Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
“Mendorong dan memfasilitasi para ornitolog muda; kontribusi nasional untuk pengembangan pengetahuan internasional”
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
-2-
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Kutipan yang disarankan: Yeni Mulyani, Adam A. Supriatna, Wilson Novarino, dan Margaretha Rahayuningsih (Editor). 2007. Prosiding Seminar Ornitologi Indonesia 2005. Indonesian Ornithologists’ Union (I dOU). Bogor, Indonesia Kompilasi & Lay-out Adam A. Supriatna, Dwi Mulyawati Foto Yus Rusila Noor dan PILI-NGO Movement Perhimpunan Ornitolog Indonesia atau Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU) adalah organisasi non profit dan berbasis keanggotaan yang didirikan tanggal IdOU 23 Agustus 2004 di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tujuannya adalah ‘memajukan ornitologi Indonesia dengan mempromosikan studi mengenai semua aspek burung Indonesia’ Informasi lebih jauh mengenai IdOU bisa menghubungi: Kukila Editorial Secretariat c/o PILI-NGO Mov ement, alamat: Jalan Tumenggung Wiradireja No. 216, Cimahpar, Bogor 16155, Indonesia or PO Box 146, Bogor 16001, Indonesia. Telp. +62 251 657002 Fax +62 251 657171. Email: kukila@pili. or.id - Website: www.indonesian-ornithologists.org
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
-3-
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Ucapan terimakasih Seminar ini bisa terlaksana berkat bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh sebab itu, IdOU secara khusus berterimakasih kepada PILI-NGO M ovement atas bantuan dana dan fasilitasi serta stafnya, terutama Drs. Iwan Setiawan (Direktur), dan Eka M uliawati Putri; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terutama Dr. Dedy Darnaedi, dan Dr. Dewi M . Prawiradilaga atas dukungan moral dan inisiasi awal pelaksanaan seminar; Center for International Forestry Research (CIFOR) yang sudah meminjamkan beberapa partisi untuk keperluan pemasangan poster peserta. Juga, Conservation and Research Training Center /The Nature ConservancyIndonesia (attn: Bas van Helvoort) dan JICA - PHKA Gunung Halimun Salak National Park M anagement Project (attn: Kanerori M iura dan Hiroshi Kobayashi) layak mendapatkan ucapan terimakasih atas terselenggaranya acara seminar ini. IdOU berterimakasih kepada Saudara Wilson Novarino sebagai ketua penyelenggara seminar yang secara managerial banyak dibantu oleh Ibu Ani Siregar dan Ibu Jenni Shannaz serta dedikasi luar biasa dari para sukarelawan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga menjadi amal baik! Terima kasih juga disampaikan kepada Colin Trainor, John Riley, Vincent Nijman, dan Nick Brickel, serta M argaretha Rahayuningsih atas komentar dan masukan dalam penyuntingan beberapa makalah yang dicantumkan dalam prosiding ini. Semoga menjadi amal baik!
Adam A. Supriatna Direktur Perhimpunan Ornitolog Indonesia
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
-4-
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Catatan Editor Prosiding ini tidak lengkap memuat semua makalah yang dipresentasikan pada hari seminar karena proses review dan editing yang diterapkan telah menghasilkan kompilasi makalah seperti yang sekarang tersaji. Editor pada dasarnya melihat potensi besar semua makalah riset di muat utuh namun karena dalam upaya klarifikasi dan verifikasi data dan informasi yang tersaji ada beberapa hambatan, seperti kesulitan komunikasi dengan penyaji sehingga tidak didapat respon yang memadai, maka dalam prosiding ini hanya ditampilkan abstraksi-nya saja. Ini semata-mata hanya masalah kesulitan komunikasi dan tenggat waktu yang ditetapkan menerbitkan prosiding ini. Selain proses editing, abstrak yang dimuat juga tidak diterjemahkan, baik itu yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris. Abstrak dimuat sesuai dengan bahasa yang digunakan ketika pertama kali abstrak-abstrak tersebut masuk ke meja panitia. Demikian disampaikan, selamat membaca. Tim editor
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
-5-
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
DAFTAR ISI Judul
Hal.
Ucapan Terimakasih Catatan Editor Indonesian Ornithologists’ Union National Ornithological Seminar; Preliminary notes from the seminar
4 5 7-10
Makalah utama More than 99 % type speciment of Indonesian birds held in meseum: Indonesian ornithological history (Prof S. Somadikart a, Pembicara kunci)
11-21
Important Birds Areas (Rudyanto)
22-26
Conservation model for endangered Species (K. Miura )
27
Indonesian Bird Banding Schemes-IBBS (Yus Rusila Noor)
28
Burung air Breeding Biology of Milky Stork Mycteria cinerea (Imannudin & Ani Mardiastuti) Beberapa aspek ekologi Ibis karau Pseudibis davisoni di sungai Mahakam Kalimantan Timur (Edy Sutrisno, Imanuddin & Reddy R.) Burung pemangsa (Raptor ) 2001 – 2004 Records of Rapt or Migration Sightings in Sumatera, Kalimantan, Java, Bali and Nusa Tenggara (Wishnu Sukmantoro) Intensive observation on breeding time of Elang Jawa Spizaetus Bartelsi (Stresemann, 1924) at Gunung Baud, Telaga Warna-Puncak, Bogor (Usep Suparman) Daerah jelajah anak Elang jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) dan interaksi dengan induknya (Dwi Mulyawati dan Usep Suparman) Ker agaman bur ung Analisis Avifauna dan Degradasi Jenis Burung pada Hut an Tidak Terganggu dan Terganggu di Kawasan Taman Nasional Tanjung Putting. Kalimantan Tengah (Suharti, H. Rusmendro & Benny J.)
29-36 37-42
43-58
59
60-67
68
Perbandingan Keanekaragaman Burung Pada Pagi Dan Sore Hari Di Empat Tipe Habitat Yang Berbeda Di TWA Dan CA Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat (Ady Kristanto, Wisnu W. & Hasmar R.)
69-74
Variasi Warna Pada Dua spesies Burung Raja Udang [ Ceyx spp.] (M. Nazri J. &. Anas S.)
75-84
Ekologi burung Preferensi dan Interaksi Burung Rangkong Terhadap Ketersediaan Buah Ara (Ficus spp) di Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung (Firdaus Rahman Aff andi & Nurul. R. Winarni) Recent Conservation status of Red and Blue Lory Eos hystrio Talautensis in Indonesia (Asep Adhikerana) Fragmentasi Hutan Vs Burung Rangkong: Mampukah Burung Rangkong Bertahan Hidup? (Y. Hadiprakarsa & N. L. Winarni ) Topik khusus Melestarikan Burung Bersama Pemangku Kebijakan (Noe rdjito)
85-92
93 94-102
103
Kurikulum Ornithologi, Perkembangan Ornithologi di Institut Pertanian Bogor (Ani Mardiastuti)
104-110
Penangkaran Burung Ocehan Menuju Pemanf aatan Sumberdaya Burung Secara Lestari (Made S. P rana)
111-117
Topik tambahan Bird Tour di Sulawesi * (Yunus Masala)
118
Kukila, Journal of Indonesian Ornithologists* (Richard Noske) A Presentation from IdeaWild* (Walter D. V an Sickle ) Pr esentasi poster Poster (6) *
119-122
Penyampaian tidak dalam bentuk makalah hanya slide show dan talk show (guided discussion).
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
-6-
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
English Summary
Indonesian Ornithologists’ Union National Ornithological Seminar (19 - 20 March 2005, Bogor, W. Jawa)
Pre liminary notes from the seminar
The seminar was opened with a key note speech by Soekarja Somadikarta, whom pointed out that between 1758 - 2004, as many as 4300 taxa of birds has been described from Indonesia. Having been studied by around 120 ornithologists of various nationalities, these new taxa are mostly described in the European languages of English, German, French, Italian and Dutch. For the record, Erwin Stressemann and Ernst M ayr alone shared between them descriptions of more than 400 new taxa. Of a particular challenge to the national ornithologists are the fact that more than 99% holotypes of Indonesian birds are now in the overseas museums. BirdLife's recent product, namely Directory of Indonesian IBA (Important Bird Area) is introduced by Rudyanto, as a mean of returning the knowledge to the contributors, vis a vis, national and international field ornithologists. The IBA publications has clearly played its contribution in formulating relevant conservation strategies at multiple levels of governance. It is appreciated that the amount of information resulting in Important Bird Areas and Red Data Books publication can not be achieved without the contribution from Indonesia’s field ornithologists, and therefore, this progressive, two-way accumulation of knowledge should be fostered. Biological data from two globally threatened storks are presented. Based on three seasons’ study (1998 – 2001), Imanudin and Ani M ardiastuti, presented breeding biology data on the M ilky Stork in Rambut I., off the coast of Jakarta/ W. Jawa. Another study lasting for about a year (mainly between 2004 – 4) by Sutrisno, Imanudin and Rachmadi, yielded behavioural ecology data on the White-shouldered Ibis Pseudoibis davisonii between Long Iran and Long Bagun . M ahakam River, E. Kalimantan. With proper analysis and interpretation these data have good potentials for publication in international conservation journals. Even a carefully edited summary of each of these studies is likely to merit consideration in Kukila and or Storks, Ibises and Spoonbills Newsletter. One study, by Asep Adhikerana, Christian M amengko, Wesley Pangemanan, and M ichael Wangko, considered the recent conservation status of one of the most endangered parrots in the world, namely Eos histrio talautensis., the Red-and-Blue Lory of Karakelang I., Talaud Is. Sangihe Talaud Archipelago, Indonesia. Population estimates, corrected for detectability in different habitats were provided, i.e. 118,955; 27,063; and 59,959 for primary forests, secondary forests, and cash crop cultivations, respectively, thus making the total population estimate to be 159,505 birds. Roosting site characteristics, predominated by scattered emergents, particularly Pometia, were described and in average 251 roosts at any one tree have been estibated. The study also examined detailed harvest data, noting that in August – Deember 2004 alone , a total of 295 birds have been taken out of Karakelang I. A conservation biology study by Yokie Hadiprakarsa and Nurul Winarni considered hornbill survival in a fragmented forest landscape in Lampung Province, southern Sumatera. The eight months study (January – August 2003), covered 18 forest patches (out of 60 forest fragments in the province), and the nine hornbill species known for Sumatera. It turned that every patch has 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
-7-
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
at least one hornbill. Large bodied and wide ranging species were found in most forest patches, excepting Helmeted Hornbill (Buceros vigil) and Great Pied Hornbill (Buceros bicornis). Smaller, territorial hornbills were sensitive to degree of isolation, although patch size did not impact their density. Were sizes of each forest patch treated independently, fragmentation did impact the hornbills’ distribution and density. However, if all the remaining natural forest patches were conserved and treated as a continuous habitat, with serious management practices the hornbills can have a better chance of survival across the landscape of forest patches. A behavioural ecology study of the Lampung hornbills, by Firdaus Rahman Adi, considered the hornbills’ utilization of figs in Way Canguk National Park. The four species of hornbills studied consumed eight species of figs at varying intensities. The size of the fig appeared to influence the numbers of hornbills coming to feed. Times are Indonesia;s shift toward regional autonomy. It is commendable, that a young ornithologist from a local university (Lampung) has been encouraged and managed to deliver this useful study, and present the results at a national seminar altogether. Indonesia housed now a strong and growing number of raptor specialists. Wishnu Sukmantoro shared his 2001 – 2004 raptor migration records from Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali and Nusa Tenggara, In all the sites monitored, Chinese Goshawk predominated (close to 80% of all sightings), followed by Oriental Honey-buzzard, and Japanese Sparrowhawk (the combined total making close to 20 % of all sightings). The raptor specialists in Jawa has also spent considerable effort studying and monitoring the endemic Javan Hawk Eagle Spizaetus bartelsii. A field study by Usep Suparman, from April – December 2003 in Telaga Warna (Puncak highland, W. Jawa) yielded valuable reproductivebehaviour data of local pairs, encompassing territory establishment, mating and pairing, brood and incubation, to hatching and fledgling, with descriptions of young plumage, from the first till the 185th day. This field study at Telaga Warna was continued by Dwi M ulyawati and Usep Suparman, whom followed post-fledgling movements. The study, beginning when the fledgling was 9 months of age, lasted from Feb. – July 2004, and showed that the fledgling home-range increased with maturity, whereas no significant interaction was noted between the bird and its parent, safe from feeding offers and occasional aggression by the parent. Two studies considered diversity measurements under variable conditions in moists forests in Tanjung Puting National Park, W. Kalimantan and Pangandaran Recreation Park/ Nature Reserve, W. Jawa. The study in Tanjung Putting by Suharti, Hasmar Rusmendro and Benny Jaya, revealed that the less disturbed forest showed higher values of species richness and Shannon Index (S= 131, H1 = 4.32; versus S= 63, H1 = 3..46 in more disturbed habiats) and that the difference is contributed by species richness more than evenness. The study in Pangandaran, by Ady Kristanto, Wisnu Wijatmoko, and Hasmar Rusmendro considered the impacts of observation times to detectability, across four different. In the relatively closed habitats (forest, forest edges, and beach vegetation), more birds are detected in the morning than those in the afternoon. In the more open habitat (grasslands), observation times did not appear to impact detectability. These studies conducted in Indonesia’s threatened parks is commendable for its choice of location and could be made even more productive were such studies considered angles of relevance to more urgent conservation priorities and strategies including (but not limited) to autecology of endangered species surviving in the parks. One study, by M . Nazri Janri and Anas Sahabila, considered morphological variations in Ceyx Kingfishers in West Sumatera based on mist-netted live individuals. Based on the specimen examinations (17 Red-backed Kingfisher Ceyx rufidorsa,, 1 Black-backed Kingfisher C. erithacus and 3 intermediary form) the study suggested three colour forms existed. The study 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
-8-
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
using Microft Word colour chart as colour reference highlights the need for using standard colour swatch ( for instance, Smithe, F. B. 1975. Naturalist’s color guide. American M us. Nat. Hist., New York; M unsell. 1977. Munsell color charts for plant tissues. Gretagmacbeth. New Windsor, New York. ), a simple tool which is (understandably) not readily accessible in Indonesia’s research institutions and yet vital in this case. A landscape model for conserving threatened species of Indonesian birds have been drawn from Gunung Halimun Salak M anagement Project (collaboration by Japan International Cooperation Agency, and Indonesian Directorate General of Nature Protection and Conservation. The project’s Team Leader, Kanerori M iura related that while the project generated good ecological data from the park, a particular problem remained, and will need to be addressed by the project, namely increasing conflicts from the park’s local community. Given the flourishing numbers of active field ornithologists in Indonesia, Neville Kemp has thought of formalizing the records by establishing Indonesian Club300, to be formatted after Europe’s Club300 (to be called IdOU300). IdOU300 can potentially serve as bird observation forum aiming to foster objective approaches in ornithological field research activities. M embers of IdOU will be encouraged to submit their records to this forum, and the submitted records will be examined by a pre-determined committee, consisted of ornithological experts. The members of IdOU will then be recognized on various categories of merit, based on the amount and importance of their contributions. This initiative will provide an informal forum to promote wild bird observation, developing ornithological skills, and making available webbased data-base. This initiative is clearly beneficial to Indonesian ornithology, and the success of actual launching of this initiative will likely to depend on Neville Kemp’s leadership. Over the years, Indonesia has received bird banding research and training, including those collaborated with the then Royal Australasian Ornithologists Union/ Asian Wetland Bureau in the 1990s and more recently Yamashina Institute of Ornithology. Yus Rusila Noor emphasized that there is need for developing banding schemes in country, an Indonesian Bird Banding Scheme (IBBS), which can be modelled after the existing schemes such Australian Bird Banding Scheme. The urgency relates to both needs of data, and to conducting banding in efficient and ethical manners. It is hoped that the Biological Research Center of the Indonesian Institute of Sciences can take a formal lead in developing a possible IBBS. M edium to longer term studies of birds has been initiated at IPB-Bogor A gricultural University, and led by Ani M ardiastuti, whom focused on behaviour ecology of the M ilky Stork Mycteria cinerea colony in Rambut Island. IPB also hosted a number of studies on Green Peafowl Pavo muticus, the composite results of which have the potential to be written as scientific papers. The teaching and research capacity of Dept. of Natural Resources Conservation and Ecotourism is outlined, including the qualifications of three ornithological specialists. In many of the years the Dept. has been established, not many students has opted to study biology and conservation of birds, with 4 – 12 undergraduate students enrolling the course in every semester. Lack of standard names for Indonesian birds was highlighted by M as Noerdjito, who is on the verge of producing a full list of Indonesian bird names. Soekarja Somadikarta, called for a more rigorous approach toward standardizing Indonesian bird names, using clear pre-defined outline and criteria, and further suggested Indonesian Ornithologists’ Union should help substantiating and formalizing the Indonesian bird names. The statistics and anatomy of Kukila- Bulletin of the Indonesian Ornithologists’ Union was presented by Richard Noske. Kukila has been contributed mostly by international ornithologists, and there is need to train Indonesian ornithologists to write for Kukila. The 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
-9-
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
geographical regions of Papua, and , surprisingly, Jawa have been under represented in terms of number of articles. In terms of numbers of pages, annotated lists predominated, but in terms of numbers of articles, new geographical records pre-dominated. Surprisingly, there are little published studies on behaviour, which is actually an easy subject to tackle. The role of PBI - Indonesian Ornithological Society, Kukila’s previous host-organization was outlined by M ade S. Prana, whom chaired the organization from 1998, succeeding Kamil Oesman, (whom passed away earlier in 2005). PBI has always been been caught at the controversies of bird keeping. On one hand it was involved in the flourishing of bird singing contests, and on the other hand, such contests are detested by Kamil Oesman, who progressively brought conservation perspectives to the organization. Subsequently, S. Prana has been working hard to revise the chapter, regulate the bird contests, and increased conservation perspective. While attempting to make careful and expert breeding benefit in situ species conservation measures, breeding is seen to remain an important role for PBI. In closing, Soekarja Somadikarta shared his happiness to see highly enthousastic seminar contribution by Indonesian younger ornithologists. Eventually he encouraged Indonesian ornithologists to read more intensively and wider, as well as to contribute to international scientific journals, and in such way becoming ornithological patriots of the country. Posters displayed during the seminar featured wide ranging subjects • • • • • • • •
Population estimation of Green Peafowl, at Cikuray, W. Jawa (A. Koswara) Preparation of guidebooks for M oluccan Parrots (W.Widodo) M igratory shorebirds and seabirds (I.S. Suwelo) urban bird diversity in Padang (Jarullis, A. Salsabila & A. Bakar), urban bird diversity at Ancol Oceonarium, Jakarta (Danu, I.S. Suwelo & Rasidi) DNA isolates from Streptopelia bitorquata (A. Fathiah, Puspitaningrum & Paskal Sukandar) Dietary requirements of captive Red Lory Eos bornea (S. Paryanti) Conservation education in W. Jawa (BICONS)
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 10 -
Tinjauan sekilas sejarah ornitologi Indonesia: lebih dari 99% holotipe burung Indonesia disimpan di koleksi museum manca negara oleh S. Somadikarta
Pengetahuan tentang avifauna Indonesia sebelum tahun 1758 Steinmann dapat mengidentifikasi sebanyak tidak kurang 12 jenis burung yang terdapat di beberapa Candi di Pulau Jawa. (Sumber: Steinmann, A. 1934. Welke dieren vindt men op de Boroboedoer en op enkele Hindoe-Javaansche bouwwerken afgebeeld? Trop. Natuur, 23: 86-96)
Pauw (Merak) Relief Candi Borobudur, lk 800 M [dari Steinmann, 1934, Pl. 1h]
Casuarius sp. Relief Cand i Panataran, lk. 1100 M [dari Steinmann, 1934, Pl. IV b
Pavo muticus Linnaeus, 1766 McKinnon & K. Phillips (1993: Pl. 15)
Casuarius spp. Beehler et al. 1986 (Pl. 1). Birds of New Guinea.
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Foto G.H. Rumphius (1627-1702) dan Ilustrasi bukunya tahun 1741 (dari) Wit, H.C.D. de (ed.) 1959. Rumphius memorial volume. Hollandia, Baarn.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 12 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Bemmel tidak meragukan bahwa Rumphius (1627-1702) mencatat tidak kurang dari 50 spesies burung dari M aluku dan sekitarnya dalam naskah bukunya berjudul “Amboinsch Dierboek”. Catatan tentang burung Rumphius ini dibajak dan dijadikan dasar oleh F. Valentijn (1726) untuk menulis Bab tentang burung dalam bukunya Oud- en Nieuw Oost-Indien (Vol. 3) Keyakinan bahwa Valentijn telah membajak naskah Rumphius, dapat dibaca dalam buku Valentijn Oud- en Nieuw Oost-Indien (1726: hlm. 299) yang mengatakan bahwa ia (Valentijn) telah merasakan daging Kasuari pada tahun 1668. Sampai tahun 1685, Valentijn belum diberitakan bahwa ia sudah ada di Hindia Timur (East Indies). Bemmel, A.C.V. van. 1959. Rumphius as an ornithologist. (In) Wit, H.C.D. de. Rumphius memorial volume. Hollandia, Baarn: 37. M ungkin plagiarsm terbesar yang terungkap pada abad ke-18. Valentijn terbukti menjiplak naskah buku karya Rumphius.
Pengetahuan tentang avifauna Indonesia sesudah tahun 1758 Lebih dari 4300 taksa baru burung Indonesia yang ditemukan antara tahun 1758 – 2004 dipertelakan oleh lk. 120 ornitolog mancanegara
Year < 180 0
180 1-1850
1851-1900
1901-1950
1951-2 000
>200 1
Total
Dutc h
0
84
32
4
0
0
12 0
English
7
186
851
12 34
20 9
6
249 3
French
16
3 74
152
7
0
0
549
Germ an
5
25
314
470
20
0
834
Ita lia n
7
2
312
5
0
0
326
Total
35
671
166 1
17 20
229
6
432 2
Language
International Code of Zoological Nomenclature (ICZN) 1999: Recommendation 16C -
Preservation and deposition of type specimens. Recognizing the name-bearing types are international standards of reference (see Article 72.10) authors should deposit type specimens in an institution that maintains a research collection, with proper facilities for preserving them and making them accessible for study (i.e. one which meets the criteria in Recommendation 72F)
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 13 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
-
Type specimens of birds collected from the Indo-Australian Archipelago S . S omadikarta (ms) Dinopium javenense javense (Ljungh) (Check) Picus javenensis Ljungh, 1797. K. Vet. Akad. Nya Handl., 18: p. 134, Pl. 6. Holotype: ??, Java Dinopium (Picoides) erythronotus Rafinesque, 1814. Pr incipes Fondamenteaux de Somiologie: p. 2 of cover. Holotype: MNHN Paris?, Java (Rafinesque, Bull. Sci. Soc. Philom. Paris, 3, 1803: p. 146) Picus tiga Horsfield, 1821. Trans. Linnean Soc., 13: p. 177. [0022] Syntypes: BM(NH) 1880.1.1.4761, ad. male (relaxed mount), Java, collected by T. Horsfield (?) between 1811 and 1817, another syntype in the collection; CMZC 26/Pic/11/b/5-7, male, (male), female, Java (nos. 6-7), collect ed by T. Horsfield, date not recorded. There is another syntype in BM(NH). P. (Brachypternopicus) Rubropygialis Malherbe, 1845. Rev. Zool., 11, N ovember: p. 400. [0023] The description was based on a single female specimen. Holotype: BM(NH) Old Velum Cat. 24.184c, ad. female (mounted), Bengal = "East Indies", see Whistler & Kinnear, J. Bombay N at. Hist. Soc., 34, 1937: p. 294. Dinopium javense palmarum Stresemann, 1921. Arch. N aturgesch., 87, Abt. A (7): p. 93. [0044] The description was based on a serie of ten (5 males & 5 females) specimens collected from Sumatra. Holotype: ZSM 21.17, ad. male, Fort de Kock (= Bukittinggi), W Sumatra, collected by W. Volz (No. 117), no date. Range: Sumatra, Rhio Archipelago, W and C Java - Malay Peninsula Peters’ Check-list, V ol. 6 ( Peters 1948: 145) Reference(s): Warren (1966: 296), Benson (1999: 69)
Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1701 – 1800 Carl LINNAEUS 1707, Rashult, Stenbrohult, Smaland, Sweden; † 1778, Hammarby, Uppsala, Sweden Thomas HORS FIELD 1773, Bethlehem, PA, USA; † 1859, London, UK Louis Théodor LES CHELN AULT de la TOUR 1773, Chalons-sur-Saane, France; † 1826, Paris, France Sir Thomas Stamford Bingley RAFFLES 1781, at sea off Jamaica; † 1826, Highwood Hill, M iddlesex, UK Coenraad Jacob TEMMINCK 31 M arch 1778, Amsterdam, The Netherlands; † 30 January 1858, Leiden, The Netherlands
Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1801 – 1900 Bonaparte, Charles Lucien 24 M ay 1803, Plessis, France; † 29 April 1857, Paris, France Wallace, Alfred Russel 8 January 1823, Usk, Wales, UK; † 7 November 1913, Broadstone, near Wimborne, UK S alvadori, Conte Adlard Tommaso 30 September 1835, Porto S. Giorgio (Ascoli Piceno), Italy; † 9 October 1923, Turin, Italy Finsch, Friedrich Hermann Otto 8 August 1839, Warmbrunn, Germany; † 31 January 1917, Brunswick, Germany 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 14 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Adolf Bernhard MEYER 11 October 1840, Hamburg, Germany; † 5 February 1911, Berlin, Germany Adolphe Guillaume VORDERMAN 12 December 1844, ‘s Gravenhage (= The Hague, The Netherlands; † 15 July 1902, Batavia (= Jakarta), Java, Indonesia Ernst Johann Otto HARTERT 28 October 1859, Hamburg, Germany; † 11 November 1933, Berlin, Germany Erwin Friedrich Theodor S TRES EMANN (> 200 taksa baru) 22 November 1889, Dresden, Germany; † 20 November 1972, Berlin, Germany
Makam E. Hartert & E. Stresemann di Waldfriedhof Berlin-Dahlem (Foto: Dr. Ilse Kuehne) dan “Adik” (E. Mayr) & “Kakak” (E. Stresemann) di Oxford, UK (Intl. Orn. Congress ke-14) (Foto Eric Hosking dalam Proc. XIV IOC)
Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1901 - 1913 (1) -
Ernst MAYR (> 200 taksa baru) 5 July 1904, Kempten, Bavaria, Germany; † 3 February 2005, Bedford, M A, USA George Christoffel Alexander JUNGE 7 August 1905, Haarlem, The Netherlands; † 3 February 1962, Leiden, The Netherlands Andries HOOGERWERF 29 August 1906, Vlaardingen, The Netherlands; † 5 February 1977 Sidney Dillon RIPLEY 20 September 1913, New York, NY, U SA; † 12 M arch 2001, Washington, DC, USA
Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1901 - 1926 (2) -
Charles Matthew Newton WHITE 30 August 1914, Preston, Lancashire, UK; † 7 September 1978, Oxford, UK Karel Hendrik VOOUS 23 June 1920, Huizen, The Netherlands; † 31 January 2001, Huizen, The Netherlands Gerlof Fakko MEES 16 June 1926, Velsen, NH, The Netherlands
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 15 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Para penulis sejarah tentang ornitologi Indonesia -
Veth, H.J. 1879. Overzicht van hetgeen in het bijzonder door Nederland, gedaan is voor de kennis der fauna van Nederlandsch-Indie. Academisch Proefschrift, Rijksuniversiteit te Leiden. S.C. van Doesburgh, Leiden: viii + 204 pp. Sirks, M.J. 1915. Indisch Natuuronderzoek. Academisch Proefschrift, Rijksuniversiteit te Utrecht. Ellerman, Harms & Co., Amsterdam: xi + 303 pp. S tresemann, E. 1951. Die Entwicklung der Ornithologie von Aristoteles bis zur Gegenwart. Verlag Hans Limberg, Aachen: xv + 431 pp. S tresemann, E. 1975. Ornithology: From Aristoteles to the present. Translated by H.J. & C. Epstein. Harvard Univ. Press, Cambridge. Junge, G.C.A. 1954. Ornithologisch onderzoek in de Indische archipel. Ardea, 41, Jubileumnummer: 301-366.
Sejarah ornitologi Pulau Sumatra dan pulau-pulau di sekitarnya:
Sumatra: - Marle, J.G. van & K.H. Voous. 1988. A chronological historical synopsis of ornithological exploration in Sumatra. (In) J.G. van Marle & K.H. Voous. The birds of Sumatra. B.O.U. Check-list No. 10. B.O.U., T ring: 44-49.
Sejarah ornitologi Pulau Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya: Jawa: - Finsch, O. 1906. Zur Erforschungsgeschichte der Ornis Javas. J. Orn., 54: 301- 321. Kalimantan (Borneo): - Salvadori, T. 1874. Notizie storiche intorno all’ornitologia di Borneo. (In) T . Salavadori. Catalogo sistematico degli uccelli di Borneo. Ann. Mus. Civ. Stor. Nat. Genova, 5: vii – xii.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 16 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sejarah ornitologi kawasan Wallacea: -
Bruce, M.D. 1986. A chronological historical synopsis of ornithological exploration in Wallacea. (In) C.M .N. White & M .D. Bruce. The birds of Wallacea (Sulawesi,The Moluccas & Lesser Sunda Islands, Indonesia). B.O.U. Check-list No. 7. B.O.U., London: 68-75.
Sejarah ornitologi kawasan Papua dan pulau-pulau di sekitarnya: Papua: - Frith, C.B. 1979. Ornithological literature of the Papuan Subregion 1915 to 1976: an annotated bibliography. Bull. American Mus. Nat. Hist., 164, Art. 3: 379-465. -
S alvadori, T. 1874. Catalogo sistematico degli uccelli di Borneo con note ed osservazioni di G. Doria ed O. Beccari intorno alle specie da essi racolte nel Ragiato di Sarawak (kiri), dan Salvadori. T. Ornitologia della Papuasia e delle Molucche. Parte Prima (1880), Parte Seconda (1881), & Parte T erza (1882) (kanan)
Perhimpunan burung di Indonesia
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
-
Ornithologische Vereeniging in Nederlandsch Indie – O.V.I.N.I. didirikan di Batavia, tanggal 24 M ei 1941 [O.V.I.N.I. tidak berumur panjang karena Balatentara Dai Nippon (Jepang) menduduki Hindia-Belanda pada tanggal 8 M aret 1942]
-
Majalah Irena yang dikeluarkan oleh O.V.I.N.I. hanya terbit satu kali, yaitu Deel 1, No. 1 en 2, pada tanggal 1 November 1941
-
PERHIMPUNAN BURUNG INDO NESIA – PBI = INDO NESIAN O RNITHO LO GICAL SOCIETY - IO S (nama yang diberikan untuk dapat menampung semua “ aliran”) didirikan tanggal 20 September 1973 di Jalan Teuku Umar No. 35, Jakarta oleh lk 50 orang dari berbagai
- 17 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
golongan: (1) Penggemar, (2) Pencinta, (3) Ahli (Ornithologists), dan (4) Pedagang burung. -
Majalah Perhimpunan Burung Indonesia, KUKILA, Nomor 1 terbit dalam bulan Oktober 1975
KUKILA, Vol. 2, No. 1 dengan “wajah” dan “ukuran” lain, terbit pada bulan Mei tahun 1985, 10 tahun setelah kehadiran KUKILA No. 1 pada bulan Oktober 1975 (kiri) dan Wajah majalah KUKILA Vol. 12, Juli 2003 (Kanan)
-
Pada tahun 1998 PERHIM PUNAN BURUNG INDONESIA - PBI berubah nama dan tujuannya menjadi PELESTARI BURUNG INDONESIA (PBI), sehingga dengan demikian M ajalah KUKILA yang diterbitkan oleh PERHIM PUNAN BURUNG INDONESIA kehilangan “induk”nya.
-
PERHIM PUNAN ORNITOLOG INDONESIA (POI) = INDONESIAN ORNITHOLOGISTS’ UNION (IdOU) didirikan atas prakarsa 36 orang dalam dan luar negeri yang menaruh minat terhadap perkembangan ornitologi Indonesia, pada hari Senin tanggal 23 A gustus 2004. POI – IdOU akan tetap meneruskan mengelola KUKILA. Tiga perhimpunan ornitolog tertua di dunia Die Deutsche Ornithologen-Gesellschaft (DOG) tanggal didirikan: November 1850 Journal: Journal für Ornithologie (1853) (2003 – Vol. 144) Journal of Ornithology (2004)- The British Ornithologists’ Union (BOU) tanggal didirikan: 1858 Journal: Ibis, 2005 – Vol. 147 dan The American Ornithologists’ Union (AOU) tanggal didirikan” 28 September 1883 Journal: Auk, 2005 – Vol. 122
-
-
Bangsa Indonesia yang mempertelakan taksa atau mengubah status taksa (kombinasi) baru (1967-2004). Hanya baru 4 bangsa Indonesia (3,3% dari 120 keseluruhan), yaitu: - Boeadi (1) - M ochamad Indrawan (1) - Dewi M . Prawiradilaga (1) - S. Somadikarta (8)
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 18 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
-
International Code of Zoological Nomenclature (ICZN) 1999: Recommendation 51G Citation of person making new combination. If it is desired to cite both the author of a species-group nominal taxon and the person who first transferred it to another genus, the name of the person forming new combination should follow the parentheses that enclose the name of the author of the species-group name (and the date, it stated; see Recommendation 22A.3)
-
International Code of Zoological Nomenclature (ICZN) 1999: Recommendation 51G & International Code of Botanical Nomenclature (ICBN) 1994: Art. 49. Example (ICZN): Limnatis nilotica (Savigny) M oquin-Tandon; Methiolopsis geniculata (Stål, 1878) Rehn, 1957. Example (ICBN): Medicago polymorpha var. orbicularis L. (1753) when raised to the rank of species becomes M. orbicularis (L.) Bartal. (1766).
-
Boeadi p. 3: subspecies baru Zoothera erythronota kabaena Robinson-Dean et al., 2002 Holotype: MZB 30.363, ad. male, 4 km south of Tangkeno (5º17'27“S, 121º54‘33“E), Kabaena Is., Sulawesi, Indonesia collected by Julia Robinson-Dean (bird # 6) by mist net on 4 September 2001. (lihat Robinson-Dean, J.R., K.R. Willmot, M .J. Catterall, D.J. Kelly, A. Wittington, B. Phalan, N.M . M arples, & [D.R.S.] Boeadi. 2002. A new subspecies of Redbacked Trush Zoothera erythronota kabaena subsp. nov. (Muscicapidae: Turdidae) from Kabaena island, Indonesia. Forktail, No. 18: 1-10.
- Ninox burhani Indrawan & S omadikarta p. 162: spesies baru Holotype: MZB 30.365, ad. male, collected in scrubby forest below 100 m a.s.l., at Benteng village, Togian Island, Togian Archipelago, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia, by R.M . Hidayat with assistance of Burhan and Iling Taksir, on 8 April 2001 (Fig. 4) lihat Indrawan, M. & S . S omadikarta. 2004. A new hawk-owl from the Togian Islands, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia. Bull. British Orn. Cl., 124 (3): 160-171
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 19 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
- D.M. Prawiradilaga p. 60: mengubah status subspesies menjadi species Spizaetus floris (Hartert, 1898) Gjershaug et al. 2004 [Limnaëetus limnaëetus floris Hartert, 1898. Nov. Zool., 5 (1): p. 46.] --[Lectotype (designated by Hartert, 1925, Nov. Zool., 32: p. 266): AMNH 534896, “male”, S. Flores, collected by A. Everett in November 1896.] Lihat Gjershaug, J.O., K. Kvalov, N. Rov, D.M . Prawiradilaga, U. Suparman and Z. Rahman. 2004 (Aug.). The taxonomic status of Flores Hawk Eagle Spizaetus floris. Forktail, No. 20: 5562. - S . Somadikarta (1) p. 4: mengubah status subspecies menjadi species Collocalia papuensis (Rand, 1941) Somadikarta, 1967 Collocalia whiteheadi papuensis Rand, 1941. American Mus. Novit., No. 1102: 10. Holotype: AM NH 305670, ad. male, 1800 alt., 15 km sw of Bernhard Camp on Idenburg River, Netherlands New Guinea (now West Irian), collected by Richard Archbold, A.L. Rand, and W.B. Richardson (Original No. 9049) on 20 January 1939. Lihat Somadikarta, S. 1967. A recharacterization of Collocalia papuensis Rand, the Three-toed Swiftlet. Proc. U.S. Natl. Mus., 124, Nr. 3629: 1-8. - S . Somadikarta (2 & 3) p. 121 & 123: subspecies baru Hemiprocne longipennis mendeni Somadikarta, 1975 Holotype: MZB 18.143, ad. male, Peleng Island, lowland, collected by J.J. M enden on 31 July 1938. Hemiprocne longipennis dehaani Somadikarta, 1975Holotype: MZB 21.939, ad. female, Sanana, Sulabesi, Sula Islands, 1 m alt., collected by G.A.L. de Haan (Coll. No. 2127) on 29 January 1955. Lihat Somadikarta, S. 1975. On the two new subspecies of Crested Swift from Peleng Island and Sula Islands (Aves: Hemiprocnidae). Treubia, 28 (4): 119-127 - S . Somadikarta (4) p. 36: mengubah status spesies menjadi subspesies Collocalia linchi dodgei (Richmond, 1905) Somadikarta, 1986 Collocalia dodgei Richmond, 1905. Smithsonian Misc. Coll. (Quart. Issue), 47: p. 431. Holotype: USNM 191.575, sex not indicated, M t. Kinabalu, Borneo, collected by George A. Goss & H.D. Dodge, early 1904. Lihat Somadikarta, S. 1986. Collocalia linchi Horsfield & M oore – a revision. Bull. British Orn. Cl., 106 (1): 32-40. - S . Somadikarta (5 & 6) p. 37 & 38: subspesies baru Collocalia linchi ripleyi Somadikarta, 1986 Holotype: MZB 29.415, ad. male, Talang Padang (5º23′S, 104º48′E), alt. 240 m, South Lampung, southern part of Sumatra, collected by S. Somadikarta (Field No. 19) on 1 October 1981. Collocalia linchi dedii Somadikarta, 1986 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 20 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Holotype: MZB 28.079, ad. male, Ubud (8º30′S, 115º16′E), alt. 180 m, Bali, collected by S. Somadikarta (Field No. 28) on 15 April 1976. Lihat Somadikarta, S. 1986. Collocalia linchi Horsfield & M oore – a revision. Bull. British Orn. Cl., 106 (1): 32-40. - S . Somadikarta (7) p. 261: subspesies baru Collocalia ocista gilliardi Somadikarta, 1994 Holotype: AM NH 190.163, ad. male, Hivaoa Is., M arquesas Islands, collected by E.H. Quayle & R.H. Beck on 26 January 1921. Lihat Somadikarta, S. 1994. The identity of the M arquesan Swuftlet Collocalia ocista Oberholser Bull. British Orn. Cl., 114 (4): 259-263. - S . Somadikarta (8) (lihat M. Indrawan) p. 162: spesies baru Ninox burhani Indrawan & Somadikarta, 2004 Holotype: MZB 30.365, ad. male, collected in scrubby forest below 100 m a.s.l., at Benteng village, Togian Island, Togian Archipelago, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia, by R.M . Hidayat with assistance of Burhan and Iling Taksir, on 8 April 2001 (Fig. 4) Lihat Indrawan, M . & S. Somadikarta. 2004. A new hawk-owl from the Togian Islands, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia. Bull. British Orn. Cl., 124 (3): 160-171.
Terimakasih.
GET AHEAD, READ!
«Le Ra t de bi bl io thèque » Ka rl Spit zw eg, ve rs 1850
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 21 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Important Bird Areas; Kawasan prioritas untuk aksi konservasi RUDYANTO BirdLife International – Asia Division T elp. 0251-657127 - Email:
[email protected]
Pendahuluan Tantangan klasik dalam upaya pelstarian keanekaragaman hayati adalah minimnya sumberdaya yang tersedia, baik dalam bentuk dana maupun dalam bentuk sumberdaya manusia (kemampuan dan jumlah). Tantangan tersebut juga dihadapi oleh Indonesia yang dianugerahi keanekaragaman hayati yang berlimpah. Dengan sumberdaya untuk aksi pelestarian alam yang terbatas, menentukan kawasan mana yang layak diberi prioritas adalah sebuah pekerjaan yang tidak mudah dan sering berujung pada perdebatan yang berkepanjangan. BirdLife International, yang merupakan sebuah kemitraan global yang beranggotakan lebih dari 120 organisasi pelestarian alam di dunia, menawarkan sebuah alat untuk penentuan prioritas tersebut dengan menggunakan burung sebagai indikator yang kemudian diberi nama Important Bird Areas (IBA). Burung Sebagai Indikator Penggunaan burung sebagai indikator untuk menentukan kawasan prioritas bagi upaya pelestarian keanekaragaman hayati karena burung memiliki atribut yang lengkap untuk dijadikan indikator, yaitu : 1. 2. 3. 4.
M emiliki sebaran yang luas dan terdapat disemua macam habitat di bumi. Relatif mudah dikenali di lapangan. Peka terhadap perubahan lingkungan. Informasi tentang burung relatif sudah terdokumentasi dengan baik dan taksonomi burung bisa dikatakan sudah mantap.
