“Mendorong Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” Miko Susanto Ginting1
A. Kabar Pembahasan Rancangan KUHAP di DPR Setelah menunggu sekian lama, setidak-tidaknya sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2000-2004, 2004-2009 dan 2009-2014, pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendapatkan momentumnya. Pada 6 Maret 2013, Pemerintah secara resmi menyerahkan Rancangan KUHAP yang memuat 286 pasal kepada DPR. Selanjutnya, DPR merespon penyerahan rancangan tersebut dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) yang diketuai oleh Aziz Syamsuddin. Metode pembahasan yang disepakati adalah dengan menggunakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Setelah pasal-pasal dalam RKUHAP tersebut diklasifikasikan dalam permasalahan dan diberi nomor, terdapat 1.169 nomor DIM.
Kini, kurang lebih satu tahun berlalu, menurut catatan pemantauan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang tergabung dalam Komite untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana (KuHAP)2, hingga Maret 2014 telah dilaksanakan 5 (lima) kali rapat kerja antara Pemerintah dengan Panja RKUHAP. Catatan penting dari kelima sidang tersebut adalah, pada rapat kerja 21 November 2013, Pemerintah dan DPR mengambil kesepakatan mengenai beberapa nomor DIM, yaitu: 1. 729 nomor DIM dinyatakan tetap. 2. 69 nomor DIM dinyatakan tetap namun dengan catatan. 3. 97 nomor DIM dinyatakan perubahan terhadap redaksional. 4. 208 nomor DIM dinyatakan pembahasan mengenai substansi. 5. 28 nomor DIM dinyatakan meminta penjelasan.
1
Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Makalah ini disusun untuk kegiatan “Penyusunan Legal Opinion Terhadap RKUHP dan RKUHAP” yang diselenggarakan oleh UNODC, Kemitraaan, dan Norwegian Embassy, Hotel Salak The Heritage, Bogor, 14-16 Maret 2014. 2 Komite ini merupakan koalisi masyarakat sipil yang dibentuk pada 2007 dengan tujuan mengadvokasi sekaligus memberikan gagasan perubahan terhadap hukum acara pidana. Arus Pelangi, CDS, Elsam, HRWG, HuMA, ICJR, ILR, ILRC, Imparsial, LBH Apik, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, LeIP, Mappi UI, PBHI, dan PSHK merupakan anggota dari Komite. Untuk aktivitas, gagasan, dan perkembangan pembahasan KUHAP dapat dilihat di situs www.kuhap.or.id.
6. 38 nomor DIM dinyatakan baru.3
Selain catatan atas beberapa nomor DIM diatas, perkembangan pembahasan di DPR belum beranjak dari beberapa topik. Dimana terhadap topik pembahasan tersebut, juga belum ditemukan kesepakatan. Beberapa hal yang masih dalam tahap pembahasan tersebut adalah: 1. Nomor DIM 9, mengenai dasar mengingat; 2. Nomor DIM 15, mengenai penghapusan nomenklatur penyelidikan; dan 3. Nomor DIM 17, mengenai pengertian penuntut umum dan penuntutan.
Dengan mempertimbangkan kondisi dan pembahasan yang berkembang di DPR, maka sebaiknya pembahasan terhadap Rancangan KUHAP (RKUHAP) saat ini dihentikan dan dilanjutkan pada DPR periode mendatang. Pembahasan terhadap RKUHAP sepatutnya disandarkan pada 2 (dua) prasyarat, yaitu (i) ketersediaan waktu yang cukup, dan (ii) dirumuskannya metode pembahasan yang efektif juga partisipatif. Dua prasyarat ini berpotensi tidak akan terpenuhi, apabila pembahasan tetap dipaksakan oleh DPR periode 2009-2014.
Praktis, DPR hanya memiliki sekitar 109 hari kerja dalam waktu kurang lebih 9 (sembilan) bulan untuk menyelesaikan masa tugasnya di periode ini, terhitung mulai 15 Januari 2014 (pembukaan Masa Sidang III Tahun Persidangan 2013-2014) sampai dengan 1 Oktober 2014 (pelantikan anggota DPR periode 2014-2019). Kurun waktu itu diselingi oleh dinamika pemilihan umum, baik legislatif (9 April 2014) maupun presiden (9 Juli 2014), yang tentu saja menguras cukup banyak waktu dan perhatian anggota DPR, khususnya Panja RKUHAP.
