RINGKASAN EKSEKUTIF Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memuat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembagalembaga pengada layanan selama satu tahun ke belakang. Angka kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sejak 2010 terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan angka yang sangat tinggi terjadi antara tahun 2011 sampai tahun 2012 yang mencapai 35%. Untuk tahun 2015 jumlah kasus meningkat sebesar 9% dari tahun 2014. Tahun 2017 Komnas perempuan mengirimkan 674 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 34%, yaitu 233 formulir, sementara di tahun 2016 sebanyak 780 lembar formulir dan tahun 2015 sebanyak 664 formulir. Jumlah kasus KTP 2016 sebesar 259.150 sebagian besar bersumber dari data kasus atau perkara yang ditangani oleh PA. Dengan demikian data ini dihimpun dari 3 sumber yakni; [1] Dari Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 245.548 kasus; [2] dari Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 13.602 kasus; [3] dari Unit Pelayanan Dan Rujukan (UPR), satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan dan (4) dari divisi pemantauan yang mengelola pengaduan yang masuk lewat surat dan surat elektronik. Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP yang mencapai angka 75% (10.205). Posisi kedua KtP di ranah komunitas dengan persentase 22% (3.092) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 3% (305). Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 4.281 kasus (42%), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual kasus 3.495 ( 34%), psikis 1.451 kasus (14%) dan ekonomi 978 kasus (10%). Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus (22%), di mana kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus (74%), diikuti kekerasan fisik 490 kasus (16%) dan kekerasan lain di bawah angka 10%; yaitu kekerasan psikis 83 kasus (3%), buruh migran 90 kasus (3%); dan trafiking 139 kasus (4%). Di ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara, kasus penggusuran yang dilaporkan dan atau dipantau adalah Bukit Duri, Kampung Pulo, Bongkaran Tanah Abang, Cakung Cilincing di Jakarta, dan Konflik SDA untuk pembangunan semen di pegunungan Kendeng. Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal. Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 5.784 kasus (56%), disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus (21%), kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus (17%) dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Masih di ranah relasi personal, tahun ini catahu bisa menampilkan data perkosaan dalam perkawinan (marital rape) sebanyak 135 kasus. Perkosaan dalam perkawinan adalah hal serius dan masih belum banyak dikenali walau sudah memiliki payung hukum (pasal 8) UU PKDRT. Catahu tahun ini mengungkapkan bahwa pelaku kekerasan seksual di ranah personal tertinggi adalah adalah pacar. Relasi personal pacaran dalam pengamatan Komnas Perempuan adalah kasus yang paling sulit 1
menemui akses keadilan karena minimnya payung hukum dan perlindungan untuk kasus-kasus tersebut. Catatan Tahunan 2017 ini menggambarkan beragam spectrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2016. Beberapa isu perlu mendapat perhatian khusus dari lembaga negara dan masyarakat terkait dengan tingginya angka dispensasi perkawinan, dimana angkanya mencapai 8488 kasus dispensasi. Artinya terdapat 8.488 perkawinan di bawah umur yang disahkan oleh negara. Berbagai kajian perkawinan usia dini menunjukan dampak negatif terutama bagi perempuan. Dampak negatif tersebut antara lain tercerabutnya akses pendidikan anak perempuan yaitu anak perempuan yang menikah dan atau hamil setelah menikah kemungkinan besar berhenti sekolah. Banyaknya kasus kekerasan seksual dialami oleh perempuan dengan disabilitas yang mencapai 93% (57 dari 61 kasus). Pelaku memanfaatkan celah disabilitas korban untuk melakukan kekerasan dengan harapan bisa lolos dari kejahatan yang mereka lakukan karena minimnya pembuktian. Yang menjadi masalah lanjutan adalah jika korban perempuan dengan disabilitas hamil dan memiliki anak karena kekerasan seksual yang mereka alami. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan semakin bervariasi, dan pada tahun 2016 bentuk kekerasan terhadap perempuan semakin bervariasi, kekerasan seksual yang mewacana seperti perkosaan berkelompok, penganiayaan seksual disertai dengan pembunuhan, menegaskan pentingnya pengesahan rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Variasi tersebut perlu dikenali lembaga Negara untuk mudah ditangani dan dicegah. Berbagai upaya yang dilakukan untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih terhambat oleh beberapa hal, diantaranya; penegakan hukum yang lemah, masih banyaknya kebijakan diskriminatif, impunitas bagi pelaku yang dapat memicu terjadinya keberulangan pada perempuan lainnya, lambannya negara dalam menangani kasus KtP, minimnya lembaga layanan korban dan dukungan pemerintah terhadap mereka, serta meningkatnya konservatisme dan fundamentalisme agama yang nemekankan pada pemahaman tekstualis dan anti kesetaran gender. Meskipun demikian, ada sejumlah kemajuan yang berhasil dicatat di Catatan Tahunan 2017 ini, diantaranya adalah; tersedianya instrumen monitoring dan evaluasi implementasi UU nomor 23/2004 yang disusun oleh Komnas Perempuan dan lembaga pengada layanan, tingginya dukungan publik untuk RUU Penghapusan Kekerasan seksual melalui kampanye Gerak Bersama, pengakuan Presiden Joko Widodo yang menetapkan 8 hutan adat dan 1 alokasi hutan adat sebagai bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai asli dan jati diri Indonesia, lahirnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang perlindungan hak penyadang disabilitas, dan adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan. Lembaga-lembaga layanan yang diselenggarakan Negara sampai saat ini masih dalam masa perbaikan struktur, penguatan kapasitas pendampingan korban serta pendokumentasian kasus. Layanan tersebut masih belum disertai dengan menghilangkan cara pandang yang bias terhadap kasus, sehingga dalam beberapa kasus bukannya memberikan keadilan bagi korban melainkan sebaliknya menjadi mengkriminalkan korban, dan impunitas terhadap pelaku. Hak untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi belum sepenuhnya terlihat dalam seluruh dimensi kehidupan perempuan yang semestinya menjunjung nlai-nilai luhur untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak asasi perempuan. Secara umum kekerasan terhadap perempuan terjadi akibat “posisi rentan” perempuan yang disebabkan masih kuatnya “budaya 2
patriarki” yang diskriminatif – subordinatif dan “relasi kuasa yang timpang” dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, suami dan istri, anakdan orangtua, rakyat dan Negara, guru dan murid, serta bawahan dan atasan. Peningkatan kuantitas kasus kekerasan terhadap perempuan semenjak tahun 2011 di satu sisi menggembirakan menjadi indikator meningkatnya pengetahuan dan kesadaran menghapuskan kekerasan terhadap perempuan tetapi disisi lain juga kondisi yang memilukan dan memprihatinkan karena negara belum merespon dengan baik upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan tersebut. Data-data CATAHU di atas menegaskan hal-hal sebagai berikut: Kesimpulan 1. Ranah dan Pola Kekerasan a) Ranah dan pola kekerasan yang paling konstan tertinggi dari tahun ke tahun adalah KDRT terhadap istri. Pola yang sama tetapi berbeda jenis adalah kekerasan dalam pacaran, sebuah relasi yang tidak diikat dalam perkawinan tetapi relasi kuasa dan pola kekerasannya tidak jauh berbeda dengan perkawinan. Kekerasan dalam pacaran tidak memiliki payung hukum karena diluar KDRT dan cenderung menyasar pada remaja. Disisi lain, dari kasus-kasus yang muncul, perempuanlah yang paling banyak membawa atau melaporkan sendiri kasusnya atau berinisiatif mengajukan perceraian (cerai gugat) sebagai upaya terakhir keluar dari lingkaran kekerasan yang dialaminya. b) Pelaku kekerasan paling serius adalah orang-orang dekat, baik dalam konteks KDRT, incest dan berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya. Impunitas pelaku semakin menyubur karena sejumlah hal: 1). penyelesaian kekerasan terutama KDRT diputus dengan perceraian untuk meminimalisir kompleksitas hukum dan dampak sosial karena pemidanaan suami. 2). Impunitas pada kasus kekerasan seksual yang muncul dan beragam, namun tidak dipayungi dengan hukum yang mampu menjerat pelaku karena berbagai bentuknya, hanya 3 dari 15 bentuk kekerasan seksual yang diatur oleh Undang-undang yang ada, 3). Pelaku adalah orang yang berpengaruh karena punya modal sosial, politik, finansial, spiritual, dll, dan memainkan kekuatan tersebut untuk melindungi dari jeratan sanksi hukum. 4). Pelaku adalah adalah anak, padahal bagi korban, siapapun pelaku adalah sama. c) Femicide/femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena dia perempuan, adalah isu serius yang menjadi perhatian dunia namun masih minim menjadi perhatian Indonesia. Setidaknya terlihat dari pendataan yang masih menyederhanakan isu femisida sebagai kriminal biasa. Tidak digalinya dimensi kekerasan berbasis gender serta minimnya pelaporan femisida ke lembaga layanan karena korban sudah meninggal. Dari data yang diolah, menunjukkan bahwa femicida adalah kekejian yang luar biasa baik dari motif pembunuhannya, pola pembunuhannya hingga dampak pada keluarganya. d) Pola kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks, beragam pola dan tingkat kekerasannya, serta lebih cepat dari kemampuan Negara untuk merespon. Salah satunya adalah kekerasan dan kejahatan cyber yang semakin rumit pola kasus kekerasannya, dari pembunuhan karakter, pelecehan seksual melalui serangan di dunia maya yang dirasakan dan berdampak langsung dan berjangka panjang pada korban, terkadang pelaku sulit dideteksi, namun respon dan perlindungan hukum belum cukup memadai, karena disederhanakan menjadi ranah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). e) Kerentanan kelompok dengan keragaman orientasi dan ekspresi seksual semakin tinggi, dan ruang ekpresi semakin menyempit, hingga mencerabut hak dasar mereka atas akses penghidupan karena dilarang bekerja (larangan waria bekerja di Salon), akses kesehatan dan hak dasar lainnya. 3
f) Diskriminasi dan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas perempuan semakin muncul ke permukaan, karena mulai menggeliatnya upaya untuk memasukkan layanan disabilitas pada lembaga-lembaga layanan. Kekerasan seksual pada perempuan dengan disabilitas terjadi karena asumsi bahwa disabilitas adalah makhluk a-seksual atau menstigma bahwa disabilitas (terutama disabilitas intelektual) memiliki kebutuhan seksual yang berlebih, sehingga melanggengkan praktek kekerasan seksual yang terjadi pada mereka. 2.
Kebijakan Negara yang mengukuhkan Kekerasan Terhadap Perempuan a) Kebijakan memberikan dispensasi perkawinan adalah ruang penyuburan dan pelanggengan perkawinan anak. Praktik perkawinan anak berkontribusi pada angka kekerasan terhadap perempuan. Putusan Mahkamah Konsitusi memandang perkawinan . sebagai hak semua orang, termasuk anak , sebaliknya memandang batasan usia kawin berbeda setiap jamannya. Untuk itu memerintahkan Pemerintah yang melakukan perbaikan regulasi. Putusan MK menolak permohonan uji materi untuk menaikkan batas usia perkawinan anak turut mengukuhkan praktik perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak perempuan. b) Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia pada tahun 2016 menguatkan temuan Komnas Perempuan tentang adanya kaitan erat antara kejahatan narkoba, perdagangan manusia dan migrasi. Perempuan pekerja migran merupakan salah satu kelompok yang rentan terlibat dan menjadi korban pada kasus tersebut. Pada sejumlah kasus kejahatan narkoba dimana perempuan sebagai pelaku, narasi dan latar belakang perempuan hingga menghadapi hukuman mati, belum didengar dan diperhitungkan dalam proses penyidikan, penyelidikan dan pengadilan. c) Ketegangan antara kebijakan pembangunan dengan prioritas politik infraktrusktur disatu sisi dengan isu-isu hak asasi semakin menguat karena menyuburnya kebijakan tata bangun dan tata ruang, yang mengakibatkan penggusuran, perluasan perkebunan, pembabatan hutan adat,dll. Dampak serius pada perempuan adalah, terancamnya hak dasar atas penghidupan,air,lingkungan seimbang dan sehat, hak kultural, sumber obat-obatan, dll. d) Komitmen pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu belum menyentuh akar persoalan pemenuhan hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan korban. Bahkan hambatan terbesar adalah dukungan lembaga-lembaga kunci Negara baik kejaksaan maupun institusi keamanan yang masih belum menunjukkan komitmen politiknya pada korban. Selain itu politisasi isu komunisme, rasisme , bahkan pembubaran hak perkumpul semakin menjauhkan upaya penuntasan tersebut. e) Kriminalisasi mengalami peningkatan. Kriminalisasi pada perempuan korban KDRT oleh suami atau mantan suami juga harus menjadi perhatian Negara, antara lain pelaporan balik suami padahal isteri yang seharusnya jadi korban lebih awal, tuduhan pencurian ATM suami padahal untuk menghidupi anak-anaknya, tuduhan pemalsuan dokumen karena mengkoreksi identitas suami dalam kartu keluarga karena masih berstatus lajang. Kriminalisasi oleh mantan suami juga isu yang penting, selain kekerasan KDRT yang tidak berhenti dengan perceraian, tetapi paska perceraian juga menyisakan kekerasan yang sulit disoal oleh perlindungan hukum lain, karena sudah diluar relasi perkawinan. f) Keterbatasan upaya pemulihan korban. Pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan pada kasus-kasus kekerasan massal seperti korban intoleransi belum menemukan pola pemulihan yang efektif, terutama kasus konflik berbasis agama, termasuk mendorong proses rekonsialisasi di komunitas. Pola penyelesaian masih terbatas pada upaya hukum, padahal kebutuhan korban untuk pemulihan lebih luas untuk memenuhi rasa keadilan.
3.
Layanan, pendataan, peran korban dan publik a) Ada korelasi signifikan antara ketersediaan layanan dengan tingginya data kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan dalam suatu daerah. Tingginya data juga sebagai bentuk tingginya kesadaran untuk menyoal kasus kekerasan yang dialami perempuan, 4
b)
c)
d) e)
membaiknya pendataan yang mudah diakses dan teridentifikasinya kekerasan. Sisi lain, tidak adanya data pada sejumlah wilayah, tidak selalu menunjukkan bahwa tidak ada kekerasan di wilayah tersebut, tetapi karena persoalan pelaporan dan pendataan yang harus dicermati serius. Pola pendataan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan Negara menunjukkan cara pandang dan pensikapan Negara atas kasus-kasus yang ada. Kategorisasi dalam pendataan di pengadilan agama seperti istilah “krisis akhlak, ketidak harmonisan, poligami tidak sehat, dll”, menunjukkan bahwa Negara masih menyamarkan kekerasan terhadap perempuan sebagai penyebab perceraian. Penyamaran tersebut berpotensi pada tidak tertelusurnya penyebab dan akar kekerasan yang sesungguhnya, dan berkontribusi pada impunitas pelaku. Data catahu menunjukkan bahwa korban masih cenderung datang ke layanan yang dibuat CSO/LSM yang harus ditelusur lebih jauh penyebabnya. Padahal Negara tengah memperbanyak layanan di berbagai daerah, dimana upaya tersebut harus mengedepankan kwalitas layanan yang ramah pada korban,memastikan petugas yang memahami isu dan prinsip layanan yang memulihkan korban, dibanding upaya-upaya formalisme layanan yang mengedepankan status kelembagaan, fasilitas infrastruktur baik gedung dan mobil. Kendati infrastruktur penting, tetapi korban lebih perlu layanan cepat dan bersahabat. Partisipasi dan inisiatif publik semakin meluas dan responsif. Publik menjadi elemen penting pengambil kebijakan yang turut menentukan arah dan respon Negara dalam mensikapi kekerasan terhadap perempuan. Meningkatnya angka pengaduan langsung ke Komnas Perempuan menunjukkan kesadaran perempuan korban atau masyarakat yang membutuhkan perlindungan di luar sistem yang tersedia dalam struktur negara dan kondisi penanganan kekerasan terhadap perempuan yang belum membaik atau masih mengalami stagnasi penegakan hukum dan penanganannya.
Rekomendasi 1. Negara harus mengupayakan Pendalaman Pengetahuan, Mengenali pola dan pencegahan serta penanganan korban Kekerasan terhadap Perempuan a) Pembunuhan terhadap perempuan dengan basis kekerasan berbasis gender semakin muncul di permukaan, Penegak Hukum dan seluruh lembaga pengada layanan perlu melakukan pendataan khusus untuk keperluan pencegahan, penanganan dan perlindungan yang lebih sistemik dan sistematis. Selain itu untuk memperkuat pengetahuan publik maupun Negara. b) Kekejian pembunuhan terhadap perempuan terjadi di wilayah politik, disertai dengan penaniayaan seksual dan perkosaan, termasuk dalam hal pelanggaran HAM masa lalu yang perlu segera diselesaikan. c) Kekerasan seksual semakin beragam bentuk dan jenisnya. Salah satunya kekerasan berkelompok (geng rape) di masyarakat, diperlukan upaya keras Negara untuk segera mensahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual. 2.
Kewajiban negara dalam Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan Korban a) Optimalisasi pendataan dan penambahan P2TP2A beserta sumberdayanya diseluruh Indonesia, bekerjasama dengan lembaga layanan masyarakat pendamping korban untuk kebutuhan korban mengakses keadilan dan pemulihan. b) Negara perlu memonitoring dan mengevaluasi kembali UU KDRT dengan menggunakan alat monitoring dan evaluasi yang dihasilkan Komnas Perempuan bekerjasama dengan forum pengada layanan dan kementrian terkait karena banyak digunakan pelaku kekerasan untuk mengkriminalkan korban. 5
c) Mendesaknya penghapusan perkawinan anak demi mendahulukan kepentingan hak-hak asasi anak daripada kecurigaan pada anak perempuan atau remaja dalam hal seksual dan menghindar anak dari eksploitasi (perdagangan anak perempuan melalui perkawinan anak). d) Negara perlu memperkuat dukungan kepada lembaga-lembaga pendamping korban dan layanan, agar mudah terakses dan ramah pada korban tak terkecuali di wilayah-wilayah kepulauan, pelosok, juga layanan migran di luar negeri. e) Negara perlu menghormati, mengakui, mendukung dan melindungi perempuan pembela HAM karena mereka yang berada di lini terdepan untuk membela para korban. f) Penghapusan hukuman mati terutama kepada perempuan dalam lingkaran narkoba dan perdagangan manusia karena tipu muslihat, ketidakberdayaan ekonomi dan eksploitasi relasi pribadi. 3.
Kebijakan Negara dalam merespon dan memulihkan hak korban kekerasan komunal a) Pengusiran paksa atas alasan identitas agama dan keyakinan serta pembangunan tidak dapat ditolerir, masyarakat perlu dilindungi dan dipulihkan hak-haknya terutama kehidupan ekonomi, sosial dan budayanya. b) Kebijakan diskriminatif bertambah, dan kebijakan kondusif belum banyak yang dipraktikkan, Negara perlu mempelajari dan mengambil keputusan efektif dan pelaksanaan yang konkrit untuk kepentingan manfaat langsung bagi masyarakat, terutama perempuan.
4. Mekanisme Internasional yang mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan secara global: a) Pemerintah Indonesia harus mencermati dan menindaklanjuti rekomendasi mekanisme internasional termasuk komite CEDAW untuk menghapuskan praktek kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. b) menjalankan komitmen dalam SDGs, untuk mencegah pemiskinan perempuan dan menjaga kemerdekaan dan kesetaraan perempuan tanpa ada satupun yang ditinggal c) meratifikasi ACTIP untuk mencegah dan menangani perdagangan perempuan sekurangkurangnya di ASEAN.
6
METODOLOGI : KOMPILASI DATA DAR I LEMBAGA MITRA PENG ADA LAYANAN Data catatan tahunan (catahu) KtP Komnas Perempuan merupakan data kompilasi dari kasuskasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima dan ditangani oleh sejumlah lembaga mitra pengada layanan di hampir semua provinsi di Indonesia, dan pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan lewat Unit Pengaduan dan Rujukan (UPR) serta pengaduan kasus lewat surat elektronik Komnas Perempuan. Komnas perempuan mengkompilasi pula data dari Badilag. Pada Bulan Oktober dan November setiap tahun, Komnas Perempuan mengirimkan formulir data catahu kepada lembaga-lembaga mitra di daerah (lihat Daftar Lembaga Pengada Layanan yang Berpartisipasi dalam CATAHU 2017). Lembaga mitra mengisi data kasus korban KtP yang ditangani masing-masing lembaga pada formulir pendataan ini dan dikirimkan kembali kepada Komnas Perempuan pada bulan Januari dan atau Februari tahun berikut agar semua data yang diterima dapat dikompilasi dan dianalisis tepat pada waktunya. SELAIN DATA DARI LEMBAGA MITRA, SEBAGAIMANA TAHUN-TAHUN SEBELUMNYA, SALAH SATU SUMBER DATA CATAHU 2017 adalah data pengadilan agama (PA) yang diakses melalui laman
BADILAG (Badan Peradilan Agama). Dalam beberapa tahun terakhir pengadilan agama mendokumentasikan data dengan rapi dan tepat waktu, walaupun pada tahun ini ada sedikit kendala mengakses dan mengunduh data badan peradilan agama sehingga ada beberapa data yang kosong di beberapa PA di tingkat kabupaten/kota di 30 provinsi di Indonesia. Dalam catahu tahun ini, data PA mencapai 94% dari seluruh data yang dikompilasi Komnas Perempuan . Sejak tahun 2012, Komnas Perempuan mengembangkan analisis data dari PA secara terpisah karena PA memiliki cara/sistem pengkategorisasian tentang kekerasan terhadap perempuan yang berbeda. Seluruh data PA yang digunakan dalam catahu ini adalah kasus-kasus yang telah diputus oleh pengadilan dan dilihat lebih terinci pada penyebab perceraian yang dilaporkan, baik cerai gugat maupun cerai talak. Data dari PA ini menambah angka total kasus KtP secara signifikan, khususnya di ranah rumah tangga (KDRT)/relasi personal (RP). Namun demikian analisis tetap dilakukan terpisah agar menjadi jelas kebutuhan penanganan kasus di lembaga-lembaga mitra pengada layanan (selain PA). Partisipasi lembaga mitra dalam mengisi formulir data kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani masing-masing, merupakan sumbangan nyata dan paling berharga dalam penyusunan catatan tahunan Komnas Perempuan. Besaran atau jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdata dan dilaporkan dalam setiap catatan tahunan bergantung pada: 1) Kesediaan lembaga mitra merespon permintaan pengisian formulir pendataan Komnas Perempuan, 2) Kinerja masing-masing lembaga mitra pengada layanan, khususnya dalam upaya mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan secara tepat dan cermat, 3) Ketersediaan SDM khusus untuk pendokumentasian data Penghitungan ganda data KtP yang ditangani lembaga pengada layanan belum dapat dihindari seratus persen selama pemahaman tentang kebutuhan data kasus riil secara nasional, baik untuk kepentingan advokasi dan kepentingan lain, belum benar-benar terbangun. Namun demikian, Komnas Perempuan dari tahun ke tahun meminimalisasi penghitungan ganda dengan sejumlah cara berikut: 1) Memastikan lembaga mitra mencantumkan wilayah kerja sebagai data lembaga, 2) Mengupayakan lembaga mitra mengisi dengan benar jumlah kasus yang diterima, kasus yang ditangani oleh lembaga itu sendiri dan kasus yang dirujuk ke lembaga lain, 7
3) Menuliskan kerja sama (dalam bentuk MoU) yang dibangun di wilayah kerja masing-masing, khususnya relasi kerja sama dengan kepolisian (UPPPA), pengadilan (PN), rumah sakit, dan lembaga bantuan hukum (LBH). Dengan demikian, beberapa titik potensi overlapping bisa dipetakan dan diminimalkan. Pengiriman Formulir Data Catahu dan Tingkat Respon Pengiriman formulir data catahu 2017 kepada lembaga mitra dilakukan melalui pos, email, dan diterimakan langsung kepada lembaga layanan ketika Komnas Perempuan melakukan kegiatan di sejumlah daerah.
Pengiriman (674) dan Penerimaan (233) Formulir Data Menurut Provinsi CATAHU 2017 Terima
Aceh Sumut Sumbar Keppri Riau Babel Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kaltim Kalteng Kalsel Kaltara Sulut Gorontalo Sulteng Sulbar Sultra Sulsel Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Kirim
Dalam catahu 2016 Komnas Perempuan mengirimkan formulir pendataan kepada 674 lembaga pengada layanan di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut pengembalian formulir dengan data yang dapat diolah sebanyak 34%. Dalam perbandingan dengan catahu 2016, ada perbedaan 106 lembaga yang tahun ini tidak dikirim formulir data catahu karena data mitra yang tidak bisa diverifikasi. Dalam catahu Komnas Perempuan tahun 2016 disebarkan 780 formulir data dengan pengembalian formulir mencapai 30%. Tingkat respon pengembalian formulir dalam catahu 2017 yang mencapai 34% berarti ada sejumlah 233 lembaga mitra mengembalikan formulir tepat waktu sehingga datanya dapat diolah untuk dimasukkan dalam catahu tahun ini. Seperti terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini ada 4 lembaga mitra yang terlambat mengirimkan kembali formulir pendataan sehingga data lembaga bersangkutan tidak dapat diolah dan ditampilkan dalam catahu tahun ini. Adapun rincian lembaga mitra yang dikirimi dan mengembalikan formulir data catahu Komnas Perempuan dapat dilihat dalam tabel berikut:
8
Pengiriman dan Penerimaan Formulir Data Lembaga Mitra CATAHU 2017 (Tingkat Respon 34%)
PN
UPPA
RS
WCC
Kirim
280
108
27
13
137
Terima
81
52
11
7
51
28%
48%
40%
53%
36%
Prosentase
LSM/OMS P2TP2A
BPPKB
PPT
RPTC
52
39
14
4
10
9
11
1
19%
23%
78%
25%
Berdasarkan kategori lembaga mitra, pada tahun ini rata-rata lembaga mitra memberikan respon pengembalian formulir antara 19-78%. Respon terendah adalah dari P2TP2A sebesar 19% atau hanya 10 dari 52 P2TP2A yang mengembalikan formulir. Respon tertinggi adalah dari PPT sebesar 78% atau sebelas dari 14 PPT yang mengembalikan formulir. Dalam catahu 2017 ini terdapat penurunan respon UPPA (Kepolisian). Dari 108 formulir yang dikirim kepada UPPA, tingkat pengembalian mencapai turun 2% menjadi 48%. Sebagaimana diuraikan terdahulu, terdapat penurunan jumlah distribusi formulir data pada tahun ini yaitu berkurang 106 lembaga yang tidak dikirimi formulir catahu Komnas Perempuan. Di sisi lain perubahan struktur P2TP2A menjadi Unit Pelaksana Teknis membutuhkan waktu untuk dapat mengirimkan data terkait dengan penanggung jawab struktur yang baru. Kendala lain adalah masih kurangnya sumber daya manusia dalam pendokumentasian data kekerasan terhadap perempuan yang berdampak pada kesulitan dan keengganan mengisi formulir data Komnas Perempuan. Selain formulir data Komnas Perempuan, ada berbagai macam formulir isian data yang harus di isi oleh lembaga mitra yang menjadi tambahan beban kerja mereka.
9
GAMBARAN UMUM: JUMLAH PEREMPUAN KOR BAN KEKERASAN TAHUN 2016
Jumlah Kasus KTP Tahun 2016
Jumlah KTP dari Tahun 2006-2016 CATAHU 2017 321.752 279.688
293.220 259.150
216.156 143.586 105.103
119.107
54.425 22.512 25.522 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Sebagian besar data catahu yang dikompilasi Komnas Perempuan bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani oleh PA. Dari total 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dikompilasi Komnas Perempuan pada tahun 2016, sebanyak 245.548 kasus atau 94% adalah data PA dan 13.602 kasus atau 6% adalah data dari 233 lembaga mitra pengada layanan yang mengisi dan mengembalikan formulir pendataan Komnas Perempuan. Besaran angka kekerasan terhadap perempuan adalah jumlah kasus-kasus yang dilaporkan dan merupakan fenomena gunung es. Masih sangat banyak perempuan korban tidak mampu dan tidak berani menceritakan pengalaman kekerasannya, apalagi berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta pertolongan. Keengganan dan ketidakmampuan ini bisa disebabkan beberapa hal seperti misalnya ketiadaan lembaga layanan di lokasi korban atau karena stigma yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan korban kekerasan justru dianggap sebagai pihak yang bersalah, ‘perempuan penggoda’ atau tidak mempunyai akhlak yang baik dan oleh karenanya sudah sepantasnya mendapat tindakan kekerasan. Budaya “menyalahkan” perempuan korban kekerasan masih kental di kalangan masyarakat. Dari sisi lembaga pengada layanan, sejumlah faktor menjadi kendala dalam menyediakan layanan: keterbatasan sumber daya manusia (SDM), keterbatasan dana, kurangnya dukungan masyarakat sekitar, langkanya dukungan dan fasilitas dari pihak pemerintah (daerah maupun pusat). Kondisi seperti ini menyebabkan sejumlah lembaga layanan tidak dapat berfungsi secara optimal. Pendokumentasian kasus-kasus kekerasan yang dilaporkan juga belum menjadi bagian yang ditangani dengan baik karena sejumlah kendala di atas. Sebagian kerja-kerja pendokumentasian dirangkap pengerjaannya oleh staf yang menangani bagian lain.
10
Data Pengadilan Agama dari Tahun ke Tahun
Kasus KTP yang di Proses PA Tahun 2010-2016 Catahu 2017 305.535 263.285
280.710 245.548
203.507
93.133
101.953
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Sejak dikeluarkannya Keputusan Ketua MA Nomor 144/KMA/ SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan pengadilan, dapat dilihat adanya kemajuan dan kesungguhan Pengadilan Agama (PA) dalam mendokumentasikan kasus-kasus yang ditangani oleh lembaga tersebut dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Data PA menyumbang 70-95% dari total data kasus kekerasan terhadap perempuan yang didokumentasikan dalam catahu Komnas Perempuan. Pada tahun 2010 sebesar 89%, tahun 2011 sebesar 85%, tahun 2012 dan 2013 sebesar 94%, tahun 2014 sebesar 96%, tahun 2015 dan 2016 sebesar 95%. Dalam grafik terlihat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan yang diproses PA selama kurun waktu tahun 2010-2015. Fenomena ini dapat dimaknai sebagai semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan terhadap perempuan kepada penegak hukum. Peningkatan kesadaran masyarakat adalah hal positif dan perlu direspon oleh negara secara positif pula. PA adalah salah satu institusi negara yang bertugas merespon hal tersebut khususnya memastikan agar proses hukum yang berlangsung menghasilkan keadilan bagi perempuan korban. Dibandingkan data pada tahun 2015 sebanyak 305.535 kasus kekerasan terhadap perempuan, pada tahun 2016 terjadi penurunan yaitu tercatat 245.548 kasus atau terdapat selisih 59.987 kasus. Penurunan ini tidak serta merta bermakna turunnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Ada indikasi pendokumentasian kasus-kasus kekerasan terkendala masalah teknis komputer dan jaringan internet Badilag pada dua bulan terakhir tahun 2016, sehingga ada kemungkinan tidak semua kasus terdokumentasikan dan diunggah di laman PA.
11
Jumlah PA per Provinsi CATAHU 2017 37
36
20 20
24
24
17 16
14 7 5
9
4 5
6
5
9 8
8 10 6
13 6 4
9 7
13 3 4
Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kaltim Kalteng Kalsel Sulut Gorontalo Sulteng Sultra Sulsel Maluku Maluku Utara Papua
10
Per Bulan Januari 2017, Komnas Perempuan berhasil mengakses data dari seluruh PA yang ada di Indonesia berjumlah 359. PA di tingkat kabupaten/kota tersebar di 30 Provinsi di Indonesia, sebagaimana ditampilkan dalam grafik diatas. Pengadilan Agama ada di hampir semua provinsi, kecuali Kepulauan Riau (Kepri) – menginduk ke Riau, Papua Barat – menginduk ke Jayapura, dan Sulawesi Barat – menginduk ke Sulawesi Selatan. Khusus untuk Aceh disebut Mahkamah Syariah (MS) yang juga menangani kasus pelanggaran qanun/perda syariah. Jumlah PA bervariasi di setiap provinsi, tertinggi adalah Provinsi Jawa Timur dengan 37 PA, posisi kedua adalah Provinsi Jawa Tengah dengan 36 PA, posisi ketiga adalah Provinsi Jawa Barat dan Sulawesi Selatan sebanyak 24 PA. Adapun provinsi dengan jumlah PA terendah di Indonesia adalah Provinsi Maluku yang hanya memiliki tiga PA. Data perkara perceraian PA yang diakses per Bulan Januari 2017 mencapai 288.629 perkara yang terbagi dalam tiga kategori cerai gugat, cerai talak dan poligami. Dari seluruh perkara yang diproses ini ada 245.548 kasus (85%) telah mendapatkan putusan (akta cerai). Jumlah ini yang diolah untuk catahu.