Beberapa kajian yang dilakukan oleh BirdLife International antara lain Putting Biodiversity on the Map (Bibby dkk., 1992), Endemic Bird Areas of the World – Priorities for Biodiversitry Conservation (Stattersfield dkk., 1998), Threatened Birds of Asia: the BirdLife International Red Data Book (BirdLife International, 2001) dan Saving Asia’s Thretened Birds: a guide for government and civil society (BirdLife International, 2003) menunjukan bahwa burung memang layak untuk dijadikan indikator untuk identifikasi kawasan yang penting bagi keanekaragaman hayati. Kajian-kajian tersebut juga menunjukan bahwa IBA tidak hanya penting bagi burung tetapi juga penting bagi macam keanekaragaman hayati lainnya. Kriteria Penentuan IBA Dalam melakukan identifikasi IBA, tentu saja tidak semua jenis burung yang digunakan sebagai indikator. IBA didefinisikan sebagai sebuah kawasan yang memenuhi paling tidak satu dari empat kriteria berikut : 1. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap dan/atau berkala, terdapat jenis burung yang secara global terancam punah. 2. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap, terdapat jenis burung yang memiliki sebaran terbatas. 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 22 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
3. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap, terdapat jenis-jenis burung yang dikategorikan sebagai jenis burung yang mencirikan suatu bioma tertentu. 4. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap dan/atau berkala, terdapat jenis-jenis burung yang hidup dalam kelompok besar. BirdLife International, yang telah ditunjuk oleh IUCN sebagai otoritas tunggal untuk membuat daftar jenis burung yang secara global terancam punah, secara berkala menerbitkan daftar yang dimaksud. Untuk Asia, daftar tersebut dimuat dalam Threatened Birds of Asia: the BirdLife International Red Data Book (BirdLife International, 2001) dan pembaruan dari daftar tersebut dilakukan secara berkala serta dapat dilihat dan diperoleh secara cuma-cuma di http://www.rdb.or.id. Yang dimaksud dengan burung sebaran terbatas adalah jenis burung yang diketahui memiliki daerah sebaran berbiak global tidak lebih dari 50.000 km2 (Stattersfield dkk., 1998). Jenis burung yang dari catatan-catatan dimasa lampau memiliki sebaran lebih dari 50.000 km2 tetapi kemudian karena suatu hal luas sebarannya menjadi tidak lebih dari 50.000 km2, tidak dikelompokan sebagai burung sebaran terbatas.Suatu jenis burung dikategorikan sebagai jenis burung yang mencirikan suatu bioma tertentu jika jenis burung tersebut menggunakan bioma yang dimaksud sebagai tempat utama hidupnya. Kata-kata “hidup dalam kelompok besar” yang dimaksud dalam kriteria ke-empat dapat bersifat kualitatif. Akan tetapi untuk menghindarkan polemik karena perbedaan cara pandang maka kuantifikasi “besar” dilakukan dengan mengacu pada kriteria RAM SAR. Dengan menggunakan kriteria RAM SAR tersebut maka suatu kawasan dikatakan sebagai IBA berdasarkan kriterion empat jika : 1. Di dalam kawasan tersebut terdapat jenis burung air atau burung laut yang jumlahnya paling tidak sama dengan 1% dari jumlah total jenis burung tersebut dalam populasi flyway. 2. Di dalam kawasan tersebut terdapat tidak kurang dari 20.000 individu burung air. 3. Kawasan tersebut merupakan leher botol (bottle neck) dari jalur migrasi burung dan jumlah individu burung yang melintasi bottle neck tersebut tidak kurang dari 5.000 ekor untuk bangau, 3.000 ekor untuk burung pemangsa (raptor) dan 2.000 ekor untuk jenisjenis burung jenjang. Semua kriteria untuk mengidentifikasi IBA sudah memperoleh pengakuan dari dan diadopsi oleh banyak pihak di dunia. Bisa dikatakan bahwa IBA sudah menjadi semacam currency global untuk menentukan kemana sumberdaya bagi upaya pelestarian keanekaragaman hayati sebaiknya disalurkan. Proses Identifikasi IBA Proses identifikasi IBA sebenarnya tidaklah rumit akan tetapi membutuhkan kesabaran dan ketelitian yang tinggi. Seperti halnya dengan semua inisiatif BirdLife International lainnya, proses identifikasi IBA dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Dengan menggunakan informasi/pengetahuan yang dimilikinya serta kriteria identifikasi IBA, para pihak mengidentifikasi calon IBA yang kemudian dibahas kembali secara lebih mendalam akan kelayakan kawasan calon tersebut untuk disebut sebagai IBA. Aspek-aspek subjektif ditekan seminimal mungkin dan menggunakan hanya kriteria idenfikasi IBA sebagai acuan utama. Tantangan terbesar dalam identifikasi IBA adalah minimnya informasi untuk banyak kawasan calon IBA. Tantangan ini dirasa dengan sangat terutama di negara-negara di mana kegiatan pengamatan atau penelitian burung masih merupakan hal yang baru. Dalam banyak kasus, 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 23 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
informasi yang diperlukan tidak tersedia di negara yang bersangkutan. Dalam kasus lain, informasi yang berhasil didapatkan, banyak yang ditulis dalam bahasa asing yang bagi kebanyakan peneliti di negara tersebut, sulit atau bahkan tidak dipahami. Proses mengumpulkan, ekstraksi, konfirmasi dan analisa data dan informasi yang tersedia memakan waktu yang tidak sedikit. Sebagai contoh, proses pembuatan IBA untuk M alaysia menghabiskan waktu 6 tahun, sedangkan IBA untuk Asia menghabiskan waktu 8 tahun. IBA di Asia Pada tahun 2004 yang lalu, BirdLife International menerbitkan direktori IBA untuk Asia. Pembuatan direktori yang menghabiskan waktu selama 8 tahun ini melibatkan seluruh jaringan BirdLife, individu dan kelompok-kelompok lokal di Asia. Dari pekerjaan tersebut, 2.293 IBA berhasil diidentifikasi untuk Asia yang luas cakupannya 2.331.560 km2 atau sekitar 7,6% dari luas total wilayah Asia. Persentase cakupan tersebut kurang lebih sama dengan IBA dari wilayah lain, Eropa dengan 7%; Afrika 7%; dan Timur Tengah 5%. Tidak kurang dari 82% IBA di Asia mendukung jenis-jenis burung yang secara global terancam punah, 41% mendukung jenis burung sebaran terbatas, 42% mendukung jenis burung karakteristik bioma dan 41% mendukung jenis-jenis burung yang hidup dalam kelompok besar. Berbicara mengenai perlindungan atau pelestarian kawasan IBA di Asia, 43% IBA termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam, 14% IBA sebagian termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam dan 43% IBA sama sekali berada di luar kawasan lindung/pelestarian alam. IBA di Indonesia Sebagai negara yang bisa dikatakan terkaya akan keanekaragaman hayati di Asia, saat ini Indonesia memiliki 227 IBA yang mencakup daerah seluas 255.571 km2 atau sekitar 17% dari total luas wilayah daratan Indonesia. Perlu dicatat bahwa IBA di Indonesia belum termasuk wilayah Papua dan angka luas daratan yang disebutkan di atas tidak termasuk Papua. Dari 227 IBA tersebut, 195 IBA mendukung jenis-jenis burung yang secara global terancam punah, 184 mendukung jenis burung sebaran terbatas, 81 mendukung jenis burung karakteristik bioma dan 23 mendukung jenis-jenis burung yang hidup dalam kelompok besar. Jika dilihat sebaran IBA di Indonesia, 40 IBA terdapat di Sumatera, 23 di Kalimantan, 53 di Jawa dan Bali, 43 di Nusa Tenggara, 32 di Sulawesi dan 36 di M aluku. Dari 227 IBA tersebut, 58 IBA termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam, 42 IBA sebagian termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam dan 127 IBA sama sekali berada di luar kawasan lindung/pelestarian alam. Hasil kajian sementara dengan menggunakan komposisi jenis burung dan status keterancaman secara global jenis-jenis burung tersebut, terlihat ada beberapa IBA yang “lebih menonjol” nilai pentingnya dibandingkan dengan IBA lainnya. IBA tersebut adalah : 1. Sumatera: Gunung Leuser, Batang Gadis, Bukit Tigapuluh, Tesso Nilo, Berbak, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Sembilang, Tanjung Koyan dan Way Kambas. 2. Kalimantan: Danau Sentarum, Gunung Palung, Tanjung Puting, Ulu Barito, Lahan Basah M ahakam Tengah dan Kayan M entarang. 3. Jawa dan Bali: Gunung Gede Pangrango, Gunung Halimun, M uara Gembong-Tanjung Sedari, Pegunungan Dieng, M eru Betiri, Gunung Raung dan Solo Delta.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 24 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
4. Nusa Tenggara: Komodo, M beliling (Tanjung Kerita M ese), Ruteng, Wolotado, Teluk Kupang, M anupeu-Tanadaru, Laiwanggi-Wanggameti dan Gunung M utis. 5. Sulawesi: Karakelang, Pegunungan Sahendaruman, Siau, Bogani Nani Wartabone, Lore Lindu, Gunung Lompobattang, Tanah Jampea dan Taliabu Utara. 6. M aluku: Wayabula, Lalobata, M anusela, Wai Bula, Pulau Damar dan Gunung Arnau. Perlu dicatat bahwa daftar di atas disusun berdasarkan data yang ada saat ini. Daftar tersebut bisa saja berubah jika ada data dan informasi baru dari IBA lainnya. Langkah ke depan 227 IBA telah diidentifikasi untuk Indonesia, lantas apa? Pertanyaan klasik tetapi masih sangat relevan tersebut layak untuk ditanggapi secara positif. Saat ini di Indonesia sedang bertumbuhan kelompok-kelompok pengamat dan/atau pelestari burung. Kelompok-kelompok tersebut merupakan energi besar yang seharusnya dimanfaatkan untuk pelestarian burung/keanekaragaman hayati di Indonesia. Kelompok-kelompok tersebut dapat memainkan peran yang sangat besar dalam upaya pelestarian burung/keanekaragaman hayati di Indonesia. Di banyak negara banyak kelompok-kelompok seperti ini yang lantas menamakan dirinya sebagai Site Support Group (SSG) IBA. SSG tersebut terlibat secara aktif dalam aksi pelestarian alam secara nyata termasuk terlibat aktif dalam kegitan pemantauan IBA. Kelompok-kelompok ini juga bisa berperan aktif dalam mencari “IBA baru” yang belum teridentifikasi. Selain itu, kelompok-kelompok ini juga dapat memainkan peran dalam kegiatan penyadartahuan, promosi dan advokasi kawasan IBA. Penguatan kelembagaan SSG merupakan langkah logis yang harus dilakukan untuk menjamin baiknya mutu dan kinerja SSG. Penguatan kelembagaan ini dirasa penting karena kelompokkelompok tersebut tidak semua berada pada tataran kematangan yang sama. IBA sebagai kawasan “bermain” kelompok-kelompok tersebut, bisa pula dijadikan arena pelatihan bagi kelompok-kelompok tersebut dalam upaya peningkatan kapasitas lembaga. IBA tidaklah sama dengan kawasan perlindungan atau pelestarian alam yang “resmi”. Oleh karenanya, upaya pelestarian alam di IBA tidaklah harus dengan menjadikan IBA sebagai kawasan perlindungan dan pelestarian alam. Upaya-upaya alernatif untuk pelestarian keanekaragaman hayati saat ini (pelestarian di luar kawasan lindung/pelestarian) telah banyak dilakukan dan upaya-upaya tersebut layak untuk mendapat dukungan. Dalam upaya-upaya tersebut, masyarakat lokal terlibat secara penuh dalam tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan aksi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penetapan sebuah kawasan menjadi kawasan perlindungan/pelestarian alam membutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit dan bagi negara hal ini dapat dianggap sebagai beban. Upaya-upaya alternatif pelestarian dalam kawasan yang telah dikembangkan oleh kelompok-kelompok tersebut bisa dijadikan pilihan.
Daftar pustaka Bibby, C.J., Collar, N.J., Crosby, M.J., Heath, M.F., Imboden, Ch., Jhonson, T.H., Stattersfield, A.J. and Thirgood, S.J. 1992. Putting Biodiversity on the Map: Priority Areas for Global Conservation. International Council for Bird Preservation. Cambridge, UK. BirdLife International. 2001. Threatened Birds of Asia: the BirdLife International Red Data Book. BirdLife International. Cambridge, UK.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 25 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
BirdLife International. 2001. Saving Asia’s Thretened Birds: a guide for government and civil society. BirdLife International. Cambridge, UK. Holmes, D.A. and Rombang, W.M. 2001. Daerah Penting bagi Burung: Sumatera. PKA/BirdLife Intern ationalIndonesia Programme. Bogor, Indonesia. Holmes, D.A., Rombang, W.M. and Octaviani, D. 2001. Daerah Penting bagi Burung di Kalimantan. PKA/BirdLife International-Indon esia Programme. Bogor, Indonesia. Rombang, W.M., Trainor, C. and Lesmana, D. 2002. Daerah Penting bagi Burung: Nusa Tenggara. PKA/BirdLife International-Indonesia Programme. Bogor, Indonesia. Rombang, W.M. and Rudyanto. 1999. Daerah Penting bagi Burung di Jawa dan Bali. PKA/BirdLife Intern ationalIndonesia Programme. Bogor, Indonesia. Stattersfi eld A.J., Crosby, M.J., Long, A.J. and Wege, D.C. 1998. Endemic Bird Areas of the World – Priorities for Biodiversitry Conservation. BirdLife Intern ational. Cambridge, UK.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 26 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Conservation Model for Threatened Bird Species∗ KANENORI MIURA Project leader of Gunung Halimun-Salak National Park Management Project
Summary. Gunung Halimun-Salak National Park (GHSNP) M anagement Project was launched on February 2004. This five year project between the M inistry of Forestry Indonesia and Japan International Cooperation Project Agency (JICA) aims to materialize a model park management in GHSNP and disseminate its useful experiences to other national parks. Although GHSNP is located just 50 to 100 km south of Jakarta, it remains the largest primitive forest remaining in Java; Javan Gibbon, Javan Hawk-eagles, Leopards and many more rare and endangered species have homed in the forest. The park has already been said as one of the well managed national parks in this country. However, the area expansion took place in June 2003 has brought a number of hard issues to the park. One of the difficult issues is how to deal with more than 300 communities existing in the park. Because according to the general principle of the national parks in Indonesia, people may not allowed to cultivate as well as stay in the park. Should they be relocated or permitted to continue to stay? Whether can this project find good solutions for this issue? A new challenge has just begun.
∗
Disampaikan tanpa makala h lengkap hanya dengan slide show
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 27 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Indonesian Bird Banding Scheme (IBBS)∗ YUS RUSILA NOOR
Mengapa Burung di Cincin? Pencicinan burung dilakukan untuk kepentingan memperoleh informasi berikut: -
Struktur morfologi dan morfometrik
-
Dinamika populasi
-
Pola pergerakan
-
Pola penyebaran penyakit
-
Kegiatan konservasi
-
Kepentingan militer
∗
Disampaikan dalam presentasi Slide show
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 28 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sesi burung air
Breeding Biology of Milky Stork Mycteria cinerea IMANUDDIN1, ANI MARDIASTUTI2 1
Yayasan Konservasi Ragam Hayati Indonesia (BCI), Jl Paus no 8A KPP IPB Sindang Barang I, Bogor. E-mail:
[email protected] atau
[email protected] 2 Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan IPB. E-mail:
[email protected]
Summary. The research was conducted from January until August in 1998, 2000, 2001 and 2002 in Pulau Rambut Wildlife Sanctuary, Jakarta. The data were collected directly by climbing the nest tree. Milky Stork nested on the trees in the middle of island, average height of trees were 21,17 m. Height of nests were 19,16 m. T he nests (n=2) were made from 22 species of plants. Average eggs weight were 73.62g, with size 65.21 cm x 45.53 cm (n=104). Clutch size 1-4 (mean=2,74). The incubation takes 2730 days (mean= 28,38; n=69). Egg hatched asynchronously with hatching interval 1-3 days (mean = 1,68). Chicks were semi altricial and DOCs weight were 54,45 g (n=46). Breeding success was 46%49%.
Pendahuluan Bangau bluwok Mycteria cinerea adalah salah satu spesies burung langka dan dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Satwa Liar tahun 1931 dan SK M entan No 742/Kpts/Um/12/1978 dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 (Noerdjito & M aryanto 2001). Dalam dokumen Bird to Watch II (Collar et al. 1994) spesies ini dimasukkan ke dalam kategori rentan (vulnerable) dengan penyebab utama ancaman kepunahan adalah semakin berkurangnya habitatnya di alam.Oleh konvensi perdagangan satwa liar dunia (Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora, CITES) burung ini dimasukkan ke dalam Appendix I yang berarti spesies ini tidak dapat diperdagangkan secara komersial di pasar internasional. Di dunia bangau bluwok tersebar mulai dari Thailand (M orioka & Yang. 1990) , Kamboja, Vietnam bagian Selatan, , M alaysia dan Indonesia (M acKinnon 1998, Hancock et al. 1992) dengan populasi total diperkirakan sebanyak 6000 ekor (Verheught 1987). Sebagian besar populasi tersebut (5900 ekor) menghuni kepulauan Indonesia (Verheught 1987) mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali (M acKinnon et al. 1998) dan Sumbawa (M onks et al. 2000). Di Indonesia bangau bluwok tercatat berbiak di hutan bakau Pantai Timur di Jambi (Silvius 1986, Danielsen et al. 1991a), selain itu juga terdapat lokasi di Propinsi Sumatera Selatan yang dikonfirmasikan sebagai lokasi berbiak Bangau Bluwok yaitu Tanjung Koyan, Tanjung Selokan dan Tanjung Banyuasin (Danielsen et al. 1991b). Di Jawa bangau bluwok pernah tercatat berbiak di Pulau Dua di Jawa Barat (Hoogerwerf 1949) dan Pulau Rambut di Teluk Jakarta (Allport & Wilson 1986). Namun sejak tahun 1970 Pulau Dua tidak lagi dijadikan lokasi berbiak (Hancock et al.1992), sehingga sampai saat ini Pulau Rambut adalah satu-satunya lokasi berbiak bagi bangau bluwok di Pulau Jawa. Pulau Rambut adalah sebuah pulau kecil dan tidak berpenduduk yang terletak di Teluk Jakarta pada koordinat 106˚31’30” BT, 5˚57’ LS, berjarak 3 km dari pantai terdekat yaitu Pantai Tanjung Pasir, Tangerang. Pulau Rambut pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam pada tahun 1939 melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.7/1939. Selanjutnya pada tahun 1970 pemerintah Indonesia memperkuat status kawasan ini sebagai Cagar Alam melalui 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 29 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Keputusan Pemerintah No.11/I/20 tertanggal 28 M ei 1970 dengan luas areal 45 ha. Pada tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia mengubah fungsi Pulau Rambut menjadi Suaka M argasatwa melalui Surat Keputusan M enteri Kehutanan dan Perkebunan No. 275/KptsII/1999 tanggal 7 M ei 1999 dengan luas 90 ha termasuk perairan di sekitarnya. M enurut Fitriana (1999) luas Pulau Rambut adalah 45,17 ha dan 13,26 ha (26%) dari luas tersebut adalah hutan mangrove. Berdasarkan analisis citra yang dilakukan oleh Fitriana (1999) luas hutan mangrove yang mengalami kerusakan pada tahun 1989 seluas 3,12 ha dan pada tahun 1996 bertambah menjadi 7,70 ha atau setengah dari luas hutan mangrove Metode Penelitian Waktu berbiak Perhitungan waktu berbiak didasarkan pada kalender Julian bahwa tangal 1 Januari setara dengan tanggal 1 dan tanggal 31 Desember setara dengan tanggal 365. Jumlah telur yang diamati pada tahun 2001 sebanyak 64 butir dari 25 sarang dan pada tahun 2002 sebanyak 89 butir dari 32 sarang. Awal musim berbiak ditentukan berdasarkan waktu peletakan telur pertama kali (Perrins & Birkhead 1983) yang diketahui melalui pengamatan secara langsung terhadap induk yang berbiak dengan cara memanjat pohon sarang. Untuk mengetahui kaitannya dengan kondisi cuaca dilakukan pengukuran curah hujan dengan menggunakan penakar curah hujan tipe observatorium. Sarang Untuk mengetahui karakteristik sarang dilakukan pengukuran yang meliputi tinggi sarang dari permukaan tanah, jarak dari batang utama, tinggi pohon sarang dan jumlah sarang dalam satu pohon, selain itu dilakukan identifikasi terhadap jenis pohon sarang. Identifikasi bahan penyusun sarang dilakukan terhadap sarang yang sudah tidak terpakai lagi di akhir musim berbiak (n=2). Telur dan Kesuksesan Perkembangbiakan Kesuksesan perkembangbiakan didefinisikan sebagai persentase jumlah anakan yang dapat terbang terhadap jumlah telur yang dihasilkan dalam satu musim berbiak. Untuk mengetahui kesuksesan perkembangbiakan dilakukan pengamatan terhadap 64 butir telur pada tahun 2001 dan 89 butir telur pada tahun 2002. Untuk mengetahui bobot dan ukuran telur dilakukan pengukuran sebanyak 59 butir telur pada tahun 2001 dan 45 butir telur pada tahun 2002. Penandaan juga dilakukan pada cangkang telur dengan menggunakan spidol tahan air untuk mengetahui masa inkubasi masing-masing telur. Pengamatan dilakukan dengan cara memanjat pohon sarang dengan menggunakan peralatan panjat pohon. Perkembangbiakan dinilai sukses apabila anakan tetap hidup hingga berumur 50 hari atau mampu untuk terbang. Kegagalan perkembangbiakan dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu: (i) telur hancur sebelum menetas, (ii) telur tidak menetas atau busuk, (iii) telur ditinggalkan dan tidak dierami oleh kedua induk, dan (iv) anakan mati atau hilang. Hasil dan Pembahasan Waktu Berbiak M usim berbiak bangau bluwok berlangsung antara bulan Januari hingga Agustus dengan puncak musim berbiak terjadi pada bulan M aret. Hoogerwerf (1949) menyatakan bangau bluwok di Pulau Jawa meletakkan telur pada bulan M aret hingga M ei. Hancock et al. (1992) menyatakan bahwa musim berbiak bangau bluwok di Jawa Barat adalah pada bulan M aret sampai Agustus sedangkan di Sumatera berbiak pada bulan Juni hingga Agustus. M ardiastuti (1993) menyatakan pada tahun 1990 – 1991 bangau bluwok di Pulau Rambut berbiak antara bulan Januari hingga Juni. 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 30 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Salah satu faktor yang mendorong burung untuk melakukan perkembangbiakan ialah ketersediaan pakan yang cukup (Perrins & Birkhead 1983). Pakan yang berlimpah akan menjamin pemeliharaan anak berlangsung dengan baik. M ardiastuti (1992) menyatakan bahwa burung-burung air di Pulau Rambut berbiak bertepatan dengan musim penghujan. Datangnya musim penghujan mengakibatkan ketersediaan pakan didaerah lahan basah disekitar pantai utara Jawa cukup berlimpah. Pada musim penghujan daerah persawahan di sekitar Pulau Rambut menyediakan dataran lumpur yang cukup luas sebagai areal mencari makan (feeding ground). M enurut Imanuddin dan M ardiastuti (2001) selama musim berbiak bangau bluwok sering terlihat mencari pakan pada daerah persawahan yang baru diolah di sekitar pesisir Tangerang. Widodo & Hadi (1990) menyatakan bahwa daerah lahan basah di sekitar pantai Tangerang merupakan daerah yang penting bagi burung air untuk mencari makan.
600
curah hujan
500
20
400 15 300 10 200
Jumlah sarang
Curah hujan (mm)
25
jumlah sarang
5
100
2001
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
Desember
Nopember
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
0 Januari
0
2002
Gambar 1. Musim berbiak bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.
Pohon Sarang dan peletakan Sarang Bangau bluwok menggunakan daerah hutan campuran dan terkadang hutan bakau sebagai tempat berbiak. Pohon yang paling sering digunakan sebagai pohon sarang adalah pohon kepuh Sterculia foetida (Gambar 2). Kepuh merupakan pohon yang tinggi dan berukuran besar. Selain pohon tersebut bangau bluwok juga memakai kresek Ficus timorensis, bola-bola Xylocarpus granatum, sawo kecik Manilkara kauki, buta-buta Excoecaria agallocha, pohon ketapang Terminalia catappa, kedoya Dyxoxylum caulostachyum dan bakau Rhizophora mucronata. Penggunaan pohon-pohon ini diduga disebabkan semakin sedikitnya pohon kepuh yang tersedia sebagai pohon sarang. Sehingga mereka harus bersaing dalam menggunakan pohon sarang, akibatnya individu yang kalah bersaing harus menggunakan jenis pohon lain.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 31 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Tabe l 1. Karakteristik peletakan sarang bangau bluwok (tahun 1999 dan 2002 tidak tersedia)
Karakteristik Tinggi Pohon (m) Jarak Sarang dari Batang Utama (m) Tinggi sarang (m) Kerapatan Sarang per Pohon Rasio Tinggi Sarang terhadap Tinggi Pohon Rasio Jarak Sarang dari Batang Utama terhadap JariJari Tajuk
Sawo k ecik 13 % Bola-bola 1 3%
1998 26 ± 6,50 4,36 ± 2,79
2000 2001 Rata-rata 25,38 ± 3,38 20,73 ± 4,63 21,17 ± 5,98 4,65 ± 3,51 2,87 ± 3,46 3,32 ± 4,35
24,6 ± 6,60 3,27 ± 0,63 0,94 ± 0,16
24,17 ± 6,39 18,45 ± 4,85 19,16 ± 6,98 2,25 ± 1,76 1,63 ± 0,94 2.69 ± 1,69 0,89 ± 0,19 0,88 ± 0,10 0.84 ± 0,16
0,55 ± 0,22
0,40 ± 0,30
1 99 8
n.a
0.48 ± 0,27
2000
Kresek 25%
Kep uh 7 4%
Kep uh 75% Bakau 10 %
Kedoy a 11 % Ketapan g 11%
Buta-buta 10 %
Kresek 20 %
2 00 2
20 01
Kepuh 60 %
Kresek 11%
Kep uh 6 7%
Gambar 2. Jenis pohon yang digunakan untuk meletakkan sarang pada tahun 1998, 2000, 2001 dan 2002.
Sarang bangau bluwok diletakkan dalam suatu kelompok, dengan kerapatan rata-rata 3 sarang per pohon. Berdasarkan hasil pengamatan Hoogerwerf & Siccama (1937) di Pulau Dua, Jawa Barat, jumlah sarang bangau bluwok yang diletakkan dalam satu pohon dapat berkisar antara 4 - 5 sarang. Sarang bangau bluwok berbentuk platform datar seperti piring yang sangat lebar, tersusun dari ranting-ranting pohon yang masih segar. Berdasarkan pembagian tipe sarang menurut Collias & Collias (1984), sarang bangau bluwok termasuk ke dalam tipe sarang terbuka (open nest). Pada saat berbiak biasanya bangau bluwok menggunakan sarang baru yang disusun oleh kedua induk, namun terkadang pula mereka menggunakan sarang bekas dari musim berbiak yang sama dan telah ditinggalkan oleh burung pemiliknya. Sarang bekas tersebut selanjutnya akan diperbaiki dengan cara menambahkan ranting-ranting baru ke dalamnya. 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 32 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Bahan sarang bangau bluwok berasal dari 22 jenis tumbuhan (n=2). Sebagian besar terdiri dari ranting-ranting pohon dan tumbuhan bawah (98,33%), selain itu terdapat liana (0,61%) dan bambu (1,06%). Ranting yang diambil sebagian besar adalah ranting yang masih segar dan sisanya berasal dari ranting yang mati. Ranting yang masih segar cenderung lebih fleksibel untuk dijalin menjadi sarang jika dibandingkan ranting yang mati. Berat total satu buah sarang adalah 3937,25 g yang tersusun dari 425 batang ranting. Bahan penyusun sarang yang sering digunakan adalah jenis kingkit Triphasia trifolia dengan jumlah 26,11%. Jenis ini adalah kelompok tumbuhan perdu yang banyak tumbuh di Pulau Rambut, memiliki ranting yang lentur dan kuat. Selain itu kingkit memiliki ukuran ranting yang kecil sehingga mudah dijalin. Jenis kepuh meskipun digunakan sebagai pohon sarang tetapi rantingnya hanya sedikit dijadikan bahan penyusun sarang (1,41%).
Telur Bentuk telur oval simetris dengan berat rata-rata ialah 73,62 ± 5,88 g, panjang 65,21 ± 2,51 mm dan lebar 45,53 ± 1,42 mm (n=104, Tabel 2). Telur yang baru memiliki tekstur permukaan cangkang yang agak kasar dan berwarna putih kapur, selanjutnya pada saat telur akan menetas warna akan sedikit pudar, lebih pucat dan kotor. Tabe l 2. Ukuran telur bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.
Tahun
N
Berat ± s.d. (g)
2001 2002 Rata-rata
59 45 104
73,92 ± 5,84 73,23 ± 5,99 73,62 ± 5,88
Panjang ± s.d. (mm) 64,82 ± 2,43 65,72 ± 2,66 65,21 ± 2,51
Lebar ± s.d. (mm) 45,63 ± 1,41 45,41 ± 1,44 45,53 ± 1,42
Berdasarkan kriteria Hoogerwerf (1949) telur bangau bluwok termasuk kategori normal oval hingga oval memanjang. Telur diletakkan pada pagi hari antara 5 - 7 hari sejak dimulainya penyusunan sarang. Faaborg (1988) menyatakan peletakan telur pada pagi hari kemungkinan berkaitan dengan pembentukan dan pengerasan cangkang telur yang terjadi pada malam hari di saat burung sedang tidak aktif.
Jumlah (%)
Jumlah telur (clutch size) berkisar antara 1 – 4 butir (modus 3) setiap sarangnya (Gambar 3). Hoogerwerf (1949) menyatakan bahwa clutch size bangau bluwok adalah 3 namun terkadang dijumpai 4 butir. Welty (1982) dan Klomp (1970) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan clutch size adalah umur induk. Induk dewasa yang lebih muda cenderung untuk memiliki clutch size yang lebih sedikit dibandingkan dengan individu yang lebih tua.
100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Gambar 3 (kiri). Clutch size Bangau bluwok di SM. Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.
2001 2002
1
2
3
4
Clu tch s ize
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 33 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Jumlah (%)
M asa inkubasi berkisar antara 27–30 hari (Gambar 4) dengan rata-rata 28,3 hari (modus 28 hari sebanyak 29,9 %, n=65). Pengeraman dilakukan secara bergantian baik oleh induk jantan maupun induk betina. Telur menetas secara asynchronous; penetasan tipe ini dicirikan dengan ukuran anakan yang akan berbeda antara satu dengan lainnya. Interval penetasan telur berkisar antara 1–3 hari (Gambar 5) dengan rata-rata 1,7 hari (modus 1 hari sebanyak 55%, n=48). Perrins & Birkhead (1983) menyatakan penetasan asynchronous adalah suatu strategi untuk mengantisipasi ketersediaan jumlah makanan yang tak dapat diprediksi pada saat menetas hingga anakan mampu terbang. Dengan demikian apabila jumlah makanan yang tersedia di alam tidak memadai untuk membesarkan seluruh anakan, diharapkan masih ada satu anakan yang tetap bertahan hidup.
10 0,0 0 9 0,0 0 8 0,0 0 7 0,0 0 6 0,0 0 5 0,0 0 4 0,0 0 3 0,0 0 2 0,0 0 1 0,0 0 0,0 0 27
28
29
30
Masa ink ubasi (hari)
Gambar 4. Masa inkubasi telur bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut (data 2001 dan 2002 digabung)
100 90
2001 2002
80
Jumlah (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
Interval (hari)
Gambar 5. Interval penetasan telur bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 34 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Anakan bangau bluwok termasuk ke dalam tipe semi altricial. Pada saat menetas mata anakan sudah terbuka, memiliki bulu natal (bulu pada saat menetas) berwarna putih kusam yang jarang, terlihat basah dan lengket, tubuh hampir seluruhnya berwarna merah kecuali paruh dan kelopak mata yang berwarna sedikit kuning. Berat rata-rata anakan pada saat pertama kali menetas adalah 54,45 ± 4,31 g (n=46) sehingga rasio berat anakan terhadap berat telur adalah 0,76 (n=46). Fledging time anakan bangau bluwok ialah 50 hari yang ditandai dengan kemampuan terbang berkelepak (flapping) di sekitar sarang. M eskipun demikian induk tetap akan memilhara anakan hingga c. 90 hari.
Kesuksesan Perkembangbiakan Kesuksesan perkembangbiakan bangau bluwok berkisar antara 46%-49%. Faktor penting yang mempengaruhi kesuksesan perkembangbiakan ialah hembusan angin kencang yang bertiup selama musim berbiak. Angin yang bertiup kencang dapat merusak dan mengubah posisi sarang, akibatnya telur jatuh dan hancur. Tingginya jumlah telur yang hancur pada tahun 2001 disebabkan oleh seringnya Pulau Rambut dilanda oleh angin kencang jika dibandingkan pada tahun 2002. Faktor lain penyebab kegagalan perkembangbiakan ialah telur membusuk yang diduga berkaitan dengan tingginya curah hujan. Hujan yang berlangsung terus menerus menyebabkan suhu lingkungan menjadi rendah dan tubuh induk selalu basah sehingga mengganggu proses inkubasi. Cuaca yang buruk juga mengakibatkan induk sulit kembali setelah mencari makan, akibatnya proses pengeraman tidak berlangsung dengan normal. Tabe l 3. Kesuksesan perkembangbiakan dan faktor penyebab kegagalan perkembangbiakan bangau bluwok (%) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2003.
Faktor penyebab Telur tidak dierami Telur busuk Telur hancur oleh angin Anakan hilang/mati Kesuksesan penetasan Kesuksesan perkembangbiakan
2001 5,0 10,0 27,0 7,0 58,0 46,0
2002 5,0 12,0 11,0 22,0 72,0 49,0
Rata-rata 5,0 11,0 19,0 14,5 65,0 47,5
Perrins dan M iddleton (1986) menyatakan salah satu faktor yang menentukan kesuksesan perkembangbiakan ialah kondisi cuaca. Pada kasus bangau putih (Ciconia ciconia) di Spanyol, kesusksesan perkembangbiakan menjadi rendah pada daerah dengan curah hjan yang tingggi. Kondisi cuaca yang buruk merupakan ancaman serius bagi burung bangau terutama pada saat berbiak karena dapat mengakibatklan hancurnya sarang, telur atau matinya anakan dan secara tidak langsung menyulitkan induk untuk mencari makan (del Hoyo et al. 1992). Kematian atau hilangnya anakan dapat terjadi sebagi akibat ukuran tubuh anakan yang terus membesar sehingga anakan berdesakan ddi dalam sarang, akibatnya anakan yang paling kecil jatuh dan mati. Penyebab lain kematian anakan ialah anakan tidak diberi makan atau ditinggalkan oleh induk (chick desertion) tanpa diketahui penyebabnya.
Daftar Pustaka Allport, G. A. & S.A.Wilson. 1986. Result of A Census o f the Milky Stork Mycteria cin erea in West Java. ICBP. England.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 35 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Collar, N. J. , M. J. Crosby & A. J. Stattesfield. Birds to Watch II. 1994T he World List of T hreatened Birds. BirdLife International. Cambridge. Collias, N. E. & E. C. Collias. 1984. Nest Building and Bird Behavior. Princeton University Press. New Jersey. Danielsen, F., H. Skov & U. Suwarman. 1991a. Breeding Colonies of Waterbirds Along the Coast of Jambi Province, Sumatra, August 1989. Kukila 5 (2): 135 – 137. Danielsen, F., A. Purwoko, M. J. Silvius, H. Skov & W., Verheught. 1991b. Breeding Colonies of Milky Stork in South Sumatra. Kukila 5(2): 133 – 135. Faaborg, J. 1988. Ornithology an Ecological Approach. Prentice Hall. New Jersey. Fitriana, N. 1999. Ekologi Lansekap Cagar Alam Pulau Rambut Jakarta. Skripsi Sarjana. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hanco ck, J. A., J. A. Kushlan & M. P. Kahl. 1992. Stork, Ibises and Spoonbills of the World. Academic Press. London. Hoogerwerf, A. & G. F. W. H. W. Rengers Hora Siccama. 1937. De Avifaun a van Batavia en Omstreken. Ardea (26):118-119. Hoogerwerf, A. 1949. Bijdrage T ot de Oologie van Het Eiland Java. Buitenzorg. Indonesie. del Hoyo, J., A. Elliott & J. Sargatal. 1992. Handbook of T he Birds of T he World. Lynx Edicions. Barcelona. Klomp, H. 1970. T he Determination of Clutch Size in Birds: A Review. Ardea 58 (1-2). MacKinnon, J., K. Phillips, & B. van Balen. 1998. Burung-Burung Di Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.
Sumatera, Jawa
dan Kalimantan.
Mardiastuti, A. 1992. Habitat and Nest Site Characteristics of Waterbirds in Pulau Rambut Nature Reserve, Jakarta Bay, Indonesia. Ph. D theses. Michigan State University. Michigan. Mardiastuti, A. 1993. Breeding Season of Waterbirds in Pulau Rambut. Media Konservasi IV (2):77-81. Monks, K. A., De Fretes, Y. & G. R. Lilley. 2000. Ekologi Nusatenggara dan Maluku. Prenhalindo. Jakarta. Morioka, H. & C. Yang. 1990. A Record of T he Milky Stork for T hailand. Japanese Journal of Ornithology 38:149 – 150. Perrins, C. M. & T . R. Birkhead. 1983. Avian Ecology. Chapman and Hall. New York. Perrins, C. M. & A. L. A. Middleton. 1986. T he Encyclopedia o f Birds. Facts on File, Inc. New York. Silvius, M. J., & W. J. M. Verheught. 1989. T he Status of Storks, Ibises and Spoonbills In Indonesia. Kukila 4 (34):119-132. Verheught., W. J. M. 1987. Conservation Status and Action Program for the Milky Stork. Colonial Waterbird 10 (2): 211-220. Welty, J. C. 1982. T he Life o f Birds. Saunders College Publishing. New York. Widodo, W. & D. S. Hadi. 1990. Feeding Ground Burung-Burung Air di Kawasan Hutan Bak au T eluk Naga, T angerang, Jawa Barat: Sebuah T injauan. Media Konservasi III (1):47-52.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 36 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Beberapa Aspek Ekologi Ibis karau Pseudibis davisoni di Sungai Mahakam Kalimantan Timur EDY SUTRISNO, IMANUDDIN & REDDY RACHMADY Jl. Paus No 8A, KPP IPB I Sindangbarang Bogor 16617. E-mail :
[email protected]
Summary. The research of White-shouldered Ibis was conducted from September until October 2001 and from September 2003 until August 2004. Data were collected through direct observation along Mahakam River, East Kalimantan from Long Iram to Long Bagun. White-shouldered Ibis were spotted resting (37.66%) and looking for food (28.04%). Breeding activities occured between October until January. T he nest were placed at height 30.2 m (n=2) m, on banggris tree (Coompasia excelsa), nesting tree height 41.5 m (n=2). Incubation took 29-31 days, eggs hatched asynchronously and chicks were semi altricial. Fledging time was 36 days.
Pendahuluan Ibis Karau Pseudibis davisoni adalah salah satu jenis burung air dari keluarga Threskiornithidae yang populasinya terus menurun dan dalam Red Data Book termasuk dalam jenis critically endangered ( Birdlife Internasional 2001, Collar et. al. 1994). Ancaman utama yang dihadapi burung ini ialah tingginya laju fragmentasi dan degradasi habitat yang disebabkan oleh laju pertumbuhan manusia yang cepat, perluasan daerah perladangan, penebangan hutan, sistem irigasi buatan dan pestisida (Hancock et. al. 1992). Penyebaran Ibis karau di dunia meliputi Myanmar, China, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, M alaysia Timur dan Indonesia (BirdLife International 2001; M acKinnon & Phillips 1993; Smythies 1981; Robson 2001; Hoyo et al. 1992; Hancock et al. 1992). Di Indonesia, Ibis karau menghuni daerah di sepanjang sungai M ahakam antara Long Iram dan Long Bagun (Kalimantan Timur), Purukcahu (Kalimantan Tengah) dan Sungai Barito (Kalimantan Selatan) (Hancock et al. 1992; Peterson 1991; Smythies 1981; Robson 2000; Perennou et al. 1984; Collar et al. 1994; Hoyo et al. 1992). Habitat utama Ibis karau ialah rawa, hutan sepanjang sungai, daerah riam dan hutan dataran rendah yang terbuka (Robson 2000; Sibuea et al. 1995). Provinsi Kalimantan Timur dipilih sebagai lokasi penelitian karena menurut data dan informasi yang ada, disini terdapat populasi Ibis karau terbesar di Indonesia. Sözer dan Heijden (1997) memperkirakan jumlah total populasi Ibis karau di Kalimantan Timur berkisar antara 30 sampai 100 individu. Sözer dan Heijden (1997) juga berpendapat bahwa Sungai M ahakam adalah habitat penting bagi populasi Ibis karau di Kalimantan. Hingga saat ini data mengenai Ibis karau di Indonesia yang tersedia hanya sedikit sekali. Tujuan penelitian ialah untuk menyediakan data dasar mengenai Ibis karau yang dapat dipergunakan nantinya sebagai acuan untuk kegiatan monitoring dan konservasi selanjutnya.
Metode Penelitian Distribusi dan Populasi Penelitian dilakukan pada tahun 2001 dan 2003 di sepanjang Sungai M ahakam antara Long Iram hingga Long Bagun beserta beberapa anak sungai yang mengalir ke dalamnya yaitu Sungai Pari, Sungai M aribo, Sungai Boh (Gambar 1). Selain itu juga dilakukan survey pada Sungai Kelay di daerah Berau. 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 37 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan perahu (Howes & Bakewell, 1989). M etode yang digunakan adalah metode jalur dengan membagi Sungai M ahakam menjadi empat jalur, yaitu Datah bilang-Long Iram, Datah bilang-Long Bagun, Datah bilang-Sungai Pari, dan Datah bilang-Sungai Ratah. Jumlah populasi dihitung berdasarkan individu yang teramati dengan asumsi setiap individu dianggap berbeda dalam setiap perjumpaan. Disamping itu juga dilakukan wawancara dengan penduduk setempat mengenai keberadaan Ibis karau di lokasi lain.
