Mencari Bentuk Standardisasi Kemampuan Berbahasa Inggris yang Tepat bagi Mahasiswa Politeknik Negeri Semarang Suko Raharjo Politeknik Negeri Semarang Abstract: The idea of standardizing the English proficiency of Polines students first appeared in Bandung late 2003 and has been followed through by a number of actions among others a needs survey to the stake holders and a curriculum workshop, both held in 2004. Two sets of EPTs were established, one aimed at measuring the English proficiency of the commerce students and the other aimed at measuring that of the engineering students. These locallyprepared proficiency tests, however, were not fully welcome internally, among others, due to quality and popularity reasons. In this article, a number of international EPTs were explained and compared to the local EPT (called EPT for Polines), hoping that our institution can immediately choose one to be used as a standard for measuring students’ proficiency level of English. Key words: EPT (English Proficiency Test), IELTS, standard, TOEFL, TOEIC
PENDAHULUAN Gagasan tentang perlunya dilakukan standardisasi kemampuan berbahasa Inggris untuk mahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Polines) muncul pertama kali pada akhir tahun 2003 dalam diskusi di Bandung dengan tim nurturing dari ITB yang ditugasi DIKTI membimbing penyempurnaan proposal SP4 UPT Bahasa Polines tahun 2004. Standardisasi tersebut dimaknai sebagai kemampuan berbahasa Inggris minimal yang harus sudah dikuasai oleh setiap mahasiswa ketika lulus dari Politeknik. Mengingat beragamnya program studi (prodi) dan jurusan yang ada di Polines, standardisasi dimaksud haruslah mampu mengakomodasi keragaman tersebut, baik dari sisi mahasiswanya, bidang konsentrasinya, maupun jumlah jam tatap muka yang dialokasikan untuk mata kuliah bahasa Inggris di dalam kurikulum masing-masing prodi. Sejak awal sudah disadari betul bahwa akan sulit memberlakukan satu standar yang sama untuk semua mahasiswa di semua prodi atau jurusan di Polines, akan tetapi diyakini juga bahwa standardisasi kemampuan berbahasa internasional untuk lembaga pendidikan vokasional seperti Polines akan dapat – dan memang seharusnya – dilakukan. Maka ketika program hibah SP4 2004 berhasil didapatkan, salah satu kegiatan utama yang dilakukan UPT Bahasa waktu itu adalah mengadakan survai stake holders untuk mengidentifikasi kemampuan berbahasa Inggris yang menurut mereka perlu dimiliki oleh lulusan Politeknik. Dari hasil survai itu kemudian dirumuskan kompetensi bahasa Inggris untuk mahasiswa Polines, sebuah rumusan tentang kemampuan berbahasa Inggris minimal yang harus dikuasai setiap mahasiswa Polines, rumusan yang dimaksudkan dapat berfungsi ganda: di satu sisi sebagai acuan pengembangan kurikulum bahasa Inggris di prodi-prodi/jurusan, di sisi lain sebagai acuan bagi UPT Bahasa di dalam menyusun tes standar profisiensi bahasa Inggris untuk mahasiswa Polines berikut modul pelatihan yang perlu disediakan di unit tersebut. Dengan SP4 yang diterima selama 2 tahun berturut-turut (2004 dan 2005), UPT Bahasa antara lain telah berhasil menyusun (dan merevisi) tes profisiensi bahasa Inggris berdasarkan rumusan kompetensi hasil survai stake holders tersebut. Tes inilah yang diproyeksikan menjadi alat ukur standar kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa Polines. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010
49
Namun demikian, tes profisiensi yang baru muncul – yang dibuat oleh tim terdiri dari hampir semua dosen bahasa Inggris Polines, yang didesain untuk kalangan terbatas (i.e. internal Polines), dan yang untuk sementara dinamai “EPT for Polines” – tersebut tidak dengan serta merta diterima oleh semua pihak di Polines, bahkan di kalangan dosen bahasa Inggris sendiri. Tetapi tes profisiensi buatan sendiri yang sudah tentu belum mampu disejajarkan dengan tes profisiensi berstandar internasional seperti TOEFL (Test of English as a Foreign Language) atau TOEIC (Test of English for International Communication) tersebut kurang dapat diterima dengan alasan yang sesungguhnya bagus untuk dicermati bersama. Sangat menarik untuk mengetahui mengapa “EPT for Polines” yang oleh sebagian pihak ingin dijadikan alat ukur standar kemampuan berbahasa Inggris untuk mahasiswa Polines tersebut ditolak. Lalu tes apakah yang lebih diinginkan menjadi alat ukur standar bagi mahasiswa? Dengan tulisan ini, disamping menyajikan urgensi standardisasi kemampuan berbahasa Inggris di dalam konteks lembaga pendidikan vokasional Politeknik, saya juga ingin mengupas, meski tidak secara detail, beberapa jenis tes profisiensi bahasa Inggris yang sudah lebih dahulu dikenal, lalu membandingkannya dengan “EPT for Polines” untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Pada bagian akhir saya juga akan menyajikan beberapa hal yang menjadi konsekuensi logis dari setiap pilihan yang ada agar kita semakin yakin dengan alternatif manapun yang pada akhirnya kita pilih.
