DUNIA ISLAM DI TENGAH GLOBALISASI Subhilhar dan Indra Kesuma Nasution Abstract:Islam has its own perspective of globalization. Nowadays, there are a lot of arguments and counter arguments about globalization and its impact. This essay will try to explore Islam point of view in analyzing democracy, modernization, and terrorism. The wrong opinion about Islam has a bad implication to the development of Islam itself. Islam doesn’t avoid globalization, Islam just expects that globalization will bring a better life for human being, encourage the process of development and escalate the quality of human resources, intelectually or mentally. Besides, Islam argues that modernization could encourage the progress of a way of thinking. In the Islam perspective, government is an actor or institution that has an authority dan trust from the whole society to do the law and rule enforcement. The’s why, the government has a huge responsibility to their people and God. Islam doesn’t agree with an anarchy action, includes terrorism. Terrorism tends to use a religio as a symbol to legalize their action. Does every moslem tend to use terrorism or even suicide terrorism to save the universe? Islam does’t teach us to be a murder or even hurt others but there so many reason why some of them do that. I could be indoctrinate, pressure, or even hopeless life. Keywords: Islam, globalization, modernization, democracy, terrorism PENDAHULUAN Tulisan ini membahas bagaimana Islam menganalisa ataupun memahami gagasan-gagasan globalisasi. Pertanyaan yang mendasar dalam tulisan ini adalah apakah Islam menerima globalisasi. Ketika berbicara globalisasi maka yang terlintas dalam pemikiran kita adalah borderless world. Semua negara bebas untuk melakukan kerjasama dengan negara mana pun dan batas negara bukan penghambat untuk melakukan kegiatan kerjasama. Banyak sekali pemahaman tentang globalisasi yang ditanggapi dengan pendekatan yang berbeda-beda. Namun secara umum istilah globalisasi mengindikasikan bahwa dunia adalah sebuah kontinuitas lingkungan yang terkonstruksi sebagai kesatuan utuh. Marshall McLuhans menyebut dunia yang diliputi kesadaran globalisasi dengan istilah global village. Dunia menjadi sangat transparan sehingga seolah tanpa batas administrasi suatu negara. Batas-batas geografis suatu negara menjadi kabur. Globalisasi membuat negara menjadi transparan akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Tulisan ini akan membedah pandangan Islam terhadap globalisasi terkait dengan 36
Subhilhar dan Indra K. Nst adalah Dosen FISIP - USU
bagaimana Islam menganalisa demokrasi, modernisasi hingga persoalan terorisme global. Penjabaran tulisan ini juga akan memasukkan perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam kaitannya dengan globalisasi. Mengawali tulisan ini akan dijelaskan globalisasi sebagai proses politik. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan globalisasi yang muncul sebagai sebuah proses politik, yang nantinya akan dikaitkan bagaimana Islam melihat globalisasi. PEMBAHASAN Globalisasi sebagai Proses Politik Sebagaimana ditunjukkan kasus TNCs, perspektif ekonomi dalam globalisasi hampir tidak bisa didiskusikan lepas dari analisis proses-proses politik. Perdebatan terbesar dalam globalisasi politik adalah berkenaan dengan nasib negara bangsa modern. Beberapa pertanyaan awal yang perlu diajukan adalah pertama, sebab-sebab politik apakah yang mendorong arus massif kapital, uang, dan teknologi melintasi batas-batas teritorial? Kedua, apakah arus ini merupakan tantangan serius terhadap keberdayaan nationstate. Ketiga, bagaimanakah dampak munculnya organisasi-organisasi intergovernmental terhadap konsep kedaulatan negara dan bagaimana prospek global
Subhilhar dan Indra K. Nst, Dunia Islam …
governance? Dalam merumuskan jawaban di atas ada empat pendapat yang berbeda-beda. Pertama, mereka menganggap bahwa globalisasi merupakan proses yang secara intrinsik berkaitan dengan ekspansi pasar. Secara lebih khusus, kemajuan pesat dalam teknologi komputer dan sistem komunikasi seperti jaringan lintas dunia dipandang sebagai kekuatan utama yang bertanggung jawab atas terciptanya pasar global. Menurut pandangan ini, politik nyaris tanpa daya di hadapan truk besar teknoekonomi yang tak terhalau yang akan melabrak upaya pemerintah mengintroduksi kembali kebijakan dan aturanaturan yang restriktif. Lowell Bryan dalam Market Unbound: Unleasing Global Capitalism (187:1996) menyatakan bahwa Ekonomi dianggap memiliki logika dalam inner logic yang terpisah dari dan superior terhadap politik. Menurut pandangan ini, kombinasi kepentingan diri ekonomi (economic self interest) dan inovasi teknologi adalah yang bertanggung jawab menghantarkan fase baru dalam sejarah dunia ketika peran pemerintah tereduksi di hadapan kekuatan pasar bebas. Negara menurut eksponen pandangan ini akan direduksi menjadi super konduktor kapitalisme global. Barangkali yang paling mewakili kelompok ini adalah Kenichi Ohmae dalam The End of the Nation State, The Rise of Regional Economies (42:1996), perancang strategi bisnis Jepang ini menyatakan bahwa nation-state menjadi tak lagi relevan dalam perkembangan global. Ohmae memproyeksikan keniscayaan munculnya ”dunia tanpa tapal batas” (the borderless world) berkat daya dorong kapitalisme. Dari perspektif ekonomi, Ohmae dalam The Borderless World, Power and Strategy in the Interlinked Economy (9:1990 menandaskan bahwa nation state telah kehilangan perannya sebagai unit partisipasi yang berarti dalam perekonomian global. Sebagaimana pembagian wilayah tidak lagi relevan bagi masyarakat, negara tidak lagi mampu menderminasi arah kehidupan sosial dalam batas-batas wilayah mereka. Negara, oleh pendisiplinan pasar global, semakin kerdil kemampuannya dalam mengontrol nilai tukar dan memproteksi mata uangnya. Dalam jangka panjang, proses-proses globalisasi politik akan mendorong hancurnya territory sebagai kerangka yang memiliki makna untuk memahami perubahan-perubahan