Gambar 1. Lokasi peneliltian
Perilaku Pengamatan aktivitas harian dilakukan dengan menggunakan metode scan sampling dengan interval pencatatan satu menit. Pengamatan dilakukan antara pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Total lama waktu pengamatan yang dilakukan adalah 3382 menit pengamatan. Data yang di catat meliputi lama waktu aktivitas, jenis aktivitas dan lokasi saat melakukan aktivitas. Pengamatan aktivitas harian dilakukan di dua titik pengamatan, yaitu di daerah Ratah dan di daerah pulau Bilung. Untuk mengetahui pertumbuhan anakan dilakukan pengamatan terhadap dua buah sarang pada bulan Oktober 2003 sampai dengan Februari 2004. Habitat Analisis habitat dilakukan secara deskriptif berupa uraian dari pengamatan langsung dengan melihat tipe habitat yang dipergunakan. Penelitian mengenai penggunaan tipe habitat dilakukan bersamaan dengan penelitian mengenai perilaku harian
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 38 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Hasil dan Diskusi Distribusi dan Populasi Pada tahun 2001, total jumlah individu yang teramati dalam 21 kali perjumpaan adalah 53 individu (M in 1, M ax 10). Lokasi perjumpaan pada tahun 2001 ialah di muara Sungai M edang, daerah muara Sungai M erah, Sungai Ratah, muara Sungai Pari dan di hilir Ujoh Halang (Gambar 2). Dari hasil pengamatan tahun 2003, dari 57 kali perjumpaan disimpulkan jumlah minimum individu Ibis karau di Sungai M ahakam adalah sebanyak 21 individu, yang terbagi dalam 5 kelompok, yaitu di daerah muara Sungai M erah sebanyak 3 individu, di daerah muara Sungai Ratah sebanyak 4 individu, di daerah Pulau Bilung sebanyak 9 individu, di hilir camp Kedawan sebanyak 2 individu dan di hilir Ujoh Halang sebanyak 3 individu. Dari dua data pengamatan tersebut, diduga terjadi penurunan populasi Ibis karau di sungai M ahakam. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah maksimum individu Ibis karau yang dapat di jumpai dalam satu kali pengamatan. Jumlah terbanyak dijumpainya Ibis karau dalam satu kali pengamatan pada pengamatan tahun 2001 dan tahun 2003 terdapat pada daerah yang sama, yaitu di daerah Pulau Bilung-di hilir Datah Bilang. Selain itu juga lokasi perjumpaan dengan Ibis karau semakin menyempit, yaitu tidak dijumpainya Ibis karau pada lokasi sekitar muara Sungai M edang pada pengamatan tahun 2003 yang pernah tercatat pada pengamatan tahun 2001. Dari hasil pengamatan tahun 2003 diketahui bahwa keberadaan Ibis karau di sungai M ahakam tidak dipengaruhi oleh musim, melainkan dipengaruhi oleh pasang surut air sungai.
Gambar 2. Lokasi Perjumpaan
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 39 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
37.66 28.04 19. 19
14.05
M ak an
Di ri an
i Pe ra wa t
Lo ko m os
So sia
ah at
1.07
Is t ir
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
l
Persentase
Perilaku Aktivitas Ibis karau yang teramati terdiri atas d aktivitas istirahat (37.66%), kemudian aktivitas makan (28.04%), perawatan diri (19.19%), lokomosi (14.05%) dan aktivitas sosial (1.07%) (Gambar 3).
Tipe Aktivita s
Gambar 3. Persentase Tipe Aktivitas
Perilaku isitirahat Ibis karau dilakukan dengan posisi diam berdiri atau juga dengan posisi duduk seperti mengeram, khususnya jika aktivitas istirahat dilakukan di pulau kerikil. Selain khusus beristirahat, perilaku istirahat juga dilakukan di sela-sela aktivitas makan. Pakan utama Ibis karau adalah cacing tanah dari genus Pheretima sp. Aktivitas makan dilakukan dengan berjalan perlahan di sepanjang paparan lumpur. Ibis karau mencari makanannya di lumpur dengan cara menusuk-nusuk bagian lumpur tanpa mengeluarkan paruh dari dalam lumpur. Apabila mendapatkan mangsa, mangsa tersebut ditarik keluar dengan paruhnya sebelum dikonsumsi. Perilaku mengkonsumsi mangsa terdiri atas 3 cara, yaitu:1) mangsa langsung dimasukkan ke dalam mulut dengan terlebih dahulu melambungkan mangsa diantara kedua paruh dan dengan gerakan seperti mengangguk mangsa kembali ditangkap dan dimasukkan dalam mulut; 2) meletakkan terlebih dahulu mangsa diatas permukaan lumpur baru selanjutnya kembali diambil dengan paruh dan dimasukkan ke dalam mulut; 3) jika terdapat lumpur yang terbawa saat menarik mangsa dari dalam lumpur, Ibis karau membawa mangsa ke badan air dan mencelupkan paruh yang membawa mangsa ke dalam air sambil menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan untuk melepaskan lumpur yang menempel baru kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Ibis karau juga teramati mencari makan di pinggir pulau kerikil yang masih berair dengan cara berjalan perlahan dan memasukkan paruh di sela-sela kerikil atau membalikkan batu untuk mencari serangga air. Ibis karau juga mencari makan di atas pohon, dengan mematuk bagianbagian pohon yang sudah lapuk untuk mencari serangga. Aktivitas perawatan diri yang dilakukan dengan menyelisik bulu-bulu tubuh dan bulu-bulu terbang dengan menggunakan paruh atau kaki. Aktivitas berjemur biasanya dilakukan di pulau kerikil. Untuk menjaga kondisi bulu-bulu tubuh bagian depan dan bulu terbang bagian bawah 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 40 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Ibis karau memanfaatkan panas yang ada di bebatuan kerikil dengan membentangkan sayapnya saat berjemur. Ibis karau juga teramati melakukan aktivitas saling menyelisik dengan individu di dalam kelompoknya.
Perkembangbiakan Pada tahun 2003 berhasil dijumpai 2 sarang aktif, yaitu di muara Sungai M erah dan Sungai Ratah. Sarang diletakkan pada pohon Banggris Koompassia exelsa pada ketinggian 30.2 m (n=2). Pohon banggris adalah pohon yang besar dengan tajuk kurang rapat. Tinggi pohon sarang 41.5 m (n=2). Dari pengamatan kedua sarang aktif tersebut diperkirakan bahwa masa pengeraman bagi Ibis Karau memerlukan waktu 29-31 hari dengan masa pemeliharaan anak sampai siap untuk terbang sekitar 36 hari. Telur menetas secara asynchronous dengan tipe anakan semi altricial. Kedua induk memelihara anakan secara bergantian. Anakan mendapatkan makan dari induk dengan mengambil langsung makanan dari paruh induk.
Persentase
Habitat Tipe habitat yang dipergunakan oleh Ibis karau di sungai M ahakam dapat dikelompokkan dalam empat kelompok, yaitu daerah paparan lumpur, pohon atau vegetasi sepanjang sungai, paparan pasir dan pulau kerikil Berdasarkan waktu pemanfaatan dalam aktivitas hariannya Ibis karau lebih banyak menggunakan pohon sebagai tempat melakukan aktivitasnya (Gambar 4) .
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
58.41
28.53 10.54 2.53 Paparan Lumpur
Pohon
Paparan Pas ir
Pulau Kerik il
Tipe Habitat
Gambar 4. Persentase Penggunaan T ipe Habitat
Ibis karau menggunakan pohon yang masih hidup dan pohon yang mati untuk beristirahat pada malam hari. Pohon terletak di dekat sungai, parit atau daerah yang tergenang. Pohon yang digunakan biasanya adalah jenis emergent atau pohon dengan penutupan tajuk rapat. Penggunaan pohon-pohon yang tinggi dan terlindung merupakan upaya Ibis karau untuk menghindari kemungkinan adanya predator. Pulau kerikil yang muncul saat air sungai surut lebih banyak digunakan untuk aktivitas berjemur. M eskipun demikian pada bagian tepi yang tergenang oleh air sungai, terkadang pula digunakan Ibis karau untuk mencari makan berupa ikan kecil. 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 41 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Daftar Pustaka Collar, N. J., Crosby, M. I and Stattersfield, A. J. (1994). Birds to watch II:- The World List of Threatened Birds. BirdLife Conserv ation Series No. 4. BirdLife International, Cambridge. Hanco ck, 1. A., Kushlan, I A. dan Kahl, M. P. (1992). Storks, IbIses and Spoonbills of the world. Academic Press, London Howes, J. and Bakewell, D. (1989). ShorebIrd Studies Manual AWB Publication No. 55. Kuala Lumpur. Hoyo, del I., Elliott, A., and Sargatal, 3. eds. (1992). Handbook of the Birds of the World. Volume 1. Ostrich tc, ducks. Lynx Editions, Barcelona. MacKinnon, J. and Phillipps, K. (1993). A Field Guide to the birds of Borneo, Sumatra, Java & Bali the Greater sunda Island. Oxford University Press, Oxford. Perennou, C., Mundkur, T., Scott, D. A., Follested, A. dan Kvenild, L. (1994). The Asian Waterfowl Census 1987-91: Distribution and Status of Asian Watenfowl. AWB Publication No. 86. IWRB Publication No. 24. AWB, Kuala Lumpur, Malaysia and IWRB, Slimbridge, U.K. Peterson, S. (1991). A Record of WhIte-shouldered Ibis in East Kalimantan. Kukila 5(2):144-145. Robson, C. (2000). A Field Gulde to the birds of South-East Asia,Thailand, Peninsular Malaysla, Singapore, Myanmar, Laos, Vietnam, Cambodia. New Holland Publishers (uk) Ltd, London Capetown Sydney Auckland. Sibuea, T ., Rusila Noor, Y., Silvius, M. I., dan Susmianto, A. (1995). Burung bangau, Pelatuk best dan Paruh sendok di Indonesia. Panduan untuk Jaringan Kerja. PHPA/Wetlands; International-Indonesia Programme, Bogor. Smythles, B. E. (1981). The Birds of Borneo. T hird Edition Revised by Earl of Cran Brook. T he Sabah society with T he Malayan Nature Society. Sözer, R. and Heljden, A. J. W. I V. D., (1997). An Overview of the Distribution, Status and Behavioral Ecology of White-shouldered Ibis in East Kalimantan, Indonesia. Kukila 9: 126140.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 42 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sesi burung pemangsa
Pemantauan Migrasi Burung pemangsa tahun 2001 – 2004 di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Nusa Tenggara WISHNU SUKMANTORO Jaringan Penelitian & Konservasi Raptor Indonesia (RAIN) c/c. PILI-NGO Movement: Jalan T umenggung Wiradireja No. 216, Cimahpar Bogor, Jawa Barat. Telp 0251-657002 – Email:
[email protected]
Abstrak Selama tahun 2001 – 2004, 47.753 catatan individu burung pemangsa (raptor) migran telah dihasilkan oleh sekitar 25 insitusi di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Di seluruh lokasi pemantauan, elang alap cina (Accipiter soloensis) tercatat dominan yaitu sekitar 80%, diikuti sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus orientalis) dan elang alap nipon (Accipiter gularis) yaitu kurang dari 20%. Sisanya adalah jenis alap-alap kawah (Falco peregrinus), elang baza (Aviceda leuphotes), Buteo buteo dan elang rawa (Circus sp.). Di Jawa, elang alap cina, sikep madu asia, elang alap nipon, alap-alap kawah, elang buteo (Buteo buteo) dan alap-alap capung tercatat sejak tahun 2001 – akhir tahun 2004. Di Bali dan Nusa Tenggara, beberapa pengamat mencatat elang alap cina, sikep madu asia, elang alap nipon dan alap alap capung. Di Sumatera, beberapa raptor seperti elang alap cina, sikep madu asia, elang alap nipon, elang baza, elang paria dan alap alap kawah tercatat sejak tahun 2001. Di Kalimantan, dalam satu tahun pemantauan (2002 – 2003) mencatat elang alap cina, elang alap nipon, sikep madu asia, elang paria, elang tiram dan elang rawa. Analisa statistik dalam perbandingan spesies raptor migran tahun 2001 hanya dikhususkan di Pulau Jawa. Korelasi linear antara elang alap cina (Y), elang alap nipon (x1) dan sikep madu asia (x2) di Puncak Pass yaitu Y = 2,335 x1 + 7,954 x2 + 60,236 (sig (0,05) = 0,025 – 0,09; sig. anova = 0,008, R square = 45,2 %). Korelasi linear terbaik antara elang alap cina dengan elang alap nipon di Coban Plangi, Taman Nasional Bromo Tengger yaitu Y = 1,579 xgul + 20,174 (sig. (0,05) = 0,000, sig. anova = 0.000 R square= 93,3% and Pearson = 0,966).
Kata kunci: raptor migran, rute, migrasi jarak jauh, analisa statistik
Organisasi atau Individu yang terlibat dalam pemantauan migrasi raptor di Indonesia Jaringan Penelitia n & Konservasi Raptor Indonesia -RAIN (Adam A. Supriatna), PILI NGO- Movement (Mohammad Muchtar), Raptor Conservation Society (Usep Suparman), KPB CIBA (Rajindra), Bird Conservatio n Society (Ade Rahmat), Kutilang Birdwatchin g Association (Lim Wen Sin), Kokokan Birdwatching Club (Jerry M. Imansyah), Birdlife International Indonesia (Irma S. dan kelompok Sahabat Burung Indonesia ), Himbio Universitas Padjadjaran, Yayasan Konus (Firman hadi), Profauna Jakarta, YKompleet, Conservation International Indonesia (Sunarto ), Indonesia Orangutan Foundation (Ahmad Yani dan Fajar Dewanto ) and Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), KSSL UGM (Benardus Setyawan), Thomas O. Veriasa (Pteropus Vampyrus), Himbio Universita s Nasional (Adi Kristianto), Universitas Indonesia, Vetpagama, Universitas Atma Jaya Jogjakarta, Universita s Duta Wacana Jogjakarta, IBC (Inscidental Birdwatching Club)
Pendahuluan Indonesia adalah salah satu tempat yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dan sebagai wilayah yang sangat penting dalam upaya perlindungan alam. Ribuan spesies hidupan liar terdistribusi di semua tempat dan umumnya di hutan hujan tropis termasuk lebih dari 1600 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 43 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
spesies burung yang terdistribusi di Indonesia. Beberapa spesies burung diantaranya merupakan spesies migrasi, salah satu kelompok spesies yang melakukan migrasi adalah raptor atau burung pemangsa. Di Indonesia dari 69 raptor yang tercatat, 39 spesies diantaranya berkategori migrasi dan 26 spesies termasuk dalam kategori migrasi, memiliki karakter bermigrasi antar benua atau migrasi jarak jauh (long distance migration) (Beehler et. al., 1986; M acKinnon & Phillips, 1993; van Balen, 1994; Bildstein, 1999; Rudyanto, 2001; Sukmantoro, 2002). Konsep migrasi ini sangat baik untuk didiskusikan secara lebih luas, karena migrasi berbagai jenis spesies tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim ekstrim dan faktor hibernasi spesies mangsa, tetapi dapat pula disebabkan oleh reproduksi, temperatur, pola persaingan, perilaku dispersal atau pemencaran dan perilaku bertelur yang dapat dijumpai oleh ikan salmon. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi migrasi tersebut, ada 4 yang dikatagorikan sebagai tipe migrasi (Zalles & Bildstein, 1999; Kramadibrata, 2001); 1. Migrasi jarak Jauh (long-distance migration) M igrasi berdasarkan antar benua atau interkontinental atau antar regional yang luas menjelajahi wilayah antara tipe musim yang satu dengan yang lain berdasarkan garis lintang. M igrasi ini disebabkan oleh perbedaan musim di wilayah Utara bumi atau Selatan bumi. Disebut pula sebagai migrasi interkontinental. M igrasi jarak jauh dibagi dua lagi yaitu migrasi jarak jauh secara lengkap yaitu lebih dari 90 % seluruh individu meninggalkan tempat berkembang biak di belahan bumi Utara atau Selatan ke wilayah yang lebih hangat di katulistiwa. M igrasi jarak jauh parsial yaitu kurang dari 90% seluruh individu meninggalkan tempat berkembang biaknya ke tempat yang lebih hangat. 2. Migrasi Jarak pendek (Short distance migration) M igrasi antar kepulauan atau antar ketinggian. M igrasi ini hanya menjelajahi wilayah regional yang sempit karena perbedaan musim setempat. Dikenal sebagai migrasi parsial. 3. Migrasi Latitudinal (Latitudinal Migration) M igrasi berdasarkan luas jangkauannya secara bidang horisontal atau antar perbedaan garis lintang. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan musim atau temperatur secara latitudinal (horisontal). Spesies yang memiliki tipe migrasi ini pada umumnya memiliki jangkauan yang jauh dalam bermigrasi sehingga dapat pula spesies yang memiliki migrasi latitudinal dianggap sebagai jenis migran interkontinental. 4. Migrasi Altitudinal (Altitudinal Migration) M igrasi ini berdasarkan adanya perbedaan iklim atau musim di wilayah yang memiliki ketinggian yang berbeda misalnya migrasi spesies dari gunung ke wilayah hutan pantai pada musim breeding. Wilayah migrasinya umumya cakupannya sempit karena dalam satu kepulauan atau antar pulau. M igrasi altitudinal ini dianggap sebagai migrasi jarak pendek atau migrasi parsial. Selain 4 (empat) konsep migrasi di atas, ada pula yang disebut dengan vagran yaitu spesies yang bermigrasi di luar jadwal migrasinya atau diluar jangkauan jalur migrasi atau lebih dikenal sebagai jenis migran yang tersesat, contohnya, spesies tersebut mempunyai waktu migrasi pada bulan Oktober sampai Desember. Spesies vagran dapat berkunjung di wilayah migrasinya pada bulan M ei atau Agustus, atau spesies tersebut memiliki jalur di wilayah M alaysia, tetapi beberapa jenis melakukan perjalanan secara soliter ke Sumatera atau Jawa. Fenomena ini cukup banyak terjadi karena banyaknya berbagai catatan mengenai spesies vagran ini dan konon, beberapa diantaranya diindikasi telah menjadi spesies penetap atau penghuni wilayah tersebut walau tidak melalui pengamatan yang baik (Rangkuman diskusi dengan Rusila Noor dan Van Balen, 2001). 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 44 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Catatan raptor migrasi di Indonesia mulai dapat dirunut data dari tahun 1898 yaitu terhadap spesimen Buteo buteo vulpinus oleh M eyer & Winglesworth. Spesimen tersebut diambil di Sulawesi Utara dan saat ini berada di M useum Leiden. Antara kurun waktu tersebut sampai saat ini, catatan migrasi hampir tersebar di seluruh Indonesia terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, M aluku dan Nusa Tenggara. Di Papua, catatan hanya terekam di Teluk Bintuni oleh P. Ertemeijer & G. Allen; Suwendra & R.T. Kosamah. Spesies yang tercatat dalam migrasi tersebut adalah Pandion haliaetus dan Circus aproximans. Tahun 2001 – 2004, merupakan babak baru dimana hampir seratus persen catatan berasal dari pengamat lokal dan jauh lebih banyak dibandingkan data sebelum tahun 2001. Lebih dari 25 organisasi atau individu organisasi ikut dalam kegiatan pemantauan tersebut setiap tahun. Laporan ini merupakan rangkuman dari catatan perjalanan kegiatan pemantauan sejak tahun 2001 – 2004 dan analisisnya. Rangkuman catatan perjalanan yang dikoordinasikan oleh Raptor Indonesia dan didukung oleh berbagai organisasi ini terutama Asian Raptor Research and Conservation Networking, PILI – NGO M ovement dan LIPI diharapkan sebagai sebuah ‘review’ dan masukan bagi berbagai pihak yang terkait dan ikut mendukung dalam kegiatan pemantauan raptor migran di Indonesia.
Tujuan Tujuan dari pemantauan raptor migran di Indonesia sejak tahun 2001 – 2004 adalah: 1. mendapatkan data mengenai populasi dan deskripsi migrasi raptor migran termasuk peta jalur migrasinya yang tercatat di Indonesia. 2. mengetahui kondisi habitat dan upaya konservasi yang akan dijalankan berkenaan dengan perlindungan raptor migran dan habitatnya. 3. digunakan sebagai strategi kampanye perlindungan alam dan penguatan kapasitas pengamat burung dan kelembagaan pengamat burung di Indonesia Metode Pemantauan dilakukan pada tahun 2001 – 2004, melibatkan lebih dari 25 organisasi pengamat burung dan beberapa organisasi pelajar. Organisasi-organisasi tersebut tergabung dalam sebuah wadah besar yaitu Jaringan Penelitian dan Konservasi Raptor Indonesia (RAIN). Kegiatan pemantauan berlangsung setiap tahun pada bulan September sampai November dan tahun 2003, kegiatan pemantauan migrasi balik (spring migration) dilakukan pada bulan M aret 2003. Beberapa lokasi dijadikan tempat pemantauan yaitu di wilayah Sumatera (Taman Nasional Way Kambas dan Taman nasional Batang Gadis), Jawa (Pelabuhan IV M erak, Kebun Raya Bogor, Puncak Pass (Bukit RCS, Cibulao dan Telaga Warna), Taman Nasional Gede Pangrango (Cibodas), Taman Nasional Gunung Ceremai, Tangkuban Perahu (Panaruban), Taman Ganesha Bandung, Ujung Berung – Bandung dan Jatinangor – Sumedang, Gunung Slamet, Gunung Dieng, Tinjomoyo – Jawa Tengah, Taman Nasional M erapi (Gardu Pandang) – Jogjakarta, Taman Nasional Bromo Tengger), Bali (Taman Nasional Bali Barat (Cekik, Tegal Bunder), Kintamani, Bedugul, Gunung Seraya), Nusa Tenggara (Pulau Komodo dan Waingapu) dan Kalimantan (Taman Nasional Tanjung Puting, Pasir Panjang dan Kotawaringin). Pemantauan umumnya dimulai pada pukul 07:00 pagi meskipun ada beberapa lokasi yang mulai tercatat pada pukul 09.00 pagi atau pukul 06.00 pagi. Pemantauan berakhir pada pukul 17:00. Di beberapa lokasi, pemantauan dilakukan bersamaan dengan survey burung atau pertemuan secara tidak sengaja di lapangan. Informasi tersebut dianggap akurat pula dan dimasukkan dalam database catatan raptor migran. Pemantauan dilakukan dengan mempergunakan binokuler atau monokuler ‘spotting scope’ dengan membawa buku panduan pengamatan dan buku catatan. Beberapa lokasi dimana raptor migran tercatat sangat banyak, dapat dilakukan dengan mempergunakan ‘counter’. 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 45 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Ada beberapa kriteria dalam pengambilan data perjumpaan raptor migran yang bertujuan untuk mengetahui kondisi populasi, deskripsi migrasi raptor dan kondisi habitatnya. Kondisi populasi yang dipantau adalah jumlah individu raptor migran dalam setiap spesies yang dijumpai per lokasi pemantauan, waktu perjumpaan individu atau kelompok individu raptor migran dan perilaku raptor migran pada saat perjumpaan atau perilaku dominan pada kelompok individu tersebut pada saat tercatat. Deskripsi migrasi raptor yang dapat dicatat adalah arah migrasi dari raptor tersebut (arah terbang) dan letak atau posisi perjumpaan raptor migran. Sedangkan, kondisi habitat yang dicatat adalah kondisi cuaca mikro (temperatur udara, kelembaban udara, presipitasi, kekuatan dan arah angin) dan tipe vegetasi. Beberapa catatan lain adalah jarak raptor dengan pengamat dan jarak pandang pengamat menjadi tambahan informasi yang berkaitan dalam pemantauan tersebut. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian dibuat database dan digabungkan atau dikompilasi dengan data pemantauan di lokasi-lokasi lainnya. Gabungan dari kompilasi data di berbagai lokasi pemantauan kemudian dianalisa dan dikirim kembali kepada masing-masing individu atau organisasi yang ikut dalam pemantauan raptor migran. Pendistribusian data dilakukan melalui mailinglist Rain atau dikirim melalui email para pengamat. Analisa kumpulan data dilakukan dengan mempergunakan statistik terutama bagi kumpulan data per lokasi yang memungkinkan untuk diuji statistik. Langkah awal uji statistik yang dilakukan adalah normalitas data. Apabila data tersebut normal, pengujian akan masuk ke dalam uji parametrik, tetapi apabila data tersebut tidak normal, pengujian akan dilakukan dengan mempergunakan uji non parametrik.
Hasil dan analisa data Deskripsi Lokasi pemantauan dan Rangkuman Catatan Sejarah Dasar dari penentuan lokasi pemantauan adalah berasal dari catatan sejarah perjumpaan raptor migrasi di Indonesia. Beberapa publikasi dan literatur ilmiah termasuk Kukila, Tropical Biodiversity journal, Oryx journal, buku panduan burung dan beberapa literatur lainnya menjadi acuan dalam pencatatan sejarah perjumpaan raptor migran. Catatan sejarah ini kurang optimal karena belum melakukan runutan lengkap di museum-museum satwa. Banyak catatan penting mengenai keberadaan raptor migran tersebar di seluruh Indonesia meskipun ada beberapa pulau besar yang masih belum dapat dirangkum dengan baik mengenai perjumpaan raptor migran. Di Sumatera, catatan raptor migran terdapat di Pulau Bengkalis, Pulau Rupat; Sungai Serka, Lubuk M uda (Propinsi Riau), Pulau Karimun (Kepulauan Riau), Pulau Nias and M entawai (Sumatra Utara), Sungai Sembilang, Benawang, Pesisir Banyuasin, Teluk Betung, Simpanggagas and M uara Sako (Sumatra Selatan) and Way Kanan (Taman nasional Way Kambas). Catatan-catatan raptor migran di lokasi – lokasi tersebut berhasil dikoleksi dari Holmes, 1988-1992; Elliot & M artinez, 1990; Kannegieter, 1990; Verheught dkk., 1993; Verheught, Kov & Danielsen, 1989; Kemf, 1999; Zalles & Bildstein, 1999; Nijman (pers. comm. 2001). Ash (1993) juga menyatakan bahwa Semenanjung M alaya juga dilewati raptor migran dan banyak diantaranya masuk ke wilayah Kepulauan Riau. Di Pulau Jawa dan Bali, catatan perjumpaan raptor migran tersebar di Pulau Dua (Banten), Kebun Raya Bogor, Puncak (Bogor), Cibodas (Taman Nasional gede Pangrango), Neglasari (Taman Nasional halimun), Cimandala dan Sukamantri (Bogor), Taman Ganesha dan Jatinangor (Bandung), Bukit Tunggul (Citatah), Gunung Slamet, Dataran Tinggi Dieng, M erapi-M erbabu dan Gunung M uria (Jawa Tengah), Gunung Argopuro, Sadengan, Cungur, Plengkung dan Pasar Anyar (Alas Purwo) dan di Bali tercatat di Teluk Terima (taman Nasional Bali Barat). Lokasi-lokasi perjumpaan ini diperoleh dari berbagai catatan atau kompilasi dari Andrew, 1985 (Accipiter soloensis and F. peregrinus calidus di Kebun Raya Bogor); ICBP, 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 46 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
October 1984; M ilton & M ahardi, (undated; A. soloensis, P. ptilorhynchus, A. gularis, dan F. peregrinus di Dua Island (Banten); Ramdhan, 1999 (A ccipiter soloensis di Neglasari, Taman Nasional Halimun); van Balen, October 1986 (Cimandala & Sukamantri, Bogor); CIBA, 1999 (Supriatna, 2001 pers. comm.; A. soloensis; A. gularis & P. ptilorhynchus Puncak); Bicons, October 1999 (Accipiter soloensis di Taman Ganesha, Bandung); Sukmantoro, Rachman, Heryadi, Novianto & Hadi, 1997 - 2000 (A. soloensis dan P. ptilorhynchus (?) in Citatah Hill, Bukit Tunggul & Jatinangor); Veriasa, 2001 (pers. comm., Slamet and Dataran Tinggi Dieng); Pramanayudha, 2001 (pers. comm.; M erapi-M erbabu and Gunung M uria); KSBK, 2000 (pers. comm. Wilayah Argopuro); Grantham (1992, 1997, 1998 & 1999; A. gularis di Sadengan, Cungur, Plengkung and Pasar Anyar, Alas Purwo National Park); Ash, October 1990 (P. ptilorhynchus, A. gularis, A, soloensis and C. spilonotus di Teluk Terima, Taman Nasional Bali Barat). Di Kalimantan, Taman Nasional Tanjung Puting juga merupakan lokasi perjumpaan raptor migran yaitu elang alap nipon (Accipiter gularis) (Nash & Nash, 1988). Catatan lain yang berkenaan dengan raptor migran di Kalimantan diperoleh di Gunung Palung, Danau Sentarum, Sungai Kahayan, pedalaman Barito, Berau, Tanjung Selor, Delta M ahakam, Danau Jempang, Wanariset Semboja - Balikpapan, Danau Riam Kanan dan Pulau Laut. Catatan-catatan keberadaan raptor migran di lokasi-lokasi tersebut diperoleh dari M eyburg dan Balen, 1994; P. Jepson, 1989; Wardill, 1995; Bishop & Bricle, 1996; Coates & Bishop, 1997; Balen & Nurwatha, 1996; Davidson & Raharjaningtrah, 1991 dan Holmes, 1987 – 1997. Di Nusa Tenggara, catatan raptor migran sebelum tahun 2001 adalah di M aumere dan Golo Lusang, Flores
Lokasi P erjumpaan Raptor Migran sebelum tahun 2001 Lokasi catatan baru raptor migran yang belum pernah dicatat sebelum tahun 2001
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 47 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Kotawaringin Sembilang Tanjung Puting Way Kambas Sebangau
Mandiangin
Merak Batang Gadis Bandung
Kb. Raya Bogor
Slamet Dieng Waingapu
Puncak
Merapi Komodo Cibodas
Lokasi P emantauan tahun 2001 - 2004
Bromo Tengger
TN Bali Barat
Gambar 1. Lokasi Perjumpaan Raptor Migran sebelum tahun 2001 (Catatan Sejarah) dan Lokasi Pemantauan Raptor Migran 2001 - 2004
Studi Populasi 2001 - 2004 Dari hasil pemantauan selama tahun 2001 – 2004, 47.753 catatan individu burung pemangsa (raptor) migran telah dihasilkan lebih dari 25 insitusi di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Di seluruh lokasi pemantauan, elang alap cina (Accipiter soloensis) tercatat 34.502 individu dan diestimasi merupakan catatan dominan dengan raptor migran lainnya, diikuti sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus orientalis) berjumlah 4.624 individu dan elang alap nipon (Accipiter gularis) tercatat berjumlah 3.706 individu. Sisanya adalah jenis alap-alap kawah (Falco peregrinus), elang baza (Aviceda leuphotes), Buteo buteo dan elang rawa (Circus sp.). Perbandingan dalam persen antara elang alap cina dengan sikep madu asia, elang alap nipon dan jumlah individu spesies sisanya adalah 80,55 % dengan 19,45 %. Di Jawa, elang alap cina, sikep madu asia, elang alap nipon, alap-alap kawah, elang buteo (Buteo buteo) dan alapalap capung tercatat sejak tahun 2001 – akhir tahun 2004. Di Bali dan Nusa Tenggara, beberapa pengamat mencatat elang alap cina, sikep madu asia, elang alap nipon dan alap alap capung. Di Sumatera, beberapa raptor seperti elang alap cina, sikep madu asia, elang alap nipon, elang baza, elang paria dan alap alap kawah tercatat sejak tahun 2001 terutama di Taman Nasional Way Kambas dan Taman Nasional Batang Gadis. Di Kalimantan, dalam satu tahun pemantauan (2002 – 2003) di Tanjung Puting dan Kotawaringin mencatat elang alap cina, elang alap nipon, sikep madu asia, elang paria, elang tiram dan elang rawa, meskipun di wilayah Taman Nasional Sebangau dan M andiangin (Banjarbaru-Kalimantan Selatan) belum dijumpai keberadaan raptor migran
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 48 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Gambar 2. Jumlah Individu Spesies Raptor Migrasi Yang T ercatat tahun 2001 – 2004 35000 3 45 02 30000 25000 20000 15000
Jumlah Ind. 10000 46 24
5000
4 54 7
37 06 6
2
3
12
3
1
4
alap-alap c apung
elang baza
elang paria
elang rawa
F alco subbuteo
Aviceda jerdoni
Hieraetus pennatus
Black kite
13 79
Uniden. Raptor
4
Acc ipitridae
22
elang buteo
elang alap nipon
s ik ep madu ais a
elang alap c ina
57
elang alap k awah
0
Di Jawa, Puncak pass, Gunung Slamet dan Gunung Bromo Tengger diestimasi merupakan lokasi penyempitan jalur migrasi atau ‘migration bottle neck’, karena ribuan individu raptor migran dapat tercatat dalam satu hari saja. Di M erapi, wilayah Bandung dan Kebun Raya Bogor merupakan jalur yang memisah karena kemungkinan ada jalur lain yang paralel pada ketika lokasi tersebut. Perkiraan ini disebabkan jumlah individu yang tercatat kecil dalam satu hari dan dijumpai kelompok lain yang paralel seperti kelompok kecil melintas di wilayah Selabintana dan Cimandala yang kemungkinan akan mesuk ke jalur migrasi Puncak (Van Balen, 1986; Suparman, 2004). Penyempitan jalur migrasi ini sangat menarik karena kemungkinan, migrasi di wilayah daratan lebih memasuki koridor-koridor hutan. Sebagai spesies yang memiliki karakteristik pemangsa (top predator), kebutuhan akan mangsa sangat besar. Populasi mangsa yang umum digunakan sebagai pakan adalah burung-burung kecil dan mamalia kecil yang banyak terdapat di hutan (M acKinnon, 2001). Konsentrasi pakan tersebut banyak terdapat di hutan tersebut, maka raptor migran melakukan pergerakan ke wilayah-wilayah tersebut, meskipun banyak diantaranya melintasi kawasan urban atau pertanian. Data tahun 2001 dan 2004 cukup menarik sebagai media komparasi dan pembuktian adanya jalur migrasi paralel, yaitu perbedaan persentase jumlah individu per spesies antara lokasilokasi pemantauan. Perbandingan di beberapa lokasi pemantauan di Jawa seperti Puncak pass tahun 2001 mencatat perbandingan antara elang alap cina dengan elang alap nipon adalah 90,12 % : 9,87 %. Perbandingan ini tidak berbeda dengan catatan tahun 2001 di M erapi dan Taman Nasional Bali Barat. Di M erapi, perbandingan elang alap cina dengan elang alap nipon adalah 84,2 % : 15,8 %. Hal ini diperkuat tahun 2003, di M erapi, tidak ada catatan mengenai elap alap nipon (Wen Sin, 2003). Tetapi, tahun 2004, persentase berubah dimana elang alap cina dengan elang alap nipon memiliki perbandingan 34,9 % : 65 % (Setyawan, 2004). Di Bali tahun 2001, persentase antara elang alap cina dengan elang alap nipon adalah 92 % : 8 %. Hal ini diperkuat dengan data tahun 2002 yaitu antara elang alap cina dengan elang alap nipon memiliki perbandingan 97,3 % : 2,7 % (Imansyah, Purwandana, Oni & Sudaryanto, 2002).
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 49 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Di Gunung Slamet dan Dataran Tinggi Dieng, terjadi perbedaan cukup mencolok mengenai perbandingan antara elang alap cina dengan elang alap nipon. Di Gunung Slamet perbandingannya adalah 1,7 % : 98,2 %. Sedangkan di Dataran Tinggi Dieng, elang alap cina dengan elang alap nipon perbandingannya adalah 14,41 % : 85,6 % (Veriasa, 2001). Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan mengenai individu yang tidak tercatat pada saat pemantauan, contohnya elang alap cina di Puncak yang tercatat berjumlah 4482 individu tahun 2001, ternyata hanya tercatat 8 individu di Gunung Slamet di tahun yang sama. Jumlah yang tidak tercatat tersebut dipastikan menggunakan jalur lain sebagai migrasi meskipun ada beberapa faktor lain seperti kesalahan pengamatan, perbedaan waktu pemantauan dan faktor cuaca misalnya berkabut sehingga jarak pandang sangat terbatas. Pada jenis sikep madu asia, persentase perjumpaan jika dibandingkan dengan elang alap cina dan elang alap nipon, tidak mengalami perbedaan persentase yang berarti artinya kisaran persentase di setiap tempat pemantauan tahun 2001 adalah 2 – 11 %. Sedangkan tahun 2002 di Bali, sikep madu asia persentase total catatan dibandingkan dengan elang 1600 1400 1200 1000 800
Elang Al ap Ci na
600 400 200 0 1
4
8
12 15 18 21 23 28
1
4
8 11 14 16 18 20 27
alap cina dan elang alap nipon adalah 4,7 % saja total jumlah individunya dibandingkan dengan kedua jenis raptor migran lainnya (Imansyah, Purwandana, Oni & Sudaryanto, 2002). Tahun 2003, terjadi peningkatan jumlah sikep madu asia yang hadir di Indonesia disebabkan persentase total individu sikep madu yang tercatat adalah 12,9 %. Tahun 2004, terjadi penurunan persentase perjumpaan meskipun di beberapa lokasi persentase sikep madu cukup tinggi terutama catatan di Kebun Raya Bogor dan Puncak (Jawa barat). Total persentase sikep madu asia tahun 2004 adalah 7,54 %. Untuk spesies lainnya, seperti alap – alap kawah (Falco peregrinus), black kite (Milvus migrans), elang tiram ( Pandion haliaetus) dan Buteo buteo, persentasenya kecil karena catatan perjumpaan tidak banyak atau tercatat soliter atau dalam kelompok yang kecil. Penghitungan skewness dan kurtosis dan dibagi dengan standar error skewness dan kurtosis dari ketiga spesies raptor tersebut adalah > 2, maka sebaran data ke-3 spesies adalah tidak normal.
Puncak Migrasi Puncak migrasi raptor migran dihitung berdasarkan jumlah perjumpaan seluruh spesies per satuan waktu di setiap lokasi pemantauan. Di Jawa, puncak migrasi raptor di Puncak Pass (Bogor) tahun 2001 adalah tanggal 6, 17 - 27 Oktober, sedangkan di Bromo Tengger, puncak migrasi terjadi antara tanggal 12 Oktober. Di Bali, puncak migrasi terjadi antara tanggal 14 – 16 Oktober (Chong & Nitani, 2001). Gambar 3. T otal penghitungan individu per spesies raptor migran per hari dalam kurun waktu tahun 2003 - 2004 di Puncak Pass, Bogor (Suparman & Rajindra, 2003; Suparman 2004)
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 50 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
140
Jumlah Individu
120 100 80
Ela ng a lap nipon
60
Sike p ma du a sia
40 20 0 1
4
8
12
15
18
21
23
28
1
4
8
11
14
16
18
20
27
3500 3000
Jumlah Individu
2500 2000 Elang alap cina 1500 1000 500 0 4
7 12 14 18 20 26 28
1
3
8 10 16 20 23 25 29
1
3
5
Bulan Oktober, November dan Desember 2004
120
Jumlah Individu
100 80 Elang alap nipo n
60
Sik ep m adu as ia
40 20 0 4
7
12 14 18 20 26 28 1 3 8 10 16 20 23 25 29 Bulan Oktober, November dan Desember 2004
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
1
3
5
- 51 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Gambar 4. T otal penghitungan individu per spesies raptor migran per hari dalam kurun waktu tahun 2003 - 2004 di Gardu Pandang, Jogjakarta (Wen Sin, 2003; Setyawan dkk. 2004) 60
Jumlah Individu Jumlah Individu Jumlah Individu
50 160 40140 Elan g alap cina
30120 20100 10 80
Elang alap cina
0 60 30
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
23
24
40 20
Akhir Bulan September dan Oktober 2003
0 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 2
4
6
8
10 12 15 17 19 22
Bulan Oktober dan November 2004
700 600 500 400
Elang alap nipon
300
Sikep madu asia
200 100 0 9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
2
4
6
8 10 12 15 17 19 22
Bulan Oktober dan November 2004
Gambar 5. T otal penghitungan individu per spesies raptor migran per hari dalam kurun waktu tahun 2004 di Kebun Raya Bogor, Bogor (Sukmantoro & Veriasa, 2004) 40 35 Jumlah Individu
30 25
Elang alap cina
20 15 10 5 0 19
26
27
2
9
10
17
18
20
24
25
Bulan Oktober dan November 2004
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 52 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Tahun 2003, puncak migrasi raptor terjadi antara tanggal 1 sampai 8 November untuk elang alap cina, sedangkan puncak migrasi sikep madu asia adalah tanggal 20 Oktober dan 8 sampai 27 November. Puncak migrasi elang alap nipon tahun 2003 adalah tanggal 8 Oktober dan 13 November meskipun dalam jumlah kelompok kecil. Tahun 2004, terjadi pergeseran waktu puncak migrasi elang alap cina bergerak pada awal bulan Oktober yaitu antara tanggal 4 sampai 14 Oktober. Puncak migrasi sikep madu asia tahun 2004 dianggap tak mengalami pergeseran yaitu diawali pada tanggal 7 Oktober dan puncaknya terjadi pada tanggal 17 Oktober. Tahun 2004, elang alap nipon tercatat terbanyak dalam satu hari terjadi pada tanggal 1 November yaitu berjumlah 35 individu. Tahun 2003, di Gardu Pandang – M erapi, Jogjakarta, puncak migrasi elang alap cina terjadi pada tanggal 23 Oktober dan pada tahun 2004 terjadi juga pada tanggal yang sama yaitu 23 Oktober. Sedangkan tahun 2004, elang alap nipon tercatat paling banyak pada tanggal 9 November. Untuk sikep madu asia, tidak ada catatan puncak karena penghitungan individu per hari hampir sama kecuali tanggal 18 November mengalami kenaikan jumlah perjumpaan dengan total 30 individu. Di Kebun Raya Bogor tahun 2004, puncak migrasi elang alap cina adalah tanggal 17 dan 18 November, sedangkan untuk sikep madu asia adalah tanggal 18 November. Tahun 2004, bulan Desember tidak terdapat catatan mengenai raptor migran dan catatan tersebut menandai Bulan Desember diestimasi sudah tidak dijumpai keberadaan raptor migran yang melakukan migrasi meskipun catatan migrasi raptor masih bisa tercatat di wilayah Jawa dan Nusa Tenggara. Catatan bulan Desember atau tepatnya tanggal 6 Desember 2004 terjadi di Bandara Tambolaka (Sumba Barat) dimana 6 individu elang alap cina tercatat di sana (Rudyanto, 2004). Selebihnya adalah catatan individu-individu yang soliter seperti tanggal 3 Desember 2003 dimana sikep madu asia tercatat di Desa Tanjung Harapan, Tanjung Puting, Kalimantan Tengah; Milvus migrans tercatat 1 individu tanggal 12 Desember 2004 di Sungai Buluh Besar, Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Sukmantoro, 2003) dan elang alap cina tercatat 4 individu tanggal 20 Desember 2003 di Panaruban, Jawa Barat (Rhamdan, D., D. Heryadi & A. Hadian, 2003).
