MENDONGENG SAMBIL BERMAIN KIAT PELESTARIAN BUDAYA Oleh: Made Taro
I.
Pendahuluan
Bangsa Indonesia amat kaya dengan dongeng, permainan dan nyanyian anak-anak. Apakah warisan budaya nenek-moyang itu harus dilupakan atau disia-siakan? Tidakkah bermanfaat bagi anak-anak masa kini? Dongeng, permainan dan nyanyian adalah dunia anak. Sejak zaman purba sampai sekarang, ketiga jenis budaya itu tetap disenangi anak-anak. Budaya tersebut bukan saja menjadi media pergaulan yang menyenangkan, tetapi juga menjadi kebutuhan. Mendengarkan dongeng, aktivitas bermain dan bernyanyi itu sangat menarik kalau dijalin menjadi hubungan yang saling terkait. Usaha mengaitkan ketiga genre itu didasarkan atas pertimbangan bahwa dongeng, nyanyian, dan permainan, memiliki sifat dan fungsi yang sama yakni : pengisi waktu luang, rekreatif, komunikatif dan bermanfaat untuk pengembangan pribadi anakanak. Di sisi lain muncul suatu gejala masyarakat yang beranjak meninggalkan tradisi bercerita dan aktivitas bermain (termasuk nyanyian) akibat dari penemuan teknologi modern yang sanggup menggantikan kedudukan orangtua sebagai tokoh sentral di rumah tangga. Anak-anak menganggap tradisi mendongeng dan aktivitas bermain adalah kegiatan kuno yang tidak menarik dan menjemukan. Terbersit pemikiran, tidakkah dongeng dan permainan dapat dikemas menjadi bentuk yang lebih menarik? Dapatkah dongeng itu diramu menjadi sebuah permainan sehingga suasananya ceria dan dinamis? Dengan kata lain mungkinkah dilakukan kegiatan mendongeng sambil bermain atau bermain sambil mendongeng? Di Indonesia, juga di Asia Tenggara dan Eropa sedikit sekali ditemukan permainan yang berlatar-belakang dongeng. Memang ada beberapa permainan yang dapat dijelaskan, akan tetapi penjelasan itu bukan dongeng. Katakan misalnya permainan anak-anak Inggris yang disebut “Orange and Lemons”. Dalam permainan itu anak-anak beriringan sambil bernyanyi-nyanyi dengan lirik yang melukiskan bunyi lonceng di beberapa gereja di Inggris. Bersamaan dengan akhir nyanyian, anak-anak ditangkap dengan sebuah perangkap, lalu anak yang tertangkap itu memilih menjadi orange (jeruk manis) atau lemon (jeruk sitrun). Di Perancis, permainan itu melukiskan tentang pemenggalan leher seorang pemberontak atau pembangkang dengan pisau guillotine (ingat sejarah pemerintahan raja-raja absolut) dan di Australia permainan yang sama itu melukiskan biri-biri yang dicukur bulunya. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
15
16
Adakah permainan seperti itu di Indonesia? Ada! Namanya ‟Ular Naga‟. Di Bali permainan seperti itu disebut „Pohpohan‟ („Mangga-manggaan‟). Salah satu versinya disebut „Tiuk Poh‟ („Pisau Mangga‟). Permainan itu melukiskan sebuah perangkap yang bertugas menangkap dua orang pemain. Kedua pemain yang tertangkap itu dihukum, seorang menjadi tiuk (pisau) dan seorang lagi menjadi poh (mangga). Pemain pisau berusaha mengupas (menangkap) mangga, tetapi selalu dihalang-halangi oleh pemain pelindung mangga. Contoh lain, permainan „Gebug Ende‟ yang dilakukan oleh orang dewasa di Seraya, Karangasem, dilatar-belakangi oleh sebuah legende tentang penyerbuan pasukan Kerajaan Karangasem ke Kerajaan Lombok, atau permainan „Mukur‟ di Klungkung yang berlatar-belakang siat (peperangan) menggunakan keris. Jadi dapat dikatakan permainan itu adalah tiruan dari alam (lingkungan), peristiwa alam, dan kehidupan manusia/hewan. Banyak sekali jenis permainan yang merupakan tiruan itu, sehingga permainan itu dapat dijelaskan latarbelakangnya. Contoh permainan yang berlatar-belakang cerita rakyat sangat sulit didapatkan. Permainan „Goak-goakan‟ di Kabupaten Buleleng dapat digunakan sebagai contoh. Konon prajurit Kerajaan Buleleng tidak mau menyerbu kerajaan Blambangan di Jawa Timur, karena payah dan jemu bertempur. Sang Raja Panji Sakti tidak dapat berbuat apa-apa. Setelah bertimbang-timbang dengan patihnya dan merenung beberapa saat, sang Raja menemukan akal. Beliau mengajak rakyat bermain „Goak-goakan‟ di alun-alun depan istana. Rakyat tidak menyadari bahwa ajakan raja itu adalah