Membuka Jalan Dakwah Kumpulan Serial Da’i Majalah Suara Hidayatullah Edisi Tahun 2008 - 2011
1
Daftar Isi
1. Berdakwah Menyingsingkan Ujung Celana 2. Dakwah Berliku Anak Kepala Suku 3. Hamzah Husain : Bangkit Setelah Gubuk Reot Itu Ambruk 4. Suyuthi Dahlan (Gus Mad): Dai Penakluk Preman 5. Berkiprah dengan Modal Dua Ayat 6. Menaklukkan Animisme di Kaki Gunung Wilis 7. Berpindah-pindah Membuka Jalan Dakwah 8. Jalan Panjang Dai Tempaan Alam 9. Redy Dunggio Ustadz, Kucing Saya Disembelih! 10. Dakwah dari Tungku ke Tungku 11. Lokomotif Dakwah di Bumi Sikerei 12. Seberkas Cahaya di Belantara Malinau 13. Menaklukkan Animisme Di Kabupaten Paser 14. Buya Rusdi: Dai “Plat Merah” dari Sumbar 15. Membina Iman di Kota Tepian 16. Berdakwah dengan Gaple 17. Naik-naik ke Puncak Senduro 18. Muhammad Khirson Sulaiman Suatu Siang di Kampung Tidung 19. Di Nias Diancam Parang, di Aceh Ditembaki GAM. 20. Menaklukan Animisme di Lereng Gunung Wilis 21. Dai Tangguh di Kaki Gunung Singgalang 22. Tak Pernah Lelah Berdakwah 23. Pertolongan-Nya Tak Pernah Terlambat
2
24. Ketika Pendekar Teguh “Turun Gunung” 25. Jebakan di Kaki Gunung Panderman 26. Dakwah Mantan Si Jago Lari 27. Balada Hafizh di Sarang Pelacur 28. Sepercik Berkah di Bumi Hulontalo 29. Farid Imam Prakoso Memadukan Dakwah dengan Pengobatan 30. Muslim Abdullah: Membendung Kristenisasi dengan Buntil 31. Dedikasi Daiyah ’Orang-Orang Buangan’
3
1. Berdakwah Menyingsingkan Ujung Celana
Pengalaman seorang dai yang suka menelusuri gang-gang sempit dan
membina
anak-anak
Nias.
Kini,
kegiatan
dakwahnya
merupakan jalan hidupnya. Dari rumah petak sederhana yang terletak di belakang SDN 26 Anduriang kota Padang itu, setiap hari Dahlan menapaki sebuah gang sempit sejauh 800 meter hingga sampai di pinggir jalan raya. Lalu, ia menyetop angkot menuju medan dakwahnya. Begitulah keseharian Muhammad Dahlan Gulo (34), seorang dai yang secara rutin mengisi pengajian di majelis taklim, masjid, mushalla dan surau-surau di kawasan pinggiran kota Padang. Dakwah satu arah sebagai khatib Hari Raya, khatib Jumat atau berceramah di majelis taklim seperti dilakukan kebanyakan dai perkotaan, hanyalah salah satu saja dari demikian banyak cara berdakwah. Bertahun-tahun Dahlan juga ikut dalam rutinitas dai perkotaan seperti itu. Diundang mengisi pegajian, diantar-jemput dengan kendaraan, dan pulangnya sering disisipi ‘amplop’ pula. Dakwah juga dapat dilakukan dengan menulis di media massa seperti yang sering dilakukan Dahlan di koran-koran lokal. Tetapi
4
cara lain sering dilaksanakan Dahlan dan tak kalah hasilnya adalah berdakwah secara face to face. “Alhamdulillah, dengan sering bertatap muka, mendatangi remaja yang suka nongkrong di halte atau petani yang lagi berleha-leha di pondok sawah, banyak yang kemudian menjadi jamaah yang intensif mendalami Islam,” tutur Dahlan. Dakwahnya yang sejuk dan kerelaannya menyingsingkan ujung celana untuk menapaki gang-gang yang becek, membuat Dahlan mudah diterima di komunitas warga asal pulau Nias yang mayoritas memang non-Muslim. Di saat banyak dai perkotaan berkhutbah di masjid-masjid megah, Dahlan berdakwah dengan berjalan kaki menyusuri gang sempit mendatangi satu rumah ke rumah lainnya di kawasan permukiman dan bantaran sungai yang mengalir di tengah gemerlapnya kota Padang. “Alhamdulillah, dengan dakwah face to face ini mereka kemudian menjadi jamaah yang giat mendalami Islam,” ujarnya. M Ilyas, Ahmad Yani, Hasbullah (Hastugale) adalah di antara pemuda asal Nias binaan Dahlan yang kini tengah giat belajar shalat dan mengaji setelah bersyahadat meninggalkan Kristen dengan kesadaran sendiri.
5
Selain menggarap mereka yang sudah lama menentap di kota Padang, Dahlan juga sering pulang ke kampungnya di Nias. Ketika kembali ke kota Padang, bersamanya telah turut beberapa anak dan remaja Nias. Mereka kemudian mengucapkan dua kalimah syahadat dan lalu dititipkan Dahlan pada beberapa panti asuhan. Puncaknya terjadi pasca bencana gempa yang meluluhlantakan Pulau Nias pada 28 Maret 2005 silam. Saat itu, Dahlan seperti berpacu dengan para misionaris dan LSM asing yang sengaja berburu anak-anak Nias. Saat itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) memberikan hidayah pada demikian banyak anak-anak Nias yang dirangkul Dahlan. “Bahkan seorang ibu dengan lima anaknya saya boyong ke Padang. Saya tidak tega melihat mereka kelaparan, bahkan ada yang meninggal di tempat pengungsian karena tak pernah tersentuh bantuan BRR Nias,” katanya. Setiba di kota Padang, ibu Adriat yang berganti nama dengan Siti Fatimah dan kelima anak ini bersyahadat dengan bimbingan buya Masoed Abidin dan mendapat hadiah mukena dari Walikota Fauzi Bahar. Banyak jamaah yang meneteskan airmata mendengar lafaz syahadatin yang keluar dari mulut mungil kelima bocah kecil itu. Untuk kelanjutan pendidikan dan nafkah para mualaf asal Nias ini, dibukalah rekening di Bank Mandiri Padang, No.Rek. 120 000
6
5170183 an. Dalizanolo Gulo, S.Ag. Para pemimpin dan masyarakat malam itu berjanji akan mengirimkan bantuan melalui rekening itu. Tapi setelah acara pensyahadatan yang dihadiri Walikota Padang itu usai, Dahlan dihadapkan pada kenyataan pahit. Rekening itu nyaris tak terisi, hanya sedikit sekali umat yang sudi menyalurkan sedekah, infak dan zakatnya bagi para mualaf dari Nias itu. Mualaf yang Tabah Ketika masuk Islam pada 21 Juli 1987, Dali yang kemudian berganti nama menjadi Muhammad Dahlan sudah berikrar akan tawaqal illahah dalam menjalani sepahit apapun kehidupan setelah memeluk Islam. “Awal keterpikatan saya pada Islam setelah mendengar suara adzan dari masjid di kampung tetangga Faekhona’a,” tutur Dahlan. Benar saja, Allah SWT langsung menguji sang mualaf muda ini. Ayahnya, Bowo Aro Gulo, yang memiliki Jemaat Gereja di desa Faekhona’a Kecamatan Alasa (kini kec. Afu’ulu), Kabupaten Nias, segera saja menghentikan segala bantuannya. Tetapi Dahlan tidak pernah berkecil hati dengan perlakuan ayah dan saudaranya. “Saya dilahirkan di tengah keluarga Kristen pada 13 Mei 1974. Saya anak bungsu dari delapan bersaudara. Sehari setelah melahirkan saya, ibu meninggal. Saya sudah piatu sejak bayi,” ujarnya. Awalnya, Dahlan mendalami Islam di Pesantren Darul Ulum, Nabundong, Kecamatan Sososopan, Padangsidempuan. Kemudian
7
melanjutkan ke tingkat aliyah di Pesantren Aek Hayuara, Kecamatan Barumuis Tapanuli Selatan hingga tamat tahun 1992. Pemutusan bantuan oleh orangtua sejak memeluk Islam, melecut Dahlan untuk terbiasa hidup mandiri sejak kecil. Dahlan terus berjuang membanting tulang demi mencari nafkah yang halal. Perasaan sebagai anak yang terbuang dari keluarga setelah memeluk Islam, terus ia tepis. “Ketika berangkat dari kampung, saya hanya punya uang tujuh ratus rupiah saja. Itulah yang saya manfaatkan untuk membeli satu lusin limun yang saya jual keliling pesantren, Rp 100 per botol,” kenangnya. Dahlan pun pernah menjadi tukang putar mesin disel dan membuat tangannya lecet. Juga pernah bekerja di rumah makan sabagai tukang cuci piring. Pokoknya, tak ada gengsi-gengsian. Apa pun pekerjaannya ia lakukan asal halal. Setamat aliyah tahun 1992, Dahlan bercita-cita melanjutkan pendidikan ke IAIN Imam Bonjol Padang. Sayang, saat tiba di Padang, jadwal pendaftraan mahasiswa baru telah ditutup. Dalam kegalauan hati antara ingin bertahan di kota Padang atau kembali ke Nias, Dahlan berkenalan dengan Nazar Bakri, pengurus Masjid Taqwa. Nazar memintanya untuk terus bertahan di kota Padang hingga awal tahun ajaran baru dan menyediakan sebuah kamar di rumahnya untuk ditempati Dahlan.
8
Dahlan mulai menapaki kehidupan di kota Padang dengan mengajar mengaji di TPA Masjid Al-Mukaramah Jati. Ia kemudian bertemu dengan buya Mansur Malik (saat itu Rektor IAIN Imam Bonjol) dan Kepala Perpustakaan Chalid, MS. yang membutuhkan tenaga pembantu. “Saya menerima tawaran itu walau honornya cuma Rp 25 ribu per bulan. Saya pikir ini peluang emas karena dengan bekerja di perpustakaan IAIN Imam Bonjol, saya akan berada dalam ‘gudang ilmu’ dan bebas membaca segala buku dengan gratis,” tutur Dahlan. Berbekal ilmu -karena rajin membaca di perusatakaan- itulah, Dahlan yang biasanya hanya menjadi guru TPA, berani tampil menggantikan seorang khatib Jumat yang tidak datang. “Kali pertama tampil, mikrofon yang saya pegang bergetar–getar seperti gempa lokal karena tubuh saya bergetar menghadapi jamaah,” kenang Dahlan. Namun dengan kesungguhan dan niat yang ikhlas, Dahlan terus belajar dan belajar. Hingga akhirnya kini berdakwah sudah menjadi jalan hidupnya. *Dodi Nurja/Suara Hidayatullah, JANUARI 2009
9
2. Dakwah Berliku Anak Kepala Suku
Status sebagai anak kepala suku tak menjamin mulus dalam berdakwah. Selain tradisi masyarakat yang masih melekat kuat, juga kondisi alam yang senantiasa menantang. Bagi sebagian juru dakwah, Papua masih menjadi kawasan yang menakutkan. Bukan semata tantangan alamnya yang ganas dengan malarianya yang mematikan. Medan Papua juga dikenal berat, dengan biaya hidup yang tinggi. Belum cukup dengan itu, di sana masih dijumpai sebagian penduduk yang kehidupannya sedikit di atas masa prasejarah, khususnya di kawasan-kawasan pedalaman, di lereng-lereng gunung, serta di pinggir sungai nun jauh di pelosok bumi Cendrawasih tersebut. Sudah barang tentu ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi seorang dai. Tidak mengherankan jika sejumlah dai yang semula datang dengan penuh antusias, pelan-pelan pergi meninggalkan medan dakwah Papua, setelah berhadapan dengan aneka persoalan di lapangan. Said Ahmad bin Muhammad Husen Tafalas (36) termasuk di antara sedikit dai yang memilih bertahan untuk terus mencerahkan masyarakat Papua. Apalagi, Said adalah putra daerah. Lelaki tinggi besar ini kelahiran Waigama, Papua 25 Mei 1971.
10
Sekalipun
putra
daerah,
dia
menyadari,
mengubah
kultur
masyarakat Papua dibutuhkan intensitas tarbiyah (pendidikan) dan dakwah. Dan itu, membutuhkan waktu yang panjang serta kesabaran ekstra. Maka, sejak tahun 1991, dia bergabung dan nyantri di Pondok Pesantren Hidayatullah Cabang Sorong. Setelah empat tahun menimba ilmu, pimpinannnya menugaskan untuk berdakwah di salah satu daerah terpencil di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Di sinilah awal ujian sebagai seorang dai dimulai. Anak sulungnya, Shabrina
Said
(3
bulan)
meningal
dunia.
Kala
itu,
usia
pernikahannya dengan Suharti Hasan baru berjalan satu tahun. “Mental saya hampir-hampir jatuh, ketika mendapati kenyataan ini. Untunglah, sejak awal pernikahan, kami sudah mendeklarasikannya sebagai biduk jihad,” Said mengenang. Sebenarnya, kata Said, peristiwa itu bisa dicegah, kalau saja ada kendaraan yang mengangkut anaknya berobat ke kota. Namun perjalanan takdir menghendaki lain. Transportasi ke kota Bolaang sangat sulit. Ada memang kendaraan, tapi satu-satunya adalah sejenis jip, itupun jadwalnya satu minggu sekali. “Waktu itu saya benar-benar bingung. Akhirnya, buah hati saya meninggal dalam pangkuan saya, di medan yang terpencil. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun…” kenangnya.
11
Rintangan di Kampung Halaman. Usai peristiwa itu, dia memilih pulang kampung di Misool Raja Ampat, Papua. Bukannya ingin pensiun, karena baginya berdakwah itu tak mengenal kata pensiun. Dia ingin terus berdakwah hingga akhir hayatnya. Di Raja Ampat dia ingin mendapat semangat baru. Raja Ampat dulu bernama Kalanafat. Sekarang, daerah ini dijuluki negeri seribu pulau. Sebab, kawasan ini terdiri dari pulau-pulau yang menyebar satu sama lain dengan jarak cukup berjauhan. Gugusan kepulauan ini terletak di bagian selatan Kabupaten Sorong, Irian Jaya Barat. Sejak tahun 2005, daerah ini diresmikan menjadi kabupaten baru dengan nama Kabupaten Raja Ampat. Kawasan ini terdiri dari empat pulau besar: Batanta, Salawati, Waigeo dan Misool. Raja Ampat beribukota di Waisai, salah satu pulau di daerah Waigeo Selatan. Penduduk di masing–masing pulau (sekarang sudah menjadi kecamatan) beragama Islam dan Katolik. Prosentasi penduduknya, Islam 86 persen (dulu 95 persen) dan Katolik 14 persen. Di antara daerah yang mayoritas Muslim adalah Kecamatan Misool dan Salawati. Dalam sejarahnya, penyebaran Islam ke Papua melalui kedua daerah itu. Sayangnya, ajaran Islam tidak dijalankan secara utuh. Yang berkembang justru kepercayaan tariqat, yang ajarannya
12
cenderung bersifat nafsi-nafsi. ”Maka, sungguh menyedihkan. Kita mendapati masjid dan mushalla yang ada di sini, sepi dari jamaah. Masjid baru terlihat ramai pada saat hari Jumat saja,” terang pria yang pernah aktif di PII dan IPM ini. Said optimis, dakwahnya di Raja Ampat bakal berjalan lancar. Dalam benaknya, berdakwah di kampung halaman, tempat dirinya dilahirkan, tentu akan lebih mudah. Apalagi, dia putra Kepala Suku Misool, Muhammad Husen Tafalas. Jelas, statusnya itu punya pengaruh cukup besar di tengah-tengah masyarakatnya. Dia juga sudah mengenal kultur masyarakatnya. Jadi, apa susahnya? Nyatanya tidak demikian. Mula-mula, Said harus berhadapan dengan beratnya medan. Kapal yang melayari daerah ini cuma satu, yaitu kapal perintis dari Seram (Maluku) yang jangka waktunya sebulan sekali. Itu artinya, komunikasi dan hubungan dengan dunia luar sangat terbatas. Sementara kalau ingin mengisi dakwah di kampung (desa) lain, yang berada di pesisir dan pelosok yang merupakan kantong–kantong Islam seperti kampung Atkari, Folle, Gamta, Lilinta, Yellu, Fafanlap, Kaerepop, dan Harapan Jaya, harus menggunakan long boat yang biaya sewanya sangat mahal, antara Rp 10 juta – Rp 25 juta sekali pakai! Belum lagi kendala cuaca. Ombak dan angin cukup kencang. Sehingga wajar, kalau di daerah–daerah Muslim itu, justru yang lebih sering datang adalah para misionaris.
13
Mereka pergi pulang dengan pesawat Cesna setiap saat. Bahkan kantong utama Muslim di Misool telah dijadikan sebagai pusatnya di Raja Ampat. Padahal dulu, daerah ini merupakan kantong umat Islam terbesar setelah Salawati dan Waigeo. Bahkan dakwah Islam di semenanjung Papua bermula dari sini. Kesempatan Berharga Sekalipun tantangan alamnya berat, Said bertekad suatu saat akan mengunjungi penduduk yang tinggal di pulau-pulau terpencil. Allah Maha Mendengar! Satu hari, Bupati Raja Ampat, Drs. Marcus Wanma, M.Si, mengadakan kunjungan ke daerah-daerah pesisir. Tanpa buang waktu, Said mendatangi Bupati. “Pak Bupati, saya mau numpang ke Sorong, bisa tidak,“ kata ayah empat anak ini. Di
luar
perkiraannya,
Bupati
yang
beragama
Nashara
itu
mengabulkan permintaan Said. Tidak saja ke Sorong, bahkan mempersilakannya ikut keliling dari pulau ke pulau, selama beberapa hari. Kesempatan itu dimanfaatkan secara baik oleh Said untuk mengunjungi kampung-kampung Muslim di Yellu, Harapan Jaya, dan Folle. Said menaruh harapan besar, kelak dia punya alat tranportasi sendiri, sehingga setiap saat bisa menyambangi umatnya itu.
14
Dengan begitu dia yakin, kelak Islam bisa jaya kembali di daerah ini. “Seperti pada masa lalu,” katanya optimis. Said menyadari, semua kerja dan cobaan di atas tidak luput dari pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). “Allah sungguhsungguh bersama para pembela agamanya di manapun. Maka, insya Allah, ke depan, di samping akan melanjutkan kegiatan yang sudah ada, kami upayakan menembus kawasan-kawasan terisolir dimana kaum Muslimin tinggal,“ ungkap pria yang saat ini diberi amanah sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Hidayatullah Irian Jaya barat yang membawahi sejumlah daerah seperti Fak-Fak, Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Bintuni, Kaimana dan Kabupaten Raja Ampat ini. Semoga. *Ali Athwa/Suara Hidayatullah MARET 2009
15
3. Hamzah Husain : Bangkit Setelah Gubuk Reot Itu Ambruk
Kiprah anak muda menebarkan Islam di pedalaman Papua Sejatinya, bangunan itu tak cocok disebut rumah. Ia lebih mirip disebut gubuk. Bangunan itu berdiri di atas sebidang tanah wakaf, terletak di Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Letak kabupaten ini begitu terpencil. Bayangkan, untuk menuju kabupaten ini hanya ada dua pilihan, lewat udara atau lewat laut. Tak ada jalan darat. Jika melalaui udara, terbang dari Manokwari cuma 50 menit. Jadwal penerbangan hanya sekali seminggu, menggunakan pesawat berkapasitas 18 penumpang. Jika melalui laut, transportasi dengan kapal kayu tersedia setiap hari. Biaya perjalanan sekitar Rp 150.000. Hampir enam kali lebih murah dibanding lewat udara. Namun, waktu tempuhnya jauh lebih lama. Jika berlayar dari Manokwari dengan kapal kayu pukul 12 siang, kapal akan bersandar di pelabuhan Distrik Wasior atau Distrik Windesi di kabupaten ini pukul 10 keesokan paginya. Dari Jayapura ke Wasior dengan kapal laut bisa memakan waktu 48 jam, mampir
16
di beberapa tempat seperti Sarmi, Biak, Yapen, Waropen, Nabire, baru masuk ke Wasior. Kembali ke cerita gubuk tadi! Hamzah Husain, pemuda berusia 21 tahun, menempati gubuk tersebut bersama karibnya, Ahmad Sodry. Hamzah adalah kader muda Hidayatullah yang ingin menghabiskan masa mudanya dengan berdakwah di daerah terpencil ketika banyak anak muda yang lain menyerbu kota-kota besar untuk mengadu nasib. Gubuk itu bukan Hamzah yang membangunnya. Gubuk itu sudah ada ketika tanah wakaf tersebut dipercayakan kepadanya. Baru enam bulan kedua anak muda tersebut menempati gubuk tadi. Suatu hari datanglah angin kencang menerjang wilayah itu, memporakporandakan apa saja yang dilewatinya. Gubuk reot milik Hamzah tak luput dari amukan sang badai. Tak urung, gubuk itupun ambruk. Seng-seng yang semula tersusun membentuk atap, berjatuhan ke mana-mana. Begitu juga daun rumbia yang berjalin menyusun atap, ikut berterbangan. Papanpapan yang berbaris membentuk dinding, terlepas. Gubuk itu nyaris tak berbentuk lagi. Bagaimana nasib Hamzah? Rupanya Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) masih melindungi pemuda itu. Saat kejadian, Hamzah sedang mengisi pengajian di tempat lain. Begitu juga Ahmad.
17
Sebagai manusia, Hamzah jelas merasa sedih ketika mendapati rumah tampat ia berteduh selama ini ambruk diterpa badai. Padahal saat itu badan masih terasa letih akibat seharian berpergian. Namun, Hamzah dan Ahmad sadar mereka tak boleh berlama-lama sedih. Rintangan di depan masih teramat berat. Rubuhnya gubuk reot itu tak seberapa dibanding besarnya harapan melihat tegaknya Islam di Wondama. Siapa tahu, inilah tonggak awal tercapainya harapan tadi. Walau entah kapan! Hari itu juga semangat mereka kembali bangkit. Kayu-kayu yang berserakan segera mereka kumpulkan. Seng-seng yang sudah tua dipilah untuk dipakai kembali. Hamzah memutuskan untuk tidak membangun gubuknya di tempat semula. Ia menggeser sekitar 70 meter dari tempat semula. Bahanbahan bangunan sisa gubuk yang lama ia pakai lagi. Tapi, tak seperti sebelumnya, dukungan dana dari warga setempat serta ridho dari Allah SWT telah mengubah gubuk tersebut menjadi rumah baru yang lebih besar. Lama kelamaan rumah tersebut bertambah fungsi, bukan lagi sekadar tempat tinggal, namun juga Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) dan madrasah untuk anak-anak belajar mengaji. Kini, Hamzah sudah menampung dan membina anak-anak didik dari penduduk asli kurang lebih 20 orang.
18
Awal Mula ke Papua Sebelumnya, Hamzah tak pernah tahu di sebelah mana Wondama berada. Juga tak pernah tahu ke mana alamat yang harus ia tuju. Namun, demi menebarkan ajaran suci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW), pemuda ini bulat niatnya, berangkat menuju Wondama bersama Ahmad Sodry. Saat itu bulan Juli 2008. Hamzah jujur mengakui, dia sempat ragu menjelang pemberangkatan. Ada sejumlah pertanyaan yang bergelayut di pikirannya, antara lain, apa yang akan dia kerjakan di sana? Siapa yang ia temui? Kalau tidak ada kenalan, lantas tinggal di mana? Tapi Hamzah tidak mau niatnya yang sudah bulat itu surut. Gelora iman dan semangat dakwahnya tetap membara. Ia telah bertekad, jika tak ada tempat yang layak untuk disinggahi di sana, paling tidak masih ada masjid. Soal bagaimana setelah itu, sepenuhnya ia serahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). Ia yakin Allah SWT akan membukakan jalan. Pertolongan Allah Pertolongan itu ternyata benar-benar datang. Di sebuah masjid, Hamzah bertemu seorang pemuda yang pernah nyantri di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan
19
Timur. Pemuda itu rupanya bertugas sebagai pengurus di masjid tersebut. Pertemuan tersebut kian menumbuhkan semangat Hamzah. Ia seakan mendapat “amunisi” baru untuk memperjuangkan dienullah di kabupaten yang beribukota Rasiei ini. Tak hanya singgah, Hamzah cukup lama tinggal di masjid itu. Maklum, dia memang belum punya tempat tinggal tetap. Sambil
membantu
“menghidupkan’
masjid
itu,
dia
datang
bersilahturahim ke tokoh-tokoh setempat. “Hitung-hitung memperkenalkan diri,” ujarnya. Saat silahturahim itulah dia menyampaikan missi dan tujuannya. Suatu saat, usai shalat Ashar berjamaah, tak sengaja Hamzah melihat sosok tua yang agaknya pernah ia kenal. Cukup lama ia memperhatikan wajah laki-laki tua itu. Barulah ia ingat bahwa laki-laki itu pernah ngobrol dengannya ketika masih berada di Manokwari. Selesai shalat, Hamzah memberanikan diri menyapa. Laki-laki tua tersebut ternyata masih mengenalnya. Perbincangan pun berlangsung hangat dan bersahabat. Hamzah mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya di Desa Dotir Wasior Kabupaten Teluk Wondama tersebut. Lagi-lagi, Allah SWT menurunkan pertolongan-Nya untuk hamba yang ikhlas berjuang. Kali ini pertolongan itu datang lewat perantara si laki-laki tua itu tadi.
20
Oleh laki-laki itu, Hamzah diajak menemui Muhammad Iqbal. Konon, sudah sejak lama Iqbal ingin mewakafkan tanahnya untuk fasilitas ibadah berupa masjid atau pesantren. Tapi, berhubung tidak ada yang
bisa
mengelola,
putra
asli
Wondama
tersebut
pun
menangguhkannya. Ketika bertemu Hamzah, Iqbal sekeluarga tanpa ragu mendermakan tanahnya untuk pembangunan Pesantren Hidayatullah di Wondama. Hamzah sepenuhnya diberi wewenang untuk mengelola dengan sebaik-baiknya. Tentu saja, Hamzah dengan senang hati menerima tanah wakaf tersebut. Yang lebih menyenangkan, di atas tanah wakaf itu terdapat sebuah gubuk sederhana. ”Alhamdulillah, kami lebih leluasa beraktivitas dan tidak perlu memikirkan biaya sewa,” tutur Hamzah yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Hidayatullah Bontang, Kalimantan Timur ini. Itulah cikal bakal bangunan yang sekarang ditempati Hamzah. Mengorbankan Masa Muda Bagaimana Hamzah membiayai semua kegiatannya? Hamzah yakin dengan janji dan pertolongan Allah SWT bahwa siapa yang menolong agama Allah SWT maka Allah SWT pun akan menolongnya. Janji itu berulangkali dia rasakan buktinya sejak pertama tiba di Wondama.
21
Tantangan terbesar, aku Hamzah, justru dorongan untuk bisa menikmati
masa
mudanya
dengan
berbagai
kesenangan
sebagaimana pemuda yang lain. Syukurlah, hingga kini Hamzah bisa mengusir dorongan tersebut. Ketika dorongan itu datang ia segera tersadar dengan niatnya. Dia ingin mendermakan masa mudanya dengan perjuangan Islam, tidak dipenuhi aneka kegenitan dan kecentilan. Bila
teringat
pesan
Rasulullah
SAW
bahwa
akan
datang
perlindungan di saat tak ada perlindungan lain di hari Kiamat kecuali dari Allah SWT kepada, salah satunya, anak muda yang taat kepada Allah Ta’ala, kian bertambah semangatnya. Apalagi, kata Hamzah, persoalan di Wondama begitu menantang. Bayangkan, dari kawasan seluas hampir 5 ribu Km2, cuma terdapat 1 masjid. Sedang gerejanya tidak kurang dari 39 buah! Penduduk Wondama terbilang jarang. Berdasakan sensus tahun 2004, jumlah penduduk Wondama hanya 20 ribu jiwa. Mayoritas berasal dari suku Wamesa (90%), sedangkan sisanya pendatang, antara lain, suku Biak, Bugis, Makassar, dan Jawa. Hamzah berharap, bisa melakukan sesuatu untuk menanamkan Islam di Wondama. Dia bermimpi, paling tidak, sebuah sekolah Islam bisa berdiri di areal wakaf tersebut.
22
Persoalan yang cukup mendesak saat ini, kata Hamzah, adalah tidak tersedianya kendaraan bermotor. Hamzah acap kali harus berjalan kaki menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk menuju daerah binaannya, sekadar ingin mengisi pengajian atau khutbah Jumat. Jika ada kendaraan bermotor, gerak dakwahnya bisa lebih cepat. Apalagi, selama ini para dai selalu kalah bersaing dengan missonaris karena keterbatasan fasilitas transportasi. *Ali Atwa dan Ainuddin Chalick/Suara Hidayatullah MEI 2009
23
4. Suyuthi Dahlan (Gus Mad): Dai Penakluk Preman
Suka duka membina preman; ada yang sembuh total, ada yang kambuhan. Setelah berpuluh tahun, terasa masih ada yang kurang. Apa itu? Laki-laki tinggi besar itu berjalan sempoyongan sambil memegang botol minuman. Dari mulutnya keluar sumpah-serapah tak karuan. Sementara rambutnya yang gimbal dan panjang dibiarkan acakacakan. Laki-laki muda yang biasa disapa Cak Faqih itu adalah preman di kota Malang, Jawa Timur. Ia memang kerap mabuk dan membuat resah warga di sekitar situ. Namun, hari itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) menakdirkan lain. Ia bertemu seorang laki-laki bersahaja bernama Suyuthi Dahlan. Tak diduga, Suyuthi malah tak takut melihat Faqih yang sedang mabuk. Justru, Suyuthi mengajak Faqih membantunya mengirim material bangunan ke sebuah pondok pesantren. Anehnya, meski dalam keadaan setengah sadar, Faqih tak menolak permintaan itu. Ia bagai kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja ajakan tersebut. Setiba di pesantren, yang ternyata milik Suyuthi,
24
Faqih diajak bicara, didengarkan keluh kesahnya, dan diberi nasehat-nasehat. Kejadian itu berlangsung 40 tahun lalu, tepatnya tahun 1965. Kini, Faqih telah masuk usia senja. Sudah hampir 60 tahun usianya. Bila mengingat kejadian itu, Faqih tak berhenti berucap syukur. Itulah saat pertama ia mendapat hidayah. Nasihat dakwah yang disampaikan Suyuthi membuat ia rindu untuk kembali ke pesantren tersebut. Dan, setelah peristiwa itu, Faqih perlahan-lahan mulai berubah. Ia rajin mendatangi pengajian yang digelar Suyuthi. ”Alhamdulillah, setelah saya berubah, rezeki malah semakin lancar,” kata Faqih. Kini, Faqih telah memiliki warung nasi rawon (makanan khas Jawa Timur, daging kuah dicamur toge) dan hidup berbahagia bersama istri dan kedua putri yang sudah beranjak dewasa. ”Seandainya Allah (SWT) tidak mepertemukan saya dengan Gus Mad (sapaan Suyuthi), saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Saya hanya bisa membalas dengan doa dan aktif di pengajian beliau. Saya tidak bisa membalas apa-apa,” ujar Faqih ketika ditemui Suara Hidayatullah belum lama ini di kediamannya di Kota Malang. Dari Lingkungan Terdekat Kisah dakwah Gus Mad – begitulah Suyuthi kini biasa dipanggil– di Kota Malang dimulai sekitar tahun 60-an. Kota Malang kala itu
25
memiliki angka kriminalitas tinggi. Kota yang seharusnya sejuk dengan hawa pegunungan, menjadi panas secara psikologis karena begitu banyak dosa yang dibuat. Kala itu, preman sangat identik dengan ”sampah”. Masyarakat lebih suka menjauhinya ketimbang mendekatinya. Namun, tidak demikian dengan Gus Mad. Anak muda ini berpendapat preman juga manusia. Mereka berhak mendapat hidayah. “Seorang bijak berkata, setiap manusia memiliki kecenderungan beragama. Cuma, adakah yang mau menumbuhkannya? Apakah lingkungan sekitarnya atau orang terdekatnya mau menumbuhkan kecenderungan itu?” kata Gus Mad kepada Suara Hidayatullah menguraikan kisah hidupnya berpuluh tahun lalu. Maka, pemuda yang gemar membaca ini mulai melangkah. Ia mulai dari lingkungan terdekatnya. Salah satu preman yang menjadi sasaran pertama Gus Mad adalah Ateng, preman Gadjah Oleng, yang tinggal tak jauh dari kediaman Suyuthi. Gadjah Oleng adalah nama geng preman di Malang yang paling ditakuti saat itu. ”Sejak kecil saya bertetangga dengan Gus Mad. Namun kami berbeda jalan. Beliau memilih jalam manfaat, saya maksiat,” tutur Ateng kepada Suara Hidayatullah, mengisahkan masa lalunya. Sekali didatangi, tentu tak langsung berbuah hasil. Namun, setelah berkali-kali, Ateng mulai sungkan. ”Saya salut dengan beliau.
