Membuat kesepakatan antara stakeholder hutan Laporan Hasil Penelitian CIFOR Juli 2002 oleh Njau Anau, Ramses Iwan, Miriam van Heist, Godwin Limberg, Made Sudana and Lini Wollenberg1 Center for International Forestry Research PO Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065 Indonesia Dengan adanya desentralisasi di Indonesia, makin banyak stakeholder yang bersaing untuk mendapatkan manfaat dari hutan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Dengan meningkatnya persaingan, meningkat juga konflik sosial dan berkurangnya sumber daya (Resosudarmo dan Barr 2002). Masyarakat sering mengatasi permasalahan ini dengan menegosiasikan kesepakatan mengenai bagaimana membagi sumberdaya. Tetapi fokus pada pembuatan kesepakatan/perjanjian dapat mengakibatkan ketidakadilan dan pemborosan sumberdaya karena pengaturan yang sementara (Anderson et al. 1999). Kami melaporkan penelitian yang dilakukan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) di Malinau, East Kalimantan.2 Penelitian CIFOR menunjukkan bahwa untuk mencapai kesepakatan dapat menyebabkan stakeholder mengabaikan perhatian pada membangun proses negosiasi yang sah dan tidak memperhatikan sebab konflik tersebut. Tanpa pihak ketiga yang menjatuhkan sanksi dan memberlakukan kesepakatan, stakeholder juga cenderung melanggar kesepakatan dengan cepat. Pengalaman di Malinau menyarankan bahwa koordinasi stakeholder yang lebih baik dapat dicapai dengan memberikan perhatian sebelum kesepakatan dicapai sampai pada memperkuat keterwakilan kepentingan, transparansi keputusan, kriteria untuk kesepakatan dan keabsahan negosiasi; dan setelah kesepakatan dicapai untuk pengakuan dan pemberlakuan oleh masyarakat adat dan pihak yang berwenang. Di Indonesia, belum ada lembaga yang melaksanakan kedua fungsi tersebut di antara atau antar desa (cf. diZerega 2000). Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat telah menunjukkan kapasitas yang lebih besar untuk memfasilitasi proses negosiasi yang lebih partisipatif, sementara pemerintah mempunyai wewenang formal untuk mengakui dan memberlakukan kesepakatan itu. Alasan-alasan negosiasi Di Malinau, desentralisasi telah menciptakan kesempatan ekonomi baru melalui pembayaran kompensasi kepada masyarakat desa untuk kayu yang dipanen oleh HPH dan perusahaan logging skala kecil (Rhee 2000, Barr et al. 2001). Petani ladang
1
Authors listed in alphabetical order. Kami berterimakasih atas dukungan bagi penelitian ini yang diberikan melalui dana dari ITTO Project PD 12/97 Rev.1(F) dan International Fund for Agricultural Development.
2
H:\Communications\Building Agreements in Malinau-bhs.doc
1
Kenyah dan Merap, pengumpul-pemburu Punan, perusahaan kayu, perusahaan pertambangan dan pemerintah daerah semua mencari untuk melindungi atau memperluas klaim mereka atas hutan dan lahan hutan. Konflik antar batas desa telah meningkat sebagai gejala dari persaingan yang makin meningkat. Dari tahun 1998 sampai 2001, peneliti CIFOR mempunyai kesempatan unik untuk memeriksa perkembangan konflik daerah dan negosiasi selama pemetaan partisipatif batas desa di antara 27 desa di Daerah Aliran Sungai Malinau. CIFOR bersama dengan Bioma dan bantuan dari Konsorsium Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Kaltim memfasilitasi pemetaan partisipatif, yang memungkinkan kita untuk mendapatkan pemahaman langsung mengenai kompleksnya negosiasi dasar. Apa yang menyebabkan adanya kesepakatan? Selama jangka waktu penelitian, dua puluh satu dari 27 desa telah mencapai kesepakatan mengenai batas-batas dengan desa tetangga mereka. Kami menemukan bahwa desa-desa tersebut lebih mudah mencapai kesepakatan apabila satu desa berkonsultasi dulu dengan desa tetangganya, mengharapkan keuntungan finansial yang tinggi atau manfaat lainnya untuk kedua belah pihak, mempunyai ikatan keluarga atau mempunyai status sosial yang sama dalam hal kekuasaan dan pengaruh.3 Wakil desa yang membuat konstitusi yang mendukung di antara desa mereka dan desa tetangganya lebih mudah mencapai kesepakatan dan mempertahankannya. Perbedaan dalam kekuasaan dan pengaruh antara desa-desa yang bernegosiasi sangatlah berpengaruh (Tabel 1). Desa-desa yang lebih berkuasa biasanya berusaha untuk mendominasi desa tetangganya yang lebih lemah, sementara desa-desa yang lebih lemah sering menerima secara pasif keputusan-keputusan yang dibuat oleh desadesa yang lebih agresif dengan menolah untuk mengakui batas-batas atau menghadiri pertemuan. Desa-desa Punan menghadapi kesulitan dalam negosiasi karena keterwakilan yang lemah dalam pertemuan-pertemuan, keengganan untuk bernegosiasi dengan kelompok-kelompok yang lebih berkuasa, dan kurangnya persiapan yang matang di dalam desa mereka sendiri. Tabel 1: Perbedaan dalam status kekuasaan dan pengaruh antara dua desa yang bernegosiasi dan sifat perjanjian yang dicapai.