URGENSI STANDARDISASI KEMAMPUAN BAHASA INGGRIS Sejak awal berdirinya Politeknik, kemampuan berbahasa Inggris telah menjadi salah satu keterampilan yang dianggap penting untuk dikuasai mahasiswa, terbukti dengan besarnya alokasi waktu yang disediakan di dalam kurikulum untuk mata kuliah tersebut (4 jam per minggu, setiap semester selama 6 semester berturut-turut untuk bidang rekayasa dan 6 jam per minggu, setiap semester selama 6 semester berturut-turut untuk bidang tataniaga). Terlepas dari fakta (menyedihkan) bahwa saat ini porsi pembelajaran bahasa Inggris telah banyak dipangkas dari kurikulum untuk mengakomodasi kemunculan banyak mata kuliah lain di hampir semua prodi/jurusan, kebanyakan orang masih berpandangan bahwa penguasaan bahasa Inggris itu penting atau sangat penting bagi mahasiswa (lihat mis. Romangsi, 1999). Arus globalisasi yang tak terbendung dan diberlakukannya AFTA adalah fenomena yang tak dapat dipungkiri menjadi alasan kuat mengapa lulusan Politeknik mau tidak mau, suka tidak suka, harus dibekali kemampuan berkomunikasi internasional. Pertanyaannya adalah mengapa perlu dilakukan standardisasi. Seperti disebutkan di muka, standardisasi dimaknai sebagai kemampuan berbahasa Inggris minimal yang harus sudah dikuasai setiap mahasiswa ketika (menjelang) lulus. Aplikasinya adalah pemberlakuan persyaratan bahwa mahasiswa yang akan segera lulus dari Politeknik harus sudah memiliki kemampuan berbahasa Inggris minimal yang ditentukan, yang pada umumnya diukur dengan tes profisiensi. Di dalam konteks ini mahasiswa yang kemampuannya lebih tinggi dari minimal yang dipersyaratkan dipandang memiliki keunggulan dibandingkan mereka yang kemampuannya sekedar memenuhi syarat minimal tersebut. Di dalam sistem pendidikan yang membangkitkan kembali slogan lamanya “tepat waktu, tepat ukuran dan tepat aturan” seperti Polines ini, standardisasi sesungguhnya perlu diterapkan untuk semua jenis ketrampilan yang dibekalkan kepada mahasiswa. Konsep pendidikan berbasis produksi (PBE) yang mulai diterapkan di beberapa prodi di Politeknik ini sesungguhnya juga mengisyaratkan adanya ukuranukuran (atau standar/indikator) yang jelas untuk setiap ketrampilan yang dibekalkan kepada mahasiswa. Sementara itu, dengan porsi pembelajaran bahasa Inggris yang kini sangat beragam antara prodi/jurusan yang satu dengan lainnya di Politeknik, dari yang 4 sampai 6 jam per minggu setiap semester selama 3 tahun berturut-turut sampai yang hanya 2 sampai 4 jam 50
Mencari Bentuk Standardisasi Kemampuan Berbahasa Inggris yang Tepat bagi Mahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Suko Raharjo)
per minggu selama 2 atau 3 semester saja, tidak dapat dijamin bahwa setiap lulusan Politeknik akan telah memiliki kemampuan berkomunikasi internasional secara memadai. Oleh sebab itu, harus ada cara untuk memastikan bahwa ketrampilan berbahasa Inggris mahasiswa yang diperlukan untuk berkomunikasi internasional ini telah memadai ketika lulus sekalipun proses pembelajarannya ada yang sangat minimalis di dalam kurikulum. Tugas inilah yang tampaknya ingin dipikulkan kepada UPT Bahasa yang tujuan utama pendiriannya memang untuk meningkatkan kemampuan kebahasaan sivitas akademika.1 Sambil menunggu upaya pengoptimalan peran unit tersebut membuahkan hasil, yang harus dijawab sekarang adalah pertanyaan: manakah standar kemampuan berbahasa Inggris yang tepat untuk mahasiswa Politeknik. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa Inggris minimal seperti apa yang seharusnya dijadikan syarat lulus mahasiswa Politeknik? Idealnya, standar kemampuan berbahasa Inggris yang tepat untuk mahasiswa Politeknik adalah yang dirumuskan berdasarkan suatu analisis kebutuhan (needs survey) terhadap stake holders. Seperti terlihat dari Diagram 1, ada beberapa pihak yang perlu dimintai pendapat tentang kemampuan minimal ini, antara lain mahasiswa sendiri, para orangtua, dosen, institusi (i.e. Politeknik) maupun industri yang akan mempekerjakan mereka setelah lulus. Pendapat dari stake holders tentang kemampuan bahasa Inggris yang perlu dimiliki lulusan tersebut kemudian dirumuskan menjadi standar kompetensi bahasa Inggris yang perlu dibekalkan kepada setiap mahasiswa. Rumusan kompetensi inilah yang mustinya menjadi syarat lulus setiap mahasiswa Politeknik dan, oleh karenanya, perlu diakomodasi oleh prodi/jurusan dan UPT Bahasa ketika menyiapkan programprogram pembelajaran atau pelatihan maupun pengukurannya. STAKE HOLDERS
Mahasiswa Orangtua Mhs Dosen Institusi Industri dsb
Standar kompetensi Bhs. Inggris yg menurut stake holders perlu dimiliki lulusan
Prodi/Jurusan Aktualisasi kurikulum Revisi Buku Ajar Bhs. Inggris
UPT Bahasa Validasi periodikal *) EPT=English Proficiency Test
Penyusunan EPT*) Modul Pelatihan EPT Pelatihan khusus
Diagram 1: Proses pembaharuan kurikulum bahasa Inggris Diagram di atas juga mengisyaratkan dua hal. Pertama, adanya proses pengembangan kurikulum secara terus-menerus. Setelah rumusan kompetensi tersebut diaktualisasikan di dalam kurikulum, silabus, buku ajar, materi tes dan modul-modul pelatihan di prodi/ jurusan dan UPT Bahasa, dan kesemuanya ini telah digunakan selama kurun waktu tertentu, maka diperlukan adanya validasi terhadap kebutuhan stake holders lagi: apakah yang dibekalkan kepada mahasiswa selama ini masih dibutuhkan atau sudah waktunya disesuaikan dengan perubahan tuntutan pasar kerja. Validasi, yang prosesnya pada umumnya berupa survai kebutuhan ini, dapat dilakukan misalnya sekali dalam 5-10 tahun. Begitu juga proses yang mengikutinya, seperti revisi kurikulum/silabus, buku ajar, dsb. Hal kedua yang juga diisyaratkan pada diagram di atas adalah perlunya komunikasi dan kerjasama yang intensif dan efektif antara prodi/jurusan dengan UPT Bahasa. Ketika, misalnya, prodi/jurusan tidak memiliki alokasi waktu memadai untuk membekalkan 1
