Mendajung Antara Dua Karang: Peletakan Sebuah Dasar
Oleh: Shohib Masykur (Seorang diplomat muda sederhana jang memiliki tjita-tjita besar tentang Indonesia)
Dalam tulisan ini saja ingin mengulas sebuah buku klasik jang telah mendjadi legenda dalam politik luar negeri dan dunia diplomasi Indonesia: Mendajung Antara Dua Karang. Buku tersebut berisi Keterangan Pemerintah jang disampaikan oleh Bung Hatta, jang waktu itu mendjabat sebagai Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri, di depan Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat (B.P. K.N.P., sebuah lembaga jang menjerupai DPR djaman sekarang) pada bulan September 1948. Saja akan membagi ulasan tentang buku ini ke dalam dua bagian, sebagaimana isi buku itu sendiri djuga setjara garis besar terbagai ke dalam dua tindjauan: politik luar negeri dan situasi domestik. Dalam tulisan ini saja akan fokus ke masalah politik luar negeri, sementara ulasan tentang situasi domestik akan saja djabarkan dalam tulisan lain. Sebelum berandjak ke isi, saja ingin lebih dulu menjapa kondisi fisik buku tersebut. Kebetulan buku jang saja punjai adalah terbitan Kementerian Penerangan RI di Djokdjakarta tahun 1951 (konon buku ini ditjetak ulang dan diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang tahun 1988). Saja memperolehnja secara tidak sengadja di sebuah toko buku-buku tua di Blok M Plaza, Jakarta. Tebalnja 92 halaman dengan ukuran pandjang 20 cm dan lebar 15 cm. Warnanja sudah kusam, kuning ketjoklatan. Djilidannja djuga sudah mulai rusak. Djika taksiran saja benar, font jang dipakai adalah Times New Roman ukuran 11 (dulu pastilah ditulis dengan mesin ketik manual). Buku ini berisi tiga pidato jang semuanja disampaikan di depan B.P. K.N.P. Pidato pertama disampaikan Bung Hatta tanggal 2 September 1951. Pandjangnja 34 halaman. Pidato kedua disampikan tanggal 16 September tahun jang sama, atau 14 hari kemudian. Pandjangnja 43 halaman. Lalu pidato ketiga disampaikan tanggal 20 September tahun jang sama djuga, atau hanja 4 hari kemudian. Pidato ketiga ini tampaknja buru-buru disampaikan karena menjangkut adanja suatu upaja pemberontakan oleh Partai Komkunis Indonesia pimpinan Muso di Madiun, Djawa Timur. Pandjangnja tjuma 6 halaman, termasuk di dalamnja terdapat Undang-undang tentang Pemberian Kekuasaan Penuh Shohib Masykur, Juni 2011 | http://thepenguinus.blogdetik.com
1
kepada Presiden dalam Keadaan Bahaja jang dimintakan persetudjuannja kepada Badan Pekerdja.
Pemberontakan itu, seperti kita bersama ketahui, adalah pemberontakan major kedua oleh kalangan komunis setelah sebelumnja tahun 1926 mereka memberontak kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ketegangan faham mendjelang pemberontakan 1948 ini sedikit banjak bisa kita rasakan djika kita mentjermati dua pidato Bung Hatta jang pertama seperti akan saja uraikan di bawah.
