PENERAPAN MANAJEMEN PENGETAHUAN DI PERUSAHAAN DI INDONESIA Dr. Ningky Sasanti Munir, MBA123
[email protected] Abstrak Lingkungan eksternal yang semakin turbulen membuat perusahaan-perusahan di Indonesia berlomba mencari sumber-sumber keunggulan bersaing yang baru, sulit ditiru, langka dan berharga. Pengetahuan, merupakan sumber daya yang memenuhi kriteria sebagai sumber daya yang paling strategis. Dengan manajemen pengetahuan, perusahaan berusaha mengelola pengetahuan internal dan mengakuisisi pengetahuan-pengetahuan eksternal yang dibutuhkannya untuk menciptakan terobosan-terobosan. Tulisan ini memaparkan hasil survey yang dilakukan pada perusahaanperusahaan skala besar di Indonesia pada tahun 2001, 2005, dan 2010. Survey ditujukan untuk mengetahui sejauh mana penetrasi manajemen pengetahuan di perusahaan, alasan perusahaan menerapkan manajemen pengetahuan dan pendekatan-pendekatan yang digunakan. Survey terakhir juga menangkap faktor-faktor yang diapndang menentukan keberhasilan penerapan manajemen pengetahuan. Terakhir, didiskusikan pula arah perkembangan penerapan manajemen pengetahuan di perusahaan-perusahaan di Indonesia dengan berkembangnya generasi yang lahir bersama media sosial. Kata kunci: pengetahuan, manajemen pengetahuan, perusahaan skala besar, pendekatan penerapan, faktor kunci keberhasilan
Direktur Program Pasca Sarjana dan Ketua Kelompok Keahlian Manajemen Strategi di PPM School of Manajemen – Menteng Raya, Jakarta; www.ppm-manajemen.ac.id 2 Panelis MAKE (Most Admired Knowledge Enterprise) Award tingkat Nasional tahun 2005 – 2011 3 Panelis GEKO (Global Emerging Knowledge Enterprise) Award se Asia Tenggara tahun 2008-2009 1
I.
PENDAHULUAN
Dinamika lingkungan eksternal dimana perusahaan sebagai sebuah sistem terbuka beroperasi, terus meningkat gejolaknya. Perusahaan-perusahaan yang terbiasa menyusun strategi bisnisnya dengan mengandalkan kemampuan memprediksi trend lima hingga sepuluh tahun ke depan mengalami frustasi karena perubahan berlangsung sangat cepat tanpa dapat diramalkan sebelumnya. Siklus hidup produk makin pendek, selera konsumen terus berubah seiring berubahnya gaya hidup dan sumber daya makin langka. Persaingan juga makin ketat, ditambah dengan munculnya pesaing-pesaing baru yang datang dari industri yang berbeda dengan strategi yang berbeda pula. Marjin pun menipis mengurangi fleksibilitas perusahaan dan kemampuan untuk terus bertumbuh. Pada saat ini perusahaan pun berlomba mencari sumber-sumber keunggulan bersaing baru, yang langka, sulit ditiru dan – kalau bisa – dapat digunakan terus menerus. Dalam teori resource-based view of the firm (RBV) yang digagas oleh Penrose (1959, dalam Conner dan Prahalad, 1996) kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Wernerfelt (1995) dan Barney (1991), disampaikan bahwa sumber daya dikatakan strategis bila memenuhi beberapa kriteria, yaitu langka, berharga, sulit ditiru dan sulit digantikan. Selanjutnya walau menurut Grant (1996) teori knowledge based view of the firm (KBV) masih belum bisa disebut sebagai teori, namun bagi pendukungnya pengetahuan dipandang sebagai sumber daya yang paling strategis karena memenuhi kriteria yang disampaikan di atas. Terlebih lagi bila merujuk pada konsep pembelajaran organisasi yang menegaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil belajar (Loermans, 2002). Organisasi yang unggul adalah organisasi yang mampu belajar, menghasilkan pengetahuan, sehingga tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang lampau dan mampu menghasilkan terobosan-terobosan.
