalam sehingga tatapannya terlihat tajam. Pohon itu tumbang di depan mereka. Mereka tetap melaju cepat seolah tak dapat dihadang segala sesuatu. Sesaat setelah pohon itu mengempas tanah, Deimos mengentak. Kuda itu melompat tinggi seperti terbang, melintas dengan mudahnya. Ada yang bergerak di balik semak-semak. Mereka melambat lalu berputar, mencari sumber suara tersebut. Deimos mempertajam pendengaran, tetapi terganggu kicauan Lyre. Kekesalannya memuncak hingga ia mengarahkan tangan ke mereka. Ia menumbuhkan ketakutan mereka akan pemangsa dan menyiksa mereka. Mereka mengepak-ngepakkan sayap seperti dikejar pemangsa lalu berterbangan menjauh. Sebagian terbang sesaat lalu mata mereka menghitam dan sayap mereka diam. Satu per satu terjatuh kaku. Mereka mati karena ketakutan yang membuat gila. Setelah semuanya tenang, Deimos mempertajam pendengaran lagi. Kini ada suara lain. Ketika melirik, ia seperti melihat sosok setinggi empat kaki di balik batang pohon yang tumbang. Namun ketika ia menegaskan penglihatannya, tak ada sesuatu di sana. 8
Suara dari semak-semak terdengar lagi. Deimos memicing, penuh waspada. Ia membawa kudanya berbalik menuju sumber suara tersebut. Pedangnya tak pernah lepas dari genggamannya. Ia bersiap menariknya dan akan langsung menebas bila sesuatu menyerang. Ada suara lain selain suara semak itu: erangan kawanan serigala hitam dan desisan yang ia kenal juga. Ia sudah tahu yang terjadi di balik sana tanpa melihatnya. Mereka menerobos semak-semak dan ia melihat kumpulan serigala hitam yang meregang setengah kaku dikelilingi kabut putih tebal yang bergerak cepat. Itu kebetulan yang menguntungkannya. Ketika ia melihat makhluk kabut itu, sebuah rencana hebat memenuhi pikirannya dan ia yakin tujuannya tercapai dengan bantuan mereka. “Aorn.” Ia mendesis, menyebutkan nama makhluk itu. Ia melompat turun dari pelana dan mendekat. Sebelumnya ia tak pernah bertemu dengan satu Aorn pun. Aorn adalah makhluk yang hampir punah karena tak berkembang biak. Mereka muncul dari bayangan purnama dari setiap makhluk yang melewati Tanah Orion dengan ketakutan, sedangkan kali terakhir purnama muncul adalah empat belas tahun lalu. Ia ingin 9
tahu wujud mereka yang sebenarnya sehingga merendah dan menyentuh bagian terluar dari mereka. Sang kuda berdiri mengerang, mengayunayunkan kaki depannya di udara. Deimos mundur satu langkah. Kabut tebal itu membentuk kepala berleher, berurat besar, panjang, dagunya seperti tertarik urat leher. Kepalanya seperti tengkorak Mulutnya dan hidungnya hanya lubang. Aorn juga membentuk sebuah kapak panjang dan runcing. Kapak itu berjarak hanya beberapa milimeter dari leher Deimos. Aorn mendekati wajahnya hingga hampir bersentuhan. Kulitnya terasa sangat dingin dan mati rasa. Mulut Aorn itu terbuka, menebarkan aroma darah serigala dan teror yang pekat. Kau memiliki sesuatu yang kami miliki. Siapa kau, Makhluk Asing? Aorn itu mendesis. Ia bertubuh paling besar di kawanannya. Mulutnya tak terbuka sedikit pun saat bicara. Tak ada suara terdengar. Ucapannya langsung memantul-mantul di pikiran Deimos karena memang seperti itulah cara Aorn berbicara, yakni melalui pikiran. “Deimos, tangan kanan Asroil,” kata Deimos, tanpa rasa takut seperti saat ia menghadapi tuannya tadi. Bahkan ada nada meremehkan 10
karena ia menganggap bentuk Aorn menjijikkan. Apa yang memberanikanmu kemari? Suara Aorn ‘terdengar’ serak. Mereka pun tak mendengar ucapan Deimos, tetapi membaca pikirannya. Ketika seseorang berbicara, setiap kata terlintas di pikiran. Deimos tak dapat menyembunyikan satu huruf pun. “Kau tak perlu mengancamku.” Deimos menyeringai, tak bergerak sedikit pun. Ia merasa mampu mengendalikan Aorn tersebut untuk memenuhi keinginannya. “Aku punya penawaran menarik untuk kalian.” Kapak Aorn mulai turun dan membaur menjadi kepulan tak berbentuk. Deimos mengendurkan otot lehernya dan tersenyum menang. Aku mendengarkanmu. Deimos berjalan menuju tengah kawanan yang langsung membentuk sebuah celah untuknya. Saat berada di tengah, ia terlihat seperti sedang berdiri di tengah kumpulan orang yang badannya dijahit satu. “Pertama, kuberi tahu kalian,” kata Deimos. “Gerbang Nedmor sudah terbuka. Mungkin ini tak berguna bagi kalian karena kalian bukan Overor.” Deimos melecehkan mereka jelas11
jelas. “Kalian takkan pernah bisa melintasi gerbang.” Kami menunggu. Aorn mengabaikan penghinaan itu meskipun sebenarnya Deimos bisa saja tibatiba menjadi mangsa. “Aku tahu kalian belum pernah memangsa higer,” kata Deimos. “Maaf, aku baru ingat kawanan kalian pernah mencobanya, tetapi gagal dan aku sangat mengerti penyebab kalian tak berhasil.” Ia memotong ucapannya, menunggu reaksi Aorn, tanpa niat menarik ucapannya. Aorn tersebut merayap mendekati wajah Deimos dan memicing. Bagian hidung menekuk. Alisnya, meskipun sebenarnya tak ada, terangkat. Kau seorang higer. Kau mengorbankan diri? Aorn tersebut menyeru penuh ketamakan. Aorn lain bereaksi seperti siap memangsa. Deimos menyeringai, tak peduli ucapan Aorn tersebut. Kau hanya ingin memanfaatkan kami. Aorn itu mendesis. Ia merayap, mengitari tubuh Deimos seperti ular. Kepalanya berada di atas kepala Deimos, seperti ingin melahap. Deimos merasakan sedikit perih saat Aorn melewati tubuhnya. Darah di dalam tubuhnya seperti diisap 12
benda tak terlihat secara paksa. Apa tujuan penawaranmu. Apa yang tuanmu perintahkan padamu? “Aku membutuhkan kalian semua,” kata Deimos seraya menahan perih. “Kalian tak perlu tahu tugasku.” Deimos tak bisa melangkah. Kabut di sekelilingnya seperti memadat atau membeku dan mengurungnya di dalam lingkaran. “Sebenarnya itu adalah pembukaan semata.” Deimos menjurus ke pembicaraan yang ia maksud. “Tujuanku sebenarnya ke sini adalah untuk menanyakan sesuatu. Kudengar, Aracruz menyekap kawanan kalian di suatu tempat?” Sama sekali bukan urusanmu. Suara itu menggema di pikiran Deimos. “Aku bisa membantu kalian membebaskan mereka,” kata Deimos. “Asal kalian memberitahuku tempatnya dan beri tahu bahwa mereka harus membantuku. Aku yakin kalian tahu tempat mereka dipenjara, mengingat cara kalian berbicara. Dan melihat kesetiakawanan kalian, aku yakin kalian akan setuju.” Aorn itu mendelik berpikir lalu mengangguk pelan. Persetujuannya terbentuk dalam liukan wajah. Kapan kami harus melakukannya? “Saat kalian berada dalam keadaan terkuat, mereka justru terus terjaga dalam keadaan le13
mah—” Ia harus meyakinkan diri bahwa Aorn benar-benar tertarik dengan rencananya. Ketika melihat semua pandangan Aorn tersebut mengarah dirinya, ia lanjut berbicara. “—saat gerhana bulan.” Semua Aorn mendesis seperti ular yang siap menerkam tikus. Kepulan mereka melebar, menunjukkan mereka siap memangsa raksasa sekalipun. Aorn yang memimpin angkat bicara lagi. Sebelum kami memberi tahu, ada satu syarat untukmu. “Aku takkan keberatan,” kata Deimos. Aorn tersebut merayap lagi dan memandang dekat wajah Deimos. Kami ikut denganmu. Aorn mundur teratur, melepasnya. Deimos mengepal karena dingin. “Kalau begitu, kuseberangkan kalian. Masuklah ke ragaku.” Bagaimana kami tahu kau takkan memusnahkan kami? “Sederhana,” kata Deimos. Ia bersedekap. “Kalian bisa memangsaku, seperti yang kalian kira tadi.” Perlahan kabut tersebut mulai bergerak acak dan meninggi. Deimos tetap berada di dalam lubang dan menanti hal yang akan dilakukan Aorn, seraya menyeringai menang. 14
Para Aorn membentuk delapan buah tentakel dan berputar mengelilingnya, membentuk spiral. Perlahan mereka melilit di kaki Deimos seperti ular dan merayapi badannya, menjalar di lengannya. Mereka mencari-cari rasa takut dalam diri Deimos dan menemukan satu, yakni ketakutan akan kegagalan dalam membalas bangsa lain. Rasa takut itu diserap sehingga para Aorn dapat bersatu dengannya. Dengan cepat, Aorn menembus kulit, mengalir bersama darah, berpacu dengan napas dan detakan jantung, mengendap dalam otot, serta bergerak bersama rangkanya. Deimos mengejang. Ia bahkan tak mampu berteriak. Rasanya seperti batang berduri panjang, besar, dan tajam, masuk ke dalam tenggorokannya dan darahnya meletup-letup. Kakinya tak sanggup menopang sehingga ia jatuh berlutut. Ia tak dapat melihat lalu terbaring lemah. Tangan dan lututnya pun sudah tak sanggup menyangganya. Rasanya seperti tulangtulangnya melunak bahkan meleleh. Telinganya hanya mendengar suara teriakan makhluk yang sedang meregang nyawa dan makhluk itu adalah dirinya. Setelah itu keadaan mendadak sunyi, bahkan jeritannya sendiri tak terdengar, sampai terdengar suara berdenging yang menyakitkan 15
kepala. Ia berusaha sekuat tenaga menggerakkan tangannya untuk menyentuh kaki kudanya. Tiba-tiba suasana berubah. Alam di sekitarnya seperti berterbangan acak, seperti terempas angin topan yang sangat dahsyat. Rasa perih di tubuhnya terasa semakin parah. Pohon-pohon seperti pecah berkeping-keping. Daun busuk menjadi serpihan. Ia seperti sedang dibakar dan tertusuk pecahan beling berterbangan lalu menjadi bagian-bagian kecil yang terbawa angin dalam bentuk abu. Sesaat kemudian semuanya berakhir. Aorn telah menghinggapi raganya. Tak ada lagi kesakitan. Awalnya ia mati rasa, begitu dingin sampai jantungnya perlahan berdetak lagi dan darahnya berdesir. Sesaat kemudian beringsut hangat seluruh pembuluh darahnya. Ia berusaha menggerakkan jemari dan membuka mata. Seketika cahaya menyeruak, tak tertampung. Matanya seperti dimasuki bara api. Lalu, pupilnya menciut. Pandangannya beringsut menjelas. Yang dilihatnya saat itu sangat berbeda dengan yang beberapa saat lalu. Rasanya seperti baru saja mengalami mimpi yang sangat aneh, tetapi terkesan sangat nyata lalu bangun di dunia yang sebenarnya. Setelah penglihatannya menormal, ia menyadari sedang 16
berada di mulut gua karang raksasa jutaan tahun. Tak ada seseorang pun di sana selain dirinya. Langit biru cerah tanpa awan memayungi Heldon. Burung-burung camar laut berterbangan dengan kicauan mereka yang menenangkan. Ombak berdebur terburu-buru ke pantai. Angin mengembusnya seolah memberi ia napas. Bau garam menghinggapi penciumannya. Hangatnya matahari menghidupkannya. Butiran pasir perak yang terhampar luas seperti tak berujung mencerahkan pandangannya dari kegelapan. Setelah belasan tahun, ia merasakan semua itu lagi. Sang kuda bergerak-gerak. Ia menoleh dan tersadar bahwa tangannya masih menggenggam kaki kuda. Ia tertatih-tatih bangkit. Tulangtulangnya yang terasa meleleh bisa ia gerakkan lagi. Setelah membersihkan jubahnya dari pasir yang menempel, ia beranjak keluar dan sesaat memandangi pantai sebatas cakrawala. Birunya laut dan langit seakan menyatu, tetapi ia tak peduli akan keindahan alam itu. Ia semakin dekat dengan tujuannya. Setiap detik kini sangat berharga sehingga ia langsung melompat naik ke punggung sang kuda. “Jalan, Morv!” serunya seraya mengentakkan tali kekang. Mereka berpacu menyusuri ombak 17
yang terus menghempas, menuju tempat yang para Aorn beri tahukan, sekaligus juga tempat ia akan memulai semua rencananya yang sudah tersusun rapi.
18
2 Hari Istimewa
Sarungnya hitam dengan barisan batu merah yang dikelilingi ukiran api yang menggulunggulung, sangat detail sehingga terlihat seperti menggambarkan kebakaran besar. Di tengahnya, terlihat ukiran sebuah lambang kerajaan Ablahar, yakni seekor Wulvix, sejenis serigala, yang punggungnya terbakar dan sedang berdiri dengan kaki belakangnya di depan sebuah perisai, lengkap dengan slogan kerajaan Ablahar di bawah kakinya. Agak janggal sebuah pedang berada di sebuah kedai. Ditambah lagi, benda semencolok itu diletakkan dalam tempat kaca yang bisa dilihat semua orang. Benda itu terbukti dapat menarik perhatian yang datang ke situ. Alnord lama sekali memerhatikan setiap ukiran di pedang tersebut. Walaupun tahu ini sangat berlebihan, ia merasa pedang itu seperti dibuat untuknya. “Pedang yang hebat, Paman,” kata Alnord lalu menoleh ke Charlom. Ucapan yang tiba-tiba itu membuat Charlom terantuk saat membersihkan
19
bagian bawah meja. Alnord mengernyit dan mengaduh seolah ikut merasakan rasa sakitnya. “Ah—em—itu, ya. Pedang yang bagus,” kata Charlom. Ia menelan ludah lalu menghampiri. “Ini enggak untuk dijual. Aku cuma kehabisan tempat jadi kutaruh di sini.” Ia membuka pintu kaca etalase dan mengambil pedang tersebut dengan sangat hati-hati saat menariknya seakanakan pedang itu akan hancur bila terbentur kaca sedikit pun. “Dapat dari mana?” Alnord bertanya tentang hal yang bukan urusannya. “Ya… sebenarnya seseorang… jual pedang itu ke paman beberapa hari lalu. Dia, yang aku dengar dari omongannya sama temannya, kayaknya seorang pengembara atau penjual barang antik, mungkin.” Charlom menerawang, berusaha mengingat kembali, tetapi mengerucutkan bibirnya karena ragu-ragu. Ia memutari meja besar dan menaruh pedang tersebut di lemari bawahnya. Seakan untuk menyembunyikannya, tidak untuk menyimpannya. “Kenapa harus dia jual?” “Mungkin dia butuh koin, mungkin—buat ngobatin t-tangannya yang ada luka bakarnya.” Charlom sebenarnya terganggu dengan pertanyaan Alnord yang terus menerus, tetapi 20
paham itulah keponakannya. Seraya menepuknepuk pelan tangannya untuk menyingkirkan debu, ia mengangkat bahu dan mencibir. Ia beranjak ke meja kecil lalu balik lagi ke meja besar mengambil kain lap, tetapi menyenggol gelas sehingga meja besar tergenang. “Kenapa Paman kelihatan gugup?” Alnord mengernyit. “Ada yang Paman sembunyiin?” “Enggak, enggak, cuma kaget.” Charlom membela diri. “Tadi kau nyeritain mimpimu, tapi sekarang kau ngomongin pedang.” “Mimpi yang aneh banget itu memang ganggu dari dua hari lalu, tapi aku enggak terlalu mikirin,” kata Alnord. “Paman tahu nama pengembara itu?” “Pesuruhnya manggil diaaku lupaRottenbald, atau—em—coba aku ingat lagi, Roddenvald, ya namanya Roddenvald kalau enggak salah.” Charlom mengangguk-angguk dengan mata yang menerawang, meyakinkan dirinya, tetapi masih ragu-ragu. “Roddenvald.” Alnord mendesah, berusaha menelusuri ingatannya bahwa ia mengenal nama itu atau tidak, atau setidaknya pernah mendengar. “Kayaknya dia dari kerajaan lain, nama itu enggak biasa di kerajaan Ablahar.” 21
“Mmungkin,” tukas Charlom seraya beranjak ke pintu depan dan memandang langit. “Kayaknya langit mendung.” Alnord merasa Charlom sedang mengalihkan pembicaraan dan ini justru membuatnya semakin penasaran. Ia memerhatikan gerakgerik pamannya dan menaksir hal yang disembunyikan. Pandangannya membuat Charlom berputar dan membereskan isi lemarinya tanpa menoleh ke arahnya. Bukannya rapi, kotak-kotak kosong itu menimpanya. Ia membantu mengangkat kotak-kotak itu. “Kalau ada penghargaan dari raja untuk orang yang sering luka, Paman pasti menang.” Charlom berdiri dan menepuk-nepuk debu di bajunya. Rambut keriting berubannya semakin terlihat putih tertutup debu. Ia menggeleng, lalu tersadar dan mengangguk, dan lanjut merapikan kotak-kotak itu di lantai. Bahkan ia sendiri tak yakin baik-baik saja. Alnord tersentak karena baru tersadar tujuannya datang ke kedai itu. “Paman ada acara enggak besok malam?” Charlom menerawang lalu menggeleng. Alnord berseru senang. “Nenek ngundang makan malam di rumah. Enggak tahu, nenek 22
merasa besok istimewa banget. Bahkan aku aja enggak nganggap hari ulang tahunku istimewa.” “Liur naga!” umpat Charlom. “Aku hampir aja lupa kalau besok hari ulang tahunmu (ia menepuk keningnya). Kau mau apa?” Ia mencengkeram pundak Alnord. “Sebelas topi rabbipof kayak umurmu?” Ia mengacak-acak rambut Alnord. “Dua belas.” Charlom mengernyit dan mengelak. “Bukannya tadi kubilang dua belas?” katanya. “Waktu memang kayak angin, bergerak cepat.” Alnord tak mengacuhkannya dan menggeleng. “Enggak perlu. Aku udah biasa enggak dapat kejutan. Ayah yang ngajarin.” Dalam nada bicaranya, tersembunyi sebuah kekesalan. Charlom menghela napas. “Aku tahu dalam hatimu kau mau dia dekat denganmu terus,” katanya, “Tapi sayang Antonum memang sibuk kerja di kedutaan.” Charlom menatap bayangan naga yang mengelilingi pupil mata kanan Alnord. Tinggi Alnord yang sekitar empat kaki empat inci atau seratus tiga puluh sentimeter tak menuntut Charlom terlalu menunduk. Alnord mendesah tak setuju. “Apa susahnya minta izin satu bulan dalam setahun?” 23
Charlom terdiam sejenak untuk berpikir, tetapi tak menemukan jawabannya dan malah mengambil kain lap untuk membersihkan meja. “Dia pasti punya alasan yang bagus.” Sering sekali terdengar suara benturan kaki atau tangannya dengan meja atau kursi. Terkadang Charlom menjatuhkan gelas. Alnord hanya terpejam erat-erat bila gagal mencegahnya. Mungkin itu salah satu alasan kedai itu tak selalu ramai. Sebelum pesanan pelanggannya sampai di meja, Charlom sudah menjatuhkannya duluan, bahkan membasahi pakaian tamu lain. “Paman bisa datang?” Alnord meyakinkan sekali lagi. “Ya,” kata Charlom. “Udah lama juga aku enggak nengok.” Alnord memerhatikan suasana kedai. Sepertinya cahaya dari luar kurang sehingga kedai ini terlihat gelap di dalam. Banyak sekali jaring laba-laba di pojok langit-langit. Mejanya sedikit berdebu, dindingnya pun kumal. Ia berpikir sepertinya butuh seluruh Ablan, rakyat kerajaan Ablahar, untuk membuatnya jadi tempat yang nyaman. Pandangannya beralih ke langit tanpa debu dan sarang laba-laba menempel di sana, hanya 24
awan mendung yang bergelantungan. “Kayaknya Paman benar, mending aku cepat pulang.” Ia menepuk-nepuk lengan bajunya yang terkena debu lalu beranjak ke pintu. “Bilang sama nenekmu,” kata Charlom. “Aku jadi kurus di sini. Kuharap dia mau masak makanan kesukaanku.” “Ya, aku nanti bilang Paman terlalu banyak makan debu.” Pintu berderit ketika Alnord buka, tetapi ditahan ketika ia sadar ada yang belum ditanyakan. Ia berbalik. “Kalau besok hujan, Paman tetap datang enggak?” “Tentu, tentu,” kata Charlom. “Ada badai pun aku tetap datang.” “Bagus,” seru Alnord. “Sampai nanti, Paman.” Ketika lanjut membersihkan meja, ia menemukan gelas Alnord yang masih penuh, mungkin tak disentuh sama sekali. “Kenapa kau enggak minum?” teriak Charlom. Tak ada jawaban. Plang bergambar cangkir dan uap di atasnya dengan tulisan Domz Poul di bawahnya bergoyang-goyang ketika Alnord melewati pintu. Angin yang menggerakkannya juga membuat hari semakin dingin sehingga ia merapatkan jubahnya. Sesaat ia menatap langit. Enggak 25
mungkin juga dalam musim semi turun hujan lebat, pikirnya, pasti cuma karena peralihan musim. Ia terus mendongak menanti-nanti kejutan yang akan langit pertunjukkan. Tak lama terlihat kawanan burung sedang terbang membentuk huruf V. Sampai sekarang ia belum paham dan masih mencari tahu alasan bentuk itu yang dibuat, bukan bentuk lain. Bentuk bunga misalnya. Dardyl, temannya, bilang bentuk bunga akan merepotkan. Desa tempat Alnord berada sekarang adalah Barlot. Desa itu dianggap setengah kota dan setengah desa karena penampilannya yang lebih maju daripada sebuah desa, tetapi tak seramai kota. Jalanannya dialasi dengan batu sungai dan tanah liat, tak seperti di desa yang masih tanah. Lentera penerang jalan berisi kunang-kunang menghiasi sisi sungai. Kadang kencana melintas di depannya. Kencana-kencana itu terbuat dari kayu jati dan termasuk yang termewah bagi penduduk kerajaan Ablahar. Kebanyakan tertutup rapat sehingga ia tak dapat melihat wajah orang di dalamnya, Orang-orang tampak santai menikmati sore di bantaran sungai, sementara banyak anak-anak bermain dengan melompati kotak-kotak penampang jalanan. Lalu, kecemburuannya 26
muncul ketika seorang pria menghampiri seorang anak dan mengajaknya pulang bergandeng tangan. Alnord memalingkan pandangan ke depan dan terus menyeberangi sungai melalui jembatan batu. Ia sampai di pertigaan antara desa Elberg, Barlot, dan Selbai. Tanpa berpikir lagi, ia berbelok ke kanan, ke arah desa Elberg. “Hari yang indah, kan?” Alnord tersentak dan menoleh ke belakang untuk tahu orang yang menyapa. Orang itu duduk di kusir pedati yang ditarik seekor unggas besar atau yang biasa disebut camelion. Bulunya hijau gelap yang terlihat berminyak, ekor seperti kuda, paruh sekuat dan sekelam baja hitam, mata kuning-kehijauan, kaki bersisik keras. Senyum ramah terukir di wajah orang yang mengendalikan camelion itu, tetapi begitu lebar sehingga bisa dibilang seringaian. Ia adalah salah satu tetangga terdekatnya. Alnord membalas senyumannya. “Aku juga lagi nikmatin, Paman Galungum.” “Panggil aku Egon aja,” kata Egon. “Kau mau dengar isu paling baru?” Ia mengucapkan kalimat itu dengan agak berbisik sehingga terdengar misterius dan membuat semua orang 27
yang mendengarnya penasaran dan terpaksa menyimak lanjutannya. Alnord terjebak dengan intonasi suara Egon. Ia menghentikan langkahnya untuk tahu lebih jelas. Egon tersenyum seperti bunglon yang tampilannya berhasil menipu mangsanya. “Kemarin aku ngantar bahan makanan pesanan kerajaan. Waktu nunggu di depan teras, aku dengar sebuah suara“ Ia menggantungkan kalimatnya lalu menoleh ke kanan kiri seakan takut ada orang yang mendengar pembicaraan mereka. “Suara apa?” Alnord semakin terjerumus. “Kau janji enggak akan bilang siapa-siapa?” kata Egon. Suaranya memelan. “Aku berbalik dan cari-cari asal suara itu.” “Paman dengar suara apa?” Alnord bahkan ikut berbisik. Seakan tak mendengar pertanyaan Alnord, Egon meneruskan kata-katanya. “Aku dengar suara itu asalnya dari hutan Soulom!” Alnord selalu tertarik dengan segala hal yang berhubungan dengan hutan Soulom. Baginya hutan Soulom seperti makanan enak menggiurkan yang tak boleh dicicipi. Neneknya melarang masuk ke hutan itu. Semua orang 28
dilarang. Berita ini benar-benar mengejutkannya. “Terus, suara apa itu?” Egon menegakkan punggung dan memicing. “Kan udah kukasih tahu?” Suaranya melengking. Baginya disela saat berbicara sama seperti didorong jatuh saat berjalan. “Belum,” kata Alnord. “Atau mungkin aku terlalu serius dengerin cerita Paman.” Ia hanya bisa membela diri dengan menyalahkan diri. “Kau harus nyimak baik-baik,” kata Egon, tak sadar akan kesalahan sendiri. Ia menaruh tangan di depan dada, menggerak-gerakkan jari seperti mencakar. “Suara itu kayak raungan, bukan singa, lebih menggema, lebih menyeramkan, dan kayaknya raungan itu raungan hewan legenda“ Egon memotong lagi kisahnya. Ia menyorongkan tubuh sehingga jarak wajahnya dengan wajah Alnord begitu dekat. Ia melotot dengan alis yang naik turun. Alnord mengernyit, terikat suasana cerita Egon. “Hewan apa itu?” katanya dengan nada meliuk tak teratur karena ia berbicara saat ludahnya belum sepenuhnya tertelan. “—naga!” entak Egon lalu terbahak-bahak melihat Alnord terkejut.
29
“Paman cuma bercanda, kan?” Wajah Alnord berkerut, terjerembap dalam narasi menyebalkan. “Percaya deh aku enggak bohong,” kata Egon. “Ternyata legenda itu nyata. Mungkin itu alasan hutan itu dibilang terlarang. Akhirnya aku punya isu yang harus disebarin secepatnya!” Egon bersorak dan tertawa menggelegar tak penting lalu mengentakkan tali kekang dan meninggalkan Alnord yang terpasung bingung. Alnord berjalan agak jauh di belakang tanpa berhenti memerhatikan pedati Egon. Sampai agak jauh pun, gelak Egon masih terdengar, masih sama menyebalkannya dengan yang tadi. Ia berusaha melupakan cerita aneh itu dengan membanting pandangannya ke ladang gandum yang luas terbentang di kedua sisinya. Udara segar saat sore hari tak dapat melarangnya menghirup napas panjang. Ia sekaligus melunturkan kekecewaan lalu tersenyum lepas saat melihat burung-burung kecil yang berkicau dan terbang menyerang orang-orangan ladang yang bergerak-gerak. oOo
30
Desa Elberg terletak di bagian barat kerajaan Ablahar, terbentang di perbukitan Elberg— perbukitan kecil luas nan hijau. Di kaki perbukitan itu ada sebuah danau buatan sebagai penampungan air bersih dari sungai yang mengalir melalui kaki perbukitan menuju pantai barat. Sungai itu dimanfaatkan sebagai irigasi pertanian, kebutuhan sehari-hari penduduk desa, dan pemutar kincir untuk menumbuk gandum. Sungai itu lebar, dalam, dan panjang. Mata air terpancar di lereng pegunungan Salka yang melintang di sepanjang kerajaan selain pegunungan Merope. Airnya jernih, tak berasa, tak beraroma selain aroma batu sungai. Karena kejernihannya, dasar sungai yang berbatu-batu dan ikan-ikan kecil yang berenang lincah di dalamnya masih dapat terlihat. Para penduduk Elberg hampir semuanya adalah peternak, penghasil susu, petani, atau pengantar barang. Mereka membuat rumah di sekeliling danau agar mereka mudah mengambil air bersih. Tiga kalangan pertama memiliki tanah yang cukup luas untuk pekerjaan mereka. Waktu itu sudah mendekati waktu matahari terbit sehingga angin malam masih berembus, memaksa rumput menari-nari. Burung berkicau, menghapus suasana sunyi, dan melayang tinggi 31
di langit untuk menyambut hari pertama musim semi. Dari ufuk timur terlihat awan jingga bergumul di balik gunung, memantulkan sinar matahari yang perlahan memunculkan wujud. Suasana dingin berganti dengan rasa hangat yang menebarkan semangat. Walaupun suasana hari masih terasa nyaman untuk terlelap, para penduduk mulai beraktivitas. Di jalan utama, penghubung antara desa Elberg dan kota dagang Selbai, berderet para camelion beserta pedati dan penunggang di belakangnya. Pedati-pedati itu berisi hasil pertanian utama di desa Elberg: jumpea (sejenis kacang-kacangan yang dapat melompat), gorgan (sejenis tumbuhan berumbi yang selalu berusaha kabur setelah dipanen), gandum dan jerami gandum; daging-daging segar dari para peternak camelion, dan wol dari peternak rabbipof, serta susu dari peternak sapi perah. Di sisi lain, petani sibuk menyemai bibit tanaman mereka. Beberapa penggembala membebaskan semua ternaknya sehingga para ternak dapat menikmati rumput hijau segar dengan embun pagi yang tersisa. Rumput hijau yang menyelimuti perbukitan Elberg terlihat seperti hamparan permadani hijau raksasa bila dilihat dari angkasa. Penggembala memelihara anjing gembala untuk 32
mengatur ternak. Biasanya mereka menggunakan siulan sebagai isyarat untuk mengatur anjing mereka. Tiap-tiap penggembala memiliki isyarat berbeda dengan yang lainnya. Namun, ada yang tak lazim di sana. Seseorang menggembalakan camelion bersama wulfix. Wulfix berukuran seperti anjing penggembala biasa. Yang satu ini masih muda, tubuhnya lebih kecil dibanding anjing penggembala yang terlihat. Rambutnya merah tua dengan lorengloreng coklat, tetapi putih di sekitar mata dan pipi, perut serta kaki bagian dalam. Bila ia bersemangat, rambut bagian atas dari jambul, pungung hingga ekor berubah menjadi api merah. Sebuah legenda Ablan menceritakan asal-usul muncul api di tubuh wulfix. Hewan kecil itu adalah penyelamat seorang pendiri kerajaan, Ruiz Ablahar, yang diculik seekor naga. Saat menyelamatkannya, wulfix tersebut jatuh bersama naga tersebut ke liang lahar. Tubuhnya terbakar, tetapi ia selamat dan tinggal bersama Ruiz. Kobaran apinya kini meletupletup setelah ia mendengar siulan majikannya untuk mengatur camelion. Para camelion itu patuh pada perintah berupa salakan wulfix. Mereka harus berlari-lari agar sehat dan daging mereka kenyal. Wulfix kecil itu 33
terkadang berlari menghindari injakan camelion yang kesal disalaki terus-menerus. Satu camelion sengaja mengentak kakinya ke dekat wulfix, mengejutkannya. Alnordlah pemilik camelion dan wulfix tersebut. Ia bersama teman yang juga seorang penggembala. Namanya Dardyl. Mereka berdua bertetangga. Rumah mereka tak terpisah jauh, sekitar dua puluh yard saja. Umur Dardyl hanya terpaut satu tahun lebih muda daripada umur Alnord. Kulitnya putih berbintik. Rambutnya hitam, tetapi lebih teratur karena tipis sekali. Matanya coklat, tanpa bentuk seekor naga di dalamnya. Tubuhnya gemuk. Pipinya gembil. Dardyl adalah penggembala rabbipof, hewan pengerat bertelinga panjang dan berbulu lebat dan keriting. Ia tak perlu memelihara seekor anjing penggembala. Lagi pula, sang wulfix sering membantunya menggiring semua ternaknya. Matahari tampaknya sangat bersemangat hari ini sehingga waktu terasa lebih cepat berputar dan tanpa mereka sadari saat itu sudah siang. Waktunya mereka memasukkan hewan ternak ke kandang dan beristirahat. Alnord bersiul panjang, mengharuskan wulfix menggiring para camelion turun ke danau. Dardyl hanya me34
mancing mereka dengan tepukan tangan dan dengan cepat rabbipofnya bergerumul mengikuti. Mereka berdua dengan para ternak dan wulfix beriringan menuju kubangan besar air bening itu. Saat semua ternak sedang minum bersama ternak milik orang lain, mereka berdua berteduh di bawah pohon rindang besar di tepi danau. Danau tampak kian menakjubkan dengan cahaya mentari yang terpantul di riak air. Pemandangan itu menyejukkan meskipun suasana panas kian terasa dan Alnord harus memakai topinya untuk mengipasi diri. “Kau masih mimpiin itu?” tanya Dardyl. Alnord berdeham dan mencabut rumput di sampingnya tanpa sadar lalu menaburkannya begitu saja. “Lupain aja,” saran Dardyl. “Laki-laki berkuda, hutan, malam-malam, awan, petir. Penafsir mimpi paling hebat juga pasti bingung.” “Ya,” kata Alnord. “Tapi terlalu aneh buat gampang dilupain.” Dardyl mendelik ke atas. Berpendapat untuk Alnord adalah perbuatan sia-sia. “Ngomongngomong, aku belum ngucapin selamat ulang tahun.” Dardyl menyodorkan tangannya dan 35
Alnord menyambutnya dengan malas. “Dapat kado apa kau tahun ini?” Ia tertawa mengejek. “Aku tahu biasanya kau dapat kado unik.” “Cocok banget buat musim semi.” Alnord menghela napas seperti enggan melanjutkan. “Baju hangat.” Dardyl tertawa geli mendengarnya dan menanyakan hadiah tahun lalu. Alnord mendelik tajam ke arah sahabatnya. “Aku tahu kau tahu. Sampai sekarang aku belum bisa mainin suling itu.” Dardyl larut dalam tawa. Ia menjumput rumput lalu memasukkannya ke baju Alnord dan mengatakan itu kado darinya. Alnord berdiri dan menggeliat untuk mengeluarkan rumput itu. Ia mengusap punggung, tetapi belum juga menemukan yang membuatnya gatal sehingga Dardyl terbahakbahak melihatnya. Setelah lama bergerak konyol, ia berhasil mengeluarkannya tanpa harus membuka pakaian. Saat Dardyl tertawa lebar, ia menjumput segenggam rumput lalu memasukkannya ke mulut Dardyl. “Karena kau udah ngasih aku kado, aku harus ngasih kau makanan pembuka!” kata Alnord. Dardyl terbelalak dan langsung memuntahkan rumput yang memenuhi mulutnya. Ia meludah 36
berkali-kali, tetapi rasa pahit getahnya tak kunjung hilang. “Kenapa dimuntahin?” Alnord mengucapkannya dengan mimik datar, tak seperti sedang bergurau. “Kau nolak makanan dariku?” Lalu, tawanya melesat keluar. Dardyl terus meludah sebanyak mungkin, terdiam sesaat, lalu tiba-tiba menertawakan dirinya sendiri hingga wajahnya memerah. Seseorang pasti tak ikut tertawa meskipun berada di dekat mereka, tetapi mereka menganggap hal itu sangat lucu sampai bisa ditertawakan berhari-hari. Butuh waktu lama hingga mereka terdiam, tetapi setelah itu tertawa lagi. Selepas mereka benar-benar berhenti, Dardyl bertanya. “Apa yang kauharap di ulang tahun sekarang?” Alnord terdiam. Keinginan tertawanya benarbenar menguap. Matanya menerawang ke dalam air danau seakan ia dapat mengukur kedalamannya. “Aku mau nenek enggak terlalu ngekang dan aku jadi dekat sama ayah,” kata Alnord. “Aku mau keliling Heldon bareng ayah, seperti kau. Aku mau datang ke tempat-tempat yang punya pemandangan menakjubkan atau tempat bersejarah, punya banyak teman, melihat lukisan Ve37
lucas. Aku mau tahu banyak hal dan masih banyak lagi.” “Tempat kayak apa?” tanya Dardyl. “Hutan Soulom salah satunya,” kata Alnord. Dardyl bergidik mendengarnya. “Semua istana kerajaan di seluruh Heldon, air terjun mungkin.” “Kau nyebut hutan Soulom?” sahut Dardyl. “Banyak banget tempat keren yang bisa dikunjungin, kenapa kau milih hutan Soulom? Aku pernah ke air terjun Moanerd, air terjun terbesar di Heldon, masih di Ablahar, cuma aku lupa letaknya.” “Yah, kau udah sering cerita soal itu. Aku sampai bosan.” Alnord menguap lebar dan merebah di kelembutan rumput. “Lupain aja impianku itu. Hari ini kita mau ngapain?” Ia mengelap keringat di dahi. “Enggak tahu,” kata Dardyl. “Mungkin kayak biasanya. Bantu ibu ngabisin makanan.” Rasa haus membuat suaranya serak dan rasa hausnya cepat muncul karena tubuh gemuk membuatnya lebih cepat merasa lelah dan panas daripada Alnord. Alnord tertawa mendengarnya. Dardyl selalu membicarakan makanan. Bila Alnord diam saja, mungkin sepanjang obrolan mereka hanya 38
dipenuhi dengan nama-nama makanan yang Dardyl sukai. Alnord bangun tiba-tiba dan langsung memandang tajam Dardyl dengan senyuman yang jahil, mengejutkan. “Gimana kalau kita ke hutan Soulom?” Ia berbicara dengan mata penuh semangat. “Ide yang bagus kita nanti pergi ke APA?” tanya Dardyl dengan kesadaran amat telat seakan baru saja melihat makan malamnya tiba-tiba hilang. “Kau makan apa sih semalam sampai kau mikir mau ke hutan Soulom?” “Kayak biasa, sup hangat,” kata Alnord santai, tak menghiraukan bahwa ajakannya sangat menyeramkan bagi Dardyl. “Gimana?” Dardyl menolak dengan sangat tegas. Ia melambaikan tangan dan menggeleng. Sepertinya seluruh anggota badannya tak setuju akan ajakan itu. “Enggak akan. Aku enggak akan bawa bokongku ke hutan menyeramkan itu. Aku enggak akan ngebiarin hewan buas di sana ngendus-ngendus di badanku apalagi sampai nyium. Aku enggak bisa ngebayangin kalau aku mati. Aku nanti enggak bisa makan masakan ibuku lagi atau masakan nenekmu. Kau sebaiknya ke Rumah Kesembuhan Jiwa. Kau sakit jiwa.” 39
Alnord tertawa puas melihat Dardyl berbicara dengan panik. Pipi gembil Dardyl bergoyanggoyang seperti jeli. Kebanyakan anak seumuran mereka mencemooh kegemukan Dardyl, mengejeknya mirip sapi betina. Alnord tak pernah menganggapnya lelucon sehingga mereka bisa akrab sampai saat ini. Terdengar suara perut lapar. Dardyl meremas perutnya yang sudah mulai keroncongan. Wajahnya menekuk. “Aku rasa udah waktunya makan siang.” Alnord mengangguk setuju. Mereka bangkit dan membersihkan pakaian mereka dari rumput yang menempel. Ibu Dardyl dan nenek Alnord tentu akan marah bila mereka membiarkan baju kotor sepagi ini. Kemudian Alnord bersiul, memerintah wulfix menggiring para camelion, sedangkan Dardyl hanya menepuk tangannya dan semua rabbipofnya berlarian menuju kandang. Wulfix suka mengusili para rabbipof. Mungkin karena ukuran mereka lebih kecil, ia lebih berani menggoda mereka daripada mengganggu camelion yang jauh lebih besar. Dardyl tak menghiraukannya karena merasa cukup dibantu. “Tapi aku benar-benar mau ke sana.” Alnord melanjutkan omongannya dengan mimik serius. 40
“Seperti ada yang manggil buat masuk ke sana. Aku merasa hutan yang ada di mimpiku itu ya hutan Soulom. Aku cuma mau ngecek.” Dardyl menghela napas panjang mendengarnya. “Kalau begitu jangan ajak aku deh.” Ia menolak tegas. “Hei, lihat!” Dardyl menunjuk seekor camelion milik Alnord yang tertinggal. Mereka mendekat. Camelion itu terlihat malas berjalan dan hanya memakani rumput lalu mengunyah dengan sangat pelan. Baru kali ini Alnord menjumpai seekor camelion tak menuruti perintah wulfix sehingga benar-benar tak tahu yang harus dilakukan. “Dia kenapa?” tanya Dardyl. Alnord mengangkat bahu lalu menepuknepuk punggung camelion. Unggas itu hanya mengerang lemah dan tetap melanjutkan makannya tak peduli. Ia mendorong camelion tersebut, memaksanya bergerak. “Kau pernah bayangin camelion terbang?” Ia terengah-engah, camelion itu tetap bergeming. “Kau benar-benar udah enggak waras.” Dardyl berdecak. “Aku yakin banget bahkan nenekmu dari kecil enggak pernah lihat camelion terbang. Aku enggak percaya temanku ini udah gila. Jangan sampai ibuku tahu. Dia pasti 41
akan ngelarangku main sama orang yang udah enggak waras.” Alnord merengut tak setuju. “Coba pikir. Buat apa dia punya sayap?” katanya. “Hei bisa kan kau bantu aku?” Dardyl mengambil tempat di sampingnya, mendorong camelion sekuat mungkin. Camelion itu malah berjalan mundur dan mengerang marah bila mereka dorong lebih kuat. “Mungkin dia cuma merasa jelek kalau enggak punya sayap,” kata Dardyl asal. Ia mengangkat bahu. “Enggak masuk akal, Dyl,” kata Alnord, tetapi setelah seperti sadar akan sesuati. “Hei, aku tahu.” Ia berhenti mendorong camelion dan mundur selangkah. “Tahu apa?” “Mungkin dia harus dipancing.” Begitulah analisis Alnord. “Pancing gimana?” tanya Dardyl, mengernyitkan alisnya. “Mungkin dia terbang cuma waktu ada bahaya atau kepepet,” kata Alnord. Ia mundur lagi beberapa langkah. “Kayak gini.” Ia setengah berlari lalu menendang bokong sang camelion. Tendangan itu cukup kuat 42
sepertinya sehingga camelion itu mengerang kesakitan dan berputar mencari yang menendangnya. Sayapnya mengepak-ngepak cepat terus mencepat seakan ia ingin terbang jauh. Dardyl melangkah mundur beberapa kaki, takut tertepak. “Lihat!” teriak Alnord antusias. “Dia mau terbang!” Camelion itu bersuara seakan sedang meminta kawanan burung yang tengah terbang untuk menunggunya. Namun tiba-tiba, camelion itu menebaskan sayapnya tepat ke perut Alnord, mendepaknya. Alnord terjungkal ke belakang tak jauh dari sana. Rasanya sangat ngilu dan membuat pita suaranya lumpuh seketika sehingga mengerang pun ia tak bisa. Dardyl menghampirinya, sedangkan camelion tersebut berlari menuju kawanannya seraya terus berkokok dan mengepak-ngepakkan sayap. “Kau cuma nemu cara kau bisa terbang,” kata Dardyl dengan tawa seraya mengulurkan tangan untuk membantu Alnord berdiri. “Enggak lucu.” Suaranya terdengar seperti erangan. Ia meraih tangan Dardyl dan berusaha bangkit. “Aku bilang juga apa,” kata Dardyl. Tawanya masih bersisa. “Kau enggak apa-apa?” 43
Alnord tak menjawab, malah membersihkan pakaian sambil menahan rasa sakit memar di perut. Lalu, mereka menyusul ternak-ternak yang ternyata sudah masuk ke kandang lebih dulu. Ia mengunci pintu kandang camelion dan beranjak pulang, tak jauh dari sana. Mereka saling mengucapkan salam sampai jumpa nanti lalu Dardyl berlari menuju rumahnya. “Makan siang, Doodee Doovey-ku,” kata seorang wanita seraya mencubiti pipi Dardyl saat dilewati. Ia sedang mengumpulkan dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon di pekarangannya. Wanita itu setengah baya, kurus, berhidung panjang dan bengkok. Rambutnya yang hanya sebahu tertutup slayer. Seperti Dardyl, kulitnya putih kemerahan. Ia berjalan menghampiri pagar rumah keluarga Duvius. “Selamat siang, Bibi Maureen.” Maureen menyambutnya dengan senyuman yang sangat menyenangkan. “Taman bibi kelihatan tambah bagus. Bibi benar-benar pencinta-tanaman sejati.” “Siang, Alnord,” kata Maureen lalu menoleh ke pekarangannya. “Terima kasih. Yah, karena aku pikir tanaman hidup untuk berkorban demi 44
kita dan aku yakin suatu saat semua akan menyadarinya.” Alnord tersenyum lagi dan mengutarakan maksudnya menyapa. “Kemarin Dardyl udah ngasih tahu belum, undangan makan malam ulang tahunku?” “Oh, tentu,” kata Maureen. “Tunggu saja sampai Ogwald datang. Dia pasti sangat senang. Kami merasa tersanjung. Kami pasti akan datang. Sampaikan salam dan terima kasih untuk nenek.” “Pasti, Bi. Oh ya, saladnya enak banget.” Pujiannya memerahkan pipi Maureen. “Kau boleh mencicipi sesering mungkin,” kata Maureen. “Aku mau banget ngomong banyak sama bibi, tapi aku harus bantuin nenek. Enggak sabar nunggu malam ini.” “Oh ya, Sampai nanti malam.” Setelah itu Maureen meneruskan kegiatannya, sedangkan Alnord berjalan pulang. Alnord membuka pagar rumah. Rumahnya sederhana, sama seperti rumah lain. Dindingnya batu kapur putih. Daun pintu dan atapnya kayu jati. Pintunya berbentuk seperti huruf U terbalik, sedangkan jendelanya bulat seperti huruf O dengan terali besi tanpa kaca. Pekarangan ru45
mah ditumbuhi rumput halus seperti permadani, dihiasi dengan warna-warni kebun bunga. Walaupun berbeda warna, semua bunga itu masih satu jenis, bunga Etna, bunga khas kerajaan Ablahar. Nama julukannya adalah mahkota ketenangan atau kedamaian. Mahkotanya lebat dengan corak-corak putih tersebar. Bunga Etna banyak tumbuh di pinggiran danau dan sering dikerumuni kupu-kupu dengan warna beragam dan lebah. Alnord memandang rumahnya tak sabar karena rasa lapar sudah menuntun kakinya melangkah lebih cepat. Setelah menutup pintu pagar kayu yang tingginya setengah dari tubuhnya, ia melangkahi batu bulat jalan setapak menuju pintu. Rasa sakitnya tak terasa lagi. Ia memanggil neneknya seraya mengetuk pintu tiga kali. Tak lama pintu terbuka. Emberine Bordom, seorang wanita lanjut usia, berdiri di sisi dalam pintu. Ember terlihat segar, sehat, tak bongkok walaupun umurnya sudah berkepala enam. Tampak banyak kerutan di ujung matanya. Saat ia tersenyum, terlihat semakin jelas kerutan di dahi dan pipi. Wulfix menyambut Alnord dengan salakan dan lompatan. Alnord merendah agar bisa 46
mengelusnya. Rambutnya tentu saja tak berubah jadi api agar dapat dielus. “Hai, Wolly. Harimu asyik?” tanya Alnord. Wolly menjawabnya dengan gonggongan. “Ayo cepat masuk. Jangan sampai makanannya dingin,” kata Ember lalu berjalan menuju ruang makan. Alnord mengusap perutnya. Terdengar bunyi keroncongan cukup keras dari sana. Ia mengunci pintu dan menghampiri Ember di ruang makan, sedangkan Wolly berlari ke dapur untuk menikmati makan siangnya. Ia mengambil piring kaleng dan mengulur tangan untuk mengambil sebonggol jagung, tetapi terhenti. Di mulutnya sudah terasa manisnya jagung itu lalu seketika rasa itu hilang ketika Ember memukul tangannya. “Lihat, betapa kotornya tangan ini,” katanya dengan memelototi Alnord. Alnord tak peduli, menggosok-gosok tangan di celananya dan mengatakan tangannya bersih. Ember menggeleng dan tegas membantah lalu melenting-lentingkan tangannya mengusir. Ia menyuruh Alnord membersihkan tangan. Alnord bangkit dari kursi dan beranjak malas ke tempat cuci tangan. Ember menggelenggeleng dan berdecak gemas melihat kelakuannya 47
yang selalu terulang sebelum makan. Ternyata pelototan Ember tak mampu menghilangkan rasa malasnya sehingga ia mencuci tangan sekadarnya. “Di bawah kuku dan di sela-sela jarimu,” teriak Ember dari dapur meskipun tak melihatnya mencuci tangan, menandakan setiap harinya memang seperti itu. Ia mengeluh, tetapi tetap melakukan perintah itu. “Jangan keringkan tanganmu di celana.” Ucapan Ember mengena lagi, tepat sebelum ia berniat menggosok tangan di celana. “Keringkan dengan kain yang digantung di sana.” Ia hanya menghela napas dan setelah selesai kembali ke meja makan. Ember kembali ke ruang makan sembari membawa piring-piring keramik padahal jumlah peralatan di meja makan sudah cukup untuk mereka berdua. Lagi pula, mereka biasa menggunakan piring kaleng, bukan keramik. “Ada apa, Nek?” tanya Alnord, heran, seraya mengambil sebonggol jagung, selembar daging asap, dan beberapa buah jamur. “Tentu persiapan makan malam nanti. Hari ini adalah hari yang sangat istimewa,” tuturnya dengan senyum. Alnord berpikir sepertinya 48
Ember menyembunyikan sesuatu. “Selain hari ini adalah hari ulang tahunmu.” Alnord masih merasa heran. Memang hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi ia tak begitu peduli, menganggapnya sama dengan hari-hari lainnya. “Kau suka baju hangatmu?” Ember bertanya seraya membereskan piring keramik di sisi meja lalu duduk di kursi, menemani Alnord yang lahap menyantap. Alnord tersedak dan menatap Ember. Ia berpikir keras tentang yang akan dijawabnya. Ia sangat menghargai pemberian Ember, tetapi hari ulang tahunnya berada di musim semi. Ia tak terlalu butuh atau tepatnya sangat tak membutuhkan sebuah baju hangat walaupun mungkin bisa ia gunakan di musim dingin nanti. Lebih parah lagi, modelnya tertinggal zaman. Tahun lalu Ember memberinya sebuah suling. Selain tak bisa bermain suling, ia tak butuh. Alnord mengira-ngira kejutan yang akan Ember berikan tahun depan. Entah selera nenek yang aneh atau karena nenek sudah manula, pikirnya. “Em—bagus, makasih, Nek—aku suka warna hijaunya.” Tentu saja ia membual. Ember memandangnya heran. Tatapan itu membuat degupan jantungnya berdetak cepat 49
seperti memberi tahunya bahwa Ember mengetahui kebohongannya. Ember memang tahu ia berbohong. Ia panik, takut neneknya merasa kecewa. “Sepertinya nenek membuatkanmu baju hangat abu-abu.” Alnord tersentak. Ia memang belum melihatnya. “Aku bilang hijau ya?” Ia mengelak. “Maksudku abu-abu—warna kelabu yang bagus.” Ia berkata dengan sedikit terbata-bata karena detakan jantung secepat itu ternyata bisa sedikit melumpuhkan pita suara. “Bagus kalau kau suka,” kata Ember senang lalu melanjutkan makannya. “Kenapa nenek bilang hari ini istimewa?” “Karena hari ini hari ulang tahunmu.” Alnord tak lagi nafsu makan dan hanya memutar-mutar garpu dan memainkan makanan di piringnya. “Tetapi ulang tahunku enggak pernah istimewa.” “Kenapa kau berpikir seperti itu?” Alnord menaruh garpunya. Piring kalengnya langsung berkelontang. “Karena ayah enggak pernah hadir di ulang tahunku.” Suaranya meninggi. “Bahkan hanya mengunjungi kita dua kali sejak tahun lalu.” 50
Ember menaruh pelan garpunya. “Alnord Mendelev, jangan sekali-kali bicara seperti itu.” “Aku pikir ayah mau bikin aku kayak katak dalam tempurung.” “Tak mungkin,” sanggah Ember. “Dia menyayangimu. Sangat.” “Kalau begitu, kenapa dia minta nenek ngelarang aku pergi ke semua tempat yang aku mau?” “Karena kami takut terjadi sesuatu padamu.” Ember menatap matanya dalam-dalam. “Kalau kau mau pergi ke hutan Soulom, nenek ingatkan Egon pernah mendengar raungan besar dari sana.” “Naga? cerita Paman Galungum? Dia memang suka ngarang cerita.” “Egon tak pernah mengarang cerita. Semua orang saja yang menganggapnya seperti itu.” “Dan Nenek nganggap ada naga di hutan Soulom? Itu enggak masuk akal. Naga kan cuma legenda.” Ember tak dapat menjawabnya. “Tapi yang jelas di sana ada hewan buas, entah benar-benar naga atau hanya seekor singa,” alihnya. “Dan, nyatanya, banyak keluarga mengaku salah satu anggotanya menghilang setelah masuk ke sana.” 51
Alnord mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. “Terus, kalau ngelarangku pergi ke tempat yang aku suka di desaku sendiri, kenapa ayah ngelarangku ikut dia? Seharusnya aku bisa keliling Heldon sama dia. Ayah enggak mau ngelihatku setiap saat ya?” Ember sontak berdiri. “Cukup, Alnord Mendelev.” Ia memandang Alnord tajam dengan menahan amarah. Alnord terdiam lalu membuang muka, tak enak menatap mata Ember yang sedang menjurus langsung ke arahnya. “Cukup.” Ember memekik pelan. Tatapannya terlepas, suaranya mereda. Ia kembali duduk, tetapi tak acuh dengan piringnya yang masih setengah berisi. “Masuk ke kamar dan pikirkan yang baru saja kau ucapkan.” Alnord bangkit dengan kesal dan memasuki kamarnya. Ia tak jadi membantu Ember menyiapkan makan malam. Ia butuh pelampiasan. Untung saja Wolly langsung menyambutnya dan melompat ke tempat tidur. Ia berbaring di tempat tidur bulu-camelionnya dan mengelus rambut Wolly. Matanya menjelajahi isi kamarnya yang dipenuhi dengan lukisan karbon. Kebanyakan dari lukisan itu menggambarkan suasana desa Elberg. Ia yang membuat semua luki52
san itu. Ia suka melukis. Ia cinta lukisan meski tak begitu mengerti teknik melukis yang benar. Di tempat tidurnya, Ia tak lagi memikirkan hari itu. Pikirannya kini penuh dengan bayangan hutan Soulom dan ia tak mengerti alasan orang takut sekali masuk ke dalam hutan indah itu. Hutan Soulom adalah sarang naga adalah hal yang aneh juga. Ia pun berpikir, banyak orang yang cuma mau cari kayu, tapi kenapa enggak pernah kembali sampai hari ini? Aku enggak percaya hal itu. Naga cuma legenda yang diceritakan orang tua ke anaknya sebelum tidur. Kenapa nenek percaya? Ia langsung membuang muka ketika terlirik olehnya lukisan yang menggambarkan ia dan Antonum memancing bersama. Lebih baik memandangi salah satu lukisan hutan Soulom yang dilihat dari jauh. Pikirannya kembali ke hutan. Menurutku, batinnya, orang-orang yang enggak pernah kembali itu mungkin cuma enggak tahu jalan pulang dan bisa aja orang itu tinggal di sana. Ia memutar badan menghadap jendela bulatnya dan memandangi pegunungan Merope yang sebagian dikelilingi hutan Soulom. Terlihat juga istana Ablahar di sisi gunung, dengan megah dan kokohnya berdiri di tengah hutan. Terlihat menara yang menyerupai obor— 53
hanya saja tanpa api—yang sangat besar di bagian luar. Bila ada api di obor itu, sebutannya adalah Lidah Api Vion, itu tandanya Raja Heldon berada di kerajaan Ablahar. Kemudian, ia mengambil peralatan melukisnya: sebuah kulit kayu yang lebar dan batang berkarbon. Ia ingin melukis kegiatan yang pernah dilakukan bersama ayahnya, tetapi itu tak pernah terjadi. Begitu irinya ia ketika Dardyl menceritakan perjalanan mereka ke berbagai tempat di Heldon. Ia ingin Antonum dan dirinya melakukan sesuatu bersama dalam waktu lama, tak harus keliling Heldon, keliling desa Elberg juga tak masalah baginya. Ia terus membayangkannya dan baru tersadar ketika lukisannya dipenuhi dengan coretan saja dan ia merasa begitu lelah. Angin yang berembus masuk menidurkannya perlahan. Ketika ia bangun, matahari sudah tergelincir menjingga. Sebenarnya ia masih merasa enggan keluar kamar, tetapi akhirnya bangkit dan beranjak dari tempat tidur. Saat keluar, ia melihat Ember mulai memasak, padahal biasanya Ember menyiapkan makan malam setelah matahari terbenam. Semua itu karena hari itu adalah hari istimewa. Dilihatnya peralatan yang dipakai lebih besar agar semua masa54
kan dapat tertampung. Sebagian besar piring di meja pun sudah terisi. Alnord memandangi Ember dari belakang. Ia merasa bersalah dengan ucapan tadi dan termenung sesaat mencari-cari kata yang tepat untuk meminta maaf, tetapi baginya meminta maaf ternyata sangat sulit. Sebelum mendekati dan memaksa diri mengucapkan maaf, ia mengembuskan napas untuk menenangkan diri. “Kau sudah bangun rupanya.” Ember tersenyum seakan tak terjadi satu hal menyebalkan pun sebelumnya atau tak ingin mengungkit masalah itu lagi. Ia memegang mangkuk sup jumpea yang mengepul. “Bisakah kau membawa ini ke meja?” Alnord tersentak dengan perubahan sikap Ember yang terlalu cepat, tetapi tak menolak. Ember menaruhnya di meja dapur dan memberinya kain untuk memegang mangkuk panas. Ketika mangkuk itu sudah berpindah ke meja makan, seseorang mengetuk pintu depan. Alnord menoleh, Ember langsung muncul dari pintu dapur. Alnord menawarkan diri untuk membuka pintu dan berjalan cepat menuju pintu depan. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seseorang 55
berdiri di depannya. Wolly mengikutinya dan menggonggong senang melihat yang datang. “Alnord,” sapa orang itu.
