TEMU ILMIAH IPLBI 2013
Membaca Ngalalakon pada Komunitas Adat Ciptagelar sebagai Masyarakat Peladang Susilo Kusdiwanggo Kelompok Keilmuan Sejarah, Teori, dan Kritik Arsitektur, Mahasiswa Program Doktor Arsitektur, Institut Teknologi Bandung
Abstrak Masyarakat peladang identik sebagai masyarakat yang bermobilitas tinggi karena seringnya mereka berpindah tempat (migrasi). Dalam perspektif komunitas adat Ciptagelar sebagai masyarakat peladang, mobilitas ini disebut sebagai ngalalakon. Ngalalakon adalah ritual berkelana yang wajib dijalankan atas perintah wangsit leluhur. Prinsip ngalalakon ternyata berbeda dengan kaidah migrasi pada umumnya. Tulisan ini membaca pola ngalalakon komunitas keturunan Ciptagelar dari jejak spasial yang ditinggalkannya. Jenis metode yang digunakan dalam riset ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan lapangan-etnografik. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan mendengarkan informan. Data dianalisis secara domain, taksonomis, komponensial, hingga memunculkan tema-tema. Ngalalakon merupakan salah satu tema yang muncul. Dalam ngalalakon dijumpai beberapa aspek, yaitu tahap, sifat, jenis, gerak dan unsur penanda. Dari sembilan belas ritual ngalalakon komunitas adat Ciptagelar, ternyata membentuk rangkaian tiga fase yang setiap tahapnya berbeda maksud ritualnya. Kata-kunci: Ciptagelar, ngalalakon, masyarakat peladang
Pengantar Kampung Ciptagelar adalah salah satu nama pusat permukiman adat Sunda di Sukabumi Jawa Barat. Berdasarkan karakteristik lingkungan alamnya, keberadaaan permukiman dikelilingi oleh lingkungan alam yang khas. Sebelah utara melingkar ke barat di batasi oleh sungai Cisono. Sisi selatan dibatasi oleh sungai Cibareno. Sisi timur memanjang ke utara ditandai dengan Gunung Halimun yang menjadi rangkaian panjang pegunungan Kendeng. Kampung Ciptagelar sendiri bukanlah kampung tunggal tanpa jaringan. Kampung ini berkedudukan sebagai pusat pemerintahan adat dengan pengaruh kekuasaan adatnya melintasi dua wilayah propinsi Jawa Barat dan Banten melalui keberadaan jejaring 568 lembur yang tersebar di 360 kampung gede (besar). Himpunan penduduk dan kedudukan yang sudah tersebar dan berkembang dari generasi ke generasi menjadi jaringan komunitas yang
terikat secara kultur. Terminologi komunitas lebih cocok dibanding dengan society (masyarakat) untuk mendeskripsikan himpunan jejaring tersebut (Tuan, 2002). Komunitas Ciptagelar adalah salah satu komunitas adat yang unik. Komunitas ini sering melakukan migrasi permukiman dari dulu sampai sekarang. Karena sifat mobilitas tersebut, kedudukan permukiman Ciptagelar bukanlah kampung yang statik. Suatu saat nanti kedudukan pusat pemerintahan adat di Ciptagelar ini akan berpindah. Jika suatu saat nanti mereka berpindah tempat, maka pusat kedudukan pemerintahan adat akan berpindah juga. Prosesi perpindahan permukiman ini meninggalkan jejak spasial. Saat ini kampung Ciptagelar menjadi pusat pemerintahan adat terkini. Komunitas Ciptagelar ini merupakan generasi ke-40. Dari seluruh keturunan itu, setelah generasi ke-30 baru boleh dicatat karena tabu Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | D - 37
Membaca Ngalalakon pada Komunitas Adat Ciptagelar sebagai Masyarakat Peladang