Waktu yang tersedia sangat singkat. Sementara di sisi lain, secara kuantitas, jumlah pasal dan daftar inventarisasi masalah yang dibahas cukup banyak. Selain itu, secara kualitas, materi yang dibahas juga cukup kompleks, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan berdampak luas pada struktur hukum serta hak asasi manusia. Substansi KUHAP sangat penting dan fundamental bagi jalannya proses peradilan pidana. Apabila dipaksakan dalam kondisi dan waktu yang tidak
3
DIM yang disusun oleh Pemerintah dan DPR, secara resmi, belum didapatkan oleh Komite. Padahal, menurut Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, untuk memudahkan dalam memberikan masukan, masyarakat harus diberikan akses yang mudah. Akses yang mudah ini dapat dimaknai, baik terhadap proses pembahasan maupun substansi yang dibahas.
mendukung, maka tentu akan berpengaruh pada kualitas substansi yang dihasilkan. KUHAP di kemudian hari akhirnya akan rentan dipermasalahkan.
Dorongan ke depan adalah agar Pemerintah dan DPR (dalam hal ini Panja RKUHAP) menghentikan pembahasan hingga periode DPR 2009-2014 berakhir. Selanjutnya, mendorong agar Pemerintah dan DPR memasukkan perubahan KUHAP sebagai agenda dan prioritas di Program Legislasi Nasional (Prolegnas), baik 5 (lima) tahunan maupun prioritas 1 (satu) tahunan. Tidak luput, metode pembahasan yang efektif dan partisipatif juga merupakan keharusan.
B. Perubahan KUHAP Sebagai Penguatan Pemberantasan Korupsi KUHAP mulai dibahas pada 1967 oleh Panitia Intern Departemen Kehakiman. Lalu, pada 12 September 1979, Pemerintah menyerahkan rancangan KUHAP kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Dua tahun setelahnya, tepatnya pada 23 September 1981, KUHAP secara resmi disetujui pada Sidang Pleno DPR. KUHAP menggantikan keberlakuan Het Herziene Inlands Reglement (Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941) yang merupakan produk hukum kolonial dan kurang memperhatikan hak-hak pencari keadilan.
Dengan demikian, hampir 33 tahun telah berlalu sejak pengesahan KUHAP. Perkembangan tak dapat ditangkis dan sudah demikian pesatnya. KUHAP sebagai produk hukum yang statis tidak lagi dapat mengikuti fleksibilitas kondisi dan situasi yang dinamis, mulai dari perkembangan teknologi yang ekstraktif hingga pesatnya perkembangan bentuk dan modus kejahatan. Di sisi lain, terdapat kebutuhan agar cara penanganan kejahatan tersebut juga tidak mengindahkan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
Aspek regulasi yang berkaitan dengan hukum acara pidana adalah bagian yang tidak luput dari perkembangan ini. Untuk konteks Indonesia, telah banyak produk hukum, baik pada level nasional maupun internasional, yang dibentuk. Pada level internasional, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional, seperti diantaranya Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, International Convenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, maupun United Nations Convention Against Corruption yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2006. Demikian juga halnya dengan banyaknya pembentukan produk hukum acara pidana di luar KUHAP pada level nasional.4
Persoalannya adalah prinsip-prinsip dalam perjanjian internasional serta hukum acara di luar KUHAP belum disesuaikan dengan pengaturan dalam KUHAP. Untuk itu, perlu diadakan sinkronisasi dan harmonisasi dalam kerangka kodifikasi kitab undang-undang hukum acara pidana. Meskipun, perlu diperhatikan, bahwa kodifikasi sebagai pengkitaban yang sistematis dan terstruktur bukan berarti meniadakan ketentuan-ketentuan lain di luar kitab undang-undang tersebut.