12
Rekapitulasi Perkara yang Diproses PA selama Tahun 2016 Perkara Masuk Pengadilan Agama Sepanjang tahun 2016 (Catahu 2017)
Cerai Talak; 77.502
dispensa si kawin, 8,488
Cerai Gugat; 202.118
Ijin Poligami; 521
Dari 288.629 perkara perceraian yang masuk ke PA pada tahun 2016 terdapat 202.118 kasus cerai gugat, 77.502 kasus cerai talak, 521 kasus ijin poligami dan 8.488 kasus dispensasi kawin. Semua perkara yang masuk kemudian diproses untuk diputuskan apakah perkara yang masuk dikabulkan, digugurkan, dicabut atau dicoret. Berdasarkan penjelasan dari pihak BADILAG, PA membuat kategori perkara untuk diproses, termasuk penyebab perceraian dengan merujuk pada penjelasan/ketentuan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU nomor 1/1974 tentang perkawinan dan PP nomor 9/1975. Berdasarkan kebijakan tersebut, ijin poligami artinya suami memohon persetujuan negara terkait perkawinan poligami yang akan dijalaninya, kasus cerai talak artinya perceraian yang diajukan oleh suami, sedangkan kasus cerai gugat artinya perceraian yang diajukan oleh isteri. Pengajuan perceraian yang diajukan suami dan istri memiliki alasan masing-masing.
PP nomor 9/1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU nomor 1/1974 tentang perkawinan memberikan penjelasan berikut: Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: (1) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (=krisis akhlak); (2) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya (=tidak ada tanggung jawab); (3) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung (=dihukum); (4) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain (=kekejaman jasmani, kekejaman mental); (5) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri (=cacat tubuh); dan (6) antara suami istri terus-menerus terjadi perelisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (=tidak harmonis) Dari empat kategori perkara yang masuk PA pada tahun 2016, cerai gugat memiliki jumlah terbesar, diikuti cerai talak, dispensasi kawin dan ijin poligami. Catahu Komnas Perempuan tahun 2016 menunjukkan hal yang sama. Dari 352.070 perkara perceraian yang masuk ke PA pada tahun 2015 terdapat perkara cerai gugat 252.587 kasus, cerai talak 98.808, ijin poligami 675 kasus. Demikian pula catahu Komnas Perempuan tahun 2015 menunjukan pada tahun 2014 cerai gugat menempati posisi pertama (240.828), diikuti cerai talak pada posisi kedua (104.346) dan ijin poligami pada 13
posisi ke tiga (701). Besarnya jumlah perempuan yang menginginkan perceraian melahirkan tanda tanya terkait posisi dan kondisi perempuan dalam perkawinan. Ditengarai kuatnya budaya patriarki menyebabkan subordinasi perempuan dalam institusi perkawinan yang berkontribusi terhadap tingginya perempuan yang mengajukan gugat cerai. Dispensasi kawin artinya keringanan yang diberikan pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan. Dispensasi ini diatur dalam UU nomor 1/1974 tentang perkawinan pasal 7 sebagai berikut: 1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Meskipun dispensasi usia kawin dimungkinkan melalui peraturan perundangan, namun 8.488 kasus dispensasi tersebut pada tahun 2016 patut menjadi perhatian. Artinya terdapat 8.488 perkawinan di bawah umur yang disahkan oleh negara. Berbagai kajian perkawinan usia dini menunjukan dampak negatif terutama bagi perempuan. Dampak negatif tersebut antara lain tercerabutnya akses pendidikan anak perempuan yaitu anak perempuan yang menikah dan atau hamil setelah menikah kemungkinan besar berhenti sekolah. Lembaga pendidikan tingkat menengah (SMP, SMA) pada umumnya tidak mengakomodasi siswi yang menikah, khususnya siswi yang hamil. Dispensasi kawin juga bertentangan dengan program wajib belajar 12 tahun (SD-SMA) yang dicanangkan pemerintah. Data statistik nasional tahun 2010 menunjukan lama rata-rata sekolah bagi penduduk usia 15 tahun keatas adalah 8,3 tahun bagi laki-laki dan 7,5 tahun bagi perempupan. Adapun tingkat melek huruf pada tahun 2009-2010 untuk laki-laki dewasa adalah 95,35% bagi laki-laki dan 90,52% bagi perempuan. Data ini menunjukan lama waktu sekolah yang lebih pendek bagi perempuan dan persentase perempuan melek huruf yang juga lebih rendah bagi perempuan dibandingkan laki-laki. Data yang sama juga mencerminkan nilai sosial budaya yang memandang pendidikan bagi perempuan tidak sepenting pendidikan bagi laki-laki. Perempuan yang menikah pada usia dini yang dimungkinkan melalui dispensasi kawin, berpeluang besar hamil pada usia belia dan menghadapi resiko yang lebih tinggi dalam hal komplikasi kehamilan dan melahirkan. Pada tahun 2010 terdapat 12,26% perempuan yang menikah pertama kali pada usia 10-15 tahun dan 32,46% pada usia 16-18 tahun (Trend Indikatr Sosial Ekonomi Indonesia, 2012). Dengan demikian total hampir 45% perempuan Indonesia menikah pertama kali saat mereka di bawah usia 19 tahun. Berbagai kajian menunjukan bahwa hamil dan menikah pada usia belia berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI). Saat ini AKI Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di Indonesia yaitu 359/100.000 kelahiran hidup. Dalam draft undang-undang penghapusan kekerasan seksual yang diserahkan Komnas Perempuan ke DPR RI, Komnas Perempuan memasukkan perkawinan anak sebagai salah satu bentuk pemaksaan perkawinan. Sikap ini diambil karena dalam pandangan Komnas Perempuan, anak haruslah dipandang dalam posisi tidak dapat memberi persetujuan dalam keadaan bebas, ketika berhadapan dengan orang dewasa (orang tua dan keluarga besar) yang menghendakinya menikah. Salah satu alasan meminta dispensasi nikah karena anak telah melakukan hubungan seksual, harusnya tidak dijadikan kebiasaan. Kondisi ini harus disikapi dengan melakukan perbaikan pada sistem pendidikan, agar anak dapat terhindar dari melakukan aktivitas seksual. Keinginan keluarga untuk menutupi rasa malu, tidak boleh dilakukan dengan mengurangi hak anak perempuan atas pendidikan. 14
Kawin dibawah umur adalah juga salah satu pernyebab perceraian sebagaimana data PA berikut ini.
Penyebab Perceraian Menurut Kategorisasi PA (n= 245.548) Catahu 2017 lain-lain Tidak Ada Keharmonisan Gangguan Pihak Ketiga Politis Cacat Biologis Dihukum Kekejaman Mental Kekejaman Jasmani Kawin Di Bawah Umur Tidak Ada Tanggung Jawab Ekonomi Kawin Paksa Cemburu Krisis Akhlak Poligami tidak sehat
8.249 76.975 15.656 764 717 960 605 3.984 312 60.370 57.604 1.340 4.011 8.550 5.451
Berdasarkan kebijakan yang berlaku, maka PA membuat kategorisasi perkara perceraian yang sudah mendapatkan akta cerai berdasarkan penyebab perceraian, yaitu: poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggung jawab, kawin di bawah umur, kekejaman jasmani, kekejaman mental, dihukum, cacat biologis, politis, gugatan pihak ketiga, dan tidak ada keharmonisan. Adapun kategori lain-lain termasuk namun tidak terbatas pada perilaku seperti menghabiskan waktu dengan bermain games, pengaruh jejaring sosial, gaya hubungan intim yang tidak disepakati, dan lain sebagainya. Grafik/tabel “penyebab perceraian menurut kategorisasi PA menunjukan bahwa dari 15 kategori penyebab perceraian tahun 2016 ada tiga kategori terbesar yaitu tidak ada keharmonisan 31% (76.975), tidak ada tanggung jawab 25% (60.370) dan ekonomi 23% (57.604). Trend “tiga besar” penyebab perceraian sama dengan tahun sebelumnya. Catahu Komnas Perempuan tahun 2016 menunjukkan dari 15 kategori penyebab perceraian pada tahun 2015 ada tiga kategori terbesar yaitu tidak ada keharmonisan 32% (97.418), tidak ada tanggung jawab 24% (73.996) dan ekonomi 22% (66.024). Demikian pula catahu Komnas Perempuan tahun 2015 menunjukkan pada tahun 2014 kategori tidak ada keharmonisan 31%, tidak ada tanggung jawab 24% dan ekonomi 22%. Dan catahu Komnas Perempuan tahun 2014 menunjukkan pada tahun 2013 kategori tidak ada keharmonisan (29%), tidak ada tanggung jawab (23%), dan faktor ekonomi (18%). Adapun tahun 2012 menunjukkan trend yang berbeda yaitu angka poligami tidak sehat mencapai 23%, tidak ada keharmonisan 18% dan faktor ekonomi 16% (Catahu Komnas Perempuan, 2013). Selain data tiga besar tersebut, perlu dicermati data perceraian yang disebabkan oleh kekejaman jasmani sebanyak 3.984 kasus, kekejaman mental 605 kasus, kawin di bawah umur 312 kasus dan kawin paksa 1.340 kasus. Kategori kekejaman jasmani dan mental termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dimana sangat mungkin jumlah tersebut hanya pucuk gunung es dari 15
penyebab perceraian dengan akar masalah KDRT. Demikian pula jumlah yang kecil untuk kategori kawin di bawah umur dan kawin paksa adalah pucuk gunung es dari kekerasan seksual. Tabel berikut ini menunjukan data per provinsi tentang kategorisasi perkara perceraian yang sudah mendapatkan akta cerai berdasarkan penyebabnya. Adapun data tiga besar penyebab perceraian yang dirinci per provinsi adalah sbb: Provinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim NTB dan Bali NTT Kalbar Kaltim Kalteng Kalsel Sulut Gorontalo Sulteng Sultra Sulsel Maluku Maluku Utara Papua Jumlah
Tidak Harmonis 1,850 2,295 1,510 3,440 833 1,188 1,632 1,370 95 1,872 12,739 3,106 12,821 1,740 18,241 1,198 22 1,378 2,199 815 2,380 178 576 341 593 2,133 19 21 390 76,975
75 201 134 401 180 165 61 1558 22 863 17,329 303 14,666 397 19,442 333 4 232 237 128 361 0 27 14 42 403 0
Tidak Tanggung Jawab 681 2,561 649 2,002 379 876 187 811 37 1,770 6792 688 22,232 1236 14,355 1044 6 347 738 479 341 21 211 115 482 1082 3
Gangguan Pihak Ketiga 50 275 143 364 97 208 27 232 54 1,647 1,502 364 2,538 392 5,705 255 11 253 346 88 416 30 56 121 55 322 3
2 24 57,604
64 181 60,370
4 98 15,656
Ekonomi
16
Tabel di atas menunjukan data penyebab perceraian terbanyak menurut provinsi. “Tiga besar” provinsi dengan penyebab perceraian “tidak ada keharmonisan” adalah Jawa Timur (18.421), Jawa Tengah (12.821), dan Jawa Barat (12.739). Data dalam tabel tersebut konsisten dengan data nasional, dimana di tingkat nasional dan di sebagian besar provinsi kategori “tidak ada keharmonisan” menempati jumlah terbesar dibandingkan kategori lain. Persentase terbesar “tidak ada keharmonisan” sebesar 31% secara nasional dan di sebagian besar provinsi dimungkinkan mencakup pula KDRT dan kekerasan seksual, dimana penggugat cerai (istri) sungkan mengemukakan alasan sesungguhnya karena faktor budaya patriarki, tekanan sosial, tidak ingin disalahkan dan sulitnya pembuktian. Di provinsi tertentu seperti Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimatan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, penyebab perceraian “tidak ada keharmonisan” relatif mencolok jumlahnya dibandingkan kategori lain. Terminologi yang digunakan PA dalam kategorisasi penyebab perceraian menunjukan sebuah fenomena penghalusan peristilahan yang dilakukan oleh negara yang berdampak mengaburkan penyebab sesungguhnya dari perceraian. Terdapat kategori penyebab perceraian “kekejaman jasmani” sebanyak 3.984 kasus (2%) dan “kekejaman mental” sebanyak 605 kasus (0,2%). Meski jumlah kasus kedua kategori tersebut relatif kecil dibandingkan kategori lain namun merupakan bukti faktor kekerasan dalam rumah tangga sebagai penyebab perceraian. Kategori lain seperti “tidak ada keharmonisan” dan “tidak tanggung jawab” bermakna luas, banyak hal dapat tercakup didalamnya termasuk KDRT. Situasi di atas melahirkan pekerjaan rumah bagi pemerintah dan aktifis perempuan untuk tidak terpaku hanya pada data yang bisa jadi tidak mencerminkan realitas sesungguhnya dalam hal fenomena kekerasan di ranah personal yang berkontribusi terhadap perceraian.
17
Data KTP Lembaga Mitra Pengada Layanan Data KTP Lembaga Layanan Menurut Provinsi (n= 13.602) CATAHU 2017 Papua Barat Papua Maluku Utara Maluku Sulsel Sultra Sulbar Sulteng Gorontalo Sulut Kaltara Kalsel Kalteng Kaltim Kalbar NTT NTB Bali Jatim DIY Jateng Banten Jabar DKI Lampung Bengkulu Sumsel Jambi Babel Riau Keppri Sumbar Sumut Aceh
13 0 46 191 300 467 19 150 0 0 0 222 76 281 267 300 186 85 1.635 648 1.123 210 1.377 2.552 41 121 250 190 271 247 209 216 942 967
Grafik di atas menunjukan data dari 233 lembaga mitra dari seluruh Indonesia. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang berhasil didokumentasikan mencapai 13.602 kasus. Terdapat tiga provinsi dengan jumlah kasus tertinggi yaitu: DKI Jakarta 18% (2.552), Jawa Timur 12%(1.635), dan Jawa Barat 10% (1.377). Tiga provinsi tertinggi dengan jumlah kasus data KtP yang terdokumentasi adalah provinsi yang terletak di Pulau Jawa. Secara umum infrastruktur fisik dan ketersediaan sumber daya manusia di Pulau Jawa umumnya dan di ketiga provinsi tersebut khususnya relatif baik. Demikian pula kesadaran masyarakat tentang KtP di Pulau Jawa dan di 18
ketiga provinsi tersebut juga relatif baik karena paparan media komunikasi dan kampanye KtP yang relatif baik pula. Ada empat provinsi dengan jumlah KtP tercatat nol kasus yaitu Papua, Gorontalo, Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara. Komnas Perempuan mengirimkan formulir pendataan kepada delapan lembaga di Papua, empat lembaga di Gorontalo, dua lembaga di Kalimantan Utara dan tujuh lembaga di Sulawesi Utara namun tidak mendapat respon. Dengan kata lain Komnas Perempuan tidak menerima formulir data dari empat provinsi tersebut sehingga dalam grafik diatas tertulis di masing-masing provinsi tersebut nol kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian jumlah nol tidak dapat diartikan tidak ada kekerasan terhadap perempuan di ke-empat provinsi tersebut. Berdasarkan kondisi di atas, data dalam grafik dan tabel di atas perlu dibaca secara kontekstual, tidak tekstual hitam putih. Sangat mungkin KtP di ke-empat provinsi Papua, Gorontalo, Sulawesi Utara dan Kalimantan Utara dalam kenyataannya lebih tinggi dari provinsi lain. Demikian pula di berbagai provinsi, data KtP yang terdokumentasi adalah pucuk gunung es semata. Lembaga pengada layanan di berbagai provinsi berbeda pula dalam hal kuantitas dan kualitas sumber daya dan infrastruktur yang mempengaruhi pelaporan dan pendokumentasikan kasus-kasus KtP. Jumlah kasus KtP yang ditangani lembaga mitra dapat di lihat pada grafik berikut:
Data KTP Menurut Lembaga Layanan (n= 13.602) CATAHU 2017 RPTC
56
PPT BPPKB
962 261
P2TP2A
2.164
OMS/LSM WCC RS
3.677 986 1.323
UPPA PN
2.774 1.399
Tiga lembaga layanan yang terbanyak menangani kasus KtP pada tahun 2016: adalah OMS/LSM 27% (3.677), UPPPA/kepolisian 20% (2.774), P2TP2A 16% (2.164). Dibandingkan dengan data lembaga layanan yang terbanyak menangani kasus KtP pada tahun 2015, UPPPA/kepolisian berada pada peringkat pertama dengan persetase 31% (5.107), WCC pada posisi kedua 26% (4,145) dan RS pada posisi ketiga 19% (3.066). 19
Sumber Kasus Lembaga Layanan CATAHU 2017 PN UPPA RS WCC LSM/OMS
pusat kesehatan masyarakat
sumber lain
masyarakat
surat
tatap muka
outreach
keluarga korban
korban sendiri
saksi/pelapor
media massa
Telfon/hotline
rujukan
P2TP2A BPPKB PPT Jumlah
Jumlah terbesar sumber kasus adalah korban sendiri yang melapor sebanyak 2.649 kasus, diikuti lembaga pengada layanan 1.061 kasus dan laporan melalui telepon/nomor hotline 647 kasus. Hanya ada 9 kasus yang bersumber dari masyarakat. Data diatas merupakan indikasi tingginya kesadaran korban untuk mendapatkan keadilan dengan bertindak pro aktif melaporkan langsung kasus kekerasan yang dialaminya atau melalui telepon/nomor hotline. Demikian pula lembaga pengada layanan menjadi sumber rujukan kasus kekerasan terhadap perempuan. Minimnya jumlah kasus yang bersumber dari masyarakat cukup memprihatinkan. Kemungkinan yang ada adalah masyarakat tidak tahu adanya kekerasan terhadap perempuan atau masyarakat merasa kurang peduli/tidak tahu kemana harus melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan. Perlu dilakukan upaya peningkatan kepedulian masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari sisi lembaga layanan, tiga terbesar adalah dari LSM/OMS sebanyak 2.759 kasus, UPPA/kepolisian 923 kasus, WCC 647 kasus dan P2TP2A 509 kasus. Dengan demikian LSM/OMS masih menjadi sumber kasus terbesar dibandingkan lembaga pemerintah (UPPA, P2TP2A).
20
POLA KTP TAHUN 2016 KTP menurut Ranah (n=13.602) CATAHU 2017 Komunitas 23%
Negara 2%
KDRT/RP 75%
Pola kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga pengada layanan dapat dilihat dalam diagram di atas. KtP yang tertinggi terjadi di ranah rumah tangga/personal dengan persentase 75% (10.205). Posisi kedua KtP di ranah komunitas dengan persentase 22% (3.092) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 3% (305). Pola tersebut sama dengan catahu Komnas Perempuan tahun 2016. KtP yang tertinggi terjadi di ranah rumah tangga/personal dengan persentase 69% (11.207). Posisi kedua KtP di ranah komunitas dengan persentase 31% (5.002) dan terakhir adalah KtP di ranah negara tercatat 8 kasus. Demikian pula catahu Komnas Perempuan tahun 2015 mencatat laporan kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga dan relasi personal berjumlah 8.626 (68%), ranah komunitas 3.860 (29%), dan kekerasan yang terjadi di ranah negara adalah 24 kasus.
21
Kekerasan terhadap Perempuan di ranah KDRT/RP Jenis KTP di Ranah KDRT/RP (n=10.205) CATAHU 2017 KMS; 79 KMP; 17 KTAP; 1.799
PRT; 106 RP LAIN; 249
KDP; 2.171
KTI; 5.784
Di ranah KDRT/RP jumlah kekerasan terhadap perempuan tercatat 10.205. Dari jumlah tersebut kekerasan terhadap istri (KTI) menempati persentase tertinggi yaitu 57% (5.784), diikuti kekerasan dalam pacaran (KDP) 21% (2.171) , kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) 18% (1.799). Sisanya adalah kekerasan mantan suami (KMS), mantan pacar (KMP), pekerja rumah tangga (PRT) dan ranah personal lain. Pola ini kurang lebih sama dengan catahu Komnas Perempuan tahun 2016 yang mencatat laporan kekerasan terhadap perempuan di ranah rumah tangga dan atau relasi personal pada tahun 2015 adalah 11.207 kasus. Dari jumlah tersebut kekerasan terhadap istri (KTI) sebesar 60%, kekerasan dalam pacaran (KDP) 24%, kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) 8%. Demikian pula catahu Komnas Perempuan tahun 2015 mencatat persentase 59% KTI, 21% KDP, 10% KTAP. Beberapa kali Komnas Perempuan menegaskan, tingginya persentase kasus kekerasan terhadap istri (KTI) menunjukan bahwa rumah bukan tempat yang aman bagi perempuan. Ketimpangan relasi gender antara suami dan istri masih cukup besar yang antara lain diindikasikan dengan posisi subordinat istri dalam institusi perkawinan. Meskipun sudah ada payung hukum UU PKDRT nomor 23 Tahun 2004, di tingkat implementasi banyak hal harus dibenahi agar tidak kontra produktif seperti misalnya istri yang melaporkan KDRT yang dilakukan suaminya malah dituntut balik oleh pihak suami. Tingginya kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal, termasuk didalamnya tingginya kasus kekerasan terhadap istri mendorong urgensi monitoring dan evaluasi UU PKDRT nomor 23/2004. Saat ini telah tersedia instrumen monitoring dan evaluasi implementasi UU nomor 23/2004 yang disusun oleh Komnas Perempuan dan lembaga pengada layanan serta didukung oleh UN Women. Komnas Perempuan mendorong pihak terkait untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara menyeluruh terkait implementasi UU tersebut. Posisi kedua adalah kasus kekerasan dalam pacaran (KDP). Secara substantif KTI dan KDP adalah sama-sama bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam relasi personal dimana pelaku dan korban berada dalam hubungan asmara. Perbedaan KTI dan KDP terletak pada status hukum pelaku dan korban. Dalam KTI status mereka adalah suami dan istri, dalam KDP status mereka adalah pacar. 22
Terjadi peningkatan persentase kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) pada tahun 2016 yaitu 18%, dibandingkan tahun 2015 8% dan tahun 2014 10%. Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak termasuk jika diperlukan melihat efektifitas UU nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Bentuk KTP di Ranah KDRT/RP (n=10.205) CATAHU 2017 Psikis 14%
Seksual 34%
ekonomi 10% Fisik 42%
Di ranah rumah tangga/personal, persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 42% (4.281), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495), kekerasan psikis 14% (1.451) dan kekerasan ekonomi 10% (978). Pola ini sama dengan catahu Komnas Perempuan tahun 2016 yang mencatat pada tahun 2015 kekerasan fisik menempati peringkat pertama dengan persentase 38% (4.304), diikuti dengan kekerasan seksual 30% (3.325), kekerasan psikis 23% (2.607) dan ekonomi 9% (971). Secara khusus bentuk dan jumlah kekerasan seksual di ranah personal ditampilkan dalam grafik berikut ini yang memperlihatkan tiga bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan 1389 kasus, pencabulan 1.266 kasus dan eksploitasi seksual 578 kasus.
23
Bentuk Kekerasan Seksual di Ranah KDRT/Relasi Personal (n=3.495) CATAHU 2017 kekerasan seksual lain melarikan anak perempuan
5 17 135
Marital Rape
104
pelecehan seksual
578
Persetubuhan / Eksploitasi seksual percobaan perkosaan perkosaan pencabulan
1 1389 1266
Tingginya jumlah perkosaan dalam relasi personal patut dicermati lebih jauh. Hal ini mengindikasikan lebih banyak perempuan korban berani melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya yang terjadi di ranah rumah tangga/personal. Secara umum konsep perkosaan dalam perkawinan (marital rape) tidak dikenal dalam tataran norma sosial budaya masyarakat. Banyak ceramah agama, nasehat perkawinan masih bersifat “konvensional” yaitu selalu menekankan pentingnya seorang istri patuh pada suami dan melayani hasrat seksual suami tanpa syarat. Namun kampanye anti kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan berbagai pihak berdampak positif terhadap perempuan khususnya dalam pergeseran cara pandang persoalan KtP umumnya dan persoalan kekerasan seksual khusunya. Kekerasan seksual di dalam rumah tangga secara bertahap dipandang bukan semata persoalan privat melainkan masalah kriminal yang perlu ditangani dengan benar guna memberikan keadilan kepada korban. Pada tataran kebijakan, perkosaan dalam perkawinan diatur dalam UU nomor 23/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pasal 8 sebagai berikut: Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: 1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; 2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Meski sudah ada jaminan UU, perlu cara pandang berperspektif gender pada aparat penegak hukum, agar UU tersebut – dalam hal ini pasal 8 – dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya dan membawa keadilan bagi korban. Patut diduga bahwa dalam kategori kekerasan fisik dan psikis, didalamnya termasuk pula kekerasan seksual yang tidak diungkapkan secara terbuka oleh korban. Jika ada kecenderungan demikian, maka lembaga pengada layanan perlu melakukan penanganan lebih komprehensif dan menyeluruh, sejak awal pendokumentasian/pencatatan laporan sampai dengan penanganan dan pemulihan korban. 24
Pelaku Kekerasan Seksual Ranah KDRT/Relasi Personal Lain (n=3.495) CATAHU 2017 PRT laki - laki
1
Pacar Ibu
1
Pengasuh Anak
3
Mantan Pacar
12 2.017
Pacar 135
Suami Mantan Suami Majikan Incest
4 57 1.265
Dari sisi pelaku kekerasan seksual di ranah personal jumlah terbesar adalah pacar 2.017 kasus. Tingginya jumlah pelaku kekerasan seksual yang berstatus pacar sejalan dengan fenomena kekerasan dalam pacaran (KDP) yang dalam tiga tahun terakhir pendokumentasian catahu Komnas Perempuan menempati peringkat kedua setelah kekerasan terhadap istri. Tidak ada payung hukum bagi pelaku dan korban yang berstatus pacar, sehingga UU nomor 23/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus KDP. Payung hukum lain tidak memadai bagi korban untuk mendapatkan keadilan. Dalam kasus KDP yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah, perempuan adalah korban yang mengalami beban berlipat akibat stigma sosial, dikeluarkan dari sekolah, dikucilkan keluarga dan menjadi orang tua tunggal. Peringkat kedua adalah kasus incest 1.265 kasus. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia incest (atau inses) adalah ”hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hukum atau agama”. Dalam pendataan Komnas Perempuan kasuskasus incest yang dilaporkan melibatkan pelaku ayah kandung, paman, kakek, sepupu, keponakan, saudara kandung (kakak).
25
Kekerasan terhadap perempuan di Ranah Komunitas
Bentuk KTP Ranah Komunitas (n= 3.092) CATAHU 2017
Fisik 16%
Psikis 3% Migran 3% Trafiking 4%
Seksual 74%
Pada tahun 2016 ada empat jenis kekerasan di ranah komunitas, diurutkan dari yang tertinggi yaitu kekerasan seksual 2.270 kasus (74%), fisik 490 kasus (16%) 490, khusus 229 kasus (7%) dan psikis 83 kasus (3%). Di antara kekerasan seksual, perkosaan adalah yang tertinggi yaitu 1.036 kasus (46%), diikuti pencabulan 838 kasus (37%). Pada tahun sebelumnya (2015) urutan tertinggi hingga terendah yaitu kekerasan seksual 61%, kekerasan fisik 23%, kekerasan psikis 3%, kekerasan ekonomi 1%, dan jenis yang dikategorikan sebagai lain-lain 10% (Catahu Komnas Perempuan 2016). Pola diatas berbeda dengan tahun 2014 yang mencatat kekerasan di ranah komunitas, diurutkan dari yang tertinggi hingga terendah yaitu yaitu seksual (56%), psikis (1%), fisik (23%), ekonomi (7 kasus), dan jenis yang dikategorikan sebagai lain-lain (14%) (Catahu Komnas Perempuan, 2015).
26
Secara lebih terinci bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas dapat di lihat pada grafik di bawah ini:
Seksual
FISIK
Psikis
Khusu s
Jenis dan Bentuk KTP Ranah Komunitas (n=3.092) CATAHU 2017 Trafiking Migran Psikis lain Pengancaman Kekerasan Fisik Lain Pembunuhan Pemukulan Penganiayaan KS Lain Persetubuhan Melarikan Anak Pelecehan Seksual Percobaan Perkosaan Perkosaan Pencabulan
139 90 69 14 27 8 198 257 22 31 1 251 111 1.036 838
Kategori “kekerasan seksual lain” (KS lain) dibuat karena sebagian data yang dikirimkan lembaga pengada layanan tidak menjelaskan secara persis bentuk kekerasan seksual yang dialami korban. Selain itu lembaga layanan masih mengacu kepada KUHP, padahal ada UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU perlindungan anak, UU penghapusan perdagangan manusia yang mengatur kekerasan seksual dalam makna yang lebih luas dari KUHP. Dengan demikian selama tiga tahun berturut-turut kekerasan seksual adalah yang tertinggi dibanding kekerasan lain di ranah komunitas. Kembali data ini menunjukan urgensi segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini menjadi salah satu RUU dalam prolegnas. Kekerasan fisik meliputi penganiayaan, pemukulan, pembunuhan, lain-lain. Penganiayaan merupakan bentuk kekerasan fisik yang tercatat paling tinggi di antara bentuk yang lain tercatat 257 kasus (52%), diikuti pemukulan 198 kasus (40%). Sedangkan jenis kekerasan ranah komunitas dikategorikan dalam kategori lain-lain mencakup trafiking dan kekerasan yang dialami pekerja migran.
27
Jenis KTP Ranah Komunitas menurut Lembaga Layanan (n=3.092) CATAHU 2017
LSM/OM P2TP2A S
PN
UPPA
RS
WCC
Seksual
488
514
165
137
415
Fisik
89
130
139
1
Psikis
9
17
0
4
Buruh Migran Trafiking
BPPKB
PPT
RPTC
314
83
169
0
91
14
0
26
0
47
1
2
3
0
14
0
7
27
90 17
20
2
8
44
Tabel diatas menunjukan jenis KtP di ranah komunitas menurut lembaga mitra yang terbanyak menerima laporan KtP adalah pada peringkat pertama kekerasan seksual, di susul dengan kekerasan fisik, kekerasan psikis dan jenis khusus. Data ini konsisten dengan data sebelumnya (jenis dan bentuk KtP ranah komunitas) dimana kekerasan seksual adalah yang tertinggi, diikuti kekerasan fisik. Dengan demikian pelaporan kepada lembaga layanan memiliki pola yang sama. Dua lembaga yang paling banyak menerima pengaduan kekerasan seksual adalah UPPA sebanyak 514 kasus, LSM/OMS 415 kasus dan P2TP2A sebanyak 314 kasus. Tingginya jumlah pelaporan kekerasan seksual di berbagai lembaga layanan kembali menegaskan urgensi disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual.
28
KARAKTERISTIK KORBAN DAN PELAKU
Usia Korban & Pelaku
Usia Korban dan Pelaku KDRT CATAHU 2017
Usia Korban dan Pelaku Kekerasan Ranah Komunitas CATAHU 2017
>40th Tidak… 25-40 th 19-24 th 13-18 th
>40th Pelaku Korban
25-40 th 19-24 th
Pelaku Korban
13-18 th 6-12 th 6-12 th <5 th
<5 th
Berdasarkan grafik di atas pada tahun 2016 di ranah rumah tangga/personal jumlah tertinggi korban adalah pada rentang usia 25-40 tahun yaitu 3.044 orang (30%), diikuti usia 13-18 tahun 2.253 orang (22%) dan tidak teridentifikasi 1.550 orang (15%). Adapun jumlah tertinggi pelaku adalah pada rentang usia 25-40 tahun 3.315 (32%), diikuti tidak teridentifikasi 3.192 orang (31%) dan rentang usia 19-24 tahun 1.458 orang (14%). Pola ini sama dengan tahun 2015 di ranah rumah tangga/personal (KDRT/RP), angka tertinggi pelaku dan korban KtP adalah pada rentang usia 25-40 tahun, yaitu sebagai korban 3.384 dan sebagai pelaku 3.460. Menyusul pada posisi kedua pada rentang usia 19-24 tahun, sebagai korban 1.349 dan sebagai pelaku 1.428. Terdapat perbedaan mencolok antara pelaku dan korban KtP pada tahun 2016 pada rentang usia 13-18 tahun, dimana tercatat sebagai korban 2.253 orang (22%), sebagai pelaku 714 orang (7%). Demikian pula pada tahun 2015 tercatat 2.267 orang sebagai korban dan dan 859 orang sebagai pelaku (Catahu Komnas Perempuan, 2016) Sama halnya dengan usia korban dan pelaku KtP di ranah personal, ranah komunitas memiliki pola yang sama. Pada tahun 2016 angka tertinggi korban adalah pada rentang usia 13-18 tahun yaitu 1.127 orang (36%), sedangkan angka tertinggi pelaku pada rentang usia 25-40 tahun yaitu 922 orang (30%). Dalam dua tahun terakhir, tingginya jumlah korban pada rentang usia 13-18 tahun mengindikasikan kecenderungan semakin mudanya usia korban KtP. Di sisi lain pelaku KtP didominasi rentang usia 25-40 tahun. Perbedaan usia terkait dengan ketimpangan kuasa dimana pelaku orang dewasa (25-40 tahun) relatif memiliki kuasa lebih besar saat berhadapan dengan korban anak-anak (13-18 tahun). 29
Pada rentang usia usia 13-18, 6-12 dan <5 tahun tahun terdapat perbedaan mencolok dalam hal jumlah korban dan pelaku. Di ranah personal, dalam rentang usia 13-18 tahun tercatat korban 2.253 orang (22%) dan pelaku 714 orang (7%), dalam rentang usia 6-12 tahun tercatat 963 orang (9%) dan pelaku 114 orang (1%), dan dalam rentang usia dibawah lima tahun tercatat korban 209 orang (2%) dan pelaku nol. Di ranah komunitas dalam rentang usia 13-18 tahun tercatat korban 1.127 orang (36%) dan pelaku 318 orang (10%), dalam rentang usia 6-12 tahun tercatat korban 506 orang (165) dan pelaku 55 orang (2%), dan dalam rentang usia dibawah lima tahun tercatat korban 138 orang(4%) dan pelaku satu orang. Data korban pada rentang usia 13-18, 6-12 dan dibawah lima tahun mengukuhkan kecenderungan korban KtP yang semakin muda. Data ini juga menunjukan bahwa remaja dan anak perempuan rentan mengalami kekerasan karena relasi orang dewasa versus anak-anak dan relasi gender yang timpang, serta lemahnya penegakan hukum yang membawa keadilan kepada korban. Di satu sisi usia korban yang semakin muda menjadi keprihatinan tersendiri. Di sisi lain masyarakat seringkali bersikap mendua. Pada umumnya masyarakat lebih memaklumi dan tidak menstigma saat yang menjadi korban kekerasan adalah perempuan pada usia anak-anak. Lain halnya saat yang menjadi korban adalah perempuan dewasa – di mana di ranah personal jumlah mereka (25-40 tahun) adalah mayoritas (30%) - maka besar ketidakberpihakan kepada mereka. Sebaliknya kental nuansa menyalahkan dan memberi stigma kepada perempuan dewasa yang menjadi korban kekerasan.