(terlarang) untuk diketahui. Generasi ke-30 adalah Aki Buyut Maskara atau dikenal dengan julukan Aki Buyut Rembang Kuning. Terhitung dari sini, keturunan dinasti Rembang Kuning telah ber-regenerasi sebanyak 11 keturunan dan 19 kali memindahkan permukiman. Apakah mobilitas mereka bisa dikategorikan dalam terminologi migrasi? Mobilitas dilakukan untuk mempertahankan hidup (Wilkinson dalam Prijono, 2000). Proses mempertahankan hidup melebar dalam konteks ekonomi, sosial, politik, juga budaya. Mobilitas dapat dikatakan juga migrasi. Saat ini migrasi atau perpindahan dengan motif ekonomi sangat mendominasi kajian migrasi. Para cendekia masih kesulitan menentukan migrasi dalam motif ekonomi dan non ekonomi (Kunz, 1973). Migrasi terjadi karena adanya dikotomi dua kutub. Jalur mobilitas mengalir dari rural ke urban, dari tradisional ke urban. Tetapi bagaimana jika ternyata mobilitas justru berlaku sebaliknya? Dari semimodern kembali ke tradisional lagi. Dari masyarakat subsisten yang sudah berswasembada kembali ke masyarakat yang memulai mempertahankan hidup lagi. Inilah mobilitas yang terjadi pada komunitas dinasti Rembang Kuning. Apa sebenarnya motif komunitas ini melakukan perpindahan? Migrasi pada dasarnya adalah fenomena mengisi suatu relung lingkungan atau ruang baru, ekonomi, dan politik dimana imigran beradaptasi dan mengakibatkan difusi, perubahan perilaku, dan pergeseran budaya (Binford, 2001). Pergeseran budaya bisa membawa perubahan budaya. Hal ini tidaklah mengherankan karena budaya dapat dilihat sebagai dinamika proses. Migrasi terjadi karena adanya perubahan budaya. Mobilitas generasi komunitas ini biasanya ditandai dengan timbulnya gejala perubahan budaya di mana permukiman semakin sesak oleh populasi, pertemuan budaya yang membawa modernitas, konflik internal, dan peradaban yang semakin mengkuat ke arah modernitas. Pada titik penguatan tertentu, komunitas ini bergerak dari tempat budaya modern dan peradaban yang sudah menguat ke tempat
D - 38 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
yang belum ada peradabannya. Komunitas ini membangun dari titik nadir lagi. Mobilitas komunitas ini membalikkan pendekatan teori migrasi dari pendekatan ekonomi. Komunitas ini berpindah dengan menanggalkan segala kemakmuran yang telah dicapainya ke tempat yang masih antah-berantah tanpa lahan pertanian yang sudah terolah, rumah, dan permukiman. Setiap tempat baru yang dihuni akan dibangun permukiman dengan nama baru. Saat mereka berpindah hanya leuit Jimat sebagai pusaka saja yang dibawa serta. Leuit Jimat ini berisi padi. Selebihnya semua perlengkapan permukiman dibangun lagi di tempat baru. Banyaknya leuit karuhun yang mereka miliki ditinggal di tempat lama. Tradisi pindah dengan membawa leuit Jimat baru dilaksanakan oleh generasi ke-36 pada masa pemerintahan Aki Buyut Jasiun di Bojong Cisono. Masa ini ditandai dengan kehadiran sistem tanam padi basah (sawah). Dalam perspektif migrasi peladangan berpindah setidaknya dikenal tiga cara pindah, yaitu dispersal, drift, dan flight (Alexander, 2006). Dispersal adalah perpindahan sementara tempat tinggal dari kota ke lahan pertanian terpencil selama masa puncak pertanian. Drift adalah migrasi jarak pendek di mana individu atau rumah tangga berpindah di antara kota-kota atau permukiman baru untuk periode waktu yang lebih lama, kadang-kadang terjadi lompatan di antara kota-kota diseputar pusat kota besar. Flight adalah migrasi permanen dan dalam jarak jauh melampau batas-batas otoritas politiknya yang seringkal terjadi karena merespon perpecahan pemerintahan, adanya faksifaksi, dan kerusuhan politik. Dalam mentalitas dasar suku-suku di Indonesia (Boelaars, 1984 dalam Sumardjo, 2003), komunitas dinasti Rembang Kuning tergolong sebagai masyarakat ladang yang bersifat ganda, antara peramu dan sawah. Sifat ini bermental produktif sekaligus konsumtif, resiprokal, hubungan darah lebih penting daripada kesatuan lokalitas dalam organisasi sosial, mentalitas keluarga daripada sosial, dan pentingnya peranan perantara.