sosial dan politik. Tertib politik masa depan, menurut Ohmae akan menjadi suatu ekonomi regional yang saling terhubung (interlinked) dengan hampir semua jaringan global yang bekerja menurut prinsip pasar bebas. Kedua, menampik anggapan bahwa perubahan ekonomi skala besar semata terjadi dalam masyarakat sebagai sesuatu alamiah seperti misalnya gempa bumi. Melainkan mereka menyoroti peran sentral politik khususnya mobilisasi kekuasaan politik dalam menebarkan jaring-jaring diseminasi globalisasi. Steger, Manfred dalam Globalism: The New Market Ideology (30:2002) menjelaskan bahwa pandangan ini berpijak dari filosofi yang menekankan watak keagenan aktif manusia. Jika bentuk globalisasi ekonomi ditentukan oleh politik maka preferensi politik yang berbeda akan menghasilkan kondisi sosial yang berbeda. Menurut eksponen kelompok ini, akar-akar ekspansi massif ekonomi global tidak terletak baik pada ”hukum alamiah pasar”, maupun perkembangan teknologi komputer, melainkan pada keputusan politik yang dibuat pemerintah untuk melepas retriksi internasional terhadap kapital. Begitu keputusan politik diimplementasikan pada tahun 1980-an, inovasi teknologi hadir secara otomatis. Negara dan territory menurut pandangan ini tetap sesuatu yang penting bahkan dalam konteks global. Ketiga, memandang globalisasi sebagai akibat dipicu oleh perpaduan faktorfaktor politik dan teknologi. Nye, Joseph dalam The Paradox of American Power: Why the World’s only Super Power Can’t Go it Alone. (9:2002) menyatakan bahwa globalisasi adalah hasil dari kemajuan teknologi dan kebijakan pemerintah dalam meredukasi limitasi-limitasi dalam sistem pertukaran internasional. Globalization, kata salah seorang penganut paham ini, is the child of both technology and policy. Sementara menurut Jhon Gray, globalisasi adalah proses panjang yang dikendalikan oleh teknologi yang bentuk kontemporernya ditentukan secara politik oleh negara-negara yang paling kuat di dunia. Menurut Gray, adalah tujuan mendasar prakarsa neoliberal Anglo Amerika untuk merekayasa terbentuknya pasar bebas global. Pembiakan teknologi baru yang cepat dan tak dapat dielakkan merambah ke seluruh penjuru bumi yang membuat modernisasi masyarakat dunia yang dibimbing oleh teknologi menjadi sebuah takdir sejarah. Namun Gray 37
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3
menegaskan bahwa tidak ada negara yang memiliki kekuatan hegemonik yang dapat mewujudkan pasar bebas sejagat. Gray memperkirakan bahwa ekonomi dunia akan runtuh tatkala keseimbangannya tidak lagi dapat dipertahankan. Karena itu, Gray meramalkan akhir suram upaya-upaya politik dewasa ini untuk membangun pasar global. Perang perdagangan menurut Gray akan membuat kerjasama internasional lebih sulit. Keempat, menghampiri globalisasi politik terutama dari perspektif global governance. Representasi kelompok ini menganalisis berbagai peran respons nasional dan multilateral terhadap fragmentasi sistem ekonomi politik dan arus transnasional yang menerjang melintasi batas-batas nasional. Ilmuwan politik seperti Held dan Falk dalam tulisan-tulisan mereka mengartikulasikan perlu global governance sebagai konsekuensi logis proses globalisasi. Keduanya menggambarkan globalisasi sebagai telah mengikis pemerintah nasional karena itu juga mereduksi relevansi nation state. Menurut Held, baik sistem lama kedaulatan nation state Westphalia maupun sistem global pasca perang yang berpusat pada PBB tidak menawarkan solusi yang memuaskan terhadap setumpuk tantangan globalisasi politik. Akhirnya Held menawarkan munculnya bentuk demokrasi multilapis yang berpijak pada cita-cita kosmopolitan Barat, pengaturan hukum internasional dan jaringan luas yang menghubungkan antara berbagai institusi kepemerintahan dan non kepemerintahan. Held menyebut adanya kecendrungan inheren dalam proses globalisasi yang akan memperkuat lembaga-lembaga supranasional dan munculnya masyarakat sipil internasional. Dia meramalkan bahwa hak-hak demokratis pada akhirnya akan dilepaskan dari kaitan sempitnya dengan unit-unit teritorial tertentu. Held memvisionerkan munculnya demokrasi kosmopolitan yang mencakup elemen politik seperti parlemen global yang terkait dengan wilayah, negara, dan lokalitas. Senafas dengan visi ini, Falk menandaskan bahwa globalisasi politik akan mendorong kemunculan kekuatan sosial demokratis transnasional yang berjangkar dalam civil society. Falk menyebutnya sebagai globalisasi dari bawah. Dari keempat pandangan tentang globalisasi ini maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Islam melihat globalisasi. Berikut akan dijabarkan bagaimana 38
pemahaman Islam terhadap globalisasi yang berkembang saat ini. Persepsi Islam terhadap Globalisasi Realitas globalisasi memperlihatkan dukungan berkurangnya kekuatan yang dimiliki oleh negara dan masyarakat. Kekuatan globalisasi secara umum dimotori oleh kekuatan modal asing yang berwujud perusahaan-perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional. Perusahaan tersebut adalah perusahaan raksasa baik yang pabriknya berada di negara adikuasa dengan produk yang menyebar ke mancanegara ataupun perusahaan yang mempunyai cabang di negara berkembang. Berdasarkan kecendrungan perkembangan kapitalisme, globalisasi merupakan jalan lanjutan kapitalisme di sebuah negara. Negara yang terlibat dengan sistem kapitalisme ini tidak dapat menghindar dari jeratannya. Negara tidak lagi diperkenankan melakukan proteksi maupun intervensi yang terlalu besar dalam perekonomian. Teknologi informasi dan komunikasi media elektronik yang diproduksi oleh negara-negara industri maju seperti Amerika, Inggris, Perancis, yang mempercepat arus globalisasi berbasis pada bidang ekonomi dan budaya ke seluruh dunia. Arus globalisasi tampaknya akan terus mengalir dan tidak dapat dibendung. Pada tingkat tertentu globalisasi akan mempengaruhi dan membentuk format sosial politik, budaya maupun agama. Globalisasi membawa kepada kecendrungan semacam homogenitas budaya. Budaya nasional berinteraksi dengan budaya kosmopolitan dan budaya lokal pun akan berdampingan dengan budaya kosmopolitan. Fenomena ini menimbulkan disparitas persepsi dari berbagai pihak karena globalisasi dipandang sebagai problem mendasar yang ikut menentukan kualitas manusia sekarang dan yang akan datang. Paul Hirst dan Grahame Thompson dalam Globalization in Question. Terj.P. Sumitro. Globalisasi adalah Mitos (276:2001) menyoroti globalisasi dari perspektif ekonomi. Keduanya mengatakan bahwa konsep globalisasi seperti yang dikedepankan oleh pengamat ekstrim, tidak lain dan tidak bukan adalah mitos belaka. Pendapat Hirst dan Thompson bukan tidak beralasan. Mereka menggunakan argumentasi sebagai berikut.