56
3 Hadiah Tak Terduga
Alnord memandang kosong orang tersebut seakan tak mengenal. “Ayah?” tanyanya tanpa ekspresi gembira, tanpa mimik yang biasanya terlihat dari seorang anak yang bertemu ayahnya setelah lama ditinggal. Baginya, melihat ayahnya datang seperti melihat hujan di gurun pasir. “Sudah kubilang hari ini istimewa, kan?” Ember datang dari arah dapur dan terheran membaca raut wajah Alnord yang terlihat datar. “Kenapa kau tak memeluk ayahmu? Apa kau tak merindukannya?” “Iya, aku kangen kok sama ayah,” Alnord memaksa dirinya tersenyum dan berjalan cepat menuju Antonum. Tak ada yang tahu, kecuali dirinya sendiri, yang dipikirkan hingga membuatnya tak begitu senang melihat Antonum padahal di bagian yang tersembunyi dalam hatinya, ia sangat rindu. Namun, perasaan takut kehilangan menguasai dan membuatnya tak ingin larut dalam kesenangan yang menurutnya singkat. 57
“Apa kabar Tuan Antonum Mendelev?” Ada nada sindiran terselip di sana. “Apa Anda sedang lengang?” Antonum hanya tersenyum geli. “Lengang untuk Anda, Tuan Alnord Mendelev,” katanya antara tak menyadari dan pura-pura tak tahu. Antonum setinggi enam kaki. Umurnya sekitar empat puluhan, tetapi terlihat sangat muda, tampan, dan ramah karena lesung pipinya yang membuat bibirnya selalu terlihat tersenyum bila berbicara. Rambutnya hitam kemerah-merahan, dengan uban menyebar di beberapa bagian. Warna matanya sama dengan milik Alnord, biru, tetapi tanpa bentuk naga di dalamnya Alnord melepas pelukannya dan tersenyum lebar. Antonum menggenggam bahunya dan menatap mata Alnord yang berisi naga yang mengelilingi pupil mata kanannya, dalam-dalam. Tatapan itu mengurangi kerinduannya, sedikit melunturkan rasa takut akan ditinggalkan lagi. Ember berkaca-kaca melihat kejadian itu dan permisi ke dapur untuk melanjutkan masaknya. “Orang istimewa harus dijamu dengan makanan istimewa,” katanya. Antonum melepas genggamannya dan merangkul bahu Alnord lalu mengajaknya ke kamar untuk memberikan sebuah hadiah. Al58
nord menenteng koper, sementara Antonum menyeret bungkusan panjang. Alnord tetap bungkam. Sesampainya mereka di kamar, Antonum membuka koper dan memberikan bungkusan itu kepada Alnord yang wajahnya langsung tak lagi tertekuk. “Boleh kubuka sekarang?” kata Alnord. Antonum mengangguk. Alnord menyobek bungkusan kado itu perlahan. Betapa girangnya ia saat melihat isinya. Antonum tersenyum melihatnya tak lagi mempermasalahkan dirinya yang jarang hadir. “Peralatan melukis! Makasih, Yah,” kata Alnord lalu duduk di sisi Antonum sambil terus memandang hadiah itu. Palet, kuas, cat minyak banyak warna kini ia miliki. “Bukan hanya itu,” kata Antonum, membuat Alnord kian tertarik. Ia membungkuk dan menyerahkan bungkusan panjang itu kepada Alnord yang langsung membukanya. Bungkusan itu berisi sesuatu yang panjang dan terbuat dari kayu, sesuatu yang melengkapi kesenangan Alnord, sebuah papan lukis. Alnord berdecak senang lalu menaruh peralatan melukis dan meraih papan lukis tersebut. “Aku nanti pasti jadi pelukis terhebat.” 59
“Kau harus,” kata Antonum, sambil mengacak-acak rambutnya. “Ayah tak sabar menunggu hari itu.” Dari arah pintu depan, terdengar ketukan beberapa kali sehingga mereka berhenti dan menoleh. Lalu terdengar suara sahutan Ember dan langkahnya ke sana. Alnord melongok ke arah pintu dan berusaha melihat orang yang datang tanpa harus menghampiri. Terdengar ucapan salam dan tawa penuh basa-basi. Sebelum melihat mereka, dari suara mereka Alnord tahu yang datang adalah keluarga Duvius. “Sebaiknya kita menyambut mereka.” Antonum mengajaknya beranjak ke ruang depan. Ia menaruh perlengkapan melukisnya di tempat tidur dan mengikuti dari belakang. Alnord jarang melihat Ogwald, ayah Dardyl, karena ia adalah penghasil wol rabbipof yang cukup sukses sehingga sering pergi ke luar kerajaan. Peternakannya cukup banyak, bahkan yang Dardyl gembala adalah milik sendiri. Penampilannya rapi, tanpa kumis tebal sehingga ia terlihat sepuluh tahun lebih muda dari umurnya yang hampir setengah abad. Tubuhnya sedikit gemuk. Raut wajah Dardyl mirip sekali dengannya, tetapi kulitnya kecoklatan dan ram60
butnya hitam tipis. Ia menyapa seraya menjabat tangan Antonum. Antonum menyahut tangan Ogwald. “Terima kasih sudah datang.” “Kami yang berterima kasih atas undangannya,” kata Ogwald. “Bagaimana kabarmu?” Antonum kini berbicara kepada anak laki-laki gendut di antara kedua orang tersebut, Dardyl. “Lapar.” Antonum tertawa kecil. “Alnord tolong taruh jubah mereka,” kata Ember. Alnord menawarkan bantuannya dengan ramah. Ogwald dan Maureen melepas jubah dan menyerahkannya kepada Alnord tanpa lupa berterima kasih. Itu bukan hal yang dapat membuatnya enggan bagi Alnord. Ia beranjak ke tempat menggantung jubah. Daripada terjebak dalam basa-basi orang tua, Dardyl menyusulnya dan mengobrol di kamar saja. Ia langsung setuju karena ingin menceritakan pedang di kedai Charlom. Ember menunjuk ruang makan kepada mereka dan mempersilakan mereka masuk. “Kami hanya tinggal menunggu Charlom.” Ia 61
beralih ke Alnord. “Kau yakin sudah memberitahunya?” “Yakin,” kata Alnord. “Mungkin cuma ada gangguan di jalan.” Alnord mengajak Dardyl ke kamarnya lalu melanjutkan ceritanya dan memamerkan hadiah peralatan melukisnya. Sebenarnya Dardyl tak mendengarkan Alnord. Ia menaruh penuh perhatiannya pada meja makan, tetapi orang tua mereka masih saja basa-basi. Santapan yang mengepulkan asap dan aroma sedap mengharuskannya menelan air liur beberapa kali. Terdengar bunyi kelontangan keramik dan logam di ruang makan, menandakan makan malam baru saja akan dimulai. Dardyl terlihat semakin gelisah dan tak peduli dengan semua cerita yang terlontar dari bibir Alnord. Wolly bahkan sedang menyantap makanannya. Tiba-tiba pintu depan terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Semua yang ada di rumah menoleh. Charlom datang dengan jubah kotor penuh tanah sambil membawa sebuah bungkusan panjang. Ia langsung beranjak ke tempat menggantung jubah dan menyusul yang lain di meja makan.
62
“Oh, maaf. Aku lupa ngetuk pintu.” Charlom memberikan salam dengan cengirannya yang khas. “Kau terlihat—em—tak seperti biasanya,” kata Ember. Charlom menyenderkan bungkusan panjang yang dibawanya di dinding dan menepuk-nepuk baju seadanya. Lagi pula yang terkena tanah memang hanya jubah. “Oh, ya. Aku ketiduran waktu ngendarain pedati dan jatuh.” Charlom menjawabnya seperti ucapan sehari-hari. “Kau tak apa-apa, Charlom?” tanya Ember. “Oh, tentu. Untung camelion itu tahu tujuannya. Ya walaupun aku harus jalan kaki karena itu,” tutur Charlom. “Baiklah, kayaknya cacingcacing di perutku udah mulai berontak.” Ia menepuk pelan perutnya lalu mencuci tangan di wastafel. “Ya, kita sudah menunggumu sejak tadi,” kata Antonum. “Kayaknya Paman Charlom udah datang. Daripada di sini, mending kita ke ruang makan aja.” Dardyl bangkit seperti takut kehabisan makanan, tetapi masih menahan langkah seakan harus menunggu izin Alnord terlebih dahulu. 63
“Dardyl, Alnord, tunda dulu obrolan kalian.” Ember memanggil. “Sekarang waktunya makan malam.” Alnord mengiyakan walaupun masih ingin bercerita. Dardyl langsung melesat ke wastafel. Dengan cermat ia mencuci tangan lalu duduk di samping Maureen. Alnord menaruh peralatan melukisnya dan beranjak ke ruang makan. Sebelum duduk, Alnord mencuci asal tangannya, hanya agar nenek tak membanding-bandingkannya dengan Dardyl. Sesaat yang terdengar adalah bunyi lontangan piring, garpu, dan pisau, serta kunyahan Dardyl dari mulut penuhnya. “Dardyl, bagaimana dengan rabbipof peliharaanmu?” Ember berusaha memecahkan kesunyian. Dardyl menjawab dengan mulut penuh daging sehingga suaranya terdengar seperti kunyahan saja. Maureen berbisik, menyuruhnya menelan semua makanan sebelum berbicara. Ketika menelan, Dardyl terpejam merasakan enaknya makanan itu lalu mengulang ucapannya. “Baik. Mereka udah siap dibotakin.”
64
“Sepertinya kau akan seperti ayahmu nanti.” Ember memuji lalu melirik Ogwald. “Penghasil wol rabbipof yang terkenal.” “Aku juga sudah merasakan hal yang sama.” Ogwald tertawa lalu menepuk pelan punggung Dardyl membuat Dardyl tersedak karena tepukan itu. Maureen mengambilkannya minum lalu memelototi Ogwald. “Ogwald,” bisiknya tegas melarangnya melakukan itu lagi. “Bagaimana usaha Anda?” Antonum berusaha tahu mereka lebih jauh. “Oh, berkembang pesat.” Ogwald menegakkan badannya karena baginya ini pembicaraan serius. “Walau agak berkurang karena kerajaan Colomos sudah memasuki musim semi. Kebanyakan orang menyukai topi. Bagaimana dengan Anda. Masih bekerja di kerajaan Morgana?” “Ah, ya, masih.” Antonum menaruh sendoknya yang sudah terisi penuh dengan bubur kentang. “Aku datang ke sini untuk urusan kerajaan. Ada baiknya karena aku bisa menghadiri acara makan malam ini.” “Ada urusan apa, kalau boleh tahu?” tanya Maureen. “Morgana ingin mempererat hubungan persaudaraan dengan Ablahar dalam segala hal. Se65
lain itu ada peringatan. Saat dilakukan pemeriksaan di seluruh Heldon, mereka menemukan ada yang berbeda dengan daratan kerajaan Ablahar.” Ia menerangkan hal itu dengan santai, tak sadar itu mencengangkan semua yang mendengarnya. Bahkan Dardyl menghentikan kunyahannya sesaat. “Berbeda?” tanya Ogwald meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah dengar. Antonum menangkap akibat dari ucapannya. “Oh, maaf,” katanya. “Ya, tapi tak ada yang harus dikhawatirkan. Saat perwakilan dari Departemen Keseimbangan Lingkungan dan Penanggulangan Bencana Alam menjelaskan dan meminta kerajaan Ablahar untuk memeriksa keadaan pegunungan Merope, mereka membantah. Mereka yakin semua baik-baik saja.” Antonum berusaha menenangkan. “Untunglah,” dengus Ember, mengelus dadanya yang ia rasa hampir saja meledak. “Bukankah pegunungan Merope sudah lama mati?” tanya Ogwald. “Tapi, apa tak sebaiknya benar-benar diselidiki? Aku kurang suka dengan setiap kebijakan raja“ kata Maureen. “Ihtizar,” sahut Antonum. 66
“Aku bahkan lupa namanya saking tak cakapnya dia memimpin kerajaan,” keluh Maureen. “Ya, dia meninggikan Upeti Pengiriman Barang Dagang Lintas Kerajaan, mengganggu sekali,” sahut Ogwald. “Aku benar-benar tak bisa mengerti alasan Lidah Api Vion memilihnya jadi pemimpin.” “Kapan Ayah pulang?” tanya Alnord, mengubah arah topik pembicaraan, sayangnya ke bagian masalah yang peka. Antonum menghela napas. “Maaf, Alnord, ayah harus pulang besok pagi,” katanya. “Oh, ayolah, Yah,” keluh Alnord. “Kita bahkan belum pernah mancing sama-sama.” Alnord mengetuk piringnya dengan garpu. “Alnord,” Ember menyorotkan pandangan ke mata Alnord, memerintahnya lebih tenang karena merasa tak enak dengan keluarga Duvius. Alnord terdiam. “Kenapa harus besok, Antonum?” Ember menimpali. “Ya karena semua keadaan baik-baik saja, rencana penguatan hubungan persaudaraan pun langsung diterima. Kami sudah merencanakan yang menjadi tujuan bersama. Dampaknya aku harus kembali.” 67
“Ogwald. Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Charlom. “Ya?” kata Ogwald setelah menelan satu gigitan besar potongan daging sapi lada hitam. “Kau tahu, aku punya kedai. Kau tahu juga kedai milikku berada di antara belasan kedai yang lain. Apa kau menyadari ada kedaiku di sana? Bagaimana caranya agar kedaiku dapat menarik perhatian?” Setelah itu, Charlom menyeruput sup. “Kalau ingin menjadi seorang pengusaha, kau harus memiliki sudut pandang lain,” kata Ogwald. “Sudut pandang yang sangat bertentangan dengan sudut pandang sebagai pengusaha, yaitu sebagai pelanggan. Kau harus tahu, apa yang pelanggan inginkan bila datang ke kedaimu.” Ogwald berusaha menjelaskannya dengan nada yang tak menggurui. “Akan kucoba nanti,” kata Charlom. Ia mengambil sesendok bubur kentang. “Jadi, bagaimana caranya menjadi pelanggan sekaligus menjadi pengusaha, kau harus membeli barang jualanmu sendiri?” “Kau harus penuh ide.” Ogwald mengacungkan dan menggoyang-goyangkan garpunya. “Ah, ya. Kudengar Alnord suka me68
lukis?” Ia menoleh ke Alnord lalu terdiam menunggu pengakuannya. “Ya, enggak terlalu bagus,” sahut Alnord. “Tapi aku memang suka melukis.” “Kenapa tak menggunakan lukisan Alnord sebagai hiasan di kedaimu?” Pertanyaan Ogwald itu mengenyakkan Charlom dan Ember. Mereka mengangguk setuju. “Oh, hebat. Usul yang bagus,” kata Charlom lalu berpaling menatap Alnord. “Alnord, kau bersedia kan?” “Lukisanku kan enggak bagus, Paman.” Alnord mengelak meskipun dalam hati ia sangat senang. “Jangan bilang begitu.” Ember menambahkan. “Nenek suka memandang lukisanmu.” Lalu, Antonum mendekat dan berbisik. “Gunakan yang sudah ayah berikan.” Alnord tersenyum lalu mengangguk ke arah Charlom. Charlom memukul-mukul meja seperti anak kecil yang sedang senang. Di pikirannya sudah terbayang rencana itu akan membuat kedainya ramai pengunjung. “Boleh aku tambah, Bu?” Charlom mengatakan itu dengan nada manja, 69
memberikan mangkuk supnya pada Ember. Hanya sebagai candaan. “Oh tentu, Anakku.” kata Ember, juga dengan nada berkelakar, seraya meraih mangkuk sup yang disodorkan Charlom. Semua tertawa mendengarnya. Kini mereka tenggelam dalam kehangatan suasana malam itu. Semuanya tersaji lengkap dalam ruang makan. Kenikmatan makanan tersedia, walau kini tak ada yang tersisa. Tawa menyelingi. Keakraban semakin lekat di antara mereka. Semua itu membuat mereka tak sadar akan malam yang semakin larut. Cahaya temaram putih kekuningan terpancar dari lentera kunang-kunang di atas mereka dan perlahan berubah menjadi merah muda lalu kian redup, menyadarkan mereka akan waktu. Suara Wolly pun sudah tak terdengar lagi karena tertidur di ruangannya. “Oh, lihat,” kata Dardyl, seraya mendongak ke arah lentera. “Ya, lewat dari jam malammu,” bisik Ogwald, menggeser kursinya ke belakang lalu bangkit. “Ayolah, Yah.” Dardyl mengeluh meskipun matanya sudah kemerahan dan sayu. “Kita bersenang-senang di sini.” 70
“Ogwald, kau tak lupa kan?” tanya Maureen setengah berbisik, sedikit mengherankan yang lain. “Lupa apa?” bisik Ogwald, balas bertanya lalu matanya terbelalak dengan mulut membulat, langsung teringat akan sesuatu. Ia membungkuk dan mengambil sebuah bungkusan dari bawah meja. “Kami punya sesuatu untukmu,” kata Ogwald lalu menyerahkan bingkisan itu kepada Alnord. Alnord bangkit dan menerima bingkisan kotak tersebut. “Makasih, Paman Og, Bibi Maureen.” Alnord memutar-mutar kotak itu, memerhatikan setiap sudutnya dan menebaknebak isinya. “Mana buatku?” Dardyl menuntut. “Makasih, Dardyl,” kata Alnord cepat. “Kau boleh buka sekarang kalau mau,” kata Maureen. Alnord menyobek bungkusannya dan terlihat lebih semringah lagi setelah mengetahui isinya. “Baret. Bagus sekali. Bulu rabbipof memang lembut.” Alnord langsung mengenakannya. Baret itu abu-abu dan jauh lebih halus daripada rambut Alnord. “Kau tampak seperti pelukis hebat,” kata Maureen. Ia mengarahkan tangannya ke depan 71
seperti membuat bingkai “Bahkan lebih hebat daripada Velucas, bahkan kau terlihat bagus kalau dilukis.” “Em—sepertinya sudah semakin larut,” kata Ogwald. “Kami sebaiknya pulang.” Ember menyuruh Alnord mengambil jubah keluarga Duvius. Alnord pun langsung melesat menuju tempat menggantung jubah dan memberikannya kepada mereka. Keluarga Duvius beranjak dari ruang makan sambil memakai jubah dan diantar sampai pintu depan. “Makan malam yang menyenangkan,” kata Maureen sambil mengancingkan jubahnya. “Berkat kedatangan kalian pastinya.” Ember membalasnya dengan senyum. “Semoga sukses,” kata Ogwald kepada Antonum dan Charlom. “Senang bertemu kalian.” Mereka berdua membalas. Keluarga Duvius beranjak menuju rumah mereka. Ember melambaikan tangan kepada Dardyl yang masih menoleh ke belakang. Sesaat kemudian mereka sudah tak terlihat, menghilang dalam kegelapan di antara rumah mereka. Ember beranjak ke dapur untuk bersih-bersih semua peralatan. Alnord ingin membantunya, tetapi dilarang karena sudah lewat jam tidur. Antonum menghampiri mereka dan 72
menawarkan bantuan. Hal itu membuat Alnord merengut karena melihat mereka berdua tertawa bersama, sedangkan ia tak bisa ikut. Ketika ingin masuk ke kamarnya, ia terkejut melihat Charlom di depan pintu. “Kebetulan tinggal kita berdua.” Charlom berbisik. Alnord mengangkat alisnya. “Aku punya kejutan untukmu.” Charlom mengambil bungkusan panjang, merangkul pundak Alnord, dan mengajaknya masuk ke kamar. Alnord tidak tahu harus bersikap senang atau heran. Ia akan mendapatkan hadiah lagi, tetapi cara memberikannya mencurigakan seperti itu. Charlom memeriksa keadaan di luar kamar dan meyakinkan diri bahwa pembicaraan mereka takkan terdengar. Setelah yakin aman, ia menutup pintu dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara berdecit. “Semua itu lukisanmu?” Charlom bertanya dengan nada penuh basa-basi. Matanya menatap seluruh penjuru kamar seakan tak ingin ada kontak mata dengan Alnord. Alnord mengiyakan tanpa ekspresi. “Indah dan unik,” katanya. “Ah, sebenarnya ada yang harus kubilang—lebih tepatnya— 73
kukasih.” Ia mengubah topik seraya mengusapusap hidungnya tanpa maksud, seperti gugup. Alnord mengangkat alisnya. “Kayaknya penting banget.” “Ini buatmu.” Charlom memberikan bungkusan panjang itu kepada Alnord. Alnord melepas topi dan menaruhnya di tempat tidur lalu menerima bungkusan itu. Ia menatapnya, berharap pandangannya bisa menembus bungkusan. Pikirannya penuh rekaan akan isi bungkusan itu. Alnord menanyakan isinya, sedangkan maksud sesungguhnya adalah izin membukanya saat itu juga. Charlom mengayun-ayunkan tangan, menyuruh Alnord membukanya. Tak membutuhkan waktu lama sampai Alnord menyobek bungkus dan melihat isinya. Betapa terkejutnya ia. Hadiah itu merupakan sesuatu yang sangat disukai, sesuatu yang sangat diharapkan, tetapi sekaligus juga yang sangat dilarang untuk ia milikinya. Ia terkesiap, takjub, antara percaya dan tidak, memandangi pedang itu. Keindahan terpatri di setiap bagiannya. Perpaduan antara merah dan hitam membuatnya terlihat mewah. Ia memutar pelan pedang itu agar semua titik terlihat dengan jelas. Tampak sebuah ukiran di bagian bawah pegangan pe74
dang yang mengilap itu. Ukiran itu terdiri atas dua bentuk yang menyerupai inisial dengan tulisan bangsa lain. Ia menanyakan maksud inisial itu, tetapi Charlom menggeleng. “Dia enggak ngasih tahu,” kata Charlom. Alnord tersentak diam karena memikirkan satu hal. Luapan kesenangannya di matanya sirna dalam sekejap. “Aku enggak boleh punya pedang ini.” Alnord menyerahkan pedang, tetapi Charlom tak menjulurkan tangannya. Ia menoleh ke pintu, memastikan sekali lagi tak ada yang mendengar mereka. “Gimana kalau nenek tahu?” Charlom tetap tak menerimanya kembali. Ia menggeleng. “Aku tahu kau suka pedang itu,” katanya. “Memang seharusnya kau belum boleh punya pedang sebelum dewasa, tapi enggak salah juga kalau buat jaga-jaga. Nenek udah tua, Alnord. Udah jadi kewajibanmu buat jagain dia. Asal kau taruh dengan benar, nenekmu enggak akan tahu.” Charlom menekan beberapa kata. Ia berhati-hati memilih kata-kata yang akan diungkapkannya agar Alnord tak ragu. “Jaga pedang ini baik-baik,” lanjutnya. Suatu saat pasti berguna.” 75
Alnord duduk di sisi tempat tidur sambil memangku pedang tersebut dan menatap Charlom yang saat itu tak biasa, terlihat serius dan bijaksana, tak tampak seperti orang yang sangat ceroboh. “Ya, siapa tahu,” kata Alnord lalu menaruh pedang di tempat tidur. “Bagus kalau begitu,” kata Charlom. “Aku harus pulang. Masih banyak urusan yang belum selesai.” Ia menepuk pelan pundak Alnord beberapa kali. “Jangan lupa kesepakatan kita berdua.” Ia mengerling dan menutup pintu setelah Alnord mengangguk lemah dan masih tak memahami maksud Charlom. Dari luar terdengar pembicaraan antara Charlom, Ember, dan Antonum. Charlom berpamitan. Ember menyayangkan hal tersebut, tetapi sesaat kemudian suara Charlom sudah tak terdengar lagi. Lalu dari luar rumah terdengar suara roda pedati dan derap camelion. Alnord menatap pedang tersebut baik-baik. Ada alasan ia merasa sejiwa dengan pedang tersebut. Ia merasa seperti ada ikatan batin antara dirinya dan pedang itu, tetapi tak bisa menemukan jawabannya. Ia merendah dan masuk ke kolong tempat tidur untuk menyelipkan pedang itu. Setelah menatapnya 76
sesaat, meyakinkan diri bahwa nenek takkan tahu, ia keluar dan merebah di tempat tidur lalu berusaha terpejam. Lentera yang menerangi kamarnya meredup seiring rasa kantuknya, tetapi tak kunjung gelap karena ia belum tidur. Tidur menjadi satu hal yang sulit baginya kali ini karena pikirannya penuh dengan berbagai hal. Berulang kali ia berusaha melelahkan diri, bahkan dengan menghitung camelion yang melompati pagar atau telur camelion yang menggelinding. Itu adalah cara yang selalu dipakainya saat ia masih kecil, tetapi ternyata tak berlaku sekarang. Ia tetap saja terjaga sehingga berbalik dan menatap ke luar jendela, ke pegunungan Merope yang terlihat hanya siluet di bawah sinar bulan. Tiba-tiba pintu berderit, Antonum mengintip dari celahnya. “Kau belum tidur rupanya. Apa ayah boleh masuk?” Alnord menoleh. “Aku enggak pernah ngelarang.” Saat pintunya terbuka sepenuhnya, terlihat cahaya dari lentera di luar lebih remang karena tak ada lagi kegiatan di sana, sedangkan lentera di kamarnya menjadi lebih terang.
77
“Kenapa kau belum tidur?” Antonum menutup pintu dan menghampirinya lalu duduk di pinggir tempat tidur, tepat di samping Alnord. “Enggak tahu.” Alnord bangkit lalu menyender di dinding. Antonum melirik sebuah kotak penyimpanan di meja Alnord karena ingat akan isinya. Ketika membukanya, ia tampak lega. “Baguslah kau tetap menjaganya,” kata Antonum tanpa mengambil isinya. “Kayak yang Ayah bilang.” “Nenekmu menceritakan obrolan kalian tadi siang.” Antonum menaruh kotak itu, benturannya dengan meja menimbulkan suara gemeletuk. Ia bergeser agar lebih dekat dengan Alnord. “Sebenarnya Ayah ke sini untuk minta maaf karena selama ini jarang sekali menemuimu. Setelah ayah pikir, kau benar, bahkan kita tak punya waktu memancing bersama.” “Ya, mungkin lain kali,” kata Alnord. “Entah kapan, kita bisa mancing sama-sama.” “Pasti. Pasti akan ada waktu itu,” kata Antonum, tak menghiraukan sindiran yang Alnord ucapkan terang-terangan. Ada yang ingin Alnord katakan, tetapi tertahan karena tak terbiasa mengungkapkan langsung kepada orang yang dimaksud. “Kena78
pa ayah ngelarang aku ikut?” Kata-kata itu meluncur begitu saja. Jantungnya mencelos setelahnya, berdebar cepat, tetapi ada rasa lega saat ia mengucapkannya tanpa amarah. Antonum mendekati Alnord. “Karena ayah selalu sibuk ke sana kemari. Kau mungkin tak memiliki teman nantinya jadi lebih baik kau di sini.” Mereka terdiam sesaat. Ada rasa canggung di sana. Alnord memelintiri selimutnya, menunggu kalimat yang meluncur selanjutnya, dan menanti jawaban yang bisa memuaskan hatinya. Bukan jawaban sebenarnya, melainkan pernyataan yang menuruti permintaannya. “Kau tahu? Aku sangat bangga padamu,” kata Antonum. “Kau bisa menjaga nenekmu dengan baik, bahkan sering membantu. Asal kau tahu, dia menolak setiap koin yang kuberikan padanya.” Ia berpaling dari wajah Alnord, menunduk sesaat, lalu menarik napas dalam dan mengembusnya cepat. “Sejak kematian Minerda dan karena Charlom memiliki usaha sendiri, hanya kau yang bisa menemaninya.” Alnord tersenyum kecil mendengarnya. Lentera semakin terang karena rasa lelah di ruangan itu berkurang. 79
“Ayah harap kita bisa lebih sering bersama nanti,” kata Antonum seraya menepuk pelan punggung tangan Alnord dan menggenggamnya sebentar. “Aku cuma enggak suka nunggu lama, Yah,” kata Alnord. “Oh ya, boleh kan aku tanya sesuatu?” “Soal apa?” “Ayah pernah masuk hutan Soulom?” Perlindungan yang berlebihan dari Ember membuat Alnord seakan tak tahu segalanya. Antonum mengernyit. “Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang hutan itu?” “Enggak apa,” kata Alnord. “Banyak isu jelek tentang hutan Soulom.” “Ayah rasa hutan Soulom adalah hutan yang indah.” Antonum menerawang. Alnord mendengarnya secara saksama. Antonum menoleh ke Alnord sebelum meneruskan ucapannya. “—pernahkah ayah bercerita tentang pekerjaan ayah sebelum menjadi duta besar?” Alnord menggeleng. “Itu artinya waktu bersama kita memang sangat sedikit.” Ada sesal tersembunyi di sana. “Saat kau berumur empat bulan, ayah mulai dipekerjakan untuk kerajaan Morgana. Sebe80
lumnya, ayah bekerja di kerajaan Ablahar sebagai pegawai Departemen Luar Kerajaan, ayah tahu sesuatu yang menarik di dalam hutan tersebut.” Kata-kata yang bagus untuk hutan Soulom pasti membuat Alnord merasa tertarik dan semakin terjaga. “Sebuah danau yang sangat indah,” kata Antonum. “Airnya tenang dan biru-kehijauan. Angin sejuk sepoi-sepoi berembus. Pemandangan yang takkan pernah ayah lupakan.” “Lalu, kenapa banyak yang bilang hutan Soulom berbahaya?” Alnord membantah. “Bahkan banyak cerita, yang masuk ke hutan enggak pulang-pulang.” Hal itulah yang sebenarnya ingin ia ketahui. “Benar enggak sih ada naga di dalamnya?” “Itu tergantung pada tujuanmu masuk ke hutan,” kata Antonum. “Kalau kau memiliki tujuan baik, tanpa ada keinginan merampas kekayaan hutan, kau akan baik-baik saja. Ayah juga kurang begitu tahu. Memang sepertinya banyak rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Tapi ayah tak pernah tahu soal naga itu.” “Udah kukira naga itu cuma bualan Paman Galungum.” Alnord kesal merasa tertipu dan memukul-mukul pahanya pelan. “Ada lagi sesuatu yang lebih menarik lagi enggak, di hutan?” 81
“Ada,” kata Antonum. “Dulu ayah pernah mengunjungi sebuah taman batu. Taman itu sangat indah. Taman itu adalah taman peristirahatan permaisuri dari dulu. Tapi sekarang tak digunakan lagi, mungkin alasan keamanan, entahlah, ayah juga kurang tahu. Taman itu terletak di sisi danau indah itu.” Alnord benar-benar telah lupa akan dugaan Egon. “Kenapa danau itu dirahasiain?” Alnord takkan bisa tidur sebelum rasa ingin tahunya dipenuhi. “Ada yang percaya ada yang tidak bahwa air danau itu beracun,” kata Antonum. “Departemen Keseimbangan Lingkungan dan Penanggulangan Bencana Alam kerajaan Vanderdam mengatakan tak ada kandungan racun di danau itu, bahkan ada zat yang menyembuhkan luka, tapi untuk mencegah bahaya, taman tersebut tak dipergunakan lagi.” Ia melirik kunangkunang yang terbang lebih lincah dan terang. “Sepertinya malam sudah semakin larut. Kau sebaiknya tidur.” Alnord mendengus kecewa, tetapi menurut. Ia merebah. Antonum bantu menyelimutinya lalu beranjak, tetapi terhenti sebelum menutup pintu karena Alnord memanggilnya. 82
Alnord menyibak selimutnya kembali. “Ehm, Yah, besok kita masih bisa bercerita kayak tadi enggak, lebih lama?” tanya Alnord, dengan nada yang semakin memelan, ragu-ragu menantikan reaksi Antonum. “Benar-benar enggak bisa, sama sekali?” Antonum melepaskan tangan dari pegangan pintu dan berdiri tanpa suara. Ia menarik napas dalam-dalam. Jauh sebelum masuk untuk berbicara, ia sudah mengira Alnord akan melontarkan pertanyaan ini. “Maafkan ayah, sepertinya tak bisa. Ayah harus kembali besok pagi, tapi kita masih bisa berbincang-bincang saat sarapan.” Ia merasa harus, tetapi juga menyesal telah mengucapkannya. “Lalu kapan kita bisa jalan-jalan sama-sama ke banyak tempat?” Alnord mulai menuntut. “Ayah janji suatu hari kita akan bersamasama, seharian, tanpa ada yang mengganggu kesenangan kita.” ”Ya, ayah benar, semoga tentunya,” kata Alnord. “Selamat tidur, Yah. Barusan aku senang, sayang cuma sebentar. Aku juga enggak begitu berharap yang aku mau kejadian. Aku tetap di sini, enggak pergi ke mana-mana, enggak tahu apa-apa.” Ia menyibak selimutnya, 83
menutupi seluruh tubuhnya sebelum terpejam dengan penuh paksa. “Ayah pikir hari ini adalah hari yang sangat istimewa buatmu,” kata Antonum, tak tahu lagi yang harus diucapkan. “Aku udah senang Ayah datang hari ini,” kata Alnord. “Hari ini istimewa menurutku.” Tentu saja ia berbohong. Kata-kata itu sangat bertentangan dengan isi hatinya. “Aku hanya kesal yang istimewa itu selalu sebentar. Tolong tutup pintunya, Yah. Aku harus tidur.” “Ayah tahu kau kecewa ayah tak mengajakmu pergi ke banyak tempat bersama ayah. Hanya saja ayah ingin, kau tak berhenti berharap. Kau bisa berkelana sendiri nanti, tetapi tunggu waktu yang tepat. Ayah tahu menunggu itu melelahkan, terutama kalau kita berharap banyak, tetapi harapan membuat hidup hidup. Saat harapan itu terwujud, kita membuat harapan baru setelahnya, mewujudkannya. Sampai kita tak bisa berharap lagi saat waktu kita sudah habis.” Ia tahu Alnord masih terjaga dan mendengarkannya. Memang benar, Alnord masih terjaga. Matanya terpejam, tetapi pikirannya masih terbuka. Ia mendengarkan itu, tetapi mendengarkan 84
nasihat sama menyebalkannya dengan menunggu lama. “Selamat tidur,” kata Antonum setengah berbisik. Ia menghela napas perasaan bersalah sebelum menutup pintu perlahan dari luar. Alnord lelah berharap dan tak peduli lagi hal itu dapat terjadi lagi atau tidak. Ia terlalu lelah memikirkannya. Rasa lelah itu membuatnya terpejam seiring dengan meredupnya lentera di kamar. Ia pun terlelap dalam tidur yang membuatnya lupa akan kekesalan.
85
4 Hutan Soulom yang Misterius
Besok harinya, matahari bersinar lebih cepat dari biasa. Sinarnya yang menghangatkan menyeruak masuk ke kamar Alnord, memaksanya bangun. Sorotan cahaya yang berupa lingkaran sebesar koin di matanya membuatnya bergerak tak nyaman sehingga ia terbangun. Ia menggeliat sesaat dan kemudian beranjak dari kamar dengan langkah yang masih sempoyongan. Kesibukan sudah terdengar dari dapur dan ruang makan: suara kucuran air, kelontangan peralatan makan, serta gonggongan Wolly yang meminta makan dan menyambutnya. Ia lewat begitu saja seakan tak melihat atau pun mendengar Wolly menyapanya karena sedang malas menyahut. Tak berhenti berusaha, Wolly berlari ke arahnya sembari mengibaskan ekor, memintanya mengelus. Ia terpaksa merendah dan mengacak-acak rambut Wolly, membuat wulfix itu bersemangat berlari ke luar rumah.
86
Antonum menyapa seraya menata peralatan makan di meja, bertanya ia tidur nyenyak atau tidak semalam. “Biasa aja.” Alnord menarik satu kursi dan duduk meskipun belum mencuci muka. “Bersihkan dirimu dulu,” teriak Ember dari dapur. Alnord mengeluh pelan dan memaksa diri beranjak ke tempat cuci tangan untuk membasuh wajah dan berkumur. Seraya mengelap peralatan makan yang masih basah, Antonum tersenyum melihat tingkahnya yang malas bersih-bersih. “Makanan sudah siap semua,” kata Ember sembari membawa semangkuk bubur umbi Gorgan. Antonum menarik kursi untuknya. Ia berterima kasih dan menaruh mangkuk bubur umbi Gorgan dan duduk di kursinya. “Maaf aku hanya bisa menyajikan makanan biasa seperti ini,” katanya. Antonum tertawa. “Aku rindu masakan ini.” Kini mereka menikmati sarapan pagi itu, bubur umbi Gorgan, Jumpea, dan telur camelion. Ember terlihat sangat bahagia melihat Antonum dan Alnord menjadi lebih dekat meskipun hanya sekali setahun. Ia tak tahu yang sebenarnya terjadi semalam. 87
“Apa saja yang kalian bicarakan tadi malam?” Ember membuka pembicaraan. “Banyak,” kata Alnord tak bersemangat lalu memasukkan sesendok bubur ke mulutnya seraya memandang Antonum yang tersenyum ke arahnya. Ia hanya membalas dengan senyum simpul yang, terlihat sekali, sangat dipaksakan, bahkan menunduk, bukan menatap Antonum. “Menyenangkan sekali. Apa nenek boleh tahu?” “Em—sebenarnya. Itu rahasia,” kata Alnord asal. “Antara seorang ayah dan anak lelakinya.” Ia hanya ingin jujur, tetapi tak terlihat sinis karena memang sama sekali tak ingin menceritakannya. Ember menyayangkan hal tersebut dengan nada bercanda. “Dan itu pembicaraan antarpria,” kata Alnord hanya untuk membuat nenek lebih mengira itu hanya candaan walau sebenarnya itu serius. Yang lain tertawa. Ia hanya tersenyum terpaksa sekali lagi karena masih kecewa Antonum sibuk bekerja sehingga tak bisa berbincang banyak lagi. Ia pun hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa selera. “Yah, aku punya sesuatu buat Ayah.” Ia langsung melompat dan berjalan menuju kamarnya. 88
Sesaat kemudian ia membawa sebuah gulungan yang langsung diberikannya kepada Antonum. Antonum melepaskan garpu dan menerimanya. “Ini lukisanmu?” Ia membuka gulungan tersebut dan sangat gembira saat melihat isinya. “Bagus sekali, Alnord. Terima kasih,” Ia memperlihatkannya pada Ember yang kemudian mengangguk setuju. Lukisan itu menggambarkan suasana pegunungan dan pohon-pohon yang mengelilingi sungai jernih, lebar, dan dalam. Terlihat anak kecil dengan seorang laki-laki sedang tertawa senang. Mereka menarik pancingan yang mengait ikan besar. “Ayah pasti selalu ingat janji ayah memancing bersama,” kata Antonum. Alnord tak terlalu senang mendengarnya karena sudah mengecap harapan sebagai pembawa kekecewaan. Ia bisa menciptakannya, tetapi tak mampu mewujudkannya. “Kau baru membuatnya?” Antonum menatapnya yang terus menunduk. “Udah lama, waktu Ayah pertama kali janji.” Yang lain tercekat. Mereka saling menatap. Antonum semakin merasa bersalah karena belum bisa mengubah lukisan itu menjadi sebuah kenyataan. Ember berusaha 89
mengalihkan topik dengan menawari Alnord menambah makanan, tetapi Alnord menolak. Setelah selesai sarapan, Antonum mengambil jam dari saku. Ia menekan tombol di atasnya dan jam itu terbuka. Jarum jam saku kuningan berbentuk bulat tersebut mengarah ke angka yang menunjukkan bahwa matahari saja baru terlihat. “Aku harus berangkat.” Antonum menggulung lukisan itu dan mengikatnya. “Biar aku yang ambil jubah ayah.” Alnord langsung melompat dan berjalan lambat menuju tempat menggantung jubah. Kesal tak berarti harus menyebalkan. Ia melakukan itu hanya ingin menahan kekesalannya. “Terima kasih,” kata Antonum setelah Alnord memberikan jubahnya. Ia memasukkan lukisan ke dalam kantung lalu berjalan menuju pintu seraya menautkan kancing. Yang lain membuntuti untuk mengantar sampai pintu pagar. Antonum memanggil Wolly saat di ambang pintu. Wolly yang sedang mengejar kupu-kupu menoleh dan berlari mendekat. Ia mendengus manja, meminta Antonum yang langsung merendah dan mengelus-elus dagunya. Ia berdecak senang, melompat-lompat, dan berdiri dengan kaki belakang saja. 90
“Jaga majikanmu dengan baik, Wolly,” kata Antonum. Ia menjawabnya dengan meloncatloncat dan menggonggong lagi lalu menjulurkan lidahnya. “Terima kasih sudah datang, Antonum,” kata Ember seraya memeluk Antonum dan menepuk pelan punggungnya. “Kenapa ayah enggak diantar sama pengawal?” celetuk Alnord. Ember melepas dekapannya dan menoleh lalu tersenyum. “Ayahmu ini petinggi yang baik. Dia takkan menggunakan fasilitas kerajaan untuk urusan pribadi,” Ember beralih ke Antonum, “kau menyewanya dari Bessel bersaudara?” “Ya, aku bisa menawar dengan harga murah,” kata Antonum. “Baik.” Ember menghentikan obrolan. “Mungkin kita jangan terlalu menahan ayahmu berlama-lama, Alnord.” “Tapi aku benar-benar enggak mau Ayah pergi. Enggak bisa nginap sehari lagi?” Antonum mendesah lalu menatap Alnord tanpa menjawab pertanyaannya. Keterdiaman itu belum membuat Alnord mengerti bahwa ia pun sebenarnya ingin seperti itu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Ember, ia berpaling ke Alnord. Ia merunduk dan 91
memintanya menjaga Ember baik-baik. Ia memeluknya erat, mengusap-usap halus punggungnya, dan membisikinya. “Ayah ingatkan, jangan berhenti berharap. Tunggu sampai waktu yang tepat.” Alnord melepas pelukannya tanpa mengiyakan atau menolak. Lalu Antonum beranjak menuju pedati. Camelion penarik pedati mengerang dan mengangkat kakinya bergantian seperti sudah pegal hanya berdiri dan tak sabar berangkat. Antonum melepas ikatan di pagar lalu melompat naik ke tempat kusir. Ia mengentakkan tali kekang dan beranjak menuju jalan utama desa Elberg. Sebelum terlalu jauh, ia melambaikan tangannya kepada yang lain. Wolly membalas lambaian tangan itu dengan gonggongan seraya berlari di belakang pedati dan berhenti tak jauh dari pagar. Tak lama kemudian ia tak terlihat lagi. Alnord berusaha lupa akan kekecewaannya dengan mengingat pesan tadi, tetapi masih menoleh ke jalan ketika Ember merangkul dan mengajaknya masuk. Setelah membantu Ember membereskan meja sebentar, ia keluar menggembala camelion. Selain karena tak ingin berlama-lama di rumah, ia juga tak sabar berce92
rita tentang yang ia terima semalam kepada Dardyl. Dardy berteriak memanggil dari jauh saat Alnord membuka pintu. Ternyata ia sudah bermain dengan kawanan rabbipof dan Wolly yang berlarian. Alnord menyahutnya dan setengah berlari menuju kandang camelion untuk melepas mereka. Siulannya mengharuskan Wolly berlari ke arahnya dan menggiring semua camelion. Kawanan unggas besar itu berlari ke puncak bukit Elberg, tak sabar ingin memakan rumput segar. Alnord mendatangi kaki bukit dan menghampiri Dardyl yang kini sedang duduk di tempat biasa, di bawah pohon di tepi danau. Ia bercerita tentang hutan Soulom seperti yang diberitahukan. Ia berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan khayalannya tentang hutan Soulom. Ada beberapa hal yang ditambahkannya dan dikurangkan agar Dardyl tertarik masuk ke sana. Namun, Dardyl sepertinya berusaha menutup telinganya agar tak mendengar kata ‘hutan Soulom’. “Dan kau enggak akan nyangka yang terjadi semalam,” kata Alnord seraya merebah dan memandangi awan-awan yang berubah bentuk di langit. 93
Dardyl mulai tertarik dengan cerita itu, sekaligus lega karena cerita hutan Soulom sudah selesai. Ia mengira ada pesta setelah pesta, sayangnya salah. “Kau ingat pedang yang kuceritain?” kata Alnord lalu bangkit dan bersiul lantang mengomandokan Wolly dan camelionnya. Dardyl bergumam. “Meskipun enggak terlalu tertarik.” Ia tak sadar telah berbicara seperti itu sehingga langsung menutup mulut, berharap Alnord tak mendengar yang baru saja ia ucapkan. Alnord tak mendengar jelas dan menanyakan balik, tetapi Dardyl langsung menggeleng dan meyakinkan bahwa itu hanya racauan. “Nanti kau kukasih lihat.” Alnord juga tak terlalu ingin tahu. Ia melirik sebuah tanaman rendah dengan daun yang bergerigi. Setelah menyadari yang baru saja dilihatnya, ia bangkit dan menghampiri. Ia tahu tanaman itu. Karena bukan petani dan dilarang bermain di ladang mereka, ia tak pernah melihatnya sedekat ini. Ia memanggil Dardyl yang langsung menyambut dan menghampirinya lalu ikut memerhatikan. “Gorgan?” kata Dardyl. “Punya siapa?” “Bukan punya siapa-siapa.” Alnord merendah dan mengusap-usap daun gorgan itu. 94
“Kayaknya dia gorgan bandel yang kabur dari yang punya.” Dardyl mengernyit. “Kau pernah lihat dia lari enggak?” Alnord bertanya dengan mimik penuh ide jahil. Dardyl langsung menangkap maksudnya. “Enggak. Yang kutahu rasanya enak.” Ketika sadar arah ucapan Alnord, ia menolak tegas. “Aku enggak mau bajuku kotor.” Ia melangkah mundur bebeberapa kaki, takut Alnord menarik dan memaksanya mencabut tanaman itu. Alnord tak peduli. Ia pun menarik pangkal batang gorgan dan mencabutnya keras. Gorgan tersebut terlihat seperti wortel, dengan umbi akar seperti ubi yang bulat. Kalau diumpamakan, daunnya adalah rambut, batangnya berbentuk bonggol adalah kepala dan umbi akarnya terlihat seperti tubuh, tangan, dan kaki. Tiba-tiba sesuatu menciprati baju Alnord, membuatnya sontak melempar gorgan tersebut, tetapi terlambat. Gorgan tersebut sudah memuntahinya. Muntahan itu ungu dengan bintikbintik kuning, berlendir dan sangat menyengat. Alnord meludah-ludah karena muntahan itu tercicipinya sedikit. “Kacau! Kayak muntah asli dicampur bau kaki Paman Charlom!” umpatnya ingin muntah. 95
Setelah itu, si gorgan mengeluarkan sesuatu berbentuk seperti lidah. Tumbuhan yang tak normal tersebut seperti meledek Alnord. Ia menggali tanah sebentar dan menancapkan diri ke tanah lalu diam seperti sedia kala. Alnord bingung melihat tingkah laku gorgan tersebut, sedangkan Dardyl hanya menertawakannya yang selalu ingin tahu segala sesuatu. “Aku kan udah bilang.” Ia tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. “Bahkan dia ngeledek.” “Aku harus pulang dan kau harus ikut.” Alnord mengalihkan perhatian, berusaha menghentikan tawa Dardyl. “Aku mau kasih lihat yang kumaksud tadi.” Ia meraih tangan Dardyl dan menariknya. Dardyl tercekat, tawanya terhenti seketika. Ia terlihat berjalan dengan susah payah, sering sekali kakinya terantuk karena memang tak biasa berjalan dengan cepat. Ia mencemasi ternaknya, tetapi Alnord bilang Wolly bisa mengurus mereka. Dardyl mengeluh sepanjang jalan dan terus mengaduh. Ia meminta Alnord lebih pelan, tetapi diabaikan. Alnord langsung membuka pintu tanpa mengetuk. Setelah melepas sepatu mereka yang kotor dengan tanah, mereka masuk ke kamar. Ember sepertinya sedang si96
buk sampai tak memerhatikan mereka datang. Saat di kamar, Alnord baru melepas tangan Dardyl yang langsung menggoyang-goyangkan pergelangan tangannya agar rasa sakitnya berkurang. Alnord menyuruh Dardyl menunggu sebentar untuk mengambil satu setel pakaian lalu keluar dari kamar. Sesaat kemudian Alnord tak terlihat kotor dengan muntahan Gorgan, ia sudah menggantinya dengan pakaian bersih. “Kaukasih lihat apa?” Dardyl sudah tak sabar lagi. Alnord membuka pintu sedikit untuk mengintip posisi Ember. Setelah yakin Ember cukup jauh sehingga sulit mendengarkan pembicaraan mereka dari sana, ia menutup pintu lalu merendah dan masuk ke kolong tempat tidur. Dardyl sesaat terhenyak dan dibuat kagum keindahan ukiran pedang tersebut. Ia memandangi setiap detailnya. Alnord tersenyum puas melihatnya. “Aku yakin semua orang pasti terkagumkagum sama pedang ini,” kata Alnord. “Hebat! Dari mana kau dapat pedang ini?” Suara Dardyl melengking karena terlalu 97
bersemangat. “Ini pasti bisa motong sayur dengan cepat.” “Sudah kubilang, kau pasti akan tertarik.” Alnord duduk di pinggir tempat tidur. “Aku enggak pernah bilang aku enggak tertarik, hanya kurang tertarik.” Dardyl mengelak dengan mimik penuh tanya dan rasa ingin tahu yang meledak-ledak. Alnord memberi tahu bahwa Charlom yang memberinya, tetapi Dardyl setengah percaya. “Buat apa dia ngasih ini?” Dardyl heran. Alnord mengangkat kedua bahunya. “Enggak tahu,” katanya. “Yang dia bilang cuma karena aku suka ukirannya dan buat jagain nenek. Aku juga ngerasa aneh, kayak ada yang disembunyiin.” Dardyl bersumpah bahwa tak peduli alasannya, itu adalah benda terbaik yang pernah ia lihat. Ia berdecak-decak. Ditambah lagi setelah sinar matahari yang masuk ke kamar Alnord terpantul karena batu merah di pedang itu ke dinding kamar Alnord. Bayangannya terlihat seperti aurora merah. Dardyl menanyakan nenek tahu atau tidak setelah agak lama terkesima. Alnord menjawab bahwa nenek tak tahu dan tentu saja mengancam Dardyl agar tak memberi tahu. 98
“Pedang ini mau kauapain?” tanya Dardyl. “Mungkin cuma kusimpan,” kata Alnord. “Aku bahkan enggak berani buka sarungnya.” Tiba-tiba Ember memanggilnya dari luar dan mengetuk-ngetuk pintu. Dardyl buru-buru menyerahkan pedang itu kepada Alnord, jelas karena tak mau ditanyai atas barang yang bukan miliknya. Alnord kikuk dan langsung menaruhnya kembali di kolong tempat tidurnya. Alnord mempersilakan Ember membuka pintu. Ia berbalik, berusaha bertingkah normal, dan membisiki Dardyl untuk bersikap biasa. Pintu terbuka. Ember ingin menanyakan sesuatu, tetapi terhenti karena Dardyl tersenyum aneh dan menanyakan keadaannya. Dardyl mengelak ketika Ember mengatakan ada sesuatu yang salah di dirinya. “Mentari pagi bersinar indah, burung-burung berkicau riang dan kami sedang menikmatinya.” Ia meracau. Ember mengernyit. Alnord menyikut tangan Dardyl, menyuruhnya diam. “—em, kami lagi ngomongin rencana ngerombak kedai Paman.” Alnord berusaha menghilangkan keheranan Ember. Ia menoleh ke arah Dardyl. Dardyl mengiyakan dan mengangguk mantap. 99
“Oh, bagus kalau begitu,” kata Ember. “Sebenarnya itu yang ingin nenek tanyakan.” Alnord mengatakan bahwa mereka akan berangkat setelah memasukkan ternak ke kandang. Ember mengangguk lalu melirik sebelum menutup pintu, memastikan Dardyl tak bertingkah aneh lagi. Mereka langsung menghela napas panjang setelah daun pintu merapat dengan kusennya. Alnord mendesah lega lalu bangkit dan mencopot semua lukisan yang tergantung di dinding kamar Alnord. Dardyl menggulung semua lukisan yang sudah diturunkan. Setelah itu, Alnord mengambil tali dari dalam laci meja dan mengikat semua lukisan. Tak butuh waktu lama sampai semua lukisan tergulung rapi, Alnord mengajak Dardyl keluar dari kamar. Mereka menghampiri Ember sebentar untuk memberi tahu mereka akan berangkat ke kedai Charlom. Ember mengizinkan dan meminta mereka hati-hati. Mereka tak peduli sinar matahari yang terasa membakar mereka perlahan-lahan. Wolly menyambut mereka di depan pintu. Sudah waktunya para camelion masuk ke kandang. Lalu, Wolly berlari cepat ke kandang camelion. Api di punggungnya menyala-nyala. 100
Mereka menyusulnya dan mengernyit melihat para camelion dan rabbipof sudah masuk ke kandang. Sebenarnya mereka lebih baik dibebaskan sampai sore, tetapi Wolly akan kewalahan bila mengatur mereka sendiri tanpa pengawasan Alnord dan Dardyl. “Kau yang giring mereka, Wolly?” tanya Alnord begitu herannya sampai bertanya kepada makhluk yang tak bisa bahasa Heldon. “Kau juga yang mengunci pintu kandang?” Wolly menjulurkan lidah dan kemudian melompat-lompat seraya menyalak keras seakan mengerti maksud Alnord. Dardyl memuji dan merendahkan badan. Api di punggung wulfix kembali menjadi rambut. Selalu seperti itu bila ia tahu akan dielus. Setelah itu Wolly berlari menuju rumah, menyalaknyalak senang. Alnord menyerahkan semua gulungan kepada Dardyl, memintanya memegang semuanya sementara ia membuka pintu kandang. Semua camelion mengatupkan sayap dan melipat kaki, bermalas-malasan seraya terus mengerang karena panas. Ia mencari camelion yang biasa ditunggangi. Ia begitu kenal sehingga cepat menemukannya, camelion jantan paling besar. Namanya 101
camcam. Ia mengambil pelana dan tali kekang yang digantung di pilar kandang lalu memasangnya pada punggung camelion tunggangan. Alnord selesai melakukannya sekejap, tanpa kesulitan karena sudah terbiasa, lalu menggiringnya keluar kandang. Setelah mengunci pintu kandang kembali, ia melompat naik ke punggung camelion itu dan mengambil kembali semua gulungan agar Dardyl dapat mudah naik. Setelah Dardyl naik dan menyerahkan kembali semua gulungannya, Alnord menanyakan sudah siap atau belum. Dardyl menjawab siap dengan ragu-ragu dan setelah itu meminta Alnord pelan-pelan. Alnord tak mengangguk dan langsung mengentakkan tali kekang. Mereka melesat menuju jalan utama desa Elberg, menuju desa Barlot. Alnord dan Dardyl menyapa Egon saat mendahului pedati jeraminya. Egon telat menyadari, tetapi tetap menjawab sapaan mereka, sayangnya mereka sudah jauh di depan. “Buruburu amat,” katanya sambil berdecak kesal karena ada cerita yang belum ia beri tahukan. Mereka terus melintasi jalan yang diapit ladang gandum seluas mata memandang, berbelok ke kiri saat di pertigaan, menyeberangi jembatan, dan sampai di kedai Charlom. Mereka 102
melompat turun dan Alnord mengikat tali kekang camelion di palang tempat khusus mengikat tunggangan. Alnord menyapa Charlom seraya membuka pintu kedai. Terdengar suara benturan cukup keras. Dardyl mengaduh sambil mengusap kepalanya seolah-olah ia yang terantuk meja. Charlom muncul dari bawah meja utama, sambil mengusap kepalanya yang sakit. “Itu kesembilan kalinya dalam hari ini,” kata Charlom lalu menghampiri Alnord dan Dardyl dan menanyakan tujuan datang. Alnord memerhatikan suasana baru kedai milik Charlom: lebih bersih, lebih terang, tak ada lagi sarang laba-laba di pojok langit-langit, sedangkan Dardyl mengendus sesuatu yang enak dari balik pintu dapur lalu mendatangi arah sumber aroma tersebut. Alnord menaruh semua gulungan di meja. “Ini semua lukisanku.” Charlom baru teringat akan rencananya dan mengutuk betapa pelupanya ia. Setelah mengucapkan terima kasih, ia beranjak kembali ke meja utama, melanjutkan pekerjaannya. Namun, sesaat kemudian ia terhenti, teringat akan sesuatu lalu menghampiri Alnord lagi. Ia memberi tahu Alnord bahwa ada sesuatu yang 103
ingin ia tunjukkan lalu menarik Alnord ke depan meja utama. Itu adalah hasil karya terbaiknya, katanya. Charlom menyuruhnya mendengarkan dengan saksama. Ia menekan-nekan kakinya lalu terdengar suara decitan dari gesekan kayu. Alnord belum sadar bahwa suara tersebut dibuat Charlom dan malah menduga itu suara tikus. Ketika sadar kaki Charlom ia lihat bergerakgerak, ia menunduk. Charlom menekan-nekan lebih keras dan menanyakan pendapat Alnord. Ia menyingkir dan meminta Alnord berlutut untuk memerhatikannya lebih dekat. Kaki Charlom ternyata menekan kayu yang tak terpasang dengan baik. Saat bergesekan, kayu tersebut berdecit. Alnord menyepelekannya dan bangkit. Seharusnya ia tak menggubris dari awal. Charlom merendah dan menekan-nekan potongan kayu tersebut dengan tangannya. Ia mengaku butuh waktu dari pagi untuk membuatnya. Alnord belum juga menjawab sehingga sekali lagi Charlom menanyakan pendapat. “Em—bagus.” Alnord berbohong. “Idenya unik, lain daripada yang lain.” 104
“Aku juga nganggapnya kayak itu.” Charlom tertawa senang. “Aku suka sekali saat mendengarnya dan aku yakin para pelangganku juga suka.” Ia membuat kayu itu berdecit berkali-kali. Alnord tak dapat membendung rasa herannya sehingga menanyakan fungsi decitan itu. “Oh ayolah.” Charlom mengeluh, mengangkat kedua tangan dan berdecak. “Kau enggak bisa ngerasainnya? Suara ini bikin suasana Domz Poul terasa kuno dan antik.” Tiba-tiba pintu dapur terbuka, Dardyl keluar dengan wajah dan tangan dilumuri krim. Ia bertanya kepada Charlom kue yang baru saja dimakan masih ada atau tidak dan terus berdecak-decak mengatakan kue itu enak sekali. Bahkan ia terus mengulum jari-jari tangan sampai bersih. Lalu ia berhenti menjilati jari-jari tangan ketika sadar harus membayar semua kue yang ia makan. Charlom terlihat cemas. “Enggak se-Coppen pun, sebenarnya, Dardyl. Itu kue percobaan, lima hari yang lalu dan belum sempat kubuang.” Alnord menjulurkan lidah, memasang mimik jijik dan seperti ingin muntah, tetapi juga ingin tertawa.