Selain sebagai upaya untuk merespon dan menyesuaikan dengan perkembangan di atas, pembaruan terhadap KUHAP juga hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi dalam koridor kesatuan sistem yang dinamakan dengan proses peradilan pidana yang terpadu (the integrated criminal justice system), bukan seakan-akan terpisah satu dengan yang lain.
Hal ini, apabila tercapai, tentu akan mendorong efektivitas penegakan hukum juga melindungi hak asasi manusia sekaligus. Meskipun, pencarian terhadap titik keseimbangan antara keduanya terkadang sulit untuk dirumuskan dalam pelaksanaan. Bahkan beberapa waktu belakangan, khususnya dalam perkembangan wacana pembahasan RKUHAP, kedua kutub ini yaitu perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi, seakan dihadapkan pada kondisi yang vis a vis dan cenderung dibenturkan satu dengan yang lain.
Secara konsepsional, apabila menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer5, terdapat dua model sistem peradilan pidana, yaitu crime control model yang dekat dengan kutub pemberantasan korupsi serta due process model yang dekat dengan kutub perlindungan hak asasi manusia. Model ini belakangan dikembangkan oleh beberapa pakar pidana, salah satunya adalah Michael King yang merumuskan 6 (enam) model sistem peradilan pidana, yaitu due process model, crime control model, medical model, bureaucratic model,
4
Ketentuan hukum acara pidana yang tersebar di luar KUHAP dapat ditelusuri melalui situs http://acarapidana.bphn.go.id/ 5 Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968, hal 153.
status passage model, dan power model.6 Konsep due process model menitikberatkan pada perlunya penekanan terhadap penggunaan kekuasaan agar seminimal mungkin, sementara crime control model menekankan pada titik sebaliknya, yaitu penggunaan kekuasaan semaksimal mungkin.
Dalam konteks pembaruan KUHAP, kedua kutub ini tidak selalu tepat untuk dipertentangkan. Pembaruan KUHAP memiliki titik berangkat yang sama, yaitu upaya untuk melakukan penguatan terhadap perlindungan hak asasi manusia sekaligus penguatan terhadap pemberantasan korupsi.
Dari perspektif hak asasi manusia, KUHAP hari ini sudah jelas tidak optimal dalam memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak, baik dalam pengaturan norma maupun pelaksanaannya. KUHAP dibahas dan disahkan pada konstalasi politik yang bernuansa otoriter serta diselimuti tarik menarik kewenangan antar institusi yang begitu kental.7 Konsekuensinya adalah perhatian terhadap hak warga negara, baik sebagai tersangka/terdakwa, saksi, maupun korban terabaikan, atau paling tidak, tidak optimal.
Pengaturan KUHAP membuka ruang diskresi dan subjektivitas yang begitu besar, tidak terbatas namun terutama pada fase pra adjudikasi. Beberapa contoh diantaranya adalah kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan.
Untuk konteks penangkapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 KUHAP, menyatakan bahwa “[p]erintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.
Kemudian, Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “[p]erintah penahanan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran [..]”.
6
Michael King, The Framework of Criminal Justice, Croom Helm, London, 1981, hal 13. Penelusuran terhadap dinamika dan perdebatan pada saat pembahasan KUHAP dapat dilihat di Sejarah Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman, 1982. 7
Dalam praktiknya, jarang atau bahkan tidak pernah ditemukan jawaban yang memuaskan atas apa yang dimaksud dengan diduga keras atau keadaan yang menimbulkan kekhawatiran. Pun dengan pengujian terhadap bukti permulaan dan bukti yang cukup, yang mengundang pertanyaan, apakah didasarkan pada kuantitas atau kualitas bukti.8
Ruang subjektif dan parameter yang tidak jelas ini diperparah dengan mekanisme uji yang tidak efektif dan optimal, yaitu pra peradilan. Objek pemeriksaan pra peradilan sangat terbatas yaitu untuk sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.9
Pemeriksaan pra peradilan, dalam praktik, cenderung mengarah pada pemeriksaan terhadap kelengkapan administratif, seperti kelengkapan surat-surat. Sifat pemeriksaan pra peradilan adalah post factum, atau setelah peristiwa terjadi, sehingga sudah ada hak yang terlanggar. Lalu, apabila merasa keberatan, dapat mengajukan gugatan atas inisiatif sendiri. Ketika pokok perkara diperiksa, maka pemeriksaan pra peradilan dinyatakan gugur.10
Hal ini belum termasuk bagaimana solusi atas maraknya penangkapan dengan teknik penjebakan (trapping), pengambilan keterangan dengan cara penyiksaaan (torture), penetapan status tersangka tanpa batas waktu, dan sebagainya.