Subhilhar dan Indra K. Nst, Dunia Islam …
Pertama, tatanan ekonomi yang sangat mendunia sekarang ini hanyalah bagian dari gelombang turun naik (konjungtur) pertumbuhan ekonomi internasional yang mulai ada sejak ekonomi yang berlandaskan pada teknologi industri yang mulai menyebar ke seluruh dunia sejak tahun 1860-an. Kedua, perusahaan transnasional yang murni jarang ditemukan karena perusahaan transnasional pada umumnya berbasis negara nasional dan aktivitas perdagangan dunia bertumpu pada kekuatan produksi nasional. Ketiga, lalu lintas modal tidak mengakibatkan berpindahnya penanaman modal dan kesempatan kerja secara besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang. Penanaman modal asing justru banyak terpusat di negara-negara industri maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika. Keempat, kekuatan ekonomi negaranegara industri maju ini mampu mengatur pasar modal dan aspek ekonomi lainnya. Oleh karena itu tidak benar bila pasar modal dunia tidak dapat diatur dan dikendalikan. Latief, Dochak dalam ”Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi” (hal. 36) mengemukakan bahwa globalisasi yang berbasis ekonomi juga dipandang sebagai ekspansi dari neoliberalisme. Seringkali paham neoliberalisme dipandang sebagai sebuah kemajuan. Dan hal ini mudah dipahami karena munculnya dalam pandangan publik adalah kemajuan teknologi dan media elektronika yang merupakan kekuatan produksi dari sistem globalisasi. Seiring dengan perdebatan yang terus terjadi tentang pemahaman globalisasi namun globalisasi terus berjalan, termasuk proses terintegrasinya kehidupan antar negara ke arah masyarakat dunia yang saling terkait, saling tergantung dan saling mempengaruhi dengan memberdayakan kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Realitas globalisasi semacam ini dalam pandangan Dochak Latief tidak bisa ditolak, kecuali bagi negara yang sengaja mengisolasikan diri dari perekonomian dunia yang semakin cepat berkembang. Arus perkembangan dunia menjadi semakin deras setelah difungsikannya bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, penggunaan mata uang dolar sebagai mata uang internasional, pesatnya sektor pertumbuhan dunia pariwisata, kerangka sistem moneter dan perdagangan dunia yang relatif mapan serta munculnya
kekuatan ekonomi yang berimbang antara Amerika, Eropa Barat, dan Jepang. Mastuhu dalam ”Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam” (274:1999) menyikapi globalisasi sebagai sebuah keniscayaan sejarah. Mastuhu meminjam argumen Karl Mannheim yang melihat globalisasi sebagai sebuah ideologi. Bagi Mastuhu globalisasi adalah konsep atau proses tanpa henti yang tidak bisa dibendung dan ditolak. Globalisasi menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Sebagai proses, globalisasi akan mengalami tahapan-tahapan perkembangan yang pada tingkat tertentu mampu membentuk format sosial seluruh kehidupan manusia baik politik, sosial, budaya maupun ekonomi. Globalisasi sebagai ideologi adalah proyeksi kehidupan masa depan atau gejala yang akan terjadi di kemudian hari berdasarkan sistem yang dominan di dalam masyarakat. Tanda-tanda globalisasi yang diamati oleh Mastuhu terdiri dari tiga hal besar yaitu pertama, globlisasi ditandai oleh menguatnya ruang pribadi. Ruang kebebasan pribadi untuk mengekspresikan pendapat, jati diri, dan kepribadian semakin menyempit karena banyaknya pesan-pesan atau tuntutan-tuntutan dari kehidupan modern yang harus dilaksanakan. Akibatnya beban moral semakin berat, seolah-olah tidak ada lagi kemerdekaan pribadi untuk mengembangkan ide-ide aslinya. Ditambah lagi nilai-nilai lama dijungkirbalikkan dan diganti dengan nilainilai baru yang meterialistis. Kedua, globalisasi adalah sebuah era kompetisi. Globalisasi membesarkan tingkat kompetisi ekonomi politik antar bangsa baik dari kaca mata struggle for power maupun kaca mata equilibrium. Globalisasi bagi Daniel Boorstin menjadikan dunia sebagai republik teknologi. Setiap negara lalu dituntut untuk melakukan akselerasi yang tidak tanggung-tangung dalam industrialisasi serta penguasaan IPTEK. Ketiga, globalisasi berarti naiknya intensitas hubungan antar budaya, norma sosial, kepentingan, dan ideologi antar bangsa. Internet dan satelit-satelit komunikasi menghubungkan banyak negara di dunia seolah seperti sebuah desa yang secara sosiologis sering disebut global village. Konsekuensi sangat penting dari globalisasi adalah setiap bangsa dituntut memiliki kesiapan kultural untuk melakukan integrasi terhadap sistem internasional tanpa 39
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3
terkaburkan identitas kesatuan nasionalnya. Selain itu globalisasi menyebabkan terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antara moralitas dengan intelektualitas dan menyebabkan semakin besarnya tantangan atau problem kehidupan. Masalah globalisasi direspons oleh Sahal Mahfudh. Globalisasi menurut Sahal dalam buku ”Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi” (97:2005) adalah sebuah sistem simbiosis yang menunjukkan hubungan erat antara aspek-aspek dalam kehidupan. Interdependensi tidak hanya terbatas dalam satu wilayah atau kawasan saja, melainkan juga dalam kehidupan di suatu negara dengan negara lain di dunia. Selanjutnya akan muncul konsep akulturasi, kompetisi tetapi juga kerjasama. Kompetisi semacam ini akan melahirkan pemikiran untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, komunitas agama perlu mempelajari ilmu pengetahuan yang ada relevansinya dengan kebutuhan masyarakat sehingga menghadapi perubahan terutama perubahan yang ditimbulkan oleh globalisasi. Globalisasi dapat mempengaruhi wawasan dan cakrawala pikiran para santri