105
“Benar tuh?” Dardyl tak peduli dan mengusap mulutnya. “Tapi kue ini enak banget. Maaf, Alnord, kuenya enggak kusisain buatmu.” Alnord, dengan mimik ingin-muntahnya, berkata bahwa ia tak keberatan, sedangkan Charlom heran dan cemas sehingga menanyakan jumlah kue yang Dardyl habiskan. Mungkin karena merasa telah berbuat salah, Dardyl meminta maaf tak sengaja memakan sepuluh buah. “Kau seharusnya bekerja di sini,” kata Charlom berkelakar. “Bagian pembuangan.” Alnord tertawa geli, sedangkan Dardyl sepertinya tak mengerti sehingga diam saja. Alnord teringat akan tujuan kemari dan meminta Charlom memasang lukisannya. Mereka butuh bingkai dan saat Alnord menanyakannya, Charlom ingat bahwa ia membeli cukup banyak tadi pagi dan masuk ke gudang mengambilnya. Dardyl permisi sebentar untuk cuci tangan lalu masuk ke dapur dan kembali dengan tangan bersih. Charlom berteriak meminta bantuan dari arah gudang. Terdengar suara benturan cukup keras berulang kali sehingga mereka menyusulnya sebelum terjadi sesuatu yang buruk. Sesampainya mereka di sana, Charlom 106
membagikan sebagian bingkai dan menyuruh mereka bawa ke depan. Ketika mereka sibuk memasang bingkai, ada yang masuk ke kedai sehingga mereka berhenti sejenak. Ternyata yang berkunjung adalah makhluk kecil tua dan keriput, bertelinga panjang, dan memakai jubah berlambang kerajaan Ablahar di dadanya. Kacamata yang menegaskan ketidakacuhan mereka membuat semua orang yang melihat mereka di jalan akan langsung mengenali. Mereka adalah pemungut upeti atau yang biasa disebut Tollar. Charlom menyuruh Alnord dan Dardyl diam di tempat lalu menghampiri para Tollar. “Charlom Coalin Bordom?” Salah satu memastikan mereka tak salah orang. Suaranya terdengar sengau berserak. Benar-benar tak nyaman didengar. Charlom mengiyakan, tetapi dengan kesal menanyakan tujuan mereka datang. Ia yakin telah membayar upeti bulan ini. “Setiap orang dianggap telah mengetahui setiap putusan yang dibuat,” kata salah satu Tollar. “Menurut Putusan Raja Ihtizar nomor 53 tahun 579, upeti dinaikkan dua kali lipat sehingga toko dan Anda sendiri berutang seba107
nyak“ Tollar itu mengulur perkamennya dan mengecek data “—dua Goldon tiga Argum.” Charlom tersentak dan menyerukan ketidaksetujuan. “Itu sekitar seperempat harga pedati kayu jati!” “Putusan Raja Ihtizar tak dapat diganggu gugat,” kata Tollar itu, singkat seakan-akan tak ingin membuang waktu. Waktu adalah emas bagi mereka dan syarat pemungutan upeti melarang emas yang dipakai lebih besar daripada emas yang didapat. Charlom berbalik, mengambil kunci di laci meja utama, membuka lemari, menarik laci di dalam lemari itu, mengorek bagian terdalam dari laci, dan mengambil dua koin emas dalam kantung terikat kuat yang ada di dalamnya. Setelah mengembalikannya, ia mengambil tiga koin perak itu dalam kotak dalam laci meja paling bawah. Repot dan berisik sekali. “Ini benar-benar kelewatan.” Charlom mengeluh dan mengumpat. “Upeti cuma ditagih, tapi kurang kelihatan perbaikan yang nyata, bikin kecewa, bukan tipe pe—.” Charlom menghentikan kalimatnya. Ia bisa dikenai tuntutan bila tertangkap menghina raja. Setelah itu dengan wajah cemberut, ia memberikan koin-koinnya. Tollar tersebut berbalik 108
tanpa mengucapkan terima kasih, bahkan senyum pun tidak, lalu keluar dengan meninggalkan kesan mengesalkan semata. Alnord bertanya ada masalah atau tidak karena wajah Charlom semakin keriput seperti baju yang baru saja diperas. “Asal kau tahu ya, enggak seorang pun rela bayar upeti,” kata Charlom, tetapi sebelum omongannya memburuk, ia berhenti dan mengajak mereka lanjut. Kini mereka sibuk memasang lukisan pada bingkai dan menggantungnya di dinding. Selalu ada tawa yang menyertai. Tentu saja tawa tersebut berasal dari Dardyl yang selalu bertingkah aneh dan Charlom yang ceroboh, tetapi lucu. Mereka tak sadar waktu berputar cepat sehingga terkejut ketika selesai, ternyata hari sudah menjelang sore. Mereka harus pulang. “Makasih, Alnord. Dua makasih untukmu, Dardyl,” kata Charlom. Alnord tertawa mendengarnya. Dardyl hanya celingukan. Seraya membuka pintu, Dardyl mengatakan ingin sering datang, sedangkan Alnord mengucapkan harapan agar usaha mereka membuat kedai itu ramai. Charlom mengiyakan. Alnord melepas ikatan camelionnya dan melompat naik ke punggung unggas besar itu lalu 109
menyodorkan tangannya untuk membantu Dardyl naik. Setelah Dardyl berkata siap dengan posisinya, Alnord mengentakkan tali kekang dan mereka melesat pulang. Charlom masuk kembali setelah bayangan mereka menghilang. Ketika berada di ladang gandum yang sudah dipanen, mereka berhenti. Hutan Soulom terlihat tak jauh dari sana. Menurutnya, hutan dalam mimpinya adalah hutan Soulom sehingga ia ingin mengecek pendapatnya benar atau tidak. Dardyl heran dan menanyakan alasan mereka berhenti, tetapi Alnord diam dan terus memandangi hutan Soulom, membayangkan isi hutan luas tersebut. Lalu tiba-tiba mereka berbelok dan melesat menuju hutan itu. Dardyl tersentak dan terkejut. “Jangan bilang kita ke hutan Soulom, ALNORD!” Dardyl mengguncang kuat tubuh Alnord. “Ya, aku enggak akan bilang!” Alnord menjawabnya sambil tertawa. “Seharusnya aku enggak tanya itu.” Dardyl mengeluh sambil terpejam erat-erat. Mereka terus menanjaki kaki gunung yang landai dan berhenti tak lama kemudian ketika berada di depan pohon terluar dari hutan. “Kita udah mati ya?” Dardyl membuka mata pelan-pelan. 110
“Selamat datang di hutan.” Alnord membiarkan tali kekangnya agar camelion berjalan pelan. Alnord cermat memerhatikan pemandangan di dalam hutan dengan ketertarikan tinggi, sedangkan Dardyl enggan memandanginya dengan ketakutan yang melebihi rata-rata anak seusianya. Dardyl meyakinkan Alnord berkali-kali bahwa hari sudah sore sehingga mereka harus pulang cepat kalau tak mau dimarahi. Namun, Alnord tak menghiraukannya dan mereka terus memasuki hutan lebih dalam. Hutan Soulom sangat menakjubkan. Pohonpohon tinggi dan lebar, dengan dedauan lebat. Akar-akar tanaman merambat, ada yang menggantung di udara. Suara-suara kumbang dan kicauan burung di sore hari terdengar sangat merdu. Angin pun berembus, menggesek dedaunan. Paduan itu seperti musik alam. Sinar matahari kemerahan yang menerobos lebatnya dedaunan dan berpadu dengan bayangan terlihat sangat indah. Bau lembap dari dedaunan yang berjatuhan dan lumut serta jamur yang tumbuh di batang mati tercium kuat. Terkadang terlihat beberapa hewan melompati pohon dan bersembunyi karena melihat mereka berdua. 111
Ada juga yang mendekati mereka, tetapi urung karena mendengar suara tapak kaki camelion yang menginjak daun-daun lapuk di tanah. Alnord tak henti-hentinya mengucap kekagumannya, sedangkan Dardyl tak putus asa mengajak pulang. Alnord berusaha meyakinkan Dardyl bahwa pemandangan indah itu tak boleh dilewatkan. Namun, Dardyl juga meyakinkan Alnord bahwa pemandangan kamarnya jauh lebih indah dan nyaman. Kaki besar camelion terus membawa mereka memasuki hutan lebih dalam. Sang camelion sama sekali tak terusik seolah-olah menganggap hutan Soulom adalah rumah sendiri. Alnord terus memandangi semua pohon, hewan, serangga, burung, dan segala yang ada di sana seakan tak pernah melihat semua itu. Dari matanya terpancar keingintahuan yang lebih kuat daripada rasa takutnya. Ia sama sekali tak peduli dengan omongan orang tentang bahaya hutan Soulom. Ia tak percaya akan hal itu. Mungkin saja, pikirnya, orang-orang yang hilang tersebut tak ingin meninggalkan keindahan hutan ini dan menjalankan sisa hidupnya bersama alam. Dardyl terlihat selalu bergemetar dan berteriak saat semak-semak bergerak karena terembus 112
angin atau bahkan suara daun yang bergesekan karena lompatan monyet. Semakin mereka masuk ke dalam, semakin erat cengkeraman tangannya pada bahu Alnord. Ia mengeluh seolah tak bisa memakan setumpuk besar kue lagi. Mereka terus melewati batang-batang yang melintang di tanah dan menerobos akar-akar yang menggantung. Sampai akhirnya cahaya yang masuk ke dalam hutan mulai meredup. Dardyl memperingatkan bahwa malam akan datang dan terus menarik baju Alnord. Ia bersyukur ketika Alnord setuju mereka harus pulang dan menarik satu sisi dari tali kekang agar camelion berputar. Namun, sang camelion seperti enggan menurut. Ia mengerang. Kepakan sayapnya hampir menjatuhkan Dardyl. Tentu saja itu membuat Alnord bingung dan berusaha menenangkannya. Dardyl panik dan mulai mengesalkan dengan tanpa henti menanyakan yang terjadi pada camelion itu dan menyuruh Alnord bertindak cepat karena perutnya sudah keroncongan. Yang membuatnya panik jadi tak jelas, erangan camelion atau rasa laparnya. Alnord tak menjawab, tetapi saat merasa Dardyl berisik, ia menggertak, menaruh jari te113
lunjuk di depan bibirnya, dan berdesis. Bukan hanya karena itu, ia juga sedang terpusat pada sesuatu. Ia merasa suasana di sekeliling berubah, seperti ada yang memerhatikan dan ingin mencelakai mereka. Ia berusaha mendengarkan setiap suara dan terus mewaspadai arah sumbernya. Seperti ada suara selain derikan serangga ataupun suara hewan lainnya, yaitu suara gemerisik semak karena ada yang melintasinya. Detakan jantung Dardyl bahkan bisa Alnord rasakan. Dardyl menanyakan hal yang Alnord curigai, tetapi tak digubris. Alnord mengentakkan tali kekang dan Camcam melangkah ke arah mereka masuk tadi, tetapi sesuatu bergerak ke arah mereka. Alnord menarik Dardyl secara tiba-tiba dan menjatuhkan diri ke tanah. Dardyl mengerang kesakitan sambil memegangi lengan atasnya yang memar dan mengutuk Alnord. Ia tercekat ketika sebuah ranting melesat ke arah mereka, tetapi meleset dan menancap di tanah. Camcam merasa terancam, mengerang, mengepakkan sayapnya, dan berlari masuk ke tengah hutan. Alnord meneriaki Camcam untuk kembali, sayang sekali ia tak mengajak Wolly, satu-satunya makhluk yang dituruti. Camelion itu tetap pergi. 114
Dardyl tiba-tiba berteriak, memperingatkan Alnord untuk menghindar. Alnord melompat, melengos dari sepuluh ranting yang melesat ke arahnya. Kini tak ada lagi suara hewan-hewan yang terdengar, semuanya mendadak sunyi. Hanya terdengar suara gesekan cabang pohon dan daun, bukan karena angin atau hewan yang melompati pohon-pohon. Semua pohon itu menggerakkan cabang mereka sendiri. Setiap batangnya ditujukan ke mereka, seperti kumpulan prajurit yang mengarahkan senapan pada musuhnya. Setelah menyadari akan diserang, mata mereka terbelalak dan berteriak, pupil mereka menyempit. Alnord berteriak, menyuruh Dardyl lari meskipun tidak perlu. Suara desingan kini memenuhi hutan ditambah dengan suara daun yang sobek. Ratusan ranting runcing melesat cepat ke arah mereka setiap saat. Rantingranting tersebut menancap tanah, hanya meleset tiga inci di belakang mereka setiap kali mereka melangkah seakan-akan mengejar mereka. Alnord terus berlari dan melompati batang yang menghalangi jalan mereka, tak peduli akan katak pohon yang meloncat ke kepalanya dan mengeluarkan suara seperti dengkuran Char115
lom. Yang mengherankannya adalah Dardyl dapat berlari lebih kencang. Alnord berteriak meminta Dardyl menunggunya, seraya melompati batang yang cukup besar. Ranting-ranting terus melesat di belakang mereka, tetapi tak ada satu pun yang mengenai mereka. Serbuan kini dari depan sehingga mereka menukik ke kiri. Seekor monyet terlihat sedang bergelantungan terbalik di hadapan mereka. Mereka berteriak, menyuruh monyet itu menyingkir, begitu juga monyet tersebut. Akhirnya, hewan itu memilih naik ke dahan sebelum mereka tabrak. Dardyl berbelok ke kanan lalu melompat masuk ke sebuah lubang di tanah, di bawah pohon paling besar. Tinggi pohon tersebut mencapai sekitar empat puluh meter dengan diameter yang memeluknya butuh dua puluh orang. Daunnya kecil-kecil, tetapi lebat. Di dahan besarnya tergantung ratusan akar besar. Alnord ingin menyusul Dardyl, tetapi tertahan sebuah ranting yang melesat dari kanan dan depannya sehingga harus berbelok ke kiri. Sesaat setelah ia berbelok, sebuah cabang besar mengayun dari depan ke arahnya. Sang kodok melompat dari kepala Alnord, menghindari han116
taman cabang tersebut. Alnord tak sempat menghindar, bahkan untuk terkejut dan berteriak sekalipun. Ia terhempas keras di bagian perutnya. Ini jauh lebih buruk daripada hantaman camelion. Ia terguling, untung saja tak ada ranting yang melesat ke arahnya, lalu terjerembap ke lubang yang sama dengan yang dimasuki Dardyl. Alnord mengaduh saat terperosok lebih dalam. Suaranya bergetar karena permukaan tanah lubang tersebut tak rata. Ia terentak, tersandung-sandung, badannya terjungkal ke belakang dan berputar. Kini ia menghadap ke mulut lubang dan terus menggelusur. Lubang tersebut sangat gelap hingga terpejam atau tidak pun sama gelapnya. Bau lembap dari tanah yang basah, jamur, dan kotoran hewan tanah tercium kuat di dalam sana. Lorong tersebut berbelok seperti lubang ke pusat tanah. Alnord berpikir akan masuk ke dan terjebak di dalam sana, tetapi ternyata bagian itu dangkal. Ia terhenti akibat menghantam sesuatu yang empuk. Terdengar suara jeritan yang tertahan saat Alnord menghantam benda tersebut. Dardyl memanggilnya dengan suara melengking, seperti dicekik saat sedang berbicara. Alnord tersadar dan meminta maaf lalu me117
nyingkir dari sana agar Dardyl bisa bergerak. Dardyl mengaku baik-baik saja, tetapi suaranya masih menandakan sebaliknya. “Kayaknya kita udah ada di alam lain,” kata Dardyl putus asa. Cahaya mulai tak terlihat dari mulut lubang tersebut, menandakan hari sudah malam. Suarasuara hewan malam pun mulai terdengar dari arah luar. Dardyl menanyakan mereka bisa pulang atau tidak. Giginya bergemeletuk karena suasana mendingin. Alnord hanya bisa menjawab tak tahu, setengah mendesah karena rasa sesal, tetapi langsung menarik ucapannya dan mengatakan mereka pasti pulang besok harinya karena memang merasa seperti itu. Setelah itu, tak terdengar suara. Alnord tak bisa melihat mimik Dardyl sehingga berpikir Dardyl sangat marah padanya, tetapi ia tak merasa bersalah. “Aku kedinginan,” kata Alnord seraya memeluk diri sendiri. Diperburuk lagi dengan perutnya yang masih ngilu. “Kau gimana?” Dardyl tak menjawab lagi. Alnord tahu Dardyl tak tidur karena tak mendengar suara dengkurannya. Ini semakin meyakinkan Alnord bahwa Dardyl memang marah kepadanya, tetapi ia tetap tak mengacuhkannya dan merasa itu 118
hanya dugaan asal. Bukan suara Dardyl maupun dengkurannya, melainkan suara perut laparnya yang menjawab pertanyaan Alnord. Suaranya panjang dan meliuk-liuk. Sekarang Alnord mengerti penyebab Dardyl diam. Terdengar lagi suara kriuk yang lebih panjang dan nadanya lebih berkelok-kelok. Bukan dari perut Dardyl, melainkan dari perut Alnord. Sesaat kemudian tawa mereka meledak. “Kita enggak mungkin bisa makan kumbang tanah mentah-mentah,” kata Dardyl. “Kita kan enggak bawa bubuk lada.” Alnord tak menjawabnya karena masih merasa geli dengan suara perut mereka. Dardyl kembali menanyakan mereka bisa pulang atau tidak malam ini, setidaknya besok. Alnord berdiri dan berusaha mencapai mulut lubang, tetapi tak sampai. Suasana begitu gelap sehingga ia tak bisa melihat seberapa tinggi lubang itu. Alnord menyerah dan mengakui ia tak yakin mereka bisa pulang hari ini. “Mungkin kita harus jadi orang gua buat selamanya kalau enggak ada yang nolong,” kata Dardyl. “Bodoh, enggak mungkin ada orang yang masuk ke hutan ini.” Ia meracau dan baru berhenti ketika suara gemeletuk giginya semakin lantang. Alnord menyuruhnya merapat untuk 119
berbagi panas dan meyakinkannya bahwa mereka pasti pulang hari berikutnya. Sesuatu merayapi mereka. Dardyl bergidik dan memekik. Tak hanya satu, tetapi banyak. Mereka menduga itu ular, tetapi permukaannya terlalu kasar untuk seekor ular dan terlalu keras. Mereka menendang-nendang benda itu, tetapi benda itu tetap saja bergerak, bahkan kini meliliti tubuh mereka. Mereka berusaha melepas jeratan itu, tetapi benda itu terlalu kuat. Benda-benda itu berhenti bergerak ketika mereka berdua terikat tanpa kehilangan ruang bernapas. Alnord menduka itu adalah akar pohon dan memang benar. Dardyl terengahengah ketakutan, tetapi Alnord mengatakan mereka akan baik-baik saja dan menyuruhnya tidur. Alnord teringat akan ucapan Antonum tentang hutan Soulom. Mereka tak berniat merampas kekayaan hutan, tetapi sepertinya mereka tak diterima. Ia belum paham alasan mereka diserang atau memang ada yang disembunyikan dari hutan ini dan dilindungi para pohon agar tak seorang pun mengetahuinya. Ia berusaha mencari tahu, tetapi terlalu lelah untuk berpikir lebih lama. Sesaat kemudian, tak ada lagi suara 120
mereka. Mereka terlalu lelah untuk terjaga. Mata mereka perlahan terpejam dan mereka tertidur.
121
5 Danau Nyos
Sinar matahari mulai menyusup, melewati rindangnya pohon, dan perlahan menerangi lubang tempat mereka terperosok. Alnord memicing dan menghalangi sinar dengan tangan agar tak terlalu silau. Kini ia bisa melihat Dardyl yang masih tertidur pulas. Dardyl terlentang nyaman seakan tak memedulikan tempat mereka berada sekarang. Terkadang ia mengeluarkan suara dengkuran yang aneh, seperti suara ternak, disusul dengan suara perut-laparnya, membuat Alnord ingin tertawa. Alnord ingin bergerak, tetapi posisi Dardyl yang membuat lubang itu terasa sangat sempit mematikan gerakannya. Mereka dalam posisi terjepit seperti dijejalkan ke dalam koper. Sebenarnya lubang itu cukup bila saja Dardyl tidur dalam posisi duduk. Ia tak merasa memiliki tangan kanan lagi, mati rasa. Tangannya tertindih badan Dardyl sepanjang malam. Ia menyuruh Dardyl menyingkir sedikit seraya berusaha mendorong dengan sikut kiri, bagian da122
ri tangan kirinya yang masih bisa digerakannya. Dardyl menggeliat dan itu semakin memperburuk keadaannya, bahkan sampai menendang perutnya dengan lutut. Ia merasa lebih baik tidur di kandang camelion. Karena Dardyl tak bangun juga, ia menepuk perutnya. Dardyl terbangun, merasa tidurnya terganggu, lalu tersontak kaget saat sadar sedang menindihnya. Ia memberitahunya bahwa mereka harus pulang sekarang dan Dardyl langsung tersadar sepenuhnya. Dardyl berdiri, tetapi sebelumnya Alnord menanyainya sudah tak sempoyongan atau masih. Alnord merasa lebih baik menunggunya benar-benar sadar daripada dipaksakan, tetapi jatuh menimpa. Ia meyakinkan takkan sampai seperti itu lalu bangkit perlahan-lahan sambil terus mengubah posisinya agar kakinya dapat menapak. Sayangnya, cahaya matahari sudah bergeser sehingga ia sulit melihat posisi kakinya. Ia meminta maaf setiap kali menginjak tangan Alnord. Alnord mengorbankan tubuhnya untuk ia injak, ini tentu sangat menyiksa. Ia berhasil menggapai akar-akar pohon yang mencuat dan kini berpegangan. Memanjat baginya ternyata sulit, super sulit. Setiap kali kakinya terangkat, 123
akar tempatnya bergantung tak kuat menahan tubuhnya. Ia terjatuh menimpa Alnord, semakin menyiksa. Ia meraba-raba tangannya, mencoba mencari akar untuk berpegangan sekali lagi. Setelah mendapatkan dan menariknya untuk menguji kekuatan akar itu, ia berusaha mengangkat tubuhnya sekali lagi. Kali ini keadaan ini takkan disia-siakan Alnord. Ia berusaha terlentang dan mendorong Dardyl. Ia mendengus lega. Dardyl berhasil naik. Setelah itu ylgiliran Alnord memanjat. Tubuhsedangnya, dengan kedalaman lubang yang tak begitu dalam, tak membuatnya kesulitan. Dardyl merangkak maju, memberi ruang untuknya. Mereka terus merangkak menuju mulut lubang. Suara napas mereka menggema seakan seseorang mengembuskan napas di telinga mereka. Dardyl mengaduh setiap kali tangannya tersandung kerikil yang melecetkan kulitnya. Ia merasa mereka sudah lama merangkak, tetapi kenyataannya perjalanan mereka baru mencapai sekitar sepersepuluhnya. Ia terus mengeluh sehingga beberapa kali berhenti untuk sekadar bernapas. 124
Alnord mendengus kesal, menyuruhnya diam. Ia mengingatkan Dardyl semakin cepat bergerak, semakin mereka sampai di luar. Ia juga tak sabar sampai di luar saat lubang menggelap karena cahaya matahari sudah bergeser. Udara yang semakin pengap juga membuatnya ingin menghirup udara segar di luar. Dardyl merasa tak senang diomeli seperti itu dan membela diri karena ia hanya merasa lelah. Ia terus berusaha merangkak seperti orang yang menginginkan air di padang pasir. Ketika ia mulai mengeluh lagi, Alnord mendorongnya seperti saat mereka mendorong camelion yang sedang mogok jalan. Sepuluh menit kemudian berlalu. Mereka seperti tak pindah dari posisi sebelumnya. Tubuh mereka sudah lelah. Gerakan mereka semakin lambat, bahkan lebih lambat daripada kurakura. mereka memutuskan berhenti sejenak. Tangan mereka terasa panas dan perih karena tergesek akar, tanah, dan batu. Dengan suara yang serak Alnord mengajak bergerak lagi meskipun keringat bercucuran di seluruh wajahnya. Rasa haus, lapar, dan lelah yang bercampur kesal membuatnya merasa lebih baik tinggal di dalam lubang saja. 125
Dardy berhenti tiba-tiba sehingga Alnord menabrak bokongnya dan mengaduh lalu mengelus kepalanya yang sakit terjentur tulang ekornya. Ia berbisik memberi tahu ada sesuatu yang bergerak menuju mereka. Alnord memintanya bergeser sedikit agar bisa melihat ke arah mulut lubang. Benar saja, seperti ada sesuatu yang merayap. Suara gesekan daun di tanah terdengar menggema di dalam lubang. Sesaat kemudian sesuatu yang panjang merayap masuk ke lubang menuju arah mereka berdua dan jumlahnya tak sedikit. “Ular!” Dardyl berteriak panik lalu berusaha mundur, tetapi Alnord kesulitan sehingga mereka berhimpit. Alnord menyuruhnya tenang. Ia kesakitan, berulang kali tangannya terinjak lutut Dardyl. Sesuatu yang merayap tersebut bergerak cepat menuju mereka. Mereka tergesa-gesa mundur. Dardyl berseru memanggil ayah dan ibunya. Yang mendekat itu kini berhasil mencapai mereka. Dardyl memkik takut, membayangkan tubuh mereka masuk ke dalam mulut ular. Namun, ada yang aneh dari kulit ular tersebut. Ular tersebut tak lunak, tetapi kasar dan keras. Alnord menyuruhnya tenang karena itu bukanlah ular. 126
“Apa pun namanya, aku harus teriak!” kata Dardyl, mengerang takut. Benda tersebut melilit tangan mereka dan dengan cepat menyeret mereka keluar dari lubang. Mereka menjerit, antara takut dan rasa sakit di punggung mereka yang terantuk-antuk setiap saat. Kini mereka bisa menghirup udara bebas di luar. Dardyl menganggap seseorang telah menolong mereka, sedangkan Alnord tak merasa begitu. Benda tersebut kini melilit kaki mereka dan melepas lilitannya di tangan sehingga mereka tergantung terbalik seperti kelelawar. Ternyata ular itu adalah akar gantung dari pohon yang sangat besar di atas lubang tempat mereka terperosok. Akar bergerak tersebut mengangkat mereka sampai membuat mereka ingin muntah bila melihat ke bawah. Rasa haus, lapar, dan lelah kini ditambah dengan rasa pusing karena darah mereka mengalir dan berkumpul di kepala mereka yang jadi terasa panas. Dardyl menggeliat, berusaha melepaskan diri. Sayangnya, itu percuma ia lakukan karena posisinya tak leluasa dan lilitan akar sangat kuat. Ia berteriak memohon untuk dilepaskan seraya terus menggeliat. 127
Alnord menyuruhnya diam. “Emangnya kau mau dilepas setinggi ini?” katanya. Dardyl melihat ke bawah dan mengurungkan keinginannya. Sekarang ia malah memohon untuk tetap digantung. Mukanya berlipat seperti bayi yang hendak menangis. Akar bergerak berhenti. Mereka menghadap batang pohon yang sangat besar, tetapi tak terlihat tua. Ada ruas-ruas di batang pohon tersebut yang berbentuk seperti muka orang yang sedang tidur. Dardyl bertanya mereka selamanya seperti itu atau tidak. Alnord tak menjawab dan hanya pasrah. Ia berusaha menghibur diri dengan mengatakan setidaknya di sana mereka bisa bebas bernapas. Pohon tersebut bukan yang paling tinggi, tetapi sangat rindang dan lebar. Ketinggiannya cukup membuat mereka bisa melihat puncak paling tinggi dari pegunungan Merope di sana. Terlihat juga istana Ablahar yang sangat besar dan megah. Pantulan cahaya matahari membuat istana itu terlihat bercahaya seperti bulan purnama. Mereka tergantung cukup lama. Dardyl meledek rambut Alnord yang tebal menjuntai turun. Ia mengatakan rambut Alnord seperti sapu lalu 128
tergelak. Alnord membalas, mengatakan wajah Dardyl terlihat sangat merah seperti bokong Wolly. “Ini enggak buruk-buruk amat,” kata Dardyl ketika angin mengayun-ayunkan mereka. Ia mulai tertawa lalu berhenti saat terdengar suara retakan yang cukup keras. “Apa itu?” Dardyl berbisik. Suara itu berasal dari pohon di depan mereka. Ruas batang yang menyerupai mata terpejam terbuka, memperlihatkan bola mata. Mata itu kuning bening seperti getah yang dikumpulkan dan dibentuk bulat lalu dikeringkan. Mereka berteriak, tentu saja Dardyl lebih lantang, tanpa berhenti menggeliat, berusaha lepas dari jeratan akar gantung tersebut. Pohon tersebut berteriak menyuruh mereka diam. Suaranya berasal dari ruas yang terbuka lebar di bawah matanya. Teriakan pohon tersebut membuat burung-burung berterbangan dan embusan anginnya menghempas mereka seperti angin topan yang sangat singkat dan seketika berhenti. Dardyl mengangguk dan menurut, dengan mimik datar, tercekat. Pohon itu menanyakan nama mereka dengan suara yang berat dan memekakkan telinga. Alnord memperkenalkan diri seramah mungkin, 129
tetapi sepertinya pohon tersebut tak peduli dengan jawabannya. Sang pohon juga menanyakan yang sedang mereka lakukan di hutan itu. Alnord meyakinkan bahwa mereka tak melakukan satu hal buruk pun di sana, tetapi hanya melihat keindahan hutan, tetapi pohon itu menegaskan bahwa mereka tak percaya higer yang, menurutnya, selalu berbohong. “Oh, ayolah, enggak mungkin kami bohong.” Dardyl menyahut dengan muka yang sok manis, tetapi sang pohon tak mengindahkan perkataannya. Alnord bertanya kepada sang pohon alasannya tak memercayai higer lalu diberi tahu bahwa higer selalu ingin merebut kehidupan di hutan untuk kepentingan sendiri. Ia membantah bahwa mereka tak seperti itu. Sang pohon balas membentak tak peduli karena mereka berdua tetaplah higer. Ia menyangkutpautkan kebencian sang pohon dengan orang-orang yang hilang setelah masuk hutan ini. Ia menuduh sang pohon telah melenyapkan mereka. Begitu marahnya ia sampai mengguncangkan tubuhnya. “Apa maksudmu orang-orang seperti ini?” kata sang pohon. 130
Tiba-tiba, terdengar suara akar terulur dan belasan sulur teranyam seperti telur yang berlubang-lubang tergantung di depan mereka. Ada orang di dalamnya. Seseorang menyapa mereka, orang yang berada di dalam kerangkeng sulur paling dekat dengan mereka. Orang tersebut tua dan kurus, tetapi rapi, bersih, dan sehat, tak terlihat seperti orang yang hidup di dalam hutan. Umurnya sekitar enam puluhan dengan uban menyebar di kepalanya. Alnord menanyakan lama waktu ia di sana dan orang itu menjawab dua tahun, waktu yang lama untuk tinggal di tempat setidaknyaman itu. Orang itu memperkenalkan diri. Namanya Delacock. Alnord dan Dardyl membalas. Sang pohon membiarkan mereka berbincang dan kini mereka tahu alasan Delacock ditangkap adalah karena ia berniat menebang kayu untuk dijual. Delacock balik menanyakan penyebab mereka berdua diikat seperti itu. Setelah diberi tahu, Delacock berjengit dan berbisik, takut terdengar sang pohon, memberi tahu bahwa terkadang para pohon memang terlalu senewen kepada higer. Dardyl menanyakan bagian yang menurutnya sangat penting, yaitu cara tawanan mendapatkan 131
makanan. Alnord menangguk setuju dengan pertanyaannya. Delacock mengaku sebenarnya para pohon sangat baik merawat mereka dan memberikan makanan. Bahkan ia merasa lebih bugar selama tinggal di sana. Ia mengeluarkan tiga apel dari tumpukan di bawah tubuhnya dan menawari mereka. Alnord mengangguk, Dardyl mengangguk lebih keras. Delacock melempar satu kepada Dardyl, satu untuk Alnord. Untung mereka bisa menangkapnya meski dalam posisi terbalik seperti itu. Satu lagi untuk ia sendiri. Mereka langsung melahapnya. Dalam sekejap, hanya tertinggal bagian tengahnya. Sang pohon berdeham, menyuruh mereka berhenti berbincang. Ia mengangkat sulurnya kembali. “Sampai jumpa, Nalor, Aryl!” Delacock seraya melambaikan tangan. Dardyl membalasnya dengan lemah dan menyerukan masih ada apel atau tidak. Terlambat, Delacock sudah masuk ke puncak pohon rimbun. Setelah melihat Delacock, Alnord mengakui dan mengatakan bahwa para pohon sangat baik. Maksud tak langsungnya adalah merayu sang pohon untuk melepaskan mereka. Sang pohon 132
menuduh higer memang suka sembarangan menilai tanpa mengetahui yang sebenarnya. “Bahkan kami tak pernah menyiksa higer,” kata sang pohon. Dardyl tentu saja tak setuju dan mengungkit panah ranting yang menyerang mereka hari sebelumnya. Sang pohon menyeringai seperti mengetahui pertanyaan itu akan diutarakan. “Apa ada satu pun yang mengenai kalian?” kata sang pohon. Dardyl menggeleng dan bersyukur tak ada. Sang pohon merasa menang. Ia menjelaskan itu bukanlah sebuah keberuntungan, melainkan kesengajaan. Katanya, para Archerry selalu menuntun higer masuk ke lubang di bawah akarnya. Bila malam, mereka diikat dulu dengan akarnya. Bila siang atau setelah malam berlalu, tawanan akan langsung digantung selamanya di puncaknya. Mereka berdua menahan napas, terkejut dengan kata selamanya. Diperburuk lagi dengan darah mereka yang sudah mengumpul di kepala, membuat kepala mereka berdenyut-denyut tak keruan, terasa seperti balon yang terus menerus diisi air, sebentar lagi meletus.
133
Alnord memohon. “Keluarga kami pasti lagi cemas cari-cari kami. Bisa kan kau lepasin kami sekarang?” Sulur yang mengikatnya bergerak sehingga kini ia lebih dekat dengan mata pohon tersebut. Ia meminta maaf. Sang pohon memintanya mengulang. Ia menatap mata yang sebesar kepalanya. Mata besar tersebut menatap matanya dalam-dalam dan terlihat terkejut saat melihat bentuk naga di dalam matanya. “Kau?” gumam sang pohon dengan mata terbelalak. Ia menanyakan jati dirinya yang sebenarnya. Ia tak mengerti maksudnya dan hanya menyebutkan nama panjangnya. Sang pohon menggumamkan bahwa ia merasa mengenali Alnord melalui matanya. Ia menanyakan tujuan Alnord masuk hutan. Alnord meyakinkan sekali lagi bahwa mereka hanya ingin menikmati keindahan hutan Soulom, tak lebih. Sang pohon tampak sedang mencerna perkataaan dalam otaknya yang sulit Alnord bayangkan bentuknya. Ia berdeham lalu menurunkan mereka. Dardyl mengira mereka diturunkan karena Alnord menawar-nawar. Ia begitu kagum 134
sampai mengatakan Alnord bisa saja menghentikan perang saudara. Alnord mengangkat bahunya. “Dia cuma natap mataku.” “Aku Bagnan,” kata sang pohon seraya sedikit menunduk. Suaranya terdengar lebih ramah seperti seorang tuan rumah yang menyambut tamu yang lama ditunggu. Ia memerintahkan para archerry, pohon yang menyerang mereka, memberikan jalan. Ia juga mengizinkan mereka berdua datang sesering yang mereka mau. Alnord dan Dardyl saling bertatapan, tak mengerti perubahan sikap yang cepat dari Bagnan dan alasan mereka dianggap terhormat. Bagnan menyuruh mereka berjalan ke belakangnya. Mereka memanjat akar-akar besar Bagnan dan terbelalak ketika melihat keadaan di belakangnya. Burung-burung berterbangan dari puncak pohon seperti ada yang ingin memburu mereka. Tak hanya kepakan burung yang mereka dengar, tetapi juga retakan dari seluruh pohon yang bergerak membentuk sebuah jalan setapak yang lurus. Kupu-kupu berwarna-warni berbaris menyelusuri jalan setapak tersebut seakan menuntun mereka sampai ke ujung. Mereka terus 135
memanjat sampai ke bagian belakang dan turun menuju kawanan kupu-kupu itu. Alnord berterima kasih seraya menyentuh akar Bagnan yang besar. Ia harus mendongak ketika ingin menatap sang pohon. Bagnan bergumam, dengan puncak pohon yang sedikit merendah. Ia mengangguk, membuat semua hewan-hewan di dalam puncaknya berloncatan seperti kutu kepala. Dardyl menyuruh Alnord cepat-cepat. Ia berlari mengikuti ke tempat kawanan kupu-kupu yang sedang terbang tersebut. Tak lama kemudian Alnord menyusulnya. Saat mereka berdua menelusuri jalan setapak tersebut, puncak pohon-pohon yang membentuk jalan menunduk seakan mereka berdua adalah seorang pemimpin kerajaan yang melewati rakyatnya. “Perkenalkan bagian paling indah di hutan Soulom,” kata salah satu pohon Archerry di dekat mereka. “Danau Nyos.” Mereka melihatnya ketika sudah di ujung jalan. Danau Nyos biru-kehijauan berkilauan, memantulkan cahaya matahari yang bersinar cerah di langit. Kijang dan kancil berbaris di pinggir danau meneguk airnya. Kelinci berlarian di tepinya. 136
Danau Nyos dikelilingi rumput hijau dan bunga Etna beragam warna. Mereka semua terlihat seperti menari-nari saat tertiup angin. Puncak pegunungan Merope dan istana Ablahar terlihat semakin indah bila dilihat dari sana. Puncak pegunungan semakin menakjubkan dengan langit biru nan cerah. Alnord berseru memuji betapa indah pemandangan itu. Ia berlari menuju danau Nyos sambil membuka baju lalu memasuki alam para ikan. Begitu juga dengan Dardyl. Pemandangan yang indah tersebut membuat mereka lupa segalanya. Bahkan Dardyl sudah tak kesal lagi padanya. “Aku tahu ayahku benar soal hutan ini!” kata Alnord seraya menghindari cipratan air yang dibuat Dardyl. “Apa pun yang ayahmu bilang, ini hebat!” Dardyl menyahut. Alnord menanyakan perkiraan Dardyl seberapa dalam danau ini. Dardyl malas berpikir dan menyuruhnya mengecek sendiri. Ia pun langsung menenggelamkan kepala dan melihat ke dalam air. Ia masih dapat melihat dasar tempat mereka berpijak, tetapi di sisi mereka sangat gelap. Mereka seperti berada di pinggir jurang yang sangat dalam satu kaki di samping 137
mereka. Ia langsung mengajak menepi. Mengingat tadi ia ingin berenang ke tengah membuatnya lega belum melakukannya. Pohon-pohon di sekeliling mereka bergoyang, menjatuhkan bermacam-macam buah. Para kera dan tupai mengambil buah-buahan tersebut lalu membawanya untuk mereka. Dardyl berseru senang saat mendapatkan semua buah itu dan bersumpah akan setiap hari ke sana selamanya. Satu jam kemudian mereka terlelap dalam kolam kulit buah. Para kelinci dan tupai ikut menyantap bersama mereka. Bahkan Dardyl menyuapi kelinci dan tupai buah anggur. Ia memperkenalkannya kepada Alnord, bahkan sudah menamainya, Mimbledum Mumble, dan nama panggilannya Mumbley. Kenalan barunya adalah seekor tupai lucu, coklat muda, dan memiliki jambul. Tupai itu berdecit, menyapa Alnord. Alnord balas menyapa dan mulai membiasakan diri menyebut nama panggilan tupai itu. Ia memberinya sebuah anggur dan mereka melahap anggur sampai tangkainya saja yang tertinggal. Mumbley mendekati kancing baju Alnord yang berkilauan diterpa sinar matahari. 138
Dari perilaku itu, Dardyl menyimpulkan Mumbley menyukai benda-benda yang berkilauan. Alnord setuju, tetapi tak terlalu peduli. Ia malah bertanya kepada Dardyl berniat pulang atau tidak. Dardyl langsung menolak tegas dan ia merasa berjasa telah membawa mereka ke sana. Mereka mengobrol sambil memakan buahbuahan itu sampai hanya tersisa batangnya. Dardyl mengomentari semua hewan dan membuat Alnord tertawa karena terkadang hewan-hewan itu bertingkah konyol. Sampai kesadaran mereka tersisa setengah karena kekenyangan, mereka mulai mengantuk. Akhirnya mereka tertidur. Tak lama Alnord tidur. Setetes air membangunkannya. Ia langsung terjaga, mengira hari akan hujan. Namun, yang menetes ke matanya bukan hujan, melainkan liur seekor camcam. Ia mengerjap dan memanggil Camcam hanya memastikan camelion itu memang camcam. Ia bangun sambil menggosok matanya. Pandangannya buram karena masih mengantuk. Kulit dan sisa buah sudah tak terlihat lagi. Sepertinya para kelinci dan tupai sudah membe139
reskannya atau mereka simpan untuk persediaan mereka. Alnord berseru membangunkan Dardyl, juga mengguncang-guncangkan tubuhnya. Ia mengingatkannya bahwa mereka harus pulang karena keluarga mereka pasti khawatir. Dardyl menggeliat. Ia mengerjap dan menggosok matanya. Ia malah mengatakan mereka harus pulang hanya karena sebentar lagi waktu makan malam. Ia bangkit dan terkejut melihat Camcam. Betapa girangnya ia karena tak harus berjalan kaki ke rumah. Alnord menarik tali kekang Camcam dan menggiringnya. Namun, seperti yang sudah, Camcam tak mau menuruti perintahnya. Alnord mendengus, berusaha menarik Camcam yang bergeming. Unggas besar itu malah menariknya ke arah danau Nyos. “Lepasin aja sih,” kata Dardyl. “Kayaknya dia lebih suka di sini.” Alnord menyuruhnya diam dan bantu mendorong Camcam kalau memang tak mau jalan kaki. Dardyl mengeluh dan mengejek Camcam sebagai unggas manja. Ia berdiri di belakang Alnord dan menarik sisa tali. Alnord membentak Camcam harus menurutinya dengan menarik tali kekangnya 140
kuat-kuat. Bila tali itu terlepas, mereka akan terpental. Namun, entah karena Camcam iba pada mereka atau tidak, unggas itu berderap, menghampiri mereka dan menunduk seakan minta maaf. Alnord melompat naik dan menyorongkan tangannya kepada Dardyl. Setelah Dardyl berkata siap, ia mengentakkan tali kekangnya dan Camcam mulai berjalan pelan. Ia mengucapkan permisi kepada para Archerry dan meminta mereka menunjukkan jalan menuju Bagnan. Mereka ingin berpamitan. Salah satu Archerry menjawab tak keberatan dan berseru kepada yang lain untuk membentuk jalan setapak. Ketika Alnord mengucapkan terima kasih, para Archerry merendah seperti memberikan rasa hormat dan salah satu mengatakan bahwa itu sudah menjadi tugas mereka. Dardyl lupa akan sesuatu dan menoleh ke belakang. Ia melambaikan tangan kepada Mumbley dan mengatakan akan sering menjenguknya. Mumbley melompati pohon ke pohon yang bergerak ke posisi awal dan berhenti ketika mereka sudah jauh. Ketika Camcam berhenti di depan Bagnan, Alnord melompat turun lalu mengelus akar 141
Bagnan. Bagnan pun bergerak, merasakan sentuhan Alnord. “Ada apa?” Bagnan sedikit membungkukkan batangnya—para burung berterbangan dan para monyet berloncatan. Sulit sekali bagi Alnord untuk menatap mata Bagnan karena batang Bagnan yang tinggi. “Kami hanya mau pamit,” katanya. Bagnan hanya menjawab dengan gumaman yang menggema. Ia bertanya boleh meminta sesuatu atau tidak dan Bagnan langsung bergumam mengiyakan. Ia memohon Bagnan membebaskan orangorang yang ditawan. Bagnan tentu saja heran dan menanyakan alasannya. “Mereka masih punya keluarga dan keluarga mereka pasti cemas,” kata Alnord. “Kayak kami, keluarga kami pasti lagi mikirin kami yang enggak pulang semalaman.” Dardyl menambahkan. “Dan aku yakin mereka lagi bersiap ngomelin kami.” Bagnan berpikir sesaat dan mengatakan akan mengabulkan semua kemauan Alnord. Lalu belasan sangkar dari sulur turun dari puncak Bagnan. Saat menyentuh tanah, sangkar tersebut terbuka. Orang-orang yang berada di dalamnya 142
langsung berlari keluar hutan, takut ditangkap lagi. “Hei, Alon, Dadil.” Delacock memanggil. “Makasih udah bebasin kami. Ya, walaupun aku enggak terlalu suka kebebasan. Itu berarti, aku harus cari kerja buat hidup.” Delacock mengucapkan terima kasih kepada Bagnan telah merawatnya selama dua tahun dan berharap mereka bisa bertemu kembali. Ia berloncatan seperti anak kecil. Saat sudah agak jauh, ia terlihat ingin mematahkan pohon yang masih kecil, tetapi tak jadi karena para Archerry menodongkan cabang ke arahnya. Ia langsung terbirit-birit. Alnord mendengus geli, Dardyl terbahak-bahak, sedangkan Bagnan hanya berdecak, tetapi decakannya berat dan terkekehkekeh seperti orang tua yang sedang tertawa. Dardyl menanyakan mereka bisa datang lagi lain kali atau tidak dan Bagnan mengangguk kecil. Setelah mengucapkan sampai berjumpa, Alnord mengentakkan tali kekang. Mereka menyusuri jalan yang dibentuk para Archerry, tetapi kali ini tak disertai dengan lesatan ranting tajam. Alnord memandangi pemandangan di sepanjang perjalanan mereka, sedangkan Dardyl tertidur di punggungnya. 143
“Oh, aku lupa nanya alasan dia bebasin kita,” katanya pada dirinya sendiri karena tahu Dardyl sedang tidur. Dardyl ternyata masih terjaga dan menganjurkan lebih baik lain kali saja daripada mereka harus berbalik. Ia bersender lagi pada Alnord. Itu sedikit menyulitkan Alnord mengendalikan Camcam. Alnord mengiyakan. Kini mereka sudah sampai di ujung hutan. Alnord mengentakkan tali kekangnya lebih keras sehingga Camcam berlari lebih kencang menuju desa Elberg. Mereka tak sadar sedang diperhatikan seseorang dari balik kumpulan batu besar di dekat jalan mereka keluar. Sesaat setelah mereka tak terlihat, ia memasuki hutan Soulom.