Lubang besar diatas sangat merugikan para pihak yang merasa tindakan atas dirinya tidak didasarkan pada profesionalitas dan kecukupan bukti. Untuk itu, perlu penguatan terhadap mekanisme judicial scrutiny yang efektif dengan tujuan terjaminnya hak asasi manusia serta meningkatkan profesionalitas dan akuntabilitas aparatur penegak hukum, melalui pengujian pengadilan yang objektif dan akuntabel. Perubahan terhadap KUHAP adalah salah satu tahapan yang harus dilakukan.
8
Hal ini, selain memberi pengaruh besar pada hak-hak warga negara, juga berimbas kepada tahapan dan aspek lainnya, misalnya penahanan dan fenomena overcrowded di Lembaga Pemasyarakatan. 9 Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 10 Mengenai kelemahan pra peradilan ini dapat ditinjau lebih lanjut di http://icjr.or.id/praperadilan-diindonesia-teori-sejarah-dan-praktiknya/
Pembaruan KUHAP juga sejalan dan tidak bertentangan dengan perspektif dan semangat pemberantasan korupsi. Formulasi yang cukup sering digunakan dalam memandang “corruption as a system” adalah C =M + D – A, sebagaimana dirumuskan oleh Robert Klitgaard.11 Korupsi sama dengan monopoli (kewenangan yang begitu besar dan terpusat) ditambah dengan diskresi serta minus akuntabilitas.
KUHAP hari ini memenuhi rumusan tersebut. Pengaturan KUHAP memberi kewenangan yang begitu besar dan terpusat ditambah dengan diskresi kepada aparatur penegak hukum, terutama kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Kewenangan tersebut tidak diikuti oleh ruang pengawasan dan akuntabilitas yang juga sama besarnya. Sehingga, potensi untuk penyalahgunaan dan korupsi begitu besar dan terbuka lebar.
Secara historis, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk untuk menangani perkara tindak pidana korupsi karena lembaga pemerintah, dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan, belum berfungsi secara efektif dan efisien.12 Kini, sudah lebih dari satu dasawarsa KPK dibentuk, seharusnya ada pertanyaan besar, mengapa Kepolisian dan Kejaksaan tak kunjung efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi? Sebab utamanya adalah karena KUHAP memberi celah besar dan bahkan melanggengkan perilaku koruptif tersebut.
Celah untuk melakukan korupsi dalam KUHAP begitu besar. Mulai dari penetapan tersangka, penahanan, penghentian penyidikan (SP3), penghentian penuntutan, sampai dengan pelaksanaan eksekusi. Celah tersebut timbul karena kewenangan aparatur penegak hukum yang begitu besar namun diikuti oleh skema pengawasan yang minim. KUHAP juga memberikan ruang pada subjektivitas dan diskresi aparatur penegak hukum tanpa adanya mekanisme uji yang layak.
11
Robert Klitgaard, International Cooperation Against Corruption, Maret 1998. Lihat di http://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/1998/03/pdf/klitgaar.pdf , diakses pada Rabu 12 Maret 2014. 12 Poin menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dengan demikian, upaya untuk melakukan perubahan terhadap KUHAP dengan menghadirkan skema pengawasan dan pengujian, senafas dengan upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi. Terutama korupsi di sektor peradilan (judicial corruption).