30
Tingkat Pendidikan Korban & Pelaku
Pendidikan Korban dan Pelaku KDRT CATAHU 2017
Pendidikan Korban dan Pelaku Ranah Komunitas CATAHU 2017
tidak…
tidak…
Lainnya
Lainnya
PT
PT
SLTA
Pelaku
SLTA
Pelaku
SLTP
Korban
SLTP
Korban
SD
SD
<SD
<SD
tidak sekolah
tidak sekolah
Pada tahun 2016 di ranah rumah tangga/personal jumlah tertinggi korban 3.032 (30%) dan pelaku 3.074 (30%) berpendidikan SLTA, posisi kedua adalah pada tingkat pendidikan SLTP yaitu 2.150 korban (21%) dan 1.681 pelaku (16%). Pola ini sama dengan tahun 2015 dimana kategori pendidikan tertinggi korban dan pelaku adalah pada tingkat pendidikan SLTA yaitu korban (3.433) dan pelaku (2.992), posisi kedua adalah pada tingkat pendidikan SLTP yaitu korban (1.882) dan pelaku (1892). Pada tahun 2016 di ranah komunitas, korban didominasi oleh mereka yang berpendidikan SLTP 852 orang (28%), sedang pendidikan pelaku jumlah terbesar adalah pada kategori tidak teridentifikasi 956 orang (31%). Pada tahun 2015 kategori pendidikan tertinggi korban dan pelaku adalah pada tingkat pendidikan SLTA yaitu korban (1.179) dan pelaku (1.303). Posisi kedua adalah pada tingkat pendidikan SLTP yaitu korban (903) dan pelaku (540). Di ranah personal, korban dan pelaku cenderung terkonsentrasi pada tingkat pendidikan SDSLTA. Sedangkan di ranah komunitas pendidikan korban dan pelaku menyebar lebih luas pada tingkat pendidikan SD-PT, kategori lain dan mereka yang tidak teridentifikasi. Dapat dimaknai tingkat pendidikan tidak selalu berkorelasi positif terhadap kerentanan seorang perempuan untuk menjadi korban. Demikian pula tingkat pendidikan tidak terlalu terkait dengan tinggi rendahnya kemungkinan seorang laki-laki menjadi pelaku.
31
Profesi Korban & Pelaku
Profesi Korban dan Pelaku KDRT CATAHU 2017 4191
Tidak Teridentifikasi 1193
Lainnya Petani
459
Pelajar
445 679
Wirausaha 127
TNI/Polri DPR/DPRD
4
Tokoh Agama
5
Guru
Pelaku Korban 161 287
PNS
2021
karyawan swasta 556
Tdk bekerja IRT
77
Dari segi profesi pada tahun 2016 korban KtP, kekerasan di ranah personal paling banyak terjadi pada IRT 3.152 orang (31%). Sama halnya pada tahun 2015 korban KtP di ranah personal lain banyak terjadi pada IRT (3.298). Posisi IRT yang secara finansial tergantung kepada suami memperburuk ketimpangan gender dan berkontribusi terhadap tingginya KtP yang menimpa para IRT tersebut. Profesi pelajar juga rentan menjadi korban. Pada tahun 2016 di ranah personal pelajar menempati posisi kedua setelah IRT yaitu 1.988 pelajar (19%) yang menjadi korban KtP. Sama halnya dengan tahun 2015 posisi kedua adalah juga pelajar dengan jumlah 2.201. Pelajar sebagian besar berstatus anak yang bergantung secara ekonomi kepada orang dewasa. Ketergantungan mereka ditengarai sebagai salah satu faktor yang mendorong terjadinya KtP.
32
Profesi Korban dan Pelaku Ranah Komunitas CATAHU 2017 Tidak Teridentifikasi Lainnya Petani Pelajar Wirausaha TNI/Polri Pelaku
DPR/DPRD
Korban
Tokoh Agama Guru PNS karyawan swasta Tdk bekerja IRT
Untuk tahun 2016 di ranah komuniatas kekerasan tertinggi dari sisi korban adalah mereka yang berprofesi pelajar yaitu 1.415 orang (46%) sedangkan profesi pelaku yang tertinggi adalah tidak teridentifikasi yaitu 1.119 (36%). Pada tahun 2015 di ranah komunitas, kekerasan tertinggi dari sisi korban adalah juga yang pelajar (1.518). Kekerasan terhadap pelajar ini terjadi di sekolah, di angkutan umum dan di tempat-tempat publik lainnya. Fenomena ini memerlukan perhatian khusus orang tua, guru, pemerintah dan masyarakat agar melakukan usaha yang lebih serius dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap pelajar di ranah komunitas. Sekolah perlu pula merespon kekerasan yang dialami korban, sehingga korban tidak takut melapor dan mendapatkan dukungan.
Kekerasan terhadap perempuan di Ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara Wilayah
Kasus
Jumlah
DKI Jakarta
Penggusuran
304
Jawa Tengah
Konflik SDA Petani melawan 1 Perhutani
Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah yang menjadi tanggung jawab negara datang dari pendokumentasian lembaga pengada layanan di Jakarta. 304 orang adalah kasus penggusuran di Jakarta tepatnya di Cakung, Cilincing. 1 kasus lagi datang dari Jawa Tengah konflik sumberdaya alam antara Perhutani dengan petani. Elaborasi data kekerasan negara akan lebih dalam di bahas pada bagian pengaduan langsung ke Komnas Perempuan. 33
Kekerasan terhadap Komunitas Minoritas Seksual, Perempuan dengan Disabilitas dan Perempuan Rentan Diskriminasi (HIV/AIDS) Sejak 7 tahun yang lalu, formulir pendataan CATAHU dilengkapi dengan satu lembar isian untuk mendata korban kekerasan yang dialami komunitas minoritas seksual dan pada tahun 2016 Komnas Perempuan melengkapi formulir pendataan dengan data kekerasan yang dialami pada perempuan dengan disabilitas dan perempuan rentan diskriminasi (HIV/AIDS).
Kekerasan terhadap Komunitas Minoritas Seksual Pada tahun 2016 ada 26 kasus yang didokumentasikan oleh pengada layanan yang mengirimkan formulir pendataan kembali ke Komnas Perempuan. Jenis kekerasan yang dialami komunitas minoritas seksual dapat dilihat dalam tabel berikut Nama lembaga
Jenis kasus Minoritas Seksual yang dilaporkan
Jumlah kasus
Jenis kekerasan dan ranah
PN Baturaja
Pembunuhan Orientasi Seksual
1
YLBI LBH Banda Aceh
Kekerasan, intimidasi, diskriminasi
1
LBH Pers
Pemberitaan tidak berimbang dan menyudutkan
2
Elspa Palangkaraya
kekerasan terhadap perempuan
1
Pemukulan
Yayasan Savy Amira Sahabat Perempuan
Kekerasan dari pasangan
1
Disekap tidak boleh keluar dari rumah, tidak diberi nafkah lahir
LBH APIK Jakarta
Pemaksaan orientasi seksual
1
Pemaksaan pulang ke rumah
Minoritas seksual
1
Sulit menyesuaikan diri
Yayasan Pulih
Minoritas seksual
1
Kekerasan psikis
Yayasan Pulih
Minoritas seksual
1
Insomnia
Ardhanary Institute
Kekerasan fisik berbasis SOGIEB dr komunitas
1
Dilempari bungkus rokok karena penampilannya dianggap menyerupai waria
Yayasan Pulih
Kekerasan Fisik (Pembunuhan), ranah Komunitas
Diskriminasi dan kekerasan verbal
34
Ardhanary Institute
Ardhanary Institute
Ardhanary Institute
Ardhanary Institute
Kekerasan psikis berbasis SOGIEB dr keluarga
3
Kekerasan psikis berbasis SOGIEB dr komunitas
2
Kekerasan seksual berbasis SOGIEB dari komunitas
Diskriminasi berbasis SOGIEB dr komunitas
3
3
Diusir dari rumah, dikatakan akan menjadi penyebab orang tua masuk neraka, dimarahi saat akan menemui pasangannya, terus menerus disuruh banyak membaca kitab suci setelah pelaku mengetahui bahwa korban adalah transgender Digosipkan orientasi seksualnya, dibully karena penampilannya dianggap berbeda Di out kan sebagai lesbian di tempat kerja, ditanya laki - laki atau perempuan, dianggap tidak " normal " dan " sakit " Dilarang bergaul dengan anak pelaku ( orang tua teman korban ) karena korban dicurigai lesbian, dijauhi oleh salah seorang teman kuliah korban setelah come out sebagai transgender kesulitan mendapat pekerjaan dan mendapat perlakuan berbeda dr atasan di tempat kerja
Bentuk kekerasan yang dialami komunitas minoritas seksual terwujud dalam berbagai bentuk mulai dari intimidasi dan ancaman oleh keluarga, penyebaran status HIV, kebingungan orientasi diri sehingga mengalami gangguan insomnia. Menjadi gosip dan bully di kantor karena penampilan fisik yang tidak memenuhi standar heteronormativitas dan dikucilkan dari pergaulan. Dari 26 kasus tersebut bentuk kekerasan yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual sebanyak 7 kasus. Rata-rata bentuk kekerasan seksual berbasis SOGIEB dilakukan untuk mengubah orientasi seksual baik dari keluarga maupun komunitas (seperti paksaan menikah, perkosaan dan pemaksaan busana) agar korban “sadar” dan tidak menjadi lesbian. Kekerasan fisik dalam bentuk pemukulan satu kasus. Serta diskriminasi sebanyak 4 kasus. Ada 1 kasus interseks yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan, NR perempuan 21 tahun berpenampilan maskulin mengadukan diri-nya mengalami kekerasan di ranah publik dan ranah personal karena identitas seks dan identitas gendernya. Korban mendefinisikan dirinya sebagai perempuan sehingga memilih mengadukan kasus-nya ke Komnas Perempuan. Sampai saat ini korban belum mengetahui identitas seksualnya secara medik. Diskriminasi dan pengucilan datang dari keluarga ibu-nya yaitu kakak Ibunya, jika korban berkunjung ditempat kakak ibunya dia dilarang bertemu orang-orang karena keluarga besar malu dengan identitasnya. Korban mencari sendiri identitas seksualnya dengan cara browsing di internet. Korban merasa kesulitan mendapatkan informasi tentang interseks padahal itu sangat dibutuhkan untuk mengetahui tubuhnya. Kasus lain yang diterima Komnas Perempuan adalah pengaduan sekelompok mahasiswa dan alumni mereka yang menamakan diri Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC) yang melakukan kajian dan diskusi dalam berbagai masalah seksual, termasuk lesbian, gay, biseksual dan transgender mereka dituding menggunakan nama dan lambang UI tanpa izin dan bukan bagian resmi almamater jaket kuning tersebut. 35
Melihat kasus-kasus yang dialami komunitas minoritas seksual di atas Komnas Perempuan mlihat bahwa pemahaman secara parsial dan ketidakhendakan mendengar persoalan mendorong adanya stigma, dan mendorong adanya diskriminasi hingga kekerasan dan pencerabutan hak dasar kelompok minoritas seksual. Pernyataan pejabat publik yang bersikap tidak adil dan mudah menstigma warga negara atas dasar apapun, juga memicu kekerasan dan diskriminasi yang terjadi pada kelompok minoritas seksual. Berkaitan dengan kasus SGRC seharusnya dunia akademik merawat tradisi akademik untuk mengkaji, meneliti dan mendiskusikan isu-isu penting dengan terbuka tanpa ketakutan, karena pengetahuan yang utuh tentang keberagaman akan meminimalisir prasangka dan kekerasan karena dari sisi konstitusi, seluruh warga negara Indonesia dijamin hakhaknya oleh konstitusi. Konstitusi/UUD 1945 khususnya pasal 28 tentang hak asasi manusia menjamin terpenuhinya hak asasi seluruh warga negara dengan latar belakang apapun. Orientasi seksual dan identitas gender apapun seharusnya tidak menjadi kendala dalam hal pemenuhan hak asasi manusia dan akses keadilan.
Kekerasan terhadap Perempuan dengan Disabilitas Pada tahun 2014 Komnas Perempuan melengkapi formulir pendataan mengenai kekerasan yang dialami perempuan dengan disabilitas. Dalam catahu Komnas Perempuan 2016 lembaga mitra/pengada layanan mendokumentasikan sebanyak 61 kasus perempuan dengan disabilitas yang mengalami kekerasan yang ditangani lembaga-lembaga tersebut. Data dapat di amati dalam tabel berikut:
Nama Lembaga
Jenis Kasus perempuan dengan disabilitas yang dilaporkan
Jumlah Kasus
Jenis Disabilitas
Jenis Kekerasan dan Ranah Kekerasan
PN Sengkang, Sulsel
Pencabulan
1
Tuna wicara
kekerasan seksual, KDRT RP lain
PN Boyolali Jateng
Perkosaan oleh tetangga
1
Mental retardasi kuat
Kekerasan seksual, Komunitas
PN Martapura, Kalsel
Perkosaan oleh tetangga
1
Tuna rungu
kekerasan seksual, komunitas
PN Batang, Jateng
Perkosaan oleh orang lain
1
Keterbelakangan mental
Kekerasan Seksual, Komunitas
PN Palangka Raya,Kalteng
Perkosaan oleh tetangga
1
Kekerasan seksual, Komunitas
PN Muara Teweh , Perkosaan Kalteng
1
Disabilitas Intelektual
Kekerasan seksual, Komunitas
PN Magetan, Jawa Timur
1
Tuna Grahita
Kekerasan seksual, Komunitas
Perkosaan
36
PN Magetan, Jawa Timur
Pencabulan
1
Tuna Grahita
Kekerasan seksual, Komunitas
RPTC Dinsos Jawa Tengah
Perkosaan
1
Mental
Kekerasan seksual – Komunitas
LRC-Kjham Semarang
Kekerasan seksual oleh kenalan
1
Retradasi mental
Perkosaan
LRC-Kjham Semarang
Kekerasan seksual oleh anak pimpinan
1
Retradasi mental
Perkosaan
WCC Cahaya Perempuan Bengkulu
pencabulan
1
Tuna Graita
Kekerasan Seksual
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
Kekerasan fisik dalam rumah tangga
1
Disabilitas daksa
Pemukulan
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
Kekerasan dalam rumah tangga
1
Disabilitas rungu
Pemukulan dan Penelantaran
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
Pelecehan seksual terhadap anak oleh penjaga sekolah
1
Disabilitas rungu
Pencabulan
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
Perkosaan oleh tetangga
1
Tidak diketahui
Perkosaan
WCC Mawar Balqis, Cirebon
Perkosaan oleh tetangga
2
Tuna wicara
Perkosaan
WCC Jombang, Jatim
Perkosaan
1
Slow Leaner
Perkosaan
WCC Jombang, Jatim
Traficking
1
IQ dibawah rata – rata
Pemaksaan persetubuhan dg tujuan komersil
1
Bisu, tuli
Perkosaan
1
Degradasi mental Perkosaan
Spek - Ham Solo Spek - Ham Solo
Kekerasan seksual Kekerasan Seksual
37
WCC Nurani Perempuan, Padang
Perkosaan oleh orang yg baru dikenal
1
Tuna Rungu
Perkosaan
WCC Nurani Perempuan, Padang
Perkosaan
1
Tuna Grahita
Perkosaan
Perkossaan
1
ABK ( Anak Berkebutuhan Khusus )
Perkosaan
Tipudaya
1
Cacat fisik
Seksual
Gembala Baik Batam
Perkosaan
1
Cacat bawaan tangan dan kaki
Perkosaan
Hapsari , Sumut
Perkosaan oleh tetangga
1
Tunawicara
Perkosaan
Yayasan Sanggar Suara Perempuan Soe, Ntt
Perbudakan seksual
1
Keterbelakangan mental
Pencabulan
Yayasan Sanggar Suara Perempuan Soe, Ntt
Incest
1
Keterbelakangan mental
Ekslpoitasi seksual
LBH Apik Jakarta
Perkosaan
1
Disabilitas mental
Perkosaan
1
Tuna wicara
Perkosaan
1
Tuna Netra
Percobaan Perkosaan
WCC Nurani Perempuan, Padang Aliansi Perempuan Merangin, Jambi
LPP Bone, Sulsel LPP Bone, Sulsel
Pemerkosaan oleh tetangga Percobaan Perkosaan
LBH Apik Makassar
Perkosaan
1
Tuna Rungu
Perkosaan
Yayasan Srikandi Sibela, Jakarta
Perkosaan
1
Keterbelakangan mental
Perkosaan
Pesada Ahmo, Sumut
Perkosaan
1
Tuna wicara
Pencabulan
LBH Apik Aceh
Perkosaan
1
Tuna rungu
Perkosaan
Yayasan Embun Pelangi, Batam
Perkosaan
1
Tuna daksa dan tuna grahita
Perkosaan
Perkosaan
1
Tuna daksa dan Hydrocepalus
Perkosaan
Perkosaan
1
Retardasi mental
Perkosaan
Perkosaan
1
Tuna rungu, Tuna wicara, retardasi mental
Perkosaan
WCC Rifka Annisa, Diy WCC Rifka Annisa, Diy WCC Rifka Annisa, Diy
38
WCC Rifka Annisa, Diy WCC Rifka Annisa, Diy WCC Rifka Annisa, Diy
1
Tuna rungu, Tuna wicara
Pemukulan
1
Tuna netra
Pemukulan dan caci maki
Perkosaan
1
Tuna grahita
Pelecehan seksual
Spek Ham Solo
Kekerasan seksual
1
Bisu , tuli
Perkosaan
Spek Ham Solo
Kekerasan seksua;
1
degradasi mental
Perkosaan
Balai Syura Aceh
Perkosaan
1
Cacat Mental
Perkosaan
P2TP2A Prov. Jambi
1
1
Tuna Rungu
Perkosaan
1
1
Tuna Rungu
Pencabulan
1
1
Down Syndrome
Pencabulan
1
1
Tuna Grahita
Perkosaan
PPT Kab. Gresik
Kekerasan Seksual
2
Rentadasi Mental Perkosaan
PPT Arum Dalu Kab. Bantul
Kekerasan Seksual
1
Daksa
Pencabulan
PPT Arum Dalu Kab. Bantul
Kekerasan Seksual
1
Grahita
Pencabulan
PPT Arum Dalu Kab. Bantul
Kekerasan Seksual
1
Grahita
Pencabulan
PPT Arum Dalu Kab. Bantul
Kekerasan Fisik
1
Daksa
Pemukulan
PPT Kab. Tanah Laut, Kalsel PPT Kab. Tanah Laut, Kalsel Polres Madiun Kota
Pelecehan Seksual Pelecehan Seksual Persetubuhan terhadap anak
1
TT
Pelecehan Seksual
1
TT
Pelecehan Seksual
1
TT
Seksual
1
Tuna wicara
Seksual
P2TP2A Prov. Jambi P2TP2A Prov. Jambi P2TP2A Prov. Jambi
Kekerasan Dalam Pacaran Kekerasan terhadap istri
Polres Tasikmalaya Perkosaan Total
61
Dalam tabel di atas kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas, jumlah terbesar dialami perempuan tuna grahita 28 kasus, tuna rungu dan wicara 4 kasus, tuna daksa 6 kasus, tuna daksa plus grahita 1 kasus, tuna netra 2 kasus, tuna rungu 8 kasus, tuna wicara 7 kasus, dan tidak 39
teridentifikasi sebanyak 5 kasus. Tabel tersebut menunjukan pula kekerasan terhadap perempuan disabilitas banyak terjadi di ranah komunitas dalam bentuk kekerasan seksual. Bentuk kasus yang banyak terjadi adalah pencabulan 12 kasus, perkosaan 40 kasus, pelecehan seksual 2 kasus, pemukulan 5 kasus, percobaan perkosaan 1 kasus dan trafiking untuk tujuan seksual sebanyak 1 kasus. Kenaikan data kasus yang diterima Komnas Perempuan pada 2016, karena di tahun ini lembaga layanan yang khusus menangani perempuan dengan disabilitas (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) terlibat dan mengembalikan formulir data Komnas Perempuan, lembaga-lembaga layanan lain juga mulai mengenali serta mendokumentasikan kasus-kasus perempuan dengan disabilitas sehingga bisa menyumbangkan data bagi catahu Komnas Perempuan tahun ini. Hal ini mengindikasikan perluasan lembaga layanan dalam penanganan kasus perempuan dengan disabilitas. Masih seperti tahun-tahun sebelumnya kasus-kasus perempuan dengan disabilitas menurut catatan lembaga layanan mengalami hambatan pada proses pembuktian sepertinya kurangnya alat bukti, keterangan korban yang berubah-ubah dan kesulitan komunikasi dengan korban. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang mencapai 93% (57 dari 61 kasus) adalah dimensi khas kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas, pelaku memanfaatkan celah disabilitas korban untuk melakukan kekerasan dengan harapan bisa lolos dari kejahatan yang mereka lakukan karena minimnya pembuktian. Yang menjadi masalah lanjutan adalah jika korban perempuan dengan disabilitas hamil dan memiliki anak karena kekerasan seksual yang mereka alami,kondisi ini memerlukan perhatian khusus dan skema pemulihan yang lebih komperhensif. Selayaknya hukum memberikan akses yang sama kepada perempuan disabilitas - terlepas dari keterbatasan yang mereka miliki - untuk mendekatkan mereka terhadap akses keadilan. WHRD Nama lembaga YAYASAN SAVY AMIRA Surabaya & SAHABAT PEREMPUAN, Magelang
Jenis kasus WHRD yang dilaporkan Kekerasan terhadap pendamping korban
Jumlah kasus 3
Jenis Kekerasan dan Ranah Pengancaman, teror lewat telepon, dikuntit, ditemui di kalayak ramai
Dalam formulir pendataan Komnas Perempuan terdapat data dari lembaga mitra terkait kekerasan yang dialami perempuan pembela HAM (women human’s rights defender - WHRD). Kasus yang dialami pendamping seringkali datang karena proses pendampingan kepada korban, sehingga pelaku (misal suami/keluarga suami) melakukan ancaman dan teror kepada pendamping. Status sebagai WHRD dengan aktifismenya dianggap sebagai perempuan yang ter-stigma sebagai perempuan yang “melawan” budaya patriarki, adat, agama. Dengan demikian WHRD adalah salah satu kelompok rentan kekerasan yang perlu mendapatkan perlindungan.
40
PENGADUAN LANGSUNG KE KOMNAS PERE MPUAN Setiap tahun Catahu selalu mencatat data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan terpisah dengan data yang dikumpulkan dari lembaga layanan sebagai cara melihat untuk membandingkan antara layanan yang diberikan oleh lembaga layanan dengan hambatan yang diadukan ke UPR Komnas Perempuan. Selain itu juga, memastikan tidak terjadi penghitungan ganda, karena pengaduan yang masuk dapat saja berasal dari korban/pendamping korban yang adalah lembaga layanan atau setiap pengaduan yang masuk dapat dirujuk ke lembaga layanan sesuai dengan kebutuhan korban. Pengaduan langsung ke Komnas Perempuan diproses melalui dua mekanisme pengaduan di bawah koordinasi Sub Komisi Pemantauan dan ditindaklanjuti berdasarkan kebutuhan dan permintaan korban, yaitu: 1. Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR), yang didirikan sejak tahun 2005 untuk menerima pengaduan korban/pendamping korban yang datang langsung maupun melalui telepon. 2. Pengaduan korban/pendamping korban lewat surat (pos, fax, email, dan facebook) ditujukan langsung ke Divisi Pemantauan. Untuk kedua saluran pengaduan ini, Komnas Perempuan membangun mekanisme dukungan dan rekomendasi bagi kasus KTP yang bersifat politis seperti: pelaku adalah pejabat publik/tokoh masyarakat, korbannya massal, dan/atau kasus yang sedang menjadi perhatian nasional/internasional, dan menemui kesulitan dalam proses penyelesaian perkara serta membutuhkan dukungan dan rekomendasi Komnas Perempuan terutama dalam proses hukum. Untuk tahun 2016 Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 1.353 kasus. Sejumlah 1.022 melalui UPR (datang langsung dan telepon) sebanyak 1.022 kasus, dan melalui Divisi Pemantauan (surat, email, dan jejaring sosial) sebanyak 331 kasus. Berikut rinciannya :
Jumlah Pengaduan ke Komnas Perempuan sepanjang 2016 CATAHU 2017
Tidak Berbasis Informasi/Klar Gender ifikasi
KDRT/RP
Komunitas
Negara
Melalui UPR
729
84
9
116
84
Melalui Divisi Pemantauan
174
75
21
35
26
Jumlah
903
159
30
151
110
Dari tabel diatas ada sejumlah kasus yang tidak ditindaklanjuti sejumlah 261 kasus karena bukan kekerasan berbasis gender (tidak GBV) yakni sebanyak 151 kasus. Ada pula kasus yang pengadunya hanya minta atau memberi informasi/klarifikasi yakni sebanyak 110 kasus. Banyaknya kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan, namun tidak berbasis gender atau hanya minta atau memberi informasi/klarifikasi terkait kekerasan terhadap perempuan menunjukkan makin besarnya harapan masyarakat terhadap Komnas Perempuan untuk dapat menyelesaikan kasus yang dihadapinya dan semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialami 41
dilingkungannya. Sekaligus juga menjadi peringatan bahwa mandat Komnas Perempuan belum dipahami oleh masyarakat, sehingga perlu mensosialisasikan mandat Komnas Perempuan sebagai Lembaga HAM Nasional. Data pengaduan ditahun 2016 lebih tinggi dari tahun 2015 yaitu sejumlah 1.248 kasus namun kasus kekerasan terhadap perempuan ditahun 2016 sejumlah 1.092 lebih rendah dua persen dari tahun lalu yaitu sejumlah 1.099 kasus.
Pengaduan ke Komnas Perempuan berdasarkan Ranah Kekerasan (n=1.092) CATAHU 2017 Negara 3% Komunitas 14%
KDRT/RP 83%
Berdasarkan diagram di atas ranah kekerasan dapat diketahui bahwa kasus terbanyak yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan adalah ranah KDRT/RP 903 kasus (82,7%), Komunitas 159 kasus (14,6%) dan Negara 30 kasus (2,7%). Hal tersebut menggambarkan tingginya angka kekerasan di ranah KDRT/RP mengalami hambatan dalam proses penyelesaiannya, sekalipun UU PKDRT telah disahkan. Hal ini sebanding lurus dengan angka pengaduan di lembaga pengada layanan dan Badilag yang menunjukkan kekerasan personal paling tinggi dibanding kekerasan lainnya.
42
Bentuk KTP yang diadukan Langsung ke Komnas Perempuan Bentuk KTP Pengaduan Langsung ke Komnas Perempuan CATAHU 2017 kekerasan seksual 14%
kekerasan ekonomi 17%
kekerasan fisik 25%
kekerasan psikis 44%
Untuk tahun 2016 bentuk KTP yang diadukan ke Komnas Perempuan 44% adalah bentuk kekerasan psikis, kemudian 25% di tempat kedua adalah kekerasan fisik. Kekerasan ekonomi menempati posisi ke-3 di angka 17% dan kekerasan seksual di posisi terakhir atau sebanyak 14%.
Ranah KDRT/RP Jumlah dan Jenis Pengaduan ke Komnas Perempuan Ranah KDRT/RP (n=903) CATAHU 2017 497
102
KTI
85
25
KDP
46
17
KMS
UPR
37
4
KMP
51
15
KTAP
4
0 PRT
13
7
KDRT/RP Lain
Divisi Pemantauan
Jenis kekerasan yang masuk dalam ranah KDRT/RP seperti dapat dilihat dalam grafik diatas, kekerasan terhadap isteri – KTI (599 kasus) merupakan kasus yang paling banyak diadukan. Kemudian berturut-turut: Kekerasan dalam Pacaran – KDP ( 110 kasus), Kekerasan Mantan Suami – KMS (63 kasus), Kekerasan terhadap Mantan Pacar – KMP (41 kasus), Kekerasan terhadap Anak Perempuan – KTAP (66 kasus) 3 kasus didalamnya adalah kasus incest, Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga – PRT (4 kasus), dan KDRT/Relasi Personal lain – KDRT/RP Lain (20 kasus). KDRT/RP lain seperti: kekerasan terhadap ibu, terhadap menantu, sepupu, kekerasan oleh kakak/adik ipar atau kerabat lain. 43
Ranah Komunitas Tabel 1. Pengaduan dalam ranah komunitas Kekerasan Buruh Migran Trafficking Kekerasan di Tempat kerja (KTK) Cyber crime Disabilitas SOGIEB Kekerasan dalam pendidikan Perkosaan - Perkosaan oleh teman - Perkosaan oleh tetangga - Perkosaan oleh ustad - Perkosaan oleh orang tidak dikenal - Perkosaan oleh teman suami - Perkosaan oleh dukun/paranormal - Perkosaan oleh tidak teridentifikasi Pelecehan seksual - Pelecehan seksual oleh teman - Pelecehan seksual oleh tetangga - Pelecehan seksual oleh orang tidak dikenal - Pelecehan seksual oleh dokter/terapis - Pelecehan seksual oleh tidak teridentifikasi Pemaksaan aborsi oleh teman Eksploitasi seksual oleh teman Percobaan perkosaan - Percobaan perkosaan oleh teman - Percobaan perkosaan oleh bapak kos - Percobaan perkosaan oleh pegawai tambang - Percobaan perkosaan oleh orang baru dikenal - Percobaan perkosaan oleh teman suami Diskriminasi terhadap kelompok agama Penganiayaan TOTAL
Data Kasus Divisi UPR Pemantauan 5 1 7 3 23 21 5 0 6 1 1 0 5 8 3 1 1 3 1 2 0
5 5 0 3 0 0 14
1 9 3 0 0 1 2
2 1 3 2 1 0 0
1 1 1 1 1 0 0 84
0 0 0 0 0 1 4 75
JUMLAH 6 10 44 5 7 1 13 38
22
1 2 5
1 4 159
Sedangkan di ranah komunitas rincian pengaduan yang diterima Komnas Perempuan dapat dilihat dalam Tabel 1. Sepanjang tahun 2016, kasus paling banyak yang masuk langsung ke Komnas Perempuan adalah kekerasan di tempat kerja –KTK (44 kasus). Bentuk kekerasan lain di ranah komunitas ini berturut-turut adalah: perkosaan (38 kasus) yang dilakukan oleh , pelecehan seksual (22 kasus) dan Kekerasan dalam pendidikan sebanyak 13 kasus. Kasus dalam pendidikan diantaranya adalah perkosaan oleh guru, pelecehan seksual oleh guru, pelecehan seksual oleh pelatih atlet dan lain-lain.
44
Tingginya pengaduan kasus kekerasan di tempat kerja yang datang ke Komnas Perempuan menjadikan titik penting artinya mengingatkan Komnas Perempuan mulai dikenali tidak hanya menerima kasus KDRT, perkosaan dan kekerasan dalam ranah komunitas juga mulai dikenali sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang menjadi mandat Komnas Perempuan.