Dari Mana Datangnja Sembojan? Djika dilihat dari proporsinja, sebenarnja buku ini lebih banjak berisi tentang paparan mengenai situasi domestik. Dari 92 halamannja, pembahasan tentang politik luar negeri hanja mengambil ruang lebih kurang 20 halaman sadja. Sisanja adalah pembahasan pandjang lebar menjangkut situasi domestik, mulai dari rasionalisasi tentera, perpadjakan, perburuhan, korupsi, transmigrasi, dll. Karena itu sebenarnja mendjadi tanda tanja bagi saja mengapa buku ini diberi djudul Mendajung Antara Dua Karang, suatu djudul yang identik dengan politik luar negeri Indonesia. Asumsi saja, barangkali Kementerian Penerangan jang menerbitkan buku ini memang ingin lebih menondjolkan soal-soal politik luar negerinja ketimbang soal-soal domestik. Hal ini bisa dilihat dari adanja penekanan pada bagian pembahasan politik luar negeri dengan tjara mentjetak-miringkan salah satu paragraf jang mendjadi inti argumen Bung Hatta. Dalam pidato pertama, di halaman 12-13 tertulis: ”Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil ialah supaja kita djangan mendjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperdjoangkan tudjuan kita sendiri, jaitu Indonesia Merdeka seluruhnja.” Paragraf itulah jang selama ini sering dikutip untuk mendjelaskan tentang dasar-dasar politik luar negeri bebas-aktif jang dipakai Indonesia. Paragraf itu muntjul kembali di pidato kedua di halaman 40 saat Bung Hatta menanggapi bantahan-bantahan jang dilontarkan kalangan komunis atas pidato pertamanja. Shohib Masykur, Juni 2011 | http://thepenguinus.blogdetik.com
2
Belainan dengan sembojan Mendajung Antara Dua Karang jang dimuntjulkan setjara resmi oleh Kementerian Penerangan, istilah bebas-aktif tidak begitu djelas dari mana datangnja. Bung Hatta dalam pidatonja itu tidak pernah menggunakan istilah tersebut. Namun dalam sebuah tulisan di Djurnal Foreign Affairs edisi 1952/1953, Bung Hatta menjinggungnja: “Indonesia plays no favorites between the two opposed blocs and follows its own path through the various international problems. It terms this policy „independent,‟ and further characterizes it by describing it as independent and „active,‟” tulis Bung Hatta. Kalimat jang dipakai Bung Hatta tersebut tidak setjara gambling menjebutkan siapa jang mula-mula mempergunakan istilah „bebas aktif.‟ Mungkin Bung Hatta sendiri secara pribadi, mungkin pemerintah, mungkin media massa, atau mungkin djuga politisi atau akademisi. Entahlah. Barangkali kita tidak akan pernah mengetahuinja setjara pasti. Dengan demikian, baik sembojan Mendajung Antara Dua Karang maupun istilah politik bebas aktif kemungkinan sama-sama bukan dimuntjulkan oleh Bung Hatta, meskipun setjara konsep dialah jang merumuskan dan mendjelaskannja kepada publik.
Tarik Ulur Faham Bagaimana pendjelasan Bung Hatta terhadap konsepnja ini? Kita bisa menjimaknja dari dua pidato pertama. Dalam pidato tanggal 2 September, Bung Hatta mengawali pendjelasannja tentang prinsip politik luar negeri jang dipegang Pemerintah Republik Indonesia dengan mendjabarkan sikap pemerintah terhadap perdjanjian Renville. Menurut Pemerintah, Republik Indonesia—yang saat itu hanja terdiri dari Jawa, Sumatera, dan Madura—harus menaati perdjanjian Renville karena telah menjepakatinja. Selain itu realita di lapangan membuat Pemerintah mau tidak mau harus berunding dengan Belanda karena perdjuangan sendjata terus-menerus djustru kontraproduktif dengan upaja mentjapai kemerdekaan. “Terhadap perundingan dengan Belanda kita senantiasa mendasarkan politik kita atas keadaan jang njata dan atas tuntutan jang rasionil dimata dunia internasional. Oleh karena persetudjuan Renville sudah diterima oleh negara, delegasi kita mendjalankan politik perundingan jang sebaikbaiknja berdasarkan persetudjuan Renville itu,” demikian ungkap Bung Hatta. Isi Perdjanjian Renville itu sendiri intinja ialah Republik Indonesia harus menarik tentaranja dari kantong-kantong wilajah jang sebelumnja dikuasainja hingga pada garis van Shohib Masykur, Juni 2011 | http://thepenguinus.blogdetik.com