Beberapa waktu belakangan, pembaruan KUHAP ditentang oleh berbagai kalangan dengan beragam argumentasi. Berikut adalah tanggapan terhadap beberapa pasal dalam RKUHAP yang dianggap berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Pertama, RKUHAP meniadakan ketentuan lain di luar RKUHAP. Argumentasi ini dapat disanggah secara jelas dengan mengacu kepada Pasal 2 RKUHAP. Pasal 2 RKUHAP menyatakan bahwa “[a]cara pidana dijalankan hanya berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang”. Pengaturan ini bahkan sangat berbeda dengan Pasal 3 KUHAP yang menyatakan bahwa “[p]eradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Begitu juga dengan Pasal 3 ayat (2) RKUHAP dimana dinyatakan “[k]etentuan dalam undangundang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain”.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, maka dapat diperoleh pengertian bahwa RKUHAP tidak sama sekali meniadakan keberlakuan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana lain di luar RKUHAP, sepanjang diatur dalam undang-undang dan ketentuan tersebut menentukan lain. Hal ini yang dikenal dengan asas lex specialis derogat legi generali, bahwa ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.
Kedua, dihapuskannya penyelidikan. Apabila kita melihat pengaturan dalam RKUHAP, sesungguhnya tidak ada penghapusan terhadap fungsi penyelidikan, namun yang dihapuskan hanya nomenklaturnya. Fungsi penyelidikan tetap bisa dilaksanakan.
Pasal 1 butir 5 KUHAP menyatakan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa penyelidik berwenang untuk
(i) menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana, (ii) mencari keterangan dan barang bukti, (iii) menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan (iv) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Apakah dengan dihapuskannya nomenklatur penyelidikan dalam RKUHAP, aparat penegak hukum tidak bisa melakukan kewenangan sebagaimana disebut diatas? Lalu, bagaimana dengan kewenangan penyadapan KPK yang menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dilakukan mulai dari tahap penyelidikan?
Dalam struktur RKUHAP, aparat penegak hukum masih dapat menjalankan fungsi penyelidikan (surveillance) sebagaimana disebut diatas. Pasal 7 ayat (1) RKUHAP menyatakan penyidik mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 KUHAP.
Penyadapan yang dilakukan oleh KPK dengan dihapuskannya nomenklatur penyelidikan ini juga tidak akan terpengaruh. Hingga saat ini, belum ada satu mekanisme uji apapun terhadap penyadapan yang dilakukan oleh KPK, termasuk pengujian dari sisi tahapan. Begitu juga dengan karakteristik penyadapan yang dilakukan dengan kerahasiaan (confidentiality). Apabila RKUHAP diberlakukan pun, Pasal 84 RKUHAP yang mengatur mengenai penyadapan, tidak melekatkan penyadapan pada tahapan, melainkan pada keseriusan tindak pidana.
Dengan digabungkannya nomenklatur penyelidikan dan penyidikan menjadi penyidikan sebenarnya bisa memperkuat fungsi penyelidikan itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa dalam tahapan penyelidikan, tidak ada upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparatur penegak hukum. Misalnya, memanggil saksi secara paksa. Sebaliknya, pada tahapan penyidikan, upaya paksa dapat dilakukan. Penghapusan nomenklatur penyelidikan tidak membawa signifikansi apapun karena fungsinya tetap ada dan melekat. Dengan demikian, tidak terlalu berpengaruh apabila tetap ingin dicantumkan atau dihapuskan.
Ketiga, penghentian penuntutan perkara di Pasal 44 RKUHAP. Apabila mencermati pengaturan pasal ini, titik tekan diberian bukanlah pada penghentian penuntutan, melainkan penyeleksian atau penyaringan layak atau tidaknya penuntutan ke pengadilan. Selain itu, yang menjadi objek
pemeriksaan juga bukan pokok perkara melainkan kelayakan atau kesiapan penuntutan serta alat bukti. Dalam praktiknya, banyak kasus yang terkesan dipaksakan untuk disidangkan, tanpa adanya kelayakan dan kecukupan alat bukti.
Sisi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pemeriksaan ini, menjadi dasar untuk dikeluarkannya surat perintah penghentian penuntutan. Hal yang sebelumnya dimonopoli secara absolut oleh penuntut umum. Pasal 44 ayat (2) RKUHAP menyatakan bahwa sebelum memberi putusan tentang layak atau tidaknya suatu perkara dilakukan penuntutan ke pengadilan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat memeriksa tersangka dan saksi serta mendengar konklusi penuntut umum.