Lihat SK Senat Polines No. 289A/N11/SK.S/2002 tentang Pendirian UPT Bahasa
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010
51
seluruh kompetensi kebahasaan yang seharusnya dibekalkan kepada mahasiswa melalui kurikulumnya, maka prodi/jurusan tersebut dapat memberikan amanatnya kepada UPT Bahasa untuk menangani tugas tersebut. Proses pengamanatan ini tentu saja mengandung konsekuensi dan tidak bisa taken for granted. Harus ada dukungan yang jelas, baik dari manajemen prodi/jurusan maupun pimpinan, agar UPT Bahasa dapat secara maksimal dan efektif menjalankannya. Salah satu contoh dukungan adalah dibuatnya kebijakan agar UPT Bahasa tidak perlu lagi berpikir bagaimana mencari dana untuk melatih mahasiswa di prodi-prodi yang porsi bahasa Inggrisnya sangat minimal tersebut karena lembaga sudah menetapkan pembiayaannya melalui PNBP. Kerjasama prodi/jurusan dengan UPT Bahasa juga diperlukan, misalnya, dalam pembahasan mengenai kurikulum, silabus dan buku ajar yang perlu disiapkan di prodi/jurusan, atau – seperti yang selama ini telah berjalan – dalam pelaksanaan pengukuran profisiensi bahasa Inggris bagi mahasiswa, yang tidak semua prodi/jurusan siap melaksanakannya sendiri. Permasalahan standardisasi kemampuan kebahasaan di Politeknik ini sebenarnya tidak lagi terletak pada urgensinya (karena hampir semua orang sepakat akan perlunya kemampuan standar) akan tetapi lebih pada bagaimana porsi perkuliahan bahasa Inggris yang sangat beragam dan tidak berimbang di berbagai prodi/jurusan ini dapat menghasilkan lulusan Politeknik (semuanya) yang kemampuan kebahasaannya memadai untuk berkomunikasi internasional. Di dalam konteks inilah, disukai atau tidak, UPT Bahasa menjadi pilihan yang paling tepat untuk pelaksanaan standardisasi kemampuan bahasa Inggris pada tingkat institusi, termasuk peningkatan kemampuan kebahasaan agar mencapai standar minimal yang dipersyaratkan. Seandainya pun ada prodi/jurusan yang berkeinginan menerapkan standar kemampuan (bahasa Inggris) yang berbeda dari prodi/jurusan lain, hal ini dapat saja diakomodasi oleh UPT Bahasa, sepanjang ada komunikasi yang baik di antara unit-unit yang terkait tersebut. Alat ukur profisiensi mana/ apa yang dapat dipilih untuk kepentingan tersebut, ini yang akan dibahas pada bagian berikut ini.
TES PROFISIENSI BAHASA INGGRIS (EPT) Tes profisiensi bahasa Inggris (English Proficiency Test atau disingkat EPT) sebenarnya sangat banyak jumlah dan jenisnya, dari yang berlingkup sempit (lokal) dan digunakan hanya untuk kepentingan dan kalangan terbatas (mis. EPT for Polines ataupun tes profisiensi untuk keperluan instruksional) sampai tes profisiensi yang berlingkup internasional dan digunakan oleh banyak pihak untuk satu ataupun banyak kepentingan. Sayangnya tidak banyak EPT yang dikenal luas di masyarakat kita. Berikut akan dikupas beberapa yang sering muncul di dalam diskusi maupun perbincangan di lingkungan kampus kita. (a) TOEFL Salah satu EPT yang paling populer di seantero jagad raya ini adalah TOEFL (Test of English as a Foreign Language). Tes ini didesain oleh ETS (Educational Testing Service) yang bermarkas di Princeton, New Jersey, Amerika Serikat.2 EPT ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan berbahasa Inggris orang-orang yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris (non-native speakers of English) yang ingin mengikuti kuliah di Amerika Utara (termasuk Kanada). Jadi dapat dikatakan bahwa TOEFL sebenarnya bersifat akademik karena digunakan sebagai persyaratan memasuki universitas-universitas di Amerika Utara (dan, perkembangan selanjutnya, di berbagai belahan bumi lain). Bahwa di dalam perjalanannya TOEFL berkembang menjadi alat ukur kemampuan berbahasa Inggris yang digunakan untuk berbagai kepentingan lain yang non-akademik dan menjadi 2
52
Alamat web yayasan nirlaba ini adalah http://www.ets.org
Mencari Bentuk Standardisasi Kemampuan Berbahasa Inggris yang Tepat bagi Mahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Suko Raharjo)
sangat populer di Indonesia, ini adalah fenomena sejarah TOEFL yang saya kira dapat dijelaskan alasannya. Adalah BULOG pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang besar andilnya di dalam mempopulerkan TOEFL di tanah air kita ini. Sejak kemunculannya, TOEFL sudah berevolusi beberapa kali. Versi terbaru TOEFL yang sekarang berlaku secara internasional disebut iBT (internet-based TOEFL). Dua versi sebelumnya adalah CBT (computer-based TOEFL) dan paper-based TOEFL. TOEFL berbasis internet, berbeda dari versi-versi sebelumnya, mengujikan keempat aspek kemampuan berbahasa: Listening, Speaking, Reading dan Writing. 3 TOEFL berbasis kertas (biasa juga disebut TOEFL ITP [Institutional Testing Program]) hanya mengujikan kemampuan Listening, Grammar dan Reading (tanpa Speaking dan Writing), sedangkan TOEFL berbasis komputer (CBT) mengujikan kemampuan Listening, Grammar, Reading dan Writing (tanpa Speaking). Grammar yang diujikan di dalam kedua versi lama TOEFL ini adalah kaidah-kaidah/tatabahasa bahasa Inggris tulis baku (standard written English). Sistem skor pada ketiga jenis TOEFL di atas berbeda-beda skalanya. Skor paper TOEFL berskala 310 - 677, Skor CBT berskala 0 - 300, sedangkan skor iBT berskala 0 - 120. Skor Paper TOEFL 500, misalnya, ekuivalen dengan CBT 173 atau iBT 61. (b) IELTS IELTS (International English Language Testing Service) adalah tes yang dikelola bersama antara British Council, IDP: IELTS Australia dan the University of Cambridge ESOL Examinations (Cambridge ESOL). British Council adalah sebuah