Nasution, Membongkar Struktur ....
MEMBONGKAR STRUKTUR PENGETAHUAN BIROKRASI DI INDONESIA Indra Kesuma Nasution Abstract: This essay attempts to reveal the knowledge structure on bureaucracy. It is also an expression of the writer’s anxiety towards the bureaucracy. The anxiety, though, can be seen from different angle. The perspective that the writer wishes to offer is to perceive bureaucracy as a structure of knowledge. From this point of view, then, we will be able to find the root of problems in bureaucracy. Keywords: bureaucracy, deconstruction, knowledge structure, cultural domination PENDAHULUAN Kalau berbicara bongkar membongkar, maka paradigma Derrida tidak bisa dilupakan. Sehingga tulisan ini akan lebih menggunakan kaca mata post behavioralis untuk memetakan persoalan dalam birokrasi, khususnya birokrasi di Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis mencoba melihat birokrasi dari sudut pandang dekonstruksi Derrida dan struktur pengetahuan Susan Strange. Pertama, mengapa Derrida dijadikan sudah pandang dalam konteks birokrasi? Alasan yang mendasarinya bahwa dekonstruksi merupakan sebuah tindakan dari subyek yang membongkar sebuah obyek yang tersusun dari berbagai unsur. Sebagai sebuah tindakan yang dilakukan si subyek tentu saja tidak kosong, dia mesti melibatkan pelbagai cara atau metode yaitu metode subyek membongkar obyek yang patut untuk dibongkar. Memang pada awalnya dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Adapun yang khas dalam cara baca dekonstruktif, sehingga pada perjalanannya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar, pertama-tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah atau pun premis yang tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh pemikiran modernisme, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Kasarnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkannya. Maka dalam metode dekonstruksi filsafat diartikan sebagai tulisan. Dan oleh karena itu, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran secara langsung. Sebab setiap pemikiran filofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Sistem tanda tersebut sudah pasti tidak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis saja. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa kemampuan filsafat
untuk membuat klaim-klaim partikularitas bahasa tekstual tadi diragukan yaitu klaim tentang konteks dan kepentingan yang murni filosofis. Misalnya, selama ini konsep-konsep oposisi yang menjadi bahan baku wacana filosofis seperti alam, budaya dan nilai, ideal dan material diterima begitu saja tanpa mempertanyakan bagaimana sebenarnya oposisi itu sendiri, apa dasarnya dan apa dampaknya. Dan yang ingin dilakukan oleh dekonstruksi adalah mempertanyakan dasar dan dampak tersebut (Norris, 2003). Kedua, struktur pengetahuan (knowledge structure). Struktur pengetahuan yaitu gagasan, ide ataupun ideologi yang dikembangkan oleh sebuah negara ataupun lembaga internasional untuk menciptakan dominasi. Pada umumnya logika yang dibangun adalah sebuah pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pembangunan diletakkan pada sebuah proses pembangunan infrastruktur fisik yang ditandai dengan alih teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dijadikan sebagai satu satunya cara untuk memperbaiki kualitas hidup suatu bangsa secara ekonomis. Dengan demikian pembangunan yang diletakkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak bisa ditolak. Struktur pengetahuan dari Susan Strange ingin menegaskan bahwa persoalan kekuasaan merupakan bentuk dari terciptanya struktur pengetahuan yang berhasil menjadi hegemon dalam tataran pengetahuan dan pada akhirnya menjadi sebuah kebenaran. Dari tataran inilah, penulis mencoba mencari struktur pengetahuan yang ingin disampaikan oleh birokrasi sehingga menjadi hegemoni kultural bagi masyarakat Indonesia. Ketika berbicara birokrasi maka pesan yang ingin disampaikan adalah birokrasi merupakan sistem yang muncul sebagai upaya menciptakan keteraturan dalam negara.
