Membangun TV Publik
Deddy Mulyana ABSTRAK Kehadiran televisi swasta tidak lebih sebagai penggembira yang melanggengkan budaya hedonistik lewat peran mereka sebagai agen-agen metropolis. Padahal, sudah saatnya Indonesia memiliki TV publik yang difungsikan menjadi wahana bagi masyarakat memperdebatkan urgensi permasalahan sehari-hari. Dalam perspektif multibudaya, urgensi kehadiran TV publik di Indonesia terasa semakin penting mengingat banyaknya masalah konflik antaretnis yang diakibatkan oleh prasangka-prasangka dan perbedaan kultural antaretnis yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Sementara menanti kehadiran TV publik, TV swasta yang sudah ada hendaknya mengintensifkan peran mereka sebagai pemersatu bangsa, sembari runtuhnya mitos-mitos sentralistik yang melekatkan peran penting bangsa ini hanya pada satu suku saja.
Dunia pertelevisian kita akan semakin ramai. Tersiar kabar bahwa tidak lama lagi beberapa TV swasta baru akan mulai beroperasi, yakni Trans TV, DVN TV, Global TV, dan PR TV, disusul beberapa stasiun TV swasta lainnya. Tetapi, apakah itu berarti kehadiran mereka akan memperkaya pengalaman batin kita, atau justru sebaliknya? Di antara sedikit wacana tentang TV belakangan ini, muncullah imbauan yang konstruktif, khususnya tentang perlunya kita membangun (atau menjadikan TVRI menjadi) TV publik, seperti disarankan beberapa pengamat, antara lain Garin Nugroho (1999, 2000).
Dari TV Ideologis ke TV Hedonistik Terus terang, saya termasuk orang yang tidak gembira menyambut berita tentang akan munculnya beberapa TV swasta yang baru. Bukan apa-apa. Melihat ke belakang, sejarah dan perkembangan TV kita sebenarnya sungguh menyedihkan. Selama 30 tahun lebih kita terpenjara dalam TV ideologis (TVRI) yang melulu mengagung-agungkan Deddy Mulyana. Membangun TV Publik
pemerintah, khususnya presiden dan keluarganya. Tugas utamanya tidak lain untuk melanggengkan kekuasaan rezim saat itu. Itu tampak, misalnya, pada acara-acara berita (nasional) dan laporan khusus yang selalu melaporkan kegiatan seremonial para pejabat, terutama presiden. Benar kata Peter D. Moss (1999) bahwa berita TV adalah konstruk kultural yang dihasilkan ideologi, karena sebagai produk media massa, berita TV menggunakan kerangka tertentu dalam memahami dunia, dan itu membantu menghasilkan dan menyalurkan definisi-definisi mengenai dunia. Ideologi di sini diartikan sebagai seperangkat asumsi budaya yang menjadi “normalitas alami dan tidak pernah dipersoalkan lagi.” Maka, produser program TVRI cenderung memilih seperangkat asumsi (dan gambar atau citra yang menyalurkan asumsi-asumsi tersebut) dari sekian banyak versi resmi ataupun setengah-resmi mengenai dunia yang dihasilkan sekian banyak pihak: pemerintah, serikat buruh, kelompok pengusaha, universitas, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya. Seperti dikatakan Peter Dahlgren (1991), 177
realitas sosial, menurut pandangan konstruktivis (fenomenologis), setidaknya sebagian, adalah produksi manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa. Makna adalah suatu konstruksi, meskipun terkadang rentan dan muskil, dan salah satu cara mendasar kita dalam menghasilkan makna mengenai dunia nyata adalah lewat narasi (media massa). Peristiwa-peristiwa yang ditangkap TVRI saat itu, berita sekalipun, jelas bukan peristiwa sebenarnya, baik dilihat dari urutannya, pun durasinya. Narasi TVRI merupakan seleksi peristiwa yang sudah direproduksi dalam bentuk artifisial. Narasilah yang menghubungkan peristiwa sebenarnya dengan khalayak. Dan narasi tidak sekadar menyampaikan, melainkan juga menciptakan makna. Julukan-julukan tertentu dipilih TVRI untuk pihak-pihak tertentu, misalnya GPK, ekstrem kanan, ekstrem kiri, anti Pancasila, subversif, OTB, bonek, dsb. dalam era Orde Baru, jelas