Seperti ditegaskan oleh Senge (1995) di organisasi pembelajar (learning organization) yang belajar adalah manusianya. Jadi pengetahuan merupakan hasil belajar dari manusia yang diakumulasikan menjadi pengetahuan organisasi. Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tidak ada yang persis sama, maka kombinasi pengetahuan manusia yang ada di dalam organisasi akan menghasilkan pengetahuan organisasi yang berbeda. Apalagi bila dikombinasikan pula dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang bergentayangan di luar organisasi. Seperti yang disampaikan oleh English dan Baker (2006), kalau dulu perusahaan sibuk mencari cara agar dapat out-do atau bertindak dengan lebih baik dibandingkan Halaman 2 dari 13
pesaingnya. Kini pertempuran yang terjadi adalah untuk dapat out-know atau mempunyai strategi pengetahuan yang lebih baik dibandingkan perusahaan lain.
II.
PENGETAHUAN DAN MANAJEMEN PENGETAHUAN
2.1
Memahami Pengetahuan
Menurut Davenport dan Prusak (1998), pengetahuan atau knowledge, bukanlah data, bukan pula informasi, namun sulit sekali dipisahkan dari keduanya. Perbedaan antara data, informasi dan pengetahuan seringkali hanya pada masalah derajat kedalamannya, dimana pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang lebih ‘mendalam’ dibandingkan informasi, apalagi data. Informasi, sesuai namanya harus melakukan tugasnya, yaitu inform. Kata “inform” asalnya berarti memberikan bentuk pada sesuatu, dan informasi ditujukan untuk membentuk orang yang menerimanya. Tepatnya, membentuk cara pandang (outlook; insight) penerima. Jadi pihak penerimalah yang menentukan - bukan pengirim pesan - apakah pesan yang diterima memang sudah merupakan informasi atau masih berupa data. Yaitu dengan menilai apakah pesan yang diterimanya benar-benar membentuk cara pandangnya sebagai penerima pesan.
Bila kita membaca berbagai buku dan rujukan lain mengenai manajemen pengetahuan atau pembelajaran organisasi, akan ditemukan berbagai definisi mengenai pengetahuan. Misalnya saja, menurut Woolf (1990 dalam Liebowitz, 1999), “pengetahuan adalah informasi yang terorganisasi sehingga dapat diterapkan untuk pemecahan masalah.” Definisi itu hampir mirip dengan Turban et al. (2004) yang mengatakan bahwa “pengetahuan adalah informasi yang telah dianalisis dan diorganisasikan sehingga dapat dimengerti dan digunakan untuk memecahkan masalah serta mengambil keputusan.”
Albert Einstein, memberikan
kutipannya yang sederhana namun efektif, “knowledge is experience, everything else is information.”
Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) ada dua jenis pengetahuan, yaitu explicit knowledge atau pengetahuan eksplisit dan tacit knowledge atau pengetahuan terbatinkan atau pengetahuan tanwujud yang dapat diekspresikan dengan rumus sebagai berikut: Pengetahuan = Pengetahuan eksplisit + pengetahuan terbatinkan Pengetahuan eksplisit, dapat diekspresikan dalam kata-kata dan angka, serta dapat disampaikan dalam bentuk formula ilmiah, spesifikasi, prosedur operasi standar, bagan, manual-manual, dan sebagainya. Pengetahuan jenis ini dapat segera diteruskan dari satu individu ke individu lain secara formal dan sistematis. Di lain pihak, pengetahuan terbatinkan, terletak dalam benak manusia, bersifat sangat personal Halaman 3 dari 13
