Membangun Paradigma Baru Penyediaan Infrastruktur Sosial Pendidikan dan Kesehatan di Indonesia melalui Skema Kerja Sama Pemerintah dan Swasta Oleh: Eko Nur Surachman Kepala Subbidang Risiko Infrastruktur Transportasi, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan Email:
[email protected]
Beberapa waktu yang lalu, pemberitaan tentang program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang digulirkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menuai pro dan kontra serta menjadi diskusi yang menarik baik di media cetak, televise, maupun sosial. Pemprov DKI Jakarta melalui kedua program unggulannya tersebut menggelontorkan dana sebesar lebih dari Rp2,4 triliun dari APBD guna memberikan layanan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau bagi warga DKI Jakarta. Sejatinya, tidak ada yang salah dari tujuan program penyediaan layanan sosial seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta tersebut. Akan tetapi, di lapangan program tersebut mengalami banyak kendala seperti penentuan kriteria masyarakat penerima layanan yang masih melibatkan sistem birokrasi dalam pengusulan peserta (Program KJP) serta sistem reimbursement yang diajukan rumah sakit provider layanan KJS yang terikat pada mekanisme yang tidak fleksibel (Indonesia Case Base Group/INA-CBG) yang berpengaruh kepada mutu layanan. Hal ini terjadi karena program unggulan ini masih dilaksanakan dengan paradigma lama dari pelayanan publik yaitu belanja barang dan jasa melalui anggaran sektor publik (APBD dan/atau APBN). Evaluasi dan usaha perbaikan terhadap program sosial seperti ini memang dan harus terus dilakukan untuk meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan tersebut kepada masyarakat. Namun, jika kita melihat pengalaman negara-negara yang telah maju sistem jaminan sosialnya, terdapat cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial tersebut yaitu melalui sistem Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS). Tulisan ini selanjutnya akan membahas penyelenggaraan dan penyediaan infrastruktur sosial berupa layanan pendidikan dan kesehatan melalui skema KPS. Keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur guna mendukung dan mempercepat pertumbuhan ekonomi sudah sangat jelas dan tidak terbantahkan (Queiroz, 2004). Infrastruktur itu sendiri dapat dibedakan jenisnya menjadi hard infrastructure seperti jalan, jembatan, rel, dan sarana infrastruktur fisik lainnya. Jenis infrastruktur yang berikutnya adalah soft infrastructure, seperti layanan pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial
1
lainnya.1 Kebutuhan pembangunan infrastruktur sosial ini juga sangat besar. McKinsey mencatat dari kebutuhan pembangunan infrastruktur secara global sampai tahun 2020 sebesar US$8 triliun, 40% diantaranya merupakan pembangunan infrastruktur sosial.2 Dengan makin terbatasnya kemampuan anggaran sektor publik, maka peran swasta harus didorong untuk ikut serta dalam upaya pembangunan infrastruktur ini. Upaya ini tidak mudah mengingat motif dan tujuan yang berbeda secara diametral antara sektor publik dan sektor privat. Sektor publik bertujuan untuk melayani masyarakat (public service) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (public welfare), sementara sektor privat bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan (profit oriented). Skema KPS bisa menjadi titik temu motif dan kepentingan yang berbeda antara sektor publik dan sektor privat. Sektor publik mengharapkan efisiensi anggaran pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan publik kepada masyarakat yang bisa diperoleh dari teknologi, inovasi dan kemampuan manajerial yang ditawarkan sektor privat, dibanding jika pemerintah melaksanakan sendiri pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Sektor privat, dalam skema ini, juga dapat memperoleh keuntungan maksimal dengan menjual ide teknologi, kemampuan inovasi, dan kemampuan manajerial yang memang menjadi basic behaviour-nya guna dijual kepada sektor publik yang mempunyai captive market yang sangat luas.
Critical Success Point dalam Penerapan Skema KPS untuk Penyediaan Infrastruktur Sosial 1. Penerapan Penilaian VfM Value for Money (VfM), merupakan ukuran efisiensi dan efektifitas pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh sektor privat dibandingkan apabila pembangunan dilaksanakan pemerintah. VfM merupakan metode penilaian dalam public sector comparator (PSC) dan menentukan skema pembangunan infrastruktur apakah akan dilaksanakan dengan skema KPS atau dibiayai dengan anggaran publik. VfM mempunyai beberapa dimensi tolok ukur, yaitu antara lain harga (monetary value), pembagian alokasi risiko proyek (risk allocation), dan standar pelayanan infrastruktur (output specification). Jadi, di dalam analisa VfM, harga bukan satu-satunya parameter yang dilihat, namun juga diperhatikan pembagian alokasi proyek yang ideal dan standar pelayanan yang dijanjikan
1
Susilawati, Connie and Wong, Johnny and Chikolwa, Bwembya (2009) An evaluation of viability of public private partnerships in social infrastructure procurement projects in Queensland, Australia. In: Proceedings of the CRIOCM 2009 International Symposium on Advancement of Construction Management and Real Estate, 29-31 October 2009, Nanjing. 2 http://www.mckinsey.com/client_service/infrastructure/expertise/social_infrastructure.