Susilo Kusdiwanggo
Komunitas ini sangat menghormati para leluhur mereka baik dalam tata pikir dan tata laku Sunda (lama). Masyarakat Sunda (lama) adalah masyarakat yang hidup dalam pikiran (1) spiritual dan (2) dualistik-antagonistik. Cara pikir budaya spiritualitas adalah cara berpikir sintetik, cara berpikir totalitas. Antara alam manusia, alam semesta, dan alam spiritualitas adalah satu keutuhan. Cara berpikir dualisme-antagonistik adalah bahwa alam semesta merupakan antagonistik dari alam spiritualitas. Alam semesta dipenuhi dengan unsur dualistik yang antagonistik. Unsur-unsur antagonistik tidak bisa hidup terpisah. Mereka saling membutuhkan dan melengkapi. Tugas manusia (Sunda) adalah mempertemukan, mendamaikan, atau mengawinkan unsur antagonistik tadi dalam suatu keharmonisan. Keharmonisan terjadi di dunia tengah (buana pancatengah/dunia manusia). Dunia tengah adalah mediator, ruang antara, ambivalen. Menghadirkan dunia tengah adalah bentuk pengembangan kreativitas manusia. (Sumardjo, 2003:45-51).
padi dan bahkan bahkan berulang pada masa tanam berikutnya karena kemutahiran data senantiasa diperiksa ketika proses trianggulasi dan refleksikalitas. Analisis data dilakukan selama dalam proses pengambilan data, sehingga bersifat simultan (Ellen, 1984a:214 dalam Neuman, 2006:468). Organisasi data bisa dibuat berjenjang.
Motif, modus, dan tujuan ngalalakon komunitas dinasti Rembang Kuning ini ternyata berbeda dengan beberapa teori yang ada. Kemana, kapan, bagaimana, dan mengapa mereka ngalalakon? Jawaban atas semua pertanyaan di atas tidak bisa dijawab dengan pasti karena kepastian ngalalakon bersifat mitis/wahyu/ wangsit atas perintah leluhur. Namun, dengan menggunakan paradigma berpikir masyarakat peladang dan masyarakat Sunda (lama), tulisan ini akan membaca pola ngalalakon komunitas keturunan Ciptagelar dari jejak spasial yang ditinggalkan.
adalah peristiwa pasti tetapi non-kalkulatif. Ngalalakon bukan kebutuhan melainkan tugas yang harus dijalankan atau diemban. Dari peristiwa ngalalakon diperoleh beberapa aspek, yaitu fase ngalalakon, sifat ngalalakon, jenis
Data dianalisis secara domain, taksonomis, komponensial, hingga memunculkan tema-tema. Analisis komponesial berelaborasi dengan perspektif oposisi biner komunitas keturunan Ciptagelar. Karakteristik penelitian (yang sedang) dilakukan ini antara lain adalah tema tidak bisa dipaksaan muncul di depan. Tulisan ini sendiri adalah membahas salah satu dari tema yang muncul. Analisis dan Interpretasi
Ngalalakon adalah salah satu tema yang muncul. Ngalalakon disini sepadan dengan mobilitas pada wacana migrasi. Ngalalakon
ngalalakon, gerak ngalalakon, dan unsur penanda ngalalakon. Skema ngalalakon dapat dilihat pada Gambar berikut.