pondok pesantren. Untuk menghindari pengaruh negatif globalisasi, pesantren seharusnya menanamkan nilai-nilai agama dan akhlak pada mereka dengan pertimbangan syariat. Globalisasi bagi Mujib Shaleh dalam muhtarom bukanlah sebuah masalah jika globalisasi mendukung dunia pendidikan Islam. Globalisasi yang ditandai dengan adanya alat-alat canggih seperti televisi, komputer, internet, telpon seluler, dan sebagainya justru mengukuhkan usaha memperdalam Islam, meningkatkan intensitas keimanan dan memotivasi lembaga pendidikan Islam untuk membekali santri tidak saja dengan ilmu syariah melainkan juga dengan ilmu-ilmu lain seperti matematika, IPA. Pengaruh globalisasi yang materialistis dan sekular adalah sebuah realitas sosial. Globalisasi selain menjadi tantangan juga memberikan peluang sehingga harus direspons secara arif. Sekularitas globalisasi tidaklah selalu mempengaruhi sendi-sendi kehidupan agama. Oleh karena itu apa yang dilontarkan oleh Anthony F.C. Wallace sebagaimana yang dikutip oleh Edgar F. Borgatta dan Marie H. Borgatta dalam Kurtz, Lester, Gods in the Global Village, (146:1995) tidaklah tepat. Wallace menyatakan : 40
“The evolutionary future of religion is extinction. Belief in supernatural beings and supernatural forces that affect nature without obeying nature’s laws will erode and become only an interesting historical memory. Belief in supernatural powers in doomed to die out, all over the world, as a result of the increasing adequency and diffusion of scientific knowledge”. Wallace tampaknya menafikan agama dari perkembangan ilmu pengetahuan. Ia tidak jeli melihat bahwa berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai inovasi berpikir manusia dan tercukupinya kebutuhan hidup manusia di era globalisasi tidak akan memusnahkan tradisi dan ritualitas agama. Tradisi agama yang memiliki seperangkat keyakinan yang tergantung dan terjalin bersama sehingga terstruktur ternyata masih mempunyai daya tahan di masyarakat, termasuk tradisi ritualnya. Itulah sebabnya agama masih relevan di tengah-tengah kehidupan duniawi yang semakin materialistis hedonistis dewasa ini. Kehidupan agamalah yang akan menentukan seseorang selamat atau tidak. Relevansi Islam terhadap Globalisasi Ajaran-ajaran Islam relevan dengan aspek-aspek tertentu globalisasi. Relevansi globalisasi dengan ajaran Islam terdapat pada aspek-aspek berikut: 1. Islam dan Pembangunan Sumber Daya Manusia Globalisasi yang bersifat kompetitif mendorong umat berupaya secara sistematik untuk memproses pembangunan manusia menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, baik fisik intelektual maupun moral. Era globalisasi yang sebagian ditandai oleh maraknya bisnis dan perdagangan memberikan peluang pada umat untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan bisnis. Globalisasi yang membawa peningkatan industrialisasi akan membawa kemakmuran. Atau kemakmuran dapat dicapai melalui globalisasi industri. Setiap kenaikan kemampuan material suatu masyarakat adalah bernilai positif termasuk dari segi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan adalah kebahagiaan. Dan ia akan diketemukan hanya dalam keadaan seseorang dapat dengan bebas
Subhilhar dan Indra K. Nst, Dunia Islam …
mengembangkan dirinya.David Mc Clelland sering dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam teori modernisasi yang merupakan bagian dari bentuk-bentuk globalisasi. Analisa Mc Clelland berangkat dari perspektif psikologi sosial. Dalam bukunya “The Achievement Motive in Economic Growth”, Mc Clelland (1984) memberikan dasar-dasar tentang psikologi dan sikap manusia kaitannya dengan bagaimana perubahan sosial terjadi. Menceritakan tentang sejarah manusia sejak awal selalu ditandai dengan jatuh bangunnya suatu kebudayaan. Bangkitnya suatu kebudayaan menurut Kroeber adalah bersifat episodis dan terjadi dalam lapangan aspek yang berbeda. Pertanyaan yang ingin dijawab Mc Clelland adalah mengapa beberapa bangsa tumbuh secara pesat di bidang ekonomi sementara bangsa yang lain tidak? Mc Clelland lebih melihat faktor internal yaitu pada nilainilai dan motivasi yang mendorong untuk mengeksploitasi peluang untuk meraih kesempatan. Dengan kata lain, membentuk dan merubah nasib sendiri. Mc Clelland berpendapat bahwa need for achievement selalu berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Dari studi itu dia mendapatkan adanya pengaruh dan kaitan antara pertumbuhan ekonomi. Dan dalam ajaran Islam sangat mendukung orang-orang muslim untuk bekerja dalam upaya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beribadahlah kamu seolah-olah kamu mati esok dan bekerjalah kamu seolah-olah kamu hidup selamanya. Perkataan itu telah menjadi bagian penting bagi umat Islam yang memang mengharuskan orang-orang Islam untuk senantiasa bekerja. 2. Islam dan Globalisasi Pendidikan Globalisasi ditandai dengan kemajuan teknologi dan produksi. Kemajuan teknologi dan industri memberikan kemudahankemudahan dalam menyelenggarakan ibadah dan memberikan peluang besar dalam pendidikan untuk meningkatkan efektivitas proses belajar mengajar. Dan memang harus diakui bahwa teknologi sangat mendukung terciptanya proses belajar yang kondusif. Kemajuan teknologi ini kemudian telah banyak dipergunakan di pendidikanpendidikan yang berbasis Islam seperti pondok pesantren. Pondok pesantren di Indonesia secara faktual telah berhubungan dan berkomunikasi dengan sistem nilai di luar