organisasi internasional dari negara Inggris yang bergerak di bidang kesempatan pendidikan dan hubungan kebudayaan sedangkan IDP: IELTS Australia adalah organisasi internasional dari negara Australia yang bergerak di bidang pendidikan. The University of Cambridge ESOL Examinations (Cambridge ESOL) sendiri adalah penyedia berbagai jenis tes yang sudah sangat berpengalaman dan mempunyai reputasi internasional khususnya tes untuk pembelajar bahasa Inggris. IELTS disediakan dalam dua pilihan tes: akademik (academic module) dan umum (general training module), yang dipilih berdasarkan tujuannya: apakah test taker akan kuliah, bekerja atau bermigrasi. Academic module dikhususkan bagi mereka yang ingin mengikuti kuliah di luar negeri, utamanya di Australia dan Inggris. Salah satu keunggulan IELTS dibandingkan EPT-EPT lainnya adalah bahwa sejak pertama muncul di awal dekade 90-an, IELTS sudah mengujikan keempat aspek kemampuan berbahasa: Listening, Speaking, Reading dan Writing. Hasil IELTS disajikan dalam skala 9 (0 – 9) yang mencakup kemampuan paling rendah (non-user) sampai kemampuan tertinggi (expert user).4 (c) TOEIC TOEIC, kependekan dari Test of English for International Communication, adalah tes yang juga didesain oleh ETS (Educational Testing Service), Princeton, New Jersey, Amerika Serikat. Seperti TOEFL, tes ini juga diperuntukkan bagi non-native speakers of English. Namun, berbeda dengan TOEFL, tes ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris di lapangan kerja internasional (global workplace). Sejarah TOEIC bermula dari ketidakpuasan pemerintah Jepang yang merasa tidak cocok menggunakan TOEFL untuk proses recruitment tenaga kerja asing yang masuk ke negara itu. Pemerintah Jepang kala itu kemudian meminta ETS untuk 3
4
Untuk mengakses informasi tentang iBT, termasuk latihan-latihannya (gratis), silakan kunjungi: http://www.toefl.org atau http://www.ets.org/toefl Untuk mengakses informasi tentang IELTS, termasuk latihan-latihannya, silakan kunjungi: http://www.ielts.org
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010
53
mendesainkan tes yang lebih sesuai dengan kebutuhan recruitment sekaligus kebutuhan berkomunikasi di tempat kerja. Maka dibuatlah TOEIC sebagai jawaban terhadap permintaan tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa TOEIC lebih bersifat vokasional, bukan persyaratan memasuki lembaga pendidikan tertentu melainkan persyaratan memasuki dunia kerja dan fokusnya pada komunikasi.5 Pada awalnya, TOEIC hanya mengujikan dua aspek kemampuan berbahasa (Listening dan Reading) dengan mengasumsikan bahwa dua kemampuan lainnya (i.e. Speaking dan Writing) yang bersifat “produktif” dapat diprediksi dari skor yang diperoleh dari kedua kemampuan “reseptif” tersebut. 6 Perkembangan selanjutnya, sejak paruh kedua 2007, TOEIC mulai melengkapi diri dengan pengukuran terhadap kemampuan Speaking dan Writing, namun pelaksanaan tesnya menggunakan komputer/internet. Sampai sekarang TOEIC masih memadukan dua format soal itu, yakni format paper and pencil untuk Listening dan Reading, dan format komputer/internet untuk Speaking dan Writing. Total skor “Paper” TOEIC (TOEIC Listening-Reading) berskala 10 - 990, sedangkan skor “Internet” TOEIC (TOEIC Speaking-Writing) masing-masing berskala antara 0 - 200 yang kemudian dikonversikan ke dalam proficiency level berskala 1 - 8 untuk Speaking dan 1 9 untuk Writing. (d) EPT for Polines EPT for Polines adalah tes profisiensi bahasa Inggris yang didesain oleh Polines untuk kepentingan Polines sendiri. Tes ini lahir dari suatu proses panjang, dimulai dari needs analysis, yakni survai (2004) kepada stake holders tentang kemampuan bahasa Inggris yang dibutuhkan lulusan Politeknik, dilanjutkan dengan dirumuskannya kompetensi bahasa Inggris yang (mustinya) dijadikan acuan dalam pengembangan kurikulum bahasa Inggris di prodi/jurusan di satu sisi, dan acuan dalam penyusunan tes bahasa Inggris standar kelulusan mahasiswa di sisi lainnya. Rumusan kompetensi inilah yang dijadikan dasar penyusunan soal-soal pada EPT for Polines. Sejak awal kemunculannya, EPT for Polines, yang merupakan hasil workshop yang diikuti hampir semua pengajar bahasa Inggris di Polines tersebut, sudah dirancang untuk mengujikan keempat kemampuan berbahasa: Listening, Reading, Speaking dan Writing, sebuah langkah maju yang tidak semua tes profisiensi buatan lembaga internasional sekalipun berani memulai sejak awal. Dengan segala keterbatasannya, setelah melalui proses diskusi dan revisi yang panjang, EPT for Polines disepakati menjadi alat ukur kemampuan bahasa Inggris yang menyeluruh, mencakup kemampuan reseptif (mendengarkan/listening dan membaca/reading) dan kemampuan produktif (berbicara/ speaking dan menulis/writing). Mengingat besarnya perbedaan porsi perkuliahan bahasa Inggris antara kelompok rekayasa dan kelompok tataniaga, EPT for Polines disiapkan dalam dua perangkat tes: satu perangkat untuk bidang ketataniagaan (commerce), satu lainnya untuk bidang rekayasa (engineering). Sejauh ini telah disusun beberapa versi tes untuk masing-masing kelompok tersebut. Karena berbagai pertimbangan, setiap perangkat EPT internal ini didesain untuk terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut (untuk lebih lengkapnya lihat Tabel 1): a. Kemampuan Listening, diukur dengan 30 soal yang disajikan atau harus diselesaikan dalam waktu ±30 menit (sesuai panjang rekaman); b. Kemampuan Reading, diukur dengan 50 soal dengan alokasi waktu 60 menit; 5
6
54
Untuk mengakses informasi tentang TOEIC, silakan kunjungi: http://www.toeic.org atau http://www.ets.org/toeic Lihat misalnya penjelasan pada TOEIC Can-Do levels table yang selalu menyertai skor TOEIC International.