dan sulit dirumuskan, sehingga membuatnya sulit untuk dikomunikasikan atau disampaikan pada orang lain. Perasaan pribadi, intuisi, bahasa tubuh, pengalaman fisik, petunjuk praktis (rule-of-thumb) termasuk dalam jenis pengetahuan terbatinkan. Seperti dinyatakan oleh Zack (1995) dan kemudian oleh Johannessen et al. (2001) pengetahuan terbatinkan adalah pengetahuan paling strategis karena belum atau sulit dieksplisitkan, sehingga sulit pula untuk ditiru. 2.2
Memahami Manajemen Pengetahuan
Untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari pengetahuan yang dimiliki dan untuk mengetahui pengetahuan-pengetahuan yang harus dimiliki, perusahaan harus mengelola pengetahuannya melalui manajemen pengetahuan. Swann et al. (1999) mendefinisikan manajemen pengetahuan sebagai, “... any process or practice of creating, acquiring, capturing, sharing and using knowledge, wherever it resides, to enhance learning and performance in organizations.” Sementara Tiwana (2000) menyampaikan bahwa manajemen pengetahuan adalah pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai dan menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima. Melalui manajemen pengetahuan, secara sadar organisasi mengidentifikasikan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki dan memanfaatkannya untuk meningkatkan kinerja dan menghasilkan berbagai inovasi. Dengan dukungan manajemen pengetahuan organisasi juga aktif mengidentifikasikan dan mengakuisisi pengetahuan-pengetahuan berkualitas yang ada di lingkungan eksternal organisasi. Menurut Swan et al (1999) juga Probst, Raub dan Romhardt (2000), di tingkat organisasi, pengelolaan pengetahuan sebenarnya terdiri dari delapan proses yang berkisar dari (1) proses penetapan sasaran pengetahuan (knowledge goal), (2) proses identifikasi pengetahuan, (3) proses akuisisi pengetahuan, (4) proses pengembangan pengetahuan, (5) proses berbagi dan distribusi pengetahuan, (6) proses pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), (7) proses pemeliharaan dan penyimpanan pengetahuan (knowledge retention), dan (8) proses evaluasi dan pengukuran pengetahuan (knowledge assessment). Namun seperti disampaikan oleh Marquardt (2002) juga McElroy (2002) tiga proses yang paling popular – karena paling sering diterapkan – adalah proses akuisisi pengetahuan, proses berbagi pengetahuan dan proses pemanfaatan pengetahuan.
Halaman 4 dari 13
III.
ALASAN PENERAPAN MANAJEMEN PENGETAHUAN
Pada tahun 2001 ketika memulai penelitian untuk menyusun disertasi dalam bidang manajemen pengetahuan, dilakukan suatu survey terhadap 32 perusahaan swasta nasional skala besar dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengetahui apakah perusahaan mengenal manajemen pengetahuan dan apakah proses akuisisi, berbagi dan pemanfaatan pengetahuan telah berjalan (lebih lanjut dalam Munir, 2004). Hasil survey menunjukkan tidak ada satupun (eksekutif) perusahaan yang mengenal manajemen pengetahuan.
Namun survey dan observasi menunjukkan bahwa kegiatan akuisisi pengetahuan telah dilakukan secara rutin dan terstruktur dalam bentuk pelatihan internal dan eksternal, mengundang ahli dari luar, serta mengirim karyawan untuk magang di perusahaan lain, biasanya di luar negeri. Kegiatan berbagi pengetahuan dilakukan terutama bila ada karyawan yang kembali dari pelatihan di luar negeri atau pelatihan di dalam negeri yang bersifat teknis. Kegiatan ini kebanyakan menjadi kegiatan rutin di perusahaan yang berbasis manufaktur. Sedangkan kegiatan pemanfaatan pengetahuan juga dilakukan untuk mengimplementasikan hasil