144
6 Mimpi yang Membekas
Para camelion bangkit dan mengangkat-angkat kaki saat Alnord membuka pintu kandang merasa sudah waktunya diberi makan sore. Sayangnya tidak karena Ember yang biasa melakukannya. Setelah Camcam masuk ke kandang dan Alnord menguncinya, mereka berjalan ke rumah. Dardyl masih ragu-ragu akan pulang atau tidak. Ia takut membayangkan wajah ibunya seolah yang akan memarahinya adalah seorang nenek sihir. Pikiran itu membuatnya berjalan lambat menuju rumah. Alnord mengomel agar Dardyl berjalan lebih cepat. Ia sudah siap menceritakan semuanya. Bahkan ia merasa itulah saatnya Ember tahu hutan Soulom tak seseram yang dibayangkan. Ketika Dardyl berpendapat sebaiknya mengatakan mereka dicuci otak sehingga lupa jalan pulang, Alnord mempercepat jalannya. “Iya deh yang tadi emang enggak masuk akal.” Dardyl setengah berlari menyusul Alnord. “Ka145
lau sekali bohong, kita harus terus bohong—,” Ia menghela napas panjang. “—aku siap dihukum enggak dapat makan malam.” Mereka sampai di rumah Dardyl terlebih dahulu. Alnord menyuruhnya masuk, tetapi Dardyl memintanya menunggu di depan sebentar. Dardyl mendesah ketika membuka pintu pagar. Ia mengendap-endap seperti pencuri dan sesekali menoleh ke Alnord dengan muka meminta tolong. Alnord mengayunkan tangan, menyuruhnya terus berjalan. Kini ia berada di depan pintu. Masalah ini harus ia hadapi sendiri. Ketika menggenggam kenop pintu, tangannya bergemetar. Pintu tak tertutup rapat. Ia membukanya pelan-pelan dan hati-hati agar tak menimbulkan suara derak. Tak lama kemudian ia keluar kembali. Bahunya terangkat. Orang tuanya tak ada di rumah. Alnord merasa mereka sedang di rumahnya dan Dardyl mengeluh bahwa itu jauh lebih buruk. Mereka akan diomeli tiga orang dalam satu waktu. Semakin dekat mereka dengan pagar rumah Alnord, semakin menggelegar detakan jantung mereka. 146
“Kita akan diusir dari rumah dan tinggal di hutan Soulom selamanya!” kata Dardyl. “Aku janji enggak akan ngomong sembarangan lagi deh.” Alnord mengabaikannya. Sebuah pedati teronggok di depan pagar rumah Alnord. Charlom ada di sana juga. Ia merasa lega, menganggap Charlom pasti menjadi penengah semuanya dan mampu meredakan kemarahan neneknya. Saat itu Dardyl langsung berharap Charlom adalah paman kandungnya. “Kau sudah siap?” kata Alnord saat mereka tepat berada di depan pintu pagar. Dardyl mengangguk meskipun masih ragu. Alnord membuka pagar dan berjalan menuju pintu, sementara Dardyl mengikuti dari belakang dan berpegangan pada bajunya dengan mata terpejam seolah orang tuanya akan berubah jadi monster. Mereka menepuk-nepuk bajunya yang saat itu kotor dan lembap, penuh dengan kerak lumpur. Sangat sia-sia karena pakaian mereka tak kunjung bersih juga. Setelah merasa lebih bersih, meskipun tak begitu jauh beda, Alnord membuka pintu seraya berbisik memanggil neneknya. 147
Terdengar langkah kaki berlari ke mereka. Maureen memanggil, memastikan mereka yang datang. Lalu pintu terbanting lebar penuh paksaan, membuat mereka tercekat. Ia mendekap Dardyl, air mata lega menetes di pipinya. Ogwald menghampiri dengan wajah yang sepertiga-marah, sepertiga-khawatir, dan sisanya gembira. Charlom hanya bergumam senang melihat sudah tak ada lagi yang perlu dikhawatiri. Ember terlihat tenang, tetapi raut wajahnya begitu tegas. Ia mengatakan mereka sudah mencari ke banyak tempat bahkan berniat meminta kerajaan bantu mencari bila mereka tak kembali hari itu juga. “Masalahmu belum selesai, Alnord,” katanya. Ogwald mengajak keluarganya berpamitan dan pulang, tanpa lupa mengucapkan terima kasih. Setelah keluarga Duvius pergi, Ember mengajak Alnord ke ruang makan. Ia menunjuk satu kursi dan menyuruh Alnord duduk. Keriput di wajahnya terlihat makin banyak. Charlom diam saja, tak seperti harapan Alnord. Alnord merasa seperti seorang penjahat yang akan diselidiki. Empat mata menatap tajam ke arahnya. Rentetan pertanyaan dimulai dengan tempat ia berada semalaman. Ia agak enggan menjawab. 148
Charlom mengambil bagian dengan suara yang lebih bersahabat. Menurutnya, setidaknya Alnord harus memberitahukan tempat yang mereka datangi setelah pulang dari kedainya, tetapi ia tetap bergeming. “Mungkin dia enggak jawab karena haus,” kata Charlom “Akan kubuatin minum.” Ia beranjak ke dapur dan setelah itu terdengar suara kelontangan dan kucuran air. Ember sekali lagi minta dijelaskan. Alnord mengatakan hanya jalan-jalan tanpa menyebut tempatnya. Ia kira dirinya sudah siap, ternyata tatapan Ember membuatnya gugup. Ember bertanya lagi dengan nada setenang mungkin. Ia meminta Alnord menjelaskan dengan detail. Alnord menolak karena merasa yang penting adalah mereka pulang dengan selamat tanpa ada luka yang serius. Jawaban itu membuat Ember mengangkat alisnya, mengisyaratkan penolakan tegas. Alnord mengalah. Sebelumnya ia mendesah lalu menjawab dengan sangat panjang lebar dan cepat. Seperti seorang pendongeng yang terburu-buru mau ke kamar mandi. Ketika ia menanyakan sudah cukup jelas atau belum, Ember dan Charlom—yang kini membawa nampan berisi tiga jus labu—terhenti sejenak. 149
“Kau haus?” Charlom memberikan segelas jus labu kepada Alnord, “Ngomong sepanjang dan secepat itu pasti bikin haus.” Sisanya untuk Ember dan dirinya sendiri. Alnord berterima kasih lalu menghabiskan jus labu secepat ia menjawab pertanyaan tadi. “Kau masuk hutan?” Ember meyakinkan diri sekali lagi. Alnord mengangguk lemah dan tanpa ragu mengiyakan. Kini ia benar-benar siap menceritakan semua. “Kau tahu bahayanya?” Charlom mengingatkan. “Tetanggaku, Delacock, dia hilang selama dua tahun. Cucunya bilang dia mau masuk ke hutan saat itu. Malang benar dia, umurnya udah enam puluh tahun dan enggak ada yang tahu keadaannya sekarang.” Alnord mengelak dan ingin menjelaskan masalah Delacock. Sayangnya Ember mencegah dan mengatakan tak ada pengecualian. Rentetan berlanjut. Pertanyaan kedua adalah alasan mereka masuk ke sana. Inilah kesempatan Alnord. Ia menjelaskan yang Antonum beri tahukan kepadanya bahwa hutan Soulom tak berbahaya dan ada danau indah di sana. Melihat kini Alnord penuh lecet dan kotor, Ember tentu saja menyangkal. 150
Alnord berusaha meyakinkan sekali lagi, tetapi Ember tetap tak setuju dan menggeser kursinya, mendekati Alnord. Kedua tangannya direbahkan di meja dan tatapannya seperti mencolok mata Alnord. Ia mengulangi cerita Alnord diserang pohon Archerry dan mempertanyakan logika pendapat Alnord bahwa itu tak berbahaya. Alnord sulit menjawab bagian itu dan menjelaskan maksud para Archerry sebenarnya. Ketika ia menyebut ditawan dalam lubang, Ember semakin tak mengerti bagian yang menurut Alnord indah dan aman. Di raut mukanya tersirat pertidaksetujuan seakan cerita Alnord hanyalah kebohongan. Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, Alnord mencari tahu cara menjelaskan agar Ember tak salah paham. Ia menyerah dan memohon agar masalah ini dianggap selesai karena mereka baik-baik saja meskipun kotor. “Aku mau istirahat,” katanya. Ember melarang sebelum masalah ini selesai, membuat Alnord mendesah panjang. Sambil menyerok serat labu di gelas dengan telunjuknya, Charlom menanyakan Bagnan karena nama itu aneh menurutnya. Ember mengangguk. 151
“Dia ketua pohon di hutan Soulom,” kata Alnord. Charlom berjengit, tak menyangka pohon memiliki ketua. Ia bahkan hampir menjatuhkan gelas dari tangannya bila saja terlambat menaruhnya di meja. Alnord menjelaskan semuanya pelan-pelan. Ia juga bercerita telah bertemu dengan Delacock. Charlom terkejut senang mengetahui Delacock masih hidup. “Aku bisa menagih utangnya,” katanya. “Sepertinya hutan itu tak berbahaya.” Alnord mengangguk, menyetujui tanggapan Charlom. Ember memelototi Charlom yang sudah mengkhianatinya. Kerutan di wajahnya bertambah ketika ia menegur, membuat Charlom tercekat. Ember dengan tegas mengakhiri perbincangan dan tak peduli semua alasan. “Walaupun danaunya indah, Alnord, Dardyl, tak seorang pun boleh masuk ke hutan lagi,” katanya. “Bersihkan dirimu dan istirahat.” Sebenarnya Alnord masih ingin membela diri, tetapi terpaksa menyetujuinya karena ingin tidur. Ia melompat dari kursi dan menyeret kakinya menuju kamar mandi. Setelah itu, ia masuk ke kamarnya, langsung melompat naik ke 152
tempat tidur dan terpejam, berharap akan memimpikan danau Nyos. Besoknya, semua sudah kembali seperti semula. Seperti tak pernah ada kejadian di hutan Soulom. Alnord beranjak dari tempat tidurnya dan menyapa Ember yang tampak reda. Suara Charlom yang selalu ceria tak terdengar lagi. Ia sudah kembali ke Domz Poul rupanya. Setelah membasuh muka, Alnord duduk di ruang makan. Beberapa makanan mengepul di depannya, siap disantap. Ia mengambil piring lalu memasukkan beberapa sendok bubur kentang dan satu telur goreng. Ember menyusulnya. Sesaat muncul suasana canggung di antara mereka. Alnord berbasa-basi dengan menanyakan waktu kepergian Charlom dan Ember langsung menjawab sesaat setelah ia tidur. Hanya itu pembicaraan mereka saat sarapan. Tak ada topik yang bisa membuat mereka berdua bersama agak lama. Setelah selesai makan, Alnord pamit dan berangkat menggembala camelion. Dalam hati, Alnord mengeluhkan bahwa hidupnya setelah ini akan jadi sangat membosankan. Ia menendang kerikil untuk menghilangkan rasa kesalnya saat berjalan me153
nuju kandang camelion. Kerikil itu tertanam kuat di tanah. Ia mengaduh. Setelah kakinya tak berdenyat-denyut lagi, ia beranjak ke kandang camelion. Setelah membuka pintunya, ia menoleh ke pelana yang digantung di palang lalu mengabaikannya. Ia mengeluh karena dilarang menggunakannya lagi. Ia bergeser dari arah pintu agar tak tertabrak para camelion yang langsung berlarian sesaat setelah pintu kandang terbelalak. Mereka bergerumbul tak sabar sampai langkah kaki mereka berderu dan mengepulkan debu seakan takut tak mendapat rumput segar. Wolly langsung mengejar para camelion dan menggiringnya. Semakin besar, Wolly semakin tak memerlukan lagi isyarat dari Alnord. Ia mengalihkan pandangannya ke pohon rindang. Dardyl sedang berada di sana, melempar batu pipih ke danau. Batu tersebut melompat di permukaan danau beberapa kali sebelum tenggelam, menimbulkan riak-riak. Alnord menyusul. Ia ingin mendengar yang Ogwald dan Maureen katakan. Alnord menyapa. Dardyl membalas tanpa menoleh. Seraya mengambil batu pipih dan ikut 154
melemparkannya ke danau, Alnord mengaku ia belum puas menjelajahi danau Nyos. Dardyl diam, tak seperti biasa. Alnord tak menganggapnya terlalu serius. Ia berseru karena batunya melompat lebih jauh daripada batu Dardyl dan memberi tahu ia benar-benar ingin mencari tahu alasan mereka diperlakukan istimewa sehingga bebas dengan mudah. Dardyl tetap bergeming. Sekarang ia berhenti melempar batu dan berjalan menuju bukit, menghampiri semua ternaknya. Alnord menjatuhkan semua batu dari tangan dan menyusul Dardyl yang melangkah cepat seolah tak peduli ada ia di belakang. Ketika tetap tak diacuhkan, ia menyambar tangan Dardyl. “Kau kenapa sih?” katanya. “Berhenti ngomongin hutan Soulom!” kata Dardyl. Dardyl tak pernah marah kepadanya sehingga ini sangat mengejutkannya. Ia mengungkit perkataan Dardyl yang mengaku suka hutan Soulom, semua buah-buahan, dan sumpah bersedia tinggal di sana selamanya. Ia juga menyebutkan Mumbley. Wajah Dardyl memerah seperti buah tomat besar karena ia menahan amarah. Ia memekik dan mengungkit pertanyaan Alnord tentang 155
yang diucapkan ibunya hari sebelumnya. “Aku bilang aku senang-senang aja masuk ke sana, tapi dia tahu kau yang maksa aku masuk!” Alnord mengernyit dan menanyakan penyebab Dardyl marah. “Memang kenapa kalau ibumu tahu?” Suaranya meninggi. “Nenekku tahu dan dia udah nganggap masalah ini selesai.” Dardyl menghela napas dan mengaku dilarang berteman lagi dengannya. Alnord mengernyit, menganggap itu suatu hal yang aneh. “Kita enggak akan saling nyapa lagi?” kata Alnord. Dardyl mendesah. “Mungkin cuma di depan rumahku.” “Kau enggak akan pernah main ke rumahku lagi?” “Susah kayaknya, nenekmu pintar memasak,” kata Dardyl. “Tapi ibu pasti ngelarangku dan aku malas bohong.” “Jadi waktu aku manggil, kau pura-pura enggak dengar dan langsung melengos?” “Enggak seburuk itu,” kata Dardyl. “Ibu cuma ngelarangku pergi sama kau lagi jadi batas mainku ya cuma sekitar rumah.” Alnord mencibir. “Kau cuma takut enggak bisa bermanja-manja lagi di pangkuan ibumu 156
dan ibumu takut enggak bisa lagi nyuapin sup tomat ke anaknya yang lucu dan menggemaskan.” Kening Dardyl berkerut. “Ini kan salahmu juga.” Alnord tak terima disalahkan. “Nenek emang ngelarang masuk hutan Soulom lagi, tapi enggak ngurung aku kayak camelion. Jangan-jangan nanti kau punya sayap dan paruh!” Telinga Dardyl memerah. “Kau enggak pernah mikirin selain yang mau kau tahu ya?” Dardyl terdiam sebentar, tetapi amarahnya terlalu besar untuk dipendam. “Kau selalu nganggap pikiranmu selalu benar. Aku bilang kita harus pulang, tapi kau pura-pura enggak dengar. Kau terlalu mentingin diri sendiri. Tadinya kupikir ibuku kelewatan dan ayah sepikiran denganku, tapi sekarang aku pikir ibuku benar.” Dardyl membentak seraya menunjuk-nunjuk wajah Alnord lalu berpaling dan memanggil seluruh rabbipofnya. Mereka beranjak menuju kandang. Alnord bangkit dan berteriak, “Aku enggak butuh teman kayak kau kok!” Kata-kata selantang itu pun tidak membuat Dardyl menoleh, balas menghina pun tidak. 157
Setelah makan malam, Alnord langsung merebah di tempat tidur. Ia berusaha melupakan semuanya dan terpejam. Pikirannya memudar. Ia tak lagi berpikir. Semuanya hitam di matanya yang tertutup. Tak lama setelah terpejam, ia bangun. Perlahan penglihatannya menguat dan siluet-siluet menjadi nyata. Ia tersentak saat menyadari dirinya tak berada di kamarnya, tetapi di dalam sebuah hutan yang gelap dan mengerikan. Ini hanya mimpi, benaknya seraya mencubit pipi sendiri. Ia mengaduh. Ini semakin menakutkannya. Aku enggak punya penyakit tidur jalan, pikirnya, saat melewati pohon-pohon dan ia bersembunyi ketika semak-semak terlihat bergerak, waspada bila sesuatu muncul. Suara teriakan seperti suara seseorang yang sedang disiksa mengejutkannya. Ia mencari sumber suara tersebut dan merasa lega saat tahu suara tersebut berasal dari seekor burung. Kini ia bersender di batang pohon. Saat melihat daunnya, ia mendesah seraya melempar jauhjauh daun itu. Daun itu lebih mirip tangan berkeropeng daripada daun layu. Ia melirik ke dahan pohon itu dan tersadar daun itu berasal 158
dari sana. Pohon aneh. Daun aneh. Semuanya aneh, gerutunya dalam hati. Ketika memandang langit, ia baru sadar bahwa ini adalah mimpi yang mengganggunya beberapa minggu lalu. Ia berpikir ia bermimpi buruk itu karena tak menuruti Ember. Lalu, ia membatin lagi, bagaimana ia bisa berpikir dalam sebuah mimpi? Rambut kuduknya berdiri. Suasana dingin merasuk ke dalam sumsum tulangnya. Ditambah lagi ia merasa seperti sedang diawasi. Terdengar suara geraman dan perlahan terlihat cahaya berkilat seperti mata kucing dari balik semaksemak. Jumlahnya sangat banyak. Ia kewalahan saat menghitungnya. Ia berlari. Makhluk-makhluk yang mengawasinya tersebut melompati semak-semak dan mengejarnya. Mereka adalah segerombolan serigala yang kini menyalak karena senang mendapatkan calon makanan. Hampir semua dari mereka menyeringai, menunjukkan gigi-gigi mereka yang menyerupai pecahan keramik dan air liur mereka menetes-netes lengket serta rahang mereka yang sekuat jebakan beruang. Mereka menggeram dan mengitari Alnord dengan kaki mereka yang kekar sehingga bila mereka mencakar pipi seseorang, orang tersebut 159
akan merasakan dua akibat, tersayat dan tertinju, bahkan lehernya bisa terpelintir. Mereka semua setengah botak dengan kulit plontos yang penuh kurap. Alnord terdiam seakan kakinya terjepit akar pohon. Bila serigala itu suka menyerang karena detakan jantung, ia pasti sudah mati sekarang. Mereka mengikuti gerak-geriknya seraya terus berputar mendekat. Ketika ada jarak lengang di antara mereka, ia menyusup dan tunggang langgang. Suara kerosakan daun di tanah terdengar setiap kali ia menapak. Beberapa kali ia terantuk akar-akar yang muncul di permukaan tanah atau kakinya terseok lumpur. Ia berbelok tak tentu arah bahkan tak sanggup menoleh ke belakang. Akan tetapi, setelah itu ternyata kawanan serigala itu menghilang. Ia berhenti, membanting penglihatannya ke segala arah, dan memperuncing pendengarannya untuk menangkap gerakan sekecil mungkin. Matanya tak berguna di alam segelap ini. Ia tak bisa mengelak lagi. Napasnya mulai sesak seakan paru-parunya adalah balon yang terus dipompa hingga hampir meledak. Kawanan serigala itu mengelilinginya. Ia berputar memandang semua serigala hitam tersebut dengan perasaan antara waspada dan takut. Semua 160
serigala hitam tersebut menggeram ke arahnya dengan tatapan tajam seakan Alnord adalah ayam hutan. “Anjing baik.” Alnord berusaha merayu, seraya membungkuk dan mengambil cabang yang tergeletak. Lalu, ia menggoyang-goyangkannya seolah sedang bermain dengan Wolly. Tiba-tiba seseekor dari mereka melompat ke arah Alnord dengan rahang terbuka, menampilkan pecahan keramik yang siap mengoyak daging mangsanya. Liurnya menetes. Alnord refleks menebas cabang tersebut ke arah serigala hitam tersebut. Serigala itu terlempar dan meringkih kesakitan. Alnord mendesah, merasa sakit di tangannya. Serigala hitam tersebut sempat mencakarnya. Ada goresan di tangannya yang mengeluarkan darah. Semuanya menyeringai dan menggeram ke arahnya. Kaki belakang mereka menekuk. Mereka siap melompat dan mencicipi Alnord. Ia terpejam, tak sanggup melihat kematiannya berada di tangan hewan buas. Semuanya melompat dengan kelima cakarnya yang berkilau dan dengan rahang yang bisa mematahkan tangan dan kakinya dengan cepat. Ia sontak memanggil Ember seperti anak kecil yang butuh usapan tangan orang tua setelah 161
bermimpi buruk. Mimpi buruknya selesai. Tubuhnya basah penuh keringat, napasnya terengah-engah, dan wajahnya pucat. Ia melihat sekelilingnya, suasananya berubah menjadi kamarnya kembali. Kunang-kunang dalam lentera menyala kembali. Tak lama kemudian Ember datang tergopohgopoh. Ia memastikan dan menawarkan diri mengambil minum, tetapi Alnord menolak dan mengatakan ia baik-baik saja. “Aku cuma perlu istirahat,” katanya. Ember bantu menyelimuti dan menunggunya terpejam. Setelah yakin Alnord tertidur, ia keluar. Alnord mengeluhkan malam itu yang terasa panas sehingga mengubah posisi dan menyibakkan selimut. Ia mendesah saat selimutnya menyentuh tangan kanannya. “Oh, enggak mungkin.” Ia mendesis, merasa aneh, takut, saat melihat di tangannya, ada sebuah luka. Setelah bangun, Alnord melihat tangannya sekali lagi, memastikan mimpi itu hanyalah sebuah mimpi. Ternyata tidak. Ada goresan dan darah mengering di tangannya. Ia juga ingat membersihkan luka itu sebelum kembali tidur. 162
Matahari sudah menyorot terang, menandakan ia terlambat bangun. Ia melompat dari tempat tidur dan beranjak menuju kamar mandi. Ia berusaha menganggap mimpinya hanyalah mimpi, tetapi pikirannya menolak. Alnord mendesah ketika keluar dari kamar mandi. Tangannya terasa perih terbasuh air, ia berusaha menyembunyikannya dari Ember yang menanyakan keadaannya. Ia merasa neneknya akan berpikir ia terluka karena masuk hutan Soulom. Ia menggeleng, menyatakan baik-baik saja lalu menggeser kursi makan dan duduk memandang makanan di meja. Perutnya berkecamuk karena kemarin ia hanya makan sekali. “Cepat makan, atau kau akan dimakan Wolly karena terlalu kurus,” kata Ember menyusulnya di meja makan. Saat mereka sarapan, Alnord masih berpikir tentang mimpinya semalam. Matanya kosong setiap kali ia memasukkan sesuap demi sesuap makanan ke mulut. Ember mulai merasa janggal dengan keterdiaman itu. “Kau punya masalah?” Ember membuka percakapan, seraya mengaduk bubur jagung. Alnord tersentak dan menoleh. 163
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Ember menatapnya. “Kau bisa bercerita pada nenek kalau mau.” Sebenarnya Alnord ingin bercerita, tetapi urung karena takut akan secara tak sengaja memberi tahu Ember bahwa ia datang lagi ke hutan Soulom kemarin. Ia ternganga sejenak, seraya berpikir kata-kata yang tepat untuk menceritakannya. “Pernah enggak nenek mimpi, tapi terasa nyata banget?” kata Alnord. Ember termenung sesaat. Ia tampak sedang menelaah ingatannya seperti mencari jarum yang ia simpan dalam tumpukan jerami. Hanya saja jarum tersebut berada di puncak tumpukan jerami tersebut. Ia cepat menemukannya karena kenangan itu sangat berkesan baginya. Matanya mendelik dan bibirnya tersenyum. Ia tertawa kecil, tersipu-sipu. “Nenek pernah mengalaminya dan takkan dapat lupa akan mimpi itu,” katanya. Alnord menaruh sendoknya dan mengalihkan perhatian ke cerita Ember, menanyakan lanjutannya. “Saat masih seusiamu, nenek pernah memimpikan seorang pria,” kata Ember. “Seseorang yang tampan, baik, cerdas, penuh 164
wibawa, layaknya seorang pangeran.” Ia tertawa malu. “Belasan tahun kemudian, dia adalah orang yang menjadi kakekmu, Toba Bordom.” Alnord menggeleng. “Bukan itu yang kumaksud, bukan mimpi yang jadi nyata, tapi mimpi yang benar-benar nyata. Mimpi yang bikin nenek merasa benar-benar lagi ada di mimpi itu.” Ember mengernyit, keningnya berkerut. “Nenek tak mengerti maksudmu. Apa ini berhubungan dengan mimpimu semalam?” tanya Ember seraya memasukkan satu sendok lagi. Alnord menceritakan semua kejadian dalam mimpinya. “Ingat aja udah bikin takut,” katanya. “Tapi itu hanya mimpi biasa,” kata Ember. “Itu hanya karena kau pernah bermain di hutan Soulom lalu terbawa mimpi.” “Itu bukan cuma mimpi. Tadinya aku juga mikir kayak gitu. Tapi aku bisa rasain kengeriannya, aku merasa sakit waktu cubit tanganku, aku bahkan kedinginan.” Alnord mengelak dengan suara melengking. “Dan aku dapat bekas luka cakaran waktu bangun.” Ember sempat terkejut saat Alnord menunjukkan bekas luka kepadanya. Namun, ia berpikir logis. 165
“Mungkin saat tidur, kau tak sadar bergerak dan tanganmu tergores,” katanya. “Bisa saja itu terkena pinggiran tempat tidur? Kau ingat? Saat kau kecil, kau sering bermimpi sedang ke kamar mandi atau sedang bermain air di sungai dan saat bangun tempat tidurmu basah karena ompolan atau saat tidur kau tersentak karena bermimpi jatuh ke jurang. Itu semua hanya kebetulan. Mimpi burukmu hanya mimpi. Tak ada arti apa-apa. Lupakan semua dan habiskan makananmu.”
166
7 Bulan Berkabut
Alnord merasa ucapan neneknya benar juga. Satu masalah sudah selesai, tetapi belum untuk masalahnya dengan Dardyl. Ini membuatnya bingung akan bercerita atau tidak. “Apa kalian berdua ada masalah?” Ember tiba-tiba bertanya. Alnord mengernyit. “Kau dan Dardyl,” kata Ember seakan dapat membaca pikiran Alnord. “Kalian terlihat tak bermain bersama lagi akhir-akhir ini,” “Sebenarnya itu juga yang mau aku omongin,” kata Alnord terbata-bata. Ember memastikan sekali lagi. Alnord mengangguk. “Apa masalahnya?” Alnord menjelaskan masalahnya meskipun awalnya takut Ember mengungkit kesalahannya. Ember hanya berdeham. Ia menarik napas panjang lalu menaruh sendok di bibir mangkuk lalu memegang tangan Alnord dan melirik naga yang ada di dalam mata Alnord dalam-dalam. “Menurutmu siapa yang salah?” tanya Ember.
167
“Tentu saja dia,” kata Alnord, kesal dan menarik tangannya. “Dia bikin aku kesal lebih dulu.” “Lalu, menurutmu, menurut Dardyl siapa yang salah?” Alnord tersentak. “Aku,” katanya lemah. “Jarang orang menyadari kesalahan mereka sendiri,” kata Ember. “Kalian berdua menyalahkan satu sama lain. Ini takkan berakhir kalau salah satu dari kalian tak ada yang mengalah.” Alnord menangkap kebenaran dari yang dikatakannya. “Terus, aku harus ngapain?” “Apa yang harus dilakukan bila seseorang telah menyakiti perasaan orang lain?” tanya Ember. “Minta maaf?” kata Alnord lemah. “Tapi, Nek. Aku kan enggak salah.” “Baiklah kalau kau tak menganggap dirimu salah. Tapi apa salahnya mengalah dan meminta maaf untuk memperbaiki persahabatan bahkan walaupun kau tak salah?” kata Ember. Ia mengeratkan genggamannya. “Kau akan menyadari betapa sulitnya meminta maaf sehingga kau berusaha tak melakukan kesalahan lain. Dan setelah tahu sulitnya meminta maaf, kau menyadari betapa mulianya memaafkan.” 168
Alnord mengangguk dan sedikit tersenyum. Ember membalasnya dengan senyuman yang menyenangkan dan menenangkannya. “Ya, dia satu-satunya yang menganggapku sahabat di desa ini,” kata Alnord. Setelah itu, mereka membahas camelion yang siap potong, kecuali Camcam tentunya. Alnord diizinkan untuk memeliharanya. Ember menanyakan alasan Alnord tak pernah memainkan suling pemberiannya dan memakai baju hangatnya. Alnord hanya menjawab dengan tersedak. Sehabis sarapan dan membantu Ember membereskan meja makan, ia pamit untuk menggembala camelion. Wolly menyalak bersemangat ketika ia membuka pintu. Wulfix kecil itu berlarian dan mendahuluinya berlari menuju kandang. Ia berusaha menyusul, melewati kediaman keluarga Duvius. Ia melirik rumah Dardyl saat lewat dan berharap bisa berbaikan. Ketika sampai di bukit tempat ia biasanya menggembalakan camelion, ia memandang hutan Soulom. Dengan kejadian kemarin, ia mungkin takkan kembali ke hutan itu walaupun sebenarnya ingin sekali. Ia menggembala camelion sendiri. Dardyl yang biasa menggembalakan rabbipof di dekatnya kini di bukit kecil sebelah. 169
Tanah keluarga Duvius memang luas. Mereka adalah keluarga terkaya di desa Elberg. Dardyl bermain bersama rabbipof. Alnord mengabaikan Wolly yang terus mengajaknya berlarian bersama camelion untuk memandangi Dardyl. Saat Dardyl meliriknya, ia membuang muka. Begitu juga dengan Dardyl. Untuk melupakan kekesalannya, ia terpaksa bergabung dengan Wolly, berlarian bersama camelion. Setelah agak siang, mereka turun ke danau untuk minum. Alnord duduk di bawah pohon rindang dan menunggu Dardyl untuk meminta maaf. Ia yakin Dardyl tak mungkin membiarkan ternaknya kehausan hanya demi menghindarinya. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara decakan rabbipof. Alnord bangkit menghampiri Dardyl. Alnord menyapanya, tetapi Dardyl tak menjawab. “Rabbipofmu terlihat lebih gendut-emmaksudku sehat,” kata Alnord hati-hati, takut menyinggung perasaan Dardyl. “Ya, kayak aku, gendut,” kata Dardyl ketus, seraya membersihkan kakinya dengan air danau. “Em—sebenarnya, aku—,” kata Alnord. Cukup sulit baginya untuk meminta maaf. “Mung170
kin karena mereka terlalu dimanja.” Ia malah meracau. Dardyl terdiam dan menoleh ke arah Alnord. “Ya, aku gendut karena terlalu dimanja, dipangku ibuku dan disuapi.” Alnord tersentak sampai lupa yang harus ia katakan karena terlebih dahulu kesal dengan komentar Dardyl. Ia mengelak. “Sebelum kau bilang begitu atau lainnya, mending aku pulang,” jelas Dardyl lalu bersiul kencang—bercampur dengan usaha untuk menghilangkan rasa kesalnya. Semua rabbipofnya dengan patuh mengikuti. Alnord kesal karena tak diberi kesempatan. Ia menendang batu di dekatnya dan batu itu melambung jauh ke tengah danau, menimbulkan cipratan dan gelombang. “Sampai nanti!” teriak Alnord kesal dan meneruskan langkahnya menuju rumah, sedangkan Wolly mengejarnya. Wolly adalah wulfix yang sangat pintar. Ia bisa membuka pintu kandang bahkan menguncinya kembali. Alnord lupa sehingga ia yang melakukannya. Dalam perjalanan Alnord tahu penyebab ia tak diberi kesempatan berbicara. Ia terlebih dahulu melakukannya di hutan. Ia memukul kepa171
lanya sendiri berulang-ulang menyesal dan berharap ia tak pernah mengajak Dardyl masuk ke hutan. Makan siang sudah siap saat ia masuk ke rumah. Wolly dengan semangat berlari menuju dapur untuk menghabiskan makan siang secepatnya. Alnord langsung duduk di ruang makan tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. “Sepertinya kau sudah tak apa-apa.” Ember menyindir. Alnord mengernyit seraya menjulurkan tangannya untuk mengambil paha ayam. Ember memukul tangannya dan Alnord mengerti maksud Ember tadi. Ia menyeret kakinya ke tempat wastafel dan mencuci tangan, lebih tepatnya hanya membasuh. Saat ia melakukannya, Ember tetap menceramahinya tentang bagian-bagian tangan yang harus dicuci. Setelah yakin semua bagian dari tangannya bersih, setidaknya menurutnya, Alnord kembali ke meja makan dan mengambil jagung rebus secukupnya dan satu paha ayam. Ember membuka pembicaraan dengan menanyakan penyelesaian masalahnya dengan Dardyl. “Dia bahkan enggak mau dengar aku ngomong,” kata Alnord menekan-nekan garpunya 172
sehingga menimbulkan suara berdenting dari piringnya beberapa kali. Ia mencabik-cabik daging karena daging itu mengingatkannya pada rabbipof milik Dardyl lalu memasukkannya ke dalam mulut. “Mungkin lain kali, tunggu amarahnya reda dan kau bisa bicara baik-baik dengannya,” kata Ember. “Aku enggak mau ngomong sebelum dia minta maaf duluan,” kata Alnord. “Sampai kapan kalian terus begitu?” kata Ember. “Lebih dari tiga hari? Itu tak baik.” “Enggak tahu,” kata Alnord dengan mulut seperempat penuh. “Nanti aku mau ke kedai paman, aku udah punya beberapa lukisan baru.” Ia berusaha mengalihkan pembicaraan. “Habiskan dulu makananmu, baru bicara,” kata Ember. “Lukisan apa yang kau buat?” Alnord menelan makanannya lalu menjawab. “Hutan Soulom.” Ember tersentak. “Itu kan cuma lukisan.” “Tapi kau takkan pergi ke hutan Soulom lagi kan?” tanya Ember. “Emangnya apa bahayanya sih hutan Soulom itu? Aku sendiri yang udah masuk ke sana tetap baik-baik aja,” kata Alnord menutupi bagian 173
pertemuannya dengan Deimos. “Aku udah selesai.” Ia pamit dan melompat menuju kamar. Di kamar, Alnord masih memikirkan mimpinya. Ia menelaah tepian tempat tidur, mencari bagian yang tajam, tetapi setelah lama mencari tetap tak menemukan satu inci pun yang dapat melukainya. Alnord menyerah karena tak menemukan jawabannya lalu kembali ke niat awal, menurunkan semua lukisan. Tepat setelah Alnord selesai, Ember mengetuk pintu kamar. Alnord mempersilakannya membuka pintu. Pintu berayun terbuka. Ember melirik lukisan hutan yang gelap dan menyeramkan. Melirik lukisannya saja sudah membuatnya bergidik. “Katamu hutan Soulom itu indah, kenapa seperti ini?” kata Ember. Alnord yang sedang membingkai lukisan hutannya menoleh ke arah lukisan yang dimaksud. “Itu bukan hutan Soulom. Itu hutan di mimpiku,” katanya. “Kau tak perlu mengabadikan sesuatu yang menyeramkan, kan?” kata Ember seraya berusaha tak melihat lukisan itu pun meski tak sengaja. “Yang mana lukisan hutan Soulom?” Alnord memperlihatkannya pada Ember. “Ini lukisan cat minyak pertamaku. Repot enggak boleh digulung.” 174
Ember begitu terkejut saat melihat lukisan hutan Soulom. “Bagus sekali. Aku yakin lukisanmu lebih indah daripada aslinya,” kata Ember. “Yang asli jauh lebih bagus. Percaya deh, Nek,” kata Alnord. “Mungkin sekali-sekali, Nenek perlu masuk ke sana.” Ember terbelalak dan menggeleng kuat. “Tidak, tidak. Nenek takkan membiarkan serigala mengejar nenek. Kau teruskan saja lukisanmu dan jangan pernah mengajak nenek masuk ke hutan.” Alnord hanya tertawa geli melihat Ember bergidik dan lanjut membingkai lukisan. Setelah semua selesai dan rampung merapikan serpihan kertas pembungkus lukisan, ia beranjak ke luar rumah menuju kandang Camcam. Lukisannya terlebih dahulu disenderkan di dinding luar rumah yang tak terkena cahaya matahari. Wolly mendekati lukisan dengan rambut yang berapi-api, tetapi tersentak dan kabur saat Alnord menghalangi dan memelotot ke arahnya. “Hati-hati,” kata Ember. “Nek, tolong jaga. Jangan sampai Wolly membakarnya,” kata Alnord. “Aku ambil Camcam dulu.” “Nenek pasti akan memelotot lebih lebar daripada kau.” Ember terkekeh-kekeh. 175
Alnord tertawa seraya berjalan ke luar pagar dan kembali bersama Camcam tak lama kemudian. Setelah yakin lukisannya terikat kuat di belakangnya, Alnord mengentakkan tali kekangnya menuju desa Barlot. Selama perjalanan, Alnord sangat menikmati angin yang mengembus rambutnya. Musik gesekan gandum dan kicauan burung yang berterbangan di kala orang-orangan sawah menakuti mereka mengiringi. Terlebih lagi, ia tak lagi memiliki masalah. Masalah di hutan sudah ia serahkan pada para pohon Archerry yang lebih mengerti yang harus mereka lakukan. Masalahnya tentang mimpi pun sudah tak mengganggunya karena dua orang, Ember dan dirinya, telah berpendapat hal yang sama. Walaupun masalahnya dengan Dardyl belum selesai, tetapi benar kata Ember. Ia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat. Karena rasa tenangnya itu, ia tanpa sadar telah sampai di ujung jembatan menuju desa Barlot yang kini terlihat ramai, penuh dengan pedati yang terparkir pada satu titik: Domz Poul. Alnord melompat turun kemudian mengikat Camcam di palang di depan kedai Charlom. Cukup lama saat ia membuka ikatan lukisannya karena ikatannya kuat. Saat masuk, ia sulit men176
cari Charlom. Kedainya ramai sehingga suasananya menjadi lebih gelap dan padat. Ia sulit berjalan ketika menghampiri meja utama dengan lukisan di tangannya karena harus menjaganya agar tak terbentur. Orang-orang berbisikan, berbicara, dan tertawa, menyulitkannya dalam mencari Charlom melalui suara khasnya. Semua omongan serentak terdengar sehingga telinganya seketika lelah. Suara benturan keras terdengar dari arah gudang. Cukup keras sampai menggetarkan dinding dan menebarkan debu dari langit-langit (bahkan semua orang melihat ke atas sesaat, menyangka suara tersebut berasal dari loteng). Itulah suara yang khas dari Charlom, suara benturan. Alnord yakin arah sumber suara tersebut dan menujunya. “Paman enggak apaapa?” tanyanya saat mendapati Charlom sedang mengusap-usap kakinya yang tertindih peti. Tangan yang lain menutup mulutnya agar tak berteriak dan menganggu pengunjung. Alnord menyenderkan lukisannya dan menolong Charlom menggeser peti tersebut. Charlom berterima kasih sambil mendesah lega, melompat-lompat dengan kaki satu terangkat. Ia menanyakan alasan Alnord ke situ. 177
“Aku punya lukisan, enggak cuma goresan hitam putih, tapi cat minyak baru dari ayah,” kata Alnord seraya menunjuk bingkisan yang ia bawa. Charlom memekik, tetapi menutup mulut sebelum teriakannya mengganggu tamu. “Makasih banyak, Alnord. Kau udah lihat toko baruku?” “Aku enggak bisa lewat,” Alnord mengeluh seraya mengusap dahinya yang penuh keringat. “Semua berkat kau,” kata Charlom, merangkul Alnord dan mengajaknya melayani pengunjung. “Bukan,” kata Alnord. “Mereka bahkan enggak memandang lukisanku. Mereka cuma suka suasananya yang sekarang bersih dan kering, enggak lembap kayak dulu.” “Ditambah lukisanmu dan lengkaplah suasananya,” kata Charlom. “Kau ingat kue yang dimakan Dardyl? Orang-orang juga suka.” Alnord mengangkat satu alis. “Aku juga enggak nyangka sebelumnya. Aku bertanya-tanya kok Dardyl suka. Lantas, aku buat dan kudiamkan lagi selama lima hari. Setelah itu kucicipi dan rasanya memang enak,” kata Charlom seraya merangkul Alnord lagi dan mengajaknya ke dapur. “Kau mau coba?” 178
Alnord mengangguk. “Hati-hati,” Alnord memperingatkan sebelum Charlom membenturkan keningnya ke pintu. Charlom tertawa mendesah. “Nyaris.” Seseorang keluar dari dapur dengan membawa sapu, lap pel, dan ember. Orang itu sudah tua dan Alnord mengenalinya: Delacock. Alnord menyapanya dan dibalas. Delacock masih salah menyebutkan namanya. Charlom mengernyit. “Kalian udah saling kenal?” Alnord mengingatkan bahwa ia sudah menceritakannya kepada Charlom yang langsung membulatkan bibirnya dengan mata terbelalak dan alis terangkat Delacock bertanya Alnord sudah bertemu lagi dengan Bagnan atau belum. “Udah, kabar buruk,” kata Alnord lemah. “Oh, mau gimana lagi? Emang dia udah tua, enggak kuat lagi jaga hutan.” Delacock mendesah. “Permisi, aku harus terus kerja. Kau terusterusan nagih utangku,” dengusnya dan pergi mengepel lantai kedai, walau kotor lagi karena diinjak pengunjung. Charlom merangkulnya kembali dan mengajaknya ke meja utama. Ia mengaduh beberapa 179
kali karena kakinya tersandung. Sesampainya di meja utama, ia mengambil toples, memiringkannya, dan menumpahkan kue itu di piring. Alnord mencicipi satu. “Mungkin aku nanti jadi pelanggan tetap,” kata Alnord. Charlom tertawa senang. “Hm, sepertinya kau benar, hutan Soulom jadi terasa aman buatku,” kata Charlom. “Tapi aku tetap enggak mau ke sana,” katanya sebelum Alnord mengatakan ingin mengajaknya. “Tunggu sebentar.” Lalu, ia melengos menanyakan pada pelanggannyaseorang wanita yang terlihat genit, tetapi malu-malupendapatnya tentang Domz Poul. Alnord memanggilnya, membuat Charlom mengakhiri pembicaraannya pada wanita tersebut (wanita tersebut terlihat kesal pada Alnord) dan berpaling kepadanya. “Pernah enggak Paman mimpi tergores sesuatu dan waktu bangun tangan Paman luka?” tanya Alnord. Charlom mengernyit. “Jadi mimpi yang kayak bukan mimpi.” “Kayak jika kita jatuh dari tempat tidur karena mimpi jatuh ke jurang?” tanya Charlom. Alnord yang tak punya penjelasan lain mengangguk. 180
“Baru ngalamin?” Ia mendengus. “Aku sering banget, bikin kesal.” Alnord menyanggah lalu menceritakan mimpinya. Seperti Ember, Charlom tak setuju. “Kau udah ngasih tahu nenek?” tanyanya. “Nenek bilang itu kebetulan,” kata Alnord. “Atau mungkin, kau jalan sambil tidur?” “Enggak mungkin,” kata Alnord yakin. “Waktu bangun, aku tetap di tempat tidur, bukan di hutan.” “Mungkin waktu itu kau sedang gila atau apa, jadi kau mimpi yang aneh-aneh,” kata Charlom. “Karena—kayak kata nenek—kebetulan tanganmu tergores, kau nganggap mimpi itu jadi nyata.” Alnord menghela napas panjang dan berusaha mengingat kejadian sebelum bermimpi hal itu. Ia sangat marah pada Dardyl yang mengatainya menang sendiri, Ia berpikir Charlom berkata benar meskipun dengan nada asal. “Mungkin aku nganggapnya terlalu serius. Aku pulang dulu.” “Ah, kau enggak mau coba minuman terbaru Domz Poul? Gorganbeer?” Ia menghampiri meja utama, mengambil cangkir yang mengepul. “Bukan minuman yang bikin mabuk kok, cuma bikin hangat.” 181
“Kayaknya bukan waktu yang tepat deh, Paman. Ingat enggak? Musim semi?” Alnord mengangkat bahunya. “Oh, pantas enggak begitu laku. Mereka lebih suka kebalikannya, Reebnagrog,” kata Charlom. “Salam untuk nenek.” Alnord mengiyakan lalu tak lama, dengan payah juga, berhasil keluar dan menuju tempat ia mengikat Camcam. Ia melompat naik dan mengentakkan tali kekang. Mereka melaju cepat, Alnord sedang tak ingin menikmati pemandangan yang selalu ia lihat sehingga terus mengentakkan tali agar cepat sampai rumah. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk ke kamar dan membuat goresan-goresan dari pensil karbon, menggambar semua yang terlihat hari itu. Kehidupannya menjadi normal kembali: pagi hari menggembala camelion, siang hari bermain ke Domz Poul, dan sore hari menggoreskan pensil di kertas menggambar segala sesuatu yang disukainya. Setiap hari seperti itu. Sangat membosankan menurutnya, ia tak pernah lagi menemukan sesuatu yang baru seperti yang ditemukannya di hutan. Ia juga tak pernah bermimpi tentang hutan itu lagi dan sudah tak memikirkan lagi mimpi itu. Ia hanya menganggap mimpi itu adalah mimpi 182
yang secara kebetulan terasa nyata, tepat seperti kata Ember. Bahkan lukanya sudah tak berbekas lagi. Namun, ia masih merasa bersalah. Dardyl selalu membuang muka saat bertemu. Bahkan ketika ia menggiring ternaknya untuk minum, Dardyl membawa mereka ke tepi sungai, bukannya danau. Perasaan bersalah itu masih menganggunya, tetapi tertutup dengan rasa kesalnya pada Dardyl. Percekcokan mereka masih berlangsung sampai pertengahan di bulan akhir musim panas. Saat itu mereka sedang makan malam. Makan malam yang biasa, tak ada yang istimewa. Tak ada sesuatu yang baru yang bisa dibicarakan. Tak ada hal baru yang bisa Ember omeli. Yang membuat Ember mengomel hanya hal-hal yang sudah kerap terjadi. Mungkin karena itu, suasana makan malam yang biasanya hangat menjadi sangat sepi dan dingin. Sepanjang makan malam, hanya ada suara dentingan peralatan makan. Bahkan kepakan sayap kunang-kunang dalam lentera di atas mereka sampai terdengar. “Bagaimana keadaan Domz Poul?” Ember membuka pembicaraan dan pertanyaan ini adalah pembuka pembicaraan di setiap malam. “Makin ramai,” kata Alnord datar, seraya memasukkan kacang polong ke mulutnya. 183
Hanya itu pembicaraan mereka sepanjang makan malam setiap hari. Topik pembicaraan habis sama sekali saat ingin menegur Alnord mencuci tangan dulu sebelum makan, Ember melihat Alnord melakukannya sebelum diingatkan. Ia menghela napas dan berpikir terlalu mengekangnya sehingga Alnord tak memiliki hal untuk diceritakan. Hutan Soulom sudah menarik perhatian Alnord sejak ia masih kecil. Ia membayangkan banyak hal menyenangkan dalam sana dan penuh kejutan. Semakin besar, ia semakin ingin menjelajahinya. Baginya kemarin belum cukup dan ia lebih dulu dilarang. Hutan Soulom benar-benar menguasai pikirannya sekarang. Saat mencari tahu penyebab ingin sekali masuk ke hutan, Alnord menyadari jawabannya adalah seperti ada sesuatu yang memanggilnya, tetapi ia tak bisa menjelaskan bahkan kepada dirinya sendiri cara hal tersebut dapat terjadi. Setiap menggembala camelion, ia melirik hutan. Selama berjalan menuju kedai Charlom, ia menoleh ke hutan itu. Pandangannya tak lepas dari hutan hingga setiap sore, sembari melukis, ia sesekali memandangi hutan yang menurutnya menyimpan banyak rahasia tersebut. Ditambah lagi ia beberapa kali 184
bermimpi tentang hutan sehingga merasa bahwa ia masuk ke hutan itu. Ia ingin sekali bertanya kepada Bagnan ada kawanan serigala berkurap atau tidak. Akhirnya ia tak dapat menahan diri ketika pergi menuju kedai Charlom untuk menyetor lukisan dengan upah dua Argum. Ia menepuk leher Camcam, menyuruhnya berlari menuju hutan. Ia berpikir dengan mendatangi mereka langsung dan bertanya, rasa penasarannya akan menghilang. Camcam mulai berlari sembari mengerang seakan memperingatkan Alnord agar tak pergi ke hutan. Ia tak peduli, sepertinya sudah lupa akan janjinya untuk tak masuk ke sana. Tak lama kemudian, ia sampai di bagian paling luar dari hutan. Alnord terus masuk ke hutan tanpa menunggu para pohon membuatkannya jalan terlebih dahulu. Tiba-tiba puluhan ranting tajam melesat dan menancap di tanah di sekeliling mereka. Mereka berhenti. Alnord berseru, memberi tahu bahwa itu dirinya. Ia heran karena seharusnya diperbolehkan masuk ke hutan setiap waktu. Ia memandangi pohon di sekelilingnya, semua cabang dan ranting ke arahnya dan siap mele185
satkan ranting tajam. Seraya menghindar, sekali lagi Alnord mengingatkan mereka. Salah satu Archerry tersadar dan menyuruh yang lain menurunkan cabang. Ia meminta maaf dan menjelaskan bahwa mereka sedang memperketat penjagaan sehingga tak sadar yang datang adalah Alnord. Dengan napas terengah, ia menanyakan tujuan mereka memperketat penjagaan. Ia menangkap sesuatu telah terjadi dan itu buruk. Benar saja dugaannya. Archerry memberitahukan seseorang menerobos masuk ke hutan dan ia sangat berbahaya bahkan mampu menangkis semua lesatan ranting mereka dengan pedangnya. Alnord bergidik ketika diberi tahu banyak pohon yang mati terkena tebasannya. Bagnan pun terluka parah. Alnord berjengit dan meminta mereka memberikan jalan menuju Bagnan. Archerry mengingatkannya berhati-hati karena orang tersebut masih berkeliaran di hutan. Ia juga meminta Alnord memberi tahu pohon Mobilus terdekatnya bila melihat orang itu. “Penglihatan kami tak terlalu bagus,” kata Archerry itu. “Tetapi para hewan mengatakan ia memiliki bekas luka di pipi kanannya.” Alnord mengangguk. 186
Setelah para pohon Archerry bergeser membentuk jalan, Alnord menepuk pelan leher Camcam agar berlari menuju Bagnan. Ada rasa takut di dirinya, tetapi ada rasa khawatir yang jauh lebih besar yang menutupi rasa takutnya. Bahkan ia tak ingat lagi masalahnya dengan Dardyl. Jantung Alnord mencelos ketika melihat Bagnan terlihat layu, batangnya lebih pias. Banyak daun berjatuhan di sekeliling dan menguning di puncaknya. Alnord melompat turun dan memanjat akar. Ia menanyakan keadaan Bagnan seraya mengelus batangnya. Bagnan tersadar dari tidurnya. Ia menunduk sedikit untuk menatap Alnord. Lalu, ia menurunkan sulurnya untuk mengangkat Alnord ke salah satu cabangnya. “Kau seharusnya tak di sini.” Suara Bagnan serak. “Seseorang yang berbahaya sedang merencanakan sesuatu di dalam hutan ini.” Ia menatap Alnord dari matanya yang bulat besar dan kuning. “Bahkan ia tak terkena satu pun ranting para Archerry. Aku menyerangnya dengan sulurku, tetapi ia menebasku dengan pedangnya terus menerus. Aku memang sedang layu saat itu, tubuhku begitu lemah. Butuh waktu lama untuk pulih atau memang ini saatnya bagiku beristirahat.” 187
Alnord melarangnya berbicara seperti itu lagi. Bagnan terbatuk-batuk seperti seorang kakek tua dan menyuruh Alnord pulang sehingga ia bisa beristirahat. Ia mengulurkan sulur dan menurunkan Alnord. “Aku harap kau cepat sembuh,” kata Alnord seraya mengelus batang Bagnan. Saat melihat tangannya yang kini sedang menempel di batang Bagnan, ia ingat lukanya dan tersadar akan sesuatu. Lukanya sembuh karena air danau Nyos. Ia menduga para pohon juga minum air danau Nyos lalu menawarkan diri membawakan Bagnan air dalam jumlah besar untuk diminum. “Kami meminum air jauh lebih banyak daripada yang bisa kau bawakan,” kata Bagnan. “Kau takkan sanggup. Aku hanya butuh istirahat. Istirahat yang lama.” Alnord tak peduli dengan ucapan itu. Ia memutari pohon di sana, mencari sesuatu yang bisa dibuat menjadi wadah dan menemukan sebuah daun lebar dan menekuknya sehingga bentuknya menyerupai mangkuk. Ia melompat ke punggung Camcam yang berlari menuju danau Nyos. Seraya mereka melaju, para Archerry bergeser membentuk jalan dan mereka sampai di danau Nyos. 188
Tak ada kelinci yang berlarian atau kijang yang berbaris minum. Airnya terlihat sangat tenang, tak ada gelombang. Bahkan angin pun tidak berkesiur sama sekali. Alnord turun dari punggung Camcam dan berlari menuju pinggir danau. Ia merendahkan tubuhnya dan mencelupkan daun mangkuk. Namun, ia terhenti karena mendengar rintihan di bagian danau yang lain. Rintihan itu terdengar seperti berasal orang yang sedang tersiksa. Alnord berpikir mungkin saja yang menjerit tersebut diserang orang yang diceritakan. Jeritan tersebut terdengar beberapa kali. Ia bangkit dan berusaha mencari arah sumber rintihan tersebut. Tak lama kemudian ia melihat seorang dengan jubah. Orang itu tergeletak seraya terus menggeliat dan menjerit kesakitan, tak sadarkan diri. Alnord menghampiri dan memeriksanya. Wajah orang tersebut tertutup kudung. Ia membukanya dan menggerakkan kepala pria itu agar bisa melihat wajahnya. Pria itu sangat pucat seperti tak memiliki darah sama sekali. Kakinya tiba-tiba terasa sangat kaku. Ia langsung sedikit menjauhinya. Dalam mimpinya, dari balik pohon tumbang, ia melihat pria itu sebelum mimpinya berubah. Di samping itu, 189
pria itu memiliki bekas luka yang di pipi kanan. Deimos tiba-tiba membuka mata dan mencengkeram tangan Alnord. Ia meringkih, matanya terbelalak. Ini membuat Alnord bingung harus menolong atau membiarkannya. Alnord meronta-ronta berusaha melepaskan tangannya, tetapi cengkeraman Deimos sangat kuat. Deimos merintih dan melepaskan Alnord. Ia terguling dan jatuh ke danau. Alnord melangkah mundur, tetapi ingin tahu yang terjadi dengan Deimos. Deimos meronta-ronta dalam air. Ia berteriak, tetapi hanya ada gelembung yang keluar dari mulutnya. Ia tak kuasa berenang. Rasa sakit di tubuhnya sangat menyiksanya. Dari seluruh pori-porinya, Aorn keluar dari tubuhnya. Ini semakin membuatnya menderita. Rasanya sangat menyakitkan seakan semua pori-pori yang ada di tubuhnya ditusuk jarum. Aorn melayang bebas dalam air. Mereka bergerak seperti angin tanpa arah. Deimos tak sadarkan diri. Perlahan lukanya sembuh.. Deimos membuka mata. Ia kembali sadar dari masa lalu. Matanya sangat merah. Satu Aorn menatapnya sangat dekat dan menyeringai lalu kembali melayang-layang menikmati air danau. 190
Deimos meronta. Ia tercekik, napasnya habis. Tenaganya memudar setelah melepaskan para Aorn dari dalam tubuhnya. Kini ia tenggelam. Ia semakin dekat dengan dasar danau. Semakin dalam, semakin gelap dan dingin. Ia tak dapat menggerakkan setiap bagian dari tubuhnya lagi. Ini membuatnya merasa gagal dalam menjalankan tugasnya. Darah perlahan mengalir dari telinga dan hidungnya akibat tekanan air di kedalaman. Badannya mulai terasa remuk. Ia hampir mati saat berusaha keras berbalik menghadap dasar. Dengan kekuatan yang tersisa, ia mencabut pedang dan menyobek lapisan yang ada di dasar. Lapisan itu seperti penjara bagi Aorn yang terperangkap di dalamnya. Takkan ada yang tahu mereka ada di dasar danau sehingga mereka tak bisa dibebaskan sembarangan. Hanya batu sebesar tempat tidur yang dapat menyobek selubung itu, tetapi yang terdekat pun ada di lereng gunung sejauh empat ratus meter. Mereka menyeruak keluar, seperti burung yang selama bertahun-tahun di dalam sangkar. Sekarang mereka menyerang para ikan dan seketika semua ikan di sana mengambang. Mereka melintasi Deimos melayang-layang di dalam danau gelap, tak memedulikan Deimos 191
yang terlentang sekarat. Deimos terpejam lemah. Di pikirannya hanya ada kenangan buruk, yakni kenangan ketika menyaksikan yang memperbudak menyiksa mati saudara kandungnya. Tiba-tiba di sekelilingnya bukan air yang gelap dan dingin lagi. Sekelilingnya berubah menjadi pemandangan langit gelap. Ia terbaring di samping jurang dengan tebing berduri. Satu meter meleset, mungkin ia akan terjatuh. Deimos terengah-engah. Ia menyeka darah yang mengalir dari hidung dengan punggung tangannya dan berusaha bangkit. Ketika menatap pemandangan di sekitar, ia menakar bahwa istana Ablahar berada dalam lembah yang luas dan dalam tersebut, meyakinkan dirinya ia tak bisa menyelinap masuk ke istana. Ia beringsut pergi tempat itu menuju tempat tinggalnya. Jika dilihat dari langit, ia hanya setitik hitam yang bergerak dibandingkan dengan Tanah Orion. Alnord masih menatap permukaan danau. Ia bertanya-tanya Deimos akan keluar atau tidak. Air danau lebih keruh. Seperti ratusan karung tepung gandum dimasukkan ke danau. Ia tersentak saat sebuah sosok menatapnya dan membelalakkan mulut seperti mengaum. Ia 192
beranjak dari sana dan melupakan tujuan awalnya pergi ke danau. Ia berlari—tak sadar melepaskan daun mangkuk—menuju Camcam dan langsung melompat ke punggung camelion tersebut. “Ia tenggelam!!” Alnord berteriak, sementara para pohon bergeser membentuk jalan menuju Bagnan. Sesampainya di dekat Bagnan, ia melompat dari punggung Camcam dan memanjat akar Bagnan. Alnord memberi tahu sekali lagi dan menanyakan sebaiknya menolong atau tidak. Namun, Bagnan diam saja. Alnord mengguncang-guncang batang Bagnan, tetapi tak ada gunanya. Bagnan sama sekali tak bergerak. Semakin banyak pula daunnya yang meranggas. Alnord memekik memanggil. Ia mengguncangguncang batang Bagnan, tak ada dampaknya. Salah satu Archerry menyarani Alnord lebih baik pulang dan menyuruhnya membiarkan Bagnan beristirahat entah untuk sementara atau selamanya. “Dia sudah sangat tua,” kata sang Archerry. “Bahkan sebelum hutan ini ada.” Mereka bergeser membentuk jalan pulang untuk Alnord. Alnord memberi tahu sekali lagi yang tenggelam di danau adalah orang yang melukai 193
Bagnan, tetapi Archerry tersebut mengatakan bahwa mereka yang akan mengatasi semuanya. Ia tak perlu khawatir. Akhirnya ia paham juga dan dengan lemas melompat ke punggung Camcam. Dengan banyak perasaan yang tertinggal, ia menepuk leher hewan tunggangannya tersebut, menyuruhnya berjalan. Matanya menerawang dan tak peduli yang dilewatinya. Ia bahkan tak menyadari ada kuda hitam milik Deimos teronggok kaku di lantai hutan. Alnord tak begitu memerhatikan jalan sehingga tak sadar sudah sampai di depan kandang Camcam. Ia melompat turun dan mengunci pintu kandang setelah Camcam masuk. Ia berjalan menunduk ke rumahnya. Di jalan, ia bertemu dengan Dardyl di pekarangan rumah keluarga Duvius. Seperti katanya tadi, seperti enggan melihatnya, Dardyl langsung masuk ke rumah. Alnord diam, masih kesal karena Dardyl menjauh dan sedih karena keadaan Bagnan. Ia bahkan merasa lemas ketika membuka pintu rumahnya. Ember langsung mengomel dan menanyakan yang Alnord lakukan sampai sesore itu. Alnord tak menjawab, mengeluarkan suara pun tidak. Ia langsung masuk ke kamar dan mengunci diri. 194
Ember mengetuk keras pintunya tiga kali dan memanggilnya. Alnord menoleh ke pintu, tetapi malas meladeni omelan sehingga tak mengacuhkan Ember. Ia menunggu sampai ketukan tak terdengar lagi lalu mengambil peralatan melukisnya dan mulai menggoreskan pensil sampai membentuk gambar saat sedang bersama Dardyl. Lalu, ia terhenti, meremuk-remukkan lukisannya menjadi bongkahan kertas tak berguna. Ia mengeluh seraya melempar bola kertas itu ke pojok kamarnya. Kekacauan pikiran menambah buruk kesan Dardyl di pikiran. Maka, ia beralih ke lukisan danau Nyos yang ada di sebelahnya. Saat menatap lukisan tersebut, ia kembali teringat akan kejadian tadi. Ia bertanya-tanya kepada benak sendiri hubungan antara mimpi dan pria tersebut dan sebutan makhluk di danau Nyos. Ia menggeleng-geleng, berusaha melupakan semua yang terjadi hari ini dan merasa hari itu adalah hari terburuk yang pernah ia alami. Untuk melupakan kejadian yang telah menimpanya, ia mengambil peralatan dan meneruskan lukisan danau Nyosnya sampai tak sadar hari sudah mulai malam. 195
Ember memanggilnya tepat saat lukisan Alnord telah selesai. Ia mengingatkan bahwa Alnord belum makan siang, sedangkan saat itu sudah waktu makan malam. Sebenarnya Alnord tak merasa lapar. Daripada memperburuk suasana, ia menaruh semuanya lalu beranjak menuju meja makan. Setelah mencuci tangan (Ember terkejut Alnord melakukannya tanpa disuruh), ia mengisi piringnya dengan makanan yang tersedia secukupnya, bahkan kurang dari biasanya. Saat makan malam pun, Alnord terus diam. Bukannya memasukkan makanan ke mulut, ia memainkannya. Pandangannya kosong, membuat Ember khawatir akan keadaan Alnord sekarang. Ember menanyakan yang membuat Alnord diam seperti itu, sekadar untuk mencairkan kesunyian. Alnord berkilah. “Enggak ada apa-apa,” katanya. “Aku udah kenyang, aku duluan.” Ia meninggalkan ruang makan tanpa menelan sesuap pun. Ia permisi dan sesampainya di kamar langsung membanting tubuhnya di tempat tidur. Ia memandang langit bersih tanpa awan. Bintang ber196
kelap-kelip. Ketika memandangi bulan sabit, ia mengernyit karena seharusnya purnama. Bulan itu memang bulan purnama. Hanya saja cahayanya tertutup sesuatu yang hitam. Dan itu bukan awan. Ia melompat keluar dari kamarnya dan memberi tahu Ember. Alnord beranjak menuju kamar Ember dan memanggilnya. Dengan cepat Ember keluar kamar sebelum Alnord mengetuk pintu kamarnya dan menanyakan yang membuatnya berteriak seperti itu. Bahkan Wolly sampai ikut menggonggong. Alnord meraih tangan Ember dan mengajaknya ke luar rumah untuk memandang bulan. Ia begitu ingin mengetahui yang terjadi dengan bulan tersebut karena baru kali ini melihat keanehan itu. “Itu hal biasa,” kata Ember ketika mereka berada di luar rumah. Alnord membantah. “Baru kali ini aku lihat bulan kayak begini.” “Mungkin bagimu,” kata Ember. “Tapi nenek pernah melihatnya beberapa kali. Begitu juga dengan orang lain, mungkin.” “Benda hitam yang makan bulan itu apa?” Alnord tanpa mengedip terus mendongak memerhatikan benda hitam yang menelan bulan. 197
Wolly mendongak dan menggonggong ke arah bulan, seperti wulfix dewasa. “Naga?” “Itu namanya gerhana bulan,” kata Ember. “Dan ada mitos tentangnya.” Alnord meminta Ember menceritakannya sejelas mungkin. “Kau tak perlu tahu, tapi kau harus tahu sikap atas kejadian ini,” kata Ember lalu mendesah ketika melihat Alnord mengangkat dan menyatukan alis di tengah. “Baiklah, Ablan memercayai gerhana adalah tanda kegelapan menguasai Heldon. karena itu, mereka mengunci diri di rumah dan terus terjaga agar dapat waspada kalau kegelapan itu menyerang.” Alnord memandang mereka. Benar saja, biasanya pada waktu ini, banyak orang yang sudah terlelap dan keadaan rumahnya gelap. Sekarang tak, masih banyak lentera yang menyala. Seolah ingin menggantikan cahaya bulan yang hilang untuk sementara. Sampai akhirnya, kegelapan menelan bulan seutuhnya dan bulan memerah. “Bulannya terbakar api naga ya?” Alnord memandangnya penuh. “Tidak, nenek tak tahu pastinya,” kata Ember. “Singkatnya cahaya bulan hanya terhalang. Ayo kita masuk. Angin malam tak baik untuk kesehatan.” 198
Alnord membantah. “Aku enggak mau ketinggalan peristiwa ini.” “Kau tetap bisa melihat gerhana bulan dari kamarmu.” Alnord mengangguk lalu berlari masuk ke kamarnya. Wolly mengikutinya dari belakang. Setelah Ember menutup pintu depan, ia menyusul. Alnord seraya terus memandangnya dari jendela bahkan sampai menanyakan pendapat Wolly peristiwa itu keren atau tidak. Wolly hanya menjawabnya dengan salakan dan lompatan. “Nek, ini berlangsung lama atau enggak?” Ia bertanya tanpa menoleh ke Ember. “Sampai sebulan atau setahun?” “Oh, tak selama itu.” Ember berjalan dari pintu lalu duduk di ujung tempat tidur, ikut memerhatikan. “Hanya sehari, malah beberapa jam saja.” “Mitosnya juga mengatakan bahwa gerhana bulan atau matahari adalah pertanda datangnya bahaya, musibah, atau sejenisnya.” Alnord menoleh dan duduk, tertarik dengan yang baru saja Ember katakan. Alisnya mengernyit. 199
“Biasanya orang selalu mengait-ngaitkan segala sesuatu yang terjadi dengan sekelilingnya,” kata Ember. “Gerhana adalah sesuatu yang biasa terjadi. Kalaupun ada bahaya yang terjadi, nenek rasa itu karena kebetulan. Tak ada yang bisa menyangka kalau ternyata bahaya itu berlangsung di saat atau setelah gerhana.” “Jadi, nanti ada bahaya ya?” Suara Alnord tertelan. “Tak ada yang tahu,” kata Ember. “Tapi yang jelas, dari semua gerhana yang pernah terjadi selama hidup Nenek, tak ada sesuatu yang mengerikan terjadi.” Alnord sedikit lega mendengarnya dan kembali memandang bulan yang terlihat seperti terbakar tersebut. Ember menyuruhnya tidur, tetapi ia membantah karena ingin melihat bulan kembali normal. “Bulan akan selalu normal,” kata Ember. Alnord menurut dan merebah. Ember membantunya merapatkan selimut. Ia menolak saat Ember hendak menutup gorden jendela karena ingin menatap gerhana bulan sampai tertidur, sedangkan Wolly, sudah meringkuk dari tadi, capai karena terus melompat dan menggonggong. 200
Ember menutup pintu kamar pelan-pelan. Perlahan cahaya dari kunang-kunang mulai redup karena Alnord juga semakin mengantuk. Di saat yang bersamaan, di hutan Soulom, tepatnya di danau Nyos, Aorn merasa cukup kuat untuk keluar dari tempat mereka tinggal di Heldon. Mereka melayang-layang di dalam air dan keluar dari permukaan seperti kabut tebal. Jumlah mereka tak terhitung. Mereka melewati hutan menyentak para Archerry yang sedang tertidur. Ketika Aorn melintas, mereka merasa dingin seperti terembus angin es, seperti es kering yang dicelupkan dalam air dan mengeluarkan asap ke luar permukaan air. Para Aorn hanya mengancam untuk diam, menunjukkan wajah dan kapak-kabut mereka yang mengilap karena mereka tak menyukai tumbuhan sebagai makanan mereka. Sebagian Aorn melingkari mereka dan menatap wajah pohon Archerry dengan rupa yang menyeramkan, hanya menyesakkan napas para tumbuhan. Namun, ada juga yang membuat para pohon sesak dan layu, sedangkan para kelinci, kijang, dan hewan yang menginjak tanah lainnya, telah dimangsa terlebih dahulu sebelum mereka menyadarinya. Para burung berterbangan panik dan tupai melompat puncak pohon ke puncak pohon, sebagian selamat, se201
bagian lagi tidak, sedangkan hewan-hewan yang selamat berlarian ke puncak gunung. Arah yang berlawanan dengan arah laju Aorn. Aorn terus menuruni lembah, menyusuri seluruh pelosok desa, memasuki rumah. Mereka memangsa penduduk di saat mereka terlalu lemah karena menjaga mata tetap terbuka. Bahkan banyak penduduk yang telah pingsan sebelum sadar sesuatu telah menyerang mereka. Ada juga yang melawan dengan berbagai cara, tetapi akhirnya pertahanan mereka sia-sia. Alnord merapatkan selimutnya. Suasana menjadi lebih dingin. Badannya menggigil. Wolly tersentak bangun, merasakan sesuatu masuk ke rumah mereka. Ia berlari ke pintu dan melompat ke gagang pintu dan pintu terbuka. Ia menggonggong keras saat Aorn menyusup dari celah pintu, dari samping, atas, bawah pintu. Cahaya redup keunguan dari kunangkunang di dalam lentera membuat kabut itu seperti menyala dengan penuh teror. Setelah melewati celah, kabut itu menggulung-gulung di udara dan bergerak ke segala arah. Wolly berjalan mundur seiring kabut itu mulai memenuhi ruang depan dan menampilkan sosok mengerikan. Aorn itu mengeluarkan kapaknya dan memotong lentera sehingga kunang-kunang di da202
lamnya berterbangan bebas ke luar rumah melalui jendela. Alnord bangun karena gonggongan Wolly. Ia menggerutu karena tidurnya terganggu. Ia menabrak meja sehingga menjatuhkan kotak di sana. Sebuah kalung menggelinding keluar. Kalung itu berliontin bulat hitam dengan ukiran naga yang bertengger di belakang sebuah bola mata. Ia menyambar kalung tersebut dan hendak memasukkannya kembali, tetapi Wolly terdengar sangat aneh sehingga ia memakainya dan menghampiri Wolly. Ia menahan napas saat melihat sosok yang sebelumnya ia lihat di danau Nyos itu. Wolly mengaing, berlari ketakutan ke arahnya. Ia berlari ke kamar dan membanting pintu, saking takutnya, ia bahkan tak sempat mengunci pintu. Aorn itu mengejar Alnord masuk ke kamarnya. Merayap bagaikan asap melewati setiap celah pintu kamarnya. Dengan napas terengah-engah, Alnord merayap ke kolong tempat tidurnya. Ia mengambil pedang pemberian Charlom yang ia selipkan di bagian bawah tempat tidur. Aorn itu kembali menebas lentera, membebaskan kawanan hewan bersayap yang menyala itu. Namun, karena jendela tak terbuka, kini mereka melayang203
layang tak keruan, sepanik seekor kucing yang tercebur. Wolly melompat ke jendela dan meringkuk menutupi mata dengan kedua cakarnya. Aorn tersebut membentuk tubuhnya menjadi rupa asli. Karena mendengar gonggongan Wolly tadi, Ember bangun dan beranjak ke ruang depan. Ia kaget karena begitu tebal kabut yang memenuhi ruang depan dan ruang makan dan mengarah ke kamar Alnord. Ember melintasi kabut, saat melewatinya ia merasa menggigil seperti berjalan di antara balok es tanpa memakai baju hangat. Saat membuka pintu kamar Alnord, ia memekik melihat satu Aorn menghadap Alnord dengan kapak diarahkan ke tubuhnya. Pekikan Ember membuat Aorn tersebut menoleh, tetapi sepertinya tak peduli dengannya. Satu Aorn masuk ke kamar Alnord. Ia melirik Ember yang berusaha menghampirinya. Ember berhenti, bahkan menghentikan napasnya saat Aorn tersebut mendekatinya dan merayap di tubuhnya, menciptakan rasa dingin yang menusuk tulang. Rasanya seperti seseorang mengeluskan batu es ke tubuhnya. Jantung Ember berdegup kencang. Ia megap-megap saat ujung kapak yang dingin disentuhkan ke lehernya. 204
Kapak Aorn yang berhadapan dengan Alnord mengayun ke arahnya. Alnord menahannya dengan pedang. Ia mengerang, kekuatan Aorn begitu besar sehingga pedangnya terpelanting ke pojok ruangan. Alnord melompat ke pedangnya sebelum Aorn tersebut mengayunkan kapaknya lagi. Alnord memekik memanggil Ember dan memandangnya cemas. Ia meraih kotak tempat kalungnya dan melemparnya ke arah Aorn yang menyerang Ember. Kotak tersebut mengenai Aorn itu, menandakan tubuh mereka padat walaupun berbentuk seperti kabut. Aorn itu menoleh dan merayap mendekati Alnord. Aorn yang menyerang sebelumnya menunjukkan gigi taring berliur kabut. Ia kembali mengayunkan kapaknya yang besar dan panjang. Dengan tak sadar karena terdesak, Alnord menarik pedang dari sarungnya dan menebas tubuh Aorn tersebut. Aorn itu terbuyar menjadi cipratan dan meninggalkan lumpur hitam di pedang Alnord lalu perlahan tenggelam dalam kabut di bawahnya. Alnord gemetar menyadari yang baru saja ia lakukan. Perutnya merasa mual melihat kematian di depan mata. Napasnya terengah-engah antara rasa takut dan lega. Ia sama sekali belum pernah 205
menggunakan pedang apalagi membunuh satu makhluk pun. Ember ingin menolong, tetapi rasanya sulit sekali. Jantungnya hanya berdegup kencang tanpa memompa darah ke seluruh tubuh, ia merasa kakinya tak bisa digerakkan. Wolly melompat dari jendela, menghampiri Ember dan menjauhi Aorn yang tersisa. Ia hanya bisa menggonggong mengancam. Aorn menahan gerakan Alnord di dinding dengan menekan lehernya. Alnord megapmegap, berusaha menghirup udara sedikit demi sedikit meskipun itu tak cukup. Tekanan kapak Aorn itu membekas biru di lehernya. Aorn tersebut merayapi tubuhnya dan membungkusnya dengan kabut. Rasanya seperti ditenggelamkan di danau es. Perlahan Alnord merasakan darahnya seperti diserap Aorn. Alnord mulai tak sadarkan diri. Deru napasnya mulai memelan. Matanya mendelik lemah dan penglihatannya mengabur. Ia menoleh ke Ember yang tampak ada tiga. Sayup-sayup ia mendengar Ember memanggilnya cemas. Dengan sisa tenaganya, ia berusaha menggerakkan tangannya dan menebas pedangnya ke tubuh Aorn. Aorn tersebut menangkisnya sehingga Alnord terlepas. 206
Alnord terbatuk-batuk ketika mengambil napas. Setelah merasa pulih, ia merangkak di tempat tidur dan melompat mendekati Ember. Ember menarik lengannya. Deru napas mereka bersatu dan degup jantung mereka bersahutan. Suasana dingin mengembunkan napas mereka. Mereka berlari ke pintu. Aorn merayap di udara, hampir tak terlihat ketika bergerak, dan mengayunkan kapak panjangnya ke arah mereka. Mereka melompat berlawanan arah, tetapi lengan Alnord sedikit terkena dan berdarah. Bahkan Alnord tak sempat mendesah, darahnya sudah membiru dan membeku. Aorn itu mendekati Ember dan Wolly dan merayap di tubuhnya, menikmati rasa takut yang mereka rasakan. Alnord melihat Ember sudah mulai kehilangan kesadaran, begitu juga dengan Wolly. Ia mengendap-endap di belakang Aorn dan mengayunkan pedangnya. Kepala Aorn tersebut tertebas. Tubuhnya membuyar dan lenyap ditelan kabut. Rasa mual di perutnya semakin menjadi-jadi. Alnord melepas pedangnya, merasa ngeri dengan yang baru saja ia lakukan. Pedangnya terlontang-lanting di lantai. Dari pedangnya 207
mengalir lumpur hitam. Ia menghampiri Ember. “Kau tak apa?” Ember memeluknya. “Nanti semua baik-baik aja kan?” kata Alnord, mulai tak sadarkan diri. “Tentu saja. Ya, semua pasti akan baik-baik saja.” Ember mendesah. Perlahan, kabut tersebut menghilang seperti tersedot pembersih debu. Bersamaan dengan menghilangnya Aorn, gerhana bulan selesai dan bulan kembali cerah. Alnord dan Ember memandang kabut tersebut menghilang dan berusaha terpejam melupakan hal mengerikan yang baru saja terjadi. Rasa lelah membuat Alnord terlelap di pelukan Ember.