26
Berulang kali beliau mendatangi saya dan mengajak saya ikut mendamping beliau mengisi i pengajian. Lama kelamaan saya sungkan sendiri,” kata Ateng yang kini hidup tenang dengan membuka warung lalapan. Tatapan Menantang Setelah menaklukkan lingkungan terdekat, Gus Mad melanjutkan langkah menyusuri lorong-lorong kota di mana para preman ini berada. Awalnya memang tak mudah. Setiap kali berhadapan dengan para preman, Gus Mad merasakan ada tatapan menantang, kesan meremehkan, serta sikap keras kepala khas preman. Ini masih ditambah pandangan sinis masyarakat masyarakat sekitar. “Pekerjaan itu sia-sia saja. Ibarat merawat sampah, akan banyak waktu dan harta yang terbuang,” kata Ustadz Fauzi, keponakan Gus Mad, menirukan suara-suara sumbang masyarakat kala itu. Untunglah Gus Mad memiliki banyak ”persediaan sabar”. Modal inilah agaknya yang membuat dakwahnya berhasil. Terkadang, Gus Mad menjalankan misinya secara spontan. Dia datangi markas para preman tanpa pemberitahuan sebelumnya. Di markas itu, Gus Mad bukannya mengobrak-abrik, namun mengundang semua preman di sana untuk datang ke pesantrennya. Ada juga preman yang diajaknya mendampingi dia saat mengisi pengajian di suatu tempat. Untuk keperluan ini, Gus Mad telah
27
menyiapkan pakaian pengganti buat sang preman. Bahkan, ia juga memberi makan dan uang saku. Sekali-dua, para preman itu sebel dengan cara Gus Mad. Lamakelamaan, beberapa di antara mereka mulai merasakan kenikmatan. Mengapa? Mari simak ungkapan salah satu di antara mereka kepada Syafa’, putra Gus Mad. “Gus Mad sering mendekati saya. Padahal, orang tua saya sendiri ogah (dekat-dekat dengan saya). Sejujurnya, saya juga ingin bisa shalat dan berubah menjadi baik.” Rupanya sentuhan inilah yang membuat para preman itu takluk. Mulai Disegani Sikap Gus Mad yang spontan, tak pernah gentar, dan selalu sabar ini membuat para preman dan anak-anak muda bermasalah di Malang mulai segan kepadanya. Satu per satu mereka mendatangi pesantren Gus Mad,
termasuk ketua geng Gadjah Oleng.
“Saya paham mereka penuh masalah. Mereka terbiasa dengan zina, judi, dan mabuk. Tapi, jika kita mendekati mereka dengan bijak, Allah (SWT) akan membuka hati mereka,” kata Gus Mad. Nurul Ulum Pesantren milik Gus Mad bernama Nurul Ulum. Letaknya di jalan KS Tubun, Gadang, Kota Malang, Jawa Timur. Bangunannya mirip
28
gazebo, terbuat dari bambu. Di pesantren inilah para preman digembleng. Setiap Ahad malam selepas maghrib hingga subuh keesokan harinya, para preman itu dicerahkan. Mereka diberi ceramah tentang makna hidup, diajak ber-muhasabah (merenung dan mengevaluasi diri),
membaca
istighfar
berjamaah,
dan
shalat
malam.
Ada juga pengajian Jumat pagi. Pengajian ini dihadiri masyarakat umum, diikuti ribuan orang. Para preman itu biasanya diminta oleh Gus Mad menjadi panitia. Harapan Terakhir Kini, setelah berpuluh tahun Gus Mad mendidik para preman itu, terasa masih ada satu yang kurang. Bukannya Gus Mad kehabisan cara menundukkan preman-preman itu. Bukan itu! Yang masih mengganjal di hati Gus Mad adalah mau diapakan para preman ini setelah sadar? Sejauh ini sebagian mantan preman alumni Pesantren Nurul Ulum menetap di sekitar pondok sambil bekerja alakadarnya. Ada yang menjadi pedagang kaki lima (PKL), penjaga dan pengurus masjid, atau juru parkir. Sebagian lagi banyak yang merantau ke luar kota untuk mencari penghidupan yang layak. Ada yang menjadi karyawan pabrik di Semarang (Jawa Tengah) dan Surabaya (Jawa Timur), atau merantau ke Jakarta sebagai satpam. Jumlahnya ratusan orang.
29
“Andai empat unsur yang digambarkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam; yakni ilmunya ulama, dermawannya orang kaya, bijaknya pemerintah, dan ikhlasnya para fuqara terasuk para mantan preman ini, bisa terpenuhi semua, saya pikir, akan lebih mudah,”
jelas
Gus
Syafa’,
putra
keempat
Gus
Mad.
Gus Mad merindukan terjalinnya kemitraan antara pihak pesantren dengan lembaga usaha atau pemerintah untuk pembinaan para mantan preman ini. Sebab, selama ini masyarakat masih enggan membuka kesempatan untuk mereka. Apalagi pendidikan mereka rata-rata tidak tamat SMA. Gus Mad sudah mencoba menjalin kemitraan dengan pemerintah, baik Dinas Sosial, Departemen Agama, maupun Pemerintah Kota. Namun
sampai
sekarang
belum
ada
tanggapan
positif.
“Untuk sementara ini saya hanya bisa bilang kepada anak-anak (para mantan preman), silakan bekerja apa saja. Yang penting halal,” kata Gus Mad. Gus Mad telah mengabdikan hidupnya untuk mengubah ”sampah” menjadi
”mutiara”.
Adakah
di
antara
kita
yang
peduli?
*Kukuh/kontributor Suara Hidayatullah, tinggal di Malang. SUARA HIDAYATULLAH, JUNI 2009
30
5. Berkiprah dengan Modal Dua Ayat
Tidak lulus Sekolah Dasar tapi mampu mendirikan pesantren di pusat Kota Kudus.
Hari menjelang malam, ketika Iman Syahid menginjakkan kaki di Kota Wali, Kudus, Jawa Tengah setelah menempuh perjalanan selama sembilan jam dari Surabaya. Sebuah perjalanan yang cukup melelahkan. Ketika peluh belum lagi kering, tangan ayah enam anak ini ditarik begitu saja oleh kernet angkutan kota (angkot) dan disesatkan hingga ke wilayah Demak. “Saya sempat bingung. Karena uang tinggal sedikit, saya memilih mushala untuk beristirahat dan melepas lelah,” ujar Iman. Untung Iman tidak sendiri, ia ditemani oleh Abdurrahman dan Fatihul Haq, sehingga ada teman untuk berbagi suka dan duka. Hanya saja, yang membuat mereka berdebar adalah lantaran dipundaknya bergelayut sebuah tanggungjawab untuk mendirikan sebuah pesantren di kota yang sebelumnya bernama Tajug itu. Bahkan dilihat dari nama dan julukannya sebagai Kota Wali, sudah membuat orang tidak boleh gegabah membuat kegiatan yang
31
berkaitan dengan keagamaan tanpa dilandasi oleh ilmu yang mumpuni. Tentu bagi Iman, dan dua rekannya, tugas dakwah dan mendirikan pesantren di kabupaten berpenduduk 730.290 dengan jumlah santri, pelajar dan mahasiswa yang menekuni ilmu keagamaan mencapai 69.357 bukanlah hal mudah. Tapi Iman tak mau mundur. Layar sudah telanjur terkembang. “Sekiranya tidak disokong oleh kemauan yang tinggi, rasanya pekerjaan ini mustahil dapat terwujud,” kata suami Umi Kalsum menjelaskan. Oleh karena itu, segala hambatan tidak dijadikan masalah. Bahkan dalam lubuk jiwa Iman, ada keyakinan bahwa di Kudus ini masih banyak orang yang sehati dengannya dalam mengangkat misi kemanusiaan. Likulli da’watin tujib, setiap ajakan yang baik pasti ada yang menyambut, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) mengingatkan. Allah Maha Besar! Benarlah sesampainya di Kudus, setelah melakukan silaturahim ke masyarakat, berbagai tokoh, dan ormas Islam, Allah SWT mempertemukan Iman dengan seorang notaris, yakni Sultan Abdul Malik SH. Selama beberapa hari, Iman dan kawannya
diperkenankan
menginap
secara
cuma-cuma
di
rumahnya.
32
Namun, seenak-enaknya numpang di rumah orang tentu ada perasaan tidak nyaman. “Kami menyadari. Tentu kehadiran kami, menambah anggota keluarga baru beliau, sekaligus membebani. Tapi alhamdulillah, berkat kedermawanan Ibu Sultan, kami diterima dengan baik,” kata Iman. Ujian Pertama Tak ingin berlama-lama menumpang, Iman akhirnya memutuskan berpamitan, sekalipun belum tahu mau pindah ke mana. Syukurlah, tak berapa lama mereka diterima oleh seorang pemuka agama yang mempelopori cikal bakal kelahiran pesantren di daerah Ploso, Ustadz Shonhaji. Tokoh lulusan Pesantren Gontor tersebut selalu memberikan input kepada Iman tentang ketahanan mental dalam menghadapi tantangan. Di sinilah terjadi pergolakan batin yang serius, khususnya pada diri Iman. Apakah ia akan tetap pada misi yang diamanahkannya untuk merintis berdirinya sebuah Pondok Pesantren Hidayatullah, atau mondok di Ploso, sebagai santri. Iman sadar, panggilan untuk mondok sangat besar. Akan tetapi, percikan nilai-nilai yang ia peroleh dari Pesantren Hidayatullah tidak kalah kuatnya untuk dipertahankan. Bahkan ada semacam tekad jika tidak berhasil, tidak akan kembali ke Surabaya dan tidak akan pulang ke rumah, begitulah tekat Iman kala itu.
33
Menjemput Pertolongan-Nya Suatu hari, Iman bersilaturahim ke Pak Haji, seorang pedagang sendal di Pasar Kliwon, Kudus. Anehnya, sekalipun tak pernah kenal, pertemuan awal itu sangat menyejukkan hati. “Kami berdua, bagaikan pertemuan antara generasi muda Ismail ‘alaihissalam (AS) dengan generasi tua Ibrahim AS,“ kata Iman. Saat itu, komunikasi Iman dengan Pak Haji Lili –disebut demikian karena beliau terkenal dengan produk sandal ‘Lili’nya– berjalan efektif. “Seakan-akan kami berdua telah saling mengenal sekian lama,” tutur pria sederhana ini. Menurut Iman, suasana akrab melebihi dari keharmonisan dengan saudara sendiri, sulit terungkap dengan kata-kata. Air mata kebahagiaan Iman mengalir tiada putus. Hatinya larut dalam suasana bahagia. Keyakinan akan dukungan Allah SWT terasa menyertai perjalanannya. Akhirnya, Iman bermarkas di rumah pinjaman Pak Haji. Dari markas ini pula, ia mulai mengajar ngaji anak-anak. Makin lama anak yang mengaji makin banyak. Menyadari akan keterbatasan
kemampuannya,
ia
pun
merekrut
beberapa
mahasiswa IAIN Kudus untuk membantu menangani program pendidikan anak-anak yang mengaji.
34
Ujian Kembali Datang Namun entah bagaimana ceritanya, muncullah ujian terhadap perjuangan Iman dan kawan-kawan. Perkembangan iman yang baru setapak itu dihadang api cemburu dari salah seorang yang ditokohkan. Iman sempat diusir oleh sang tokoh . Syukurnya, di tengah kerisauan Iman, ternyata Pak Haji sebagai pendukung utama Iman tak terpengaruh. Dia malah makin percaya kepada
Iman.
Alhamdulillah.
Akhirnya, Pada
Iman
beberapa
melangkah bulan
semakin
berikutnya
bulat.
Pimpinan
Hidayatullah Surabaya, Ustadz Drs Abdurrahman Ec, mengirimkan Ustadz Ir Hanifullah yang memberikan tenaga baru pada gerakan dakwah yang baru dirintis itu. Hampir bersamaan dengan itu, Iman mendapat hibah rumah seluas 900 m2, di bilangan Grogol Loji, Bakalan Krapyak. “Kondisinya cukup menyeramkan. Kanan-kirinya penuh ilalang yang tinggi,” kata Iman mengenang. Seiring perjalanan waktu, Iman merasakan tidak ada pekerjaan besar yang mustahil diwujudkan. Di atas pondasi keikhlasan, pertolongan Allah SWT semakin dekat dan terbukti. Kini, kampus Hidayatullah Kudus tidak lagi berupa semak belukar. Sejumlah fasilitas dakwah telah dibangun di dalamnya. Ada gedung serba guna, lima perumahan pengasuh, gedung TPQ, Play Group, TK Ya Bunayya, SDIT dan gedung SLTP Integral sejak tahun 2004. Dan
35
baru-baru ini memperoleh tanah wakaf satu hektar berdekatan dengan jantung kota. Dalam menekuni dakwah, selain sikap sami’na wa atha’na kepada pimpinan, ada dua ayat yang menjadi sumber semangat Iman. Ayat itu adalah “Hai orang-orang Mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad [47]: 7). “…Barangsiapa
bertakwa
kepada
Allah
niscaya
Dia
akan
mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq [65]: 2-3). Pada awalnya tugas, Iman mengaku merasa berat menjalankan amanah yang di embannya. Akan tetapi, dikemudian hari ia menyadari betapa Allah SWT senantiasa menolong hamba-hambaNya yang berjuang di jalan-Nya, dan melimpahkan rezeki dari sumber yang tak terduga. Menurut Iman, amanah yang semula terasa berat dan menakutkan, kini menjadi indah dan mengasyikkan untuk dijalani. Subhanallah. *Sholih Hasyim, Ali Athwa/Suara Hidayatullah AGUSTUS 2009
36
6. Menaklukkan Animisme di Kaki Gunung Wilis
Pendekatan persuasif terbukti lebih berhasil ketimbang lewat kekerasan.
Batu berukuran besar itu berdiri angkuh, dikelilingi pepohonan yang juga besar. Suasananya nampak angker dan sarat mistik. Selama berpuluh tahun, batu yang oleh warga dinamakan ‘Watu Kandang’ itu dijadikan sebagai tempat memohon keselamatan dan berkah. Masyarakat kerap mengirim sesaji dan minta dikabulkan sejumlah hajat hidup mereka. Pemandangan menggetirkan itu diamati secara seksama oleh Rokip, pria kelahiran Sudimoharjo, Kabupaten Nganjuk, 38 tahun silam. Ia tidak bisa tidur nyenyak melihat kejadian itu. Ia terus bertanya-tanya, bagaimana mungkin batu dipuja-puja dan dimintai berbagai keinginan? Yang ada dalam pikiran Rokip, bagaimana mengembalikan keyakinan warga kepada ajaran agama yang benar. Apalagi 100 persen warga yang mendatangi Watu Kandang itu adalah Muslim. “Praktek syirik ini tidak boleh dibiarkan berkepanjangan,” tegasnya.
37
Maka, pada tahun 2003, usai mendapat gelar SPd. I (Sarjana Pendidikan Islam), Rokip bukannya berburu pekerjaan. Tetapi sebaliknya, ia langsung menyimpan ijazahnya itu di lemari dan bergegas menyelamatkan akidah umat. Desa tempat batu itu bertengger bernama Desa Tawan Rejo, sebuah desa terpencil yang terdapat di kaki Gunung Wilis Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Desa ini dihuni sekitar 150 KK. Untuk mencapai Tawan Rejo dari pusat kota Nganjuk, bisa ditempuh sekitar 5 jam dengan naik sepeda motor. Sepanjang mata memandang menuju desa ini, dikelilingi hutan pegunungan yang masih hijau dan rindang. Udaranya sejuk, serta airnya yang dingin. Keterpencilan menjadi semakin lengkap. Sebab, jarak dengan desa tetangga cukup jauh. Desa terdekat seperti Jatirejo, Seluwur, Sudimoharjo berjarak sekitar 5 hingga 7 kilometer. Di Tawan Rejo itulah, Rokip yang alumnus pesantren Miftahul Mubtadi’in Tanjung Anom, Nganjuk itu ingin berkiprah secara total. Tak Ada Rumah Ibadah Saat pertama kali Rokip ke Tawan Rejo, di sana tidak ada bangunan masjid, juga tidak ada mushalla yang dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan dan pencerahan bagi warga. Nuansa animisme benar-benar terasa kental. Sebagian besar warga benar-benar buta terhadap ajaran agamanya sendiri. “Keislaman mereka hanya di KTP dan ketika menikah,” ujar Rokip.
38
Rokip harus putar otak untuk mengatur strategi. Berceramah terusmenerus jelas akan membosankan. Oleh karena itu, Rokip memilih pola pendekatan persuasif. “Dalam dakwah yang saya terapkan, pendekatan pribadi lebih penting. Sebab, jika sudah dekat, dan ada hubungan emosional akan lebih mudah mengajak mereka,” jelas Rokip. “Terlebih, untuk masyarakat yang sudah terlampau jauh dari Islam dan berperilaku syirik seperti di tempat ini pendekatan dari hati ke hati jauh lebih efektif,” kata lelaki lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul ‘Ula (STAIM). Karena itu, hampir setiap hari, Rokip door to door mendatangi rumah penduduk. Ibarat pepatah, sambil menyelam minum air. Setelah terjalin hubungan yang erat dan tahu masalahnya, barulah Rokip meluruskan kekeliruan mereka. Menjawab Ulah Rentenir Ternyata, satu tantangan belum selesai sudah muncul tantangan lain. Rokip dihadapkan dengan ulah para rentenir. Puluhan warga yang penghasilannya pas-pasan dijerat oleh ‘Si lintah darat’ dengan utang berbunga tinggi. Kehidupan warga menjadi semakin tertekan antara memenuhi kebutuhan isi perut dan jeratan rentenir ini. Lalu, suami Siti Susena ini berinisiatif membuka Koperasi Unit Desa (KUD) yang di dalamnya menyediakan simpan-pinjam. Bak gayung
39
bersambut, dukungan positif diberikan warga dengan menjadi anggota koperasi. Dalam waktu singkat, aset KUD berkembang cukup pesat, jumlahnya mencapai 15 juta rupiah. Dari modal inilah, koperasi bisa meminjamkan modal usaha kepada masyarakat tanpa harus ada bunga. Masyarakat pun perlahan-lahan terbebas dari rentenir dan semakin “jatuh hati” kepada Rokip. Kesempatan emas itu digunakan Rokip untuk mengajak mereka kembali kepada Islam. Setiap ada kesempatan, baik secara umum maupun personal, Rokip mulai mengajak masyarakat kembali kepada Islam dan meninggalkan kesyirikan. Satu- dua orang kemudian mengikuti ajakannya. Dari beberapa gelintir orang itu, kemudian bertambah menjadi banyak, hingga hampir 50 persen warga mengkuti dakwah Rokip. Secara perlahan, mereka kemudian diajari ngaji dan diajak mendirikan shalat. Membangun Masjid Setelah kesadaran masyarakat untuk berislam bangkit, Rokip kemudian mengajak mereka membuat mushalla. Mereka diajak berpartisipasi dan mengumpulkan dana. Dari sini pelan-pelan terbentuklah mushalla kecil. Masyarakat semakin percaya kepada apa yang dilakukan Rokip. Selanjutnya, berawal dari mushalla, Rokip pun ingin mengembangkan menjadi sebuah masjid. Ternyata, dukungan warga sangat antusias. Rokip lalu mengajak masyarakat membangun masjid
40
secara bergotong-royong. Ada yang menyumbang uang dari hasil panen. Ada yang menyisihkan tenaga dan waktunya untuk membuat batu-bata yang dilakukan secara beramai-ramai. Suasana desa Tawan Rejo pun terasa semakin kompak. Setelah hampir satu windu, masjid swadaya masyarakat itu akhirnya berdiri dengan kokoh. Di masjid inilah, Rokip membina akidah masyarakat yang sedang tumbuh itu. Dari masjid ini pula akhirnya Rokip menumbangkan keyakinan mistis masyarakat terhadap “Watu Kandang”. Bahkan kini, Watu Kandang itu sudah ditinggalkan. Batu yang selama berpuluh tahun dikeramatkan, kini dianggap tak bertuah lagi. Mereka beralih baramai-ramai ke masjid, menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). Masjid tersebut juga ramai setiap sore oleh suara anak-anak yang mengaji al-Qur`an. Terjalnya Jalan Dakwah Rintangan sudah pasti ada. Ini juga yang dialami oleh Rokip. Ejekan atau hinaan sudah biasa bagi seorang juru dakwah seperti dirinya. “Saya pernah dihina dengan perkataan yang paling jelek, namun saya tetap sabar,” ungkap Rokip, yang menolak menyebutkan hinaan itu. “Tidak enak, Mas,” katanya.
41
Rokip menyadari, mereka melakukan hal itu lantaran ketidaktahuan mereka terhadap Islam. “Coba, jika mereka sudah tahu, insya Allah tidak akan demikian,” imbuhnya. Menurut Rokip, rata-rata yang melakukan hal itu adalah orang yang suka judi dan mabuk-mabukkan. Mereka biasanya anak-anak muda. Karena takut aktivitasnya terganggu, mereka sering mengolok-olok Rokip. Menerima hinaan itu, Rokip tak lantas marah. Sebaliknya, ia makin meningkatkan kesabarannya. Menghadapi anak-anak muda, Rokip punya jurus tersendiri. Ia mendirikan grup nasyid. Grup ini kemudian menjadi terkenal di sekitar desa-desa Tawan Rejo. Setelah ‘menaklukkan’ Desa Tawan Rejo, Rokip melirik desa tetangganya: Desa Seluwur dan desa kelahirannya sendiri, Sudimoharjo. Sebenarnya, jarak antar ketiga desa tersebut cukup jauh, sekitar 3 hingga 5 kilometer. Jalan yang berkelok-kelok, berbukit dan lebatnya hutan jati di kanan kirinya, menjadi tantangan sendiri bagi Rokip. Apalagi, jika malam hari. Ketika itulah, perjalan dakwahnya hanya ditemani gelapnya malam Gunung Wilis sambil ditemani sepeda motor bututnya. Syukurnya, hingga kini dakwahnya di dua desa tersebut berjalan lancar. *Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah SEPTEMBER 2009
42
7. Berpindah-pindah Membuka Jalan Dakwah
Dari Balikpapan ke Samarinda, lalu ke Tenggarong, Palangkaraya, dan Sampit. Kini, Imran terdampar di Palopo. Mayat-mayat itu bergelimpangan di pinggir jalan. Tak jauh dari tubuh-tubuh yang tak berdaya itu, para lelaki bersenjatakan panah, parang dan tombak mondar-mandir nampak beringas, siap mencabut nyawa! Di tengah suasana yang mecekam itu, tiba-tiba seorang di antara mereka menghampiri pria berkacamata yang baru datang dari arah kota. “Berhenti! Mau ke mana? Anda Madura kan?” katanya. Suara bentakan itu terdengar nyaring di telinga Imran M. Jufri (37), pria berkacamata itu. Ia dai dari Pesantren Hidayatullah yang saat itu bertugas di Sampit. “Saya Bugis Pak, mau ke Pesantren Hidayatullah,” jawabnya setengah merinding. Imran berharap dengan menyebut ”Bugis” sebagai suku yang tidak terlibat pertikaian akan menjadikan dirinya aman. Namun, ternyata jawaban Imran masih belum memuaskan. Mereka tidak mau membiarkan seorang pun lolos dari target. Imran diinterogasi. Merasa keadaan makin gawat, spontan Imran menyebut nama M. Ranan Baut (Alm), Demang Kepala Adat Dayak Kalimantan Tengah. “Ranan Baut adalah penasihat Pesantren Hidayatullah Sampit,”
43
jelas pria kelahiran Toli-Toli, 9 Septembar 1972. Sontak suasana menjadi cair dan bersahabat. Malam itu Imran tidak berada di pesantren, ia bermalam di kota Sampit. Karena mendengar peristiwa pembantaian (Februari 2001), ia memutuskan segera ke pesantren untuk mengamankan para santrinya. Imran sadar dua dari 30 orang santrinya berasal dari suku Madura.
Nyawa
kedua
anak
itu
ada
dalam
bahaya.
Alhamdulillah, dengan bantuan simpatisan kedua santri itu dapat disembunyikan dan selamat setelah diungsikan ke depan rumah dinas Bupati Sampit. Hidayatullah Sampit terletak di Desa Sumber Makmur, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Sampit, Kalimantan Tengah. Normalnya, perjalanan dari kota ke lokasi pesantren, hanya ditempuh sekitar 25 menit saja. Tapi pagi itu, Imran menempuhnya selama 1, 5 jam. Bersyukur Imran selamat. Setahun pasca konflik Dayak dan Madura, perekonomian Kota Sampit kembali berjalan normal, begitu pula dengan dakwah Hidayatullah. Aktivitas dakwah yang sempat putus kembali aktif, termasuk beberapa kegiatan TK/TP al-Qur’an yang sudah berbulanbulan macet. Kepercayaan masyarakat kepada Hidayatullah semakin kuat. Dakwah Imran yang dulu hanya bergerak di Muhammadiyah, kini juga sudah diterima di kalangan NU. Tidak heran jika Imran kadang
44
harus membagi jadwal di masjid milik warga NU dan Muhammadiyah untuk mengisi jadwal khatib Jumat. Kepercayaan itu semakin terlihat saat camat di Kecamatan Baamang menyerahkan sebuah yayasan peninggalan etnis Madura kepada dirinya. Di yayasan tersebut sudah berdiri satu buah gedung asrama dan tiga lokal ruang belajar permanen. “Barangkali ini caranya
Allah
melindungi
umatnya
dari
kehancuran.
Allah
menitipkan amanah ini kepada kami agar dakwah dan pembinaan umat tetap berjalan di Sampit,” ungkap Imran penuh syukur. Akan tetapi perjalanan dakwah tidak selamanya lancar. Di penghujung 2002, entah mengapa seorang tokoh masyarakat yang tidak bersimpati kepada dirinya mengirimkan guna-guna (semacam santet). Tujuannya agar seluruh santrinya tidak betah dan segera hengkang dari pesantren. Bersyukur, guna-guna tersebut tidak mempan. Yang terjadi justru sebaliknya, sang tokoh diusir oleh masyarakat karena melakukan tindak asusila dengan tetangganya. Perbuatan jahat dengan santet itu terkuak. Ruswadi, sang pelaksana lapangan yang menanam santet di halaman pesantren mengakui perbuatannya dan meminta maaf. Tinggal di Masjid Dakwah dan sabar adalah satu paket yang utuh. Imran sudah menyadari
hal
itu
sejak
pertama
kali
kakinya
melangkah
45
meninggalkan Pesantren Hidayatullah, Balikpapan. Sudah berpuluh seniornya mengajarkan tentang dua hal ini, dan itu harus dipegang erat-erat. Termasuk ketika ditugaskan ke Sampit pada l995. Ia harus bersabar saat belum punya tempat tinggal. Yang dilakukan adalah berkunjung ke sejumlah masjid. Di samping untuk melakukan shalat berjamaah, juga mencari peluang untuk tinggal di sana. ”Hitung-hitung cari tempat tinggal gratis,” katanya sambil tersenyum. Oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT), ia dipertemukan dengan Drs H Muhammad, Wakil Ketua Pengadilan Agama yang menjadi ketua Badan Pengelola Masjid Al-Falah. Melalui Muhammad, Imran dipersilakan tinggal di Al Falah untuk sementara waktu. Syaratnya, ia mengurusi kegiatan-kegiatan di masjid. Mulai dari mengepel, menyusun jadwal khatib, merancang kegiatan Ramadhan, menjadi panitia Qurban hingga menghitung uang celengan. Setelah setahun tinggal di Masjid Al-Falah, suatu malam di bulan Mei 1996, ia didatangi seseorang. Bagi Imran dan kawan-kawan, tamu yang berkunjung itu tidak asing lagi. Lelaki itu bernama Slamet, Kepala Desa Sumber Makmur, yang berniat mewakafkan tanah desa yang luasnya dua hektar. “Alhamdulillah, Allahu Akbar!” pekik takbir anak-anak muda ini. Terbayang oleh mereka kehadiran Pesantren Hidayatullah di Sampit tinggal selangkah lagi. Doa Imran dikabulkan Allah, selang beberapa
46
waktu kemudian di Desa Sumber Makmur itu dibangun Pesantren Hidayatullah, yang berdiri hingga sekarang. Pindah ke Palopo Setelah delapan tahun mengemban amanah dakwah di Sampit, Imran dipindahtugaskan ke Palopo, Sulawesi Selatan. Hingga saat ini, Imran memegang amanah sebagai Ketua DPD Hidayatullah Palopo. Semangat Imran dalam dakwah tetap menyala. Baginya, Sampit dan Palopo tidak ada bedanya. Dua-duanya adalah medan dakwah yang siap dihadapi. Maka berbagai aktivitas kembali dilakukan seperti ceramah dan pengajian rutin lainnya. Ia juga dipercaya oleh Departemen Agama kota Palopo untuk menjadi penyuluh agama di kecamatannya. Selain itu, kampus pesantren Hidayatullah seluas satu hektar yang berjarak 9 km dari pusat kota Palopo, kini telah berkembang pesat. Ada enam ruang kelas untuk SD, tiga kelas SMP, satu unit perpustakaan, masjid, empat rumah pembina, dan ruangan TK/TPA, semuanya tertata apik. Perjalanan dakwah Imran, dimulai sejak bergabung dengan Pesantren Hidayatullah di Gunung Tembak (1988), Balikpapan. Pada masa santrinya, ia diberi amanah di Departemen Kebersihan dan Lingkungan Hidup. Pekerjaan sehari-harinya yakni membersih-
47
kan sampah dan menyabit rumput. Ia juga membuat taman dan mengelola keindahan kampus dengan menanam berbagai bunga hingga suasana kampus menjadi indah. Pada tahun 1990, ia diberi tugas baru untuk membantu perintisan Hidayatullah di kota Samarinda. Di kota Tepian ini, Imran diberi amanah
untuk
mewujudkan
berdirinya
sebuah
masjid.
Dari
Samarinda, ia berpindah ke Tenggarong, Kabupaten Kutai (1995). Di tempat ini ia diberi amanah sebagai Pimpinan Ranting. Saat itu, Hidayatullah di Tenggarong juga baru dirintis. Setahun berdakwah di Tenggarong, Kalimantan Timur, ia lalu dipindah tugaskan ke Palangkaraya, Kalimantan Barat. Juga dengan tugas yang sama. Belum genap setahun bertugas di Palangkaraya, di akhir tahun 1996, barulah ia kemudian diberi amanah untuk melakukan perintisan di Hidayatullah Cabang Sampit, sebelum akhirnya bertugas di Palopo hingga sekarang. *Sarmadani/Ali Athwa/Suara Hidayatullah OKTOBER 2009
48
8. Jalan Panjang Dai Tempaan Alam
Menjelajah bumi Nusantara untuk menebarkan dakwah Nubuwwah “Pergi, jangan menginap di sini!” hardik pengurus mushalla kepada dua orang pemuda yang baru saja merebahkan badannya karena letih. “Ke Pasar Pagi saja, cari tempat istirahat di sana,” kata lelaki paruh baya tersebut kepada Hasan Suraji dan Suwardhany Soekarno. Dua pria yang dihardik tadi tak lain adalah dai utusan Hidayatullah Balikpapan yang hendak berdakwah di kawasan pedalaman Kalimantan. Seperti biasa, setiap kali memasuki tempat tugas baru dan di sana belum memiliki kenalan, maka masjid atau mushalla merupakan alamat andalan mereka. Sore itu, setelah menempuh jalan sejauh 100 kilometer dengan angkutan umum dan perahu ketinting menyeberangi sungai Mahakam, perjalanan akan dilanjutkan lagi sejauh 6 kali lipatnya. Maka, mereka memutuskan istirahat barang sejenak di emperan mushalla di bilangan Jalan Panglima Butur, Samarinda. Untung tak dapat diraih, keduanya diusir dan disuruh tidur di tempat lain. Seusai shalat Subuh, mereka berangkat ke kota Tenggarong sebagai pintu gerbang sebelum masuk ke kawasan pedalaman.
49
Lalu, dengan bekal percaya diri yang tinggi mereka melapor kepada Bupati Kutai yang saat itu dipimpin oleh Drs Ahmad Dahlan. Di luar dugaan, setelah bupati mendengar mereka utusan dari Hidayatullah yang akan membina masyarakat pedalaman, mereka disambut dengan sangat antusias. Keduanya, lalu diberi uang saku sebesar Rp 20 ribu. “Alhamdulillah, karena kami memang sudah kehabisan ongkos,” kata Hasan. Melelahkan Kedua anak muda itu tidak sempat bertanya kepada almarhum Ustadz Abdulllah Said (pendiri Hidayatullah) mengapa harus mereka yang ditugaskan berdakwah di pedalaman. Hasan waktu itu masih berstatus pengantin baru dan harus meninggalkan istri selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tapi bagi kader dakwah seperti mereka tidak ada alasan untuk bersilat lidah, apalagi membantah. “Kami sami’na wa atha’na, ini adalah tugas mulia melandingkan Islam di pedalaman,” kata pria yang selalu riang ini. Dari Tenggarong, mereka bersiap-siap melakukan perjalanan panjang ke belantara Kalimantan. Dengan menggunakan kapal berukuran kecil pengangkut barang-barang dagangan, mereka menelusuri
Mahakam
melalui
kota
kecamatan
kecil
seperti
Kotabangun, Muara Pahu, Melak dan Long Iram. Saat di Long Iram, Suwardhany Soekarno terserang penyakit malaria yang cukup parah. Ia pun dibawa ke Puskesmas. Dari
50
pembaringan, Suwardhany mengirim surat kepada Ustadz Abdullah Said yang isinya, ”Tolong kami didoakan karena siapa tahu tinggal nama yang kembali, medannya cukup berbahaya. Tempat kami mengirim surat ini adalah kantor pos yang terakhir dan kami masih akan meneruskan perjalanan ke hulu yang medannya lebih rawan daripada yang telah dilewati.” Pada saat membina masyarakat Muslim di Long Pahangai, mereka juga sempat terseret oleh arus arung jeram yang kencang. Untung perahu yang mereka tumpangi tersangkut di WC milik penduduk setempat yang banyak terdapat di bibir sungai. ”Alhamdulillah, kalau tidak nyangkut WC boleh jadi kami benar-benar pulang hanya tinggal nama saja,” kenang Hasan, ayah 9 anak ini. Pendekatan dengan Berburu Setelah
tiba
di
tempat
berdakwah,
Hasan
tidak
langsung
berceramah. Saat itu, ia kumpulkan warga, tetapi bukan untuk mendengarkan pengajian. Namun, hari pertamanya itu ia lalui dengan berburu bersama warga. Bersama puluhan warga setempat yang membawa mandau, tombak, sumpit, dan golok, Hasan mengendap-endap mengintai rusa hutan di malam buta. Malam itu benar-benar malam yang melengkapi keletihan fisik Hasan, setelah menempuh perjalanan panjang.