dirinya tanpa dibatasi oleh streotipe kebudayaan. Hal ini terindikasi dengan penggunaan produk-produk global seperti televisi, komputer, internet, dan sebagainya. Penggunaan produk-produk global ini memang dirasa ada manfaat dan pengaruhnya bagi kehidupan pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan cukup berarti bagi produktivitas pendidikannya. Dalam Muhtarom (hal. 99), Kiai Najib Suyuthi mengatakan bahwa tayangan televisi memberikan pengetahuan para santri ataupun guru-guru secara langsung, memperkaya informasi dan dapat mengembangkan semangat belajar. Pemakaian telepon memberikan kemudahan-kemudahan bagi pelajar maupun kelembagaan. 3. Islam dan Modernisasi Pengertian yang mudah tentang modernisasi adalah pengertian yang identik dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya denga pola pikir dan tata kerja baru yang lebih rasional. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan pemikiran manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal, dan material sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis. Orang yang bertindak menurut ilmu pengetahuan (ilmiah) berarti ia bertindak menurut hukum alam yang berlaku. Oleh karena itu tidak melawan hukum alam malahan menggunakan hukum alam itu sendiri maka ia memperoleh daya guna yang tinggi. Jadi, sesuatu dapat disebut modern kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. Sebagai contoh, sebuah mesin hitung termodern dibuat dengan rasionalitas yang maksimal menurut penemuan ilmiah yang terbaru dan karena itu persesuaiannya dengan hukum alam paling mendekati kesempurnaan. Madjid, Nurcholis dalam “Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan” (177:1987) menyatakan bahwa bagi seorang muslim yang sepenuhnya meyakini kebenaran Islam sebagai way of life. Semua nilai dasar way of life yang menyeluruh itu tercantum dalam Kitab Suci Al Quran. Maka sebagai penganut way of life 41
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3
Islam dengan sendirinya juga menganut cara berpikir Islami. Demikianlah dalam menetapkan penilaian tentang modernisasi juga berorientasi pada nilai-nilai besar Islam. Dengan kata lain, modernisasi merupakan suatu keharusan, bahkan sebagai kewajiban mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Dan modernisasi yang dimaksudkan di sini ialah menurut pengertian di atas. Dengan demikian, bahwa jelaslah bahwa modernisasi yang berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal guna kebahagiaan umat manusia adalah perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunatullah yang haq. Sunatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam sehingga untuk dapat menjadi modern maka manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu (perintah Tuhan). Pemahaman manusia terhadap hukumhukum alam melahirkan ilmu pengetahuan sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akal (rasionalnya) sehingga modern berarti ilmiah berarti pula rasional. Maksud sikap rasional ialah memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Oleh karena manusia yang memiliki keterbatasan kemampuannya maka tidak dapat sekaligus mengerti seluruh alam ini, melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu maka menjadi modern adalah juga berarti progresif dan dinamis. Jadi tidak bertahan kepada sesuatu yang telah ada dan karena itu bersifat merombak dan melawan tradisi-tradisi yang tidak benar dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam hukum alam, tidak rasional, tidak ilmiah sekali pun dipihak lain juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai kebenaran. Maka sekali pun bersikap modern namun kemodernan bersifat relatif sebab terikat ruang dan waktu. Dengan demikian, tidak seorang pun manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak kemudian dengan sekuat tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya dari setiap perombakan. Sebaliknya karena menyadari kerelatifan kemanusiaan maka setiap orang harus bersedia lapang dada 42
menerima dan mendengarkan suatu kebenaran dari orang lain. Demikianlah modernitas yang nampaknya hanya mengandung kegunaan praktis yang langsung tapi pada hakikatnya mengandung arti yang lebih mendalam yaitu pendekatan kepada kebenaran mutlak. 4. Islam dan Demokrasi Held menegaskan bahwa globalisasi mendukung demokratisasi. Oleh karena dalam globalisasi terdapat prinsip global village yang mengindikasikan persamaan di antara negaranegara. Persamaan ini kemudian menjadi sebuah proses demokratisasi. Pertanyaannya adalah bagaimana Islam memahami demokrasi. Ketika berbicara demokrasi dalam Islam maka banyak sekali keraguan dari dunia Barat termasuk Amerika terhadap umat Islam dalam menjalankan praktik demokrasi. Sekurangnya mereka melihat bahwa kurangnya umat Islam menjalankan demokrasi berasal dari negara-negara Timur Tengah yang kebanyakan tidak menerapkan sistem demokrasi. Misalnya Arab Saudi, Kuwait, dan sebagainya. Oleh karena ada contohnya maka Samuel Huntington dan Francis Fukuyama sempat mensinyalir bahwa Islam tidak sejalan dengan demokrasi. Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja di negeri-negeri yang penduduknya muslim sebagian menyampingkan demokrasi. Kita tidak bisa menafikan bahwa di dalam tubuh Islam sendiri terdapat banyak keragaman tentang hubungan Islam dan politik termasuk di dalamnya dengan demokrasi. Varian-varian pemikiran ini bisa terjadi karena Islam memang memberikan ruang perbedaan. Kata Nabi Muhammad SAW, perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Jika dilihat dari basis empiris bahwa Islam dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari manusia. Dengan demikian, agama memiliki aturannya sendiri. Namun begitu, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Saleh, Taufiqurrahman dalam ”Memperdebatkan Kembali Islam dan Demokrasi. Republika” (2005) mengemukakan bahwa dalam perspektif Islam terdapat nilainilai demokrasi meliptui syura, musawah. Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara lugas ditegaskan dalam Al Quran. Jelas bahwa