Ranah Negara Untuk ranah Negara, kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan sebanyak 30 kasus, yang secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2. Kekerasan dalam ranah Negara Kekerasan Penganiayaan perempuan oleh petugas Rumah Tahanan/Rutan Penganiayaan perempuan oleh petugas Rumah Tahanan/Rutan Diskriminasi terhadap kelompok agama dan penghayat kepercayaan Perempuan dipidana sebagai kurir narkoba Kekerasan terhadap perempuan yang dilacurkan (Pedila) pada penataan lokalisasi Perempuan dan konflik Sumber Daya Alam Diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik Pelanggaran hak reproduksi pekerja di lembaga Negara Penutupan paksa tempat ibadah Publikasi identitas korban kekerasan seksual dalam website direktori putusan Mahkamah Agung Kekerasan terhadap perempuan dalam proses penangkapan dan penahanan oleh aparat kepolisian/TNI Kekerasan terhadap perempuan oleh aparat pemerintah Intimidasi terhadap korban 65 Kasus penggusuran Perkosaan oleh polisi Kebijakan diskriminatif hak ekonomi JUMLAH
Jumlah Wilayah (Provinsi) 1
DKI Jakarta
1
DKI Jakarta
3
Bangka, Kepulauan Riau
1
DKI Jakarta
1
DKI Jakarta
3
Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan
1
Nusa Tenggara Timur
2
DKI Jakarta
1
Jawa Barat
2
Jawa Tengah
6
Banten, DKI Jakarta (3), Sulawesi Tengah, Jawa Tengah
3
Jawa Tengah, Jambi, Jawa Barat
2 1 1 2 30
Sumatera Barat DKI Jakarta DKI Jakarta DKI Jakarta, Jawa Barat
Pengaduan langsung atas kekerasan yang dilakukan dalam ranah negara mulai mempertegas pengakuan mandat sebagai lembaga HAM Nasional. Respon Komnas Perempuan melakukan pemantauan dan mendialogkannya dengan pemangku kebijakan untuk menghentikan kekerasan di ranah negara. Untuk ranah negara bentuk kekerasan yang dialami korban yang mengadu ke Komnas Perempuan adalah sebagai berikut: kekerasan fisik 533, kekerasan psikis 910, kekerasan ekonomi 45
357, dan kekerasan seksual 264 Komnas Perempuan mencatat, satu korban bisa saja mengalami banyak bentuk kekerasan atau yang disebut dengan kekerasan berlapis. Dan kekerasan psikis merupakan kekerasan yang paling banyak terjadi. Kekerasan psikis yang dilaporkan misalnya: perselingkuhan, ingkar janji menikah, poligami, mendapat ejekan, kata-kata kasar, pengancaman, diusir dari rumah, dicerai sepihak, dikriminalkan, dan sebagainya.
Karakteristik Korban dan Pelaku Usia
Korban
%
Pelak u
< 5 th
2
0.2%
0
0.0%
6-12 th
6
0.5%
0
0.0%
13-18 th 19-24 th 25-40 th >40
36
3.3%
5
0.5%
140
12.8%
46
4.2%
491
45.0%
345
31.6%
224
20.5%
330
30.2%
193
17.7%
366
33.5%
TT
%
Karakteristik Pendidikan Pendidik an Tidak Sekolah SD
Korba n 2
0.2%
Pelak u 0
0.0%
28
2.6%
15
1.4%
SLTP
48
4.4%
28
2.6%
SLTA
297
27.2%
235
21.5%
PT
325
29.8%
270
24.7%
TT
392
35.9%
544
49.8%
Total
1092
100.0 %
1092
100.0 %
%
%
Dari tabel usia menunjukkan usia tertinggi yang dialami korban maupun pelaku direntang usia 25-40 tahun, kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat usia tersebut masih sebagai usia produktif dan dapat menyebabkan pemiskinan bagi korban. Dimana dari tahun ketahun angka kekerasan tertinggi adalah kekerasan terhadap istri (KTI) maka dapat dibayangkan pemiskinan terhadap perempuan terus menerus terjadi dan ini dapat diindikasikan sebagai kekerasan yang berulang tergantung dari lamanya berelasi. Bila tidak mendapat penanganan akan memperburuk kondisi perempuan.
Dari tabel karakteristik pendidikan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak menghilangkan kekerasan terhadap perempuan terbukti dari pengaduan yang masuk di Komnas Perempuan angka korban yang mengecap perguruan tinggi sejumlah 29,8%. Sama halnya dengan karakteristik pendidikan pelaku yaitu 24,7% berpendidikan tinggi ini menujukkan bahwa ada pergeseran nilai dan belum terinternalisasikannya gerakan penghapusan kekerasan dikalangan terdidik. Korban dan Pelaku selama ini diidentifikasi berpendidikan rendah dan hal tersebut adalah mitos. Banyaknya pengaduan dari korban tingkat pendidikan tinggi juga menunjukkan kemajuan akses pengaduan dan kesadaran yang meningkat dikalangan terdidik untuk tidak malu melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya
46
Karakteristik Pekerjaan Pekerjaan
Korban
Pelaku
Pekerjaan
Korban
Pelaku
IRT
302
1
pekerja seni
4
2
Tdk bekerja
56
69
Agen
0
2
Pegawai/karyawan swasta
241
260
Jaksa
0
2
PNS
41
62
Hakim
1
3
Guru/dosen
20
16
Atlet
1
2
Tokoh Agama (ustad/pendeta)
0
5
Paranormal/dukun
0
2
DPR/DPRD
0
5
satpol PP
0
6
Polri
0
53
Pilot
0
3
TNI
1
31
Pelaut
0
6
Wirausaha
88
147
pegawai honorer
1
0
Pelajar/ Mahasiswa
67
27
pekerja tambang
0
1
Petani
2
7
pekerja informal
14
34
Pensiun
2
24
Konsultan
1
0
PRT/TKI
13
2
Motivator
0
1
Walikota/ Gubernur/Raja
0
5
security
0
7
petugas medis
20
9
Jurnalis
1
0
advokat,
1
6
BIN
0
1
Pekerja seks
1
0
TT
214
285
Total
1092
1092
Pengaduan Femisida ke Komnas Perempuan Femicide/femisida tidak dikenal dalam perundang-undangan kita sehingga sering disederhanakan dan diproses sebagai pembunuhan biasa. Kekerasan berbasis gender yang menyertai pembunuhan tersebut tidak disoal karena hanya fokus pada persoalan hilangnya nyawa seseorang. Jika dilihat dari pengaduan langsung ke komnas Perempuan, menunjukkan bahwa hilangnya nyawa seseorang karena kekerasan berbasis gender, tidak bisa dilihat sebagai kasus pembunuhan biasa, karena sangat jelas bahwa karena dia perempuan maka dijadikan sebagai sasaran. Hal itu dapat dilihat dari kasus-kasus yang yang diterima oleh Komnas Perempuan dari keseluruhan pengaduan yang diterima, 5 diantaranya adalah kasus femisida. Proses hukum kasus tersebut masih berjalan berdasarkan pasal pembunuhan, karena dianggap puncak kasus kemanusiaan. Padahal femisida harusnya lebih tinggi sanksinya dari kasus pembunuhan biasa karena disertai dengan perkosaan, kekerasan seksual kepada pacar yang berujung pembunuhan, penaklukan pada perempuan yang 47
menghambat akses pelaku memperoleh harta/warisan. Istilah femisida memiliki definisi dan cakupan yang beragam yang secara garis besar adalah pembunuhan terhadap perempuan karena dilatarbelakangi kekerasan berbasis gender baik karena kebencian, penaklukan, penghinaan, penguasaan, penikmatan dll. Karena itu Komnas Perempuan memandang bahwa femisida adalah isu serius, puncak dari kekerasan terhadap perempuan yang harus menjadi perhatian Negara dan diikuti dengan system hukum dan penghukuman yang menyoal dimensi kekerasan berbasis gender yang menyertai pembunuhan tersebut.
Surat Rekomendasi Komnas Perempuan Respon Komnas Perempuan atas kasus-kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan adalah dengan mendokumentasikan dan merujuk korban ke lembaga mitra di tempat tinggal/domisili korban sesuai dengan kebutuhan korban. Selain itu Komnas Perempuan juga mengeluarkan surat rekomendasi yang berisi masukan, pertimbangan, pendapat mengenai kasus bersangkutan dan rekomendasi sebagai lembaga HAM Nasional untuk penyelesaian kasusnya terutama proses hukum yang sedang dijalani korban dalam memenuhi hak korban. Surat ini ditujukan untuk mendorong penanganan kasus yang menimpa korban ke berbagai tingkatan aparat penegak hukum, kementerian, maupun institusi terkait. Sepanjang tahun 2016 Komnas Perempuan mengeluarkan 46 surat rekomendasi. Tabel 2 memperlihatkan lembaga-lembaga yang mendapatkan surat rekomendasi Komnas Perempuan dan sejumlah tanggapan dari berbagai pihak atas surat rekomendasi Komnas Perempuan. Tabel 2. Lembaga Tujuan Surat Masukan dan Pertimbangan KP LEMBAGA TUJUAN Kepolisian Kejaksaan Pengadilan Negeri Mahkamah Agung RI DPR RI TNI Pemerintah Daerah Lembaga Negara Kementrian Hukum dan HAM Kementrian Dalam Negeri Kementrian Desa Kementrian Perhubungan Kementrian Pendidikan Lembaga Pendidikan TOTAL
Jumlah Surat Masukan dan Pertimbangan 25 1 6 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 46
Mendapat Tanggapan 7 1 1 1 1 1 12
Sama seperti tahun sebelumnya, pada tahun 2016 ini, surat rekomendasi Komnas Perempuan terbanyak ditujukan kepada pihak Kepolisian. Hal ini dikarenakan banyak korban yang mengalami kesulitan dalam proses hukum di tingkat penyidikan sebagai garda terdepan. Sementara institusi kepolisian yang paling banyak menerima surat masukan dan pertimbangan Komnas Perempuan adalah institusi Kepolisian di wilayah hukum Kepolisian Daerah Metro Jaya yakni sebanyak 9 surat, Bareskrim Mabes Polri dan Kepolisian Daerah Jawa Timur masing-masing 3 surat, Kepolisian 48
Daerah Jawa Barat dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau masing-masing sebanyak 2 surat, Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, Kepolisian Daerah Banten, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur, Kepolisian Daerah Maluku, dan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat masing-masing sebanyak 1 surat. Banyaknya surat yang ditujukan kepada pihak Kepolisian menjadikan tanggapan yang berasal dari pihak Kepolisian juga merupakan yang terbanyak yakni sebanyak 7 surat. Selain itu Kepolisian merupakan salah satu pihak yang telah membangun mekanisme klarifikasi dan informasi penanganan perkara yang baik dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP). Menanggapi surat Komnas Perempuan, Kepolisian biasanya mengirimkan SP2HP ini atau mengundang Komnas Perempuan untuk melakukan mediasi atau pertemuan membahas kasus yang ditangani. Terkait efektivitas surat masukan dan pertimbangan Komnas Perempuan, di akhir tahun 2016, Divisi Pemantauan melakukan evaluasi untuk mengetahui dampak surat ini bagi korban. Sebagian besar korban mengapresiasi surat ini dan berpendapat bahwa surat rekomendasi cukup membantu mereka dalam menghadapi kasus khususnya pada saat proses hukum berlangsung. Apalagi bila didukung pula oleh kehadiran pihak Komnas Perempuan sebagai (saksi) ahli menjelaskan masukan dan pertimbangannya. Namun ada pula beberapa korban yang mengatakan surat Komnas Perempuan tidak banyak membantu karena pada akhirnya kasusnya tidak dilanjutkan, menggantung, terhambat, dan lain sebagainya sebagai dampak surat rekomendasi tidak direspon oleh institusi yang bersangkutan. Mencermati perkembangan respon beberapa kantor kepolisian dan institusi lainnya telah menindaklanjuti dan mengikuti surat rekomendasi Komnas Perempuan maka Komnas Perempuan tengah berupaya meningkatkan responnya terhadap pengaduan korban dengan memenuhi surat rekomendasi yang diharapkan pengadu. Salah satu tantangannya kurangnya ketersediaan sumber daya yang didukung negara dalam memenuhi hak respon atas pengaduan korban. Oleh karenanya dari 92 permintaan surat rekomendasi baru 46 surat yang dapat dikeluarkan Komnas Perempuan. Dari 46 surat tersebut yang mendapat tanggapan dari pihak yang dikirimi surat rekomendasi hanya 30 persen. Hal tersebut menunjukkan minimnya perhatian para pihak untuk menguatkan kerjasama dengan Komnas Perempuan dan komitmen dalam pemenuhan hak korban.
49
FEMISIDA (FEMICIDE) Pembunuhan Sadis Pada Perempuan Definisi femicide atau femisida sangat beragam, namun garis besar pengertian femisida adalah penghilangan nyawa perempuan atau anak perempuan karena dia perempuan atau karena kekerasan berbasis gender. Perempuan sengaja menjadi sasaran penghilangan nyawa yang disebabkan oleh kebencian, penaklukan, penikmatan, kepemilikan, penghinaan ketersinggungan, karena seksisme. Femicide juga sering disebut sexist killing atau pembunuhan karena misoginis. Femicide adalah puncak dari KtP (kekerasan terhadap perempuan) yang berakhir pada hilangnya nyawa perempuan namun minim dikenali dalam system hukum pidana sehingga minim pendataan secara statisktik. Komnas mencatat bahwa femicide juga minim terlaporkan ke Komnas Perempuan ataupun lembaga layanan, karena dianggap korbannya sudah meninggal, padahal hak asasi seseorang atas martabat, hak kebenaran, dan sebagainya, tidak berhenti dengan hilangnya nyawa. Kasus femicide cenderung hanya dianggap kriminalitas biasa yang ditangani polisi, yang lebih fokus untuk mencari pelaku, minim analisa GBV (gender based violence atau kekerasan berbasis gender), dan tidak ada diskusi tentang pemulihan korban serta keluarganya. Femicide perlu dipertanyakan, karena bisa jadi tidak dijalankannya fungsi perlindungan korban saat terancam nyawanya, termasuk dalam konteks PKDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Femicide terjadi karena kuatnya kuasa patriarkhi, dan pelaku adalah orang-orang dekat. Pola-pola femicide yang dapat Komnas Perempuan analisa dari data terlaporkan langsung, tertulis, media dan mitra, menunjukkan bahwa femicide disebabkan oleh kekerasan seksual dengan atau berakhir pembunuhan, ketersinggungan maskulinitas seksual laki-laki, kecemburuan, kawin siri yang tidak ingin terbongkar, menghindar tanggungjawab karena menghamili, prostitusi terselubung yang minim pantauan, kekerasan dalam pacaran. Pelaku adalah orang-orang yang dikenal, orang dekat, baik pacar, kawan kencan, suami, pelanggan, dll. Pola femicide-nya juga sadis dan tidak masuk akal, korban dimasukkan dalam koper, dibuang bawah tol, di kost atau hotel dengan kondisi jenazah dihukum secara seksual, dibunuh dalam keadaan hamil, dibuang ke lumpur, jurang dll. Kasus femicide diantaranya pembunuhan YY perkosaan berkelompok, kisah korban yang diperkosa dengan cangkul, pembunuhan dan kekerasan seksual kepada F anak 9 tahun di Kalideres, Pembunuhan korban yang dibuang dalam kardus di bawah tol, pembunuhan (mutilasi) ibu hamil di Tangerang karena relasi personal janji nikah (eksploitasi seksual), dan pembunuhan remaja di Deli Serdang dengan dimasuki botol racun ke dalam vaginanya. Komnas Perempuan sedang mendalami femicide ini, untuk mendorong sistem pencegahan, perlindungan dan penanganannya. Pelapor khusus PBB untuk VAW, Dubracka Simonovic, pada tahun 2015, telah menyerukan kepada dunia agar setiap negara membuat femicide watch atau gender related killing of women watch, dan meminta agar data-data tersebut harus diumumkan setiap tanggal 25 November pada hari anti kekerasan terhadap perempuan.
50
KEKERASAN SEKSUAL Pelecehan Seksual Jurnalis Jawa Pos Seorang wartawati magang (DP) di Harian Jawa Pos Radar Lawu, telah menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja yang diduga dilakukan oleh Sdr. Didik Purwanto, redaktur Harian Jawa Pos Radar Lawu. Pelecehan seksual yang dialaminya terjadi beberapa kali dalam rentang waktu 2 bulan, selama bekerja magang di Harian Jawa Pos Radar Lawu. Korban telah berupaya menghentikan pelecehan seksual yang dialaminya dengan menghindari pelaku dan melaporkannya kepala Kepala Biro. Namun pelecehan seksual tetap terjadi, sehingga akhirnya pada tanggal 11 Maret 2016, korban melaporkan kepada Kepolisian Resor Ngawi. Pada saat bersamaan dengan tanggal pelaporan, korban justru mendapat surat tugas mutasi dari Pemimpin Redaksi Jawa Pos Radar Madiun, sebagai wartawati di wilayah Kabupaten Ponorogo, yang lokasinya jauh dari tempat tinggal korban. Korban semakin mengalami trauma. Komnas Perempuan telah menerima pengaduan dari DP dan memberikan surat dukungan. Dalam rangka perlindungan dan pemulihan korban serta penegakan hukum, Komnas Perempuan memberikan rekomendasi kepada Kepada Kepolisian Resor Ngawi untuk memberikan prioritas perhatian terhadap laporan korban Kepolisian Resort Ngawi untuk segera memutuskan penyidikan dan mengedepankan pemulihan korban. Selain itu menetapkan pasal 294 ayat (2) angka 1 KUHP dengan mendasarkan pada keterangan dan pengalaman korban. Sementara kepada Pimpinan Jawa Pos Komnas Perempuan meminta mereka memberikan dukungan dan memproses pengaduan korban, serta menonaktifkan pelaku dan mempertanggungjawabkan tindakannya. Perkosaan dan Eksploitasi Seksual terhadap 58 Anak Perempuan Seorang pengusaha, Sony Sandra telah melakukan kekerasan seksual terhadap 58 anak di bawah umur di Kediri. Pelaku pun memaksa korban untuk meminum pil anti hamil. Beberapa korban telah melaporkan pelaku kepada pihak berwajib. Hakim telah menjatuhkan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku yaitu telah dengan sengaja melakukan atau membujuk anak melakukan persetubuhan, yang melanggar UU nomor 23 tahun 2002 pasal 81 ayat 2, tentang Perlindungan Anak, juncto pasal 65 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)1. Pelaku pun telah diperiksa oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kediri. Dari informasi yang terdapat di berbagai media, maka Majelis Hakim telah menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 9 (sembilan) tahun dan denda sebesar Rp. 250.000.000,- atau Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah terhadap Sony Sandra. Vonis yang dikenakan kepada pelaku lebih ringan dari tuntutan Jaksa yakni 13 (tiga belas tahun) penjara dan denda Rp. 100.000.000 atau Seratus Juta Rupiah. Pada tanggal 20 Mei 2016, Komnas Perempuan telah mengirimkan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Kediri. Pada surat yang telah dikirimkan tersebut, Komnas Perempuan meminta informasi yang lebih akurat terkait penanganan dan salinan dari putusan perkara tersebut. Pada tanggal 6 Juni 2016, akhirnya Komnas Perempuan telah menerima salinan dari putusan perkara dan melakukan pemeriksaan atas perkara tersebut.
1
(http://www.voaindonesia.com/a/terbukti-bersalah-sony-sandra-divonis-9-tahun-/3338417.html) 51
Perkosaan Berkelompok terhadap Perempuan Usia Muda di Banyuwangi Di Kecamatan Arjasa, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, telah terjadi perkosaan yang dilakukan secara berkelompok oleh 18 pemuda. Korban adalah perempuan (SN) berusia 19 tahun dan mengalami perkosaan selama tiga hari berturut-turut. Kapolres Situbondo telah menahan 8 orang pelaku dan 1 dari orang pelaku merupakan pemuda yang masih dibawah umur. Selain 8 pemuda tersebut terdapat seorang gadis berusia 16 tahun (R) yang juga terlibat, warga Desa Gudang, Kecamatan Asembagus. Dari keterangan keluarga korban, R datang ke rumah korban dan mengajak korban untuk berkumpul dengan teman lainnya. Korban mengalami pendarahan, kondisi kejiwaannya terganggu dan trauma. Korban telah dibawa ke psikiater yang berada di Kabupaten Banyuwangi. Dari kasus SN, Komnas Perempuan melihat bahwa SN merupakan perempuan yang mengalami bentuk kekerasan seksual yaitu: perkosaan, perdagangan orang, dan perbudakan seksual. Komnas Perempuan telah melayangkan surat kepada Kepala Kepolisian Resort Situbondo, Jawa Timur mengenai kasus SN ini untuk mendapatkan informasi lebih lengkap tentang penanganan perkara dan perlindungan yang diberikan oleh Kepolisian kepada SN. Adapun informasi yang penting diketahui oleh Komnas Perempuan meliputi upaya penanganan yang telah dilakukan dan yang sedang diupayakan, yaitu ketersediaan pendamping bagi korban (psikologis, medis, bantuan hukum) yang dibutuhkan korban, kemudian kemajuan penyelidikan dan penyidikan serta apa saja hambatan dan tantangan. Komnas Perempuan membutuhkan informasi ini untuk mendorong proses hukum kasus ini menjadi preseden baik dalam perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan. Perkosaan Berkelompok Anak Perempuan di Deli Serdang Perempuan berusia 14 tahun (B) mengalami perkosaan yang dilakukan secara berkelompok (gang rape). Peristiwa ini terjadi di lokasi wisata pemandian air panas di Desa Panen, Kecamatan BiruBiru, Deli Serdang. Korban diberikan minuman alkohol hingga tidak sadarkan diri. Korban mengalami perkosaan secara berkelompok (gang rape) dan dibawa berpindah-pindah tempat yang berbeda dan dibawa kembali ke gubuk. Ketika sadar, korban pulang sendiri ke rumah neneknya, yang juga tempat tinggalnya2. Perkosaan disertai Penganiayaan Pelajar SMP Seorang anak perempuan berusia 16 tahun (MA) pelajar kelas VIII di Sekolah Menengah Pertama di Kota Batu Malang, mengalami kekerasan seksual disertai penganiayaan. Korban mengalaminya di lokasi wisata Batu Trade Center, Malang, yang dilakukan oleh seorang satpam berusia 47 tahun. Pemberitaan mengenai kasus ini telah mengundang perhatian oleh banyak pihak, karena kasus yang dialami oleh korban diluar batas kemanusiaan. Kekerasan seksual ini menyebabkan tidak hanya trauma kepada korban, melainkan juga membuat masyarakat lain kehilangan rasa aman. Pada tanggal 27 Desember 2016, Komnas Perempuan telah menyatakan sikap dengan melayangkan surat kepada Kepala Kepolisian Resort Batu Malang untuk mendapatkan kronologis, tindak lanjut dan informasi-informasi yang dibutuhkan mengenai kasus tersebut, terutama mengenai bagaimana terjadinya kasus tersebut dan oleh siapa penanganan, pendampingan, dan pemulihan serta proses hukum atas kasus ini. 2
http://aktualonline.com/view/Sumut/2585/Kapolres-Deli-Serdang-Ambil-Alih-Kasus-Pemerkosaan-diKecamatan-Sibiru-biru-dan-Namorambe.html 52
Perkosaan Anak Perempuan Yang Mengakibatkan Bunuh Diri Di Medan seorang perempuan berusia 15 tahun mengalami perkosaan. Korban mengalaminya saat tidur di rumahnya. Keluarga korban telah melaporkan kasus ini ke Polsek Namorambe dan bertemu Aiptu Merdeka Sembiring. Ayah korban meminta laporan STPL (sosialisasi surat tanda penerimaan laporan) tersebut, namun tidak diberikan dengan alasan tidak ada Kanit dan belum ditandatangani Kapolsek. Pada hari yang sama, dini hari, 3 polisi dari Polsek Namorambe datang ke rumah korban untuk memeriksa tempat kejadian. Keluarga korban membawa anaknya untuk pemeriksaan visum. Dokter menyampaikan hasil pemeriksaan kepada bibi korban “Anak ibu sudah tidak perawan lagi”. Di lain pihak, ayah dari pelaku mendatangi keluarga korban untuk menyampaikan permohonan maaf atas perbuatan anaknya dan siap untuk mengawinkan anaknya dengan korban. Namun hal ini ditolak oleh ayah korban. Sekitar 15 menit, setelah ayah pelaku pulang dari rumah korban, korban muntah-muntah karena minum racun. Pada hari Kamis, 26 Mei 2016, pukul 13.00 korban pun meninggal dunia, setelah sempat dirawat selama dua hari. Setelah korban meninggal, ayah korban datang kembali ke Polsek Namorambe dan beliau terkejut karena laporan polisi yang diterima ternyata hanya dianggap kasus percobaan pencurian, bukan pemerkosaan seperti yang dilaporkannya dengan alasan kurang alat bukti. Kekerasan oleh dan di Media Online Peran Media Sosial untuk Keadilan dan Pemulihan Korban SI, seorang WNA keturunan Jepang melaporkan kasus kekerasan fisik yang dialaminya, dengan pelaku adalah mantan pacaranya. Kekerasan ini terjadi di apartemen korban. Korban tinggal di apartemen tersebut bersama anaknya. Korban adu mulut dengan pelaku dan korban menampar pelaku setelah pelaku mengatainya. Pelaku membalas memukul korban, mencekik dan menamparnya berkali-kali. Korban meminta tolong kepada petugas keamanan apartemen dan membawanya ke rumah sakit. Tindakan kekerasan yang dialami SI bukan pertama kali, tiga minggu sebelumnya korban sempat dipukul di bagian dagunya karena menegur pelaku yang mengkonsumsi alkohol, selain itu korban juga tidak jarang menerima kekerasan verbal dari pelaku. SI akhirnya memberanikan diri untuk melapor setelah foto wajahnya yang babak belur menjadi viral ketika diunggah oleh sahabat korban di sosial media. Banyak dukungan untuk SI termasuk dari tokoh publik agar melapor dan juga himbauan untuk kepolisian untuk menangani kasus ini. Kekuatan media terutama media online mengangkat suatu kasus kekerasan terhadap perempuan kini banyak menjadi perhatian saat banyak diberitakan. Namun, dalam kajian analisa media Komnas Perempuan, ditemukan media masih menstigma korban yang melanggar kode etik jurnalistik. Seperti kasus SI, media tidak hanya memberitakan mengenai kasusnya saja tetapi menggali kehidupan pribadinya dan memberikan diksi-diksi yang bias dalam pemberitaan, baik dalam judul maupun konten berita, seperti istilah janda cantik atau model cantik. Komnas Perempuan memberi masukan kepada Dewan Pers untuk membuat panduan kode etik tentang pemberitaan kasus-kasus kekerasan berbasis gender, dan perlunya membuat pelatihan sensitive gender bagi jurnalis.
53
Pelecehan Seksual Simbolik Berbentuk Komik Seorang komikus berinisial KJ membuat komik seri berjudul God You Must Be Joking mengunggah komiknya di akun twitter miliknya yang berisi muatan perkosaan dan inses. Komik tersebut menampilkan tokoh komikus perempuan bernama SR yang menjadi peran ibu. Tokoh ibu tersebut mengajak anaknya yang masih kecil untuk beradegan seksual dan direkam, di akhir cerita, tampak karakter utama dari komik God You Must Be Joking sedang menyaksikan video perempuan beradegan seksual dengan anaknya tadi kemudian ia berkata, “wanita amoral“. Karya ini menjadi kontroversi karena dianggap serangan terhadap SR yang karya-karyanya bertentangan dengan karya KJ serta tidak jarang mengkritisi karya KJ yang seringkali bermuatan pembunuhan, mutilasi, pedofilia dan kekerasan seksual. Komnas Perempuan menyatakan bahwa kebebasan berekspresi tidak menjadi ruang untuk kekerasan dan kebencian. Kasus SR yang menjadi korban dalam bentuk simbol dalam komik merupakan kekerasan seksual dalam bentuk non fisik yang menyebabkan seseorang merasa terhina, direndahkan atau dipermalukan secara seksual. Kekerasan terhadap Perempuan yang Dilakukan Pejabat Publik dan atau Tokoh Masyarakat Politisasi dan Impunitas Pelaku Kasus kekerasan yang diduga dilakukan seorang anggota Komisi Hukum (komisi II) Dewan Perwakilan Rakyat DPR RI terhadap staf ahlinya yang bernisial DA mencuat di media pada awal tahun 2016. Kasus ini selain dilaporkan korban kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), juga diadukan ke Komnas Perempuan. Pengaduan yang disampaikan terkait penganiayaan berupa pemukulan ke wajah korban disertai ancaman. Penganiayaan fisik berupa luka memar di pelipis korban dan bercak merah di bagian putih bola mata kanan. Korban juga mengaku merasa tertekan. Kasus ini bergulir kuat di media dan mengakibatkan perang opini antara korban dan pelaku. Kasus ini tak terdengar lagi perkembangannya setelah korban mencabut laporan dari Bareskrim mabes POLRI, meskipun seharusnya kasus ini adalah delik pidana murni (bukan delik aduan) sehingga tak dapat dihentikan meskipun korban telah mencabutnya. Kasus ini menjadi contoh bagaimana perempuan mengalami kekerasan dalam hubungan kerja yaitu antara atasan dan bawahan. Korban yang merupakan staf ahli DPR dalam proses hubungan kerja, menjalankan banyak fungsi dan membuat korban mengalami resiko kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Pola yang ditemukan adalah pelaku orang yang berpengaruh, tokoh atau pejabat publik, mengakibatkan korban menemui banyak tantangan ketika akan mengakses keadilan, karena terjadi impunitas pelaku. Impunitas pelaku juga menjadi catatan penting dalam hubungan kerja ‘bernuansa’ politik, yakni antara anggota Legislatif atau pengurus partai politik dengan staf/bawahannya. Komnas Perempuan bekerja untuk melawan impunitas pelaku kekerasan atas kasus tersebut memberikan rekomendasi untuk dilakukan pakta integritas pada Anggota Dewan, demikian pula pada bagian Kesekjenan DPR RI/DPR untuk memastikan pihak yang dipekerjakan anggota Dewan mendapatkan perlindungan, serta meminta kepolisian RI untuk menyampaikan perkembangan penanganan kasus tersebut untuk diketahui publik.