2
oleh sektor privat. Suatu proyek yang mempunyai VfM, lebih optimal dilaksanakan dengan KPS karena terdapat efisiensi dan inovasi teknologi yang ditawarkan oleh sektor privat. Sedangkan apabila sebuah proyek dinilai tidak memiliki VfM yang memadai, sebaiknya pembangunannya dibiayai dengan anggaran sektor publik. Hal ini dikarenakan, proyek tersebut tidak akan laku ditawarkan kepada sektor privat jika tetap dilelang dengan KPS. Pun, jika investor swasta masih berminat dengan suatu proyek, dapat dipastikan akan meminta dukungan dan fasilitas dari pemerintah dalam skala yang masif untuk mengkompensasi risiko karena mengambil proyek tersebut. Untuk lebih jelas dalam memahami konsep PSC dan VfM, Partnership Victoria memberikan gambaran sebagaimana terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan PSC Guna Menentukan VfM Conforming Partnership Victoria bid Bids
PSC
Raw costs (NPC - $m) • service charge to government
A
B
C
Non-conforming bids D
E
F
80
Competitive Neutrality • state taxes Risk valued by government
7
Transferable Risks • design and construction
25
Transfer
Transfer
Transfer
• operations
10
Transfer
Transfer
Transfer
• maintenance NPC-Subtotal
Retained
Transfer
Transfer
127
98
117
111
5 100
120
110
Retained risks • maintenance
5
• environmental
10
10
10
10
10
10
Transfer
• technology
15
15
15
15
15
Transfer
15
Total NPC of services
152
125
145
135
128
127
126
Sumber: Partnership Victoria Guidance Material: Public Sector Comparator a Technical Note, Partnership Victoria, June 2001. Didalam Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemerintah mempunyai Net Present Cost (NPC) PSC sebesar 152 yang merupakan ukuran benchmark guna menentukan skema modalitas pembangunan infrastruktur. Apabila dalam project brief didapat indikasi minat investor untuk membangun proyek bersangkutan dengan biaya lebih dari 152 atau lebih kecil dari 152 namun meminta alokasi risiko yang berlebihan kepada pemerintah (non conforming bids), maka keputusan untuk melelang proyek dengan skema KPS patut dipertimbangkan. Di dalam ilustrasi pada Tabel 1 dapat diketahui, investor D, E, dan F, meskipun mempunyai NPC proyek lebih kecil dari 152, namun meminta agar alokasi risiko 3
dari design and conctruction, operations, dan maintenance tetap diambil oleh pemerintah. Hal tersebut berarti, dari sudut pandang penawaran yang diajukan investor D, E, dan F, pemerintah melihat proyek tidak mempunyai VfM. Lebih lanjut, Tabel 1 memberikan data bahwa terdapat investor A, B, dan C yang mempunyai NPC sebesar 125, 145, dan 135 secara berurutan dan dapat menerima alokasi risiko dari design and conctruction, operations, dan maintenance berada di sektor privat. VfM proyek ini bagi pemerintah masing-masing sebesar, investor A 27 (152-125), investor B 7 (152-145) dan investor C 17 (152-135).
2.
Penerapan PSC sebagai Dasar Skema KPS Public sector comparator (PSC) adalah konsep dasar dari keputusan penerapan
skema KPS, baik untuk penyediaan infrastruktur komersial maupun infrastruktur sosial. PSC merupakan ukuran kualitatif dan kuantitatif yang menghitung keuntungan (benefit) yang diperoleh dikurangi biaya yang dikeluarkan (cost) oleh sektor publik (cost benefit analysis), apabila pembangunan dan atau pelayanan infrastruktur
dibiayai,
dilakukan,
dan
3
dioperasikan oleh pemerintah. Pada umumnya, benefit yang menjadi tolok ukur bagi pemerintah adalah biaya pembangunan (project cost) dan waktu penyelesaian proyek (project timeline).4 Lebih lanjut menurut Jagger (2012), apabila dinilai biaya proyek lebih kecil dan waktu penyelesaian proyek lebih cepat jika proyek diserahkan kepada sektor privat, maka pemerintah akan memilih skema KPS sebagai metode pengadaan infrastruktur. Selain itu, kemampuan manajerial pelayanan yang efisien juga menjadi salah satu tujuan penggunaan skema KPS dalam penyediaan infrastruktur sosial.5 Efisiensi biaya dan waktu pengerjaan serta manajemen layanan ini sangat mungkin dipenuhi oleh sektor privat karena inovasi dan teknologi yang diperoleh dari hasil proses research and development yang menjadi kunci going concern business. Oleh karena PSC merupakan dasar pengambilan keputusan guna menentukan skema pembiayaan pembangunan infrastruktur, metodologi penyusunan PSC menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Studi PSC dilakukan oleh sektor publik pada awal siklus
3
Partnership Victoria, Partnership Victoria Guidance Material: Public Sector Comparator a Technical Note, June 2001, hal. 2. 4 Norm Jagger , PPP: THE BEST OPTION FOR QUEENSLAND SOCIAL INFRASTRUCTURE?, Public Infrastructure Bulletin-Bond University, Januari 2012. 5 K.M. Mital and Vivek Mital, Public Private Partnership and Social Infrastructure, Computer Society of India.