51
Tetapi keletihan itu segera sirna begitu Hasan menyadari bahwa ia berada di tengah-tengah orang yang kuat dalam mempertahankan akidah. Kendati sudah bertahun-tahun hidup dalam ketiadaan pembinaan, mereka masih bertahan dalam iman Islam. Padahal, para zending terus menggoda mereka agar murtad dari Islam. Bahkan, kata Hasan, mereka memiliki kelebihan dibandingkan dengan penduduk non-Muslim. “Mereka sudah tidak makan babi, tidak makan binatang melata dan anjingnya hanya ditempatkan di ladang,” terang suami dari Asma ini. Setelah
tiga
bulan
Hasan
melakukan
pembinaan
(Oktober-
Desember 1975) di Long Krohong, ia kemudian ditarik kembali ke Balikpapan. Dai Perintis Tugas pertama di pedalaman Kalimantan itu ternyata bukan yang terakhir. Oleh Ustadz Abdullah Said, ia kembali diberi amanah yang lebih menantang. Berturut-turut Hasan pun ditugaskan ke Toli-toli (1984), Tanah Grogot (1986), serta Tarakan (1989). Tahun 1998, Hasan mendapat tugas untuk menaklukkan bumi Cenderawasih, Papua. “Semua tempat menantang, tapi inilah medan dakwah yang paling berat,” ujar santri awal Hidayatulah ini. Apa pasal? Saat itu sarana transportasi ke Papua sangat sulit. Ada kapal Pelni, tetapi sangat jarang. Dan yang pasti, ada penyakit
52
‘wajib’ yang harus diterima orang yang tinggal di sana, yakni malaria. Benar saja, baru sebulan di sana, Hasan dan kelima anaknya yang masih kecil-kecil harus menjadi pelanggan dokter. Waktu terus berputar. Setelah bertugas selama tujuh tahun, Hasan merasakan suka dukanya berdakwah di Papua. Bersama puluhan dai
yang
diamanahkan
untuk
‘menaklukkan’
Papua,
Hasan
kemudian diamanahi menjadi Koordinator Wilayah (Korwil) Irian Jaya dan Irian Jaya Barat yang wilayahnya meliputi: Sorong, Wamena, Serui, Nabire, Fak-Fak, Jayapura, Manokwari, dan Biak. Di situlah cabang-cabang Hidayatullah telah didirikan. Amanah sebagai Korwil mengharuskannya keliling ke daerahdaerah tersebut. Oleh karena itu, setelah berbulan-bulan bertugas Hasan baru bisa kembali ke rumah. Sebab, selain sarana transportasi yang sulit, juga masalah dana. Bila dana cukup, maka dengan pesawat terbang manjadi pilihan. Akan tetapi, jika dana terbatas, maka kapal Pelni atau kapal perintis menjadi alternatifnya. Apa yang membuat Hasan selalu semangat dalam menjalani tugastugas
dakwah,
apalagi
kerap
barus
berpindah-pindah
dan
menghadapi permasalahan, baik keluarga maupun masyarakat? “Spirit nubuwwah itulah kuncinya,” jelas lelaki kelahiran Balikpapan 57 tahun lalu. Adapun yang dimaksud Hasan dengan semangat nubuwwah adalah berpegang kepada nilai-nilai kebenaran yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) sebagai bekal hidup dan perjuangan.
53
Menurut Hasan, ia sangat beruntung memiliki seorang istri yang setia mendukung dan selalu memberinya semangat. Sang istri tahu tugas dan kewajiban sebagai seorang mujahidah, ia siap mengikuti kemana pun ditugaskan. “Kalau Ustadz pergi, pesan utamanya agar saya menjaga anakanak, mengingatkan waktu shalatnya, menjaga komunikasi di antara anggota keluarga, serta menghadapi masalah dengan kepala dingin dan santai,” ujar Asma, sang istri. Hasan Suraji lahir di Balikpapan, 8 Oktober 1952. Menempuh pendidikan SD, SMP dan STM di Balikpapan. Di tengah masa studinya itulah, ia banyak berinteraksi dengan Ustadz Abdullah Said muda. Hasan turut menjadi saksi dan pelaku sejarah berdirinya Pesantren Hidayatullah, mulai dari perintisan di Gunung Sari, kemudian pindah ke Karang Rejo, Karang Bugis —semua tempat tersebut ada di kota Balikpapan– dan akhirnya mendapatkan tanah hibah dari seorang hamba Allah bernama Dermawan di wilayah Teritip, yang kini menjadi
kampus
pusat
Hidayatullah.
*Mujahid,
Ali/Suara
Hidayatullah NOPEMBER 2009
54
9. Redy Dunggio Ustadz, Kucing Saya Disembelih!
Inilah suka duka menjadi Pak RT di dearah yang masih banyak masalah. Suatu ketika, Redy Dunggio didatangi seorang warga yang melaporkan
telah
kehilangan
seekor
kucing
kesayangannya.
Setelah dicari-cari rupanya kucing itu telah dibunuh oleh seseorang. Tetangganyalah yang menceritakan kejadian ini. Mandapati kucingnya mati dengan kondisi mengenaskan, emosi warga tersebut meledak. Ia segera mencari si pembunuh kucing kesayangnnya untuk membuat perhitungan. Redy merasa galau. Apa jadinya jika warga tersebut benar-benar bertemu si pembunuhnya, yang juga adalah warga di RT tersebut? Pertumpahan darah pasti akan terjadi. Redy mencari akal agar pertumpahan darah tak terjadi. Ia putuskan segera bertindak cepat, menemui si pembunuh sebelum keduluan si empunya kucing. Berhasil! Rady mengajak si pembunuh itu berbicara baik-baik, menyadarkan kesalahannya, dan memintanya untuk memohon maaf kepada si pemilik kucing.
55
Setelah itu, Rady ganti menemui si empunya kucing dan berupaya menahan emosinya seraya meminta keikhlasannya atas peristiwa tersebut. Langkah cepat Rady rupanya berhasil. Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) mencabut kemarahan pada hati orang itu. Alhamdulillah, pertumpahan darah bisa dicegah. Selesai satu masalah, muncul lagi masalah baru. Suatu hari Redy mendapati salah seorang warga non-Muslim tergeletak di tengah semak akibat kebanyakan minum munuman keras. Parahnya, si pemuda teller itu ternyata tengah berurusan dengan pihak kepolisian karena terlibat sebuah kasus. Ketika aparat hendak menaikkan pemuda mabuk itu ke dalam mobil, tanpa pikir panjang Redy mencegahnya. Ia meminta penahanan ditangguhkan. Sebagai jaminan, Redy mengorbankan dirinya sendiri sebagai penjamin. Setelah aparat pergi, Redy menggotong pemuda itu ke rumahnya. Sejak hari itu Redy mendapat pekerjaan baru: memulihkan kondisi si pemuda mabuk plus masalah yang menimpanya. Tak Bisa Baca Qur`an Begitulah suka duka seorang ketua RT sekaligus dai di sebuah komunitas yang masih suka kekerasan, mabuk-mabukan, dan bergaya hidup bebas. Komunitas itu berada di Wangurer Barat, Kecamatan Madidir, Bitung, Sulawesi Utara.
56
Tidak mudah, memang. Tapi Redy ikhlas menjalankannya. Apalagi masyarakat begitu berharap Redy mau menerima amanah ini karena mereka yakin Redy bisa membuat perubahan. Redy sendiri tak sampai hati membiarkan anak-anak Muslim di sana tak mendapat bimbingan rohani yang layak. Rentetan kejadian sebelumnya kian membulatkan tekadnya untuk mengubah kondisi kaum Muslim —umumnya anak-anak – agar menjadi lebih baik. Rentetan kejadian itu bermula ketika listrik belum masuk di daerahnya. Alat penerangan cuma lampu petromak dan lampu tempel. Ketika hari menjelang Maghrib, sepulang dari tempat kerja, seperti biasa Redy telah membawa lampu petromak untuk menuju mushola terdekat. Mushola itu tanpa dinding. Yang ada hanya atap dan lantai. Usai
shalat
Maghrib
berjamaah,
datanglah
puluhan
anak
mendatanginya. Mereka meminta Redy mengajari mengaji. Redy agak panik. Sebab, saat itu ia sama sekali belum bisa baca tulis alQur`an. Ya, sama sekali tak mengenal huruf-huruf hijaiyyah, kecuali satu atau dua saja. Tapi, ia juga tak mampu menolak keinginan anak-anak itu. Apalagi bila memandang wajah polos mereka, membuat Redy yang kala itu masih bujang, kian bertekad untuk bisa baca tulis al-Qur`an dalam waktu cepat. Tentu tidak mudah. Solusi sementara, Redy pergi ke
57
toko buku. Di sana ia menemukan buku panduan membaca huruf hijaiyyah. Setiap satu huruf hijaiyyah ada huruf latin di bawahnya. Setelah membawa pulang buku itu, Redy langsung bisa mengajar. Caranya, ia membaca keras-keras satu huruf, yang dibaca tentu huruf latinnya, lalu diikuti oleh semua anak. Begitulah Redy melewati malam demi malam. Awalnya tak ada masalah. Namun, setelah halaman berganti halaman, huruf yang dibaca pun kian sulit. Bukan lagi huruf demi huruf, namun sudah menjadi kata demi kata. Redy mulai kewalahan. Ia pikir, cara mengajarnya harus segera diubah. Buru-buru ia mencari ustadz. Setelah ketemu, ia mulai menyisihkan waktu di antara pekerjaannya sebagai karyawan di sebuah perusahaan penangkap ikan untuk belajar mengaji. “Alhamdulillah, Allah memberikan kemudahan kepada saya untuk belajar!” katanya. Dalam waktu singkat, Redy sudah bisa membaca ayat demi ayat al-Qur`an meski masih terbata-bata. Kedatangan Ustadz Di antara segala keterbatasan itu bantuan Allah SWT tiba-tiba datang. Seorang ustadz tiba di daerah itu. Tak sekadar ingin mengajar ilmu-ilmu Islam, sang ustadz juga berencana mendirikan
58
sebuah pondok pesantren. “Allahu Akbar, segala puji bagi-Mu ya Allah!” kata Redy ketika mengetahui informasi ini. Tugas pembinaan kepada anak-anak sementara teratasi. Redy mulai fokus kepada penempaan dirinya sendiri. Setelah merasa lebih siap dengan ilmu yang seadaanya, ia memberanikan diri mendirikan majelis taklim di perusahaan tempatnya bekerja. Tak kurang dari 60 karyawan ikut bergabung. Redy sendiri yang memimpin majelis tersebut. Redy juga mendirikan Sekolah Taman Kanak-kanak Islam Al-Amanah pada tahun 1999 bersama sejumlah tokoh masyarakat seperti Hasan Harun, Suadi Latibi (alm), dan Ishak Napu. Saat ini, TK yang berlokasi 500 meter dari jalan raya menuju kota Bitung itu telah memiliki 4 orang guru dan 30 murid. Adil dengan non-Muslim Kini, Redy telah memikul amanah sebagai Ketua RT di Lingkungan III Wangurer Barat, Bitung, sekaligus dai. Pria yang lahir di Gorontalo ini tidak pernah membedakan pelayanan antara warga Muslim dan non-Muslim. Ia terapkan pola pelayanan yang seimbang. Ketika walikota memberikan lahan hunian cuma-cuma untuk masyarakat RT tersebut, Redy membaginya secara adil kepada warga Muslim dan non-Muslim. Sebagian besar warga non-Muslim malah ikut pindah ke tempat yang baru.
59
Sikap yang adil ini membuat warga non-Muslim tidak membolehkan Redy untuk mundur dari jabatannya sebagai ketua RT. Sikap ini juga yang melunakkan hati Lurah ketika Redy mengusulkan untuk mendirikan menara di dekat masid di kampung tersebut. Lurah malah mengatakan, ”Umat beragama lain di daerah itu tidak perlu takut kepada Islam karena sesungguhnya Islam cinta damai.” Menambah Ilmu Untuk
menambah
ilmu
agama
dan
memelihara
semangat
dakwahnya, Redy menggabungkan diri dengan Yayasan AlMuhtadin, Pondok Pesantren Hidayatullah, Bitung. Suami dari Rahmawati
M Keloay,
mualaf asal Minahasa ini mengaku
interaksinya dengan Al-Muhtadin memberi makna spiritual yang mendalam.
“Saya merasa Allah itu dekat. Saya tidak perlu lagi cemas menghadapi aneka masalah apapun,” kata ayah empat anak ini. Ketika malam telah jatuh, Redy acap kali bangun dan merengkuh nikmatnya bermunajat kepada Allah SWT. Dalam doanya Redy menyelipkan harapan agar ia bisa berdakwah lebih lama di daerah itu. Kini, Redy telah mempersiapkan sebidang tanah di Erfak, kampung Combat, untuk dibangun musholla. Musholla ini akan menggantikan
60
fungsi balai RT, bangunan semi permanan, yang selama ini dipakai untuk kegiatan Taman Pendidikan Anak. “Insya Allah, kalau mushalla sudah jadi, akan kami gunakan sebagai tempat pembinaan dan pendidikan anak-anak,” ungkap Redy. Mudah-mudahan Allah SWT akan mengabulkannya. Amin! *Ismail Irfanjani/Suara Hidayatullah PEBRUARI 2010
61
10. Dakwah dari Tungku ke Tungku
Di lereng gunung ia menyebarkan salam dan berbincang-bincang. Dengan cara yang sederhana itu, Islam justru berkembang pesat. Empat orang lelaki itu duduk di atas bangku kecil mengelilingi tumang (tungku) yang terletak di dapur rumah Sunarsan, warga Dusun Puncak, Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Mereka adalah para muallaf yang baru saja masuk Islam setelah Idul Fitri 1428 H, beberapa bulan lalu. Di ujung bangku kecil, sebelah kiri tumang sepanjang satu setengah meter, ustadz Edy Purwanto tengah berbicara tentang tauhid dan shalat. Edy salah seorang dai yang membina para muallaf ini. Walau udara di luar terasa dingin dan menusuk tulang, mereka tetap khusyuk menyimak kata-kata yang keluar dari mulut sang ustadz. Malam itu, mereka berkumpul karena baru saja menunaikan shalat Isya secara berjamaah di mushalla An-Nur yang terletak di sebelah kanan rumah Sunarsan. Edy menyempatkan diri mampir untuk bersilaturrahim. “Shalat itu memang berat, tapi kalau kita membiasakan diri, akan jadi mudah,” ujar Edy disambut anggukan pendengarnya.
62
Dai Pesantren Hidayatullah Lumajang itu memberikan tamsil tentang pentingnya shalat, ibarat orang yang mandi lima kali sehari. “Kalau panjenengan (anda) semua ini mandi lima kali sehari, apakah masih kotor atau bersih?” tanyanya sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu bertanya pada para sahabat. “Tentu saja bersih,” jawab mereka berbarengan. Mengetahui obrolan makin asyik, istri Sunarsan segera mengambil beberapa gelas dan menuang kopi panas ke dalamnya. Tiap orang mengambil gelas tanpa dipersilakan, seolah tahu bagian masingmasing. Selain tamu biasa, yang hadir di tumang Sunarsan malam itu adalah Karyo Slamet, salah seorang tokoh Dusun Puncak. Sebelum memeluk Islam, Yok, panggilan Karyo, termasuk salah seorang penentang Islam yang paling keras. Namun, setelah mendapatkan hidayah dan bersyahadat, dia pun berbalik menjadi orang yang peduli dengan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mendengar ceramah Edy itu, Yok nyeletuk, “Kadang saya agak malas untuk shalat, karena tidak sempat.” “Memang harus dibiasakan Pak Yok. Kalau tidak, ya nggak bisa,” celetuk Bakri, warga sedusunnya, yang malam itu turut nimbrung. Edy pun menimpali, “Yang namanya pekerjaan berat, pasti hasilnya akan berlipat ganda. Demikian pula dengan shalat. Sampeyansampeyan harus bersyukur kepada Allah karena diberi hidayah
63
untuk masuk Islam. Alangkah indahnya agama ini, dan alangkah mahalnya hidayah Allah. Oleh karena itu, marilah kita pertahankan hingga akhir hayat.” Ketika bersilaturrahim seperti inilah biasanya Edy memberikan tausiyah kepada mereka tentang pentingnya shalat wajib, shalat Tahajjud, shalat Dhuha, maupun ibadah lainnya. Tausiyah tidak melulu ia berikan di mushalla. Malah yang di depan tumang itulah yang paling sering. Dan, biasanya, kata Edy, dakwah di tumang lebih mendalam dan mengena ke hati mereka ketimbang ceramah di mushalla. Dakwah di depan tumang warga dusun adalah salah satu cara Edy membina para muallaf yang haus akan siraman rohani. Tumang adalah tempat khas di Sundoro. Ia bisa jadi tempat makan, menerima tamu, tempat rehat, ruang berkumpul, maupun tempat menghangatkan tubuh. Maklumlah, Sundoro adalah kawasan dingin. Dusun Puncak adalah kawasan tertinggi di Desa Argosari. Sekitar dua kilometer ke arah barat dusun, Gunung Bromo tampak indah menjulang. Puncak Gunung Semeru tampak gagah menantang langit di sebelah utara. Pemandangan sekitar dusun dihiasi oleh lereng-lereng curam yang ditanami bawang daun dan kubis yang berderet-deret simetris membentuk pemandangan indah dan mempesona.
64
Islam, Hindu, Lalu Islam Lagi Dahulu, sebagian warga Puncak memeluk agama Islam sebelum beralih ke Hindu. Ini terbukti dengan adanya ‘bekas’ mushalla yang terdapat di sana. Kondisi mushalla itu sangat memprihatinkan karena tak terpakai dalam waktu lama. Atapnya banyak yang bocor, dinding-dindingnya terkelupas dan bolong di sana-sini. Lantainya tak kalah menyedihkan, terbuat dari tanah dan penuh kotoran hewan. Wajar saja, sebab kambing dan ayam menjadikannya tempat favorit untuk bermain. Begitu mereka telah kembali berikrar ke pangkuan Islam, muhalla tersebut direnovasi kembali dengan cara bergotong-royong. Warga Dusun Puncak termasuk dalam gelombang terakhir yang masuk Islam dibandingkan dengan warga dusun lainnya seperti Dusun Pusung Duwur dan Bakalan. Jumlah muallaf di kedua dusun itu pun lebih banyak dibandingkan dengan yang di Puncak. Untuk membina para muallaf di seluruh Argosari, Edy tidak bergerak sendirian. Ia ditemani oleh dai-dai lainnya dari beberapa ormas Islam. Jalan ke arah Puncak lebih berat daripada ke Pusung Duwur atau Bakalan. Hanya sebagian jalan yang diaspal. Sisanya alami; tanah pegunungan dengan tanjakan dan turunan tajam.
65
Ketika musim kemarau akan berdebu, ketika musim hujan akan licin dan berlumpur, berbahaya untuk dilewati. Jangankan naik motor, dengan berjalan kaki saja bisa terpeleset. Penduduk Desa Argosari berjumlah 6.000 jiwa. Dari jumlah itu, baru 1.000 orang yang masuk Islam. Sedangkah jumlah tenaga dai tak sampai 20 orang. Edy dan kawan-kawan berharap akan banyak pengiriman tenagatenaga dakwah lainnya ke sini. Peluang untuk mengembangkan komunitas Islam di kawasan ini masih terbentang sangat luas. “Kalau ini tidak diimbangi dengan pengiriman tenaga dai, maka akan mudah terjadi resistensi dengan missionaris Kristen yang juga giat ‘berdakwah’ di sana, ” kata bapak tiga anak ini. Metode dakwah yang diterapkan Edy sebenarnya sederhana, silaturrahim.
Setiap
bertemu
orang
di
Argosari,
dia
selalu
menyebarkan salam. Kalau yang ditemui kebetulan orang Hindu, ia cukup tersenyum dan menyapa. Ia tahu kalau ia masih non-Muslim karena ketika di sapa dengan salam tidak menjawab. Hal yang jadi masalah para dai adalah rendahnya tingkat pendidikan warga dusun. Mereka tidak bisa baca tulis, walau telah berusia uzur sekalipun karena tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Oleh karena itu, Edy dan kawan-kawan kerap menganjurkan para muallaf
66
agar menyekolahkan anak-anak mereka, entah di pesanten atau sekolah umum. Di Puncak sendiri, tidak terdapat Sekolah Dasar (SD). Sekolah itu hanya ada di Dusun Legok, jauh di bawah pedusunan, sekitar 3 kilometer, dengan kemiringan 50 derajat. Itulah yang membuat mereka malas menyekolahkan anak-anaknya. Kini, sebagian anakanak para muallaf ini telah dikirim ke beberapa pesantren di sekitar Lumajang. Kambing Pengganti Babi Namanya muallaf, masih ada di antara mereka yang berat meninggalan kebisaan lamanya, yakni memelihara babi. Para dai membuat strategi tidak melakukan pelarangan secara langsung. Edy khawatir larangan itu akan menimbulkan keguncangan, sementara untuk beternak hewan lainnya masih belum bisa dilakukan. “Kita tidak bisa hanya sekadar melarang tanpa memberikan solusi. Kita harus bisa mencari alternatif ternak lain yang dapat dipelihara oleh para muallaf,” katanya. Kini Edy tengah sibuk mencari sponsor atau donatur yang mau mempercayakan pada muallaf untuk beternak kambing atau sapi. Dan, warga pun siap mengganti ternaknya kalau memang ada alternatif. Sebenarnya warga tahu bahwa babi diharamkan dalam
67
Islam, namun karena desakan ekonomi, mereka tidak mampu berpaling. Sebelum bertugas di pegunungan Argosari, Edy Purwanto adalah dai Pesantren Hidayatullah yang bertugas di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Dia ikut bergabung dengan Pesantren Hidayatullah cabang Jember pada tahun 1991. Kala masuk pesantren saat itu, Edy baru menginjak semester tiga di Politeknik Fakultas Pertanian Universitas Jember. Setahun
setelah
bergabung
di
cabang
Jember,
Edy
pun
melangsungkan pernikahan. Bulan madunya adalah penugasan di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1994, ia memboyong keluarganya untuk menjalani tugas baru di Timor Timur. Di negara baru dan termiskin di dunia itu, Edy bertugas selama dua tahun. Kini, di puncak gunung, di tumang-tumang rumah warga, Edy dan kawan-kawan terus bergiat menebarkan rahmatan lil alamin-nya Islam. Dia hanya ingin keberadaan para dai di komunitas Suku Tengger itu membawa manfaat dan maslahat bagi umat. Chairul Akhmad/Suara Hidayatullah JANUARI 2008
68
11. Lokomotif Dakwah di Bumi Sikerei
Menelusuri jalan setapak, menghidupkan masjid yang sudah mati. Liku-liku berdakwah di Mentawai. Ketika kapal pertintis itu lego jangkar di depan dermaga Sioban, di hadapan M. Husni Nashirun sudah terbentang sebuah pulau harapan. Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai pagi itu masih diselimuti kabut. Namun setelah turun ke daratan, Husni mulai dihadapkan dengan realita sesungguhnya. Pasalnya, mengayuh bahtera dakwah di gugusan kepulauan yang berjuluk Bumi Sikerei ini, penuh tantangan, fitnah dan tekanan. Namun ada juga harapan dan peluang bagi kejayaan dienul Islam. Husni berangkat dari pelabuhan Muaro Padang. Ia terombangambing di laut lepas selama 24 jam hingga berlabuh di dermaga Sioban.
Perjalanan
memboyong
istri
dan
ketujuh
anaknya
dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 18 km. Tujuannya adalah lokasi permukiman transmigrasi Sipora Dua (SP II), yang kini bernama Desa Sido Makmur. Kondisi pulau Sipora yang kini menjadi Ibu Kabupaten Kepulauan Mentawai, tidaklah semaju sekarang. Saat pertama kedatangan Husni pada awal Maret 1995, cuma ada jalan setapak yang becek
69
dan berlumpur. Bahkan sebagian masih tergenang rawa yang penuh nyamuk malaria. “Saat itu tak ada pilihan selain berjalan kaki. Mentawai baru disentuh pembangunan setelah menjadi kabupaten enam tahun lalu. Sebelumnya, kondisinya sangat menyedihkan. Bagai ‘anak tiri’ yang tercampak ke tengah samudera luas,” kenang Husni. Berawal dari Baitul Taqwa Sebuah masjid ditengah permukiman SP II Sido Makmur, keadaannya sungguh mengenaskan. Halamannya dipenuhi semak belukar, dan kotoran ternak. Bahkan ketika tangan Husni menarik pintu yang tak terkunci, dari dalam masjid terbentang pemandangan yang menggores hati. Rumput ilalang itu sudah menerabas celahcelah lantai. Husni bukanlah tipe lelaki cengeng yang mudah mencucurkan air mata. Ia tak bersedih saat di kantongnya tak ada uang untuk membayar kontrakan rumah. Begitu pula saat meninggalkan Desa Sidoharjo, Kecamatan Susukan, Semarang, Jawa Tengah, Husni tak meneteskan air mata ketika memberikan lambaian terakhir pada sanak keluarga yang ditinggalkan. Tapi ketika di hadapannya adalah ‘rumah Allah’ yang penuh rumput liar dan kotoran ternak berserakan, Husni tak kuasa membendung derai air matanya. “Saya bertekad, akan menjadikan masjid ini sebagai basis gerakan dakwah,” tegas Husni.
70
Masjid tersebut bernama Baitul Taqwa. Sejak dua tahun dibangun hanya sekali dipakai shalat berjamaah. Setelah itu, tak ada yang mengurus lagi. Semula ada seorang pemuda yang awalnya berupaya memakmurkannya, tapi tak bertahan lama. Husni lalu membawa istri dan ketujuh anaknya untuk membersihkannya. Beberapa warga yang mulanya hanya melihat dari kejauhan, tergerak hatinya untuk mengikuti langkah Husni. Setelah masjid bersih dan orang kampung dikumpulkan, ternyata banyak warga yang ingin agar anaknya bisa belajar al-Quran. Alumnus Pesantren Sidoarjo ini mulai memakmurkan masjid. Awalnya, hanya mengajari anak-anak mengaji. Ia menggunakan kitab juzz amma yang sudah dimakan rayap karena sudah dua tahun dibiarkan tergeletak di mihrab masjid. Waktu terus berputar. Tahun 1997 Husni bersilaturahim ke Pesantren Hidayatullah yang terletak di SP IV Sipora Jaya. Ia bertemu dengan Ust. Mustaqim Dalang, dai Hidayatullah. Mustaqim sendiri baru datang menggantikan Ust. Syarifuddin Bakri yang pindah tugas merintis Hidayatullah di Kabupaten Limopuluh Kota. Merasa mendapat teman seperjuangan, Husni lebih bersemangat untuk mewujudkan tekadnya. Ia terus memakmurkan masjidnya. Selain memimpin pelaksanaan shalat berjamaah, dan mengajar ngaji anak-anak, juga melakukan kegiatan lainnya. Misalnya, pada 1
71
Muharam 1421 H (2002), Husni menggelar tablig akbar pertama di masjid yang pernah terlantar selama dua tahun itu. Baitul Taqwa mulai hidup. Bangunannya juga diperbaiki menjadi permanen. Sayang, gempa kuat yang terjadi berturut-turut pada bulan September 2007, meruntuhkan dinding dan tiang-tiang penyangga masjid. Jika tak segera direovasi, salah satu pusat dakwah di Mentawai ini akan ambruk. Tegar Melawan Rintangan Berdakwah di pemukiman transmigrasi dengan penduduk yang heterogen, bukan pekerjaan mudah. Untuk mengumpulkan jamaah sampai satu shaf saja, butuh waktu berbulan-bulan. Maklum, penduduk tengah dihadapkan pada perjuangan hidup. Mereka bercocok
tanam
dan
berkebun
sebagai sumber
nafkahnya.
Berangkat pagi dan pulang menjelang malam. Apalagi ketika musim kering tiba, tanaman singkong yang diharapkan dapat diolah menjadi tiwul pengganti beras, ikut meranggas mati. Keadaan seperti itulah yang membuat warga tak sempat lagi pergi ke masjid. Husni tak tinggal diam. Ia mencarikan solusi untuk meningkatkan produksi pertanian. Maka di teras masjid secara rutin diberikan pelatihan bercocok tanam yang baik, tentang bagaimana membuat pupuk kompos dan memproduksi produk pertanian organik yang kini makin diminati warga.
72
Bukan perjalanan dakwah bila tidak ada onak dan duri. Demikian pula yang dialami Husni. Menjelang Natal tahun 2001, ia dituduh menyebarkan selebaran fatwa MUI Pusat yang mengharamkan Natal bersama. “Saya bahkan sampai ‘disidangkan’ di Balai Desa. Alhamdulillah, tudingan dan fitnah itu tidak terbukti. Akhirnya mereka yang menuding saya meminta maaf,” kenangnya. Ada juga kenangan yang pernah dialami Husni. Dalam suatu perjalanan Husni harus memikul orang yang digigit ular. Ceritanya, mereka awalnya berjalan beriringan, tapi ketika di depan ada rawa setinggi betis, Husni diminta duluan. Permintaan itu tak ditampiknya, bagi Husni berjalan kaki berkilo-kilometer menerobos rawa sudah biasa. Tapi sejurus kemudian, orang yang di belakangnya berteriak. Betis kanannya mengeluarkan darah. Dia digigit ular berbisa. Tanpa ragu Husni mengisap luka itu dan meludahkannya berulangkali. Barulah lelaki itu tak lagi merasakan sakit. “Mungkin ketika saya berjalan duluan, mata sang ular dibutakan Allah dan saat yang di belakang melangkah, eh.., ularnya ‘melek’ lagi,” tutur Husni berkelakar. Belakangan, Husni tahu di balik kejadian itu. “Ketika saya gotong ke Puskesmas, saya tanya lelaki itu, ”Bapak hendak kemana?” Dia jawab, mau bermain domino ke kedai di Simpang SP IV Sipora. Sedangkan tujuan saya cuma mau ke masjid,” ujar Husni sambil senyum.
73
Kini, bersama Ust. Mustaqim dan Ust. Adam, Husni mencoba berbisnis. Mereka membuat donat dan ikan asin. Ternyata produk yang bermerek Hidayatullah itu laris manis. Bahkan, pasarnya sudah mencapai Tuapejat, kota Kabupaten Kepulauan Mentawai. “Di Pesantren Hidayatullah Mentawai kita tidak hanya menjejali para santri dengan kita-kitab kuning, dan berbuat kebajikan. Beragam keterampilan ekonomi produktif juga diberikan,” papar Husni. Menurut Husni, produksinya tak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan sandiri. Donat dan ikan asin Hidayatullah sebentar lagi akan memasuki supermarket di kota Padang dan kota Bukittinggi. Semoga dimudahkan Allah. *Dodi Nurja /Suara Hidayatullah PEBRUARI 2008
74
12. Seberkas Cahaya di Belantara Malinau
Abdul Qadir, memang seorang tukang. Tapi bukan cuma bangunan fisik yang ia bangun. Kini, ia sedang membangun mental dan memberikan seberkas cahaya untuk masyarakat terisolir di bumi Malinau . Berdakwah di tengah kawasan yang dikelilingi 114 gereja, sementara jumlah masjid hanya 27 buah, menjadi tantangan tersendiri bagi Abdul Qadir. Dai Pesantren Hidayatullah yang bertugas di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur ini, justru menganggap hal tersebut sebagai peluang dan tantangan untuk membuktikan kecintaannya kepada Allah melalui jalan dakwah. ”Memang berat, tapi menegakkan ajaran Islam harus tetap kami jalankan,” ujar Qadir. Kabupaten Malinau, termasuk daerah yang terisolasi dan sedang berbenah. Akses ke dunia luar pun sangat sulit. Untuk tiba di sana, penuh langkah berliku. Pertama, naik pesawat ke Samarinda, lalu disambung dengan speed boat sekitar tiga jam perjalanan. Untuk sampai di lokasi, masih perlu naik angkutan umum lagi, terus disambung dengan berjalan kaki.