208
8 Di Sebuah Gubuk dalam Mimpi Buruk
Ketika membuka kelopak matanya lebar-lebar, Alnord merasa jauh lebih buruk daripada mengalami kejadian tadi. Ia bermimpi buruk tentang hutan itu lagi. Napasnya terengah-engah seperti dicelupkan selama semenit dalam air. Jantungnya berdegup kencang sampai suaranya terasa berdenyut di telinga. Kakinya melemas dan tak ada hal lain yang ingin ia hindari selain mimpi itu. Ia melihat suasana di sekelilingnya. Gelap dan mengerikan dengan perasaan selalu diperhatikan sesuatu yang tak terlihat. Jeritan seperti suara orang yang disiksa terdengar dari segala arah. Dari daun yang berjatuhan dari pohon, ia baru sadar kalau ia masuk kembali ke dalam hutan di mimpinya. Ia berputar, waspada kawanan serigala hitam menyerangnya lagi. Ia selalu berjengit dan berpaling saat terdengar sesuatu bergerak di balik 209
semak-semak. Namun, terkadang itu hanya seekor kadal berkerah. Ia memberanikan diri menyusuri hutan seraya terus memandang ke segala arah mewanti-wanti bahaya yang akan menyerangnya. Gemuruh memenuhi langit. Ia mendongak. Awan gelap bergemelut di langit, terlihat dari cahaya kilat. Kini ia memulai mencubiti dan menampari diri sendiri agar sadar dari mimpinya. Kecuali pipi dan tangannya yang memar kemerahan, tak ada yang terjadi. Ia terus berjalan masuk ke hutan lebih dalam seraya terus berusaha bangun dari bunga tidur aneh ini. Saat berhenti memukuli dirinya, ia tersesat. Lebih gawat lagi, ia tak tahu cara kembali ke rumah. Ia mendesah panik. Ia mulai berbalik, mencari jalan, melompati akar-akar pohon yang muncul ke permukaan tanah. Namun, ia hanya berputar-putar di daerah itu. Posisi pohon-pohon yang tak teratur dan pemandangan yang sama di setiap sudut membingungkannya menentukan arah kembali. Ia teringat akan para pohon yang dapat berbicara di hutan Soulom. Mungkin saja mereka juga seperti itu dan dapat memberinya 210
jalan. Ia berdeham untuk membersihkan tenggorokannya dan perlahan membuka mulut. “Em—permisi Tuan Pohon, bisakah Anda memberiku jalan keluar dari hutan ini?” tanya Alnord lalu mendongak, berusaha mencari wajah pohon tersebut. Kicauan (atau lebih tepatnya jeritan) burung Lyre menyahuti pertanyaannya. Suara burung Lyre benar-benar mengganggunya sampai ia ingin menyumpal paruh mereka dengan kaus kaki Charlom. “Bisakah Anda memberiku jalan keluar dari hutan ini?” Hanya jeritan burung Lyre yang menjawabnya meskipun ia terus mengulangulang bertanya. Ia terdiam dan menunggu. Sepuluh menit kemudian, tetap tak ada jawaban dari pohon. Ia mengguncang-guncang batang pohon. “Bangun pohon! Aku butuh bantuanmu!” Ia mengira pohon itu sedang tidur sehingga tak memedulikannya. Ia bahkan memukul-mukul batangnya. Sia-sia, ia hanya ditemani jeritan burung Lyre yang menyebalkan. Ia pun mencari jalan pulang sendiri dengan menyusuri hutan, melirik setiap kali terdengar ada yang bergerak di semaksemak dan berharap ada penebang kayu atau seseorang yang sedang berteduh. 211
“..kau tahu hal itu!..” Alnord menoleh, suara tersebut tak jauh darinya. Ia menyusuri sumber suara tersebut, berjalan melewati dedaunan busuk dan akar yang melintang. Terkadang bajunya tersangkut ranting yang patah, menghambatnya beberapa saat dan menyobek bajunya sedikit. “..kau harus membantuku! Aku dipercaya untuk permintaan pertamanya!..” kata orang yang sama dengan sebelumnya. Tiba-tiba air menetes di tangannya. Ia menyentuh air itu dengan telunjuk. Air hujannya tak terasa seperti air biasa, tetapi terasa seperti air liur hewan, berlendir dan lengket. Ia memandang ke langit. Hujan mulai turun. Ia harus menemukan tempat berteduh. “...tak ada hubungannya denganku...” Suaranya berbeda dengan yang tadi. Tak ada lagi selain dua suara itu. Ia berbelok, yakin suaranya berasal dari balik semak-semak, dan menyisir semak-semak tersebut agar dapat mencari tahu orang yang sedang berbicara. Ternyata suara tersebut berasal dari gubuk yang terbuat dari ranting dengan atap cabang-cabang berdaun lebat dan busuk. 212
Ia tersenyum karena telah menemukan gubuk di tempat itu. Selain ada tempat berteduh, ia bersyukur karena bukan ia saja yang berada di hutan ini selain serigala hitam dan burung menyeramkan itu. Ia melewati semak-semak dengan usaha yang cukup melelahkan karena beberapa kali bajunya tersangkut dan melukainya. Setelah itu, ia berlari ke arah gubuk dan mencari bagian depan. Ia mengangkat tangannya yang sudah terkepal, bersiap mengetuk pintu. “..makhluk kabut itu sudah melakukan tugasnya..” Alnord mematung. Ia mengernyit dan mengurungkan niat berteduh. Ia menunduk dan mengendap-endap mencari jendela untuk mencari tahu yang sedang berada di dalam. Mereka berbicara dalam bahasa Higer, tetapi dengan dialek yang berbeda. Keduanya pasti berasal dari kerajaan yang berbeda pula dan kerajaan itu bukan Ablahar. “Kau sudah mendapatkan liontin Aracruz?” tanya suara kedua. “Aku sudah mencarinya di reruntuhan Istana Etna,” kata suara pertama. “Pertarunganku dengan makhluk-makhluk di sana sia-sia. Aku tak menemukannya.” 213
“Kemungkinan besar ada yang mengambilnya terlebih dahulu,” kata suara kedua. “Siapa menurutmu?” tanya suara pertama. “Pengawalnya,” kata suara kedua. Suara kedua terdengar lebih tenang, berat, dan bijaksana dibandingkan suara pertama yang selalu dipenuhi ketakutan. “Mereka sudah mati! Saat Asroil menyerang mereka, semua yang ada di sana mati!” Suara pertama mendengus. “Kau harus membantuku, aku akan mati kalau tak dapat memenuhi permintaannya.” “Aku tak bisa membantu,” kata suara kedua. “Betapa lancangnya aku bila membantumu tanpa permintaan Asroil.” “Aku bisa membunuhmu di sini kalau kau tak membantuku.” Orang pertama mengancam. Terdengar suara berdesing ketika ia menarik pedangnya. “Kalau Asroil tahu kau tak memenuhi perintahnya dan justru membunuhku.” Suara kedua terdengar sangat tenang seperti menghadapi ancaman anak kecil. “Aku tak dapat membayangkan tindakan yang akan dilakukannya kepadamu.” Suara pertama menarik pedangnya. “Rasa sakitku akan percuma! Kau tak tahu rasanya me214
mindahkan para Aorn melintas ke Heldon. Lihat ini. Luka ini muncul saat Asroil memberikan sedikit kekuatannya padaku. Aku tak mau luka ini percuma.” Alnord menajamkan pendengaran dan berusaha mendengar setiap kata yang mereka ucapkan. Suara hujan yang menyerbu dan menderu seperti jutaan peluru, daun-daun yang bergesekan, dan suara hewan di hutan menghambatnya. “Apa maksudmu bekerja sama dengan Aorn?” kata suara kedua. Alnord belum tahu identitasnya sehingga bertahan mendengarkan mereka. “Mereka makhluk yang sangat licik, padahal hanya berbentuk asap tak berguna.” Setiap kata makhluk kabut atau asap yang terdengar meyakinkan Alnord bahwa yang sedang mereka bicarakan adalah makhluk yang menyerangnya. Ia tahu nama makhluk itu adalah Aorn, tetapi itu tak berguna untuknya. Ia lebih ingin tahu identitas Aracruz sebenarnya. “Sebelumnya aku begitu yakin aku bisa menemukan liontin Aracruz di reruntuhan istananya,” kata Suara pertama, “Aku tak menemukannya. Aku menggunakan Aorn hanya sebagai pengalih perhatian agar para Algorn dan perdana menteri bodoh mereka keluar dari istana. Se215
telah itu, aku bisa leluasa mencari kristal Aracruz di istana Ablahar dan melenyapkan Ihtizar, pemimpin Ablan busuk itu dengan tanganku sendiri. Alnord terbelalak mengetahui rencana jahat yang akan mereka lakukan. “Kau bisa melenyapkan Ihtizar bila kau bisa melenyapkan para Algorn yang melindunginya terlebih dahulu,” kata suara kedua, “Tapi kau takkan dapat apa-apa sebelum kau mendapatkan liontin Aracruz.” “Aku tahu aku butuh liontin karena itu kau harus membantuku!” jerit suara pertama, takut akan kegagalan dan kematian yang akan menghampirinya. “Aku hanya bisa memberitahumu satu petunjuk, bukan untuk liontin, tapi untuk kristal Aracruz,” kata suara kedua. “Mungkin bisa mempercepat pencarianmu.” “Jangan bermain-main denganku.” Suara pertama berharap banyak. “Aracruz memiliki istana rahasia,” kata suara kedua. “Kalau kau tak menemukan kristal Aracruz di istana Ablahar, mungkin kau akan menemukan apa yang kau cari di istana rahasianya.” 216
“Di mana letak istana rahasianya?” Suara pertama memohon seperti budak kepada tuannya. Alnord berusaha mengintip untuk mencari tahu sosok suara kedua sebenarnya. Ia menggantungkan tangannya di bingkai jendela dan perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Suasana di dalam gubuk sangat gelap sehingga tak terlihat wujud mereka berdua. Pandangan Alnord semakin kabur karena hujan semakin deras dan cahaya kilat menyilaukan matanya. “Pintunya adalah Taman Batu di tepi danau Nyos di tengah hutan Soulom,” kata suara kedua. Suara pertama mendesah. “Itu tempat aku melepaskan para Aorn.” “Aku yakin Aracruz menggunakan liontinnya sebagai kunci. Kau lebih baik dapat liontin secepatnya.” Saat sebuah kilat menyala, ia hanya bisa melihat satu sosok. Orang yang bersuara penuh dengan kecemasan dan ketakutan. Alnord dapat melihat jelas orang itu. Ia mengenali orang itu. Ia pernah bertemu dengan orang itu. Ia begitu terkejut ketika melihat luka di pipi Deimos. Alnord merasa tak dapat bernapas. Ia berpikir keras tentang yang dilakukan Deimos di danau 217
Nyos dan saat Aorn menyerang. Ia mengendapendap dan bersiap lari, tetapi membuatnya ceroboh. Ia menginjak ranting sehingga memberitahukan kehadirannya kepada mereka. “Siapa itu?” Deimos mendengus. Pintu gubuk terbuka dan terdengar suara orang berlari. Alnord berusaha menjauh, tetapi terjatuhjatuh karena terlalu panik. Tak jauh dari gubuk itu, ia tak bisa melangkah. Sebuah pedang menancap ke celananya, membuatnya jatuh berlutut, dan menahannya di tanah. Alnord bergetar, terengah-engah penuh ketakutan. Ia berusaha menarik pedang tersebut, tetapi pedang tersebut tertancap kuat di tanah. Ia menarik celananya sampai robek agar ia bisa lepas. Sayangnya, itu terlambat. Deimos menarik pedang dengan mudahnya dan menempelkannya ke lehernya. “Siapa kau?” tanya Deimos tajam. Ia berdiri di depan Alnord yang terlentang dengan tumpuan sikutnya. “A-aku tak s-sengaja mendengar pembicaraan k-kalian,” kata Alnord seraya terpejam. Ia melepas tumpuannya karena Deimos mendorong pedangnya lebih dekat. Untuk mengurangi rasa takutnya ia mengepal daun dan tanah yang berada di sekitarnya. “A-aku ha-hanya i-ingin berberteduh d-dan ta-ta-nya j-jalan pu-pulang.” 218
Derasnya hujan membasahi tubuh Alnord dan Deimos, menggantikan semua keringat mereka dengan lendir. Lalu, petir menggelegar. Cahayanya memperlihatkan wajah Alnord yang ketakutan dan wajah Deimos yang penuh amarah. Rantai kalung Alnord memantulkan cahaya. Deimos merendahkan badannya dan mencengkeram baju Alnord lalu mengambil kalung yang melingkari leher Alnord. Setelah itu ia mengempaskan Alnord ke tanah. Betapa terkejutnya Deimos saat melihat liontin itulah yang ia cari selama ini. “Kau!” derak Deimos disambut ledakan petir. Alnord terengah-engah. Di ingatannya terus berkelebat kenangan bersama semua orang yang pernah ia kenal dan semua kenangan indah yang orang-orang sekelilingnya berikan kepadanya. Ia tak sanggup bila harus meninggalkan semua itu, tetapi merasa inilah waktu terakhirnya. Ia terus mencengkeram daun dan tanah yang ada di tangannya. Deimos mengangkat dan menegakkan pedangnya. Bersamaan dengan petir yang berkilat di atas kepala mereka, Deimos menghunuskan pedangnya tepat ke arah jantung Alnord. Alnord mendesah dan menutup matanya dengan tangan. 219
“Beri tahu mereka rasanya tersiksa!” Petir pun menggelegar.
220
9 Kebenaran Gila
Deimos mengikuti Alnord, tetapi yang ia dapati hanya ladang gandum yang merebah pucat. Ia berputar-putar mencari arah tempat yang Alnord tuju. Di tengah ladang luas dengan gandum yang tertunduk dan cahaya matahari yang mulai memancar, seharusnya Alnord terlihat, tetapi ia tetap tak menemukannya. Ia terdiam dan beringsut memudar dan menghilang dari sana. Alnord tersentak lagi, seperti ada yang mendorongnya dari belakang. Ia bernapas seperti ikan yang terlempar ke darat dan memandangi sekeliling. Suasana sudah kembali menjadi kamarnya kembali. Tubuhnya basah. Tak seperti terkena hujan, tetapi seperti habis dijilati Wolly, penuh lendir. Langit tak lagi kelam. Hari sudah beranjak pagi. Dari luar jendela terlihat kemerah-merahan di timur langit. Ember memeluk Alnord erat dan menanyakan keadaannya dengan suara isakan sisa tangisan. “Kau begitu dingin dan pucat. Aku kira kau Kenapa tubuhmu basah sekali?” 221
“A-aku m-mimpi b-buruk lagi.” Alnord mengusap mukanya. Ember meyakinkan bahwa itu hanya mimpi dan menyuruhnya menarik napas dalam-dalam dengan mata terpejam hingga benar-benar tenang. Ia memeluk Alnord lagi seraya mengusap-usap punggungnya. Setelah merasa jantung Alnord berdegup normal, ia membantu Alnord bangkit dan menyuruhnya berganti pakaian. Alnord menurut dan ketika ia bangkit, Ember mengernyit melihat tangan Alnord terkepal, menggenggam sesuatu. “Apa itu di tangan kananmu?” Ember meraih tangannya. Alnord membuka kepalan tangannya. Jantungnya mencelos ketika ia melihat isi genggamannya. Matanya mengosong. Tangannya terkulai lemas. Remahan daun-daun dan tanah perlahan jatuh ke lantai. Ember menepis semua yang mengotori tangan Alnord. “Dari mana kau dapat semua ini?” Alnord menelan ludahnya. “D-dari mmimpiku.” Ember membantah dan mengatakan itu tak mungkin meskipun merasa aneh karena Alnord tak beranjak sedikit pun darinya sejak semalam. 222
Ia bangkit dengan kening mengerut dan menyuruh Alnord menunggu di situ. Sekeras mungkin ia berusaha, tetap saja tak menemukan jawaban logis. “Nenek yakin semua nanti baik-baik aja?” Suara Alnord terdengar serak. Ember meyakinkan sekali lagi dengan mengelus rambut Alnord. Ia menyingkirkan lendir yang menempel. Ketika melirik pedang yang terjatuh, ia terlihat tak peduli dan malah menaruhnya di tempat tidur lalu beranjak keluar. Tak lama kemudian ia kembali dengan handuk di tangannya dan segelas air hangat. Ia membantu Alnord mengeringkan diri. Tubuh Alnord bergemetar dan ototnya menegang, menggigil. Alnord meneguk cepat dan mendesah. Napasnya kini lebih teratur. Ember mengambilkannya baju kering dan membantunya melepas baju. Alnord mendesah perih ketika ujung baju mengenai leher. “Lehermu berdarah,” kata Ember. “Mereka datang lagi,” gumamnya tanpa sadar. Alnord tak jelas mendengar dan menanyakan lagi yang baru saja Ember katakan. “Tak ada. Lehermu berdarah,” tukas Ember, menyembunyi-kan kalimat kedua. 223
Alnord ternyata tak memerhatikannya. Ia teringat akan yang menyebabkan lehernya berdarah dan meraba lehernya. Kalungnya hilang. Ia juga memeriksa celana, ada sobekan besar di sana. “Mimpiku benar-benar nyata.” Ia mendesis. Ember membantah dan meyakinkan bahwa itu hanya karena Alnord takut sehingga membayangkan yang tak mungkin. “Mereka Aorn,” kata Alnord datar dengan pandangan mata kosong. Ember mengernyit dan menanyakan mimpinya. “Itu hanya mimpi, Alnord. Hanya mimpi buruk,” kata Ember setelah mendengarkan cerita Alnord. Alnord bangkit, bergetar antara takut dan marah. “Kalau aku mimpi ada orang yang akan mencelakai nenek dan paman, aku bisa saja lebih konyol daripada ini!” Baru kali ini Alnord membentak Ember. “Jangan ikuti mimpi itu.” Ember mulai menangis. “Kau membahayakan dirimu sendiri.” Alnord melemaskan badannya, merasa bersalah telah membuat Ember menangis. “Maafkan aku. Aku enggak bermaksud membentak.” Ia memeluk Ember. 224
Terdengar suara ketukan keras dari pintu depan. Ember mengusap air mata dan beranjak menuju pintu depan. Alnord bergegas mengelap semua lendir yang ada di tubuhnya dan mengganti pakaian seluruhnya untuk mengetahui yang datang. “Maaf, selamat pagi, Nyonya?” “Emberine Bordom.” “Ya, ada yang terluka?” tanya orang berjubah rapi, terlihat sangat bijaksana dengan kacamatanya dan senyumnya penuh perhatian. Ia adalah perdana menteri sehingga dikawal dengan makhluk setinggi tujuh kaki, selalu menunduk tertutup jubah hitam dan pedang di pinggang mereka. “Tidak, semuanya baik-baik saja,” kata Ember. “Sebenarnya ada apa semalam?” “Kami belum tahu dan masih mencari tahu penyebabnya,” kata Savenor. “Mereka seperti sebuah makhluk atau kabut yang hidup,” kata Ember. “Bukankah ini pernah terjadi dulu? Bahkan di seluruh Heldon? tapi,—” Ember terbatuk “—Aracruz berhasil mengatasinya.” kalimat terakhir terdengar seperti bisikan, terutama saat mengucapkan nama itu. 225
“Menurut perkiraan kami, itu hanyalah halusinasi,” kata Savenor. “Kami tak pernah menemukan makhluk seperti itu di semua kerajaan di Heldon. Hanya sejenis kabut tebal yang sangat dingin, mengakibatkan suhu tubuh turun drastis, berhalusinasi, dan histeria akut masal. Halusinasi yang menyebabkan kita melukai diri sendiri. Dan tentang ini pernah terjadi atau tidak, sepertinya Anda mengarang.” Ia melepas kacamatanya dan menggamit pangkal mata lalu memasang kacamatanya kembali. “Kalian beruntung sudah selamat.” Alnord berteriak tiba-tiba dari dalam menyerukan isi mimpinya dan menerobos Ember yang berusaha menahan Alnord. Savenor mengernyit dan meminta Ember melepaskan tangannya. “Ini jebakan,” kata Alnord. “Seseorang menggunakan kesempatan saat kerajaan sibuk mengurusi penduduknya. Dia mencari kristal Aracruz di dalam istana. Mereka merencanakan sesuatu yang jahat. Mereka—mereka mengucapkan sebuah nama—Asroil sebagai orang yang kasih mereka perintah. Seseorang bernama Deimos akan mengacaukan istana. Dan—dan dia, a-akan mem-membunuh R-raja Ihtizar!” 226
“Kita sudah membicarakannya tadi, Alnord,” kata Ember. “Kau sudah setuju itu hanya mimpi buruk.” Savenor mengernyit, keningnya berkerut. Ia menanyakan cara Alnord mengetahuinya dan tersenyum simpul saat tahu. Ia menanggapi ucapan Alnord seperti mendengarkan anak kecil yang minta diperhatikan. “Kau bermimpi karena kejadian mengerikan semalam. Kau berhalusinasi.” Rasa marah Alnord bangkit. “Mimpi itu nyata! Aku bisa merasakannya! Bahkan membawa daun dan tanah dari mimpiku!” kata Alnord lalu mendekati Savenor dan menarik-narik jubahnya. “Aku enggak bohong!” Para Algorn penjaga Savenor bersiap menarik pedangnya, tetapi Savenor menahannya karena menurutnya tindakan itu terlalu berlebihan untuk sebuah rengekan anak kecil. Ember menarik Alnord dan berusaha menenangkannya, seraya membantu Savenor melepaskan Alnord dari jubahnya. Ia meminta maaf. “Bukan masalah. Mungkin kejiwaannya agak terganggu,” kata Savenor, “Sebaiknya dia dibawa ke Rumah Kesembuhan Jiwa sebelum se227
muanya terlambat.” Ia menepuk-nepuk jubahnya untuk merapikan penampilannya. “Aku enggak gila!” teriak Alnord menggeliat di pelukan Ember. “Aku akan!” kata Alnord. “Raja Ihtizar akan baik-baik saja,” kata Savenor. “Ia sedang mengunjungi bagian timur dan utara, dan pengamanannya pun begitu ketat.” “Deimos tetap akan mengacak istana!” jerit Alnord marah. “Tolong hentikan omong kosong ini. Kami permisi,” pamit Savenor dengan suara yang tegas. “Kami harus mengunjungi seluruh wilayah.” Lalu, mereka beranjak pergi menggunakan barisan pedati mewah. “Aku enggak bohong!” jerit Alnord. Alnord berhasil melepaskan diri dan berlari mengejar pedati keluar pagar, tetapi hasilnya siasia. Mereka sudah pergi jauh. Terdengar suara pedati beranjak dari rumah keluarga Duvius. Ia berbalik. Maureen histeris memanggil Ogwald, begitu juga dengan Dardyl. Alnord dan Ember menghampiri mereka. Pedati yang mereka teriaki pergi. 228
“Ogwald,” kata Maureen setelah Ember menanyakan yang terjadi. Ia tersengguksengguk. “I-ia m-melindungi k-kami dari makhluk seperti k-kabut s-semalam. Kami tak ssadarkan d-diri, dan s-saat pagi, kami mmenemukanya t-terbaring lemah. D-dan k-kami t-tak d-dibolehkan m-mengantarnya.” “Apakah ayah akan baik-baik saja?” tanya Dardyl lemah. Maureen mengusap air matanya. “T-tentu, ayahmu akan baik-baik saja,” kata Maureen, dengan isakan sisa tangisan. “D-dia a-akan pulang c-cepat.” Ember mengajaknya ke dalam rumah Duvius. Setelah membantu Maureen duduk dengan tenang, ia beranjak ke dapur untuk membuatkan mereka teh hangat. Satu tegukan teh membuat Maureen lebih tenang. “Apa yang mencelakai kita sebenarnya?” kata Maureen. Ember menyampaikan yang Savenor katakan. “Tapi kami melihatnya, benar-benar nyata!” Maureen jelas tak setuju. “Mereka menyerang kami dengan kapaknya dan seolah-olah seperti mengisap kami, menyesakkan napas kami. Lalu, Ogwald menggunakan pisau dapur untuk menghalau mereka, dan kami tak sadarkan diri, 229
dan d-dan, Savenor hanya bilang Ogwald berhalusinasi dan melukai dirinya sendiri. Itu tak masuk akal!” Maureen menangis di pelukan Ember, sedangkan Dardyl hanya menatap langitlangit dengan pandangan kosong. “Mereka Aorn,” celetuk Alnord. “Hentikan, Alnord.” Ember menoleh tajam ke arahnya, berusaha membungkam Alnord dengan tatapannya. “Ini bukan saatnya kau membicarakan mimpimu!” Alnord jelas menolak dianggap hanya bermimpi. Ia berjalan cepat, menyambar tangan Dardyl dan menariknya ke luar rumah. “Mau ke mana kalian?” Ember berteriak memanggil, tetapi Alnord tetap tak acuh. Maureen melepaskan pelukannya dan Ember mengejar mereka. Saat Alnord membuka pintu, di depan sudah berdiri Charlom dengan wajah yang sangat mengerut. Ia menanyakan keadaan seraya menggenggam bahu mereka. “Di mana nenekmu?” “Nenek di dalam,” kata Alnord singkat. “Kau selamat!” sahut Ember. Charlom menghampiri dan memeluknya erat. “Aku sedang tidur di lantai atas dan ketika pagi aku ke luar kedaiku, camelionku mati dan 230
orang-orang di sekitar berteriak histeris. Aku langsung menghampiri kalian, syukurlah kalian baik-baik saja.” Ia mendengus. “Padahal, kedaiku sedang mendulang sukses.” “Aku senang Paman selamat, tapi kami ada urusan,” kata Alnord lalu menarik Dardyl keluar rumah dan menutup pintu. Dardyl berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman Alnord benar-benar kuat. “Kita mau ke mana?” Dardyl bertanya seraya terus mengaduh karena mereka berjalan terlalu cepat menuju kandang camelion. “Nanti aku cerita. Ini amat penting.” kata Alnord sesampainya mereka di kandang camelion. Alnord mendesis tak percaya saat membuka pintu kandang. Belasan camelionnya terbaring kaku dengan rupa yang mengerikan. Mata mereka terbuka lebar, menghitam, seperti mati dalam ketakutan. Tubuh mereka menyusut dan membiru, seakan darah mereka membusuk dalam semalam. Lalat-lalat sudah mengerubungi. Mereka bertumpuk di dekat pintu seperti mati saat berusaha meloloskan diri. Bau mereka menusuk. Mereka memasuki kandang dan melewati belasan camelion yang terbaring kaku. Alnord 231
membuka sayap salah satu dari mereka, tak bisa digerakkan, benar-benar kaku. “Ini makin nakutin.” Dardyl mendesis. Semua dipandangnya dengan saksama. “Kita harus berlari menuju istana Ablahar secepatnya!” kata Alnord seraya berbalik menuju pintu kandang. Dardyl merengut tak setuju. Ia bahkan tak tahu tujuan mereka ke sana. “Kenapa kita enggak,” saran Dardyl, terpotong. Alnord terhenti saat memegang dahan pintu. Ia berbalik dan menghitung jumlah mereka dan tersadar camcam tak ada. Dari bukit tempat mereka setiap hari menggembalakan terdengar suara erangan seekor camelion. Mereka berlari ke sisi kandang, berjinjit melihat camelion itu. Camcam mengepakngepak sayapnya dan bersikap tenang seperti tak ada yang terjadi semalam. Alnord berseru senang lalu berlari ke luar kandang ke arahnya. Dardyl tertinggal di belakang. “Kok kau bisa selamat, Camcam? Senang bisa lihat kau lagi.” kata Alnord sesampainya mereka. Alnord mengelus dan memeluk leher unggas itu. Camcam menggeliat manja dan mengepak sayap, mengerang bersemangat. 232
Alnord melompat naik dan mengulurkan tangan untuk membantu Dardyl naik. “Aku enggak akan pergi denganmu!” bentak Dardyl. Ia berputar dan berjalan cepat ke arah rumahnya dan merasa seharusnya mengatakan itu sejak tadi. “Kau harus!” Alnord menarik bulu leher Camcam untuk menyusul Dardyl. Dardyl membalikkan tubuhnya cepat. “Aku enggak ngerti ke mana kita pergi dan apa tujuanmu.” Ia mengernyit. “Dan kau memaksaku ikut denganmu?” “Kita harus cepat Dardyl, kita enggak punya banyak waktu buat cerita dulu!” kata Alnord. “Ayo naik!” Dardyl menolak keras. Ia berbalik menuju rumahnya, mengabaikan Alnord yang terus memanggilnya. “Aku tahu siapa yang merintah makhluk kabut itu!” Alnord berusaha menjelaskan. “Aku tahu tujuan mereka! Kita harus cegah hal yang lebih buruk agar enggak terjadi, Dardyl! Ini tentang seseorang yang nyuruh makhluk kabut mengerikan itu!” Dardyl tetap tak peduli. Ia terus berjalan pulang tanpa niat mendengarkan lanjutan penjelasan Dardyl. 233
“Ini tentang siapa yang bikin ayahmu celaka!” teriak Alnord, menepuk pelan Camcam dan menyusul Dardyl yang sudah semakin dekat dengan rumahnya. “Kau enggak mau kejadian lebih buruk nimpa keluargamu lagi, kan?” Dardyl berhenti, bergetar, dan memutar tubuhnya. Ia terdiam sesaat, menatap mata Alnord. “Mana tanganmu?”
234
10 Istana Ablahar yang Mengagumkan
Alnord menyambut cepat uluran tangan Dardyl sembari tersenyum. Setelah mereka siap, Alnord menarik bulu leher Camcam. Mereka melaju cepat, tetapi terhenti di depan rumah Dardyl. Charlom, Ember, dan Maureen menghadang mereka. Ember dan Maureen berusaha menghentikan mereka, sedangkan Charlom bingung akan yang harus ia perbuat. “Mau ke mana kalian?” kata Ember. Maureen mendekati Dardyl dan mengulurkan tangannya. “Apa pun alasanmu,” katanya lemah. “Jangan pergi.” Dardyl menatap wajah Maureen dan melirik Alnord. Di satu sisi ia tak ingin meninggalkannya, tetapi di sisi yang lain ia harus. “Aku mau ke istana Ablahar,” kata Alnord. “Maaf, Nek. Enggak ada yang percaya sama aku, tapi aku harus buktiin. Cuma aku yang tahu
235
dan percaya rencana mereka. Aku bermaksud mencegah mereka.” “Baru kali ini kau menentang nenek.” “Ini mendesak,” kata Alnord. Lalu suaranya memelan. Ia membuang muka. “Nenek bahkan enggak percaya padaku.” “Maaf, Bu,” kata Dardyl menyedihkan. “Ini tentang ayah.” Mereka bergerak lagi dan berhenti di depan rumah Alnord. Alnord turun dan masuk ke rumah. Saat ia di dalam rumah, Charlom, Maureen, dan Ember mendekat, berusaha mencegah Dardyl lagi. Dardyl tetap menolak, bahkan saat Charlom menariknya turun. Alnord kembali dengan pedangnya di pinggang. Wolly mengejar-ngejarnya di belakang, mencegahnya pergi. Dardyl berbisik ngeri, menanyakan tujuannya membawa pedang itu. Ketika melompat ke punggung camcam, ia menjelaskan hanya akan memakainya sebagai pemukul. Maureen merayu Dardyl turun. Dardyl menoleh, tak pernah menyangka ini akan menghancurkan hati. Ia berada di pilihan yang sangat sulit. Ia seperti di antara ruang hampa dan penuh air, keduanya menyesakkan napasnya. 236
“Untuk apa membawa pedangmu, Alnord?” pekik Ember. “Turun sekarang juga, tetap di sini, dan jelaskan dari mana kau dapatkan pedang itu! Charlom tercekat dan canggung karena perkataan Ember, tetapi memilih diam. Alnord pun memandang wajah Charlom sesaat dan mendapatkan jawaban ia harus memberi tahu atau tidak. Charlom menggeleng, tetapi sesaat kemudian menghampiri-nya. “Kalau kau benar-benar yakin dengan mimpimu,” kata Charlom. “Aku percaya padamu.” Perkataannya membuat Ember membentaknya, tetapi ia tak peduli. “Sebenarnya ada alasan aku ngasih kau pedang, tapi kita enggak mungkin ngomongin ini sekarang, kan? Kau punya urusan. Janji nanti kau pulang cepat dan aku bisa bercerita banyak.” Alnord terdiam lalu mengangguk dan berterima kasih. Charlomlah satu-satunya yang percaya padanya dan itu cukup untuk memberanikannya. Alnord merasa bersalah ketika melirik Dardyl yang wajahnya mengerut bingung. Ia mengajaknya hanya karena tak berani melakukannya sendiri. Ia berseru seraya menarik bulu leher Camcam. 237
Perlahan Camcam mengayunkan kakinya dan tak lama kemudian ia berlari. Dardyl masih menoleh ke belakang, memandang Maureen yang kembali menangis dan memeluk Ember. Charlom terpaku kosong. Wolly menyalak-nyalak, mengejar mereka sesaat. Alnord terus menarik bulu leher Camcam yang langsung mengerang dan berlari dua kali lebih cepat. Mereka melintasi jalan di antara ladang gandum yang memucat, menyeberangi jembatan, melewati desa Barlot (Desa Barlot terlihat ramai dengan banyak sekali pedati Rumah Kesembuhan yang mendatangi rumahrumah korban), melintasi batas desa Barlot, dan menanjaki lereng Merope. Dardyl terpejam. Jemarinya berpegangan erat pada baju Alnord. Dengan suara yang bergetar karena terlonjaklonjak, Dardyl meminta Alnord berjalan lebih pelan. “Dan, kita terlambat? Enggak,” kata Alnord lalu memperce-pat lagi kelajuan mereka. Mereka sampai di sisi lainnya dari hutan. Saat itu hutan tak terlihat hijau lagi. Sebagian besar pohon sudah layu. Batang-batangnya lebih pucat dan cenderung putih. Dedaunannya meranggas. Banyak sekali pohon yang akarnya lapuk. Tak se238
dikit pula yang tumbang sampai akarnya terangkat. “Apa mereka yang buat semua ini?” kata Alnord, menatap istana Ablahar yang dapat terlihat karena hutan tak serimbun dulu. Mereka menyusuri sisi hutan mencari jalan masuk ke istana Ablahar. Tak lama kemudian mereka sampai di jalan lebar berbatu dengan pepohonan yang mati di kedua sisi jalannya. Mereka menghentikan laju mereka. Alnord menghela napas dalam-dalam dan mengepalkan tangan, sedangkan Dardyl menelan ludah. Suaranya sampai terdengar Alnord. Alnord menarik kembali bulu leher Camcam. Camelion besar itu mengerang, mengepak sayapnya, hampir menjatuhkan mereka. Alnord meminta maaf pada Camcam seraya mengelus bagian yang sering ditariknya. “Mungkin dia juga mau ke pelukan ibunya,” kata Dardyl. Ia mendesah. “Aku yakin kau tahu ini bahaya. Gimana kalau ternyata dia masih ada di dalam?” “Aku tahu, aku juga takut,” kata Alnord. “Tapi cuma kita yang bisa!” “Kenapa kita enggak meminta tolong orang dewasa?” Suara Dardyl bergemetar. 239
“Orang dewasa enggak percaya sama ucapan dua remaja tanggung!” kata Alnord. “Tapi Raja Ihtizar pasti enggak sedang di istana!” Alnord menghadap istana. “Kita akan nunggu dia datang.” Dardyl terdiam. Camcam pun terlihat sudah tenang kembali. Alnord menoleh, melihat Dardyl melalui bahunya. “Begini rencanaku,” kata Alnord dengan suara lebih tenang. “Kita masuk ke istana, ngasih tahu. Dia percaya dan nyari tahu semuanya lalu kita diantar pulang dengan selamat, jelas?” Dardyl mengangguk pelan. Mereka melaju menuju gerbang istana Ablahar. Camcam menapaki jalan batu dengan mantap dan cepat, tak lama kemudian mereka sampai di depan gerbang mewah yang tinggi menjulang. Mereka berhenti, memandang gerbang yang terbuka. Tak ada yang menjaga gerbang. Seharusnya keamanan istana sangat ketat. Hanya ada dua buah jubah hitam yang terampar dengan debu-debu arang yang masih membara di sekitarnya. “Ini mulai benar-benar nakutin,” kata Dardyl. “Aku rasa,” kata Dardyl terpotong karena 240
mereka sudah bergerak cepat dan sampai di depan tangga istana. Alnord melompat turun dan mendarat dengan kokoh, sedangkan Dardyl sedikit terjungkal lalu mereka menanjaki tangga. Alnord berteriak menyuruh Dardyl lebih cepat. Dardyl menoleh ke belakang. “Ke mana kau?” Ia meneriaki Camcam. Alnord menoleh dan menyuruhnya membiarkan, tanpa memandang sedikit pun Camcam yang kini melarikan diri ke arah danau Nyos. Mereka berlari meniti anak tangga. Alnord melewati tiga anak tangga sekali melompat, sedangkan Dardyl hanya satu per satu, itu pun sangat lambat. Terkadang kaki Dardyl terantuk ujung anak tangga sehingga tertinggal agak jauh di belakang. “Bisa enggak kita istirahat dulu?” engah Dardyl. Ia mem-bungkuk, mengambil napas sebanyak-banyaknya. Alnord tak menjawab. Dardyl berusaha keras menyusul Alnord. Meskipun agak lama dan tersendat-sendat, ia berhasil. Sebelum ia hampir pingsan, Alnord menarik tangannya, bahkan ia tak sempat menarik napas lega. 241
Tak ada yang menjaga pintu istana, terbuka lebar. Bertebaran debu bara yang sudah menjadi arang. Alnord memegang pedangnya untuk berjaga-jaga. Ia menghela napas, menguatkan pegangan, mengawaskan penglihatan, dan mempersiapkan dirinya sekuat mungkin. Lalu, mereka melangkah masuk. Mereka terbelalak ketika melihat pemandangan di dalam istana. Pilar-pilar tinggi dan besar berbaris di sepanjang koridor. Lantai terbuat dari batu marmer dengan atap yang terlihat sama seperti langit cerah berawan. Di sepanjang koridor, pintu-pintu megah terpampang sebagai jalan masuk untuk setiap departemen. Di ujung koridor, di depan mereka, terlihat hanya satu pintu, ruangan singgasana. Di atas pintu itu terpampang lambang kerajaan Ablahar: wulfix dewasa yang sedang berdiri dengan kaki belakangnya di dalam kobaran api, terukir di sebuah perisai; di bawah lambang tersebut terdapat ukiran berbentuk pita yang tertuliskan slogan kerajaan Geahm Vledox Veavow Ma Dlooz Mean yang berarti ‘Raja Melindungi Rakyat yang Memercayainya’. Yang menyentak mereka adalah puluhan orang tergeletak di seluruh lantai. Mereka tak 242
bergerak, tetapi tak ada darah yang berceceran. “Kita terlambat.” Alnord mendesis. Dahi Dardyl berkeringat, ia mendekati Alnord. “K-kita m-mending p-pulang, A-alnord.” Alnord bergeming. Ia berlari menghampiri salah satu pelayan yang tergeletak paling dekat dengan mereka. Ada tanda-tanda kehidupan pada orang itu. Ia mendekatkan telinganya ke dada pelayan tersebut, mendengarkan detakan jantungnya. Degup-annya terdengar lemah, bahkan hampir tak terdengar. “Dia masih hidup!” teriak Alnord lalu mendekatkan telun-juknya ke lubang hidung pelayan tersebut. “Tapi napasnya pelan banget.” Rasa takut Dardyl menutupi semua rasa keibaannya. “K-kita h-harus c-cari b-bantuan,” kata Dardyl. Lututnya gemetar. “Mereka enggak berdarah.” Alnord mendesis sambil terus memeriksa bagian tubuh pelayan tersebut. “Gimana caranya Deimos melakukannya.” “K-kita h-harus c-cari b-bantuan, Alnord!” teriak Dardyl, kesal. “Penghuni istana lain lagi datang ke rumah orang-orang yang diserang,” kata Alnord. “Orang-orang lagi ngurusin keluarga mereka sendiri. Cuma kita yang tahu rencana ini!” Al243
nord menekan-nekan bagian dada pelayan agar jantungnya kembali berdegup. “Enggak. Cuma kau yang tahu!” kata Dardyl. “Kau harus beri tahu aku.” “Baik. Aku lihat mereka ngomongin rencana mereka.” “Mereka, mereka siapa?” Alnord menjelaskannya kepada Dardyl, rahangnya ditahan agar tak membentak. Lalu, ia berusaha mengangkat penjaga itu keluar istana. “Gimana bisa kau pulang dari hutan secepat itu?” tanya Dardyl setelah Alnord menjelaskan kembali ke kamarnya setelah datang ke hutan aneh itu. “Aku enggak pergi ke mana-mana, aku tetap di tempat. Aku bermimpi tentang mereka!” kata Alnord. “Kalau itu bikin kau puas!” Dardyl melepas tangan pelayan itu. “Kau bermimpi tentang mereka? Dan kau nganggap mimpimu serius?” Dardyl menatapnya tajam, suaranya bergetar. “Kau udah gila!” “Mimpi itu nyata,” kata Alnord tanpa melepaskan tangan pelayan tersebut. “Aku bisa rasain napasku. Hutan itu nyata banget. Aku rasain sakit di hutan itu!”