4
pembangunan infrastruktur6 yaitu pada tahap project development, dengan cara-cara sebagai berikut: a.
Functional brief development, yang menentukan cakupan layanan infrastruktur yang diberikan kepada masyarakat, fisik bangunan infrastruktur yang diperlukan untuk delivery layanan, dan keterkaitan antar fungsi di dalam infrastruktur secara terintegrasi. Hasil dari studi ini menjadi dasar penentuan desain teknis dan spesifikasi keluaran layanan yang harus dipenuhi oleh sektor privat dalam kontrak kerja sama.
b.
User Group Input, hasil studi dari functional brief development dikomunikasikan dengan para stakeholders terkait melalui seminar maupun lokakarya untuk mendapat masukan, kritik dan saran, terutama untuk menangkap ide-ide dan gagasan pengembangan layanan infrastruktur ke depannya.
c.
Concept design, merupakan penyempurnaan dari studi functional brief development yang telah mendapatkan masukan pada kegiatan User Group Input.
d.
Market sounding, concept design yang dihasilkan sektor publik kemudian diperkenalkan kepada sektor swasta guna menangkap tanggapan dari market.
Berdasarkan hal tersebut diatas, sektor publik kemudian menyusun spesifikasi keluaran layanan (output specification) dan rencana matriks alokasi dan pembagian risiko proyek, di mana didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut7: a.
Transferable risk, berupa risiko proyek yang ditransfer ke sektor privat.
b.
Retained risk, berupa risiko proyek yang diambil oleh sektor publik.
c.
Competitive neutrality, penyesuaian keunggulan kompetitif (competitive advantage) maupun kelemahan komparatif (comparative disadvantage) yang dimiliki oleh sektor publik dalam pembangunan infrastruktur. Keunggulan kompetitif pemerintah dapat berupa kebebasan pajak, sedangkan kelemahan sektor publik terkait dengan mekanisme pelaporan kepada masyarakat dan parlemen.
d.
Raw PSC (base costing), berupa biaya pembangunan proyek dengan skema pengadaan pemerintah, yang terdiri dari biaya modal dan biaya operasional, baik langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan pembangunan, pemilikan, pemeliharaan, dan pelayanan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu sesuai acuan waktu konsesi, dan sesuai dengan persyaratan kinerja (performance standard)
6
Foster Infrastructure, Best Practice in Design of Public-Private Partnerships (PPPs) for Social Infrastructure, particularly in Health Care and Education, Agustus 2012 7 Partnership Victoria, Op Cit., 2
5
yang telah diatur di dalam spesifikasi keluaran layanan (output specification).
3. Tingkat Kelayakan Proyek KPS Sosial Penilaian kelayakan proyek KPS dilakukan dengan menghitung aspek ekonomis, aspek finansial dan aspek kualitatif.8 Pada umumnya, infrastruktur sosial sebagaimana public goods yang lain mempunyai tingkat kelayakan ekonomis yang tinggi, namun memiliki tingkat kelayakan finansial yang minim. Hal ini dikarenakan tarif yang dibayarkan pengguna layanan tidak cukup untuk memenuhi tingkat ekspektasi keuntungan investor. Oleh karenanya,
infrastruktur
sosial seperti sarana pendidikan dan kesehatan,
dalam
pembangunan dan pengoperasiannya membutuhkan subsidi atau bantuan dalam bentuk lain yang bersumber dari pemerintah.9 Namun demikian, sesuai esensi proyek KPS, struktur proyek harus dibuat sedemikian rupa sehingga peran pemerintah dan swasta bisa maksimal sesuai kemampuan masing-masing, di mana hal tersebut tergambar dalam pembagian alokasi risiko proyek. Susilawati, dkk (2009), mengusulkan dalam suatu proyek KPS sosial, kerja sama dengan pihak ketiga dapat dipertimbangkan untuk membuat proyek menjadi lebih
layak
secara
ekonomis
dan
keuangan.10
Dalam
risetnya,
Susilawati,
dkk
mencontohkan pembangunan perumahan sederhana di Queensland, Australia, di mana pihak ketiga seperti organisasi masyarakat berbasis komunitas dilibatkan sehingga dapat menurunkan risiko proyek. Hal ini kemudian meningkatkan minat dan partisipasi swasta dalam berinvestasi karena pricing atas risiko proyek bisa diturunkan.