pelatihan-pelatihan yang bersifat teknis, lagi-lagi di perusahaan berbasis manufaktur. Alasan perusahaan untuk melakukan ketiga kegiatan manajemen pengetahuan adalah untuk meningkatkan kualitas hasil kerja (efektivitas) dan meningkakan efisiensi kerja. Pada tahun 2005, survey yang lebih luas dilakukan pada 66 perusahaan swasta nasional skala besar dan BUMN. Hasil survey menunjukkan bahwa hampir 90 persen perusahaan mengaku telah mengenal manajemen pengetahuan dan 28 persen menerapkannya. Perkenalan para eksekutif terhadap manajemen pengetahuan yang relatif mendalam pada saat itu terjadi terutama melalui empat kesempatan. Pertama adalah dari berbagai pertemuan terbuka yang diselenggarakan oleh beberapa perkumpulan ahli dan peminat manajemen pengetahuan. Misalnya Inisiatif Manajemen Pengetahuan Indonesia (IMPI), Knowledge Management Society Indonesia, Knowledge Indonesia, Knowledge Management Resource Group (KMRG), dan lain-lain. Kedua adalah dari ‘kompetisi’ Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE) Award yang diselenggarakan oleh organisasi konsultan sumber daya manusia Dunamis (dunamis.co.id) di bawah lisensi dari Teleos (lebih lanjut dalam knowledgebusiness.com). Ketiga adalah dari berbagai seminar dan lokakarya yang diiikuti di dalam maupun di luar negeri. Terakhir adalah penyebaran dari mahasiswa program studi S2 Peminatan Terapan Psikologi Knowledge Management di Fakultas Psikologi Halaman 5 dari 13
Universitas Indonesia yang pada saat itu banyak diikuti oleh praktisi bidang sumber daya manusia. Di berbagai kesempatan tersebut, para eksekutif yang mewakili perusahaan masing-masing dapat bertemu, berdiskusi, mencari solusi, belajar dan yang paling menarik adalah dapat saling berkunjung, melakukan benchmarking mengenai praktek-praktek penerapan manajemen pengetahuan di perusahaan-perusahaan yang dipandang lebih maju (berani) dalam penerapan manajemen pengetahuan. Pada saat ini alasan utama penerapan manajemen pengetahuan adalah – tidak menurut peringkat - untuk (1) Memudahkan penyusunan strategi akuisisi pengetahuan sebagai upaya menutup kesenjangan pengetahuan yang dibutuhkan dan dimiliki, serta meningkatkan kualitas pengetahuan yang sudah ada; (2) Meningkatkan kualitas pengetahuan yang dimiliki; (3) Mempertahankan pengetahuan yang sudah dimiliki yang terancam karena meningkatnya tingkat keluar-masuk karyawan kunci; dan (4) Meningkatkan efektivitas kegiatan berbagi pengetahuan, terutama pada perusahaan yang beroperasi di banyak lokasi. Perlu diperhatikan bahwa pada saat survey kedua ini dilakukan, para eksekutif menggunakan istilah pengetahuan secara berbeda dibandingkan istilah pengetahuan dalam KSA (knowledge, skill, dan ability) dalam taksonomi Bloom yang sebelumnya selalu digunakan oleh para praktisi SDM (mengenai taksonomi Bloom pada Anderson dan Krathwohl, 2001).
Pada tahun 2010 survey kembali dilakukan pada 81 perusahaan dimana 39 di antaranya merupakan perusahaan yang pernah dinominasikan dalam kegiatan MAKE Award. Alasan utama penerapan manajemen pengetahuan adalah untuk (1) Memastikan ketersediaan pengetahuan yang dibutuhkan perusahaan, (2) Meningkatkan kemampuan menghasilkan solusi, (3) Menghasilkan inovasi, (4) Meningkatkan kemampuan untuk mengikuti trend (adaptif). Yang menarik disini, banyak eksekutif perusahaan menyampaikan bahwa penerapan manajemen pengetahuan merupakan bagian dari upaya melakukan perubahan transformasional. IV.