Analisa statistika populasi Analisa statistik dalam perbandingan spesies raptor migran tahun 2001 hanya dikhususkan di Pulau Jawa. Di Jawa, analisa data yang bisa dilakukan adalah di wilayah Puncak dan Coban Plangi, Bromo Tengger dimana N Puncak = 23 dan N Bromo Tengger = 9. Sebaran data tahun 2001 di Puncak dan Bromo Tengger adalah normal, sehingga uji signifikansi secara tidak berhubungan mempergunakan Uji signifikansi Anova dan diregresikan. Korelasi linear antara elang alap cina (Y), elang alap nipon (x1) dan sikep madu asia (x2) di Puncak Pass yaitu Y = 2,335 x1 + 7,954 x2 + 60,236 (sig (0,05) = 0,025 – 0,09; sig. anova = 0,008, R square = 45,2 %). Korelasi linear terbaik antara elang alap cina dengan elang alap nipon di Coban Plangi, Taman Nasional Bromo Tengger yaitu Y = 1,579 xgul + 20,174 (sig. (0,05) = 0,000, sig. anova = 0.000 R square= 93,3% and Pearson = 0,966). Analisa statistik raptor migran di Puncak-Cibulao (Gede Pangrango) selama tahun 2003 – 2004, total data yang diperoleh untuk tiga spesies raptor yaitu elang alap cina, elang alap nipon dan sikep madu asia adalah N = 90. Rata – rata perjumpaan elang alap cina di Puncak-Cibulao adalah 258,7 individu per hari, rata – rata elang alap nipon yang tercatat adalah 10,4 individu per hari dan sikep madu asia adalah 27 individu per hari. Dari Uji Kruskal Wallis untuk ketiga jenis raptor di Puncak dihasilkan Chi Square hitung adalah 7,56645 dan chi square tabel untuk df = 2 dan signifikansi (α ) = 0,05 maka statistik hitung > statistik tabel maka Ho ditolak artinya adalah jumlah individu dari ke-3 spesies tersebut di Puncak adalah berbeda secara nyata. Asymp. Sig. Dari hasil penghitungan adalah 0,000 maka probabilitasnya < 0,05 maka Ho juga 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 53 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
ditolak. Kesimpulannya terjadi perbedaan jumlah individu secara nyata dari ke-3 spesies raptor migran yang tercatat selama periode 2003 – 2004.
Deskripsi Migrasi Raptor Arah terbang Banyak informasi yang menerangkan arah migrasi raptor, tetapi studi yang lebih menjelaskan mengenai migrasi raptor dimulai dari melihat proporsi arah terbang raptor migran. Tahun 2001, persentase arah terbang raptor secara keseluruhan di seluruh tempat melakukan perpindahan ke arah Timur (29,6 %), Utara (22,2 %), Timur Laut (18,5 %), Tenggara (14,8 %) dan Selatan (14,8 %). Total persentase raptor migran ke arah Timur, Timur Laut dan Tenggara adalah 62,9 % (Sukmantoro, 2001). Di Puncak, arah perpindahan raptor adalah 100 % menuju Utara tahun 2001 (Suparman 2001 dalam Sukmantoro 2001). Di Bandung, 66,6 % raptor migran terbang ke arah Timur dan Tenggara dan hanya 33,3 % ke Timur laut, Utara dan Selatan (Sukmantoro dkk., 2001). Tahun 2003, catatan mengenai arah terbang raptor migran di Bandung adalah 35 % ke arah Timur dan 65 % ke arah Tenggara. Sedangkan, di Panaruban (kaki Tangkuban PrahuBandung) memiliki catatan arah terbang dari arah Utara ke Barat Daya. Di Way Kambas (Sumatera), catatan arah terbang raptor diperoleh tahun 2001 yaitu 50 % menuju ke Selatan dan 50 % lainnya menuju ke arah Timur. Di Bali juga diperoleh catatan arah terbang raptor migran tahun 2001 yaitu ke arah Timur (25 %) dan Timur Laut (75 %). Catatan tahun 2002 di Bali juga mencatat 100 % raptor migran bergerak ke arah Timur dan Timur laut. Catatan tersebut diperoleh dari hasil pengamatan di wilayah Jatiluwih, Bedugul, Kintamani dan Bukit Seraya (Imansyah, D. Purwandana, Oni P.B., Andrian N. & Sudaryanto, 2002). Catatan tahun 2002 dan 2003 di Tanjung Puting, arah terbang raptor lebih beragam tetapi cenderung ke arah Barat. Elang alap nipon tercatat lebih banyak ke arah Barat, Barat daya dan Barat laut. Elang alap cina tercatat bergerak ke arah Barat melintasi Teluk Kumai, sedangkan sikep madu asia ke arah Timur laut dan Barat laut (Sukmantoro, 2003). Ada beberapa catatan lain yang disampaikan secara lisan oleh beberapa pengamat seperti di Dieng, Gunung Slamet dan Bromo Tengger. Catatan mengenai arah terbang di ketiga daerah tersebut pada saat migrasi (Oktober – November) juga dominan ke arah Timur, Timur laut dan Tenggara. Di wilayah Nusa Tenggara, tidak ada informasi mengenai arah pergerakan raptor migran, termasuk informasi keberadaannya di Pulau Komodo. Sedikit catatan yang diperoleh mengenai arus migrasi balik (spring migration) di Indonesia tahun 2001 – 2004. Tetapi ada beberapa hasil yang diperoleh terutama di wilayah Taman Nasional Batang Gadis (Sumatera Utara) dan Pelabuhan IV M erak (Banten). Di Sumatera pula tepatnya di Taman Nasional Batang Gadis (Sumatera Utara), dalam catatan kecil bahwa arah terbang raptor migran pada masa migrasi balik adalah ke Timur (Milvus migrans), Barat laut (sikep madu asia) dan Tenggara (elang baza). Catatan di Batang Gadis masih belum bisa merepresentatifkan sebagai arah migrasi raptor karena beberapa catatan raptor migran dijumpai secara soliter. Sedangkan di Pelabuhan IV M erak, elang alap cina, elang alap nipon dan ratusan Accipitridae yang belum belum bisa teridentifikasi spesiesnya bergerak dari arah Timur ke Barat (100%). Lihat Lampiran 1 [Arah Terbang Raptor M igran, Hasil dari Pemantauan tahun 2001 – 2004 di Dataran Tinggi Dieng (1); Kebun Raya Bogor, Puncak Pass dan BandungJatinangor (2); Taman Nasional Tanjung Puting (3) dan Taman Nasional Batang Gadis (4)]
Peta Estimasi Jalur Migrasi Rute migrasi raptor merupakan sebuah estimasi dari berbagai analisa arah terbang raptor, luas jarak pandang terhadap raptor migran dan proporsi perjumpaan populasi spesies raptor migran. Ketiga hal tersebut yang menjadi dasar dalam pengestimasian jalur migrasi raptor migran. Saat ini, sebenarnya penggunaan satellite tracking yang dipasangkan pada tubuh atau bagian sayap raptor migran, dapat memberikan gambaran lebih akurat mengenai rute migrasi raptor. M etode 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 54 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
ini sudah dilakukan akhir tahun 2004 dan masih belum dapat dipublikasikan. Penggunaan satellite tracking dilakukan pada sikep madu asia. Jawa, merupakan lokasi yang cukup representatif dalam memperkirakan jalur migrasi raptor karena selama 2001 – 2004, titik-titik pemantauan cukup banyak. Dari total persentase arah terbang raptor migran 62,9 % ke arah Timur, Timur laut dan Tenggara di seluruh lokasi pemantauan terutama di Jawa, maka rute migrasinya mengarah ke Timur atau menyusuri lokasi-lokasi daratan Pulau Jawa dan melakukan penyeberangan ke arah Pulau Bali. Rutenya adalah sebagai berikut; M erak – Pulau Dua – wilayah Lebak – TN Halimun – sebagian melintasi Kota Bogor dan sebagian lain ke arah Selabintana dan Cimandala – jalur migrasi bersatu di wilayah Puncak Pass – terjadi pemecahan kelompok di wilayah Cipanas/Cianjur – satu jalur migrasi masuk ke jajaran pegunungan di Utara Bandung dan jalur lain di wilayah Patengan/Kawah Putih (pemisahan jalur tersebut pernah dilaporkan F. Hadi, 2001) – terjadi penyatuan jalur lagi (diperkirakan di wilayah Gunung Ceremai, tetapi hasil pemantauan hanya mencatat 1 individu elang alap cina di Lingga Sana (Setiadi & Imam N., 2003) – kelompok pecah kembali di wilayah Slamet – satu kelompok besar migrasi ke jajaran pegunungan ke arah Dieng dan Ungaran dan satu kelompok lain ke arah Selatan dan masuk ke TN M erapi (analisa data tahun 2001), tetapi dari hasil data M erapi 2004, kelompok yang masuk ke M erapi terbilang besar – Di Ungaran diperkirakan kelompok pecah kembali dimana satu kelompok masuk ke wilayah M uria dan kelompok lainnya menuju jajaran pegunungan di wilayah Lawu – penyatuan kelompok kembali di TN Bromo Tengger – Pecah kelompom kembali dimana satu kelompok melintasi TN M eru Betiri dan kelompok lain ke arah TN Alas Purwo. Di Bali, hasil pemantauan Imansyah, D. Purwandana, Oni P.B., Andrian N. & Sudaryanto (2002) berupaya memperkirakan jalur migrasi raptor mulai dari arah Barat Bali yaitu di Cekik 1, Cekik 2 dan Tegal Bunder (Teluk Terima) kemudian terbang ke arah Timur dan Tenggara menuju Pegunungan Pupuan yang bersambung dengan kawasan Batukaru. Pemantauan dilakukan di Jatiluwih dan terlihat 454 individu melintas dari balik Pegunungan Batukaru. Dari Batukaru, raptor migran tersebut terbagi menjadi dua kelompok dimana satu kelompok melintas Jatiluwih dan terbang menuju arah Timur dan kelompok lain ke arah Timur Laut melintasi Bedugul. Dari Bedugul, raptor migran melintasi wilayah Kintamani. Dari Kintamani teramati 211 individu yang melintas dan menuju ke arah Gunung A gung (Besakih). Pemantauan di Besakih tercatat 311 individu. Setelah melintasi Besakih, kelompok raptor terbagi menjadi dua bagian yaitu menuju Tenggara ke arah hutan Tenganan dan kelompok lain menuju Timur ke arah Bukit Seraya. Catatan di hutan Tenganan diperoleh 73 individu dan di Bukit Seraya berjumlah 461 individu. Beberapa titik penting dapat diidentifikasi sebagai lokasi istirahat raptor migran atau roosting site adalah Besakih dimana puluhan elang alap cina hinggap di lembah di wilayah Besakih. Lembah tersebut merupakan hutan terbuka dengan kondisi penutupan yang baik meskipun di beberapa titik sudah dikonversi oleh penduduk setempat. Informasi dari penduduk juga menyatakan bahwa mereka sering menjumpai kelompok besar raptor hinggap di lokasi tersebut (Imansyah, D. Purwandana, Oni P.B., Andrian N. & Sudaryanto, 2002)
Kesimpulan dan beberapa rekomendasi penting Beberapa data terbaru mengenai raptor migran tercatat selama pemantauan tahun 2001 – 2004 termasuk beberapa lokasi perjumpaan raptor migran yaitu Kayu Laut, Sopotinjak dan hutan Aek Nangali (Taman Nasional Batang Gadis), Pelabuhan M erak, TN M erapi, Tinjomoyo (Jawa Tengah), Bromo Tengger (Jawa Timur), Besakih – Kintamani – Tenganan dan Bukit Seraya (Bali), Pulau Komodo (Nusa Tenggara) dan Kotawaringin – Pasir panjang (Kalimantan Tengah). Data terbaru ini melengkapi data sebelumnya dan digunakan sebagai acuan penentuan 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 55 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
arah migrasi secara lebih akurat terutama di Pulau Jawa dan Bali. Di Batang Gadis (Sumatera) diperkirakan ada dua kemungkinan arah migrasi raptor yaitu berasal dari pecahan kelompok kecil dari jalur migrasi di Semenanjung M alaya ke arah Kepulauan Riau atau estimasi jalur migrasi dari Kepulauan Andaman ke Bukit Barisan sebelah Utara. Elang baza (Aviceda leuphotes) dan sikep madu asia tercatat pula di Semenanjung M alaya dengan kelompok besar. Di Kalimantan, estimasi jalur migrasi agak sulit dilakukan karena menyangkut luasan Pulau dan masih sedikit catatan migrasi di Kalimantan. Catatan raptor migran di Tanjung Puting dan sekitarnya, kemungkinan berasal dari wilayah yang lebih Utara yaitu jalur migrasi dari Filipina – menyeberang Sabah – masuk ke wilayah Kalimantan Barat sampai ke arah Selatan. Ada kemungkinan, raptor migrasi di Tanjung Puting berasal dari kelompok kecil di Jawa. Dari cara terbang dan jangkauan terbang raptor melintasi lautan dan daratan yang luas, selain faktor insting burung yang mengetahui arah migrasi secara tepat (navigasi yang akurat), efektivitas terbang dan kemungkinan memanfaatkan arah angin yang baik merupakan faktor – faktor bertahannya raptor migran melakukan perjalanan yang panjang. Efektivitas terbang diawali dari memanfaatkan pusaran angin di udara dan dalam kondisi yang tepat, meluncur lurus tanpa kepakan ke arah yang dituju. Pada saat kondisi angin nol atau tanpa angin, sering melakukan terbang memutar (soaring) menjadi faktor penting untuk mendapatkan ketinggian yang diinginkan untuk melakukan luncuran atau intensitas raptor tesebut hinggap di beberapa pohon menjadi tinggi. Dalam kondisi berlawanan arus angin, mereka melakukan terbang memutar dan bergerak setidaknya untuk tidak terlalu melawan arus angin. Dari catatan tahun 2003 – 2004, arah angin yang tercatat di beberapa lokasi pemantauan (M erak, Kebun Raya Bogor, Cibulao-Puncak, Jatinangor-Bandung dan Lingga Sana (Ceremai) menunjukkan 93,3 % angin menuju ke arah Timur dan Timur Laut, sedangkan 6,7 % menuju ke arah Barat. Catatan mengenai arah angin ini perlu diperbanyak informasinya sehingga dapat menerangkan selain insting burung, arah migrasi dapat disebabkan oleh arah angin. Elang baza sangat jarang tercatat dalam kegiatan pemantauan migrasi. Di M alaysia (Semenanjung M alaya) ternyata jumlah catatan cukup banyak. Ada beberapa kemungkinan sangat jarang ada catatan di Sumatera karena terbatasnya pengamat raptor migran di Sumatera dan memanfaatkan jalur lain bermigrasi ke Indonesia. Salah satu lokasi yang diestimasi pengamat M alaysia adalah kepulauan Karimun sampai ke wilayah Sembilang (Sumatera Selatan) (Kim Cye & Au Tiah pers. comm., 2005). Di Indonesia, tiga jenis raptor migran yang dominan selain 15 spesies raptor migran yang teramati selama tahun 2001 – 2004 adalah elang alap cina, elang alap nipon dan sikep madu asia. Beberapa strategi pemantauan yang dapat dilakukan di waktu mendatang adalah tetap melakukan kegiatan pemantauan di lokasi-lokasi penting perjumpaan raptor migran dan perlu penambahan lokasi pemantauan terutama di Sumatera, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Penggunaan ‘wingmarker’, ‘ringmarker’ dan ‘satellite tracking’ menjadi faktor penting dalam pengembangan studi dan pemantauan. Tetapi, penggunaan ketiga alat tersebut dapat diinisiasikan melalui jaringan kerja raptor Indonesia dengan lembaga riset pemerintah dalam sebuat pusat kerja pemantauan migrasi atau ‘Migration Centre’. Pusat kerja ini juga menginisiasikan serangkaian program data base dan upaya-upaya riset yang dilakukan berbagai pengamat dan pelajar yang berkeinginan memperdalam ilmu migrasi. Aspek kampanye juga menjadi modal utama pula terutama sebagai upaya perlindungan habitat raptor migran selama periode migrasi. Sejak tahun 2001, upaya kampanye diupayakan oleh beberapa organisasi pengamat raptor terutama kegiatan pendidikan lingkungan dan membuat berbagai informasi mengenai migrasi di berbagai media kabar Indonesia.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 56 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih tak terhingga kepada Iwan Setiawan (PILI – NGO M ovement), Toru Yamazaki, Yasunori Nitani, M urate dan M ike Chong (Asian Raptor Research and Conservation Networking/ARRCN), Dr. Dewi Prawiradilaga (LIPI) atas segala fasilitasi dan dukungan yang tak terhingga selama tahun 2001 sampai saat ini. Terima kasih pula kepada Ed. Colin, Bas van Balen, Vincent Nijman, Yus Rusila Noor, Rudyanto, Lim Kim Cye, Lim Au Tiah, Dr. Robert DeCandido, Dr. Keith Bildstein, Dr. Ruth Tingay, Hasyana Kramadibrata M Sc. (Alm.), Wen Horn Lin (RRGT), Dr. M ochammad Indrawan, Wilson Novarino, INFORM , Lembaga Desa Putra dan mereka yang tidak disebut namanya di sini. Sekali lagi terimakasih atas dukungan dan kontribusinya. Selanjutnya makalah ini saya persembahkan bagi rekan-rekan pengamat raptor migran di Jaringan Penelitian dan Konservasi Raptor Indonesia (RAIN) di seluruh Indonesia yang dengan susah payah melakukan kegiatan pemantauan dari tahun ke tahun.
Daftar pustaka Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia (A checklist of Peter’s Sequence). Kukila Checklist No. 1. Jakarta: Indonesia Ornithological Society. Ash, J.S. 1984. Bird Observations on Bali. Bulletin British Ornithologists Club 104: 24-35. Ash, J.S. 1994. Raptor migration on Bali, Indonesia. Forktail 9: 3 – 11. Bildstein, K. L. 1999. Indonesian Raptor (Part of the World Atlas Raptor Migration Book (1999) Hawk Watch Flyer – Autumn 1998). T ranslator: F. Hadi (Konus). USA: Hawk Mountain Sanctuary. Chong, M. H. & Y. Nitani. 2001. Asian Raptor MAPS: Asian Raptor Migration Project – Autumn 2001 Report. Asian Raptors Bulletin no. 2. ARRCN. Coates, B.J, & K. D. Bishop. 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung di kawasan Walacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Bogor: Birdlife International -Indonesia Programme & Dove Publications Pty. Ltd. Davidson, G.W.H. & Chew Yen Fook. 1996. A Photographic Guide to Birds of Borneo. UK: New Holland Published. Holmes, D. & Karen Phillips. The Birds of Sulawesi. New York: Oxford University Press. Holmes, D.A. 1997. Kalimantan Bird Report - 2. Kukilo 9:141 - 169. Bogor: Indonesian Ornithological Society. Imansyah, M. J., Deni Purwandana, Oni PB, Andrian N & Sudaryanto. 2002. Estimasi Jalur Migrasi Burung Raptor Migran Asia di Bali. Bali: Laporan kegiatan hasil studi Kokokan dan Himabio Unud. Imansyah, M. J., D. Purwandana, H. Rudiharto & T im Jessop. 2003. Survey Potensi Hidupan Liar Terestrial di Pulau Komodo. Zoological Society of San Diego, T he Nature Conservancy, T aman Nasional Komodo. King, B., M. Woodcock, E. C. Dickinson. 1975. Birds of South East Asia (Collins Field Guide). London: Wiliam Collis Sons & Co. Ltd. MacKinnon, J & Phillips. 1993. A Field Guide Birds of Borneo, Sumatra, Java and Bali. New York-Ox fo rd: Ox ford University Press. McClure, H.E. , 1974. Migration and Survival of the Birds of Asia, US Army Medical Component. South-east Asia T reaty Organization Medical res earch Laboratory, Bangkok, T hailand. Nijman, V. 2001. Autumn Migration of Raptors on Java, Indonesia: Composition, Direction & Behaviour. Ibis 143: 99 – 107. British Ornithologists Union. Nitani, Y. 2000. Result of The Cooperative Raptor Migration in Haze Conditions in Japan. Resume of Fourth Session. Bandung: T he Second Symposium of Asian Raptor Research and Conservation.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 57 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Riley, J. 1997. The Bird of Sangihe and Talaud, North Sulawesi. Kukila 9:3-36. Bogor: Indonesian Ornithological Society. Salathe, T. 1991. Conserving Migratory Birds. ICBP T echnical Publication No. 12. UK: ICBP-Cambridge. Simpson, D.M. 1983. Autum migration of landbirds of Borneo in 1981. Sea Swallow 32: 48-53. Smyties, B.E. 1981. The Birds of Borneo. T he Sabah Society, Kota Kinabalu and T he Malayan Nature Society, Kuala Lumpur. Sukmantoro, W.. 2000. Raptor Birds on Way Kambas National Park. WCS-IP Elephants project. Bogor: KKPEJ Paper. Sukmantoro, W.. 2001. Notes on Some Raptors of Way kambas National Park, South Sumatera, Indonesia. Asian Raptors Bulletin no. 2. ARRCN. Sukmantoro, W. 2001. The Field Guide to Asian Raptor Migrant Identification in Indonesia. Bogor: Asian Raptor Migrant Indonesia In formation Centre. Sukmantoro, W. 2001. Notes and 2001 Report on Asian Raptor Migration in Sumatra, Java and Bali. Jakarta: unpublished. Sukmantoro, W. 2003. Notes of the Raptors in Tanjung Puting National Park and Kumai District, Kalimantan – Indonesia. Paper yang diajukan untuk bulletin Kukila. T hiolay, J.M. 1996. Rain Forest raptor Community in Sumatra: the conservation value of traditional agroforestry. Pages 245-261. Raptor in Human landscape. Smithsonian Institution Press. Washington DC, USA. Van Balen, B. & C. Prentice. 1997. Birds of The Negara River Basin, South Kalimantan. Indonesia. Kukilo 9: 81107. Bogor: Indonesian Ornithological Society. Vaassen E. W. A. M. and Akif Aykurt. 2000. An Alternative Spring Migration Route of Lesser Spotted Eagles (Aquila pomarina) in Southern Turkey. International Hawkwatch er January 2000 No. 1. White, C.M.N. and M.D. Bruce. 1986. Birds of Wallacea. BOU Checklist 7. England: British Ornithology Union. Zalles I. J. and K. L. Bildstein. 2000. Raptor Watch. A Global Directory of Raptor Migration Sites. Birdlife Conservation Series No. 9. USA: Hawk Mountain Sanctuary.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 58 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Pengamatan intensif pada masa perkembangbiakan Elang jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) di Gunung Baud, Cagar Alam Telaga Warna-Puncak, Bogor USEP SUPARMAN Raptor Conservation Societ (RCS)
Jalan Raya Puncak, Statiun Penelitian T elaga Warna PO. Box 92 Sdl, Cianjur 43253 Jawa Barat Telp: 0856 908 7504 - E-mail:
[email protected]
Abstrak Elang Jawa Spizaetus bartelsi adalah salah satu jenis burung pemangsa yang terancam punah keberadaannya. Perilaku ekologi perkembangbiakan pada jenis ini masih sedikit diketahui, terutama menyangkut tingkat keberhasilan dimasa perkembangbiakan. Pengamatan intensif pada masa perkembangbiakan pasangan elang Jawa Spizaetus bartelsi telah dilakukan untuk mendapatkan data-data ekologi pasangan elang Jawa, biologi perkembangbiakan dan tingkat keberhasilan perkembangbiakan serta pertumbuhan anak sampai lepas dari sarang/fledling. Penelitian ini dilakukan di lokasi Gunung Baud Telaga Warna-Puncak, yang berada pada o o koordinat S 06 41’15.8’’ E 106 59’59.6’’ dengan ketinggian antara 1300 – 1800 m dpl. Kawasan ini merupakan kawasan cagar alam yang berbatasan dengan lahan perkebunan teh milik PT. Ciliwung. Pengamatan dilakukan selama 9 (sembilan) bulan, terhitung dari April – Desember 2003. Selama pengamatan tercatat beberapa perilaku pada pasangan elang Jawa sebelum mulai berkembangbiak, diantaranya: pembuatan teritori sarang dan mencari pasangan, periode pra-telur, periode inkubasi, periode masa penetesan telur, periode pemeliharaan anak, periode pasca belajar terbang, pola pertumbuhan pada bulu anak dari umur 1 hari sampai 85 hari. M etoda yang digunakan adalah dengan pengamatan langsung ke titik sarang dan diluar lokasi sarang, pengamatan dilakukan setiap 2 hari dalam setiap minggu.
Kata kunci: Elang Jawa, Perilaku Berbiak, Perkembangan Tubuh dan Aktivitas Anak
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 59 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Daerah jelajah anak Elang jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) dan interaksi dengan induknya DWI MULIAWATI1 & USEP SUPARMAN2 1
Fakultas Biologi Universitas Nasional Jl. Sawo M anila Blok IV Lt. 3, Jakarta Selatan, JakartaNo. Telp. (021) 78833384 E-mail :
[email protected] 2
Raptor Conservation Societ (RCS)
Jalan Raya Puncak, Statiun Penelitian T elaga Warna PO. Box 92 Sdl, Cianjur 43253 Jawa Barat T elp: 0856 908 7504 - E-mail:
[email protected]
Abstrak Elang Jawa adalahjenis endemik dengan populasi dan penyebaran vertikal maupun horizontal yang terbatas. Elang Jawa masih menghadapi berbagai ancaman salah satunya adalah perusakan habitat alami. Kurangnya data biologi dan ekologi terutama saat periode post fledging menjadikan jenis ini termasuk kategori genting (endangered). Periode post fleding anak sangat rentan terhadap gangguan sehingga pengetahuan mengenai daerah jelajah anak sangat diperlukan untuk pengelolaan terhadap jenis dan habitatnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan anak sebelum mandiri (independent) adalah perawatan dari induk berupa interaksi yang terjadi selama masa post fledging tersebut. Pengamatan dilakukan di Cagar Alam Telaga Warna, Bogor, saat anak berumur 9 sampai 14 bulan pada Februari-Juli 2004. Pengamatan dilakukan dengan melihat pergerakan anak setiap bulannya berikut interaksi terhadap induk. Data setiap bulannya dianalisa dengan uji statistik non parametrik Spearman menggunakan SPSS versi 11.0. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat perningkatan daerah jelajah anak setiap bulannya. Peningkatan ini terjadi karena pola pergerakan anak yang dilakukan berulang-ulang dan cendrung melebar. Namun selama enam bulan pengamatan, tidak terdapat perbedaan yang nyata pada interaksi dengan induk. Tipe interaksi yang teramati berupa pemberian pakan dan sikap agresif induk terhadap anak.
Kata kunci : Elang Jawa, daerah jelajah, kontak induk-anak Pendahuluan Di Indonesia terdapat 75 jenis burung pemangsa diurnal (Colijn, 2000) dengan enam diantaranya adalah jenis-jenis Spizaetus. Dua jenis Spizaetus tersebut memiliki penyebaran yang terbatas di pulau Sulawesi (Elang Sulawesi Spizetus lanceolatus) dan Jawa (Elang Jawa Spizaetus bartelsi). Elang Jawa dikategorikan sebagai genting (endangered) menurut IUCN karena ketergantungannya pada hutan hujan primer, terutama dataran rendah dan perbukitan serta penyebarannya yang terbatas akibat fragmentasi habitatnya dengan jumlah populasi yang kecil (van Balen dkk, 1999). M enurut kriteria IUCN, suatu takson dikatakan genting apabila menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat, yaitu dengan kemungkinan kepunahan mencapai 20 persen dalam 20 tahun atau lima generasi (Collar, 1994). Kerusakan tutupan vegetasi dataran rendah di Jawa telah menyebabkan habitat di Jawa menjadi terpisah (fragmented) dengan berbagai ukuran. Pohon-pohon besar untuk bertengger dan bersarang merupakan komponen penting dalam habitat burung pemangsa. Hilangnya pohonpohon tersebut dapat juga diakibatkan oleh konversi dan penebangan pohon untuk kayu. Hal 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 60 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
tersebut dapat berdampak terhadap burung pemangsa penghuni hutan primer yang tidak akan dapat bertahan dan dapat mengalami kepunahan (del Hoyo dkk, 1994; van Balen, 1998). Dibanding semua jenis burung pemangsa penghuni hutan di Jawa, Elang Jawa merupakan jenis yang paling rentan terhadap kerusakan hutan sehingga Elang Jawa merupakan jenis yang sangat tergantung pada keberadaan hutan primer (Thiollay dan M eyburg 1988; van Balen dan M eyburg, 1994). Fragmentasi dan penggunaan lahan diantara kantung-kantung hutan yang tersisa dapat menyebabkan isolasi dari sub populasi Elang Jawa. Celah diantaranya yang terlalu lebar memungkinkan populasi-populasi tersebut tidak dapat melintasinya sehingga meningkatkan tekanan perkawinan silang (inbreeding depression) atau jika tidak akan dapat mengancam kelangsungan (survival) populasi yang terisolasi dan tidak dapat bertahan (del Hoyo dkk, 1994; Sözer dan Nijman, 1995). Rata-rata kepunahan suatu jenis tergantung pada ukuran habitat yang sesuai, dinamika populasi, imigrasi dan karakteristik biologi seperti kepadatan dan kemampuannya menyebar (disperse) (Thiollay dan M eyburg, 1988). Sifat pengembara pada anak dan remaja Elang Jawa dapat mempertinggi penyebaran populasi diantara kantung-kantung hutan sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran gen antara sub populasi yang ada (van Balen dan M eyburg, 1994). M eskipun demikian, Nijman dan van Balen (2003) juga menyebutkan bahwa anak dan remaja Elang Jawa yang lebih sering dijumpai pada lahan pertanian dan perkebunan daripada individu dewasa, menjadikan mereka lebih rentan terhadap gangguan. Selain itu anak burung pemangsa menyebar karena kedua induk berhenti memberi makan dan perawatan induk terhadap anak dapat bervariasi saat periode post fledging (Village, 1990). Berdasarkan pemaparan tersebut tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui daerah jelajah anak Elang Jawa yang berumur 9 sampai 14 bulan dan perawatan induk berupa interaksi yang terjadi.
Metode Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor, Jawa Barat selama bulan Februari sampai Juli 2004. Lokasi pengamatan berada pada ketinggian 1.469 m dpl di perkebunan teh milik PT Ciliwung yang berbatasan dengan fragmen hutan CA Telaga Warna. Kawasan Cagar Alam TelagaWarna dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat dan ditetapkan berdasarkan SK M enteri Pertanian No. 481/Kpts/Um/6/81 tanggal 9 Juni 1981. Bersama hutan Lindung Cibulao, kawasan ini termasuk ke dalam Daerah Penting bagi Burung karena merupakan habitat bagi burung terancam punah dan burung dengan sebaran terbatas. Salah satunya Elang Jawa, serta merupakan habitat bagi burung pemangsa yang bermigrasi setiap tahunnya seperti jenis Elang-alap Cina (A ccipiter soloensis), Elang-alap Nipon (Accipiter gularis) dan Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus) (Rombang dan Rudyanto, 1991).
Cara kerja M enurut Bibby dkk (1992) serta Plummer dan M ills (2000), untuk pengamatan jenis tunggal langka atau memiliki kepadatan yang rendah, metode yang paling mudah digunakan adalah pengamatan langsung ( look-see method) dan dibutuhkan informasi yang berkaitan dengan jenis tersebut. Pengamatan langsung ini hanya dapat digunakan di lokasi yang terbuka sehingga individu dapat dengan mudah teramati tanpa menganggu perilaku normalnya. Pengamatan dimulai pada pukul 06.30 sampai 17.00 selama 6-10 hari setiap bulannya. Parameter yang diamati meliputi waktu kontak dengan individu, pergerakan dan perilaku kontak dengan induk. Perilaku individu yang diamati menggunakan binokuler perbesaran 7 x 35 ketika terbang dan ketika bertengger, pengamatan dilakukan dengan bantuan monokuler 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 61 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
perbesaran 20-60 x. Pergerakan individu ketika terbang dicatat pada peta, setiap bulannya data pergerakan digabung dan didapat daerah jelajah (home range) untuk tahapan umur tersebut. Untuk memudahkan penentuan titik maupun pergerakan individu, digunakan metode sel berpetak (grid cell method) yaitu dibuat petak berukuran 1 x 1 cm pada peta berskala 1 : 25.000 2 sehingga satu kotak mewakili 62.500 m atau 6,25 ha di lapangan. Pengamatan dilakukan terhadap satu ekor anak Elang Jawa ketika berumur 9-14 bulan. Umur anak dapat ditentukan karena pasangan induk telah diamati perkembangbiakannya secara intensif sejak tahun 1996 oleh KPB CIBA, Cianjur. Pada tahun 1996, pasangan tersebut membangun sarang di Hutan Lindung Cibulao. Kemudian pada Juli 2001, berkembang biak lagi di lokasi Gunung Baud, Telaga Warna. Pada April 2003, pasangan ini kembali membangun sarang dengan jarak 1 km dari sarang sebelumnya.
Analisa Data Daerah Jelajah Data pergerakan yang didapat setiap bulannya dihitung berdasarkan jumlah kotak. Untuk memperkirakan luas daerah jelajah digunakan metode minimum konveks poligon (Minimum Convex Polygon; M CP) yaitu dengan menghubungkan titik-titik terjauh dari pergerakan individu (M ohr, 1947). Analisa daerah jelajah dengan membandingkan luas daerah jelajah per periode waktu. Pada penelitian ini, periode waktu tersebut berdasarkan umur anak setiap bulannya. Perkembangan luas daerah jelajah per tahapan umur dianalisa dengan rank-korelasi Spearman untuk mengetahui konsistensi variabel luas terhadap umur dimana setiap selisih pasangan luas dan umur diberi rangking tertentu. Rumus rank-korelasi Spearman adalah sebagai berikut (Siegel, 1997): 6Σd
2
Rs = 1 3
n –n Dimana :
Rs = n = d =
koefisiensi rank-korelasi Spearman jumlah pasangan variabel perbedaan rangking yang diperoleh pada setiap pasangan variabel
Jika terdapat angka sama pada variabel maka digunakan rumus :
Σ x2 + Σ y 2 - Σ d2 Rs = 2
2 √ Σ x Σy Dimana :
2
3
Σ x2 =
n -n - Σ Tx 12 3
Σ y2 =
n -n - Σ Ty 12
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 62 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Dengan x dan y merupakan variabel yang diukur hubungannya dan T adalah faktor koreksi yaitu banyaknya observasi yang berangka sama dengan Σ t menunjukkan jumlah berbagai harga T untuk semua kelompok yang berlainan yang memiliki observasi berangka sama. dengan : 3 t -t T= 12 Untuk menguji signifikansi rank-korelasi ditetapkan H observasi, yaitu tidak ada korelasi antara tahapan umur dan luas daerah jelajah. Untuk menguji signifikansi pada rank-korelasi dilakukan pengujian lebih lanjut dengan asumsi distribusi normalitas populasi tidak dapat dipenuhi karena n < 25, maka digunakan distribusi t :
tH =
Rs √ n - 2 √ 1 – Rs2
dimana nilai kritis untukdistribusi “t” pada α tertentu adalah ± t 1/2α df (n – 2) (pengujian dua arah). Ho diterima bila - t 1/2α df (n – 2) ≤ t H ≤ + - t 1/2α df (n – 2) dan Ho ditolak bila t H > t 1/2α df (n – 2) atau t H < - t 1/2α df (n – 2). Data dianalisa dengan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 11.0.
Interaksi induk-anak Uji rank korelasi Spearman juga dilakukan untuk menganalisa pengaruh umur anak terhadap interaksi induk-anak dan luas daerah jelajah anak dengan ditetapkan harga Ho yaitu tidak ada korelasi antara variabel umur-interaksi dan interaksi-luas daerah jelajah anak. Interaksi dengan induk yang dicatat setiap tahapan umur hanya secara kuantitas yaitu jika anak terbang menghampiri induk atau sebaliknya. Jika anak hanya bersuara ketika kehadiran induk di lokasi, terlihat maupun tidak, bukan termasuk interaksi dengan induk karena pada umur tersebut anak sangat vokal sehingga vokalisasi anak tidak dapat dibedakan. Analisa juga dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 11.0. Hasil Daerah Jelajah Selama enam bulan pengamatan daerah jelajah anak saat berumur 9 sampai 14 bulan berturutturut 50 ha; 106,25 ha; 87,50 ha; 118,75 ha; 131,25 ha dan 206,25 ha (tabel 1) dengan total luas daerah jelajah 218,75 ha (Lampiran 1). Secara keseluruhan pergerakan anak sebagian besar terkonsentrasi di dekat lokasi pohon sarang sepanjang blok hutan. Tabe l 1 . Luas daerah jelajah anak umur 9-14 bulan
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
um ur (b ul a n ) 9 10 11 12 13 14 tota l (ha )
lu as ( ha ) 5 0 ,0 0 10 6 ,2 5 8 7 ,5 0 11 8 ,7 5 13 1 ,2 5 20 6 ,2 5 21 8 ,7 5
- 63 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Berdasarkan uji Spearman (Lampiran 2), koefisien korelasi antara umur dan luas daerah jelajah anak sebesar 0,943 (tanda **) pada level 0,01 dengan kemungkinan kesalahan (sig. 2 tailed) sebesar 0,005. Level 0,01 menunjukkan besarnya nilai probabilitas (α ) untuk menolak Ho secara salah. Sehingga harga Ho dapat ditolak dan H alternatifnya diterima yaitu terdapat hubungan (korelasi) yang nyata pada kedua variabel umur dan luas daerah jelajah.
Interaksi Induk-anak Selama pengamatan tercatat 17 kali interaksi induk-anak, dengan induk betina sebanyak 14 kali (83,35%) dan tiga kali (17,65%) dengan induk jantan (tabel 2). Perhitungan analisa statistik Spearman (Lampiran 2), menunjukkan koefisien korelasi antara variabel umur dan total interaksi induk-anak sebesar 0,000 dengan kemungkinan kesalahan (sig. 2 tailed) sebesar 1,000. Demikian juga pada variabel total interaksi kedua induk terhadap daerah jelajah anak dengan koefisien korelasi sebesar 0,120 dengan tingkat kesalahan sebesar 0,822. Sehingga harga Ho untuk antara varibel umur-total interaksi dan total interaksi-luas daerah jelajah dapat diterima. Namun pada variabel interaksi induk betina dan total interkasi terdapat hubungan yang nyata dengan koefisien korelasi sebesar 0,889 (tanda *) pada level 0,05 dengan kemungkinan kesalahan sebesar 0,018. Tabe l 2 . Interaksi induk-anak setiap tahapan umur anak.
interaksi induk betina induk jantan 1 0 5 0 1 2 2 1 4 1 1 0 14 (77,78) 4 (22,22)
umur (bulan) 9 10 11 12 13 14 total (%)
total (%) 1 5 3 3 5 1
(5,88) (29,41) (17,65) (17,65) (29,41) (5,88) 18
Diskusi Peningkatan daerah jelajah anak selama 6 bulan diduga berhubungan kecakapan terbang anak seperti dalam memanfaatkan aliran udara panas (thermal air), hal tersebut dapat dilihat dari lamanya terbang melingkar (soaring) yang cenderung lebih lama sebanding dengan meningkatnya umur anak. Dan menurut O’Toole dkk (1999) selain kecakapan terbang, peningkatan daerah jelajah tersebut merupakan gambaran pergerakan anak yang menjauhi lokasi sarang secara linear (gambar 1).
250
luas (ha)
200 150 100 50 9
10
11
12
13
14
Gambar 2 . Perkembangan daerah jelajah anak
umur (bulan)
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 64 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Pergerakan anak sebagian besar terkonsentrasi di sekitar lokasi pohon sarang dan pergerakan tersebut dilakukan anak secara berulang-ulang dan semakin melebar. Hal tersebut merupakan usaha anak untuk mengenal lingkungannya. Karena menurut Grier (1984) terdapat keuntungan bagi individu yang melakukan pergerakan secara berulang-ulang dan selalu kembali ke lokas i yang lebih dikenalnya, dalam hal ini lokasi pohon sarang, sehingga berada di lingkungan yang lebih dikenalnya dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Dan daerah jelajah sangat dinamis, ukuran luasnya dapat berubah sejalan dengan dengan waktu. Bayne dan Hobson (2001) menyebutkan bahwa selama periode post fledging, habitat yang terfragmentasi dapat membatasi pergerakan anak. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan luas daerah jelajah yang melebar ke arah utara-selatan sepanjang blok hutan. Lokasi CA Alam Telaga Warna bersama hutan lindung Cibulao, merupakan wilayah terfragmentasi yang berbatasan dengan kawasan TN Gunung Gede-Pangrango (selatan) dan M egamendung-Gn Pancar (utara). Ketiga lokasi tersebut diketahui juga merupakan Daerah Penting Bagi Burung/IBA dan penyebaran populasi Elang Jawa (Rombang dan Rudyanto, 1999; BirdLife International, 2001). Sehingga dipastikan kawasan CA Telaga Warna ini dapat dianggap sebagai salah satu koridor bagi populasi-populasi Elang Jawa, selain merupakan kawasan berkembang biak. Interaksi induk-anak yang teramati berupa pemberian pakan sebanyak 50% dari total 18 kali interaksi dan semuanya dilakukan oleh induk betina. Tidak ada kecenderungan menjauh dari pohon sarang pada lokasi pemberian mangsa dan semua lokasi berada di dalam daerah jelajah anak. Pemberian pakan ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1. induk datang sambil bersuara, dan meletakkan mangsa yang telah mati pada cabang horizontal. Setelah anak datang, induk terbang dan menghilang; 2. induk membawa mangsa dan bertengger, lalu mencabik mangsa yang telah mati terlebih dahulu. Kemudian anak datang sambil bersuara, menghampiri pohon temapt induk bertengger dan makan; 3. induk berusaha menahan mangsa yang telah mati dengan berkali-kali menghindari anak. Namun, ketika anak tidak lagi mengejar induk, kemungkinan besar induk tidak memberi mangsa tersebut. Satu kali teramati ketika anak tidak lagi mengejar induk, induklah yang memakan mangsa tersebut. Interaksi dengan induk jantan hanya ketika induk terbang melintas tanpa bersuara. Anak yang mengetahui kedatangan induk, terbang menghampiri sambil bersuara karena induk jantan terbang lebih tinggi dan menjauhi lokasi pohon sarang, anak tidak mengikutinya. Sehingga pada periode ini, induk jantan tidak berperan dalam merawat anak. Berbeda dengan induk betina, semua pemberian pakan dilakukan olehnya dan beberapa perilaku yang dilakukan induk betina pada anak. Sikap agresif yang ditunjukkan induk berupa mengejar anak sambil bersuara. Diduga sikap tersebut bertujuan untuk mengusir anak dari teritori sarang dan cara induk untuk menilai kemampuan terbang anak. Selain itu anak yang selalu bersuara, dengan atau tanpa kehadiran induk, merupakan usaha anak untuk menginformasikan status nutrisinya pada induk (O’Toole dkk, 1999). Pemberian pakan terhadap anak sangat berpengaruh terhadap kesuksesan berkembang biak, termasuk pada perkembangan dan rata-rata kelangsungan hidup anak serta pola penyebarannya (del Hoyo dkk, 1994). Sangat sulit untuk menentukan kapan anak mandiri setelah keluar sarang (Village, 1990), namun Sözer dan Nijman (1995) menyebutkan perpanjangan masa post fledging Elang Jawa sampai anak berumur 12-18 bulan (satu sampai satu setengah tahun). Selama masa post 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 65 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
fledging sampai anak berumur 14 bulan, kehadiran induk tidak berarti atau tidak terdapat kecenderung semakin menurun, diduga anak masih dalam perawatan induk. Dan sebagian besar perawatan ini dilakukan oleh induk betina.