Desain infrastruktur Dalam pembangunan infrastruktur sosial dalam sektor pendidikan dan kesehatan, desain infrastruktur menjadi sangat penting untuk diperhatikan, terlepas dari skema pembangunan yang akan digunakan apakah menggunakan anggaran sektor publik atau dikerjasamakan dengan swasta. Desain infrastruktur yang dimaksudkan disini meliputi antara lain: a.
Desain fungsional, merupakan desain fungsionalitas sarana infrastruktur yang menentukan efektif dan efisiennya pelayanan sosial pendidikan dan kesehatan; dan
8
State Development. (2002a). Public Private Partnerships Guidance Material:Business Case Development. Brisbane, Queensland: State Development, Queensland Government 9 Halligan, I. J. (1997). Queensland- the State of Infrastructure: Public/Private Partnerships. Unpublished Master of Project Management Dissertation, Queensland University of Technology, Brisbane. 10 Susilawati, Connie and Wong, Johnny and Chikolwa, Bwembya (2009) An evaluation of viability of public private partnerships in social infrastructure procurement projects in Queensland, Australia. In: Proceedings of the CRIOCM 2009 International Symposium on Advancement of Construction Management and Real Estate, 29-31 October 2009, Nanjing
6
b.
Master Planning dan Desain Umum, yang memastikan analisa dampak lingkungan dan memperhatikan potensi pengembangan di masa depan. 11 Secara umum, proyek KPS Sosial menggunakan modalitas skema build (design and
construct), finance, and operate & maintenance, jadi risiko desain ini diserahkan kepada sektor privat. Hal ini dilakukan karena insentif untuk melakukan inovasi desain guna mencapai efisiensi dan efektifitas layanan ada di sektor privat daripada di sektor publik. Keterlibatan pemerintah untuk turut campur tangan dalam desain sejauh mungkin harus dihindari, karena jika kesalahan desain yang disebabkan campur tangan pemerintah tersebut menyebabkan layanan yang menjadi output specification menjadi terganggu, maka sektor privat menjadi tidak dapat bertanggung jawab. Hal ini menyebabkan hasil yang diharapkan dari sebuah proyek KPS tidak tercapai.
Kemungkinan Penerapan Skema KPS Infrastruktur Sosial di Indonesia Skema KPS di Indonesia telah dikembangkan dalam satu dekade terakhir dengan regulasi yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 dan perubahannya. Namun demikian, proyek KPS yang diatur dalam regulasi tersebut merupakan proyek infrastruktur komersial, dan belum memberikan ruang bagi pelaksanaan KPS di sektor sosial. Padahal opportunity yang diberikan dan juga demand proyek infrastruktur sosial di Indonesia sangat besar, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Hal ini sangat logis karena struktur demografi penduduk dan tingkat pertumbuhan ekonomi terutama kelas pendapatan menengah (middle class income) yang sangat pesat, tentunya permintaan mereka terhadap layanan infrastruktur sosial juga meningkat. Selain itu, kebijakan anggaran publik pemerintah juga memberikan opportunity bagi pelaksanaan proyek KPS sosial. Sebagaimana diketahui porsi anggaran pendidikan dan kesehatan di APBN mencapai hampir 25% per tahun atau hampir berkisar Rp300-350 triliun. Dari jumlah anggaran yang sangat besar ini, efektifitas dan efisiensi penggunaannya serta pencapaian sasaran programnya masih menjadi permasalahan sektor publik (Kementerian/Lembaga). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, efektifitas dan efisiensi pelayanan merupakan keunggulan komparatif sektor privat, maka apabila skema KPS bisa didayagunakan pada pembangunan infrastruktur sosial pendidikan dan kesehatan, tentu hasil yang dicapai lebih baik. Usulan struktur proyek dengan skema KPS dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut.
11
7
Foster Infrastructure, Op.Cit.,2
Gambar 1. Usulan Skema Struktur KPS Sosial di Indonesia
Skema struktur proyek diatas mempertimbangkan existing keberadaan Badan Layanan Umum seperti LPDP di sektor pendidikan dan BPJS di sektor kesehatan sebagai procuring agency yang menjadi perwakilan dari Kementerian/Lembaga. Lembaga. Hal ini dimaksudkan agar BLU tersebut ebut mempunyai aturan pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel dibanding dengan Kementerian/Lembaga yang cukup rigid dalam mengelola keuangan yang bersumber dari APBN.
8