Metode Penelitian ini sebenarnya masih berlangsung (on going process). Jenis metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian lapangan etnografik (Groat & Wang, 2002; Creswell, 2008). Prosedur penelitian etnografi ini dilakukan secara siklus merujuk pada pendapat Spradley (1980). Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, mendengarkan informan. Perekaman data secara audio-visual selama proses masa tanam
Gambar Skema ngalalakon karuhun Ciptagelar Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | D - 39
Membaca Ngalalakon pada Komunitas Adat Ciptagelar sebagai Masyarakat Peladang
Fase ngalalakon. Ngalalakon permukiman karuhun komunitas Ciptagelar dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu fase huma dan campuran (huma & sawah). Fase huma adalah pola pertanian yang murni mengandalkan jenis padi kering yang ditanam di ladang atau huma. Sedangkan fase campuran adalah pola pertanian yang menggunakan jenis padi kering dan basah sekaligus. Jenis padi basah ditanam di lahan berair atau sawah. Dari masa kepemerintahan karuhun Rembang Kuning sampai dengan Arikin, pola tanam komunitas masih murni menggunakan pola berladang di huma (padi kering). Namun sejak masa kepemerintahan karuhun Jasiun sampai sekarang, komunitas ini menggunakan pola campuran yaitu huma dan sawah sekaligus. Pada tahun ke-3 kepemerintahan karuhun Jasiun dimulailah pola tanam campuran itu. Pada masa itu dikenalkan leuit. Hal ini bisa dimengerti karena leuit digunakan untuk menampung surplus panen. Pada masa itu pula dikenal leuit Jimat sebagai pusaka komunitas. Kemanapun mereka ngalalakon, leuit Jimat akah senantiasa dibawa. Ketika membuka permukiman baru leuit Jimat menjadi semacam modal logistik awal dalam memulai kehidupan dan peradaban baru di tempat baru.
Jenis ngalalakon. Berdasarkan jenisnya ngalalakon komunitas ini juga bisa dibagi menjadi dua yaitu pindah dan geser. Ngalalakon pindah adalah perpindahan (mobilitas) permukiman lama ke permukiman baru yang melintasi sungai Cibareno. Sedangkan ngalalakon geser adalah perpindahan permukiman yang tidak melewati sungai Cibareno. Jika paradigma ini digunakan lakan didapatkan delapan kali pindah dan 11 kali geser.
Unsur penanda alam. Namun perlu dicatat bahwa selama sembilan belas kali ngalalakon tersebut selain sungai Cibareno (8) terdapat enam sungai besar yang dilintasi, yaitu, Cimadur (6), Cidikit (3), Cisawarna (3), Ciberang (2), Cihara (2), dan Cisono (1). Dari ketujuh sungai ini hanya sungai Ciberang yang bermuara di laut utara Jawa. Sisanya bermuara di laut selatan
D - 40 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
Jawa. Sungai Cibareno memiliki tingkat frekuensi dilintasi paling tinggi sebanyak 8 kali. Selain tujuh sungai besar di atas, rangkaian pegunungan Kendeng yang membujur timurbarat juga menjadi salah satu unsur penanda ngalalakon komunitas ini. Pegunungan Kendeng dilintasi sebanyak tiga kali selama masa ngalalakon. Gunung Sanggabuana sebagai salah satu penyusun pegunungan Kendeng menjadi tanah yang dijanjikan bagi keturunan Ciptagelar; tanah terakhir keturunan ini ngalalakon. Pegunungan Kendeng juga menjadi salah satu ciri pengenal komunitas ini yang menggunakan identitas Banten kidul. Kidul (selatan) merujuk pada kedudukan komunitas ini yang berada di selatan pegunungan Kendeng.