244
“Tapi itu tetap mimpi!” Telinga Dardyl memerah. “Dan aku bikin ibuku nangis cuma buat ngikutin mimpimu?” “Tapi itu terjadi!” kata Alnord. “Kenyataannya istana diserang!” Alnord berusaha mengangkat pelayan tersebut lagi. “Ini gila!” Dardyl mendengus. “Kita enggak bisa ngangkat mereka semua. Kita harus cari bantuan dulu! Bagnan mungkin bisa bantu, bisa enggak sih kau sekali aja dengerin aku?” “Kau benar.” Alnord menghela napas, melepas tangan pelayan tersebut, dan bangkit. Mereka berlari menuju pintu istana, tetapi terjatuh, tak bisa mengangkat badan mereka. Panah-panah menusuk celana mereka dan menancap ke lantai. Ada banyak sosok di pintu. Cahaya silau dari belakang membuat yang datang hanya siluet. Keringat mengucur dari kening mereka. Mereka merendah, berusaha melepaskan panahpanah yang menahan mereka, tetapi sebelum mereka melakukan itu, panah-panah melesat kembali dan menahan baju lengan panjang mereka dan menancap ke lantai, membekukan gerakan mereka. “Siapa kalian?” teriak suara yang berat dan terdengar berkuasa. 245
Mereka berjengit mendengar suara seseorang. Mereka terpejam. Pikiran Alnord dipenuhi bayangan Deimos yang kembali datang dan menangkap mereka. “Remaja tanggung?” kata orang tersebut. “K-kami h-hanya menolongnya!” teriak Dardyl dengan mata yang terpejam kuat. “J-jangan s-sakiti k-kami.” Alnord tak mengenal suara tersebut. Itu bukan suara Deimos. Ia mendongak, melihat wajah orang di depannya. Orang tersebut berjubah mewah, wajahnya gempal dan terlihat seperti anak-anak, berambut hitam yang tertata rapi dengan mahkota merah di kepalanya. Ia memakai cincin merah di jari tengahnya. Ia adalah pemimpin kerajaan Ablahar, Ihtizar. Ia dikelilingi semua penjaga yang mengarahkan pedangnya ke arah mereka, penjaga yang sama dengan yang menemani Savenor. “Kalian yang melakukan semua ini? Dua orang remaja tanggung?” Ihtizar mendengus. “Apa lagi ini! Setelah laporan bualan dari kerajaan Morgana, kabut yang dianggap penyerangan besar di seluruh kerajaan, ditambah kekacauan di istanaku!” “Bukan kami yang membuat mereka seperti ini!” kata Alnord. “Seseorang bernama Deimos 246
yang melakukannya! Dia mau melenyapkan Anda!” “Jangan. Sekali-kali. Meneriakiku, Anak Muda,” kata Ihtizar. “Tunjukkan rasa hormatmu padaku.” “Dia juga mau mengacak-acak istana, mencari sesuatu yang disebut kristal Aracruz,” engah Alnord, berusaha menahan amarahnya. “Siapa nama kalian?” Ihtizar mengernyit. “Deimos?” “Dar—.” “Aku Gusta—Gusta Lacour dan dia—dia Rube Erasmus, yang Mulia.” Alnord berdusta cepat sebelum Dardyl menjawab. “Anda harus percaya pada kami!” Dardyl menoleh kaget ke arah Alnord. “Haruskah?” kata Ihtizar. “Setelah membawa senjata dan dengan mataku sendiri aku melihat kalian sedang menyiksa satu di antara mereka, kalian menyuruhku untuk percaya pada kalian? Di mana kalian tinggal? Siapa orang tua kalian?” “Kami pengembara dari kerajaan Colomos, tak punya orang tua dan keluarga dekat,” sela Alnord. Dardyl berjengit mendengarnya. “Kalau memang Deimos yang melakukannya, dari mana kau tahu?” tanya Ihtizar. 247
Alnord tahu Ihtizar pasti akan menanyakan hal ini. Mudah menjawabnya, tetapi sulit baginya untuk meyakinkan. “Aku mendengarnya langsung,” kata Alnord seraya berpikir ia harus jujur atau berbohong lagi. “Karena kau yang berbicara dengannya. Aku tak peduli,” kata Ihtizar lalu melengos. “Bawa mereka ke penjara bawah tanah, sel istimewa. Atas tuduhan menyerang istana dan kepemilikan pedang di bawah umur.” Mereka terbelalak. “Kami tak bersalah!” kata Alnord. “Dan tak mengakui perbuatannya,” sahut Ihtizar. Alnord terdiam. “Ambil pedangnya sebagai barang bukti.” Dua dari penjaga mengarahkan tangannya ke panah tersebut dan panahnya langsung pecah menjadi kepingan. Lalu Alnord dan Dardyl merasakan sesuatu yang aneh, tangannya serasa mati, tak bisa mereka kendalikan. Begitu pula dengan seluruh bagian tubuh seakan bergerak sendiri tanpa diperintah. Lalu tangan mereka terangkat sendiri dan mereka sontak berdiri seperti dipaksa bangun. Algorn itu menguasai tubuh mereka. “Anda harus percaya padaku!” kata Alnord. “Ia merencanakan sesuatu! Ia mencari kristal 248
Aracruz dan mau melenyapkan Anda!” Ia menggeliat, berusaha melepaskan diri, sedangkan Dardyl hanya menunduk terdiam. Mereka berjalan seperti boneka tali, kaku dan terseret. “Tak ada kristal Aracruz, Anak muda!” caci Ihtizar. “Bawa yang terluka ke Rumah Kesembuhan dan periksa semua ruangan dan temukan yang diambil kedua bocah pembual berbahaya itu. Juga bungkam mulut mereka!” Alnord berteriak, tetapi terpotong. Seperti ada yang menjahit bibirnya. Mereka memasuki pintu yang menurut Alnord adalah pintu menuju Departemen Pertahanan dan Keamanan. Banyak sekali para pegawai kerajaan yang tergeletak di lantai. Ada juga yang terkulai di meja kerjanya. Dardyl terpejam sampai mereka memasuki sebuah pintu lagi. Dua penjaga tergeletak di ujung ruangan yang sangat luas itu. Seakan tak memiliki perasaan, mereka tak memedulikannya. Satu di antara mereka menekan sebuah batu berbentuk wulfix. Patung tersebut membuka mulut dan batu-batu di sekelilingnya bergeser. Ada yang ke atas, bawah, kanan dan kiri, serta berputar sembilan puluh atau seratus delapan puluh derajat ke depan. Terbentuklah sebuah jalan. Di balik pintu itu hanya ada kegelapan, kelembapan, dan 249
bau lumut dan pesing yang langsung menyergap dari tempat persembunyian mereka. Baunya seperti gudang bawah tanah yang tergenang banjir lalu tak dibersihkan selama bertahuntahun sampai banyak jamur dan lumut. Saat pintu itu seluruhnya terbuka, terlihat tangga berputar menuju bawah tanah. Dardyl tercekat mengetahui mereka akan hidup di tempat gelap di bawah sana dan tak tahu saat mereka dibebaskan, sedangkan Alnord terus memberontak. Ia melakukan hal yang sia-sia. Ia bahkan tak bisa mengendurkan cengkeraman penjaga. Mereka menuruni tangga, suasana di bawah sana gelap. Hanya ada satu lubang tempat masuknya cahaya di setiap sel. Air menetes dari langit-langit. Udaranya basah dan aromanya seamis ikan busuk. Orang-orang yang ada di setiap sel terlihat lemas dan diam. Ada juga yang tertawa gila dan yang menangis ketakutan. “..dia mengerikan, dia datang kemari dengan kebencian..” desis tahanan yang berada di sel paling dekat dengan mereka. Dardyl melirik mereka semua dengan perasaan yang hancur dan penuh dengan pertanyaan ia akan seperti itu sebentar lagi atau tidak, sedangkan Alnord menatap lurus ke depan, tertu250
tup amarah. Entah Alnord harus bersyukur mereka telah selamat atau mengumpat mereka. Kini yang ia pikirkan hanya kelangsungan hidup mereka berdua. “Kita punya teman baru! Ia masih muda!” teriak salah satu dari mereka dengan suara sengau dan tertawa seperti orang gila, disusul yang lain. Lalu, mereka dibawa ke sebuah pintu besi yang dijaga ketat. Satu di antara mereka membuka sel dengan jari telunjuk sarung tangan besi mereka sebagai kunci. Orang-orang dalam sel di sepanjang koridor itu memerhatikan mereka. ”Mengerikan! Kalian mengerikan!” teriak seorang tahanan dalam sel di ujung koridor. Suaranya bergetar seakan baru saja disiksa. “Ia melenyapkan semua orang dengan mudahnya!” Satu Algorn mengangkat tangannya sebagai ancaman. Itu berhasil mendiamkan tahanan yang menyebabkan keributan tersebut. Orang itu langsung meringkuk ketakutan, bergetar. Dampaknya menyebar ke seluruh penghuni sel. Semua diam. Di dalam ruangan tersebut ada sel seperti yang lainnya. Mereka berdua didorong paksa memasuki sel. Sel istimewa itu memiliki dua lapis penghalang, menandakan mereka sangat berbahaya. Setelah pintu sel ditutup, Alnord 251
melompat melihat mereka pergi dari sela-sela jeruji. Hanya kegelapan yang dapat ia lihat. Alnord berteriak minta dibebaskan seraya mengguncang-guncang jeruji, sedangkan Dardyl meringkuk di pojok belakang sel. Lututnya ditekuk. Kepalanya dimasukkan ke lipatan tangan. Kami tahu kalian tak bersalah. Sebuah suara berbicara padanya. Alnord menoleh-noleh, mencari tahu yang berkata itu padanya. Namun, tak ada orang yang di dekatnya yang bersuara, bahkan sekadar membuka mulut. Suara itu hanya ada di pikirannya. Mungkin ia sudah gila, pikirnya. Hanya saja, putusan Raja Ihtizar adalah kekuasaan tertinggi. Alnord menggenggamkan tangan dan menempelkan wajahnya di jeruji, memandangi kedua Algorn tersebut. Mereka berjalan menjauh, tetapi menatapnya lalu berbalik mengabaikan mereka.
252
11 Raungan
Alnord melepas genggaman dan berbalik menghadap Dardyl. Ia menanyakan Dardyl mendengar suara tadi atau tidak. Dardyl mengangkat kepalanya lalu menggeleng lemas dan mengatakan itu tak mungkin. “Lupain,” kata Alnord, “Mungkin aku udah benar-benar gila.” Ia meninju-ninju udara dan menendang kerikil di depannya. Krikil itu melambung ke jeruji dan berdenting. Dentingannya menggema, bersatu dengan suara lantang dari tetesan air. Ia menjatuhkan diri, duduk memandangi sinar matahari yang masuk melalui lubang udara. Tatapannya kosong. Dari kerutan di wajah, tampaknya pikirannya penuh dengan kejadiankejadian yang baru saja ia alami. Ia hanya ingin mencegah sesuatu yang jauh lebih buruk terjadi. Ia yakin akan hal itu, tetapi tak ada yang percaya padanya. Semua hanya menganggapnya gila atau membual. Meskipun Charlom percaya padanya, yang sangat menyedihkannya adalah kenyataan bahwa neneknya juga tak memercayainya. 253
“Aku kangen sama ibu,” kata Dardyl, dengan kepala masih terpendam dalam lipatan tangannya. Alnord tak mengacuhkannya. Yang ia pikirkan sepenuhnya hanya cara agar mereka bisa keluar dari penjara itu dan bisa meyakinkan Ihtizar bahwa yang telah dikatakannya bukan bualan. “Aku kangen sama ayah,” kata Dardyl lagi. Alnord tetap bergeming. “Aku bahkan kangen sama rabbipofku.” Alnord masih diam, bahkan menganggapnya seperti salah satu kerikil yang bertebaran di sel mereka. Dardyl mengangkat kepala, menatap Alnord tajam. “Kau enggak kangen sama nenek, pamanmu, ayahmu?” Alnord tetap diam. “Oh, aku tahu. Kau bahkan sudah enggak peduli sama mereka, Gusta,” kata Dardyl. Bibirnya mencibir. “Kau nganggap mereka enggak ada dan kau adalah pengembara dari kerajaan Colomos?” Alnord terpancing. “Kau enggak ngerti tujuanku mengatakan itu!” “Merasa kau adalah keturunan dari Raja Louis dan merasa enggak pantas jadi anak dari duta besar?” 254
“Kau enggak pernah mikir ya? Kalau kita jujur—” Alnord merendahkan suaranya dan menoleh ke belakang, mencari tahu ada yang mendengar mereka atau tidak. “—kalau tahu kita yang sebenarnya, mereka akan datang ke keluarga kita.” Suara Alnord meninggi. “Kalau ibumu tahu kau dalam penjara, dia akan mati kehabisan air mata.” Alnord tak sanggup menahan amarahnya. Pintu terbuka. Mereka tersentak dan menoleh untuk mengetahui yang datang. Seseorang dengan nampan di tangannya masuk membawakan mereka makanan. Gelas dan mangkuk bergemeletuk di nampan. Ia menjaga jarak saat memasukkannya ke dalam sel mereka. Pelayan tersebut mempersilakan dengan suara bergemetar. Alnord termangu melihat pelayan tersebut. Ada sesuatu yang aneh di pikirannya dan ia tahu itu. “Kau—kau selamat?” tanya Alnord kepada pelayan tersebut. “Kau ta—tahu siapa pelakunya? Kau bisa membuktikan kalau bukan kami pelakunya?” Pelayan tersebut tersentak dan menyeret tubuhnya tertatih-tatih mundur, menuju pintu. 255
“Ja—jangan dekati aku! Ja—jangan bunuh aku! A—aku mohon!” Alnord menjulurkan tangannya. “Aku enggak akan bikin kau luka karena bukan aku yang berbuat itu.” Sepertinya pelayan itu beranggapan lain. Ia bangkit. Napasnya tersentak-sentak keluar. Ia membuka pintu dan menghilang di balik kegelapan. Lalu, terdengar suara mekanik dari lubang kunci. Pintu sel mereka terkunci. Alnord terduduk lemah. “Lihat, bahkan dia takut sama kau,” kata Dardyl ketus. “Dia enggak takut!” kata Alnord. “Dia cuma ngira kita pelakunya. Aku yakin dia kabur dan enggak sempat lihat wajah Deimos!” Dardyl tertawa mengejek. “Itu dalam mimpimu, Bocah!” “Kau enggak dengar ya, Algorn tadi ngasih tahu kita kalau kita emang enggak bersalah?” “Mereka enggak pernah ngomong apa-apa. Kau benar-benar udah gila.” Alnord menoleh tajam. “Bisa enggak kau diam dan percaya padaku?” “Kau selalu nyuruh aku diam!” jerit Dardyl. “Kau enggak pernah dengerin semua yang aku katakan tentang bahayanya yang kau lakukan se256
lama ini!” Muka dan telinganya memerah dan memanas. Ia bangkit dan menatap tajam Alnord yang mendongak ke arahnya. “Dan, aku sekarang tahu seharusnya aku enggak pernah percaya omonganmu!” “Ini soal siapa yang menyuruh makhluk kabut itu menyerang kerajaan kita, desa kita!” kata Alnord. “Ayahmu khususnya!” “Kau selalu sok tahu! Mana orang yang menyuruh makhluk kabut itu?” bentak Dardyl “Kau pembual. Kalau kau cuma mau dapat perhatian. Kau berhasil. Sepenuhnya.” “Aku yakin kalau jadi aku, kau akan melakukan hal yang sama,” kata Alnord. Nada suaranya memelan, tetapi ditekan. “Aku. Akan. Memilih. Untuk. Tidak. Jadi. Konyol,” kata Dardyl menekan setiap kata. Alnord bangkit dan menatap balik Dardyl yang lebih pendek daripadanya. “Seenggaknya kau ngasih saran daripada terus komentar.” Dardyl mendorong Alnord. “Berkelahi bukan jawabannya!” Alnord berteriak. “Kita harus cari cara keluar dari penjara ini!” Alnord menahan dirinya agar tak terjatuh. “Para Algorn tahu kita enggak bersalah! Kita cuma harus bikin yakin Raja Ihtizar! Dia kunci dari kebebasan kita!” 257
“Kau teman terburuk yang pernah kupunya,” kata Dardyl “Dan kau teman terbodoh yang pernah ada,” balas Alnord, Mereka terengah-engah, berusaha meredakan amarahnya. Dardyl terdiam. Ia tampak seperti ingin menangis, tetapi air matanya sebatas membasahi mata. Alnord tak peduli. Ia berjalan menuju nampan yang hanya berisi bubur kentang dan air minum. Ia mengambil keduanya dan memberikan satu kepada Dardyl. Ia menawarkan dengan suara yang terdengar lebih tenang. Dardyl tak menyahut, malah membuang muka. Ia terhenti menyorongkan mangkuk bubur ke mulutnya dan memandangnya. “Sebenarnya aku enggak lapar juga,” keluhnya. Yang memenuhi pikirannya sekarang mengalihkan rasa laparnya. Ia menaruhnya kembali dan duduk tenang bersender di jeruji lalu menenggelamkan kepalanya ke lipatan tangan, tepat seperti yang dilakukan Dardyl sekarang. Ia mengangkat kepala, merasa sebaiknya tak tidur, dan berusaha menahan rasa kantuk dan rasa berat di matanya. Ia kerap kali seperti mengangguk-angguk, agar tetap terjaga. Ia tak ingin masuk lagi ke mimpi buruknya. 258
Perlahan-lahan cahaya dari lubang udara mulai menjingga dan menghilang sama sekali. Hari sudah mulai malam. Di luar sana, hutan Soulom, terdengar suara beberapa jangkrik yang selamat dari penyerangan Aorn dan suara hewan malam lain. Dardyl sepertinya jauh lebih tenang. Mungkin ia sudah tertidur, pikir Alnord. Rasa takut, amarah, dan sedih pasti sangat melelahkan. Tubuhnya terasa mengigil sehingga ia merapatkan tubuhnya pada Dardyl. Ia terus menahan dirinya agar tak tertidur. Ia berjengit ketika sesuatu menyentuh tubuhnya. Di sampingnya berbaris semut-semut, labalaba, dan hewan-hewan tanah lainnya keluar dari sarang mereka dan berjalan menuju jendela berjeruji di atas kepalanya. Ia hanya memerhatikan, tanpa mengira tujuan mereka pergi kemudian mendongak lagi ke langit-langit dan terdiam hingga bulan mencapai setengah perjalanannya. Pada tengah malam, hewan-hewan malam semakin ribut. Tiba-tiba ia merasa tubuh Dardyl dingin. Ia tersentak panik dan mengangkat kepala Dardyl dan sangat terkejut ketika melihat wajah Dardyl. 259
Dardyl sangat pucat dengan bibir membiru. Ia memeriksa denyut di tangannya, tak bergerak. Jantungnya mencelos seakan darahnya berhenti mengalir dan tak lagi berdetak. Ia tak tahu yang harus diperbuat. Ia mengguncang-guncang tubuh Dardyl, tetap tak ada jawaban lalu membaringkan dan membuka kancing lehernya agar pernapasannya lancar lalu menekan-nekan jantungnya beberapa kali. Tetap tak ada hasil. Alnord menghadap pintu meneriaki semua orang meminta bantua, memanggil pelayan, dengan gerakan kikuk antara ingin bangkit dan tetap diam menunggui Dardyl. Tak ada jawaban dari seseorang atau sesuatu dari balik jeruji yang hanya bisa ia tatap. Ia bangkit, merapatkan tubuhnya dan menggenggam erat jeruji besi di hadapannya, seraya terus berteriak meminta bantuan. Suasana hening bergeming. Tetap tak ada jawaban. Ia mengguncang-guncang kesal jeruji yang mengurung mereka dalam keputusasaan. Tiba-tiba Dardyl mengerang. Alnord menoleh tajam lalu menghampiri Dardyl. “A-alnord.” Dardyl mengerang lemas, dengan napas yang masih tak teratur. Alnord menanyakan keadaannya dan yang telah terjadi. 260
“A-aku enggak tahu. T-tiba-tiba a-aku bberdiri d-di t-tengah hutan g-gelap. H-hutan yyang mengerikan.” Dardyl menarik napas panjang dan terbatuk-batuk. “D-daunnya seperti tangan orang mati.” Napasnya terputus-putus. Alnord mengernyit. “Hutan yang sama dengan yang aku masuki.” Alnord menghela napas yang sedikit bergetar seperti isakan. “Di mimpiku.” Ucapan mereka terhenti sesaat, Alnord merasa ada yang lain. Atap gua di atas kepala mereka menjatuhkan serpihan-serpihan kerikil dan butiran debu, mengotori rambut dan baju kusam mereka. Tak hanya itu, tanah yang mereka pijak mulai bergetar. Getarannya meningkat sampai mereka harus berusaha menghindari kerikilkerikil yang berjatuhan. “Kau enggak guncang-guncangin tubuhku, kan?” Dardyl gemetar dan pijakan kakinya tak kokoh. “Gempa,” kata Alnord seraya menarik tubuh Dardyl agar mereka terhindar dari batu yang meluncur ke kepalanya. Getarannya berhenti, tetapi sesaat kemudian terdengar suara raungan, seperti berasal dari binatang raksasa nan buas. 261
“Aku harap itu dari perutku.” Dardyl memekik. “Mendingan itu deh,” kata Alnord seraya terus memandang ke atap gua, berusaha menghindar dan mencegah kerikil menghantam Dardyl yang masih lemah. “Kau tahu cerita naga dari Paman Galungum enggak?” tanya Dardyl. “Benar enggak sih kalau ada naga di dekat sini?” “Enggak ada. Naga itu cuma bualannya.” Dari luar sel mereka, dari sel-sel yang lain, terdengar suara teriakan orang meminta tolong dengan merintih penuh ketakutan. Alnord menoleh, wajahnya terlipat. Ia ikut terhanyut dalam suasana kalut. Raungan itu terdengar lagi, kali ini lebih kuat. Getaran juga menghebat. Seakan mereka berada di atas pohon yang diguncang-guncang bintang buas yang meraung-raung di bawah. Untungnya tak lama kemudian, segalanya berhenti dan mereka bisa berdiri tegak kembali. Alnord tetap awas memandang atap gua. “Aku mau semuanya cepat berakhir,” kata Dardyl. “Aku yang bawa kau sampai kayak begini,” kata Alnord berusaha tenang walau sebenarnya 262
jantungnya berdegup kencang. Ia menatap Dardyl. “Aku juga yang akan bawa kau pulang.” Setelah itu Alnord membantu Dardyl menyandarkan tubuhnya ke dinding. “Aku bisa sendiri.” Dardyl menepis tangan Alnord. Alnord terpejam sesaat. Agar tak tertidur, ia terus memikirkan semua yang sudah terjadi. Ia mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri lalu bersandar di samping Dardyl yang sudah terpejam dengan ketenangan, sedangkan dirinya masih dipenuhi pertanyaan besar. Ia berupaya mencari jawaban. Tak terasa hari sudah pagi. Celah-celah kecil di dinding dan jendela menyampaikan kehangatan cahaya matahari yang menyelimuti mereka. Alnord memutar-mutar pergelangan tangannya di bawah sorotan sinar matahari yang tergaris di depannya. Sinar yang jatuh di tangannya membentuk bulatan sebesar koin emas. Kantung matanya menghitam dan bola matanya memerah karena ia tak tidur semalaman. Alnord merasa dinding gua bergetar pelan lagi. Serpihan-serpihan debu jatuh. Tangannya reflek melindungi mata. Ia membangunkan Dardyl, tetapi Dardyl tetap terkulai. Ia cepat menyadari bahwa itu bukan getaran yang sama 263
seperti sebelumnya. Ia memanjat celah-celah dinding untuk melihat yang sedang terjadi di luar melalui jendela. Ia menggenggam erat jeruji jendela, menahan tubuhnya agar tak jatuh. Getaran itu berasal dari pijakan ratusan kaki para binatang. Mereka berlarian, kabur dari sesuatu yang tak Alnord ketahui. Alnord bertanya kepada dirinya sendiri tentang yang hewan-hewan takutkan seraya terus memerhatikan. Agak melelahkan karena ia harus memaksa kepalanya mendongak setinggi mungkin. Ia hanya melihat burung-burung berterbangan karena terhalang pagar tembok. Ratusan jenis hewan sepert serigala, kijang, tupai dan kera, serta burung berlari, memanjat pohon dan melompat dari pohon ke pohon, serta berterbangan menyebar ke segala arah, menjauhi satu titik: puncak gunung. Mereka berlari bersama seakan tak ada status mangsa dan pemangsa. Ia memicing. Selintas ia melihat seekor hewan kecil yang ia kenali, dengan gigi khas jenisnya, berdiri di pagar. Bahkan ia tahu namanya karena mereka berdua yang menamainya. Mumbley berdecit panik. Alnord membuka lebar mulutnya. 264
Alnord berteriak memanggilnya dengan bantuan satu tangan yang dikatupkan agar suaranya lebih kencang, berusaha melebihi suara raungan kepanikan para hewan. Tak berhasil, Mumbley tak menoleh sedikit pun. Ia memanggil sekali lagi, tetapi tetap tak berhasil. Ia mengorek-ngorek batu dan menggenggamnya kuat—meremasnya sebentar lalu memutar perutnya ke belakang dan memelantingkan batu itu. Batu itu menabrak dinding pagar. Pengerat kecil tersebut tersentak mendengar dentuman kecil itu, melihat ke bawah, dan mencari tahu asal benda itu. Ia menoleh ke arah Alnord. Alnord memanggil sekali lagi seraya melambai-lambaikan tangannya agar memperjelas jalan bagi Mumbley. Alnord bersorai karena Mumbley melihatnya. Mumbley ragu-ragu melompat. Alnord memberi isyarat dengan bibir dan tangannya untuk menyemangatinya. Mumbley berdecit. Walaupun decitannya sama sekali tak terdengar, Alnord terus mendukungnya. Seekor elang menghampiri. Alnord memperingatkan. Elang itu melesat cepat ke arah Mumbley, menukik tajam. Kejadian tersebut terjadi dengan sangat cepat sehingga Alnord tak cermat memerhatikannya dan baru sadar 265
saat Mumbley melompat masuk dan mendekam di pelukan Alnord. Naluri bertahan seekor tupai memaksa Mumbley melompat rupanya. “Kau selamat!” kata Alnord riang. Mumbley melompat ke tubuh Dardyl dan menjilati wajahnya. Tupai kecil itu bergetar dan matanya sayup cemas. Alnord menyuruhnya berhenti dan membiarkan Dardyl istirahat. Mata Dardyl terbuka perlahan. Ia sadar. Mumbley berdecit di hadapannya. Dardyl memanggil Mumbley dengan suara serak. “Kau udah enggak apa-apa?” tanya Alnord seraya merendah. Mumbley melompat ke tanah. Pipinya bergetar-getar seperti Dardyl ketika panik. Decitannya cepat. “Kayaknya dia mau kasih tahu kita yang lagi kejadian di luar,” kata Dardyl heran sambil merendah duduk. Alnord memucat. “Apa pun itu, pasti berbahaya.” Dardyl hanya bisa memandang Alnord. Ia tak tahu yang harus dilakukan. Mumbley melompat melewati celah jeruji dan memanjat ke pegangan pintu. “Kita harus keluar,” kata Alnord, “Kita harus nyelamatin diri sebelum semuanya benar-benar 266
terlambat buat dihindarin.” Ia melompat kembali ke arah jeruji dan mengguncang-guncang palang besi yang terpancang kokoh. Ia meregang kesal sampai memukul salah satu jeruji berdenting. Tubuhnya merosot turun dan badannya berputar menghadap Dardyl. Mumbley yang sudah menunggu melompat setengah terbang. Ia bertengger di pundak Alnord. Alnord memandang luar melalui jendela. Tak ada keributan lagi di sana. Semua hewan sudah pergi menyelamatkan diri dari sesuatu yang tak mereka ketahui. Suara gemuruh lagi terdengar. Kali ini bukan dari pijakan kaki-kaki hewan yang berlari, melainkan berasal dari dalam tanah. Suara gemuruh itu berlanjut dengan getaran pelan, semakin kuat, terus menguat hingga menggetarkan dinding di sekeliling mereka. Guncangan itu cukup kuat untuk menggoyahkan pijakan kaki mereka, memaksa mereka berpegangan di dinding gua. Alnord dan Dardyl mengambil posisi siapmenghindar agar tak terkena jatuhan batu-batu dan kerikil. Begitu juga dengan Mumbley yang memutari tubuh Alnord baik agar tak terjepit tubuh mereka, maupun agar tak tertimpa batu sangat besar menurut ukurannya. Ia berdecitdecit panik. 267
Dardyl mendesah panik. Mereka berusaha menggapai dinding gua untuk menjaga keseimbangan. “Ini tuh gempa terparah yang pernah aku alami,” jerit Dardyl. “Kita belum pernah ngerasain gempa,” kata Alnord seraya menatap langit-langit. Dardyl membalas. “Karena itu aku bilang terparah!” Bahkan sebagian dinding gua longsor, mengejutkan dan mengguncang mereka. Mereka menghindar ke sisi sebelahnya. Guncangan itu semakin kuat, membuat Dardyl berteriak tidak beberapa kali. Langit-langit gua turut runtuh menghujani mereka dengan batu-batu yang berukuran bola sepak dengan bentuk yang tak teratur. Dardyl berteriak memperingatkan seraya menarik kuat tangan Alnord agar mereka tak terkena reruntuhan langit-langit gua. Mereka terjatuh ke pojok gua. Sebuah batu menggelusur dan menjepit kaki Dardyl. Untung sesaat setelahnya, guncangan itu berhenti. Alnord berterima kasih dan menanyakan keadaan Dardyl. seraya membantu menggeser batu yang menjepit temannya. 268
“Ada untungnya juga punya badan tebal,” kata Dardyl dengan napas yang terengah-engah. Alnord menarik tangan Dardyl, membantunya bangkit. Kaki Dardyl sedikit memar sehingga ia agak pincang. Mereka berdua menepuk-nepuk baju mereka, tetapi itu tak berguna. Baju mereka sudah terlalu kotor untuk dibersihkan dengan cara seperti itu. “Kita harus keluar sebelum guncangan” perkataan Alnord terpotong karena ingat sesuatu. “ini yang dimaksud ayahku. Keadaan tanah kerajaan Ablahar enggak kayak biasanya. Akan, akan terjadi bencana besar!” lanjut Alnord. “Bukannya ayahmu bilang enggak apa-apa?” tanya Dardyl, panik. “Aku enggak tahu, mungkin aja dia salah kira.” Alnord mengecilkan suara dan mimiknya mendatar. “Atau mungkin raja yang salah kira,” kata Alnord, dengan raut cemas dan panik terukir jelas di kerutan wajahnya. “Aku enggak mau mati di sini!” pekik Dardyl, jatuh terduduk lemas. Alnord merendah dan memegang pundak Dardyl. “Tapi aku yakin,” kata Alnord, “Kita bisa keluar dan berkumpul lagi bersama keluarga kita.” Ia berusaha menenangkan Dardyl. 269
Alnord merasa semakin bersalah. Ia mengalihkan pandangannya menjelajahi pemandangan di dalam gua. Satu malam ia habiskan di dalam sini. Entah untuk malam-malam selanjutnya atau ia akan mati terpendam hari ini. Ia memandangi dinding gua yang longsor, langitlangit yang runtuh dan satu yang menyentakkan. Sebuah jeruji goyah. Alnord langsung bangkit dan mendekat. Ia berusaha memperjelas penglihatannya. Mata Dardyl mengikuti gerakannya. Alnord menggenggam jeruji itu dan menggoyangkannya. Benar saja jeruji itu tak lagi kuat terpancang. “Kita bisa keluar dari penjara ini!” teriak Alnord senang. Ia mengangkat kakinya, mengambil ancang-ancang dan menendang dengan sekuat tenaga jeruji yang goyah tersebut. Batang jeruji itu terpelanting sampai pojok gua hanya dengan satu tendangan, berdentangdenting tak keruan. Batu tempat terpancangnya jeruji tersebut luruh menjadi serpihan-serpihan debu. Alnord menahan napasnya lalu tertawa kecil dan beringsut menjadi sorakan. Ia menyampingkan posisi tubuhnya dan sesaat kemudian berada di sisi luar jeruji.
270
Dardyl tercengang dan bangkit menghampiri jeruji, berusaha mengikuti langkah Alnord. Ia memandang lebar jeruji tersebut. “Aku enggak yakin aku bisa, perutku besar banget sih.” Baru kali ini Dardyl mengeluhkan badannya. “Ternyata punya badan gemuk enggak ada untungnya.” Ia menyampingkan tubuh dan membandingkan lebar celah dengan lebar perut. Alnord meyakinkan sekali lagi. Mumbley berdecit setuju. Dardyl mengangguk, menghela napas dan mulai bergerak lagi. Alnord menarik tangan kanan Dardyl, bagian tubuh pertama yang berhasil melewati celah tersebut dan kaki kanannya adalah yang kedua. Masih ada jarak antara hidung Dardyl dengan jeruji di depan matanya. Dardyl terpejam erat, menahan sakit di perutnya yang tertekan. “Enggak muat,” desah Dardyl dengan butiran-butiran keringat menetes dari pelipisnya. “Dorong aja!” sahut Alnord, dengan pelipis yang sama basahnya karena ia harus menarik tangan Dardyl. “Udah deh, sakit, perutku terlalu besar!” bentak Dardyl. Alnord terdiam seraya terus memegang tangan Dardyl, tetapi sesaat kemudian mele271
paskannya. Dardyl melangkah masuk kembali ke dalam sel. “Ini enggak akan berhasil,” kata Dardyl. “Aku enggak akan selamat.” Alnord hanya bisa terdiam. Gempa lagi. Dinding gua bergetar dan menjatuhkan serpihan dan kerikil. Orang-orang di luar berteriakan. Mumbley melompat dan masuk ke baju Alnord, melindungi diri. “Aku harus keluar!” seru Dardyl. Ia melompat masuk ke dalam celah jeruji dan berusaha keras mendorong tubuhnya. Alnord tersentak. Tak lama kemudian ia sadar akan yang harus dilakukan. Ia mengenggam pergelangan Dardyl seraya terus melindungi kepala dari kerikil yang meluncur di atasnya. Begitu pula dengan Dardyl. Tak lama kemudian seluruh tubuhnya berada di sisi lain jeruji. Di waktu itu juga getarannya berhenti seakan-akan getaran tersebut ada untuk menyemangati Dardyl. Mereka terdiam sejenak, saling bertatapan, cukup lama. Alnord tersenyum. Dardyl juga. Lalu, Dardyl bersorak heboh dan melompatlompat kecil. Mumbley keluar dari persembunyiannya dan berdiri di atas batu sedang di antara mereka dengan decitannya yang khas. 272
“Udah lama kupikir aku enggak segemuk itu!” kata Dardyl. Sesaat kemudian Alnord berhenti tersenyum ia memandang pintu yang terkunci kokoh di depannya. “Setidaknya untuk tahap pertama.” “Yakin bisa nendang itu sampai copot?” tanya Dardyl. Alnord menggeleng kemudian menunduk dan mencari-cari yang dapat dibuat menjadi kunci paksa pintu tersebut. Ia tak menemukan lempengan besi seperti kunci. Yang ia temukan hanya batu yang sedang Mumbley pijak. “Kadang kekerasan itu perlu,” kata Alnord kepada Dardyl. Ia membungkuk dan mengambil batu tersebut. Mumbley melompat ke pundaknya. Ia meminta Dardyl mundur lalu menghantam keras-keras pegangan pintu dengan batu. Suara dentangan logam menggema sangat hebat ke seluruh penjuru gua. “Yakin mereka enggak dengar ini?” tanya Dardyl di sela-sela suara bantingan yang memekakkan telinga. “Kita cuma punya dua pilihan,” kata Alnord, “Berusaha keluar sendiri atau nunggu dikeluarin. Lebih tepatnya bebas atau terkubur.” 273
Setelah sepuluh kali memukul, Alnord terhenti karena lelah. Ia membungkuk terengahengah, keringatnya bercucuran dari pelipis, dahi, dan leher. Tangannya terberit dan mengeluarkan sedikit darah segar. Dardyl meminta batu tersebut dengan mantap. Alnord menatapnya, sedikit menolak. “Siniin batu itu,” ulangnya. Alnord menyerahkannya. Dardyl langsung mengambil ancang-ancang. “Sekarang kau yang mundur,” tuturnya. “Ini waktunya aku pakai kegemukanku ini.” “AKU!—” kata Dardyl. Ayunan tangannya menyahut, menghantam pegangan pintu. Berdenting jauh lebih lantang daripada tadi. Pegangan pintu itu sedikit terguncang. “—KANGEN!—” lanjutnya dengan bantingan yang kedua. Dentingannya lebih kuat lagi. “—SAMA KELUARGAKU!” teriaknya dengan suara yang lebih lantang dari sebelumnya dan serangan yang jauh lebih dahsyat sebagai akhirnya. Tangan Dardyl terlihat lecet dan lebam. Suara dentingan menggema lalu suara patahan menyahut. Pegangan pintu tersebut patah dan terpelanting jatuh ke tanah. Sekitar lubang kunci penyok akibat hantaman seperti diseruduk banteng lalu 274
suara mekanik pengait patah di lubang kunci tersebut menyambut. Dengan napas yang terengah-engah, Dardyl tersenyum. “Sekali lagi kau berhasil!” kata Alnord girang. Mumbley berdecit heboh. Pintu berderak berat ketika Alnord membukanya. Tanpa ragu, mereka melangkah—setengah berlari.
275
12 Perintah Ihtizar
Mereka terjerembap. Seluruh tubuh mereka tiba-tiba tak dapat digerakkan, kecuali kepala. Alnord mendongak. Karena melihat Alnord yang menatap tajam ke depan mereka, Dardyl ikut menoleh dan terperanjat. Dua Algorn melesat bagai asap dan berdiri di depan mereka tanpa terjatuhkan. Sepertinya mereka tak peduli pada goncangan yang terjadi, entah mereka merasakannya atau tidak. Ketangguhan istana ini mungkin membuat getaran sekencang tadi tak berpengaruh. Dengan keberanian yang dipaksakan, Alnord meminta dilepaskan. “Kau tahu kami enggak bersalah!” Dua Algorn itu terdiam seakan mulutnya yang terlihat seperti jahitan hanya sebuah hiasan. Alnord tak dapat menggertak dengan menatap mata mereka. Mata mereka tertutup kudung jubah. Entah mereka memiliki mata atau tidak. Walaupun mata mereka terlihat, tak ada efeknya sama sekali bila ia melakukannya. 276
Tiba-tiba Dardyl mengerang sakit. Wajahnya memerah akibat meredam rasa perih. Tangan Dardyl terbanting sendiri ke belakang, terikat dengan borgol tak terlihat. Mereka kembali jadi boneka tali. Tak lama kemudian, Alnord merasakan hal juga. Darahnya meletup-letup tak terkendali, seperti mengalir tak beraturan. Alnord menggigit bibir, menahan perih. Dengan gerak seperti Dardyl, ia bangkit. Sekejap kemudian, mereka tak bisa berteriak seakan mulut mereka juga dibekap dengan kain gaib. Rahang mereka tertahan seperti hewan buas yang dipaksa jinak karena moncongnya dikerangkeng. Mereka berjalan tertunduk lemas. Kaki mereka melangkah sendiri. Dua Algorn itu menyusul di belakang. Orang-orang yang berada di dalam penjara sepanjang koridor yang mereka lalui menempelkan tubuh mereka di jeruji untuk menyaksikan. Mereka berharap jangan sampai itu terjadi pada mereka. Di sel dekat tangga, seorang narapidana berteriak dengan wajah takut, marah, cemas, bercampur gelisah. Ia meminta dilepaskan dan memperingatkan bahwa tempat itu akan hancur. Ia mengguncang-guncang jeruji untuk mengalihkan perhatian Algorn. Itu membuat 277
yang lain menoleh, mencari tahu orang bodoh yang berbuat itu. Alnord melirik dengan memaksa tubuhnya sendiri. Orang itu mengumpat, tetapi sebelum menyelesaikan kalimatnya, ia sudah tergantung di dinding. Anak panah menusuk kerahnya, membuatnya tak bisa bergerak. Wajahnya memerah. Bibir rapat dengan paksa. Urat-uratnya lebih menonjol, terutama di leher. Persis dengan yang mereka rasakan saat ini. Hal ini membuat yang lain mundur tak bernyali. Algorn menurunkan tangan dan berjalan kembali seakan tak ada satu pun hal terjadi. Orang itu terjatuh, tampak mati. Dari ujung batas penglihatan Alnord, perutnya masih bergerak. Ia masih bernapas. Alnord beralih dan kemudian memandangi cahaya di puncak anak tangga, sedangkan Algorn hanya terdiam di belakang mereka seakan gerakan mereka sudah diatur. Ada sebuah ukiran wulfix di dinding dekat anak tangga paling bawah. Salah satu dari mereka mengarahkan tangan ke sana dan tiba-tiba ukiran tersebut berderak masuk ke dinding. Anak-anak tangga dan batu-batu dinding bergeser satu per satu, mengubah posisi jalan keluar mereka. Alnord tak peduli, yang ia inginkan hanyalah rumah dan keluarga. Saat melangkah dari anak tangga te278
rakhir, mereka sadar tak berada di dalam istana. Pemandangan di depan menyentak mereka. Jauh lebih buruk daripada penjara. Mereka merasakan kembali nikmatnya udara bebas. Bukannya menikmati udara bebas itu, Alnord mengerang panik, sedangkan Dardyl selalu terdiam seakan sudah tak peduli lagi cara mereka diperlakukan. Alnord menatap tajam Terlihat singgasana megah berukiran patung wulfix yang indah. Di depannya terdapat empat buah tiang penopang papan yang menjorok ke atas sebuah lubang. Dari bibir lubang itu, sedikit asap bergemelut ke luar, membumbung tinggi ke angkasa dan menambah gelapnya langit yang tertutup awan mendung. Itu adalah sebuah kawah. Di dasar lubang tersebut adalah lahar mengalir. Itu adalah tempat eksekusi. Alnord berontak, tetapi sama sekali tak berdaya, sepenuhnya terkendalikan. Ia menyesal telah membantah Ember untuk tak memercayai mimpinya, untuk tak datang ke istana Ablahar, dan untuk tak menjadi penolong konyol yang akhirnya terbakar lahar. Ia rindu keluarga, rindu pelukan mereka, rindu rasa aman. Kekuatan yang menjerat mereka terlepas. Sebagai gantinya, mereka berdua dipasung di dua dari empat tiang. Mereka tetap tak bisa terlepas 279
meskipun dapat berpindah ke hutan dalam mimpi buruknya karena Algorn dapat mematikan kemampuan tersebut. Mereka tak dapat menyelamatkan diri sama sekali. Mereka mulai berkeringat karena kepanikan dan hawa panas dari lava yang mengalir pelan berkelok-kelok di bawah mereka. Mumbley keluar dari lubang leher pakaian dan menatap Alnord dengan mata bulat kecilnya yang berkaca-kaca. Alnord membisiki Mumbley untuk pergi, tetapi Mumbley bergeming. Alnord membentaknya pelan agar tak terdengar Algorn. Wajah Mumbley mengerut kemudian ia turun memutari tubuh dan kaki Alnord dan berlari melewati para Algorn. Ia berlompatan menjauh. Para Algorn tak memerhatikan, lebih tepatnya, tak memedulikannya. Tak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk kabur. Alnord sudah menganggap saat-saat itu adalah detik terakhirnya. Ia tak melawan sama sekali. Begitu pula dengan Dardyl. Tak lama kemudian, Ihtizar datang dengan para Algorn pengawalnya dan beberapa pelayan istana yang selamat. Dengan angkuhnya ia duduk di singgasana di depan mereka. Ia memandang sinis mereka, sedangkan semua Algorn berbaris 280
rapi di samping singgasana, menunggu eksekusi dimulai. Ada seorang jaksa yang membawa gulungan di tangannya, berhenti di kanan depan singgasana. Kemudian ia membuka gulungan itu dan membaca dakwaan mereka. “Jatuhkan mereka saat matahari tepat di atas kepala,” kata Ihtizar setelah jaksa tersebut menggulung kembali perkamen dan mundur. Sebentar lagi waktu terakhir mereka tiba. Algorn pengeksekusi melihat bayangannya yang beringsut mengecil. Ia mengangkat tangannya dan bersiap menarik tuas. Alnord dan Dardyl mengernyit takut. Jantung berdegup kencang. Napas tertahan. Mereka memandang gerakan tangan Algorn yang ingin menjebloskan mereka ke dalam aliran lahar yang meletup-letup. Mumbley yang memerhatikan mereka dari kejauhan berdecit panik seakan dapat merasakan ketakutan dan keputusasaan mereka. Savenor dan para Algorn penjaganya datang. Ia memasang kacamata dan terkejut saat melihat terdakwa yang mereka maksud. Ia meminta maaf sebelum menyela. Ihtizar menyuruh Algorn menunda. Algorn yang siap menarik tuas, berhenti bergerak. Kesempatan mereka hidup menjadi lebih lama. 281
Mereka mengembuskan sisa napas mereka yang tadi tertahan. Ihtizar menanyakan maksud Savenor yang bertanya balik. Jaksa yang kurus tersebut membuka kembali gulungan perkamennya dan memberitahukan nama mereka. “Gusta? Rube?” Savenor mengernyit. Ihtizar menanyakan alasannya terlihat heran. “Maaf, yang Mulia,” kata Savenor, “karena saya mengenal mereka.” Ia menjelaskan saat pertemuannya dengan Alnord. “Apa mereka di sini dengan alasan ada orang yang ingin melenyapkan Anda, yang Mulia? Ia memberitahuku tadi pagi. Ia begitu yakin.” Sangat jelas tergurat keterkejutan Ihtizar setelah mendengar penjelasan Savenor. Ia menoleh tajam, memandang Alnord seakan ingin membakar bola mata mereka. “Kalian membohongiku!” bentaknya sambil berdiri “Cepat jebloskan mereka!” Savenor menyela lagi. “Mereka melenyapkan banyak Algorn dan pegawai istana, dua orang remaja tanggung? Sepertinya tak masuk akal, yang Mulia. Lebih baik kita mendengar ceritanya terlebih dahulu karena saya rasa kini cerita mereka sudah terjadi dan ini menjadi lebih ma282
suk akal walaupun saya belum sepenuhnya memercayainya.” “Aku sudah cukup mendengar cerita tentang orang khayalan bernama Deimos yang mereka ceritakan,” kata Ihtizar. “Ini saatnya mereka menerima akibatnya.” “Maaf, yang Mulia, bukan cerita tentang orang tersebut yang saya maksud, melainkan penjelasan tentang tujuan lelaki yang ia beri tahukan, tujuan Deimos.” “Dan aku harus memercayai mimpinya?. “Sayangnya,” kata Savenor tenang. “Yang ia beri tahukan, pemorakporandaan istana, benar, yang Mulia. Tak ada salahnya bila kita mendengarkannya. Anggap saja itu adalah kata-kata terakhirnya.” Ihtizar terdiam, memikirkan saran itu dan tak lama kemudian kembali duduk di singgasana megahnya. Ia setuju. Jantung Alnord serasa kembali berdetak setelah berhenti sekian lama. Ia menarik napasnya agar tenang dalam penjelasannya nanti lalu mengembuskannya kuat. Alnord berterima kasih sebelumnya lalu menjelaskan dengan hati-hati. “Deimos adalah orang yang nyata. Aku pernah melihatnya berada di hutan Soulom. Para pohon bisa menjadi 283
saksi. Dialah orang yang menyuruh makhluk berbentuk kabut untuk mengalihkan perhatian istana sehingga dia bisa mencari kristal Aracruz. Dia berpikir Anda tetap berada dalam istana sementara yang lain menyebar ke seluruh kerajaan sehingga dia bisa leluasa memusnahkan Anda, yang Mulia.” Ihtizar mengernyit tak setuju. “Itu tak masuk akal,” katanya. “Makhluk berkabut? Kau pasti bercanda. Itu hanya halusinasi dan tak ada kristal apa-pun-yang-kau-sebutkan-tadi di dalam istana. Kalian tetap dalam tuntutan sebelumnya, dengan tambahan pembohongan terhadapku.” Perkataan itu seperti panah yang menancap ke lehernya sehingga ia sulit lanjut menjelaskan. Ia berusaha menelaah ke dalam pikirannya tentang yang akan dikatakannya setelah ini, sedangkan Savenor membetulkan kacamata dengan tenang mendengarkan penjelasannya. Alnord terpejam, berusaha menerawang ke seluruh memori otaknya. Ia berusaha mengingat semua yang telah ia lalui. “Kau membuatku menunggu.” Ihtizar menggerutu dan menghadap Savenor. “Ini seperti omongkosong tentang Taman Batu!” Alnord ingat ketika ia berada di gubuk. Deimos dan seseorang yang tak dapat dilihatnya. 284
“Taman Batu. Ia mencari kristal Aracruz di Taman Batu! Aku mendengar pembicaraan mereka.” “Kau bilang mereka?” Ihtizar memastikan. “Sekelompok orang?” Alnord menjelaskan, tetapi Ihtizar tak tertarik. Ia terus bercerita hingga Ihtizar tak memicing lagi. Kecurigaan Ihtizar berkurang. Itu membuat Alnord lebih tenang dalam menjelaskan. “Aku bisa buktikan,” kata Alnord. Dardyl menoleh tajam ke arah Alnord, merasa sangat tak yakin akan hal ini. Alnord sendiri pun memasang wajah penuh sesal mengatakan hal itu, tetapi tak dapat menarik ucapannya. “Penawaran menarik,” kata Ihtizar. “Lepaskan dan biarkan mereka membuktikan khayalan mereka atau aku yang akan memenggal kepala mereka dengan pedang yang mereka bawa ini bila khayalan mereka ternyata isapan jempol remaja tanggung semata.” Algorn melepas pasungan. Mereka langsung menarik tangan yang sudah mati rasa dan memijitnya. “Kita berangkat sekarang juga, siapkan kuda untukku,” kata Ihtizar. “Kau Savenor, perhatikan kerajaan selama aku pergi. Algorn! jagalah 285
Savenor dan seluruh pegawai kerajaan. Patuhi perintah mereka” “Apa tak sebaiknya menyuruh pelayan saja?” kata Savenor. Ihtizar membantah dan menoleh ke mereka. “Aku ingin memberi mereka pelajaran atas kebohongan mereka.” Savenor merunduk hormat dan berbalik menuju istana dengan para Algorn penjaganya. Tak lama kemudian, kuda untuk Ihtizar telah siap. Kuda itu gagah besar, coklat kemerahan, dan setinggi sepuluh kaki bila berdiri dengan kaki belakang. Surainya berkibar diterpa angin, menambah daya tarik dan kegagahannya. Dua belas Algorn berjalan menggelilingi dan empat dari mereka memasuk Alnord dan Dardyl. Mumbley mengikuti arah mereka berjalan dari kejauhan, sesekali memungut biji Archerry yang dijatuhkan burung di jalannya. Alnord tak sadar meminta pedangnya dengan alasan untuk perlindungan. Jantungnya berdegup kencang menanti jawaban Ihtizar. Ia ingin menarik ucapannya bila mungkin. “Aku tak bodoh, memberikan pedang pada penjahat kerajaan,” kata Ihtizar. “Aku menyukainya dan mengakui pedang ini milikku.” Ia 286
berpaling ke salah satu Algorn “Bungkam mereka.” Mulut mereka seakan terikat dengan kain tembus cahaya. Semua terus menyusuri jalan menuju Taman Batu dan kini memasuki hutan. Banyak sekali jejak-jejak beragam jenis hewan bertebaran, bulu burung, dan banyak pohonpohon bergelimpangan sampai akarnya terlepas dari tanah. Dan juga, terlihat garis-garis retakan di tanah yang tak terhitung jumlahnya. Mereka terus melewati batang kayu yang bergelimpangan, semak-semak biasa dan berduri. Tak terasa mereka hampir sampai di depan Taman Batu. Sudah terlihat air danau biru berkilauan dengan indahnya karena pantulan sinar matahari dan warna langit, dengan riak karena embusan angin. Tiba-tiba dari arah semak-semak yang lebat muncul Deimos. Ia bergerak ke arah yang sama. Ada sesuatu yang berkilau, memantulkan cahaya matahari dari benda di dadanya. Benda itu tak asing bagi Alnord. Deimos memakai kalung pemberian Antonum. Mereka tersentak. Meskipun belum pernah bertemu dengan Deimos, Dardyl merasa ngeri dengannya. Algorn mengambil posisi siap menyerang dan melindungi Ihtizar. Mata Deimos 287
dan Ihtizar bertemu, seperti seekor pemangsa menemukan makanan. “Kebetulan sekali kita bertemu,” kata Deimos, menyeringai. “Pemimpin kerajaan Ablahar, Raja Ihtizar yang Mulia. “Aku tak peduli kau,” kata Ihtizar. “Minggir dari jalanku.” Deimos maju selangkah, membuat para Algorn kini dalam posisi akan menyerang bila Deimos maju selangkah lagi. “Maafkan hamba belum memperkenalkan diri, aku Deimos,” katanya. “Sebelumnya kupikir aku akan melenyapkanmu setelah mendapatkan Kristal Aracruz di Taman Batu. Kenapa Anda ikut pergi saat seluruh penghuni istana disibukkan semua korban para Aorn? Kukira Anda hanya bisa bermalas-malasan di singgasana indah dan aku akan menikmati penderitaan di tempat keangkuhanmu. Ternyata keberuntungan sedang berada di pihakku. Aku memang harus melenyapkanmu terlebih dahulu.” Ihtizar menoleh ke arah Alnord dengan pertanyaan inikah-orang-yang-kau-maksud tersirat di wajahnya. Alnord mengangguk kecil dengan usaha keras, menyakitkan lehernya. Kini Ihtizar, yang sebelumnya menganggap ini kebohongan, sangat percaya dan menyesal karena telah men288
ganggapnya main-main. Begitu pula Dardyl yang semakin percaya mimpi yang ia alami sama dengan yang Alnord beri tahukan. “Sudah tugasku melenyapkan Anda, yang Mulia,” kata Deimos, tenang, tanpa gerakan yang menandakan ia akan memakai pedangnya. Ia hanya berdiri diam dan menatap Ihtizar dengan seringaiannya yang menyeramkan. Ihtizar memerintah semua pengawal melindunginya lebih ketat. Kudanya mendengus, menandakan posisi siaga. Deimos merentangkan tangan. Dari belakangnya, sekumpulan asap putih sangat padat tebal bergumul dan merayap di tanah lalu menyebar luas. Aorn siap menyerang mereka kembali. “Aku dengar kau menyebutnya halusinasi,” kata Deimos. Algorn mencabut pedangnya. Mereka berpencar mengelilingi Ihtizar yang kini terlihat sangat lemah dan tak lebih dari seorang penakut. Bahkan kudanya terlihat lebih berani. Aorn menunjukkan wujud asli dan mengeluarkan kapak tajam. Tiga Algorn melesat ke arah Deimos dan mengarahkan tangan mereka. Deimos menarik pedang dan menangkis semua panah kecil yang menerjang tubuhnya. Namun, 289
ada satu yang meleset dan menancap ke lengannya. Deimos mengerang marah. Kesempatan itu dimanfaatkan ketiga Algorn tersebut sebagai serangan. Darah Deimos seakan mendidih, mengalir deras, dan mengejangkan otot-otot tubuhnya. Ia tak bisa bergerak. Ia terjatuh, bersimpuh, dan mengerang menghadap langit. Dua Algorn melindungi Alnord dan Dardyl. Tiga Aorn yang menyerang mereka seperti ular berbisa yang dapat terbang, berbahaya berlipat ganda. Algorn tak dapat menggunakan kekuatan mereka untuk melawan Aorn karena Aorn tak memiliki amarah, hanya insting. Mereka bertarung dengan pedang mereka. Dardyl dan Alnord tak bisa berbuat satu hal pun. Mereka masih terikat kekuatan Algorn. Salah satu Aorn membalikkan posisi kapaknya. Mata kapaknya menghadap ke atas. Ia menahan pedang Algorn yang ingin menebasnya dari atas. Ia menggeser kapak, mendekati pangkal pedang Algorn yang menahannya. Ia membalikkan posisi kapaknya sekaligus menebas kepala Algorn. Alnord dan Dardyl terkesiap melihat peristiwa yang sangat mengerikan tersebut. Tubuh Algorn tersebut berubah menjadi debu bara. Kemudian debu itu berterbangan. Dardyl terlepas 290
dari kekuatan yang menjeratnya. Ia dapat bergerak lagi. Rasa denyut kakinya yang terkilir kini terasa kembali. Ia menggenggam baju Alnord. Ia berusaha mencari perlindungan lebih, sia-sia. Kini Aorn itu menghadap mereka dengan mata kapak yang mengilap. Dardyl terengah panik. Ia bahkan sulit bernapas. Mereka pasrah, tak ada yang dapat mereka lakukan untuk melindungi diri sendiri saat Aorn tersebut mengayunkan kapaknya ke arah mereka. Mereka hanya dapat terpejam, tanpa berteriak. Lumpur hitam menciprati wajah mereka. Saat mereka membuka mata, tangan kiri Algorn yang melindungi mereka mengarah ke Aorn yang ingin menyerang mereka. Rupanya ia melontarkan beberapa panah kecil ke Aorn tersebut, mengoyak tubuhnya dan menjadikannya lumpur. Mereka selamat, tetapi tidak bagi Algorn yang menyelamatkan mereka. Kedua tangannya bergerak terpisah. Ia tak kokoh menggunakan pedangnya. Ia dapat dijatuhkan dengan mudah. Saat Algorn itu menusuk bagian perut Aorn, kapak Aorn tersebut juga berhasil lolos dari perlawanan Algorn. Aorn tersebut menjadi cipratan lumpur, memadamkan dan mengarang291
kan debu bara sang Algorn. Dengan begitu, kekuatan yang menjerat Alnord pun lepas. Mereka bangkit, berlari menjauh, dan bersembunyi di balik pohon-pohon tumbang. Deimos melihat mereka. Ia tak peduli. Yang ia inginkan hanya Ihtizar. Sementara saat Alnord dan Dardyl kali pertama diserang, tujuh penjaga Ihtizar berkelit. Mereka berusaha melindungi tuan mereka. Mereka bertarung sengit. Suara pedang dan kapak yang cepat dan keras teradu berdentang-denting. Bahkan beberapa kali memercikkan bunga api. Namun, Aorn dapat memasuki celah. Salah satu dari mereka berhasil menembus lingkaran penjagaan. Ia menebas kaki kuda tunggangan Ihtizar. Kuda tersebut langsung tersungkur. Ihtizar jatuh. Ia merintih. Kakinya terkilir. Ia mengerang kesakitan, sedangkan kudanya meregang. Darahnya mengalir. Ihtizar tersambar melihat kuda kesayangannya mati di depan matanya. Ia tak punya waktu untuk memikirkannya. Ia harus menyelamatkan dirinya sendiri. Aorn itu kini sedang menghadapnya. Ihtizar gemetar. Aorn tersebut membuka mulutnya dan menampakkan gigi-gigi taringnya yang berliur kabut. Tangannya tak mampu dengan cepat mencabut pedang Alnord. Kapak Aorn tepat lurus ingin me292
nusuk wajahnya. Ihtizar tepat waktu. Ia menahannya dengan pedang saat ujung mata kapak hampir menyentuh hidungnya. Akan tetapi, tangannya yang tak terbiasa melindungi diri bergemetar. Ia tak kuat menahan lagi. Ia terpejam saat pertahanannya melemah. Beruntung, salah satu Algorn menusuk pedangnya menembus tubuh Aorn. Ujungnya hampir menyentuh perut Ihtizar. Tanpa darah, hanya cipratan lumpur dan peluh memenuhi wajahnya. Ia menghela napas lega. Ihtizar membentak para Algorn untuk memperketat penjagaannya dengan napas yang terengah-engah. Bukan karena lelah, melainkan takut dan sakit di kakinya. Dengan cepat satu per satu Aorn yang menyerang Ihtizar berubah menjadi cipratan lumpur hitam. Jumlah mereka kini habis. “Halusinasi hanya alasan seorang penakut.” Deimos mencabut pedangnya. Ia berjalan cepat ke arah Ihtizar. “Ini kenyataan, Yang Mulia. Hadapilah.” Salah satu Algorn melempar panah-panah kecilnya. Hanya dengan satu tangan Deimos menangkap cepat dua, seperti menangkap lalat, sedangkan satu yang lain ia tebas hingga pecah. “Giliranku,” katanya. 293
Deimos melempar panah tersebut ke dua Algorn. Mereka terpental. Panah itu berhasil menembus dan mereka, seperti terbakar cepat, menjadi debu bara. Deimos menenangkan dirinya, menghilangkan amarah. Ia beradu pedang dengan lima Algorn sekaligus, sedangkan Ihtizar hanya dapat terseok-seok mundur, mencari perlindungan lain. Ia berhenti di balik pohon. Sesekali ia mengintip seperti anak kecil yang ditakut-takuti kakak yang jail. Tiga pedang sekaligus melesat ke arahnya dengan tiga sasaran yang berbeda. Ia posisikan pedangnya secara vertikal. Dapat ditangkisnya semua serangan tersebut. Ia memutar pedangnya seratus delapan puluh derajat. Tiga pedang itu terpelanting. Ia membungkuk dan sangat tepat waktu. Terlihat enam buah panah, masingmasing tiga dari kanan dan kiri, melintas di atas tubuhnya. Panah kecil tersebut melesat menembus tubuh dua Algorn yang saling berhadapan. Mereka terpental dan mendebu bara. Jubah mereka terbawa angin, terbakar, dan menghilang. Kejadian itu sangat cepat, sebenarnya sulit bagi Deimos untuk melawan mereka semua. Itu seperti keberuntungan baginya. Kini hanya tiga yang menjadi lawannya. 294
Deimos menendang tubuh Algorn di belakangnya saat menebas tubuh dua Algorn di depannya. Algorn tersebut terpental. Namun, ia sempat menyayat kaki Deimos. Betis Deimos terluka. Ia merintih dan berdiri agak pincang. Ia menggeram, tetapi cepat menenangkan kembali amarahnya agar Algorn tak dapat mengendalikannya. Kini, Deimos hanya memiliki satu penghalang. Algorn yang tersisa bangkit berlari cepat. Mereka menerjang Deimos. Deimos menangkis hunusan pedang Algorn tersebut, menimbulkan suara dentingan yang mendegupkan jantung. Deimos terus menahan serangan, menunggu saat tepat untuk balik menyerang. Saat itu datang. Posisi pedang Deimos menyerong dari atas kanan dengan ujung pedang di kiri bawah. Ia mendorong tubuhnya, mendekatkan posisinya sehingga pedang Algorn melintas sangat dekat di sisi telinga kiri Deimos. Deimos membanting pedangnya ke atas, memelantingkan pedang Algorn. Pedang itu langsung menancap tanah tak jauh di samping mereka. Dari atas Deimos menghunus pedangnya. Algorn tak memiliki ekspresi, bahkan saat pedang Deimos menusuk kepalanya. Pedang para Al295
gorn pun berubah menjadi debu bara yang tertiup angin. Dari balik batang kayu, Alnord memerhatikan dengan saksama kejadian tersebut. Dengan berkedip saja, ia sudah kehilangan beberapa bagian yang kencang menggetarkan jantungnya. Ia menyeru senang saat Deimos kalah. Ia menutup matanya saat Deimos berhasil melenyapkan satu Algorn, sedangkan Dardyl tak sanggup melihat semuanya. Ia bersembunyi di balik tubuh Alnord. “Kita harus cepat lari dari sini,” kata Dardyl. “Kita harus berbuat sesuatu.” Alnord membantah tanpa mengetahui yang harus dilakukannya. Dardyl terdiam, antara setuju dan tidak. Ia menjadi serbasalah sehingga kembali bersembunyi di balik tubuh Alnord. Sesuatu menyentuh perutnya. Dardyl tersentak lalu berbalik. Mumbley berdiri di sebelahnya. Dardyl memanggilnya setengah tertahan dan memeluk Mumbley. Ihtizar bersembunyi di balik pohon juga di sisi yang lain. Ia tak bisa bergerak ke mana pun. Kakinya seakan ditindih batang kayu yang besar, tak dapat digerakkan. Ia mengerang sakit, 296
tanpa perlindungan. Deimos mendekatinya dan memandanginya tajam. Tak ada yang menghalangi Deimos sekarang. Ia bebas melakukan tugas. Awan mendung mulai terbuka, menyibakkan tirai yang menghalangi sinar matahari. Dengan sinar yang menyorot wajah Deimos, terlihat raut wajah penuh amarah, dendam, dan nafsu ingin melenyapkan yang meluap. Ia terhenti di depan Ihtizar, memandang wajah mangsanya. Terlihat jelas bahwa ia menikmati raut ketakutan dari wajah Ihtizar. “Tak sopan melenyapkan seorang raja yang terhormat dengan pedang kotor,” kata Deimos dengan suara yang dingin seraya mengelap pedang dengan jubahnya hingga ia dapat bercermin. “Ada kata terakhir, mungkin?” Ia mengangkat pedangnya dan siap menebas tepat ke leher Ihtizar. Ihtizar hanya bisa menatap kosong. “Kau pengecut!” terdengar teriakan dari belakangnya, membuatnya menghentikan gerakannya tiba-tiba. Ia menoleh ke arah datangnya gangguan itu. “Aku melihatmu menangisi nasib!” kata Alnord penuh dengan hasrat pembalasan. Ia berdiri tegak dengan kaki bergemetar di depan ba297
tang kayu, tempatnya bersembunyi. “Dan aku merasa iba padamu!” “Kau ngapain sih?” Dardyl berbisik panik. “Maaf, kau terlalu takut sampai suaramu bergetar.” Deimos menyindir. “Kau bisa mengulangi ucapanmu?” Ia berbalik dan menghampiri Alnord seakan mendapatkan mangsa baru yang lebih segar. “Kau takut mati dan itu berarti kau seorang pengecut!” kata Alnord.” Kau selalu takut. Itulah rasanya jadi orang jahat!” Mimiknya mengejek dengan sangat berlebihan. “Kalau kau tak takut mati,” Deimos mengangkat tangannya. “Rasakan kematian itu.” Ia mengepal. Alnord jatuh bersimpuh. Perlahan, uraturatnya membirukehitaman seakan tubuhnya dialiri darah kotor. Kulit di bawah kukunya dan bagian putih di kedua bola matanya menghitam. Dampak yang sama dengan yang Aorn berikan pada setiap camelion. Deimos menikmati kesakitan Alnord. Dardyl meringkih takut, meringkukkan tubuhnya. Ia merasa harus melakukan sesuatu, tetapi tak punya ide. Mumbley berdecit di batu. Sesuatu menghantam pipi dan pelipis Deimos. Darah segar mengalir dari pelipis dan mulutnya. 298
Alnord terlepas dari jeratan kekuatannya. Bagaikan selamat dari cekikan, ia terbatuk-batuk memegangi tenggorokannya. Deimos melirik batu yang baru saja membuyarkan kesenangannya. Ia menoleh ke titik datangnya batu itu. Dardyl berdiri di belakang Alnord dengan dada yang naik turun. Ia meremas-remas kepalannya. Deimos mengangkat tangan kembali. “Tak seorang pun dari kalian bertiga yang akan hidup setelah ini!” Ia berteriak. Pangkal hidungnya berlipat. Sebelum ia mencengkeram genggamannya, dari semak-semak di belakangnya, sulur-sulur menyerbunya. Deimos menoleh, tetapi terlambat. Sulur itu mencengkeramnya kuat seperti tentakel gurita. Deimos tertarik kuat, terseret, dan menerobos semak-semak lalu tak terlihat lagi. Kalung yang dipakainya terputus lalu liontinnya terlempar, menggelinding ke arah danau, dan memantulkan sinar matahari dengan eloknya. Baik Alnord maupun Dardyl tak menyadarinya. Dardyl hanya membantu Alnord untuk bangkit. Liontin itu terantuk batu dan melompat seperti atlet loncat indah yang bersiap masuk ke kolam, tetapi berhenti melayang, tak tenggelam, tak basah, menyentuh air pun tidak. Tangan 299
mungil berbulu lembut menggenggamnya. Mumbley memandang dan terpukau sinar yang terbias. Ia memasukkannya ke mulut lalu berlari dan melompat ke pundak Dardyl. “Kalian tak apa-apa?” tanya sebuah suara yang sangat mereka rindukan. Sudah lama mereka tak mendengar suara itu. Bahkan mereka merasa takkan pernah lagi mendengar suara itu. Dardyl dan Alnord serempak berteriak memanggil Bagnan. Mumbley hanya berdecit senang menemukan teman baru. “Sudah kubilang aku hanya butuh istirahat yang lama,” kelakar Bagnan dengan suara beratnya. “Deimos kau apakan?” tanya Alnord. “Menurutku ia bisa diam di dalam tanah,” kata Bagnan enteng, Alnord dan Dardyl mendesah ngeri dan merasa mual. Bahkan Mumbley ikut berdecit takut. “Apa kalian melihat saat dia—?” Alnord dan Dardyl menggeleng kaku. “Baguslah, terlalu kejam bagi kalian, maaf,” kata Bagnan. “Apa ada yang terluka?” Alnord tersadar dari bayangan menyeramkan tentang kematian Deimos. “Oh ya, tolong, Bagnan, Raja Ihtizar terluka,” kata Alnord. “Kami juga.” 300
Bagnan memanjangkan sulur ke arah danau lalu membentuk lingkaran di ujung sehingga menyerupai mangkuk. Ia menciduknya di danau sampai penuh. Mereka mendekati Ihtizar. Terasa bergetar berjalan di dekat Bagnan. Alnord memungut pedangnya yang tergeletak. “Aku kira kau hanya bisa diam di tempat,” celetuk Dardyl, berkelakar. “Oh ayolah, jangan berpikiran kuno seperti itu,” kata Bagnan santai. “Itu pasti sangat membosankan.” Batangnya terlihat coklat pekat dan daunnya hijau gelap. “Saat itu aku sedang lemah jadi tak bisa berjalan bebas. Saat yang salah untuk sakit. Deimos melukai banyak pohon dan binatang.” Ihtizar berjengit melihat pohon besar berbicara kepadanya. Keterkejutannya itu berkurang saat ia menyadari yang akan dilakukan pohon besar itu. Bagnan memendekkan sulur dan menggantungnya di atas kaki Ihtizar. Bagnan meminta izin, Ihtizar mempersilakan, lalu menuangkan air danau ke kakinya yang terkilir. Ada sensasi seperti dikerubungi semut saat air itu mengalir di kakinya, tetapi perlahan rasa itu semakin berkurang dan biru lebamnya memu301
dar. Kakinya dapat berfungsi dengan baik kembali. Dardyl menyorongkan kakinya dan meminta Bagnan menuangkan air danau kepadanya juga. Alnord menyodorkan tangannya. Dalam waktu sekejap pun, memar dan luka mereka menghilang. “Apa urusan kita selesai?” tanya Ihtizar. “Belum, yang Mulia,” kata Alnord. “Anda tetap harus membantu kami mencegah rencana mereka karena Anda pemimpin kami.” Ihtizar merasa dilecut mendengar ucapan itu, tetapi kelemahan sudah mengakar di tubuhnya. Ia belum bisa sepenuhnya menerima tanggung jawab seperti itu. “Bukankah pohon besar ini sudah menyingkirkan Deimos?” Ia mengelak. “Jadi, tak ada yang perlu dirisaukan lagi, kan?” Bagnan merasa tersanjung jasanya disebutkan. Celah di bawah mata seperti-gumpalangetahnya seperti mulut yang tersenyum. “Deimos punya mitra,” kata Alnord. “Pasti mitranya yang akan melanjutkan misi Deimos kalau dia gagal. Jadilah pelindung bagi kerajaan Ablahar, yang Mulia. Geahm Vledox Veavow Ma Dlooz Mean.” 302
“Kata-kata itu seharusnya tak hanya menjadi slogan, Yang Mulia,” ucapan Bagnan terputus, ia memandang naga di mata Alnord dalamdalam. “Seperti Aracruz.” Alnord terdiam memikirkan identitas Aracruz sebenarnya. Apakah ada hubungan antara matanya dengan Aracruz? Ia tak tahu dan berharap akan tahu secepatnya. Apa yang istimewa dengan kristal Aracruz? Mengapa Deimos diperintahkan untuk mengambilnya? Mengapa Alnord merasa terpanggil seakan ia yang harus melakukan ini? Pertanyaan yang benar-benar mengganggu pikirannya adalah mengapa ia merasa mengenal Aracruz? Ihtizar terhenyak memikirkan harapan dari rakyatnya dan dari sebuah pohon! Ia merasa harus memenuhi harapan mereka, meski harus mengorbankan nyawanya. “Satu orang Deimos saja sudah begitu buruk,” kata Ihtizar. “Kita lanjutkan perjalanan.” Alnord tersenyum puas, begitu pula dengan Dardyl dan Bagnan. Ia memberi Ihtizar pedangnya. “Ini milikmu.” Ihtizar menolak. “Seharusnya aku tak merebutnya darimu.” Sangat berbeda dengan dirinya sebelumnya. 303
“Seorang pemimpin harus melindungi rakyatnya,” kata Alnord. “Sebagai balasannya, rakyat harus percaya pada pemimpinnya. Aku sepenuhnya percaya pada yang Mulia.” Ihtizar terdiam sesaat lalu mengambil pedang tersebut dan memasukkannya ke dalam sarungnya. “Terima kasih telah memercayaiku. Maaf telah menjadi pemimpin yang buruk selama ini.” “Tak ada kata terlambat,” kata Bagnan. Alnord menoleh ke Dardyl. “Kau mau pulang?” Dardyl menggeleng. “Enggak ada lagi orang yang berbahaya kan?” katanya. “Aku penasaran sebagus apa sih kristal Aracruz itu. Kau ikut, Bagnan?” “Cukup kakiku saja yang masuk ke tanah,” kata Bagnan dengan suara yang terdengar seperti dentuman. “Aku tak mau tubuhku digerayangi cacing.” Mereka tertawa seakan lupa dengan kejadian barusan. “Sampai ketemu lagi, Bagnan,” pamit Alnord. “Sampai ketemu lagi, Alnord, Dardyl, Yang Mulia Ihtizar, dan tupai kecil yang lucu ini.” Mumbley berdecit senang mendengarnya. 304
Mereka berempat menjauhi Bagnan. Alnord masih menoleh ke belakang dan tersenyum. Ia berharap itu bukan senyuman yang terakhir. Alnord berbalik dan terpukau menatap Taman Batu yang sangat indah terpancang kokoh di depan mereka.