Mencari Bentuk Standardisasi Kemampuan Berbahasa Inggris yang Tepat bagi Mahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Suko Raharjo)
c. Kemampuan Writing, diukur dengan 1 soal esai dengan alokasi waktu 30 menit; dan d. Kemampuan Speaking, diukur dengan 2 macam tes lisan (dialog dan monolog) yang harus diselesaikan dalam waktu ±30 menit. Komponen 1. Listening 2. Reading 3. Writing 4. Speaking
Jumlah soal
Waktu
Bobot
Keterangan
Pelaksanaan
30 item 50 item 1 item 2 item (1 monolog & 1 dialog)
±30’ 60’ 30’
25% 25% 25%
Dijadikan satu
Klasikal
@15’
25%
Terpisah
Diatur secara khusus; maju berpasangan
Tabel 1: EPT for Polines Pelaksanaan tes Listening, Reading dan Writing dapat dijadikan satu (bersamaan) dalam ruang kelas dengan jumlah peserta tes banyak (klasikal; sesuai kapasitas ruang tes), sedangkan tes Speaking hanya dapat dilaksanakan dalam pasangan-pasangan (paired) dan setiap pasangnya diuji oleh satu atau lebih grader yang ditunjuk. Skor yang diperoleh mahasiswa dari keempat macro-skills yang diujikan tersebut kemudian dirata-rata (setiap komponen sama bobotnya) dan ditampilkan sebagai skor akhir (overall) dalam skala 1-9.
EPT MANA YANG (PERLU) KITA PILIH? Keempat jenis EPT yang disajikan di atas (TOEFL, TOEIC, IELTS dan EPT for Polines) hanyalah beberapa di antara sekian banyak EPT yang ada di dunia7. Kita perlu memilih EPT mana yang tepat (i.e. terbaik) untuk konteks kita: pendidikan vokasional Politeknik. Bagian ini dimaksudkan untuk sedikit mengupas tentang hal tersebut, sekaligus dalam rangka menjawab pertanyaan yang saya tulis di muka tentang sebab-sebab EPT for Polines ditolak dan EPT mana yang lebih diinginkan oleh sebagian kalangan yang menolak tersebut. Ada banyak hal dapat kita gunakan sebagai kriteria penilaian, tetapi yang paling utama tentulah faktor kualitas, asumsi tentang tujuan dari EPT itu sendiri, aspek kemampuan yang diukurnya, popularitas tes dan, yang tidak kalah pentingnya, harganya. Berikut pembahasannya satu-persatu secara singkat. a. Kualitas EPT Kualitas sudah selayaknya menjadi kriteria pertama dan utama untuk menentukan EPT mana yang akan dijadikan tes standar kemampuan bahasa Inggris untuk mahasiswa Politeknik pada umumnya atau Polines khususnya. Bukan karena Politeknik kita bersemboyan “Committed to Quality”, akan tetapi karena kualitas tes menentukan keluaran (output) yang akan dihasilkan dari alat ukur tersebut. Kata kunci yang barangkali perlu disebutkan di sini adalah bagaimana suatu tes itu mengukur apa yang seharusnya diukur lalu merepresentasikannya dalam suatu bentuk skor yang mudah dibaca atau dimengerti dan dapat dipercaya semua pihak, dan hasil pengukuran itu akan cenderung konsisten pada pengukuran-pengukuran lain yang serupa. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa tes EPT harus memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Untuk informasi tentang pembuatan tes yang memenuhi persyaratan seperti ini, lihat misalnya 7
Untuk melihat berbagai EPT lainnya, berikut mencoba mengerjakan latihan-latihannya secara gratis, silakan kunjungi mis. http://www.examenglish.com.
