Nasution, Otoritas Pasar...
OTORITAS PASAR YANG KEBABLASAN Indra Kesuma Nasution Abstract: Imagine that this world is a piece of paper. Like an expert in origami, fold the paper in two, four, eight, sixteen pieces, and so on, until we reach to a point where the paper can no longer be folded in any way. The paper can not be folded anymore because there are limitations on the capabilities of the structure which hold the changes within. Folding the paper beyond its limitations will ruin the existence and essence of the paper itself (Piliang, 2004). Keywords: market authorities, passionate capitalism, libidonomics capitalism PENDAHULUAN Kutipan dari salah satu paragraf buku dunia yang dilipat di atas, merupakan gambaran sederhana bahwa fakta globalisasi saat ini merupakan fenomena perkembangan dunia yang bergerak melebihi batas-batas alamiah kemampuan dirinya pun juga jawaban analogis dan simplistis atas pertanyaan dalam tranformasi global. Apakah otoritas privat dibaca pasar benarbenar dominan dan menggeser otoritas publik (dibaca negara) pada saat ini. Jika ya, apa implikasinya pada dunia. Dua pertanyaan besar di atas menjadi raison de’tre mengapa tulisan ini menjadi ada. Sekilas, atmosfir jawaban analogis yang diberikan, terkesan simplistic, value oriented dan negative thinking atas globalisasi ekonomi. Namun demikian, simplifikasi atas kapitalisme dan anak pinaknya terkesan lebih cantik, elegan, dan bertanggungjawab jika argumen atasnya dibangun berdasar asumsi dan logika berfikir yang runut. Untuk itu, demi upaya itulah elaborasi akan coba penulis lakukan semampunya. PEMBAHASAN Dominasi Otoritas Privat atas Publik: Efek Awal Kebablasan Dunia Berbicara tentang globalisasi ekonomi dan efek-efek yang diakibatkan olehnya, tidak dapat dilepaskan dari analisis tentang kemunculan pasar sebagai sumber otoritas baru dalam hubungan internasional. Kemunculannya merupakan hasil dari diskursus dialektis yang selalu terjadi antar dua otoritas yaitu public vs private, sekaligus pertanda kemenangan dominasi otoritas yang terakhir atas yang pertama. Otoritas dimaknai sebagai penyerahan kewenangan pribadi/individu/privat terhadap
suatu institusi tertentu sebagai bentuk kepatuhan atasnya. Otoritas selalu berada di antara mekanisme paksaan dan persuasi, tarik-menarik di antara keduanya merupakan sumber diskursus antara dua otoritas tersebut. Otoritas publik berada pada ranah yang penuh aturan, tekanan bahkan paksaan. Sementara otoritas privat merupakan wujud dari kebebasan setiap orang (Cutler, 1999). Sesuatu yang berjalan secara alamiah, netral dan jika ada sebuah aturan itu pun dicapai melalui upaya persuasi yang apolitis sifatnya. Dalam konteks yang lebih luas keberadaannya diwakili oleh civil society, namun dalam konteks yang kita bicarakan saat ini keberadaannya direpresentasikan oleh institusi ekonomi yang disebut pasar. Sepanjang sejarah, hubungan antara keduanya bersifat dialektif dan selalu terjadi dinamika dominasi. Pada abat pertengahan antara otoritas privat dan publik bekerja dalam alam sendiri-sendiri dan berjalan menurut logika masing-masing. Sementara di era negara modern, dominasi negara sebagai agen otoritas publik cenderung besar. Terjadi kooptasi otoritas publik atas privat, hampir semua persoalan dipublikkan, negara mengatur banyak persoalan individu, termasuk juga pasar yang ditandai dengan maraknya praktik ekonomi merkantilisme di mana hampir semua aktivitas ekonomi internasional dijalankan dengan logika politik. Sementara itu semenjak berakhirnya perang dingin situasi berubah drastis di mana otoritas privat mulai menyaingi dominasi otoritas publik. Pasar mulai muncul sebagai sumber otoritas baru yang dapat mendikte negara dalam banyak persoalan. Hal itu terjadi tidak hanya disebabkan oleh kemenangan ideologis kapitalisme dan neoliberalisme atas komunisme semata, namun juga dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan produksi yang memunculkan dua
Indra Kesuma Nasution adalah Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP USU Medan
109 Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