305
13 Sang Penjaga Kristal
Taman Batu itu terletak persis di samping danau. Banyak tanaman rambat dan lumut menutupinya, tetapi sama sekali tak menghilangkan keindahannya. Seperti umumnya, ukiran-ukiran seperti wulfix dan naga memenuhi dindingnya yang hanya sepanjang seperempat lingkaran. Sisanya hanya pilar-pilar setinggi dinding, sekitar dua tiga. Tempat duduk menempel dengan dinding menghadap danau. Tak ada atap. Lantainya berbentuk lingkaran dan terbuat dari batu marmer. Ada celah-celah berupa lingkaran sehingga dilihat dari atas, lantai itu seperti papan target. Garis-garis tak jelas dan tak teratur melintang di setiap bagiannya, sedangkan di pusat lingkarannya terdapat tiang batu dengan telur batu di atasnya. Telur batu itu berlubanglubang termakan usia. Dardyl bertanya tentang yang harus mereka lakukan selanjutnya. 306
“Pasti ada semacam pintu dan. Aduh,—” kata Alnord. “Jangan bilang kau lupa kata sandinya?” sahut Dardyl. “kita butuh liontinku sebagai kuncinya, itu yang kudengar,” kata Alnord. Ia tersadar bahwa liontin yang ia miliki sejak kecil adalah liontin Aracruz. Ia pun bertanya-tanya tentang asalusul ia bisa memilikinya. Namun, tak ada waktu untuk memikirkannya. “Deimos merebutnya.” Mumbley seakan mengerti lalu memanjat ke pundak Dardyl dan memperlihatkan yang ia tangkap tadi. Alnord berteriak girang dan mengatakan Mumbley sudah menjadi pahlawan Ablahar. Alnord memintanya kembali. Mumbley berdecit lalu menjatuhkan kalung. Alnord menadahnya dan menatap kristal di liontinnya. “Kalau liontin ini sebagai kunci,” katanya lalu menatap yang lain. “Kita harus mencari sesuatu yang ukurannya tepat seperti bentuk liontin ini,” sahut Ihtizar. Mereka bertiga menyusuri lantai, menyibak sulur tanaman di dinding. Mumbley melompat dari pundak Dardyl dan memanjat tiang batu yang ada di tengah taman. Cukup lama mereka 307
mencarinya hingga tak yakin akan menemukannya. “Kita enggak berhasil, Mumbley,” kata Dardyl pada Mumbley yang bertengger di telur batu. Tupai kecil itu hanya dapat menggigit-gigit biji tanaman yang menempel di rambut tangannya. Dardyl terhenyak, sudut matanya menangkap sesuatu. Lubang-lubang di telur batu itu bukan hanya menandakan bahwa telur batu sudah rapuh, tetapi juga memberitahunya bahwa telur batu itu adalah tempat kunci taman batu ini. Dardyl berteriak girang. “Lagi-lagi Mumbley yang menyelamatkan Heldon!” Alnord dan Ihtizar menghampiri Dardyl. Dardyl menunjuk lubang tersebut. “Kupikir sekarang aku yang menyelamatkan Heldon,”katanya. Lubang tersebut berbentuk persis seperti kristal liontin Alnord. Alnord memasukkan liontin tersebut perlahan. Terdengar suara dentingan logam saat liontin itu dengan tepat memenuhi lubang tersebut. Ia memutarnya ke kanan, menunggu dampaknya sesaat lalu mencabutnya. Tak ada yang terjadi, tak ada suara gemuruh, getaran, atau apa pun yang menandakan liontin ini bekerja. 308
“Mungkin sudah terlalu lama tak dimasuki,” kata Ihtizar. “Aku hanya enggak mau semuanya jadi siasia,” kata Alnord. Ia menggenggam liontin, setengah meremas. Lantai batu itu bergetar. Mereka berusaha menyeimbangkan badan. Ihtizar berseru beranjak dari taman itu. Cukup sulit berlari di tanah yang bergetar, tetapi mereka berhasil. “Tanahnya enggak bergetar. Cuma Taman Batu yang bergetar,” kata Alnord. Tak ada yang membantah pendapatnya. Lantai taman bergerak. Tiap-tiap lapisan lingkaran di lantai batu berputar berlainan arah dengan lapisan-lapisan yang mengapitnya. Suaranya menggemuruh bagaikan tanah longsor. Tiang batu di tengah lingkaran pun ikut berputar dan perlahan telur batu di atasnya berputar masuk seperti sekrup. Tak lama lantai itu berputar lalu taman itu berhenti bergetar. Goresangoresan di lantai membentuk sebuah relief hewan yang sering ia temui: naga yang kali ini teringkuk melingkar. Ada yang bertambah di lantai batu itu, sebuah lubang dengan anak tangga menuju bawah tanah. Air danau perlahan masuk karena permukaan lantai batu menjadi lebih rendah. 309
Ihtizar memimpin di depan dengan sikap siaga tangannya menggenggam pegangan pedang. Yang lain mengikuti dari belakang. Perlahan mereka menuruni tangga spiral. Air danau yang masuk mengalir jatuh membentuk air terjun kecil. Tumpahannya terus mengalir ke lorong di ujung tangga spiral. Saat mereka sampai di anak tangga paling bawah, mereka takjub memandang lorong yang ada di depan. Air danau yang masuk menjadi sungai di kedua sisi lorong itu. Tak segelap yang mereka bayangkan sebelumnya, bahkan tak pernah tebersit di benak mereka rupa lorong tersebut. “Menakjubkan,” seru Ihtizar, disambut decak kagum dari yang lain. Dinding lorong dipenuhi batu-batu rubi yang berkilauan, seperti bintang, satu sama lain memantulkan cahaya dari ujung lorong. Cahayanya sangat memukau saat terpantul air sungai. Di bawah air sungai pula ada banyak batu rubi yang berkilauan, sinarnya terbias air, membuat bayangan yang memesona di dinding. Betapa senang Mumbley melihat semua benda-benda yang ia inginkan selama hidup ada di depan hidung kecilnya. Mereka melangkah maju, masih terkagumkagum keindahan alam yang mereka telusuri. 310
“Ini pasti tinggalan Aracruz,” kata Alnord, seraya meraba satu batu rubi. Dardyl mencabut satu batu rubi yang kecil di dekatnya lalu memberikannya kepada Mumbley yang sangat riang menerimanya. Tupai kecil itu mengitari leher Dardyl dan mencium pipi kirinya. Dardyl menganggap itu sebagai ucapan terima kasih dan balas menciumnya. Mereka terus mengikuti liukan yang cukup banyak dalam terowongan ini. “Apa ini yang dimaksud kristal Aracruz, yang Mulia?” tanya Alnord, berharap Ihtizar mengetahui sesuatu. Ihtizar tersentak dari keterkagumannya. “Kurasa bukan. Ini batu rubi alam asli. Satu lagi, jangan panggil aku yang Mulia lagi. Aku merasa tak pantas, panggil aku paman saja, nama pun aku tak keberatan.” Alnord tersentak karena sikap Ihtizar benarbenar berubah dan mendapatkan sesuatu yang baru. “Apa maksud Paman dengan kristal dari jiwa Aracruz?” Dardyl menyimak pembicaraan mereka karena juga baru mengetahui hal ini. “Apa kau tak tahu apa-apa tentang kehidupan di luar?” kata Ihtizar. 311
Alnord menggelengkan kepalanya. “Keingintahuan yang besar dengan kekangan nenek sama sekali enggak cocok,” kata Alnord. “Kau dapat mengeluarkan segala sesuatu yang abstrak dari dalam dirimu, emosi seperti kemarahan, kesedihan, keputusasaan, rasa dendam, pikiran buruk, memori terindah, ilmu pengetahuan, semuanya, dalam bentuk kristal.” Ia meraba-raba dinding gua bagai arkeolog yang sedang menganalisis. “Terkadang penyakit mematikan juga bisa, tetapi kecil kemungkinannya. Perlu proses yang lama dan menyulitkan.” “Jadi, Aracruz menciptakan kristalnya sendiri lalu menyimpannya di sini?” “Itu yang sedang kita buktikan sekarang,” kata Ihtizar. “Dan, bila salah, aku takkan menghukum kalian berdua.” Dardyl berterima kasih lega. Alnord terdiam berusaha memahami yang baru dipelajarinya, tanpa berhenti berjalan. “Paman tahu siapa Aracruz itu?” tanya Alnord. “Tak pernah mendengar namanya sampai kau menyebutnya,” kata Ihtizar. Tanpa mereka sadari sudah terlihat ujung terowongan itu sehingga mereka mempercepat langkah. Ternyata perjalanan mereka belum se312
lesai. Ujung terowongan itu berada di tepi jurang yang sangat dalam, dengan aliran lahar kental, merah kehitaman, meletup-letup di bawah sana. “Aku enggak bisa melihat ujung jurang ini,” kata Alnord seraya melirik ke kanan dan kiri, mencari-cari dindingnya. “Ini bukan kubangan, ini sungai lahar.” “Tiba-tiba aku rindu langit,” tukas Dardyl saat melihat atap lembah yang juga berupa batu. Lembah lahar itu benar-benar tertutup. “Kupikir ini perut pegunungan Merope,” kata Ihtizar. “Hanya Taman Batu jalan keluar satusatunya bila gunung ini meletus.” Dardyl menelan ludah. Alnord memalingkan pandangannya ke air danau yang jatuh di kedua sisi yang langsung menjadi uap ketika tiap bulirnya menyentuh lahar, sedangkan lahar yang terkena air menghitam dan mengeras. Di tengah air terjun terdapat jembatan batu yang kokoh, dengan pilar-pilar penunjang sampai ke dasar lahar. Di ujung lain dari jembatan itu terpasang pintu kayu-besi yang sangat besar dan megah, dengan ukiran-ukiran yang kebanyakan, lagi-lagi, berbentuk naga. Mereka kira perjalanan ini akan tanpa masalah. Banyak Aorn yang tak memenuhi janji me313
reka untuk membantu Deimos dan memilih tinggal di danau yang menurut mereka nyaman. Mereka tak tahu, satu Aorn yang hidup di danau Nyos terperosok masuk saat sebelum pintu Taman Batu tertutup. Seperti jembatan batu lainnya, mereka menjatuhkan serpihan kerikil dan pasir saat dipijak. Ihtizar menyarani sebaiknya tak melihat ke bawah saat mereka menelusuri jembatan batu menuju seberang. Dardyl berjalan kaku. Ia ingin sekali merayap karena tak ada pegangan di sisi jembatan, tetapi ia yakin itu akan lebih menyulitkannya. Begitu pula dengan Mumbley, ia berputar dari pundak kanan Dardyl turun ke pinggang kiri melalui punggung Dardyl dan masuk ke baju, bersembunyi seperti biasa untuk melindungi diri dan kristal kesayangannya. Kini mereka berada di pintu besar dengan patung naga di tengah celah kedua bilah pintu. Patung itu menatap lurus ke depan. Sayapnya terlipat. Ada lubang di dahinya. Dardyl menyadari bentuk lubang yang sama dengan bentuk liontin Alnord lalu meminta Alnord mengeluarkannya. Alnord tersentak dari keterpukauannya akan pintu tersebut. “Aku tahu,” katanya, “Kau enggak perlu mengingatkanku.” Ia mengambil lion314
tinnya dan memasukkannya ke dalam lubang. Sangat cocok. “Enggak bisa diputar,” kata Alnord saat berusaha memutar liontinnya seperti yang telah ia lakukan sebelumnya. “Juga enggak bisa diambil,” katanya seraya dengan sekuat tenaga mencabutnya. “Jangan terlalu dipaksa,” saran Dardyl. “Aku enggak boleh kehilangan liontin ini,” kata Alnord seraya terus berusaha agar liontinnya dapat lepas dari tempatnya. Usaha Alnord terhenti, tiba-tiba dari mata patung naga tersebut keluar cahaya merah menyala seakan-akan naga itu hidup dan ingin terbang lepas. Mereka mundur beberapa langkah, waspada dan ingin memerhatikan yang akan terjadi selanjutnya. Sayap patung naga itu terkembang seakan ingin terbang dan dengan suara derakan yang bergema ke seluruh penjuru lembah, pintu itu perlahan mengayun ke dalam, memperlihatkan sesuatu yang mereka jaga. Sesuatu itu sangat indah, jauh lebih indah daripada terowongan berdinding penuh batu rubi. Ada istana di dalamnya. Mereka melangkah masuk beriringan dengan ketertakjuban. Istana itu lebih besar daripada is315
tana Ablahar yang berdiri di atas dan sangat terang. Pancuran lahar dari patung-patung naga di kedua dinding yang mengapit mereka mencahayai istana itu lalu mengalir menjadi sungai lahar sepanjang koridor. Pancuran itu sebenarnya mengeluarkan air danau, tetapi berubah menjadi lahar karena suatu hal. Alnord memandangnya seakan-akan tak percaya istana itu didirikan di bawah tanah. Langitlangit menjulang tinggi dan ornamen-ornamen batu berkilauan dan pilar-pilar yang megah. Lengkap dengan stalagmit dan stalaktit raksasa yang mengilap sehingga memantulkan cahaya lahar. Alnord berusaha mengambil kembali liontinnya dan dengan mudahnya berhasil lalu memasukkannya ke saku celana. Saat mereka mencapai pertengahan koridor istana—menurut perkiraan mereka—terlihat sesuatu yang berkilauan berdiri di ujung koridor tersebut. Kilauannya mengalahkan batu-batu rubi di terowongan batu tadi. “Leluhur Mumbley ya, yang bangun istana ini?” tanya Dardyl, ia yang kali pertama melihatnya menunjuk ke arah benda tersebut. “Banyak amat yang berkilauan di sini.” 316
Yang lain menoleh ke arah yang Dardyl maksud. Tanpa pikir panjang Alnord berlari menuju benda tersebut. Yang lain menyusul di belakang. Saat benar-benar dekat, Alnord melihat dengan pasti benda yang memesona itu. Benda tersebut tak terlalu besar dapat dipegang dengan satu tangan saja, berukir-ukiran indah dan sangat detail. Ada lima celah yang melintang dari kutub selatan dan kutub utaranya dengan penahan berbentuk bintang di kutub utaranya dan pijakan di kutub selatannya. Benda itu tak berbentuk aneh, lonjong, menyerupai sebuah telur. “Ini yang disebut kristal Aracruz?” tanya Alnord, pupil matanya mengecil, memandang terus menerus cahaya berkedap-kedip dari benda itu. “Benda ini terbuat dari emas,” jelas Ihtizar. Alnord tak menjawab. Ia mendekatkan tangannya untuk menyentuh Telur Emas. Ihtizar menahannya. Ia menggelengkan kepalanya, memberitahunya Telur Emas itu mungkin berbahaya. Namun, Alnord mengangguk kecil, merasa yakin dan berusaha meyakinkan bahwa Telur Emas itu takkan melukai siapa pun. Dardyl tertegun panik, begitu pula Mumbley. Alnord menyentuh Telur Emas itu. Ia menahan 317
tangannya beberapa detik, menunggu reaksinya. Dardyl menahan napasnya. Ihtizar mengerutkan dahinya. Kecemasan menyelimuti. Tak ada yang terjadi. Raut wajah Ihtizar melemas. Dardyl menghela napasnya, lega. Alnord terpejam dan mengembuskan napas. Ia berusaha menenangkan degup jantungnya yang begitu terasa sampai kaki. Alnord mengambil Telur Emas itu. Namun, sekali lagi, tangannya ditepis. Kali ini bukan Ihtizar, melainkan Dardyl. “Ngapain sih?” pekik Dardyl, tak tahan dengan sikap sok-tahunya. “Enggak akan terjadi apa-apa,” kata Alnord. “Kau hanya terlalu panik.” Alnord berusaha meyakinkan yang lain dan diri sendiri. “Yakin banget?” kata Dardyl. “Mungkin aja ini penghancur istana, begitu kau cabut, istana ini akan hancur atau apalah!” “Mungkin saja dia benar,” sahut Ihtizar, “Kita tak boleh gegabah.” “Paman tahu di mana kristal itu?” kata Alnord ketus. “Aku tak tahu,” kata Ihtizar terus terang. “Kau yang lebih tahu.”
318
“Kalau begitu jangan menghalangiku,” kata Alnord menyebalkan. Ia berbalik dan mencabut Telur Emas tersebut. Kecuali Ihtizar, mereka terpejam. Cukup lama sampai Alnord membuka mata. “Lihat!” kata Alnord. “Enggak terjadi apa-apa, ayo kita pergi dari sini.” Ia tersenyum puas pendapatnya benar. “Kau yakin ini kristal Aracruz?” tanya Dardyl. “Aku enggak yakin,” kata Alnord. “Yang jelas, ini pasti sesuatu yang penting sampai harus disembunyiin di sini.” Alnord melangkah menuju pintu. “Pasti orang yang nyembunyiin nganggap ini tempat terbaik,” kata Dardyl, tak setuju dengan perbuatan Alnord. “Kembaliin.” “Mereka tahu istana ini!” kata Alnord ketus. “Gimana kalau mereka ngambil Telur Emas ini?” “Tapi mereka enggak punya kuncinya, kan?” balas Dardyl, tak kalah ketusnya. “Bukan berarti mereka enggak bisa bobol pintunya!” Dardyl diam karena tak tahu yang harus ia katakan lagi. Ihtizar, tak tahu sikap yang harus ia ambil. Menurutnya Dardyl benar, tetapi ia tak menganggap Alnord salah. Mengambil putusan 319
tepat adalah kelemahan terbesarnya apalagi harus dalam waktu singkat. Mereka berhenti berjalan, sesuatu menghambat mereka. Tanah kembali berguncang pelan. “Lagi?” kata Dardyl. “Aku sudah bosan digetarkan.” Tanpa banyak omong lagi mereka mempercepat langkah mereka hingga taraf setengah berlari. Di belakang mereka, terdengar suara derakan seperti batu yang sangat besar bergeser. Namun, getaran itu dengan cepat berhenti lalu diikuti sebuah raungan yang nyaring dan hawa di dalam istana bawah itu memanas. Mereka berbalik dan terbelalak. Dardyl berbicara sendiri dengan suara datar seraya menampar pelan pipinya. “Ini hanya mimpi, Dardyl, naga itu hanya sebuah mitos.” “Kau enggak lagi bermimpi,” sahut Alnord, juga dengan intonasi rata. Mereka terpaku melihat naga di depan. Naga itu meraung-raung, menyemburkan bola api raksasa dari mulut dan lubang hidungnya. Setelah berhenti menyulut api, ia menatap mereka bertiga, dengan pupil tipis vertikalnya yang dikelilingi selaput pelangi kuning. Ia mengedipkan kelopak dalamnya, berupa selaput putih yang mengatup dan terbuka secara vertikal. 320
Ihtizar menyuruh mereka berlari, sedangkan ia tak bergerak sedikit pun. Yang ia lakukan hanya mencabut pedang. Naga itu mengembangkan sayapnya, seperti patung naga yang ada di depan pintu. Naga itu terbang menuju mereka. Panjangnya sekitar seratus kaki, sisik-sisiknya merah mengilap dan menonjol seperti batu. Cakarnya terlihat sangat tajam dan di ujung ekornya, terdapat tanduktanduk runcing. Ia bisa menusuk sepuluh orang dengan ekornya. Ihtizar bersiap-siap. Naga itu sebentar lagi tepat di depannya. Ia tahu takkan bisa melawan naga itu. Namun setidaknya, ia akan menghambat naga itu menyerang yang lain. “Geahm Vledox Veavow Ma Dlooz Mean,” katanya pada diri sendiri. “Lihat yang kauperbuat!” bentak Dardyl, sambil berlari terpontang-panting. “Bukan saatnya untuk saling menyalahkan,” pekik Alnord, membela diri. “Lempar telur itu ke dia!” seru Dardyl dengan napas terengah. “Mungkin saja itu telurnya. Mungkin itu enggak terlihat seperti telur asli, tapi mungkin telur itu menyimpan banyak kenangan jadi sangat berarti baginya.” 321
Alnord termenung, memandang Telur Emas itu seraya terus berlari lalu membantah. Jarak Ihtizar dan naga itu menyempit. Ihtizar memperkuat kuda-kudanya. Ia bersiap menghunuskan pedangnya. Naga itu merendah seolah ingin membuktikan yang lebih kuat. Tepat setelah naga tersebut meraung ke arahnya, dengan lidah api kecil yang mengancam dari hidungnya, Ihtizar menusuk dagu naga tersebut. Sayangnya, pedang itu tak menembus sedikit pun lapisan kulit sang naga. Naga itu mendarat dan menebaskan batang ekornya ke arah Ihtizar. Ekornya bergerak sangat cepat sehingga berdesing. Ihtizar langsung terhempas dengan mudahnya. Pedang terlepas. Ia pingsan saat tubuhnya terbanting di pilar batu solid. Naga itu meraung kesal dan mengembuskan bola api besar ke arah yang lain. Dardyl menoleh ke belakang. Ia merebah dan menarik kaki Alnord. Alnord langsung terjerembap. “Aduh, kau—!” ucapan Alnord terpotong ketika bola api membakar udara sejengkal di atas mereka. Suhunya seketika membuat mereka berkeringat. Lalu, apinya melayang ke atas dan menghilang di langit-langit gua. Dardyl mendongak dan melihat naga itu mengepakkan sayap lagi. 322
Mereka bangkit dan berlari sekencangnya. Pintu gerbang sudah dekat. Mereka mempercepat langkah dua kali lipat. “Aku janji akan percaya setiap ucapan Paman Galungum!” teriak Dardyl. Mumbley hanya dapat berdecit panik di pundaknya. Mereka memang bukan saingan sang naga. Naga itu menyusul. Saat naga itu melintas tepat di atas kepala mereka. Mereka mendongak, memerhatikan ruasruas tubuh naga itu dengan wajah pias. Ada sebuah bekas luka menganga di bagian dada. Mereka menghentikan langkah, tak memedulikan bekas luka itu. Mereka memerhatikan gerakgerik naga dan berusaha menduga yang akan ia lakukan. “Kita seharusnya menyingkir,” kata Dardyl. “Mungkin dia cuma mau keluar dari sini.” Naga itu tak melintasi pintu, tetapi mendarat di depan mereka. Dengan ekornya, ia membanting pintu, mengurung mereka dalam teror. Naga itu meraung, mendongak, memancarkan bola api besar. Intensitas cahayanya melebihi yang dipancarkan baik telur emas maupun sungai lahar di sisi koridor. Mereka berbalik dan berlari dengan sisa tenaga. 323
“Kita membuatnya bingung,” kata Alnord. “Kita berpencar!” Ia membanting arah larinya ke sisi kanan koridor. “Itu bukan ide yang bagus,” pekik Dardyl. Alnord sudah terlalu jauh untuk mendengarkannya sehingga ia menyerong ke kiri. Rencana itu gagal total. Naga itu dapat menentukan mangsanya dengan cepat. Dardyl mengetahui sifat itu saat menoleh ke belakang dan menyadari bahwa ialah sasaran naga itu sekarang. Dardyl mendesah, mempertanyakan alasan ia yang naga itu pilih. Alnord berhenti dan berusaha menolong Dardyl. Sayangnya, ia tak tahu yang harus ia perbuat sehingga hanya menyaksikan dengan wajah pucat dan cemas. Tulang dadanya naik turun. Napasnya terengah-engah. Wajahnya kotor dan penuh peluh. Dardyl berlari di antara pilar-pilar. Ia sangat berhati-hati agar tak terlalu ke kiri dan tercebur ke sungai lahar. Naga itu sangat meraung-raung seraya menabrak pilar pertama sehingga pilar itu rubuh. Pilar pertama menimpa pilar kedua dan seterusnya. Itu seperti domino raksasa yang dipermainkan dengan mudahnya. Naga itu den324
gan senangnya melintasi pilar-pilar yang berjatuhan, bermanuver. Dardyl berteriak, sulit memutuskan antara meninggal karena tertiban pilar yang jatuh, dimangsa seekor naga, dan terbakar lahar dengan tujuan menghindari dua alasan sebelumnya. Saat menoleh ke belakang, ia melihat sebuah pilar yang terjatuh miring dan akan menimpanya. Dardyl memilih pilihan pertama. Ia berhenti berlari dan terpejam. Tangannya langsung tertekuk di depan wajah seolah-olah dapat melindunginya. Kemudian pilar itu rubuh. Ia membuka mata dan mendengus lega ketika tahu ia masih di tempatnya semula. Pilar itu menabrak dinding dan tertahan, tetapi hanya sebentar. Pilar itu bergeser. Dardyl berlari menghindar. Sekilas ia melihat naga itu menganga. Dari sudut mata, Dardyl melihat ada ruang di antara pilar-pilar yang bertumpukan dan itu adalah tempat sembunyi paling tepat. Pilar itu rubuh dan menjebol tembok pembendung aliran lahar, membiarkan lahar itu mengalir pelan ke luar. Alnord melihat Ihtizar terbaring di pilar di dekatnya. Pedangnya tergeletak tak jauh. Ia menghampiri dan mengguncang Ihtizar, berusaha membangunkannya. Namun, Ihtizar tetap 325
diam. Ia menaruh Telur Emas di samping Ihtizar dan mengambil pedang. Naga itu mengendus-endus di lubang tempat Dardyl bersembunyi. Dardyl merapatkan tubuhnya lebih dalam agar naga itu tak dapat mencapainya. Ia membungkam mulut, meredam suara napas tanda keberadaannya. Ia tak bisa menghindar lagi apabila naga itu menyemburkan lidah api ke arahnya. Napasnya saja sudah sangat menggerahkan Dardyl. Naga mendelik, tangannya yang menyatu dengan sayapnya mengulik celah-celah seperti seekor kucing yang menemukan daging di lubang sempit. Keadaan Dardyl semakin terjepit. Lahar yang meluap keluar, mengalir ke arahnya, sedangkan ia sama sekali tak punya tempat lagi untuk menghindar. “Jangan lagi,” desis Dardyl. Ucapannya membuat sang naga semakin giat mengulik dengan tangannya untuk mendapatkan daging segar Dardyl. Mumbley berdecit. “Lebih baik kau pergi. Tapi jangan terlihat,” kata Dardyl seraya mendorong Mumbley agar mau pergi. Mumbley enggan sehingga Dardyl membentaknya. Tupai kecil itu berlari menuju Ihtizar. Naga sama sekali tak memedulikannya. 326
Alnord memanjat pilar-pilar yang saling menindih. Permukaannya yang bulat dan terbuat dari batu yang dipoles licin cukup menyulitkannya menjaga keseimbangan. “Hei, Naga! Sebelah sini!” kata Alnord di bagian paling tinggi. Naga itu tak menoleh. Seakan sangat mengerti tubuh siapa yang lebih gemuk untuk dimakan. Dardyl semakin panik. Aliran lahar itu semakin dekat. Alnord menarik napas. Ia menggembungkan dan mengeraskan perutnya lalu berteriak. “Hei, naga bau! kau enggak tahu ya kalau kulitmu itu jelek banget?” Naga itu menoleh, teralihkan. Ia meraung lalu menyemburkan api dan mengembangkan sayap lagi. Alnord melompat dari pilar dan mengambil ancang-ancang. Ia menggenggam kokoh pedangnya, mengarahkannya ke depan, sedangkan Dardyl keluar tepat setelah naga itu menghampiri Alnord dan saat lahar itu hampir mengenainya. Dardyl memandang Mereka. Bibirnya menekuk. Alisnya mengerut. Ia tak tahu yang harus ia perbuat dan serbasalah. Naga itu merendah. Alnord memantapkan kuda-kudanya. 327
“Ayolah cepat ke sini,” kata Alnord, menantang. Naga itu mendarat dan menyibakkan sayapnya ke arah Alnord. Dardyl terpejam, tak sanggup melihat Alnord terlempar begitu kuatnya. Alnord merasa sangat mual, perutnya dihantam. Alnord sempat membesat sayap naga sebelum ia terlempar. Namun, sayap naga itu tak sobek. Alnord terseret kuat. Ia menoleh ke belakang. Lantai itu memiliki ujung dan sebentar lagi ia akan jatuh, entah dasarnya dalam atau tidak. Ia menancapkan pedang ke lantai sebagai rem, menciptakan goresan selama ia terseret. Gesekan membuat punggungnya panas. Ia terpejam. Tak lama kemudian, tangannya tak mampu lagi memegang pedangnya. Ia terguling-guling setelah melepas pedangnya. Pedang itu tergeletak dan berdenting karena tak tertancap terlalu dalam. Alnord merentangkan tangan. Lengannya terbanting keras. Pergelangan tangan dan bahunya memar. Ia berhasil. Ia terhenti tepat di ujung lantai itu. Energi kinetik yang tersisa membuat kalungnya masih bergerak. Kalung itu terlontar dari kantung celana, melompat ke dalam jurang. Dengan memaksakan diri, Alnord menjulurkan 328
tubuh lalu tangan. Ia berusaha setepat mungkin menangkapnya. Ia berhasil Ia merintih ketika menarik tubuhnya kembali. Tangan kirinya memegangi tangan kanannya yang mengenggam kalung tersebut. Ia duduk dan memandang naga itu merayap-rayap ke arahnya. Naga itu semakin dekat. Tak seorang pun dapat mengira yang akan dilakukannya, mengunyah Alnord terlebih dahulu atau langsung menelannya. Kini tiba waktunya untuk mengetahui jawabannya. Naga itu menahan tubuh Alnord. Tangannya yang keras menindih dan mencengkeram. Kukunya sedikit menancap ke kulit Alnord. Alnord mengerang-erang, tersiksa oleh beban sebagian tubuh naga yang membuatnya sesak napas, ditambah dengan luka di dadanya. Naga itu mendongak dan mengembuskan api kemenangan lalu menekuk lehernya sehingga mata Alnord bertemu dengan mata kuningnya. Naga itu memandangi, meneliti tubuh, menjelajahi mata Alnord, dan menemukan bayangan seperti dirinya yang melingkari pupil mata kanan Alnord. Naga itu mengedipkan kelopak dalamnya. Lalu, ia mendongak, melepas cengkeraman, mengembangkan sayap, dan terbang 329
berbalik. Alnord duduk dan memegang dadanya yang terluka. Ia berhenti tak jauh di depan, menghadap Alnord, dan menatapnya. Ia meraung, mendongak, dan mengembuskan bola api yang sangat besar. Seakan sebuah bom meledak di rahangnya. Sayapnya terkembang lagi. Ia terbang rendah, dekat sekali dengan lantai. Ia menganga, memperlihatkan taring-taringnya yang seperti parang. Dardyl menutup mulut dan memekik. Bahkan Alnord sendiri pun tak berani melihat. Tangannya terlipat di depan mata. Naga itu mendekat dan semakin dekat, siap menelannya bulat-bulat.
330
14 Pemakaman Kasih Sayang
Embusan angin menguat saat naga itu semakin dekat. Ujung baju dan rambut Alnord melambai ke belakang. Naga itu tak menelannya, tak menyakitinya sama sekali, menyentuhnya pun tidak. Di sekelilingnya ada selubung merah berbentuk lingkaran dan cembung. Puncak cembungnya tepat di moncong naga, sedangkan ujung selubungnya berada di belakang naga tersebut. Perlahan-lahan bagian tubuh naga itu menghilang saat melewati selubung. Sekejap kemudian, naga itu benar-benar hilang dari pandangan dan kenyataan. Alnord membuka mata. Darahnya terasa berdesir ketika ia sadar ia selamat. Ada yang aneh di tubuhnya, ada yang berubah. Mata dari bayangan naga yang melingkari pupilnya menyala. Seakan-akan naga itu berdekam di dalam bayangan tersebut. Dardyl membantunya berdiri. Ia bangkit seraya menahan perih di seluruh tubuhnya lalu memasukkan kembali liontin ke kantung celana. 331
“Kenapa naga itu hilang dan ada selubung yang aneh tadi?” kata Dardyl. “Aku enggak tahu, tapi aku merasa—,” Alnord menelan ludah, tak yakin dengan yang akan diucapkannya. “Kau merasa apa?” tanya Dardyl tak sabar. “Aku merasa naga itu masuk ke tubuhku,” kata Alnord. Dardyl berjengit lalu tiba-tiba pandangannya mengosong. Ia memandang datar lurus ke depan, ke belakang Alnord. Ia menunjuk ke arah yang ia maksud. Alnord berbalik dan terbelalak antara terkejut dan kagum. Ujung lantai yang hampir menelannya hiduphidup ternyata bukan sebuah jurang, melainkan sehamparan lantai. Cahaya yang meneranginya berasal dari obor-obor yang menyala dari dua patung naga besar yang bertengger di kedua sisi, menyulut api ke tengah ruangan. Tiba-tiba lantainya bergerak. Dardyl mendesah panik. Lantainya terbelah di bagian tengah dan tiang batu tempat telur emas itu berputar mundur. Setelah lantai berhenti bergerak muncul tangga menuju lantai bawah. Alnord menoleh ke Dardyl.
332
Dardyl mengangkat bahu. “Mau gimana lagi? Kita udah terlanjur di sini,” kata Dardyl, memberi persetujuan. Keadaan lantai bawah tak jauh berbeda dengan lantai atas. Alnord tak begitu peduli karena yang menjadi pusat perhatiannya kali ini adalah dua buah makam tepat di tengah. Dua makam itu dikelilingi kolam dengan kelopak bunga Etna mengapung dan menutupi seluruh permukaan kolam. “Semoga makam itu kosong.” Dardyl bergidik. “Pertanyaannya tuh makam siapa itu?” kata Alnord tanpa memalingkan pandangan dari makam itu. Mereka mendekat. “Aku bingung sama naga itu, dia makan apa sih?” Dardyl meracau. “Bahkan kotorannya aja enggak ada.” Ia mendongak dan memerhatikan ornamen-ornamen gua yang berkilauan ditempa cahaya api. “Hei, tunggu!” seru Dardyl tertinggal seraya mengernyit memandang sekeliling. Alnord melewati jembatan batu yang melintang di atas kolam dan mendekati salah satu makam tersebut. Ia meraba-raba tiap ukiranukiran makam yang terbuat dari keramik itu. Hanya ukiran tumbuh-tumbuhan dan bunga Etna, tak ada ukiran berbentuk hewan atau yang 333
lainnya. Sepertinya warna asal makam itu putih, tetapi karena umur dan keadaan sekitar, makam itu terlihat kumal dan sangat berdebu. Alnord menyeka debu yang menutupi seluruh permukaan makam, menciptakan kepulan yang membuat Dardyl terbatuk-batuk. “Ngapain sih?” kata Dardyl. “Mending kita bangunin raja.” “Cari tahu orang dalam makam ini,” kata Alnord, seraya memosisikan tubuhnya seperti ingin mendorong sebuah pedati. Dardyl tak setuju. “Bukan ide bagus, menurutku.” “Diam deh, mending bantu aku.” Alnord sulit mendorong tutup makam yang ternyata jauh lebih berat didorong daripada camelion yang sedang malas. Dardyl menolak seraya menyidekapkan tangannya. Alnord mengerang dan tiba-tiba berteriak histeris seperti kesakitan. Ia mengerang keras. Dardyl tersentak. “Kau kenapa?” tanya Dardyl meyakinkan dirinya Alnord hanya bercanda. Alnord menggila. Ia berteriak lantang. Seakan teriakan itu disebabkan oleh kesakitan yang luar biasa hingga membuatnya jatuh terduduk tak 334
sanggup menahan rasa sakit itu. Entah yang terjadi pada dirinya. Ia menoleh ke Dardyl. “Tadi kau bilang enggak apa-apa.” Dardyl menghampiri Alnord. Mata Alnord memutih seluruhnya dan di bola mata kanannya, bayangan berbentuk naga itu merah menyala. Alnord menjulurkan tangan, meminta pertolongan Dardyl. Dardyl menyambutnya dan cemas menatap. Ini sama sekali tak pernah ada di pikiran Dardyl, bahkan di khayalannya. Ia sama sekali tak tahu yang harus ia lakukan. Api yang memancar dari patung naga membesar lalu sekeliling mereka berpendar, berputarputar dalam balutan warna emas dan merah api. Alis Dardyl mengernyit ke atas. Mereka seperti berada di tengah puting beliung. “Ada apa sih?” tanya Dardyl kalut menatap. Mata Alnord belum kembali pulih juga. Sekeliling mereka mulai berputar pelan. Pendarannya memudar. Dardyl menyadari bahwa mereka tetap di tempat. Mereka hanya berpindah posisi. Mereka kini menghadap makam. “Kau yang buat barusan?” tanya Dardyl. “Emang ada apa barusan?” tanya Alnord, linglung. Bayangan naga di mata Alnord meredup dan matanya menormal. 335
Ia memegang pelipis dan berusaha berdiri. Dardyl membantunya. “Entahlah, matamu memutih terus—,”kata Dardyl, tetapi terpotong sebuah suara. Sebelumnya di sana tak ada orang. Mereka menoleh ke arah suara tersebut. Perlahan muncul, awalnya tembus pandang lalu pekat, seorang lelaki berwajah panjang, berjanggut kasar, memakai jubah, bermahkota penuh batu rubi di kepalanya. “—kenapa kau tak mau kusembuhkan,” kata lelaki itu. “Kayaknya dia yang namanya Aracruz,” kata Alnord. Lelaki itu berlutut menghadap makam tersebut. Ia memegang erat tangan wanita yang berbaring di dalamnya. Seakan tak ingin lepas selamanya. “Aku membutuhkanmu, Etna” kata Aracruz. Sang lelaki menjorokkan tubuhnya, mendekati Etna. Tangannya menyala merah seakan sedang menghangatkan tubuh pucat wanita itu. Itu tak berguna. Etna telah membeku. Ia mengeluskan tangan Etna di pipinya. Hanya kebekuan yang ia rasakan. Ketika Aracruz melepas tangannya, tangan Etna terkulai. Aracruz menyorongkan tubuh336
nya, mendudukkan Etna dan memeluknya eraterat. Mereka bergidik. Alnord tahu dialah orang yang dicari-cari selama ini, tetapi masih tak tahu alasan kristal Aracruz begitu diinginkan. Ia pun tidak tahu tempat Aracruz berada sekarang dan masih hidup atau tidak. Cukup lama Aracruz memeluk Etna dalam kedukaannya. Ia mencium kening lalu membaringkan tubuhnya kembali ke dalam peti. Aracruz menggeser penutupnya perlahan dan terkadang berhenti sejenak hanya untuk memandangi Etna. Terkadang berhenti lama seakan tak sanggup melakukannya. Mereka terpisah ketika peti benar-benar tertutup rapat. Lalu, ia berbalik menghadap tangga. Alnord menghampirinya. “Tuan Aracruz.” Alnord menyorongkan tangan dan terkejut saat mendapati tangannya menembus Aracruz. Ia memandangi tangannya, memeriksa ada yang salah dengan dirinya atau tidak. Dardyl menghampiri. “Aku rasa mereka enggak nyata, kayak sebuah ingatan.” Alnord memandang Dardyl yang tak menjawab satu kata pun. 337
Aracruz mendekati tiang batu dengan Telur Emas di atasnya. Mereka menyusul untuk melihat lebih dekat. Ia menekan kutub utara Telur Emas tersebut dan memutarnya. Telur Emas itu terbelah menjadi lima dan memancarkan cahaya emas yang langsung menyebar ke seluruh penjuru istana hanya dalam per sekian detik. Mereka melindungi mata dari kesilauan cahaya itu. Setelah tak terlalu silau, mereka berdua terpukau dengan cahaya kemilaunya. Warna emasnya berpendar dengan cahaya kemerahan dari lahar. Sebagian terang, sebagian redup, bergelombang, memantul di ornamen gua yang tembus pandang dan sebagian terbias menjadi lebih banyak warna. “Indah,” kata Dardyl, terkesima. Aracruz mendekatkan tangan ke dada, hening dan terpejam lalu menarik tangannya. Kini ada cahaya merah berkilauan yang berpendar dengan cahaya emas, menjadi warna jingga seperti langit sore. Cahaya merah itu berasal dari kristal yang melayang-layang di telapak tangan Aracruz. Ada sedikit bagian yang patah dari kristal itu. Kristal itu tetap indah walau tak sempurna. Alnord menurunkan tangan. Ia berusaha membiasakan diri dalam cahaya yang terang karena ingin melihat yang sedang Aracruz laku338
kan. Aracruz menaruh kristal itu di atas Telur Emas. Kristal itu melayang. Lalu, seketika angin besar meniup Aracruz. Rambut dan jubahnya berkibar ke belakang. Angin itu sangat kuat hingga menggeser pijakan kakinya. Kristal Aracruz berputar-putar cepat dan acak. Sinarnya memancar-mancar tak menentu seperti lampu sorot yang digerakkan. Dari dalam kristal itu keluar cairan merah dan melayang di sekelilingnya. Cairan itu menyebar dan perlahan membentuk sebuah tubuh lalu tangan, kaki, ekor, dan kepala. Alnord menyadari saat bentuk itu hampir sempurna, saat ekornya dikelilingi tanduk tajam, dan tangannya bersayap, dan ketika mata bentuk itu kuning menyala. Kristal itu berubah bentuk menjadi seekor naga yang tadi menyerang mereka. Luka menganga di dada naga itu sudah terbentuk dari awal. Sesaat setelah naga itu dalam bentuk sempurna, Telur Emas tersebut menutup dan mengunci sendiri. Kemudian seketika cahaya emas itu padam. Mereka terperanjat. Mata mereka terasa sakit ketika terang berubah menjadi gelap kembali. Tak ada kata yang keluar. “Jagalah kristalku karena itu nyawamu sekarang,” kata Aracruz. “Hanya aku, atau bagian 339
dari diriku yang kuizinkan mengambil kristal itu kembali.” Kemudian ia berbalik dan berjalan menuju gerbang tanpa menoleh kembali. Naga itu mengembangkan sayapnya dan berterbangan bebas. Alnord mengerang lagi. Ia menatap kedua telapak tangan. Dardyl menoleh dan betapa terkejutnya ia saat Alnord menatapnya dengan mata yang seluruhnya memutih dan bentuk naga di mata kanannya menyala terang. Alnord jatuh terduduk, Dardyl menyentuh pundak Alnord, berusaha menenangkannya. Dardyl mual ketika melihat sekelilingnya mulai berputar lagi dan berpendar seperti dua warna cat yang dicampur. Sekitar mereka terus berpilin sampai Alnord kembali tenang. Sampai matanya membiasa lagi. Alnord bangkit dengan napas terengah-engah. “Aku kenapa sih?” katanya lemah. “Mungkin kau diberi tahu kejadian di sini,” kata Dardyl. “Tentang identitas Aracruz sebenarnya dan tentang kristal Aracruz itu.” “Tujuannya ngasih tahu aku apa?” tanya Alnord seraya memungut pedangnya yang tergeletak di lantai. 340
Dardyl mengangkat bahunya. “Kayak yang kau bilang, jangan tanya aku, aku enggak tahu sama sekali.” Dari belakang mereka terdengar erangan. Alnord melihat dari bahu Dardyl. Dardyl berbalik. Ihtizar berusaha bangkit dari ketidaksadarannya. Mereka berlari ke arahnya. “Kami sudah dapat kristal Aracruz,” kata Alnord seraya mengangkat tangan kiri Ihtizar dan menyilangkannya di pundaknya, sedangkan Dardyl memangku tangan kanan Ihtizar. Mumbley datang dan memanjati tubuh Dardyl. “Masuk ke dalam bajuku, Mumbley, di situ kau akan aman,” kata Dardyl. Seakan dapat mengerti bahasa Ablan, Mumbley menurut. Ihtizar merintih seraya berusaha bangkit. Memar di perutnya membuatnya tak bisa bicara sesaat. Ia menarik napas. “Syukurlah kalian baik-baik saja. Di mana naga itu?” katanya. “Paman tak perlu tahu,” kata Alnord. “Yang jelas kita tak sia-sia datang ke sini. Terima kasih Paman menyelamatkan kami.” Alnord tak menceritakan kejadian yang mereka alami. “Oh tidak, mungkin ayahku benar,” kata Alnord dengan suara yang sangat cemas, ia mempercepat langkahnya. “Kita harus cepat keluar dari sini.” 341
Dardyl panik dan menanyakan yang Alnord rasakan. Ia juga ikut berjalan cepat agar tetap sejajar, sedangkan Ihtizar merintih karena cukup kesulitan berjalan dengan perutnya yang memar. “Kita enggak boleh lambat,” kata Alnord. “Lantainya bergetar!”