Subhilhar dan Indra K. Nst, Dunia Islam …
musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama dalam setiap mengeluarkan keputusan. Dengan begitu maka setiap keputusan yang dikeluarkan pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan perundangan yang telah dibuat. Oleh sebab itu, pemerintah memiki tanggung jawab besar di hadapan rakyat dan Tuhan. Dengan begitu, pemerintah harus amanah, memiliki sikap, dan prilaku yang dapat dipercaya, jujur, dan adil. Nilai-nilai demokrasi dalam Islam masih banyak seperti al masuliyyah atau tanggung jawab. Di mana pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap apa yang dipimpinnya. Dengan mengulas langsung nilai-nilai ajaran Islam maka tesis Huntington dan Fukuyama yang mengatakan bahwa realitas empiris masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi adalah tidak benar. Karena belum menyentuh ke substansi ajaran Islam dan heterogenitas di dalam dunia Islam. Dari penjabaran di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Islam kemudian menerima gagasan globalisasi. Oleh karena globalisasi kemudian bisa membawa perbaikan seperti demokratisasi, pendidikan yang efektif. 5. Islam dan Terorisme Ada banyak definisi tentang terorisme. Dirjen Perlindungan HAM Departemen Kehakiman dan HAM RI menjelaskan bahwa terorisme yaitu pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk mengintimidasi atau menekan suatu pemerintah, masyarakat sipil atau bagian-bagiannya untuk memaksakan tujuan sosial dan politik. Tragedi New York pada 11 September 2001 telah membuat seluruh dunia terkejut dengan runtuhnya menara kembar World Trade Center yang memiliki 110 lantai sebagai simbol yang melekat dari kebanggaan ekonomi di Amerika Serikat, serta runtuhnya Pentagon yang menyimbolkan kekuatan angkatan militer
Amerika. Penyerangan itu jelas menunjukkan bahwa Amerika bukan suatu negara yang bebas dari terorisme internasional lainnya. Beragam prediksi kemudian muncul terkait dengan siapa pelaku teroris yang telah meruntuhkan WTC dan telah memakan korban ribuan orang. Osama bin Laden dan kelompoknya diduga oleh Bush sebagai aktor dibalik penyerangan ke WTC tersebut. Dengan kata lain, terorisme kemudian menjadi sesuatu yang identik dengan Islam. Oleh karena itu, menjadi hal yang menarik untuk melihat dan menganalisa bagaimana sebenarnya Islam menanggapi terorisme yang semakin ramai terjadi saat ini, khususnya aksi teror bunuh diri yang dijadikan metode untuk melakukan gerakan teroris. Untuk penjabaran Islam dan terorisme maka sangatlah menarik untuk melihat kasus aksi terorisme bunuh diri yang sering terjadi dalam konflik Arab-Israel. Dalam tulisan ini akan dibahas latar belakang, faktor-faktor, dan kecendrungan teror bunuh diri dalam melakukan aksinya. Dan bagaimana Islam melihat dan menganalisa teror bunuh diri tersebut. Ada anggapan bahwa teror bunuh diri akan bermunculan manakala dimotivasi oleh faktor indoktrinasi agama dan faktor situasi dalam bentuk deprivasi relatif yang mendukung terjadinya aksi tersebut dan sejauh mana keterkaitan kedua faktor tersebut dalam memunculkan aksi teror bunuh diri. Alasan tulisan ini bersumber dari ketertarikan terhadap karakter dan bentuk serta pola perlawanan rakyat Palestina dalam konflik Timur Tengah yang cenderung melakukan bom bunuh diri dalam aksinya. Aksi tersebut dilakukan oleh Hamas sebagai bentuk perjuangan kemerdekaan Palestina di Israel. Perkembangannya semakin meningkat sekitar tahun 1990-an sampai sekarang. Karakteristik, pola dan tindakan para teroris memang sangat sulit untuk diketahui. Pola dan karakter teroris tradisional seperti penculikan (kidnapping), pembajakan pesawat (hijacking), peledakan gedung, penyanderaan, penembakan tokoh politik, pemutihan uang, perdagangan senjata ilegal telah beralih ke teror bunuh diri (suicide) yang dianggap cukup efektif dalam kasus Timur Tengah. Walter Reich dalam The Terrorist Mentality, Chrisitian Science Monitor (1971) mengatakan ada hal yang diduga mendasari tindakan teroris tersebut yaitu para teroris tidak hanya telah siap mati namun mereka juga mencari 43
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3
kematian. Artinya keinginan para teroris mengorbankan dirinya dalam suatu misi pembunuhan merupakan tujuan yang telah lama diinginkannya. Terbukti dengan keberanian untuk mengorbankan diri dalam suatu misi tertentu. Ada anggapan bahwa terorisme bunuh diri merupakan sebuah karakteristik terorisme kontemporer. Walter Reich menyatakan bahwa dari sekian banyak pengertian dan pola prilaku tentang terorisme diperlukan adanya revisi yang menyeluruh terhadap pola tindakan dalam hal counter terorism dan dalam memaknai itu sendiri. Sampai saat ini tidak terdapat konsensus dalam mendefinisikan terorisme, namun pendefinisian yang ada selalu tergantung dari kepentingan pihak-pihak tertentu yang dijadikan legitimasi dalam penanganan terorisme. Kompleksitas permasalahan terorisme dikarenakan tindakannya rahasia dan tidak terduga. Tidak dapat diketahui waktunya kapan, tempatnya di mana, pelakunya siapa dan apa yang menjadi target. Walter Reich dalam Origins of Terrorism (248:1971) mengatakan bahwa dalam kasus teror bunuh diri di Timur Tengah dengan alasan ideologi dirasa kurang tepat. Oleh karena teror berdasarkan ideologi cenderung lebih banyak terjadi di Eropa dan negara-negara Barat. Begitu pun alasan ekonomi kurang dapat diterima sebagai alasan teror bunuh diri di Timur Tengah, namun terlihat motivasi dalam bentuk indoktrinasi agama, situasi konflik, dan kekerasan yang terjadi cenderung lebih memungkinkan dijadikan alasan aksi tersebut. Reich menambahkan bahwa terorisme adalah masalah yang kompleks, penyebab dan orangorang yang terlibat di dalamnya beragam. Terjadinya perubahan dalam hal karakter terorisme menimbulkan kekaburan bagi para pemerhati terorisme. Bentuk terorisme konvensional seperti narco terrorism dan bentuk kekerasan yang terorganisir lainnya semakin sulit dibedakan. Dalam bukunya ”Agama sebagai Sumber Kekerasan”, Wim Bauken dan Karl Josef Kuschel menunjukkan bukti bahwa masih banyak kekerasan terjadi atas nama agama. Seperti teror atas nama Islam, perang antar umat Katolik Ortodoks dan Muslim. Namun buku tersebut juga menyatakan pendapat yang bertentangan bahwa seharusnya agama dapat menjadi pondasi etika yang kuat untuk mengatasi kekerasan. Diperkuat oleh 44