PENDEKATAN PENERAPAN MANAJEMEN PENGETAHUAN DAN FAKTOR KUNCI SUKSES
Dari survey yang dilakukan pada tahun 2005 dan 2010 dapat dipetakan adanya tiga pola penerapan manajemen pengetahuan. Pertama adalah dengan mengikuti kriteria
MAKE Award. MAKE Award
merupakan ajang ‘kompetisi’ organisasi yang digagas oleh Teleos, sebuah organisasi nirlaba di Inggris. Anugrah atau award diberikan melalui ‘kompetisi’ tingkat nasional, Asia, dan global. Toyota Astra Motor, United Tractors Indonesia, serta Unilever Indonesia adalah tiga perusahaan yang memenangi MAKE Halaman 6 dari 13
Award tingkat Asia tahun 2010 dan 2011. Singapore Armed Forces merupakan overall Winner of Asian Make Study 2010, sementara POSCO sebuah perusahaan manufaktur dari Korea Selatan adalah overall Winner of Asian Make Study 2011. Organisasi yang pernah memenangi MAKE award tingkat dunia misalnya adalah Google (2010), Apple, GE, McKinsey & Company, Toyota dan Microsoft. Pemenang MAKE Award untuk tahun 2011 baru akan diumumkan 30 November 2011. Dalam ‘kompetisi’ MAKE Award tersebut organisasi melakukan evaluasi atas delapan kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria yang berlaku untuk organisasi apapun di seluruh dunia itu adalah (1) Pembentukan budaya pengetahuan organisasi, (2) Pengembangan knowledge worker melalui kepemimpinan manajemen senior, (3) Pengembangan produk/solusi berbasis pengetahuan (innovation capabilities), (4) Memaksimalkan nilai dari modal manusia, (5) Penciptaan dan pemeliharaan lingkungan yang kondusif untuk berbagi pengetahuan, (6) Penciptaan dan pemeliharaan budaya organisasi pembelajar, (7) Pengelolaan pengetahuan pelanggan untuk menciptakan nilai dan modal manusia organisasi, dan (8) Pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai bagi para pemangku kepentingan. Para eksekutif yang mewakili berbagai organisasi datang ke pertemuan MAKE Award untuk melakukan benchmarking terhadap praktek pengelolaan pengetahuan organisasi-organisasi lain dan melakukan asesmen terhadap kondisi internal organisasinya. Setelah menstrukturkan kegiatan internal dan melakukan penyempurnaan disana-sini, organisasi, pada kompetisi MAKE Award berikutnya organisasi mengajukan diri untuk mengikuti kompetisi melalui proses nominasi yang dilakukan sejumlah panelis. Pendekatan kedua untuk menerapkan manajemen pengetahuan adalah melalui audit manajemen pengetahuan. Seperti disampaikan dalam studi yang dilakukan oleh Chong (2005) dan Wong (2005) pendekatan yang terstruktur merupakan salah satu faktor kunci sukses penerapan manajemen pengetahuan. Melalui pendekatan ini, perusahaan melakukan asesmen atau audit terhadap kualitas proses-proses manajemen pengetahuan di internal perusahaannya. Upaya selanjutnya adalah mengaitkan antara kualitas proses, orang dan teknologi dengan tuntutan bisnisnya. Pada pendekatan yang kedua ini ada kecenderungan perusahaan berusaha mengukur tingkat pengembalian ‘investasinya’, yaitu dengan membandingkan investasi yang dikeluarkan untuk meningkatkan kualitas proses, orang dan teknologi, dengan kinerja perusahaan.
Halaman 7 dari 13
Pada pola pendekatan kedua ini juga telah muncul kelompok-kelompok seminat atau community of practices (COP), yaitu kelompok informal dari kumpulan orang-orang yang memiliki minat sama terhadap isu-isu tertentu (Wenger et al. 2002). Keberadaan COP merupakan faktor yang penting dalam kegiatan berbagi pengetahuan di perusahaan atau organisasi pada umumnya. Dalam pertemuan tatap muka atau kadang secara maya (virtual), karyawan berbagi informasi, dilanjutkan dengan berbagi pengetahuan serta kreasi pengetahuan karena adanya kombinasi pengetahuan antara anggota COP. Permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan, siklus hidup COP seringkali terlalu pendek untuk sampai pada akuisisi dan kombinasi pengetahuan.