fenomena besar, yaitu pertama, matinya geografi, kedua, berkembangnya strategi aliansi di antara MNE dunia. 1. Matinya Geografi Dalam era Westphalian state system, perdagangan internasional seperti juga fenomena internasional lainnya, dijalankan atas dasar logika geografi (ruang). Dikotomi antara ekonomi domestik dengan ekonomi internasional, merujuk pada kondisi tempat tertentu. Domesitk merujuk pada satu wilayah negara tertentu, sementara internasional, mencakup wilayah yang lebih besar, terdiri dari dua atau lebih negara. Unit utama ekonomi internasional adalah negara yaitu sebuah entitas yang paling mudah didefinisikan dengan ruang. Perdagangan internasional konvensional maupun FDI dilakukan tentu saja dengan cara melintasi yurisdiksi wilayah negara. Begitu juga regulasi dan tax juga dioperasikan melalui hukum teritorial. Dengan demikian, ekonomi internasional itu selalu bersifat meruang dan fisik serta dioperasikan melalui kontrol atas ruang. Namun lewat penemuan teknologi mutakhir, khususnya teknologi transportasi, telekomunikasi, dan informasi semuanya berubah. Perkembangan tersebut telah menciptakan apa yang disebut pengkerutan jarak atau apa yang oleh Harvey dalam The Condition of Posmodernity disebut penghancuran ruang lewat waktu yaitu pemandekan waktu yang dibutuhkan untuk berpindah di antara lokasi yang berbeda di dalam ruang. Atau dengan kata lain, memadatkan, mengkerdilkan, melipat dan menaklukkan ruang dengan teknologi kecepatan sehingga ruang, teritorial, dan broader menjadi kehilangan maknanya. Ditemukan internet, trend teknologi serat optic dan cyber space telah membawa perubahan besar pada dunia. Sekalipun, negara dalam pemegang otoritas publik tidak berubah karena konsep soverignty yang melekat atasnya, namun kontrolnya atas lapangan privat termasuk ekonomi cenderung melemah. Maraknya modelmodel cyberspace trade via internet, konsep tentang teritorial dan dikotomi antara perdagangan domestik dengan internasional menjadi problematik dan tidak lagi relevan. Kondisi tersebut dijelaskan Nicholas Negroponte dalam in Being Digital yang membedakan perdagangan menjadi dua, trade in atoms dan trade in bits. Yang pertama menunjuk pada tangible material yang mensyaratkan terjadinya
110
perdagangan melintasi batas negara yang secara otomatis negara dapat mengontrolnya. Sementara, trade in bits dilakukan melalui media elektronik, ditransmisikan melalui satelit dan medianya adalah ruang maya yang tidak tunduk pada hukum ruang. Pusat-pusat pasar keuangan dunia dalam bekerjanya sama sekali tidak mempersoalkan elemen gegrafis. Sistem kerjanya dihubungkan melalui satu jaringan tunggal yang terintegrasi. Melalui sistem informasi elektronik ini, ratusan bahkan ribuan monitor yang ada dalam setiap ruang bursa finansial dunia, terhubung satu sama lain melalui satelit. Maka tidak jadi masalah di pasar bursa finansial manapun anda berada, akan mendapati gambar dan informasi yang sama. The Indian Software Industry yang berkedudukan di India melakukan transaksi jutaan dolar dengan beberapa perusahaan New York Amerika untuk menginstal program baru dan meng-up grade sistem komputer perusahaan tersebut. Perdagangan tersebut tidak dapat dikontrol pemerintah India dengan mengenakan pajak perdagangan karena tidak jelas transaksinya dilakukan dalam wilayah yurisdiksi mana. Realitas di atas merupakan setitik tanda dari sekian banyak tanda yang mengindikasikan terjadinya perubahan dinamika dominasi dikotomi otoritas di mana negara melemah dan pasar mulai menemukan momentumnya. Pasar mulai bergerak dengan logikanya sendiri di mana teknologi informasi membuatnya bebas bergerak melintasi ruang dan waktu yang tidak lagi dapat dikontrol secara ketat oleh institusi politik. Negara sebagai pemegang otoritas publik yang dominan aspek koersinya mulai tersaing oleh pasar, sebuah representasi otoritas privat yang digiven-kan lebih baik dengan karakter persuasif, alamiah, natural, dan value free. 2. Berkembangnya Strategi Aliansi di Antara MNE’s Dunia Inovasi teknologi menjadi kata kunci kesuksesan dalam era pasar bebas saat ini. Peran R & D menjadi sangat penting bagi MNE’s dunia, meneliti dan terus meneliti adalah aktivitas harus yang terus dan terus dilakukan. Sementara biaya yang dikeluarkan untuk aktivitas riset sangat mahal. Tidak ada satu MNE’s pun yang mampu melakukannya dengan baik dan rutin tanpa menyebabkan guncangan pada sistem keuangannya. Untuk itu, strategi yang paling tepat dan efektif adalah melakukan strategi
Universitas Sumatera Utara
Nasution, Otoritas Pasar...
