Men-Sinergi-kan
70.000 Alumni ITB
Sumaryanto Widayatin For IAITB
Men-Sinergi-kan 70.000 Alumni ITB Pengantar Kampanye Sumaryanto Widayatin (SI74) sebagai Ketua Ikatan Alumni ITB
Rekan-rekan Alumni ITB yang saya hormati, Izinkan saya memberi sebuah pengantar bagi pencalonan saya sebagai Ketua Alumni ITB periode 2011-2014. Sebelum berbicara tentang siapa saya, memperkenalkan diri kepada sekitar 70.000 alumni ITB di seluruh dunia, tentunya saya harus terlebih dahulu bicara soal organisasi alumni kita. Bahkan, bila hendak merunut lebih jauh ke hal yang paling mendasar, saya harus bicara tentang Alumni ITB itu sendiri. Alumni ITB adalah atribut yang menyatukan kita semua. Karenanya, izinkan saya memulai cerita ini dengan mengisahkan teladan dan warisan yang telah dijejakkan para pendahulu kita, yakni alumni-alumni ITB dari generasi sebelumnya, kepada kita.
TELADAN ALUMNI SENIOR Kampus kita tercinta berlokasi di Jl Ganesha (yang merupakan simbol ITB), di dekat Jl Ir H Juanda atau yang dulu lebih dikenal sebagai Jl Dago. Bukan kebetulan bahwa nama Djoeanda Kartawidjaja (19111963) dipilih untuk menamakan jalan di dekat kampus kita itu. Pak Djoeanda adalah lulusan dari Technische Hogeschool, yang kini menjadi ITB. Bicara soal Pak Djoeanda, kita tentu ingat sejarah bangsa kita. Pada13 Desember 1957, Perdana Menteri Djoeanda mengumumkan apa yang kini kita kenal sebagai Deklarasi Djoeanda, salah satu tonggak penting sejarah pembentukan wilayah Indonesia. Sebelum menjadi Perdana Menteri, Pak Djoeanda beberapa kali menjabat menteri, di antaranya sebagai Menteri Perhubungan, Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Sejak menjabat menteri, beliau sangat risau melihat pandangan masyarakat internasional kala itu yang hanya mengakui batas laut teritorial adalah selebar 3 mil laut terhitung dari garis pantai terendah. Kondisi ini menyebabkan wilayan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 hanya berupa pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh perairan internasional atau laut bebas.
01
Negara-negara lain--terutama Amerika Serikat dan Australia--sangat berkepentingan mempertahankan kondisi pulau-pulau Indonesia yang terpisah-pisah itu. Tetapi, Perdana Menteri Djoeanda dengan berani mendobrak kepentingan negara-negara maju tersebut. Pak Djoeanda mengumumkan kepada dunia bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia. Laut-laut tersebut adalah bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“
“
Berkat perjuangan Djoeanda Kartawidjaja dan penerusnya, Indonesia
menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, yang memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2. Pak Djoeanda adalah alumni Technische Hogeschool, yang kini menjadi ITB.
Deklarasi tersebut sempat ditentang Amerika Serikat maupun Australia. Namun, Pak Djoeanda dan para penerusnyadi pemerintahan, di antaranya Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Prof Dr Hasyim Djalal, dengan gigih berjuang melalui diplomasi sehingga konsepsi Negara Nusantara diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS), pada 1982. Berkat perjuangan tersebut, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, yang memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2. Lautan merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia, di mana terhampar 17.500 lebih pulau dengan total garis pantai sepanjang 81.000 km, garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Keluasan wilayah yang kini kita nikmati adalah warisan pemikiran, kepeloporan dan perjuangan senior kita, Djoeanda Kartawidjaja. Kita patut ikut berbangga. Namun, lebih penting dari itu, kita harus mengikuti teladan yang telah diwariskan Pak Djoeanda kepada kita, yakni karya nyata bagi kejayaan dan kebesaran Ibu Pertiwi. Bicara soal mempersatukan Indonesia, kita mesti menoleh pula 02
senior kita yang lain, yakni Pak Iskandar Alisjahbana (1931-2008). Prof Dr Ing Iskandar Alisjahbana, mantan Rektor ITB, dikenal sebagai Pencetus Teknopreneurship. Namun demikian, salah satu karya terbesar beliau, yang mesti selalu kita ingat, adalah Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa. Pada 1974, Pak Iskandar memaparkan ide tentang satelit Palapa di Aula Barat kampus kita tercinta. Dua tahun berselang, pada 1976, satelit tersebut diluncurkan. Lewat SKSD Palapa, Indonesia menjadi negara keempat di dunia yang memanfaatkan satelit komunikasi domestik, mendahului banyak negara maju. Dengan teknologi terdepan itulah sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) dimungkinkan, siaran televisi dari Jakarta bisa dinikmati hingga pulau-pulau terpencil, dan kedekatan kebangsaan lainnya tumbuh. Dari teladan dua tokoh alumni ITB tersebut, Pak Djoeanda dan Pak Iskandar, hendaknya kita semua menetapkan hati untuk selalu ikut berjuangan dan menyumbang karya dalam menyatukan dan mempertahankan kesatuan Indonesia. Visi Pak Djoeanda dan Pak Iskandar sangat maju ke depan, melompati zamannya. Cara pandang yang berani tersebut hendaknya juga menjadi inspirasi bagi kita.