Pendekatan ketiga merujuk pada kelengkapan modal intelektual perusahaan. Sullivan (2000), Stewart (1997) dan Sveiby (1997) seluruhnya dalam Dalkir (2005) menegaskan bahwa modal intelektual atau intellectual capital atau knowledge assets terdiri dari ramuan modal manusia (human capital), modal struktural (structural capital atau process capital atau internal capital) dan modal pemangku kepentingan (stakeholders capital atau customer capital atau external capital). Perusahaan merunut kualitas modal intelektualnya melalui, misalnya, Balanced Scorecard dimana perspektif pelanggan dipakai untuk merunut modal pemangku kepentingan, perspektif proses internal dipakai untuk merunut modal structural, dan perspektif pembelajaran dan bertumbuh dipakai untuk merunut modal manusia.
Berdasarkan studi dari Chong (2005), Wong (2005) dan Albers (2009) pada tahun 2009 dan 2010 dilakukan survey mengenai faktor yang dipandang menentukan keberhasilan penerapan manajemen pengetahuan di perusahaan. Survey dilakukan pada 328 eksekutif bidang sumber daya manusia yang menghadiri berbagai kegiatan Executive Briefing bulanan di PPM Manajemen. Seperti ditunjukkan oleh Gambar 1, dalam skala 1-4 dengan nilai cut-off 2.5 terdapat delapan faktor yang dipandang sebagai kunci keberhasilan penerapan manajemen pengetahuan. Pendekatan yang terstruktur memberikan kejelasan bagi anggota perusahaan mengenai apa yang akan dicapai, bagaimana cara mencapainya dan – terutama - kejelasan peran masing-masing pada upaya penerapan manajemen pengetahuan. Jadi dalam pendekatan yang terstruktur terkandung aspek keterlibatan (employee involvement) dan pemberdayaan (employee empowerment) karyawan. Selanjutnya, terkait dengan faktor pertama, faktor yang dipandang menentukan keberhasilan adalah adanya orangorang yang ahli yang memberikan kejelasan (dan ketenangan) dalam melalui proses penerapan Halaman 8 dari 13
manajemen pengetahuan serta adanya “champion” yang terus memotivasi para anggota organisasi untuk semangat. Seorang anggota Dewan Direksi perusahaan finalis MAKE 2011 pernah berkata bahwa para champion adalah orang-orang yang berpikir positif, berenergi tinggi dan umumnya mempunyai kinerja di atas rata-rata. Orang-orang tersebut tidak harus memegang posisi manajerial di level atas, namun bergairah dengan tantangan yang diberikan dan biasanya mereka juga adalah rising star.
Gambar 1 Faktor-faktor Kunci Sukses Penerapan Manajemen Pengetahuan Yang menarik teknologi informasi tidak menjadi faktor yang paling banyak dipilih sebagai faktor kunci keberhasilan penerapan manajemen pengetahuan. Di awal perkembangannya, banyak dipersepsikan bahwa manajemen pengetahuan dapat digantikan oleh keberadaan teknologi informasi, atau bahkan teknologi informasi itu adalah manajemen pengetahuan Dalkir (2005). Seperti disampaikan oleh McDermott (1999), “knowledge involves thinking with information.” Jadi dengan teknologi informasi saja – atau sistem informasi – tidak serta merta pengetahuan dapat dikelola dengan baik. Seperti studi terkini dari Gholipour et al. (2010) dan Revilla et al. (2010) teknologi informasi adalah pemungkin (enabler) dalam manajemen pengetahuan. Yaitu yang membuat proses-proses dalam manajemen pengetahuan dapat berjalan lebih efisien dan efektif. V.