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010
55
Brown, 2005 atau Gronlund, 1981; khusus tes bahasa Inggris, lihat misalnya Heaton, 1975 atau Harris, 1969. Saya menduga, penolakan sebagian kalangan internal terhadap digunakannya EPT for Polines untuk standardisasi kemampuan bahasa Inggris mahasiswa selama ini salah satunya karena alasan kualitas ini. Kita patut bangga dan menghargai upaya dan kerja keras yang telah dilakukan semua pihak terkait sampai munculnya satu alternatif EPT yang unik untuk lembaga kita, tetapi dari sisi kualitas mungkin keraguan sementara pihak terhadap EPT baru itu memang dapat dimengerti. Untuk dapat membuat suatu tes yang berkualitas diperlukan sumber daya (baik manusia maupun dana) yang tidak sedikit. Dibutuhkan juga kajian (research) yang terus-menerus. Di sisi ini kita harus mengakui, sumber daya kita memang sangat terbatas ketika menyiapkan sekaligus “memelihara” EPT for Polines. Di sinilah barangkali pentingnya dibangun sebuah tim yang solid dan berkualitas dengan komitmen pendanaan yang kuat untuk pengembangan EPT yang khas untuk lembaga pendidikan vokasional seperti Politeknik ini. Kecuali, tentu saja, kita merasa yakin bahwa dari sekian banyak EPT yang tersedia di pasar, ada satu atau beberapa yang cocok dengan konteks kita sehingga kita tinggal membeli saja dan tidak perlu repot-repot membuat sendiri. Sedikit membandingkan EPT for Polines dengan EPT-EPT lain yang saya sebutkan di muka (i.e. TOEFL, TOEIC dan IELTS), semua EPT berkelas internasional ini memang disiapkan oleh lembaga khusus yang merekrut ahli-ahli (experts) di berbagai bidang terkait dan juga para peneliti (researchers) yang sangat profesional di bidangnya. Mereka bekerja siang malam untuk menghasilkan inovasi-inovasi dalam rangka pembuatan tes profisiensi berkualitas terbaik. Mereka juga melakukan serangkaian uji coba sebelum tes itu dipasarkan kepada masyarakat pengguna. Di sisi ini secara jujur harus kita akui, bahwa EPT for Polines memang masih kalah kelas dibandingkan dengan EPT-EPT lain yang telah diuraikan di muka. Akan tetapi apakah “kekalahan” ini harus diartikan pula sebagai perlu diabaikannya eksistensi EPT for Polines di dalam opsi pilihan EPT yang boleh dipilih untuk pengukuran standar kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa kita, masih ada beberapa kriteria lain yang juga perlu kita lihat dan perhatikan. b. Asumsi tentang tujuan EPT dan aspek kemampuan yang diukur Setiap EPT disusun dengan tujuannya masing-masing. Pada umumnya, EPT berskala internasional seperti TOEFL, TOEIC atau IELTS, ditujukan untuk orang-orang yang bahasa ibunya bukan bahasa target (dalam hal ini bahasa Inggris). Tes ini dimaksudkan untuk menilai apakah test takers memenuhi persyaratan kebahasaan yang (akan) diperlukan untuk berkomunikasi internasional, baik dalam konteks pekerjaan, domisili maupun pendidikan. Tidak mengherankan apabila latar belakang test takers yang dipertimbangkan para penyusun tes seperti itu sangat beragam, multi-kultur dan multietnis, meskipun materi tesnya pasti selalu target-language oriented (i.e. berorientasi pada penguasaan bahasa target). Tujuan mengikuti EPT seperti itu adalah memenuhi persyaratan menempati posisi tertentu di dalam suatu bidang pekerjaan, atau dapat bersosialisasi dengan masyarakat lingkungan, atau memenuhi persyaratan mengikuti kegiatan akademik pada jenjang pendidikan tertentu yang menggunakan bahasa target sebagai medium instruksinya. Secara demikian, tes profisiensi disusun berdasarkan kemampuan umum yang dibutuhkan pada posisi-posisi yang diproyeksikan akan dimasuki test takers tersebut, baik di dunia pekerjaan, lingkungan masyarakat maupun dunia kampus. Aspek lainnya yang terkait erat dengan tujuan yang perlu diperhatikan ketika menilai suatu EPT adalah kemampuan kebahasaan yang diukur dengan tes tersebut. Setelah tujuan EPT dirumuskan, langkah berikutnya tentulah mengidentifikasi materi yang perlu diujikan di dalamnya. Di sini yang perlu kita nilai adalah apakah EPT tersebut mengujikan 56
Mencari Bentuk Standardisasi Kemampuan Berbahasa Inggris yang Tepat bagi Mahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Suko Raharjo)
semua kemampuan kebahasaan yang memang perlu diujikan sesuai tujuannya. EPT yang bersifat vokasional maupun akademik seyogyanya mengujikan keseluruhan aspek kebahasaan (listening, speaking, reading dan writing) karena keseluruhan aspek itu memang dibutuhkan untuk dunia pekerjaan maupun pendidikan. EPT yang menjadi bagian dari suatu program pelatihan atau pembelajaran mungkin tidak perlu mengujikan keseluruhan aspek kemampuan kebahasaan yang ada. Ketika menyusun EPT for Polines, yang ada di benak tim perancang waktu itu adalah bagaimana menuangkan daftar kompetensi yang sudah dirumuskan dari survai stake holders ke dalam soal-soal tes yang baik (i.e. berkualitas) yang mencakup keseluruhan kompetensi yang dibutuhkan (calon) lulusan Politeknik. Tujuannya tidak lain agar ketika mereka diuji dengan EPT tersebut – apabila lulus – mereka telah memiliki kemampuan yang dibutuhkan di tempat kerja. Tentu saja tidak semua kompetensi dapat diukur di dalam perangkat tes yang waktu dan jumlah butir soalnya terbatas tersebut. Oleh karena itu, yang perlu selalu dijaga adalah keterwakilan kompetensi yang ingin diukur tersebut di dalam butir-butir soal yang digunakan untuk mengukurnya. Kalau saya boleh menilai di sini, IELTS (dan sesungguhnya EPT for Polines juga) adalah EPT yang sejak awal perkembangannya telah secara berani dan konsisten menuangkan semua kemampuan yang diproyeksikan akan dibutuhkan test takers di dunia barunya itu di dalam soal-soal tes yang diujikannya. Mungkin EPT lain tidak memasukkan unsur tersebut karena alasan kepraktisan (administrative practicality), akan tetapi jelas bahwa keberanian dan konsistensi ini adalah satu nilai plus yang patut dicatat. Terbukti kemudian, hampir semua EPT kelas dunia memasukkan semua aspek kemampuan bahasa (listening, speaking, reading dan writing) di dalam perangkat tesnya karena keempat macro-skills itu memang diperlukan di dunia kerja maupun di dunia kampus (lihat Tabel 2).