Ini merupakan upaya kontrol terhadap kewenangan yang sebelumnya dimonopoli oleh penuntut umum. Sebagaimana diketahui, kewenangan yang bersifat monopolistik dan minim pengawasan, akan cenderung atau berpotensi disalahgunakan. Persidangan terbuka, dengan menghadirkan tersangka, saksi, dan penuntut umum, adalah bangunan pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan tersebut. Dengan demikian, celah untuk menyalahgunakan kewenangan dan praktik korupsi dapat ditekan.
Keempat, penyidik tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan. Pasal 58 ayat (3) menyatakan “[u]ntuk kepentingan pemeriksaan pada tahap penyidikan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan atas permintaan penyidik melalui penuntut umum berwenang memberikan persetujuan perpanjangan penahanan terhadap tersangka”.
Secara filosofis, kewenangan untuk menahan seseorang dimiliki oleh institusi pengadilan. Penyidik dalam melakukan penahanan adalah dalam rangka menjalankan kewenangan yang dimiliki pengadilan tersebut. Sehingga, tidak berlebihan apabila persetujuan terhadap perpanjangan penahanan, dimintakan kepada pemilik kewenangan tersebut, dalam hal ini adalah pengadilan.
Selain itu, pengaturan ini adalah upaya kontrol terhadap kewenangan penahanan penyidik yang cenderung subjektif dan berpotensi disalahgunakan. Kewenangan penahanan maupun perpanjangan penahanan pada tahap penyidikan yang dimiliki oleh penyidik berpotensi
dijadikan alat tawar-menawar dengan tersangka. Ruang ini membuka pengujian terhadap hal tersebut. Setidaknya ada 3 (tiga) pihak yang terlibat dalam perpanjangan penahanan ini, yaitu penyidik, penuntut umum, dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Sistem saling mengawasi akan tercipta dengan pengaturan ini. Terlebih lagi, hal ini ditujukan untuk menerobos pola pikir, bahwa masa penahanan pada masing-masing tahapan adalah waktu yang wajib dihabiskan, misalnya pada tahapan penyidikan 20 hari ditambah dengan 40 hari. Seharusnya prinsip yang berlaku adalah prinsip segera (promptly).
Kelima, masa penahanan kepada tersangka lebih singkat. Hal ini tidak tepat apabila meninjau lebih jauh ketentuan Pasal 60 RKUHAP dan membandingkannya dengan pengaturan Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP. Lamanya penahanan, pada tahap penyidikan menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP, adalah paling lama adalah 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum untuk paling lama 40 hari. Dengan demikian, untuk tahap penyidikan, terdapat waktu maksimal 60 hari untuk melakukan penahanan.
Bagaimana dengan pengaturan RKUHAP? Pasal 60 RKUHAP menyatakan bahwa penahanan pada tahap penyidikan dapat dilakukan untuk waktu paling lama 5 hari. Penahanan tersebut dapat diperpanjang paling lama 5 hari oleh penuntut umum. Apabila perpanjangan penahanan disetujui oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan, maka penahanan dapat dilakukan untuk waktu paling lama 20 hari. Tidak hanya itu, apabila penahanan untuk kepentingan penyidikan dirasa masih diperlukan, hakim pengadilan negeri berwenang melakukan penahanan atas permintaan penyidik untuk waktu paling lama 30 hari. Hal tersebut juga masih dapat diperpanjang atas permintaan penuntut umum untuk waktu paling lama 30 hari. Dengan demikian, apabila semua waktu yang tersedia dihabiskan, penahanan pada tahapan penyidikan dapat dilakukan untuk jangka waktu 90 hari.
Dari perbandingan diatas, dalam RKUHAP terdapat perbedaan jangka waktu penahanan pada tahap penyidikan yang lebih lama yaitu sebanyak 30 hari dibanding KUHAP. Meskipun secara durasi lebih lama, terdapat hal yang patut diapresiasi, yaitu dengan menghadirkan sistem pengawasan oleh hakim terhadap penahanan yang dilakukan oleh penyidik.