Rekan-rekan alumni ITB, Senior ITB lain yang juga ingin saya kemukakan kisahnya adalah Prof Rooseno Suryohadikusumo (1908-1996), yang kebetulan adalah sarjana sipil seperti saya. Beliau dijuluki sebagai Bapak Beton Indonesia. Beliau ikut mendirikan Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia, selain menjadi guru besar di almamaternya, ITB. Prof Rooseno mendorong penggunaan beton sebagai bahan bangunan utama karena bahan bakunya memang sangat melimpah 03
di Tanah Air. Beliau tajam dalam mengenali keunggulan komparatif negerinya. Bicara soal Pak Rooseno, jarang yang mengetahui bahwa senior kita tersebut adalah orang penting dalam pembangunan Masjid Istiqlal, Jembatan Rajamandala, Monumen Nasional (Monas), dan Hotel Indonesia (HI) yang fenomenal dan hingga kini menjadi kebanggan nasional. Pak Roosenojuga terlibat dalam rehabilitasi Candi Borobudur. Dan, bersama Prof Wiratman yang juga alumni ITB, beliau menjadi pendiri Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Yang juga jarang diketahui, Pak Rooseno pernah mendirikan biro konsultan bersama Ir Soekarno, presiden pertama Indonesia yang juga alumni Technische Hogeschool. Pak Rooseno juga pernah menjabat Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum. Banyak yang mengatakan, tanpa Pak Rooseno, teknik sipil di Indonesia tak akan berkembang seperti sekarang. Setelah mengenal sosok Prof Rooseno, kini, bila melintas dan melihat Masjid Istiqlal, Monas, HI dan Candi Borobudur, hendaknya kita teringat akan senior kita itu. Mari kita meneladani Pak Rooseno yang telah ikut serta membangun negara lewat karya serta pemikiran. Jejak warisan Pak Rooseno jauh melampaui masa hidup beliau. Dari Prof Rooseno, saya ingin mengajak rekan-rekan mengingat tokoh alumni ITB lain, yang tangan dinginnya juga ikut menyulap wajah Jakarta, Ibu Kota negara kita. Ir Ciputra adalah seorang arsitek dan entrepreneur yang patut kita teladani. Karya-karya awalnya, yang ia kembangkan di era Gubernur Ali Sadikin, adalah Pasar Senen dan pusat hiburan di tepi Pantai Ancol. Di masanya, Ancol adalah kebanggaan karena merupakan pusat hiburan yang sama atraktifnya dengan yang ada di kota-kota besar lain di Asia. Namun demikian, saya rasa, karya terbesar Pak Ciputra adalah perumahan moderen Bintaro, di Jakarta Selatan. Wilayah yang telah menjadi satelit kecil di pinggir Jakarta dan berkembang menjadi 9 04
sektor kompleks hunian tersebut adalah buah visi dan cita-cita Pak Ciputra untuk menyediakan rumah yang layak bagi kelas menengah Indonesia yang mulai tumbuh di era 1980-an. Konsep Bintaro kemudian diikuti perumahan-perumahan lain. Bilamana Pak Djoeanda dan Pak Iskandar memberi insiprasi melalui perannya yang ikut menyatukan Nusantara, Pak Rooseno dan Pak Ciputra adalah teladan yang mewarisi kita dengan monumenmonumen visioner, yang masih ada hingga sekarang dan di masa depan. Alumni ITB berikutnya yang ingin saya singgung dalam kisah ini adalah Prof JA Katili (1929-2008). John Ario Katili adalah salah seorang alumni ITB dengan karir multi dimensi. Beliau adalah doktor geologi pertama di Tanah Air, birokrat, politisi dan juga diplomat. Di bidang akademis, Prof Katili telah menulis sedikitnya 11 buku dan 250 karya tulis. Salah satu keistimewaan beliau adalah kemampuannya menyalurkan hard science kepada khalayak dalam bahasa yang mudah dipahami. Kepakaran beliau di bidang geologi sangat dihormati di dunia internasional. Pak Katili pernah menjadi Ketua South East Asia of Geological Socientis dan anggota The National Geographyc Society. Dalam pemerintahan, beliau pernah menjadi Dirjen Pertambangan Umum serta Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral. Dari situ, beliau terjun ke dunia politik dan menjadi wakil rakyat di DPR (19921997). Wibawa serta kepemimpin membawa Pak Katili pada posisi Wakil Ketua DPR/MPR. Dari DPR/MPR, Pak Katili kemudian diberi tugas sebagai diplomat, menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Federasi Rusia, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Mongolia. Tugas diplomasi tersebut beliau emban hingga 2003, saat usianya telah mencapai 74 tahun. Pak Katili memberi kita teladan tentang berkerja dan berkarya hingga usia lanjut. Beliau juga menberi contoh soal kemampuan beradaptasi, dapat bekerja dan berkarya di berbagai bidang, menjadi manusia multidimensi.