Indra Kesuma Nasution adalah Dosen Departemen Politik FISIP USU
15
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
Kondisi ini kemudian bisa menimbulkan banyak perkembangan. Oliver menyebutkan bahwa birokrasi terkadang menjadi problem solver namun terkadang menjadi akar persoalan. Menjadi persoalan ketika birokrasi seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang rajarajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern. Di dalamnya terdapat tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai yurisdiksi yang jelas dan pasti, meraka berada dalam area ofisial yang yurisdiktif. Di dalam yurisdiksi tersebut seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. Mereka memperoleh gaji berdasarkan keahlian dan kompetensinya. Selain itu dalam kerajaan pejabat tersebut, proses komunikasinya didasarkan pada dokumen tertulis. Itulah kerajaan birokrasi yang rajanya para pejabat. Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah. Kekuasan pejabat ini amat menentukan karena segala urusan yang berhubungan dengan jabatan itu maka orang yang berada dalam jabatan itulah yang menentukan. Jabatanjabatan itu disusun dalam tatanan hierarki dari atas ke bawah. Jabatan yang berada di hierarki atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada jabatan yang berada di tataran bawah. Semua jabatan itu lengkap dengan fasilitas yang mencerminkan kekuasaan tersebut. Di luar hierarki kerajaan pejabat dan jabatan itu terdampar rakyat yang powerless di hadapan birokrasi tersebut. Itulah sebabnya birokrasi pemerintah acapkali disebut kerajaan pejabat yang jauh dari rakyat. Konsepsi birokrasi Weber yang dianut dalam organisasi pemerintahan banyak memperlihatkan caracara officialdom di atas. Pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Mengawali tulisan ini, maka terlebih dahulu dihantarkan ide dasar birokrasi yang telah menjadi panutan oleh banyak negara yaitu birokrasi Weberian.
16
PEMBAHASAN a) Birokasi Weberian Menurut Weber tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti di mana semua fungsi dijalankan dalam caracara yang rasional. Istilah rasional dengan segala aspek pemahamannya merupakan kunci dari konsep tipe ideal birokrasi Weberian. Birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar menerapkan kebijaksanaan yang telah diputuskan di tempat lain. Namun bila kita melihat pengalaman beberapa negara terutama di dunia ketiga, kita akan mendapati bahwa birokrasi tidak hanya mendominasi administrasi pemerintahan tetapi juga seluruh kehidupan politik masyarakat. Di banyak negara yang sedang membangun, aparat negara itulah yang menjadi inisiator dan perencana pembangunan, yang mencari dana dan yang menjalankan investasi pembangunan itu, yang menjadi manajer produksi maupun retribusi output-nya, bahkan ia pula yang menjadi konsumen terbesar hasil kegiatan pembangunan itu. Singkatnya, ia adalah aktor yang omnipotent. Mengapa kenyataan ini tidak terekam dalam literatur ilmu sosial? Mengapa literatur itu semakin tidak relevan dengan kenyataan yang ada di dunia ketiga? Tulisan ini didasarkan pada argumen bahwa sebagian besar kegagalan memahami persoalan birokrasi di dunia ketiga adalah akibat terlalu dominannya konsep Weberian dalam studi mengenai birokrasi. Berdasarkan pengalaman Eropa Barat, Weber menggambarkan perkembangan birokrasi berjalan seiring dengan perkembangan modernisasi masyarakat. Peningkatan ekonomi, munculnya ekonomi kapitalis, perkembangan rasionalitas dan demistifikasi dalam masyarakat, demokratisasi, dan modernisasi sosial ekonomi pada umumnya menimbulkan masalah administratif yang kompleks. Akibatnya, muncul keharusan dilakukan pembagian kerja yang jelas dalam masyarakat. Dalam konteks inilah maka muncul birokrasi sebagai tanggapan terhadap kebutuhan jaman. Jadi birokrasi negara muncul untuk menanggapi perluasan dan kompleksitas tugas-tugas administrasi pemerintahan. Kebutuhan yang dianggap semakin mendesak akibat merosotnya peranan
Nasution, Membongkar Struktur ....