Pasal 60 ayat (4) menyatakan bahwa Hakim Pemeriksan Pendahuluan setelah menerima surat permintaan perpanjangan penahanan dari penyidik, wajib memberitahu dan menjelaskan kepada tersangka melalui surat atau mendatangi secara langsung mengenai (a) tindak pidana yang disangkakan terhadap tersangka, (b) hak-hak tersangka, (c) perpanjangan penahanan.
Selain bertujuan untuk melakukan pengawasan, hal ini juga untuk memastikan bahwa hak tersangka telah dijamin dan dipenuhi. Ditambah lagi, adanya pengawasan oleh hakim ini dapat menekan penahanan sewenang-wenang oleh penyidik.
Keenam, hakim dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh penyidik. Pasal 67 ayat (1) RKUHAP menyatakan bahwa “[a]tas permintaan tersangka atau terdakwa, sesuai dengan kewenangannya, Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau hakim pengadilan negeri dapat menangguhkan penahanan dengan jaminan uang dan/atau orang”.
Pengaturan ini bukan hal yang baru, karena sudah diatur sebelumnya pada Pasal 31 KUHAP. Meskipun, dalam praktiknya, tidak jelas efektivitas pelaksanaannya juga besaran tetap uang jaminan dan pengembaliannya kepada tersangka atau terdakwa. Sistem penangguhan penahanan dengan bail system ini dapat menjadi solusi alternatif di tengah kondisi rumah tahanan yang kelebihan kapasitas.
Selain itu, lagi-lagi, pengaturan dalam RKUHAP ini menutup celah praktik korupsi yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dengan alasan penangguhan penahanan. Pasal 67 secara lebih lengkap mengatur bagaimana proses pemberian penangguhan penahanan tersebut. Terdapat dua pihak yang dapat saling mengawasi dalam pemberian penangguhan penahanan ini, yaitu Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau hakim pengadilan negeri dan penuntut umum apabila mengajukan keberatan. Meski demikian, pengaturan lebih lanjut mengenai besaran uang jaminan dan prosedur pengembalian perlu diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketujuh, penyadapan harus seizin dan dapat dibatalkan oleh hakim pemeriksa pendahuluan. Perlu diperhatikan bahwa tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan. Terdapat berbagai institusi lain, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Badan Narkotika Nasional, dan sebagainya, yang juga memilki kewenangan tersebut. Hingga saat ini, setidak-
tidaknya terdapat 16 peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyadapan. Namun, ditengah banyaknya institusi maupun produk hukum yang mengatur kewenangan penyadapan, belum ada satu undang-undang pun yang mengatur secara khusus mengenai penyadapan, sehingga pengaturan masih tersebar dan berbeda secara materi muatan satu dengan yang lain.
Pengaturan Pasal 83 dan 84 RKUHAP juga belum memadai dalam mengatur penyadapan. Beberapa ketentuan yang setidak-tidaknya juga dimuat adalah (i) wewenang untuk memerintahkan, meminta, atau melakukan penyadapan, (ii) tujuan penyadapan, (iii) prosedur acara penyadapan, (iv) pengawasan terhadap penyadapan, (iv) penggunaan hasil penyadapan, (v) mekanisme pengujian dan komplain, serta (vi) pemusnahan atau pengembalian hasil penyadapan.
Selain sebagai jaminan terhadap perlindungan hak atas privasi, pengaturan penyadapan ini cukup penting, agar tidak disalahgunakan oleh aparatur penegak hukum. Dengan kata lain, selain mengatur mengenai tahapan, pengaturan juga patutnya diarahkan pada upaya untuk membuka ruang akuntabilitas dilakukannya penyadapan. Apabila ruang dan mekanisme tersebut dibuka, maka potensi penyalahgunaan kewenangan dan dapat saja berujung pada korupsi dapat diminimalisir. Izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah upaya untuk mendukung akuntabilitas tersebut.