Francois Houtart dalam tulisannya tentang ”Kultus Kekerasan Atas Nama Agama: Sebuah Panorama” (hal.9). Ia mengatakan bahwa kandungan agama pada dasarnya non-violent dan manusialah baik secara individu maupun kolektif yang menyelewengkan maknanya. Rumadi sebagai koordinator Islam liberal menyatakan bahwa terlibat tidaknya agama dalam aksi terorisme merupakan persolaan interpretasi sebuah fakta. Ia menambahkan bahwa keterkaitan antar agama dan terorisme sebagai ”perselingkungan”. Agama memang bisa berselingkuh. Ibarat gadis cantik, banyak orang yang suka menggodanya dengan imingiming dan kesenangan. Agama juga bisa digoda untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan fitrahnya. Seseorang yang menjadikan agama sebagai amunisi untuk melakukan terorisme pada dasarnya telah mendorong terjadinya perselingkuhan antara agama dengan pasangan yang ”tidak halal” yaitu terorisme. Bermacam faktor dapat dijadikan alasan yang dapat mempengaruhi aksi teror bunuh diri. Reich menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan memotivasi pelaku terorisme bunuh diri dalam melakukan aksinya. a. Faktor Kultural/Agama Faktor ini dikatakan sangat mempengaruhi tindakan teror bunuh diri, cara mempengaruhinya berkaitan dengan norma dan harapan. Yaitu dengan menjelaskan norma-norma yang sesuai dengan kondisi di mana seseorang boleh melakukan aksi tersebut. Kedua dengan memberi harapanharapan tentang apa yang akan terjadi dan diperoleh setelah kematian. Kebanyakan agama besar monotheisme, baik Islam, Kristen maupun Yahudi melarang usaha-usaha bunuh diri. Konsep mati syahid dalam agama Islam tidak bertolak belakang dengan agama Kristen dan Yahudi. Bila terbunuh dalam perang jihad maka dijanjikan kehidupan selanjutnya di surga sedangkan bunuh diri sama sekali dilarang. Makna mati syahid adalah seorang prajurit yang mati terbunuh di medan perang dan bukan yang membunuh dirinya sendiri. Banyak para tokoh agama mengatakan bahwa beragam itu mudah. Jalan ke surga lebih gampang dibandingkan ke neraka. Namun, menurut Reich kenyataan di atas berbeda. Beragama menjadi sangat susah. Jalan ke surga bukan ditempuh melalui
Subhilhar dan Indra K. Nst, Dunia Islam …
keheningan ibadah, keberpihakan kepada yang lemah, tetapi harus ditempuh dengan cara meledakkan bom dan membunuh manusia yang lain. Belakangan kita disuguhi fakta bahwa Tuhan dan surga harus ditebus dengan darah dan nyawa. Dengan akal sehat maka sulit sekali untuk menerima cara ini sebagai jalan menuju Tuhan. b. Faktor Indoktrinasi Dalam faktor agama dijelaskan tentang norma kultural yang memperbolehkan tindakan teror bunuh diri dengan tujuan perjuangan kebenaran. Serta dijelaskan pula akan adanya balasan kebaikan dan kebahagiaan bagi relawan setelah kematian. Sedangkan dalam faktor indoktrinasi dilakukan dengan pengajaran tentang upaya penyerahan diri kepada sebuah ”otoritas transedental” yang menjanjikan kesenangan eskatologis diperkuat dengan dalil-dalil yang mendukung doktrin tersebut. Selain itu peranan pemimpin yang karismatik cukup dominan dalam menyampaikan nilai-nilai perjuangan. Pemimpin tersebut bisa dari militer, tokoh spiritual agama atau pemimpin politik. Apabila kedua faktor tersebut berjalan sendiri-sendiri maka kemungkinan relevansinya dengan aksi teror bunuh diri kurang dapat dipertahankan. Apakah semua orang Islam akan mau melakukan teror bunuh diri jika tidak ada yang mendoktrinasi. Dengan asumsi bahwa apabila faktor situasi dan kondisi tidak didukung oleh indoktrinasi agama maka aksi teror bunuh diri tidak akan terjadi. Dengan kata lain, indoktrinasi agama cukup menentukan seseorang melakukan aksi teror bunuh diri. Sebuah proses pendidikan di mana seorang diberikan keyakinan oleh para agenagen berpengaruh yang sulit diketahui, bisa teman, guru, wartawan, dll. Cara lain yaitu dengan bujukan yang berorientasi pada pencapaian misi untuk bunuh diri dilakukan oleh pemimpin militer, politik atau agama yang karismatik. Dibanding dengan faktor lain, maka indoktrinasi merupakan faktor utama mengapa orang mau melakukan aksi bunuh diri. c. Faktor Situasi dan Kondisi Dalam situasi tertentu, kematian merupakan suatu alternatif pilihan yang memungkinkan. Pada saat menghadapi situasi yang ekstrim apabila alternatif lainnya adalah siksaan atau hukuman yang cukup lama, bunuh