raja patrimonial dalam pengurusan masalah pemerintahan. Sedangkan birokrasi perusahaan atau manajemen industrial muncul karena terjadinya kemajuan pesat dalam teknik industri. Dengan kata lain, suatu struktur muncul karena adanya fungsi yang harus ditangani yaitu fungsi teknis administratif untuk mengkoordinasikan berbagai unsur yang makin lama makin kompleks dalam proses pemerintahan atau proses produksi. Dan seperti sudah disebut di atas, kompleksitas teknis terjadi akibat modernisasi sosial ekonomi dalam masyarakat. Namun para pengkritik Weber menunjukkan bahwa munculnya birokrasi bukan hanya untuk menjalankan fungsi koordinasi berbagai unsur dalam proses pemerintahan atau proses produksi. Fenomena yang jauh lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa birokrasi sebenarnya dijalankan untuk menjalankan fungsi pendisiplinan dan pengendalian. Dan kebutuhan akan fungsi ini berkaitan dengan perkembangan kapitalisme. Karena itu pembicaraan mengenai birokrasi harus juga membahas tentang kapitalisme. Kalau menurut Weber perkembangan birokrasi seiring dengan perkembangan modernisasi, para pengkritiknya lebih menegaskan bahwa birokrasi terjadi karena kebutuhan kapitalisme untuk mereproduksi dirinya sendiri. Dalam pandangan ini, negara selalu aktif mengusahakan agar masyarakatnya bekerja lebih giat dan menghasilkan output yang lebih dari sekedar cukup untuk hidup. Dengan kata lain, birokasi mendorong masyarakat untuk menciptakan surplus. Birokrasi seperti ini juga mengusahakan agar “sisa hasil usaha” jangan sampai habis dikonsumsi tetapi juga harus diarahkan untuk investasi. Sestem administrasi diperlukan untuk menjamin agar surplus itu diinvestasikan kembali untuk menyediakan mekanisme pengelolaan kalau timbul konflik akibat penentangan terhadap proses alih surplus itu. Begitu juga, manajemen industri tidak hanya berfungsi sebagai koordinator tetapi yang lebih penting lagi sebagai pengemdali kegiatan produksi demi akumulasi kapital dan pengaruh hubungan perburuhan agar tidak terjadi pembangkangan (Beetham, 1987: 74 – 76). Posisi birokrasi ini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber kekuasaannya, yaitu: kerahasiaan, monopoli
informasi, keahlian teknis, dan status sosial yang tinggi (Mas’oed 1985). Menurut Weber, unsur-unsur ini diperlukan untuk efektivitas fungsi koordinasi, padahal itulah dasar untuk pengendalian terhadap masyarakat. Sejarah perkembangan birokrasi di berbagai dunia menunjukkan bahwa ia diciptakan untuk menanggapi kebutuhan akan pengendalian. Ia bukan muncul semata-mata sebagai akibat dari kompleksitas fungsional masyarakat modern. Dan fenomena seperti ini nampak lebih nyata di negara dunia ketiga. Di Indonesia sering terdengar sikap birokrat yang ingin dilayani bukan melayani masyarakat. Salah satu cara memahami gejala ini adalah dengan memperhatikan karakteristik khas birokrasi di negara-negara pascakolonial dan dengan mengidentifikasikan lingkungan domestik maupun internasional yang dihadapi oleh birokrat-birokrat di negara dunia ketiga. b) Birokrasi Burch Untuk meng-counter birokrasi Weberian, John G. Burch menegaskan bahwa dibutuhkan birokrasi yang entrepreneur. Jiwa entrepreneurship adalah jiwa di mana individu atau kelompok dalam organisasi dapat mengelola sumber-sumber yang berupa kesempatan, tantangan menjadi hasil. Entrepreneurship adalah kemampuan yang kuat untuk berkarya dengan semangat kemandirian termasuk keberanian untuk mengambil risiko usaha dan meminimalisasi risiko tersebut menjadi keuntungan. Burch menjelaskan bahwa sektor pemerintah seharusnya mengambil peran aktif dalam pengelolaan bidang-bidang bisnis baik secara langsung ataupun tidak. Dulu, peran organisasi publik dan pegawai pemerintah lebih diasumsikan untuk melayani masyarakat dengan sedikit meninggalkan orientasi input. Namun sekarang pemerintah daerah diisyaratkan untuk memikirkan input-input dalam rangka memperbesar pendapatan asli daerah dengan mengoptimalisasikan semua sumber daya alam, lingkungan, teknologi dan sumber daya manusia yang ada. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa organisasi pemerintahan yang akan datang membutuhkan nilai entrepreneurship ke dalam sistem manajemennya. Persoalannya adalah posisi birokrasi dalam negara yang sedang membangun juga sangat sentral karena dalam proses itu ia bukan bertanggung jawab merencanakan
17
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