Satu catatan, pada kasus Antasari Azhar, KPK pernah dihadapkan pada persoalan akuntabilitas penyadapan ini. Dalam putusan Peninjauan Kembali, dinyatakan bahwa terdapat fakta adanya perintah oleh Antasari Azhar (dahulu masih menjadi Ketua KPK) untuk melakukan pelacakan dan penyadapan terhadap beberapa nomor telepon.13 Namun, tidak ada mekanisme pengujian yang memadai untuk memastikan apakah penyadapan tersebut dilakukan ditujuan untuk kepentingan pengungkapan suatu kasus (KPK untuk tindak pidana korupsi) atau bukan. Hal ini juga dialami oleh kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh lembaga lain, tidak ada mekanisme uji yang memadai sehingga berpotensi disalahgunakan.
13
Vide hal 5 Putusan Nomor 117 PK/Pid/2011.
Kedelapan, penyitaan harus mendapatkan izin dari hakim. Hal ini juga bukanlah sesuatu yang baru diatur. Dalam Pasal 38 KUHAP dinyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri. Sementara, menurut Pasal 75 RKUHAP, penyitaan harus mendapatkan izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan berdasarkan permohonan melalui penuntut umum.
Hal ini dapat dihubungkan dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang menyatakan bahwa penyitaan dapat dilakukan tanpa izin ketua pengadilan negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya dan atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan keberadaannya sebagai lex specialis, maka yang berlaku adalah ketentuan UU KPK.
Kesembilan, putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 240 RKUHAP, dimana dinyatakan “[t]erhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas”.
Pengaturan ini tidak berbeda dengan Pasal 244 KUHAP yang menyatakan “[t]erhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada putusan Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Dalam perkembangannya, aturan ini diterobos oleh Mahkamah Agung melalui penafsiran dan putusanputusannya. Terlebih lagi, keberatan terhadap pasal ini sama halnya dengan mendukung perubahan KUHAP karena pengaturan yang sama.
Kesepuluh, putuan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan Pengadilan Tinggi. Hal ini diatur dalam Pasal 250 ayat (3) RKUHAP yang berbunyi “[p]utusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi”. Namun, pengaturan pasal tersebut tidak bisa diartikan terpisah dari Pasal 250 ayat (2) RKUHAP. Dimana, dalam hal Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi, Mahkamah Agung memutus mengenai penerapan hukum dan tidak mengenai fakta atau pembuktian.
Apabila dibaca dalam satu rangkaian, maka dapat diartikan bahwa Mahkamah Agung tidak boleh memberikan pemidanaan yang lebih berat berdasarkan penilaian atas fakta atau pembuktian. Hal ini karena posisi Mahkamah Agung sebagai judex jurist, bukan sebagai judex facti. Mahkamah Agung berposisi sebagai penilai penerapan hukum, bukan penilai atas fakta atau pembuktian. Sehingga tidak ada alasan yang cukup logis bagi Mahkamah Agung sebagai penilai penerapan hukum untuk memutus lebih tinggi dari pengadilan tinggi sebagai penilai fakta, karena penentuan kesalahan dan pemidanaan lahir berdasarkan fakta.
Hal yang berbeda adalah apabila dalam menilai penerapan hukum, terdapat kekeliruan sehingga lebih tepat dikenakan pasal yang lain dengan ancaman pidana yang berbeda. Untuk kondisi ini, putusan Mahkamah Agung akan mengikuti pemidanaan menurut pasal yang dikenakan, apakah akan mengurangi atau menambahkan pemidanaan.
Dari pemaparan singkat diatas, sepatutnya dapat dimengerti bahwa pembaruan KUHAP adalah demi kepentingan perlindungan hak asasi manusia sekaligus upaya pemberantasan korupsi yang saling terpadu antar penegak hukum dan pengadilan. Pembaruan KUHAP adalah satu langkah dalam pembenahan sistem peradilan pidana terpadu. Bertahan dengan pengaturan KUHAP hari ini, sama dengan melanggengkan potensi penyalahgunaan dan korupsi dalam penegakan hukum. Perlu ada upaya yang efektif dan efisien dalam kerja pemberantasan korupsi, yaitu dengan mengefektifkan penegak hukum lainnya dan institusi pengadilan melalui pembaruan KUHAP.
***