merupakan pendefinisian untuk menciptakan realitas baru mengenai peristiwa atau orang yang didefinisikan. Kecenderungan menggunakan perspektif sentralistik itu masih terasa bahkan setelah rezim Soeharto lengser. Belum genap dua tahun rasanya ketika SCTV ditegur pihak berwajib karena wartawannya mewawancarai komandan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mulai awal tahun 1990-an, kita pindah ke penjara TV hedonistik ketika muncul beberapa stasiun TV swasta yang berperan tidak lebih sebagai agen-agen metropolis. Kasihan nian nasib masyarakat kita, lepas dari mulut harimau, lalu diterkam mulut buaya. Jelasnya, TV swasta kita turut memberi andil dalam melakukan apa yang disebut Cees J. Hamelink (1983:5-6) sebagai sinkronisasi budaya, atau apa yang dikatakan Joseph Straubhaar dan Robert LaRose (1996:136) sebagai imperialisme budaya, dua versi “globalisasi” suatu konsep yang meskipun populer, didefinisikan secara berlainan oleh pakarpakar berbeda, bergantung pada latar belakang keilmuan masing-masing. Lewat acara-acara yang sebagian besar diimpor (film lepas, film seri, sinetron, acara musik, dan iklan), TV swasta memasyarakatkan nilai-nilai budaya asing, longgar, dan serba-boleh kepada masyarakat kita. Termasuk 178
kepada masyarakat pedesaan yang sebenarnya memandang sebagian besar acara TV swasta itu tidak relevan dengan kebutuhan mereka. Akibatnya, karena berondongan pesan-pesan yang asing itu, masyarakat pedesaan mengalami gegar budaya di kampung halaman mereka sendiri. Saya masih ingat bagaimana sepasang anak-anak SMP di Surabaya secara suka sama suka bersebadan di dalam mobil beberapa tahun lalu karena, seperti mereka akui, terpengaruh oleh tayangan TV.
Belajar dari BBC Dalam konteks inilah TV publik, seperti yang diserukan beberapa pengamat, adalah suatu keniscayaan. TV publik harus menjadi ajang perdebatan semua lapisan masyarakat, sehingga semua pihak tergerak untuk memecahkan persoalan sehari-hari. Dalam konteks ini, bolehlah kita belajar dari BBC TV Publik Inggris yang mungkin merupakan TV Publik terbaik di dunia. Belum lama ini, di London – saya sempat menyaksikan TV publik Inggris BBC – yang mengetengahkan topik bagaimana warga Inggris biasa membincangkan rencana pemerintah Inggris untuk menyediakan dana bagi kampanye mempertahankan keperawanan bagi kaum (remaja) wanita, yakni dengan mengatakan “Tidak!” ketika diajak berhubungan intim oleh pasangannya. Dipandu mantan anggota parlemen Inggris, Robert Kilroy, inilah acara Talk Show paling menarik yang pernah saya saksikan, cerdas, dramatik, dan menghibur. Bintang acara itu tidak lain adalah Stephanie, seorang ibu muda yang hamil ketika usia 13 tahun. “Saya tahu apa yang saya lakukan. Saya melanggar hukum, tetapi itulah pilihan saya,” kata Stephanie. Di antara puluhan orang di studio, hadir dan turut sejumlah wanita muda yang pernah hamil dalam usia belasan tahun, termasuk yang berkulit hitam. Pada umumnya mereka mempertahankan apa yang telah dialami. Ketika Kilroy bertanya, “Stephanie, apakah kamu cukup bertanggung jawab?”, anak lugu itu menjawab, “Saya seorang Ibu yang baik,” seraya didukung Ibunya yang duduk di dekatnya. M EDIATOR, Vol. 2
No.2
2001
Ann Cryer, seorang anggota parlemen Partai Buruh Inggris berkomentar, “Ini bukan norma. Jangan berperilaku seperti yang ia lakukan. Jangan main seks. Tidak salah mengatakan ‘Tidak.’ Pertahankan apa yang Anda rasakan benar.” Beberapa Ibu mengusulkan perlunya lebih banyak pendidikan seks di sekolah, termasuk pengetahuan apa yang akan terjadi pada bayi. Seorang Muslim dengan tutup kepala mengemukakan pandangan bahwa TV mempengaruhi masyarakat (untuk melakukan seks bebas) dan bahwa pemerintah harus bertindak untuk mengatasi pornografi. Meskipun membutuhkan tunjangan, Ibu Stephanie mengatakan bahwa putrinya tidak dapat mengklaimnya dari pemerintah karena belum ada aturannya. Seorang Ibu berkulit hitam mengatakan bahwa ia mempunyai dua anak tetapi belum siap menjadi nenek. Ibu lain mengatakan bahwa ia mengawasi ketat anaknya supaya tidak menderita seperti dirinya. Seorang wanita muda, seperti mewakili kaumnya, mengatakan bahwa bila mereka ingin seks, mereka akan melakukannya. Seorang wanita lainnya berkilah bahwa bila mereka ingin mempunyai bayi, mereka akan mempunyai bayi. Yang menarik lagi, ada tiga wanita sedarah dari tiga generasi berbeda, tetapi seperti kakak beradik, karena ketiganya melahirkan dalam usia remaja. Menjelang acara berakhir, ketika Kilroy bertanya, “Ke mana Bapak dari anak Stephanie?” Stephanie menjawab, “Pergi (kabur) ke Tennerife,” karena tidak tahan mengurus anak. Seorang lelaki muda sempat berkilah, “Saya punya anak dalam usia 19, tetapi, saya punya mobil,” seakan ingin membenarkan keputusannya. Pada akhir acara Kilroy berpesan, “Ingatlah, ‘Saya tahu apa yang terbaik bagi saya. Punya bayi tidak seyogianya suatu accident. Take care.” James Lapian, seorang wartawan senior Radio BBC asal Jakarta yang menampung saya di London sempat mengomentari acara itu: “Dilihat dari logat, banyak orang (di studio) dari luar London, sehingga ini bukan kasus London. Kalau di Indonesia, sering ada komentar penonton, “Ini bukan di sini.” James dan saya sepakat bahwa TV Indonesia memang Jakarta-sentris. James menambahkan bahwa berdasarkan pengalamannya Deddy Mulyana. Membangun TV Publik
melatih para pengelola radio (swasta) di banyak wilayah di Indonesia, bahasa radionya sama dari Banda Aceh hingga Ambon, yakni logat Jakarta. “Buat saya, yang lama di Jakarta, aneh.” Menurut James, para pengelola radio di Bandung sempat sewot ketika bereaksi terhadap pandangannya, “Mengapa harus pakai logat Jakarta?” “Nggak gengsi,” kata seseorang. “Kalian menganggap bahasa Sunda kelas dua, kampungan, bahasa pariah. Padahal di rumah pakai bahasa Sunda. Jadi, kalian yang kampungan sendiri,” ungkap James mengenang pengalamannya. James berkilah bahwa 10 tahun lagi mereka mungkin harus belajar bahasa Sunda di BBC yang memang mempunyai banyak seksi siaran dalam beragam bahasa di dunia. James tidak memaksudkan bahwa radio-radio di Bandung harus berbahasa Sunda, tetapi seyogianya menunjukkan gaya khas Bandung. Dalam pikiran saya, gaya bahasa radio yang seragam di seluruh Indonesia, tidak lain sebagai dampak sampingan dari pemerintahan Orde Baru yang menekankan keseragaman. Tanpa sadar para pengelola itu menjadi korban propaganda rezim Soeharto. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita juga harus membicarakan topik di atas lewat TV kita. Tetapi betapa banyak topik kontekstual dan relevan dalam budaya kita yang dapat diangkat sebagai topik debat yang melibatkan masyarakat biasa di layar kaca, seperti kenaikan BBM, bahaya merokok, kepatuhan terhadap rambu lalulintas, kenaikan upah buruh, dsb., karena hal-hal seperti itu menyangkut hajat hidup dan kepentingan mereka. Bahkan dalam bidang pendidikan saja bisa dibicarakan topik-topik seperti: kenaikan uang kuliah, kebiasaan menyontek di kalangan pelajar dan mahasiswa, kemalasan dosen memberi kuliah, kualitas pengajaran yang rendah, peluang kerja sambil belajar, dsb. TV publik harus lebih mawas-diri dalam memperlakukan kelompok-kelompok budaya dan politik (atau bahkan yang disebut kelompok sempalan) yang dipandang sebelah mata oleh pemerintah pusat. Dalam siarannya, TV publik harus melaporkan lebih banyak realitas di lapangan dari pada hasil wawancara dengan tokoh-tokoh politik. Kalaupun wawancara tetap dilakukan, maka 179