54
Politisasi Spiritualitas Dan Agama Untuk Eksploitasi Seksual: Kasus Aa Gatot Gatot Brajamusti atau dikenal dengan Aa Gatot seorang tokoh publik dan pimpinan padepokan telah melakukan tindakan kekerasan seksual dengan korban lebih dari 100 perempuan yang umumnya berusia anak. Modus yang dilakukan oleh Aa Gatot adalah dengan mengiming-imingi korban untuk menjadi artis. salah satu korban adalah CT, dijanjikan menjadi backing vocal artis yang saat itu berusia 16 tahun. Korban juga diberikan serbuk kristal bernama aspat/asmat yaitu sejenis sabu-sabu secara berulangkali sehingga korban tidak sadarkan diri. Korban juga diharuskan melakukan ritual seks bersama-sama dengan pelaku dan demikian pula 3 perempuan lainnya. Saat melakukan ritual seks pelaku mengaku berperan sebagai “uncle” (paman) dan saat itulah Malaikat Izroil (malaikat pencabut nyawa) bersemayam ditubuh pelaku. Ketika korban melakukan seks bersama-sama tersebut artinya korban sedang bersetubuh dengan malaikat tersebut. Korban dibuat merasa bangga dan merasa mendapatkan anugerah. Komnas Perempuan melihat bahwa korban mengalami perkosaan yaitu serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual. KDRT oleh Anggota DPRD Papua Barat Peristiwa KDRT pada anggota legislatif kali ini terjadi lagi, diduga dilakukan oleh Yan Anton Yoteni, anggota DPRD Papua Barat periode 2014-2019, yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Otonomi Khusus (perwakilan masyarakat adat Papua yang duduk di DPRD Papua Barat). Yan Anton Yoteni dan istrinya EWW menikah secara adat pada tanggal 14 Oktober 2013. Bagi Yan Anton Yoteni dan EWW pernikahan ini sama-sama merupakan pernikahan kedua mereka. Paska terpilih sebagai anggota DPRD Papua Barat, Yan Anton Yoteni diketahui telah melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain dan sejak awal tahun 2015 telah tinggal bersama di Kota Manokwari. Sejak itu Yan Anton Yoteni juga tidak lagi memberi nafkah kepada EWW dan anakanaknya. Korban EWW menemukan Kartu Keluarga Yan Anton Yoteni yang mencatat perempuan ini sebagai istri Yan Anton Yoteni dan 2 (dua) anak yang lahir pada tahun 1997 dan 1998. Kartu Keluarga tersebut dibuat pada tanggal 11 Juni 2008. Bila benar terjadi pernikahan ini, korban EWW menduga Yan Anton Yoteni telah melakukan pemalsuan dokumen akta perkawinan saat menikah dengannya di tahun 2013. Tindakan Diskriminatif oleh Bupati Belu Bupati terpilih yang memimpin Kabupaten Belu, NTT telah melakukan tindakan diskriminatif dengan membatasi dan mengurangi hak konstitusional seorang calon Kepala Desa perempuan (FB). FB adalah kepala desa Lasiolat purna bakti periode 2009 – 2015, yang kembali mencalonkan diri untuk periode 2016 – 2022. Untuk pencalonan kembali ini, Florita Besin diharuskan mengantongi surat keterangan dari Bupati Belu bahwa tidak pernah menjadi kepala desa selama tiga kali masa jabatan dan surat keterangan dari Bupati Belu bahwa tidak pernah diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan kepala desa sebagaimana ditetapkan dalam pasal 18 (1) Peraturan Daerah Kabupaten Belu No. 6 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Desa. Namun Bupati Belu sebagai pejabat berwenang tidak bersedia menerbitkan dua surat tersebut. 55
Kepada Kepala Ombudsman RI perwakilan wilayah NTT yang menerima pengaduan FB, Bupati Belu menyampaikan alasannya karena secara subyektif menilai FB kurang baik dalam melakukan tugas sebagai kepala desa. Menanggapi hal ini, FB yakin dirinya telah diperlakukan secara diskriminatif dan Bupati Belu sedang menghalangi dirinya untuk maju kembali menjadi calon Kepala Desa. FB yakin telah menjabat sebagai Kepala Desa Lasiolat sampai masa jabatan selesai dengan kinerja baik. Hal ini dikuatkan pula oleh Keputusan Bupati Belu terdahulu yang menyatakan pemberhentian FB sebagai kepala desa karena berakhirnya masa jabatan dan Bupati Belu terdahulu mengucapkan terima kasih atas jasa FB selama menjabat. Sikap Bupati Belu ini telah menuai banyak protes dari warga desa serta berbagai pihak termasuk DPRD Kabupaten Belu. DPRD Kabupaten Belu membentuk tim audit dan kemudian menerbitkan rekomendasi agar Bupati Belu mengeluarkan surat keterangan bagi FB, namun hingga saat ini Bupati Belu belum juga menjalankan rekomendasi ini. Komnas Perempuan melalui surat pertimbangan dan masukan berdasarkan pemantauan menyatakan dukungan bagi FB untuk mendapatkan hak konstitusionalnya sebagai warga negara untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Pandangan Komnas Perempuan ini didasarkan pada Konvensi CEDAW yang secara tegas menyatakan larangan tindakan diskriminasi terhadap perempuan di lembaga politik atau publik dan perlunya langkah-langkah khusus untuk menghapus diskriminasi tersebut. Tindakan Bupati Belu ini juga bertentangan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, dimana perempuan didorong berperan sebagai pengambil keputusan, terutama paska amandemen Undang-undang Dasar 1945 keempat (pasal 28 H ayat (2) dan disahkannya Undang-undang Paket Politik terkait tindakan khusus sementara kuota minimal 30% keterwakilan perempuan di lembaga politik. Kekerasan (Seksual) di Lembaga Pendidikan Kasus Pelecehan Seksual Karyawan Universitas 17 Agustus 1945 Komnas Perempuan menerima pengaduan dari Koalisi Perempuan Untag ’45 selaku pendamping dari 5 (lima) orang karyawati dan dosen Universitas 17 Agustus 1945, yang menjadi korban pelecehan seksual sejak 2014-2016 yang diduga dilakukan oleh Dedi Cahyadi, Ketua Yayasan Universitas 17 Agustus 1945. Pelecehan baik fisik mapupun non-fisik dilakukan di ruangan pelaku dengan cara memanggil para korban dengan dalih urusan kerja. Bentuk pelecehan, korban disuruh membuka pakaian untuk difoto dan direkam, membuka kalender dengan naik kursi agar bisa difoto bagian pantatnya, dikomentari bagian tubuh dan ditanya ukuran pakaian dalam, serta berbagai komentar bernada seksual lainnya. Pelecehan ini menyebabkan korban merasa tidak nyaman, direndahkan martabatnya, mengalami kondisi tertekan, serta ketakutan bekerja menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh atasan. Komnas Perempuan berpendapat bahwa Dedi Cahyadi selaku Ketua Yayasan Universitas 17 Agustus ’45 memiliki jabatan dan relasi kuasa yang lebih tinggi dari para korban. Relasi kuasa inilah yang mendorong pelaku menyalahgunakan jabatanya untuk melakukan pelecehan seksual. Relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan para korban menyebabkan para korban tetap bertahan selama bertahun-tahun menutupi pelecehan yang dialaminya dan tidak segera melapor karena takut tidak dipercaya oleh pihak lain. Aspek relasi kuasa di tempat kerja yang dialami para korban ini merupkan faktor kuat dalam pelecehan seksual yang diancam sebagai tindak pidana pasal 294 KUHP ayat (2) angka 1 KUHP, yaitu “Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan dan diserahkan kepadanya.” 56
Komnas Perempuan mengapresiasi dukungan Keluarga Besar Untag ‘45 kepada para korban dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Untag yang telah memberi sanksi administratif kepada pelaku dengan pemberhentian sebagai Ketua Yasasan. Sanksi ini menunjukkan peran Untag ’45 sebagai institusi pendidikan dalam upaya penghapusan tindak kekerasan seksual di Lembaga Pendidikan. Demi keadilan dan memberi pemulihan para korban, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Ketua Dewan Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Untag ’45 untuk melakukan upaya pemulihan dengan menyampaikan pernyataan maaf kepada korban, berdialog dengan korban untuk pemulihan yang dibutuhkan, membuka posko pengaduan, membangun dan menyusun konsep Standard Operating Proscedure guna mengantisipasi dan memutus rantai pelecehan seksual di tempat kerja di lingkungan kampus. Kasus Kekerasan Seksual Siswi SMAN di Lurasik NTT Komnas Perempuan menerima pengaduan dari Institute HAk Asasi Perempuan (IHAP) sebagai pendamping ADR, siswi SMAN di Lurasik NTT yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolahnya. Kekerasan yang dialami ADR sudah berlangsung sejak kelas 2. Pelaku sering memanggil ADR ke ruangan dengan alasan membicarakan urusan sekolah, tetapi malah mengajak ADR jalan-jalan. Pelaku juga pernah mengirim pesan di Facebook agar tidak masuk sekolah dan korban diajak ke Kafe. Karena ketakutan, ADR menghapus pesan, memblokir pertemanan di facebook dan selalu menghindar pelaku. Pelaku kembali memanggil ADR ke ruangan Bimbingan Konseling dan ditanya kenapa selalu menghindar. Dalam kesempatan ini ADR sempat difoto dengan HP oleh pelaku, dipegang tangannya dan dicubit hidungnya, serta diberi amplop berisi uang 1.000.000 rupiah dan menyatakan ingin menjalin hubungan khusus dengan ADR. Melihat anaknya yang mengalami ketakutan, tekanan mental, dan trauma, orang tua ADR melaporkan tindakan kepala sekolah tersebut ke Polsek Biboki Utara. Akhirnya pelaku dinonaktifkan dari jabatannya. Namun begitu, pelaku masih sering muncul dan mengintimidasi ADR sehingga mengalami ketidaknyamanan karena menjadi perbincangan di lingkungan sekolah. Menyikapi kasus ini, Komnas Perempuan telah mengirim surat masukan dan pertimbangan kepada Polsek Biboki Utara Timur Tengah Utara NTT agar segera menahan pelaku sebagai upaya perlindungan korban dan mencegah kekerasan seksual yang lebih membahayakan korban. Komnas Perempuan memandang bahwa tindak pencabulan dan intimidasi yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap ADR terjadi karena ketimpangan relasi antara korban dan pelaku. Tindakan penahanan pelaku dimaksudkan untuk memberi rasa aman bagi korban seperti yang diatur dalam pasal 82 ayat (1) UU No.35 tahun 2014 tentang perlindungan Anak, serta diberatkan dengan pasal 82 ayat (3) tentang pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan. Kasus Siswi Penghayat Sunda Wiwitan SMK 2 Banjar Jawa Barat Tahun 2016 Komnas Perempuan menerima pengaduan dari Komunitas Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di Jawa Barat terkait diskriminasi yang dialami oleh anak-anak penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan yang bersekolah di SMK 2 Banjar Jawa Barat. Bentuk diskriminasi yang dialami adalah adanya keharusan mengikuti pelajaran Agama Islam secara penuh. Dan ketika mereka tidak mengikuti ujian praktek Agama Islam seperti sholat, mereka tidak mendapat nilai 57
pelajaran agama dalam rapotnya. Selain itu, sistem Data Pokok Pendidikan dasar yang digunakan SMKN 2 Banjar tidak menyediakan kolom agama lain selaian Islam, Hindu, Budha, Katolik, Kristen dan Khonghucu. Hal ini tidak mengakomodir bagi siswa Penghayat Keprcayaan. Salah satu siswi yang mengadu ke Komnas Perempuan (Wiwin) menceritakan bahwa Kepala Sekolah dan Komite Sekolah memberi komentar negatif dan penuh stigma bahwa Sunda Wiiwitan adalah kepercayaan yang menyimpang. Menerima komentar itu, siswi mengalami tekanan dan menangis. Komnas perempuan mencatat bahwa para siswa Sunda Wiwitan telah mengalami serangkaian diskriminasi karena keyakinan yang dianut, seperti layanan kesehatan, mengurus KTP, surat nikah, akta lahir anak, dsb. Pihak sekolah telah melakukan tindak pengingkaran terhadap Konstitusi di mana dalam pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945 tentang hak menjalankan keyakinan sesuai dengan kepercayaan. Dan pasal 29 ayat (2) tentang bebas dari diskriminasi. Menyikapi kasus ini Komnas Perempuan telah berkirim surat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk mengakui, menghormati, dan memenuhi hak-hak pendidikan anak-anak penghayat kepercayaan, terutama Sunda Wiwitan, serta berupaya menghilangkan diskriminasi berbasis agama dan keyakinan di lingkungan pendidikan. Sebagaimana telah diatur dalam Permendikbud No 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan penanggulangan Tindak kekerasan di Lingkungan Satuan pendidikan, termasuk di dalamnya kekerasan atas dasar diskriminasi bebasis suku, agama, ras, dan/atau antar golongan pada pasal 6 (i): “Tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan antara lain tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau antar golongan (SARA) merupakan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasar pada SARA yang mengakibatkan pencabutan atau penguarangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan, atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan”. Pada Juli 2016 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya menerbitkan Permendikbud No 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan. Komnas Perempuan sangat mengapresiasi atas diterbitkannya kebijakan yang progresif tersebut. Meskipun begitu, pemerintah diharapkan tidak berhenti terus-menerus mensosialisasikan kebijakan-kebijakan kepada seluruh instansi dan jajarannya, termasuk di daerah. Berdasar pengalaman, diterbitkannya Permendikbud No. 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, masih belum maksimal sebagai dasar kebijakan dalam pencegahan kekerasan di lembaga Pendidikan. Kasus W (Anak Sunda Wiwitan) yang tidak naik kelas, karena penghayat Pada tahun 2015, Komnas Perempuan mendapatkan pengaduan dari ibu W yang melaporkan persoalan yang dialami anaknya di salah satu sekolah Negeri di Banjar Jawa Barat. Anaknya W tidak naik kelas karena nilai agama dalam rapot akhir semester (kenaikan kelas) kosong. Setelah dikonfirmasi pada pihak sekolah, ternyata sekolah tidak bisa memberikan nilai agama hanya teori saja (sebagaimana yang dilakukan oleh W) namun juga meliputi prakteknya yaitu mengikuti shalat Dhuha yang diharuskan dilakukan setiap hari. W adalah anak dari penghayat kepercayaan bukan anak penganut agama Islam. Sehingga W hanya ikut materi pendidikan agama secara teori tidak secara prakteknya. Pihak sekolah menyampaikan jika W dikasih nilai agama, akan menjadi kecemburuan bagi siswa/I lain yang beragama islam. Selain itu, sekolah juga mengharuskan semua siswi yang beragama islam menggunakan jilbab khusunya saat bulan Ramadhan. W sebagai penghayat kepercayaan, namun dalam data pokok pendidik (Dapodik) dikategorikan sebagai agama islam. Hal ini karena dalam sistem Dapodik tidak ada pilihan agama lain untuk penghayat 58
kepercayaan, dan pihak sekolah memasukan W sebagai siswi yang beragama Islam. Atas dasar itu, W dianggap sebagai siswi yang beragama islam dan diharuskan mengikuti ketentuan yang berlaku bagi siswa/I yang beragama islam. Atas dasar itu, Komnas Perempuan mengirimkan surat yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan Republik Indonesia dengan nomor surat: /KNAKTP/Pimpinan/VI/2016 prihal Permohonan Penyikapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atas Pengaduan Anak dari Penghayat Sunda Wiwitan Kuningan. Surat ini ditembuskan ke pihak sekolah terkait, Dinas Pendidikan Banjar, Bupati Banjar, Dirjen Kebudayaan dan Dirrektorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementrian Pendidikan RI. Komnas Perempuan berpendapat hak pendidikan menjadi hak dasar yang harus dipenuhi bagi seluruh warga Negara tanpa adanya diskriminasi sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 31. Pemerintah juga telah mengeluarkan Permendikbud No. 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan termasuk di dalamnya kekerasan atas dasar SARA. Sebagai tindak lanjut dari surat yang telah dkirimkan oleh Komnas Perempuan, pihak sekolah akhirnya tidak mewajibkan W dan siswa/I lain penghayat kepercayaan menggunakan jilbab atau pakaian muslim juga shalat dhuaha bersama. Dan setelah diskusi dengan pihak kepala sekolah, W beserta teman-temannya bisa naik kelas. Kasus Z (Anak Penghayat Kepercayaan) Tidak Dapat Naik Kelas Karena Keyakinannya Pada awal Agustus 2016, Komnas Perempuan mendapat pengaduan dari ibu W yang melaporkan persoalan yang dialami ankanya Z di salah satu siswa SMK Negeri di Semarang Jawa Tengah. Z tidak naik kelas lantaran nilai agamanya D (kurang). Nilai agama D karena Z hanya ikut pelajaran agama secara teori sedangkan prakteknya yaitu ngaji dan shalat yang dianjurkan oleh pihak sekolah dia menolaknya. Alasan penolakan Z disampaikan kepada guru agama dan kepala sekolah bahwa dia bukan penganut agama Islam melainkan penghayat kepercayaan. Pihak sekolah memberikan pilihan pada Z jika ingin naik sekolah yaitu: Z pindah ke sekolah lain, atau Z pindah agama Islam. Mediasi di Semarang sudah dilakukan baik dengan Dinas Pendidikan bahkan sampai Ombudsman RI di Semarang, namun hasilnya nihil yaitu dikembalikan pada keputusan pihak sekolah. Akhirnya Z beserta ibunya ke Jakarta dengan di damping oleh ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika). Dengan didampingi ANBTI ibu W beserta Z mendatangi beberapa lembaga negara dan salah satunya Komnas Perempuan. Bersamaan dengan peluncuran hasil pemantauan Komnas Perempuan tentang kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan kelompok penghayat kepercayaan di 11 komunitas di Indonesia. Ibu W dan Z hadir dalam acara terebut dan menyampaikan persoalannya dihadapan para penanggap yang tediri dari Dirjen Dukcapil Kementrian Dalam Negeri, perwakilan dari Dirjen Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Litbang Kementrian Agama dan sebagainya. Pada esok harinya Komnas Perempuan audiensi seacara khusus dengan Dirjen Dukcapil dan Dirjen Kebudayaan. Dalam kesempatan tersebut, Ibunya Z lebih lelusa menyampaikan persoalan yang dialami oleh anaknya Z. Pada akhir Agustus 2016, Walikota Semarang menyampaikan bahwa Z dinyatakan naik kelas dengan mengembalikan hak pendidikan Z berdasarkan prestasinya, dan mendapatkan kekhususan untuk pendidikan agama sesuai dengan kepercayaannya. Tindakan bapak Walikota Semarang ini sebagai kemajuan untuk pemenuhan hak pendidikan bagi anak-anak penghayat kepercayaan di Indonesia. 59
Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren Komnas Perempuan menerima pengaduan kasus korban MA pada 22 Februari 2016. Tahun 2010 MA (17th) masuk pondok pesantren di Boyolali yang diasuh oleh MAA, MA diminta pulang oleh orangtuanya karena tidak sanggup membiayai MA di pesantren, namun pengasuh pondok pesantren tidak mengizinkan MA pulang selama 3 tiga tahun. MA memiliki ruang “mujahadah” yang berada di dalam rumahnya. November 2014 MA dipanggil untuk melakukan mujahadah diruang khusus mujahadah, kemudian MA diajak menikah secara mut’ah dan meminta MA untuk melakukan hubungan seksual. Ini dilakukan seminggu sekali sepanjang 1,5 tahun. Setiap kali MA menolak dan menangis MAA selalu menekan dengan sudah melakukan perkawinan secara mut’ah. Selain MA, hasil dari assessmen SPEKHAM, lembaga layanan yang dirujuk Komnas Perempuan, ada sejumlah 15 korban lainnya. Kasus ini sudah dilaporkan di Polres Kabupatenb Boyolali. Namun kasus ini berakhir damai. Komnas Perempuan menyayangkan adanya perdamaian tersebut karena impunitas bagi pelaku dan akan terjadinya keberulangan pada anak perempuan lainnya. Kriminalisasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Pada 22 September 2016, genap 12 tahun disahkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini menjadi harapan dalam memperbaiki kondisi perempuan dan anak dalam lingkup relasi rumah tangga sebagai pembaharuan hukum dengan mengakui kekerasan di ranah domestik. Sekalipun merupakan jenis kekerasan yang selalu paling tinggi angka pelaporannya pada setiap tahunnya, sejumlah pengaduan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh Komnas Perempuan menunjukkan fakta bahwa tak jarang perempuan korban KDRT justru menyandang status sebagai tersangka atau terdakwa atau terpidana atas laporan suaminya. Tercatat dalam pengaduan langsung yang masuk ke Komnas Perempuan; 2 perempuan korban KDRT justru dilaporkan menggunakan UU PKDRT, 1 perempuan korban dilaporkan dengan UU ITE karena memposting status di faceboook membuka perselingkuhan suami, 1 perempuan korban dilaporkan membuat laporan palsu karena membuat pengaduan di KPAI, 1 perempuan korban dilaporkan melakukan pemalsuan dokumen untuk pembuatan akta lahir anak, dan 3 perempuan korban dilaporkan melakukan pencurian dalam keluarga. Kasus YT: Tuduhan Pencurian ATM oleh Suami Pada tanggal 14 Juli 2016, Komnas Perempuan menerima pengaduan seorang perempuan (YT). YT menjadi terdakwa dalam perkara pidana No. 85/PEN.PID/2016/PN.UNR di Pengadilan Ungaran. YT dilaporkan oleh suaminya telah melakukan pencurian dalam keluarga (pasal 367 ayat (2) KUHP) atau persekongkolan melakukan pencurian (pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP). Selama 6 tahun perkawinan, YT dan anak-anak mengalami KDRT psikis dan ekonomi dari suami, seperti: YT dipaksa berhenti bekerja, suami tertutup pada penghasilannya, YT dan anak-anak sering dimarahi, terus-menerus disalahkan, YT diberi uang belanja harian yang tidak mencukupi kebutuhan, dan anak-anak tidak diberi uang saku. Situasi ini mendorong YT untuk mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama Ambarawa pada tanggal 9 September 2014. 60
Dalam proses cerai, suami mempermasalahkan kartu ATM yang hilang. Suami mempunyai bukti CCTV bahwa anak SF telah melakukan penarikan uang dari ATM sebesar Rp. 3.400.000. SF mengaku uang tersebut digunakannya untuk membayar hutang ongkos ojeg ke sekolah dan membayar iuran koperasi sekolah karena telah berbulan-bulan SF tidak mendapat uang saku. SF memberi kesaksian YT ibunya tidak mengetahui perbuatannya ini. Namun suami melaporkan YT dan anaknya SF ke Kepolisian Resor Ungaran dengan pidana pencurian dalam keluarga dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara. Anak SF dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman dikembalikan kepada orang tua/wali agar dididik kembali dengan baik. Sementara YT dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Kasus DN: Tuduhan Pemalsuan Dokumen oleh Mantan Suami DN, perempuan korban KDRT menjalani status sebagai terdakwa tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 ayat (2) KUHP) di Pengadilan Negeri Surabaya. DN dilaporkan oleh suami telah melakukan pemalsuan KTP suami yang di dalamnya tertulis berstatus belum kawin menjadi kawin, untuk kepentingan pembuatan akta lahir anak. Pemalsuan ini dilakukan oleh seorang calo yang diminta DN mengurus pembuatan akta lahir anaknya. Tanpa sepengetahuan DN, calo tersebut mengubah status kawin suami untuk memperlancar pembuatan akta lahir anak. Karena faktanya perkawinan secara resmi benar dan suami memang berstatus kawin namun tidak mengurus perubahan status perkawinannya dalam KTP. Dan dampaknya telah menghalangi diurusnya dokumen kependudukan anggota keluarga, dalam hal ini akta kelahiran anak. Pengabaian suami pada urusan rumah tangga telah terjadi sejak awal perkawinan. Selain itu DN juga kerap mengalami kekerasan psikis: dilarang menemui orang tuanya, dijadikan sasaran kemarahan karena tidak mampu melakukan pekerjaan rumah tangga sementara DN juga bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit. DN juga mengalami penelantaran rumah tangga: suami memegang seluruh penghasilan DN, dan DN hanya diberi uang saku mingguan yang tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Seluruh kekerasan ini telah mengakibatkan penderitaan psikis berat pada DN hingga melahirkan dengan kondisi prematur pada Maret 2013 dan dirawat akibat sakit lambung pada Mei 2013. KDRT inilah yang menjadi latar belakang DN mengajukan gugatan cerai pada Desember 2013. Perkara pemalsuan surat yang mendudukan DN sebagai terdakwa ini telah diputus pada tanggal 14 Februari 2017. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusan bebas. Dalam pertimbangannya Hakim menyebut kerugian sama sekali tidak terbukti malah menguntungkan pelapor/suami yang seharusnya paling bertangung jawab mengurus akta anak. Putusan bebas pada kedua kasus yang dialami YT dan DN ini menunjukkan bahwa Hakim semakin jeli melihat isu kriminalisasi korban KDRT. Dimana hukum telah digunakan sebagai alat kekuasaan dalam relasi suami-istri hingga menempatkan istri yang sesungguhnya adalah korban justru didudukkan sebagai terdakwa.
61
KEKERASAN DALAM KONT EKS FUNDAMENTALISME/EKST RIMISME Ancaman kebhinekaan dan Politisasi Identitas dan Agama Perkembangan isu kebangsaan yang cukup mengejutkan akhir-akhir ini adalah gerakan demonstrasi yang mengiringi Pilkada DKI tahun 2016 dimana mobilisasi massa atas nama agama terjadi karena dipicu oleh dinamika Pilkada DKI, terutama melalui politisasi isu penistaan agama (kasus al-Maidah; 51) yang diduga dilakukan Basuki Tjahya Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta. Massa umat Islam tersedot pada sentimen agama yang sulit diprediksi dan dipetakan. Selain itu secara kasat mata semakin minim kelompok-kelompok yang bersuara kritis, banyak kegelisahan para intelektual terutama dari kalangan akademisi, CSO yang saling menunggu untuk bersikap, dan kelompok atau ormas agama mainstream terlihat tidak memimpin dan bahkan terpecah-pecah di dalam merespon politisasi agama ini. Merespon situasi di atas, Komnas Perempuan telah melakukan konsultasi kebangsaan dengan para tokoh dan para mitra untuk membaca situasi politik kebangsaan yang tengah terjadi, dan apa yang harus dilakukan ke depan untuk merawat kebhinekaan dan keberagaman yang menjadi fondasi dasar berbangsa dan bernegara. Komnas Perempuan mengajak seluruh pihak untuk kembali pada semangat meneguhkan persatuan dan merawat keberagaman yang telah ditanamkan ibu bangsa. Negara sudah terlalu lama membiarkan masyarakat mengalami kegagapan dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila hanya diajarkan dalam bentuk indoktrinasi, bukan pada falsafah kebangsaan. Orientasi kebangsaan dan pemahaman kebhinekaan tidak lagi terinternalisir dalam sistem pendidikan dan kehidupan sosial. Sentimen primordialisme dibiarkan semakin kuat merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, bahkan ke dalam unsur-unsur pemerintahan. Untuk itu negara perlu menggunakan kekuatannya untuk hadir menegakkan Konstitusi, menjamin penegakan hukum yang adil tanpa intervensi dan merawat bangsa yang berbhinneka, demokratis dan berkeadilan, berbasis pada hak asasi manusia. Komnas Perempuan juga mendorong masyarakat sipil, tokoh bangsa, tokoh agama serta kelompok perempuan penting untuk terus berkonsolidasi menjaga nilai-nilai kemanusiaan, membangun penghargaan terhadap HAM serta memperkokoh persatuan bangsa. Judicial Review KUHP Pasal 284, 285 dan 292 Pada Juni 2016 Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pertama atas permohonan judicial review Pasal 284, 285 dan 292 KUHP. Inti permohonan tersebut antara lain: (1) perluasan makna overspeel (pergendakan) pada Pasal 284, yang bukan hanya terbatas pada salah satu pelaku sudah terikat perkawinan, melainkan juga berlaku pada pihak-pihak yang tidak terikat perkawinan; (2) dihapuskannya kata “seorang wanita” pada Pasal 285 tentang Perkosaan, sehingga perkosaan bukan saja dilakukan laki-laki terhadap perempuan tapi juga oleh perempuan terhadap laki-laki atau antar sesama laki-laki dan sesama perempuan; (3) dihapuskannya kata “yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa” pada Pasal 292 tentang pencabulan, dengan alasan yang perlu dilindungi dari tindakan pencabulan bukan hanya orang yang belum dewasa, melainkan juga orang dewasa, selain anak/orang yang belum dewasa juga dapat menjadi pelaku pencabulan terhadap orang dewasa atau terhadap sesama anak.
62
Komnas Perempuan memutuskan untuk menjadi pihak terkait tidak langsung dalam judicial review ini karena Komnas Perempuan merupakan lembaga HAM nasional yang dibentuk Negara dengan mandate spesifik penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam pandangan Komnas Perempuan jika permohonan Judicial Review ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka akan mengkriminalkan perempuan-perempuan yang perkawinannya tidak diakui negara/tidak tercatat, karena dianggap berhubungan seksual di luar perkawinan, demikian juga dengan remaja yang terpapar aktivitas seksual karena kegagalan sistem pendidikan nasional, baik dalam ruang formal maupun informal. Kegagalan ini tidak boleh dibebankan kepada anak dan remaja, melainkan menjadi tanggung jawab orang dewasa, khususnya pendidik dan pemuka agama. Terhadap keinginan penghapusan kata “seorang wanita” dalam Pasal 285 KUHP, Komnas Perempuan berpendapat meniadakan penyebutan kata “seorang perempuan” dalam pasal tentang perkosaan, secara langsung mencerminkan pengabaian terhadap kerentanan khusus perempuan pada tindak perkosaan, dan menciptakan ketidakpastian hukum serta melemahkan jaminan perlindungan hukum bagi perempuan. Komnas Perempuan mencatat bahwa laporan tentang perkosaan terhadap laki-laki dewasa di Indonesia hampir selalu berkaitan dengan kondisi korban sebagai laki-laki dengan ekspresi gender yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat maupun lakilaki dengan orientasi seksual sejenis. Perkosaan dalam hal ini perlu juga dilihat sebagai bagian dari kejahatan penyiksaan seksual. Terhadap keinginan Pemohon Judicial Review untuk dihapuskannya kata “yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa” pada Pasal 292, Komnas Perempuan berpandangan, tidak benar rumusan Pasal 292 KUHP yang ada sekarang tidak melindungi orang dewasa dari tindak pencabulan dan membiarkan tindak pencabulan yang dilakukan oleh anak. Perlindungan hukum bagi orang dewasa dari tindakan pencabulan dapat ditemukan pada Pasal 289 KUHP, dan aturan yang mempidanakan tindak pencabulan oleh anak dapat ditemukan dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Untuk mengetahui lebih lanjut alasan Komnas Perempuan menolak perubahan Pasal 284, 285 dan 292 KUHP , dapat dilihat pada Pernyataan Sikap Komnas Perempuan tanggal 2 September 20163. Perempuan Dalam Terorisme Penyergapan dan pembunuhan Santoso di Poso (istri Santoso) & Dian: pengantin bom bunuh diri Santoso, terduga pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT), dinyatakan tewas pada kontak senjata yang terjadi di Poso pada tanggal 18 Juli 2016 dalam Operasi Tinombala yang merupakan operasi gabungan antara TNI dan POLRI4. Seminggu kemudian, istri Santoso, JM menyerahkan diri saat anggota Operasi Tinombala hendak menangkapnya di pinggir sungai5. Pada bulan September 2016, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Tito Karnavian, menghimbau agar seluruh anggota MIT menyerah6 setelah pada bulan tersebut Operasi Tinombala berhasil menangkap salah satu dari orang kepercayaan Santoso, yakni, Basri beserta istrinya, Nurmi Usman 3
http://www.komnasperempuan.go.id/pernyataan-sikap-komnas-perempuan-sepuluh-alasan-menolakpermohonan-perubahan-pasal-284-pasal-285-dan-pasal-292-kitab-undang-undang-hukum-pidana-kuhpjakarta-2-september-2016/) 4 Sapiee, Marguerite Afra. Minister Confirm Santoso’s Death. The Jakarta Post. Jakarta, Tuesday, 19 July 2016. http://www.thejakartapost.com/news/2016/07/19/minister-confirms-santosos-death.html 5 Sangadji, Ruslan. Santoso’s Wife Surrenders. The Jakarta Post. Palu, Sunday, 24 July 2016. http://www.thejakartapost.com/news/2016/07/24/santosos-wifesurrenders.html?fb_comment_id=1468742866485657_1468889976470946#f13e2c00b825ad4 6 Sangadji, Ruslan. Police Chief Urges MIT Members to Surrender. The Jakarta Post. Jakarta, 20 September 2016. http://www.thejakartapost.com/news/2016/09/20/police-chief-urges-mit-members-to-surrender.html 63
alias Oma. Hingga akhirnya pada bulan Oktober 2016, Umi Farel istri dari Ali Kahora, yang merupakan anggota perempuan terakhir di MIT berhasil ditangkap tanpa perlawanan7. Pada bulan Desember 2016, Dian Yulia Novi, Tutin alias Ummu Abza, dan Arindra Putri ditangkap karena diduga memegang peranan penting dalam rencana pengeboman, dimana Dian direncanakan sebagai pembawa bom8. Umi Delima, yang merupakan istri kedua Santoso, dikabarkan selalu mengikuti Santoso keluarmasuk hutan di wilayah Pegunungan Poso9. Sedangkan Dian, sang pengantin bom, merupakan istri dari M. Nur Solihin yang dinikahi dengan motif ingin menjalankan tugas amaliyah istisyhadiyah yang merupakan pengorbanan nyawa untuk agama10. Istri Santoso dan Dian tertangkap merupakan bukti nyata keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme. Keterlibatan perempuan dalam jaringan teroris dapat dilihat dalam dua posisi, yakni perempuan sebagai korban dan perempuan sebagai pemain. Adapun perempuan sebagai pemain dalam jaringan terorisme berperan sebagai penerus semangat jihad (aspek pendidikan), pengatur logistic, dan campaigner11. Bahkan tidak dipungkiri bahwa rekognisi menjadi salah satu alasan bagi para perempuan dalam lingkaran terorisme untuk melakukan jihad kabir12. Komnas Perempuan dalam hal ini masih dalam pengkajian untuk menelusuri lebih dalam lagi keterlibatan perempuan dalam jaringan teroris. Meski demikian, Komnas Perempuan meyakini bahwa keterlibatan perempuan dalam jaringan teroris juga dapat dimengerti dalam posisi korban13. Kebebasan Beragama dan Peristiwa Intoleransi Pembakaran Rumah Ibadah dan Penurunan Patung Buddha Amitabha di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara Pada 29 Juli 2016, terjadi pengrusakan dan pembakaran vihara di Tanjung Balai yang dilakukan oleh sekelompok massa yang terprovokasi oleh pesan di media sosial tentang permintaan seorang perempuan (M, 41 tahun) Tionghoa kepada pengurus mesjid Al Maksum di lingkungannya untuk mengecilkan volume suara azan. Pembakaran, penjarahan dan perusakan terjadi setidaknya pada 15 vihara dan kelenteng serta beberapa bangunan lain, serta sejumlah kendaraan. Dari pertemuan Komnas Perempua dengan M, diketahui M tidak pernah meminta Pengurus Mesjid Al Maksum untuk mengecilkan volume suara azan. Dia hanya menanyakan kepada tetangganya: “mengapa sekarang suara azan di mesjid kita sudah semakin besar?”. Pertanyaan ini yang kemudian disebarkan luaskan lewat media sosial secara provokatif.