Sifat ngalalakon. Ternyata tidak selamanya komunitas ini membuka permukiman baru ketika ngalalakon. Ada kalanya mereka kembali ke permukiam lama sebelumnya. Kondisi seperti ini menjadikan ngalalakon memiliki dua sifat, progresi dan rotasi. Ngalalakon progresi merupakan ngalalakon permukiman dengan membuka lahan atau wilayah baru di mana peradaban relatif masih belum ada. Sedangkan ngalalakon rotasi adalah ngalalakon permukiman dengan kembali ke permukiman atau wilayah lama dimana peradaban sudah berkembang. Dari seluruh aktivitas ngalalakon, terdapat dua kali rotasi yang dilaksanakan secara berurutan yaitu saat permukiman kembali ke Lebakbinong dan Pasir Talaga. Peristiwa kembalinya ke permukiman atau wilayah lama ternyata paralel dengan peristiwa suksesi. Sesepuh girang (ketua adat) karuhun Arikin yang seharusnya menjadi pemimpin ternyata usianya masih belum mencukupi sehingga untuk sementara digantikan oleh pamannya karuhun Santayan. Peristiwa sinkronik atas kembalinya ngalalakon ke permukian lama dapat dimaknai bahwa untuk membuka permukiman di lahan atau wilayah yang baru diperlukan kapasitas dan kapabilitas pemimpin yang sah. Selama pemimpin tersebut belum mumpuni maka tidak diizinkan oleh wangsit untuk mengemban tugas dan tanggung jawab membuka permukiman di lokasi baru.
Susilo Kusdiwanggo
Gerak ngalalakon. Peristiwa unik lainnya dalam peristiwa mobilitas adalah arah gerak ngalalakon. Arah gerak ini memuat aspek spasial kewilayahan. Dalam ngalalakon dari karuhun Rembang Kuning sampai sekarang ternyata bisa dibedakan dan dibagi dalam tiga tahap rangkaian gerak perpindahan yaitu (1) katuhu (gerak berputar searah jarum jam), (2) horisontal berundak, dan (3) kenca (berputar berlawanan arah jarum jam).
Pertama, ngalalakon katuhu dilakukan diawal sampai ngalalakon yang ke-6. Pola perpindahan ini seolah menciptakan gerak yang searah jarum jam. Arah gerak searah jarum jam ini bermakna peristiwa melakukan perjalanan naik dari buana pancatengah ke sajabaning langit (Mandala Ageung) tempat para hyang bersemayam. Peristiwa perjalanan naik dapat merujuk pada pantun Sunda Sumur Bandung, Panggung Karaton, dan Mundinglaya Di Kusuma. Pantun merupakan produk budaya Sunda yang amat khas, unik, dan otentik yang berisi dasar-dasar cara berpikir. Perjalanan naik ini merupakan peristiwa memohon petunjuk kepada penguasa buana pancatengah.
Kedua, perpindahan horisontal-berundak yang terjadi pada ngalalakon ke-7 sampai ke-13. Pola perpindahan ini bergerak secara horisontal kirikanan atau cahaya (timur) – bapak (barat). Namun setiap gerakan yang terjadi naik secara bertahap seperti undakan. Gerak horisontal menandakan kedudukan di buana pancatengah tempat keberadaan jelma dan manusia.
Ketiga, perpindahan kenca yang membentuk pola pergerakan berlawan arah jarum jam. Pola ini terjadi dari ngalalakon ke 14 sampai sekarang. Awal tahap gerak berlawanan arah jarum jam ini paralel dengan peristiwa dimulainya pola penanaman padi campuran huma dan sawah. Arah gerak berlawanan arah jarum jam ini berasosiasif dengan perjalanan turun ke bawah dari Mandala Agueng ke buana pancatengah. Perjalanan turun merupakan peristiwa menerima petunjuk yang dipinta atau anugerah. Rujukan perjalanan ini ada pada pantun Lutung Kasarung. Pantun ini di komunitas Ciptagelar merupakan pantun gede (besar) yang tabu untuk dipentaskan.
Dari karakteristik gerak ngalalakon ini dapat ditengarai bahwa setiap rangkaian permukiman dalam proses ngalalakon memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Bagaimana kelanjutan ritual ngalalakon kelak? Dalam kerangka pikir metafisis, hadirnya leuit Jimat pada tahap kenca (perjalanan turun) menjadi tonggak diterimanya petunjuk dan tugas baru sebagai pancer.