pembangunan, tetapi juga dalam mencari dana investasi, menetapkan arah investasi, bahkan ia sendiri menjadi investor atau entrepreneur dengan mendirikan perusahaan negara. Ketika hasil produksi tidak menemukan pasar, pemerintah sendiri sering menjadi konsumen terbesar. Dalam kaitan ini, pemerintah juga merupakan sumber pekerjaan bagi banyak perusahaan yang menggantungkan pada kontrak pemerintah, selain itu juga sebagai pemberi lapangan kerja bagi mereka yang ingin menjadi pegawai negeri. Persoalan y ang lain, bahwa entrepreneurship kemudian menggeser pemahaman masyarakat dari pihak yang difasilitasi menjadi obyek kapital. Dan kondisi ini akan sangat memperburuk suasana ketika pungutan liar merebak di setiap birokrasi di Indonesia. Dari dua kasus ini, kemudian penulis akan mencoba membahas beberapa persoalan yang terdapat dalam birokrasi di Indonesia c) Kritikan terhadap Birokrasi Ada dua kritikan terhadap birokrasi yaitu: ¾ Birokrasi sebagai omnipotent. Telah dijelaskan diawal bahwa birokrasi merupakan sesuatu yang dikonstruksikan pada tataran negara. Konstruksi yang dibangun sebagai upaya menstabilkan negara dan kekuasaan negara. Melalui birokrasi, maka akan tercipta sebuah pengakuan masyarakat ataupun warga negara terhadap penguasa yang sah. Dengan kata lain, birokrasi merupakan konstruksi yang diciptakan oleh pemerintah untuk menjaga kekuasaan. Sehingga, birokrasi tentu saja tidak bisa menjadi netral oleh karena birokrasi merupakan alat negara. Dengan memberikan sebutan kepada birokrasi sebagai alat penyelenggara negara, maka ada sebuah simbol dominasi yang dilakukan oleh birokrasi. Sehingga dalam perjalanannya, dominasi itu kemudian menciptakan kondisi superior terhadap masyarakat. Ada sebuah kondisi di mana inferior dalam masyarakat memang sengaja dikonstruksikan sebagai upaya menjalankan dominasi. Persoalannya adalah, superior yang dimiliki oleh negara tersebut merupakan sebagai wujud terhadap bentuk tanggung jawab negara terhadap masyarakat atau justru bentuk dominasi untuk mengkerdilkan masyarakat. Pertanyaan ini muncul karena
18
pada kenyataannya justru birokrasilah yang ingin dilayani oleh masyarakat. Apa yang salah dalam hal ini. Saya mencoba menganalisa kondisi tersebut bahwa birokasi merasa benar karena birokrasi merasa omnipotent, omniscient dan benevolent. Birokrasi merasa paling tahu, paling benar, paling kuasa dan paling baik maka tidak heran jika kondisi negara hanya birokrasi sajalah yang tahu akar persoalannya. Akibatnya adalah pertama, kondisi tersebut menciptakan hegemoni struktural di kalangan masyarakat terhadap ide yang bernama birokrasi. Hegemoni struktural yang dibangun bahwa birokrasi adalah sistem yang paling baik dalam sebuah negara. Masyarakat harus patuh terhadap birokrasi negara. Oleh karena birokrasi merupakan kekuatan yang sakral. Kekuasaan pada birokrasi yang diwujudkan dalam jabatan pejabat bisa sangat menakutkan, dan hampir tidak mungkin bisa ditembus oleh lapisan masyarakat yang sangat lemah di hadapan kekuasaan birokrasi tersebut. Kekuasaan dan kewenangan seperti ini yang membuat birokrasi menjadi sangat sakral. Strange (1989) menjelaskan bahwa struktur kekuasaan (structure of power) merupakan kunci untuk menciptakan sebuah dominasi. Strange mengartikan kekuasaan sebagai upaya untuk mempengaruhi pihak lain untuk melakukan sesuatu. Kekuasaan adalah upaya untuk mempengaruhi A untuk bertindak B. Lebih dalam lagi, kekuasaan merupakan alat untuk mempertajam pengaruh. Dalam hal ini kekuasaan lebih diartikan sebagai coercive action. Dengan kata lain, kekuasaan sangat menentukan struktur hubungan yang terjadi. Sementara itu, kewenangan diartikan sebagai bentuk penciptaan kepercayaan atau belief system. Strange mengambil contoh tentang “pria dan wanita baik akan masuk surga dan pria dan wanita jahat akan masuk neraka.” Ungkapan ini selalu disampaikan di banyak tempat ibadah seperti Church. Dan ungkapan ini adalah sebuah kebenaran tanpa ada yang berusaha untuk melawan ungkapan ini. Ada sebuah kerelaan yang tercipta dari ungkapan ini. Church dalam hal ini memiliki kewenangan untuk menyampaikan struktur pengetahuan tanpa ada yang melawannya. Sama halnya dengan perbuatan mensakralkan jabatan birokrasi pemerintah yang hampir tidak bisa lagi dihindari oleh
Nasution, Membongkar Struktur ....