jebakan agar semangat tempur prajurit-prajurit itu bangkit kembali. Ternyata akal-akalan yang cerdas itu berhasil. Permainan „Kelik-kelikan‟ dari Kabupaten Bangli berlatarbelakang cerita mengenai pertanian. Pada suatu musim kemarau panjang, Subak Desa Sulahan, kecamatan Susut kehabisan air. Untuk mengairi sawahnya, mereka sangat tergantung persediaan air dari sebuah telaga. Sial, air yang sangat terbatas itu dicuri oleh ribuan burung kekelik sehingga hampir habis. Untung, seekor burung gagak selalu berjaga dan mengusir setiap kekelik yang mencuri, sehingga petani-petani subak itu tidak kehabisan air. Permainan „Goak-goakan‟ masih dikenal sampai sekarang, tetapi permainan „Kelik-kelikan‟ sudah terlupakan. Latar-belakang cerita rakyat kedua permainan itu tidak pernah diperkenalkan dari generasi ke generasi berikutnya, oleh karena itu terlupakan sama sekali. Alangkah menariknya kalau aktivitas permainan itu dirangkaikan dengan cerita, dan tradisi bercerita dikaitkan dengan aktivitas bermain. Menarik benar kedua cerita yang melatar-belakangi permainan anak-anak itu. Keduanya melibatkan peran burung gagak. Gagak dalam permainan „Goak-goakan‟ adalah gagak yang SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
jahat, karena selalu memangsa anak ayam, sedangkan gagak dalam permainan „Kelik-kelikan‟ adalah gagak yang baik hati. Anak-anak sering dicekoki oleh cerita-cerita gagak yang menakutkan. Katanya, gagak itu jahat, suka mencuri, banyak punya musuh dan pertanda adanya maut. Tetapi setelah mengenal cerita „Burung Gagak dan Kekelik‟ itu, ternyata ada burung gagak yang baik hati. Bagaimana menghayati gagak yang jahat dan gagak yang baik hati itu, sebaiknya kepada anak-anak diberikan kesempatan mengenal cerita dan sekaligus memainkannya. Anakanak dengan sendirinya memiliki pemahaman bahwa nilai buruk dan baik tidak ditentukan oleh ciri fisik, akan tetapi oleh sifat-sifat yang memancar dari dalam. Melalui dongeng yang dikaitkan dengan permainan atau mendongeng sambil bermain itu, anakanak akan lebih intens melakukan kegiatan jasmani, rohani, panca indra, dan bahasa. Dengan kata lain melibatkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Seluruh kegiatan itu selalu diarahkan kepada kesenangan (kenikmatan), kemanfaatan dan keselamatan. II.
Pembahasan
2.1 Menanamkan Nilai Kearifan Lokal Untuk Anak Paud Bali amat kaya dengan nilai kearifan lokal. Nilai itu akan siasia kalau tidak diwariskan dengan cara yang tepat guna dan berdaya guna. Berikut sebuah lagu anak-anak berjudul „I Nini Mapitutur‟ yang melukiskan hal itu. I Nini mapitutur Kocap di desa anu Risedek dina anu Jadma burone mapalu Sira uning ne menang? Tutur Nini kalanturang Dharma jati ajegang Karmaphala kamargiang Becikang pirengang Becikang resepang Lagu di atas melukiskan tradisi lisan mendongeng antara penutur (I Nini) dan penyimak (anak-anak). Ciri dongeng adalah peristiwa fantastik yang tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dalam kehidupan sehari-hari selalu terjadi konflik (dilukiskan dengan pergumulan antara manusia dengan hewan). Penyimak bertanya-tanya, siapakah yang akan tampil sebagai pemenang. Penutur menegaskan bahwa yang tampil sebagai pemenang adalah karakter yang mengajegkan kebenaran sejati serta menjalankan keyakinan terjadinya hukum karma. Benang merah kearifan lokal di Bali adalah mengajegkan dharma jati dan keyakinan akan adanya karmaphala. Untuk anakSEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
17
18