75
Kedua, dapat ditempuh melalui transportasi laut. Berangkat dari kota Balikpapan dengan kapal milik Pelni, menuju Tarakan. Dari Tarakan disambung dengan speed boat menuju Malinau, dibutuhkan waktu tiga jam perjalanan. Cara yang kedua ini yang ditempuh Abdul Qadir. Alasannya, disamping karena ongkosnya lebih murah, juga perjalanan Balikpapan-Tarakan -yang membutuhkan waktu tempuh sehari semalam- dapat dipergunakan untuk mencari teman, atau kenalan yang kiranya dapat membantu kelancaran dakwahnya. Abdul Qadir tiba di Malinau pada tanggal 9 September 2003. Orang yang pertama kali ia temui adalah Bahrun. Menurut Qadir, ia tidak kenal dan tidak pernah bertemu sebelumnya. Modal alamat yang ia bawa justru agar menemui seorang pegawai di Departemen Agama, yaitu Muhajir. “Subhanallah, saat kami sedang kesulitan menemui Pak Muhajir, Allah mempertemukan kami dengan Pak Bahrun,” ujar Qadir. Lalu, mereka bersama-sama bersilaturahim ke kediaman Edi Marwan, Camat Malinau Utara. “Alhamdulillah, saat ini ia menjadi penasihat Pesantren Hidayatullah Malinau,” katanya bersyukur. Terus Bergerak Selama satu bulan Qadir tinggal di rumah Muhajir. Selama itu pula, lelaki kelahiran Toli-Toli, Sulawesi Tengah ini tak kenal lelah bersilaturahim ke berbagai tokoh masyarakat.
76
“Kami tidak boleh berhenti ber-sa’i. Kami yakin janji Allah, Dia akan memberikan ‘zam-zam’ dari arah yang tidak disangka-sangka. Dia akan membukakan jalan kemudahan untuk dakwah,” katanya optimis. Waktu terus berlalu. Suka dan duka mewarnai langkah dakwah Qadir. Kerja keras disertai ratapan doa kepada Sang Pemilik Kehidupan terus ia panjatkan. Apapun yang menjadi rintangan, ia hadapi dengan tegar dan ikhlas. Rupanya Allah pun tak tinggal diam. Hingga akhirnya ada masyarakat yang bersimpati. Bahkan Zaini, hatinya terpanggil membantu perjuangan Qadir. Ia rela mewakafkan tanahnya seluas dua hektar. Qadir tidak ingin membuat kecewa. Ia bersama simpatisannya, seperti Rustam Ambal, Muslaini, Ma’ruf Anis dan Rizal berangkat menuju lahan wakaf yang sebagian besar masih dipenuhi pohonpohon kayu yang cukup besar. Mereka memanggul mesin untuk memotong kayu. Pasalnya, mengandalkan alat tebang manual jelas tidak mungkin. Disamping memakan waktu yang lama juga biayanya pun mahal. Maka dengan mesin pemotong pinjaman, mereka robohkan kayu-kayu besar tersebut satu demi satu.
77
Qadir sadar, untuk mewujudkan impiannya, butuh waktu, tenaga dan dana. Padahal, untuk makan sehari-hari saja sulit. Namun Qadir tidak mau berlama-lama dalam kebimbangan. Ia sadar dengan keahliannya sebagai tukang. Ilmu tersebut ia peroleh saat nyantri di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan. “Bismillah, saya memberanikan diri menggarap sebuah musholla yang ditawarkan warga kepada saya. Dan, upah dari bertukang tersebut,
saya
gunakan
sebagai
dana
pembangunan
awal
pesantren,” ujar Qadir mengenang. Qadir bagai berpacu dengan waktu. Di daerah berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa itu, hanya sekitar 20 persen yang memeluk Islam. Selebihnya, sudah dikristenkan oleh sebuah lembaga yang dipimpin seorang pastur dari luar negeri. Sebagian penduduknya lagi masih menganut animisme. Menurut Qadir, dari 12 kecamatan yang ada di Kabupaten Malinau, Kecamatan Malinau termasuk didominasi oleh golongan Nasrani. Diakuinya, penyebaran agama Islam di daerah tersebut cukup berat karena harus bersaing dengan missionaris yang dilengkapi fasilitas serba
ada.
Mereka
menggunakan
pesawat
terbang
untuk
mengunjungi kawasan terisolir.
78
Membina Muallaf Saat pesantren sedang dirintis, pekerjaan lain telah menunggu. Sebanyak 60 orang muallaf memintanya agar dituntun menjalankan ajaran Islam secara benar. Beruntung Qadir mendapat rumah pinjaman di daerah kota, yang selanjutnya ia jadikan sebagai sekretariat. Lokasinya sekitar 200 meter dari Masjid Wasiatul Islam. Berawal dari masjid inilah Qadir melakukan pembinaan untuk para muallaf . Saat ini, ada 200 muallaf yang masuk dalam daftar pembinaan Qadir dan rekan-rekannya. Mereka tinggal di tiga kecamatan yang terpencar dalam enam lokasi binaan. Jadwal pembinaannya bergiliran
seminggu
sekali.
Namun
sebulan
sekali,
mereka
melakukan pengajian bersama. Sungguh tak terpikir oleh Qadir, pria yang ketika di kampus Hidayatullah Gunung Tembak lebih banyak bergaul dengan sekop, palu, tatah, cangkul dan membuat adukan semen itu harus menghadapi amanah semulia itu. “Kami
yakin,
bahwa
Allah
yang
dulu
pernah
memberikan
kemudahan dan kemenangan kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW), adalah Allah yang sama dengan Allah yang ada di Malinau. Maka dari itu, kami terus berjuang,” ungkap Qadir.
79
Sebagai bukti kerja mereka, pada saat memasuki tahun kedua, di kampus Hidayatullah Malinau baru berdiri tiga buah rumah untuk warga. Tapi kini, sudah bertambah menjadi lima, ditambah sebuah arama, dan musholla. Ketika Qadir sadar bahwa di daerahnya tidak ada Taman Kanakkanak (TK) yang berbasis Islam, maka ia segera berbuat. Ia lalu mengontrak sebuah rumah yang kemudian disekat-sekat untuk dijadikan ruang kelas TK. “Alhamdulillah, kami mendapat dukungan tenaga dari Hidayatullah Balikpapan yakni Ustadz Karnapi, Ustadz Muslaini, dan Ustadz Hilman,” katanya bersyukur. Saat ini, Hidayatullah Malinau pun sedang membangun gedung untuk Sekolah Dasar (SD). Insya Allah, kata Qadir, tahun ajaran 2008 sudah membuka pendaftaran untuk siswa baru angkatan pertama. Kini, perjalanan dakwah Qadir telah memasuki tahun kelima sejak diberi mandat saat musyawarah Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Hidayatullah Kalimantan Timur, 15 Juli 2003 lalu. Pencerahan manusia melalui dakwah, menurutnya harus dilakukan terus menerus agar lebih efektif. Oleh karena itu, ia merencanakan daerah yang sudah menjadi target pencerahan, akan didatangi sedikitnya dua orang dai yang datang secara bergantian. *Abu Ismail Haniah/Suara Hidayatullah MARET 2008
80
13. Menaklukkan Animisme Di Kabupaten Paser
Berdakwah di pedalaman Kalimantan membutuhkan tenaga ekstra dan strategi yang jitu. Apalagi masyarakatnya masih animisme. Mohammad Shofwan, 60 tahun, mempunyai kiat bagaimana berdakwah kepada masyarakat yang masih mempercayai roh-roh halus itu. Tujuan Shofwan ke Paser, Kalimantan Timur awalnya untuk transmigrasi. Datang tahun 1978, ia ingin memperbaiki ekonomi keluarganya. Hanya saja, sebagai lulusan pesantren ia tak bisa tinggal diam menyaksikan kemungkaran terpampang di depan matanya. ”Agama mayoritas masyarakat memang Islam. Namun, mereka masih menganut faham animisme. Mereka meyakini adanya penguasa roh-roh halus,” tutur pria asal Jombang ini. Hal itu bisa dilihat misalnya ketika ada kematian, maka diadakanlah upacara-upacara dengan membuat api unggun, bernyanyi-nyayi, yang disebut liyan. “Belum lagi kebiasaan buruk sebagian penduduk yang masih gemar berjudi, dan mengkonsumsi makanan haram, seperti babi,” tambahnya. Fakta-fakta seperti itulah yang mendorong Shofwan bergerak untuk berdakwah. Medan dakwah pria yang rambutnya sudah seperti
81
kapas ini tak hanya di Tanah Grogot, ibukota Kabupaten Paser. Tapi menembus jauh ke pedalaman. Jaraknya puluhan bahkan ada yang ratusan kilometer. Untuk mencapai daerah tersebut, ada yang harus lewat darat, ada pula yang mesti lewat sungai atau laut. Tak heran, bila Shofwan kadang harus menginap hingga beberapa hari. Daerah dakwah alumni Pesantren Darul Ulum Jombang ini antara lain Longkis Ulu, Kerang dan beberapa daerah lain. Daerah-daerah tersebut dihuni oleh berbagai suku, seperti suku Pasir, Banjar, Bugis maupun Jawa, yang tentu memiliki berbagai macam latar belakang berbeda. Maka Shofwan perlu hati-hati dalam memilih kalimat yang digunakan dalam menyampaikan tabligh. Pernah ia memasuki desa yang berada 90 kilometer dari Tanah Grogot, yang amat kental dengan kepercayaan animismenya. Selama ini, dai yang ditugaskan di sana selalu gagal. Mereka tidak berhasil “menaklukan” masyarakat. “Saya diberitahu oleh kepala desa, bahwa kalau ada dai baru, warga akan “mencoba” lebih dahulu. Biasanya yang dijadikan pertanyaan adalah masalah makan daging babi,” Shofwan bercerita. “Kalau Pak Ustadz keliru menjawab, maka mereka tidak akan menerima Pak Ustadz lagi, sepert ustadz-ustadz yang lain,” demikian Shofwan menirukan ungkapan kepala desa. Pesan kepala desa itu sangat diperhatikan oleh Shofwan. Akhirnya, sebelum
82
memasuki wilayah itu Shofwan mempelajari tabi’at mereka terlebih dahulu. Benar. Saat awal berceramah mereka sudah bertanya. Tidak hanya itu, bahkan ada seorang yang memikul babi hasil buruan lalu disangkutkan di pagar masjid, dan dikelilingi anjing-anjingnya dengan pakaian berburu yang berlumur darah. Orang tersebut langsung mengikuti taklim, namun tidak masuk masjid. Kemudian ada yang bertanya, ”Apakah Tuan Guru hendak melarang kami makan daging babi?” Shofwan harus mencari jawaban yang tepat, hingga tidak bernasib sama dengan dai-dai sebelumnya. Apa kata Shofwan? “Saya tidak berhak melarang Anda semua makan babi, bahkan para dai-dai yang lain. Mereka tidak berhak melarang Anda semua makan babi,” jawab Shofwan. Akhirnya merekapun berujar “Ya, jadi Ustadz itu harus begini, tidak melarang-larang orang makan. Tidak seperti ustadz-ustadz
lain!” Shofwan
menirukan
respon
jama’ahnya.
Selesai? Belum. Pada kesempatan yang lain Shofwan menjelaskan, bahwa yang melarang makan babi itu bukan para dai, tetapi Zat Yang Menciptakan babi itu. “Yang Menciptakan babi itu mengatakan, kalau kamu makan babi maka kamu masuk naraka, kalau tidak makan, maka masuk surga,” kata bapak empat anak ini. “Kalau Ustadz, bagaimana?” jamaah mengejar.
83
“Karena takut masuk naraka, maka saya tidak makan babi, walau rasanya enak. Saya takut karena yang melarang Yang Punya Kehidupan. Kalau yang melarang manusia, saya tidak menggubris,” jawab Shofwan. Penjelasan Shofwan sekaligus mengajarkan masalah tauhid kepada jamaah, bahwa ketaatan mestinya hanya kepada Allah semata. Walhasil mereka pun mulai berpikir, hingga akhirnya menerima Shofwan dan taklim pun berjalan lancar di desa itu. Suatu ketika, ia juga pernah diundang oleh sekelompok penjudi untuk mengisi ceramah mengenai Isra’ Mi’raj. Hampir sama dalam kasus sebelumnya, ketika sedang menerangkan masalah shalat, salah seorang berdiri dan bertanya, padahal saat itu adalah ceramah umum. “Bagaimana Ustadz, hukumnya orang yang shalat tapi masih main judi?” Shofwan menjawab, ”Tak apa-apa, kalau masih suka judi, judi saja. Tapi shalatnya jangan ditinggalkan.” Apa kata mereka? “Nah, gini ustadz itu, ustadz kok kerjaannya nyinggung orang. Jangankan berjamaah di masjid, ketemu ustadznya saja mual.” Tapi, Shofwan harus memberikan penjelasan susulan. Ia lalu membuat sebuah ilustrasi. Ia umpamakan shalat itu sebagai gergaji. Menurutnya, kalau ada gergaji tidak mampu memotong kayu, maka gergajinya harus diasah. Begitu pula shalat, kalau tidak bisa
84
menghentikan judi, maka shalatnya ini perlu “diasah” hingga bisa “memotong/menghentikan” judi. Untuk menghapus budaya-budaya animisme seperti membuat persembahan-persembahan kepada arwah nenek moyang, Shofwan pun tidak serta merta menggunakan bahasa yang keras. Terkadang ia juga ikut hadir dalam upacara-upacara itu untuk sekedar tahu. Biasanya, ia kemudian dimintai membaca doa dan pendapat. Dengan begitu, ia bisa memberi masukan dan saran. “Ada yang lebih baik dari hal itu”. Begitu biasanya ia berkata kepada jamaahnya yang masih suka melakukan upacara adat. Dengan begitu, perlahan-lahan budaya itu mulai ditinggalkan. “Saya ingat sabda Rasul Shallalahu alaihi wa sallam (SAW), khatbininasa ala qadri uquluhim. Berkatalah kepada manusia, sesuai dengan kemampuan
akalnya,”
kata
Shofwan
yang
selain
membina
masyarakat pedalaman, juga memiliki majelis taklim khusus pegawai Pemda Grogot. Selain meluruskan penyimpangan-penyimpangan akidah masyarakat, Shofwan mengaku punya pengalaman mendakwahi mereka yang telah murtad. Ia menggunakan pendekatan secara pribadi untuk mengajak mereka kembali kepada Islam. “Saya katakan, bahwa kalau mereka masuk Kristen, siapa yang akan mendoakan orangtua mereka yang sudah meninggal. Karena doa non-Muslim tidak akan sampai,” ujarnya. Dengan demikian mereka kembali.
85
“Tentu itu bukan keran saya, tapi karena hidayah Allah,” Shofwan menegaskan. Shofwan mengakui bahwa dalam perjalanan dakwahnya banyak sekali rintangan-rintangan yang ditemui. Tetapi hal itu dianggapnya sebagai bumbunya perjuangan. Menurutnya, sebagai pelajaran dan evaluasi dalam berdakwah dan bukan hambatan. Satu-satunya hambatan yang diakuinya adalah, bahwa dia belum menemukan metode dakwah yang tepat. Pasalnya, banyak jamaahnya yang memiliki problem khusus, yakni rendahnya tingkat intelektualitas mereka. Selain itu kata Shofwan, belum adanya sinergi dalam berdakwah di antara sesama dai. ”Kita masih berjalan sendiri-sendiri,” ujar lulusan Pesantren Daarul Ulum, Jombang. Luasnya bentangan medan dakwah di pedalaman Kalimantan, membutuhkan jumlah dai yang banyak. Oleh karena itu, walau Shofwan sudah memiliki beberapa kader, ia merasakan bahwa umat masih memerlukan banyak tenaga dai. Siapa berminat mengikuti jejak Shofwan? *Thoriq/Suara Hidayatullah ++++++++++++++POS DA’I++++++++++++ Maaf, untuk sementara laporan Program Peduli Da’i belum bisa ditampilkan berhubung karena belum ada laporan rekening koran dari bank.
86
Alhamdulillah, pada tanggal 20 Mei lalu, acara Pelepasan Da`i Nasional Hidayatullah berjalan lancar. Acara yang digelar di Gedung Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB), Jawa Barat ini diikuti oleh 48 da`i yang berasal dari segala penjuru Nusantara. Acara ini dihadiri oleh masyarakat beserta tokoh masyarakat, ormas Islam, dan pejabat seperti: Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid, Menteri Kehutanan MS. Ka’ban, Ketua DPRD Bogor Tatang Muchtar, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Ir. Herry Suhardiyanto dan Ketua DPP Hidayatullah DR. Abdul Manan serta Ketua Mayarakat Muslim Bogor Dr. Fahrudin Sukarno. Peserta pelatihan da`i yang berjumlah 48 orang ini telah mendapat pendidikan selama tiga bulan (15 Peb-15 Mei) di Islamic Center alMuttaqin, Laladon, Bogor dan siap ditugaskan ke seluruh wilayah Nusantara. SUARA HIDAYATULLAH JUNI 2008
87
14. Buya Rusdi: Dai “Plat Merah” dari Sumbar
Khutbahnya dianggap menohok partai politik yang berkuasa serta menggugat asas tunggal. Maka mendekamlah Buya Rusdi di bui selama berhari-hari. Pagi yang terik pada 1 Syawal tahun 1976 di Lapangan Kantin, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Seorang khatib berkhutbah disambut linangan air mata sekitar seribu jamaah. Di antara yang menangis adalah Buya Harun Al Ma’any, ulama besar Padang Panjang yang duduk tepat di depan mimbar. “Sebenarnya suara itu tidaklah lantang,” tutur Buya Rusdi, sang khatib, saat mengawali kisah yang menimpanya 32 tahun silam kepada Suara Hidayatullah. Malah, dai bertitel sarjana hukum ini mengaku bukan tipe penceramah yang “meledak-ledak”. Saat itu, Buya Rusdi menyampaikan ayat tentang Tauhid. Bahwa hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) saja yang pantas ditakuti. Jangan takut dengan penguasa bila mereka tidak sejalan dengan hukum Allah SWT. “Kekuasaan yang ditopang oleh perangkat militer tercanggih sekalipun, sesungguhnya kekuasaannya keropos,” ujar Buya yang kala itu juga bertugas sebagai hakim karier di Pengadilan Negeri Bukittinggi.
88
“Wahai saudara-saudara Rahimakumullah! Bagaimana kelak kita mempertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, bila kursi yang kita peroleh, harta yang kita dapat, bersumber dari ketidakjujuran? Apa kata generasi mendatang, bila mereka harus menderita akibat kita hari ini tidak mengelola negara dengan penuh kejujuran, ” ujar Buya Rusdi kala itu. Saat itu adalah masa kampanye untuk Pemilu tahun 1977. Tak disangka, rupanya khutbah Buya Rusdi dianggap menyerang partai yang tengah berkuasa, Golongan Karya (Golkar). Siang harinya, selepas Zhuhur, beberapa orang dari Komando Rayon Militer (Koramil) Padang Panjang menyatroni rumah Buya Rusdi. Tanpa perlawanan, Buya diciduk. “Padahal Kodim tidak punya wewenang melakukan penangkapan,” tegas Buya. Esoknya Buya dipindahkan ke tahanan Polsek Padang Panjang. Setelah lima hari di Padang Panjang, Buya dioper lagi ke tahanan Kejaksaan Tinggi Negeri di Batusangkar, selama enam hari. Totalnya, Buya ditahan 11 hari tanpa tuduhan dan bukti yang jelas. Selama pemeriksaan di tahanan, berkali-kali Buya menegaskan, kalau khutbahnya tidak ditujukan untuk menyerang parpol manapun. “Tujuan saya semata meluruskan yang keluar dari rel al-Qur`an dan as-Sunnah. Dan, saya memang tak sepatah kata menyebut Golkar dalam khutbah itu,” kenangnya.
89
Tetapi pihak yang menahannya tetap keras kepala. Seorang jaksa bernama Zainuddin, SH terus mencecar Buya Rusdi agar mengaku telah menyerang Golkar dalam khutbah Idul Fitrinya tersebut. Pertolongan Allah Pada hari terakhir menjalani pemeriksaan, Sang Jaksa keluar ruangan untuk mengambil sesuatu. Tak sengaja Buya melihat secarik kertas dengan kop Kejaksaan Agung di meja Sang Jaksa. Diraihnya surat itu, lalu dibaca. Isinya, ujar Buya, adalah perintah Kejaksaan Agung agar para tahanan dan narapidana di daerah Sang Jaksa diarahkan untuk memenangkan Golkar dalam pemilu. Sang Jaksa datang kembali dan kembali mendesak Buya. Tapi kali ini giliran Buya yang pegang senjata. Kata Buya, “Jika saudara terus ngotot mengaitkan khutbah saya dengan Golkar, terus sajalah. Tapi surat Kejaksaan Agung ini akan saya paparkan di muka pengadilan,” ancam Buya. Berkali-kali Buya mengucap takbir. Sang Jaksa tidak kuasa berbuat apa-apa. Esoknya Buya pun dipulangkan tanpa ada proses hukum sama sekali. Belajar Otodidak Demikian penggalan kisah Buya Rusdi. Pria kelahiran Kampung Kuraitaji, Kabupaten Padang Pariaman 17 Juni 1942 ini baru saja
90
dilantik sebagai Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Sumatera Barat untuk lima tahun ke depan. Buya Rusdi telah terjun dalam gerakan dakwah sejak usia belia. Ketika sekolah di SMP Muhammadiyah Medan, Rusdi sudah diamanahi menjadi pengurus Persatuan Pemuda Pemudi Islam (P3I) Medan. Ia lebih banyak mendalami ilmu keislaman secara otodidak, dari buku-buku dan belajar langsung kepada para ustadz di pengajian masjid. Ketika kecil, Buya lebih suka mengikuti pengajian yang dihadiri orang-orang tua. “Bersama para “Camat”, alias calon mati”, seloroh Buya. Karena rutin mengikuti taklim bersama para “Camat”, Rusdi kecil sudah punya keistimewaan. “Alhamdulillah, sejak kelas lima SD saya sudah pandai dan selalu diminta memandikan mayat,” ujar ayah delapan anak dari dua istri ini. Istri pertama Buya, Yulidar, meninggal dunia saat Buya bertugas di PN Serang. Darinya, Buya mendapat tujuh orang anak. Pada tahun 1995, barulah Buya menikahi Eha Zulaiha, yang dengannya Buya dikaruniai seorang anak.
91
Langganan Mutasi Di Kota Bukittinggi, Buya Rusdi memang idola jamaah masjid dalam semua umur. Bagi kalangan tua, mendengar pengajian Buya Rusdi mengingatkan mereka akan Buya Datuk Palimokayo, ulama kharismatik salah satu pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat. Bagi kaum muda, pengajian Buya Rusdi menarik karena dikaitkan dengan peristiwa paling aktual. Kendati tidak dengan intonasi meledak-ledak, pengajian Buya Rusdi tetap terasa menyayat-nyayat para pendosa. Karena itu, ia kerap menerima ancaman via telepon, bahkan mendapat peringatan terang-terangan dari pejabat tertentu. Tapi Buya Rusdi tak pernah luluh. Pada tahun 70-an tak banyak ulama seberani Rusdi. Padahal statusnya ‘orang plat merah’ alias pegawai negeri, sebagai hakim karir. Tugas itu pula yang membuat Rusdi sering dipindahtugaskan dari suatu daerah ke daerah lain. Hanya beberapa bulan setelah menghirup udara bebas, Rusdi dipindahtugaskan dari Bukittinggi ke PN Kota Bumi, Provinsi Lampung. Ketika sudah gencar berdakwah di sana hingga diamanahi menjadi Ketua DDII Provinsi Lampung, lagi-lagi ia dimutasikan ke PN Serang Banten, Jawa Barat.
92
Tapi karena mengemban amanah sebagai Ketua DDII Lampung, selama empat tahun pula Buya Rusdi harus bolak-balik Serang-Kota Bumi. Akhirnya, Rusdi mutasi lagi ke PN Kota Bandar Lampung. Walau sering berpindah-pindah daerah tempat bertugas, Buya Rusdi senantiasa ingat pesan Buya Natsir, “Jangan berhenti tangan mendayung, jika tak ingin terbawa arus.” Maka, dimana pun ditugaskan, di situ pula ia terus mengayuh biduk dakwah. Dakwah Buya Rusdi tidak saja dari mimbar ke mimbar masjid, tapi juga langsung terjun mengurus nasib umat di lapangan. Di Provinsi Lampung ia sering ke pelosok desa menggalang kesadaran
umat,
terutama
untuk
menghadang
gencarnya
kristenisasi. Tak sebatas itu, bersama teman-teman “seideologi” Rusdi merintis pembangunan Perguruan Islam “Ibnu Rush” di kaki bukit Kota Bumi Lampung Utara. “Alhamdulillah, ketika saya tinggalkan karena dipindahtugaskan ke Kota Padang. Ibnu Rush telah berkembang pesat jadi perguruan Islam terdepan mulai dari tingkat TK, ‘Iftidaiyah, Tsanawiyah, hingga Aliyah,” jelas Rusdi. Kini, kompleks Perguruan Islam Ibnu Rush di kaki perbukitan itu bagaikan miniatur Madinah dengan sebuah Masjid Raya Ibnu Rush.
93
Tapi pensiunan hakim ini adalah sosok yang sangat sederhana. Dari pengakuan seorang tokoh yang dekat dengannya, sampai pensiun Rusdi belum mampu membangun rumah pribadi. Yang jelas, persis di hari pertama ketika Rusdi minta izin berangkat kerja, Almarhumah Anduang (ibu) berpesan sambil mendekap tubuhnya. “Anduang ridha kamu bekerja di pengadilan. Tapi ingat…nak. Jangan sekali pun makan uang haram!” Air matanya menetes. *Dodi Nurja/Suara Hidayatullah AGUSTUS 2008
94
15. Membina Iman di Kota Tepian
Demi menjadi seorang dai, ia rela tinggalkan statusnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Kini sudah sewindu bedakwah di Kota Tepian Samarinda dengan segala suka dukanya. Siang itu, sinar matahari cukup menyengat. Muhammad Tang (44), siap-siap menyusuri sungai Mahakam untuk memenuhi undangan pengajian di Desa Muara Pantuan. Bagi Muhammad Tang, demikian pria ini biasa disapa, tugas kunjungan dakwah ke Muara Pantuan bukanlah hal baru. “Secara rutin saya ke Muara Pantuan, kadang menggunakan perahu klotok (sarana transportasi sungai Mahakam) selama 1,5 jam,” ujar ayah tiga anak kelahiran Bone 1964 ini. Sungai Mahakam adalah ikon Bumi Etam, Kalimantan Timur dengan ibukota provinsinya Samarinda. Kota Tepian Samarinda sendiri memiliki penduduk lebih kurang 600.000 jiwa, dengan luas wilayah 718 kilometer persegi. Hingga kini, Muhammad Tang secara istiqamah melakukan pembinaan iman bagi penduduk yang tinggal di bantaran-bantaran sungai Mahakam dan pedalaman.
95
Kendati telah delapan tahun menjadi dai di Samarinda dan telah membangun sarana dakwah di bilangan Sempaja, Muhammad Tang tidak mau disebut sebagai sosok yang berhasil. “Saya termasuk orang yang belum berhasil,” tutur pria ramah ini. Membina Napi Seperti riak air sungai Mahakam yang terus mengaliri kota dan desa, geliat dakwah Muhammad Tang pun terus menjangkau komunitas umat di berbagai lapisan. Mulai dari kalangan intelektual di perkotaan hingga di kampus-kampus untuk mengisi taklim. Beberapa perusahaan di sekitar Samarinda dan Kutai Kertanegara seperti VICO Muara Badak juga kerap mengundangnya untuk memberikan
santapan
ruhani
kepada
para
karyawan
dan
masyarakat sekitar perusahaan. Yang cukup menarik dalam touring dakwahnya adalah membina narapidana (napi) di Rutan Sempaja, Samarinda. Di balik tembok penjara yang tak bersahabat itu, Muhammad Tang menuntun dengan tekun para napi huruf demi huruf hingga akhirnya bisa melafadzkan ayat-ayat al-Qur’an. “Saya terpanggil untuk mengajari mereka dengan metode gerakan Mengajar dan Belajar al-Qur’an (Grand MBA) yang dicetuskan Hidayatullah,” kata lelaki ramah ini. Berkat petunjuk Allah, melalui sentuhan sang ustadz akhirnya beberapa penghuni rutan yang tadinya buta huruf al-Qur’an kini sudah melek. Ada beberapa “alumni”-nya, kata Muhammad Tang
96
yang sebelum habis masa tahanannya menyampaikan terima kasih, karena justru di dalam penjara bisa membaca al-Qur’an. Menurutnya, dibutuhkan kesabaran dalam mengajari para napi, sebab rata-rata sudah paruh baya. Yang menyedihkan, ada satu muridnya yang sudah lanjut usia berkali-kali dituntun dan diajari tapi sampai saat ini belum juga bisa membaca. “Saya sedih sekaligus kagum. Sedih karena sudah sekian lama diajari namun belum kunjung paham. Kagum karena usahanya yang tak kunjung jemu,” katanya. Muhammad Tang berusaha proaktif untuk memberikan pencerahan bagi umat. “Alhamdulillah, berkat gerakan dakwah yang gencar dilakukan oleh para aktivis dakwah dari berbagai komponen, pelanpelan mulai terbangun kesadaran berislam di masyarakat,” jelasnya. Menurut M.Riza Aliyafi, Staf Pembinaan Mental Keagamaan Rutan, untuk
angkatan
pertama,
sekitar
30
orang
napi
mengikuti
pembelajaran al-Qur’an. Sebelum dimulai angkatan kedua, secara rutin pihak rutan melaksanakan pembelajaran al-Qur’an kepada sekitar 130 napi. Instrukturnya adalah para petugas rutan sendiri. Para napi tampak antusias mengikuti program tersebut. “Kami menjalin kerjasama dengan Hidayatulah Samarinda untuk pembinaan spritiual para narapidana, setiap Jum’at, khatibnya dari Hidayatullah,” ujar Aliyafi.
97
Sekolah Unggulan Selain geliat dakwah yang tak pernah surut, Muhammad Tang juga menyimpan obsesi mulia yakni menghadirkan pendidikan Islam yang berkualitas di Samarinda. Menurutnya, Samarinda adalah salah satu kota pelajar di Indonesia. Untuk di Kaltim, Samarinda adalah kiblat bagi pelajar yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain Universitas Mulawarman (Unmul), ada juga beberapa perguruan tinggi swasta di kota Tepian ini. Itu pula yang menjadi salah satu alasan, mengapa Muhammad Tang memilih bidang Manajemen Pendidikan untuk S2-nya di IAIN Antasari Banjarmasin. Ia ingin Hidayatullah Samarinda segera memiliki sekolah unggulan, mulai jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Kini, di kampus Hidayatullah seluas 3,5 hektar itu telah berdiri masjid dua lantai. Pembangunannya menghabiskan dana sekitar Rp 2,5 miliar. Selain bantuan dari Pemerintah kota senilai Rp 1,7 miliar yakni melalui Walikota H. Achmad Amins yang juga merupakan Pembina
Hidayatullah
Samarinda,
juga
kucuran
dana
dari
Pemerintah Provinsi. Sisanya merupakan swadaya masyarakat, baik pengusaha, pejabat dan masyarakat yang terpanggil memberikan kontribusi.
98
Menurut Muhammad Tang, sebelum pembangunan infrastruktur pendidikan rampung, maka masjid akan menjadi pusat pendidikan, sekaligus pusat kajian keislaman. “Kami memprogramkan nantinya akan ada kajian intensif di masjid ini untuk kalangan mahasiswa dan masyarakat umum. Kampus Hidayatullah yang bersebelahan dengan kampus Unmul dan beberapa perguruan tinggi swasta sangat strategis untuk melakukan gerakan pembinaan keislaman,” jelasnya optimis. Tanggalkan Seragam PNS Perjalanan Muhammad Tang di dunia dakwah dimulai ketika di Desa Tanjung Jumlai, Kabupaten Pasir (sekarang Penajam Paser Utara), Kaltim kedatangan seorang ustadz dari Pesantren Hidayatullah. Kajian yang disampaikan sang ustadz mengusik jiwa mudanya. Saat itu, ia mengabdi sebagai guru dengan status PNS. Selama tiga hari, Muhammad Tang mengikuti kegiatan dakwah di masjid dan rumah penduduk yang dilakukan Ust. Amin Bachrun dari Pesantren Hidayatullah. “Apa yang saya dapatkan selama tiga hari mengikuti kajian sistematika nuzulnya wahyu (SNW) sangat berbeda dengan yang saya dapatkan selama tiga tahun di Pendidikan Guru Agama (PGA),” kenangnya. Sejak itu, semangatnya untuk bergabung ke Pesantren Hidayatullah di Balikpapan menggebu-gebu. Namun oleh Ust. Amin Bahrun, ia diminta untuk tetap melakoni tugasnya sebagai guru di Tanjung
99
Jumlai, Kabupaten Pasir. Penangguhan itu tidak menyurutkan semangatnya. Bersama beberapa jamaah pengajiannya secara rutin setiap malam Jum’at mereka menyeberangi teluk Balikpapan untuk mengikuti kajian di kampus Hidayatullah, Karang Bugis Balikpapan. Setelah empat tahun menunggu, akhirnya Muhammad Tang berkesempatan mencicipi kehidupan di kampus Hidayatullah Balikpapan. Ia tinggalkan statusnya sebagai PNS untuk mengabdi sebagai guru anak-anak yatim piatu serta terlantar di pesantren. Mendapat Amanah Tiga belas tahun berselang, tepatnya di penghujung tahun 2000, Muhammad Tang menggenggam Surat Keputusan (SK) untuk berdakwah di Samarinda. Suami Jawiyah ini lalu berangkat menjalankan amanah menuju ibu kota Kalimantan Timur. Ketika tiba di Samarinda, ia sedikit terhenyak. “Kami mengalami banyak benturan kultural terkait perbedaan-perbedaan,” katanya. Akhirnya,
ia
mencoba
menyiasati
kondisi
tersebut
dengan
memperbanyak silaturrahmi dan menjalin komunikasi dengan semua pihak. Alhasil, Muhammad Tang berhasil membangun komunikasi sekaligus menghilangkan sekat tersebut. *Mujahid M. Salbu/Suara Hidayatullah OKTOBER 2008
100
16. Berdakwah dengan Gaple
Ibarat menyelam sambil minum air. Hasilnya terbukti tokcer. Para pemabuk pun bertobat. Hari itu, kepala Hilman Miftahurojak seakan mendidih ketika menyaksikan sekelompok muda-mudi yang tengah asyik masyuk memadu asmara di atas sepeda motor. Seakan mereka tak malu melakukan aksi mesum di muka umum. Sebaliknya, orang-orang yang memergoki aksi merekalah yang malu dan buru-buru menjauh. Kejadian memalukan itu memang sudah menjadi hal yang biasa di Pasir Jambu Ciwidey, Bandung, Jawa Barat. Tak hanya itu, kampung ini juga terkenal sebagai sarang pemabuk dan pecandu narkoba. Betapa tidak, hampir seluruh pemuda di Pasir Jambu mengonsumsi miras (minuman keras–Red), pil anjing, dan ganja. Tak jarang, para orangtua juga ikut mengonsumsi barang haram tersebut. Dengan perilaku masyarakat seperti ini, tak heran Ciwidey pada tahun 2001 termasuk daerah pengguna narkoba tertinggi untuk wilayah Bandung. Kondisi geografis yang berada di dataran tinggi dan berhawa dingin menjadi alasan mereka mengonsumsi narkoba. ”Alasan mereka minum miras dan narkoba, kebanyakan untuk menghangatkan tubuh,” aku Hilman.