informannya adalah mereka yang langsung terlibat di lapangan. Melalui pelaporan yang jujur, adil, dan fenomenologis, TV publik dapat mendorong khalayak untuk bersimpati dengan kaum lemah. Wacana yang sehat dapat berkembang untuk menemukan solusi terhadap problem yang ada. Lebih jauh lagi, TV publik dapat mempromosikan pengetahuan, kesadaran, dan empati antarbudaya, menyoroti keragaman budaya Indonesia dan pentingnya saling pengertian antarbudaya. TV publik dapat menayangkan acaraacara yang melukiskan gaya hidup berbagai kelompok suku atau ras. Hingga kini, kebanyakan karakter yang tergambar dalam TV Indonesia adalah mereka yang berasal dari kelas menengah perkotaan, berpendidikan tinggi, berasal dari kelompok etnik dominan seperti Jawa dan Sunda. Cerita-cerita yang dilukiskan TV hampir tidak pernah menyinggung kelompok suku dan ras lain seperti Sasak, Banjar, Manado, apalagi Tionghoa, India, dan Arab. Pemerintah selalu bangga bahwa Indonesia terdiri dari ratusan suku dengan bahasanya masing-masing, tetapi perspektif yang digunakan dalam program TV adalah perspektif Jakarta. Padahal program lokal yang menayangkan kehidupan lokal pada saat yang sama dapat juga mengurangi kebergantungan kita pada program impor, khususnya program made in Amerika yang sering tidak cocok dengan budaya kita. Suatu program menarik dapat melukiskan perselisihan antarsuku atau antarras dalam suatu setting tertentu: di sekolah, kantor, atau lingkungan tetangga, sembari menawarkan solusi yang masuk akal dan jenaka. Komedi situasi All in the Family yang terkenal tahun 1970-an di Amerika Serikat dan masih diputar pada paruh pertama tahun 1980an, dengan tokoh utamanya Archie Bunker, yang picik (terkadang rasialis), namun sebenarnya baik hati, merupakan salah satu contoh yang baik. TV publik BBC di Inggris, seperti dikatakan James, pernah menayangkan acara bagaimana imigran India yang dalam sikap dan perilakunya sok keinggris-inggrisan, dan bahkan lebih Inggris dari pada warga pribuminya. Sindiran itu sungguh kena, tetapi tidak menyinggung perasaan imigran yang bersangkutan karena disampaikan secara 180
jenaka. Di London, dalam kesempatan lain saya sempat menyaksikan bagaimana seorang wanita Inggris yang sok borjuis akhirnya ketiban sial dan dipermalukan di depan dua wanita lainnya. Seingat saya, TV kita tidak pernah sekalipun menjadikan ibu pejabat sebagai objek sindiran dalam tayangannya. Tidak ada manusia yang sempurna, karena itu secara teoretis semua profesi seperti wartawan, tentara, polisi, ilmuwan (dosen), pengacara, dokter, bahkan menteri, dapat dijadikan objek acara yang menyindir dan cerdas, biar semua orang sadar bahwa posisi mereka sederajat di muka hukum. TV kita, seperti kebiasaan sebagian besar bangsa kita, secara tradisional gemar menyanjung dan menjilat atasan, tetapi memojokkan dan menertawakan kaum lemah. Kini saatnya TV kita berpihak pada kaum lemah, dengan menayangkan perjuangan dan suka-duka kaum lemah, seperti wanita-wanita yang menjadi buruh di pabrik, atau para penjaga toko, untuk melawan “penindasan” majikan mereka. Kita sebenarnya sudah mempunyai acara-acara TV yang mirip dengan itu seperti Si Doel Anak Sekolahan dan Keluarga Cemara, tetapi jumlahnya masih sangat minim. Karenanya, kita perlu meningkatkannya lagi. Sekali lagi, acara ini dapat dibuat secara jenaka. Unsur humor memang harus dominan, karena semua orang senang humor, dan sekaligus obat buat kita untuk menyembuhkan rasa frustrasi dan rasa bosan kita dalam kehidupan sehari-hari. Komedi situasi Laverne and Shirley di Amerika Serikat tahun 1070an yang melukiskan suka duka dua pegawai rendah (buruh) wanita adalah salah satu contoh yang menarik pada zamannya. Program tertentu dapat dibuat untuk mempromosikan peluang kelompok etnik minoritas untuk maju dalam karier, misalnya menjadi direktur, gubernur, menteri, atau bahkan presiden. Hal ini bertujuan menghilangkan kesan bahwa orang-orang dari suku-suku tertentu saja yang dapat menjadi presiden. Sementara pada masa lalu terdapat “hukum tidak tertulis’ bahwa hanya orang Jawa saja yang dapat menjadi presiden, kini masih sulit membayangkan bahwa seorang Sasak, Ambon, atau Papua, atau bahkan orang Sunda, M EDIATOR, Vol. 2
