-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
MENEGUHKAN PARADIGMA MUTU PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Sarwiji Suwandi Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
[email protected]
ABSTRAK Pembelajaran bahasa Indonesia hingga kini belum menunjukkan performa yang diharapkan. Banyak siswa kurang memiliki pengalaman berbahasa dan karenanya kompetensi berbahasa dan apresiasi sastra mereka kurang baik. Kekurangkompetensian berbahasa dan bersastra mereka disebakan oleh banyak faktor. Untuk itu, seluruh eleman yang terlibat dalam pembelajaran bahasa Indonesia harus memiliki pemahaman tentang paradigma mutu pembelajaran bahasa Indonesia dan secara sinergis berupaya untuk meingkatakan mutu pemebelajaran bahasa Indonesia secara berkelanjutan. Makalah ini berupaya menjelaskan berbagai strategi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kompetensi/ kemahiran berbahasa siswa berserta implikasinya bagi pendidik sebagai variabel determinan dalam pembelajaran.
A. Pendahuluan Dirkursus mengenai peningkatatan mutu pembelajaran bahasa Indonesia selalu relevan untuk didiskusikan. Setakat ini pembelajaran bahasa Indonesia dinilai belum menunjukkan performa yang diharapkan. Melalui berbagai forum ilmiah (seperti kongres, konferensi, seminar), workshop, pelatihan, bimbingan teknis, atau apa pun disebut persoalan mutu pembelajaran bahasa Indonesia terus disorot dan diartikulasikan. Kritikan terus-menerus dikumandangkan, bukan saja oleh para pengguna lulusan dan masyarakat luas, tapi juga oleh para pelaku pendidikan. Suara kritis dari para pelaku pendidikan (termasuk guru dan dosen) tentu pantas diapresiasi karena hal demikian dapat dipandang sebagai hasil re leksi diri dan pertanda kedewasaan. Lebih dari itu, sesungguhnya harus menjadi kesadaran kolektif bahwa ikhtiar untuk mewujudkan proses dan hasil pembelajaran yang bermutu harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Banyak siswa memiliki pengalaman berbahasa yang minim dan karenanya kompetensi berbahasa Indonesa mereka kurang baik. Mereka kurang memiliki minat dan budaya baca dan karenanya kompetensi membaca mereka kurang. Untuk siswa SMP, misalnya, berdasarkan riset yang dilakukan Suwandi (2007: 43) diketahui bahwa kemampuan membaca cepat mereka rerata 144 kata per menit. Generasi muda kita banyak membelanjakan waktunya untuk sekadar “ngobrol” melalui berbagai media sosial (medsos) yang ada, seperti facebook, whats app, twitter, instagram, dan path. Berdasarkan penelusuran terbatas pengguna medsos di kalangan generasi muda, sedikit di antara mereka yang memanfaatkan media tersebut untuk menambah atau memperkaya ilmu pengetahuan. Rendahnya minat dan budaya membaca berdampak pada kurangnya kompetensi menulis mereka. Aktivitas menulis mereka lebih banyak didominasi untuk keperluan chatting dan menulis caption. Mereka juga kurang memiliki kemahiran berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Para siswa pun kurang memiliki kemampuan mengapresiasi dan berekspresi sastra. Upaya meningkatkan mutu pembelajaran—khususnya pembelajaran bahasa Indonesia— bukanlah persoalan yang mudah karena pembelajaran merupakan sistem yang kompleks. Menurut Richards (2002: 54), terdapat empat faktor utama dalam pembelajaran, yaitu sekolah, guru, proses pembelajaran, dan siswa. Sementara itu, menurut Sanjaya (2008: 52), faktor penting yang berpengaruh dalam sistem pembelajaran meliputi guru, siswa, sarana dan prasarana, serta lingkungan. Faktor sekolah meliputi budaya organisasi, indikator kualitas sekolah, dan konteks lembaga. Guru tidak saja dituntut sebagai igur percontoh bagi siswa, 22
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
tetapi juga sebagai pengelola pembelajaran yang fektif. Faktor proses pembelajaran mencakup tiga hal penting, yaitu pemilihan model mengajar, pengembangan kualitas pembelajaran, dan pelaksanaan evaluasi pembelajaran. Hal-hal yang terkait dengan faktor siswa antara lain adalah pemahaman siswa terdap tujuan, ruang lingkup dan materi pelajaran, pandangan belajar siswa, motivasi belajar, dan gaya belajar. Sementara itu, faktor sarana dan prasarana belajar antara lain berupa buku pelajaran, media belajar, dan perlengkapan sekolah. Sesuai dengan sistem kompleks pendidikan dan pembelajaran, pendekatan sistemik dan sistematik sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada. Perbaikan pada berbagai komponen pendidikan/pembelajaran harus dilakukan secara simultan. Perbaikan haruslah menjangkau dimensi teoretis konseptual, regulasi, maupun dimensi praksis. Untuk itu, program sinergis yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan pendidikan/ pembelajaran—guru, dosen, pengawas, penulis buku, pengembang model pembelajaran, pengembang model penilaian, perancang/pengembang kurikulum, sekolah, perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat—sangat diperlukan. Dengan perkataan lain, orientasi mutu pendidikan/pembelajaran harus dipahami sebagai paradigma dan menuntut semua elemen pendidikan mampu mengartikulasikan serta mengimplementasikannya. Perwujudan mutu bukan lagi sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan. Sungguhpun banyak elemen yang terlibat dan bertangung jawab dalam pelaksanaan pendidikan/pembelajaran, barangkali bisa disepakati pendidik memiliki peran sentral. Pendidik memiliki peran strategis dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Indonesia. Di tangan pendidik (guru atau dosen) yang profesionallah siswa atau mahasiswa akan memiliki akses untuk lebih berkembang dan mampu mengaktualisasikan potensi dan kemampuan dirinya. Uraian berikut akan memaparkan sejumlah upaya yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pembelajaran bahasa Indonesia yang bemutu. B. Orientasi Mutu Pembelajaran Mewujudkan mutu haruslah menjadi orientasi pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran, termasuk pembelajaran bahasa Indonesia. Mutu adalah keseluruhan karakteristik produk atau jasa dalam tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Seturut dengan itu, dapat dinyatakan bahwa mutu pembelajaran bahasa Indonesia adalah keseluruhan karakteristik layanan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa (memiliki kompetensi atau kemahiran berhasa dan bersastra). Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sebuah pembelajaran akan berjalan dengan baik jika berlangsung interaksi yang intens antara siswa, sumber belajar, dan lingkungan yang telah disiapkan atau direncanakan oleh guru dan sekolah. Dari konsep pembelajaran seperti inilah lahir pembelajaran yang berpusat pada siswa, yang menekankan siswa memiliki pengalaman langsung dalam interaksinya dengan sumber dan media belajar dan karenanya terbentuk pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran bahasa Indonesia yang bermutu dapat dilihat dari dua aspek, yakni proses dan hasil. Dari sudut proses, pembelajaran yang bermutu adalah pembelajaran bahasa Indonesia yang menekankan partisipasi optimal dari para siswa. Mereka terlibat secara aktif dalam pembelajaran dan guru berperan sebagai fasilitator pembelajaran, yang berperan menyediakan dan memberikan pengalaman berbahasa dan bersastra kepada siswa secara bermakna serta memberikan umpan balik yang positif untuk mewujudkan kompetensi berbahasa mereka. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.