Rekan-rekan alumni ITB, Mohon bersabar dengan cerita-cerita saya ini. Sebab, kita perlu 05
banyak menengok sejarah dalam memahami tantangan yang dihadapi Ikatan Alumni ITB ke depan. Kini, izinkan saya menceritakan dua alumni ITB lainnya, agar genap jumlah pemberi teladan ini menjadi 7 orang.
Peran alumni ITB demikian beragam; dari presiden, birokrat, politisi, entepreneur, insinyur, arsitek, profesional, konsultan, bankir,
“
“
Letjen. TNI (Purn) Mashudi (1919-2005) sudah pasti adalah seorang tentara. Tetapi, yang jarang diketahui, beliau pernah kuliah di Technische Hogeschool. Pak Mashudi pernah menjabat Gubernur Jawa Barat selama 10 tahun, antara 1960-1970. Namun demikian, yang paling melekat dari seorang Mashudi adalah kedekatannya dengan generasi muda.
ekonom, desainer hingga seniman. Dan, kini mereka berkarya di seluruh bagian dunia, dari Indonesia hingga Amerika Serikat, dari Brazil hingga Finlandia.
Beliau adalah Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka selama 15 tahun, antara 1978-1993. Banyak yang menyebut beliau sebagai “Lord Baden Powel”-nya Indonesia. Lewat sentuhan tangan dinginnya, Gerakan Pramuka berkembang pesat menjadi organisasi kepanduan terbesar di dunia. Karenanya, beliau mendapat anugerah Bronze Wolf Award, penghargaan tertinggi dalam dunia kepanduan dari World Organization of Scout Movement (WOSM). Alumni ITB lain yang menjadi teladan dalam mendidik dan membimbing generasi muda adalah Pater Drs Ignatius Josephus Gerardus Drost SJ (1925-2005). Lelaki keturunan Belanda tersebut adalah alumni Fisika ITB, lulus pada 1957. Pada 1960, Pater Drost ditahbiskan sebagai pendeta. Tugas pertamanya adalah menjadi dosen di IKIP Sanata Dharma, hingga beliau menjabat rektor antara 1964-1967. Di era Pater Drost, Sanata Dharma, yang sebagian besar mahasiswanya berasal dari lingkungan pedesaan, berhasil meluluskan calon-calon guru tangguh yang dicari banyak sekolah. Di tangan Pater Drost, para mahasiswa tersebut tak sekedar menjadi pengajar yang berpengetahuan luas dan mendalam. Mereka dibentuk menjadi pendidik.
06
Uniknya, karir Pater Drost kemudian lebih menonjol sebagai pendidik dan pemimpin sekolah menengah atas khusus laki-laki. Beliau populer sebagai Kepala SMA Kanisius Jakarta (1976-1987) dan Kepala SMA Aloysius Gonzaga (1987-1991). Hidup Pater Drost didedikasikan bagi pendidikan generasi muda. Beliau adalah salah satu tokoh pendidik dan pembelajar yang banyak memberi sumbangan pemikiran dalam pembaharuan pendidikan di Indonesia. Pak Katili, Pak Mashudi dan Pater Drost menyadarkan kita bahwa, sejak dulu, alumni ITB tak hanya berkarya sebagai insinyur dan di bidang teknologi. Peran alumni ITB demikian beragam; dari presiden, birokrat, politisi, entepreneur, insinyur, arsitek, profesional, konsultan, bankir, ekonom, desainer hingga seniman. Dan, masih banyak peran dan profesi lain dari alumni ITB yang belum saya sebut. Sekitar 70.000 alumni ITB yang ada sekarang mewarisi DNA berkarya di berbagai bidang dari para senior tersebut. Bahkan, kini mereka berkarya di seluruh bagian dunia, dari Indonesia hingga Amerika Serikat, dari Brazil hingga Finlandia.