orang Indonesia. Segala urusan dari yang kecil sampai yang besar selalu membutuhkan legitimasi birokrasi pemerintah. Rakyat membutuhkan dan memperoleh rezeki maupun pelayanan selalu berhubungan dengan pejabat, pegawai dan pelaku-pelaku birokrasi pemerintah. Semua pemborong atau rekanan dari yang kecil pribumi sampai yang konglomerat yang keturunan membutuhkan rezeki melalui pejabat birokrasi ini. Rakyat kecil sampai yang besar membutuhkan KTP atau bentuk perizinan lainnya selalu menjumpai pejabat-pejabat ini. Mereka yang menjabat ini menyandang kekuasaan ibarat raja yang kekuasaan itu tidak dipunyai oleh rakyat. Rakyat membutuhkan pelayanan, pejabat mempunyai kekuasaan untuk mendistribusikan pelayanan tersebut. Mensakralkan sesuatu menunjukkan lemahnya posisi seseorang terhadap sesuatu yang disakralkan tersebut. Seseorang yang memandang bahwa keris atau batu akik itu keramat dia percaya bahwa ada kekuatan di luar kemampuannya pada keris dan batu akik tersebut. Agar keris dan batu akik memberikan manfaat baginya maka dikeramatkan keris dan batu akik tersebut. Orang Indonesia memandang birokrasi pemerintah tak ubahnya seperti keris dan batu akik. Mereka lemah posisinya di hadapan birokrasi. Oleh karena itu, agar tujuannya tercapai maka cara yang terbaik adalah menyerahkan diri. Penyerahan diri seperti ini sekaligus mengakui bahwa kekuasaan birokrasi itu tidak tembus oleh masyarakat. Maka keramatlah birokrasi pemerintah pemegang monopoli pelayanan masyarakat. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana Strange menjelaskan tentang pembentukan struktur pengetahuan. Jika struktur produksi ditentukan oleh proses produksi atau usaha-usaha produksi maka pembentukan struktur pengetahuan ditentukan oleh what knowledge is discovered, how it is stored and who communicates it by what means to whom and on what terms. Namun hal itu belumlah cukup, harus ada upaya pembentukan bahwa struktur pengetahuan tersebut merupakan sebuah “kebenaran”. Untuk mewujudkan bahwa struktur pengatahuan tersebut adalah sebuah kebenaran maka pihak yang berkepentingan harus mampu mengkontrol pembentukan struktur pengetahuan yang sedang terjadi.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana struktur pengetahuan yang telah terbentuk bisa menghasilkan kekuasaan dan kewenangan. Strange menjelaskan bahwa struktur pengetahuan adalah kekuasaan, bagi siapa yang bisa membangun struktur pengetahuan kepada yang lain dan mampu menciptakan kontrol atasnya maka akan memperoleh struktur kekuasaan yang sangat luar biasa. Bahkan Strange menjelaskan bahwa kekuasaan dan kewenangan yang bisa dicapai seperti kewenangan yang diperoleh pemuka agama (priest) yang dipatuhi oleh raja dan masyarakat. Kekuasaan dan kewenangan akan lebih mudah untuk dijaga dan dikontrol, lebih tajam dan sukar ditangkap. Dalam birokrasi di Indonesia, struktur pengetahuan yang selalu didengungkan adalah birokrasi merupakan sistem yang baik sebagai upaya menciptakan stabilitas dan keteraturan dalam negara. Dan untuk merealisasikan ini dilakukan melalui kebijakan-kebijakan negara yang mengharuskan masyarakat Indonesia untuk terlibat dalam birokrasi. Dengan adanya kebijakan, maka muncul sebuah anggapan bahwa kebijakan pemerintah selalu benar. Kedua, ketika omnipotent, omniscient dan benevolent tercipta maka yang terjadi adalah korupsi. Mengapa korupsi bisa terjadi. Dalam masyarakat seperti Indonesia, faktor kultural yang umumnya mendorong timbulnya korupsi misalnya adalah adanya nilai atau kebiasaan seperti adanya tradisi memberi hadiah kepada pejabat dan adanya tradisi bahwa kewajiban pertama bagi seseorang adalah memperhatikan saudara dekatnya, kemudian sesama etnis, dan sebagainya. Sehingga seorang saudara yang mendatangi seorang pejabat untuk minta perlakukan khusus sangat sulit untuk ditolak. Kondisi tersebut tercipta oleh karena dua hal yaitu, pertama, posisi dominan birokrasi pemerintah sebagai sumber utama barang, jasa dan lapangan kerja dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi. Kedua, dominasi negara yang mengkerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat. Di sebagian besar negara, birokrasi cenderung lebih kuat daripada lembaga-lembaga lain sehingga seringkali ia lepas dari kontrol masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena ia memiliki sumber kekuasaan penting, terutama penguasaan informasi dan kepemilikan keahlian teknis untuk mengelola pemerintahan. Faktor kultural dan strukutral itulah yang sangat berperan dalam mendorong