7
Sangadji, Ruslan. Last Woman of MIT arrested in Poso. The Jakarta Post. Palu, Wednesday, 12 October 2016. http://www.thejakartapost.com/news/2016/10/12/last-woman-of-mit-arrested-in-poso.html 8 Halim, Haeril; Dipa, Arya; Adi, Ganug Nugroho, & Suherdjoko. Women Playing Greater Role in Terrorism. The Jakarta Post. Jakarta/Bandung, Surakarta, Semarang, Friday, 16 December 2016. http://www.thejakartapost.com/news/2016/12/16/women-playing-greater-role-in-terrorism. html 9 Lidiawati, Erna Dwi. Istri Kedua Santoso Bernama Umi Delima DItangkap. Kompas.com. Palu, Sabtu, 23 Juli 2016. http://regional.kompas.com/read/2016/07/23/13442201/umi.delima.istri.kedua.santoso.ditangkap 10 Huda, Larissa. Tersangka Teror Bom Bekasi Ungkap Rahasia Nikahi Dian Yulita. Tempo.co. Jakarta, Sabtu, 17 Desember 2016. https://nasional.tempo.co/read/news/2016/12/17/063828517/tersangka-teror-bom-bekasiungkap-rahasia-nikahi-dian-yulia 11 Presentasi Dete Aliah (Yayasan Prasasti Perdamaian) dalam Diskusi Pengembangan Kajian Perempuan dan Teroris Komnas Perempuan, Jakarta, 25 Agustus 2016. 12 Presentasi Lies Marcoes (Rumah KitaB) dalam Pertemuan Ahli Kajian Terorisme Komnas Perempuan, Jakarta, 21 Desember 2016. 13 Prasetia, Andhika. Perempuan Jadi ‘Pengantin’ Bom Bunuh Diri, Komnas Perempuan: Mereka Korban. detikNews. Jakarta, Jumat, 16 Desember 2016. https://news.detik.com/berita/d-3372704/perempuan-jadipengantin-bom-bunuh-diri-komnas-perempuan-mereka-korban 64
Setidaknya 20 orang pelaku perusakan dan penjarahan vihara serta klenteng telah ditahan dan dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian Sumatera Utara, namun kejadian ini telah merobek suasana toleransi yang terbangun di masyarakat. Sebelum kejadian kerusuhan, M sendiri dan keluarganya telah menyampaikan permintaan maaf dan saat itu persoalan dianggap sudah selesai. Namun kemudian "seruan-seruan yang provokatif" melalui media sosial untuk melakukan tindakan pengrusakan vihara, ditambah dengan lambannya pihak keamanan mencegah terjadinya keributan, menyebabkan pembakaran sejumlah vihara tersebut tidak dapat lagi dihindarkan. Meskipun tidak ada korban jiwa akibat kerusuhan ini, namun nilai kerugian material diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Ibu M sendiri saat ini terancam dikenakan tindak pidana penistaan agama. Saat dijumpai Komnas Perempuan, M dan putranya yang berusia 16 tahun masih dalam keadaan yang sangat trauma. Mereka terpaksa mengungsi ke Medan, karena takut akan keselamatan diri dan keluarganya.. Selain pembakaran Vihara kelompok intoleran juga menuntut diturunkannya Patung Buddha Amitabha dari atas Vihara Tri Ratna. Keberadaan patung tersebut dianggap menimbulkan ketidaknyamanan karena identitas Tanjung Balai sebagai wilayah berpenduduk mayoritas muslim. Dari sejumlah Pengurus Vihara Tri Ratna yang ditemui Komnas Perempuan, diketahui penurunan Patung Buddha ini terpaksa mereka lakukan demi kepentingan yang lebih luas, mencegah jatuhnya korban. Meski mereka dan seluruh jemaat merasa sangat terluka atas peristiwa tersebut. Isu Kebebasan Beragama dan Intoleransi Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2016 bahwa jaminan kebebasan beragama, belum dinikmati oleh negara, termasuk perempuan. Berikut catatan tindakan intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat sipil dan aparat negara: 1. Jemaat Ahmadiyah mengalami serangkaian diskriminasi, yaitu a) pengusiran Anggota Jemaat Ahmadiyah Srimenanti, Sugailiat, Bangka Belitung yang terjadi pada tanggal 6 Februari 2016 b) penolakan pernikahan anggota Jemaat Ahmadiyah Tanjung Pinang, Batam, oleh KUA Kecamatan Bintan Timur. Mereka mengajukan Isbat Nikah Ke Pengadilan Agama Tanjung Pinang dan ditolak, kemudian Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) tangga 23 April 2015 dan sampai saat ini belum ada ketetapan dari MA c) pengrusakan Masjid Ahmadiyah di Kelurahan Purworejo, Kecamatan Ringin Arum, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah pada tanggal 23 Mei 2016 dini hari d) pelarangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah, Kabupaten Subang pada tanggal 29 Januari 2016 oleh Camat Subang, Tatang Supriyatna. Pelarangan aktivitas tersebut dikeluarkan dalam bentuk Surat Keputusan Nomor 450.1/35/Tib. e) pengamanan delapan orang anggota Jemaat Ahmadiyah di Lombok oleh Polsek Sambelia Polres Lombok Timur, tanggal 14 Juni 2016. 2. Penutupan paksa Masjid Al-Furqon Parakansalak, Sukabumi pada tanggal 26 Juli 2016, dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja, disaksikan oleh kepala Desa Parakansalak, Camat Parakansalak dan Kapolsek Parakansalak. Penutupan tersebut dilakukan tanpa selembar surat tugas dan atau surat perintah resmi yang diserahkan kepada pihak pengurus masjid. 3. Kelompok ormas agama di Solo melakukan pembubaran misa arwah untuk memperingati 1.000 hari seorang ibu yang sudah meninggal dunia. Misa yang diadakan oleh umat Katolik di Penumping, Purwosari, Solo yang dipimpin oleh Romo Andre, MSF pada hari Selasa 6 september 2016 dibubarkan secara paksa sebelum rampung. 4. Ormas yang menamakan Pembela Ahlu Sunnah, menghentikan Kebaktian Kebangun Rohani (KKR) yang dihadiri 200 jemaat di Gedung Sasan Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung pada tanggal 6 Desember. Kapolda Jawa Barat memberi keterangan bahwa kegiatan tersebut diprotes karena dianggap tidak ada izin penyelenggaraan. Komnas Perempuan mengapresiasi langkahlangkah yang dilakukan Walikota Bandung yang mengecam pembubaran ibadah tersebut. 65
Perempuan Rentan Diskriminasi Tindakan Diskriminasi dan Kekerasan berbasis SOGIEB Komnas perempuan mencatat beberapa tindakan kekerasan dan diskriminasi berbasis Sogieb yang terjadi sepanjang tahun 2016, mereka yang terdampak mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual, serta diskriminasi di berbagai sektor formal dan informal, Komnas Perempuan mencatatkan antara lain: 1. Pada Januari 2016, ketika SGRC UI mengeluarkan poster yang memberikan dan menyediakan jasa layanan konseling tentang seksualitas. Konseling yang mereka lakukan dianggap mengarahkan mereka menjadi seorang LGBT, yang kemudian menyerang larangan SGRC-UI menggunakan logo UI, serta dimunculkannya pendapat-pendapat pejabat publik terkait LGBT. (Dalam konteks tersebut Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir (Januari 2016) melarang aktivitas LGBT di kampus.14 Kemudian di susul dengan pernyataanpernyataan dari Pejabat Publik yang berpotensi menyebabkan diskriminasi dan kekerasan terhadap keelompok minoritas seksual, yaitu Wakil Presiden Yusuf Kalla menyatakan tidak menyetujui jika komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT) melakukan kampanye, termasuk meminta dilegalkannya pernikahan LGBT15, Menteri Kesehatan Ibu Nila Djuwita F Moeloek menyatakan bahwa LGBT adalah masalah kejiwaan16. Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid menyatakan bahwa bahaya Lgbt sama merusak seperti narkoba bagi masyarakat, dan mengusulkan UU untuk melarang LGBT 17. Anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera Muhammad Nasir Djamil yang menyebut kelompok LGBT ancaman serius terhadap bangsa.18 Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Aboe Bakar Alhabsy, Effendi Muara Sakti Simbolon yang menyatakan LGBT sama berbahaya dengan Narkoba.19 Menyikapi hal tersebut, Komnas Perempuan dengan mengacu kepada prinsip-prinsip HAM, CEDAW dan konstitusi menentang segala bentuk diskriminasi terhadap warga Negara tak terkecuali pada kelompok kelompok dengan keragaman orientasi seksual (26 Januari 2016). 2. Penutupan Paksa Pesantren Waria Jogja (25 Pebruari 2016). Pondok Pesantren untuk waria Al-Fatah di Bantul, Yogyakarta, ditutup paksa oleh aparat pemerintah, atas desakan dari Front Jihad Islam (FJI), Rabu (24/02) malam, di kantor Balai Desa Jagalan, Banguntapan, Bantul, DIY. Karena dianggap tidak memiliki izin, lokasi pesantren waria tersebut adalah rumah tinggal SR yang berada di pemukiman warga. Setempat karena dianggap tidak berizin dan meresahkan warga setempat. Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan di Lapangan SR tidak diberikan ruang untuk mengklarifikasi semua anggapan yang menyudutkan pihak ponpes. SR juga sudah mengajukan untuk izin. Sebelum penutupan tersebut SR menginformasikan bahwa diteror melalui sms, dan dituduh sebagai tempat untuk karaoke dan minum-minuman keras, tanpa diklarifikasi dulu kepadanya.
14
https://news.detik.com/berita/3125654/menristek-saya-larang-lgbt-di-semua-kampus-itu-tak-sesuai-nilaikesusilaan, 15 http://news.detik.com/berita/3125654/menristek-saya-larang-lgbt-di-semua-kampus-itu-tak-sesuai-nilaikesusilaan 16 http://www.antaranews.com/berita/546536/menkes-tegaskan-lgbt-masalah-kejiwaan-bukan-gangguankejiwaan 17 thttp://www.antaranews.com/berita/550976/hidayat-nur-wahid-ingatkan-pemerintah-perlunya-uu-laranglgbt 18 http://www.antaranews.com/berita/541624/kampus-mestinya-tidak-dimasuki-lgbt-kata-menristek 19 http://news.metrotvnews.com/read/2016/02/15/484478/dpr-minta-pemerintah-larang-lgbt 66
3. Pemilihan duta pemuda kreatif 2016 oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, lewat pamflet elektroniknya melarang kaum LGBT ikut serta20. 4. Penghentian bantuan dana dari Pemerintah Kota Banda Aceh untuk pelatihan kepada komunitas yang dianggap LGBT.21 Dan kemudian bulan Maret 2016 Walikota Banda Aceh membentuk tim penanggulangan lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) yang bertugas untuk melakukan investigasi, pengawasan, pembinaan, rehabilitasi dan juga penindakan terhadap mereka yang terlibat LGBT. Pendataan ini menyebabkan komunitas LGBT di Aceh merasa ketakutan, hingga meninggalkan Aceh. Komnas Perempuan tidak bisa menyebutkan berapa jumlah LGBT yang eksodus dari Aceh.22 Namun berdasarkan kasus yang dilaporkan ada beberapa jumlah waria dan lesbian yang kemudian pindah sementara waktu dari Aceh.23 5. Pada Februari 2016 Pemerintah Kota Sukabumi merespon dengan membentuk tim untuk memerangi penyebaran LGBT.24 6. Wakil Gubernur Sumatera Barat menyatakan agar LGBT keluar dari wilayah provinsi Sumatera Barat.25 7. Walikota Kediri melarang merayakan Valentine untuk menekan kampanye LGBT.26 8. Komisi Penyiaran Indonesia mengeluarkan Surat yang melarang TV mempromosikan LGBT, 23 Februari 2016 Nomor 203/K/KPI/02/1627. Komnas Perempuan mencatat bahwa jaminan kepada seluruh warga negara, termasuk mereka yang dalam kelompok rentan dalam konteks perspektif Sogieb, dinyatakan: 1. Dalam wawancara khusus dengan BBC, Presiden Joko Widodo menegaskan "tidak ada diskriminasi untuk minoritas", termasuk LGBT di Indonesia 2. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kelompok lesbian gay biseksual and transgender (LGBT) memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari negara, sebab mereka adalah warga negara Indonesia (13 Pebruari 2016)
20
http://says.com/id/news/kemenpora-larang-anak-muda-dalam-komunitas-lgbt-ikut-pemilihan-dutapemuda-kreatif.
http://aceh.tribunnews.com/2016/04/14/illiza-sebut-pelaku-lgbt-di-banda-aceh-capai500-orang. 21
22
(http://www.qureta.com/post/mereka-hama-dan-harus-disingkirkan)
http://aceh.antaranews.com/berita/29301/pemkot-banda-aceh-bentuk-timpenanggulangan -lgbt 23
24
http://www.merdeka.com/peristiwa/pemkot-sukabumi-bentuk-tim-terpadu-perangi-penyebaran-lgbt.html, http://harianhaluan.com/news/detail/48754/wagub-usir-lgbt-dari-sumbar, 26 https://m.tempo.co/read/news/2016/02/12/058744510/tekan-lgbt-wali-kota-kediri-larang-perayaan-harivalentine 27 http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/33218-kpi-larang-promosi-lgbt-di-tv-danradio 25
67
KEKERASAN DAN DISKRI MINASI TERHADAP DISA BILITAS Perkosaan terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas Perempuan penyandang disabilitas dengan inisial DR (28 tahun) mengalami perkosaan yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan kerja Kejaksaan Negeri Batam. Perkosaan yang dialami oleh DR, telah berlangsung sejak korban berusia 14 tahun. Korban mengalami trauma, ketakutan, serta hasil visum et repertum dari Rumah Sakit Kasih Sayang Ibu tanggal 24 Oktober 2015 menyatakan telah menemukan indikasi perkosaan dengan terdapat robekan pada selaput dara korban. Pelaku dilaporkan sendiri oleh istrinya/ ibu sambung korban kepada Kepolisian Resort Kota Barelang dengan Laporan Kepolisian No.LPB/1354/X/2015/KEPRI/SPK-Polresta Barelang tanggal 24 Oktober 2015. Pada tanggal 19 Juli 2016, Komnas Perempuan telah mengirimkan surat kepada Kepala Kepolisian Resort Kota Barelang dan Kepala Kejaksaan Negeri Batam, merekomendasikan kepada Penyidik PPA dan Jaksa untuk berpedoman pada mandat Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsi terhadap Perempuan (CEDAW) terutama Pasal 2 huruf c yang memberikan perlindungan hukum bagi perempuan korban di pengadilan nasional. Komnas Perempuan merekomendasikan dan mendorong: a) Penyidik PPA Laporan Kepolisan No. LP-B/ 1354/X/2015/KEPRI/SPKPolresta Barelang untuk menyempurnakan BAP guna memutus impunitas tersangka; b) Kejaksaan Negeri Batam c.q Jaksa Penuntut Umum dapat memberikan petunjuk kepada penyidik terkait tambahan bukti dan elaborasi kepada para saksi. Komnas Perempuan mengingatkan Jaksa Penuntut Umum tidak mendasarkan pada asumsi dan opini perilaku dari saksi pelapor saja, sehingga menutupi kebenaran materiil tentang perkosaan. Dari data kuantitatif formulir pendataan catahu, tahun 2016 ada 61 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas. Komnas Perempuan menemukan bahwa perempuan penyandang disabilitas rentan berhadapan dengan kekerasan seksual terutama perkosaan, antara lain karena: - Penyandang disabilitas diajarkan untuk patuh. Terapi perilaku dan sosial melatih penyandang disabilitas bersikap pasif, tenang, penurut pada sosok otoritas, baik orang tua, terapis, atau pengasuh. Sehingga sangat mudah menjadi korban kekerasan. - Perempuan dengan disabilitas intelektual umumnya memiliki informasi yang lebih terbatas tentang seksualitas, kekerasan seksual, dan strategi keselamatan diri. Informasi tersebut tidak diajarkan baik di sekolah maupun di rumah. - Umumnya, masyarakat tidak menganggap perempuan dengan disabilitas memiliki hasrat, perasaan dan kebutuhan seksual. Mereka juga sulit menerima bahwa perempuan dengan disabilitas sangat rentan untuk mengalami kekerasan seksual atau di-viktimisasi/ dikorbankan. - Perempuan dengan disabilitas yang tidak cukup memahami situasi dan mengontrol hasrat seksual yang mereka miliki, dimana hal tersebut memang terjadi karena hambatan disabilitasnya akan dianggap merepotkan keluarga, dan menambah beban pada saat mereka hamil, melahirkan anak dan tidak mampu mengurus anak-anaknya. Sehingga mereka dipaksa untuk melakukan aborsi ataupun sterilisasi paksa, yang seringkali juga menyakitkan bagi mereka. - Pada disabilitas Mental Intelektual, pola dan kerentanan kekerasan semakin komplek, karena terkait dengan gangguan kejiwaan, serta gangguan perkembangan. - Kondisi kerentanan pada perempuan disabilitas akan semakin besar, jika mereka mengalami disabilitas ganda.
68
Diskriminasi terhadap disabilitas: Penurunan DA dari Pesawat Etihad Airlines Kasus penurunan terhadap DA, penyandang disabilitas pengguna kursi roda yang terjadi tanggal 3 April 2016 denga pesawat Etihad, nomer penerbangan EY471 dengan rute penerbangan JakartaSwiss dengan alasan dianggap tidak mampu untuk menyelamatkan diri dan tidak ada pendamping yang menemani. Tindakan ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, dimana dalam Permen Perhubungan Nomor 61 Tahun 2016, tidak ada ketentuan maskapai bisa mengeluarkan penyandang difabilitas dari pesawat meski tidak disertai pendamping28. Situasi ini tentu merupakan sebuah bentuk diskriminasi pada penyandang disabilitas khusunya perempuan disabilitas, dimana seperti yang tertuang dalam UU No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas dalam pasal 19 point a “memperoleh Akomodasi yang Layak dalam Pelayanan Publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa Diskriminasi”. Merujuk pasal tersebut tentu saja tindakan yang dilakukan oleh maskapi tentu saja sudah melanggara UU tersebut dan negara melalui pemerintah harus bertindak tergas atas kasus tersebut. Komnas Perempuan meminta kepada pemerintah yaitu Kementerian Perhubungan untuk membuat aturan yang tergas terkait layanan umum khususnya transportasi yang ramah bagi penyandang disabilitas, Khususnya Perempuan supaya tidak ada lagi kejadian serupa yang dialami oleh penyadang disabilitas dan juga dapat mendukung mereka dalam melakukan aksesibilitas. PENGUSIRAN GAFATAR Stigma Sesat Dan Dampak Lanjutan Pengusiran Gafatar Pengusiran Paksa (Force Eviction) terhadap pengungsi Gafatar di Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Akibat pengusiran paksa, kelompok Gafatar kehilangan hak-hak dasarnya sebagai manusia dan sebagai warga negara. Mereka kehilangan hak kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaan yang mereka yakini, hak untuk berpendapat dan berekpresi, hak untuk berserikat, hak untuk mengembangkan diri, hak bebas dari ancaman, diskriminasi dan kekerasan, sebagaimana mereka kehilangan hak bebas untuk, bertempat tinggal, kehilangan lahan-lahan pertanian, pekerjaan, kehidupan dan penghidupan yang layak, rasa aman, pendidikan, jaminan kesehatan, hak atas kewarganegaraan dan hak-hak dasar lainnya. Dampak buruk lainnya adalah mereka mengalami penolakan dari warga daerah asal, trauma, tidak diterima sebagai warga dengan tidak diberikan atau dipersulit untuk mengurusi kartu tanda penduduk dan label negatif sebagai manusia sesat. Hasil pemantauan Komnas perempuan dan laporan korban pengusiran menyingkapkan bahwa fakta-fakta di atas benar-benar terjadi serta mereka alami dan rasakan. Selain itu Komnas Perempuan secara khusus melihat pelanggaran HAM berbasis gender. Akibat pengusiran Paksa, terdapat ibu hamil yang melahirkan secara prematur, karena ketiadaan prosedur khusus bagi Ibu dan anak. Padahal seharusnya aparat negara memberi perlindungan dan keamanan bagi perempuan dan anak dari rasa takut dan trauma pasca pengusiran. Perlakuan khusus pada Ibu dan anak saat di pengungsian dan perjalan kembali ke wilayah awal mereka tinggal juga tidak dilakukan oleh negara. Dampaknya, perempuan mengalami depresi karena ketiadaan rasa aman, ketakutan, dan tertekan karena hilangnya harta benda yang telah mereka jual sebagai modal 28
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/04/19/072033626/Ombudsman.Kemenhub.Abaikan.Kasus.D wi.Aryani.vs.Etihad.Airways 69
membangun kehidupan baru di Kalimatan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan pemiskinan baru, dan merenggut keberdayaan mereka. Pasca pengusiran paksa, Negara tidak memberi pengakuan. Alih-alih memberikan atas jumlah kerugian yang diderita orang kelompok Gafatar karena pengusiran tersebut. Sekalipun negara menyelamatkan beberapa aset kelompok Gafatar, namun tidak ada itikad baik negara untuk mengembalikannya. Negara juga alpa melakukan penyelidikan atas pengusiran tersebut, baik motif dan pola kekerasan yang dilakukan oleh penduduk secara massif.
PELANGGARAN HAM MASA LALU Pelanggaran Hak Berkumpul Korban 65 dan menguatnya Stigma Komunis di Masyarakat Sepanjang tahun 2016, Kekerasan dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu dengan bentuk pelarangan, pembubaran paksa dan inditimidasi terhadap masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan publik kembali terjadi. Pada tahun 2015, baik publik maupun korban dan pendamping korban mengalami bentuk kekerasan yang serupa. Berdasarkan data safenetvoice.org, pada tahun 2016 terdapat 21 kasus pelarangan, pembubaran dan intimidasi kegiatan bertemakan konteks pelanggaran HAM masa lalu khususnya untuk isu 65 dengan tuduhan komunisme. Pelarangan dan intimidasi ini menguat pada saat pra dan paska putusan International People Tribunal (IPT) 65 di Den Haag oleh Ketua Hakim IPT 65, Zak Yacoob, pada 20 Juli 2016. Zak Yacoob dalam putusannya tersebut menyatakan bahwa pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab pada 10 tindak kejahatan HAM berat. Salah satu diantaranya adalah tindak kejahatan kekerasan kekerasan seksual yang dialami para tahanan politik perempuan yang dipenjarakan tanpa melalui proses peradilan. Dakwaan kekerasan seksual ini sejalan dengan temuan Komnas Perempuan tahun 2007 tentang "Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965" merekomendasikan bahwa terdapat 122 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam Peristiwa 1965, khususnya kekerasan yang menimpa perempuan korban yang aktif atau dituduh aktif dalam Gerwani maupun organisasi organisasi lainnya, menunjukkan pelanggaran berulang (pembunuhan, penangkapan, penyiksaan seksual, dan perkosaan) di wilayah yang luas, yang menunjukkan kepada adanya sebuah pola kejahatan. Misalnya, korban dari wilayah-wilayah yang berbeda melaporkan metode kekerasan dalam bentuk penelanjangan dengan alasan mencari "cap palu-arit," perkosaan dalam tahanan, dan serangan terhadap alat-alat reproduksi perempuan dalam proses interogasi. Temuan Komnas Perempuan ini didokumentasikan dari 122 kesaksian yang diterima dan dipelajari, maupun dari pengaduan yang diterima langsung. Komnas Perempuan dapat menyimpulkan adanya indikasi kuat bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dialami perempuan berkaitan dengan Peristiwa 1965 telah memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Sembilan tindak kejahatan lainnya yakni pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain dan genosida.
70
PEREMPUAN DAN PEMIS KINAN Buruh Migran Perempuan, Hukuman Mati, Narkoba dan Perdagangan Manusia Tahun 2016 Indonesia kembali melaksanakan eksekusi mati tahap 3 (tiga). Pada eksekusi kali ketiga 14 orang masuk dalam daftar. Semuanya terlibat dalam kejahatan narkoba. Salah satu terpidana mati bernama MU, perempuan pekerja migran yang pernah bekerja di Taiwan. Kampanye publik yang menentang eksekusi mati gencar dilakukan oleh berbagai kalangan. Mereka mendukung upaya hukum yang dilakukan oleh pendamping dan kuasa hukum para terpidana mati dan meminta pembatalan/penangguhan eksekusi mati. Beberapa tokoh yang menentang hukuman mati seperti Habibie, Franz Magnis-Suseno dan tokoh-tokoh lainnya. Namun, pada saat yang sama dukungan pelaksanaan hukuman mati juga sangat kuat. Dari 14 (empat belas) orang terpidana mati yang masuk dalam daftar, akhirnya hanya 4 orang yang dieksekusi mati. 10 (sepuluh) orang selamat dan mendapat penangguhan eksekusi dengan alasan yuridis dan non-yuridis atas kasusnya yang belum diselesaikan. MU termasuk dalam daftar yang mendapat penangguhan eksekusi. Kasus yang dialami oleh MU dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan kasus MJV, pekerja migran Filipina yang terancam hukuman mati dan selamat dari eksekusi tahun 2015 lalu. MU merupakan pekerja migran Indonesia yang bekerja di Taiwan, direkrut oleh sindikat kejahatan narkoba melalui “perangkap” relasi personal dengan modus tipu daya hubungan asmara, serta janji kawin. Kejanggalan kasus MU yang serupa dengan dengan MJV yaitu: Tidak didampingi oleh penasehat hukum yang memadai, mengalami penyiksaan baik kekerasan fisik maupun seksual saat pemeriksaan, tidak menguasai dakwaan yang ditujukan padanya, mengalami kesalahan dakwaan sebagai pemiilik dan penyelundup narkoba, padahal MU hanya kurir yang tidak tahu apa-apa dan direkrut melalui modus perdagangan manusia. MU adalah korban perdagangan manusia yang dikriminalkan dan bahkan dipidana mati. Temuan yang terkait dengan irisan kasus perdagangan manusia beririsan dengan kasus perdagangan narkoba makin bertambah pada tahun ini. Berdasarkan pemantauan terhadap terpidana mati perempuan di Indonesia dan pekerja migran yang terancam mati di luar negeri serta dan pengaduan kasus yang masuk, terpidana mati perempuan yang terkait dengan kasus narkoba direkrut dengan modus perdagangan manusia dan dieksploitasi untuk tujuan menyelundupkan narkoba tanpa sepengetahuan dan persetujuan mereka. Masalah utamanya, tujuan eksploitasi tersebut belum dikenali dalam perundang-undangan dan hukum yang terkait dengan perdagangan manusia, baik undang-undang nomor 21 tahun 2007 tetang Tindak Pidana Perdagangan Orang maupun dalam Instrumen internasional Protokol Palermo tentang kejahatan luar biasa perdagangan perempuan dan anak. Sehingga alur peristiwa dan pengalaman perempuan yang melatarbelakangi ia terlibat dalam sindikasi narkoba tidak dilihat dan diperhitungkan dalam proses hukum. Hukuman Mati di Luar Negeri Mengancam Pekerja Migran Indonesia Berdasarkan data Kementrian Luar Negeri, hingga Desember 2016 terdapat 177 orang warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri dengan berbagai tuntutan hukum atas tindak pidana yang dilakukan, antara lain pembunuhan, narkoba, penculikan, sihir, zina dan kepemilikan senjata api.
71
Tabel 1 : Jumlah Pekerja Migran yang terancam hukuman mati di luar negeri Negara Perempuan Laki-Laki Total Kerajaan Arab Saudi 15 5 20 Malaysia 45 85 130 RRT 10 9 19 Uni Emirat Arab 4 4 Singapura 2 2 Laos 1 1 Total 77 100 177 Pemerintah Indonesia melakukan upaya pembebasan sejumlah pekerja migran dari hukuman mati melalui berbagai upaya baik pemberian bantuan hukum, diplomasi antar negara, langkah politis, dan negosiasi bilateral. Pada level internasional pemerintah Indonesia memiliki reputasi yang baik sebagai negara yang memberikan perlindungan dan bantuan hukum pada warga negaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri. Namun pada saat yang sama melakukan eksekusi mati di dalam negeri. Sikap ini menunjukkan standar ganda pemerintah terhadap pelaksanaan hukuman mati. Standar ganda ini dikuatkan lagi dengan sikap pemerintah pada forum PBB menganai hukuman mati. Setelah sebelumnya menentang resolusi yang menyerukan negara anggota PBB untuk “Menerapkan moratorium eksekusi dengan tujuan menghapuskan hukuman mati”, akhirnya pada tahun 2012 dan 2014 Pemerintah Indonesia abstain dalam pengambilan suara dalam sidang Majelis Umum PBB mengenai Resolusi Moratorium Penggunaan Hukuman Mati. Namun, pada 17 November 2016 dalam sidang Majelis Umum PBB, hal yang sama juga dilakukan Indonesia abstain dalam perhitungan 2016. 115 negara menolak hukuman mati, 38 setuju dan dan 31 abstain. Indonesia berada dalam 31 negara yang tidak menolak dan tidak menerima Resolusi mengenai Moratorium Hukuman Mati. Abstain dalam pengambilan suara tetapi tetap menjalankan praktek eksekusi hukuman mati. Pembunuhan Dua Orang Pekerja Migran di Hong Kong Hong Kong yang selama ini dianggap sebagai negara tujuan kerja yang cukup aman karena kasuskasus kekerasan terhadap pekerja migran jarang terungkap di media dikagetkan dengan adanya kasus kematian 2 orang pekerja migran asal Indonesia pada akhir tahun 2014. Dua orang perempuan pekerja migran asal Indonesia dibunuh secara sadis oleh Rurik Jutting, seorang warganegara Inggris yang tinggal di Hong Kong. Sebelum di bunuh keduanya diperkosa berkalikali dan disiksa dengan sadis. Dua korban berinisial SN dan SM ditemukan di apartemen mewah yang ditinggali RJ. Tubuh SN ditemukan dalam keadaan membusuk dalam sebuah koper. Sedangkan tubuh SM di ruang tengah apartemen. Pelaku bertemu dengan kedua korban dan membujuk korban dengan sejumlah uang sehingga mereka mau ke apartemen RJ. Setelah melakukan pembunuhan tersebut, pelaku tetap merasa tidak bersalah bahkan sempat merekam aksinya dan menunjukkan jenasah SM dalam rekamannya. Dalam pembelaanya, pelaku menyatakan telah memakai kokain saat peristiwa tersebut terjadi. 8 November 2016, Pengadilan Tinggi Hong Kong menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada RJ namun saat ini RJ mengajukan banding untuk dapat dipindahkan ke negaranya. Hukuman seumur hidup merupakan hukuman terberat bagi pelaku kejahatan di Hong Kong.