101
Di kampung ini, banyak pula pemuda yang terlibat dalam geng motor yang kerap melakukan aksi kejahatan. Hilman sendiri pernah menjadi korban pemalakan anggota geng motor. Maraknya aksi maksiat ini membuat hati Hilman gusar dan tak bisa tidur pulas. Yang ada dalam benak Hilman adalah bagaimana caranya mengubah kebiasaan warga tersebut menjadi perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Apalagi sebagian besar pelaku maksiat tersebut berstatus Muslim. Maka, pada tahun 2001, usai menamatkan pendidikan di Pondok Pesantren (Ponpes) Cipasung, Tasikmalaya pimpinan almarhum KH Ilyas Ruhiyat, Hilman memutuskan berkhidmat di Kampung Pasir Jambu yang juga tanah kelahirannya. Berawal dari Rental PS Setelah beberapa hari tinggal di Pasir Jambu, Hilman berdiskusi tentang kondisi masyarakat yang memprihatinkan ini dengan sang ayah, Ustadz Rosidin, yang juga Ketua Umum MUI Ciwidey. Hasilnya, pria kelahiran 1 Februari l978 ini dihadapkan pada kenyataan bahwa sudah banyak dai yang berusaha mengubah wajah Pasir Jambu tapi selalu gagal. Untuk itu, sang ayah sangat berharap Hilman mampu mengajak mereka ke jalan yang benar. Berbekal dorongan dari ayahnya dan ilmu yang diperolehnya di ponpes, Hilman bertekad untuk mengubah wajah kampungnya.
102
Meski saat itu usianya masih muda, 23 tahun, tapi ia tak gentar mengajak para masyarakat untuk meninggalkan perilaku maksiat. ”Saya yakin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong mereka yang menolong agama-Nya,” kata ayah tiga anak ini. Hilman kemudian mengatur siasat. Ia yakin kalau penyampaian dakwahnya dilakukan secara frontal, maka akan ditolak mentahmentah. Karena itu, ia melakukan pendekatan persuasif. Ia kemudian mengetahui bahwa tempat penyewaan (rental) play station (PS) milik seorang pemuda bernama Tantan Setiawan, kerap dijadikan tempat berkumpul para pemuda untuk melakukan pesta miras dan narkoba. Selain sebagai pemilik rental PS, Tantan dikenal sebagai ’kepala geng’ para pemuda tersebut. Sebagai langkah awal, Hilman memberanikan diri berkunjung ke rumah Tantan sebagai penyewa PS. Hari pertama ia gunakan untuk observasi. Hilman melihat botol-botol miras berserakan di berbagai sudut. Di ruangan yang agak ke dalam dan samar-samar, ia melihat dan mendengar sekelompok pemuda yang tengah bermain kartu gaple diiringi canda tawa. Setelah beberapa hari rutin menyewa PS, Hilman ikut bergabung bermain gaple. Dari situ dia mengetahui bahwa permainan gaple yang mereka lakukan hanya hiburan semata, tak menggunakan uang. Tetapi Hilman mengendus aroma khas miras yang kuat
103
manakala
pemuda-pemuda
tersebut
bercakap-cakap.
Melalui
permainan gaple inilah, Hilman mulai mendakwahi mereka. Kartu gaple itu terdiri dari bulatan-bulatan yang melambangkan angka nol sampai enam. Semua angka dicetak dalam bentuk bulatan merah. Untuk angka satu bulatannya satu, angka dua bulatannya dua, dan seterusnya. Media gaple yang memiliki sampai enam bulatan inilah yang dijadikan Hilman sebagai media untuk menyampaikan rukun iman. Saat Hilman memperoleh kesempatan melempar kartu dan kebetulan kartu yang ada di tangan memiliki satu bulatan sesuai alur permainan, maka ia akan menyampaikan rukun iman yang pertama. “Ieu rukun iman anu kahiji, percaya ka Allah (ini rukun iman yang pertama, percaya kepada Allah-Red),” kata Hilman sambil melempar kartu. Ini dilakukan sepanjang ia mendapat giliran melempar kartu, hingga tak terasa seluruh rukun iman yang enam perkara berhasil disampaikan. Cara ini terbukti tokcer. Karena Hilman sering mengulang-ulang, akhirnya para pemuda menjadi familiar dengan rukun iman. Bahkan ‘cara baru’ bermain gaple yang dilakukan Hilman ini, diikuti para pemuda pemabuk tersebut. Akhirnya, ada juga yang bertanya lebih lanjut
tentang
rukun
iman.
Hilman
pun
dengan
mudah
menyampaikan materi dakwahnya. ”Ketika akidah mereka (melalui rukun iman) sudah benar, maka amalan-amalan yang lainnya pun
104
akan baik,” kata Hilman ketika menjelaskan, mengapa ia memilih rukun iman sebagai materi awal dakwahnya. Metode dakwah yang dilakukan Hilman tak lepas dari contoh yang diberikan Sang Guru saat masih belajar di Ponpes. “KH Ilyas Ruhiyat kerap mendakwahi seseorang tanpa disadari orang tersebut,” ujarnya. Untuk itulah, Hilman jarang menyampaikan dakwahnya dengan cara formal di masjid atau majelis taklim. Ia biasa mendakwahi seseorang sambil mengikuti aktivitas yang dilakukan orang tersebut, seperti saat memancing atau bermain bola. Hilman memiliki trik khusus agar para pemuda tetap istikamah dan tak kembali kepada perilaku maksiat. Hilman melibatkan para pemuda itu dalam kegiatan keislaman, salah satunya dengan membentuk kelompok nasyid yang diberi nama Komasdar (Koboi Masjid Darussalam). Grup nasyid ini kemudian tersohor di wilayah Ciwidey hingga kini. Dakwah Islam di Ciwidey semakin semarak ketika para orangtua ikut serta memakmuran masjid. Rupanya tanpa sepengetahuan Hilman, pemuda-pemuda itu mengajak para orangtuanya untuk menjalankan Islam secara benar. Kondisi seperti ini menyebabkan kebiasaan masyarakat Pasir Jambu untuk berperilaku maksiat lambat laun menghilang.* Ibnu Syafaat/Suara Hidayatullah
105
Menyelam Sambil Minum Air Cara dakwah Hilman bisa dibilang menyelam sambil minum air. Dia masuk ke dunia objek dakwahnya. Setelah ‘masuk’ baru dia kemudian memberi pencerahan. Itu diakui Tantan Setiawan (30), mantan pecandu narkoba dan pemabuk yang kini sudah tobat. “Jadi dia tidak langsung mengajak ke masjid, tapi pelan-pelan,” kata Tantan. Tantan lalu menuturkan pengalaman pribadinya. Hilman, katanya, dulu tak pernah melarang dirinya untuk mabuk atau memakai narkoba. Dia lalu masuk ke dunia Tantan, misalnya ikut main musik dan play station (PS). Perlahan Hilman kemudian menuntunnya ke jalan yang benar. Caranya, antara lain dengan memberi contoh kehidupan para pemabuk dan pecandu narkoba. Dari situ Tantan jadi terbuka mata hatinya. “Sekarang jangankan mabuk, merokok pun saya tidak,” katanya. Alhamdulillah. *Bambang S/Suara Hidayatullah JUNI 2010
106
17. Naik-naik ke Puncak Senduro
Usaha mengembalikan penduduk Senduro ke “rumah” lama ternyata penuh liku. Selain medannya terjal, juga kerap mendapat teror. Seorang lelaki setengah baya berjenggot tipis duduk di tengah kerumunan. Dia memakai mantel berwarna putih dan dua lapis baju dalam. Songkok putih kusut terbuat dari kain juga menghias di kepalanya. Sesekali, terlihat badannya menggigil menahan tusukan hawa dingin. Sejumlah orang di sekelilingnya juga memakai jaket. Hanya bedanya, mereka mengenakan sarung yang diselempangkan di badan. Khas orang gunung. Maklum, Dusun Puncak, Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur ini berada pada ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. Tak pelak, satu helai baju tidak cukup mengusir dingin. Lelaki tersebut adalah Ali Farqu Thoha, dai yang telah 20 tahun lebih berdakwah di Senduro, nama kawasan ini biasa disebut. Pada akhir April lalu, di Masjid Jabal Nur yang baru dibangun, pria kelahiran Lumajang 28 Desember 1958 ini memberikan ceramah. Ringan dan penuh humor. Tak jarang banyak jamaah yang tertawa lebar.
107
Di sela-sela ceramahnya, sesekali Ali, demikian ia akrab disapa, bertanya kondisi ibadah para muallaf. “Bagaimana shalat lima waktu kalian, tidak bolong-bolong lagi kan?” tanya Ali sambil pandanganya menyapu jamaah. “Ya, insya Allah, jalan terus meski sering telat,” jawab Sukari, salah seorang jamaah. Ali pun bernafas lega. Berarti, usaha kerasnya selama ini membuahkan hasil. Ceramah seperti itu secara rutin dilakukan Ali. Terkadang sepekan sekali. Atau juga bisa lebih, tergantung kebutuhan dan undangan. “Jika mereka membutuhkan, mau tidak mau, saya harus datang,” ujar ayah dua anak ini. Selain untuk ceramah, Ali juga diundang untuk menangani masalah lain; urusan keluarga, cocok tanam, cekcok sesama warga, dan sebagainya. “Maklum, sudah tidak ada sekat lagi dengan mereka. Jadi, apa pun urusanya, biasa memanggil saya,” tutunya. Dusun Puncak merupakan dusun tertinggi di Desa Argosari ketimbang tiga dusun lainnya; Gedok, Pusung Duwur, dan Bakalan. Wajar saja jika hawanya lebih menusuk. Selain itu, medannya juga menantang; terjal, licin, dan menanjak. Di tempat ini, jika menjelang siang kabut tebal turun. Tak pelak, sejauh mata memandang hanya kabut putih yang terlihat. Jarak pandang pun hanya sekitar 15 meter. Sementara itu, untuk menempuh tiga dusun lainnya, butuh waktu sekitar 1-2 jam.
108
Menurut Ali, warga Argosari dulunya mayoritas Muslim. Terlihat dengan adanya peninggalan sejumlah mushalla. Namun, lantaran ditinggal dai, Islam kemudian redup, lalu mati. Mereka kemudian memeluk agama Hindu. Nah,
berkat
kegigihan
Ali
dalam
berdakwah,
alhamdulillah,
mayoritas masyarakat bisa kembali ke jalan yang benar, Islam. Sekarang, sekitar 80 persen sudah kembali memeluk Islam. Ibaratnya mereka itu sudah kembali ke “rumah” lama. Mendapat Teror Ali sendiri memulai debut dakwahnya sekitar 20 tahun silam. Tanpa kendaraan dan hanya berjalan kaki. Padahal, jaraknya sangat jauh dan berliku. Tak pelak, memakan waktu sekitar 3-4 jam. Karena mad’u (objek dakwah) mayoritas Hindu, Ali pun menggunakan model dakwah 3 K (kelihatan, kenal, dan kena). Salah satu caranya dengan mengucapkan salam kepada setiap orang yang dijumpainya. Tak begitu lama, mereka pun tertarik terhadap Islam. Banyak pertanyaan seputar Islam yang mulai diajukan. Namun, Ali berhatihati memberikan penjelasan. Khususnya pada persoalan sensitif; neraka, surga, halal dan haram. “Jangan sampai mereka takut duluan. Karena itu, saya sangat berhati-hati menjawabnya,” ujarnya.
109
Seiring dengan berputarnya waktu, satu per satu masyarakat Senduro mau kembali memeluk Islam. Kebanyakan mereka masuk Islam karena alasan sederhana, kebersihan. “Kalau di Hindu, masuk Pura pakai sandal. Tapi, di Islam, masuk masjid harus dilepas,” tutur Karyo Slamet yang sebelumnya beragama Hindu. Hal serupa dialami Sukari. Mantan tokoh Hindu ini sebelum masuk Islam, selalu merasa tidak tenang. Tetapi, usai masuk Islam, hidupnya bisa lebih tenang dan bahagia. “Entah kenapa, setelah masuk Islam, hidup ini lebih bahagia,” ucapnya. Nampaknya, hal senanda juga banyak dialami orang Hindu lainnya. Tak pelak, dari waktu ke waktu, satu per satu dari mereka banyak yang memeluk Islam. Hingga angka umat Islam menjadi kian naik drastis, mencapai 80 persen lebih. Hal tersebut nampaknya menjadi ancaman sejumlah pihak. Mungkin saja, mereka takut jika Islam berkembang pesat di sana. Karena itu, Ali pun mulai mendapat teror. Suatu saat, Ali mendapat pesan singkat (SMS) bernada ancaman dari orang tak dikenal. Isi SMS itu tertulis, “Hentikan dakwah Islam di Senduro, jika tidak ingin istrimu menjadi janda dan anakmu menjadi yatim.”
110
Tidak cuma sekali, menurut Ali, SMS seperti itu hampir setiap hari masuk di layar ponselnya. Apakah Ali takut? Ternyata Ali tidak gentar sedikit pun. “Barang siapa yang menolong agama Allah. Maka dia akan ditolong Allah,” jawab Ali tegas. Benar saja, ternyata SMS tersebut tidak terbukti. Dia dan keluarganya masih sehat dan utuh. Tidak itu saja. Ali bersama Sutomo pernah dihadang 70 orang tak dikenal selepas pulang dakwah dari Dusun Bakalan. Mereka bertampang
sangar.
Mirip
preman
bayaran.
“Ali,
hentikan
dakwahmu! Jika tidak, lihat saja apa yang akan terjadi nanti,” teriak salah seorang dari mereka. Ketika itu, jam menunjukkan pukul 10 malam. Gelap gulita. Tak ada seorang pun selain mereka. Jadi, seandainya terjadi sesuatu pasti tidak akan ada yang menolong. Ali hanya terdiam dan berdoa. Tapi, hal itu tak membuat mereka berhenti berteriak. Justru makin berani. Tiba-tiba, tak dinyana Sutomo bertakbir. “Allahu Akbar,” teriaknya sekuat tenaga. Aneh, entah kenapa tiba-tiba 70 pria sangar itu lari tunggang langgang setelah mendengar takbir pria yang buta itu. Tantangan Alam Ternyata, rintangan berdakwah di Senduro bukan hanya itu saja. Keadaan alam juga menjadi ujian yang tak kalah beratnya. Pasalnya, medan yang sulit jika tidak hati-hati bisa berbahaya.
111
Suatu hari, sekitar pukul 10 malam, Ali pulang dari Dusun Gedok ke rumahnya di Lumajang. Dia mengendarai sepeda motor. Karena motor lawas, suaranya meraung-raung. Keras sekali. Apalagi jika harus melewati tanjakan. Malam yang sunyi itu dipecahkan oleh suara motornya. Tiba-tiba, dari arah berlawanan, ada sebuah truk lewat dengan kecepatan tinggi. Kebetulan jalannya sempit dan menanjak. Karena takut keserempet, lantas Ali mengarahkan motornya ke pinggir jalan. Naas, karena tak seimbang, Ali terjatuh. Ia pun masuk ke jurang. Untung saja tak dalam. Alhamdulillah, Ali selamat. Meski tak apaapa, kata Ali, sekujur tubuhnya seperti remuk. Meski begitu Ali tetap menjalani dakwah ini dengan bahagia. Sangat jarang ada dai yang bertahan dakwah di tempat itu. Syukurnya, Ali pun sangat terbantu setelah kerjasama dengan Warsito, dai dari Hidayatullah Lumajang. Berkat kerja sama itu, dakwah di Senduro makin tertata. Jika Ali fokus berdakwah di Senduro, maka Warsito mencari dana ke sejumlah instansi, terutama Baitul Maal Hidayatullah (BMH), baik di Surabaya maupun Malang. Kini, di Senduro telah ada sejumlah sarana ibadah; 4 masjid dan 10 mushalla. Tak hanya itu, Warsito sendiri sering berdakwah ke Senduro. Dengan motor Suzuki GX tahun 1995, ia naik turun bukit bersama
112
Ali
untuk
menyemai
Islam
di
sana.
*Syaiful
Anshor/Suara
Hidayatullah JULI 2010
113
18. Muhammad Khirson Sulaiman Suatu Siang di Kampung Tidung
Pernik-pernik perjalanan dakwah. Pernah dilabrak orang, pernah pula dapurnya nyaris tak mengepul Siang yang menyengat di bilangan Sungai Fatimah Kampung Tidung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Seorang pria paruh baya baru selesai menyampaikan khutbah Jumat. Sekaligus ia diminta memimpin shalat Jumat yang berlangsung khusyuk itu. Usai shalat, belum sempat membalikkan badan mengadap jamaah, tiba-tiba ia dilabrak salah seorang jamaah. “Kamu dari mana. Masuk di sini ijin sama siapa?” kata pria yang ternyata adalah kepala adat setempat. Dilabrak mendadak begitu, Muhammad Khirson Sulaiman, nama imam itu, kaget luar biasa. Dia sempat ketakutan. Apalagi ada jamaah yang sempat beringsut. Namun, ia tetap berusaha tenang. Ini kampung orang, pikir Khirson. ”Saya harus bisa menjaga diri. Mawas diri. Jangan sampai saya meresahkan dan membuat keributan di sini,” katanya. Khirson tetap melanjutkan dzikirnya sembari mengendalikan rasa takut yang mencuat.
114
“Saya ini sudah dari Tanah Suci (naik haji), tapi khutbah (Anda) kok banyak betul geraknya,” lanjut Kepala Adat. Marahnya belum mereda. Khirson hanya termangu, tidak merespon balik. Dia hanya menyimak secara seksama gerutuan itu. Orang yang dituakan di kampung tersebut memprotes Khirson yang ketika itu melakukan duduk antara dua khutbah. Padahal di daerah ini, rukun salah satu khutbah Jumat itu tidak dikenal karena keawaman mereka. Khirson tidak gegabah dan serta merta membentak balik pernyataan kepala adat tersebut. Ia juga tidak memberi penjelasan dengan dalildalil. Ia hanya berusaha tetap tenang. Belakangan Khirson baru mengetahui, kepada adat itu tidak senang jika yang masuk di masjidnya bukan orang Tidung sendiri. Namun, setelah diberikan penjelasan, dia bisa paham. Apalagi, salah satu kerabat dekat Khirson ternyata mempunyai hubungan keluarga dengan dia, semakin mudahlah Khirson ”menjinakkan” kepala adat itu. Itulah yang dialami Khirson ketika kali pertama berdakwah di Kota Nunukan. Pria kelahiran Solor, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) 36 tahun yang lalu ini benar-benar terjun bebas. Tak ada bekal pemahaman yang memadai tentang karakter masyarakat Tidung.
115
Pertolongan Allah Sangat Dekat Bagi Khirson, di mana saja berada, jika untuk Islam ia tidak keberatan. Masalah tentu selalu ada, di manapun posisi. Namun ia menganggap masalah itu sebagai hiburan dan sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Keyakinan inilah yang selalu menancap dalam sanubari pria humoris ini. Pernah kali waktu, di pesantrennya (Pesantren Hidayatulah Nunukan) terjadi problem yang cukup berat. Saat itu, natura (istilah gaji untuk warga pesantren) belum bisa dibagikan. Duit betul-betul kering. Persediaan di gudang untuk stok makanan para santri sudah mengkhawatirkan. Kondisi macam itu sebenarnya kerap kali dialami pesantrennya. Tapi kali ini kondisinya sudah terbilang akut. Syukurnya, warga pesantren tidak pernah ada yang protes. Dalam keadaan seperti itu, biasanya justru intensitas ibadah dan wirid di masjid semakin semarak. Pada akhirnya suatu sore yang cerah, ada orangtua datang ke pesantren mengendarai mobil mewah. Dia turun dengan membawa tas kresek merah. Khirson dan pengasuh yang lain tidak ada yang mengenalnya. Tiba-tiba pria tak dikenal tersebut menyerahkan tas kreseknya tanpa banyak bicara. Laki-laki itu kemudian berlalu. Setelah diperiksa, isinya duit Rp 10 juta.
116
”Kami terharu. Itu pertolongan Allah. Hari itu juga langsung dibagi dan dibelikan bahan makanan santri,” kisah suami dari Juhariyah Bal’an ini. Kini, Hidayatullah Nunukan di bawah kepemimpinan Khirson makin berkembang. Antara lain, sudah ada SMP putra dan putri. Mereka juga mendapat amanah dari Kedubes Indonesia di Malaysia, untuk membina ribuah TKI yang ada di Ladang Sagaria Sempurna, Sabah, Malaysia. “Hampir setiap pekan ada tenaga yang kita kirim ke sana,” kata Khirson. Sudah pasti perkembangan Hidayatullah Nunukan sekarang ini tak lepas dari peran dai-dai sebelumnya, yakni Ustadz Hasan Suradji yang melakukan perintisan awal. Kemudian dilanjutkan secara berturut-turut oleh Ustadz Hasyim Sapri, Ustadz Muhammad Sulthan, dan Ustadz Erwin Gatta. Jalan Dakwah, Jalan Bahagia Ayah dari lima anak ini mengaku, merasakan kebahagiaan tak terkira berada di jalan dakwah. Dia selalu menikmati saat berpindah-pindah tugas, berpindahpindah posisi, dan berpindah-pindah jabatan. Terkadang jadi pengasuh santri di asrama, guru di kelas, memimpin kerja bakti, bahkan memimpin pesantren. Jika semua dihadapi dengan tawakkal
117
dan keyakinan terhadap keterlibatan Allah, kata Khirson, semua menjadi mudah dan membesarkan jiwa. Dia mengakui, kebutuhan secara materi memang kadang tak bisa terpenuhi, tapi ini bukanlah kendala. ”Hanya ridha Allah yang kita harapkan. Di mana pun ditugaskan, jika itu komando, saya siap. Insya Allah,” katanya. Bekal dari Kampung Khirson dibesarkan di lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai agama. Ayahnya, Sulaiman, seorang guru ngaji dan orang yang dituakan di kampungnya. Kepada ayahnya, Khirson banyak menimba ilmu agama Islam. Sedangkan ibundanya, Habibah, juga guru ngaji dan pendidik yang ulet. Satu lagi nama yang berpengaruh terhadap perkembangan Khirson. Tak lain dia adalah pamannya sendiri, yakni Ustadz Ali Usman. Dialah yang menggembleng mental Khirson. Sejak kanak-kanak dia sudah dibiasakan shalat Tahajjud. Dia ingat, suatu malam dia bersama belasan anak lainnya, dibangunkan pamannya itu untuk shalat Tahajjud. ”Kita betul-betul dilatih,” kenang Khirson.
118
Tak hanya itu. ”Kami dikasih makan sedikit. Setiap hari disuruh ambil kayu bakar, sampai kita pernah berhadapan dengan polisi hutan,” kata Khirson. Pamannya itu pula yang membawanya ke Pesantren Hidayatullah Balikpapan pada 1991. Saat itu, ia masuk kelas satu Madrasah Aliyah Radhiyatan Mardiyah Hidayatullah di Gunung Tembak, Balikpapan. Tiga tahun kemudian ia lulus dan langsung ditugaskan ke Kota Bontang. Pada Oktober 2001, ia dipindah di Kabupaten Nunukan. Di sanalah
dia
mengabdi
hingga
kini.*
Ainuddin
Chalik/Suara
Hidayatullah, AGUSTUS 2010
119
19. Di Nias Diancam Parang, di Aceh Ditembaki GAM.
Kisah perjalanan dakwah Muhammad Nuh, dai Hidayatullah. Mengapa cuma digaji Rp 5 ribu? Muhammad Nuh (38) mendadak kaget. Betapa tidak, baru saja datang tiba-tiba langsung disambut teriakan, “Tolong, sepitengnya dipindah.” Karena tak tahu apa-apa, Nuh hanya diam. Besoknya, orang tersebut datang lagi. Kali ini berdua dan dengan membawa sebilah parang. Parang yang panjang dan tajam itu diacungacungkan ke arah Nuh. Penuh amarah. “Pokoknya, sepitengnya harus dipindah hari ini juga. Awas jika tidak!” kata lelaki berperawakan tinggi besar itu. “Sabar Pak. Saya akan cek dulu,” jawab Nuh pelan tanpa tersulut emosi. Ternyata, orang tersebut meminta agar sepiteng dipindah karena berdekatan dengan sumurnya. Nuh pun bingung. Pasalnya, setelah dicek, jarak antara sepiteng (tempat penampungan tinja dari WC) dan sumur tersebut cukup jauh, kira-kira 10 m. Anehnya lagi, kenapa baru sekarang orang tersebut berteriak-teriak? “Bukankah sepiteng itu telah lama ada?” Nuh bertanya-tanya sendiri.
120
Mengetahui hal itu, Nuh tidak mau memindahkannya. Apalagi, hal itu tidak mudah dilakukan. Kontan saja, keesokannya orang itu datang lagi. Kali ini dengan membawa tanda tangan warga desa. Mereka sepakat meminta dai muda ini angkat kaki dari desa jika tidak mau memindahkan sepiteng. Akhirnya, Nuh pun nurut. “Kalau sudah begitu, yang dicari amannya,” ujar Nuh. Waktu itu, tahun 2005, Nuh belum sampai sepekan tinggal di Pesantren Hidayatullah Nias Sumatera Utara. Tepatnya di Desa Siwalubanua II, Kec Gido, Gunungsitoli Idanoi. Sebelumnya, pria kelahiran Kayu Agung, Palembang 1972 ini bertugas di Pesantren Hidayatullah Aceh. Namun, apa mau dikata, di tempat tugas barunya, Nuh bukannya mendapat kalungan bunga, tapi acungan parang dan teriakan. Siwalubanua adalah desa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Menurut Nuh, dari sekitar 200 jiwa, yang Muslim hanya sekitar lima keluarga. Praktis, kondisi Muslim di sana sangat memprihatinkan. Apalagi, sangat jarang ada dai. Kalau ada, tidak tahan lama. Nuh pun baru tahu, setiap dai yang datang, tidak luput dari tes warga sekitar. Dan, memindahkan sepiteng itu adalah salah satu contohnya. “Mereka hanya ingin tahu, sampai di mana kesabaran si dai,” kata Nuh. Untungnya, tes tersebut tidak membuat nyali Nuh ciut. Bahkan
121
semangat berdakwah makin membuncah. Terlebih setelah melihat tidak ada yang shalat Jumat, padahal ada masjid. Kendala Berdakwah di tengah-tengah pemukiman mayoritas non Muslim, jelas tidak gampang. Terlebih, warga Nias terkenal dengan ilmu black magic-nya. Ibarat berjalan di jalan terjal dan mendaki. Jika tidak hati-hati bisa berbahaya. “Melukai hati mereka, berarti mencari perkara,” ujarnya. Nuh pun bertindak sangat hati-hati dan lemah lembut pada mereka. Kendati begitu, masih ada orang yang suka usil. Di rumah Nuh sering terjadi hal-hal aneh. Setiap malam hampir ada suara seperti ular besar yang berjalan di atas atap rumahnya. Tidak hanya itu, suara mirip pohon tumbang berderit keras juga sering terdengar di samping rumahnya. Anehnya, jika dicek, selalu tidak ada. Ada yang membuat Nuh lebih shock lagi. Suatu saat, tiba-tiba Shalehatul Zahro, putri keduanya berteriak histeris. Ternyata, dia melihat ular hitam besar bergelayutan di dinding ruang tamu rumahnya. Namun, belum sempat ular itu diusir, tiba-tiba sudah menghilang duluan. Kini, Nuh bernafas lega. Pasalnya, kejadian aneh tersebut sudah tidak pernah ada lagi. “Mungkin sudah kapok,” kata Nuh sambil tersenyum.
122
Kendala lain dalam berdakwah yang dirasakan Nuh adalah masalah bahasa. Ia mengaku kesulitan memahami bahasa lokal. Untuk kata “Gido” saja dibilang “Gide”. Setali tiga uang dengan warga Nias, mereka juga jarang yang paham bahasa Indonesia. Karena itu, Nuh sering meminta orang asli setempat yang bisa bahasa Indonesia untuk menterjemahkan isi ceramahnya. Menurut Nuh, ada kebiasaan para pemuda Kristen Nias yang suka merantau ke pulau seberang. Di sana, mereka menikahi wanita Muslimah. Agar diterima, para pemuda tersebut terlebih dulu masuk Islam. Setelah itu, baru membawa istrinya ke Nias untuk diajak masuk Kristen. Hal itu menurutnya sering terjadi. “Saya sendiri telah menyelamatkan tiga kasus seperti itu,” ujarnya. Untuk mencegah hal itu, kini Nuh berkoordinasi dengan pihak berwajib dan pelabuhan yang menjadi jalur masuk ke Nias. Tugas di Aceh Debut dakwah Nuh dimulai sejak di Aceh. Selepas kuliah di Universitas
Syiah
Kuala
(UNSYIAH),
Banda
Aceh,
Jurusan
Politeknik, Nuh bergabung dengan Hidayatullah. Awalnya, tidak terpikir sama sekali untuk bergabung. Nuh sendiri sebelumnya hanya ingin kerja dan hidup berkecukupan secara materi selepas kuliah. Apalagi, telah jauh-jauh ia hijrah dari kota pempek, Palembang ke Serambi Makkah, Aceh.
123
Tapi, kenyataannya lain. Nuh tersentuh dengan dakwah dai Hidayatullah. Dari sini, ia kemudian memutuskan bergabung dengan kafilah perjuangan ini. Ketika itu, ia mendapat tugas sebagai guru khusus bidang IPA. Tahu berapa honornya? Ketika itu (1996) , ia hanya dapat honor Rp 5 ribu per bulan. “Tapi, itu gaji dari manusia. Gaji dari Allah jauh lebih besar,” ujarnya. Makanya ia tak pernah merasa kekurangan. “Selalu saja ada rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka,” imbuhnya. Desingan Peluru Seperti diketahui, sepanjang tahun 1998-2004 perang GAM-TNI masih memanas. Hampir setiap saat terdengar suara baku tembak. Terkadang, ada peluru yang nyasar mengenai atap masjid Pesantren Hidayatullah Aceh. Awalnya, Nuh takut. Jika ada bunyi tembakan, ia selalu tiarap. Tapi, lambat laun, bunyi tersebut seolah menjadi irama musik yang indah. “Rindu jika lama tak mendengarnya,” ujarnya berseloroh. Ada kejadian tragis yang dialami istri Nuh. Tahun 2000, ketika Nuh dalam perjalanan menuju Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Kalimantan Timur, tiba-tiba di depan lokasi Pesantren Hidayatullah Aceh terjadi baku tembak antara GAM dengan aparat (TNI). Dari pihak aparat jatuh korban.
124
Tak lama setelah itu, datanglah bala bantuan dari aparat. Mungkin, karena
diduga
sebagai
tempat
persembuyian
GAM,
lantas
Pesantren Hidayatullah jadi sasaran tembak. Tak pelak, agar selamat, Nisa Ulhusna, istri Nuh pun tiarap. Padahal dia sedang hamil delapan bulan. Cukup lama Nisa tiarap hingga tak terasa perutnya sakit. Sepulang dari Balikpapan, Nuh membawa istrinya ke dokter. Hasil diagnosa, ternyata janin istrinya mengalami stress berat dan tidak lagi bisa bergerak. Betul saja, ketika anak pertama Nuh lahir, sudah tidak bernyawa lagi dan berwarna biru. Padahal, beratnya sudah tiga kilo. Rasa sedih sudah pasti ada. Tapi, Nuh yakin, anaknya tersebut akan menjadi perantara bagi kedua orangtuanya masuk surga.