19
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
terjadinya korupsi di birokrasi dan tempat lainnya. ¾ Birokrasi vs Pasar Salah satu cara menggambarkan karakteristik negara di dunia ketiga adalah dengan mengidentifikasikannya sebagai instrumen intervensi ke dalam masyarakatnya dan tujuan yang hendak dicapai dengan intervensi itu. Negara menjadi lebih aktif dalam kehidupan ekonomi dengan menerapkan pengendalian finansial, moneter, dan fiskal. Pemerintah lebih aktif mempengaruhi pasar konsumen, volume uang yang beredar dalam masyarakat dan pasok kapital. Misalnya, memberi subsidi suku bunga uang rendah agar investor tertarik melakukan investasi, menetapkan anggaran belanja negara dengan tujuan merangsang produksi barang dalam negeri, menetapkan pajak progresif demi pemerataan, dan lain-lain. Tindakan birokrasi yang paling aktif adalah melakukan tindak langsung. Dalam hal ini negara menggunakan sumber dayanya untuk langsung menangani kegiatan ekonomi maupun militer. Kalau suatu komoditas dinilai sangat strategis bagi kepentingan nasional, negara turun langsung dalam komoditas tersebut. Fungsi ini berkembang menjadi instrumen kekuasaan pemerintah untuk mengintervensi kegiatan masyarakatnya. Instrumen kebijakan negara digunakan untuk mencapai dua tujuan umum pertama, produksi dan reproduksi kapital. Kedua, reproduksi tatanan masyarakat dan politik. Tujuan pertama meliputi upaya birokrasi mendorong peningkatan produksi barang dan jasa, percepatan sirkulasi kapital, efisisensi ekstraksi surplus dan peningkatan akumulasi kapital. Tujuan kedua, mengharuskan pemerintah untuk menjamin bahwa hubungan sosial yang mendasari proses produksi bisa dilestarikan, kebutuhan akan tenaga kerja selalu dapat dipenuhi, suprastruktur harus tetap stabil dan kedaulatan politik harus tetap dipertahankan. Dalam logika kerangka berpikir ini, pemeliharaan kestabilan tatanan masyarakat dan politik sangat esensial demi peningkatan produksi komoditas dan akumulasi kapital. Yaitu upaya yang kita sebut “pembangunan ekonomi”. Namun harus diperhatikan juga bahwa proses modernisasi umumnya mendorong munculnya kelompok-kelompok dinamis dalam masyarakat yang
20
menginginkan kebebasan politik yang semakin besar. Dengan demikian, setiap negara dalam pengertian ini menghadapi kontradiksi yaitu antara tujuan meningkatkan produksi dan reproduksi pakital yang memerlukan reproduksi tatanan masyarakat dan politik dengan tujuan memberi keleluasaan pada anggota masyarakat sehingga dapat mengembangkan prakarsa, sesuatu yang sangat penting dalam akumulasi kapital. Atau dalam pengertian lain adalah kontradiksi antara dua priorotas yaitu prioritas produktivitas dan prioritas demokrasi. Pengalaman banyak negara dunia ketiga menunjukkan bahwa kemampuan negara untuk menyelesaikan kontradiksi itu berkaitan dengan kemampuannya untuk bertindak otonom, bebas dari pengaruh kelompokkelompok kepentingan dalam masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah benar bahwa birokrasi (negara) itu otonom atau justru tertekan oleh sistem internasional yang lebih besar. Negara dalam masyarakat bekas jajahan memiliki ruang yang sangat luas untuk melakukan manuver bebas dari kendali masyarakatnya. Ini terjadi karena dua hal, pertama adalah sifatnya yang overdeveloped. Birokrasi di Asia Selatan diciptakan di masa kolonial dan dikendalikan oleh kekuatan di negara metropolit. Sebagai aparat negara kolonial, ia berkembang maju dan meluas melampaui kemampuan pengorganisasian masyarakat. Birokrasi itu dirancang untuk bekerja demi kepentingan borjuasi di negara metropolit tersebut. Ketika negara tersebut merdeka dan terlepas dari ikatan dengan atasannya di negara metropolit, aparat baru tersebut tidak lagi memiliki atasan yang bisa menundukkannya. Kedua adalah, tidak adanya kelas sosial yang hegemonik. Kalau di negara metropolit ada kelompok borjuasi pribumi yang terorganisir dan memiliki kekuatan untuk menundukkan borokrasinya. Akibatnya, yang kita dapati di negra bekas jajahan adalah birokrasi yang bebas dari kendali masyarakat. Tetapi walaupun tidak menghadapi pesaing tangguh dari masyarakatnya, sulit untuk membayangkan birokrasi itu bisa otonom tanpa penguasaan basis material yang cukup. Hamza Alavi (1972) menjelaskan bahwa karena tidak ada kelas sosial yang mampu mengendalikannya maka negara itu otonom, tidak memuaskan. Karena itu pertanyaan yang patut diajukan adalah: basis
Nasution, Membongkar Struktur ....