PENUTUP: MANAJEMEN PENGETAHUAN KE DEPAN
Halaman 9 dari 13
Survey yang dilakukan pada tahun 2001, 2005 dan 2010 dilakukan terbatas pada organisasi berorientasi laba dan BUMN. Selain jenis perusahaannya, ukuran bisnis perusahaan yang menjadi obyek juga merupakan perusahaan-perusahaan skala besar dengan pendapatan (revenue) di atas 100 miliar Rupiah per tahun. Studi ini tidak dimaksudkan untuk men-generalisasikan hasil survey untuk pemberlakuan di organisasi yang tidak berorientasi laba, organisasi pemerintah, ataupun organisasi skala kecil-menengah. Pada tahun 2008-2009 pernah ada upaya untuk mengadakan kompetisi sejenis MAKE Award bagi organisasi di kawasan Asia Tenggara, yaitu GEKO atau Global Emerging Knowledge Enterprise. GEKO awalnya digagas oleh organisasi konsultan sumber daya manusia JT Frank yang berbasis di Malaysia. Tujuan penyelenggaraan GEKO adalah untuk memberi pelaung bagi organisasi kecil-menengah meningkatkan kualitas pengelolaan pengetahuannya melalui ajang kompetisi dan benchmarking. Namun kegiatan ini tidak berlanjut. Seperti disampaikan di bagian awal tulisan ini, penerapan manajemen pengetahuan di perusahaan terutama dipicu oleh dinamika lingkungan bisnis yang meningkat turbulensinya. Oleh sebab itu studi selanjutnya dapat dilakukan untuk mengekplorasi faktor pemicu yang menjadi alasan utama organisasi skala menengah kecil, organisasi nir laba dan organisasi pemerintah menerapkan manajemen pengetahuan.
Selanjutnya, kemana arah perkembangan manajemen pengetahuan ke depan? Manajemen pengetahuan seperti disampaikan di awal tulisan, terkait erat dengan pembelajaran organisasi (organisasi yang belajar, organisasi yang mendukung pembelajaran anggotanya/individu) dan pembelajaran individu. Dengan berkembangnya media sosial (social media) maka muncul pula generasi baru yaitu Generation C (connected, communicating, content-centric, computerized, community-oriented, always clicking generation) atau sering disebut pula sebagai the collective connected generation (Beck dan Wade, 2004). Generasi yang lahir awal tahun 2000 ini diduga mempunyai pola belajar (akuisisi dan kreasi pengetahuan) yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, misalnya generasi baby boomers (Boomers I lahir 1946-1954, Boomers II lahir 1955-1965) , generasi X (lahir 1966-1976), dan generasi Y (19771994)(McIntosh-Elkins, et al. 2007). Generasi C juga merupakan bagian dari generasi Z (lahir 1995-2012). Satu dekade yang akan datang, angkatan kerja yang berasal dari generasi C ini akan masuk dalam organisasi. Seperti disampaikan oleh Beck dan Wade (2004) generasi yang lahir dan tumbuh bersama
Halaman 10 dari 13
aneka gadget dan game tersebut kemungkinan akan mengubah bisnis selamanya. Dan mungkin juga mengubah pola pengelolaan pengetahuan.
Halaman 11 dari 13
Daftar Pustaka Albers, James A. (March 2009). “A Practical Approach To Implementing Knowledge Management.” Journal of Knowledge Management Practice dapat diunduh dari www.tlainc.com Anderson, L.W. (Ed.), Krathwohl, D.R. (Ed.), Airasian, P.W., Cruikshank, K.A., Mayer, R.E., Pintrich, P.R., Raths, J., & Wittrock, M.C. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, And Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives (Complete edition). New York: Longman Barney, J.B. 1991 “Firm resources and sustained competitive advantage”. Journal of Management. 17: 99-120. Beck, John C. and Mitchell Wade. 2004. Got Game: How the Gamer Generation Is Reshaping Business Forever. Boston: Harvard Business School Press. Chong, Siong Choy and Choi Young Suk. May 2005. “Critical factors in the successful implementation of knowledge management.” Journal of Knowledge Management Practices dapat diunduh dari www.tlainc.com Conner, Kathleen.R. and C.K.Prahalad. Sep-Oct 1996. “A resource-based theory of the firm: knowledge versus opprotunism,” Organization Science, Vol 7 No 9: 477-501. Dalkir, Kimiz. 