3
Mook. Akibat perdjanjian itu, Republik Indonesia kembali kehilangan sebagian dari wilahnja jang sebelumnja sudah menjempit akibat Persetudjuan Linggadjati. Seperti bisa dibatja di kitab-kitab sedjarah Indonesia, bahkan setelah Republik banjak dirugikan pun, Belanda tetap melakukan berbagai upaja untuk melanggar Perdjanjian Renville tersebut. Salah satu aksi destruktifnja adalah penjerangan atas Gedung Pegangsaan Timur 56, sebuah tempat jang dianggap sakral oleh warga Republik karena di sanalah dilangsungkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus. Aksi lain jang lebih sistemik adalah pembentukan secara unilateral Pemerintah Federal Sementara oleh Belanda. Pada saat jang sama, di kalangan domestik sendiri juga terdapat perpetjahan dalam menjikapi Perdjanjian Renville. Kalangan F.D.R. (Front Demokrasi Rakjat)—jang berhaluan komunis—jang semula mendukung mengubah sikap dengan mengusulkan pembatalan perdjanjian. Kalangan ini djuga menuntut agar Republik lebih berpihak kepada Uni Soviet jang kala itu mendjadi simbol perlawanan terhadap imperialisme. Nah, untuk mendjawab perpetjahan internal inilah Bung Hatta menegaskan sikap politik jang diambil Pemerintah dengan mengatakan: ”Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia, jang memperdjoangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanja harus memilih antara pro Russia atau pro Amerika? Apakah tak ada pendirian jang lain harus kita ambil dalam mengedjar tjita-tjita kita?” Bagi Bung Hatta jawabannja jelas: TIDAK untuk pertanjaan pertama dan ADA untuk pertanjaan kedua. Maka sambungnja: “Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil ialah supaja kita djangan mendjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperdjoangkan tudjuan kita sendiri, jaitu Indonesia Merdeka seluruhnja.” Di tengah karut-marutnja kondisi politik domestik dan beratnja tekanan dari Belanda, toh Bung Hatta masih optimis dengan kekuatan jang dimiliki Bangsa Indonesia. Karena itulah dia melandjutkan: “Perdjoangan kita harus diperdjoangkan diatas dasar sembojan kita jang lama: Pertjaja akan diri sendiri dan berdjoang atas kesanggupan kita sendiri.” Alih-alih memihak, jalan tengah jang ditawarkan Bung Hatta adalah sebuah pragmatisme cerdas: memanfaatkan pertarungan Amerika dan Soviet untuk kepentingan nasional Shohib Masykur, Juni 2011 | http://thepenguinus.blogdetik.com
4
mentjapai kemerdekaan. Maka, sikap tidak berpihak itu tidak boleh disamakan dengan sikap abai terhadap pertjaturan politik internasional. “Ini tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional. Memang tiap-tiap politik untuk mentjapai kedudukan negara jang kuat ialah mempergunakan pertentangan internasional jang ada itu untuk mentjapai tudjuan nasional sendiri. Belanda berbuat begitu, ja segala bangsa sebenarnja berbuat sematjam itu, apa sebab kita tidak akan melakukannja?” kata Bung Hatta (dalam bayangan saja) dengan berapi-api. Untuk memperkuat argumennja itu, Bung Hatta mengambil tjontoh dari Soviet sendiri. Pada tahun 1935, Soviet melunakkan sikapnja terhadap negara-negara demokrasi Barat dan bekerdja sama dengan negara-negara kapitalis itu demi menghadapi fasisme NaziDjerman. Tidak hanja sampai di situ, Soviet bahkan menjarankan kepada bangsa-bangsa jang masih terdjadjah untuk mengurangi perdjuangannja melawan imperialism dan melepaskan sementara waktu tjita-tjita kemerdekaannja demi membantu perlawanan terhadap Djerman. Ini membuktikan bahwa bahkan Soviet pun mempertimbangkan situasi riil di lapangan dan tidak melulu terpaku pada ideolog untuk menentukan sikap politik internasionalnja. Pragmatisme cerdas sematjam itulah