EPT for Polines
TOEFL®
TOEIC® International
IELTS®
ITP/Paper
CBT
iBT
Listening
Listening
Listening
Listening
Listening (paper)
Listening
– *)
Structure & Written Expression
Structure & Written Expression
– *)
– **)
– *)
Reading
Reading
Reading
Reading
Reading (paper)
Reading
Speaking
--
--
Speaking
Speaking (internet)
Speaking
Writing
--
Writing
Writing
Writing (internet)
Writing
Tabel 2: Perbandingan komponen beberapa tes profisiensi bahasa Inggris (EPT) *) Soal grammar dimasukkan di dalam semua bagian tes yang lain **) Soal grammar mirip Structure & Written Expression dimasukkan di dalam bagian Reading
Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak semua EPT mengujikan seluruh aspek kemampuan bahasa. TOEFL paper (ITP) yang selama ini sangat kita kenal, misalnya, tidak mengukur kemampuan speaking dan writing. TOEFL berbasis komputer (CBT) tidak mengujikan speaking, walaupun mengujikan writing. Sedangkan TOEIC baru belakangan ini saja mengujikan speaking dan writing, itupun dalam format yang berbeda: speaking dan writing TOEIC dikemas dalam format internet, sedangkan listening dan reading TOEIC Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010
57
masih tetap diujikan dalam format tradisionalnya (paper). Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa beberapa tes secara khusus (terpisah) mengujikan kemampuan grammar sedangkan beberapa EPT lainnya memasukkan unsur ini ke dalam semua aspek kebahasaan yang ada. Dengan kata lain, grammar diukur dalam penerapannya pada kemampuan listening, speaking, reading dan writing. Tentu saja pilihan apakah grammar perlu diujikan secara tersendiri atau cukup dimasukkan di dalam aspek kebahasaan yang lainnya, ini bergantung pada asumsi dasar yang digunakan di dalam membangun tes itu sendiri. Menurut hemat saya, semakin lengkap suatu EPT dalam aspek kebahasaan yang diukurnya semakin baik karena itu berarti EPT tersebut mengukur kemampuan secara lebih menyeluruh, kecuali, tentu saja, jika tujuan dari tes itu sendiri memang hanya mengukur sebagian dari kemampuan kebahasaan yang ada. c. Popularitas Aspek penting lain yang perlu diperhatikan ketika memilih tes yang akan dijadikan standar pengukuran adalah popularitas tes: seberapa banyak orang mengetahui/mengenali tes tersebut, seberapa banyak orang telah menggunakan tes tersebut sebagai alat ukur kemampuan kebahasaan, berapa banyak pihak mengakui tes tersebut sebagai alat ukur yang baik dan dapat dipercaya. Dalam konteks ini, tentu saja, tes-tes profisiensi berskala internasional seperti TOEFL, TOEIC atau IELTS dapat dikatakan sebagai EPT yang sangat popular dan, oleh karenanya, tidak cukup fair untuk membandingkannya dengan EPT yang by desain berskala lokal, seperti EPT for Polines, karena keduanya jelas-jelas berbeda kelas. Akan tetapi, perlu diingat bahwa popularitas itu bukan barang mati. Yang saya maksud di sini adalah bahwa popularitas suatu tes dapat dibangun seiring perjalanan waktu. Ketika pasar pengguna lulusan Politeknik, misalnya, menerima atau melihat sertifikat kemampuan bahasa Inggris – yang diukur dengan EPT for Polines dan menunjukkan skor tertentu pada skala tertentu juga – lalu mereka merasa bahwa sertifikat skor tersebut benar-benar menggambarkan kemampuan pemiliknya, maka sesungguhnya kita sedang membangun popularitas bagi EPT tersebut. Tentu upaya-upaya serius perlu ditempuh untuk meningkatkan popularitas suatu EPT, tetapi ini jelas bukan hal yang mudah dan murah. Berkaitan dengan masalah popularitas EPT ini, tepat sekali apabila apa yang dilakukan Ketua Jurusan Akuntansi sebelum periode sekarang, Bapak Nyata Nugraha, S.E, M.Si., disampaikan di sini sebagai bahan perenungan. Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan kalangan industri dan pasar pengguna lulusan Jurusan Akuntansi, beliau tidak segan-segan menjelaskan tentang EPT for Polines yang waktu itu memang digunakan sebagai syarat lulus mahasiswa jurusan tersebut, hal yang barangkali tidak perlu dilakukannya apabila EPT yang digunakan adalah EPT yang memang sudah sangat populer. Intinya adalah bahwa, di satu sisi, ada kebanggaan dengan jenis EPT yang dipilih untuk digunakan, lalu, di sisi lainnya, ada upaya serius dan terus-menerus pula untuk mempublikasikan atau mempopulerkannya pada setiap kesempatan. Yang perlu kita pertanyakan ke dalam di sini barangkali adalah, apakah kita cukup bangga dengan EPT buatan kita sendiri. d. Harga Harga tes juga salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan ketika memilih EPT yang akan digunakan sebagai standar profisiensi untuk lembaga. Memang ada istilah “ada harga ada rupa”, yang artinya setiap barang bagus pasti harganya mahal, tetapi apakah tidak mungkin ada barang yang harganya murah dengan kualitas bagus? Atau sebaliknya, apakah yang mahal selalu bagus? Tabel berikut (Tabel 3) membandingkan 58
Mencari Bentuk Standardisasi Kemampuan Berbahasa Inggris yang Tepat bagi Mahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Suko Raharjo)
beberapa EPT dari sisi harga yang harus dibayarkan oleh seorang peserta tes untuk sekali tes (dalam dua mata uang, US$ dan IDR dengan asumsi US$1.00 = Rp10.000,00).
EPT for Polines
±US$5.00 (Rp50.000)
TOEFL® ITP/Paper
US$27.50 (Rp275.500)
CBT
--*)
TOEIC® International
iBT
US$165.00 (Rp1.650.000)
US$45.00 (Rp450.000) untuk TOEIC ListeningReading; US$95.00 (Rp950.000) untuk TOEIC SpeakingWriting
IELTS®
US$180.00 (Rp1.800.000)
Tabel 3: Perbandingan harga beberapa EPT *) TOEFL jenis ini tidak dipasarkan lagi secara internasional.
Dari sisi harga, EPT for Polines jelas-jelas yang paling murah dibandingkan EPT-EPT lain yang kita lihat. Tabel 3 menunjukkan bahwa EPT buatan sendiri ini bahkan kurang dari seperlima harga EPT internasional yang termurah (TOEFL ITP). Mungkinkah sebagian kalangan (internal) meragukan kualitas EPT versi Polines tersebut karena harganya? Tidak jarang kita menemukan orang-orang yang meragukan kualitas suatu barang ketika tahu harganya (sangat) murah. Mungkin sudah waktunya harga EPT for Polines dinaikkan untuk mendongkrak tingkat kepercayaan masyarakat terhadapnya? Wallahu a’lam. Yang jelas, penetapan harga tidak boleh dilakukan dengan semena-mena tanpa menimbang banyak aspek terkait lainnya.