342
15 Bangkitnya yang Tertidur Lama
Lahar yang memancar dari patung-patung naga di sepanjang koridor mengalir semakin deras, bahkan sampai menghancurkan patung naga dan meretakkan dinding. “Lari secepat mungkin!” kata Ihtizar. Ia mendorong yang lain sambil memegangi perut. “Kalian tak perlu menungguiku.” “Tidak tanpa Paman.” Alnord membantah, masih menopang Ihtizar, tetapi mempercepat langkahnya. Bunyi ledakan terdengar lagi dari belakang mereka. Alnord menoleh. Dinding istana rubuh. Balok-balok dinding terlempar dari tempatnya semula. Reruntuhan melebar sepanjang koridor. Suara dentumannya beruntut. Langit-langit perlahan jatuh. Mereka berlari zigzag untuk menghindari serpihan-serpihan batu. Dardyl mendengus. Sangat sulit bagi dirinya untuk menopang tubuh Ihtizar, berlari, dan menghindari reruntuhan langitlangit dalam waktu yang bersamaan. 343
“Aku pikir aku menyusahkan kalian,” kata Ihtizar. “Lebih baik lepaskan saja aku.” Alnord memelankan langkahnya. Tanpa berhenti waspada agar tak terkena batu yang berjatuhan, ia menatap Ihtizar sedikit kesal. “Paman baru saja mengajari kami putus asa,” kata Alnord. “Gerbang tinggal sedikit lagi. Kita hanya harus lebih cepat.” Ihtizar terdiam. Ia benar-benar merasa jadi pemimpin paling tak berguna di seluruh Heldon. Mereka berlari lebih cepat. Ihtizar dengan langkah yang terseok-seok berusaha menyamakan tempo yang lain. Mereka tak sadar di sisi kiri sebuah pilar terlepas dari pancangnya dan jatuh ke arah mereka. Beruntung, Alnord melihat dari sudut matanya. Ia memperingatkan. Pilar itu rubuh di depan, menghambat. Bila meleset satu langkah saja, mereka jelas akan tertimpa. Mereka berkelok menghindari pilar dan terus berlari hingga berhasil melewati gerbang. Sekali lagi dengan segala keberuntungan, saat mereka keluar, istana di belakang mereka runtuh total. Tak hanya meninggalkan debu yang menyebar, tetapi juga tekanan udara besar yang mendorong mereka. Mereka terlontar. Alnord enggan membayangkan keadaan di dalam istana. 344
Goncangan semakin kuat. Rasanya seperti berjalan di atas bola licin. Tak tahu sepenuhnya waktu akan jatuh. Mereka berusaha menopang Ihtizar untuk bangkit kembali. Ini semakin sulit bagi Ihtizar. Sulit baginya untuk bernapas. Ia sesekali terjatuh, tetapi akhirnya berhasil berdiri walaupun tidak kokoh. Alnord mengeluh ketika melihat bahaya di depan. Goncangan tadi meruntuhkan salah satu pilar penopang jembatan, sebagian dari jembatan itu jatuh dan tenggelam dalam aliran lahar yang meluap marah di bawah. “Siap-siap lompat,” kata Alnord sembari melongok ke bawah seakan sedang mengukur ketinggian lalu mundur beberapa langkah. “Kau ngap—,” kata Dardyl, tetapi terlambat. Alnord berlari cepat dan melompat. Bila salah perhitungan, ia akan jatuh. Dardyl lemas melihat Alnord melayang, tetapi nyatanya Alnord berhasil. “Tinggalkan saja aku, aku menghambat kalian,” kata Ihtizar sangat pasrah, tanpa harapan tersisa di sela-sela kalimatnya. “Aku takkan bisa berlari dan melompat.” Ia mencengkeram perutnya yang semakin terasa melilit. Dardyl menoleh, sama putus asanya dengan Ihtizar, tetapi di sisi lain, ia juga memiliki hara345
pan sebesar milik Alnord untuk bertemu lagi dengan keluarganya. Alnord menatap Ihtizar tajam. “Paman mengajari kami putus asauntuk kedua kalinya.” Amarahnya meluap. “Apa Paman sadar?” Dardyl semakin bingung ia akan melompat atau diam di tempat. Ihtizar menghela napas panjang. Ia menganggap itulah embusan napas panjang terakhirnya. “Inilah yang kudapatkan atas semua yang sudah kulakukan pada rakyatku,” kata Ihtizar. “Ketidakadilan, kekuasaan yang kugunakan semenamena, hanya untuk kesenangan pribadi, menyimpulkan segala sesuatu dengan pikiran pendek dan tak berdasar. Aku tahu aku pantas mendapatkannya.” “Kita enggak punya banyak waktu,” kata Alnord. “Paman melompat atau kita akan tetap di sini, bertiga.” Ihtizar terperangah, merasa tertampar. “Aku tahu aku hanya seorang remaja tanggung yang enggak tahu apa-apa,” kata Alnord. “Hanya saja ayahku pernah bilang, harapan itu harus selalu ada. Harapan buat kita tetap bertahan hidup untuk menyusun harapan selanjutnya. Jangan berhenti berharap kita akan selamat. 346
Kalau memang ini waktu terakhir kita, seenggaknya kita dalam usaha buat mewujudkan harapan itu.” Wajahnya merengut ketika ia mengingat Antonum. Ia ragu akan bertemu lagi dengan keluarganya atau tidak, tetapi yang jelas dan pasti, ia masih berharap. “Aku ke sini berharap biar rencana mereka enggak terwujud,” kata Alnord. “Dan aku mau pulang dengan harapan aku akan bertemu kembali dengan keluargaku! Dan aku berusaha keras buat harapan itu.” Patahan di jembatan semakin lebar. Mereka mundur. “Cepat dong!” kata Alnord. Lahar mengalir deras di bawah, membanjiri pulau kecil tempat penyangga jembatan terpancang, dan menabrak-nabrak penyangga dengan kepadatan dan suhu panasnya. “Kita harus hemat waktu!” kata Alnord. “Paman lebih dulu,” kata Dardyl. Ihtizar mengambil ancang-ancang dan berlari secepat mungkin. Ketika ia melongok ke bawah, terlihat luapan lahar meletup seperti air yang dijerang. Jantungnya berhenti berdetak saat ia melayang. Wajahnya memucat.
347
Alnord berseru senang saat Ihtizar berhasil berpijak di sisinya. “Sekarang giliranmu, Dyl!” teriak Alnord menyemangati. “Aku enggak yakin bisa,” kata Dardyl. Ia menggeleng-geleng dan mundur selangkah. “Aku tahu kau bisa!” kata Alnord. “Kau bisa berlari lebih cepat waktu kita diserang Archerry. Kau juga lebih kuat waktu kita berusaha buka pintu penjara. Aku yakin sekarang kau bisa lompat lebih jauh daripada aku!” Dardyl berlari kencang. Saat ia menolak kakinya di ujung patahan, ia terpejam, berusaha tak menoleh ke bawah. Ia mengayunkan kaki dan tangannya ketika melayang di udara. Darahnya berhenti berdesir. Keringat dingin meluncur dari pelipisnya. Ia melayang, tetapi merasa jiwanya jatuh dan tenggelam dalam lahar. Saat ia membuka mata, yang lain berdiri di depannya dengan senyuman lebar. Tempat Dardyl berpijak runtuh. Napasnya tersentak keluar. Ia sontak mengacungkan tangannya. Dengan cepat, Ihtizar meraih lengannya sebelum Dardyl terjerumus ke jurang lalu menariknya perlahan. Ihtizar mengembuskan napas panjang ketika berhasil mengangkat Dardyl. Rasa sakit itu menyerang lagi. Ia merintih. 348
“Paman masih bisa jalan, kan?” kata Alnord. Ihtizar mengangguk. Saat mereka menghadap jalan menuju pintu keluar, sesosok kabut putih merayap menuju mereka. Sosok itu berubah bentuk jadi wujud yang sebenarnya, Aorn. Ihtizar mencabut pedangnya dan menantang kali ini. Aorn membentuk sebagian tubuhnya menjadi kapak yang panjang lalu merayap maju. Ia mengayunkan kapaknya. Ihtizar menahan serangan Aorn sambil menahan rasa sakit di perutnya. “Lari!” kata Ihtizar kepada mereka. Wajahnya merengut ketika ia menahan serangan itu. Mereka ragu mengambil langkah. Ihtizar memperingatkan mereka lagi. Mereka menyusuri celah di samping Aorn. Pandangan mereka mengabur ketika melewatinya. Mata mereka sayu seperti terbius. Ada perasaan ketakutan, kedinginan, dan kehampaan merasuki pikiran dan perasaan. Dardyl mulai melemah dan lambat berjalan. Alnord terbelalak, berusaha menyadarkan diri dan menarik Dardyl keluar. Mereka berhenti di mulut gua, memastikan Ihtizar selamat. Ihtizar terus bergelut pedang dengan kapak Aorn. Ia bertahan dan bergerak maju untuk memenggal kepala Aorn saat kapak makhluk 349
tersebut hampir saja memotong tubuhnya. Terdengar puluhan dentingan dalam sesaat. “Penggal kepalanya!” seru Alnord mengingatkan. Mereka menahan napas cemas. Tak ada yang dapat mereka perbuat kecuali berharap Ihtizar selamat. Tangan Aorn berhasil terpotong tebasan pedang. Ihtizar memanfaatkan kesempatan itu untuk menyusup ke sisi lainnya, sisi yang lebih dekat dengan mulut gua. Seperti ekor kadal, kapak Aorn itu muncul kembali. “Di belakang Paman!” teriak Alnord. Ihtizar berbalik. Terlambat, ia belum mampu bergerak reflek. Aorn tersebut membanting kapaknya. Pedang Ihtizar langsung terlontar. Tak ada kesempatan dan waktu untuk mengambilnya. Seakan ingin memperburuk keadaan, gempa semakin kuat, menjatuhkan kerikil-kerikil cukup besar dari langit-langit. Ihtizar hanya bisa berjalan mundur perlahan ke mulut gua. Aorn membuka mulutnya. Taring dan liurnya terlihat jelas. Kabut di bawah menyelimuti kaki Ihtizar, menahannya agar tak lari. Ihtizar merasakan dingin yang hebat hingga membuat sendi-sendinya membeku dan sulit bergerak. 350
Alnord mengambil batu sedang di sebelah kakinya dan menyesal tak melakukannya dari tadi. Ia melemparnya kuat-kuat. Batu itu tepat mengenai kepala Aorn. Perhatian Aorn itu teralihkan, tetapi hanya sesaat. Ia mengangkat kapaknya tinggi dan bersiap mengayunkannya. Keadaan memburuk, gempa menguat. Langit-langit gua seperti akan runtuh. Stalaktit yang tergantung di sana mulai berjatuhan. Aorn itu mengayunkan kapak, hampir mengenai leher Ihtizar. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan sebelum sebuah stalaktit jatuh membelah kepala Aorn yang langsung terburai jadi cipratan lumpur menjijikkan. Ihtizar bernapas lega dan memungut pedang. Yang lain menghampiri. “Aku harap enggak satu pun Aorn tersisa di danau Nyos,” kata Alnord. Ihtizar menepuk-nepuk jubah, membuat debunya berterbangan. “Ya, ki—” Ia terperosok. Alnord dan Dardyl memekik bersamaan. Jembatan itu runtuh seutuhnya, tetapi Ihtizar masih sempat mengenggam bebatuan untuk bergantung. Pedangnya terlontar jatuh, berputar-putar, dan tertancap kuat di sebuah pulau kecil di tengah-tengah sungai lahar. 351
Alnord meletakkan Telur Emas lalu bersama Dardyl menjulurkan tangan. Ihtizar meraihnya dengan tangan yang bebas. Tepat saat itu, pegangan yang digenggam Ihtizar runtuh. Kini ia hanya bergantung kepada tangan mereka. Mereka berdua mengerang, tak kuat menahan. Ihtizar meraih-raih batu sebagai pegangan. Namun setiap kali ia berhasil, batu itu luruh. Alnord terus menyuruh Dardyl menarik lebih kuat karena tepian mulut gua mulai runtuh perlahan. “Lepaskan tangan kalian!” kata Ihtizar. “Kami enggak mau kehilangan pemimpin!” Alnord membantah. “Tanah ini rapuh, kalian akan ikut terjatuh!” Tanah yang mereka pijak mulai menggelusur lagi. Ihtizar tahu mereka takkan melepas tangan mereka. Oleh karena itu, ia meluruskan telapak tangannya. Alnord memohon. Dardyl menarik Ihtizar lebih cepat dan lebih kuat. Hawa panas, ketakutan, dan kepanikan membuat tangan mereka berkeringat dan licin. Itu membuat Ihtizar harus menghitung mundur masa hidupnya. Tangannya mulai tergelincir. Mereka menggenggam pergelangan Ihtizar dan terus memohon. Tak berhasil, Ihtizar tetap mengorbankan dirinya. 352
Tanah semakin menggelusur. Dardyl mengerang panik. Alnord menatap Ihtizar dalam dan menggeleng pelan. Ia memohon dan terus menarik. Waktu seolah berjalan pelan saat itu. Semuanya bagaikan gerakan lambat di mata mereka. Ia tak percaya akan yang sedang terjadi. Semua terasa kosong di matanya, terasa seperti mimpi buruk, dan ia berharap akan dibangunkan. Pikiran mereka berkecamuk hebat dan menjauh. Lalu, semuanya seakan menghilang. Kosong. Alnord menjeritkan penolakan. Dardyl terpejam, mengguratkan ketidaksiapan. Perut mereka mual. Ihtizar jatuh. Dardyl berpaling, tak mampu melihat kematian seseorang. Ia bangkit, Alnord masih mengerang. Dardyl menarik bahu Alnord untuk berdiri. Alnord membanting bahunya, menolak. “Kita harus cepat-cepat keluar dari sini!” kata Dardyl. “Aku juga ngerasain kayak yang kau rasain. Dia berkorban biar kita selamat, kau mau pengorbanannya sia-sia ya?” Alnord berdiri, menghadap Dardyl, dan menudingnya. “Itu salahmu! Kau enggak narik dia kuat-kuat!”
353
“Dan akan jadi salahmu nanti kalau kita berdua mati di sini!” balas Dardyl. “Sekali ini, dengar aku!” Guncangan menguat. Dardyl menarik tangan Alnord dan mereka berlari menghindari setiap reruntuhan yang hampir menimpa mereka dan menghalangi jalan. Terlihat di beberapa titik, dinding gua longsor. Alnord menarik Dardyl saat runtuhan hampir menghantam mereka, tanpa berhenti berlari. Mereka terus menyusuri lorong gua yang berkelok-kelok, naik turun. Sekeliling terdiam, benar-benar hening. Mereka berhenti untuk mengambil napas dan meredakan detakan jantung. Keringat mereka mengucur. Pintu keluar sudah dekat. Hanya tinggal satu kelokan dan mereka akan sampai di permukaan dengan selamat, tetapi mereka terlalu lelah untuk berlari lagi. “Gem—pa ini be—nar-benar ber—henti kkan ya?” kata Dardyl. Ia hampir tak kuat berdiri dan menopang tubuhnya sehingga menyentuh dinding lorong dan sesaat menarik tangannya lagi. “Panas sekali.” Ia mengibas-ngibaskan tangannya yang sedikit melepuh. “En—tah—lah,” engah Alnord. 354
Guncangan itu berubah menjadi getarangetaran kecil yang dengan misteriusnya membingungkan, tak terlalu membahayakan, tak membuat panik, tetapi setelah itu terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Perlahan bibir Dardyl menekuk dan alisnya mengerut. Alnord bergerak masuk satu langkah untuk melihat yang sedang terjadi di dalam sana. Suara gemuruh itu semakin dekat. Alnord terbelalak melihat sesuatu di depannya dan berteriak menyuruh Dardyl berlari. Dardyl baru mengerti saat menoleh ke belakang. Mereka mempercepat langkah mereka. Dardyl berteriak panik. Lahar di belakang mereka mengalir cepat, memantul-mantul di dinding, menyembur hebat, meletup-letup merah kehitaman, menyapu seluruh kristal yang bertebaran di dinding gua. Mereka berbelok di tikungan terakhir dan berhasil mencapai tangga. Aliran lahar semakin dekat di belakang mereka. Saat anak tangga pertama mereka pijak, pintu gerbang terbuka perlahan. Mereka semakin mempercepat langkah, dua terkadang tiga anak tangga mereka lompati. Alnord melompat, menjauh dari lubang tangga saat ia sampai di permukaan. Dardyl jatuh terduduk dan tepat sesaat sebelum pintu kem355
bali tertutup, lahar itu mengalir di bawah mereka, sedikit lahar mencuat ke permukaan. Dardyl menjerit panik, menarik kakinya dan bergerak mundur dengan tangannya karena semburan kecil itu hampir mengenai kakinya. “N-nyaris,” engah Dardyl lega. “Cepat pergi dari situ,” kata Alnord yang kini sudah berada di luar Taman Batu. Dardyl bangkit dan menghampiri. Mereka terperanjat saat menatap pegunungan Merope di depan mereka. “Ini nyata ya?” kata Alnord dengan tatapan mata kosong. Dardyl hanya terdiam. Lahar meletup-letup, menyeruak keluar dari puncak pegunungan Merope. Asap meluapluap, mengepul memenuhi udara. Gelap pekat. Cairan kental merah kehitaman itu memuncrat lancar lalu mengalir pelan, berkelok-kelok, menyusuri lekukan gunung menuju permukiman penduduk. Istana Ablahar tetap terlihat kokoh walaupun dikelilingi aliran lahar yang tak diketahui seberapa panasnya. Abu mulai menutupi tanah dan menghujani mereka. Suara desisan terdengar dari belakang mereka. Dardyl menoleh. Ia merengut mendengar para Aorn meraung-raung perih. Terlihat asap mengepul dari permukaan danau Nyos. Itu bu356
kan wujud kabut Aorn, tetapi air danau yang menguap. Aorn terperangkap di dalam dan terpanggang. “Enggak ada jalan keluar buat kita,” kata Alnord. Dardyl putus asa melihat sekitarnya. Aliran lahar mengalir di sekeliling danau. Dari puncak sampai tanah yang mereka pijak lebih tinggi daripada sisi kanan dan kiri sehingga lahar itu tak mengalir ke mereka. Lebih lagi ada batu besar yang menghalangi jalannya lahar di atas. Pohon-pohon baik yang sudah tumbang maupun masih berdiri terbakar. Cara mereka satu-satunya untuk keluar adalah berenang melintasi danau. Namun, itu sama sekali bukan pilihan yang tepat, bahkan bukan merupakan keputusan yang baik untuk diambil. Alnord terdiam tak bisa berpikir. Dardyl duduk lemas. Puncak Vius meledak. Lahar yang memancar semakin banyak. Dengan volume seperti itu, sungai lahar meluap dan melewati batu yang sejak tadi menghalangi jalannya. Kini lahar itu mengalir menuju mereka. Hujan abu semakin deras. “Kita enggak bisa ngapa-ngapain lagi kali ini,” kata Dardyl. Rambutnya menjadi abu-abu. “Ini waktu terakhir kita.” 357
“Aku heran,” kata Alnord, seraya menjatuhkan tubuhnya di sisi Dardyl. Dardyl hanya terdiam. Wajahnya tenggelam dalam sedekap tangannya. Alnord memandang lahar. Muncratannya seakan takkan pernah berhenti. Walaupun sedikit terhalangi pohon-pohon yang masih berdiri, letupan lahar itu tetap terlihat mengerikan. “Aku heran yang selama ini aku pikir benar atau salah,” kata Alnord. “Aku bingung harus menyesal atau marah. Aku cuma mau mencegah rencana mereka. Aku takut banget waktu tahu semuanya, tapi yang aku lakukan malah buat raja” ucapannya terhenti. Tubuhnya bergetar. Alnord terdiam. Dalam hati ia masih berharap mereka bisa selamat dan kembali ke rumah. Keterdiaman mereka menciptakan keheningan. Mereka seolah tak mendengar suara letupanletupan lahar yang memancar dan mengalir dengan lancar. Yang mampu mereka dengar hanya suara hati mereka, hati yang menginginkan rumah dan keluarga. “Kita harus ngapain nih sekarang?” tanya Alnord. Dardyl mengangkat kepalanya. “Aku enggak tahu. Tapi yang aku lakukan sekarang, ingatingat lagi semua kenangan indah sama keluarga. 358
Mungkin kita bisa ingat hal lucu?” Ia berujar tanpa menoleh ke arah Alnord. “Aku juga ingat waktu kau dimuntahi gorgan, wajahmu terlihat bodoh.” Alnord tertawa pelan. “Kadang keingintahuanku buat aku bertindak bodoh,” kata Alnord. “Seperti yang telah terjadi ini.” Ia menunduk. Mumbley muncul dari kerah baju Dardyl. “Hai Mumbley,” kata Dardyl. Tupai itu turun, berdecit panik, dan bersembunyi di dekapannya. “Kau enggak perlu takut. Kami ada di sini,” kata Alnord seraya mengangkat Mumbley dan melindunginya dalam pelukan. Ia memandang mata kecil yang terlihat cemas itu. “Kau hanya perlu siap.” “Ini saatnya. Mungkin kau mau bilang katakata terakhirmu?” kata Dardyl. “Tenggorokanku terlalu sakit untuk tertawa terakhir kalinya.” Dardyl tertawa serak, sedangkan Alnord tertawa pelan penuh keterpaksaan. Lalu, mereka tenggelam dalam keterdiaman. “Aku sebenarnya iri sama kau,” kata Alnord. “Apalagi waktu kau sekeluarga pergi setahun buat datang ke banyak tempat, sedangkan ayahku cuma bisa berjanji.” “Aku juga iri,” kata Dardyl. “Kau bisa bebas melukis sebanyak yang kau mau. Bahkan semua 359
suka lukisanmu. Ibuku benci sekali kalau aku bantu dia memasak. Makanya aku malas dengar ceritamu tentang lukisan.” “Aku juga malas dengar perjalananmu.” Alnord tersenyum geli. “Aku ingat waktu Madden mengejekmu terus-terusan. Kau nangis dan enggak mau keluar rumah. Itu waktu kau baru datang ke Elberg kan?” “Dan kita berteman karena diejek orang yang sama,” kata Dardyl. “Kita udah berteman selama delapan tahun ya.” “Hampir aja pertemanan kita rusak kemarin,” kata Alnord. “Aku tahu aku udah bersikap salah selama ini. Pasti enggak enak selalu didiamin. Aku sadar ternyata aku yang salah, buat semua ini terjadi.” Ia menoleh ke arah Dardyl dan menunggu tanggapannya, tetapi Dardyl tetap diam dalam posisinya. Alnord menghela napas penyesalan. “Ya, aku yang masukin kau dalam situasi bahaya ini dan sebelum semuanya jauh terlambat, mungkin kata-kataku ini enggak akan cukup bayar semua yang udah aku lakukan. Enggak ada gunanya juga kalau kau nerima, semua enggak akan kembali ke awal. Bahkan kau belum tentu mau nerima. Tapi, yang jelas,” Alnord menghirup napas panjang, “aku cuma mau 360
minta ma,” kata Alnord, tetapi terpotong. Terdengar suara erangan sekilas. Alnord bangkit. “Kau dengar yang aku dengar?” Ia menoleh tajam ke arah Dardyl. “Aku dengar yang kau dengar,” jawabnya. Dardyl bangkit. Mereka berlari menuju suara arah tersebut. “Aku harap itu jenis hewan yang bisa kita tunggangin,” kata Dardyl di sela-sela napasnya. “Yang bisa terbang.” “Suara itu berasal dari sini,” kata Alnord, berputar-putar mengamati pohon-pohon yang mati berdiri dan yang tumbang. Alnord melihat gerakan sekilas lalu berlari ke arahnya. Entah ia harus mengucapkan terima kasih pada alam atau harus menyesal saat ia mendapatkan wujud sebenarnya dari bayangan tersebut. “Camcam?” kata Dardyl. Puncak Vius meletus lagi, melipatgandakan volume lahar yang tumpah. “Kita enggak akan selamat!” pekik Dardyl. Unggas besar itu mengerang. Kakinya tertimpa sebuah pohon. Camcam terlihat tak berdaya. Alnord menghampiri dan berusaha menggeser batang pohon itu sekuat tenaga, tetapi ia tak cu361
kup kuat melakukannya. Alnord meminta bantuan Dardyl. “Aku ragu itu akan berguna buat kita!” kata Dardyl. “Seenggaknya ini berguna buat dia!” Dardyl menghampiri Alnord dan membungkuk di sebelah Camcam. Mereka mendorong gelondong pohon tersebut, mendesah, berpeluh, bersusah, tetapi tak ada hasilnya. Pohon itu tetap bergeming. “Enggak ada lagi harapan, Kita akan mati!” bentak Dardyl. “Kita akan mati!” Dardyl jatuh terduduk. “Kita akan mati,” katanya pelan. Alnord tak menghiraukan ucapan itu dan terus mendorong batang pohon tersebut. Ia meronta kepayahan, keringatnya mengucur bebas. “Selalu ada harapan,” pekiknya disela-sela erangan. “Selalu ada harapan.” “Terus Camcam bisa buat harapanmu terwujud?” bentak Dardyl. “Aku enggak tahu,” katanya pelan. Ia beringsut merosot lemas. Camcam mengerang lagi. Letupan lahar terdengar semakin keras. Mereka terdiam. “Kalian?” Bagnan muncul. Di belakangnya berjejer para Archerry. 362
Alnord bersorai memanggilnya. “Kalian bisa kan ngeluarin kami dari sini?” Bagnan diam, “Aku takut aku tak mampu, Alnord.” “Jadi—.” Ia tak melanjutkan ucapannya. “Kenapa kalian masih di sini?” “Aku menunggu kalian keluar di taman batu,” kata Bagnan. “Tapi, letusan itu membuatku harus menyelamatkan para hewan yang tertinggal. Tanpa sadar kami sudah terkepung di sini.” “Tolong angkat pohon ini, Bagnan,” kata Alnord. Bagnan menjulurkan sulur dan dengan mudah mengangkat pohon itu sejauh mungkin. Ia menaruh batang pohon tersebut pelan-pelan, seperti seseorang yang mengasihi jenazah sahabatnya. Camcam mengerang lemah. Letusan kembali terdengar dan lahar semakin dekat. “Maaf, aku lupa,” kata Bagnan. “Seharusnya aku memperingatkan kalian pegunungan ini akan meletus, walaupun aku tak tahu waktunya. Para hewan sudah mengetahuinya lebih dulu dan mereka keluar hutan kemarin. Kalian pergilah, tunggangi camelion itu. Lahar itu akan menghancurkan kita semua kalau kalian tak cepat-cepat.” Alnord ragu. 363
“Biar dia yang akan menjawab keraguanmu,” kata Bagnan. Ia dan para Archerry mendekati lahar dan berjejer. “Waktu kalian terus menyempit.” Dardyl membantu Camcam bangun. Unggas besar itu masih lemah untuk berdiri. “Aku bahkan enggak yakin dia bisa berlari,” kata Dardyl. “Kalian mau ngapain?” tanya Alnord kepada para pohon. “Kami akan menahan lahar sebisa kami,” kata Bagnan. “Sampai kami yakin kalian selamat.” “Kalian benar-benar enggak bisa pergi dari sini?” Alnord menolak. “Tak ada jalan bagi kami,” kata Bagnan. “Kami harus melindungimu untuk membalas jasa darah yang mengalir di tubuhmu.” Camcam kini berdiri. Lahar semakin dekat. “Ayah?” tanya Alnord. “Antonum Mendelev?” “Jiwa seseorang yang menumbuhkan keluargaku di hutan ini jadi aku tak sendiri dan kesepian,” kata Bagnan. “Ia begitu sayang kepada alam di sekitarnya, jiwa yang bijaksana, jiwa yang adil. Matamu yang mengingatkanku padanya sejak kali pertama aku memandangmu. Saat itu aku berjanji selalu melindungimu bila kau berada di dalam hutan ini. Tubuhmu berisi 364
sebagian jiwa Aracruz. Itulah rahasia yang ada di dalam matamu. Aracruz adalah ayah kandungmu.” Alnord tersentak, tetapi tak punya cukup waktu untuk membahasnya. Lahar sampai tepat di belakang mereka. “Oh, ini waktunya, kalian pergi!” kata Bagnan. Alnord memohon Bagnan agar tak melakukan itu. Lahar itu mulai membakar bagian tubuh mereka. Bagnan mengeluh pelan, tetapi menahannya. Begitu juga dengan yang lain, tak ingin menunjukkan rasa kepedihan yang mereka rasakan. Mereka berhasil, lahar itu tertahan walaupun mungkin hanya sesaat. “A-aku hanya i-ingin kau menyim-p-pan i-ni,” kata Bagnan sembari menahan rasa perih yang membakarnya. “Ta-nam sa-at kau per-lu.” Sulur Bagnan merayap mendekatinya. Ia tak mampu mengangkatnya. Sebuah benih terikat di ujung sulur tersebut. Alnord menaruh benih itu di saku celana bersama liontin Aracruz. Terdengar ledakan paling besar dari puncak pegunungan. Ledakan itu mengamblaskan sisi gunung yang menghadap mereka. Awan vulkanik raksasa menggulung, merayap menuju mereka. Dardyl dan Camcam mendekat. 365
“Kalian harus cepat p—,” Bagnan tak bisa meneruskan kalimatnya. Jiwanya terlalu cepat pergi sebelum ia selesai berbicara. Bagnan terbakar seluruhnya. Alnord memekik. “Cepat naik!” kata Dardyl, seraya merenggut tangan Alnord. Alnord melompat naik ke punggung Camcam dan dengan cepat menjulurkan tangannya untuk membantu Dardyl naik. Ia melirik awan vulkanik yang merayap seperti Aorn hitam raksasa. Alnord menyodorkan Telur Emas kepada Dardyl yang langsung memasukkannya ke baju, membuat Mumbley berdecit protes. Ia menarik bulu leher Camcam, membuatnya mengerang dan berjalan meskipun sangat pelan. Dardyl panik ketika memandang ke belakang. Awan vulkanik semakin cepat mengejar mereka. “Dia akan menjawabnya,” gumam Alnord. “Gimana kita bisa percaya dia?” Kepanikan Dardyl memuncak. Camcam mulai berlari, melaju cepat, terus berlari. Begitu pula awan vulkanik di belakang mereka yang kini hanya ratusan meter dari mereka. Secepat itu, jarak mereka bisa ditempuh hanya dengan waktu singkat. Semakin dekat 366
dengan danau, semakin cepat derap Camcam, serta semakin lantang raungannya. “Kita akan tenggelam!” kata Dardyl. Alnord terdiam, Camcam tak memberi mereka jawaban. Dardyl menoleh lagi ke belakang. Awan vulkanik kini hanya berjarak puluhan meter. Ia mengerang dan terpejam saat mereka hampir sampai di tepi danau. Desiran angin menerpa wajah mereka. Mereka memasuki alam hitam dinaungi asap pekat, alam yang seharusnya indah dan selalu ditiup angin. Namun, mereka masih dapat merasakan desiran darah, embusan napas, dan detakan jantung. Mereka selamat, tak terluka sedikit pun. Mereka tak tenggelam di dalam danau Nyos. Mereka juga tak terpanggang awan panas yang terus mengejar mereka tadi. “Kita selamat!” Alnord bersorak, dengan suara yang berusaha mengalahkan keributan di sekeliling mereka. “Buka matamu!” Dardyl tak percaya akan hal yang ia lihat sekarang. Mereka tak dekat dengan tanah, tetapi dekat dengan langit. Mereka terbang! “Sudah kubilang camelion itu bisa terbang!” kata Alnord. Dardyl bersorak selantang yang ia mampu. 367
“Inilah jawabannya!” kata Alnord. “Dia bisa selamat dari serangan para Aorn pasti karena dia bisa terbang!” “Lalu, kenapa yang lain enggak selamat?” tanya Dardyl. Alnord menghela napas, mencari jawaban. “Itulah hukum rimba. Yang kuat yang menang.” Camcam terus mengepak-ngepakkan sayap, menyusuri udara. Alnord menarik bulu leher di bagian kanan, membuat Camcam menukik tajam ke kanan. Mereka terbang menuju desa Elberg meskipun mereka tak tahu keluarga mereka selamat atau tidak. Alnord menekan kepala Camcam saat samarsamar melihat danau Elberg di bawah. Mereka menukik, seperti elang yang sudah menentukan mangsa. Dardyl mengecap takjub. Mumbley keluar dari bajunya dan berdecit senang. Mereka mendarat dengan sangat mulus. Langkah kaki Camcam begitu empuk mendarat di tanah. Alnord menarik-narik bulu leher Camcam, mengarahkannya ke rumah mereka yang sejak itu setengah hancur, dinding luruh, atap runtuh. Alnord melompat turun. Ia langsung berlari masuk ke rumahnya, mencari Ember dan Char368
lom. Dardyl berbelok ke rumahnya. Kerinduan mereka tak dapat terbendung lagi. Sayangnya, rasa rindu mereka bercampur dengan kekhawatiran. Alnord berteriak memanggil nenek dan pamannya seraya berlari-lari ke setiap ruangan dengan harapan akan menemukan keduanya dalam keadaan selamat tanpa kekurangan satu hal pun. Ia juga memanggil Wolly, tak ada salakan. Ia terus mencari, berulang-ulang, memastikan setiap sudut rumah, terkadang membongkar runtuhan. Mereka berdua tak ada. Wajah Alnord memias. Harapannya sirna. Ia benci perasaan itu. Ia benci perasaan akibat harapan yang tak terwujud. Ia masuk ke kamarnya dan mendekati lemarinya lalu membuka kotak lalu menaruh benih dari Bagnan dan liontin Aracruz di dalamnya. Ia membuka laci baju, mengaduk-aduk, dan mencari baju hangat dari Ember. Namun, yang ia temukan hanya suling hadiah tahun lalu. Ia menatap dalam-dalam benda tersebut dan memasukkannya juga ke kotak lalu mengaduk-ngaduk lagi isi lacinya, membongkar seluruh laci di lemarinya, dan mengeluarkan seluruh isinya. Baju hangat itu pun tidak ada. 369
Seseorang berteriak memanggilnya dari luar. Ia menyambar kotak itu dan menghampiri sumber suara tersebut. “Yah!” teriak Alnord, terharu, ia berlari dan memeluknya dengan erat. “Di mana yang lain?” “Ayah tak tahu,” kata Antonum. “Mungkin mereka sudah menyelamatkan diri. Kita harus cepat pergi dari sini, luapan lahar semakin buruk.” Alnord berdesir saat Antonum menyebutkan kata ayah. Perasaan yang sangat tak enak.karena dulu ia pernah marah kepadanya padahal bukan anak kandungnya. Ia merasa bersalah, tetapi memendamnya untuk sementara waktu. Ia tetap tak menepis saat Antonum merangkul bahunya untuk membawanya keluar. “Ayah mendengar kabar gejala bencana ini semakin jelas,” kata Antonum. “Tiga hari lalu mereka berangkat meyakinkan raja sekali lagi. Ayah khawatir sekali dan memutuskan ikut kemari, sayangnya terlambat.” Dardyl mendekat. “Mereka enggak ada di rumah. Kau gimana?” “Sama,” kata Alnord. Sebuah salakan mengagetkan mereka. Ketiganya menoleh ke arah sumber suara tersebut. Wolly berlari, tanpa api di tubuhnya. Ia sendiri, 370
berlari dari arah belakang rumah mereka. Alnord berteriak memanggil lalu merendah dan menatap matanya. “Di mana mereka?” tanyanya. Wolly hanya mengaing-ngaing sedih. Alnord memeluk lehernya. “Paman tahu di mana orang tuaku?” tanya Dardyl saat mereka bertemu di luar rumah. “Mereka sudah aman di kapal Bessel. “Kita harus ke pelabuhan sebelum mereka berangkat.” Dardyl tersenyum lega mendengarnya, sedangkan Alnord merengut. Antonum memandang pegunungan Merope, lahar yang mengalir dari sepanjang pegunungan itu mengarah ke desa Elberg, Barlot, juga Selbai. “Jalan kita mungkin sudah terputus,” kata Antonum seraya memandang camelion penarik pedatinya. “Naik saja ke punggung camelion, Paman, dia bisa terbang!” saran Dardyl. “Kalian menungganginya tadi?” tanya Antonum. “Biar dia yang jawab,” tukas Alnord, meyakinkan. 371
Antonum mengangguk pelan, setengah tak percaya. “Baik kalau begitu, kita harus bergerak cepat.” Alnord dan Dardyl beranjak menuju Camcam, sedangkan Antonum berlari menuju pedati pinjamannya. Ia melepas tali pengikat camelion yang terjerat kuat di pedati. Dengan menggunakan batu di sekelilingnya, ia berhasil memutuskan tali itu. Wolly langsung melompat naik ke punggung Camcam dan bertengger di lehernya. Terdengar erangan Camcam sebagai tanda protes, tetapi setelah itu baik-baik saja. Alnord menarik bulu leher Camcam dan memukul pelan bagian pangkal sayap. Camcam mengembangkan sayap dan mengepakngepakkannya sambil berlari. Ia berlari cepat sampai mereka tak sadar sudah berada di tanah. Camelion milik Antonum mengikuti dari belakang. Wolly menengadahkan moncong. Ia melolong memanggil kawan, tetapi tak ada yang akan datang.
372
16 Rahasia dan Harapan Baru
Mereka menatap lanskap alam di sisi kiri. Dari mata mereka terpantul bayangan Merope yang memuncratkan lahar sepanjang puncaknya. Lahar mengalir dan membakar semua yang menghalangi jalannya. Di sela benaknya, Alnord mengenang semua yang telah menyelamatkan mereka. Ia memandangi kotaknya, teringat akan benih yang Bagnan percayakan kepadanya. “Aku jadi ingat ucapan ibumu,” kata Alnord. “Suatu waktu kita akan sadar tumbuhan hidup buat berkorban demi kita. Bagnan baru aja buktiin itu.” Dardyl termangu. Ia rindu orang tuanya. Alnord merasakan hangat di wajahnya. Di ufuk barat, matahari mulai menghilang. Sinar jingganya menyorot dari sisi yang berlawanan dengan gerakan awan vulkanik yang membumbung tinggi menyelubungi mereka. Kegelapan dan cahaya bertubrukan.
373
Laut memantulkan sinar. Di sana terlihat tiga buah titik yang memberitahukan tempat mereka harus menukik turun. “Itu kapalnya!” Antonum di depan berkelok menuju kapal tersebut. Alnord langsung menarik bulu leher Camcam bagian kanan. Unggas itu berbelok ke arah ia menengok. Mereka semakin dekat hingga Camcam menurunkan kaki seperti pesawat terbang mengeluarkan roda saat akan mendarat. Orangorang di kapal memerhatikan tanpa berkedip. Alnord memandang sekilas. Tak seorang pun dari mereka yang ia kenal. Kapal sebesar itu pasti memuat banyak orang, termasuk penduduk Barlot dan Selbai. Ia terus meyakinkan diri bahwa bila tak ada di kapal ini, paman dan neneknya pasti berada di kapal lain. Orang tua Dardyl menghampiri saat mereka berhenti mendarat. Maureen memekik memanggil Dardyl, antara senang dan cemas. Dardyl melompat dan memeluk Maureen yang tak peduli seberapa kotornya Dardyl saat itu. Mumbley di dalam bajunya terjepit dan berusaha keluar. Semua terasa lengkap ketika Ogwald ikut memeluk keduanya. Semua orang yang melihatnya terharu. Tak sedikit dari mereka yang menangis di bahu 374
orang di sebelahnya, teringat akan anggota keluarganya yang terpisah. Alnord sekilas melihat Egon, tetapi belum berhasil menemukan orang yang sangat ingin ditemuinya saat itu. Antonum merangkul dan menggenggam erat tangan Alnord setelah turun, berpesan agar Alnord kuat. Alnord memandang wajahnya dan merasa canggung. Mata mereka menjelajahi segala arah. Menemukan Ember dan Charlom di sana bagai mencari sebatang jarum di padang jerami. Seorang lelaki berjalan ke arah mereka. Ia berantakan. Raut wajahnya kasar dan kulitnya terbakar matahari. “Mendelev?” “Bessel,” Antonum menyahut. “Aku sedang mencari keluargaku.” “Ciri-cirinya?” tanya Bessel dengan suara keras dan kasar khas kelasi. “Seorang wanita berumur sekitar akhir enampuluhan dan laki-laki sekitar awal limapuluhan.” Antonum pun meratakan telapak tangan di depan dada dan hidung, memberikan gambaran tentang tinggi badan mereka. Alnord tak memerhatikan pembicaraan itu. Ia terpaku pada seseorang di depannya lalu berlari 375
mendekat. “Delacock!” Delacock tak mendengarnya karena suara kerumunan. Ia meneriaki Delacock sekali lagi. Kali ini ia berhasil. Delacock menghampirinya dan memanggilnya dengan nama yang salah. Alnord tak peduli. “Kau lihat Paman Charlom?” tanya Alnord cepat. “Bukannya dia pergi ke rumahmu waktu, aku enggak mau ngomong itu sebenarnya, kabut itu? Dia belum pulang setelah itu,” kata Delacock. Jantung Alnord mencelos. Ia terus meyakinkan diri mereka ada di kapal lain, tetapi sulit. Antonum menghampirinya bersama Bessel. “Ayah yakin kau lelah,” kata Antonum. “Bersihkan dirimu lalu kau bisa istirahat. Bessel dengan berbaik hati meminjamkan kamarnya untuk kau tempati. Besok kita akan mencari mereka.” “Ya, Alnord sang penjelajah.” Bessel berusaha mengakrabkan diri. “Pengarung alam harus tetap istirahat!” Antonum merangkul bahu Alnord dan Bessel memandu mereka di depan. Tak butuh banyak waktu untuk menyusuri haluan kapal. Mereka 376
memasuki ruangan cukup luas, dengan kamar mandi di dalam. “Anggap saja kamar sendiri!” Bessel mempersilakan Alnord masuk. “Di lemari ada baju-baju, pakai saja, pakailah yang paling layak di antara semuanya.” Alnord mengangguk lemah dan beranjak menuju kamar mandi. Yang lain keluar kamar, membiarkan Alnord sendiri sampai ia tenang. Ia keluar dengan tampilan yang jauh lebih bersih. Terlihat memar dan lecet di banyak bagian tubuhnya. Seolah tak tahu, ia tak mengacuhkannya meskipun rasanya berdenyut. Di luar, ia bertemu keluarga Duvius. Dardyl pun sudah terlihat bersih dengan baju yang kebesaran. Ia meminta izin kepada orang tuanya untuk menghampiri Alnord, agak lama, lalu mendekat sambil membawa baju hangat Alnord yang menggelembung. Ia menyerahkan baju hangat itu. “Di dalamnya Telur Emas,” bisiknya. Alnord mengambilnya dan berterima kasih. Baju hangat itu salah satu harta yang paling berharga baginya saat ini. “Dapat dari mana?” “Nenekmu nitip itu ke ibuku,” kata Dardyl. “Sebelum dia dan pamanmu pergi mencari kita.” 377
“Gimana dan di mana mereka sekarang?” “Mereka belum kembali sampai gunung meletus,” kata Dardyl, semakin meremukkan hati Alnord. “Mungkin mereka menumpang kapal lain.” “Aku harap begitu,” kata Alnord lemah. Sulit baginya kali ini untuk berpikir baik. Ogwald menghampiri mereka, menyela pembicaraan. Di tangannya terdapat segelas cangkir dengan asap hijau mengepul dari bibir gelas itu. “Sejak kecil aku yakin camelion bisa terbang.” Ia menyapa Alnord. “Kalian membuktikannya sekarang.” Ia meneguk minuman dari gelasnya, mengernyit dan mengeluarkan lidah. Dari baunya Alnord tahu isi gelas itu. “Baik,” kata Ogwald setelah Alnord menanyakan kabarnya. “Walaupun aku harus minum muntah Gorgan ini sebagai penawarnya selama satu bulan. Satu bulan! Bayangkan! Mendengar kata muntah Gorgan pun rasanya aku ingin muntah.” “Aku baru tahu ada manfaat lain dari muntah Gorgan selain bikin baju kotor,” kata Dardyl. Maureen memanggil dari jauh seolah tak ingin kehilangan mereka untuk kali kedua. 378
“Sebentar lagi, Maureen!” kata Ogwald lalu beralih lagi ke Alnord. “Aku percaya nenek dan pamanmu selamat. Kau akan bertemu dengan mereka suatu saat.” “Aku enggak bisa sabar nunggu sampai itu terwujud,” kata Alnord lemah. “Dan ada satu lagi.” Ia menghadap Dardyl. “Maafkan aku pernah mengataimu teman terbodoh,” katanya. “Kau teman terbaikku, enggak tergantikan.” Ia menganga sesaat, bergumam, memikirkan kalimat yang tepat. “Seharusnya dari dulu aku minta maaf padamu. Aku enggak pernah dengerin, selalu nyuekin. Maafin aku ya.” Itu adalah ucapan maaf pertamanya dan ia merasa beban di hatinya menghilang. “Aku juga minta maaf udah mengataimu teman terburuk.” Dardyl membalas. “Kau juga teman terbaikku kok, enggak tergantikan.” Ogwald mengusap-usap kepalanya dan mengajaknya menghampiri Maureen. “Nanti kita bisa mengobrol lagi,” sahut Ogwald. Alnord tersenyum. Ia berpaling Antonum. Orang yang ia anggap ayahnya selama itu sedang berbicara dengan Savenor. Ia mendekat. 379
“Saya tak pernah mengira ini akan terjadi,” kata Savenor. “Saya mewakili Raja Ihtizar meminta maaf.” “Anda tak harus meminta maaf,” kata Antonum. “Tak ada yang bisa mengira ini akan terjadi.” “Sampai sekarang saya belum mendapat kabar keberadaan beliau,” kata Savenor. “Dia jatuh ke jurang.” Alnord menyela. “Untuk menyelamatkan kami.” Savenor berjengit. Banyak pertanyaan tergurat di wajahnya. Namun, Antonum membisikkan sesuatu pada Savenor yang, Alnord kira, membuatnya meninggalkan mereka. “Baiklah, terima kasih atas informasinya, Anakku,” kata Savenor sebelum mesenggang pergi. “Kau tak istirahat?” tanya Antonum. “Enggak bisa,” kata Alnord pelan, seraya memandang ombak laut cukup besar yang berarak-arak. Sinar jingga yang tersisa memantul ke wajah mereka, menjelaskan raut muka Alnord yang merasa kehilangan. “Letusan gunung seperti mengaduk laut,” kata Antonum. “Mungkin ini saatnya kita memancing?” 380
“Sayangnya aku lagi enggak mau.” Alnord menunduk. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada Antonum, tetapi ia diam. Sulit sekali untuk mengungkapkannya. Ia menghela napas panjang beberapa kali. “A—,” gumamnya, tetapi ditariknya kembali. “Enggak jadi.” “Mungkin kau bisa menceritakan semua yang telah kau alami?” tanya Antonum. Alnord mengangguk, tak mungkin baginya langsung menceritakan maksudnya mendekat. Ia pun bercerita sedetailnya, tetapi jelas tak menyebutkan kata Telur Emas. Ia ingin merahasiakannya. Hingga pada bagian terbakarnya Bagnan, ia berhenti. Ketidakpercayaannya atas yang telah terjadi pada semuanya terlihat jelas dalam setiap titik di matanya yang memandangi laut. “Ayah tahu berat bagimu untuk melihat hal seperti itu,” kata Antonum seraya merangkulnya. “Kuatkanlah dirimu. Kau bahkan tak takut melawan para Algorn. Mereka menguasai amarahmu, menurut ayah itu sangat buruk, tapi kau dapat melewatinya. Kau juga harus bisa menguasai perasaanmu. Tak ada orang yang lebih hebat daripada yang bisa menguasai amarahnya sendiri.” 381
Antonum memerhatikan naga di dalam mata kanan Alnord yang semakin jelas, berusaha mengetahui yang ada di benaknya. “Ayah tahu kau sudah mengetahuinya,” kata Antonum. “Mengetahui ayahmu yang sebenarnya.” Alnord tersentak. Ia menatap Antonum yang membuang pandangannya ke cakrawala. “Bisa ceritakan padaku?” “Ayahmu adalah Raja Tertinggi yang hebat, Aracruz.” kata Antonum. “Ibumu bernama Etna, seorang permaisuri yang sangat memesona, penebar kelembutan di kerajaan Ablahar. Sayang sekali dia harus meninggalkanmu saat kau masih terlalu kecil untuk mengingat kelembutannya. Kau begitu istimewa. Itulah alasan kami selalu mengekangmu.” Ketika Alnord menanyakan tempat Aracruz berada saat itu, Antonum terdiam sejenak. “Mereka dimakamkan di tempat yang sama,” kata Antonum. Alnord membuang pandangannya lagi ke laut. “Apa yang terjadi?” “Ayah tak di sana saat itu terjadi,” kata Antonum seraya mengusap punggung Alnord, mencium ubun-ubunnya, berusaha menenangkannya. Ia terdiam. 382
“Kenapa baru sekarang aku dikasih tahu?” kata Alnord. “Ayah juga tak sanggup mengenangnya untuk bercerita padamu.” Ia mengusap-usap punggung Alnord, berusaha menenangkan. “Dia Raja yang hebat?” kata Alnord. “Sangat,” kata Antonum. “Semua yang rakyatnya harapkan dari seorang pemimpin ada padanya.” “Sehebat apa sampai Raja Ihtizar enggak kenal dia?” “Itu misteri bagi orang-orang yang masih mengingatnya.” Antonum mendesah. “Semua orang tiba-tiba melupakannya. Sejak rezim Raja Louis dari Colomos, Aracruz dianggap seperti tak pernah ada. Ayah belum menemukan jawabannya sampai sekarang.” Angin laut berdesir pahit. Ombak laut menerjang suram. Awan mendung beriring kelam. Seakan semuanya merasakan yang Alnord rasakan. Ia teringat pada nenek dan pamannya. “Gimana kalau harapan kita enggak mungkin terwujud?” tanya Alnord sambil menatap Antonum. “Aku berharap bertemu kembali dengan nenek dan paman, tapi aku pikir itu enggak mungkin kayaknya.” 383
“Simpan harapan itu.” Antonum merendah hingga matanya sejajar dengan mata Alnord. “Sering kali keajaiban yang mewujudkannya bila kau sabar menunggu.” Alnord tersenyum dan mengangguk. “Aku minta maaf karena telah berlaku tak sopan pada Anda.” “Ayah bahkan tak menganggapmu tak sopan saat itu,” kata Antonum. “Kau sudah menjadi anak yang baik. Ayah bangga padamu.” “Aku mau istirahat,” kata Alnord lalu berbalik dan berjalan lemas menuju pintu kamar Bessel. “Kau mau ayah menemanimu?” “Enggak perlu, Tuan Mendelev,” katanya sembari membuka pintu. Antonum memanggilnya sekali lagi sebelum ia menutup pintu. Ia berbalik. Ada jeda cukup lama sampai Antonum mengatakannya. Alnord menunggu. “Kau masih bisa memanggilku ayah,” kata Antonum. Alnord mengangguk dan tersenyum lemah. Ia berlari dan memeluk Antonum. “Ya, Yah, makasih banyak. Ayah.” Antonum mengelus punggung dan rambutnya lalu mengecup ubunubunnya. Setelah merasa tenang, ia melepas pelukannya dan kembali berjalan menuju ruangan. 384
“Ayah ingin melihatmu tersenyum saat kau bangun nanti,” kata Antonum dengan senyuman hangat di akhir kalimatnya. “Aku akan berusaha,” kata Alnord sebelum menutup pintu. Ia duduk di tepian tempat tidur lalu membuka gulungan baju hangat dan langsung memakainya. Ia menerawang, memunculkan bayangan Ember dan Charlom. Mereka tersenyum dan memanggilnya. Keduanya hanya bisa menjadi kenangan sejak itu. Ia berpaling, mengambil dan membuka kotaknya. Liontin Aracruz terlihat seperti batu biasa saat tak tertimpa cahaya. Ia mengeluarkannya, memasukkan Telur Emas, lalu mengunci kotak itu, dan menaruhnya di samping bantal. Ia merebah. Pandangan matanya terlempar ke luar jendela. Liontin Aracruz tergenggam erat di tangan kanannya. Rasa lelah dan perasaan kacau memberatkan matanya. Perlahan pandangannya mengabur. Semakin lama semakin gelap. Ia pun tenggelam dengan harapan dalam lelapnya.
385
UCAPAN TERIMA KASIH Allah SWT, yang telah memberiku otak kanan untuk berimajinasi dan sepuluh jari sempurna untuk mengetik. Keluarga yang selalu mendukung dalam segalanya. Para guru yang sudah mengajari berbagai macam ilmu. Teman-teman yang sampai kini menemani. Mbak Niken Terate Sekar (klubsastra.multiply.com) atau yang lebih dikenal dengan Ken Terate, yang senantiasa membimbingku dalam penulisan. Serta yang terakhir, tak kalah pentingnya, Gita Ramadian yang sudah menjadi orang yang kali pertama membaca dan mengomentari novel ini. Mbak Leil yang mau memeriksa naskah ini sebelum terbit. Wahyu, Helmi, Ipul, dan Anam yang mau membaca dan memberikan saran. Yang terakhir, tetapi perannya penting, Masayu.
386
kandklfa
387