2005. Knowledge Management in Theory and Practice, Burlington, MA, Elsevier ButterworthHeinemann Davenport, T. H. and Lawrence Prusak. 1998. Working knowledge: How organizations manage what they know. Boston: Harvard Business School Press. English, Michael J. and William H. Baker. 2006. Winning the Knowledge Transfer Race. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Gholipour, Rahmatollah, Gholamreza Jandaghi and Seyed Ali Akbar Hosseinzadeh. August 2010. “Explanation of knowledge management enabler as a latent variable: A case study of SMEs in Iran.” African Journal of Business Management Vol. 4 No. 9: 1863-1872 Grant, Robert.M. 1996. “Toward a knowledge-based theory of the firm,” Strategic Management Journal Vol. 17. 109–122. Jon-Arild Johannessen, Jon-Arild, Johan Olaisen and Bjorn Olsen. 2001. “Mismanagement of tacit knowledge: the importance of tacit knowledge, the danger of information technology, and what to do about it.” International Journal of Information Management 21:3-20. Liebowitz, Jay (ed.). 1999. Knowledge Management Handbook. Boca Raton: CRC Press LLC. Loermans, Jozef. 2002. “Synergizing the Learning Organization and Knowledge Management.” Journal of Knowledge Management. Vol. 6 No. 3. 285-294 Marquardt, Michael J. 2002. Building the Learning Organization: Mastering the 5 Elements for Corporate Learning 2nd ed. Palo Alto: Davies-Black Publishing. McDermott, Richard. 1999. “Why information technology inspired but cannot deliver knowledge management.” California Management Review Vol. 41 No. 4: 103-117. McElroy, Mark W. 2002. The New Knowledge Management: Complexity, Learning, and Sustainable Innovation. Burlington: Butterworth-Heinemann. McIntosh-Elkins, J. K. McRitchie, Maureen Scoones, 2007. “From the silent generation to generation x, y and z: strategies for managing the generation mix.” Proceedings of the 35th annual ACM SIGUCCS fall conference, Orlando. Munir, Ningky Sasanti T.S. 2004. “Model Kreasi Pengetahuan: Kajian pada perusahaan-perusahaan kosmetika modern skala besar di Indonesia.” Disertasi Doktor. Universitas Indonesia. Nonaka, Ikujiro. and Hirotaka Takeuchi. 1995. The knowledge-creating company: How Japanese companies create the dynamics of innovation. Oxford: Oxford University Press. Halaman 12 dari 13
Probst, Gilbert, Steffen Raub and Kai Romhardt. 2000. Managing Knowledge: Building Blocks for Success. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd. Revilla, Elena, Beatriz Rodríguez-Prado, Isabel Prieto, 2009. "Information technology as knowledge management enabler in product development: Empirical evidence", European Journal of Innovation Management, Vol. 12 Iss: 3:346 – 363 Senge, Peter.M. 1995. Fifth discipline. New York: The Free Press. Swan, J., Scarborough, H., Preston, J., 1999, "Knowledge management - the next fad to forget people?", Proceedings of the 7th European Conference on Information Systems, Copenhagen. Tiwana, Amrit. 2002. The knowledge management toolkit: orchestrating it, strategy, and knowledge platforms 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall. Turban, E., Ephraim McLean and James Wetherbe. 2004. Information Technology for Management: Transforming Organizations in the Digital Economy. San Francisco: John Wiley & Sons, Ltd. Wenger, Etienne, Richard McDermott, and William M. Snyder. 2002. Cultivating Communities of Practice: A Guide to Managing Knowledge. Boston: Harvard Business School Press. Wernerfelt, Birger. Mar.1995. “The resource-based view of the firm: ten years after.” Strategic Management Journal, Vol. 16, No. 3: 171-174. Wong, K. May 2005.. Critical success factors for implementing knowledge management in small and medium enterprises. Industrial Management and Data Systems, Vol. 105 No.3: 261-279. Zack, Michael H. 1999. “ Developing a knowledge strategy”. California Management Review. Vol. 41.No. 3 : 125-143.
Halaman 13 dari 13