IA-ITB SEBAGAI I-ORGANIZATION Setelah menengok teladan dari 7 alumni pendahulu kita; setelah mengingat kembali DNA yang diwariskan kepada kita; berupa semangat keunggulan, kepeloporan, perjuangan, dan pengabdian; izinkan saya kini berbicara tentang Ikatan Alumni ITB, organisasi kita. Hal yang sering dilupakan dalam pembicaraan dan perdebatan tentang IA-ITB adalah usianya yang sudah cukup tua, yakni 42 tahun. Ikatan Alumni ITB, sebagaimana disebutkan dalam AD/ART-nya, berdiri pada 1 Maret 1969, pada masa-masa awal Orde Baru; pada era Pak Iskandar, Pak Rooseno, Pak Katili dan sebagainya. Ketika itu, saya sendiri belum menjadi mahasiswa ITB. Semangat pendirian IA-ITB sejalan dengan semangat keunggulan, kepeloporan, perjuangan, dan pengabdian yang menjadi nilai-nilai ITB. Mukadimah Anggaran Dasar organisasi kita mengingatkan bahwa alumni ITB terpanggil menjadi pelopor kemajuan peradaban dunia dan pembangunan nasional. Empatpuluhdua tahun silam, para pendahulu kita memutuskan berhimpun, membentuk Ikatan Alumni ITB, guna mensinergikan langkah dalam kepeloporan dan pengabdian. IA-ITB dimaksudkan 07
sebagai komunitas intelektual dan sosial yang berkontribusi pada peningkatan daya saing dan inovasi bangsa. Melalui dan dengan bantuan Ikatan Alumni ITB, para alumni diharapkan dapat berperan dan berkontribusi lebih baik lagi dalam pembangunan nasional. Melompat jauh ke depan, 42 tahun telah berlalu sejak pendirian organisasi kita. Dalam jangka waktu itu, dunia dan Indonesia berubah. ITB berkembang. Alumni ITB ikut berubah dan berkembang. Saat ini, semangat mensinergikan para alumni ITB dihadapkan pada kenyataan bahwa jumlah kita telah mencapai sekitar 70.000 alumni, yang tersebar bukan saja di seluruh pelosok Nusantara, tetapi juga di seluruh belahan muka bumi. Selain jumlah kita yang sangat banyak; sebagaimana ditunjukkan sosok-sosok seperti Pak Katili, Pak Mashudi dan Pater Drost; arena perjuangan kita semakin beragam. Inilah kenyataan dan tantangan yang dihadapi IA-ITB masa kini. Karena itu, bilamana kita masih mendengar banyak alumni ITB— khususnya para alumni muda kita—merasa tak bersentuhan dengan IA-ITB, tak kenal dengan IA-ITB, tak mendapat manfaat dari IA-ITB, dan sebagainya; itu terutama disebabkan kenyataan dan tantangan yang kita hadapi tadi. Organisasi kita dihadapkan pada tantangan menyatukan jumlah alumni yang demikian banyak, demikian tersebar, demikian plural, dan demikian beragam minat serta aktivitasnya. Bagaimana mengumpulkan semua aktivitas alumni yang demikian terserak?
08
Setiap tantangan tentuada solusinya. Dan, sebagai alumni ITB, adalah naluri kita untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi ini dengan nilai-nilai keunggulan, kepeloporan, kejuangan, dan pengabdian. Menyadari kondisi dan tantangan yang kita hadapi, dalam rangka mensinergikan alumni yang demikian banyak serta beragam, saya mengusulkan untuk menghidupkan kembali ide pembentukan kelompok-kelompok minat. IA-ITB harus mampu membuat sistem yang memungkinkan para alumni ITB dari berbagai jurusan dan angkatan untuk saling bertemu, berkelompok sesuai minat, bertukar informasi, berbagi ilmu dan pengetahuan, serta berkarya bersama. Melalui sistem ini, generasi muda alumni ITB akan dapat menimba ilmu dan bimbingan dari para senior yang memiliki minat sama. Jadi, kelak, dapat dibentuk Kelompok Minat Entrepreneurship, Teknopreneurship, Usaha Menengah dan Kecil, Pengembangan Soft Skill, Green Life, Energi Terbarukan, Kemandirian Energi, Penanggulangan Bencana, Peningkatan Prestasi Olahraga, Seni Pertunjukan, Pendidikan Alternatif, Kepanduan, Beasiswa, Budaya, Bahasa, Social Media, Telekomunikasi, dan banyak lainnya. Silakan rekan-rekan menambahkan sendiri. Di era dimana internet, komunikasi serta telekmomunikasi telah menancapkan pengaruh demikian dalam di kehidupan kita, saya yakin internet dan social media mampu menyediakan platform yang memungkinkan sinergi di antara banyak alumni dengan berbagai macam minat tersebut. Melalui internet dan social media, jejaring di antara para alumni ITB akan semakin meluas dan kuat. Dalam bayangan saya, kita dapat berinovasi mewujudkan pengelolaan organisasi kita sebagai sebuah i-organization atau Open Organization. Organisasi kita membutuhkan lebih dari sekedar sebuah website. IA-ITB memerlukan platform social media sendiri yang mampu menjadi medium dialog dan berhimpun maya bagi para alumni ITB. Pembentukan kelompok-kelompok minat melalui i-organization ini akan dapat mensinergikan 70.000 alumni ITB yang demikian beragam tadi. Dari internet, kebersamaan tersebut kemudian dikongkretkan dalam aksi-aksi nyata di lapangan. I-organization akan memungkinkan dialog yang intens di antara pengurus IA-ITB dengan kelompok-kelompok minat. Selain itu, platform yang dikhususkan bagi alumni ITB ini akan memungkinkan 09