materi apa yag memungkinkan negara itu otonom? Melihat kenyataan bahwa kebanyakan negara mampu memimpin dan menerapkan pembangunan menurut jalan kapitalis yang aktif dan luas, dapat dengan mudah diduga bahwa mereka memiliki sumber-sumber kekuasaannya sendiri, tidak tergantung pada masyarakat. Dari mana aparat pemerintah mempunyai kekuatan yang luar biasa itu? Untuk itu, kita harus melihat kenyataan bahwa negara di masyarakat dunia ketiga mengendalikan hampir semua prakondisi, perdagangan, dan bentuk-bentuk lain kegiatan menciptakan surplus. Misalnya, kontrol atas sumber-sumber daya nyata seperti keuangan, input produksi, keahlian, transportasi, dan infrastruktur, akses pasar, buruh, dan lain-lain. Di negara dunia ketiga, banyak dari faktor-faktor yang sangat penting untuk menciptakan surplus itu dikuasai, dikendalikan atau paling tidak diatur oleh negara. Seperti telah disebut di atas, pembahasan mengenai birokrasi tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai kapitalisme. Kenyataan bahwa upaya sebagian besar negara-negara di dunia ketiga untuk membangun ekonominya dilakukan dengan mengambil jalan kapitalis mengharuskan kita untuk memperhatikan kaitan itu dengan lebih seksama. Di atas telah disebutkan juga bahwa negara berfungsi menjamin reproduksi kapitalisme. Dalam upaya itu negara perlu menyiapkan kondisi yang diperlukan dalam proses produksi, yang tidak dapat disiapkan sendiri oleh investor swasta, melalui aparat hukum dan keamanannya menjamin bahwa proses produksi itu tidak akan terganggu, mengintegrasikan kelas dominan
Tetapi pertanyaan yang masih harus diajukan adalah untuk apa tujuan itu? Mengingat otonomi yang dimiliki negara itu, jawaban yang masuk akal adalah yang menunjukkan bahwa upaya reproduksi kapital itu memang sesuai dengan kepentingan negara untuk melestarikan keberadaannya dan mengembangkan kekuasaannya. Karena peningkatan akumulasi kapital itu bisa berarti semakin banyaknya sumber daya yang dapat dimobilisasi oleh negara. Dengan demikian, tidak mengherankan kalau negara sangat berkepentingan untuk mendorong kapitalisasi itu.
Namun yang juga harus diperhatikan adalah kenyataan bahwa upaya itu dilakukan dalam konteks sistem dunia yang bersifat kapitalis. Bahkan seringkali nampak jelas bahwa perilaku negara-negara dunia ketiga sebenarnya merupakan tanggapan terhadap situasi eksternal itu. Artinya, ada fenomena ekstranasional yang membuat negara-negara itu mau tidak mau harus melakukan upaya reproduksi kapital, kalau mereka ingin tetap mempertahankan kelestarian kekuasaan. Tuntunan untuk memahami persoalan ini diberikan pada teoretisi ”world system” atau dependensia. Para teoretisi ini yakin akan adanya suatu sistem sosial yang lebih besar daripada negara dan menentukan perilaku negara dan aktor lain dalam sistem itu. Yang dominan sejak abad 19 adalah sistem dunia kapitalis, suatu sistem yang telah menciptakan suatu pembagian kerja internasional yang membagi dunia ke dalam 3 lapisan, negara inti, semi pinggiran, dan pinggiran. Ketiganya dihubungkan oleh pasar dunia yang memperdagangkan komoditas dasar dan melalui pasar ini maka surplus dialihkan dari negara pinggiran, ke semi pinggiran dan ke inti. Dengan demikian posisi mereka ditentukan dari posisi mereka di pasar dunia ataupun dalam sistem dunia tersebut. Dalam sistem dunia kapitalis dominan yang berlaku sampai sekarang, negara-negara dunia ketiga berada dalam lapisan pinggiran. Karena itu perilakunya sangat ditentukan oleh apa yang terjadi dalam sistem besar tersebut. Peranan aparat negara adalah menjamin agar proses akumulasi kapital di masing-masing masyarakat berjalan sesuai dengan sistem dunia itu. Karena hanya dengan demikian reproduksi kapitalisme bisa berlangsung. Kegagalan mengusahakan jaminan itu hanya akan mendatangkan risiko fatal bagi aparat negara yang bersangkutan. Jadi, sementara di sektor domestik negara-negara dunia ketiga memiliki otonomi, bebas dari pengaruh kelas sosial, di sektor internasional ia kehilangan banyak otonomi. Dalam suasana sistem dunia yang penuh gejolak, seperti akhir-akhir ini, negara dunia ketiga dituntut untuk menyesuaikan sektor domestiknya agar terhindar dari kehancuran. Kehilangan otonomi disebabkan adanya internasionalisasi atau globalisasi transaksi ekonomi melintas batas negara. Dampaknya adalah kemerosotan kemampuan negara. Ilmuwan yang menegaskan bahwa
21
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