72
Dalam kasus ini, media setempat bahkan media di Indonesia mengatakan bahwa korban bekerja sebagai PSK. Media tidak melihat bahwa keduanya adalah pekerja migran yang bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya. SN adalah orangtua tunggal dari seorang anak yang pada saat kematiaanya berusia 5 tahun. SN menikah pada saat usia 18 tahun dan saat mengandung beberapa bulan suaminya meninggalkannya. Walaupun nampak sebagai negara tujuan kerja yang aman namun pada kenyataanya praktek over charging/potongan gaji sampai 7 bulan kerja dan eksploitasi bagi pekerja migran tetap terjadi ditambah karena bekerja di area domestic menyebabkan perlindungan bagi mereka semakin sulit. Walau ada himbauan dari pemerintah Hongkong untuk memberi libur sehari setiap minggu namun hal ini cukup sulit didapat karena tidak semua pekerja migran mendapatkan informasi tersebut terlebih bagi pekerja migran yang masih baru pertama kali bekerja dan mengalami kesulitan bahasa. Kematian Tidak Wajar: Kasus Pekerja Migran di NTT Tahun 2016, 2 orang pekerja migran Indonesia yaitu Dolfina Abuk (30 tahun) dan Yulfrida Selan (19 tahun) yang bekerja di Malaysia dipulangkan ke keluarganya setelah ditemukan tewas di rumah majikan mereka. Dolfina ditemukan tewas di biliknya oleh majikannya dan Yulfrida ditemukan tewas gantung diri. Saat jenazahnya diterima oleh keluarganya, tubuh kedua jenazah penuh jahitan dan diduga ada pencurian organ. Ketika keluarga Dofina membuka jenasah Dolfina, mereka menemukan lingkar leher bagian depan terpotong dan terjahit, demikian pula bagian kepala belakang di atas leher belakang (tengkuk), di ubun-ubun kepala ada jahitan melingkar, jahitan dari bagian leher turun ke dada, terus ke perut hingga pangkal kemaluan. Diduga isi dalam tubuh dikeluarkan semuanya, lidah korban tidak ada lagi. Sedang pada jenasah Yulfrida Selan ditemukan sejumlah jahitan pada tubuhnya. Terdapat kesamaan pada kedua korban yang diduga korban trafficking ini yaitu bahwa keduanya berasal dari keluarga miskin, identitas kedua korban dipalsukan dan keberangkatan mereka tidak sesuai prosedur bahkan Yulfrida Selan sebenarnya dinyatakan hilang oleh keluarganya. Dolfina Abuk (30 tahun) diberangkatkan tidak sesuai prosedur dimana namanya dinyatakan tidak tercatat sebagai pekerja migran oleh BP3TKI. Sidang pertama 3 orang perekrut Dolfina di PN Kefamenanu dengan tuduhan melanggar UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dilakukan tanggal 12 Oktober 2016 sedangkan sidang pertama kasus Yulfrida Selan telah dilaksanakan tanggal 25 Januari 2017 terhadap 4 orang perekrut Yulfrida Selan. Mereka didakwa dengan Pasal 4 dan Pasal 102 (1)A Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Tenaga Kerja. Sidang lanjutan kasus Yulfrida Selan akan dilaksanakan tanggal 31 Januari 2017 di PN Kupang. Kasus kematian tidak wajar ternyata tidak hanya terjadi pada Dolfina Abuk dan Yulfrida Selan melainkan ada sejumlah kematian lain yang juga menimpa pekerja migran NTT yang bekerja di Malaysia yaitu 3 TKI asal NTT dilaporkan kembali meninggal di Malaysia dalam kurun waktu yang berdekatan. Satu dinyatakan mati karena tenggelam, satu gantung diri, dan satu belum diketahui penyebabnya. Ketiganya masing-masing Dorlince Boymau dan Winda Tefa asal Timor Tengah Selatan, serta Yolanda Alida Seran dari Belu. Pada 26 Agustus 2016, seorang kawan dari JBMI Hong Kong mengirimkan kabar NTT kembali mendapat “kado” peti mati buruh migran bernama Romelus Mengi Lena (31 tahun), asal Kabupaten Sabu Raijua, yang meninggal di Malaysia pada 20 Agustus 2016. Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah baik pusat dan daerah untuk segera memutuskan mata rantai mafia perdagangan orang di NTT. Penerapan UU P TPPO ternyata tidak bisa dilaksanakan pada semua kasus seperti halnya kasus Dolfina, para pelaku 73
disidang dengan menggunakan UU PTPPO, namun pada kasus Yulfrida Selan para pelaku dituduh melanggar pasal dalam UU No. 39 ahun 2004 yang sanksinya tentu lebih rendah apabila memakai UU PTPPO. Konflik SDA Hak Warga Olak-Olak dan Arogansi Korporasi Warga desa Olak-olak, Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, mengalami peristiwa pemukulan dan penangkapan dalam aksi tanggal 23 Juli 2016. Warga menuntut dilaksanakannya eksekusi putusan pengadilan tentang pembatalan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sintang Raya serta pengembalian lahan perkebunan warga yang disengketakan. Sejak tahun 2007, warga desa Olak-olak telah menguasai dan mengelola lahan seluas 801 H di desa Olak-olak, yang dikerjasamakan dengan PT. Cipta Tumbuh Berkembang. Tahun 2009, terjadi konflik antara PT. Cipta Tumbuh Berkembang dengan PT. Sintang Raya, dimana PT Sintang Raya mengklaim bahwa lahan tersebut masuk ke dalam HGU-nya. PT. Sintang Raya adalah perusahaan perkebunan yang memiliki sertifikat HGU No. 04/2009 tanggal 5 Juni 2009, yang dalam petanya tidak termasuk lahan seluas 801 H yang dikuasai dan dikelola oleh warga desa Olak-olak. Untuk memperjelas HGU PT. Sintang Raya, warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Pontianak. Melalui putusan pengadilan menetapkan pembatalan sertifikat HGU PT Sintang Raya. Putusan ini dikuatkan pula oleh putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dan putusan Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak PT. Sintang Raya juga telah ditolak oleh Mahkamah Agung. Komnas Perempuan memandang ada indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kepolisian yang mewakili kepentingan perusahaan PT. Sintang Raya yang secara hukum, bahkan telah inkracht (berkekuatan hukum tetap), tidak memegang HGU terhadap lahan yang disengketakan. Untuk itu penting melihat perampasan lahan oleh korporasi merupakan akar masalah dalam perkara ini. Oleh karenanya sengketa ini bukan merupakan tindak pidana. Proses pidana, penangkapan dan penahanan, yang dialami oleh warga merupakan tindakan menyalahgunakan kewenangan dan tidak berdasar. Komnas Perempuan menemukan fakta bahwa dalam setiap konflik sumber daya alam perempuan menjadi korban karena menjadi bagian dari warga yang mempertahankan tanahnya sebagai penghidupan. Tiap jengkal tanah memiliki nilai spiritual. Dan tanah adalah penyedia makanan, kesehatan, keamanan dan budaya masyarakat. Penggusuran Dan Pengabaian Hak Dasar warga Perempuan Dalam Pusaran Konflik Tata Ruang: Penggusuran Kali Jodo, Bukit Duri, Ciliwung, dan Bongkaran Tanah Abang s Pelapor Khusus PBB untuk Hunian Layak hadir ke Indonesia atas undangan Pemerintah RI tahun 2013. Dalam temuannya: Indonesia alami over populasi dan urbanisasi, tempat tinggal yang cenderung informal dan proporsinya cukup tinggi, perubahan iklim yang akut dan bencana alam yang tinggi harus menjadi perhatian serius Indonesia untuk memikirkan hunian layak bagi penduduknya. Dan merekomendasikan kebijakan perumahan harus integral dengan koordinasi antar kementerian dan crosscutting isu termasuk tenure security (keamanan hak milik tanah), dan terakses bagi masyarakat rentan. 74
Dalam pemantauannya, Komnas Perempuan menemukenali adanya kekerasan berbasis gender dalam kebijakan tata ruang di DKI Jakarta. Penggusuran Kali Jodo, Bukit Duri, Ciliwung dan Bongkaran Tanah Abang merupakan cerminan tata kota yang mengeluarkan perempuan sebagai elemen masyarakat. Penghargaan pemerintah pada proses konsultasi yang mewajibkan partisipasi aktif perempuan tak terejawantahkan. Padahal konflik, penggusuran dan rumah tidak layak memicu kekerasan berlapis: KDRT meningkat, potensi kekerasan seksual tinggi, dan rentan trafiking. Konsep bangunan rusun yang dibangun secara vertical rentan karena: 1) akses perempuan pada mata pencaharian yang bertumpu pada komunalisme, menyulitkan perempuan untuk tetap bekerja. Beban perempuan bertambah karena harus mengurus lansia dan anak secara individual yang dahulu bisa saling titip 2) retaknya rantai sosial sebagai penumpu masyarakat rentan yang biasanya meringankan perempuan. 3) Akses kepemilikan perempuan terganjal konsep ownership/kepemilikan yang masih patriarkal dan patrilineal. Perhatian khusus pada penggusuran Kali Jodo dan Bongkaran Tanah Abang, Komnas Perempuan merasa penting Pemerintah memberikan pemulihan pasca penggusuran terutama bagi yang mengalami HIV/AIDS dan IMS. Pemerintah sejatinya mengedepankan prinsip kerahasiaan dan perlindungan pada perempuan yang dilacurkan (pyla) yang berada di kawasan tersebut. Juga menghindari pemulangan ke kampung asal tanpa seijin pyla yang bersangkutan, dan menyiapkan skema reintegrasi tanpa stigmatisasi. Disamping itu, Pemerintah juga harus memberi rehabilitasi sosial bagi korban ‘salah tangkap’ dan skema untuk memutus ketergantungan pada germo atau mafia-mafia yang mengekploitasi. Perempuan Adat dan Konflik Sumberdaya Alam: Kasus Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Komnas Perempuan melakukan pemantauan terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya perempuan yang bermukim di pegunungan Kendeng sejak tahun 2014. Sebagai penjaga budaya, mereka bergerak dan berpikir maju untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dengan mempertahankan sumber air di pegunungan Kendeng. Komnas Perempuan meyakini bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terindikasi dalam pemantauan hak Ekosob perempuan adat di Pegunungan Kendeng merupakan pelanggaran HAM. Dimana sekelompok masyarakat adat sedulur sikep memiliki nilai kultural yang mereka yakini. Keyakinan perempuan adat menjaga bumi pertiwi sungguh merupakan upaya menjauhkan bencana ekologis dikemudian hari dan upaya merawat bumi yang telah memberi kehidupan. Jika melihat kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak Ekosob perempuan adat di Pegunungan Kendeng, maka kita melihat bagaimana a) air dan spiritualitas perempuan menjadi sebuah konektifitas yang sewajarnya dirawat. Dalam bahasa Karren J. Warren alam dan isinya yaitu air dan perempuan merupakan unjustified dominated group29. Penting untuk dilindungi untuk sustainable ecologies. Perempuan-perempuan di Pegunungan Kendeng, mengidentifikasi potensi air yang disimpan di gunung karts akan hancur. Padahal petani bergantung pada air untuk kepentingan pertanian masyarakat b) Hilangnya pengetahuan asli perempuan; diantaranya pengetahuan tanaman obat yang diidentifikasi setidaknya 52 jenis sebagai apotik masyarakat yang lambat laun dikhawatirkan akan punah. c) Lemahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan; d) Perempuan mengalami kerumitan ekonomi e) potensi pekerja migran perempuan meningkat e) Politik Identitas: stigma pada perempuan anti pembangunan pabrik semen. 29
Karren J Warren, Ecofemnist Philosophy: western perspective on what it is and why it matters, USA: Cambridge, 2002 75
ISU DAERAH Aceh Pembatasan Kerja bagi Waria Pada tanggal 7 Maret 2016, Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireuen melalui surat nomor 451.48/149/2016 memberitahukan kepada seluruh pemilik salon/rumah kecantikan di Kabupaten Bireuen agar tidak mempekerjakan waria di salon/rumah kecantikan mereka. Larangan ini menyebabkan sejumlah waria terancam kehilangan pekerjaan. Komnas Perempuan menyampaikan keberatannya (melalui surat Nomor 072/KNAKTP/Pimpinan/III/2016 tanggal 23 Maret 2016) atas larangan tersebut dan meminta Kepala Dinas Syariat Islam Propinsi Aceh untuk memerintahkan Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireuen mencabut Surat Pemberitahuan tersebut, direspon oleh kementerian dalam negeri yang meminta bupati bireun melakukan evaluasi atas surat dinas syariat Islam Kabupaten Bierun April 2016. Keberatan Komnas Perempuan didasarkan pada pertimbangan: a. Sebagaimana penduduk Aceh lainnya, komunitas waria di Aceh memiliki hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, dilindungi harkat dan martabatnya sebagai manusia, dan tidak dikriminalkan atas identitas dan ekspresi gender yang dipilihnya, sebagaimana yang telah dijamin dalam Konstitusi Negara RI Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28 A,D,E dan I, dan juga Pasal 227 Ayat (1) UU Pemerintahan Aceh; b. Rata-rata waria berpendidikan rendah dengan keahlian dan peluang kerja yang terbatas, sementara pada saat bersamaan mereka juga harus menghidupi diri dan keluarganya. Tindakan pemerintah membatasi akses waria terhadap pekerjaan, dapat dilihat sebagai upaya pemiskinan. Menanggapi surat Komnas Perempuan, pada tanggal 22 April 2016 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengirimkan surat kepada Gubernur Aceh dengan nomor 188.34/1511/SJ, Prihal Klarifikasi Surat Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireuen. Mendagri meminta Gubernur Aceh untuk mengingatkan Kepala Dinas Syariat Islam Bireuen tentang potensi pelanggaran yang terjadi akibat diterbitkannya Surat Pemberitahuan. Komnas Perempuan mengapresiasi respon dari Mendagri tersebut, meski menyayangkan perintah yang diberikan kepada Gubernur Aceh bukan meminta Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireuen untuk mencabut Surat Pemberitahuan. Dalam perkembangannya, larangan ini kemudian diberlakukan lagi oleh Plt. Bupati Bireuen melalui surat dengan nomor dan perihal yang sama, dikeluarkan pada tanggal 24 November 2016. Pemulihan Korban Intoleransi Singkil yang Terabaikan Paska kerusuhan di Kabupaten Aceh Singkil yang menyebabkan tewasnya seorang warga dari komunitas muslim dan dibakarnya sebuah gereja oleh massa, serta mengungsinya sejumlah warga dari komunitas kristen ke Sumatera Utara, Komnas Perempuan melakukan pemantauan ke wilayah tersebut. Pemantauan ini dilakukan, selain untuk mendapatkan temuan mengenai peristiwa kerusuhan dan pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa tersebut, juga untuk mengetahui inisiatif yang dikembangkan pemerintah daerah untuk pemulihan korban, terutama perempuan dan anak-anak.
76
Dari kunjungan pertamanya pada 28 September-1 Oktober 2015, Komnas Perempuan menemukan sejumlah perempuan mengalami trauma akibat kerusuhan tersebut dan merasa takut dan was-was kerusuhan akan kembali berulang. Mereka juga menyampaikan kesedihan atas pembongkaran 10 gereja oleh pemerintah daerah setempat, sekembalinya mereka dari pengungsian. Mereka juga mencemaskan masa depan pendidikan agama bagi anak-anak mereka, yang kini tidak bisa lagi dilakukan. Selama ini pendidikan agama dilakukan melalui Sekolah Minggu di gereja-gereja yang dibongkar tersebut, karena di sekolah tempat anak-anak mereka belajar tidak tersedia Guru Agama selain untuk agama Islam. Paska kunjungan pertama ini, Komnas Perempuan telah merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Singkil untuk mengembangkan program-program pemulihan paska kerusuhan, terutama bagi perempuan dan anak-anak, dan juga program-program untuk mendorong terjadinya rekonsiliasi di tingkatan masyarakat. Namun sayangnya hingga menjelang 1 tahun berakhirnya kerusuhan, Pemerintah Daerah hanya berfokus pada persoalan pendirian rumah ibadah (yang hingga saat ini juga belum ada penyelesaian), sementara rekonsiliasi dan pemulihan bagi korban tidak kunjung dilakukan. Ketika Komnas Perempuan kembali lagi ke Aceh Singkil pada… 2016, Komnas Perempuan bertemu dengan ibu dari korban yang tertembak dalam kerusuhan, yang masih dalam keadaan sangat trauma karena kehilangan anaknya. Komnas Perempuan juga bertemu dengan perempuan-perempuan Jemaat Gereja HKI yang dibakar, yang ingin merayakan 1 tahun kerusuhan di atas puing gereja yang terbakar karena cara itu dianggap dapat membantu pemulihan mereka, namun dilarang oleh pemerintah setempat. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bagi Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Eksekusi Cambuk bagi Pelaku dan Korban Perkosaan Komnas Perempuan sejak awal pendiriannya concern terhadap berbagai pelanggaran dan kekerasan yang terjadi di Aceh, termasuk konflik semasa operasi militer diberlakukan. Komitmen Pemerintah Aceh untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM direspon dengan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh pada 2016. Komnas Perempuan mengapsresiasi langkah tersebut dengan melakukan loby kepada pemerintah Aceh dan legislatif Aceh untuk segera melantik komisioner yang sempat tertunda selama beberapa bulan dan akhirnya dilantik pada November 2016, bersama jejaring masyarakat sipil di Aceh dan Jakarta merancang desain kerja guna mendukung jalannya KKR Aceh, dukungan data KtP di Aceh, dukungan media kampanye, dan (akan) mengembangkan sejumlah perangkat kerja komisi terkait pemulihan perempuan korban seperti pengembangan sistem pemulihan bagi perempuan korban kekerasan dan perlindungan saksi dan korban kekerasan seksual (akan bekerjasama dengan LPSK). Momentum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh setelah 10 tahun pemberlakuan UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, penerapan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, yang pada tahun 2016 ini merupakan tahun pertama pemberlakuannya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh yang dimandatkan oleh UU No. 11 Tahun 2006 untuk dibentuk 1 tahun setelah UU Nomor 11 Tahun 2006 diberlakukan, baru direalisasikan 8 tahun kemudian melalui pengesahan Qanun Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Pada tahun 2016, Pemerintah Aceh membentuk komisi dengan menetapkan 7 Komisoner terpilih, yang akan menjalankan fungsi diantaranya pengungkapan kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. Pembentukan KKR Aceh ini akan menjadi peluang bagi masyarakat korban kekerasan dalam konflik bersenjata yang berlangsung hampir 2 dasawarsa di Aceh, untuk mengupayakan kembali pemenuhan hak-hak mereka atas 77
kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan atas ketidakberulangan. Termasuk dalam hal ini tentunya, hak-hak perempuan korban kekerasan seksual pada masa konflik bersenjata, baik pada masa operasi militer maupun setelahnya. Dalam 1 tahun pemberlakuan Qanun Jinayat (selama tahun 2016), diketahui setidaknya 60 kali eksekusi cambuk telah dilakukan, yang tersebar di 4 Kabupaten/Kota, yaitu Banda Aceh, Aceh Tamiang, Aceh Tengah dan Aceh Selatan. Seluruh terhukum cambuk adalah anggota masyarakat, dengan bentuk pelanggaran judi dan bermesraan di luar ikatan perkawinan. Kasus yang sempat menyita perhatian adalah eksekusi cambuk yang diterapkan kepada seorang perempuan non muslim, yang seharusnya kepadanya hukuman cambuk tidak tidak bisa diberlakukan. Rata-rata proses peradilan terhadap pelanggaran Qanun Jinayat berlangsung cepat, sehingga penting untuk memastikan proses peradilan yang fair terhadap para pelanggar Qanun Jinayat, termasuk dalam hal ini akses mereka terhadap bantuan hukum. Dari 60 eksekusi cambuk yang telah dilakukan selama tahun 2016, dua diantaranya dijatuhkan terhadap pelaku perkosaan. Masing-masingnya, 150 kali cambukan (perkosaan terhadap anak), dan 160 kali cambukan (perkosaan terhadap perempuan dewasa). Kedua eksekusi cambuk yang terjadi di Aceh Selatan ini, terpaksa ditangguhkan karena luka cambuk di punggung kedua terpidana sudah cukup parah, setelah masing-masingnya menjalani hukuman cambuk sebanyak 100 dan 125 kali (Pikiran Merdeka, 13 Agustus 2016). Bentuk hukuman yang bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1998 ini, dibiarkan terus berlangsung tanpa ada upaya untuk menghentikannya dari Pemerintah Pusat. Hal lain yang patut mendapat perhatian dari pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelaku perkosaan ini adalah, keamanan dan perlindungan korban paska pelaku selesai menjalani hukuman cambuk. Karena pelaku akan dibebaskan dari tahanan, jika eksekusi cambuk sudah selesai dilaksanakan, dan itu semua bisa berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Papua Kerentanan Perempuan dalam Upaya Perdamaian di Paniai Komnas Perempuan tahun 2016 menerima pengaduan dari Pansus Kemanusiaan DPR Papua Barat atas Kasus Sanggeng, Manokwari, Papua Barat. Dugaan pelanggaran HAM yang terjadi tanggal 26 Oktober 2016 malam diawali dengan adanya peristiwa penganiayaan, penikaman yang dilakukan oleh 5 orang yang tidak dikenal terhadap VP (19 tahun) yang pada malam hari sesaat sebelum kejadian membeli nasi kuning di sebuah warung nasi di Jalan Yos Sudarso, Manokwari, tetapi uangnya tidak cukup untuk membayar. Tempat kejadian penganiayaan tidak jauh dari pos pengamanan polisi. Saat orang yang dicurigai sebagai pelaku penikaman VP itu sudah diserahkan pada pihak keamanan yang berjaga namun pihak kepolisian membebaskan orang yang dicurigai tersebut. Hal ini ini memicu kemarahan massa, dan massa membakar 6 buah motor patroli polisi. Kejadian ini membuat massa semakin bertambah dan polisi kemudian melakukan tindakan pengamanan dengan menggunakan senjata dengan peluru hampa, peluru karet, dan peluru tajam serta water canon. Tindakan pengamanan dengan penembakan tersebut mengakibatkan ada 8 (delapan) orang yang mengalami luka termasuk VP korban penikaman, serta penyiksaan oleh 5 orang tak dikenal. OR (40 tahun) salah seorang korban luka tembak tersebut meninggal dunia beberapa saat setelah tertembak. Dua orang korban penembakan yakni VP, dan EI terpaksa dibawa ke Jakarta untuk operasi dan pengobatan luka yang cukup parah di beberapa bagian tubuh akibat penembakan. Stigma terhadap orang Papua yang bersifat politik (distigma sebagai OPM) maupun yang rasis (rambut keriting, hitam, dll) masih banyak ditemukan. Ketiadaan rehabilitasi relasi sosial antar komunitas dan pembiaran stigma membuat kekerasan akibat konflik antar komunitas terus berlanjut. Seperti yang terjadi di Manokwari tanggal 22, 26 dan 27 Oktober 2016 antara komunitas 78
Makasar dan Komunitas Papua di kampung Sanggeng, Kabupaten Manokwari. Konflik disana berulang, selalu diselesaikan oleh aparat kepolisian dengan mengedepankan pendekatan keamanan. Menurut informasi pendamping korban konflik antar komunitas Papua dan komunitas Makasar di Manokwari bukanlah terjadi untuk pertama kalinya melainkan sudah terjadi berulang kali sejak tahun 1969, sebelum kejadian 26 Oktober juga terjadi tahun 2013. Dalam beberapa kejadian tersebut ada korban jiwa. Masyarakat Sanggeng yang adalah orang asli Papua (tinggal di 18 RT berkisar 3000 jiwa) mengalami stigma yang bernuansa rasis. Setiap terjadi konflik tidak pernah mendapat penyelesaian yang tuntas dari aparat keamanan /penegak hukum. Justru yang terjadi pihak keamanan melakukan kekerasan pada saat melakukan penyisiran ke rumah-rumah terjadi pemukulan dan penangkapan sewenang-wenang pada warga Sanggeng. Setiap kali terjadi konflik, pemerintah daerah Papua maupun pemerintah nasional tidak memberikan upaya pemulihan bagi korban baik pemulihan phisik, psikis maupun pemulihan relasi antar komunitas yang berkonflik. Pada kejadian tanggal 27 Oktober 2017, polisi pada malam hari saat listrik padam melakukan pengeledahan rumah-rumah komunitas Papua, penganianyaan dan penembakan. Ini semua menyisakan trauma yang mendalam bagi komunitas korban khususnya perempuan dan anak Papua.
KEMAJUAN DAN HAMBATA N DALAM PENANGANAN DAN PENCEGAHAN Kebijakan Perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Tantangan Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah rancangan kebijakan yang diharapkan mampu mewujudkan tanggung jawab negara untuk melindungi korban kekerasan seksual, termasuk dari beragam bentuk kekerasan seksual yang selama ini belum dikenali oleh peraturan perundangundangan.30 Atas desakan dari berbagai pihak, tak terkecuali Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, RUU ini akhirnya tercatat dalam daftar RUU Prolegnas Prioritas 2016. RUU ini menempati urutan ke-41 dari 57. Dorongan ini tidak lepas dari desakan gerakan perempuan yang menyuarakan keprihatinan terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpa YY di Bengkulu pada bulan April 2016. Keprihatinan itu disambut oleh sejumlah anggota DPR RI yang pada bulan Mei 2016 menyuarakan agar RUU ini segera masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016. Pada tahun yang sama, Komite III DPD RI juga memberikan perhatian terhadap RUU ini dengan membentuk tim ahli bersama Komnas Perempuan untuk merampungkan penyusunan draft Naskah Akademik dan RUU ini. Namun demikian, sekalipun RUU ini masuk dalam daftar RUU Prolegnas Prioritas 2016, Pembahasan Tingkat I atas RUU tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, pada bulan Oktober 2016, sejumlah anggota parlemen menyampaikan desakan kepada Badan Legislasi DPR RI agar RUU ini segera dibahas. Hingga akhirnya dalam Daftar Prolegnas Prioritas 2017, RUU ini kembali tercatat dalam daftar dengan menempati nomor 23 dari 49. Dukungan Publik pada Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekekerasan Seksual RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memuat bentuk-bentuk kekerasan seksual serta perlindungan terhadap hak korban yang belum diatur oleh KUHP, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lihat Komnas Perempuan, Kekhususan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Jakarta: Komnas Perempuan, Agustus 2016. 79 30
Pasca kasus kekerasan seksual (gang rape) dan pembunuhan pada YY, anak perempuan di Bengkulu, pada April 2016 diangkat oleh media massa, dukungan terhadap Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual menguat tajam. Bila sebelumnya, Rancangan UndangUndang ini “hanya” berada pada Program Legislasi Nasional (prolegnas) tambahan 2016, maka setelah kasus tersebut, Rancangan Undang-Undang ini ditetapkan sebagai prioritas nomor satu dalam prolegnas 2016. Penetapan ini tidak dapat dipisahkan dari menguatnya dukungan publik yang marah atas peristiwa keji tersebut. Dukungan mengalir melalui sejumlah aksi solidaritas di berbagai daerah, penggalangan petisi daring (online) maupun luring (offline). Gerakan Save Our Sisters (SOS) mengadakan aksi menyalakan tanda bahaya di depan Istana Negara untuk mengingatkan akan adanya ancaman kekerasan seksual. Aksi solidaritas juga mengalir dari daerah ke daerah. Ribuan orang menyalakan lilin sebagai simbol solidaritas untuk YY di Bengkulu, Jombang, Makassar dan daerah-daerah lainnya. Penggalangan dukungan melalui petisi daring (online) di platform Change.org yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia meraih lebih dari 80.000 tanda tangan dukungan dari masyarakat. Petisi tersebut juga sekaligus mencatatkan diri ke dalam lima besar petisi yang paling banyak mendapat dukungan dari masyarakat di Change.org Indonesia tahun 2016. Untuk petisi luring (offline), Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual bergerilya dari kampus ke kampus untuk menggalangan dukungan terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Selama 2016, tercatat lebih dari empat ribu tanda tangan dukungan telah dikumpulkan. Untuk 2017, sepuluh ribu tanda tangan ditargetkan untuk dibawa ke DPR sebagai tanda dukungan dari masyarkat terhadap pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Semua dukungan ini menandakan bahwa pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak dapat ditawar lagi. DPR harus secepatnya membahas dan menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai komitmen Negara dalam melindungi warganya dari ancaman kekerasan seksual. Penetapan Hutan Adat oleh Presiden Jokowi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo selaku pemerintah Indonesia menetapkan 8 hutan adat dan 1 alokasi hutan adat yang disampaikan pada tanggal 30 Desember 2016 lalu. Pengakuan kepemilikan hutan adat terhadap masyarakat tradisional merupakan bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai asli dan jati diri Indonesia. Masyarakat hukum adat sejak dulu sudah tahu dan bisa menjaga harmoni, hidup manusia dengan alam, dan berdasar kearifan lokal dengan tujuan pelestarian lingkungan31. Ini merupakan terobosan luar biasa dari Negara yang selama ini lebih memfokuskan pada investasi lokal dan asing dengan memberikan perijinan dan konsesi pada industri ekstraktif dan perkebunan dalam skala luas. Dan pemberian izin konsesi ini dapat menyebabkan degradasi lingkungan dalam jangka panjang, itu berarti mendegradasi sumber penghidupan Masyarakat Hukum Adat (MHA) 31
http://news.okezone.com/read/2016/12/30/337/1579140/jokowi-serahkan-sk-penetapan-hutan-adatkepada-9-masyarakat-tradisional
80
pada hutan karena 100% kehidupan mereka bergantung di alam. Juga sekaligus menjawab rekomendasi lembaga HAM Negara dan Organisasi Masyarakat Sipil untuk mengakui Kesatuankesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayahnya. Tahun 2014 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dengan sejumlah lembaga termasuk Komnas Perempuan menggelar Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawsan Hutan. Inkuiri Nasional adalah suatu pemantauan terhadap masalah hak asasi manusia yang sistematis dimana masyarakat umum diundang untuk berpartisipasi dalam menyikapi Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 No. 35/PUU-X/2012. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini biasa disebut pula MK 35 yang menetapkan hutan adat bukan hutan negara. Di dalam rekomendasinya, Inkuri Adat ini mendesak Pemerintah Republik Indonesia menata ulang seluruh kebijakan, hukum, politik, keamanan. Perlu dilakukan dengan berbasis kepada perlindungan hak-hak MHA termasuk hak-hak perempuan adat. Pengesahan Undang Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Tahun 2016 ini merupakan salah satu memontum penting bagi penyadang disabilitas setalah hampir 4 tahun pemerintah telah meratifikansi CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), akhirnya di tahun 2016 ini pemerintah mengesahkan UU Penyadang Disabilitas guna perlindungan hak bagi penyandang disabilitas. Komnas Perempuan mengapresiasi hal tersebut, disisi lain kehadiran UU tersebut belum mampu untuk memberikan perlindungan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan. Dimana dalam UU tersebut belum ada mekanisme perlindungan jika perempuan disabilitas menjadi korban kekerasan, walaupun di dalam UU tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa perempuan dan anak disabilitas rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi berlapis. Selain itu juga menganai legal capacity (cakap hukum) dalam UU tersebut, penyandang disabilitas belum sepenuhnya dianggap sebagai orang yang cakap hukum, hal ini tentu saja bertenangan dengan CRPD yang menganggap semua penyandang disabilitas sebagai orang yang cakap hukum. Tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh khususnya bagi perempuan disabilitas korban kekerasan, situasi ini tentu saja akan berdampak pada proses hukum yang dijalani oleh perempuan disabilitas. Selain itu pengaturan mengenai panti dan juga resonable accomodation yang hanya di atur dalam Peraturan Presiden. Untuk itu Komnas Perempuan meminta kepada pemerintah, dalam menyusun peraturan turunan dari UU tersebut harus memperhatikan kebutuhan perempuan disbilitas dan juga membuat mekanisme tambahan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan yang belum masuk ke dalam UU tersebut. Pendidikan penghayat: Permendikbud No. 27 Tahun 2016 Setelah adanya beberapa kasus yang menimpa anak-anak penghayat kepercayaan dalam dunia pendidikan akibat kebijakan pemerintah yang belum mengakomodir pendidikan agama untuk anak-anak Penghayat sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015 tentang Panduan Penilaian Siswa. Pada akhir Agustus 2016, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan 81
Kebudayaan No. 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan. Komnas Perempuan mengapresiasi atas Permendagri sebagai payung hukum untuk mendapatkan pendidikan agama bagi anak-anak Penghayat Kepercayaan sesuai dengan keyakinannya. Permendikbud ini berisikan 5 pasal di dalamnya, namun Komnas Perempuan menemukan sejumlah persoalan yang musti dikawal dalam implementasinya. Misalnya: Pertama, siapakah pendidik untuk pendidikan penghayat ini? Permendikbud ini belum menjawab soal itu hanya menyerahkannya kepada pihak guru agama di sekolah. Kalau ini belum jelas, akan menimbulkan persoalan baru nantinya, anak-anak diajarkan oleh guru yang tidak paham keyakinan dan persoalan yang dialami anak-anak penghayat. sehingga akan ada intimidasi model baru oleh guru2 agama yang bukan bidangnya. Kedua, dalam pasal 2 ayat 3 disebutkan bahwa pembuatan kurikulum pendidikan penghayat ini diserahkan pada Majlis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) kemudian diserahkan kepada kementrian untuk ditetapkan. MLKI ini ditegaskan dalam pasal 3 yaitu yang sudah berorganisasi dan sudah terdaftar sesuai dengan PUU. Ini akan menimbulkan persoalan baru karena dalam MLKI ini banyak diperankan oleh orang-orang yang secara administrasi kependudukan ikut salah satu dari 6 agama namun mereka masih melaksanakan ritual. Kekhawatiran tidak mengakomodir nilai-nilai yang diyakini oleh siswa2 penghayat sesuai dengan keyakinannya karena masing-masing daerah mempunyai beragam kepercayaan dari penghayat kepercayaan dan tidak semua mempunyai keterwakilan di MLKI karena mereka memilih tidak berorganisasi. Ketiga, akan ada banyak pengaduan dari daerah karena tidak ada ajaran agama penghayat di sekolah. Komnas Perempuan akan mengawal sejumlah persoalan di atas. Salah satu yang sudah dan akan dilakukan dengan melakukan diskusi dengan pihak MLKI dan akan dialog langsung dengan bagian kurikulum serta direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian pendidikan dan Kebudayaan. Upaya Non Diskriminasi dalam Memulihkan Hak Konstitusional Perempuan dalam Perkawinan Campur IF mengalami diskriminasi karena menikah dengan seorang laki-laki berkewarganegaraan Jepang. Diskriminasi IF berupa penolakan dari pengembang berupa pembatalan surat pesanan pembelian rumah susun. Penolakan ini berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), (3), (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Surat penolakan pembelian dari Pengembang dikuatkan oleh Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 04/CONS/2014/PN.JKT. Tim, tertanggal 12 November 2014, bahwa tanpa perjanjian kawin maka dapat berakibat batalnya Surat Pesanan sebagai akibat dari tidak terpenuhinya syarat obyektif sahnya suatu perjanjian, atau hilangnya hak IF untuk memiliki Hak Milik dan Hak Guna Bangunan atas rumah susun yang telah dibeli dengan lunas. IF merasa terampas hak-hak konstitusionalnya. Pengajuan permohonan uji materiil diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada 11 Mei 201532 melalui Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015. Mahkamah Konstitusi dalam menyatakan bahwa Pasal 29 ayat (1), (3) dan (4) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai: (1) Pada waktu, sebelum 32
Perkara 69/PUU/XIII/2015, Mahkamah Konstitusi, 27 Oktober 2016. 82
dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan, (4) dan selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga. Berdasarkan putusan MK tersebut telah memberikan memperluas perjanjian perkawinan baik bagi setiap WNI yang menikah baik dengan WNI atau WNI yang menikah dengan WNA untuk dapat membuat perjanjian perkawinan, tidak harus dibuat sebelum atau saat perkawinan, tetapi juga bisa dibuat selama ikatan perkawinan berlangsung untuk mengatur pemisahan harta dengan pasangannya sesuai dengan kesepakatan bersama, dan sesuai kebutuhan hukum masing-masing pasangan suami-istri. Sehingga kesetaraan haruslah mulai dibangun sebelum perkawinan guna menjamin pihak istri tetap mendapatkan haknya. Pencanangan Kawasan Pabrik Bebas Pelecehan Seksual di KBN Cakung Dalam pembukaan peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25/11/16), Komite Perempuan yang terdiri dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Federasi Sektor Umum Indonesia(FSUI), LBH Jakarta dan Perempuan Mahardhika berhasil mendorong Direksi PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung untuk mengupayakan kawasan pabrik bebas dari pelecehan seksual. Bertempat di Gerbang Utama PT. KBN Cakung, Pencanangan Kawasan Pabrik Bebas Pelecehan Seksual resmi diluncurkan sebagai langkah pencegahan dan penanganan pekerja perempuan menghadapi kasus kekerasan seksual terutama pelecehan seksual di tempat kerja. Hasil survei yang dilakukan FBLP menyatakan bahwa selama setahun terakhir ada 25 korban kekerasan seksual di 15 pabrik. Bentuk kekerasan seksual paling paling besar adalah pelecehan seksual dengan siulan, ditowel, diremas-remas, dipeluk, dan dicium33. Komnas Perempuan turut hadir dalam pelucuran tersebut dan mendukung upaya Komite Perempuan ini dalam mendorong perusahaan untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap pekerja terutama pekerja perempuan yang rentan kekerasan dan diskriminasi. Terlebih upaya menghapus kekerasan seksual ini juga telah diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja 03/2011. #GerakBersama Akhiri Kekerasan Seksual Komnas Perempuan bersama sejumlah mitra jejaring kampanye yang tergabung dalam Joint Task Force #GerakBersama meluncurkan Tanda Pagar (Tagar) #GerakBersama di media sosial, sebagai ajakan bagi seluruh masyarakat untuk bergerak bersama mengakhiri kekerasan seksual. Pesan ini diluncurkan bersamaan dengan dimulainya Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKtP) tahun 2016, yang dimulai setiap 25 November. Pesan kunci yang diangkat adalah dengar dan dukung korban, #GerakBersama mendukung Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual!