anak (khususnya Paud) nilai-nilai itu diperoleh terutama melalui tradisi lisan. Salah satu keunggulan tradisi lisan adalah komunikasi dua arah yang diwarnai suasana hubungan akrab. Dalam berkomunikasi itu anak-anak memperoleh manfaat kesenangan/kebahagiaan, olah pikir, olah emosi, pengetahuan, kemampuan bahasa (frase, narasi, ucapan), serta peluang untuk melakukan respons. Sangat baik kegiatan mendongeng (story-telling) dilakukan di rumah tangga atau di dalam kelas. Penutur adalah ayah-bunda atau kakek-nenek terhadap anak-cucunya, atau Bapak-Ibu Guru terhadap anak didik. Proses pembelajaran melalui story-telling apalagi melalui „mendongeng sambil bermain‟ sangat cocok diterapkan untuk anak-anak Paud. Namun tidak semua dongeng dapat dikaitkan dengan permainan. Berikut beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan apabila seorang guru memilih dongeng untuk anak-anak Paud. 1. Sederhana : Alur tidak berbelit-belit, tetapi merupakan peristiwa sebab-akibat kronologis progresif yang mudah dipahami. Teknik bercerita merupakan pengulanganpengulangan, namun tetap mengandung konflik dan problem solving. 2. Imaginatif : cerita merupakan peristiwa yang dapat mengembangkan daya fantastik dan imaginatif, sesuai dengan dunia anak. 3. Egosentris : cerita yang menarik adalah cerita mengenai peristiwa, suasana, situasi dan karakter yang dikenal atau berada di lingkungannya. 4. Identifikasi : cerita itu mengandung tokoh yang mudah diindetifikasikan dengan dirinya, misalnya tokoh yang diteladani karena jujur, heroik, kasih-mengasihi, anti kekerasan dllnya. Berpedoman kepada persyaratan di atas, maka penanaman nilai moral termasuk kearifan lokal dapat dilakukan dalam suasana rekreatif, namun berkesan dan berpesan. Berikut beberapa contoh dongeng yang cocok untuk anak-anak Paud. 1. Ayam Hitam dan Kucing Abu-abu (Bali) menanamkan nilai tanggung-jawab seorang ibu dan kasih-mengasihi antara ibu dan anak. 2. Kulkul Bulus Burung Pelatuk (Bali), mengandung pesan jangan menyalahkan orang lain, atau lempar-melempar tanggung-jawab. 3. Balapan Kijang Dan Siput (Bali), mengandung nilai berusaha mencapai hasil dengan akal budi dan kerjasama. 4. Kera Dan Kura-kura (Bali), mengandung nilai persahabatan yang tulus, tanpa pengkhianatan, dan hukum karma. 5. Serigala Mencari Dokter (Bali), mengandung pelajaran akibat dari hubungan yang kurang baik karena perbuatan yang tidak terpuji.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
6.
Pangeran Cicing Gudig (Bali), mengandung nilai kesadaran akan identitas, setelah menjalani kehidupan yang manja dan serakah. Untuk memperluas wawasan, kepada anak-anak juga perlu diperkenalkan donging-dongeng yang berasal dari luar Bali. Dongeng itu misalnya : Piring Emas Untuk Anak Kucing (Deli Serdang), Kancil Yang Cerdik (Melayu), Tiga Babi Kecil (Eropa), Monyet Dan Rumahnya (Brazilia), Negeri Jeruk (kreasi), Anak Itik Yang Nakal (kreasi), dan lain-lainnya. Berikut beberapa contoh permainan yang dapat dirangkaikan dengan dongeng, serta diperkuat dengan nyanyian, misalnya : Godog-godogan, Goak Maling Pitik, Goak Maling Taluh, Kelikkelikan, Sepit-sepitan, Lutung-lutungan, dllnya. Nilai dan pendidikan karakter yang diperoleh dari permainan itu adalah : disiplin, jujur, sportif, percaya diri, tanggung-jawab, kerjasama, semangat untuk mencapai hasil, menghargai harkat manusia, dllnya. 2.2 Pelestarian Budaya Luhur Proses pembelajaran melalui kiat mendongeng sambil bermain itu tidak saja berarti penanaman budaya luhur atau kearifan lokal, tetapi lebih jauh berarti pula melibatkan anak-anak untuk ikut serta melestarikan budaya, mewarisi serta mewariskan budaya unggul itu di kemudian hari. Dengan demikian bangsa Indonesia tidak akan kehilangan identitas sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya luhur. Semogalah. Bahan Bacaan Cole, Joanna, 1982, Enjoying The World‟s Folktales, dlm. Best Love Folktales Of The World, Anchor Book, New York. Desi Sentana, Gek Diah, 2012, Pewaris Permainan Tradisional Di Desa Sulahan, Kec, Susut, Kab. Bangli, tesis, UNUD. Mac Donald, Margaret Read, 1993, The Story-teller‟s Start-up Book, August House Publishers Inc, Atlanta. Mac Donald, Margaret Read, 2013, Teaching With Story, August House, Inc. Pudentia, MPSS, dlm. Pudentia, melayuonline.com Rose, Doudou N‟Diave, tt, The Role of Storytelling, dlm. The Madinka Epic. Taro, Made, 2010, Mendongeng Sambil Bermain, PT. MAPAN, Jakarta. Taro, Made, 2014, Dongeng-dongeng Karmaphala, (cet. ke-3), Amada Press, Denpasar. Taro, Made, 2003, Kera Yang Tamak, dlm. Randu dan Sahabatnya, Kanisius: Yogyakarta. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
19