23
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Sementara itu, ditilik dari hasil, pembelajaran bahasa Indonesia yang bermutu adalah pembelajaran yang secara efektif mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di berbagai kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia bisa jadi dirumuskan berbeda-beda. Namun demikian, jika kita telah mampu menempatkan dan memerankan diri sebagai guru profesional, kita segera menyadari bahwa secara esensial sesungguhnya tujuan utama pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah peserta didik memiliki keterampilan berbahasa atau yang lazim disebut memiliki kemahiran berbahasa, kecakapan berbahasa, atau kompetensi berbahasa, yang mencakup empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Sementara itu, pembelajaran sastra dituntut mampu membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif. Dengan perkataan lain, tujuan utama pembelajaran sastra mencakup apresiasi, ekspresi, dan produksi. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dinyatakan bahwa peserta didik dituntut memiliki kemampuan: (1) berkomunikasi secara efektif dan e isien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Negara, (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan social,, (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (Kepmendikas No. 22 Th. 2006). Jika kita cermati Kompetensi Dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 pun menunjukkan esensi yang hampir sama. Upaya mewujudkan pembelajaran bahasa Indonesia yang bermutu mempersyaratkan ketersediaan pendidik yang bermutu. Pendidik adalah pribadi yang yang dituntut mampu menerjemahkan dan menjabarkan nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum dan mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidik berperan sangat penting dalam mengarahkan dan memfasilitasi pembelajaran agar peserta didik mampu mencapai tujuan sebagaimana digariskan dalam kurikulum serta mampu memenuhi kebutuhan pengembangan dirinya. Pendidik akan mampu mendiagnosis potensi diri peserta didik dan mengembangkannya dengan baik jika ia memahami peserta didik dengan baik; mengenali dan memahami karakter dan perilaku yang ditampilkan oleh peserta didik; termasuk gaya belajar mereka. Untuk itu, perlu terlebih dahulu tersedia guru atau dosen yang memiliki keunggulan, memiliki wawasan pengetahuan yang luas, keterampilan yang mumpuni, serta sikap dan nilai yang baik selaras dengan tuntutan pengembangan peserta didik dan dirinya. Banyak atribut yang dapat dilekatkan pada sosok guru bahasa Indonesia yang profesional. Menurut Suwandi (2015: 8), pendidik bahasa Indonesia yang profesional memiliki pengetahuan dan penguasaan sebagai berikut: (1) pengetahuan tentang karakteristik dan kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik sebagai konteks proses pendidikan/pembelajaran; (2) pengetahuan kebahasaan dan kesastraan yang baik; (3) penguasaan tentang berbagai teori belajar, baik umum maupun yang bertalian dengan bahasa/sastra; (4) pengetahuan dan penguasaan berbagai media dan sumber belajar; (5) memiliki keterampilan berbahasa dan kemampuan apresiasi sastra; (6) mampu membuat perencaan pembelajaran dengan baik; (7) mampu melaksanakan KBM dengan baik, yakni melaksanakan KBM dengan model/metode yang tepat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, (8) mampu memberdayakan peserta didik dalam KBM; (9) memiliki budaya mutu, perilaku guru didasari oleh profesionalisme; (10) memiliki keterbukaan dalam bertindak; (11) mengupayakan peningkatan partisipasi siswa dalam PBM; (12) melakukan 24
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
penilaian dan perbaikan secara berkelanjutan; (13) menjalin komunikasi dan interaksi dengan siswa dan pihak lain; (14) memiliki akuntabilitas terhadap kinerjanya; (15) bersikap kritis dan berani menolak kehendak yang kurang edukatif; (16) pengetahuan tentang dinamika hubungan interaksi antara manusia terutama dalam proses belajar mengajar; (17) penguasaan teknik memperoleh informasi yang diperlukan untuk kepentingan proses pengambilan keputusan; (18) bersikap produktif dan kreatif dalam membangun dan menghasilkan karya pendidikan; dan (19) berani mengambil resiko terhadap kinerja yang didasarkan atas keyakinanya; dan (20) meyakinkan pimpinan lembaga, orangtua, dan masyarakat agar berpihak kepadanya terhadap beberapa inovasi pendidikan yang edukatif yang cenderung sulit diterima oleh awam. Dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang terjadi dalam suasana multikultural, guru dituntut memiliki pemahaman lintas budaya. Guru dituntut memiliki wawasan yang cukup tentang bagaimana seharusnya menghargai keragaman bahasa. Wawasan ini penting dimiliki oleh seorang guru agar segala sikap dan tingkah lakunya menunjukkan sikap yang egaliter dan selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada. Dengan wawasan tentang keberagaman bahasa (dan tentu budaya) guru akan memilki kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah yang menyangkut adanya diskriminasi bahasa yang terjadi di dalam kelas maupun di luar kelas. Dengan perkataan lain, guru bahasa dan sastra Indonesia yang profesional dituntut memiliki wawasan kebangsaan. Dengan wawasannya itu, guru—dan sudah barang pasti bersama stake holders—dituntut memiliki program aksi dan strategi implementasi dalam upaya membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, dialogis-persuasif, kontekstual, dan humanis. Perwujudan profesionalisme menuntut kemampuan re lektif. Pendidik harus senantiasa menyadari bahwa “teaching is not something that we do to the students, but what we do “for” and “with” students.” ‘Mengajar bukanlah sesuatu yang kita lakukan terhadap para pembelajar, tapi mengajar adalah apa yang kita lakukan bagi dan bersama pembelajar.’ Hasil re leksi tersebut dijadikan pijakan bagi upaya merencanakan dan melakukan pengembangan profesionalisme diri. C. Pemutakhiran Kurikulum Kurikulum memiliki peran yang sangat strategis dan menentukan dalam pelaksanaan pendidikan karena di dalamnya terumuskan tujuan yang hendak dicapai, materi pembelajaran, cara yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran, dan tentu penilaian untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Demikian pula yang ditegaskan dalam Undang-Undang Sisdiknas bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU NO. 20 Tahun 2003). Gayut dengan itu, perlu dilakukan peninjauan dan penyempurnaan kurikulum secara berkala dan berkesinambungan dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Peninjauan dan penyempurnaan kurikulum merupakan sebuah keniscayaan. Pentingnya pengembangan kurikulum dinyatakan oleh Richard (2002: 2), “curriculum development is more comprehensive than syllabus design. It includes the processes that are used to determine the needs of a group of learners, to develop aim and objectives for a program to address those needs, to determine an appropriate syllabus, course structure, teachings methods, and materials, and to carry out an evaluation of the language program that results from the processes. Di tingkat sekolah dasar menengah, sesuai dengan prinsip pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi, sekolah dituntut mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakteristik daerah dan sekolah serta kebutuhannya. Banyak sekolah yang kurang memperhatikan prinsip diversi ikasi dalam pengembangan kurikuum. Mereka belum sepenuhnya mengembangkan kurikulum 25
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang telah dirumuskan. Penetapan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang merupakan perwujudkan sistem pembelajaran tuntas (mastery learning) banyak yang tidak didasarkan pada suatu analisis yang benar. Silabus yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum sekolah juga sering merupakan hasil copy paste silabus dari sekolah lain atau contoh yang diberikan dalam berbagai pelatihan. Jika pada KTSP, satuan pendidikan dan guru diberikan kewenangan menyusun silabus, pada Kurikulum 2013 beban tersebut ditanggung oleh pemerintah (Suwandi, 2013). Dalih yang dikemukakan, pada KTSP para guru harus menyusun silabus sehingga beban guru menjadi berat dan keefektifan belajar kurang. Sebuah argumentasi layak diperdebatkan. Pelaksanaan Kurikulum 2013 kurang menempatkan guru sebagai varibel penentu. Guru pada posisi kurang dipercayai dan dipandang kurang berdaya. Pengembangan kurikulum terkesan sentralistis. Tujuan kurikulum sebagaimana yang tercakup dalam kompetensi inti (KI) dan kompetensi Dasar (KD), bahkan silabus dan buku, telah dipersepsikan secara terpusat. Kurangnya keterlibatan guru dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran tersebut perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. “Kebijakan” ini justru akan memperlemah semangat guru untuk menjadi professional. Bahkan, kurang sesuai dengan label yang disematkan kepada guru sebagai guru profesional setelah mereka mengikuti serti ikasi guru dan mendapatkan tunjangan profesi. Kondisi pengembagan kurikulum yang belum memenuhi harapan juga terjadi di perguruan tinggi. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mestinya telah diimplementasikan di perguruan tinggi mulai akhir tahun 2002. Namun demikian, pada kenyataannya banyak perguruan tinggi—khususnya LPTK—yang belum menerapkan KBK sesuai dengan Kepmendiknas No. 232/U/2000 dan Kepmendiknas 045/U/2002. Pemahaman yang kurang baik menjadi kendala utama bagi implementasi KBK dalam dalam pembelajaran. Pada Pasal 97 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 kembali ditegaskan bahwa kurikulum perguruan tinggi dikembangkan dan dilaksanakan berbasis kompetensi. Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh tiap-tiap perguruan tinggi dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kompetensi paling sedikit memenuhi elemen kurikulum (a) landasan kepribadian; (2) penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; (c) kemampuan dan keterampilan berkarya; (d) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai; dan (e) penguasaan kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya. Pernyataan tersebut sesungguhnya menegaskan kembali ketentuan yang tertuang dalam Kepmendiknas No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa dan Kepmendiknas No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Perguruan tinggi dihadapkan pada medan baru dalam pengembangan kurkulum. Sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kuali ikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, kurikulum—sebagai cetak biru dari keseluruhan proses pembelajaran pada sistem pendidikan, khususnya pendidikan tinggi—perlu dikembangkan. Kurikulum yang pada awalnya mengacu pada pencapaian kompetensi menjadi mengacu pada capaian pembelajaran (learning outcomes). Dinyatakan dalam Pasal 29 UU No. 12 Th. 2012 bahwa acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi adalah Kerangka Kuali ikasi Nasional Indonesia (KKNI). KKNI—menurut Perpres No. 8 Th. 2012—adalah kerangka penjenjangan kuali ikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan 26
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
struktur pekerjaan di berbagai sektor. KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia. Dalam Pasal 10 (4) Permendikbud No. 73 Th. 2013 dinyatakan bahwa setiap program studi wajib menyusun deskripsi capaian pembelajaran minimal mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai dengan jenjang. Setiap program studi wajib menyusun kurikulum, melaksanakan, dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai dengan kebijakan, regulasi, dan panduan tentang penyusunan kurikulum program studi. Kita pantas bersyukur Asosiasi Program Bahasa dan Sastra Indonesia (APROBSI) telah berhasil merumuskan (draf) capaian pembelajaran (CP) dan Standar Nasional Pendidikan Bahasa Indonesia (SNPBI). Kedua domumen tersebut tanggal 24 November 2014 telah dikirim ke Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Kemendikbud untuk mendapatkan review dan pengesahan. Hingga saat ini kita masih menunggu hasilnya. CP dan SNPBI tersebut dapat dijadikan acuan bagi Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia di berbagai perguruan tinggi di tanah air dalam pengembangan kurikulum, baik untuk program sarjana, magister, maupun doktor. Dengan rasional tertentu, pengembangan atau pemutakhiran kurikulum menyebabkan terjadinya sejumlah perubahan di