Daftar pustaka Colijn E dan Muctar M. http://www.bart.nl/~edcolijn/ - http://www.nature-conserv ation.or.id/.URL: http://www.bart.nl/~edcolijn/ - http://www.nature-cons ervation.or.id/Established : 14 November 1996 - Last updated: 02 Januari 2001 Balen S van and Meyburg BU. T he Javan hawk-eagle Spizaetus bartelsi: result of recent on distribution, status and acology. Dalam Meyburg BU and Chancellor RD (eds.) Raptor conservation today. WWGBP and the Pica Press, London, 1994. hal. 89-92. Balen S van, Nijman V and Sözer R. population status of the endemic Jav an hawk-eagle Spizaetus bartelsi. Dalam Balen Dalam Balen S van (doctoral thesis) Birds of fragm ented island: persistence in the forest of Java and Bali. Wagenigen University and reseach Center, Amsterdam, 1999. hal. 109-117. Balen S van. T ropical forest raptor in Indonesia: recent information on distribution, status and conservation. J Raptor Res. 1998; 32 (1): 56-63. Bayne EM and Hobson KA. Movement patterns o f adult male ovenbirds during the post-fledging pei rod in fragment ed and fo rested boreal loandscap e. T he Condor 2001; 103: 343-351. Bibby CJ, Burgess ND and Hill DA. Bird cencus techniques. Academic Press Ltd., London, 1992. hal. 201-202. BirdLife Int ernational. T hreatened birds o f Asia : the BirdLife Intern ational red Data Book. BirdLife Intern ational, Cambridge, 2001. hal. 736-747. Collar NJ. Risk indicators and status assessment in birds. Dalam del Hoyo J, Elliot A, Sargatal J (eds.) Handbook of the birds of the world, vol 2 : New World Vulture to Guineafowl. Lynx Edicions, Barcelona, 1994. hal. 13-27. del Hoyo J, Elliot A, Sargatal J (eds.) Handbook of the birds o f the world, vol 2 : New World Vulture to Guineafowl. Lynx Edicions, Barcelona, 1994. hal. 52-105. Grier JW. Biology of animal behavior. T imes Mirror/Mosby College Publishing, T oronto, 1984. 199-200. Mohr CO. T able of equivalent populations of North American Mammals. American Midland Naturalist 1947; 37: 223-249. Nijman V and Balen S van. Wandering stars : age-related h abitat use and dispersal o f Javan hawk -eagle (Spizaetus bartelsi) J. Ornithol., 2003; 144: 451-458. O’T oole LT, Kennedy PL, Knight RL, dkk. Postfledging behavior of golden Eagles. Wilson Bull. 1999;111 (4): 472-477. Plummer MV and Mills NE. Spatial ecology and survivorshing of resident and translocat ed hognose snakes (Heterodon platirhinos). Journal of Herpetology 2000; 34: 567-577. Rombang WM dan Rudyanto. Daerah penting bagi burung Jawa dan Bali. BirdLife International-Indonesia Programme, Bogor, 1999. Siegel S. Statistik nonparametrik untuk ilmu-ilmu sosial. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1979. Sözer R dan Nijman V. Behavioural ecology, distribution and conservation of the Javan hawk-eagle Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924. Verslagen En T echnische Gegev ens 1995; 62: 1-86. T hiollay JM and Meyburg BU. Forest fragmentation and th e conservation o f fo rest raptors: a survey on the island of Jav a. Biol. Conserv. 1988; 44: 229-250.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 66 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
T hiollay JM. Falconiforms o f tropical rain forest : a review. Dalam Newton I and Chan cellor RD (eds.) Conservation studies on raptor. ICPB T echnical Publication No. 5, Cambridge, 1985. hal. 155-165 Village A. Reproduction. Dalam Newton I and Olsen O (eds.) Birds of Prey. Golden Press Pty Ltd., New South Wales, 1990. hal. 124-139.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 67 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sesi Keragaman burung
Analisis Avifauna dan Degradasi Jenis Burung pada Hutan Tidak Terganggu dan Terganggu di Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah∗ SUHARTI1); HASMAR RUSMENDRO2); BENNY JAYA 2) Laboratorium Ekologi, Fakultas Biologi Universitas Nasional Jl. Sa wo Manila, Blok IV Lt.3 Pejaten Pasar Minggu Jakarta 12520 T elp : 021-78833384; e-mail:
[email protected]
Abstrak Saat ini kawasan hutan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) banyak mengalami gangguan dan kerusakan akibat campur tangan manusia seperti terlihat di daerah Natai Tengah, Natai kapuk dan 5 % wilayah Camp Leakey.Wilayah hutan yang dianggap tidak terganggu masih dapat dijumpai di Camp Leakey yang 95% arealnya berupa hutan Dipterocarpacea, kerangas dan rawa alami, fungsi hutannya baik dan kekayaan floranya melimpah. Analisis avifauna merupakan salah satu cara pendekatan dalam mengungkapkan status dan potensi kawasan/hutan, baik tidak terganggu maupun terganggu. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terganggunya hutan terhadap keberadaan jenis burung di TNTP dengan menggunakan metode point count. Hasil penelitian menunjukkan adanya indikasi degradasi jenis burung di TNTP, karena jenis yang dijumpai saat ini lebih sedikit (161 jenis) dibandingkan dnegan pada penelitian-penelitian sebelumnya (218-225 jenis). Terdapat perbedaan komposisi jenis dan keanekaragaman jenis burung antara hutan tidak terganggu (131 jenis, H’= 4,32) dengan hutan terganggu (63 jenis, H’= 3,46), tetapi tidak ada perbedaan berarti untuk keseragaman jenis dan kelimpahan individu antara hutan tidak terganggu dan terganggu. Selain itu, jenis tumbuhan yang digunakan pada kedua habitat yang diperbandingkan digunakan untuk aktivitas yang berbeda.
Kata kunci : degradasi, hutan tidak terganggu, hutan terganggu
∗)
Bahan presentasi power point ada pada panitia Fakultas Biologi Universitas Nasio nal, Jakarta Staf Pengajar Fakultas Biolo gi Universitas Nasional, Jakarta
1) Mahasiswa 2)
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 68 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Perbandingan Keanekaragaman Burung Pada Pagi Dan Sore Hari Di Empat Tipe Habitat Yang Berbeda Di TWA Dan CA Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat ADY KRISTANTO, WISNU WIJIATMOKO & HASMAR RUSMENDRO Laboratorium Ekologi, Fakultas Biologi Universitas Nasional Jl. Sa wo Manila, Blok IV Lt.3 Pejaten Pasar Minggu Jakarta 12520 T elp : 021-78833384; HP: 0817115894; E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian untuk melihat perbandingan keragaman jenis burung pada pagi dan sore hari, di empat tipe habitat yang berbeda telah dilakukan di TWA dan CA Pangandaran pada tanggal 26 sampai 30 Juli 2004. M etoda point count (titik hitung) digunakan dengan mengikuti jalur yang ada. Selama pengamatan pada pagi hari tercatat 30 jenis (20 suku dan 9 bangsa), sore hari 23 jenis (15 suku dan 10 bangsa). Kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris) mempunyai nilai kelimpahan relatif tinggi, diikuti oleh Walet linchi (Collocalia linchi). Baik pada pagi maupun sore, zona penggembalaan mempunyai keanekaragaman yang lebih tinggi dibanding zona peralihan, taman wisata, dan pinggir pantai. Uji Hutchinson menunjukan adanya perbedaan antara pagi dan sore pada taman wisata alam, zona peralihan dan pinggir pantai. Sedangkan di padang penggembalaan tidak berbeda jauh.
Pendahuluan Burung adalah salah satu makhluk yang mengagumkan. Berabad-abad burung menjadi sumber inspirasi dan memberikan kesenangan kepada masyarakat Indonesia karena keindahan suara dan bulunya. Burung juga merupakan indikator yang sangat baik untuk kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati lainnya (Rombang & Rudyanto, 1999). Sebagai salah satu komponen ekosistem, burung mempunyai hubungan timbal balik dan saling tergantung dengan lingkungannya. Atas dasar peran dan manfaat ini maka kehadiran burung dalam suatu ekosistem perlu dipertahankan (Arumasari, 1989). Selama proses evolusi dan perkembangan kehidupan berlangsung, burung selalu beradaptasi dengan berbagai faktor, baik fisik (abiotik) maupun biotik. Hasil adaptasi ini mengakibatkan burung hadir atau menetap di suatu yang sesuai dengan kehidupannya dan tempat untuk kehidupannya tersebut secara keseluruhan disebut sebagai habitat (Rusmendro, 2004). M enurut Howes dkk (2003), kehadiran suatu jenis burung tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan kesukaannya terhadap habitat tertentu. Secara umum, habitat burung dapat dibedakan atas habitat di darat, air tawar dan laut, termasuk dapat dibagi lagi menurut tanamannya seperti hutan lebat, semak maupun rerumputan (Rusmendro, 2004). M enurut Jati (1998), saat ini populasi burung cenderung menurun. Keadaan tersebut merupakan hasil langsung dari dampak antropogenik, seperti pembakaran hutan dan padang rumput, perladangan berpindah, perburuan dan perdagangan burung. M enurut Shannaz dkk, (1995), akibat penurunan kualitas, modifikasi dan hilangnya habitat merupakan ancaman yang berarti bagi jenis-jenis burung. Saat ini diketahui sekitar 50 % dari burung di dunia terancam punah karena menurunnya kualitas dan hilangnya habitat.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 69 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Kawasan konservasi Pananjung Pangandaran, Jawa Barat merupakan habitat yang unik yaitu berupa hutan batu kapur. Cagar alam dengan luas 529 ha ini adalah semenanjung batu kapur yang agak terangkat dan terletak di ujung tenggara Pulau Jawa serta didukung oleh hutan agak rapat dengan tegakan yang tidak tinggi. Kawasan hutan Pananjung Pangandaran terdiri dari Taman wisata (37,7 ha) dan Cagar Alam (491,3 ha) dan merupakan salah satu daerah konservasi di Indonesia yang dikunjungi pengunjung sekitar 500.000 orang pertahunnya (Whitten dkk, 1999).
Metode Lokasi penelitian dilakukan di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat. Pengamatan dilakukan di empat habitat yang berbeda yaitu di taman wisata alam (Twa), zona peralihan antara taman wisata alam dengan cagar alam (Zp), padang pengembalaan (Ppg) dan pinggir pantai (Ppt). Pengamatan dilakukan pada tanggal 26 – 30 Juli 2004 yang dibedakan pada waktu pagi 06.30 – 11.00 dan pada sore hari 14.00 – 17.00. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode point count (titik hitung) dengan mengikuti jalur yang telah ada. Pada metode ini pengamat berjalan sepanjang jalur/jalan yang sudah ditentukan disertai dengan titik pengamatan yang telah ditentukan. Di setiap titik, pengamatan dilakukan selama 15 menit dengan jarak pengamatan ke kiri dan kanan sejauh 25 meter dan jarak antar titik sejauh 100 meter, agar tidak terjadi pengulangan pencatatan. Parameter yang diamati adalah jumlah jenis dan jumlah individu di ke empat lokasi pengamatan, pada masing-masing habitat yang berbeda. Perhitungan dilakukan untuk melihat kelimpahan relatif, keanekaragaman jenis menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon & Weaner. Untuk membandingkan indeks keanekaragaman dari suatu habitat dengan habitat lain, menggunakan uji Hutchenson dengan peluang (P < 0.05).
Hasil dan Diskusi 1) Komposisi Jenis Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada empat lokasi yang berbeda, yaitu taman wisata alam, zona peralihan, padang penggembalaan dan pinggir pantai, dijumpai 35 jenis burung yang termasuk ke dalam 24 suku dari 10 bangsa, diantaranya merupakan jenis endemik jawa seperti Takur tulungtumpuk (Megalaima javensis) dan beberapa termasuk yang dilindungi undang-undang. Jenis burung yang dijumpai pada lokasi taman wisata alam sebanyak 14 jenis, zona peralihan 14 jenis, padang penggembalaan 24 jenis dan pinggir pantai 11 jenis. Bila dibandingkan antara pengamatan pagi dan sore, pada pagi hari didapat 30 jenis dari 20 suku dan 9 bangsa. Sedangkan sore hari didapat 23 jenis dari 15 suku dan 6 bangsa. Untuk melihat perbandingan jenis yang didapatkan di kedua waktu dapat dilihat di Tabel 1. Tabe l 1 . Perbandingan jumlah jenis burung di kedua waktu Lokasi Taman wisata ala m Zona peralihan Padang pengembalaan Pinggir pantai Jumlah jenis
Pagi Jenis 10 12 19 10 30
Sore Jenis 8 8 16 6 23
Keseluruhan Jenis 14 14 24 11 35
Apabila dilihat pada Tabel 1, pada pagi hari dimasing-masing habitat mempunyai jenis lebih banyak dibandingkan dengan sore hari, hal ini diduga karena pada pagi hari, jenis-jenis burung diurnal sedang memulai aktifitas hariannya, terutama mencari makan. Pada sore hari terdapat 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 70 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
kecenderungan beberapa jenis burung sedang istirahat atau melakukan aktifitas lainnya seperti bertengger atau berdiam diri, sedangkan aktifitas makan tidak seaktif pagi hari atau cenderung menurun. Padang penggembalaan memiliki jumlah jenis terbanyak dibandingkan dengan habitat lain karena, luas lokasi ini relatif luas, dengan struktur vegetasi yang terdiri dari semak belukar dan hutan sekunder. M enurut Galli, dkk, (1976); Ambual dan Temple, (1983) dalam Rusmendro, (2004) biasanya jumlah jenis burung akan meningkat sesuai dengan luas habitat atau ukuran suatu habitat, selain vegetasi pembentuk habitat yang lebih beragam.
2) Kelimpahan relatif Secara keseluruhan kelimpahan relatif tertinggi pada lokasi taman wisata alam dan zona peralihan dimiliki oleh Kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris) sebesar (38% dan 31%). Di padang penggembalaan dan di pinggir pantai dimiliki oleh Walet linchi (Collocalia linchi) sebesar (185% dan 570%). Untuk perbandingan kelimpahan relatif pada pagi dan sore dapat dilihat di Tabel 2. Tabe l 2 . Perbandingan kelimpahan relatif di waktu pagi dan sore
Lokasi Taman wisata ala m Zona peralihan Padang pengembalaan Pinggir pantai
Kelimpahan rela tif Pagi Jenis Pelanduk semak Kangkareng perut putih Kangkareng perut putih Walet lin chi
Nilai 24% 28% 21% 51%
Sore Jenis Kangkareng perut putih Kangkareng perut putih Walet lin chi Walet lin chi
Nilai 55% 33% 24% 63%
Kelimpahan relatif sangat dipengaruhi oleh jumlah individu dari masing-masing jenis yang dijumpai selama pengamatan. Pada tabel 3 dapat dilihat perbandingan jumlah individu di setiap habitat. Tabe l 3 . Perbandingan jumlah individu keseluruhan jenis di setiap habitat
Pagi
Lokasi Taman wisata ala m Zona peralihan Padang pengembalaan Pinggir pantai Jumlah
25 29 67 45 166
Sore 33 36 42 51 162
Total 58 65 109 96 328
Jenis Kangkareng perut putih merupakan burung yang mempunyai kelimpahan relatif tertinggi di berbagai habitat karena jenis ini merupakan burung yang suka berkelompok dalam mencari makan dan menyukai hutan sekunder (M ackinnon, 1998). Walet linchi juga merupakan jenis burung yang tercatat di setiap habitat karena jenis ini mempunyai mobilitas yang tinggi.
3) Keanekaragaman jenis M enurut Helvoort (1981) Keanekaragaman jenis terdiri dari dari dua komponen yaitu jumlah jenis dan jumlah individu dari masing-masing jenis (kelimpahan jenis). Keanekaragaman jenis burung umumnya bebeda antara habitat yang satu dengan habitat yang lainnya. Alikodra (1990) menjelaskan bahwa perbedaan keanekaragaman dapat terjadi karena terdapatnya perbedaan dalam struktur vegetasi pada masing-masing tipe habitat, sehingga akan menyebabkan bervariasinya sumber pakan yang ada dalam suatu habitat. Keanekaragaman burung di empat 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 71 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
habitat berbeda di Kawasan TWA dan CA Pangandaran, habitat padang penggembalaan mempunyai nilai tertinggi. Gambar 1 . Nilai keanekaragaman di empat habitat berbeda Ke anekaragaman Je nis 2, 8
Ni lai Keanekaragaman (H)
3 2, 3
2,5
2, 3 1,9
2 1,5 1 0,5 0 Twa.
Zp.
Ppg.
Ppt .
Ti pe Habitat
Berdasarkan uji Hutchenson yang dilakukan, diketahui bahwa tidak ada perbedaan antara taman wisata alam dengan zona peralihan Karena lokasi pengamatan tidak terlalu jauh sehingga jenis yang sama diperkirakan dapat masuk ke masing-masing habitat. Sedangkan Habitat yang lain memperlihatkan keanekaragaman yang berbeda jauh. Gambar 2 . Nilai keanekaragaman Antara Pagi dan Sore di Setiap Habitat Perbandingan Keanekaragaman Pagi dan Sore
Ni lai Keanekaragaman (H)
3 2,5 2
2,6 2, 5 2,1 1, 700
2,3 1,9
1,800 1,4
1,5
H P agi H S ore
1 0,5 0 Twa.
Zp.
Ppg.
P pt.
Ti pe Habitat
Untuk perbandingan keanekaragaman di setiap waktu, habitat padang penggembalaan memperlihatkan keanekaragaman yang tidak berbeda jauh, sedangkan tiga habitat lain antara pagi dan sore harinya memperlihatkan perbedaan yang jauh.
Kesimpulan 1. Dijumpai 35 jenis dari 24 suku dan 10 bangsa pada empat habitat di kawasan konservasi Pananjung Pangandaran Jawa Barat. 2. Terdapat perbedaan jumlah jenis, di setiap habitat. 3. Taman wisata alam dengan zona peralihan mempunyai keanekaragaman yang tidak berbeda jauh. 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 72 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
4. Jenis kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris) merupakan jenis yang mempunyai kelimpahan relatif tertinggi di beberapa habitat.
Daftar pustaka Alikodra HS. Pengelolaan satwa liar. Departem en Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan T inggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Jilid I, IPB, Bogor, 1990. Arumasari : Komunitas Burung Pada Berbagai Habitat di Kampus UI, Depok. Skripsi Sarjana Biologi FMIPA Universitas Indonesia. Jakarta. 1989 Galli, AE, dkk. Avian Distribution Pattern in Forest Island of Different Sizes in Central New Jersey, Auk 93, 1976. dalam Rusmendro, H. Drs. Habitat Burung. Bahan Kuliah Ornithology. Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta, 2004. Helvoort VB. A study on bird population in the rural ecosystem of West Java, Indonesia. A semi quantitative approach report, Natcons Departement Agricultural University Wageningen, 1981. Howes. J., Bakewell. D., Noor. YR. : Panduan Studi Burung Pantai. Wetlands International - Indonesia Programme, Bogor, 2003. Jati A : Kelimpahan dan Distribusi Jenis-jenis Burung Berdasarkan Fragmentasi dan Stratifikasi Habitat Hutan Cagar Alam Langgaliru, Sumba. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor 1998. Lase EF. : Keanekaan Jenis Burung di Daerah Nanggorak dan Cikamal Cagar Alam Pananjung Pangandaran Ciamis, Jawa Barat. Laporan Kuliah Kerja Lap angan. Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran, Jatinangor 2003. Mackinnon, J., K. Phillips & B. van Balen. : Burung – burung di sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Puslitbang Biologi – LIPI/ BirdLife Indonesia, 1998. Rombang. WM & Rudyanto : Daerah Penting Bagi Burung Jawa & Bali, PKA/Birdlife International-Indonesia Programme, Bogor, 1999. Rusmendro. H : Bahan Kuliah Ornithology, Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta, 2004. Shannaz J., Jepson P. dan Rudyanto : Burung-burung T erancam Punah di Indonesia. PHPA/Birdlife International Indonesia Programme, Bogor, 1995. Whitten. T ., Soeriaatmadja. RE., Afi ff. SA : Ekologi Jawa dan Bali, Seri Ekologi Indonesia Jilid II. Prenhallindo, Jakarta 1999.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 73 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Jenis-jenis burung yang berhasil teramati No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Nama Inggris Nama Latin Nama Indonesia Reef Egret Egretta sacra Kuntul karang White bellied Sea-eagle Haliaeetus leucogaster Elang laut perut putih Crested Goshawk Accipiter triv irgatus Elang alap jambul Crested Serpent-eagle Spilornis cheela Elang ular bido Green Junglefow l Gallus varius Ay am hutan hijau Common Sandpiper Actitis hypoleucos Trinil pantai Black-naped Fruit-dov e Ptilinopus melanospila Walik kembang Buffy Fis h-ow l Ketupa ketupu Beluk ketupa Linchi Sw iftlet Collocalia linchi Walet linchi Little Sw ift Apus affinis Kapinis rumah Collared Kingfisher Halcyon chloris Cekakak sungai Asian Pied Hornbill Anthracoceros albirostris Kangkareng perut putih Black-banded Barbet Megalaima javensis Takur tulungtumpuk Orange-fronted Barbet Megalaima armillaris Takur tohtor Blue-eared Barbet Megalaima australis Takur tenggeret Banded Pitta Pitta guajana Paok pancawarna Black-w inged Hemipus Hemipus hirundinaceus Jinjing batu Common Iora Aegithina tiphia Cipoh kacat Blue-w inged Leafbird Chloropsis cochinchinensis Cica daun sayap biru Black-crested Bulbul Pycnonotus melanicterus Cucak kuning Sooty -headed Bulbul Pycnonotus aurigaster Cucak kutilang Yellow -vented Bulbul Pycnonotus goiavier Merbah cerukcuk Oliv e-winged Bulbul Pycnonotus plumosus Merbah belukar Red-ey ed Bulbul Pycnonotus brunneus Merbah mata merah Slender-billed Crow Corvus enca Gagak hutan Horsfield's Babler Trichastoma sepiarium Pelanduk semak Bar-w inged Prinia Prinia familiaris Perenjak jaw a Asian Brow n Fly catcher Muscic apa dauuric a Sikatan bubik Common Golden Whistler Pachycephala pectoralis Kancilan emas White-breasted Wood-sw allow Artamus leucorhynchus Kekep babi Yellow Wagtail Motacilla flava Kicuit kerbau Purple-throated Sunbird Nectarinia sperata Burung madu pengantin Oliv e-backed Sunbird Nectarinia jugularis Burung madu sriganti Scarlet-headed Flow erpecker Dicaeum trochileum Cabe jaw a Jav an Munia Lonchura leucogastroides Bondol jaw a
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 74 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Variasi Warna pada Dua Spesies Burung Raja Udang (Ceyx spp.) M. NAZRI JANRA . DAN ANAS SALSABILA Andalas Wildlife Study Club Lt. III Gedung Laboratorium Zoologi , Jurusan Biologi FMIPA UNAND, Jalan Kampus UNAND, Limau Manis Padang, Sumatera Barat . Email:
[email protected] Rumah: Jalan Perintis Kemerdekaan No. 71A Padang 25129 Email:
[email protected]
Abstrak Raja Udang Punggung M erah (Ceyx rufidorsa) tersebar di Semenanjung M alaya, Sumatra, pulau-pulau lepas pantai Sumatra Barat, Kalimantan, Jawa dan Bali yang juga menjadi daerah penyebaran Raja Udang Api (C. erythacus). Pada daerah penyebaran yang sama, juga terdapat suatu bentuk peralihan di antara kedua jenis tersebut. Penelitian mengenai perbandingan variasi warna pada dua spesies burung raja udang, Raja Udang Punggung M erah (Ceyx rufidorsa Simms.) dan Raja Udang Api (Ceyx erithacus), telah dilakukan dengan memakai perbandingan spektrum warna (M icrosoft Word 2000). Tujuhbelas individu Raja udang Punggung-merah, satu individu Raja udang api dan tiga individu peralihan didapatkan dengan menggunakan jala kabut (mist net) dari dua daerah penelitian (Hutan Universitas Andalas dan Sipisang Kayu Tanam, Sumatera Barat). Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan pola warna ketiga jenis ini terutama terdapat pada bagian dahi, sisi tengkuk, skapular, ujung ekor atas, dan bagian bawah tubuh. English summary. Red-backed Kingfisher (Ceyx rufidorsa), distributed from M alay Peninsula, Sumatra, offshore islands of West Sumatra, Borneo, to Java and Bali, has an overlapping range with its closely-relative, Black-backed Kingfisher (C. erythacus). Between these two species, occurred an intermediate form. The research about Comparison of Color Variation on Two Species of Dwarf Kingfisher, Red-backed Kingfisher (C. rufidorsa) and Black-backed Kingfisher (C. erythacus) had been conducted by using color spectrum (derived from M icrosoft Word 2000 program). 17 individuals of Red-backed Kingfisher, one individual of Black-backed Kingfisher and three individuals of intermediate form had been mist netted from Forestland of Andalas University and region of Sipisang Kayu Tanam, both in West Sumatra. Analysis showed that those three species had differences in color pattern, especially in forehead, side of nape, scapular, tip of upper tail and underpart region.
Pendahuluan Bulu pada burung merupakan komponen dari suatu struktur berkarakter yang berdiri sendiri dan unik, yang melambangkan ciri burung sebagai suatu kelas yang berbeda dengan kelas vertebrata yang lainnya (The British Ornithologist’s Union, 1985). M enurut Regal (1975, cit. Van Tyne and Berger, 1976) bulu merupakan perpanjangan dari sisik tubuh yang pertama kali muncul pada hewan reptil, yang dianggap sebagai nenek moyang dari burung, yang dihasilkan sebagai respon penyesuaian diri terhadap panas matahari yang berlebihan, dan bahwa bulu yang pertama disusun oleh sub bagian-sub bagian dari sisik yang memanjang tersebut. Fungsi dari bulu adalah: (1) melangsingkan bentuk tubuh, (2) sebagai penyekat untuk mendapatkan gaya angkat oleh udara (untuk terbang), (3) menahan air dan memberikan daya apung yang baik, terutama untuk burung yang sebagian besar waktunya dihabiskan di air, 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 75 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
ditambah dengan adanya kelenjar minyak yang ada di bagian tunggir, (4) memikat pasangannya dan memberikan kamuflase untuk menghindarkan diri dari pemangsa (Ginn dan M elville, 1983). Warna pada bulu burung disebabkan oleh adanya pigmentasi. Beberapa pigmen seperti melanin dan karotin, diperoleh melalui kandungan pigmen dalam makanan yang dapat menyebabkan warna merah, kuning, dan orange, serta warna coklat gelap dan hitam (Bologna,1978). Famili Alcedinidae adalah kelompok burung yang berwarna terang (banyak jenis yang berbulu biru metalik). Kaki dan ekor pendek, kepala besar, paruh panjang dan kuat. Pemakan serangga atau vertebrata kecil, beberapa jenis memangsa ikan. Kelompok ini bersarang dalam lubang di tanah, batang pohon, tebing sungai, atau sarang rayap. Telur berwarna keputih-putihan, dan berbentuk seperti bola.. Alcedinidae tersebar luas di seluruh dunia. Beberapa jenis mengeluarkan suara keras kasar. Tiga jari depan sebagian bergabung pada bagian pangkal (M acKinnon et al., 1998). Raja udang terbagi dalam tiga sub kelas, Daceloninae (Raja udang pohon, 55 spesies, 8 genera), Alcedininae (raja udang yang berukuran kecil, pemakan serangga dan ikan kecil, 22 spesies, 3 genera), dan Cerylinae (kebanyakan berukuran besar, 9 spesies, 3 genera) (The British Ornithologist’s Union, 1985). Salah satu jenis yang sangat menarik dari famili ini adalah Ceyx rufidorsa Simms, Raja Udang Punggung M erah (sinonim, Inggris : Rufous-backed Kingfisher, M elayu : Binti-binti/Pekaka Api) (M acKinnon et. al., 1998). Burung ini berukuran kecil (14 cm), berwarna kemerahan. Tubuh bagian bawah kuning, tubuh bagian atas merah karat tua, dengan pantulan ungu dan setrip ungu pada punggung sampai ke bawah mencapai penutup ekor bagian atas. Iris coklat, paruh dan kaki merah. Suaranya berupa cicitan bernada tinggi yang dikeluarkan pada saat terbang. Penyebarannya di Semenanjung M alaya, Sumatera, pulau-pulau lepas pantai di Sumatera Barat, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Burung ini mempunyai kebiasaan tinggal di dasar hutan, dekat dengan pinggir sungai kecil. Burung ini pemalu, menghindari pertemuan langsung dengan manusia dan terbang sangat cepat sambil mengeluarkan suara. Dibedakan dari Ceyx erythacus dari punggung dan penutup sayap yang berwarna hitam kebiruan mencolok, serta kekang dan penutup telinga yang berwarna biru.
Metode penelitian Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Februari 2003 sampai dengan bulan A gustus 2003 di desa Sipisang, Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, dan di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi Jurusan Biologi FM IPA Universitas Andalas Padang. Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mist net dengan tipe ATX yang mempunyai panjang 12 m, tinggi 2,4 m dan mesh 36 mm, tali pengikat, pancang/tiang dari kayu/bambu, caliper, penggaris, kamera Nikon 801 S, cincin dengan merk tertentu (Kankyocho ring), tabel pencatatan ukuran dan warna burung, tabel perbandingan warna serta alat tulis. Metoda Penelitian Penelitian ini menggunakan metoda deskriptif, di mana sampel yang diteliti diambil dengan menggunakan metoda mist netting. Pengamatan dilakukan di desa Sipisang, Kabupaten Padang Pariaman dan HPPB UNAND secara observasi langsung. Individu Ceyx spp. yang ditemukan ditentukan warna tubuhnya berdasarkan tabel perbandingan warna yang diambil dari Program Window M icrosoft Word Office 2000 dan dicetak dengan menggunakan Printer Canon BJC 100SP. Bagian tubuh yang diamati meliputi : -
Paruh, iris, tarsus
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 76 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
-
Bagian atas tubuh, berupa dahi, mahkota, tengkuk, mantel, punggung, tunggir, ekor atas Bulu penutup sayap bagian atas, yaitu penutup sayap tepi, penutup sayap kecil, penutup sayap tengah, penutup sayap besar, penutup primer tengah, penutup primer besar, serta bulu skapular. Bulu sayap yang terdiri dari bulu primer, sekunder, dan tersier Sisi bawah tubuh, yang terdiri dari dagu, tenggorokan, dada, sisi dada, perut, sisi perut, paha, tungging, penutup ekor bawah, dan ekor bawah. Bulu penutup sayap bawah, yaitu penutup sayap bawah tepi, penutup sayap bawah kecil, penutup sayap bawah tengah, penutup sayap bawah besar, penutup primer bawah kecil, penutup primer bawah tengah, penutup primer bawah besar, dan bulu ketiak. Juga diperhatikan kalau terdapat tanda-tanda khusus lain yang terdapat pada bagian tubuh lain. (Bibby, Jones and M arden, 2000).
Cara kerja Pengambilan Sampel Pemasangan jala kabut dilakukan dari jam 06.00 WIB sampai dengan jam 18.00 WIB sesuai dengan waktu aktif burung. Jala kabut dipasang sebanyak 15 buah di sepanjang daerah aliran sungai. Jala kabut ini berukuran 12 m x 2,4 m dengan mesh 36 mm dengan ketinggian 20 cm dari permukaan tanah. Setelah jala kabut dipasang, maka dilakukan pengamatan setiap dua jam sekali. Burung-burung yang tertangkap dilepaskan dari jala dengan hati-hati agar tidak merusak keadaan bulu burung. Lalu dilakukan pencatatan pada suatu tabel, berupa lokasi, tanggal, waktu dan jenis yang tertangkap, warna bulu pada bagian tubuh, warna paruh, warna kaki, dengan menggunakan parameter warna yang telah ditentukan sebelumnya juga dicatat ukuran parameter tubuh berupa panjang sayap, ekor, paruh, tarsus, panjang total, berat, molting pada bulu sayap dan ekor, keadaan brood patch atau tanda pengeraman yang terdapat pada bagian thorax-abdominal sebagai data sekunder. Setelah semua data yang diperlukan dicatat dengan lengkap, maka burung diberi cincin bermerek Konkyochu dengan nomor seri tertentu pada tungkai sebelah kanan, sesuai dengan ukuran diameter kakinya. Sebelum dilepas, burung dipotret terlebih dahulu bagian tubuhnya pada posisi lateral, ventral, dan dorsal.
Pengamatan Variasi Warna Sebelum pengamatan warna pada sampel yang telah ditangkap dilakukan, terlebih dahulu ditetapkan standar warna yang akan memudahkan pengamatan. Standar warna ini diambil dari standar warna yang ada pada program Window M icrosoft Word Office 2000 dan dicetak dengan menggunakan printer Canon BJC100SP. M asing-masing warna diberi angka indeks, berupa gabungan angka dan huruf besar. Analisis data Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan sampai dengan bulan Agustus 2003, maka dilakukan analisis data dengan cara perbandingan deskriptif warna bulu burung yang telah ditangkap, sesuai dengan tabel indeks warna yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil penelitian dan pembahasan Dari penelitian yang telah dilakukan telah didapatkan 20 individu Ceyx rufidorsa dan bentuk peralihan, dengan rincian 15 individu berasal dari Sipisang, Kayu Tanam dan 5 individu sisanya didapatkan di kawasan HPPB UNAND ditambah dengan satu individu C. erythacus yang didapatkan di daerah Sipisang, Kayu Tanam. Tujuh individu merupakan tangkapan ulang (recapture), sedangkan 13 individu lainnya merupakan tangkapan baru. Dua individu di 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 77 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
antaranya (3C 92453 dan 3C 92494) diperkirakan masih dalam keadaan juvenile. Perbandingan dominasi warna dari ke-21 individu tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar individu Ceyx rufidorsa mempunyai dahi dengan warna berkisar dari coklat berangan sampai coklat berangan tua dengan sapuan ungu metalik (berkilau di bawah cahaya). Pada individu C. erythacus dan individu peralihan, dahi mempunyai pola warna coklat berangan tua dengan bagian tengah berwarna hitam dengan sapuan dongker metalik. Pada sisi tengkuk, kecuali pada individu C. erythacus yang berwarna hitam dengan sapuan dongker metalik, baik individu C. rufidorsa dan bentuk peralihan, semuanya mempunyai sisi tengkuk yang berwarna coklat berangan sampai dengan coklat berangan tua dengan sapuan ungu metalik. Bagian skapular dari C. erythacus dan individu bentuk peralihan mempunyai pola warna yang didominasi dengan warna hitam, kadang sedikit bercampur coklat berangan tua dan sapuan dongker metalik; sedangkan individu C. rufidorsa mempunyai skapular dengan warna coklat berangan sampai dengan coklat berangan tua kehitaman, bisa dengan sapuan ungu metalik atau tidak. Untuk bagian ujung ekor, individu C. erythacus dan bentuk peralihan menunjukkan kesamaan mempunyai pola warna hitam dengan variasi sapuan ungu atau dongker metalik atau tanpa kedua warna metalik tersebut. Dua individu C. rufidorsa (nomor cincin 3C 92453 dan 3C 92458) mempunyai bagian ujung ekor dengan pola yang sama yaitu berturut-turut hitam dengan sapuan ungu metalik dan hitam. Sedangkan individu yang lain hanya mempunyai warna coklat berangan atau coklat berangan tua pada bagian ujung ekor. Untuk bagian bawah tubuh (perut), kecuali tiga individu bentuk peralihan, yang menunjukkan warna kuning hambar, baik individu C. rufidorsa dan C. erythacus berwarna kuning belerang, kecuali 4 individu di antaranya (3C 92453, 3C 65370, 3C 92458, dan 3C 92474) berwarna kuning. Secara anatomi, baik C. rufidorsa, C. erythacus dan individu bentuk peralihan tidak berbeda. Untuk parameter tubuh (lihat Lampiran 1), panjang sayap berkisar dari 53,20-60,90 mm dengan panjang rata-rata 57,60 mm; panjang ekor berkisar dari 21,35-26,70 mm dengan panjang rata-rata 25,48 mm; panjang paruh berkisar dari 23,65-39,05 mm dengan panjang ratarata 34,80 mm; panjang tarsus berkisar dari 9,95-15,90 mm, rata-rata 10,28 mm. Berat rata-rata 19,50 gram; panjang total tubuh rata-rata 128,95 mm. Kebanyakan individu yang ditangkap sedang tidak dalam masa pengeraman (tidak adanya tanda-tanda brood patch, indeks 1), satu individu dengan brood patch tidak jelas (indeks 2), satu individu mempunyai brood patch yang mulai nampak jelas (indeks 3) dan dua individu yang berada dalam masa pasca pengeraman dan pemeliharaan anak (indeks 7). Penyebaran dari jenis C. rufidorsa sering berpotongan dengan daerah penyebaran C. erythacus, sehingga sering ditemukan keberadaan individu yang dikatakan sebagai bentuk peralihan di antara kedua jenis ini (M acKinnon et al., 1998). Berdasarkan penelitian lapangan di daerah Sipisang, Kayu Tanam dan Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi Universitas Andalas Sumatera Barat, didapatkan keberadaan ketiga individu tersebut pada range teritori yang sama.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan pola-pola warna khas dari jenis Burung Raja Udang Punggung M erah (Ceyx rufidorsa), Raja Udang Api (Ceyx erythacus) dan suatu bentuk peralihan di antara kedua jenis tersebut. Bentuk peralihan tersebut mempunyai pola warna yang serupa dengan kedua jenis Ceyx yang hidup dalam kisaran distribusi yang sama. Ketiganya juga dapat ditemukan pada satu daerah penyebaran. Kemungkinan untuk menyatakan apakah bentuk peralihan ini merupakan persilangan antara kedua jenis Ceyx yang disebutkan di atas atau merupakan anak jenis baru masih memerlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan uji genetis.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 78 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Daftar pustaka Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia. A Checklist (Peter’s Sequence). Indonesian Ornithological Society. Jakarta. Bakar, Amsir, Salsabila, A dan Gani, Y. 1991. Keragaman Hewan Vertebrata di HPPB UNAND Padang. In: Laporan Penelitian Proyek Bantuan Kerja Sama Luar Neg eri UNAND-JICA Japan. Unpublished. Hal 1-20. Bibby, C., M. Jones dan S. Marden. 2000. Teknik-tekni k Ekspedisi Lapangan Survei Burung. Birdlife. Bogor. Bologna, G. 1978. Simon and Schuster’s Guide to Birds of The World. Edited by John Bull. A Fireside Book. Gulf & Western Coorporation. New York. Butcher, G. S. and S. Rohwer. 1989. The Evolution of Conspicuous and Distinctive Coloration for Communication in Birds. In : Current Ornithology. Volume 6:51-97. Plenum Press. New York and London. Doucet, Stephanie M. 2001. Structural Plumage Coloration, Male Body Size, and Condition in the Blue-Black Grassquit. Abstract for Condor 104(1) February 2002 C.E. Ginn, H. B. and D. S. Melville. 1983. Moult in Birds. T he British T rust for Ornithology, Beech Groove, T ring, Hert fordshire, England. King, B. F. and E. C. Edward. 1975. A Field Giude to the Birds of South East Asia. London. MacKinnon, J, K. Phillipps and B. V. Balen. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam):LIPI. Seri Panduan Lapangan. Puslitbang Biologi-LIPI. Jakarta Peters, J.L. 1931-51. Check-list of Birds of the World. 7 vols: 1 (1931), 2 (1934), 3 (1937), 4 (1940), 5 (1945), 6 (1948), 7 (1951). Mus. Comp. Zool., Cambridge, Mass. Regal, P. J. 1975. The Evolutionary Origin of Feathers. Quart. Rev. Biol., 50:35-66. Salsabila, A., H. Kobayashi, and W. Novarino. 1997. Bird Community Structure of Galery Forest in West Sumatera. In : Annual Report of FBRT Project no. 3 : 273-282. Sibley, C. G. and J. E. Ahlquist. 1990. Phylogeny and Classification of Birds. A Study in Molecular Evolution. Yale University Press. New Hover & London. Smithe, F. 1975. Naturalist’s color guide. American Museum of Natural History, New York, USA Sujatnika, P. Jepson, T.R. Soehartono, M.J. Crosby dan A. Mardiastuti. 1995. Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pendekatan Burung Endemik. PHPA/Bird Life International-Indonesia Programme. Jakarta. T he British Ornithologist’s Union. 1985. A Dictionary of Birds. Edited by Bruce Campbell and Elizabeth Lack. British Ornithologist Union. Van T yne, J. and A. J. Berger. 1976. Fundamental of Ornithology. Second Edition. A Wiley-Interscien ce Publication. New York. London. Sydney. T oronto.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 79 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Tabel 1. Perbandingan Warna Bagian Tubuh Ceyx erythacus, C. rufidorsa dan bentuk peralihan No. No. Cincin
W arna
Spesies Dahi
Sisi T engkuk
Skapular
Lokasi Ujung ekor atas Bawah tubuh
1
3C 92401
Ceyx erythacus cb + hit + do. met
hit + do. met
hit + do. met
Hit
kb
Sipisang
2
3C 65447
Ceyx rufidorsa
cb + ung. met
cb + ung. met
cbt
Cbt
kb
Sipisang
3
3C 92410
Ceyx rufidorsa
cbt
cb + ung. met
cbt + ung. met
Cbt
kb
Sipisang
4
3C 92423
Ceyx rufidorsa
cbt
cb + ung. met
cbt + ung. met
cb
kb
Sipisang
5
3C 65369
Ceyx rufidorsa
cb + ung. met
cbt + ung. met
cbt
cb
kb
Sipisang
6
3C 92436
Ceyx rufidorsa
cb + ung. met
cbt + ung. met
cbt
cbt
kb
Sipisang
7
3C 65448
Ceyx rufidorsa
cb + ung. met
cbt + ung. met
cbt + ung. met
cbt
kb
Sipisang
8
3C 92412
Ceyx rufidorsa
cbt
cbt + ung. met
cbt + ung. met
cbt
kb
Sipisang Sipisang
9
3C 92450
Ceyx rufidorsa
cbt
cb + ung. met
cb + ung. met
cbt
kb
10
3C 92453
Ceyx rufidorsa(*)
cbt
cb + ung. met
cb + ujung hit.
hit + ung. met
k
Sipisang
11
3C 65370
Ceyx rufidorsa
cb
cb + ung. met
cbt + ung. met
cb
k
Sipisang
12
3C 92456
Ceyx rufidorsa
cb + ung. met
cb + ung. met
cb + ung. met
cb
kb
Sipisang
13
3C 92458
Ceyx rufidorsa
cb
cb + ung. met
cbt
hit
k
Sipisang
14
3C 92459
Ceyx rufidorsa
hit + do. met
hit + do. met
kh
Sipisang
15
3C 92474
Ceyx rufidorsa
cbt + ung. met
cb
k
HPPB-UA
16
3C 92484
Ceyx rufidorsa
hit
kh
Sipisang
17
3C 92491
Ceyx rufidorsa
cbt
cbt + ung. met
cbt + ung. met
cbt
kb
HPPB-UA
18
3C 92492
Ceyx rufidorsa
cbt
cbt + ung. met
cb + ung. met
cb
kb
HPPB-UA
19
3C 92493
Ceyx rufidorsa
cbt + ung. met
cbt + ung. met
cbt + ung. met
cbt
kb
HPPB-UA
20
3C 92494
hit + ung. met
kh
Sipisang
21
3C 92501
cbt
k
HPPB-UA
cb + hit + do. met cbt + ung. met cb + ung. met
cb + ung. met
cb + hit + do. met cbt + ung. met hit + cbt + do. met
Ceyx rufidorsa(*) cb + hit + do. met cb + ung. met hit + cbt + do. met Ceyx rufidorsa
cbt
cbt + ung. met
cbt + ung. met
hit = hitam, do. met = dongker metalik, kb = kuning belerang, cb = coklat berangan, ung. met = ungu metalik, cbt = coklat berangan tua, k = kuning, kh = kuning hambar, biru = individu Ceyx erythacus, hitam = individu Ceyx rufidorsa, merah = individu yang diperkirakan sebagai bentuk peralihan, (*) = juvenile, HPPB-UA = Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi-Universitas Andalas
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 80 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Lampiran 1. Parameter panjang tubuh (mm) Ceyx rufidorsa Skor bulu Sayap Ekor
No.