PENUTUP Di muka telah diuraikan secara singkat perlunya dilakukan pengukuran profisiensi bahasa Inggris dengan standar yang pasti untuk mahasiswa kita. Telah disajikan pula beberapa jenis tes profisiensi yang dapat dipilih berikut perbandingannya satu sama lain dilihat dari kualitasnya, tujuan dan aspek kebahasaan yang diukurnya, tingkat popularitasnya maupun harganya (lihat Tabel 4). Terlihat sekali bahwa EPT for Polines “kalah” dari sisi kualitas (walaupun masih bersifat perseptif, belum diuji secara empiris), maupun “kalah” dari sisi harganya. EPT for Polines “kalah” mahal dibandingkan EPT-EPT lain yang berkelas internasional. Dari awal sudah disebutkan bahwa tidak cukup fair membandingkan EPT for Polines dengan EPT-EPT kelas dunia, akan tetapi “kekalahan” EPT lokal ini sesungguhnya dapat ditutup dengan upaya yang sungguh-sungguh apabila kita ingin menjadikannya alat ukur standar profisiensi bahasa Inggris untuk mahasiswa kita. Upaya serius ini antara lain menyangkut pendanaan, penguatan SDM dan sosialisasi eksternal maupun internal. Apabila kita memilih EPT lain yang ready to buy, yang perlu kita pertimbangkan tinggal EPT mana yang lebih cocok dengan karakteristik pendidikan kita (yang vocational) dan apakah biaya yang harus dikeluarkan mahasiswa untuk mengikuti tes tersebut tidak terlalu memberatkan mereka. Menimbang bahwa EPT internasional sertifikatnya berlaku di seluruh belahan bumi ini, barangkali nominal yang tercantum di dalam daftar harga tes tersebut dapat dikatakan cukup reasonable. Hanya saja, karena angka tersebut termasuk mahal untuk kebanyakan masyarakat kita, sudah semestinya pemilihan EPT internasional sebagai tes standar tersebut disertai dengan langkah-langkah antisipatif yang diperlukan agar mahasiswa kita benar-benar sudah siap menghadapi tes EPT internasional tersebut, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010
59
siap dalam pengertian mereka akan mendapatkan skor yang pantas untuk tenaga kelas menengah yang terampil di bidangnya. ®
Aspek yang dilihat
EPT for Polines
ITP/Paper
CBT
Kualitas
Diragukan
OK
OK
Mhs yg akan segera lulus Polines;
Non-native English speakers;
Non-native English speakers;
semua macro skills (listening, reading, speaking, writing)
hanya listening, grammar, reading saja
Popularitas
Lokal/ Institusional
Harga
±US$5 (Rp50.000)
Tujuan & aspek yang diukur
TOEFL
IELTS®
iBT
TOEIC® International
OK
OK
OK
Non-native English speakers;
Non-native English speakers;
Non-native English speakers;
listening, grammar, reading, writing
semua macro skills
semua macro skills
semua macro skills
Internasional
Internasional
Internasional
Internasional
Internasional
US$27.5 (Rp275.000)
US$--
US$165 (Rp1.650.000)
US$(45+95) (Rp1.400.000)
US$180 (Rp1.800.000)
Tabel 4: Rangkuman perbandingan beberapa EPT Pada akhirnya kita akan menyadari bahwa pilihan manapun yang akan kita ambil, semuanya mengandung konsekuensi-konsekuensinya masing-masing. Sementara ini, UPT Bahasa bersikap terbuka dalam arti siap melayani setiap pesanan klien yang berbeda-beda dari manapun datangnya termasuk prodi/jurusan. Akan tetapi secara kelembagaan, sudah waktunya Polines menentukan sikap: memilih satu yang dianggap standar lembaga lalu setiap unsur terkait mengikutinya. Bukankah ini juga salah satu upaya mewujudkan slogan: tepat ukuran, tepat aturan? Wallahu a’lam. Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
DAFTAR PUSTAKA Brown, J. D., 2005. Testing in Language Program. New Edition. NY: McGraw-Hill. ®
ETS, 2005. TOEFL iBT Tips: How to prepare for the next generation TOEFL test and Communicate with Confidence. Princeton, N.J.: ETS. Gronlund, N.E., 1981. Measurement and Evaluation in Teaching. NY: Macmillan Publishing Co. Harris, D.P., 1969.Testing English as a Second Language. NY: McGraw-Hill. Heaton, J.B., 1975. Writing English Language Tests. London: Longman Group Ltd. http://www.examenglish.com http://www.ielts.org http://www.toefl.org atau http://www.its.org/toelf http://www.toeic.org atau http://www.its.org/toeic Romangsi, I Nyoman, dkk. 1999. Analisis Kebutuhan tentang Pendirian Unit Lembaga Bahasa di Politeknik Negeri Semarang. (Laporan hasil penelitian tidak dipublikasikan). SK Senat Politeknik Negeri Semarang No. No. 289A/N11/SK.S/2002 tentang Pendirian UPT Bahasa.
60
Mencari Bentuk Standardisasi Kemampuan Berbahasa Inggris yang Tepat bagi Mahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Suko Raharjo)
UPT Bahasa. 2004. Survai Stake Holders dalam rangka Analisis Kebutuhan Pasar Kerja terhadap Kualitas Lulusan Politeknik Negeri Semarang di Bidang Kemampuan Berbahasa Inggris. (Laporan kegiatan). UPT Bahasa. 2004. Workshop Penyusunan Standar Profisiensi Bahasa Inggris (EP), Tes Profisiensi Bahasa Inggris (EPT) dan Modul Pelatihan EPT bagi Mahasiswa Politeknik Negeri Semarang. (Laporan kegiatan).
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010
61