33
www.beritasatu.com dan www.kabarburuh.com 83
Pesan ini ditujukkan secara khusus untuk mendorong komitmen parlemen untuk secepatnya membahas, dan menetapkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang saat ini belum juga dimulai pembahasannya. Padahal, naskah akademik, rancangan undang-undang, dan penjelasan telah diserahkan oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Juni 2016, yang langsung diterima oleh Fahri Hamzah, wakil ketua DPR RI. Tagar #GerakBersama mendapat banyak respon positif dari masyarakat. Ada lebih dari dua ribu unggahan, baik itu tulisan, foto maupun video dukungan terhadap kampanye ini yang menggunakan tagar #GerakBersama di Twitter dan Instagram. Tagar tersebut juga berhasil menjangkau lebih dari dua juta impresi. Tagar #GerakBersama juga berhasil menjadi masuk ke dalam sepuluh besar topik yang paling dibicarakan di Indonesia pada 26 November 2016, saat diselenggarakannya acara Telling Untold Stories. Telling Untold Stories merupakan kegiatan kampanye yang diselenggarakan oleh Joint Task Force #GerakBersama. Acara ini menghadirkan narasi-narasi korban yang selama ini tidak pernah diperdengarkan ke publik. Hadir pula sejumlah public figure yang bercerita tentang mengapa penting bagi kita semua untuk ikut ambil bagian dalam gerak bersama ini. Selain tagar, website #GerakBersama juga diluncurkan sebagai wadah yang berisi segala hal tentang kampanye ini, mulai dari info kampanye, cara mendukung, sampai progres Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual. Website tersebut dapat diakses di www.gerakbersama.org Hambatan Respon Kekerasan Seksual menjadi Perpu Kebiri Meningkatnya kasus kekerasan seksual, terutama pada anak, menjadikan Komnas Perlindungan Anak mendeklarasikan tahun 2013 sebagai tahun darurat kekerasan seksual, namun saat itu belum ada respon dari pihak pemerintah untuk menangani masalah kekerasan seksual secara serius. Isu kekerasan seksual, terutama pada anak, kembali mengemuka pada tahun 2016 dengan terjadinya dua kasus perkosaan yang sadis (kasus YY dan Eno), yang dilakukan oleh lebih dari satu pelaku dan korbannya sampai meninggal. Maraknya pemberitaan media tentang kedua kasus ini diresponi secara reaktif oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) No. 1/2016 pada hari Rabu 25 Mei 2016. Perppu ini terkenal dengan Perppu Kebiri karena di dalamnya memuat pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak dengan hukuman mati dan kebiri. Perppu ini kemudian disahkan menjadi Undang-undag oleh DPR pada hari Rabu 12 Oktober 2016. Komnas Perempuan mengutuk semua tindak kejahatan seksual terhadap perempuan, namun tidak setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati dan kebiri dengan berbagai alas an di antaranya: (1)Pidana kebiri belum terbukti mampu mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual, bahkan sejumlah negara di Eropa yang pernah menerapkan bentuk hukuman ini kini tidak lagi memberlakukan. Dalam konteks Indonesia, pemberlakuan hukuman kebiri ini dikhawatirkan akan membuat pelaku kekerasan seksual menggunakan berbagai cara agar terhindar dari proses hukum, termasuk menyuburkan praktek jual beli hukuman, dan semakin menjauhkan korban dari akses keadilan dan pemulihan; (2) pidana kebiri membutuhkan biaya yang cukup mahal. Untuk 1 kali kebiri kimiawi (penyuntikan hormon) membutuhkan biaya sekitar Rp700.000 (tujuh ratus ribu rupiah), dengan masa efektif suntikan hanya selama 3 bulan. Sementara hingga saat ini belum ada anggaran visum et repertum bagi korban kekerasan seksual pada instansi terkait sehingga biaya ini 84
masih dibebankan kepada korban. Seharusnya biaya kebiri dapat dialihkan menjadi biaya visum, sebagai wujud perlindungan Negara terhadap korban kekerasan seksual; (3) Pidana kebiri jika tetap dipaksakan untuk diterapkan terancam tidak dapat dilaksanakan karena Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman ini dengan pertimbangan bahwa melakukan kebiri merupakan tindakan yang melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia serta dipandang bertentangan dengan peri kemanusiaan; (4) hukuman mati dan kebiri merupakan bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan sehingga bertentangan dengan Convention Against Torture (CAT) yang sudah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Pelanggaran HAM Masa Lalu: Belum Ada Kebijakan Signifikan Tahun 2016 bulan April, Kemenkopolhukam menggelar Simposium 65 yang mengundang para korban dan sejumlah tokoh dan akademisi berkaitan dengan sejarah peristiwa 1965. Sidarto Danusubroto, penasihat panitia simposium 1965 yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden menyatakan tragedi 1965 telah menyebabkan pembunuhan dalam jumlah besar, belasan ribu orang dipenjara, dibuang, disiksa, tanpa proses pengadilan atau diberi kesempatan pembelaan diri. Namun dalam waktu berikutnya telah diadakan “simposium tandingan” pada bulan Mei 2016 yang menolak Simposium 65, dan telah diakomodasi oleh pemerintah yang menurut mereka perlu menjadi pertimbangan. Sampai hari ini belum ada hasil rekomendasi resmi yang disampaikan kepada publik dari Simposium tersebut. Berbagai opini lalu menjadi wacana baru bahwa situasi politik menjadikan rekomendasi tertunda. Penundaan tersebut mengakibatkan Negara belum mengeluarkan kebijakan apapun berkaitan dengan kesaksian korban dan penelitian para ahli sejarah tentang kejahatan masa lalu. Negara Belum Membuat Laporan CEDAW Komnas Perempuan sebagai mekanisme HAM Nasional/NHRI berperan strategis untuk membangun komunikasi dan kerjasama sinergis lintas institusi secara efektif dan berkelanjutan untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Salah satu bentuk kerja sinergis adalah dalam hal memberikan rekomendasi kepada negara, melalui pelaporan tentang implementasi instrumen hak asasi manusia, salah satunya adalah CEDAW. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita atau Konvensi CEDAW telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Salah satu konsekuensi ratifikasi CEDAW adalah negara perlu memastikan dihapuskannya segala praktek diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu negara juga wajib menyusun laporan pencapaian dan tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan CEDAW. Laporan disusun setiap empat tahun sekali dan pada tahun 2016, tenggat waktu pelaporan adalah pada bulan Juli 2016. Namun hingga Maret 2017 laporan tersebut belum diterima oleh Komite CEDAW dan masih dalam proses drafting. Sebagai wujud pelaksanaan tugas nomor 4, yaitu memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan untuk penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan, Komnas Perempuan sebagai mekanisme HAM Nasional/ NHRI ikut berkontribusi dalam bentuk mengirimkan Laporan Independen terhadap implementasi 85
CEDAW, perkembangan kondisi pemenuhan HAM di Indonesia dan pelaksanaan rekomendasi UPR. Laporan Independent Komnas Perempuan kepada Komite CEDAW dikirimkan pada tanggal 31 Desember 2016. Sampai saat dikirimkannya laporan CEDAW Komnas Perempuan, Pemerintah Indonesia belum mengirimkan laporan State Party-nya, sehingga laporan yang dibuat oleh Komnas Perempuan bukan merupakan shadow report terhadap laporan state party Indonesia. Materi laporan independen Komnas Perempuan kepada Komite CEDAW berisi apresiasi terhadap kemajuan di bidang HAM, concern perkembangan situasi berdasarkan list of issue, menginformasikan hasil pemantauan juga sekaligus menyampaikan rekomendasi terhadap negara. Komnas Perempuan dalam pembuatan laporan-laporannya dilakukan dengan metode konsultasi nasional dengan para mitra, utamanya organisasi perempuan dan perempuan korban. Metode ini sekaligus mengkonsolidasikan organisasi masyarakat sipil dalam mengadvokasi mekanisme HAM internasional. Mitra yang dilibatkan merupakan perwakilan dari berbagai isu dan wilayah (isu minoritas agama dan kepercayaan, minoritas seksualitas, daerah konflik, konflik sumber daya alam, disabilitas, dan lain-lain). Minimnya Pencalonan Paslon Perempuan dalam Pilkada Representasi politik perempuan terejawantahkan melalui gerakan afirmasi. Indonesia mencatat, kelompok perempuan berhasil mendorong gerakan afirmasi melalui kuota 30% yang dituangkan dalam kebijakan tahun 2003. Sejak saat itu, inisiatif kelompok perempuan untuk menciptakan kepemimpinan politik perempuan semakin baik prosesnya. Lahir berbagai organisasi untuk mendorong gerakan ini, tujuannya mengarahkan sumber daya politik ke tujuan keadilan34. Apalagi kondisi ini menjadi prasyarat bagi Indonesia yang tunduk pada konstitusi UUD 1945, serta perundang-undangan lainnya seperti UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UU RI No. 7 tahun 1984 tentang CEDAW. Tiga belas tahun berlalu sejak kemenangan gerakan afirmasi tersebut, realitas representasi politik perempuan belumlah membaik. Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) secara serentak tanggal 15 Perbruari 2017 mencatat, hanya 43 (6,7%) perempuan ikut berpartisipasi, 24 orang di antaranya akan menjadi calon kepala daerah dan 19 orang menjadi wakil35. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota akan menyelenggarakan Pilkada36. Komnas Perempuan berpendapat, data di atas menggambarkan bahwa partisipasi politik perempuan dalam pengambilan kebijakan di negeri ini masih rendah dan belum signifikan dibanding dengan target minimal 30% representasi perempuan dalam ruang politik sebagaimana dimandatkan dalam paket Undang-undang politik. Hambatan lainnya, perempuan berhadapan dengan anggapan masyarakat bahwa jabatan/kekuasaan politik itu ranah laki-laki, partai politik sebagai “hulu politik” belum melakukan langkah-langkah secara khusus pada perempuan yang bersiap sebagai calon kepala daerah. Dan yang terpenting modal ekonomi untuk pembiayaan Pilkada.37 34
Catatan Jurnal Perempuan dalam Jurnal Perempuan Vol. 17 No. 4, Desember 2012, “perempuan pejabat publik”. 35 http://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-komnas-perempuan-jadikan-pemilihan-kepala-daerahpilkada-yang-damai-dan-menghormati-hak-asasi-perempuan-jakarta-10-februari-2017/ 36 Ibid 37 Ibid 86
ADVOKASI INTERNASIONAL Masukan Komnas Perempuan tentang SDGs (Sustainable Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Setelah 15 tahun MDGs (millennium Development Goals) berakhir tahun 2015 lalu, PBB mengevaluasi bahwa paradigma MDGs yang berfokus pada manusia, direformasi agar lebih komprehensif. Perubahan paradigmatik pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals SDGs) adalah selain melanjutkan MDGs, juga menambahkan aspek no one left behind, right based, memastikan pembangunan yang tidak eksploitatif, merawat keseimbangan planet dan perdamaian global. Kesamaan keduanya bertujuan memecahkan masalah-masalah global seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, ketimpangan gender, kelestarian lingkungan. Deklarasi SDGs ditandatangani oleh 193 negara anggota PBB - termasuk Indonesia -pada tanggal 25 September 2015, SDGs terdiri dari 17 goals dan 169 target, Adapun program SDGs dilaksanakan selama periode 2016-2030, terdiri dari 17 tujuan meliputi area kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, sanitasi, permukiman, energi, pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, perubahan iklim, sumber daya alam dan kemitraan global. Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) memberi masukan tentang indikator penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam skema MDGs di Indonesia dan memastikan bahwa no one left behind tersebut betul-betul dijalankan negara, termasuk memastikan pemenuhan hak kelompok rentan seperti perempuan, anak perempuan, kelompok disabilitas, penyandang HIV, kelompok minoritas dan pengakuan keberagaman, termasuk penghayat, agama dan kelompok dengan keberagaman gender dan identitas, Lansia, masyarakat adat (indigenous people), pengungsi, orang yang terusir di negerinya sendiri (IDPs- internally displaced persons), migran dan mereka yang terkena dampak konflik/terorisme. Dalam dokumen SDGs ini Komnas Perempuan memberi masukan pada zero draft of ministerial declaration tersebut, antara lain memastikan paradigma kunci digunakan, seperti terminology human rights, violence against women, peace dan semua kelompok rentan dimasukkan dalam pembahasan SDGs, juga meaningfull participation untuk gerakan perempuan. Pemenuhan hak ekonomi, social dan budaya juga patut diperhitungkan sebab hak Ekosob inilah yang menjadi fondasi pemenuhan hak lainnya, tanpa ini semua, kelompok rentan tidak akan bisa menikmati manfaat pembangunan dan SDGs akan sulit diwujudkan. Konvensi Anti Perdagangan Manusia ASEAN (ACTIP) Salah satu kemajuan proteksi hak asasi manusia khususnya perempuan dan anak di level regional adalah lahirnya konvensi ASEAN untuk Perdagangan Manusia (Asean Convention Against Trafficking in Persons Especially Women and Children/ACTIP) yang lahir pada tahun 2015. Konvensi ini merupakan upaya negara-negara ASEAN terkait dengan pencegahan, penanganan, perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi para korban perdagangan orang dan praktik kerjasama regional untuk memajukan pemberantasan perdagangan orang dengan pendekatan hak asasi manusia. Sebagaimana diketahui bahwa negara-negara ASEAN menjadi tempat transit dan sekaligus tujuan 87
dari mafia perdagangan orang untuk tujuan penyelundupan dan perdagangan narkoba, industri seks, bisnis organ tubuh, dan perbudakan kerja (slave labour). Dalam konvensi ini ditekankan tentang pentingnya melihat perempuan dan anak sebagai kelompok yang paling rentan dan berpotensi menjadi korban utama dari berbagai modus operandi perdagangan orang. Perempuan dan anakanak yang menjadi korban trafficking memiliki hak-hak fundamental yang harus dipenuhi menurut konvensi regional maupun hukum internasional yang relevan. Komnas Perempuan selama ini aktif mendorong Indonesia agar segera memproses ratifikasi konvensi ACTIP ini. Ratifikasi perlu segera dilakukan karena akan memberikan peran legally binding (mengikat secara hukum) terhadap konvensi yang telah disepakati ASEAN. Komnas Perempuan juga bekerjasama dengan mekanisme HAM regional, AICHR dan ACWC, untuk memperkuat National Action Plan dan Regional Action Plan untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari kejahatan perdagangan orang. Terbitnya laporan Dampak Hukuman Mati terhadap Pekerja Migran dan keluarganya Sebagai bentuk konkrit komitmen Komnas Perempuan dalam upaya penghapusan hukuman mati, dua tahun terakhir Komnas Perempuan melakukan pemantauan mengenai dampak hukuman mati terhadap Perempuan Pekerja Migran dan Keluarganya. Pemantauan ini bertujuan untuk mengumpulkan fakta tentang situasi yang dialami oleh perempuan pekerja migran yang terancam hukuman mati dan keluarganya. Selain itu, pemantuan ini juga menelisik bagaimana ssituasi pemenuhan dan pelanggaran HAM yang dialami oleh mereka, baik pola dan bentuk serta kekerasan berbasis gender yang dihadapi. Terhadap temuan-temuan yang didapat Komnas Perempuan melakukan analisis berbasis HAM dan gender. Tiga belas (13) Perempuan Pekerja Migran Terpidana Mati dan Keluarganya menjadi narasumber dalam pemantauan ini. Mereka terlibat tindak pidana pembunuhan di Arab Saudi dan kejahatan narkoba di Indonesia dan China. Sejumlah temuan dan kesimpulan dari pemantauan tersebut yaitu: 1) Kekerasan berbasis gender yang berkelit-kelindan dengan isu pemiskinan yang menghantarkan pekerja migran bekerja hingga menjadi terpidana mati. Kelas dan identitas Perempuan Pekerja Migran yang berada pada lapis paling bawah dan lemah merentankan mereka berhadapan dengan hukuman mati. 2) Kekerasan berbasis gender yang dialami pekerja migran berlapis dan berkait, mulai dari menjadi korban KDRT, lari bermigrasi untuk menyelamatkan keluarga dari kemiskinan, proses transit yang rentan jadi sasaran ekploitasi sindikat perdagangan orang dan narkoba, dan berakhir bekerja di ranah domestik yang penuh kejahatan tertutup dan tak terjangkau perlindungan negara. 3) Perempuan Pekerja Migran Terpidana Mati melakukan tindak pidana lantaran pembelaan diri dari serangan seksual, mereka melakukan agresi karena situasi represif dan eksploitatif di luar batas dan daya kendalinya. Mereka juga korban dari situasi kerja di ranah domestik yang bercorak "serupa tahanan", dimana penyiksaan, pencerabutan kebebasan dan isolasi terjadi. 4) Perempuan pekerja migran terpidana mati adalah korban kecerobohan negara menempatkan pekerja migran ke negara-negara yang beresiko tinggi mengancam keamanan dan nyawa, karena minimnya perlindungan dan kesadaran hak asasi manusia di negara tujuan kerja. Selain itu regulasi dan kebijakan perlindungan pekerja migran di dalam negeri yang buruk. 5) Perempuan Pekerja Migran Terpidana Mati adalah korban pelanggaran hak atas Fair Trail. Mereka terlambat dan tidak optimal mendapat pendampingan hukum, terlambat tertangani karena tidak ada notifikasi sejak dini, diproses hukum tanpa menimbang sebagai korban perdagangan orang atau korban kekerasan seksual maupun korban dari praktik perbudakan modern. 88
6)
Hukuman mati bukan hanya menghilangkan hak hidup yang seharusnya dilindungi negara, namun juga kejam karena selama proses menuju ke sana terjadi penyiksaan fisik, psikis, dan seksual. Penderitaan dan kekejaman dialami oleh mereka selama proses hukum maupun penantian, hingga alami puncak ketakutan karena kematian yang terjadwal dan cara kematian yang sadis yang harus dijalani. 7) Hukuman mati bukan hanya menghukum satu orang yang dianggap bersalah, tetapi juga menghukum anggota keluarga dengan siksa fisik dan psikis. 8) Hukuman mati yang dialami oleh perempuan pekerja migran juga berdampak secara sosial & ekonomi, yaitu : kemiskinan baru karena hilangnya sumber penghidupan & terkurasnya sumberdaya ekonomi keluarga untuk penyelamatan. Terganggunya relasi dan kehidupan sosial seperti isolasi dan menarik diri akibat konflik dan kecemburuan sosial yang disebabkan oleh politik sumbangan. 9) Hukuman mati terhadap Perempuan pekerja migran merenggut akses dan pemenuhan hak sipil politik dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana tercantum di dalam Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran & Anggota Keluarganya yang sudah diratifikasi dengan UU nomor 12 tahun 2012 tentang pengesahan International Convention on The Protection of The Rights All Migrant Workers and Member of Their Families, 10) Upaya pemerintah dalam pemenuhan hak atas pemulihan kepada Perempuan pekerja migran terpidana mati dan anggota keluarganya masih kurang optimal, baik pada mereka yang menanti ekseskusi, lolos dari eksekusi dan dieksekusi.
89
KESIMPULAN DAN REKOM ENDASI Kesimpulan 1. Ranah dan Pola Kekerasan a) Ranah dan pola kekerasan yang paling konstan tertinggi dari tahun ke tahun adalah KDRT terhadap istri. Pola yang sama tetapi berbeda jenis adalah kekerasan dalam pacaran, sebuah relasi yang tidak diikat dalam perkawinan tetapi relasi kuasa dan pola kekerasannya tidak jauh berbeda dengan perkawinan. Kekerasan dalam pacaran tidak memiliki payung hukum karena diluar KDRT dan cenderung menyasar pada remaja. Disisi lain, dari kasus-kasus yang muncul, perempuanlah yang paling banyak membawa atau melaporkan sendiri kasusnya atau berinisiatif mengajukan perceraian (cerai gugat) sebagai upaya terakhir keluar dari lingkaran kekerasan yang dialaminya. b) Pelaku kekerasan paling serius adalah orang-orang dekat, baik dalam konteks KDRT, incest dan berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya. Impunitas pelaku semakin menyubur karena sejumlah hal: 1). penyelesaian kekerasan terutama KDRT diputus dengan perceraian untuk meminimalisir kompleksitas hukum dan dampak sosial karena pemidanaan suami. 2). Impunitas pada kasus kekerasan seksual yang muncul dan beragam, namun tidak dipayungi dengan hukum yang mampu menjerat pelaku karena berbagai bentuknya, hanya 3 dari 15 bentuk kekerasan seksual yang diatur oleh Undang-undang yang ada , 3). Pelaku adalah orang yang berpengaruh karena punya modal sosial, politik, finansial, spiritual, dll, dan memainkan kekuatan tersebut untuk melindungi dari jeratan sanksi hukum. 4). Pelaku adalah adalah anak, padahal bagi korban, siapapun pelaku adalah sama. c) Femicide/femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena dia perempuan, adalah isu serius yang menjadi perhatian dunia namun masih minim menjadi perhatian Indonesia. Setidaknya terlihat dari pendataan yang masih menyederhanakan isu femisida sebagai kriminal biasa. Tidak digalinya dimensi kekerasan berbasis gender serta minimnya pelaporan femisida ke lembaga layanan karena korban sudah meninggal. Dari data yang diolah, menunjukkan bahwa femicida adalah kekejian yang luar biasa baik dari motif pembunuhannya, pola pembunuhannya hingga dampak pada keluarganya. d) Pola kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks, beragam pola dan tingkat kekerasannya, serta lebih cepat dari kemampuan Negara untuk merespon. Salah satunya adalah kekerasan dan kejahatan cyber yang semakin rumit pola kasus kekerasannya, dari pembunuhan karakter, pelecehan seksual melalui serangan di dunia maya yang dirasakan dan berdampak langsung dan berjangka panjang pada korban, terkadang pelaku sulit dideteksi, namun respon dan perlindungan hukum belum cukup memadai, karena disederhanakan menjadi ranah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). e) Kerentanan kelompok dengan keragaman orientasi dan ekspresi seksual semakin tinggi, dan ruang ekpresi semakin menyempit, hingga mencerabut hak dasar mereka atas akses penghidupan karena dilarang bekerja (larangan waria bekerja di Salon), akses kesehatan dan hak dasar lainnya. f) Diskriminasi dan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas perempuan semakin muncul ke permukaan, karena mulai menggeliatnya upaya untuk memasukkan layanan disabilitas pada lembaga-lembaga layanan. Kekerasan seksual pada perempuan dengan disabilitas terjadi karena asumsi bahwa disabilitas adalah makhluk a-seksual atau menstigma bahwa disabilitas (terutama disabilitas intelektual) memiliki kebutuhan seksual yang berlebih, sehingga melanggengkan praktek kekerasan seksual yang terjadi pada mereka.
90
2.
Kebijakan Negara yang mengukuhkan Kekerasan Terhadap Perempuan a) Kebijakan memberikan dispensasi perkawinan adalah ruang penyuburan dan pelanggengan perkawinan anak. Praktik perkawinan anak berkontribusi pada angka kekerasan terhadap perempuan. Putusan Mahkamah Konsitusi memandang perkawinan . sebagai hak semua orang, termasuk anak , sebaliknya memandang batasan usia kawin berbeda setiap jamannya. Untuk itu memerintahkan Pemerintah yang melakukan perbaikan regulasi. Putusan MK menolak permohonan uji materi untuk menaikkan batas usia perkawinan anak turut mengukuhkan praktik perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak perempuan. b) Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia pada tahun 2016 menguatkan temuan Komnas Perempuan tentang adanya kaitan erat antara kejahatan narkoba, perdagangan manusia dan migrasi. Perempuan pekerja migran merupakan salah satu kelompok yang rentan terlibat dan menjadi korban pada kasus tersebut. Pada sejumlah kasus kejahatan narkoba dimana perempuan sebagai pelaku, narasi dan latar belakang perempuan hingga menghadapi hukuman mati, belum didengar dan diperhitungkan dalam proses penyidikan, penyelidikan dan pengadilan. c) Ketegangan antara kebijakan pembangunan dengan prioritas politik infraktrusktur disatu sisi dengan isu-isu hak asasi semakin menguat karena menyuburnya kebijakan tata bangun dan tata ruang, yang mengakibatkan penggusuran, perluasan perkebunan, pembabatan hutan adat,dll. Dampak serius pada perempuan adalah, terancamnya hak dasar atas penghidupan,air,lingkungan seimbang dan sehat, hak kultural, sumber obat-obatan, dll. d) Komitmen pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu belum menyentuh akar persoalan pemenuhan hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan korban. Bahkan hambatan terbesar adalah dukungan lembaga-lembaga kunci Negara baik kejaksaan maupun institusi keamanan yang masih belum menunjukkan komitmen politiknya pada korban. Selain itu politisasi isu komunisme, rasisme , bahkan pembubaran hak perkumpul semakin menjauhkan upaya penuntasan tersebut. e) Kriminalisasi mengalami peningkatan. Kriminalisasi pada perempuan korban KDRT oleh suami atau mantan suami juga harus menjadi perhatian Negara, antara lain pelaporan balik suami padahal isteri yang seharusnya jadi korban lebih awal, tuduhan pencurian ATM suami padahal untuk menghidupi anak-anaknya, tuduhan pemalsuan dokumen karena mengkoreksi identitas suami dalam kartu keluarga karena masih berstatus lajang. Kriminalisasi oleh mantan suami juga isu yang penting, selain kekerasan KDRT yang tidak berhenti dengan perceraian, tetapi paska perceraian juga menyisakan kekerasan yang sulit disoal oleh perlindungan hukum lain, karena sudah diluar relasi perkawinan. f) Keterbatasan upaya pemulihan korban. Pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan pada kasus-kasus kekerasan massal seperti korban intoleransi belum menemukan pola pemulihan yang efektif, terutama kasus konflik berbasis agama, termasuk mendorong proses rekonsialisasi di komunitas. Pola penyelesaian masih terbatas pada upaya hukum, padahal kebutuhan korban untuk pemulihan lebih luas untuk memenuhi rasa keadilan.
3.
Layanan, pendataan, peran korban dan publik a) Ada korelasi signifikan antara ketersediaan layanan dengan tingginya data kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan dalam suatu daerah. Tingginya data juga sebagai bentuk tingginya kesadaran untuk menyoal kasus kekerasan yang dialami perempuan, membaiknya pendataan yang mudah diakses dan teridentifikasinya kekerasan. Sisi lain, tidak adanya data pada sejumlah wilayah, tidak selalu menunjukkan bahwa tidak ada kekerasan di wilayah tersebut, tetapi karena persoalan pelaporan dan pendataan yang harus dicermati serius. b) Pola pendataan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan Negara menunjukkan cara pandang dan pensikapan Negara atas kasus-kasus yang ada. Kategorisasi dalam pendataan di pengadilan agama seperti istilah “krisis akhlak, ketidak harmonisan, poligami tidak 91
sehat, dll”, menunjukkan bahwa Negara masih menyamarkan kekerasan terhadap perempuan sebagai penyebab perceraian. Penyamaran tersebut berpotensi pada tidak tertelusurnya penyebab dan akar kekerasan yang sesungguhnya, dan berkontribusi pada impunitas pelaku. c) Data catahu menunjukkan bahwa korban masih cenderung datang ke layanan yang dibuat CSO/LSM yang harus ditelusur lebih jauh penyebabnya. Padahal Negara tengah memperbanyak layanan di berbagai daerah, dimana upaya tersebut harus mengedepankan kwalitas layanan yang ramah pada korban,memastikan petugas yang memahami isu dan prinsip layanan yang memulihkan korban, dibanding upaya-upaya formalisme layanan yang mengedepankan status kelembagaan, fasilitas infrastruktur baik gedung dan mobil. Kendati infrastruktur penting, tetapi korban lebih perlu layanan cepat dan bersahabat. d) Partisipasi dan inisiatif publik semakin meluas dan responsif. Publik menjadi elemen penting pengambil kebijakan yang turut menentukan arah dan respon Negara dalam mensikapi kekerasan terhadap perempuan. e) Meningkatnya angka pengaduan langsung ke Komnas Perempuan menunjukkan kesadaran perempuan korban atau masyarakat yang membutuhkan perlindungan di luar sistem yang tersedia dalam struktur negara dan kondisi penanganan kekerasan terhadap perempuan yang belum membaik atau masih mengalami stagnasi penegakan hukum dan penanganannya. Rekomendasi 1. Negara harus mengupayakan Pendalaman Pengetahuan, Mengenali pola dan pencegahan serta penanganan korban Kekerasan terhadap Perempuan a) Pembunuhan terhadap perempuan dengan basis kekerasan berbasis gender semakin muncul di permukaan, Penegak Hukum dan seluruh lembaga pengada layanan perlu melakukan pendataan khusus untuk keperluan pencegahan, penanganan dan perlindungan yang lebih sistemik dan sistematis. Selain itu untuk memperkuat pengetahuan publik maupun Negara. b) Kekejian pembunuhan terhadap perempuan terjadi di wilayah politik, disertai dengan penaniayaan seksual dan perkosaan, termasuk dalam hal pelanggaran HAM masa lalu yang perlu segera diselesaikan. c) Kekerasan seksual semakin beragam bentuk dan jenisnya. Salah satunya kekerasan berkelompok (geng rape) di masyarakat, diperlukan upaya keras Negara untuk segera mensahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual. 2.
Kewajiban negara dalam Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan Korban a) Optimalisasi pendataan dan penambahan P2TP2A beserta sumberdayanya diseluruh Indonesia, bekerjasama dengan lembaga layanan masyarakat pendamping korban untuk kebutuhan korban mengakses keadilan dan pemulihan. b) Negara perlu memonitoring dan mengevaluasi kembali UU KDRT dengan menggunakan alat monitoring dan evaluasi yang dihasilkan Komnas Perempuan bekerjasama dengan forum pengada layanan dan kementrian terkait karena banyak digunakan pelaku kekerasan untuk mengkriminalkan korban. c) Mendesaknya penghapusan perkawinan anak demi mendahulukan kepentingan hak-hak asasi anak daripada kecurigaan pada anak perempuan atau remaja dalam hal seksual dan menghindar anak dari eksploitasi (perdagangan anak perempuan melalui perkawinan anak). d) Negara perlu memperkuat dukungan kepada lembaga-lembaga pendamping korban dan layanan, agar mudah terakses dan ramah pada korban tak terkecuali di wilayah-wilayah kepulauan, pelosok, juga layanan migran di luar negeri. 92
e) Negara perlu menghormati, mengakui, mendukung dan melindungi perempuan pembela HAM karena mereka yang berada di lini terdepan untuk membela para korban. f) Penghapusan hukuman mati terutama kepada perempuan dalam lingkaran narkoba dan perdagangan manusia karena tipu muslihat, ketidakberdayaan ekonomi dan eksploitasi relasi pribadi. 3.
Kebijakan Negara dalam merespon dan memulihkan hak korban kekerasan komunal a) Pengusiran paksa atas alasan identitas agama dan keyakinan serta pembangunan tidak dapat ditolerir, masyarakat perlu dilindungi dan dipulihkan hak-haknya terutama kehidupan ekonomi, sosial dan budayanya. b) Kebijakan diskriminatif bertambah, dan kebijakan kondusif belum banyak yang dipraktikkan, Negara perlu mempelajari dan mengambil keputusan efektif dan pelaksanaan yang konkrit untuk kepentingan manfaat langsung bagi masyarakat, terutama perempuan.
4. Mekanisme Internasional yang mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan secara global: a) Pemerintah Indonesia harus mencermati dan menindaklanjuti rekomendasi mekanisme internasional termasuk komite CEDAW untuk menghapuskan praktek kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. b) Menjalankan komitmen dalam SDGs, untuk mencegah pemiskinan perempuan dan menjaga kemerdekaan dan kesetaraan perempuan tanpa ada satupun yang ditinggal c) Meratifikasi ACTIP untuk mencegah dan menangani perdagangan perempuan sekurangkurangnya di ASEAN.
93
94