Pancer merupakan tempat mempertemukan, mendamaikan, atau mengawinkan semua unsur bersifat oposisi biner. Pancer mendorong adanya proses sintesis-dialektis dalam menghasilkan karya-karya kreatif dan inovatif. Kesimpulan Dari analisis dan interpretasi di atas, didapatkan beberapa kesimpulan, antara lain:
Pertama, semua aspek ngalalakon tidak bisa dilihat secara terpisah melainkan utuh menyeluruh. Antar-aspek terjalin-pilin secara holistik membentuk keutuhan. Kondisi ini mempertegas paham totalitas pemikiran Sunda (lama).
Kedua, entitas yang muncul pada ngalalakon bersifat oposisi biner: huma-sawah, pindahgeser, progresi-rotasi, katuhu-kenca. Sifat oposisi bener ini merupakan salah satu karakter masyarakat ladang. Relasi entitas ini juga mengafirmasi cara berpikir dualisme-antagonistik pada masyarakat Sunda (lama).
Ketiga, ngalalakon adalah amanat karuhun yang wajib dilaksanakan oleh semua generasi setelahnya. Ngalalakon merupakan peristiwa ritual yang perintahnya bersifat non-kalkulatif atau wahyu.
Keempat, pancer merupakan tugas selanjutnya yang diterima setelah ngalalakon memasuki tahap kenca di Bojongcisono era kepemimpinan karuhun Jasiun. Tugas pancer tidak serta merta didapat
melainkan
harus
melalui
proses
ngalalakon yang panjang, ulet, dan bertahap. Kelima, tugas pancer memicu dan mengembangkan daya kreatif dan inovatif komunitas ini melalui proses sintesis-dialektis. Proses ini memberikan ruang bagi komunitas Ciptagelar dalam kehidupan rutin dan ritualnya.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | D - 41
Membaca Ngalalakon pada Komunitas Adat Ciptagelar sebagai Masyarakat Peladang
Daftar Pustaka Tuan. Yi-Fu. (2002). Community, Society, and the Individual. Geographical Review, Vol. 92, No. 3 (Jul., 2002), pp. 307-318. American Geographical Society. Nikolas Kompridis. (2005). Normativizing Hybridity/ Neutralizing Culture. Political Theory, Vol. 33, No. 3 (Jun., 2005), pp. 318-343. Sage Publications, Inc. Binford, Lewis R. (2001). Constructing Frames of
Reference: An analytical method for archaeological theory building using hunter-gatherer and environmental data sets. Berkeley: University of California Press. Kunz, E. F. (1973). The Refugee in Flight: Kinetic Models and Forms of Displacement. International Migration Review, Vol. 7, No. 2 (Summer, 1973), pp. 125-146. The Center for Migration Studies of New York, Inc. Alexander, Rani T. (2006). Maya Settlement Shifts and Agrarian Ecology in Yucatán, 1800-2000. Journal of
Anthropological Research, Vol. 62, No. 4 (Winter, 2006), pp. 449-470. University of New Mexico. Sumardjo, Jakob. (2003). Simbol-Simbol artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda. Bandung: Kelir. Emzir. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Raja Grafinda Persada. Neuman, w. Lawrence. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. 6th Edition. Pearson International Edition. Adimihardja, Kusnaka. (1992). Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh. Bandung: Transito. Roseman, Curtis C. (1971). Migration as a Spatial and Temporal Process. Annals of the Association of American Geographers, Vol. 61, No. 3 (Sep., 1971), pp.589-598. Taylor & Francis, Ltd. Cresswell., John. W. (2003). Research Design:
Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. 2nd Edition. Sage Publications, Inc. Tjiptoherijanto, Prijono. (2000). Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. http://www.bappenas.go.id/. Date acces: 29 August 2013.
D - 42 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013