3
Kami menggunakan kekuatan kepemimpinan (status ekonomi pemimpin, misalnya ketersediaan bahan makanan, kualitas bangunan rumah, akses terhadap pendapatan kas yang besar atau teratur, kepemilikan asset produktif seperti penggilingan padi atau barang mewah seperti parabola, aliansi dengan kelompok eksternal yang berkuasa, dukungan kepada pemimpin oleh masyarakat dan tingkat pendidikan pemimpin), kekompakan masyarakat (status ekonomi masyarakat, misalnya lihat di atas; kesetiaan internal dan dukungan bersama; aliansi dengan kelompok eksternal yang berkuasa, keahlian dan tingkat penditikan, dan akses informasi (transparansi proses pemetaan di dalam desa, pengetahuan mengenai batas wilayah mereka) sebagai indikator kekuasaan dan pengaruh dari suatu desa.
H:\Communications\Building Agreements in Malinau-bhs.doc
2
Perbedaan dalam status kekuasaan dan pengaruh antara dua desa yang bernegosiasi
Skor Kesepakatan tercapai? perbedaan dalam kekuasaan dan pengaruh Tidak Ya
Kestabilan keputusan*
Stabil
Tidak Stabil Tidak ada perbedaan 0 0 6 5 1 0.5 1 7 6 1 Perbedaan sedang 1 2 2 1 1 1.5 1 5 2 3 Perbedaan banyak 2 1 1 0 1 *Kestabilan hanya dihitung dalam kasus-kasus dimana kesepakatan tercapai. Kesepakatan yang rapuh Walaupun pada mulanya kami mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan mengenai lokasi batas mereka dengan cepat dan menggambarkan ini sebagai negosiasi yang “berhasil”, kami segera sadar bahwa kebanyakan kesepakatan seperti ini hanya bertahan sebentar dan tidak mendapat dukungan penuh dari semua kelompok. Negosiasi yang dilakukan secara transparan dengan perjanjian secara tertulis lebih stabil daripada yang tidak dilakukan demikian. Sampai bulan Desember 2000 hampir semua desa meminta untuk mengadakan perubahan batas, bahkan terhadap perbatasan yang sebelumnya sudah stabil. Perubahan baru itu kebanyakan disebabkan oleh kesempatan ekonomi yang meningkat yang timbul dari hasil kayu selama akhir tahun 2000. Juga, pihak berwajib tidak memberlakukan perjanjian-perjanjian tersebut secara formal (kecuali diminta oleh masyarakat dan CIFOR), sebagian karena hak-hak Kabupaten berdasarkan desentralisasi tidak jelas dan kebijakan mereka sendiri mengenai batas desa masih dalam proses pengembangan. Memperbaiki koordinasi Kegagalan perjanjian memperlihatkan kebutuhan untuk fokus pada koordinasi jangka panjang dari berbagai kepentingan pihak, terutama hubungan sosial yang menciptakan landasan untuk koordinasi dan ketidakseimbangan antara hubungan kekuasaan yang memotivasi mereka (Edmunds and Wollenberg 2001). Upaya tersebut dibutuhkan bahkan di dalam dan antara desa-desa yang oleh orang luar kelihatan homogen. Di Malinau, hanya beberapa orang dalam setiap desa yang terlibat dalam keputusan negosiasi perbatasan dan orang ini jarang bertanggung-gugat kepada desanya. Jaringan sosial, komunikasi dan kepercayaan sering lebih kuat di antara pimpinanpimpinan tertentu, atau antara pimpinan dan perusahaan, daripada antara pimpinan dan masyarakat mereka. Pimpinan sering membuat keputusan tanpa mengkonsultasikan dulu dengan masyarakatnya. Keadaan ini mempersulit untuk mengatasi konflik dengan cara yang transparan, yang membuat perselisihan tidak diakui dan perjanjian tidak bisa dilaksanakan. Penyalahgunaan kekuasaan terus berlangsung kecuali pengawasan dilakukan secara benar (Ribot 2001). Satu pengawasan yang penting adalah keterwakilan yang lebih baik dan pengambilan keputusan yang transparan untuk menegosiasikan keputusan-keputusan yang dapat H:\Communications\Building Agreements in Malinau-bhs.doc
3
diterima dan didukung oleh masyarakat. Di Malinau, keputusan tidak banyak ditentang jika wakil masyarakat bertanggung jawab terhadap masyarakat mereka dan mempunyai basis dukungan politik yang kuat. Kesimpulan Kami mengambil beberapa kesimpulan utama sebagai berikut: •= Dalam era desentralisasi, adanya manfaat baru dari hutan telah mendorong desa-desa untuk mengadakan negosiasi satu sama lain, tetapi lembagalembaga untuk memfasilitasi negosiasi mereka belum berkembang. •= Ketidakpastian dan perubahan yang cepat dalam kesempatan ekonomis dan politik membuat desa-desa sulit untuk mencapai kesepakatan yang stabil mengenai batas-batas lahan. •= Perbedaan dalam kekuasaan dan pengaruh di antara warga desa adalah penyebab utama apakah suatu perjanjian/kesepakatan yang stabil dalam diwujudkan, tetapi hanya ada sedikit perlindungan untuk memastikan keterwakilan secara adil dan peran serta kelompok yang lebih lemah. 