sejumlah elemen kurikulum. Perubahan itu anatara lain pada (1) perubahan kompetensi lulusan, (2) perubahan materi pembelajaran, (3) perubahan proses pembelajaran, dan (4) perubahan penilaian pembelajaran. Demikian pula yang terjadi pada Kurikulum 2013 untuk jenjang sekoah dasar dan menengah serta kurikulum pendidikan tinggi yang mengacu pada Kerangka Kuali ikasi nasional Indonesia. Sesungguhnya pengembangan kurikulum memiliki peran strategis dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, kiranya penting untuk disadari bahwa kekurangberhasilan pendidikan kita sesungguhnya lebih disebabkan oleh kekurangtaatasasan para pelaku pendidikan dalam mengimplementasikan kurikulum serta manajemen pengawasan yang kurang efektif. Banyak guru yang tidak mau mempelajari dan memahami kurikulum secara komprehensif dan karenanya tentu sulit diharapkan mereka dapat menjalankan tugas profesinya dengan baik. Kekurangberhasilan pendidikan dan pembelajaran juga disebabkan oleh budaya sekolah yang kurang atau tidak berperan sebagai pelaksana kurikulum yang mengubah kurikulum yang direncanakan menjadi kurikulum yang terlaksana. Banyak guru dan sekolah dihinggapi sindrom siswa dan lulus ujian nasional dengan nilai baik serta lulus 100% dan karenanya praktik pendidikan sering mengingkari roh kurikulum yang seharusnya menjiwai setiap langkah dan aktivitas guru dan sekolah. D. Pengembangan Bahan Ajar Kurikulum menjadi acuan bagi guru, pengawas, dan sekolah dalam pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kurikulum 2013, misalnya, dikembangkan berbasis pada kompetensi yang sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis, dan bertanggung jawab. Perubahan kurikulum berimplikasi pada perubahan dan pengembangan bahan kajian atau bahan ajar, yang antara lain berupa buku pelajaran. Ketersediaan buku yang baik akan menentukan kualitas interaksi edukatif yang dibangun siswa dan guru serta sumber belajar dalam aktivitas pembelajaran. Buku pelajaran atau sering disebut buku teks pelajaran merupakan alat dalam mengajar yang disusun berdasarkan kurikulum, “textbook is a teaching tool (material) which presents the 27
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
subject matter de ined by the curriculum”. Buku pelajaran memiliki karakteristik: (1) berkaitan dengan bidang ilmu tertentu; (2) selalu dikaitkan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan; (3) ditulis oleh penulis yang ahli di bidangnya dan menguasai permasalahan; (4) disusun untuk menunjang suatu program pembelajaran; (5) buku standar yang dijadikan acuan bersama oleh para guru dan institusi yang terkait; (6) ditulis untuk tujuan tertentu; dan (7) biasanya dilengkapi dengan sarana pengajaran, misalnya berupa pita rekaman (Obrazovni, 2009). Berkenanan dengan pembelajaran bahasa Indonesia, buku pelajaran menunjang pembelajaran keterampilan berbahasa serta kemampuan apresiasi sastra. Pada dasarnya buku teks pelajaran dapat berfungsi: (1) sebagai sumber pokok masalah atau subject matter yang akan dijadikan dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan, (2) sebagai pencerminan sudut pandang mengenai pembelajaran serta aplikasinya dalam bahan pembelajaran yang disajikan, (3) sebagai bahan penyajian metode dan sarana pembelajaran, dan (4) sebagai sumber bahan evaluasi dan remedial atau perbaikan. Buku pelajaran, menurut Cunningswort (1995: 7), hendaknya dipandang sebagai sebuah sumber dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Buku pelajaran memiliki peran ganda dalam pembelajaran bahasa dan dapat berfungsi sebagai (1) sumber untuk bahan presentasi lisan atau tertulis, (2) sumber aktivitas bagi praktik dan interaksi komunikatif siswa, (3) sumber referensi untuk siswa mengenai aspek kebahasaan (tata bahasa, kosa kata, pengucapan, dll.), (4) sumber rangsangan dan ide bagi aktivitas bahasa kelas, dan (5) silabus (dalam buku terdapat tujuan belajar yang telah ditentukan). Peran dan fungsi buku tersebut sejalan dengan pendapat Abbs dan Freebairn (dalam Cunningsworth, 1995: 97) tentang kebutuhan siswa dalam belajar bahasa. Terdapat lima kebutuhan siswa dalam mempelajari bahasa, yaitu (1) kebutuhan berkomunikasi secara efektif, (2) kebutuhan untuk mengenal sistem bahasa, (3) kebutuhan untuk menghadapi tantangan, (4) kebutuhan untuk lebih mendalami matapelajaran, dan (5) kebutuhan akan persilangan budaya. Buku teks pelajaran, menurut Krisnasanjaya dan Muliastuti (1997: 86), mempunyai fungsi yang besar bagi guru maupun siswa. Bagi guru, buku teks pelajaran akan berfungsi sebagai pedoman untuk (1) mengidenti ikasikan apa saja yang harus diajarkan kepada siswa, (2) mengetahui urutan penyajian bahan pelajaran, (3) mengetahui teknik dan metode pembelajaran, (4) memperoleh bahan ajar secara mudah, dan (5) menggunakannya sebagai alat pembelajaran siswa di dalam atau di luar sekolah. Sementara itu bagi siswa, buku teks pelajaran akan berfungsi sebagai (1) sarana kepastian tentang apa yang dipelajari, (2) alat kontrol untuk mengetahui seberapa banyak dan seberapa jauh siswa telah menguasai materi pelajaran, dan (3) alat belajar siswa yang dapat menemukan petunjuk, teori maupun konsep dan bahan-bahan latihan atau evaluasi. Buku pelajaran dituntut memuat topik yang gayut dengan kebutuhan siswa. Jika tidak, buku akan kehilangan perhatian dari para penggunanya. Bahan pelajaran yang benarbenar baik adalah bahan yang menciptakan respon yang asli, yang memberi informasi, menantang, membangkitkan semangat, menambah pengalaman, mendorong rasa ingin tahu, mengembangkan pendapat, dan melakukan hal-hal lain yang dilakukan oleh bahasa yang sesungguhnya. Buku pelajaran yang baik secara langsung maupun tidak juga mengomunikasikan nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat pada susunannya. Ini yang disebut ‘kurikulum tersembunyi’ yang merupakan bagian dari program mendidik, tetapi hal ini tidak dinyatakan dan tidak diperlihatkan. Hal ini bisa berupa ungkapan sikap dan nilai yang secara tidak sadar dilakukan tetapi tetap mempengaruhi isi dan kesan akan bahan pengajaran dan sesungguhnya pada kurikulum secara keseluruhan. Karena sistem nilai yang pokok tidak eksplisit dan tidak dinyatakan, kita perlu melihat buku pelajaran tersebut secara teliti untuk menemukan apa 28