Tanggal
R/Rt
Waktu
No. cincin
Umur
JK
Sayap
Ekor
Paruh
Tarsus
Berat
Total
TD
BP
1
03/01/03
R
16.00
3C 92401
6
-
55.01
21.35
31.35
13.50
13
116
-
1
lama
molt
2
18/01/03
R
08.00
3C 65447
6
-
59,00
25,35
34,80
9,95
22
131
-
1
lama
lama
Sipisang
3
18/01/03
-
08.00
3C 92410
6
-
60,10
25,60
37.40
10,60
19
131
2.50
1
lama
lama
Sipisang
4
05/02/03
R
16.00
3C 92423
6
-
58,60
25.10
33.45
15.90
21
127
-
1
lama
lama
Sipisang
5
07/02/03
R
08.00
3C 65369
6
-
58,15
23.40
34.35
14.25
21
130
-
1
lama
lama
Sipisang
6
07/02/03
-
10.00
3C 92436
5
-
53,20
22.90
26.70
13.65
17
126
2.15
1
lama
lama
Sipisang
7
02/04/03
R
10.00
3C 65448
6
-
57,25
25.55
33.75
13.75
23
125
-
1
lama
lama
Sipisang
8
03/04/03
R
08.00
3C 92412
6
-
58,85
24.95
35.35
14.15
20
131
-
1
lama
lama
Sipisang
9
03/05/03
-
16.00
3C 92450
6
-
59,20
26.50
34.40
13.95
20
134
2.10
1
lama
lama
Sipisang
10
06/05/03
-
08.00
3C 92453
4
-
55,20
23.40
23.65
14.80
20
118
2.50
1
baru
baru
Sipisang
11 12
06/05/03 15/05/03
R -
08.00 10.00
3C 65370 3C 92456
6 6
-
58,50 55,60
24.05 24.90
34.55 34.55
15.15 14.35
22 20
131 126
2.25
7 1
lama lama
lama lama
Sipisang Sipisang
13 14
17/05/03 17/05/03
-
12.00 18.00
3C 92458 3C 92459
6 6
-
54,60 54,35
24.55 23.80
38.95 35.80
10.65 10.50
17 11
136 127
2.40 2.20
1 1
lama baru
lama baru
Sipisang Sipisang
15 16
18/06/03 21/06/03
-
12.00 16.00
3C 92474 3C 92484
6 6
-
60,10 58,30
25.65 26.15
39.05 37.20
10.40 10.05
19 19
128 136
2.50 2.65
7 1
lama baru
lama baru
HPPB Sipisang
17
13/07/03
-
11.00
3C 92491
6
-
56,30
23.60
34.65
14.60
20
134
2.05
1
molt
molt
HPPB
18
13/07/03
-
13.00
3C 92492
6
-
60,90
25.35
34.30
13.60
22
130
2.00
2
lama
lama
HPPB
19
18/07/03
-
16.00
3C 92494
4
-
57,40
22.70
31.40
11.60
19
122
2.00
1
lama
lama
Sipisang
20
26/07/03
-
11.00
3C 92501
6
-
56,85
24.60
34.90
09.00
16
125
1.70
1
lama
lama
HPPB
21
26/07/03
R
16.00
3C 92493
6
-
59,50
26.15
35.15
13.05
22
131
2.05
3
lama
lama
HPPB
57,60
25,48
34,80
10,28
19,50
128,95
rata-rata
Lokasi Sipisang
Keterangan : R=Recapture (tertangkap ulang), JK= jenis kelamin, TD= tarsus diameter, BP= brood patch, molt=berganti bulu biru = Ceyx erythacus hitam = Ceyx rufidorsa merah = individu bentuk peralihan Standar umur
BP (Brood Patch)
1. Anakan, san gat lema h, tdk bisa jau h dari sar ang
1. Brood patch tid ak ada
2. Anakan, tahu n lah ir tidak pasti, tidak termas uk tahun i ni
2. Brood patch a da, tapi tidak d iketah ui je las
3. Menetas pasti p ada tah un in i, masih pu nya bu lu juv eni le
3. Kulit lemb ut, tanpa bul u, kulit terang/me ngki lat
4. Dipastik an la hir pa da tahu n sekara ng
4. Kulit lemb ut, terlihat ada nya jar ing an pem bul uh dar ah
5. Dipastik an la hir pa da tahu n sebe lumny a
5. Kulit meng eras, pemb ulu h dara h tak terlihat, ada l apis an
6. Menetas seb elum tah un
emari n, tahun seb enar nya tdk diketa hui
cairan d i baw ah kul it, seperti bekas terb akar
7. Dipastik an la hir du a tahun se bel umnya
6. Kulit kerip ut, mulai men geri ng da n mula i membe ntuk sisik
8. Menetas tiga tah un seb elum nya atau l ebi h, tahun seb enar nya
7. Kulit menj adi l embut, terbentuk b ulu b aru, broo d patch
tidak diketa hui
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
mulai tertutup kem bal i ole h bul u
- 81 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Lampiran 2 . Spektrum Warna* (Program Microsoft Word Office 2000)
1
a-g
2
a-h a-i
3
a-j
4 5
a-k
6
a-l
7
a-m a-l
8 9
a-k 10
a-j 11
a-i 12
a-h 13
a-g
* Catatan
editor: pada umumnya ala t bantu yang lebih umum digunakan adala h 'color swath es' antara lain ole h Smithe (1975)
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 82 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Lampiran 3 . Keterangan nama warna pada spektrum warna 1a 1b 1c 1d 1e 1f 1g
= = = = = = =
b iru g elap k ehijau an b iru remb an g b iru d alam b iru sian b iru k elam d o ng k er g elap d o ng k er k eh ijau an
2a 2b 2c 2d 2e 2f 2g
= = = = = = =
b iru tu a k eh ijau an b iru tu a k eh ijau an b iru tu a b iru g elap d o ng k er g elap d o ng k er d o ng k er mu d a = dongker muda kehijauan
= = = = = = = = =
b iru k eh ijau an b iru k eh ijau an b iru lau t k ehijau an b iru lau t b iru lau t g elap d o ng k er mu d a d o ng k er g elap k ehijau an b iru k eh ijau an tu a ab u -abu
3a 3b 3c 3d 3e 3f 3g 3h 3i
2h
6i 6j 6k 6l
= = = =
u n gu u n gu u n gu u n gu
7a 7b 7c 7d 7e 7f 7g 7h 7i 7j 7k 7l 7m
= = = = = = = = = = = = =
h ijau g elap h ijau d aun h ijau d aun mu d a h ijau d aun teran g h ijau terang h ijau h amb ar p u tih u n gu h amb ar u n gu mu d a u n gu mu d a b ias u n gu u n gu merah g elap u n gu tu a co klat
8a 8b 8c 8d 8e 8f
= = = = = =
h ijau d aun ru mp ut h ijau d aun g elap h ijau s av an n a h ijau s av an n a mu d a h ijau k rem k u ning h amb ar
8g
= kuning kemerahan muda
8h 4a 4b 4c 4d 4e 4f 4g 4h 4i 4j
5a 5b 5c 5d 5e 5f 5g 5h 5i 5j 5k
= = = = = = = = = =
= = = = = = = = = = =
h ijau p up us h ijau p up us tu a h ijau p up us k eb iru an b iru lau t b iru lau t mu d a b iru lau t mu d a b iru taw ar b iru “ b lu e” h ijau terun g h ijau terun g tu a
h ijau lu mu t h ijau lu mu t tu a h ijau p up us biru mu d a h ijau p up us taw ar b iru lan git b iru taw ar b iru abu -abu b iru abu -abu mu d a h ijau terun g mu d a h ijau terun g k ebiru an h ijau terun g u ng u
6a 6b 6c 6d 6e 6f 6g
= = = = = = =
h ijau ap us h ijau ap us tu a h ijau ap us mu d a h ijau ap us teran g h ijau ap us mu d a terang b iru taw ar mu d a b iru taw ar k eab u an
6h
= biru tawar muda keabuan
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
mu d a ab u -ab u h ijau terun g mu d a g elap g elap tu a
11a 11b 11c 11d 11e 11f 11g 11h 11i
= = = = = = = = =
h ijau k erang as h ijau mu d a k ecok latan k u ning b eleran g co k lat mu d a co k lat remb an g co k lat b erang an co k lat k emerah an merah h ati co k lat tu a
12a 12b 12c 12d 12e 12f 12g 12h
= = = = = = = =
co k lat h ijau tu a co k lat h ijau mu d a co k lat b erang an mu d a co k lat mu d a co k lat b erang an tu a merah p ad am co k lat co k lat tep at
13a 13b 13c 13d 13e 13f 13g
= = = = = = =
co k lat co k lat co k lat co k lat co k lat co k lat co k lat
tu a k ehijau an mu d a k ehijau an k ayu s ed an g h ati h ati tu a tan ah
= u n gu mu d a k ecok latan
8i = ungu muda kecoklatan tua 8j 8k 8l
= u n gu merah = u n gu co klat = u n gu tu a k ecok latan
9a 9b 9c 9d 9e 9f 9g 9h 9i 9j 9k
= = = = = = = = = = =
h ijau b amb u apu s h ijau b amb u h ijau b amb u mu d a h ijau b amb u h amb ar k u ning k rem k u ning co klat mu d a merah taw ar merah mu d a merah d ag in g co k lat h ati u n gu co klat
10a 10b 10c 10d 10e 10f 10g 10h 10i 10j
= = = = = = = = = =
h ijau “ s p an ic” h ijau matan g h ijau g ang g an g k u ning co k lat taw ar merah mu d a co k lat merah mu d a merah maw ar merah h ati k eun gu an co k lat u ng u
- 83 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Lampiran 4 . Individu Ceyx rufidorsa , C. erythacus, dan individu bentuk peralihan.
Ceyx rufidorsa
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
Individu bentuk peralihan
Ceyx erythacus
- 84 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sesi ekologi burung
Preferensi dan Interaksi Burung Rangkong Terhadap Ketersediaan Buah Ara (Ficus spp) di Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung 1
FIRDAUS RAHMAN AFFANDI, 2 NURUL L. WINARNI 1
2
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung, Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS-IP)
Abstrak Burung Rangkong, Enggang, Julang, atau Kangkareng adalah nama lokal dari burung rangkong (Hornbill) yang secara umum dikenal di Indonesia. Struktur balung (casque) dan suaranya membuat burung ini mudah dikenali. Tipe hutan dataran rendah yang ada di Way Canguk menjadi habitat bagi enam jenis burung rangkong, namun hanya empat jenis yang paling umum dan relatif mudah ditemukan di wilayah tersebut. Area penelitian ini juga memiliki beberapa jenis pohon ficus yang merupakan sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun. Laju deforestasi yang disebabkan oleh perladangan dan penebangan liar menjadi hal yang mengancam populasi burung rangkong di Way Canguk Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data mengenai preferensi dan interaksi rangkong terhadap ketersediaan buah sebagai sumber pakan. Penelitian dilaksanakan bulan September sampai November 2004 di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS. M etode Scanning digunakan dalam pengambilan data burung yang datang pada pohon ara yang berbuah atau masak di areal penelitian seluas kurang lebih 800 ha. Selama tiga bulan teramati delapan jenis pohon ficus yang berbuah masak. Jenisjenis burung rangkong yang memanfaatkan ketersediaan buah ficus selama pengamatan adalah Aceros undulatus (11,5%), Anorrhinus galeritus (6,4%), Buceros rhinoceros (24,8%), dan Buceros vigil (57,3%). Hasil perhitungan persamaan makanan pada jenis ficus selama pengamatan menunjukkan bahwa antara Buceros rhinoceros dan Buceros vigil memiliki persamaan makanan yang tertinggi (19,40 %) diantara yang lain. Uji korelasi menunjukkan hubungan yang kuat antara jumlah Rangkong (per jenis) dengan variabel panjang, lebar, dan ukuran buah ficus .
Kata kunci : Burung rangkong, Ara (Ficus sp), Way Canguk, TNBBS, Preferensi.
Pendahuluan Rangkong di Indonesia, diantaranya dari species Aceros corrugatus dan Aceros everreti, diketahui terancam punah. Dua jenis lagi yaitu Anthracoceros malayanus dan Buceros vigil diketahui berstatus mendekati terancam punah (Rudyanto et al. 1995). Salah satu faktor yang mengancam kehidupan Rangkong adalah pemanfaatannya untuk kepentingan manusia, Di Sumatera Rangkong sering ditangkap untuk diperjual belikan (Van Balen & Rudyanto, 1995). Hutan di sekitar Stasiun Penelitian Way Canguk dapat disebut sebagai hutan Dipterocarp dataran rendah (lowland dipterocarp forest), dimana jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae mendominasi tegakan. Hal ini dapat dilihat dari indeks nilai penting, 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 85 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
dimana species keruing atau meluang (Dipterocarpus sp) mendominasi tegakan (The Wildlife Conservation Society, 1999). Selain itu keberadaan pohon ficus juga menjadi hal yang umum dimana buah ficus menjadi makanan utama, tersedia sepanjang tahun dan merupakan sumber pakan bagi hewan - hewan frugivor termasuk burung Rangkong. Keberadaan beberapa jenis buah ficus merupakan hal yang umum di sebagian besar hutan hutan tropis. Pohon ficus tersebut terdapat dalam kepadatan yang tinggi dan menghasilkan panenan buah dalam jumlah yang besar. Setiap tahunnya ketika buah lain dalam jumlah yang langka, buah ficus telah menjadi sumber daya pakan yang luar biasa bagi frugivor ( Leighton & Leighton, 1983). Jenis-jenis ficus memegang banyak peran penting bagi banyak jenis pemakan buah. Suryadi (1994) melaporkan bahwa kepadatan Julang Sulawesi (Aceros cassidix) dipengaruhi oleh banyaknya ficus yang berbuah. Di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat dilaporkan bahwa buah ficus mengundang berbagai hewan pemakan buah. Rangkong, takur, punai, kutilang adalah diantara jenis-jenis burung yang mengkonsumsi buah ficus (Laman dan Weiblen, 1998). Informasi dan penelitian mengenai ekologi pakan burung Rangkong di Indonesia masih sedikit dilakukan, diantaranya oleh Suryadi (1994) dan Endra (1998) di Sulawesi, Leighton (1982) di Kalimantan, Hadiprakarsa (1999), Anggraini (1999) dan Jafar (1999) di TNBBS, Lampung. Tulisan ini membahas tentang hubungan rangkong dengan buah ficus, preferensi jenisjenis rangkong terhadap karakter buah ficus serta tingkat pemanfaatannya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Lokasi dan metode Penelitian dilakukan di Stasiun Penelitian dan Pelatihan Konservasi PHKA / WCS-IP, Way Canguk, TNBBS, Lampung. Areal penelitian di Stasiun ini terbagi dua dan dipisahkan oleh Sungai Canguk. Di bagian Utara seluas 200 ha dan di bagian Selatan seluas 600 ha. Pengambilan data dilakukan mulai bulan September sampai November 2004. Sampel penelitian adalah species ficus yang umum berbuah di areal penelitian dan 4 species Rangkong yaitu Aceros undulatus, Anorrhinus galeritus, Buceros vigil dan Buceros rhinoceros. Alat yang digunakan adalah teropong, buku catatan, jam, alat tulis, timbangan digital, dan kaliper. Sebagai data pendukung dilakukan pengamatan fenologi ficus untuk menentukan waktu dan individu mana yang akan diamati. Data yang diambil berupa estimasi kerapatan buah yang dilakukan dengan memberikan penilaian atau scoring 0 sampai 4, dimana diketahui: 0 = Tidak ada buah sama sekali 1 = Buah terdapat pada 1 – 25 % dari tutupan kanopi 2 = Buah terdapat pada 26 – 50 % dari tutupan kanopi. 3 = Buah terdapat pada 51 – 75 % dari tutupan kanopi. 4 = Buah terdapat pada 76 – 100 % dari tutupan kanopi. Perkiraan jumlah buah dilakukan dengan cara melihat melalui binokuler, kemudian menghitung jumlah buah dalam satu lingkaran binokuler, dan dikalikan dengan seluruh kanopi yang ada dengan memperhatikan sebaran jumlah buah dalam kanopi. Pengamatan atau observasi dilakukan pada ficus yang sedang berbuah masak. Sebelumnya, untuk mendapatkan ficus yang sedang berbuah dan memastikan tingkat 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 86 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
kematangan ficus dilakukan survai terlebih dahulu di seluruh jalur jalur penelitian. Data lain yang di ambil dari ficus adalah estimasi jumlah buah, panjang, lebar, kategori ukuran, dan berat buah. Sampling berat buah dilakukan pada lima buah ficus dari tiap pohon yang telah diamati untuk mengetahui panjang, lebar dan ukuran. Ukuran ficus dibagi menjadi tiga kategori mengikuti Jafar (1998), yaitu besar (panjang ≥ 20 mm), sedang (panjang 10 – 20 mm), dan kecil (panjang ≤ 10 mm). Pengambilan data rangkong menggunakan metode Scan (Altman, 1974), selama 2 jam pada pagi (07:00 – 09:00), siang (11:00 – 13:00) dan sore (15:00 – 17:00). Data dikumpulkan dalam interval waktu 10 menit. Pada 2 menit pertama dicatat jumlah Rangkong yang datang atau meninggalkan pohon, dan sedapat mungkin dihitung jumlah buah yang dimakan dalam 1 menit. Perbedaan proporsi makan dianalisa dengan menggunakan Chi-Square test, persentase persamaan pakan dianalisa dengan Percentage overlap index (Renkonen,1938 dalam Krebs, 1989 ). Untuk mengetahui hubungan rangkong dengan buah ficus dilakukan uji korelasi Spearman (Siegel & Castellan, 1988). Variabel yang digunakan dalam pengujian ini adalah jumlah rangkong, berat buah, estimasi jumlah buah, panjang , lebar, dan ukuran buah. Rumus perhitungan indeks persamaan makanan ( Percentage overlap indek),
Pjk = [ n ∑ ( minimum pij , pik) ] 100 Dimana; Pjk = Persamaan makanan antara species i dengan species k Pij , P ik = proporsi sumber pakan yang digunakan oleh species I dan species k n = Total jumlah sumber pakan
Hasil Dalam kurun waktu 3 bulan telah dilakukan pengamatan terhadap delapan jenis ficus berbeda yang berbuah masak di areal penelitian Way Canguk Keempat jenis rangkong umum mengunjungi jenis-jenis ficus yang diamati. Jenis lain seperti Rangkong papan Buceros bicornis tercatat kehadirannya, namun tidak mengunjungi ficus. Buceros vigil mendominasi frekuensi kunjungan ke pohon ficus yaitu sebesar 57,3 %, sedangkan Anorrhinus galeritus paling kecil frekuensi kunjungannya, yaitu 6,4% (Tabel 1). Survai di seluruh jalur penelitian mendapatkan delapan jenis ficus yang berbuah masak. Beberapa jenis yang memiliki ukuran buah yang besar lebih banyak dikunjungi rangkong daripada ficus yang mempunyai ukuran buah yang kecil (Tabel 2). Ficus altissima, F. stupenda, F. crassiramera lebih sering dikunjungi dengan persentase yang sama yaitu 28,6 %, sedangkan pengamatan pada ficus buah kecil seperti F.virens dan F. microcarpa menggambarkan preferensi yang rendah oleh rangkong sebesar 1,27% terhadap F.virens. F. microcarpa sama sekali tidak dikunjungi rangkong. Kedua ficus berukuran kecil ini mempunyai rerata ukuran panjang sebesar 9,4 mm (F. virens ) dan 6,9 mm (F. microcarpa). Perhitungan chi square test untuk frekuensi kunjungan masing masing jenis rangkong 2 adalah berbeda (X = 90,56; P < 0,05 ). Uji korelasi Spearman dilakukan untuk mengetahui hubungan banyaknya jumlah rangkong yang datang ke pohon ficus dengan beberapa variabel dari ficus antara lain estimasi jumlah buah, berat buah, dan ukuran buah. Pada uji ini, ukuran buah dikategorikan menjadi tiga yaitu, besar, sedang, dan kecil. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan beberapa hubungan yang kuat antara 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 87 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
jumlah rangkong (perjenis) dengan beberapa variable buah. A.undulatus dan B. vigil memperlihatkan preferensi terhadap panjang ( A.undulatus, r = 0.809, B. vigil, r = 0.835), lebar (A. undulatus, r = 0.835, B. vigil, r = 0.883), dan kategori ukuran buah (A. undulatus, r = 0.723; B. vigil, r = 0.831). Preferensi terhadap berat buah hanya ditunjukkan oleh B. vigil (r = 0.749), sedangkan hasil lainnya memperlihatkan A. galeritus memiliki preferensi terhadap variabel panjang ( r = 0.788) dan lebar buah ( r = 0.830).
Pembahasan Rangkong sebenarnya tergolong hewan omnivora. Besar kecilnya proporsi makanan yang berasal dari hewan atau tumbuhan ternyata berbeda-beda, tergantung dari jenis rangkong. Perbedaaan proporsi tersebut dimungkinkan oleh adanya perbedaan usia, jenis kelamin, dan masa berbiak (Kemp, 1995). Penelitian terhadap species pakan rangkong di Asia dan Afrika menunjukkan bahwa ficus merupakan sumber pakan yang potensial sebagai pakan utama bagi rangkong (Poonswad, et al.,1987), atau sebagai pakan pengganti (James dan Kannan, 1993 dalam Hadiprakarsa, 1999). Penelitian tingkah laku Rangkong Sulawesi oleh Suryadi (1994) menyatakan bahwa tingginya persentase ficus dalam komposisi pakan Rangkong Sulawesi pada masa berbiak ataupun tidak berbiak menunjukkan kecenderungannya pada ficus. Seluruh jenis ficus yang didapat selama pengamatan mempunyai karakteristik yang beragam, mulai dari jumlah buah, ukuran buah, warna, dan berat. Perbedaan ini memungkinkan terjadinya preferensi dari rangkong untuk memakan buah ficus dari species tertentu saja berdasar karakter yang disukainya. Hal ini setidaknya akan menunjukkan walaupun ficus tersedia sepanjang tahun namun tidak seluruh jenis ficus yang berbuah akan dimakan oleh frugivor seperti rangkong. Berbedanya frekuensi kunjungan antara jenis-jenis rangkong diperkuat dengan frekuensi kedatangan yang lebih didominasi oleh Buceros vigil sebesar 57,3%. Sementara Anorrhinus galeritus memperlihatkan frekuensi kunjungan terendah yaitu 6,4 %. Tampaknya hal ini senada dengan penelitian komposisi pakan rangkong di Way Canguk, TNBBS oleh Hadiprakarsa (1999), menunjukkan bahwa buah ficus merupakan pakan utama bagi Buceros vigil, sehingga ketergantungan jenis rangkong ini terhadap ficus sangat tinggi. Pada saat buah ficus masak maka jumlah rangkong ini akan menguasai pohon pakan. Pemilihan buah ficus yang kaya akan kandungan gula juga terjadi pada Buceros vigil di Kalimantan (Leighton, 1986) dan di Thailand (Poonswad, 1993).
Buceros vigil memperlihatkan preferensi yang kuat terhadap semua karakter buah seperti berat, panjang, lebar, serta ukuran buah. Umumnya buah yang dimakan adalah yang berukuran besar dan sedang (panjang diatas 10 mm) dan berat diatas 2,5 g. Dapat dikatakan ficus menjadi pakan utama bagi rangkong tersebut. Hadiprakarsa (1999) juga memaparkan bahwa B. vigil di TNBBS menjadikan buah ficus sebagai makanan utamanya (90%) diikuti dengan serangga atau binatang kecil (10%). Pemenuhan akan kebutuhan kalsium untuk pembentukan tulang merupakan satu faktor dipilihnya buah ficus oleh rangkong ini (O’Brien, et al.,1998), sebab ukuran tubuhnya paling besar (panjang tubuh 150 cm dan berat tubuh 2500 g) (Kemp,1995), dibandingkan tiga species rangkong lainnya selama pengamatan. A. galeritus memiliki frekuensi kehadiran yang rendah di areal penelitian. Burung ini paling sedikit memanfaatkan ficus sebagai sumber pakannya. Hadiprakarsa (1999) melaporkan bahwa komposisi pakan burung ini sebagian besar adalah buah non ficus, 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 88 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
serangga atau binatang kecil. Burung yang hidup berkelompok ini memiliki sifat teritorial. Tercatat di areal penelitian dalam satu kelompok terdapat tujuh ekor. Saat pengamatan dilakukan dalam kurun waktu tersebut di areal penelitian sebelah Tenggara diketahui dari pengamat lain terdapat A. galeritus yang sedang mengalami masa breeding atau berbiak Kemungkinan besar bahwa kelompok inilah yang teramati berkunjung di pohon ficus yang masak. M asa berbiak ini dapat menjadi penyebab rendahnya frekuensi A. galeritus mengunjungi pohon ficus yang masak sebab menurut Kemp (1995), sifat frugivor burung rangkong akan sedikit berubah ketika memasuki tahap berkembang biak menjadi karnivor dengan memakan serangga atau binatang kecil.
A.undulatus tidak menjadikan ficus sebagai pakan utama, mungkin sebagai strategi pembagian pakan untuk menurunkan tingkat persaingan. A. undulatus hanya berkunjung dan makan pada species ficus buah besar seperti F. altissima, F. stupenda, dan F. crassiramera. Di areal penelitian A. undulatus lebih banyak terlihat di pohon non ficus, terkadang terbang bersamaan di pagi hari sebanyak 4 – 6 individu kemudian berpencar. Hadiprakarsa (1999) melaporkan bahwa rangkong ini memiliki komposisi makanan yang lebih beragam baik dari buah non ficus (famili Lauraceae, Burseraceae, Clusciaceae, M yristicaceae, Rubiaceae, dan Anonaceae). B. rhinoceros sama sekali tidak memperlihatkan preferensi tertentu terhadap karakter buah baik berat, panjang , lebar , dan ukuran buah. Rangkong ini memakan ficus dari yang berukuran besar, sedang sampai kecil (F. altissima, F. virens, F. gondang F. crassiramera.), Anggraini (1999) melaporkan bahwa rangkong ini memiliki daerah teritorial yang luas untuk tidak bergantung sepenuhnya pada ketersediaan buah ficus. Preferensi pakan ficus yang hampir sama terjadi antara B. rhinoceros dan B.vigil (Tabel 3). Indeks persentase persamaan pakan menunjukkan bahwa antara B. rhinoceros dan B. vigil memiliki kesamaan pakan tertinggi (19,4 %), hal ini disebabkan keduanya memiliki kesamaan pilihan pakan terhadap jenis buah ficus seperti F. altissima, F. albifila, dan F. crassiramera. Walaupun memiliki kesamaan pakan pada beberapa jenis ficus, tidak berarti bahwa B. rhinoceros juga merupakan spesialis ficus seperti B. vigil. Hadiprakarsa (1999) menunjukkan bahwa B. rhinoceros memiliki alternatif jenis buah pakan dari buah non ficus dan serangga. Dalam melangsungkan kehidupannya setiap organisme memerlukan makanan, dan setiap makanan yang dimakan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek kualitatif dan kuantitatif. Aspek kuantitatif mencakup kelimpahannya di habitat dan aspek kualitatif meliputi ukuran, warna, palatabilitas, nilai gizi dan daya cernanya (Krebs dan Davis, 1978). Suryadi (1994) melaporkan bahwa ukuran buah dan warna menjadi satu petunjuk bagi rangkong untuk mendapatkan buah yang masak dan banyak mengandung nutrisi. Ukuran tertentu dari berat buah beringin yang dimakan rangkong Sulawesi berkisar 0,08 – 15,3 gr dengan ukuran 5,43 –30 mm.Ukuran buah (termasuk panjang dan lebar) tampaknya menjadi hal penting dalam pemilihan pakan rangkong. Hal ini dapat dimungkinkan preferensi rangkong terhadap ukuran buah termasuk dalam strategi untung rugi (Cost –Benefit) untuk memenuhi energi yang dibutuhkan. Rangkong melakukan pergerakan dalam luas wilayah tertentu dalam pencarian pakan dan akan berusaha mencari buah ficus yang berukuran besar untuk memenuhi kebutuhan energinya dalam aktivitas tersebut .
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 89 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Kesimpulan B. vigil dan B. rhinoceros lebih banyak memanfaatkan ketersediaan buah ficus di areal penelitian Way Canguk sebagai pakannya. Frekuensi kehadirannya lebih banyak dibandingkan 2 species rangkong lainnya, keduanya pun memiliki persentase persamaan makanan terbesar. Selama pengamatan dilakukan telah didapatkan delapan species ficus berbeda yang berbuah di areal penelitian. Ficus altissima, F. stupenda, dan F. crassiramera yang merupakan buah ficus berukuran besar (panjang ≥ 20 mm) ternyata lebih banyak dipilih. Faktor berat buah, panjang, lebar dan ukuran buah menjadi pilihan bagi rangkong dalam memenuhi strategi untung rugi (cost-benefit) untuk kebutuhan energi.
Daftar pustaka Altman, J. 1974. Observational study of behaviour : Sampling Methods Behaviour 49 : 227-267. Anggraini, K. 1999. Kepadatan Rangkong Dan Analisis Regresi Antara Jumlah Rangkong Dengan Total Persentase Jumlah Buah Dan Total Persentase Jumlah Buah Masak , Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan , Lampung.. Skripsi S1. Universitas Indonesia . Depok. Hadiprak arsa, Y. 1999. Studi Komposisi Pakan Jenis-Jenis Burung Rangkong (Aves : Bucerotidae) Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Skripsi S1. Universitas Pakuan . Bogor. Jafar, R. 1998. Keanekaragaman burung pemakan ficus di Indonesia . Depok.
Way Canguk. Skripsi S1. Universitas
Kemp, A.C. 1995. The Hormbills. Oxford University Press. New York. Krebs, C.J 1989. Ecological Methodology. Harper & Row , Publishers. New York. Krebs, J.R. and Davies, N.B. 1978. Behavioural ecology: an evolutionary approach. 3rd ed. Blackwell Scientific Publications, London, 1978, 105-202. Laman, T.G & G.D.Weiblen. 1998. Figs of Gunung Palung National Park (West Kalimantan, Indonesia). Leighton, M., and D.R. Leighton. 1983. Vertebrate response to fruiting seasonality within a Bornean rainforest, In : S.L. Sutton, T.C. Whitmore, and A.C. Chadwick (eds.), T ropical rainfo rest: ecology and management, Backwell, Oxfo rd: 181-196. Leighton, M. 1986. Hornbill social dispersion : Variations on a monogamous theme. Dalam : Rubenstein , D.L. & R.W. Wrangham (eds.) 1986. Ecological aspect o f social evolution : Birds and mammals. Pricenton University Press, Pricenton. Page : 108-131. O’Brien,, T .G.,M.F. Kinnaird , E.S. Dieren feld , N.L Conklin-Brittain, R.W. Wrangham, & S.C. Silver. 1998. What’s so Special about Figs. Nature Vol. 392. Page :668. Poonswad, P. 1993. Aspect of the biologyand Ecology of some asian Hornbills. Dalam : Poonswad, P. & A.C. Kemp (eds.). 1993. Manual to T he Conservation of Asian hornbills. Hornbill Project T hailand .Bangkok. Poonswad, P.,A. T suji, & C. Ngarmpongsai. 1987. A Comperative study on breeding biology of sympatric hornbill species ( Bucerotidae) in Thailand with implication for breeding in captivity. Proceeding Jean Delacou r/i fcb Symposium on breeding birds in captivity. IFCB, Los Angeles . Shannaz, J., P. Jepson & Rudyanto. 1995. Burung-burung terancam punah di Indonesia. PHPA/Birdlife International-Indonesia Programme, Bogor.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 90 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Suryadi, S .1994. Tingkah Laku Makan Rangkong Sulawesi Rhyticeros cassidix pada masa tidak berbiak di Cagar Alam Tangkoko – Batuangus, Sulawesi . Skripsi S1. Universitas Indonesia. Depok. Siegel, S., N.J. Castellan, Jr. 1988. Non Parametric Statistic for the behavioral Science. McGraw-Hill Book Co. Singapore. T he Wildlife Conservation Society. 2001. TNBBS Dalam Ruang dan Waktu. PHKA/ WCS-IP. Bogor. Van Balen, B & Rudyanto, 1995. Hornbill studies in Indonesia. Dalam : Biological Science for T he Community Foundation. 1995. Report on the seminar and workshop on conservation and management of Hornbill. BScC Foundation . Jakarta.
Lampiran Tabe l 1 . Frekuensi kunjungan rangkong ke pohon ficus yang masak Au
Bv
Br
Ag
Jumlah
%
1
F.altissi ma
8
19
16
2
45
0,287
2
F.gondang
1
6
5
0
12
0,076
3
F.benj ami na
0
4
0
0
4
0,025
4
F.stupenda
1
39
0
5
45
0,287
5
F.microcarpa
0
0
0
0
0
0,000
6
F.virens
0
0
2
0
2
0,013
7
F.crassiramera
8
18
16
3
45
0,287
8
F.58
0,025
0
4
0
0
4
jumlah
18
90
39
10
157
%
11,46
57,32
24,84
6,37
Tabe l 2 . Estimasi jumlah buah, berat dan ukuran ficus Ficus
17. 84
Kategori ukuran buah besar
F. albifila
2000
0,98
12. 92
12. 14
sedang
F.benj ami na
5000
0,44
10. 58
10. 06
sedang
F.stupenda
2000
7,12
27. 04
21. 28
besar
F.microcarpa
8000
0,2
6.86
6.2
kecil
F.virens
80000
0,24
9.36
8.3
F.crassiramera
8000
2,52
18. 96
18. 04
F.58
5000
0,1
6.86
6.2
F.altissi ma
rerata rerata berat estimasi (g) jumlah buah 2000 3,7
rerata panj ang (mm) 23. 3
rerata lebar (mm)
kecil sedang kecil
Tabel 3. Indeks persamaan makanan
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 91 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Au
Bv
0 0.1230 0.1190 0.0238
Au Bv Br Ag
Br
0 0.1944 0.0397
Ag
0 0.0198
0
Tabe l 4 . Uji khi kuadrat untuk frekuensi rangkong.keseluruhan Jenis Rangkong
F.Altissim a
F. albifila
F. stupenda
F. virens
F. crassiram era
J.F
J.F.D
X2
J.F
J.F.D
X2
J.F
J.F.D
X2
J.F
J.F.D
X2
J.F
A. u
8
11.25
15.89
1
4
3,5
1
15
58,1
0
0
0
8
11.25 13,04
A.g
2
11.25
15.89
0
0
0
5
15
58,1
0
0
0
3
11.25 13,04
B. r
16
11.25
15.89
5
4
3,5
0
0
0
2
2
0
16
11.25 13,04
B. v
19
11.25
15.89
6
4
3,5 39
15
58,1
2
2
0
18
11.25 13,04
J.F.D
2
Ket : F = frekuensi, Jf = Jumlah frekuensi, Jfd = jumlah freku ensi diharapkan, x = nilai khi kuadrat
Gambar 1 . Frekuensi Kehadiran Rangkong.
F.a ltissim a intens itas
F. alb ifila
50
F.b enjam in a F.stup end a
40 30 20
F.m ic roc arp a
10
F.virens
0 A cero s und ulatus
B ucer os vigil
Buceros rh inoceros
Jenis Rangko ng
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
Anno rhinus g aleritus
F.c ra ssiram era F.58
- 92 -
X2
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Recent Conservation Status of the Talaud Red-and-blue Lory (Eos histrio talautensis) in Indonesia ASEP S. ADIKERANA , CHRISTIAN L. MAMENGKO, WESLEY PANGEMANAN AND MICHAEL WANGKO Birdlife Indonesia Jalan Dadali No. 32, Bogor 16161 Jawa Barat, Indonesia. Email: blisatal@indosat. net.id
Summary The Red-and-blue Lory is endemic species to the islands of North Sulawesi, Indonesia, of which the population is confined to the island of Karakelang, Talaud Islands. The birds were difficult to detect in primary forests than in secondary forests and cash-crop areas, but its population was higher in primary forests than in the other two habitat types. A population estimate in primary forest was 118,955 birds, in secondary foest was 27,063 birds, and in cash-crop areas was 59,959 birds, while a total estimate in all habitats types was 159,505 birds. M ost of the main tree species used as roosting trees are Pometia sp., and only one other tree species used for roosting, i.e. Duabanga moluccana. A large number of birds always roost at all observed sites, with an average of 251 birds, and only one tree was usually used as roosting tree in the site. M ost of the threes used for roosting were found tobe emerging ndividuals amongst other in the vicinity. The canopy cover of the roosting site areas was surprisingly diversed with three storeys of canopy cover. The upper canopy was found tobe significantly less than the middle and lower canopies, and there was no significant difference between the middle and lower canopies. A diversed canopy in the roosting site was evidently stemmed from a diversed number of trees standing on the site. During the period of August to December 2004, a total of 295 Red-and-blue Lories were taken out of Karakelang Island, and 245 of which were illegally transported to the Philippines, while a total of 41 birds were taken to M anado. Internal trade also occurred in a large number with a total of 140 lories, where places with large number of birds were all the points of exit from Karakelang.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 93 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Fragmentasi hutan di Lampung, Sumatera vs Burung Rangkong: Mampukah burung rangkong bertahan hidup? Y. HADIPRAKARSA DAN NURUL L. WINARNI Wildlife Conservation Society - Indonesia Program T el. 0251-342135,321527 Email.