Insya
Allah.*
Syaiful
Anshor/Suara
Hidayatullah
SEPTEMBER 2010
125
20. Menaklukan Animisme di Lereng Gunung Wilis
Berdakwah perlu cara yang tepat. Ternyata kearifan terbukti lebih manjur ketimbang kekuatan fisik Tampah dari anyaman bambu yang dilapisi daun pisang itu penuh makanan. Ada nasi tumpeng, ayam bakar, ikan goreng, dan telor. Di bagian pinggir, ada beberapa jenis buah: apel, salak, dan jeruk. Aroma harum menyeruak menusuk hidung. Jangan salah, hidangan lezat itu bukan untuk disantap, tapi dijadikan sesaji. Lalu, sesaji itu diletakkan di depan candi, lengkap dengan dupa yang mengepulkan asap. Candi yang memiliki tiga teras dan berundak itu adalah Candi Penampihan atau juga biasa disebut Candi Asmorobangun. Tingginya 875 meter dari permukaan laut. Candi ini terletak di lereng selatan Gunung Wilis, tepatnya di Desa Geger, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Tak jauh dari sesaji, terlihat lelaki paruh baya duduk bersila. Khusuk sekali. Hanya bibirnya yang komat-kamit merapal doa. Entah doa apa. Tapi, biasanya sedang mencari wangsit dari penghuni candi.
126
Lelaki itu bukan orang Hindu. Dia adalah seorang Muslim yang melakukan ritual animisme. Anehnya lagi, bukan hanya dia. Tapi mayoritas penduduk di Desa Geger juga melakukan hal yang sama, terutama saat punya hajat. Fenomena seperti ini terjadi sejak tahun 1975. Bukan itu saja potret buram warga lereng Gunung Wilis ini. Judi juga seolah bagian hidup tak terpisahkan. Tak pelak, kondisi keagamaan mereka sangat memprihatinkan. Di desa yang jumlah penduduknya sekitar 2.000 orang itu, hanya ada satu mushalla. Itu pun kondisinya mengenaskan. Seperti kandang kambing; penuh tanah dan ditumbuhi rumput. Padahal, sekitar 90 persen penduduknya beragama Islam. Berawal dari “Salam” Pemandangan memprihatinkan itu kontan membuat naluri dakwah Muhadi Muhammad Nur bangkit. Waktu itu, Pak Puh, demikian ia biasa disapa, baru saja pindah dari Mojokerto, Jawa Timur ke Desa Geger. Pak Puh langsung disambut ladang dakwah yang terhampar luas. “Saya kaget. Sejak itu, saya berniat mengembalikan mereka ke jalan yang benar,” ujarnya ketika ditemui Suara Hidayatullah, awal Agustus lalu di rumahnya. Fenomena itu menurut Pak Puh, tidak lain karena tak ada dai. Jadi, wajar jika di KTP Islam, tapi tidak ada yang mengerjakan ajaran Islam. “Kondisi ini ibarat gelap. Dia akan terang jika ada lentera,” tuturnya.
127
Sebenarnya bukan tidak ada dai. Menurut Pak Puh, sebelumnya ada dua orang dai tapi semuanya kabur gara-gara diusir penduduk karena cara dakwahnya yang kurang tepat. Dari situ Pak Puh mengambil pelajaran. Tidak mudah mengubah tradisi syirik yang sudah melekat di masyarakat. Karen itu, dibutuhkan cara yang jitu. Untungnya, Pak Puh tahu banyak kebiasaan warga Geger. Pak Puh sendiri asli Kediri, Jawa Timur. Jadi, adat istiadat penduduk sekitar tidak asing baginya. Salah satunya kebiasaan mengucapkan salam jika bertemu di jalan. Maka Pak Puh memulai debut dakwahnya dengan salam. Jika bertemu dengan setiap penduduk di jalan, ia selalu berucap salam. Tidak memakai bahasa Arab, melainkan bahasa Jawa, monggo. Dari situ, ia pun mulai dikenal penduduk Desa Geger. Tak lama kemudian ia pun sudah akrab. Desa Geger terdiri dari empat dusun; Sukorejo, Geger, Tambibendo, dan Ngrejeng. Jarak setiap dusun berbeda-beda. Ada yang tiga kilo meter hingga lima kilo meter. Hawa di sini sangat dingin. Apalagi jika sore tiba, kabut tebal sering turun. Satu helai kain tak akan mampu menahan gigitan hawa dingin. Selain berada di lereng gunung dan terpencil, jarak Desa Geger ke kota Tulungagung cukup jauh, sekitar dua jam menggunakan angkutan desa. Menanjak dan berbelok. Dalam berdakwah ke masing-masing dusun, Pak Puh harus berjalan kaki. Tak pelak, ia
128
harus pulang larut malam. Kalau sudah begini, gelap dan suara binatang menjadi teman dalam perjalanannya. Untuk lebih memantapkan dakwahnya, Pak Puh mengajari anakanak al-Qur’an. Alhamdulillah, respon masyarakat cukup tinggi. Ada sekitar 50 anak yang mengaji. Tanpa digaji, ia pun mengajar seorang diri. Ternyata, apa yang dilakukan lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) ini menarik perhatian penduduk. Banyak penduduk yang datang berkonsultasi soal keagamaan. Pak puh pun tidak membuang kesempatan itu untuk berdakwah. Dengan cara bijak, ia mulai menyinggung masalah sesaji di candi. “Masa batu dan pohon dijadikan sesembahan. Benda itu mati tak bisa berbuat apa-apa,” katanya. Pak Puh melanjutkan, “Yang berhak disembah adalah yang menciptakan benda tersebut.” Nasihat Pak Puh jitu. Satu per satu para penduduk sadar. Sejak itu, jarang ada penduduk yang berdoa di candi lagi. Butuh Kearifan Pak Puh memang mengedepankan kearifan dalam berdakwah. Misalnya ketika mengajak penduduk berhenti judi, ia tidak langsung melarangnya, tapi ikut nimbrung duduk. Nah, jika ada yang kalah, baru dinasihati. “Betul kan, judi itu nggak akan menang terus. Pasti kalah,” ujarnya.
129
Hal itu dilakukan Pak Puh cukup lama, setahun lebih. “Memang tidak gampang mengajak orang berhenti berjudi. Apalagi jika sudah ketagihan duit,” katanya. Akhirnya, usaha Pak Puh membuahkan hasil. Satu per satu warga berhenti berjudi. Kini, menurut ayah dari empat anak ini tidak ada lagi warga yang berjudi. Menurut imam Mushalla Siddiqul Huda di Dusun Turi, Tarji, Pak Puh adalah dai pertama yang sukses berdakwah di Geger. Setidaknya, ujar Tarji, berkat dakwah Pak Puh, kini banyak berdiri mushalla. Salah satu kuncinya, menurut Tarji adalah kearifan dalam berdakwah. Pak Puh sendiri adalah sosok sederhana. Rumahnya terbuat dari papan bercat putih dengan atap seng. Sedangkan rata-rata rumah warga yang mata pencahariannya menjual susu sapi dan berkebun terbuat dari tembok batu bata. Bahkan, tak jarang yang bertingkat dan punya kendaraan. Di samping rumah Pak Puh, ada Masjid Jami’ Al-Huda. Masjid ini biasa digunakan untuk shalat Jumat dan Idul Fitri. Kini, Islam di Geger makin bersinar. Mayoritas warganya sudah menjalankan ibadah shalat. Bahkan aktif mengikuti kajian sepekan sekali. Di empat dusun itu juga sudah berdiri 17 mushalla dan satu masjid. Yang aneh, di Geger yang mayoritas Muslim ini, ada lima bangunan gereja. Bentuknya seperti rumah biasa, tapi cukup besar. Seperti di
130
Dusun Turi, berdiri Gereja Kristus Tuhan (GKT), padahal kata warga setempat, hanya ada sekitar 2 KK yang beragama Kristen. Pak Puh telah sepuh. Usianya menginjak 63 tahun. Tubuhnya mulai rapuh dan tidak sekuat dulu. Pak Puh berharap, Islam di Geger bisa tetap bersinar. Di Masjid Jami’ Al-Huda, Pak Puh dan anaknya, Siti Nur Azizah mengajar al-Qur’an dan sesekali mengisi pengajian. Itulah yang masih bisa dilakukan pria paruh baya ini demi kelestarian Islam di Geger. *Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah – OKTOBER 2010
131
21. Dai Tangguh di Kaki Gunung Singgalang
Pengunungan Singgalang Dakwah tak kenal kata pensiun. Meski rambutnya telah memutih, namun ghirahnya tidak pernah padam. Beratnya medan dakwah tak menghentikan gelora dakwahnya. Senja mulai temaram saat Buya Imam menyusuri jalan setapak menuju Dusun Aro, untuk mengisi pengajian di Surau Al-Abrar yang terletak di pinggir hutan. Tiba-tiba dari arah semak belukar keluar segerombolan babi hutan yang menghadang perjalanannya. Dua di antaranya bahkan sudah bertaring. Konon cerita orang-orang tua, jika bertemu babi bertaring, segeralah mengambil langkah seribu, berlari secepatnya dengan berbelokbelok atau segera memanjat batang kayu. Tetapi itu tak mungkin lagi dilakukan Buya Imam. Jarak dia dan gerombolan babi hutan sudah terlanjur dekat. Keduanya hanya terpisahkan sekitar lima meter saja. ”Yang saya lakukan saat itu hanyalah memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala,” kenang Imam. Sesaat kemudian salah satu babi yang bertaring mulai mengambil ancang-ancang menyerang dengan merenggangkan dan merendahkan tubuhnya. Buya Imam sudah bertekad, jika babi besar itu
132
menyerang, ia akan melawan dengan seluruh kemampuan. Ia terus memperkukuh keikhlasan di hati, apapun yang akan Allah takdirkan atas dirinya. Tetapi sejurus kemudian sang babi berbalik memutar tubuhnya. Seakan dikomandokan, gerombolan babi hutan itu berlarian
masuk
hutan.
Imam
menarik
nafas
panjang.
”Alhamdulillah,” ucapnya berulangkali. Tak hanya dihadang kawanan babi hutan. Suatu malam yang diterangi cahaya bulan, Buya Imam yang baru pulang dari mengisi pengajian di Surau Kayu Ponton, samar-samar melihat seekor harimau yang turun dari kaki bukit, namun jaraknya masih cukup jauh dari sisi jalan kampung yang akan dilalui Imam. Karena itu, ia menunggu saja sampai harimau itu menyeberang jalan menuju hutan lebat di kaki Gunung Singgalang. Anehnya, harimau itu malah berbalik ke atas bukit. Dengan satu lompatan, tubuh harimau itu hilang ditelan semak belukar. ”Dihadang binatang buas, terkepung longsor, dan hujan deras, sudah menjadi bagian dari perjalanan dakwah. Yang penting kita tidak takabur dan senantiasa berserah diri kepada Allah yang Maha penolong ,” tutur Buya Imam saat dijumpai majalah ini menjelang sore di kediamannya di Dusun Aia Rukam, Nagari Matua Mudiak, Sumatera Barat beberapa waktu lalu. Pertolongan Allah yang tak terduga, tak hanya dirasakan Buya Imam ketika kepergok binatang buas. Pernah saat di perjalanan,
133
hujan turun sangat lebat. Biasanya kalau sudah begini, tebing-tebing di sisi jalan sering longsor. Bila tidak cepat meninggalkan lokasi, bisa turut tertimbun hidup-hidup. Tetapi berulang kali pula secara tak terduga Buya Imam mendapat pertolongan Allah. ”Sering saya alami, di tengah perjalanan tiba-tiba saja ada pengendara sepeda motor berhenti meminta saya naik diboncengkan hingga ke tempat pengajian. Padahal, saya sama sekali tak mengenalnya,” tutur Buya Imam. Masih Berjalan Kaki Empat puluh tahun silam, Imam berjalan kaki mendampingi Imral, murid mengajinya saat bermusabaqah. Kini, bekas muridnya itu sudah memasuki pensiun. Namun, Buya Imam tetap seperti yang dulu. Dai yang satu ini masih berjalan kaki dalam menebar dakwah dari kampung ke kampung. Walaupun Buya Imam belum juga menerima bantuan rutin, namun semangat dakwah Buya Imam tak pernah padam. Padahal, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah mengucurkan Tunjangan Khusus Ulama Nagari sejak 2009. Di tengah kelangkaan ulama, Buya Imam terus berperan sebagai dai full time. Hari-harinya habis untuk berdakwah, mengisi jadwal khutbah Jumat hingga melatih penyelenggaraan jenazah secara gratis. ”Karena nyaris tak punya waktu lagi, belakangan ini tugas
134
mengajar di madrasah saya serahkan ke guru bantu,” jelas Buya Imam. Selain kelompok pengajian, Buya Imam juga melakukan terobosan dakwah. Belakangan ini, ia gencar menggarap terbentuknya kelompok pengajian di kalangan kaum (suku). ”Ini penting agar dakwah juga sampai pada pemangku adat dan anak keponakan anggota kaum,” jelasnya. Sayangnya, dakwah di kalangan kaum tidak mudah. Saat ini, pengajian rutin baru berhasil dibentuk di kaum adat Suku Sikumbang. Dulu pernah terbentuk di Suku Caniago, tapi kemudian bubar begitu saja. Merintis Pengajian Buya Imam, begitu sapaan orang kampung padanya. Nama lengkapnya Syamsudin Imam Rajo Alam. Imam adalah gelar yang dinobatkan masyarakat kaumnya karena dinilai telah memenuhi syarat sebagai urang siak yang terus mengelorakan dakwah. Di kaki Gunung Singgalang, kawasan dataran tingggi Agam ini, Buya Imam masih terus berdakwah. Usia yang hampir berkepala tujuh, ketiadaan fasilitas dan beratnya medan dakwah tidak mengendorkan semangatnya.
135
Bapak dari lima anak ini merintis kelompok pengajian di kampungkampung berawal dari satu-dua jamaah saja. Kini, kelompok pengajian binaannya sudah mencapai belasan, tersebar dari desadesa yang ada di Nagari Matua Mudiak hingga ke Matua Hilia dan Lawang Tigobalai. ”Alhamdulillah, di Nagari Matua Hilia beberapa waktu belakangan juga sudah terbentuk lima majelis taklim dengan anggota
lebih
seratus
orang.
Mereka
kini
lagi
semangat-
semangatnya mengaji,” ujar buya Imam. Di kawasan terpencil yang jauh dari kediamannya, seperti Dusun Arau,
kelompok
pengajian
juga
berhasil
dibentuk.
Kendati
pesertanya baru beberapa orang saja, namun Buya Imam tetap semangat mendatangi Surau Al-Abrar yang terletak di pinggir hutan. Dulu Diberi Sesajen, Kini Ditebangi Topik pengajian, ceramah, maupun khutbah Buya Imam selama ini tak beranjak dari kajian ketauhidan. Ini sesuai dengan kondisi medan dakwah yang dijalaninya. ”Ya, namanya di daerah pelosok. Dulu-dulunya kondisi di sini samalah dengan di Jawa sana,” jelas Imam Rajo Alam. Memang, dulunya masih ada satu-dua warga yang melanjutkan tradisi dengan meletakan sesajen di rumpun pohon beringin. Ada pula orang yang takut mandi di pancuran sumber mata air pada tengah hari, karena takut dimarahi ”penjaganya.”
136
Dakwah Buya Imam tentang ketauhidan yang disampaikan terus menerus dalam setiap pengajian, akhirnya membawa perubahan besar. Di Nagari Matua Mudiak, kemusyrikan benar-benar telah ditumpas habis. ”Sekarang tak pernah lagi ditemukan sesajen nasi kunyit dengan telur ayam di bawah pohon beringin. Bahkan sudah banyak pohon beringin ditebang dan dibakar bersama ’penjaganya’ yang dulu ditakuti itu,” tutur buya Imam. Allahu Akbar!* Dodi Nurja/Suara Hidayatullah, NOPEMBER 2010
137
22. Tak Pernah Lelah Berdakwah
Pernah ditugaskan berdakwah di Aceh, Gorontalo, Samarinda, Pontianak dan Palembang. Malam itu, sekitar pukul 23.30 kampus Pesantren Hidayatullah Lhokseumawe, Aceh gelap gulita. Semua penghuni lelap dalam peraduan. Tiba-tiba pintu rumah pimpinan pesantren, Wahyu Rahman diketuk orang tak dikenal. “Tok…tok…tok,” terdengar suara keras. Pria asal Palopo, Sulawesi Selatan ini terbangun. Pas dibuka, empat orang lelaki telah berdiri di depannya. Meski memakai baju preman, tapi badan mereka tampak kekar. “Katanya ada orang yang ganggu pesantren. Tunjukkan, mana orangnya!,” kata salah seorang dari mereka. Suaranya membuat Wahyu merinding. Usut punya usut, mereka adalah petugas dari Komando Resort Militer (Korem) Lhokseumawe. Mereka tahu jika belakangan ini, pesantren sering mendapat teror dari warga sekitar. Sesaat Wahyu terdiam. Suami dari Muthmainnah ini mendadak teringat kisah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menolak tawaran Malaikat Jibril yang hendak menimpakan Gunung Uhud ke penduduk Thaif. Padahal, jika Nabi mau, penduduk yang
138
mengusir dan melempari Nabi dengan batu hingga berdarah itu, seketika bisa binasa. Tapi, hal itu ditolak oleh Nabi. “Bagaimana Pak, tahu orangnya tidak?,” tanyanya lagi. Meski terkaget-kaget, Wahyu berusaha menjawab. “Tidak. Saya betulbetul tidak tahu orangnya. Maaf, Pak,” jawab Wahyu. Lalu keempat petugas Korem Lhokseumawe itu meninggalkan Wahyu. Padahal, jika mau, Wahyu bisa menyebut satu per satu nama yang sering mengganggu pesantrenya. Wahyu ingat cerita santrinya yang asli Aceh, dia mendengar ada orang yang berencana membakar pesantren. Disusul kemudian, kambing milik pesantren disembelih orang tak dikenal, lalu ususnya digantung di kandang. Tidak hanya itu. Pesantren yang dipimpin Wahyu juga difitnah sebagai pembawa aliran sesat. Pelakunya termasuk tokoh di daerah tersebut. Wahyu berpikir, andai orang tersebut disebut, esok harinya, kemungkinan besar orang tersebut bakal “diambil” petugas Korem itu. Pasalnya ketika itu, Aceh sedang dalam kondisi Daerah Operasi Militer (DOM). Kekuasaan ada di tangan militer. Berbulan Madu di Kapal Wahyu merintis Pesantren Hidayatullah Lhokseumawe pada 1994. Bagi mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini, merintis pesantren merupakan tantangan yang paling ditunggu. “Merintis cabang baru dari modal nol adalah ujian keimanan. Betul-betul luar biasa,” ujarnya.
139
Oleh karena itu, hanya jawaban sami’na wa ata’na (kami dengar dan kami taat) yang keluar dari mulut ayah empat anak ini ketika ditugaskan ke daerah rawan konflik, serambi Makkah. Padahal saat itu, Wahyu baru saja menikah dan belum sempat berbulan madu. Saat berangkat bertugas, Wahyu benar-benar terjun bebas. Bekalnya hanya cukup untuk naik kapal laut dari Balikpapan, Kalimantan Timur ke Medan, Sumatera Utara. Karena tak ada uang, Wahyu dan istrinya terpaksa tidak bisa menyewa kamar yang bisa menampung
mereka
berdua.
Akhirnya,
selama
empat
hari
perjalanan dalam kapal, setiap malam mereka tidur berpisah. “Ini baru bulan madu terindah. He..he..he,” ujar Wahyu berseloroh. Sekalipun bekalnya nihil, Wahyu tak pesimis. Ia yakin dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Allah akan menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya,” ujarnya penuh keyakinan. Setiba di Lhokseumawe, Wahyu pun langsung tancap gas dengan cara bersilaturahim, membangun jaringan, dan membuat kelompok pengajian di beberapa perusahaan. Tak hanya itu, para aktivis mahasiswa di sejumlah universitas di Lhokseumawe tak luput dari jangkauan Wahyu. Bekal pengalaman organisasi semenjak di HMI membuat Wahyu cepat bergerak dan beradaptasi. Belakangan, para aktivis binaan Wahyu banyak yang menjadi ketua dan pengurus Pesantren Hidayatullah di beberapa daerah.
140
Dalam tempo tiga tahun, perkembangan Pesantren Hidayatullah Lhokseumawe cukup pesat. Lahan yang luasnya 3 hektar itu mulai penuh oleh bangunan; asrama, masjid, dan sekolah. Ketika itu, pesantren benar-benar banyak menerima bantuan. Sayangnya, hal itu membuat sejumlah orang di sekitar pesantren cemburu. Karena
itu,
mereka
mulai
membuat
ulah;
menebar
fitnah,
mengganggu, dan sebagainya. Menurut Wahyu, hal itu dilakukan agar para santri tidak betah dan pergi. Tapi, hal tersebut tidak terlalu ditanggapi. Wahyu beserta para pengurus lainnya tetap memohon pertolongan Allah Ta’ala dan menjalin silaturahim. Seiring waktu, sejumlah warga yang sering mengganggu tersebut berhenti. Diberi Mobil Wahyu memiliki pengajian binaan rutin. Ada yang sepekan sekali, bahkan ada yang lebih. Jumlah jamaahnya variatif. Ada yang sepuluh hingga ratusan jamaah. Mereka dari berbagai lapisan; dari direktur hingga pedagang kaki lima. Suatu malam, Wahyu hendak berangkat mengisi pengajian. Tiba-tiba hujan turun lebat. Karena tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, lalu Wahyu memutuskan tidak bisa datang. Keesokan harinya Wahyu dipanggil oleh salah satu jamaahnya. Ia ditanya kenapa tidak bisa hadir. Wahyu pun berterus terang, jika semalam hujan lebat dan tidak mungkin bisa datang. Subhanallah, di luar dugaan, tiba-tiba seorang jamaahnya tersebut menyerahkan
141
mobil miliknya. “Ustadz, pakai saja mobil saya. Semoga bisa membantu dalam berdakwah,” kata Wahyu menirukan seorang jamaahnya. Wahyu hanya bisa bengong sambil mulutnya tak hentihentinya me-lafadzkan hamdallah. Pindah Tugas Empat tahun Wahyu bertugas di Aceh. Tahun 1998 ia dipindah ke Gorontalo, Sulawesi untuk merintis cabang Hidayatullah. Namun, jerih payah di Aceh tak ada yang dibawanya, termasuk tiga buah mobil. Di tempat baru ini, kondisinya masih memprihatinkan. Belum ada apa-apa. Hanya bangunan kosong. Lagi-lagi, Wahyu harus memulainya dari nol. Karena tak punya motor, dengan naik sepeda ontel, Wahyu keliling bersilaturahim. Tak malu, pejabat pemerintah dan anggota DPR di Gorontalo didatanginya. Menurut Wahyu, baru enam bulan di Gorontalo, ia dipindah ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Tahu mau dipindah, Wahyu memaketkan barang-barangnya lebih dulu. “Sementara saya, istri, dan anak-anak naik kapal ke Manado lalu ke Balikpapan, Pesantren Hidayatullah Pusat,” kata Wahyu. Sampai di Balikpapan, tiba-tiba Wahyu batal tugas ke Palangkaraya dan dipindah ke Samarinda, Kalimantan Timur.
142
Tahun 2000, Wahyu dipindah lagi ke Pontianak, Kalimantan Barat untuk jadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Hidayatullah (DPW) hingga 2004. Ketika Aceh porak poranda diterjang tsunami, Wahyu ditugaskan kembali di Aceh sebagai kordinator posko bencana. Empat tahun di Aceh, ia dipindah lagi ke Palembang, Sumatera Selatan sebagai ketua DPW. Di kota pempek ini, Wahyu lebih agresif lagi berdakwah. Tidak hanya di daerah perkotaan, Wahyu juga aktif berdakwah di daerah transmigrasi. Jangan dibilang banyak honornya. Uang transportasi saja justru keluar dari sakunya sendiri. Namun, ia tak hendak surut dari medan dakwah. Kini, ia ditarik ke Jakarta untuk ‘menaklukkan’ ibu kota. Wahyu seperti tak pernah lelah berdakwah. * Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah, DESEMBER 2010
143
23. Pertolongan-Nya Tak Pernah Terlambat
Pernah berdakwah di berbagai daerah. Betul-betul terjun bebas, tak ada dana, begitu juga kenalan. Namun, karena panggilan dakwah, maka tetap dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab Belum lama Ahmad MS bertugas di cabang Hidayatullah Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur dia harus dipindahtugaskan. Hal itu dia ketahui saat Raker Hidayatullah se-Indonesia di Gunung Tembak tahun 2000. “Gimana
Ahmad,
Lampung
membutuhkan
tenaga,
Anda
dipindahtugaskan ke sana,” ujar Ahmad menirukan perintah Ustadz Abdurrahman Muhammad, Pimpinan Umum Hidayatullah ketika itu. Meski awalnya ragu, tapi akhirnya Ahmad menerima penugasan tersebut. Sebab, di dalam dirinya telah tertanam bahwa tugas adalah amanah yang harus dijalankan. “Waktu itu, saya hanya bisa menjawab insya Allah siap,” ungkapnya. Ahmad tahu, pindah tugas dengan membawa anak dan istri bukanlah hal yang gampang, perlu adaptasi dan materi. Namun, karena ini tugas dakwah, maka hal itu dikesampingkan Ahmad. “Insya Allah, di tempat yang baru, Allah pasti akan menolong saya,” ujar Ahmad.
144
Akhirnya, Ahmad pun berangkat menuju medan dakwah. Berbekal uang hanya Rp 50 ribu dan akomodasi secukupnya, Ahmad beserta seorang temannya berangkat ke Bandar Lampung. Di Lampung, suami dari Nurfaizah ini betul-betul terjun bebas. Tak ada dana, begitu juga kenalan. Pasalnya, Hidayatullah di Lampung pun saat itu masih tahap perintisan. Saat tiba di Lampung, Ahmad menginap di Masjid Al Firdaus, Kedaton dekat makam pahlawan. Selama tiga hari di Masjid Al Firdaus, Ahmad semaksimal mungkin bersilaturahim ke sejumlah tokoh. Tujuannya, mencari dukungan untuk membuka lembaga pendidikan (pesantren, red). Menyusun Program Suatu ketika, Ahmad ditanya seorang tokoh masyarakat, “Punya uang berapa kok ingin membangun lembaga pendidikan.” Ahmad hanya bisa diam. Lalu ia berusaha menjawab, ”Kami memang tak punya dana, tapi kami percaya bahwa Allah Maha Kaya dan memiliki banyak dana,” tegas pria kelahiran Pare-Pare, 4 Juni 1970 ini. Hari kedua, Ahmad bersilaturahim kepada seorang dermawan yang pernah menyumbang Hidayatullah di Manggala Lampung, yakni Zainul Hamzah. Ibarat gayung bersambut. Ternyata, Zainul bersedia secara gratis meminjamkan rumahnya untuk ditempati. “Betul-betul
145
tak
disangka,
ketika
sedang
membutuhkan,
Allah
langsung
memberinya,” ujar Ahmad. Dari rumah kontrakan itulah, Ahmad menyusun sejumlah program. Mulai dari mengajar ngaji warga sekitar, sosialisasi Hidayatullah di Bandar Lampung, dan mengadakan pesantren kilat, serta tabligh akbar. Usaha Ahmad ternyata membuahkan hasil. Di antara program
tersebut
yang
paling
banyak
menyedot
perhatian
masyarakat adalah tabligh akbar. Respon masyarakat sangat tinggi. Jamaah yang hadir ratusan, bahkan terkadang hingga meluber ke luar masjid. Pelan-pelan, Hidayatullah dikenal masyarakat. Hingga suatu hari tiba-tiba ada seorang jamaah menawarkan rumahnya untuk dijadikan markas dakwah. “Allah memang tidak pernah tidur,” tutur ayah lima anak ini dengan penuh syukur. Sejak itu, pertolongan Allah seolah tak ada habisnya. Pada tahun 2003, ada hamba Allah yang menyerahkan losmennya agar digunakan sebagai markas dakwah. Ahmad pun tak menyianyiakannya. Lalu, ia memboyong seluruh ‘pasukannya’ ke markas baru itu. Dari losmen itulah seluruh kegiatan dakwah Ahmad di seluruh Lampung dikoordinasikan. Waktu pun terus berputar. Seiring dengan tumbuhnya kepercayaan dari masyarakat, maka banyak pula harapan yang perlu diwujudkan,
146
di antaranya membuka program TK, TPA, dan juga butuh tempat untuk acara pengajian. Ternyata, tak lama kemudian impian itu terwujud. Lagi-lagi Allah SWT memberikan pertolongannya. Seorang ibu menyerahkan masjid yang cukup representatif miliknya untuk dikelola. Dulu, kata Ahmad, di masjid itu tak ada shalat Jumat, padahal di sekitarnya banyak masyarakat. Kini, setiap Jumat, masjid tersebut ramai oleh jamaah. Bahkan, santri TPA-nya hingga 90-an. Meski masyarakat Lampung terkenal memiliki jiwa temperamental, namun hal itu jarang dihadapi Ahmad. Justru menurutnya, berdakwah di Lampung mengasyikkan. “Dengan adanya perbedaan budaya dan karakter, membuat kita harus pandai menginovasikan metode dakwah,” jelas Ahmad. Dalam hal ekonomi, Ahmad tidak serta merta mengandalkan bantuan masyarakat. Untuk persoalan itu, dia berusaha sendiri. Di awal dakwah di Bandar Lampung dia sempat berjualan roti berkeliling kampung. Juga pernah membuka warung coto Makassar. Hingga kini, Ahmad masih aktif berjualan obatan-obatan herbal, madu, dan habbatussauda. Ingin Jadi Dai Sejak Kecil Sejak SMP, Ahmad becita-cita ingin masuk pesantren. Keinginannya itu timbul ketika aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)
147
Sulawesi Selatan. Dia bertemu dengan seorang ustadz dari Hidayatullah yang mengatakan ada Pesantren Hidayatullah di Gunung Tembak, Kalimantan Timur. Ustadz tersebut memberinya majalah Panji Masyarakat yang memuat Pesantren Hidayatullah. Sayang, Ahmad belum ditakdirkan ke sana. Selepas SMP, Ahmad disuruh orangtuanya melanjutkan ke STM. Dasar anak pinter, dia juara satu di sekolah kejuruan itu. Kala itu, kata pihak sekolah, jika lulus nanti akan diberi beasiswa kuliah ke ITB Bandung. Meski juara dan diiming-imingi kuliah gratis, tak membuat keinginannya ke pesantren kendor. Justru kian tak terbendung lagi. Tak tahan karena terus bergejolak, Ahmad lalu menulis surat ke pimpinan
Pesantren
Hidayatullah,
Ustadz
Abdullah
Said
(Allahuyarham) ketika itu. Suratnya berbunyi: “Saya seorang pelajar STM yang punya obsesi belajar di pesantren yang Ustadz pimpin. Kalau boleh tahu, apa persyaratannya,” tulis Ahmad dalam suratnya. Tak lama kemudian surat tersebut dijawab. “Silakan datang. Kami sangat menghargai keinginan Adik. Tak ada persyaratan apa pun. Kami tunggu!” begitu balasan suratnya. Setelah
mendapat
jawaban
begitu,
Ahmad
meminta
agar
orangtuanya mengijinkan ia belajar di pesantren. Lantaran terus mendesak, akhirnya orang tua mengabulkannya juga.
148
Untuk menuju ke pesantren itu, Ahmad naik kapal pengangkut kayu dan sapi. Karena lama perjalanan dua hari dua malam, Ahmad pun harus terus mencium bau sapi. Tak hanya itu, karena kapalnya tak terlalu
besar,
ketika
dihantam
ombak
goyangannya
bisa
memabukkan. Setibanya di Gunung Tembak, Balikpapan (1987), betapa kagetnya dia. Bukannya disambut dengan buku dan pena, melainkan disuruh menjadi tukang batu. “Betul-betul tak betah. Rasanya ingin pulang saja,” ungkapnya mengenang. Namun, berkat nasihat para ustadz, bahwa itu semua adalah proses pengkaderan, Ahmad pun bisa menerima dan lambat-laun betah juga. Selama tujuh bulan dia diamanahi di bagian Kebersihan Lingkungan Hidup (KLH). Lalu, Ahmad dipindah ke pendidikan, jadi guru Pendidikan Dasar Islam (PDI). Di sini, Ahmad diamanahi selama lima tahun. Sebagaimana tradisi di Hidayatullah, tahun 1994, Ahmad ditugaskan ke Dumai bersama Ustadz Aqib Junaedi. Tiga tahun di Dumai, dia dipindahtugaskan lagi ke Sangatta Kutai Timur. Setelah tiga tahun berdakwah di Sangatta, pada tahun 2000, Ahmad dipindahkan lagi ke Lampung, Sumatera bagian Selatan. Meski demikian, Ahmad tak sedikit pun merasa tegang atau cemas. Dia yakin, Allah akan selalu menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya.