dialog dan kolaborasi yang juga intens di antara para alumni yang memiliki minat sama. Yang juga penting, i-organization akan memungkinkan transparansi dan akuntabilitas pengurus. Lalu, i-organization menjadi sumber database alumni yang akurat, dasar bagi dimungkinkannya pemilihan virtual jarak jauh atau e-voting sebagaimana menjadi aspirasi sebagian alumni ITB sekarang ini. Dengan i-organization, IA-ITB dapat membuktikan kembali kepeloporannya dalam proses demokratisasi di Tanah Air. Mari kita mengingat bahwa, pada 1997, organisasi kita adalah yang pertama yang menerapkan prinsip one man one vote dalam pemilihan ketuanya. Sebelumnya, sistem pemilihan ketua menggunakan mekanisme perwakilan. Terobosan IA-ITB tersebut kemudian diikuti banyak organisasi lain, hingga akhirnya kita bisa mengalami bersama memilih presiden, gubernur dan wali kota/bupati melalui pemilihan langsung. I-organizationIA-ITB dapat menjadi prototype implementasi Open Government yang menjadi perhatian pemerintah sekarang. Sebagaimana diketahui, sekarang ini pemerintah kita telah bergabung dalam Open Government Partnership yang dipelopori Presiden Barack Obama di Amerika Serikat. Prinsip Open Government adalah pemerintahan yang terbuka dan transparan, mengundang elemen rakyat untuk berpartisipasi, serta mengajak segenap unsur masyarakat berkolaborasi memecahkan berbagai masalah demi kesejahteraan rakyat. Open Government memberi rakyat kekuatan seraya membuat pemerintahan semakin tanggap dan berdaya. Open Government mengaktualisasi secara praktis pengertian “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”. Open Government diasosiasikan secara erat dengan transparansi karena ia merupakan elemen utama dan prasyarat untuk bergerak ke arah partisipasi dan kolaborasi. Guna menerapkan Open Government ini, dimanfatkanlah platform internet dan social media. Saya tahu, banyak alumni ITB bergerak dan sangat mumpuni di bidang internet dan social media ini. Kita memiliki sumberdaya manusia dan pengetahuan yang cukup guna mewujudkan i-organization yang berbasis kelompok minat. Sebagai gambaran awal, kita dapat membayangkan setiap alumni ITB memiliki akun dan alamat e-mail khusus, katakanlah xxx@ alumni-itb.or.id. Akun dan alamat e-mail tersebut adalah semacam 10
kartu identitas, yang kelak dapat dipakai untuk pemilihan ketua IA-ITB secara online. Di dalam platform i-organization, para alumni dapat memilih bergabung di berbagai kelompok minat yang disukainya. Berbeda dengan mailing list, para alumni berbagi informasi hanya dengan rekan-rekan yang memiliki minat sama. Tentu, dalam i-organization ini akan terdapat pula forum diskusi dan merancang aksi nyata bersama berdasarkan kelompok minat. Lebih jauh dari itu, melalui i-organization, pengurus dapat mempraktekan transparasi dan akuntabilitas, menjadi leader-leader yang benar-benar memegang amanat. Risalah rapat dapat dengan cepat disebar kepada para anggota. Pemikiran mensinergikan 70.000 alumni ini tentunya terbuka untuk kita diskusikan, pertajam dan bongkar lebih lanjut. Akan sangat berguna bilamana dalam masa kampanye pemilihan ini kita sudah mulai mendiskusikan tentang implementasi i-organization IA-ITB. Selain program i-organization yang sangat penting tersebut, IA-ITB tentunya perlu melanjutkan program-program yang sudah ada. Program pelatihan softskill seperti Siaware, yang digagas di era kepemimpinan Pak Laksamana Sukardi, perlu diperbanyak. Langkah awal pembangunan Menara ITB dari era kepemimpinan Pak Hatta Radjasa perlu dilanjutkan dan diwujudkan. Dukungan IA-ITB bagi berbagai aktivitas di kampus kita tercinta juga perlu dikembangkan. Program capacity building atau peningkatan kemampuan bagi alumni muda; baik yang profesional, yang entepreneur, juga yang UKM; perlu diintensifkan. Sebagai kekuatan jejaring, IA-ITB perlu pula ikut mendorong dan menfasilitasi sebanyak mungkin alumni—senior maupun junior-dalam menyumbang kepemimpinan, pemikiran, tenaga dan karya bagi Ibu Pertiwi.