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
saja nilai-nilai yang tidak diungkapkan di dalam buku tersebut. Perbedaan gender bukanlah satu-satunya bidang yang memungkinkan adanya diskriminasi atau gambaran yang tidak menyenangkan, tetapi juga berkenaan dengan etnis, pekerjaan, umur, kelas sosial, dan sebagainya (Cunningsworth, 1995: 91). Di pasar sering terdapat sejumlah buku pelajaran. Untuk itu, guru dituntut memiliki kemampuan untuk memilihnya. Cunningsworth (1993: 3) menyatakan ada delapan hal yang perlu diperhatikan dalam memilih buku pelajaran, yaitu (1) tujuan buku teks pelajaran dan pendekatan yang digunakan (aims and approaches), (2) bentuk dan pengorganisasian atau sistematika penyajian (design and organization), (3) bahasa yang digunakan (language content), (4) keterampilan yang diharapkan (skills), (5) topik atau tema yang dipilih (topic), (6) metodologi atau cara yang digunakan dalam penyusunan buku (methodology), (7) buku pegangan yang digunakan guru (teacher’s book), dan (8) faktor kepraktisan (practical considerations). Terkait dengan bermutu atau tidaknya sebuah buku pelajaran, perlu dicermati pola penulisan buku teks pelajaran tersebut. Sebuah buku teks pelajaran yang baik tentunya harus ditulis dengan bahasa yang baku, universal, jelas, sederhana, komunikatif, dan mudah dipahami oleh pembelajar. Sebaiknya digunakan notasi-notasi dan istilah-istilah yang lazim dan banyak digunakan di lingkungan sekolah. Dalam hal ini perlu ditambahkan bahwa untuk lebih memudahkan memahami substansi perlu dilengkapi dengan ilustrasi atau gambar-gambar. Hal ini senada dengan pendapat Gabrielatos (2004: 28-31) bahwa buku teks pelajaran tidak dapat digunakan bila tidak memiliki gambar atau ilustrasi. Butir-butir yang harus dipenuhi oleh suatu buku teks pelajaran yang tergolong berkualitas tinggi ialah (1) haruslah menarik minat, yaitu minat para siswa yang menggunakannya; (2) haruslah mampu memberi motivasi kepada para siswa yang menggunakannya; (3) haruslah memuat ilustrasi yang menarik hati para siswa yang memanfaatkannya; (4) seyogianya mempertimbangkan aspek linguistik, sehingga sesuai dengan kemampuan siswa yang menggunakannya; (5) isi buku teks pelajaran harus berkaitan erat dengan pelajaran-pelajaran lainnya; lebih baik lagi bila dapat menunjang sesuai dengan rencana, sehingga semuanya merupakan suatu kebulatan yang utuh dan terpadu; (6) harus dapat menstimulasi, merangsang aktivitas-aktivitas pribadi para siswa yang memanfaatkannya; (7) haruslah dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep yang samar-samar sehingga membingungkan; (8) haruslah memiliki sudut pandang atau point of view yang jelas dan tegas, sehingga akhirnya menjadi sudut pandang para pemakainya; (9) harus mampu memberi pemantapan, penekanan pada nilai-nilai anak dan orang dewasa; dan (10) harus dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para penggunanya. Berkaitan dengan kualitas buku pelajaran, BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) menyatakan bahwa buku teks pelajaran yang baik memiliki kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegra ikaan pada jenjang pendidikan. BSNP menetapkan beberapa hal yang terkait dalam kelayakan isi sebagai berikut. (1) Buku teks pelajaran yang baik seharusnya berisi materi yang mendukung tercapainya SK (standar kompetensi) dan KD (kompetensi dasar) dari mata pelajaran tersebut.; (2) Keakuratan materi buku teks pelajaran yang berarti materi dalam buku tersebut mengandung kebenaran, baik dari teori maupun penerapannya.; (3) Kemutakhiran materi buku, berarti isi buku tersebut mengandung kebaruan atau setidaknya masih menjadi tema pembicaraan umum.; (4) Buku teks pelajaran hendaknya membuat siswa penasaran, sehingga menjadi ingin mengetahui isi buku tersebut.; dan (5) Buku teks pelajaran diharapkan memuat latihan-latihan atau pengayaan yang dapat memperdalam penguasaan terhadap materi. Selain standar kelayakan isi, buku teks pelajaran yang baik juga harus memenuhi standar kelayakan bahasa. Standar kelayakan bahasa yang dimaksud meliputi indikator-indikator berikut ini. (1) Buku teks pelajaran hendaknya menggunakan diksi yang mudah dipahami. (2) Buku teks pelajaran sebaiknya bersifat komunikatif. (3) Buku teks pelajaran seharusnya dialogis 29
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
dan interaktif. Jadi, siswa tidak semata-mata diberi informasi, tetapi juga dapat menemukan dan menyimpulkan hal tertentu berdasarkan informasi yang dibaca. (4) Buku teks pelajaran hendaknya berisi hal-hal yang sesuai dengan perkembangan peserta didik. (5) Penulisan dalam buku teks pelajaran harus sesuai dengan kaidah kebahasaan yang berlaku. (6) Penggunaan istilah, simbol, dan ikon dalam buku harus jelas sehingga siswa yang belum mengerti tidak mengalami kesulitan. Sementara itu, masih terdapat satu persyaratan lagi yang harus terpenuhi dalam buku teks pelajaran, yakni standar kelayakan penyajian. Standar kelayakan penyajian meliputi halhal sebagai berikut. (1) Secara umum teknik penyajian yang digunakan tertata dengan baik. (2) Dalam buku teks pelajaran terdapat pendukung penyajian bisa dalam bentuk bab per bab. (3) Dalam penyajiannya, buku teks pelajaran mempertimbangkan kebermaknaan dan kebermanfaatan. (4) Buku teks pelajaran menggunakan koherensi dan keruntutan alur dalam berpikir sehingga siswa dapat terlibat secara aktif. Selain itu, terdapat hal penting juga yang berkaitan dengan standar kelayakan penyajian, yaitu (1) variasi dalam cara penyampaian informasi, (2) kemampuan meningkatkan kualitas pembelajaran, dan (3) memperhatikan kode etik dan hak cipta. Sejalan dengan fungsi dan peran buku pelajaran, kita perlu mencermati buku pelajaran Kurikulum 2013 yang telah diterbitkan pemerintah. Dinyatakan bahwa pada Kurikulum 2013 materi yang diajarkan ditekankan pada kompetensi berbahasa sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan dan pengetahuan. Pernyataan ini perlu diuji. Coba perhatikan cuplikan buku berikut ini. Carilah kata-kata dari buku dan koran serta bacaan lain Hitunglah jumlah suku katanya Kelompokkan sesuai tabel di bawah ini Kata buku perpustakaan .... ..... ..... .....