149
Dan sejak bertugas di Lampung, pertolongan demi pertolongan telah dirasakan Ahmad. Dari nol, kini di wilayah Lampung, seperti Lampung Selatan, Lampung Timur, Bandar Lampung, Tulang Bawang, Way Kanan, dan Metro telah ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Hidayatullah. Bahkan telah berdiri pula Baitul Maal Hidayatullah (BMH), Pos Dai, Muslimat Hidayatullah, dan Search and Rescue (SAR) Hidayatullah. *Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah APRIL 2010
150
24. Ketika Pendekar Teguh “Turun Gunung”
Banyak masyarakatnya yang Muslim lalu terpaksa murtad. Perlahan namun pasti, kini mereka kembali ke pangkuan Islam. Waktu muda Teguh Mahmudi sangat tertarik dengan ilmu bela diri. Ia kemudian bertanya kepada seorang temannya, dimana bisa belajar bela diri. “Kalau ingin belajar kamu harus masuk pesantren,” kata temannya. Persoalannya, Teguh beragama Budha. Tetapi keinginan Teguh tak bisa dibendung lagi. Ia pun nekad masuk ke pesantren yang dimaksud. Ternyata dalam perjalanannya, di pesantren itulah, dalam usia 16 tahun ia mengucapkan dua kalimat syahadat, tanda awal sebagai seorang Muslim. Perjalanan selanjutnya tidak mudah bagi Teguh. Ia mesti mencari uang sendiri untuk membiayai pendidikannya. “Di sela-sela belajar di pesantren, saya mencari pekerjaan apa saja di luar untuk mendapatkan uang,” katanya. Tantangan berat datang dari kakak-kakaknya yang semuanya beragama Budha. Begitu tahu sang adik masuk Islam, mereka menentang keras. “Bahkan ada kakak saya menyebut saya setan,” kata Teguh saat ditemui di rumahnya Oktober lalu. Teguh berge-
151
ming. Ia kukuh dengan pilihannya yang baru. Sebab, di pesantren ia jadi paham mana agama yang benar. Akhirnya, setelah bertahun-tahun digembleng di pesantren, ghirah Islam Teguh jadi membara. Usai menimba ilmu, ia kembali ke kampungnya, Desa Telaga Wungu, Kecamatan Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Ia ingin mengembangkan Islam di desa yang berada di lereng pegunungan Sumowono itu. Dari kota Temanggung menuju Telaga Wungu kira-kira setengah jam perjalanan naik sepeda motor. Desa ini terdiri dari beberapa dusun dan di antara dusun itu dipisahkan perbukitan dan lembah. Sebagai daerah pegunungan, sejauh mata memandang nampak hijau karena dipenuhi pepohonan. Dulu, penduduk Telaga Wungu mayoritas Budha. Hanya beberapa gelintir yang Muslim. Di Kecamatan Kaloran, Vihara (tempat peribadatan agama Budha), bertebaran di mana-mana. Di Telaga Wungu saja ada 6 Vihara. Di seluruh Temanggung tentu lebih banyak lagi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Vihara di Temanggung tercatat ada 128. Dan Vihara terbesar ada di Telaga Wungu. Bahkan di desa ini sedang dipersiapkan sebuah pusat pendidikan Budha di atas lahan seluar 8 hektar. Awalnya, kata Teguh, hampir semua penduduk Kaloran Muslim. Lalu, saat Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri, banyak masyarakat di beberapa desa di Kaloran yang terseret masuk ke
152
partai tersebut. Bahkan, Telaga Wungu termasuk basis gerakan PKI di Temanggung. Pasca pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965, menurut Teguh, pemerintah melakukan gerakan pembersihan terhadap PKI dan antek-anteknya.
Nah,
saat
itulah
kepala
desa
Getas
dan
Kalimanggis, yang keduanya beragama Budha menyerukan agar masyarakat masuk ke agama Budha, bagi yang ingin selamat. “Yang tidak mau dianggap PKI,” kata Teguh yang lahir 43 tahun lalu ini. Tentu saja semua orang takut dan ingin selamat. Maka secara masif masyarakat Kaloran, termasuk di Telaga Wungu pindah agama, dari Muslim menjadi Budha. Sejak itulah Budha berkembang hingga sekarang. Keadaan seperti itulah yang menjadi tantangan Teguh yang
bertekad
terus
mengembangkan
dakwah
di
kampung
halamannya. Turun Gunung Tidak percuma Teguh belajar bela diri, karena ternyata itu menjadi alat dakwah yang ampuh. Tiga tahun belajar bela diri ia mampu menguasai berbagai jurus. Ia juga punya ilmu kebal dan pukulan jarak jauh. “Saya bisa memukul dalam jarak 3 atau 5 meter,” aku Teguh. Tentu dengan tenaga dalam.
153
Seperti halnya pendekar yang baru “turun gunung”, Teguh hendak mengamalkan ilmunya. Maka beberapa saat setelah pulang kampung, Teguh membuka latihan beladiri. Pesertanya remaja di kampungnya. Seminggu dua kali mereka digembleng Teguh. Khusus setiap Jumat, mereka digembleng mentalnya. Dengan cara seperti itulah Teguh memasukkan nilai-nilai Islam kepada anak didiknya. Sejak itu, nama Teguh mulai dikenal sebagai ustadz sekaligus pendekar. Sebagian orang merespon positif terhadap program pembinaan remaja yang dilakukan Teguh, tapi sebagian lain ada yang merasa terusik.
Mereka
yang
terusik
inilah
yang
mencoba-coba
mengganggu. Tegus berkisah, dalam sebuah perjalanan ia pernah dicegat sekelompok pemuda. Mungkin, mereka ingin menjajal ‘kesaktian’ pendekar baru ini. Teguh pun tak merasa keder sedikit pun. Sambil terus mengamati gerak-gerik musuh, ia mulai mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya. Tiba-tiba seorang lawan merangsek maju hendak memukulnya. Anehnya, belum lagi menyentuh kulit Teguh, dia sudah terpental. Rupanya dia tak kuat menerima serangan tenaga dalam yang dilancarkan Teguh. Tahu temannya terpental, kawan-kawannya jadi ciut nyalinya. Mereka kemudian kabur. Masih ada ujian lain. Suatu ketika dalam perjalanan pulang dari masjid Teguh dilempari kotoran kambing. Ini mirip kisah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pernah dilempari kotoran unta oleh
154
orang Quraisy. Diperlakukan begitu Rasulullah tetap sabar dan tidak membalas. Bahkan suatu hari saat lewat di jalan yang sama tidak mendapat kiriman ‘hadiah’. Ternyata orang yang suka jail itu sedang sakit. Beliau pun cepat-cepat menengoknya. Mengacu kepada kisah Rasulullah tersebut, pria yang kini dikaruniai dua anak ini berusaha sekuat tenaga menahan diri. Ia tahu pasti siapa yang melempar itu. Tak lain adalah pemuda tetangganya sendiri. Ia hanya berdoa, semoga kelak pemuda itu mendapat hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah pun mengabulkan doanya. Pemuda itu masuk Islam. “Dia orang pertama yang masuk Islam lewat saya,” kata Teguh tanpa bermaksud sombong. Ia menyadari
sepenuhnya,
dirinya
hanya
sebagai
perantara,
sementara hidayah tetap hak mutlak Allah. Teguh mengaku tidak pernah gentar. Ia punya senjata yang diandalkan. Semacam azimat atau benda sakti berupa sabuk yang sudah “diisi”. Sabuk ini biasa ia bawa ke mana-mana sebagai alat perlindungan diri. Suatu kali dalam sebuah perjalanan ia merasa tidak nyaman, karena sabuknya lupa tidak dibawa. Entah lantaran merasa tak percaya diri itulah, ia mengalami kecelakan. Syukurnya lukanya tak begitu parah. Di balik musibah itu ternyata membawa hikmah. Teguh jadi sadar bahwa selama ini telah melakukan perbuatan syirik. “Sejak itu sabuk saya buang,” katanya.
155
Sejak dakwah berkembang di Telaga Wungu, perlahan-lahan orangorang Islam yang dulu terpaksa murtad, kini kembali kepada pangkuan Islam. Sekarang di Telaga Wungu, Muslimnya sudah berkembang menjadi sekitar 70 KK. Yang paling membahagiakan Teguh, di antara yang muallaf itu adalah ibu kandungnya sendiri. “Ibu saya masuk Islam tahun 1990, saat berusia 67 tahun,” kata Teguh yang bekerja sebagai pedagang barang pecah belah di Pasar Kranggan, Temanggung. Kini, Teguh membina sebuah masjid mungil persis di depan rumahnya. Di masjid itu pula ia membuka Taman Pengajian Anakanak setiap sore. Yang unik, anak-anak yang ngaji itu banyak pula yang orangtuanya beragama Budha. “Termasuk keponakan saya, mereka sudah Islam, tapi orangtuanya masih Budha,” katanya. *Bambang S/Suara Hidayatullah JANUARI 2012
156
25. Jebakan di Kaki Gunung Panderman
Secara diam-diam gerakan pemurtadan umat Islam jalan terus dengan berbagai jurus. Rumah itu nyaris roboh. Lasman (bukan nama sebenarnya), pemiliknya, tak mampu berbuat apa-apa. Tentu saja ia ingin memperbaiki
rumahnya.
Namun
apa
daya
ia
tak
mampu.
Penghasilannya sebagai buruh serabutan hanya cukup untuk memberi makan istri dan anaknya. Itu pun pas-pasan. Dalam keadaan terjepit seperti itu datanglah seseorang yang menawarkan pertolongan. “Orang itu bersedia membantu asal saya mau ikut pembinaan di gereja,” tutur Lasman, warga Desa Kucur, Kecamatan Dawu, Malang, Jawa Timur kepada majalah Suara Hidayatullah September lalu. Mendapatkan tawaran menggiurkan seperti itu, Lasman tanpa pikir panjang mengiyakan. Kemudian, setiap minggu ia datang ke gereja untuk mengikuti kebaktian. Waktu terus berjalan. Lasman terus menunggu-nunggu kapan rumahnya akan diperbaiki. Hari demi hari, minggu demi minggu bahkan bulan demi bulan, janji itu tak kunjung dipenuhi. Lasman mulai ragu.
157
“Jebakan” yang tengah menjerat Lasman itu terdengar Jamil, seorang dai yang juga tinggal di Desa Kucur. Bersama beberapa temannya, Jamil datang ke rumah Lasman. Ia ikut prihatin dengan keadaan Lasman. Ia berjanji membantu merenovasi rumah Lasman yang sudah miring itu. Jamil mulai menggalang solidaritas umat Islam di Desa Kucur. Gong pun
bersambut.
Ternyata
banyak
warga
yang
terketuk.
“Alhamdulillah, ada yang bantu kayu, uang, dan sebagainya,” kata Jamil. Tidak hanya warga Kucur, para siswa sebuah madrasah aliyah di Malang pun ramai-rami ikut membantu. “Mereka saat itu bertepatan sedang bakti sosial di sini, akhirnya kita kerahkan saja ke sana,” Jamil menjelaskan. Tak berapa lama renovasi rumah Lasman pun tuntas. Kini, rumah itu kembali berdiri tegak, dengan dinding bata dan lantai semen. Kata Jamil, “Jika dihitung biayanya sekitar sepuluh juta.” Usai perbaikan, Jamil minta agar Lasman aktif mengikuti kegiatan keislaman di lingkungannya seperti yasinan dan tahlilan. “Agar akidah dia tidak mudah goyah,” kata Jamil berharap. Tapi rayuan itu tak datang sekali. Gagal dengan rayuan pertama, dia datang lagi memberi rayuan lebih dahsyat. Menurut Jamil, Lasman
158
ditawari sepede motor asal mau ke gereja lagi. Namun, karena merasa pernah dibohongi, Lasman tak mempan lagi dirayu. Akan tetapi, bukan berarti kristenisasi berhenti. Gagal dengan santunan sosial, mereka menggunakan cara lain. Kali ini mereka mengundang warga hadir pada acara Natalan bersama. Untuk mencegah warga menghadiri acara tersebut, beberapa tokoh pemuda merencanakan pengajian. Mereka meminta Jamil mengisi pengajiannya. Namun Jamil punya pikiran lain. “Pengajian itu tidak menyelesaikan masalah,” katanya. Ia kemudian mengumpulkan tokoh-tokoh agama, baik dari Islam maupun Nasrani, membahas undangan Natal bersama. Akhirnya, mereka bertemu di kantor kelurahan dan beradu argumentasi. “Mereka berdalih untuk kerukunan antar umat beragama,” kata Jamil. Tentu saja alasan itu tidak tepat. Acara semacam itu, menurut Jamil mengandung unsur jebakan. “Umat Islam tidak boleh hadir pada acara Natalan. Haram hukumnya,” kata ayah satu anak ini. Jamil
yang
sempat
dicurigai
sebagai
orang
luar,
mampu
mamatahkan argumentasi mereka. Ia minta kepada mereka tidak mengulangi undangan seperti itu.
159
Desa Kucur terletak di kaki Gunung Panderman. Tepatnya sekitar 30 menit jika ditempuh dengan sepeda motor dari alun-alun kota Malang ke arah barat. Kristenisasi sudah lama berkembang di sini, sejak tahun 60-an. Kini, dari tujuh dusun yang ada, dua di antaranya mayoritas Nasrani, yaitu Dusun Ketoan dan Dusun Goden. Bahkan, kata Jamil, Desa Kucur seperti sudah dikepung Seminari, lembaga
pendidikan
yang
menyiapkan
calon
pendeta
dan
misionaris. “Ada tiga Seminari terletak di pinggiran Desa Kucur,” katanya Dari jumlah penduduk yang sekitar 5 ribu orang, hampir 1000 orang yang beragama Nasrani. Jamil asli kelahiran Desa Kucur, 36 tahun lalu. Setelah lulus SMP ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Miftahul Falah, Singosari Malang. Tamat dari pesantren, ia diajak temannya merintis Pesantren Hidayatullah di Ternate, Maluku Utara. Tahun 2005, ia kembali ke kampung halaman dan tak balik lagi ke Ternate. Sebenarnya di Ternate ia mengaku senang, tapi oleh para tokoh di Desa Kucur ia diminta mengabdi di kampungnya. “Waktu itu saya pulang menengok orangtua. Saat mau kembali malah digandoli,” katanya. Ia diminta membenahi madrasah tsanawiyah, satu-satunya sekolah menengah yang ada di Desa Kucur.
160
Madrasah tsanawiyah itu berdiri sejak tahun 1992. Tapi keadaanya, menurut Jamil, seperti hidup enggan mati tak mau. Di sisi lain, angka partisipasi pendidikan di Kucur juga rendah, kata Jamil, terutama pendidikan menengah. Lulus SD mereka memilih bekerja. Ada yang bekerja membantu orangtua sebagai petani, ada pula yang bekerja di pabrik-pabrik. Tak jauh dari Kucur memang daerah industri. Banyak pemuda-pemuda Kucur terserap di Industri tersebut Mengingat keadaan seperti itu, mencari murid bukan perkara gampang. Sama susahnya dengan mempertahankan para murid agar tidak putus di tengah jalan. “Pada awal saya masuk tahun 2005, hampir tiap hari saya berkunjung ke rumah-rumah murid, agar mereka tetap mau sekolah,” kata Jamil. Untuk memancing minat orangtua menyekolahkan anaknya, Jamil tidak terlalu membebani dengan uang sekolah. Rata-rata mereka membayar
Rp
10
ribu.
“Bahkan
lebih banyak
yang
tidak
membayarnya,” kata Jamil yang baru saja pulang umrah atas biaya Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Malang ini. Lantas, bagaimana dengan biaya operasional sekolah? Untuk hal ini, Jamil yang diberi amanah sebagai kepala sekolah menyandarkan kepada bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah. Dengan cara seperti itu, pelan-pelan angka partisipasi pendidikan terdongkrak. Indikasinya, di tahun 2005, murid Jamil hanya berjumlah 80 anak, namun kini sudah 330 anak.
161
Menghancurkan Patung Selain
membenahi
pendidikan,
Jamil
juga
aktif
membina
masyarakat. Salah satunya adalah para remaja. Karena membina remaja ini pula, Jamil pernah kesandung kasus. Suatu malam remaja binaan Jamil itu melancarkan sebuah aksi. Bukan meledakkan bom atau membunuh orang, melainkan menghancurkan patung di desa tetangga. Patung itu biasa digunakan sesembahan pemeluk agama Budha. “Anak-anak itu ingin menunjukkan bahwa patung-patung itu tak bisa berbuat apaapa, karena itu tak patut disembah,” kata Jamil mengutip alasan anak binaannya. Tentu saja yang punya patung marah. Mereka lantas mengadukan ke pihak aparat desa. Jamil pun akhirnya dianggap sebagai orang yang ikut bertanggung jawab. Pihak desa meminta agar patung itu dibangun kembali. Biaya pembangunannya dibebankan kepada kelompok
Jamil.
*Bambang
Subagyo/Suara
Hidayatullah
NOPEMBER 2011
162
26. Dakwah Mantan Si Jago Lari
Ketika para pemuda lebih suka pergi ke kota mengejar mimpi, ia malah memilih pergi ke pelosok desa. Apa yang ia cari? Waktu masih pagi. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Temanggung kelihatan masih sepi. Sarjono bergegas masuk ke kamar mandi. Tanpa segan-segan, air mandi itu ia minum sepuas-puasnya. Setelah puas minum, ia terus mandi. Byuurr…air mengguyur sekujur tubuhnya. Dan badannya pun terasa segar. Pagi itu Jono, begitu ia biasa disapa, baru saja lari menempuh jarak 15 kilometer. Jangan salah, ia bukan atlet lari yang sedang berlatih. Jono hanyalah siswa MAN yang lari untuk mengejar waktu sekolah. Itu ia lakukan saban hari. “Ya terpaksa, karena tak punya uang,” katanya kepada Suara Hidayatullah saat ditemui di sebuah masjid di Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bulan Juni lalu. Jono, lahir dari keluarga tak mampu. Orangtuanya tak sanggup membiayai sekolah anak sulungnya itu. Hanya karena punya tekad baja saja Jono akhirnya mampu menyelesaikan sekolahnya. Tapi ada hikmahnya, mungkin karena terbiasa berlari, Jono pernah menyabet juara pada lomba lari pelajar tingkat Provinsi Jawa
163
Tengah. Kejadian itu berlangsung sekitar 10 tahun lalu. Kini, kebiasan berlari itu ternyata masih dilakukan Jono. Bedanya, sekarang ia “berlari” menggunakan sepeda motor. Dengan sepeda motor keluaran 2005, pemuda yang kini berusia 25 tahun ini “berlari” dari Wonosari menuju beberapa pelosok desa di Kabupaten Gunung Kidul. Di sana jamaahnya sudah menunggu tausiahnya. Iya, Jono sekarang telah menjadi dai. Tak selalu ia bisa “berlari” kencang, karena medan jalannya yang tidak senantiasa mulus. Maklumlah jalan pedesaan, banyak batu dan kerikilnya. Ada dua desa yang rutin ia bina seminggu sekali, yaitu Dukuh Blimbing, Desa Giring, Kecamatan Palayan dan Dusun Ngepah, Playan, Kecamatan Saptosari. Di Blimbing ia biasa memberi pengajian pada Rabu malam, sedangkan di Ngepah setiap Senin malam. Dari Wonosari, ibukota Kabupaten Gunung Kidul, Blimbing berjarak sekitar 25 kilometer. Untuk mencapai dukuh ini mesti melewati hutan sekitar 10 kilometer. Jalannya cukup baik, tapi sepi. Seperti saat Suara Hidayatullah ikut menemani Jono, hampir satu jam perjalanan hanya beberapa kali bersimpangan dengan sepeda motor dan
164
mobil. “Karena medannya seperti itu, setelah ngaji saya tak berani pulang,” katanya. Ia memilih menginap di rumah salah seorang penduduk. Baru paginya ia kembali ke Wonosari. Menurut Jono, seandainya nekad pulang pun sebenarnya aman-aman saja. Tapi ia tak mau mengambil risiko. “Takut kalau ada hewan buas atau ban gembos di jalan.” Memang pernah terjadi, dalam perjalanan pulang, tiba-tiba ban motornya bocor. Berkilo-kilometer ia menuntun motornya hingga akhirnya bertemu dengan tukang tambal ban. Namun celakanya, saat merogoh kantongnya, innalillahi wa inna ilaihi rajiun, sesen pun duitnya tak ada. “Uangnya habis untuk beli bensin. Terpaksa saya memberi jaminan KTP,” katanya. Syukurnya, tukang tambal bannya baik hati. Dia memberi tambalan gratis. Allah Ta’ala selalu menolong hamba yang menolong agama-Nya. Banyak Tantangan Jono berdakwah di Blimbing sekitar 2,5 tahun lalu. Bermula dari pensyahadatan massal di Pesantren Al-Hadid, tempat di mana Jono sekarang menjadi salah satu pengasuhnya. Mereka yang masuk Islam itu berasal dari Blimbing, jumlahnya sekitar 50 orang.
165
Pasca pensyahadatan itulah ia dikirim Al-Hahid untuk membina para muallaf tersebut. “Kondisi mereka memprihatinkan,” kata Jono. Selain lemah akidah, mereka juga lemah ekonomi dan pendidikan. Boleh
dibilang
dukuh
ini
tergolong
miskin.
Hampir
semua
penduduknya bermata pencaharian petani. Hanya saja, karena termasuk sawah tadah hujan, mereka hanya bisa setahun sekali menanam padi, yakni pada musim hujan. Selebihnya mereka menanam palawija, terutama ketela. Di sini, untuk mendapatkan air, penduduk mesti mendatangkan truk tangki dari luar. Karena kemiskinannya itulah, hingga sekarang masih ada penduduk Blimbing yang makan tiwul, nasi yang terbuat dari ketela. “Biasanya dipakai untuk selingan,” kata Wasirun, salah seorang tokoh di Blimbing. Tiwul pernah menjadi makanan pokok rakyat pedesaan hingga tahun 80-an. Desa-desa miskin seperti Blimbing itulah yang biasa menjadi sasaran empuk dari gerakan Kristenisasi. Menurut Wasirun, agama Katolik berkembang di Blimbing sejak 1970 yang diawali dengan membangun SD Katolik di dukuh ini. Banyak orangtua yang memilih memasukkan anaknya di SD ini. Salah satunya adalah Budi (35). Pria yang berasal dari keluarga Muslim ini, akhirnya pindah ke Katolik. “Ya waktu itu karena disuruh saja,” kata ayah satu anak yang kini sudah kembali ke pangkuan Islam.
166
Sekolah itu hingga kini masih berdiri. Tentu saja mereka tak cuma mendirikah sekolah, mereka juga mengirimkan seorang penginjil dan
mendirikan
gereja.
Ternyata,
menurut
Jono,
gerakan
Kristenisasi tak hanya di Blimbing. “Gerakan ini hampir merata terjadi di Gunung Kidul,” katanya. Salah satu caranya dengan seolah-olah menolong dari jepitan utang. Jono berkisah, ia pernah menjumpai seseorang ibu yang nyaris di baptis. Orang tersebut terbelit utang. Lalu datanglah utusan gereja. Mereka sanggup membantu, asal datang ke gereja. Si Ibu ini pun menurut. Untungnya, saat hendak di baptis ia ragu. Ia bilang mau minta ijin kepada anaknya. Nah, pada saat itulah Jono datang. “Ketika saya tanya, ia bilang terpaksa terima tawaran gereja karena tidak ada pilihan lain,” kata Jono. Ia sudah berusaha pinjam kepada tetangganya sesama Muslim. Namun bukannya dibantu, ia malah sering diolok-olok. “Padahal Islam mengajarkan sesama Muslim itu ibarat satu tubuh. Bila ada anggota tubuh yang sakit, maka bagian yang lain ikut merasakan,” Jono menegaskan. Untuk membuktikan ucapannya itu, Jono kemudian menggalang dana di kampusnya. “Alhamdulillah, dapat sekitar Rp 600 ribu,” kata Jono yang kini kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dana itu, kata Jono, memang belum bisa menebus utangnya si Ibu, tetapi setidaknya ia sudah menunjukkan bahwa Islam itu peduli dengan sesama.
167
Tantangan lain dakwah di Blimbing adalah animisme. Kata Jono, “Masih banyak orang yang percaya ke pohon.” Seperti nama desanya, masyarakat Blimbing punya kepercayaan pada pohon blimbing. Mereka menganggap pohon ini bisa mendatangkan kebaikan atau keburukan. Pada waktu-waktu tertentu warga mengirim makanan ke pohon yang besarnya tak lebih dari paha orang dewasa ini. Ironisnya, pohon itu letaknya persis di belakang Masjid Al-Amin, tempat Jono biasa memberi pengajian. “Saya sudah sering katakan bahwa percaya kepada pohon itu syirik, tapi masih saja orang percaya,” katanya. Bahkan, ada salah seorang jamaahnya yang bersedia membeli pohon itu, untuk kemudian ditebang, tapi tidak mendapat ijin dari warga. Menurut Jono, tidak mudah membina taklim hingga mampu bertahan hampir tiga tahun. Kini, kata Jono, setiap pengajian yang hadir antara 20 hingga 50 orang. Untuk menarik minat jamaah, kadang Jono memutarkan film dari laptop-nya. “Cuma sekarang laptop saya sudah rusak, jadi tak bisa memutar lagi,” kata pemuda yang mendapat beasiswa dari Pesantrel Al-Hadid ini. Barangkali ada yang mau membantu?* Bambang Subagyo/Suara Hidayatullah, SEPTEMBER 2011
168
27. Balada Hafizh di Sarang Pelacur
Pernah diguna-guna. Meski demikian, tak pernah berputus asa. Kini, dakwahnya menuai simpati warga. Bahkan, puluhan santri belajar menghafal al-Qur’an di rumahnya. Dentuman musik menyeruak di salah satu wisma bordil di Dolly. Di dalamnya terlihat beberapa perempuan duduk sambil bermain kartu. Sebagian lainnya mejeng (pamer diri) di depan wisma. Pakaiannya menantang syahwat, sambil mengepulkan asap rokok dari bibirnya yang dipoles warna merah menyala. Tanpa malu-malu mereka menggoda pria yang lewat. “Mampir, Mas!” kata salah satu wanita penjaja seks itu. Ada ratusan wisma di komplek pelacuran yang terkenal di Surabaya, Jawa Timur itu. Di antara wisma itu terselip satu rumah yang tampilannya beda. Rumah itu kecil dan sederhana. Bahkan atap plafon terasnya sebagiannya sudah rontok. Tidak ada satu pun barang berharga di ruang tamunya, kecuali selembar karpet lusuh dan sebuah kalender yang menempel di dinding. Bagian depan rumah itu, terpasang pagar besi berbentuk jeruji seperti tombak. Persis di depan pagar itu berdiri papan nama bertuliskan
“Sekretariat
Jam’iyyah
Hufazh
Sawahan
(JHS),”
organisasi para penghafal al-Qur`an.
169
Tak salah, penghuni rumah itu memang penghafal al-Qur`an (hafizh) bernama Ahmad Sholihin dan Asmaul Husna. Mereka sepasang suami-istri. Sholihin, begitu biasa dipanggil, adalah Ketua JHS. Ketika shalat Magrib, di ruang tamu itu dilaksanakan shalat berjamaah. Bertindak sebagai imam, Sholihin sendiri, sedangkan jamaahnya beberapa anak kecil. Shalat Magrib itu, kata ayah satu anak ini, digelar tiap hari. Usai shalat mereka kemudian mengaji. Anak-anak itu memang santri Sholihin yang datang setiap malam. Sebagian mereka berasal dari Dolly dan Jarak, sebagian lagi dari Bayu Urip, desa tetangga lokalisasi pelacuran tersebut. Jumlah santri yang mengaji di rumah Sholihin sekitar 20 anak. Tak hanya malam saja rumah Sholihin dipakai mengaji. Tapi, setiap pagi dan siang juga ada. “Hari Minggu libur,” kata Sholihin. Khusus waktu pagi dan siang yang mengajar istrinya, karena Sholihin harus mengajar di sebuah sekolah dasar tak jauh dari komplek lokalisasi pelacuran yang konon terbesar ketiga se-Asia Tenggara itu. Setelah pulang mengajar di SD sekitar pukul dua siang, Sholihin istirahat sebentar. Usai asar ia berangkat lagi menunaikan tugas dakwah yang lain, mengajar di Taman Pendidikan Al-Qur`an (TPA) An-Nadliyah, beberapa ratus meter dari rumahnya. Di sini santri Sholihin lebih banyak lagi, sekitar 75 anak. ”Dulu pernah mencapai 150 anak. Setelah muncul TPA lain, sebagian pindah ke TPA yang lebih dekat dengan rumahnya,” katanya.
170
Di TPA, Sholihin mengajar hingga magrib, dibantu empat orang ustadzah. Nahdliyah menempati lantai dua dan tiga di kantor NU Sawahan itu. Di TPA ini pula tak ada gaji yang pasti, termasuk Sholihin. “Niatnya dulu memang tidak mencari bayaran,” ujarnya. Sekalipun begitu gaji tetap ada, hanya jumlahnya kecil, Rp 100 ribu per bulan. “Itu untuk transportasi saja,” katanya. Para santri sendiri membayarnya suka rela. Menurut Sholihin, ada yang membayar Rp 2 ribu, Rp 3 ribu, Rp 5 ribu, dan paling tinggi Rp 10 ribu. “Yang tidak membayar juga banyak,” kata lulusan Pondok Pesantren Nurul Huda, Singosari, Malang ini. Dari iuran santri terkumpul Rp 250 ribu. Tentu saja untuk membayar uang transportasi para ustadz saja jumlah itu tidak cukup. “Kekurangannya saya carikan dari donatur,” kata Sholihin. Sholihin mengaku, “Saya mendapat gaji dari SD, lima ratus ribu rupiah.” Ya, hanya itu pendapatan tetap Sholihin. Secara matematis jumlah itu tentu tidak cukup untuk menghidupi keluarga, apalagi hidup di kota besar seperti Surabaya. Namun, pria berperawakan kecil ini selalu yakin dengan pertolongan Allah. “Kalau memikirkan al-Qur`an, insya Allah kita dapat semua,” katanya yakin. Tapi sebaliknya, kata Sholihin, jika berpikir dunia, hafalan Qur`annya rusak, bisa jadi dunianya juga rusak. Apa yang diyakini Sholihin terbukti. Meski gajinya kecil, tapi kini ia sudah siap-siap berangkat haji. Tapi karena istrinya juga ingin ikut,
171
akhirnya ia menundanya. “Dananya belum cukup untuk berdua,” kata Sholihin. Sholihin telah memilih dakwah sebagai jalan hidupnya. Tentu saja itu tak mudah, apalagi berdakwah di daerah ‘hitam’. Tantangannya tidak ringan. Pernah selama satu bulan ia tak bisa makan nasi. “Setiap kali makan nasi, selalu muntah,” katanya. Penyebabnya, kata Sholihin, persis empat langkah di depan rumahnya berdiri wisma karaoke. Bau minuman keras, dentuman musik yang memekakkan telinga, dan pakaian para wanitanya yang mengumbar syahwat adalah pemandangan tiap hari di wisma tersebut. Sudah pasti itu pemandangan yang tidak baik bagi para santri yang mengaji di rumahnya. Menyadari hal itu, ia bicara baikbaik dengan pemilik wisma. “Saya minta ditutup, karena ada anakanak ngaji,” katanya. Permintaan
mulia
itu
bukannya
diterima,
pemiliknya
malah
melontarkan kata-kata tak sedap. Tidak cukup hanya itu, dia malah bertindak lebih jauh. Dia mengirimkan ilmu hitam kepada Sholihin. Akibatnya,
selama
sebulan
lebih
salah
satu
pengurus
NU
Kecamatan Sawahan ini tak bisa makan nasi. Menghadapi serangan itu, Sholihin hanya bisa berdoa. “Semuanya saya pasrahkan kepada Allah,” ujarnya. Doa pria yang tidak suka merokok ini dijawab Allah melalui kiainya. “Kiai saya minta saya banyak membaca shalawat,” aku Sholihin yang perlahan-lahan dapat kembali menikmati nasi.
172
Memperbanyak Titik Putih Ketika kecil, Sholihin pernah melihat orang yang membaca alQur`an tanpa melihat. “Saya kagum, kok bisa ya?” ujarnya. Sejak itulah ia lantas bertanya, “Bagaimana caranya agar bisa seperti itu?” Orang tersebut kemudian menyarankan Sholihin masuk pesantren. Setelah orang tuanya mengizinkan, pilihan Sholihin jatuh ke Pondok Pesantren Nurul Huda, Singosari, Malang. Di pesantren ini, Sholihin menekuni tahfizhul Qur`an (menghafal al-Qur`an). Sembilan tahun kemudian (1993-2002), Ketua JHS ini berhasil memindahkan seluruh isi Kitab Suci itu ke dalam hati dan pikirannya. Guna memperlancar hafalannya, Sholihin lalu pindah ke Pesantren Langitan, Tuban Jawa Timur. Setelah tiga tahun menimba ilmu di Langitan, Sholihin pulang kampung. Ada satu pesan kiainya yang terpatri kuat di dalam benaknya. Pesan itu isinya, “Ajarkanlah al-Qur`an, sekalipun hanya satu ayat.” Setibanya di rumah, ia mengamalkan ilmunya dengan mengajar mengaji di mushalla dekat rumahnya. Rupanya kiprah Sholihin itu terbaca oleh pengurus NU Sawahan. Pada 2006, organisasi ini hendak membuka TPA di komplek pelacuran Dolly, maka Sholihin diminta menjadi ustadznya. Tanpa pikir panjang, ia pun menyanggupinya.