diri merupakan pilihan yang masuk akal pada saat itu. Masyarakat yang merasa buntu dan tanpa harga karena berbagai kondisi yang menyulitkan sangat rentan terhadap tindakan kekerasan. Bambang Harymurti menyatakan dalam suatu diskusi yang terangkum dalam buku ’Beyond Terroism” (21:2002), bagaimana belasan orang rela mati untuk suatu perbuatan yang menurut akal sehat kita aneh. Perbuatan tersebut hanya mungkin dilakukan oleh orang yang tidak memiliki harapan lagi. Harapan adalah natural enemy dari terorisme. Hidup ada karena ada harapan, oleh karena itu kelompok-kelompok yang termarjinalkan harus diberi harapan bahwa masih ada jalan lain untuk memenangkan perjuangan melalui jalan non violent. Apabila kondisi masyarakat selalu dalam tekanan, mereka akan merasa buntu tanpa harapan ketika harapan hidup telah hilang, berarti mati akan lebih baik bagi mereka, hidup ada karena harapan. Begitu juga kondisi yang dihadapi oleh rakyat Palestina antara keputus-asaan (desperation), ketiadaan harapan (sense of hopeless), kecemasan terhadap masa depan (anxiety) dan keinginan meneguhkan identitas (strugle for identity). Kondisi tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa generasi muda Palestina telah dibesarkan dalam lingkungan yang sarat dengan kekerasan (violence), penghinaan (humiliation), pelecehan (harrashment) dari aparat militer Israel dan perasaan diabaikan oleh masyarakat internasional. Lingkungan yang mencekam tersebut cenderung memotivasi untuk melakukan perlawanan terhadap Israel yang dianggap memiliki kemampuan militer lebih canggih dari Palestina. Maka akses teror bunuh diri menjadi altenatif pilihan guna perlawanan dan pertahanan. d. Hubungan Antara Faktor Situasi Kondisi dan Indoktrinasi Agama Keterkaitan antara kedua faktor ini sangat memungkinkan terjadinya aksi teror bunuh diri. Penggabungan kondisi dan indoktrinasi agama akan memunculkan semangat perlawanan yang dirasakan oleh rakyat khususnya Palestina. Dengan kata lain bahwa Islam sebagai sebuah agama tidak membenarkan melakukan aksi teror dengan cara apapun baik teror bunuh diri ataupun tidak. 45
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3
Nama Islam berasal dari kata salam yang berarti damai. Sebuah pandangan tentang keharmonisan sosial dan ketenangan spiritual. Dengan demikian para aktivis muslim sering menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan bahwa Islam anti kekerasan. Oliver, Marie dan Paul Steinber dalam “Reheals for a Happy Death” (hal. 116) memuat pernyataan Syeikh Omar Abdul Rahman dalam wawancara pasca tragedi WTC yang mengatakan bahwa seorang muslim tidak pernah terpanggil untuk melakukan kekerasan yang ada ialah kasih sayang, memberi maaf, dan toleransi. Tetapi tambahnya apabila kami diserang, kalau tanah kami dirampas, kami terpanggil untuk membalas serangan para pembantai dan penyerang itu sampai tuntas. Artinya perang dapat dilakukan manakala untuk pertahanan dan keamanan. KESIMPULAN Dari penjabaran Islam dan globalisasi di atas maka bisa disimpulkan bahwa Islam tidak mempersoalkan tentang perkembangan globalisasi. Kehadiran globalisasi justru membawa perbaikan kepada manusia. Dalam globalisasi sangat menekankan adanya skema perdagangan yang justru membawa manusia pada pekerjaan yang lebih. Globalisasi yang bersifat kompetitif mendorong umat berupaya secara sistematik untuk memproses pembangunan manusia menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, baik fisik intelektual maupun moral
46
Selain itu, Islam juga memandang baik terhadap modernisasi sebagai sebuah kemajuan. Modernisasi kemudian menawarkan pendekatan ataupun kehidupan yang lebih baik. Modernisasi yang berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal guna kebahagiaan umat manusia. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan perundangan yang telah dibuat. Oleh sebab itu, pemerintah memiki tanggung jawab besar di hadapan rakyat dan Tuhan. Dengan begitu, pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan prilaku yang dapat dipercaya, jujur, dan adil Islam juga tidak membenarkan aksiaksi terorisme. Terorisme yang terjadi saat ini cenderung membawa simbol-simbol agama sebagai upaya pembenaran terhadap aksi teroris yang dilakukan oleh individu ataupun sekelompok orang tertentu. Islam adalah agama yang damai. Terorisme yang membawa Islam sebagai pembenaran merupakan aksi terorisme yang tidak memahami Islam. Apakah semua orang Islam akan melakukan aksi teror apalagi teror bunuh diri? Sehingga persoalannya adalah bukan Islam yang menyebabkan terorisme melainkan adanya faktor indoktrinasi dan faktor kondisi serta situasi yang hopeless yang mendukung terjadinya aksi teroris.
DAFTAR PUSTAKA Bryan, Lowell, Market Unbound: Unleasing Global Capitalism, New York, 1996. Beuken, Wim dan Karl Josef Kuschel, Agama sebagai Sumber Kekerasan? Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. Kurtz, Lester, Gods in the Global Village, Pine Force Press California, 1995. Latief, Dochak, Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi. Penerbit Muhammadiyah University Press, Surakarta. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Penerbit Logos Wacana Ilmu, Jakarta,1999. Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi. Penerbit Pustaka Pelajar.Yogyakarta, 2005. Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan ke-Indonesiaan. Penerbit Mizan, 1987. Nye, Joseph, The Paradox of American Power: Why the World’s only Super Power Can’t Go it Alone. Oxford University Press, 2002. Ohmae, Kenichi, The End of the Nation State, the Rise of Regional Economies. HarperCollins Publisher, 1996. ______ , The Borderless World, Power and Strategy in the Interlinked Economy. Harper Business, 1990. Oliver, Marie dan Paul Steinberg, Reheals for a Happy Death. Oxford University Press, New York. Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalization in Question. Terj.P. Sumitro. Globalisasi adalah Mitos. Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001. Reich,Walter,The Terrorist Mentality,Chrisitian Science Monitor. Prentice Hall, 1971. ______ , Origins of Terrorism. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Steger, Manfred, Globalism: The New Market Ideology, Rowman & Littlefield Publisher Inc, 2002. Sulistyo,Hermawan, Beyond Terrorism. Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002
47