[email protected]
Summary. Wildlife conservation researches currently focus on intact natural forest areas. However, even fragmented forest landscapes are thought to maintain significant habitat for the long-term persistence of large forest frugivores such as hornbills. We conducted surveys in 18 natural forest patch remnants in Lampung Province, Sumatra during January to August 2003, and examined the (1) characteristics of the fragmented forest landscape, (2) hornbill distribution and abundance in fragmented habitats, (3) availability of figs as hornbill primary food and nesting trees on remained forest fragments, (4) the response of hornbills to forest fragmentation. A total of 60 forest patches were mapped in Lampung Province, ranging from 93.5-146.498 ha (Average = 7336 ha, SD = 23.588), mostly located in lowland areas (0-500 m asl). Nine hornbill species were recorded during the survey with at least one species recorded at each forest patch. Large body-size and wide-ranging hornbill species were found at most forest patches, except Helmeted hornbill (B. vigil) and Great-pied hornbill (B. bicornis). Stepwise multiple regression analyses showed that there was no correlation between each forest patch with fig trees density, canopy openness, natural and human disturbance and availability of potential nesting trees. The number of hornbill species was positively correlated with forest patch size. Smaller-bodied, territorial hornbills were sensitive to degree of isolation, but patch size did not have a significant effect on their population density. The density of non-territorial hornbills was significantly lower in smaller forest patches, but was not affected by degree of isolation. Thus, if each forest patch was considered independently, fragmentation places impact on hornbill distribution and density. Nevertheless, with a concerted management effort, hornbills have a better future when all natural forest patches are considered as continuous habitat in fragmented landscape. Keywords: hornbills, Lampung, fragmentation,population, density and distribution
Pendahuluan Fragmentasi habitat hutan merupakan salah satu dampak nyata rusaknya kawasan hutan yang umum ditemukan dari kehadiran manusia (Laurance, 1999; Gascon et al. 1999), mengakibatkan hilangnya banyak species flora (Laurance et al. 1999) dan fauna (Bierregard and Dale, 1996; Restrepo et al. 1997; Lynam, 1997; Robinson, 1998). Di daerah hutan hujan tropis, laju hilangnya species flora dan fauna sangat tinggi (Wilcove et al., 1986). Di sisi lain, fragmentasi juga memberikan dampak terhadap ketersediaan sumberdaya dalam menentukan persebaran dan kepadatan species dalam lansekap terfragmentasi (Blake & Loiselle 1991; Sinclair & Norton-Griffiths 1995; Bierregaard et al. 2001; Laurance & Vasconcelos, 2004). 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 94 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Saat ini Indonesia merupakan negara yang mengalami kehilangan hutan tropis tercepat di dunia dan hampir setengah dari luas hutannya sudah terfragmentasi (GFW/FWI, 2001). Di bandingkan pulau lainnya di Indonesia, laju hilangnya hutan di pulau Sumatra merupakan yang tertinggi. Jika kecenderungan ini tidak mengalami perubahan, Holmes et al. (2002) memperkirakan hutan dataran rendah dan pegunungan di pulau Sumatra akan hilang dalam kurun waktu 2005-2010. Dari 54 jenis burung rangkong di dunia, 13 jenis burung rangkong dapat ditemukan di Indonesia (Kemp, 1995), tiga jenis diantaranya bersifat endemik, yaitu: Julang Sulawesi (Aceros. cassidix), Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus) dan Rangkong Sumba (Aceros everetti). Hal tersebut menjadikan Indonesia merupakan negara terpenting di Asia untuk konservasi burung rangkong (O’Brien et al. 1998). M eskipun tidak terdapat jenis burung rangkong endemik, pulau Sumatra merupakan pulau terkaya akan keragaman burung rangkong dengan 9 jenis yang terdapat di dalamnya. Di dukung dengan ukuran tubuh yang besar serta kemampuannya untuk terbang jarak jauh (Tsuji et al. 1987; Suryadi et al. 1998), burung rangkong menempati peringkat teratas sebagai pemakan buah (frugivore) dalam keluarga burung. Selain itu, burung rangkong terbukti efektif dalam menyebarkan biji (Leighton & Leighton, 1984, Kinnaird et al. 1998; Holbrook & Smith, 2000). Secara umum, semua jenis burung rangkong bergantung pada habitat hutan primer, memiliki kecenderungan hidup di tajuk pohon, dan sangat tergantung dengan buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Kemp 1995). Peningkatan laju kerusakan hutan secara cepat di Indonesia, yang umumnya disebabkan penebangan liar, perubahan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, perluasan daerah persawahan dan kebakaran hutan, cenderung memojokkan masa depan burung rangkong menuju kepunahan lokal. Dengan menggunakan kombinasi pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan survai burung rangkong beserta ketersediaan sumber dayanya, kami mencoba mengkaji dampak fragmentasi hutan terhadap kepadatan dan persebaran burung rangkong. Berdasarkan O’Brien et al. (1998) dan Sitompul et al. (in press), burung rangkong mungkin dapat bertahan dalam kawasan hutan terfragment, dan berukuran kecil tetapi kemampuan ini sangat beragam untuk setiap jenisnya, tergantung dengan kebutuhan habitatnya, susunan petak hutan dalam lansekap dan kemampuannya dalam memencarkan biji. Dengan pendekatan kemampuan jarak tempuh perhari untuk jenis Julang Sulawesi, yaitu berkisar antara 1,75 – 15,7 km (Suryadi et al. 1998), dapat diperkirakan burung rangkong yang berukuran relatif sama, akan mampu memanfaatkan sumber daya di petak-petak hutan dalam lansekap terfragmentasi. Sebaliknya untuk rangkong berukuran kecil dan umumnya bersifat teritorial, tingkat keterisolasian petak hutan menjadi penting, mengingat kelompok jenis ini hidup berkelompok.
Metode penelitian Kondisi tutupan hutan dan penentuan lokasi survai Dalam menelaah kondisi hutan sebagai habitat burung rangkong serta laju hilangnya kawasan berhutan di Provinsi Lampung dilakukan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan citra satelit Landsat MM S tahun 1980-1985 dan citra satelit Landsat Thematic Mapper 7 pada tahun 2000. Citra di interpretasikan menggunakan perangkat lunak ERDAS IM AGINE 6.5™ yang kemudian dikoreksi secara manual. Selanjutnya kami mengidentifikasi tutupan hutan dan non hutan, perubahan tutupan hutan, serta derajat fragmentasi (jumlah, jarak dengan tetangga di antara petak-petak 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 95 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
hutan serta jarak ke daerah sumber). Analisis perubahan tutupan hutan dibedakan antara di dalam kawasan dengan di luar kawasan taman nasional. Perubahan tutupan hutan dihitung berdasarkan tipe hutan berdasarkan ketinggian, dengan pengelompokan sebagai berikut:
Hutan dataran rendah (Lowland forest), 0 – 500 m dpl Hutan perbukitan (Hill forest), 500 – 1000 m dpl Hutan pegunungan bawah (Lower montane forest), 1000 – 1500 m dpl Hutan pegunungan (Montane forest), > 1500 m dpl
Petak-petak hutan dari survai tahun 2000 ditelaah dengan menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) untuk mengelompokkan petak-petak hutan berdasarkan ukuran, jarak dengan tetangga terdekat serta jarak ke kawasan sumber.
Kepadatan dan distribusi rangkong Survai dilakukan pada bulan Januari-Agustus 2003 di petak-petak hutan yang tersebar di Provinsi Lampung dan satu lokasi terletak di Provinsi Bengkulu. M etode transek garis/line transect (Buckland et al. 2001) digunakan untuk menghitung kepadatan burung rangkong. Jumlah dan panjang transek yang disurvai bervariasi secara proporsional berdasarkan kategori hutan hasil perhitungan analisis PCA. Transek dijalani pada pagi hari (0600-1000) dan sore hari (1300-1700), dengan waktu survai minimal selama dua hari dengan dua kali pengulangan setiap transek di setiap petak hutan. Setiap perjumpaan dengan burung rangkong, dicatat waktu perjumpaan, jenis perjumpaan pertama kali (lihat atau dengar), jenis burung rangkong, jumlah individu, perkiraan umur dan jenis kelamin (jika memungkinkan). Selain itu juga dicatat sudut dan jarak objek dari pengamat dicatat untuk menghitung jarak tegak lurus objek ke garis transek (perpendicular distance). M engingat tingkat kesulitan medan yang bervariasi untuk membuat transek garis yang lurus, juga dicatat sudut garis transek untuk menghindari bias dalam perhitungan sudut perpendicular. Persebaran dan kekayaan jenis burung rangkong di setiap petak hutan diperiksa dengan cara mengkombinasikan data yang dikumpulkan di atas dengan data ad-libitum dalam survai ditambah dengan data dari survai kera kecil yang di lakukan secara bersamaan. Kami menggunakan perangkat lunak DISTANCE 4.0 (Buckland et al. 2001) untuk mengestimasi kepadatan di setiap petak hutan.
Kesesuaian hab itat dan ketersediaan sumb erdaya Dengan menggunakan transek yang sama, di setiap rentang 200 meter dan dengan perimeter 15 meter di setiap sisi garis transek, kami mencatat gangguan terhadap habitat berdasarkan jumlah bekas potongan di pohon akibat manusia dan melihat bukaan tajuk pohon. Kemudian, kami juga menghitung pohon semi-ephyfite ficus (Ficus spp)berusia produktif. Akhirnya, untuk melihat potensi ketersedian pohon sarang, kami melakukan penghitungan pohon dengan diameter setimnhhi dada (dbh) di atas 65 cm (Kinnaird and O’Brien 1999, data tidak dipublikasikan). Dampak fragmentasi hutan terhadap burung rangkong Berdasarkan data hasil survey dilapangan, dilakukan analisis statistik untuk melihat pengaruh fragmentasi terhadap komunitas burung rangkong, dengan membandingkan karakter masing-masing petak hutan, seperti luas petak hutan, derajat keterisolasian dengan kepadatan, persebaraan rangkong, kesesuaian habitat, dan ketersediaan 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 96 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
sumberdaya. M elihat kemampuan jarak tempuh perhari untuk jenis Julang Sulawesi (Suryadi et al. 1998), kami akan melakukan analisis SIG untuk mengkaji hubungan antara petak hutan bagi perspektif burung rangkong.
Hasil Kondisi tutupan hutan dan penentuan lokasi survai Berdasarkan analisis GIS yang kami lakukan, pada tahun 1980-an, secara keseluruhan teridentifikasi 30 petak hutan dengan berbagai tipe hutan berada di Provinsi Lampung dan sebagian kecil di Provinsi Bengkulu, dengan cakupan luas berkisar antara 453 – 765,186 ha (rerata = 48,064.3, SD=142,808). Namun pada tahun 2002, sebanyak 42.5% diantaranya hilang (Gambar 2), dengan laju hilangnya per tahun antara 14,8 - 19,1 hektar. Fragmentasi hutan pun meningkat, menghasilkan konstelasi menjadi 60 petak hutan dengan luasan antara 93.5 - 146,5ha. Beberapa petak hutan yang masih ada pada tahun 1980an telah hilang pada tahun 2002 (Gambar 3). Jika dianalisis lebih mendalam dengan membandingkan antara laju hilangnya hutan di dalam dan di luar kawasan taman nasional, kawasan hutan di luar kawasan taman nasional dalam kurun waktu tersebut ternyata lebih cepat mengalami deforestasi. Hasil analisis kami menunjukkan bahwa rata-rata 14 – 18 ha kawasan hutan telah hilang per tahun, dengan kata lain 94% deforestasi di provinsi Lampung terjadi di luar kawasan taman nasional dan hampir semuanya terjadi di hutan dataran rendah (93%). Berbeda dengan di dalam taman nasional, sebanyak 71% deforestasi banyak terjadi di kawasan hutan perbukitan (Tabel 2). Analisis komponen utama (Principal Component Analysis) terhadap karakter petakpetak hutan tahun 2000, menghasilkan pengelompokan petak hutan menjadi empat ukuran yang berbeda, yaitu: kecil = < 10 km2, sedang = > 10 -50 km2, besar = > 50 km2 dengan masing-masing dipertimbangkan dekat atau jauh dari kawasan sumber dan jarak beserta jumlah petak hutan tetangga, serta sumber. Dari hasil pengelompokan tersebut, kami melakukan survai pada 18 petak hutan yang mencakup setengah dari petak hutan yang ada dan TNBBS sebagai sumber. Pemilihan petak di pilih secara proporsional untuk masing-masing kategori luas dan tingkat keterisolasian. Hampir 90% petak hutan yang tersisa di tahun 2000 merupakan kawasan lindung tetap dan terbatas, mulai dari hutan lindung sampai kawasan taman nasional. Hanya satu petak hutan yang berstatus hutan produksi terbatas (Tabel 3).
Seb aran Sejumlah 55 survey transek dibuat dalam kurun waktu pengamatan dalam 18 petak hutan. Total jarak survai yang telah dilalui untuk setiap transek beragam di sesuaikan kategori analisis PCA(Tabel 4). Seluruh sembilan jenis burung rangkong Sumatera teramati selama survai, dan minimal satu spesies teramati di setiap petak hutan (Tabel 5). Di bagian selatan TNBBS (1495 km2) ditemukan 7 jenis burung rangkong dan merupakan lokasi tertinggi untuk kekayaan jenis rangkong. Sedangkan kekayaan jenis burung rangkong paling rendah terdapat di G. Seminung (8.17 km2). Secara keseluruhan, dari 366 burung rangkong yang teramati, 28% di antaranya teramati secara langsung dan 72% sisanya teramati secara tidak langsung melalui suara call maupun kepakan sayap. Dengan menggabungkan data transek garis dan data ad-libitum, semua jenis burung rangkong yang berukuran besar dan berdaya jelajah luas ditemukan hampir di semua 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 97 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
petak hutan, terkecuali Rangkong gading (Buceros vigil) dan Rangkong papan (Buceros bicornis). Julang emas (Aceros undulatus) dan Rangkong badak (Buceros rhinoceros) ditemukan dengan kisaran 89% – 98% dari seluruh petak hutan, sementara Enggang klihingan ( Anorrhinus galeritus) ditemukan di setengah dari petak hutan (56%). Rangkong gading hanya di temukan di 39% dari petak hutan. Untuk jenis Kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris), Kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), Enggang jambul (Aceros comatus) dan Julang dompet (Aceros corrugatus) hanya ditemukan sesekali selama survai dan hanya ditemukan di kawasan sumber (Tabel 5).
Kepadatan b urung rangkong Dua jenis rangkong yaitu Kangkareng perut-putih (A. albirostris) dan Kangkareng hitam (A. malayanus) tidak dimasukan kedalam perhitungan dengan DISTANCE karena kurangnya data. Untuk perkiraan kepadatan empat jenis yang umum ditemukan, yaitu : Rangkong badak, Julang emas, Rangkong gading dan Enggang klihingan kami melakukan pasca-stratifikasi (post-stratified) dengan menggabungkan semua data dalam DISTANCE terhadap data pengamatan. Perkiraan kepadatan untuk Enggang jambul mungkin memiliki sumber bias yang tinggi mengingat jenis ini hanya ditemukan di beberapa tempat dengan jumlah pengamatan yang sedikit. Untuk Julang dompet perkiraan kepadatan hanya dilakukan untuk Taman Nasional Way Kambas. Hasil analisis menunjukan perkiraan kepadatan burung rangkong bervariasi di berbagai petak hutan (Tabel 5). Kesesuaian hab itat dan ketersediaan sumb erdaya Kesesuaian habitat yang ditunjukkan dengan tingkat gangguan serta ketersediaan sumberdaya burung rangkong sangat bervariasi di setiap petak hutan. Walau demikian, uji statistik regresi berganda (stepwise multiple regression) menunjukkan bahwa di antara petak-petak hutan tersebut tidak ada hubungan antara kepadatan pohon ara, bukaan tajuk, tingkat gangguan secara alami maupun oleh manusia dan ketersediaan pohon sarang (P > 0.47). Dampak fragmentasi hutan terhadap komunitas burung rangkong Hasil uji regresi berganda (stepwise multiple regresion) dengan menggunakan variabelvariabel hasil survai menunjukkan bahwa jumlah jenis burung rangkong mengalami peningkatan signifikan seiring dengan semakin luasnya petak hutan (R2 =0.651, F2,15 = 12.803, P < 0.0001),sedangkan tingkat keterisolasian petak hutan menunjukan hubungan tidak signifikan (Gambar 5). M engingat ukuran contoh yang terlalu kecil untuk melihat dampak fragmentasi terhadap setiap jenis burung rangkong, kami mengkombinasikan kepadatan burung rangkong berdasarkan ukuran tubuh dan sifat teritorial. Lebih lanjut dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu, kelompok burung rangkong berukuran kecil dan bersifat teritorial (Enggang klihingan dan Enggang jambul) dan burung rangkong berukuran besar dan tidak bersifat teritorial (Rangkong badak, Rangkong gading, Rangkong papan, Julang emas, dan Julang dompet (Aceros corrugatus) Sesuai perkiraan, kelompok burung rangkong satu lebih peka terhadap tingkat fragmentasi dari petak hutan dibandingkan kelompok burung rangkong dua. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya kepadatan secara signifikan seiring dengan semakin besarnya tingkat keterisolasian terhadap petak hutan (R2 = 0.305, F2,15 = 3.281, P = 0.037), sedangkan ukuran petak hutan tidak berdampak terhadap kepadatannya. Sebaliknya untuk kelompok burung rangkong kedua, kepadatannya mengalami penurunan signifikan seiring berkurangnya ukuran petak hutan (R2 = 0.330, F2,15 = 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 98 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
3.696, P = 0.034), sedangkan tingkat keterisolasian tidak berpengaruh terhadap kepadatannya. M enggunakan pendekatan moderat, analisis SIG, dengan mengasumsikan burung rangkong berukuran besar dapat terbang maksimal sejauh 3-6 km, menunjukkan bagaimana sebuah kompleks hutan yang mengalami fragmentasi masih dapat berfungsi sebagai lansekap penting untuk burung rangkong dalam mencari sumberdaya.
Pembahasan Fragmentasi merupakan salah satu akibat yang umum gangguan habitat dalam ekosistem hutan (Laurance & Bierregaard, 1997). Berbeda dengan daerah lainnya, berkurangnya kawasan hutan secara dramatis di Provinsi Lampung di mulai sejak pemerintahan kolonial Belanda memulai program transmigrasi di awal abad 19 dengan mendatangkan buruh dari Jawa (Benoit , 1989) . M enurut FWI/GWI (2001), program transmigrasi banyak berdampak terhadap laju deforestasi di Indonesia. Berdasarkan Badan Statistik dan Informasi Departemen Kehutanan pada tahun 2002 (data tidak dipublikasikan), Provinsi Lampung menetapkan 779.645 ha kawasan hutan dijadikan kawasan lindung yang terdiri dari 462,030 hektar kawasan konservasi (Taman Nasional) dan 317,615 hektar berstatus Hutan Lindung dan taman hutan rakyat (TAHURA), walau demikian angka tersebut hanyalah luasan secara status di daratan, kenyataannya luas kawasan hutan sudah jauh berkurang. M eskipun sebagian besar status petak hutan merupakan kawasan Hutan Lindung, namun sepertinya pengelolaan kawasan tersebut tidak terlalu serius, sementara usaha konservasi kawasan hutan banyak di konsentrasikan di kawasan hutan yang terkenal, seperti kawasan Taman Nasional (Schelhas and Greenberg, 1996). Hasil survai kami menemukan bahwa semua petak hutan hutan di luar kawasan taman nasional mengalami ancaman yang cukup mengkhawatirkan, khususnya petak hutan berukuran kecil mengalami tekanan hebat berupa pembalakan hutan dan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian/perkebunan, khususnya kopi. Padahal, petak-petak hutan yang tersisa dengan berbagai ukuran berfungsi sebagai preservasi biologi bagi daerah tersebut (Kattan & Lopez 1996) dan menjaga ekosistem sekitarnya. Banyaknya hutan dataran rendah yang hilang dalam kurun waktu 1980-2000 di luar kawasan taman nasional mempunyai implikasi yang serius bagi komunitas burung rangkong juga satwa lainnya. Kondisi ini merupakan preseden buruk untuk masa depan kawasan hutan di Provinsi Lampung mengingat hutan dataran rendah mempunyai keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi dibandingkan tipe hutan lainnya (FWI/GWI 2001; Sujatnika et al. 1999), dan sebagai habitat utama burung Rangkong (Kinnaird et al. 1996). Jika situasi ini terus berlanjut, perkiraan kami, antara 2 – 3 tahun kedepan kawasan hutan dataran rendah di luar taman nasional di Provinsi Lampung akan hilang selamanya. Terpecahnya kawasan hutan menjadi petak-petak kecil terbukti berdampak terhadap sebaran dan kepadatan komunitas burung rangkong di Provinsi Lampung. Kondisi ini terjadi juga untuk Rangkong Sumba dan Kakatua cempaka (Kinnaird et al. 2003). Petak hutan yang berukuran besar relatif menyediakan sumber daya penting yang bisa dimanfaatkan oleh memenuhi kebutuhannya, tersedianya pohon ara sebagai makanan utama dan pohon sarang. Seiring dengan berkurangnya luasan petak hutan, ke tertarikan burung pemakan buah berukuran besar—burung rangkong untuk mengunjunginya menjadi berkurang, hal ini menyebabkan kerugian bagi komunitas pohon buah 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 99 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
(Sitompul et al. In press). M urcia (1996) mengemukakan petak hutan berukuran 50-500 hektar memiliki kecenderungan tidak dapat mendukung populasi pohon-pohon tropis. Shaffer (1981) beranggapan bahwa spesies satwa yang berukuran besar akan cepat punah dibandingkan dengan yang berukuran kecil, namun bagi burung rangkong berukuran tubuh besar terjadi sebaliknya, dengan kemampuan terbang di atas tajuk-tajuk pohon untuk mencari sumber daya yang tersebar di banyak petak-petak hutan dan menghindari daerah terganggu (Wong, 1985). Beberapa pengamatan menemukan beberapa jenis burung rangkong berukuran besar menunjukkan kemampuannya untuk terbang di antara petak hutan (Hadiprakarsa, per obs) dan bahkan diantara celah dua pulau (van Balen, pers comm). Suryadi et al. (1998), memberikan gambaran untuk Julang Sulawesimampu terbang sejauh 10.5 km dalam sehari, namun pencarian tersebut akan menghadapi kendala di saat petak-petak tersebut terlalu jauh untuk di jangkau. Namun lain halnya dengan burung rangkong berukuran kecil dan bersifat teritorial, berkurangnya ukuran petak-petak hutan akan berdampak terhadap daya dukung untuk menampung wilayah teritorialnya yang semakin sempit. Kawasan hutan yang terfragmentasi dan telah mengalami perubahan tata guna lahan, relatif sulit untuk dipulihkan menjadi hutan kembali, apalagi dengan melihat tingginya kebutuhan lahan oleh masyarakat Provinsi Lampung dan daerah lain di Indonesia. Alcorn (1996), mengemukakan restorasi kawasan terfragmentasi sangat rentan konflik dengan masyarakat sekitarnya. Beberapa pengamatan menunjukan, selain kawasan hutan primer, kawasan penyangga berupa daerah agroforestry, terbukti di manfaatkan oleh Rangkong papan dalam mencari pakan alternatif berupa binatang kecil (Hadiprakarsa, pers. obs.) Hasil analisis SIG, menunjukan petak-petak hutan di Provinsi Lampung masih terhubung satu sama lain. Sementara hanya beberapa kawasan hutan berukuran besar yang tersisa dan di kelola relatif dengan baik, sudah menjadi keharusan dalam pengelolaanya memasukan petak-petak hutan dan praktek tata guna lahan yang ramah konservasi—Agroforestry, di sekitarnya sebagai usaha konservasi bagi hidupan liar berdaya jelajah luas seperti, burung rangkong.
Daftar pustaka Alcorn, J. B. 1996. Forest use and ownership: patterns, issues and recommendation. Pages 223-257. dalam Schelhas, J. and R. Greenberg. 1996. Forest patches in tropical landscapes. Island Press, Washington Benoit, D. 1989. Migration and structures of population. dalam Transmigration and Spontaneous Migrations in Indonesia: Propinsi Lampung, ed. Pain, M.. Jakarta: ORST OM Departemen T ransmigrasi. pp. 125-91. Bierregard Jr., R.O. and V.H. Dale. 1996. Islands in an ever-ch anging sea: the ecological and socioeconomic dynamics o f Amazonian rain forest fragments. Pages 187-204. dalam Schelhas, J. and R. Greenb erg. 1996. Forest patches in tropical landscapes. Island Press, Washington. Bierregard Jr., R.O., C. Gascon, T.E. Lovejoy and R. Mesquita. 2001. The ecology of conservation of a fragmented forest: lessons from Amazonia. New Haven, CT: Yale University Press. Blake, J. G., and B. A. Loiselle. 1991. Variation in resource abundance affects capture rates o f birds in three lowland habitats in Costa Rica. Auk 108, 114-130. Buckland, S.T ., D.R., Anderson, K.P. Burnham, J.L. Laake, D.L., Borchers and L. T homas. 2001. Introduction to Distance Sampling: Estimating abundance of biological populations. Oxford University Press, Oxford, UK. FWI/GFW. 2001. T he State of the Forest: Indonesia. Forest Watch Indonesia, Bogor, Indonesia and
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 100 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Global Forest Watch, Washington, DC. Gascon, C., Lovejoy, T. E., Bierregaard Jr, R. O., Malcolm, J. R., Stouffer, P. C., Vasconcelos, H. L., Lauran ce, W.F., Zimmermand, B., T ocher, M., and Borger, S. 1999. Matrix habitat and species richness in tropical fo rest remnants. Biological Conservation 91(2-3), 223-229. Hadiprak arsa, Y. and M.F. Kinnaird. 2004. Foraging Characteristic o f an Assemblage o f Sumatran Hornbill Species. Bird Conservation International 14: S53-S62. Holmes, D.A. 2002. T he predicted extinction of lowland forest in Indonesia. dalam E. Wickramanayak e, E. Dinerstein, C.J. Loucks, D.M. Olson, J. Morrison, J. Lamoreux, M. McKnight, and P. Hedao, editors. Terrestrial ecoregions of the Indo-Pacific: a conservation assessment. Island Press, Washington, D.C. Hal 7-13. Holbrook, K. M., and T. B. Smith. 2000. Seed dispersal and movement patterns in two species of Ceratogymna hornbills in a West African tropical lowland forest. Oecologia 125:249-257. Kattan G.H., and Alvarez-López H. 1996. Preservation and management o f biodiversity in fragmented landscapes in the colombian Andes. In: Schelhas, J. & Greenberg, R. (eds.) Forest patches in tropical landscapes, pp 3–18 . Island Press, Washington, DC. Kemp, A. C. 1995. The hornbills. Oxford University Press, Oxford, UK. Kinnaird, M. F., T. G. O’Brien, and J. R. Sinclair. 1998. T he role of Sulawesi red-knobbed hornbills Aceros Cassidix in seed dispersal. Pages 1–336 in P. Poonswad, editor. The Asian hornbills: ecology and conservation. T hai Studies in Biodiversity, Bangkok, T hailand. Kinnaird, M.F. 1998. Evidence for effective seed dispersal by the Sulawesi Red-knobbed Hornbill, Aceros cassidix . Biotropica 30, 50-55. Kinnaird, M.F., and O’Brien, T.G. 1999. Breeding ecology of T he Sulawesi Red knobbed Hornbill, Rhyticeros cassidix. Ibis 141, 60-69. Kinnaird, M.F., T .G. O’Brien, and S. Suryadi. 1996. Population fluctuation in Sulawesi Red-knobbed Hornbills: tracking figs in space and time. Auk 113:431-440. Leighton, M., and D. R. Leighton. 1984. Vertebrat e responses to fruiting seasonality within a Bornean rain fo rest. Pages 181-196 dalam J. Proctor, S. L. Sutton, T. C. Whitmore, and A. C. Chadwick, editors. T ropical rainfo rest: ecology and management. Blackwell Scientifi c Publications. Lauran ce, W.F., 1999. Reflections on the tropical defo restation crisis. Biological Conservation 91, 109– 117. Lauran ce, W.F. and Bierregard, R.O. 1997. T ropical Forest Remnants: Ecology, management and conserv ation of fragmented communities. University of Chicago Press, Chicago, IL. Lauran ce, W.F., and H.L. Vasconcelos. 2004. Ecological effects of habitat fragmentation in the tropics. Pages 33-49. dalam G. Schrith, G.A.B. da Fonseca, C.A. Harvey, C. Gascon, H.L. Veconcelos, and A.N. Izac. , Editors. Agroforestry and biodiversity conservation in tropical landscapes. Island Press, Washington DC. Murcia, C. 1996. Forest fragment ation and the pollination of Neotropical plants. Pages 19 36 in J.Schelhas, R.Greenberg, editors. Forest patches in tropical landscapes. Island Press, Washington, D.C. Lynam, A. J. 1997. Rapid decline of small mammals diversity in monsoon evergreen forest fragments in T hailand. Pages 222-240. dalam W. F. Laurance and R. O. Bierregaard, Jr., editors. Tropical forest remnants: ecology, management, and conservation of fragmented communities. T he University of Chicago Press, Chicago. O’Brien, T. G., M. F. Kinnaird, P. Jepson, and I. Setiawan. 1998. Effect o f fo rest size and structure on the distribution of Sumba Wreathed Hornbills Aceros everetii. Pages 209-218 in P. Poonswaad, editor. T he Asian hornbill; ecology and conservation. T hai studies in biodiversity No.2: 1-336.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 101 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Robinson, S..K. 1998. Another threat posed by forest fragm entation: reduced food supply. Auk 115, 1-3 Schelhas, J. and Greenberg, R. 1996. Introduction: the value of forest patches. Pages . xv±xxxvi In: J. Schelhas and R. Greenberg, Editors. Forest Patches in Tropical Landscapes . Island Press, Washington DC. Shaffer, M. L. 1981. Minimum population sizes for species conservation. BioScience 31: 131–134. Sinclair, A. R. E., and M. Norton-Gri ffiths. 1995. Serengeti: Dynamics of an ecosystem. University of Chicago Press, Chicago, Illinois. Sitompul, A.F., M.F. Kinnaird, And T.G. O’Brien. Size Matters: The Effects Of Forest Fragmentation And Resource Availability On A Large Frugivore, The Endemic Sumba Island Hornbill. In press Suryadi, S., M. F. Kinnaird, and T.G. O’Brien. 1998. Home ranges and daily movements of the sulawesi red-knobb ed hornbill Aceros cassidix during the non-breeding season. Pages 159-170. In: P. Poonswaad, editor. The Asian hornbill; ecology and conservation. Thai studies in biodiversity 2,1-336. T suji, A., P. Poonswad And N. Jirawatkavi. 1987. Application of radio tracking to study ranging patterns of hornbills (Bucerotidae) in T hailand. Pages 316-351. dalam Breeding Birds in Captivity. Proceedings of the Delacourllnternational Foundation for the Conservation of Birds Symposium. North Hollywood, U.S.A. Wilcove, D.S., McLella, C.H. and Dobson, A.P. (1986) Habitat fragm entation in the temperate zone. In: M.E. Soulé, Editor. Conservation Biology. The Science of Scarcity and Diversity. Pages 237±56. Sunderland, Massachusetts: Sinauer Associates. Wildlife Conservation Society. 2003. Status and threats to Lesser Apes across the Southern Sumatran Landscap e. A report to Disney Conservation Fund, Bogor. Wong, M. 1985. Understorey birds as indicators of reg eneration in a patch of selectively logged West Malaysian rain forest. ICBP T echnical Publication 4: 249-263. World Bank, 2001. Indonesia: Environment and Natural Resource Management in the Time of Transition. Washington DC: World Bank.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 102 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sesi topik khusus
Melestarikan Burung Bersama Para Pemangku Kepentingan MAS NOERDJITO Bagian Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI
Abstrak Perubahan tata guna lahan telah menyebabkan berbagai jenis burung di Indonesia menjadi rawan punah. Beberapa jenis diantaranya bahkan benar-benar telah punah, seperti Trulek jawa Vanellus macropterus dan Jalak bali Leucopsar rothschildi. Beberapa kejadian juga menunjukan bahwa perubahan yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat ternyata memberikan hasil sebaliknya. Sebagai contoh pembuatan ribuan hektar monokultur tanaman industri justru menimbulkan ledakan populasi serangga hama yang menghancurkan hutan tanaman itu sendiri. Karena itu banyak pemangku kepentingan dan pengambil keputusan menyimpulkan perlunya menata ulang “arsitektur” lahan dan melakukan penghijauan dalam arti luas. Permasalahanya adalah menentukan jenis serta kerapatan tumbuhan yang diperlukan sehingga terbentuk suatu ekosistem yang seimbang, termasuk berfungsinya satwa penyerbuk, pengendali hama, pemencar biji, serta pemangsa puncak. Peluang ini perlu dimanfaatkan oleh Ornitolog untuk melakukan usaha pelestarian burung. Langkah yang harus dilakukan antara lain: membuat daftar jenis burung di Indonesia dan daerah sebarannya, pemantauan untuk mengetahui jenis burung yang telah menjadi langka pada wilayah administratif tertentu, inventarisasi tumbuhan yang berfungsi sebagai penyedia pakab dan persarangan bagi jenis burung sepanjang tahun, menemukan jenis yang berstatus keystone, sehingga bisa dimanfaatkansebagai bagian dari bahan “penghijauan”. Pengetahuan mengenai pakan serta mikroklimat persarangan sangat bermanfaat sebagai landasan penangkaran di dalam kandang. Hasil penangkaran tentunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan re-introduksi.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 103 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Pendidikan dan Penelitian Ornitologi di Institut Pertanian Bogor3 ANI MARDIASTUTI Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Abstrak Di Institut Pertanian Bogor (IPB), mata kuliah yang terkait dengan ornitologi dan konservasi burung diajarkan untuk mahasiswa S1 dan pascasarjana (S2, S3) pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE, Fakultas Kehutanan), Departemen Biologi (FM IPA) dan Departemen Ilmu Produksi Ternak (Fakultas Peternakan). Di Departemen KSHE, mata kuliah pilihan untuk mahasiswa S1 semester 7, “Biologi dan Konservasi Burung” telah diajarkan sejak tahun 1984, dengan kisaran jumlah mahasiswa 4-12 orang per semester. M ata kuliah untuk pascasarjana (pilihan) dimulai tahun 1984 dengan mahasiswa 1-4 orang per semester. Topik yang dipelajari adalah fungsi burung untuk manusia dan ekosistem, evolusi, keanekaragaman, klasifikasi, pengenalan spesies, anatomi dan fisiologi, aspek perkembangbiakan, migrasi, konservasi spesies dan habitat, upaya konservasi burung pada tingkat global dan nasional, serta metoda riset di lapangan. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dan staf pengajar IPB hingga kini berjumlah 181 judul, terdiri dari skripsi (135 judul), thesis (24 judul), disertasi (3 judul) dan riset non-gelar (29 judul). Beberapa riset tematik multi-years adalah mengenai biologi dan ekologi walet Collocalia, ekologi burung air di Pulau Rambut (khususnya Bangau bluwok Mycteria cinerea), dan biologi serta ekologi Beo nias Gracula religiosa (termasuk aspek penangkarannya). Topik lain yang sering diteliti adalah mengenai M erak hijau Pavo muticus dan keanekaragaman burung pada berbagai tipe habitat, aspek ekologi dan habitat, reproduksi, burung sebagai indikator pencemaran lingkungan, perdagangan, serta perilaku burung di penangkaran. Di Departemen KSHE staf pengajar dengan spesialisasi biologi dan konservasi burung berjumlah 3 orang (1 bergelar Doktor, 1 orang kandidat doktor dan 1 orang bergelar M Sc). M ahasiswa pengamat burung tergabung dalam Kelompok Pengamat Burung “Prenjak” yang memiliki anggota 20-30 orang.
Pendahuluan Di negara lain, khususnya di Amerika Serikat dan Eropa, mata kuliah ornitologi sudah merupakan mata kuliah yang diajarkan sejak lama, bersama-sama dengan ilmu-ilmu lain seperti Ichtyology (biologi ikan), Herpetology (biologi reptila dan amfibia), M ammalogy (biologi mamalia) dan Primatology (biologi primata). Di Indonesia ternyata tidak semua universitas menawarkan ornitologi kepada mahasiswanya. Pakar perburungan Indonesia memperoleh banyak pengetahuan pada saat melanjutkan kuliah di luar negeri dan atau secara otodidak. Ornitologi sebagai suatu mata kuliah telah diajarkan di Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak tahun 1984. Saat ini terdapat 2 mata kuliah yang terkait dengan perburungan, yaitu “Biologi dan Ekologi Burung” dan “Ornitologi”, keduanya tersedia untuk mahasiswa S1, 3 Catatan
Editor: Seirin g dengan perubahan kurikulu m yang terjadi di Institut Pertanian Bogor, mulai angkatan tahun 2005/2006 mata kulia h Ornitologi tidak lagi dia jarkan sebagai mata kulia h reguler.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 104 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
S2 dan S3. Biologi dan Ekologi Burung diasuh oleh Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE, dulu bernama Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan) yang berada di bawah Fakultas Kehutanan, sementara “Ornitologi” diasuh oleh Departemen Biologi, FM IPA, walaupun staf pengajarnya berasal dari Departemen KSHE. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkuliahan dan penelitian di Departemen KSHE yang memiliki staf pengajar dengan spesialisasi perburungan, sehingga merupakan ujung tombak perkuliahan dan penelitian ornitologi. Di Departemen Biologi kebetulan tidak ada staf pengajar/peneliti yang mengkhususkan diri pada burung.
Perkuliahan Kuliah Perkuliahan di IPB dilaksanakan selama 14 minggu (atau 16 minggu jika dihitung dengan ujian tengah semester dan ujuan akhir semester). M ata kuliah yang terkait dengan ornitologi, baik untuk S1 maupun untuk pascasarjana (S2 dan S3) merupakan mata kuliah pilihan (semester 6 untuk S1 dan semester bebas untuk pascasarjana). M ahasiswa umumnya memilih mata kuliah ini karena memang menyukai seluk beluk burung dan atau akan mengambil topik burung untuk penelitian dalam rangka mengambil gelar Sarjana (S1), M agister (S2) atau Doktor (S3). Sebetulnya mata kuliah yang diajarkan di Departemen KSDHE lebih tepat disebut dengan Ekologi dan Konservasi Burung karena 2 alasan: (a) Departemen ini menangani bidang konservasi, sehingga mata kuliah yang bertemakan konservasi akan lebih cocok, (b) sesuai dengan definisi, ‘ornitologi’ adalah ilmu mengenai biologi burung, sementara mata kuliah yang diajarkan lebih menekankan bagaimana cara mengkonservasi burung berdasarkan pengetahuan biologi dan ekologi burung. Topik yang dipelajari adalah fungsi burung untuk manusia dan ekosistem, evolusi, keanekaragaman, klasifikasi, pengenalan spesies, anatomi dan fisiologi, aspek perkembangbiakan, migrasi, konservasi spesies dan habitat, upaya konservasi burung pada tingkat global dan nasional, serta metoda riset di lapangan. Topik mingguan selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
Praktikum Praktikum mata kuliah Ornitologi di Departemen KSHE pada prinsipnya diarahkan agar mahasiswa dapat mengenali berbagai jenis burung pada beberapa tipe habitat yang berbeda. Praktikum ini dibimbing oleh staf pengajar dengan dibantu oleh beberapa orang asisten. M engingat bahwa topik praktikum adalah pengenalan burung pada habitatnya, maka praktikum ini dilakukan pada pagi hari (6.00-8.00WIB) sebelum perkuliahan secara normal dilakukan, bahkan kadang-kadang menggunakan hari libur bila lokasi praktikum relatif jauh dari Kampus IPB. Setelah diperkenalkan dengan peralatan dan tata cara melakukan pengamatan dan pengenalan burung, mahasiswa melakukan pengamatan dan pengenalan burung pada tipe habitat tepian kota/rural area (kampus IPB Darmaga), tipe habitat hutan kota (Kebun Raya Bogor), mangrove dan lahan basah (M uara Angke, Pulau Rambut), hutan dataran rendah (Cangkurawok/hutan CIFOR) dan hutan pegunungan (Cibodas/Taman Nasional Gede Pangrango atau Taman Nasional Gunung Halimun). Disamping dilaksanakan praktikum pada berbagai tipe habitat, mahasiswa juga mengunjungi pasar burung untuk melakukan pengenalan terhadap spesies burung komersial (di pasar burung 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 105 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Bogor), serta pengenalan burung wilayah Wallacea dan Indonesia Timur (Taman M ini Indonesia Indah). Dahulu mahasiswa melakukan praktikum di Pasar Burung Pramuka (Jakarta) untuk mengenali jenis burung komersial, namun karena alasan keamanan kini mahasiswa tidak lagi melakukan praktikum di sana.
Buku Teks Buku teks utama yang dipakai untuk perkuliahan adalah Avian Ecology: An Evolutionary Approach (J. Faaborg), M anual of Ornithology: Avian Structure & Function (Noble S. Proctor & Patrick J. Lynch). Buku lain yang dipakai sebagai bahan acuan adalah The Life of Birds (Joel C. Welty), Teknik –Teknik Lapangan Survei Burung (C. Bibby dkk.), buku-buku terbitan BirdLife International – Indonesia Programme dan Wetland International – Indonesia Programme yang terkait dengan konservasi burung, termasuk M elestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pendekatan Daerah Burung Endemik (Sujatnika dkk.), Burung-Burung Terancam Punah di Indonesia (J. Shannaz dkk.), Saving Asia’s Threatened Birds: A Guide Government and Civil Society (Birdlife International), Burung Bangau, Pelatuk Besi dan Paruh Sendok di Indonesia (T. Sibuea dkk.). Sedangkan buku teks yang sering dipakai di universitas lain (luar negeri) namun tidak dimiliki oleh perpustakaan atau dosen pengajar adalah Ornithology (Frank B. Gill). Untuk mahasiswa pascasarjana, buku teks yang dipakai adalah The Ecology of Bird Communitis (John A. Wiens) dan ditambah dengan beberapa buku teks lain seperti Avian Ecology (C.M . Perrins dan T.R. Birkhead). Beberapa buku bacaan S1 juga dipakai untuk mahasiswa pascasarjana, tentu saja dengan analisa yang lebih mendalam. Tabe l 1 . Silabus mata kuliah Biologi dan Ekologi Burung yang diajarkan pada mahasiswa S1 pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Minggu ke 1
2
3
4, 5
6, 7 8
9, 10 11
Topik Pendahuluan Ruang lingkup, outline kuliah, penilaian, tugas-tugas, pengertian mengenai ornitologi, pengenalan pakar dan lembaga yang bergerak di bidang perburungan, fungsi burung untuk manusia Ev olusi Burung Nenek moy ang burung, Archaeopteryx lithographic a dan ciri-cirinya, perbedaan Archaeopteryx dan burung atau reptil, beberapa fosil burung y ang penting Adaptasi Burung untuk Spesialisasi Terbang Ev olusi terbang (teori arboreal dan cursorial), struktur tulang, bentuk tubuh secara umum, adaptasi terbang (adaptasi utama, adaptasi tambahan, aerodinamik a) Anatomi Burung Bagian-bagian tubuh burung, tipe dan fungsi bulu, pewarnaan bulu dan fungsiny a, molting, macam-macam bentuk paruh dan bentuk cakar, fungsi bagian tubuh lain, pola terbang Keanekaragaman Burung Klasifikasi taksonomi, Klasifikasi ekologi, Sis tem klasifikasi burung y ang dipakai, pembagian ordo burung di dunia, pengenalan terhadap ordo dan famili y ang penting Keanekaragaman Burung Indonesia Ciri-ciri dan pengenalan terhadap burung Indonesia barat, timur dan wilay ah Wallacea Perilaku Burung Perilaku secara umum, perilaku sosial, perilaku bersuara, perilaku berpasangan, migrasi Perilaku Berbiak Telur dan peneluran, inkubasi, sarang dan tipe-tipe sarang, parasit anakan (brood
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 106 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
12 13
14
parasitisme), perilaku pembesaran anakan Teknik Inv entarisasi Burung Metode IPA, metode transek, metode pemetaan teritori, metode daftar spesies, metode look-see, metode lain Birdw atching dan Penelitian Burung Teknik pengamatan burung, pengatamatan terhadap habitat burung Konserv asi Burung Mengapa perlu diadakan konserv asi burung, status burung Indonesia, burung terancam punah, IBA dan EBA, upaya konserv asi yang telah dilakukan
Jumlah Mahasiswa M engingat bahwa mata kuliah Biologi dan Ekologi Burung merupakan mata kuliah pilihan, maka jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini terbatas. M ahasiswa S1 pada Departemen KSHE rata-rata berjumlah 60 orang per tahun dan mereka dapat mengambil mata kuliah pilihan Biologi dan Ekologi Burung ini pada semester 7 (dari 8 semester yang dijadwalkan untuk mengambil gelar Sarjana). Jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini setiap tahun bervariasi antara 4-12 orang. Dengan demikian, hingga tahun 2005 ini diperkirakan sejumlah 100 orang lulusan Sarjana pernah mengambil mata kuliah ini. Beberapa mahasiswa (baik yang mengambil mata kuliah Biologi dan Ekologi Burung maupun yang tidak mengambil mata kuliah tersebut) dapat menggabungkan diri dalam Kelompok Pengamat Burung “Prenjak”. Keanggotaan dan keaktifan “Prenjak” sangat bervariasi setiap tahun. Jumlah anggota “Prenjak” kira-kira 20-30 orang. Untuk mahasiswa pascasarjana, jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini tentu lebih sedikit, yaitu antara 1-4 orang per semester dan dapat diambil pada semester kapan saja (dari 4 semester yang dijadwalkan untuk mengambil gelar M agister dan 8 semester untuk mengambil gelar Doktor). Sampai saat ini, hingga tahun 2005 diperkirakan sejumlah 25 orang lulusan pascasarjana pernah mengambil mata kuliah ini.