4 Kesepakatan yang dicapai biasanya tidak adil bagi suatu kelompok. •= Membangun masyarakat politik yang mendukung pada kedua desa dan desadesa berpengaruh lainnya melalui konsultasi dan pengambilan keputusan yang transparan adalah penting bagi desa-desa untuk mencapai dan mempertahankan suatu perjanjian. •= Bila para stakeholder tidak bisa membangun masyarakat itu, fokus dalam mengatasi konflik secara konstruktif bisa lebih produktif daripada memaksakan suatu perjanjian yang lemah. •= CIFOR dan pihak lainnya seharusnya sudah mengevaluasi proses yang memotivasi desa-desa mencapai kesepakatannya sebagai dasar untuk meneruskan kegiatan pemetaan, bukan hanya apakah kesepakatan sudah dicapai. •= Suatu pihak ketiga dengan kewenangan dan kekuasaan diatas tingkat desa perlu ada untuk menetapkan criteria untuk mengatasi konflik dan untuk mengesahkan dan memberlakukan perjanjian yang sah. Kemungkinan besar beberapa kesimpulan di atas juga berlaku di daerah lain di Indonesia. Karena lembaga dengan kapasitas untuk memastikan peran serta, perwakilan dan transparansi di antara kelompok-kelompok masyarakat sering berbeda dari lembaga-lembaga yang berwenang untuk menyetujui dan memberlakukan kesepakatan, semakin penting bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan pemerintah untuk lebih bekerja sama dalam mendukung koordinasi antara stakeholder yang lain. Desentralisasi telah menciptakan kesempatan yang lebih banyak dari sebelumnya
4
Langkah-langkah yang dapat diambil termasuk menyebarkan informasi kepada kelompok yang lebih lemah lebih dulu, memberikan prioritas pada mereka untuk akses terhadap sumberdaya dan memfasilitasi persiapan mereka untuk bernegosiasi. Ukuran yang lebih penting untuk jangka waktu yang lebih panjang adalah mencakung pengorganisasian masyarakat, membantu mobilisasi sumberdaya dan membantu pengembangan aliansi strategis di antara para stakeholder. Fasilitator perlu memperhatikan dan bukan memisahkan kelompok yang lebih berkuasa, dalam proses ini.
H:\Communications\Building Agreements in Malinau-bhs.doc
4
untuk negosiasi pada tingkat local. Melakukan proses negosiasi yang benar sama pentingnya dengan mencapai kesepakatan. Daftar Pustaka Anderson, J., Clément, J. & Crowder, L. 1999. Pluralism in sustainable forestry and rural development: an overview of concepts, approaches and future steps. In FAO (1999) Pluralism and sustainable forestry and rural development. Proceedings of the international workshop on pluralism and sustainable forestry and rural development, Rome, Italy, 9–12 December 1997. Food and Agriculture Organization, Rome, Italy. Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I.M., Moeliono, M., & Djogo, T. 2001. The impacts of decentralization on forests and forestdependent communities in Kabupaten Malinau, East Kalimantan. CIFOR, Bogor, Indonesia. Edmunds, D. & Wollenberg, E. 2001. A strategic approach to multistakeholder negotiations. Development and change 32/2: 231–253. diZerega, G. 2000. Persuasion, power and polity: a theory of democratic selforganization. Institute for Contemporary Studies, Oakland, California, USA. Resosudarmo, Ida Aju Pradnja and Barr, C. 2002. Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implications for Forest Sustainability, Community Livelihoods, and Economic Development. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. Rhee, Steve 2000. "De facto decentralization and the management of natural resources in East Kalimantan during a period of transition," Asia Pacific Community Forestry Newsletter, vol. 13, no. 2. Ribot, J.C. 2001. Integral local development: 'accommodating multiple interests' through entrustment and accountable representation. International Journal of Agriculture, Resources, Governance and Ecology (IJARGE), Special Issue on accommodating multiple interests in local forest management, Volume 1, Nos. 3/4, pp. 327-350. Laporan final yang lebih mendalam mengenai penelitian yang diuraikan di sini dapat ditermukan dalam Laporan Teknis kepada ITTO: Forest Science and Sustainability: the Bulungan Model Forest, 2002, yang terdapat dalam website CIFOR www.cifor.cgiar.org atau dapat diminta dari
[email protected] di CIFOR. Versi lain dari artikel ini juga diterbitkan dalam newsletter ITTO Tropical Forest Update 12/2, 2002. Komentar yang dikemukakan dalam publikasi ini adalah dari penulis dan tidak sepenuhnya dari CIFOR
H:\Communications\Building Agreements in Malinau-bhs.doc
5