jang diadjukan Bung Hatta untuk djuga diterapkan oleh Indonesia dalam menghadapi situasi politik internasional. Selain itu, ada sebab lain mengapa Bung Hatta memilih untuk tidak memihak pada komunisme Soviet. Setjara terang-terangan dia menjatakan kekhawatirannja bahwa kalangan komunis di Indonesia lebih mengutamakan kepentingan Soviet ketimbang kemerdekaan Indonesia. Menurutnja, yang paling utama bagi seorang komunis adalah pengabdiannja terhadap Soviet, dan untuk itu kepentingan bangsanja sendiri bisa dikorbankan. Djika itu terdjadi, maka bahajalah tjita-tjita kemerdekaan yang tengah diperdjuangkan. “Bagi seorang komunis Sovjet Russia adalah modal untuk mentjapai segala tjita-tjitanja, karena dengan Sovjet Russia bangun atau djatuh perdjoangan komunisme. Sovjet Russia adalah pelopor dalam menjelenggarakan idealnja, sebab itu kepentingan Sovjet Russia dalam perdjoangan politik internasional diutamakannja. Kalau perlu untuk memperkuat kedudukan Sovjet Russia, segala kepentingan diluar Sovjet Russia dikorbankan, terhitung djuga kepentingan Kemerdekaan Negara2 djadjahan, sebagaimana terdjadi pada tahun 1935 dan seterusnja. Sebab, menurut pendapat mereka, apabila Sovjet Russia jang dibantu tadi sudah mentjapai kemenangannja dalam pertempuran dengan imperialism, kemerdekaan itu akan datang dengan sendirinja,” demikian paparnja. Shohib Masykur, Juni 2011 | http://thepenguinus.blogdetik.com
5
Perdebatan jang Sengit Pidato Bung Hatta itu tak pelak menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, utamanja dari kalangan komunis. Para pengandjur pro-Soviet menjerang dengan gentjar. Empat nama tokoh komunis jang disebut secara eksplisit oleh Bung Hatta dalam pidato keduanja pada tanggal 16 September adalah Luat Siregar, Njoto, Tjoegito, dan Tan Ling Djie. Njoto, misalnja, menjebut pidato Bung Hatta itu sebagai pledoi—sebuah pembelaan diri untuk menutupi kekurangan-kekurangan Pemerintah. Bagi Njoto, sikap tidak berpihak yang ditundjukkan Pemerintah adalah “third weakness,” sebuah bentuk kelemahan yang ditundjukkan pihak ketiga di tengah-tengah pertarungan dua pihak besar. Sementara Tan Ling Djie mengkritik pidato Bung Hatta dengan mengatakan bahwa Indonesia jang sedang berdjuang menentang imperalisme setjara otomatis— seharusnja—berdiri satu haluan dengan Soviet jang juga menentang imperalisme. Maka, pidato kedua ini berisi jawaban Bung Hatta atas serangan-serangan yang ditudjukan atas pidato pertamanja itu. Lagi-lagi, Bung Hatta mentjoba memainkan boomerang lawan dengan memindjam pengalaman Soviet. Dalam sedjarahnja, Soviet telah menerapkan apa jang oleh Bung Hatta disebut sebagai “politik gigi gergadji” alias politik zigzag. Sikap politik negeri ini berubahubah menyesuaikan dengan kondisi, kadang menjamping kanan kadang menjerong kiri. Secara statistik Bung Hatta menghitung hingga tahun itu Soviet telah 7 kali mengubah haluan politiknja. Dari tahun 1918 hingga 1921, Soviet berada di kiri ketika menjatakan sikap jang sering disebut “War Communism.” Lalu tahun 1921 hingga 1928, Soviet serong ke kanan ketika membiarkan perusahaan-perusahaan partikelir hidup kembali lewat New Economic Policy (NEP). Selandjutnja ketiga, dari tahun 1928 hingga 1936 Soviet kembali tjondong ke kanan dengan program 5 tahunan-nja dan kolektivikasi dalam pertanian. Berikutnja pada tahun 1936 hingga 1939 Soviet kembali dojong ke kanan saat bekerdja sama dengan negara-negara Barat untuk membendung Hitler. Kemudian Soviet kembali bermanuver ke kiri dari tahun 1939 hingga 1941 dengan mengadakan perdjanjian nonagresi dengan Djerman dan melepaskan persekutuan dengan negara-negara Barat. Keenam, Soviet kembali bergeser ke kanan dari tahun 1943 hingga 1945 dengan bersekutu kembali dengan negara-negara Barat. Terakhir, sedjak 1945 Soviet kembali lagi ke dalam sikap aslinja jang berhaluan kiri.