TENTANG SUM Rekan-rekan alumni ITB yang saya hormati, Setelah bercerita panjang lebar tentang alumni dan IA-ITB, kini saatnya saya memperkenalkan diri, bercerita sedikit tentang diri saya sendiri. Saya lahir di Surabaya dan berasal dari lingkungan pebisnis. Sebagai orang Jawa Timur, saya terbiasa terbuka, to the point dan lugas. Begitulah sifat saya. Saya masuk ITB pada 1974 dan 11
kuliah di Jurusan Teknik Sipil. Ketika kuliah, saya sangat menikmati aktivitas kemahasiswaan. Saya menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil ITB (1977/1978), Ketua Orientasi Studi ITB (1978/1979) dan termasuk mahasiswa yang menandatangani “Buku Putih ITB” 1978 yang mengkritisi pemerintahan Orde Baru Suharto. Karena peristiwa “Buku Putih” tersebut, saya dan teman-teman aktivis lain sempat ditahan di rumah tahanan Polisi Militer Kodam V Siliwangi. Ketika itu, kita memang hidup di alam yang belum demokratis, masih otoriter. Masih terkait peristiwa “Buku Putih” ini, setelah keluar tahanan, saya sempat menjadi salah seorang caretaker Dewan Mahasiswa ITB (1978/1979) bersama tiga Ketua Himpunan Mahasiswa lain. Meski terlibat dalam berbagai kegiatan kampus, alhamdulillah saya dapat menyelesaikan kuliah tepat waktu. Saya lulus pada 1979. Di masa itu, pekerjaan yang dianggap bergengsi adalah menjadi dosen ITB atau masuk jajaran birokrasi. Dosen adalah jabatan yang dihormati. Untuk menjadi dosen, seseorang harus memiliki prestasi akademik yang menonjol. Selain itu, dosen Teknik Sipil ITB memiliki status sosial tinggi, terlihat dari jejeran mobil Mercy, Volvo dll keluaran terbaru di tempat parkir jurusan. Saya pun berkeinginan menjadi dosen. Setelah melalui serangkaian proses seleksi yang ketat, saya diterima di jurusan Teknik Sipil ITB. Namun, sayangnya, karena saya pernah tercatat sebagai penerima beasiswa aktivis dan dana tersebut dikumpulkan para penerimanya untuk Gerakan Anti Suharto, Nomor Induk Pegawai saya sebagai PNS tak bisa keluar. Singkat cerita, saya ditolak menjadi dosen. Tak bisa menjadi dosen, saya kemudian memilih berkarir di Departemen Pekerjaan Umum, sesuai bidang keahlian saya. Itulah tempat saya mengabdi selama puluhan tahun, sebelum saya ditarik menjadi deputi menteri yang menangani infrastruktur dan logistik di Kementerian BUMN sekarang ini. Saya menikah dengan Erni Herdinati, temah kuliah dari Jurusan Arsitektur ITB, pada 1981. Saya dikaruniai dua putra, Aldi Haryopratomo dan Riarno Haryowibowo. Yang bungsu adalah juga 12
alumni ITB, dari jurusan Teknik Mesin. Sementara itu, kakaknya adalah alumni dari almamater saya yang lain, yakni Purdue University. Aldi juga mendapatkan MBA dari Harvard Business School, Boston, Amerika Serikat. Bagi saya, keluarga sangatlah penting. Saya memang seorang family man. Menurut saya, sebelum memimpin di pekerjaan dan masyarakat, seseorang harus terlebih dahulu berhasil dalam memimpin keluarga. Sebagai pegawai negeri, saya mendapat kesempatan ke luar negeri, mengambil kuliah master di Amerika Serikat, di Purdue University, pada 1987. Saya mengambil konsentrasi di bidang transportasi publik. Saya sengaja menyimpang dari bidang keahlian awal karena saya yakin yang dibutuhkan Indonesia, sebuah negeri yang sedang membangun, adalah sistem transportasi yang ekonomis. Dan, memang, hingga kini kita menyaksikan bahwa salah satu persoalan besar negara kita dalam memajukan ekonomi adalah sistem transportasi yang murah dan efisien.