aliansi yaitu melakukan riset teknologi secara bersama-sama. Data yang dilaporkan oleh Booz Allen dan Hamilton menunjukkan aliansi teknologi di antara MNE’s dunia yang tercatat dalam Fortune 1000 dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Di tahun 1980 aliansi yang terjadi hanya berkisar 2% saja di tahun 1996 meningkat menjadi 19% dan di tahun 2002 diproyeksikan meningkat tajam hingga kisaran 35%. Di separoh akhir tahun 1990, IBM melakukan 800 aliansi dengan perusahaan lain, AT&T 400 buah, dan HP 300 buah. Dan salah satu yang paling fenomenal, tiga perusahaan elektronik besar yaitu IBM, Siemen, dan Toshiba mengembangkan bersama 256 megabyte chip dengan total anggaran mencapai US$ 1 Milyar (Kobrin, 1999). Trend ini telah merubah mode of organization MNE’s dari model hirarkhis enterprises ke networking alliance capitalism, dari international economy ke global world economy, dari vertical integration ke global integration. Pada kenyataannya, kondisi ini mempersulit negara untuk melakukan kontrol terhadap MNE’s-nya yang melakukan praktik aliansi dengan MNE’s dari negara lain. Hakikat Dikotomi Otoritas: Fakta atau Konstruksi? Globalisasi sebagai agen otoritas privat bergerak dan menyebar lebih cepat dari yang pernah diperkirakan. Di dalamnya membawa serta isu-isu teknologi baru dalam setiap lapangan kehidupan, demokratisasi dalam politik, HAM dan feminisme dalam kehidupan sosial, dan pasar bebas dalam perdagangan internasional. Kebebasan sejati menjadi kata kunci dari setiap isu yang dihembuskannya. Nampaknya bukan hanya perubahan politik internasional maupun perkembangan teknologi semata yang menyebabkan percepatan demi percepatan dominasi otoritas privat itu terjadi. Namun lebih disebabkan pada konsepsi dikotomi otoritas yang telah dengan sukses dikonstruksikan. Neoliberal mengkonstruksikan otoritas privat sebagai sesuatu yang jauh dari koersi, natural, bebas nilai, dan apolitik. Oleh karena itu, apapun yang datang darinya termasuk juga pasar dianggap baik sehingga ide-ide pasar dapat berkembang pesat dan diterima semua orang, semua negara tanpa tantangan dan penolakan yang berarti.
Namun dikotomi itu, sesungguhnya mengkaburkan motif politik dan makna dominasi yang sesungguhnya ada dalam setiap praktik otoritas termasuk pasar. Pentakdiran pasar dengan sifatnya yang selalu baik, secara otomatis menyembunyikan ketidakadilan dan eksploitasi terhadap pemain yang paling lemah. Dikotomi otoritas privat vs publik bukanlah sesuatu yang given tetapi lebih sebuah kontruksi dari aktor yang mendominasi. Seperti apa yang dikatakan Gramsci sebagai berikut: Thus it is asserted (under liberalism) that economy activity belongs to civil society, and the State must not intervene to regulate it. But since in actual reality civil society and the State are one and the same, it is must be clear that laissez-faire too is a form of State “regulation” and maintain by legislative and coercive means. It is deliberate policy, conscious of its own ends and (Gramsci, 1971: 160). Akan tetapi, sekalipun sebuah konstruksi eksploitasi, pasar melakukannya dengan lebih canggih, halus, dan kadang tak nampak. Bukan dengan dominasi dan koersi fisik, namun hegemoni dan budaya bujuk rayu. Hegemoni ala Gramsci mengandung arti bahwa kontrol sosial politik tidak cukup dibangun dengan kekuatan fisik belaka, tetapi lebih dengan kooptasi ide. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilainilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Artinya, sebuah hubungan hegemonik ditegakkan ketika kelompok berkuasa berhasil mendapatkan persetujuan kelompok subordinat atas subordinasi mereka. Dengan kata lain, berbagai kelompok yang disubordinasi menerima ide-ide dan kepentingan kelompok yang berkuasa seperti layaknya punya mereka sendiri. Dengan demikian legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang karena ideologi, kultur, nilai, norma, dan politiknya sudah diinternalisasikan sebagai kepunyaan mereka sendiri oleh kelompok yang disubordinasi (Sugiono, 1999). Itulah yang dilakukan oleh pasar, ia melalui agen intelektual organiknya memformat sedemikian rupa gagasan, ide, dan norma menjadi ideologi dan budaya yang dapat diterima semua orang. Maka muncullah ideologi universal dan budaya pop, berwujud pasar bebas, budaya