173
Awalnya, Sholihin memboyong tiga santri ke tempat barunya itu, kantor NU Sawahan. Gerak gerik Sholihin rupanya diperhatikan para orang tua di sekitar Dolly. Beberapa di antara mereka lalu menitipkan anaknya kepada Sholihin. Seiring perjalanan waktu, kini jumlah santrinya terus berkembang. Ibarat membuat titik putih di lembaran hitam, ke depan Sholihin ingin memperbanyak titik putih di Dolly. “Dengan begitu, mudah-mudahan daerah ini yang semula ‘hitam’, berubah menjadi ‘putih’,” katanya. Semoga Allah meridhai.* Bambang Subagyo/Suara Hidayatullah, Juli 2011
174
28. Sepercik Berkah di Bumi Hulontalo
Sekelumit kisah seorang dai yang membangun pesantren. Anaknya meninggal di saat uang di kantong tinggal Rp 25 ribu. Di Masjid Baiturrahman, Kampung Teladan, Kecamatan Kota Barat, Provinsi Gorontalo, suatu sore. Lelaki berjenggot lebat yang masih berkeringat itu memarkir motornya di sisi masjid. Dia mampir untuk shalat Zhuhur, setelah menempuh perjalanan cukup jauh dari kampung lain. Hanya belasan jamaah yang ada. Pria itu, Sumardin Muhammad Amin (40), dipersilakan jadi imam shalat. Saat takbir untuk rukuk, sujud, dan bangkit dari keduanya, hingga shalat selesai, suara Sumardin lirih sehingga hanya terdengar kata “Allah” saja. Sedangkan kata “Akbar” tak terdengar jelas oleh jamaah. Entah karena dikira mengada-ada cara memimpin shalatnya atau alasan lain. Setelah selesai shalat Zhuhur dan wirid, lalu Sumardin melaksanakan shalat sunnah. Tiba-tiba, terdengar suara keras dari luar masjid. Seperti ada sesuatu yang dibanting. Sumardin tetap melanjutkan shalat sunnahnya, tapi hatinya sedikit gelisah. Begitu selesai shalat, dia langsung keluar. Dia kaget melihat helmnya rusak berat.
175
“Saya tidak tahu siapa yang membanting,” kata pria yang biasa disapa Pak Sum itu. Dia juga tak hendak mengusut. Dia memilih melanjutkan perjalanan. Karena tidak ada yang lain, helm yang sudah rusak itu tetap dia pakai. Itulah sekelumit pengalaman Sumardin saat berdakwah di Bumi Hulontalo. Dia menjalani debut dakwahya di Pesantren Hidayatullah Gorontalo sejak April 2004. Cukup berat pada awalnya, sebab saat itu kondisi pesantren dalam masa transisi. Sebelum bertugas di Gorontalo, suami dari Mila Sarmila ini ikut membantu perintisan Pesantren Hidayatullah Pekanbaru selama dua tahun. Kemudian ditugaskan ke Dumai bulan Oktober 1997. Mimpi Aneh Ada pengalaman lain yang membekas di hati Sumardin. Suatu ketika, jarum jam sudah menunjukkan pukul 01:00 dini hari. Sumardin dan keluarga baru saja tiba di Pesantren Hidayatullah Gorontalo, Jalan Teladan, Kelurahan Tenilo Limboto, awal April 2004. Dia sempat istirahat sebentar. Saat shalat Shubuh tiba, Sumardin bergegas pergi ke masjid untuk menunaikan panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setelah berkenalan di hadapan jamaah, dia pulang ke rumah untuk bersih-bersih dan merapikan hunian di tempat tugas barunya itu.
176
Lantaran lelah tak tertahankan, akibat menempuh perjalanan jauh dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, hingga tiba di Gorontalo, akhirnya pukul 10 menjelang siang dia tertidur. Anehnya, dalam tidurnya Sumardin bermimpi berkelahi dengan santri. Perkelahian itu begitu sengit. Si santri mencabut badik, Sumardin juga melakukan hal yang sama. Ketika hendak saling terjang dan tusuk, mendadak Sumardin bangun. Dia kaget. Napasnya tersenggal-senggal dan keringatnya terus mengucur. “Apa maksudnya mimpi itu?” gumamnya. Sumardin tak tahu jawabannya. Dia segera keluar rumah untuk menyegarkan badan. Namun tak dinyana, saat berdiri di depan rumah, sepelemparan batu dari tempatnya berdiri, terlihat di depan matanya sepasang santri putra dan putri ngobrol di bawah pohon. Sumardin marah besar. Dipanggilnya kedua santri itu lalu dihukumnya. Sejak itu dia umumkan, jika ada santri yang kedapatan melanggar syariah langsung dikeluarkan. “Mimpi itu seperti mengisyarakatkan agar saya segera memulai bekerja dari sini, membereskan internal dulu, baru ke luar,” katanya.
177
Anak Meninggal Sudah berjalan tiga bulan Sumardin berdakwah di Gorontalo. Allah pun menguji lagi ketabahannya. Sang buah hati tercinta, Aisyah, meninggal dunia akibat penyakit demam yang dideritanya. Meski sedih, pria bertubuh subur ini berusaha tabah. Namun, perasaan bingung sempat mendera pikirannya. Ketika itu, dia akan membeli kain kafan dan mengurus pemakaman, sementara uang di sakunya hanya tersisa 25 ribu rupiah. Istrinya pun hanya bisa menangis. Sementara di asrama, ada 40 santri yang harus sekolah dan makan. Semua santri terpaksa sekolah di luar, karena Pesantren Hidayatullah Gorontalo belum mampu menyelenggarakan pendidikan formal lantaran keterbatasan tenaga, sarana dan dana. Beras di gudang pun tinggal sedikit. Bantuan dari sebuah yayasan sebesar Rp 1.250.000 dan dari sejumlah donatur Rp 400 ribu per bulan, jelas tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan pesantren. Kalau dihitung-hitung, butuh Rp 6 juta untuk operasional pesantren selama sebulan. “Innalillahi wainna ilaihi rajiun, anak saya meninggal tadi malam,” kata Sumardin kepada jamaah shalat Shubuh. Sontak, semuanya kaget . Tak diduga, ada seorang tamu yang menginap di pesantren malam itu yang langsung mengacungkan tangan siap menanggung semua
178
ongkos pemakaman. Maka paginya Sumardin langsung ke kota mencari kain kafan. Dan hari itu juga para pimpinan Cabang Hidayatullah di Gorontalo juga datang melayat dengan membawa bantuan 150 kilo gram beras. Selalu Ada Jalan Keluar Ternyata ujian belum selesai. Tidak lama berkabung setelah wafat anaknya, datang tagihan dari Madrasah Aliyah Negeri Model Gorontalo. Jumlahnya Rp 700 ribu untuk uang komite sekolah. “Kalau tidak dibayar segera, kata pihak sekolah, santri yang bersekolah di tempat itu tidak bisa ikut ujian,” kisah Sumardin. Tak lama berselang, datang juga surat tagihan dari SMP Muhammadiyah Pone yang meminta pembayaran uang komite sekolah, besarnya Rp 500 ribu. Memang, di dua sekolah inilah santri-santri Sumardin bersekolah. Kepala Sumardin pusing, karena dia tak punya uang untuk melunasi semuanya itu. Tak ada pilihan, akhirnya Sumardin langsung menghadap ke kepala sekolah tersebut. Sumardin menjelaskan keadaan yang sebenarnya dan minta agar santrinya bisa diberikan keringan atau penagguhan pembayaran, mengingat terbatasnya dana. Sumardin pun diberi tenggat waktu satu pekan untuk segera melunasi semua tagihan itu. Sejak peristiwa itu, Sumardin mulai memikirkan mendirikan sekolah sendiri. Apalagi, setelah melakukan pemantauan, santrinya yang
179
sekolah di luar dinilai tidak efektif. Sebab, kadang tidak bisa dikontrol perkembangannya. Akhirnya,
seluruh
pengurus
pesantren
bekerja
keras
untuk
mewujudkan sekolah. Silaturahim dan kerjasama dengan berbagai pihak ditingkatkan. Tak lupa, selalu berdoa kepada Allah Ta’ala agar dimudahkan segala urusannya. Pada akhir 2007, berdirilah Madrasah Diniyyah Salafiyyah (MDS) Lukman Al-Hakim di komplek Pesantren Hidayatullah Gorontalo. “Kuncinya, kami berusaha, sabar dan tawakal saja. Alhamdulillah, sekarang sekolah kita sudah berjalan dengan baik,” katanya kepada Suara Hidayatullah penuh syukur. Lulusan MDS kebanyakan langsung dikirim ke sekolah-sekolah unggulan di beberapa daerah di Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Ada juga yang langsung mengabdi ke cabang-cabang Hidayatullah. Selain madrasah, kini Hidayatullah Gorontalo sudah memiliki masjid permanen bernama Masjid Raudah atas bantuan Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib pada 2008. Selain itu, secara rutin Dinas Sosial Kabupaten Gorontalo memberi dana untuk operasional pesantren. “Alhamdulillah, semua karena kerjasama
berbagai
pihak,
keikhlasan
dalam
beramal
dan
menyebarkan Islam,” kata ayah dari Hasanah, Rifka Khofifah,
180
Aisyah,
Fathun
Qorib,
dan
Fikro.
*Ainuddin
Chalik/Suara
Hidayatullah, JUNI 2011
181
29. Farid Imam Prakoso Memadukan Dakwah dengan Pengobatan
Berdakwah tidak selalu dengan ceramah, tapi bisa juga dengan pengobatan. Terbukti efektif. Matahari pagi belum menampakan sinarnya. Namun, Farid sudah melangkahkan kakinya untuk berdakwah. Meski sudah berangkat pagi, tapi lelaki berkulit sawo matang itu tetap saja telat. Bahkan dua jam lamanya. Jamaah yang sejak tadi menunggu pun sudah bubar. Rupanya, penyebab keterlambatan itu adalah Leo, rekannya yang sehari sebelumnya berjanji menjemput Farid di terminal Boyolali, Jawa Tengah. Leo telat menjemput Farid dengan alasan sepeda motornya diperbaiki di bengkel. “Kenapa tidak pinjam tetangga atau naik angkot, Leo?” tanya Farid. Leo diam saja. “Ya begitulah kalau tak mau disiplin,” Farid menegaskan. Bukannya meminta maaf, Leo justru meradang. Ia memarahi Farid bahkan hendak menamparnya. Melihat itu, Farid berusaha tenang dan tak tersulut emosi.
182
“Anda bisa saja menang melawan saya, tapi Anda belum tentu menang melawan Tuhan saya,” ungkap Farid mantap tanpa takut sedikit pun. “Tahu apa Anda tentang Tuhan,” kilah lelaki yang memiliki tato di tangannya itu dengan suara meninggi. “Tuhan saya pemberi kebahagiaan dunia dan akhirat,” jawab Farid diplomatis. “Lalu, kebahagiaan apa yang bisa diberikan Tuhanmu kepadaku,” kata Leo yang beragama Katolik itu. “Kebahagiaan dunia dan akhirat. Anda akan begini terus selama cara hidupmu seperti ini,” ujar Farid. Leo makin bingung. Dahinya berkerut. Di hatinya ada sesuatu yang berkecamuk. “Apa saya bisa bahagia, lha wong saya miskin. Saya juga penjual minuman keras,” ungkap Leo. Farid pun menjelaskan, kekayaan itu hakikatnya bukan di materi, tapi di dalam diri. “Jika kita percaya pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, insya Allah, ia akan memberikan rezeki yang cukup dan berkah kepada kita,” jelas Farid. Mendengar hal itu, Leo semakin penasaran. Rasanya, ada sesuatu yang baru ia dengar selama ini. Leo pun ingin tahu lebih jelas
183
tentang Allah. “Boleh saya ikut ke Salatiga, tempat Pakde Farid?” pintanya. Akhirnya, setelah gagal mengisi pengajian tentang Thibbun Nabawi di Boyolali, Farid pulang ke Salatiga ditemani Leo. Mereka pulang dengan menggunakan bus. Di sepanjang jalan, Leo banyak bertanya tentang Allah dan Islam. Di Salatiga, sembari makan di sebuah warung kecil, Farid menjelaskan tentang al-Qur`an. Lebih dari sejam, hingga akhirnya Leo pun paham dan mulai menerima penjelasan Farid. Farid lalu memberikan sebuah buku tentang Islam. Tidak hanya itu, Farid pun berusaha mengobati sakit ambeien yang diderita Leo. Alhamdulillah, sembuh. Tanpa diduga, suatu saat Leo melaksanakan shalat, padahal belum masuk Islam. Hingga akhirnya, secara sadar, Leo pun mengikrarkan dirinya sebagai Muslim. Menurut Farid, itu adalah salah satu pengalaman yang paling berkesan. Dia bisa mengobati pasien dan sekaligus mengajaknya masuk Islam. Kejadian seperti itu bukan kali pertama bagi Farid. Sudah banyak pasien yang masuk Islam atau kembali ke jalan yang benar setelah mendapat hidayah-Nya melalui sentuhan tangannya. “Jumlah pastinya kurang tahu. Tapi sudah banyak pasien yang masuk Islam,” katanya.
184
Seperti yang dilakukannya pada Daniel, warga Salatiga. Daniel adalah seorang etnis China yang beragama Konghucu. Saat itu, ia mengantarkan ibunya yang sakit tiroid akut yang sudah bertahuntahun belum juga sembuh. Daniel sangat menyangi ibunya. Bahkan, apa pun akan dilakukan Daniel demi kesembuhannya. Lantas, Farid mengobatinya dengan cara totok dan ruqyah. Dengan izin Allah, setelah sepekan, ibu tersebut sembuh. Daniel pun senang bukan main. Lebih dari itu, ia kagum dengan agama yang dianut Farid. Tak lama setelah itu, secara sadar ia memeluk Islam. Selain Daniel, ada juga seorang ibu yang memiliki tiga rumah sakit besar di Jakarta. Selain pemilik rumah sakit, ia juga seorang dokter. Tapi, kata Farid, dokter tersebut tidak mau diobati oleh dokter. Tapi entah kenapa, dokter tersebut malah mau diobati oleh Farid. Farid mengobatinya hanya dengan akupuntur dan menyuruhnya ber-istighfar. Anehnya, ibu tersebut justru nangis tersedu-sedu bahkan hingga terduduk. “Obati saya, Pak. Saya ingin kembali ke jalan Allah,” katanya. Hasilnya, ibu itu pun sembuh. Farid ditawari menjadi akupunturis di rumah sakitnya. Tetapi, tawaran itu ditolak Farid karena ingin mengabdi pada masyarakat di Salatiga.
185
Dirikan Klinik Selain menjadi terapis Thibbun Nabawi di rumahnya, Perum Dliko Indah Gang 17 N0. 236 B Salatiga, Farid juga mendirikan klinik pengobatan ala Rasulullah yang bekerjasama dengan Hidayatullah Salatiga. Beberapa kali dalam sebulan, Farid bersama timnya mengadakan pengobatan semi sosial di daerah mayoritas non-Muslim. Misalnya, daerah Kopeng, objek wisata Warak, Salatiga Permai, Randu Acir, Ploso, Getasan, dan Grawan. “Kita tampilkan Islam yang baik, damai, dan mengesankan. Dan, ternyata respon mereka sangat bagus. Kita disambut baik dan diberi suguhan tiap kali datang,” paparnya. Tiap kali bakti sosial, katanya, pasiennya selalu membludak. Mereka dari berbagai kalangan. Klinik
tersebut
menyediakan
sebelas
jenis
pengobatan.
Di
antaranya, bekam, ruqyah, terapi psikologi, akupuntur, akupresur, bio elektrik, terapi obesitas, totok aura wajah, dan sebagainya. Dedikasi Farid dalam menggunakan Thibbun Nabawi sebagai dakwah diakui Rosyid, Ketua Pimpinan Daerah Hidayatullah Salatiga. “Beliau sosok terapis handal sekaligus dai. Saat mengobati pasien pasti diselipkan dakwah meski kepada non-Muslim,” katanya. Kiprah Farid, ujar Rosyid, sudah banyak dirasakan oleh warga Salatiga.
186
Ahli Pengobatan Lelaki yang akrab disapa Farid ini memiliki nama lengkap Farid Imam Prakoso. Sejak kecil, suami Nur Gesliana ini “hobi” memijat. Jika ada orang sakit, tangannya spontan mengobati. “Banyak orang yang mengaku suka pijitan saya. Penyakit mereka juga sembuh,” kata lelaki kelahiran 1968 ini. Bermula dari “hobi” itu, lelaki yang mengaku masih keturunan dari Raja Dompu, Abdul Majid Rasol, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini terus mengasah hobinya. Ketika kuliah di Unissula, ia belajar berbagai pengobatan dari puluhan terapis. Bahkan pernah belajar akupuntur dari Rebeca, akupunturis handal asal China selama lima tahun. Tidak hanya itu, Farid juga pernah belajar Thibbun Nabawi dari Tuan Haji Ismail bin Ahmad, pemilik Herbal Penawar Al-Wahida (HPA) di Malaysia. “Saya pernah belajar berbagai pengobatan di China dan Malaysia,” akunya. Farid pun menguasai berbagai jenis pengobatan, di antaranya akupuntur, akupresur, bio elektrik, bekam, ruqyah, dan pengobatan lainnya. Ia juga mendapat sertifikat dari Persatuan Akupunkturis Seluruh Indonesia (PAKSI). Karena keahlianya itu, banyak pasien yang merasakan mujarabnya pengobatan Farid. Tidak hanya masyarakat biasa, tapi juga pengusaha, pejabat, hingga direktur perusahaan terkenal banyak yang berobat kepadanya. Tak terkecuali dari non-Muslim yang
187
kemudian ada di antara mereka yang masuk Islam. *Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah, MEI 2011
188
30. Muslim Abdullah: Membendung Kristenisasi dengan Buntil
Tak ingin umat Islam di dusunnya terus menjadi korban kristenisasi, seorang penjual buntil bangkit melindungi saudara-saudaranya. Buntil adalah makanan yang terbuat dari daun pepaya yang bentuknya bulat sebesar kepalan tangan anak-anak. Nah, dengan buntil itulah Muslim Abdullah (32) ‘membendung’ kristenisasi di kampungnya,
Dusun
Parwaganda,
Desa
Kaliori,
Kecamatan
Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah. Kisahnya berawal pada tahun 1999. Begitu lulus STM (sekarang SMK), Muslim, begitu biasa dipanggil, langsung merantau ke Jakarta. Seperti pemuda di kampungnya, ia ingin mengadu nasib di Ibu Kota yang gemerlap itu. Tak berapa lama ia kemudian mendapat pekerjaan di bengkel mobil. Sehari ia dibayar 30 ribu rupiah. Sekali waktu ia mudik ke kampungnya, menengok kedua orangtuanya. Namun, ada yang menggelisahkan Muslim setiap kali ia pulang kampung.
Bukan
keadaan
orangtuanya,
melainkan
gerakan
kristenisasi yang mulai menggerogoti aqidah umat Islam di desanya. Metodenya sangat halus. “Misalnya, mereka sering mengajak rekreasi anak-anak,” kata Muslim.
189
Pada waktu lain, kata Muslim, berdalih kerukunan umat beragama. Beberapa orang Nasrani hadir pada perayaan hari-hari besar agama Islam. Sebaliknya, mereka juga mengundang warga Kaliori saat merayakan hari Natal. Celakanya, ada sebagian warga tertarik dengan undangan itu. “Karena di sana diajak makan-makan,” kata Muslim. Roda kristenisasi terus menggelinding. Muslim makin gelisah, apalagi ia tahu beberapa tetangganya sudah ‘hijrah’ agamanya, dulu Islam kini Katolik. “Jumlahnya ada sepuluh orang,” katanya. Puncak kegelisahan Muslim saat mereka membangun gereja di desa yang dulu seluruh penduduknya beragama Islam itu. Sejak saat itulah, Muslim memutuskan tidak kembali ke Jakarta. Ia memilih menetap di kampung kelahirannya. Ia tak ingin umat Islam di dusunnya kelak tinggal sejarah karena kristenisasi. Kaliori terletak 20 kilometer dari kota Purwokerto. Berada di tengah hutan. Desa berpenduduk sekitar 10 ribu ini diselimuti berbagai pohon. Desa ini dibelah oleh jalan raya yang menghubungkan Banyumas dengan Purwokerto. Persis di pinggir jalan raya itu berdiri Sekolah Tinggi Injil Indonesia (STII). Di seberang STII, berdiri bukit seluas 100 hektar lebih. Di bukit inilah pada tahun 1985 dibangun Gua Maria, tempat ziarah dan doa bersama umat Katolik. Setiap hari ada saja umat Katolik dari Purwokerto dan sekitarnya yang
190
datang. Puncaknya pada hari-hari besar Katolik, tempat ini dikunjungi ribuan umat Katolik di Purwokerto dan sekitarnya. Kembali ke soal pembangunan gereja, Muslim tak mau kecolongan lagi. Ia mengadakan ‘perlawanan.’ Ia berkirim surat ke 20 instansi terkait, termasuk DPRD Banyumas. Tak hanya berkirim surat, ia juga langsung mendatangi kantor dewan. Intinya, ia dan umat Islam di Kaliori keberatan atas pembangunan gereja. Karena ‘perlawanan’ itu, ayah dua anak ini terpaksa harus berurusan dengan aparat dari Polsek, bukan hanya sekali tapi hingga tiga kali. Tak hanya itu, ia juga didatangi aparat Koramil sebanyak tiga kali. Rupanya, pihak aparat kompak, minta Muslim menghentikan perlawanannya. Ia dituding mengganggu kerukunan umat beragama. Muslim bergeming, bahkan berbalik menunjuk pihak Kristen. “Justru mereka yang melanggar hukum, kok saya dibilang mengganggu kerukunan beragama,” tegasnya. “Setiap agama punya hak untuk berkembang,” kata Muslim menirukan aparat saat diperiksa. Muslim pun cepat menukas, “Mereka punya hak, saya pun punya kewajiban untuk melindungi umat saya.” Perlawanan pria yang pernah nyantri di salah satu pesantren di Jawa Tengah ini berhasil. Kini, pembangunan gereja itu berhenti.
191
Muslim juga melakukan pembinaan kepada umat Islam sendiri. Ia menggelar berbagai pengajian, juga mendirikan Taman Pendidikan al-Qur`an (TPA) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Selain itu, ia mengirim pula beberapa pemuda belajar di pesantren. Kelak, mereka diharapkan kembali ke Kaliori untuk mengembangkan dakwah di desa yang terletak persis di belakang Bumi Perkemahan Kendalisada itu. Jualan Buntil Lebih jauh lagi, anak kelima dari tujuh bersaudara ini bercita-cita membangun lingkungan yang islami di kampungnya. Untuk itu, ia terus menyemai bibit-bibit generasi Islam, lewat panti asuhan yang ia dirikan tahun 2008. Terletak di sebelah rumahnya, panti itu dibangun dari bahan sederhana: berdinding gedhek (bambu) dan berlantai tanah. Ada dua bangunan kecil di situ, satu untuk asrama anak-anak dan satunya untuk ruang belajar. Kini, panti yang diberi nama Nurul Ummah Kendalisada ini menampung 15 anak. Pagi mereka sekolah di luar, sedang sore dan malamnya belajar ilmu-ilmu agama. Semuanya gratis, mulai dari biaya pendidikan hingga makan dan pakaian. Tentu saja tidak mudah ‘menghidupi’ dan mendidik 15 anak. Apalagi, dia sendiri mata pencahariannya hanya penjual buntil. Pada
192
masa-masa
awal,
ia
mengaku
sempat
bingung
memenuhi
kebutuhan anak asuhnya. “Ada yang minta uang sekolah, buku, seragam, dan sebagainya, sementara uang kosong. Semalaman saya tidak bisa tidur,” katanya. Pernah juga kepalanya pusing, memikirkan beras di dapur yang sudah ludes. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tak pernah terlambat menolong hamba-Nya yang memperjuangkan agama-Nya. Pertolongan itu bentuknya rupa-rupa. “Misalnya, ada toko yang membolehkan utang,” kata Muslim. Atau tiba-tiba ada pelanggan buntilnya yang telepon, minta datang ke rumahnya. “Saya diminta mengambil uang, kadang jumlahnya sampai 500 ribu rupiah,” katanya. Tiap hari ayah dua anak ini menjual buntil. Pukul empat pagi ia sudah meluncur dengan sepeda motornya menerobos udara dingin. Ia melibas jalan puluhan kilometer menjelajah kota Purwokerto menjajakan buntilnya. Dari satu perumahan ke perumahan lainnya, dari satu kampung menuju kampung lainnya. Pembelinya, biasanya para ibu-ibu. “Maaf Bu, minta waktu sebentar. Begini, saya punya panti di rumah, silakan datang kalau ada waktu,” begitu biasanya Muslim menginformasikan pantinya. Sosialisasi cara konvensional seperti itu, ternyata cukup jitu. Tak jarang, pelanggannya datang berkunjung sambil membawa bantuan. Ada yang membawa sembako, ada pula yang memberi uang.
193
Belum lama ini, Muslim memaksakan diri membeli sebidang tanah. “Dibilang memaksakan karena memang tak punya duit,” katanya. Di sisi lain, tanah itu sudah diincar non-Muslim dan telaknya persis di depan panti. Berkat dukungan umat Islam di Purwokerto, tanah akhirnya bisa dilunasi. Ke depan, kata Muslim, di tanah tersebut akan didirikan SD Islam. Maklum, SD yang ada jaraknya cukup jauh, sekitar setengah jam jika ditempuh dengan jalan kaki. Hanya saja, ia tak tahu pembangunan itu dimulai kapan. “Tergantung dananya, Pak,” katanya. *Bambang Subagyo/Suara Hidayatullah, Maret 2011
194
31. Dedikasi Daiyah ’Orang-Orang Buangan’
Siti Thoyyibah Lima tahun ia membina orang-orang tak waras, gelandangan dan pengemis. Berkat kesabaran dan ketulusannya, anak-anak liar itu kini menjadi baik. Belum dua minggu Siti Thoyyibah kehilangan putri sulungnya karena sakit. Tentu saja rasa duka masih menyelimutinya. Namun, ia tak mau hanyut lebih jauh. Sebab, ia masih punya ‘anak-anak’ yang lain. Dan mereka saat itu sedang menunggu kehadiran Thoyyibah, begitu perempuan berusia 65 tahun ini akrab dipanggil. Thoyyibah tak mau jika ‘anak-anaknya’ itu menunggu sia-sia. Meski sore itu, awan hitam bergelayut di langit Keputih Surabaya. Perempuan yang senantiasa berjilbab rapi ini tetap melangkahkan kakinya menuju Lingkungan Pondok Sosial (Linponsos), Surabaya, sekitar satu kilometer dari rumahnya. Di sanalah ‘anak-anak’ Thoyyibah menunggu. Begitu tiba, setelah istirahat sebentar di ruang tamu, Thoyyibah terus menuju mushalla. “Assalamu’alikum,” sapa Thoyyibah yang langsung dibalas salam oleh ‘anak-anaknya’. Sesaat kemudian muluncurlah nasehat-nasehat dari perempuan kelahiran Lamongan,
195
Jawa Timur ini. “Kita semua bersaudara, karena itu harus rukun. Tidak boleh tukaran (berantam),” katanya. Nasehat itu kelihatan sederhana, tapi tidak bagi mereka. “Pernah ada yang cakar-cakaran saat saya lagi memberi pengajian,” kata Thoyyibah. Maklum, mereka adalah anak-anak jalanan. Mereka biasa hidup tanpa aturan. Yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Karena lagi ‘sial’ saja, mereka terciduk petugas Satpol PP. Selanjutnya, mereka dikirim ke Linponsos untuk dibina. Nah, Thoyyibah adalah salah pembina itu. Tentu saja tidak mudah membina “orang-orang buangan” seperti itu. Butuh kesabaran dan ketabahan. “Pertama mengajar mereka saya hampir muntah, karena bau mereka tak sedap,” kata Thoyyibah. Maklum, mereka jarang mandi. Ibu enam anak ini mengaku nyaris mundur. “Tapi saya kuat-kuatkan, sebab kalau kita tinggal takut dimasuki Kristen,” katanya. Persis di depan Liponsos memang ada Pondok Kasih, semacam pusat pembinaan anak-anak telantar milik Nasrani. Thoyyibah membina di Linponsos sejak lima tahun lalu. Bermula dari
pertemuannya
dengan
Suci,
Kepala
Kerumahtanggaan
Linponsos dalam sebuah pengajian di Surabaya. Suci lalu menawari
196
Thoyyibah mengisi pengajian di lembaga tempatnya bekerja. Nenek yang kini sudah dikarunia 11 cucu itu pun menyanggupi. Pertama mengaji, kata Thoyyibah, yang datang hanya beberapa gelintir. Mereka juga belum tertib. “Kita bicara mereka ngomong sendiri,” katanya. Tidak itu saja, cara berpakaian pun seenaknya. Dan yang paling jorok, ya itu tadi, baunya. Thoyyibah yang sudah berdakwah sejak 40 tahun lalu ini tak kurang akal. Untuk memancing minat, ia kerap memberi hadiah. Kadang berupa uang, kadang berupa makanan. Cuma, hadiah itu tak begitu saja diberikan. Ia membuat kuis, siapa bisa menjawab pertanyaannya berhak menikmati hadiah itu. Setelah memberikan materi, Thoyyibah biasanya melontarkan beberapa pertanyaan sederhana, misalnya, “Puasa sunnah yang dilaksanakan enam hari, puasa apa?” Para ’santri’ pun berebut mengangkat jarinya. Siapa yang dapat menjawab dengan benar, mendapat hadiah uang yang dimasukkan dalam amplop. Dari mana uangnya? “Saya bawa sendiri,” ujar Thoyyibah. Lain waktu, Thoyyibah membawa sekarung pakaian. Pakaian layak pakai yang dikumpulkan dari jamaah pengajian binaannya itu, dibagikan kepada seluruh peserta. Tak heran bila kini mereka
197
berpakaian rapi lengkap dengan jilbab dan parfum saat mengikuti pengajian. Jurus lain, saat melihat mereka mulai jenuh atau bicara sendiri, Thoyyibah mengajak melantunkan shalawat atau syair puji-pujian seperti banyak dilakukan di masjid atau mushalla. Misalnya lagu Tombo Ati. Dengan jurus-jurus seperti itu, perlahan-lahan makin banyak yang datang ke pengajian. Tidak hanya para penghuni Linponsos, melainkan juga masyarakat sekitar. Seperti disaksikan Suara Hidayatullah, sore itu yang hadir tak kurang dari 40 orang. “Biasanya lebih banyak lagi. Karena pas hujan, sehingga warga kampung sekitar sini tak datang,” kata Suci. Dengan pendekatan seperti itu, hubungan Thoyyibah dengan mereka sudah seperti anak dengan ibunya. Mungkin, lantaran merasa dekat itu, mereka kadang ada yang berani meminta uang. “Kalau lagi pas membawa uang ya saya kasih,” kata Thoyyibah. Kata Suci, selama membina di Liponsos, Thoyyibah tak pernah dibayar. “Baru tahun ini kita usulkan ada uang transportasi,” ujar Suci. Walau demikian, hal itu tak mengurangi dedikasi istri dari Sudarman, pensiunan petugas pemadam kebakaran di Surabaya ini. Menurut Suci, sangat jarang ustadzah lulusan sebuah pesantren di Gresik ini mangkir dari jadwal yang telah ditentukan. Bahkan sekarang dia
198
menambah jadwal pertemuan. Dari seminggu sekali menjadi dua kali. “Khusus hari Sabtu untuk mengajar membaca al-Qur`an,” kata Suci. Ada yang membuat terharu Thoyyibah. Usai memberi pengajian, tiba-tiba ada salah seorang penghuni Liponsos merayu sambil tidur di pangkuannya. “Dia minta saya bilang ke pimpinan Linponsos agar dia dipulangkan kepada keluarganya,” kata Thoyyibah. Dia, kata Thoyyibah, ternyata punya kelainan jiwa. Dia baru saja membunuh ibunya, sekalipun itu dia lakukan tanpa sadar. Setelah dimasukkan ke rumah sakit, dan keluarganya tak mau mengambil, akhirnya dikirim ke Linponsos. Selain orang-orang sakit jiwa, pasien lain -begitu Suci menyebut para penguhuni Linponsos- adalah gelandangan dan pengemis (gepeng), dan juga lanjut usia (lansia) yang tak punya keluarga atau keluarganya tak mau mengambilnya. Mereka berasal dari Surabaya dan sekitarnya. Menurut Suci, sekarang ada sekitar 700 orang yang ditampung lembaga milik Dinas Sosial Kodya Surabaya itu. Daya tampungnya sebenarnya cuma mampu untuk sekitar 300 orang. Di Linponsos mereka dibina dengan diberi latihan berbagai keterampilan, misalnya menjahit. Juga tak kalah penting adalah pembinaan mental. Pembinaan yang dilakukan Thoyyibah adalah bagian dari pembinaan mental itu. Yang dibina Thoyyibah khusus
199
pasien perempuan, sedangkan pasien laki-laki ada pembinanya sendiri. Menurut Suci, ada perubahan antara sebelum dan sesudah mengikuti pengajian. “Mereka menjadi lebih tertib dan tidak liar,” katanya. Bila sudah baik, mereka dikembalikan kepada keluarga atau dikirim ke pelbagai yayasan sosial yang bersedia menampung. Anehnya, tak semua keluarga peduli kepada mereka. Bahkan, kata Suci, ada juga keluarga tak bersedia menerima kembali. Yang repot itu kalau pasien sudah tak ingat lagi rumahnya di mana. “Pernah kita mengantar pulang, tapi di tengah jalan balik lagi, karena pasien tak ingat lagi jalan ke rumahnya,” Suci menambahkan. Kalau sudah begitu, biasanya pasien itu menjadi penghuni tetap Linponsos hingga ajal menjemput. *Bambang Subagyo/Suara Hidayatullah, PEBRUARI 2011
200