Rekan-rekan alumni ITB yang saya hormati, Kisah saya sebagai pegawai negeri adalah sebuah kisah tentang profesionalisme dan integritas. Saya rasa, banyak teman alumni ITB dapat menjadi saksi mengenai hal ini. Dan, saya pun dapat menjadi saksi bahwa menjaga profesionalitas dan integritas adalah mungkin dalam birokrasi. Namun begitu, memang, di saat-saat tertentu, saya harus menghadapi risiko karena tak selamanya pemerintahan bebas dari intervensi. Usaha saya dalam menjaga profesionalisme dan integritas tersebut harus saya bayar dengan tiga kali terkena grounded. Saya dicopot jabatan dan karir saya mandek. Namun begitu, selalu ada titik balik, saya dipakai kembali, sehingga sekarang ini saya menjadi deputi di Kementerian BUMN. Dan kini, dapat dikata saya menerima buah dari sikap saya yang tidak terlalu penurut dan berprinsip menjalankan amanah serta tugas semaksimal mungkin dengan benar, tulus dan ikhlas. Sekarang ini, saya dipercaya sebagai anggota Tim Quality Assurance dari Reformasi Birokrasi Nasional. Dari sekitar 400-an pegawai negeri eselon satu, hanya enam yang dipilih masuk tim tersebut. 13
Refromasi Birokrasi Nasional adalah program pemerintah yang bertujuan menciptakan birokrasi pemerintahan yang profesional, adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, serta memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Kebijakan Reformasi Birokrasi Nasional sejalan dengan konsep Open Leadership yang telah saya ceritakan sebelumnya. Pengalaman saya di Tim Quality Assurance Reformasi Birokrasi Nasional akan sangat berguna dalam implementasi i-organization yang dibutuhkan IAITB dalam menjawab tantangan zaman. Dalam hal pekerjaan, sebagai Deputi Kementerian BUMN, saat ini saya tengah mempercepat implementasi beberapa proyek infrastruktur penting. Salah satunya adalah jalur kereta ManggaraiBandara Soekarno-Hatta, sepanjang 33 kilometer, yang akan memungkinkan penumpang pesawat berangkat atau menuju kota secara langsung dengan kereta. Sebelumnya, proyek ini disebutkan membutuhkan anggaran Rp10,7 triliun sehingga para penumpang kelak harus membayar Rp70.000 sekali jalan. Harga tersebut tentu terlalu mahal. Saya kaji ulang proyek ini. Saya coba pendekatan baru. Saya memang terbiasa berpikir out of the box. Hasilnya, bersama Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI), saya yakin proyek ini bisa tuntas dengan anggaran Rp2 triliun. Karenanya, kelak para penumpang hanya akan dikenai tarif Rp20.000. Penghematan dimungkinkan dengan cara membangun jalur di rute yang sudah ada. Dengan begitu, kita tak perlu melakukan pembebasan tanah yang, di beberapa tempat, harganya sudah sangat mahal. Proyek lainnya adalah double tracking jalur kereta api PekalonganSurabaya. Selama ini, kerap terjadi kecelakaan di rute tersebut karena jalur keretanya hanya satu. Juga, kereta harus antri, bergantian menggunakan jalur tunggal tersebut. Perjalanan menjadi terhambat. Proyek ini diperkirakan akan memakan anggaran Rp9 triliun. Mahal sekali. Saya kembali melakukan kajian ulang dan menelaah pendekatan baru. Ternyata, kita dapat menyelesaikan double tracking ini dengan dana Rp5,6 triliun, dan hanya Rp1 triliun yang 14
diambil dari APBN. Selain itu, saya juga tengah mendorong implementasi layanan logistik secara elektronik. Selama ini, karena belum elektronik, biaya logistik di Indonesia mencapai 30% dari biaya produksi, sangat tinggi. Ia bahkan menyerap 24% dari total GDP kita. Sebagai pembanding, negara-negara lain; seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan China; mampu menekan biaya tersebut hingga di bawah 10%. Untuk mengatasi masalah tersebut, 16 BUMN telah bersinergi dalam Indonesia Logistics Community Services (ILCS). Tujuannya: menguatkan konektivitas nasional secara non-fisik berbasis Information Communications Technology (ICT). ILCS akan
“
“
Saya menjadi saksi bahwa menjaga profesionalitas dan integritas adalah
mungkin dalam birokrasi. Memang, di saat tertentu, ada risiko. Usaha menjaga profesionalisme dan integritas harus dibayar dengan tiga kali terkena grounded. Tapi, selalu ada titik balik, saya dipakai kembali.
memudahkan para pengguna dalam memonitor dan mengatur aliran barang, dokumen dan pembayaran. Tata kelola aset logistik (seperti kapal, truk, cargo, kontainer dsb) juga akan lebih mudah, murah dan aman. Dalam kebanyakan proyek yang saya dorong penyelesaiannya, selain membuka diri terhadap solusi yang out of the box, saya selalu berupaya mewujudkannya melalui sinergi berbagai BUMN. Begitulah, saya memang orang yang percaya akan keampuhan sinergi. Menyangkut aktivitas filantropi dan sosial, bersama para alumni ITB lain, saya ikut membangun dan mengelola tiga pasar induk modern; di Tangerang, Palembang, dan Surabaya. Yang keempat akan kami bangun di Semarang. Pasar modern tersebut merupakan terobosan atas kesemerawutan tata kelola pasar tradisional selama ini. Melalui pasar-pasar moderen, saya ingin menunjukan, terutama kepada rekan-rekan alumni ITB, masih banyak lahan garapan untuk memberdayakan mayarakat yang hidup di sektor pertanian. Di pasar induk moderen kami, para petani bisa langsung menawarkan hasil 15
tanamnya, tanpa melewati perantara. Mereka tidak dikenakan biaya sewa lapak yang tinggi jika ingin menjual hasil panennya. Selain itu, perbedaan mencolok pasar induk modern dengan pasar tradisional yang dikelola pemerintah adalah kebersihan dan kenyamanannya. Aktivitas lainnya, saya ikut memberdayakan para pemulung di Jakarta Selatan. Saya memberi pinjaman kepada mereka untuk membuka usaha. Saya arahkan mereka membuat kusen dari kayu bekas bongkaran rumah. Berkat pekerjaan tambahan tersebut, anak-anak dari para pemulung itu di kampung bisa bersekolah.