Jumlah Suku Kata 2 5 ..... ..... ..... .....
Kata Pendek
Kata Panjang
V ..... ..... ..... ..... .....
..... V ..... ..... ..... .....
Sumber: Kegemaranku, Buku Tematik Terpadu Kurikulum 2013 Tema 2 (hlm. 99) Sungguh “luar biasa” dalam buku ajar siswa kelas I Sekolah Dasar, siswa telah ditugasi untuk menemukan kata-kata dari koran dan menghitung jumlah suku kata dari kata tersebut. “Hebat benar” siswa Sekolah Dasar di Indonesia sudah membaca koran. Sejak kapan mereka belajar membaca? Jika mereka telah mampu membaca koran, betapa hebatnya guru mereka. Untuk apa anak-anak mengenal suku kata? E. Pembelajaran Berpusat pada Siswa Belajar merupakan kegiatan aktif peserta didik dalam membangun makna. Peserta didik akan terus belajar dan belajar secara aktif jika kondisi pembelajaran dibuat menyenangkan, nyaman, dan jauh dari perilaku yang menyakitkan perasaan siswa. Diperlukan suasana belajar yang menyenangkan karena otak tidak akan bekerja optimal bila perasaan dalam keadaan 30
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
tertekan. Untuk itu, sebagaimana ditegaskan Brown (2000: 7), guru memiliki tugas penting membimbing dan memfasilitasi siswa dalam belajar. Pembelajaran yang efektif bertalian erat dengan metode dan media pembelajaran yang digunakan selama proses pembelajaran. Kondisi pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi masih cukup beragam. Sekolah yang memiliki budaya organisasi yang baik tentu telah melaksanakan pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian kompetensi siswa. Demikian pula, perguruan tinggi yang telah menjalankan sistem penjaminan mutu dengan baik dari jenjang institusi sampai program studi umumnya telah melaksanakan pembelajaran yang berbasiskan capaian. Namun demikian, berdasarkan pengalaman visitasi yang penulis lakukan, masih banyak ditemukan kurangnya persiapan dosen di dalam menyiapkan perangkat pembelajaran; ketidakjelasan rumusan capaian pembelajaran; kekurangtepatan metode pembelajaran yang diterapkan; dan kekurangtepatan model penilaian yang dikembangkan dan diterapkan. Penilaian lebih banyak diakukan melalui tes. Kegiatan penilaian cenderung pada pemberian skor/nilai kepada mahasiswa daripada memberikan tuntunan untuk membuka potensinya. Penilaian cenderung mencirikan penilaian sumatif daripada penilaian formatif. Hal ini tentu kurang tepat karena penilaian semestinya tidak hanya berkenaan dengan penilaian terhadap capaian hasil siswa atau mahasiswa, tetapi penilain terhadap keefektifan proses pembelajaran yang telah diselenggarakan. Sistem pembelajaran merupakan bagian penting untuk mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi. Sistem pembelajaran yang baik mampu memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk membuka potensi dirinya dalam menginternalisasikan pengetahuan, keahlian, dan perilaku serta pengalaman belajar sebelumnya. Pola pembelajaran yang terpusat guru/dosen sudah tidak memadai untuk mencapai tujuan pendidikan berbasis kompetensi. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan penting, yaitu (1) perkembangan ipteks yang sangat pesat dengan berbagai kemudahan untuk mengaksesnya merupakan materi pembelajaran yang sulit dapat dipenuhi oleh seorang dosen, (2) perubahan kompetensi kekaryaan yang berlangsung sangat cepat memerlukan materi dan proses pembelajaran yang lebih leksibel, dan (3) kebutuhan untuk mengakomodasi demokratisasi partisipatif dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Sejalan dengan itu, perlu diupayakan pembelajaran yang terpusat pada mahasiswa (student centered learning/SCL) dengan memfokuskan pada tercapainya kompetensi yang diharapkan. Mahasiswa harus didorong untuk memiliki motivasi dalam diri mereka sendiri, kemudian berupaya keras mencapai kompetensi yang diinginkan. Peran dosen dalam SCL adalah (1) bertindak sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran; (2) mengkaji kompetensi mata kuliah yang perlu dikuasai mahasiswa pada akhir pembelajaran; (3) merancang strategi dan lingkungan pembelajaran yang dapat menyediakan beragam pengalaman belajar yang diperlukan mahasiswa dalam rangka mencapai kompetensi yang dituntut mata kuliah; (4) membantu mahasiswa mengakses, menata, dan memproses informasi untuk dimanfaatkan dalam memecahkan permasalahan hidup sehari-hari; dan (5) mengidenti ikasi dan menentukan pola penilaian hasil belajar mahasiswa yang relevan dengan kompetensi yang akan diukur. Sementara itu, peran yang harus dilakukan mahasiswa dalam pembelajaran terpusat mahasiswa (SCL) adalah (1) mengkaji kompetensi mata kuliah yang dipaparkan dosen; (2) mengkaji strategi pembelajaran yang ditawarkan dosen; (3) membuat rencana pembelajaran untuk mata kuliah yang diikutinya; dan (4) belajar secara aktif (dengan cara mendengar, membaca, menulis, diskusi, dan terlibat dalam pemecahan masalah serta lebih penting lagi terlibat dalam kegiatan berpikir tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis, dan evaluasi), baik secara individual maupun berkelompok. Pendidik diharapkan dapat menggunakan pendekatan dan strategi pembelajaran atau manajemen kelas yang bervariasi, mengatur kelas dalam suasana yang menyenangkan, serta 31
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