Shohib Masykur, Juni 2011 | http://thepenguinus.blogdetik.com
6
“Kalau diperhatikan benar-benar, politik zigzag itu tidaklah terjadi dengan begitu sadja karena pergantian orang-orang jang melakukan rol pada masing-masing masa itu, melainkan dilakukan dengan perhitungan berdasarkan kepada keadaan dan kenjataan jang dihadapi oleh Sovjet Russia, jang mempergunakan semuanja itu untuk memperkuat atau memperbaiki kedudukannja dalam lingkungan dunia internasional. Dalam politik gigi gergadji itu terletak keulangan dan kekuatan politik Sovjet Russia. Politik jang berdasar kepada maxim (dasar) daripada Marx sendiri, “menjesuaikan taktik pada keadaan.” Suatu opportunism jang diperhitungkan. Haluan politik Russia didasarkan kepada penjataan dan keadaan jang dihadapi oleh Sovjet Russia sendiri, dengan berpedoman kepada kepentingan Sovjet Russia dari waktu ke waktu,” kata Bung Hatta. Dalam “oportunisme jang diperhitungkan” itu, ada dua hal jang menurut Bung Hatta harus didjadikan panduan dalam menentukan sikap politik Indonesia. Pertama, tudjuan nasional. Kedua, kedudukan Indonesia di tengah-tengah dunia internasional. Apa tudjuan Indonesia? Untuk saat itu, sekali lagi untuk saat itu, ialah mentjapai kemerdekaan Indonesia seluruhnja. Seluruhnja di sini dalam artian tidak hanja Republik Indonesia hasil perdjandjian Linggadjati tahun 1947, tetapi djuga daerah-daerah lain jang terlepas dari Republik Indonesia sebagai akibat dari adanja perdjanjian tersebut. Apa konsukensi dari tudjuan itu? Bagi Bung Hatta jelas: berunding. “Dalam hal ini kita perlu berunding dengan Belanda, oleh karena daerah Indonesia diluar Republik masih dikuasai oleh Belanda. Bahwa perundingan dihentikan sementara waktu karena pelanggaran dari pehak Belanda, itu tidak merobah keadaan bahwa untuk mentjapai kemerdekaan seluruh Indonesia selekas-lekasnja, kita terpaksa berunding,” utjapnja (barangkali) dengan agak getir. Mengenai kedudukan Indonesia di tengah-tengah dunia internasional, Bung Hatta menggunakan argumen geopolitik untuk mendjabarkannja. Kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan jang berada di persimpangan djalan dan perhubungan internasional jang dilingkungi oleh negara-negara kapitalis besar. Hal ini menjebabkan Indonesia mendjadi daerah jang gampang diserang dari luar. Ditambah lagi industri pertahanan Indonesia belum tumbuh. Ini berlainan dengan Soviet jang berupa daratan membudjur sehingga tidak gampang diserang serta telah memiliki industri dan pabrik sendjata jang lengkap. “Dengan semangat dan alat jang ada pada kita, kita sanggup berdjoang bertahun-tahun dan matimatian dengan Belanda, djika perlu dengan melakukan politik bumi hangus habis-habisan dan segala rupa. Achirnja Belanda akan terpaksa djuga mundur dari sini, dan kita tinggal dengan segala Shohib Masykur, Juni 2011 | http://thepenguinus.blogdetik.com
7
rusak dan hantjur, sehingga tak mudah membangun kembali perekonomian kita dengan tejpat. Keadaan kita sematjam itu akan dipergunakan oleh kapitalisme jang lebih bear untuk menjerbu ke Indonesia, mempergunakan kesukaran hidup rakjat kita sebagai suatu kesempatan untuk menindas dan memeras,” papar Bung Hatta. Karena itulah, bagi Bung Hatta, “oportunisme yang diperhitungkan” itu mendjadi sangat penting bagi Indonesia. “Bukan ikut serta dalam perdjoangan Russia dan Amerika, jang harus kita lakukan, tetapi mengambil keuntungan daripada pertentangan itu untuk keselamatan Indonesia,” tegasnja. Saja tidak tahu bagaimana perdebatan antara Bung Hatta dengan kalangan komunis itu berujung. Tapi saja bisa membajangkannja. Saja bajangkan pastilah kalangan komunis kembali menjerang Bung Hatta setjara bertubi-tubi. Begitu derasnja serangan itu hingga akhirnja memuntjak sementara pada peristiwa Madiun jang berbuah Undang-undang darurat perang seperti saja sampaikan di atas. Berikut bunji satu-satunja pasal dalam Undang-undang tersebut: “Selama tiga bulan, terhitung mulai tanggal 15 September 1948 kepada Presiden diberikan kekuasaan penuh (pleinpouvoir) untuk mendjalankan tindakan-tindakan dan mengadakan peraturan-peraturan, dengan menimpang dari Undang-Undang dan peraturan-peraturan jang ada, guna mendjamin keselamatan Negara dalam menghadapi keadaan bahaja jang memuntjak.”
Shohib Masykur, Juni 2011 | http://thepenguinus.blogdetik.com
8