111 Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
hutang, konsumerisme, hedonisme, dan sejenisnya yang menjadi agama baru bagi seluruh warga dunia. Upaya ini sukses besar, selain diakibatkan internalisasi penafsiran privat yang seolah-olah natural, bebas nilai, dan harmoni, tetapi juga didukung dengan perkembangan teknologi yang telah merubah trade in atoms menjadi trade in bits, yang semuanya dapat disebarkan, diakses, dan diinternalisasikan tanpa hambatan. Fenomena ini bisa kita lihat dari indikator volume perdagangan dunia, arus finansial dunia dan tingkat konsumsi dunia, yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan signifikan. Praktik Hegemoni Pasar yang Kebablasan Namun proses hegemoni pasar yang sedemikian cepat dan tidak terelakkan tidak dibarengi dengan mekanisme kontrol yang menegasikan efek-efek negatifnya, pasar cenderung kebablasan dan memunculkan fenomena negatif. Fenomena negatif tersebut adalah: Libidonomics dan Passionate Capitalism Dominasi pasar telah menciptakan budaya konsumerisme yang dicirikan dengan munculnya komunitas masyarakat konsumsi tinggi yang mengglobal, ada di setiap sudut dunia. Masyarakat ini di dalam mengkonsumsi dan melakukan interaksinya dengan pasar tidak lagi menggunakan logika used value. Pasar di dalam memproduksi dan memasarkan barang dagangannya tidak lagi semata-mata mengkaitkan pelabelan harga, exchange value dengan sebagai nilai guna suatu barang. Pasar menyentuh hakikat nafsu manusia yakni libido, dengan memproduksi lebih banyak lagi konsep, ide, kesenangan, prestise, gairah, tanda, simbol, secara berlipat ganda. Saat ini, dalam ekonomi pasar bebas yang mengalir secara bebas dari satu negara ke negara lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain, bukan hanya sekedar barang, tetapi juga energienergi libido. Yang mengalir dari satu pasar ke
112
pasar lain, dari satu mall ke mall lain, tidak hanya sekedar shampoo, body lotion, video clip, burger, slimming tea, atau mobil tetapi di saat bersamaan juga kesenangan, kegairahan, kecabulan, kemabukan, dan keterpesonaan di balik produk-produk tersebut. Kapitalisme global tidak lagi berkaitan dengan ekspansi kapital dan teritorial, namun lebih berkaitan dengan ekspansi libido dan perkembangbiakan getaran nafsu. Perputaran ekonomi pasar bebas melegitimasi perputaran dan pelepasan nafsu secara bebas atau sebaliknya logika libido menjadi paradigma baru dari berlangsungnya ekonomi pasar bebas. Terbentuklah apa yang dinamakan dengan passionate capitalism yang paradoksal di mana senantiasa memproduksi tiada henti rasa kurang dalam skala besar, sementara di mana-mana terdapat kelimpah-ruahan, memproduksi tanpa henti hawa nafsu, sementara memperoleh keuntungan, kapitalisme model ini layaknya seperti mucikari, merubah nafsu menjadi kebutuhan. Maka pada saat ini, apapun dapat dijadikan komoditi, mulai dari kepribadian, kebugaran, penampilan, tubuh, rambut, rias wajah, kaki, tenaga dalam, izin, ramalan, gosip, isu, kesenangan, kesedihan, sampai pada bencana perang bahkan kematian. Apa yang dilakukan pasar adalah menyambungkan mesin produksi dan mesin hawa nafsu yang selanjutnya disambungkan lagi dengan mesin-mesin eksploitasi. Dengan mensinergikan ketiga mesin di atas, mewujudkan budaya konsumerisme tinggi di segenap penjuru dunia, bahkan di negara miskin sekalipun. Maka tidaklah heran ketika dari tahun ke tahun penjualan mobil di Indonesia terus meningkat, bahkan tahun ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah ibu rumah tangga. Indonesia hanya demi alasan presitse, rela membeli lima hand phone termahal dunia Vertu Nokia yang harga satunya lebih dari US$ 30.000. Itu semua adalah secuil fenomena passionate capitalism, metamorfosa mutakhir kapitalisme yang kita semua untuk membendungnya.
Universitas Sumatera Utara
Nasution, Otoritas Pasar...
DAFTAR PUSTAKA Cutler, A, Claire. 1999. Locating, “Authority in the Global Political Economy”. International Studies Quarterly, 43/1, March. Kobrin, Stephen J. 1999. Economic Governance in an Electronically Networked Global Economy. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta, Jalasutra. Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
113 Universitas Sumatera Utara