No.2
2001
dapat meraih posisi itu. Rakyat harus disadarkan bahwa menjadi pejabat penting itu hal biasa saja yang dapat dicapai setiap orang, termasuk suku minoritas. Mereka yang minoritas itu tidak bodoh, hanya memang pemerintah Orde Baru-lah yang menciptakan penjara kebodohan itu. Saat ini, andaikan saja ada film atau sinetron kita melukiskan seseorang dari suku minoritas di atas sebagai presiden, program itu boleh jadi dianggap ganjil. Dalam film-film Amerika, misalnya, tidak jarang digambarkan bahwa seorang kepala kepolisian, menteri, atau bahkan presiden adalah seorang anggota kaum minoritas. Juga tidak usahlah ditabukan untuk mengritik kelompok tertentu dalam masyarakat kita — lewat komedi misalnya — yang selama ini dianggap “suci,” seperti TNI atau guru, dokter, dsb. Sebab, mereka semua adalah manusia biasa. Jangan sampai ada kasus terdahulu: suatu iklan krim rambut dilarang gara-gara menayangkan komentar seorang wanita muda yang menyayangkan rambut pacarnya dipotong sehingga menjadi cepak (seolah menyindir anggota TNI).
Kini, sementara kita menunggu realisasi TV publik kita, TV swasta kita persilakan mencoba resepresep di atas. Menilai kehadiran beberapa TV swasta di masa mendatang, tampaknya hanya Metro TV sebagai “CNN”-nya Indonesia yang akan cukup bermanfaat, karena pola siarannya berintikan berita dan informasi, dengan pelengkap infotainment. Kehadiran TV swasta lainnya, saya kira akan mubazir bila pola siarannya serupa saja dengan TV swasta yang sudah ada. Saya lebih berharap bahwa para pengusaha kita akan lebih tertarik untuk membangun TV kabel yang mampu mencerahkan bangsa ini secara budaya, seperti History Channel dan Discovery di Amerika Serikat, yang lewat tayangan-tayangannya yang menarik tentang sejarah, biologi, fisika, astronomi, dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya, mampu meningkatkan pengetahuan khalayak pemirsanya, termasuk anakanak dan remaja. M
Sumber Bacaan Penutup Dengan menganut kebijakan multibudaya, TV publik turut andil dalam mengatasi prasangka dan konflik antarbudaya (etnik, ras, agama) di Indonesia. Dengan berkembangnya otonomi yang luas di tiap provinsi, TV publik juga dituntut untuk meninggalkan perspektif sentralistiknya dalam memahami realitas Indonesia. TV publik bahkan seyogianya mempromosikan perkembangan ekonomi dan budaya yang adil di tiap provinsi, sehingga setiap provinsi menjadi kuat, mandiri, dan bangga sebagai provinsi dan sekaligus sebagai bagian dari Indonesia, tanpa merasa bahwa satu suku lebih berhak memerintah provinsi tertentu. Siapa saja dari suku dan ras mana saja dapat menjadi lurah hingga gubernur di daerahnya, bahkan presiden negerinya, asalkan mampu dan adilbijaksana. Dengan demikian TV publik dapat membantu membangun kesatuan dan persatuan Indonesia dalam arti yang sesungguhnya, meskipun pemerintahannya kelak desentralistik. Deddy Mulyana. Membangun TV Publik
Dahlgren, Peter. 1999. “Television News Narrative,” dalam Mary S. Mander, ed. Framing Friction. Urbana: University of Illinois Press, hlm. 189214. Moss, Peter D. 1999. “Conflict and Containment in Television News: A Case Study,“ dalam Mary S. Mander, ed. Framing Friction. Urbana: University of Illinois Press, hlm. 161-188. Nugroho, Garin. 1999. “Demokratisasi TVRI: Saatnya di Bawah Wewenang DPR/MPR,” Kompas, 1 November 1999. _____. 2000. “Indonesia Pasca – 2000, Era Televisi Publik,” Kompas, 2000. Straubhaar, Joseph dan Robert LaRose. 1996. Communication Media in the Information Society. Belmont: Wadsworth.
181