internasionalisasi berdampak negatif terhadap fungsionalitas, kapasitas dan kekuasaan negara antara lain adalah Susan Strange. Menurutnya: “The authority of government of all states, large and small, strong and weak, has been weakened as a result of technological and financial change and of the accelerated integration of national economies into a single global economy. Their failure to manage the national economy, to maintain employment and sustain economic growth, to avoid imbalances in payments with other states, to control the rate of interest and exchange is not a matter of technical incompetence, nor moral turpitude nor political maladroitness. None of these failures can be blamed on other countries or no other governments. They are simply, the victims of the market economy” (Strange, 1996) Sebagai akibatnya, banyak dari fungsi yang semula menjadi tanggung jawab negara tidak berjalan dan tidak ada yang menggantikan peran itu. Pendapat seperi itu didukung oleh banyak ilmuan dan pengamat. Bahkan Philip Cerny menegaskan bahwa proses politik di tingkat nasional jadi mandul akibat intervensi proses internasional. Akibatnya, negara-negara bukan lagi aktor yang bisa secara efektif menjamin ketersediaan barang privat dan barang publik (Cerny,1955). Dengan kata lain, sikap birokrasi yang mengumpulkan kapital bermula dari keinginan birokrasi atau ada sistem internasional yang memaksakan birokrasi untuk bersikap kapital. d) Apa yang mesti dilakukan? Kalau anda kehilangan jejak dengan yang saya uraikan di halaman depan, izinkan saya menegaskan tema sederhana pembahasan ini. Uraian dimulai dari penggambaran konteks birokrasi versi Weber dan Burch. Di mana birokrasi dipahami dalam ranahnya masing-masing namun menjadi contoh di berbagai negara khususnya di Indonesia. Dari dua pemikiran tentang birokrasi tersebut maka
22
selanjutnya penulis menggambarkan bahwa ada dua persoalan besar dalam birokrasi. Pertama, pada tataran struktur pengetahuan. Kedua, pada tataran kapitalisme global. Pada tataran struktur pengetahuan, birokrasi bisa disebut sebagai skema yang masih bisa diperdebatkan. Omnipotent, omniscient dan benevolent merupakan persoalan dalam birokrasi. Sementara itu pada tataran kapitalisme global bahwa apakah birokrasi bertindak sangat entrepreneurship berasal dari keinginan birokasi atau ada sistem kapitalisme global yang memaksakan kondisi tersebut. Namun, uraian ini bukan bermaksud mencari kambing hitam dengan menimpakan kesalahan pada pihak lain. Oleh karena birokrasi memang terdapat segi manfaatnya juga. Yang kita hadapi adalah kekuatan idea yang mendominasi cara kita berpikir selama ini. Yang harus kita tangani adalah hegemoni kultural. Kita tidak bisa melawannya kalau kita tidak yakin akan makna penting idea. Kita tidak bisa memenangkan perjuangan melindungi si lemah dan si miskin kalau iklim ideologis yang meliputi kita menentang pencapaian tujuan tersebut. Yaitu iklim ideologis yang mengubah hakikat dasar dari politik. Kalau kita selama ini mengenal persoalan dasar studi politik adalah mengenai siapa yang mengatur siapa, dan siapa memperoleh bagian apa dan seberapa banyak, saya khawatir bahwa semakin sering dihadapi pertanyaan mengenai siapa yang berhak untuk hidup. Apa yang kita lakukan, idealnya sebagai ilmuan kita menjawab pertanyaan di atas dengan merumuskan tindakan aksi ataupun merumuskan hal-hal yang perlu dipelajari lebih jauh sebagai sarana mencari perkakas yang bisa mendukung program aksi tersebut. Yang pertama adalah agenda aksi dan advokasi dan yang kedua adalah agenda penelitian. Uraian ini jelas tidak cukup sebagai dasar penalaran untuk merumuskan dua agenda tersebut. Namun sebagai langkah awal ke arah perumusan dua agenda tersebut, kita bisa mulai membuat semacam repertoir dengan mengidentifikasikan apa saja yang bisa dibayangkan untuk melakukan reformasi birokrasi sekaligus menanggapi tantangan neoliberalisme.
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
DAFTAR PUSTAKA
Norris, Christoper. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Williamson, Oliver E. A New Institutional Approach to Economic Development. Vistar Publication. Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Mas’oed, Mohtar. 2003. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar. Tjokrowinoto, Moeljarto. 2001. Birokrasi dalam Polemik. Pustaka Pelajar. Strange, Susan. 1989. States and Market, Structures of Power in The World Economy. London, Pinter Publisher.
22