Staf pengajar Staf pengajar (dosen) yang memiliki spesialisasi biologi/konservasi burung di Departemen KSHE berjumlah 3 orang (1 orang memperoleh gelar PhD pada tahun 1992 dari M ichigan State University, Amerika Serikat; 1 orang akan segera memperoleh gelar PhD dari Charles Darwin University, Darwin, Australia; 1 orang memperoleh gelar M ScF pada tahun 1995 dari Gottingen University, Jerman). Ketiga staf pengajar tersebut sebetulnya memiliki latar belakang S1 dalam bidang kehutanan dan selanjutnya memilih ornitologi sebagai bidang spesialisasi untuk gelar yang lebih tinggi. Jumlah staf pengajar dan kepakarannya telah dianggap cukup untuk menyelenggararan perkuliahan dan pembimbingan dalam bidang ornitologi. Sering pula staf pengajar tersebut ‘dipinjam’ oleh universitas lain (misalnya Universitas Indonesia) untuk membimbing mahasiswa S1 dan pascasarjana, atau bertindak selaku penguji luar bagi mahasiswa pascasarjana. Staf pengajar bersama-sama mengelola mata kuliah, atau dengan kata lain mata kuliah ornitologi diajarkan oleh ketiga dosen tersebut secara bergiliran. Sistem ini sangat membantu kelancaran perkuliahan. Jika salah satu staf pengajar tiba-tiba tidak dapat memberikan kuliah, staf pengajar lain dapat menggantikan mengajar. Untuk melakukan penelitian S1, mahasiswa dibimbing oleh 2 orang dosen pembimbing, sementara untuk penelitian S2 biasanya jumlah pembimbing (bergelar M agister atau Doktor) adalah 2-3 orang. Sedangkan untuk S3 jumlah pembimbing bergelar doktor minimal 3 orang 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 107 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
(biasanya 4 orang), salah satunya harus sudah memiliki gelar profesor. Pembimbing utama harus berasal dari departemen yang bersangkutan dan pembimbing lain dapat berasal dari departemen, fakultas atau universitas lain.
Penelitian Jumlah Penelitian Dari skipsi, thesis, disertasi dan laporan yang terdapat di berbagai perpustakaan di IPB diketahui bahwa jumlah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dan staf pengajar IPB (1984-2005) berjumlah 181 judul, terdiri dari skripsi (135 judul), thesis (24 judul), disertasi (3 judul) dan riset non-gelar (29 judul) atau sebanyak rata-rata 8,5 judul per tahun. Tahun dengan jumlah penelitian burung terbanyak terjadi pada 1997 yang mencapai 22 judul. Selain dilakukan oleh staf pengajar dan mahasiswa di Departemen KSHE dan Departemen Biologi, beberapa penelitian juga dilakukan oleh departemen lain di IPB, yaitu Departemen Budidaya Pertanian dan Departemen Sosial Ekonomi Pertanian (Fakultas Pertanian), Departemen Anatomi (Fakultas Kedokteran Hewan), Departemen Ilmu Produksi Ternak dan Departemen Sosial, Ekonomi dan Industri Peternakan (Fakultas Peternakan), Departemen Teknologi Pangan dan Gizi (Fakultas Teknologi Pertanian), Departemen Biologi (Fakultas M atematika dan Ilmu Pengetahuan Alam).
Topik Penelitian Penelitian yang selama ini (1984-2005) dilakukan oleh para mahasiswa dan staf pengajar di IPB sangat bervariasi, baik dalam hal wilayah geografis, pemilihan spesies, pemilihan topik, maupun rentang waktu pelaksanaan penelitian. Dalam hal wilayah geografis, penelitian pernah di dilakukan pada 7 wilayah biogeografi Indonesia, walaupun lokasi terbanyak yang dipilih adalah Bogor-Jakarta. Jika dipilah berdasarkan tipe habitat, tampak bahwa penelitian yang belum pernah dilaksanakan adalah mengenai burung laut. Penelitian dapat berlangsung secara singkat (1 bulan) hingga jangka panjang (3 tahun). Penelitian untuk S1 umumnya berlangsung antara 1-3 bulan, untuk S2 selama 3 bulan -1 tahun dan untuk S3 dapat berlangsung selama 6 bulan – 3 tahun. Topik kajian yang dipilih oleh para peneliti cukup bervariasi (Gambar 1). Ekologi dan konservasi, analisa habitat dan kajian keanekaragaman burung mendominasi topik untuk skripsi S1. Jika dilihat berdasarkan spesies, maka walet Collocalia spp., Bangau bluwok Mycteria cinerea, Beo nias Gracula religiosa dan M erak hijau Pavo muticus merupakan spesies yang paling sering diteliti. Beberapa topik penelitian telah memadukan ornitologi dengan bidang lain, misalnya dengan bidang kualitas lingkungan (misal kandungan DDT pada burung air), bidang sosial-ekonomi (misal menghitung biaya dan keuntungan dari budidaya walet), serta dengan teknologi Geographical Information System (misal mengidentifikasi habitat dalam skala geografis luas yang sesuai dengan jenis/kelompok burung tertentu). Kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan penelitian telah pula dilaksanakan, misalnya dengan Balitbang Biologi LIPI, Taman Burung Taman M ini Indonesia Indah, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Balai Taman Nasional (Departemen Kehutanan) pada berbagai lokasi, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, maupun dengan perorangan.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 108 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sumber Dana Penelitian Penelitian jangka pendek yang dilaksanakan untuk mengambil gelar S1 kebanyakan didanai oleh mahasiswa yang bersangkutan. Itu sebabnya penelitian banyak yang dilakukan di sekitar Bogor (termasuk Jakarta dan sekitarnya) atau di dekat tempat tinggal (orangtua) mahasiswa. Beberapa tahun yang lalu Fakultas Kehutanan pernah memberikan bantuan dana untuk penelitian. Sayangnya program ini tidak dapat berlangsung lama karena adanya kesulitan dana yang dihadapi universitas.
P e rila ku di pe na ngka ra n, 9 Bio logi da n Mo rfologi, 9
Re pro duks i, 13
R epro duks i, 5
P e rda ga nga n dan produk burung, 7 Wis ata da n e ko turis m e, 2
Wis ata dan e koturis me, 1 Keanek aragaman jenis burung, 6
Ge ne tika , 1 La in-la in, 6 Eko logi da n ko nse rva s i, 29
Lain-lain, 1
Bio lo gi dan Mo rfolog i, 4 Kea ne ka ra ga m a n je nis burung, 16
Ke lim pa ha n da n popula s i, 8
Upa ya pe na ngka ra n, 5
Burung da n pe nc e m a ra n, 5
Ha bitat, 25
A
Burung dan pence ma ra n, 1
P erdaga ngan dan produ k burung, 1
Upaya penangka ran , 1 Eko lo gi d an k ons erv as i, 7
B
Gambar 1 . Jumlah judul penelitian S1 (A, n=135) dan pascasarjana (B, n=27) yang dilakukan di Institut Pertanian Bogor berdasarkan topik kajian, 1984-2005.
Sumber pendanaan yang lain adalah dari lembaga/perusahaan di mana penelitian tersebut dilaksanakan, misalnya dari European Union, LIPI, RAPP (Riau Andalan Pulp & Paper) dan Unocal Geothermal (Gunung Salak/Halimun). Selain itu, beberapa mahasiswa telah berhasil mendapatkan hibah kompetisi dari sponsor internasional, misalnya BP (British Petroleum) Award. Alternatif lain untuk mendanai penelitian adalah dengan turut serta melakukan penelitian bersama staf pengajar yang memiliki sumber dana. Keberadaan dan kelanggengan penelitian burung dalam jangka pajang (multi-years) yang tidak untuk mengambil gelar tertentu ternyata juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dana. Penelitian mengenai walet Collocalia spp. selama 3 tahun (1999-2002), misalnya, dapat terlaksana karena adanya dana kompetitif dari Riset Unggulan Terpadu IX, demikian pula dengan penelitian mengenai Beo nias Gracula religiosa dengan sumber pendanaan yang sama. Penelitian lain yang juga berjangka panjang adalah mengenai ekologi Bangau Bluwok Mycteria cinerea di Pulau Rambut (2001 hingga kini) yang memperoleh sumbangan dana dari Wildlife Trust, Amerika Serikat.
Kendala Dalam kegiatan perkuliahan, buku teks standar yang tersedia ditulis dalam bahasa Inggris, sehingga sebagian besar mahasiswa merasa kesulitan untuk memahaminya. Buku teks ini tersedia di perpustakaan. M ahasiswa dapat pula meminjam dari dosen pengajar untuk dibaca dan/atau difotokopi. Untuk praktikum, kendala yang dihadapi adalah terbatasnya alat (binokuler atau monokuler) dan buku panduan lapang untuk pengenalan burung. Biasanya mahasiswa meminjam peralatan dan buku panduan lapang dari Laboratorium Ekologi Satwaliar dan sesekali meminjam dari BirdLife Indonesia. 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 109 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Peralatan untuk pengamatan burung dapat dikatakan mahal untuk mahasiswa sehingga tidak semua mahasiswa dapat memiliki binokuler sendiri. Sementara itu, harga buku 4 “Panduan Pengenalan Burung Sumatera, Kalimantan dan dan Jawa” sebetulnya dapat terjangkau oleh mahasiswa, namun sayangnya buku panduan ini sudah tidak tersedia lagi karena pasokan habis. Riset dan praktikum dengan menggunakan jaring kabut (mist net) juga jarang dilakukan karena sulitnya memperoleh jaring kabut. Departemen KSHE memiliki beberapa jaring kabut yang merupakan hadiah dari rekan peneliti dari Jepang. Kendala lain yang dihadapi adalah sulitnya memperoleh cincin dan perlengkapannya (biasanya merupakan hadiah dari peneliti asing). Selain itu, sesungguhnya Indonesia masih belum punya sistem standardisasi dan sertifikasi untuk pencincinan burung ini. Kendala lain yang dirasakan dalam mengembangkan keilmuan ornitologi ini adalah terbatasnya jurnal ilmiah mengenai burung. Indonesia memiliki satu jurnal ilmiah berbahasa Inggris yang dikhususkan untuk burung, yakni “Kukila”. Jurnal internasional lain mengenai burung sangat sulit diperoleh, khususnya jurnal terbaru. Hal ini menjadi kendala utama bagi para peneliti/dosen yang berkeinginan untuk memasukkan naskah ke salah satu jurnal internasional sehingga jumlah naskah peneliti burung dari IPB yang dipublikasikan pada jurnal internasional untuk burung (misal Condor, Emu, Wilson Bulletin, Forktail, Waterbirds) berjumlah sangat sedikit.
Penutup Selama ini perkembangan ornitologi di Indonesia lebih banyak didominasi oleh orangorang asing. Salah satu misi yang diemban oleh Departemen yang mengasuh ornitologi di IPB adalah ‘mencetak’ lebih banyak ilmuwan perburungan Indonesia agar ilmu perburungan Indonesia dapat dikembangkan oleh ilmuwan Indonesia sendiri. M elalui informasi yang disampaikan dalam makalah ini diharapkan para ornitolog Indonesia dapat lebih memahami situasi, kondisi dan kendala yang dihadapi oleh IPB dan staf pengajarnya dalam memajukan keilmuan ornitologi. Saran, kritik dan bantuan berupa saran dan materi perkuliahan akan sangat dinantikan untuk kemajuan ilmu ini di IPB dan di Indonesia. Ucapan terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Insan Kurnia yang telah membantu mengumpulkan data dan informasi yang disajikan dalam makalah ini.
4 MacKinnon, J; K.
Phillipps & B. van Balen. 1998. Seri Panduan Lapangan; Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimanta n. BirdLife International-Indonesia Programme/Puslitbang Biolo gi LIPI. Cibinong.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 110 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Penangkaran Burung Ocehan Menuju Pemanfaatan Sumberdaya Burung Secara Lestari: Kasus Perhimpunan Burung Indonesia (PBI) MADE S. PRANA (Pelestari Burung Indonesia, Puslit Bioteknologi LIPI)
Abstrak Idealnya pelestarian sumberdaya hayati apapun, termasuk burung ocehan, yang terbaik adalah melakukannya secara in situ karena selain praktis, cara ini juga memberi peluang seluas-luasnya bagi jenis yang bersangkutan untuk melanjutkan proses evolusinya secara alami. Hal ini tentu juga menuntut dilakukannya pelestarian ekosistem sebagai suatu kesatuan di mana jenis yang bersngkutan merupakan salah satu komponennya. Sayang sekali kenyataan yang terlihat di lapangan, khususnya di Indonesia, kondisinya sudah sangat jauh dari ideal. Hampir keseluruhan kawasan hutan dan ekosistem mengalami rusak berat, tidak terkecuali kawasan yang secara formal telah ditetapkan sebagai hutan lindung atau kawasan konservasi. Proses ini tidak berhenti sampai di sini, melainkan terus berlanjut bahkan dengan intensitas dan ekstensitas yang semakin memprihatinkan. Kondisi ini semakin diperparah lagi oleh praktek eksploitasi sumberdaya burung (penangkapan/perburuan) yang dilakukan tanpa kendali dan secara berlebihan untuk berbagai keperluan, guna memenuhi pasar domestik maupun untuk ekspor. Situasi seperti itulah yang dialami oleh jenis-jenis burung ocehan, yang populasinya semakin menipis sementara habitatnya di alam terus menerus mengalami gangguan, terutama oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Dalam situasi seperti itu, mengandalkan ketangguhan teknik konservasi in situ semata-mata untuk mempertahankan populasi burung ocehan di alam sangatlah tidak realistis karena berbagai faktor pendukung nyatanya sudah tidak lagi ideal. Konservasi secara ex situ didukung dengan program penangkaran yang handal harus dikembangkan untuk mewujudkan konsep pemanfaatan sumberdaya, khususnya burung ocehan, secara lestari. Hal inilah yang sedang dirintis oleh Pelestari Burung Indonesia (PBI).
Pendahuluan Dengan jumlah kekayaan yang mencapai 1534 jenis burung (Andrew, 1992), Indonesia sebenarnya memiliki sekitar 17 % kekayaan sumberdaya burung dunia. Hal ini tentu tidak terlepas dari keanekaragaman ekosistem yang ada di Indonesia, letaknya yang strategis diantara dua benua, yaitu Asia dan Australia, serta kondisi geografisnya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil. Sungguh sangat disayangkan sebab selama lebih dari 30 tahun terakhir hutan sebagai habitat burung utama di Indonesia nyaris telah dibabat habis, baik secara legal maupun liar, tanpa kecuali kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau hutan lindung. Sementara itu, habitat burung lainnya juga tidak luput dari gangguan perusakan atau pencemaran yang berdampak sangat negatif terhadap kehidupan burung. Di pihak lain perburuan terhadap burung untuk berbagai keperluan, sebagai bahan 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 111 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
pangan atau kelangenan, guna memenuhi kebutuhan lokal ataupun untuk tujuan ekspor terus berlanjut, bahkan dengan kecepatan yang semakin memprihatinkan. Belum lagi dampak dari penggunaan berbagai bahan kimia di sektor pertanian, khususnya pestisida, yang terpaksa diterapkan demi menunjang keberhasilan revolusi hijau. Praktek yang sama juga terjadi di sektor lain, misalnya perkebunan. Akibatnya daftar jenis burung yang populasinya tererosi berat atau terancam punah, dan karena itu harus dilindungi, dari waktu ke waktu semakin panjang. Daftar panjang jenis burung yang dilindungi ini di satu sisi memperlihatkan kepada dunia betapa sadarnya bangsa ini terhadap pentingnya pelestarian burung sehingga memandang perlu untuk meningkatkan status burung tertentu menjadi jenis yang dilindungi, walaupun hanya sebatas formal. Namun di sisi lain, daftar yang terus bertumbuh itu sekaligus juga mencerminkan betapa tidak berdayanya Indonesia untuk menekan proses erosi populasi sumberdaya burung yang menjadi kebanggannya itu. Barangkali tidaklah terlalu berlebih seandainya dikatakan bahwa program konservasi di Indonesia pada umumnya dilaksanakan masih dengan setengah hati. Secara garis besar konservasi sumberdaya hayati, termasuk burung, dilaksanakan dengan dua cara, yaitu secara in situ yang berarti melestarikan di habitat aslinya dan ex situ yang berarti melestarikan jenis di luar habitat aslinya. Tidak ada yang bisa membantah bahwa konservasi secara in situ adalah yang paling ideal untuk dilakukan mengingat dengan cara itu proses evolusi, yaitu mutasi dan seleksi, masih tetap berjalan secara alami mengikuti perubahan lingkungan mikro mapun makro. Dalam bahasa ilmiah “alamlah” atau bahasa Agama “Tuhanlah” dan “bukan manusia” yang memilih dan menentukan genotip mana yang pantas untuk terus bertahan dan melanjutkan generasinya di dunia ini. Dalam situasi ideal seperti itu peran konservasi secara ex situ hampir tidak berarti untuk tidak dikatakan tidak diperlukan. Namun seperti diuraikan di atas, kondisi lingkungan sudah tidak lagi ideal. Hal ini terjadi terutama karena manusia sudah merubah posisi dan perannya. Dia tidak lagi memposisikan dirinya sebagai komponen ekosistem yang tunduk pada hukum menerima dan memberi (take and give), melainkan sudah keluar dari ekosistem dan berperan sebagi “pengendali”, dalam konotasi negatip, dari ekosistem itu sendiri. Sifat egois manusia telah mendorongnya menjadi raja diraja, mengeksploitasi alam sepuas-puasnya untuk kepentingan jenisnya, kepentingan segelintir orang atau bahkan sesosok individu, dengan resiko mengorbankan generasi berikutnya. Akibatnya peluang hidup berbagai jenis biota, termasuk burung ocehan, di alam benar-benar di ambang jurang kepunahan. M empertimbangkan situasi memprihatinkan seperti itu, kelompok konservasionis idealis sekalipun seyogyanya perlu memikirkan dukungan konservasi ex situ, meskipun bukan sebagai alternatif melainkan sebagai pelengkap (complement) dari pelestarian in situ. Hal itulah yang sejak beberapa tahun yang lalu (1998) dirintis oleh Pelestari Burung Indonesia (PBI) dengan fokus perhatian pada jenis-jenis burung lokal yang disertakan atau pernah disertakan dalam lomba/kontes.
Sekilas tentang PBI Tahun 1973 sekelompok penggemar burung kelangenan mendirikan suatu wadah organisasi bagi para penggemar burung yang mereka namakan Perhimpunan Burung Indonesia, atau disingkat PBI, the Indonesian Ornithological Society (IOS). Organisasi ini terus berkembang ke daerah-daerah terutama di Jawa dan Bali. Tanpa jelas siapa yang memulai dan kapan dimulai, arena kumpul iseng-iseng bersama sambil 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 112 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
memamerkan burung piaraan masing-masing, berubah menjadi arena lomba burung berhadiah. Tradisi baru ini diyakini bisa menjadi peluang bisnis baru, yaitu usaha penyelenggaraan lomba burung (event/contest organizer), yang akhirnya ditiru oleh kelompok-kelompok lain di luar PBI. Kontes ini menjadi semakin marak dan menarik, bahkan meluas sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Hadiah yang diberikan juga tidak sebatas trofi atau piala, melainkan sudah sampai ke mobil atau rumah atau bahkan uang tunai. Jenis burung yang dilombakan sangat beraneka ragam, nyaris asal bisa bunyi, terkadang sulit untuk diklasifikasikan sebagai burung ocehan atau berkicau, yang mencakup jenis asli (lihat lampiran 1) Indonesia maupun jenis-jenis pendatang/impor seperti love bird, poksay, canary, jalak hongkong, black throat dan sebagainya. Jumlah burung yang disertakan juga meningkat, bahkan bisa mencapai 2.000 ekor atau lebih dalam suatu kontes besar. Akibatnya berbagai jenis burung lokal mulai terindikasi mengalami proses pelangkaan yang serius karena kegiatan penangkapan semakin intensif dan meluas ke berbagai daerah/pulau. Upaya evaluasi yang dilakukan PBI terhadap situasi tahun 1998 menunjukkan adanya kenyataan-kenyataan sebagai berikut : 1. Lomba/kontes burung ocehan sudah berkembang menjadi suatu budaya yang sulit dihentikan. 2. PBI , terutama di daerah, sudah terlalu jauh terlibat dalam penyelenggaraan lomba burung 3. PBI secara kelembagaan belum tertata dengan baik, karena hanya memiliki Pengurus inti, Anggaran Dasar yang sederhana, tanpa memiliki Anggaran Rumah Tangga apalagi perangkat peraturan lainnya sebagaimana layaknya sebuah organisasi yang sehat. 4. Organisasi PBI secara realita sebenarnya lebih banyak menghimpun penggemar lomba burung daripada pencinta burung yang sesungguhnya. 5. Yang menggembirakan adalah bahwa cukup banyak anggota pengurus pusat dan daerah yang masih bisa diajak berbicara soal konservasi walaupun tindakannya sehari-hari sering bersebrangan. 6. Usaha sebagai “organizer” lomba burung mulai berkembang sebagai peluang baru usaha ekonomi yang menjanjikan. M enanggapi kenyataan seperti itu, PBI segera melakukan berbagai upaya pembenahan yang mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. M enyempurnakan Anggaran Dasar dan menyusun serta menetapkan Anggaran Rumah Tangga PBI. 2. M enyusun berbagai peraturan organisasi lainnya, termasuk peraturam lomba burung, untuk meningkatkan kualitas PBI sebagai suatu organisasi 3. M enetapkan pengurus baru yang dilengkapi dengan beberapa bidang penting seperti Bidang Pengendalian Lomba, dan Bidang Konservasi. 4. M engukuhkan legalitas PBI melalui Akte Notaris 5. M elakukan pembinaan pengurus dan konsolidasi organisasi. 6. M enetapkan lomba burung yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya burung secara lestari sebagai tekad PBI Upaya ini tentu harus dimulai dari dan oleh PBI sendiri. Untuk itu PBI menetapkan pengendalian lomba dan penangkaran sebagai pilar-pilar utama programnya.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 113 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Peran penangkaran Penangkaran dapat memberikan kontribusi nyata pada pelestarian minimal melalui dua cara. Pertama menyediakan pasokan (supply) burung untuk memenuhi kebutuhan para penggemar/peminat burung, baik local (domestik) maupun manca negara, sehingga mengurangi tekanan terhadap populasi burung di alam. Kedua, menyediakan burungburung yang sehat dan memiliki dasar genetik (genetic base) yang luas (beragam) serta berkualitas (terpilih) untuk dikembalikan lagi ke alam/habitat aslinya melalui program reintroduksi. Hal yang terakhir ini sudah pernah diwujudkan di Indonesia melalui program penyelamatan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Taman Nasional Bali Barat, meskipun hasilnya sangat mengecewakan. Sementara itu berbagai jenis burung Indonesia, termasuk burung paruh bengkok, kini sudah ditangkarkan secara berhasil di beberapa negara tetangga, seperti Thailand, Filipina dan Singapura dan hasilnya sudah diperdagangkan secara legal kemanca negara, terutama Amerika Serikat dan Eropa. Jalak Bali adalah salah satu contoh sukses negara luar, terutama Amerika Serikat dan Eropa, dalam menangkarkan jenis endemic Indonesia yang kini sudah nyaris punah di habitat aslinya. Contoh lain adalah jenis-jenis burung paruh bengkok (kasturi raja, kakatua M aluku, dan kakatua raja dll.) yang juga telah berhasil ditangkarkan secara komersial oleh penangkar profesional di Singapura. Sayangnya, karena berbagai kendala, keberhasilan serupa belum terlihat secara signifikan di Indonesia. Namun demikian, berbagai kisah keberhasilan di atas, telah mampu memberikan inspirasi dan optimisme bahwa asalkan ada kemauan kuat maka keberhasilan serupa juga bisa diraih oleh Indonesia. Berbekal keyakinan itu PBI mulai melakukan upaya serius untuk menggalakkan kegiatan penangkaran di kalangan para anggotanya. Langkah-langkah yang ditempuh untuk itu antara lain : 1. M elakukan pendekatan dengan beberapa penangkar burung perintis untuk memotivasi mereka agar berkarya lebih baik lagi 2. M endorong para penangkar sukses tersebut untuk mau menularkan ilmunya kepada calon-calon penangkar lain yang berminat. 3. M enyelenggarakan pelatihan dan loka karya bagi para penangkar dan calon penangkar dengan memposisikan penangkar sukses sebagai instruktur. 4. M emberikan penghargaan berupa sertifikat kepada para penangkar yang berhasil. 5. M enyediakan kredit bergulir (tanpa bunga) bagi penangkar yang memerlukan bantuan modal 6. M ewajibkan setiap pengurus cabang PBI untuk membina penangkar di daerah kerja masing-masing. Berkat kegigihan para pengurusnya, secara bertahap PBI mampu mendorong kegiatan penangkaran di berbagai daerah sehingga kini penangkaran sudah menjadi usaha ekonomi yang sangat menguntungkan. Jumlah penangkar yang semula bisa dihitung dengan jari terus berkembang secara pesat. Pada bulan Juli tahun 2004 yang lalu sejumlah 93 penangkar yang berhimpun di Yogyakarta atas undangan PBI telah mendeklarasikan terbentuknya Asosiasi Penangkar Burung Indonesia (APBI). M ereka sekaligus juga enyatakan berdiri di bawah panji-panji PBI. Pada saat penyelenggaraan loka karaya APBI kedua, tanggal 15 Januari 2005, jumlah anggota APBI telah mencapai lebih dari 250 orang. M ereka terdiri dari penangkar besar, menengah, dan kecil. Yang sangat menggembirakan adalah mereka semua hadir dengan antusiasme yang tinggi.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 114 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sejalan dengan itu jumlah jenis burung yang berhasil ditangkarkan juga bertambah, tidak terbatas pada burung ocehan tetapi juga jenis burung lainnya seperti jalak, merak dsb. M engikuti perkembangan penangkaran burung ocehan, ada beberapa fakta menarik yang perlu diungkapkan : 1. Hanya sebagian kecil saja di antara para pemain lomba burung yang berminat pada usaha penangkaran 2. Hampir seluruh penangkar yang berhasil, lebih mengandalkan pada semangat dan keuletan menangkar daripada karena latar belakang pendidikan. Di antara mereka memang ada yang bergelar sarjana namun dengan latar belakang pendidikan ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu tanah, pos, atau ilmu sosial lainnya yang jauh dari cakupan biologi. 3. Pelatihan oleh penangkar yang sukses, meskipun bukan sarjana, ternyata sangat efektif. Suasana akrab dan bahasa sederhana yang mereka pakai terbukti sangat komunikatif dan efektif untuk model pelatihan bagi para praktisi atau calon praktisi penangkar. 4. Cukup banyak teknologi terobosan yang telah mereka hasilkan, meskipun penjelasan teoritisnya mungkin masih harus dicari. Beberapa diantara teknologi terobosan dimaksud antara lain kemampuan untuk memaksa pasangan dadakan burung (murai batu) bisa kawin kilat sesuai keinginan pemilik, menitipkan telur cucak rawa pada burung lain (kenari, kutilang) untuk melanjutkan proses pengeraman), menetapkan jenis kelamin anak burung pada umur dini (pada anis kembang dll.), perawatan piyik dll. Hal yang terakhir ini (butir 4) jelas membutuhkan penjelasan ilmiah melalui berbagai penelitian ilmiah. Artinya, terbuka peluang bagi para ilmuwan, termasuk peneliti muda, untuk terlibat guna mencari jawaban atas fenomena tersebut sekaligus mengembangkan bakat dan kemampuannya.
Menciptakan lingkungan yang kondusif M endorong usaha penangkaran hanya dengan beragam upaya yang telah diuraikan di atas belumlah cukup. Hasil penangkaran yang berlimpah tidak dengan sendirinya mengakibatkan lomba burung berubah dari lomba hasil tangkapan menjadi lomba hasil penangkaran. Banyak upaya yang masih harus dilakukan oleh PBI untuk memuluskan jalan kea rah itu, antara lain: 1. M ewajibkan setiap daerah (propinsi) untuk menyelenggarakan lomba khusus hasil penangkaran (mega lomba) di samping jensi-jenis lomba lain 2. M ewajibkan setiap lomba bergengsi (lomba nasional dan lomba koalisi) untuk menyertakan burung hasil penangkaran. 3. M emberi keringanan biaya pendaftaran untuk burung hasil penangkaran 4. M emberikan hadiah khusus bagi burung pemenang hasil penangkaran (subsidi dari PBI pusat). 5. M emberikan pembinaan kepada para penangkar secara terus menerus (prioritas program kerja PBI sekarang) 6. M engurangi jumlah jenis burung lokal yang boleh dilombakan, kecuali kalau itu hasil penangkaran. 7. M elakukan pengawasan lomba secara ketat oleh tim khusus (Dewan Pengawas Lomba Burung Berkicau) dan menerapkan sanksi terhadap para pelanggar secara konsisten. 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 115 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
8. M enetapkan tahun 2010 sebagai tahun total lomba hasil penangkaran (belum diumumkan). Untuk mewujudkan keinginan lomba total hasil penangkaran tidaklah mudah mengingat masih banyak organizer lomba yang lain, diluar kendali PBI, yang memberikan berbagai insentif berlebih kepada para peserta lomba, misalnya hadiah yang tidak terbatas (termasuk berupa uang tunai), jenis burung yang dilombakan bebas, tidak ada kewajiban menyertakan hasil penangkaran, lomba burung tidak harus hari M inggu dsb. Namun demikian, dengan perpaduan antara upaya mendorong kegiatan penangkaran di satu pihak dan meningkatkan kepesertaan burung hasil penangkaran di pihak lain, lomba burung hasil penangkaran di lingkungan PBI yang pada tahun 1999 hanya diikuti tiga peserta, kini sudah berhasil menghadirkan puluhan burung hasil penangkaran sebagai peserta.
Tantangan ke depan Jalan perjuangan yang harus ditempuh PBI masih sangat panjang, termasuk meyakinkan organizer lainnya bahwa lomba burung hasil tangkapan yang selama ini masih bisa mereka nikmati, harus segera diakhiri. Hal lain yang diperlukan adalah membantu para penangkar untuk mendapatkan ijin usaha yang sah dari Pemerintah, dalam hal ini Ditjen PHKA. Hal ini penting agar mereka dapat menjalankan usahanya dengan perasaan tentram. Selain itu belum semua jenis burung ocehan yang dilombakan teknik penangkarannya sudah bisa dikuasai dengan baik. Anis merah adalah salah satu diantaranya yang masih sangat sulit untuk ditangkarkan. Laporan keberhasilan penangkaran jenis burung ini memang ada, namun sejauh ini keberhasilan itu belumdapat dikonfirmasikan. Kembali, hal ini membuka peluang bagi peneliti muda untuk tampil ke depan dan menjadikan masalah ini justru sebagai suatu tantangan. Terakhir, apabila kondisi sudah memungkinkan, lingkungan dan habitat burung sudah tertata baik, tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konservasi keanekaragaman hayati sudah tinggi, maka tibalah saatnya untuk melakukan program reintroduksi burung ocehan ke alam. Ucapan terima kasih Bantuan yang diberikan oleh Sdr. Ir. Endang Budi Utami, khususnya dalam pengecekan daftar jenis burung yang dilombakan sangat dihargai. Daftar pustaka Andrew, P. 1992. T he Birds of Indonesia: A Checklist (Peter’s sequence). Indonesian Ornithological Society, Jakarta, 83 hal. McKinnon, J., K.Phillips,a nd Bas van Balen. 1992. Bururng-burung Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor, 509 hal Sastrapradja, D.S., S.Adisoemarto, K. kartawinata, S. Sastrapradja, and M.A. Rifai. 1989. Kean ekaragaman Hay ati Untuk Kelangsungan Hidup bangsa, Puslitbang Bioteknologi LIPI, Bogor, 98 hal.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 116 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Lampiran 1 . Daftar jenis burung lokal yang tercatat pernah disertakan dalam lomba.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Nama ilmiah/Scientific names Pycnonotus zeylanicus Copsychus malabaricus Zoothera citrina Zoothera interpres Chloropsis sonnerati Copsyhus saularis Mirafra javanica Sturnus contra Prinia inornata Zosterops palpebrosus Padda oryzivora Saxicola caprata Pycnonotus aurigaster Lanius schach Rhipidura spp. Pycnonotus goiavier Passer montanus Taeniopygia spp. Lonchura spp. Prinia familiaris Psittacula alexandri Alophoixus bres Yornis rufigastra
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
Nama daerah/ Lokal names Cucak rawa Murai batu Anis/punglor merah Anis/punglor kembang Cucak hijau Kacer Branjangan Jalak suren Perenjak Kaca mata Gelatik Decu Kutilang Bentet/cendet Kipasan Cerucukan Gerej a Emprit/Pipit Bondol Ciblek/prenjak Jawa Betet Cucak jenggot Sikatan/tledekan
Nama umum/ Common names Straw –headed bulbul White-rumpede shama Orange-headed thrush Chesnut-capped thrush Great er green leafbird Magpie robin Australian lark Asian Pied starling Plain prinia Oriental white-ey e Java sparrow Pied buschat Sooty-headed bulbul Long-tailed shrike Flycatcher Yellow-vented bulbul Eurasian-tree sparrow Finch Munia Bar-winged prinia Read-breasted parakeet Grey-checked bulbul Mangrove blue-fly catcher
- 117 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sesi topik khusus (tambahan)
Pada sesi topik khusus pada seminar ornitologi ini dihadirkan juga pembicara yang membawakan topik yang relevan atau mendukung kegiatan pengembangan ornitologi di Indonesia. Ketiga pembicara tidak membawakan makalah tapi menyajikan slide show dan guided discussion, ketiga pembicara itu adalah: Yunus M asala (Bird Tour di Sulawesi); Richard Noske (Chief Editor Kukila, a journal of Indonesian Ornithology); dan Walter D. Van Sickle III, Presiden “IdeaWild” (Idea Wild adalah organisasi yang memberikan donasi berupa peralatan penelitian dan kegiatan konservasi keragaman hayati diseluruh dunia).
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 118 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Eksibisi poster
Jenis-jenis Burung di Taman Kota dan Jalur Hijau Kotamadya Padang JARULIS , ANAS SALSABILA & AMSIR BAKAR Andalas Wildlife Study Club, Lantai III, Laboratorium Hewan Jurusan Biologi Universitas Andalas, P.O. Box 093, Padang 25000. T elp: 0813 63302114, 0852 63004047. E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian tentang fauna burung di taman kota dan jalur hijau Kotamadya Padang telah dilakukan dari bulan Oktober 2000 sampai Januari 2001 dengan menggunakan metode M acKinnon. Dari penelitian ini tercatat 34 jenis burung yang termasuk ke dalam 27 genera, 18 famili dan sembilan ordo. Jenis-jenis yang paling sering ditemukan adalah Lonchura punctulata, L. striata, Passer montanus, Prinia familliaris dan Columba Livia. Berdasarkan analisis data diperkirakan jumlah jenis seluruhnya di taman kota dan jalur hijau Kotamadya Padang adalah 47 jenis. Tiga jenis diantaranya menggunakan taman kota dan jalur hijau untuk bersarang, dan tiga jenis untuk istirahat tidur. Tujuh jenis merupakan jenis burung yang dilindungi, dan enam jenis burung migran.
Estimasi Populasi Kepadatan Merak hijau (Pavo muticus) di Gunung Cikuray Garut, Jawa Barat ASEP KOSWARA Jl. Cempaka No. 74, RT 002/RW 024, Pd. Gede, Bekasi 17411 T elp. 081317263493. E-mail:
[email protected]
Abstrak Estimasi kepadatan populasi M erak hijau (Pavo muticus) di Pasi Kiara Cihurang PTPN VIII Perkebunan the Dayeuhmanggung Gunung Cikuray, Jawa Barat, telah dilaksanakan 8 hari dari tanggal 3 – 10 Oktober 2004. Penelitian menggunakan metode point count, line transect prependicular distance, serta metode triangle count. Hasil yang didapat 2 dari penelitian ini adalah: kepadatannya 0.624/km (dengan menggunakan metode point -3 2 count), 1.226.10 /km (dengan menggunakan metode line transect perpendicular distance) dan 0.32-0.37/km2 (dengan menggunakan metode triangle count). Selain itu, pohon yang digunakan sebagai pohon tidurnya adalah Pinus (Pinus merkusii), Saninten (Castanopsis argentea) and Renghas (Gluta renghas).
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 119 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
DNA Isolation from the Blood and Faeces of Streptopelia bitorquata Temminck FATHIAH, RINI PUSPITANINGRUM , PASKAL SUKANDAR Department Biology, Faculty Mathematic and Natural Sciences, State University of Jakarta
Abstract This research was conducted to get an optimal DNA isolation technique from the blood and faeces of Streptopelia bitorquata Temminck for the genetic data investigatio. The experiment was conducted in Augus 2004, at Biology Laboratory, FM IPA, State University of Jakarta. The Roche kit No Cat 1796828 was used to purify DNA sample from the blood and faeces. The result showed that the best sample incubations periods for blood sample was 10 minutes and 65 ml in volume with DNA purity band concentration value 1.057 and 1.010 mg/ml and the best incubation periods for faeces sample was 30 minutes and 65 ml volume with DNA purity and concentration value 1.463 and 630.
Burung Laut Bertabiat Migran ISMU SUTANTO SUWELO Yayasan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia (IWF) Jalan M. Batong Raya No. 3, Jakarta Selatan 12430 T elp. 021-7695650 – Email:
[email protected]
Abstrak Sekitar 152 spesies burung laut terdapat di Indonesia, 50% diantaranya adalah burung pantai. Beberapa jenis diantaranya bersifat migran dan masih kurang kita kenali jenis, populasi, habitat, tempat mencari makan serta tempat berbiaknya. Koloni burung laut tersebut, sering terlihat pada lokasi yang berhubungan dengan lokasi upwelling diperairan sebelah timur Indonesia. Bentuk ancaman yang dialami selain secara langsung juga berkurangnya habitat beristirahat dan berbiak. Walaupun kerjasama internasional melindungi burung migran telah dirumuskan dalam Convention on M igratory Species (CM S) di Bonn tahun 1979, namun sampai saat ini konversi tersebut belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 120 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Studi Awal Adaptasi Pakan Burung Kasturi merah (Eos bornea) di Kandang Penangkaran SRI PARYANTI Bidang Zoologi, P2B LIPI, Jalan Raya Cibinong-Jakarta Km. 46 Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Abstrak Eos bornea merupakan salah satu jenis burung paruh bengkok yang populasi dan persebarannya terus menurun. Karena itu upaya pelestarian dengan upaya penangkaran perlu dilakukan. Penelitian dilakukan dalam kandang penangkaran untuk mengetahui pola adaptasi pakan, histopatologi, dan karakter morfologinya. Penelitian dilakukan di kandang penangkaran burung milik Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Botani di Cibinong Science Centre. Untuk penelitian ini dipilih 10 pasang burung Kasturi merah, dan masing-masing pasangan ditempatkan pada sangkar dengan ukuran 60 x 60 x 90 cm. Pengamatan yang dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama menggunakan pakan berupa buah yang berbentuk potongan, tahap kedua menggunakan komposisi pakan yang berupa potongan serta campuran buah yang berbentuk bubur, dan tahap ketiga menggunakan kombinasi pakan berupa bubur yang terdiri atas campuran buah dan sayuran serta pellet burung. Hasil analisis proksimat pakan tersebut adalah 1757,187 kal/g/M E; 11,69% protein; 4,41% lemak; 2,81% serat kasar; 0,5% Ca dan 0,36% P.
Keanekaragaman Burung di Gelanggang Samudra Jaya Ancol dan Sekitarnya DANU NUGRAHA , ISMU SUTANTO SUWELO, DAN SUSWANTO RASIDI
Departemen Biologi FMIPA, Universitas Indonesia, Depok. T elp. 08561318019 – Email:
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang keanekaragaman burung di Gelanggang Samudra Jaya Ancol dan sekitarnya. M etoda peneltian yang digunakan adalah metoda sensus IPA (Indices Ponctuel de’Abondance; indeks titik kelimpahan). Hasil pengamatan yang dilakukan selama bulan April 2004 menunjukan sebanyak 22 suku burung yang terdiri dari 29 jenis. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) yang diperoleh sebesar 2,78. Terdapat 6 jenis burung air pada lokasi penelitian. Sedikitnya jumlah jenis burung air disebabkan oleh tidak banyak tersedia habitat untuk hidup. Kondisi habitat yang telah berubah menyebabkan jenis burung yang banyak terlihat adalah jenis yang umum diperkotaan seperti Kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan burung Gereja erasia (Passer 122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 121 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
montanus). Terdapat burung pendatang seperti Kakatua Putih (Cacatua alba) dan Kerak Ungu (Acridotheres tristis) yang dapat menjadi pesaing burung lokal. Sebagai daerah penyangga kehidupan burung di Pulau Seribu, Tangerang, Pantura DKI Jakarta, Kerawang, dan Bekasi penanaman tumbuhan sebagai habitat dan sumber pakan yang sesuai perlu diprogramkan khususnya di Gelanggang Samudra Jaya Ancol dan sekitarnya.
122Seminar Ornitologi Indonesia 2005
- 122 -