menyiapkan dan menggunakan media pembelajaran yang menarik dan menantang partisipasi aktif siswa dalam kegiatan berkomunikasi. Hal ini sejalan dengan peran yang dimainkan guru dalam pembelajaran interaktif yang dinyatakan Brown (2001: 167-168) bahwa guru berperan sebagai pengendali, pengarah, manajer, fasilitator, dan sumber bagi siswa. F. Pengembangan Kreativitas dan Kemampuan Literasi Pendidik (guru/dosen) memiliki tanggung jawab untuk menumbuhkembangkan kreativitas siswa. Kreativitas peserta didik merupakan kemampuan peserta didik untuk membuat kombinasi dan menghasilkan kebaruan berdasarkan data, informasi, atau hal-hal lain yang sudah ada. Kreativitas juga dapat dipahami sebagai kemampuan untuk menemukan berbagai kemungkinan atau alternatif jawaban terhadap suatu masalah. Dinyatakan oleh Priansa (2014: 92) bahwa kreativitas tercermin melalui kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, dan memerinci) suatu gagasan. Kreativitas berbahasa siswa dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan berbahasa dan produk berbahasa dan bersastra, baik yang bersifat kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler. Para siswa didorong dan difasilitasi untuk aktif dan produktif dalam berekspresi dengan bahasa Indonesia, seperti bercerita, membaca indah puisi/cerpen, berwawancara dengan narasumber, menanggapi pementasan drama, membawakan acara, dan berpidato. Mereka juga difasilitasi untuk mampu menulis, seperti menulis buku harian, pantun, puisi, laporan, naskah drama, slogan/poster, meresensi buku, dan menulis karya ilmiah. Untuk dapat mewujudkan peserta didik yang kreatif, guru dan dosen harus pula mengupayakan dirinya menjadi pribadi yang kreatif. Menurut Starko (1995: 5), kreativitas bertalian dengan dua hal pokok, yakni kebaruan atau orisinalitas (novelty or originality) dan ketepatan (appropriatness). Orisinalitas mengacu pada pengertian bahwa guru/dosen mampu menciptakan sesuatu yang belum diciptakan oleh orang lain. Sementara itu, faktor utama dalam menentukan ketapatan adalah konteks. Berkenaan dengan kegiatan pembelajaran, dalam melakukan kebaruan, misalnya dalam pemilihan dan penggunaan model pembelajaran, guru/ dosen perlu mempertimbangkan kesesuaiannya dengan tujuan pembelajaran, keadaan dan minat siswa, situasi, lingkungan, dan juga aspek sosiokultural. Dalam dunia pendidikan, kita kenal kreativitas akademik (academic creativity). Kreativitas akademik ini menjelaskan cara berpikir pendidik dan peserta didik dalam belajar dan memproduksi informasi. Berpikir dan belajar kreatif memuat kemampuan untuk mengevaluasi (menangkap akar masalah, ketidakkonsistenan, dan elemen yang hilang), berpikir divergen ( leksibilitas, orisinalitas dan elaborasi), dan rede inisi. Belajar secara kreatif adalah hal yang alami karena berkaitan sifat manusia yang selalu ingin tahu. Pendidik yang merupakan pemikir intensional dan kritis memiliki kemungkinan masuk ke ruang kelasnya dengan dilengkapi pengetahuan, baik merupakan hasil penelitian atau riset yang telah dilakukannya maupun riset yang dilakukan ahli pendidikan. Setiap tahun ahli-ahli pendidikan dan juga ahli psikologi pendidikan menemukan dan memperbaiki prinsip-prinsip pengjaran dan pembelajaran yang bermanfaat bagi pendidik yang berpraktik. Namun demikian, sebagaimana diingatkan oleh Slavin (2008: 18), penting bagi pendidik menjadi konsumen riset yang cerdas, dengan tidak memungut setiap temuan atau setiap pernyataan pakar sebagai kebenaran. Selain kreativitas, sangat penting bagi pendidik untuk mengembangkan budaya literasisiswa. Budaya literasi (tulis) sering dikontraskan dengan budaya lisan (oral). Kedua budaya yang bersangkut paut dengan aktivitas berbahasa tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan budaya lisan, baik yang dipresentasikan dalam komunikasi bersemuka serta melalui media audio-visual dengan segenap aspek gesture dan 32
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
kinestetik yang menyertainya, adalah kemampuannya dalam mengomunikasikan aspek emotif dan sering hal-hal abstrak yang sulit diungkapkan melalui budaya literasi bisa diungkapkan dengan lebih baik. Karena aspek emotif itu pula aktivitas berbahasa lisan sering pula bisa membuat tingkat partisipasi pendengar/pemirsa lebih tinggi. Sementara itu, budaya literasi harus diakui sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan karena bahasa ilmu lebih menekankan pada fungsi simbolik serta menekankan aspek presisi. Literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis atau kadang disebut dengan istilah ‘ atau melek aksara’ atau keberaksaraan (Harras, 2011). Literasi menurut Besnier adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Sementara itu, menurut Kirsch dan Jungeblut, literasi kontemporer diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas (Takdir, 2012). Dalam bahasan ini, literasi lebih berkaitan dengan konsep membaca dan menulis. Oleh karena itu, budaya literasi yang dimaksudkan dalam tulisan ini lebih budaya membaca dan menulis. Upaya mengembangkan budaya literasi sesungguhnya telah dilakukan sejak lama, antara lain melalui “gerakan ayo membaca” yang dicanangkan pemerintah. Pengembangan budaya literasi untuk siswa pun telah menjadi perhatian pemerintah. Dalam Permendiknas No. 22 Th. 2006 tentang Standar Isi ditegaskan bahwa pada akhir pendidikan di SD/MI, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya sembilan buku sastra dan nonsastra; pada akhir pendidikan di SMP/MTs, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra dan demikianpulauntukjenjang SMA. Namun demikian, hampir 10 tahun KTSP diimplementasikan, tampaknya target tersebut tidak tercapai. Alih-alih menugasi siswa membaca buku sain dan sastra, dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah pun guru sering tidak menggunakan buku ajar dan menggantikannya dengan LKS. Berbeda dengan KTSP, sungguhpun Kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi anak dalam membaca dan menulis melalui pembelajaran berbasis teks, kurikulum ini tidak mematok target minimal buku yang harus dibaca siswa. Dilihat dari sisi ini, tampak kegamangan Kurikulum 2013. Secara berpikir sederhana pun tentu dapat dipahami bahwa jika para siswa dituntut mampu memproduksi tulisan, maka tentu mereka harus banyak membaca. Melalui aktivitas banyak membaca para siswa akan mendapat banyak inspirasi, memiliki gagasan dan wawasan yang kaya, dan sekaligus memperoleh banyak model tulisan yang baik. Kurangnya budaya membaca dan menulis bukan saja terjadi pada diri siswa, tapi juga pada diri mahasiswa dan bahkan dosen di perguruan tinggi. Fakta menunjukkan bahwa jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah, tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun. Jumlah produksi buku Indonesia hampir sama dengan Vietnam dan Malaysia. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk masingmasing negara tersebut, produksi Indonesia tergolong rendah. Karakteristik profesio nal is me pendidik memandatkan dosen/guru untuk secara terus menerus memikirkan secara re lektif apa yang telah, sedang, dan akan dikerjakan dan dihasilkan. Dalam konteks pengajaran, pendidik perlu secara sistematis mengeks plorasi, meniliai secara kritis, dan membingkai kembali praktik penga jarannya secara holistik untuk dapat membuat interpretasi secara benar dan selanjutnya menentukan pilihan yang tepat untuk memperbaiki kinerjanya. Demikian pula dalam bidang penelitian. Seberapa banyak dan berkualitas penelitian yang telah dilakukan dan rencana terbaik apakah yang akan dilakukan untuk memperbaiki kinerja penelitian Dosen dan guru hendaknya tidak terjebak dalam tugas-tugas rutin belaka. Sebagai pendidik yang kreatif, dosen dan guru perlu membuktikan diri mampu berpikir dan bertindak 33
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
‘out of the box’ dengan berani membuat dan mengimplementasikan program yang belum pernah dilakukan orang lain. Guru dituntut memiliki portofolio yang baik dalam hal menulis atau menghasilkan karya kebahasaan/kesastraan. G. Penutup Banyak siswa memiliki pengalaman berbahasa yang minim dan karenanya kompetensi berbahasa Indonesa mereka kurang baik. Mereka kurang memiliki minat dan budaya baca dan karenanya kompetensi membaca dan menulis mereka pun kurang. Upaya mengatasi permasalahan tersebut bukanlah persoalan yang sederhana karena pembelajaran merupakan sistem kompeks yang melibatkan banyak elemen dalam perancangan dan pelaksanaannya. Pendekatan sistemik dan sistematik perlu diterapkan dalam penanganan berbagai permasaahan pembelajaran. Upaya-paya strategis yang dipandang penting dilakukan antara lain adalah (1) paradigma mutu haruslah menjadi orientasi seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran bahasa Indonesia; (2) pemutakhiran kurikulum sesuai dengan kebutuhan pendidik dan tuntutan perkembangan, baik yang bersifat kekinian dan kemasadepanan; (3) bahan ajar perlu dikembangkan dan dimutakhirkan sesuai dengan tuntuttan kurikulum dan pemenuhan kompetensi peserta didik; (4) perlu dirancang dan diimplementasikan model-model pembelajaran inovatif yang berpusat pada peserta didik; (5) perlu diupayakan peningkatan kreativitas dan kemampuan literasi siswa; dan sebagai implikasi penting dari upaya tersebut adalah (6) perlu diupayakan peningkatan profesionalisme pendidik.
DAFTAR PUSTAKA Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching (Fourth Edition). White Plains, NY: Addison Wesley Longman, Inc. _________. 2001. Teaching by Principles: An InteractiveApproach to anguage Pedagogy (Second Edition). White Plains, NY: Addison Wesley Longman, Inc. Cunningsworth, Alan. 1995. Choosing Your Coursbook. Oxford: Heinemann. Gabrielatos, Costas. 2004. “IATEFL Teacher Trainers and Educators SIG Newsletter”. Session Plan: The Coursebook as a Flexible Tool. Vol. 1, pp 28-31. http://www.gabrielatos.com/CB-UseTTED.pdf. Harras, Kholid A. 2011. “Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi Keluarga”, Jurnal Artikulasi Vol. 10 No. 1. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 045/U/2002 tentang Kurikkulum Inti Pendidikan Tinggi. Krisnasanjaya dan Liliana Muliastuti. 1997. Telaah Kurikulum 1994 dan Buku Teks I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
34
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Priansa, Donni Juni. 2014. Kinerja dan Profesionalisme Guru. Bandung: Alfabeta. Obrazovni. 2009. De inition of a textbook. http://www.carnet.hr/referalni/obrazovni/ en/iom/littextbook/ com.html
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kuali ikasi Nasional Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kuali ikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Richards, Jack C. 2002. Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press. Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik, terj. Marianto Samosir. Jakarta: Indeks. Starko, A. J. 1995. Creativity in the Classroom School of Curious Delight. New York : Longman Publishers USA. Suwandi, Sarwiji. 2007. “Kemampuan Membaca Cepat dan Efektif Siswa Sekolah Menengah Pertama di Kota Surakarta”. Laporan Penelitian UNS, tidak diterbitkan. ________. 2008. ”Profesionalisme Pendidik dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan” makalah disampaikan pada Workshop Nasional Pembangunan Pendidikan Menuju SDM Unggul yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Ekonomi Regional di Hotel Pandanaran Semarang, 10— 11 April 2008. _______. 2013. “Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013: Beberapa Catatan terhadap Konsep” makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, 19 November 2013. _______. 2015. “Membangun Budaya Literasi untuk Mengembangkan Profesionalisme Gurudan Dosen Bahasa Indonesia,” makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (ADOBSI) bekerja sama dengan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP UNS, 25 April 2015. Takdir, Muhammad. 2012. “Pendidikan Berbasis Budaya Literasi”, Suara Pembaharuan Edisi 7 September. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
35