Rekan-rekan Alumni ITB yang saya hormati, Saya sudah bercerita sangat panjang. Demikianlah pengantar bagi pencalonan saya sebagai Ketua Alumni ITB periode 2011-2014. Saya yakin, melalui semangat keunggulan, kepeloporan, perjuangan, dan pengabdian sebagaimana diwariskan para alumni senior dan menjadi pegangan organisasi kita, IA-ITB akan mampu mensinergikan potensi 70.000 alumni menjadi gerak langkah yang serempak dan senada guna memberi sumbangsih bagi negeri. Kita memang demikian banyak dan demikian beragam. Namun begitu, bukan berarti kita tak dapat bersinergi dalam mengontribusikan kepeloporan, kepemimpinan, pemikiran dan karya demi kemajuan bangsa. Secara bersama-sama, kita dapat memberi, berkontribusi dan mengabdi dengan lebih baik. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, izinkan saya memohon dukungan rekan-rekan semua guna mewujudkan IA-ITB yang lebih baik lagi, yang lebih berguna bagi para anggotanya, para alumni ITB, bagi almamater, dan juga bagi negeri kita tercinta. Mari kita bersinergi! Demi Tuhan, Bangsa dan Almamater
Sumaryanto Widayatin Alumni Teknik Sipil 74 16
10 Alasan Memilih SUM 1) SUM menyadari alumni ITB demikian banyak (sekitar 70.000 alumni), tersebar (di seluruh dunia) dan amat beragam (angkatan, jurusan hingga profesinya). 2) SUM peduli kepada semua generasi, kelompok, aktivitas, latar belakang, profesi, dan minat alumni ITB. 3) SUM mengupayakan solusi untuk mewadahi alumni ITB yang demikian banyak dan beragam, melalui konsep Sinergi. Dalam implementasinya, SUM menawarkan pembentukan Kelompok-Kelompok Minat dan pembaharuan IA-ITB sebagai i-organization. 4) Program SUM lengkap dan kongkret, juga mendahulukan pembenahan dan pembaharuan organisasi. 5) Sejak muda, SUM adalah seorang pemimpin. Ketika kuliah di ITB, SUM adalah ketua himpunan mahasiswa. 6) SUM disiplin. Meski banyak aktivitas kemahasiswaan, tetap bisa lulus tepat waktu. 7) SUM diakui sebagai pemimpin yang profesional, berintegritas dan amanah. 8) SUM adalah reformis, terpilih sebagai anggota Tim Quality Assurance dari Reformasi Birokrasi Nasional. Hanya enam orang terpilih masuk tim reformasi tersebut, dari sekitar 400-an pegawai negeri eselon satu yang ada. 9) SUM memiliki banyak aktivitas filantropi dan sosial. Di antaranya, ia membangun pasar moderen untuk membantu petani dan memberdayakan para pemulung guna menambah penghasilan mereka. 10) SUM biasa menelurkan solusi yang out of the box dan mempraktekan sinergi. Misalnya, ia mempercepat pengerjaan proyek-proyek infrastruktur melalui pendekatan baru dan sinergi BUMN-BUMN.
Pemilihan Ketua Ikatan Alumni ITB 3 Desember 2011
PROFIL Nama: Sumaryanto Widayatin Tempat, Tanggal Lahir: Surabaya, 13 Desember 1954 Istri: Erni Herdinati (AR74) Anak: Aldi Haryopratomo Riarno Haryowibowo (MS03) Pendidikan: S1 Jurusan Teknik Sipil Angkatan (1974) Master Purdue University (1987) Aktivitas Kemahasiswaan: -Ketua Himpunan Mahasiswa Sipil (1977) -Ketua OS ITB (1978) -Anggota Caretaker Dewan Mahasiswa ITB (1978/1979) Pekerjaan: Deputi Bidang Infrastruktur dan Logistik di Kementerian BUMN Kegiatan lain di pemerintahan: Anggota Tim Quality Assurance dari Reformasi Birokrasi Nasional Aktivitas Filantropi: -Mengembangkan Pasar Modern di Tangerang, Palembang, Surabaya, dan Semarang -Pemberdayaan pemulung di Jakarta Selatan
http://www.sumaryanto.org