CATATAN AKHIR TAHUN 2013 ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) SULAWESI SELATAN Latar Belakang Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai sebuah organisasi yang beranggotakan komunitas adat telah berupaya memberikan pelayanan terhadap komunitas-‐komunitas adat termasuk menyiapkan payung-‐payung regulasinya. AMAN Sulsel dengan wilayah kerja yang cukup luas (mencakup sebagian wilayah Sulawesi Barat) sejauh ini telah terbentuk 6 Pengurus Daerah (PD) AMAN. Pada tahun 2013 ini terbentuk dua PD yaitu di Kabupaten Sidrap dan Maros. Sebelumnya telah terbentuk empat PD, antara lain di Kabupaten Sinjai, Gowa, Enrekang dan Toraya. Secara umum, masyarakat adat di wilayah kerja AMAN Sulsel terbagi atas 4 Etnik besar masing-‐masing: Bugis, Makassar, Toraya, dan Kondosapata. Upaya verifikasi calon anggota juga sementara berlangsung baik yang telah ada PD maupun masih dalam persiapan pembentukan. Secara keseluruhan, total Komunitas Anggota AMAN sebanyak 154 komunitas yang tersebar di dua wilayah administratif provinsi yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Jumlah Komunitas Adat AMAN Sulsel 60
Majene, Polman, Mamuju, Mamuju Utara Mamasa Wajo Takalar Bulukumba Bone Maros Sidrap Gowa Sinjai Enrekang Toraya
20 1 1 1 3 4 3 8 2 19 32 0
10
20
30
40
50
60
Untuk menunjang gerakan mendorong pengakuan masyarakat adat, dalam beberapa tahun terakhir ini telah didorong proses-‐proses untuk mendokumentasikan masyarakat adat menyangkut
1 | P a g e
penelusuran sejarah keberadaan masyarkat adat anggota AMAN, penguatan kelembagaan masyarakat adat dan aturan-‐aturan (hukum) adat, serta pemetaan wilayah adat. Secara khusus pemetaan wilayah adat sebagai salah satu syarat pengakuan keberadaan masyarakat adat terkait wilayah adat. Sebagai basis klaim wilayah tersebut memerlukan bukti-‐bukti konkrit baik berupa dokumen narasi maupun peta wilayah. Sampai akhir tahun 2013, AMAN Sulsel telah melakukan pemetaan Partisipatif di wilayah adat dengan luasan sekitar 61.988,68 Ha dengan perincian sebagai berikut:
Luas Area Pemetaan (Ha) 22,708.08 PaXalassang Sando Batu Barambang katute Teko Tapong Patongloan
1,202.86
5,876
1,060.81 1,385.49 2,324.67 3,074.95 3,057.01 2,819.06 1,287.60
8,130.11
9,062.04
Sedangkan total luasan pemetaan indikatif mencapai 519.368,24 Ha. Konflik Tenurial Konflik tenurial yang terjadi di masyarakat adat hampir merata terjadi di seluruh indonesia, seperti halnya di Sulawesi selatan. Hingga akhir 2013 ini sedikitnya terdapat 13 kasus konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah dan pihak swasta yang terjadi di Sulsel sepanjang tahun 2013. Terdapat sekitar 11.733 jiwa warga yang merasakan dampak dari konflik ini. Selain pengusiran, warga juga kerap mendapat intimidasi dan bahkan kriminalisasi. Sejumlah kasus kriminalisasi warga komunitas adat bahkan saat ini masih berlangsung. Pada dasarnya konflik tenurial tersebut memiliki beberapa tipikal/tipe konflik yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 2 | P a g e
Masyarakat Adat (Vs) Kehutanan Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada soal antara masyarakat adat/masyarakat lokal dengan pihak kehutanan. Jika dispesifikkan maka kita akan melihat ada pembatasan akses masyarakat terhadap hutan, bahkan ada pengusiran, ada kriminalisasi yang dialami masyarakat adat. Titik pokok persoalannya adalah adanya penetapan tapal batas kawasan hutan lindung yang tidak demokratis, yang tidak partisipatif sehingga mengorbankan kepentingan masyarakat adat. Contoh kasus tersebut dapat dilihat pada kejadian yang menimpa masyarakat adat Barambang-‐Katute, Komunitas adat Sando Batu, Komunitas adat Kajang, Komunitas Adat Matteko, dan komunitas lainnya. Total luasan konflik tersebut tidak kurang dari 1.000 Ha (Objek Klaim) dengan populasi penduduk terdampak sekitar 10.000 orang. Ada hal mendesak yang perlu disikapi bersama yaitu penetapan kawasan yang partisipatif, jika hal-‐hal seperti ini terus dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan akan ada lagi korban kriminalisasi dari masyarakat adat dengan alasan hutan lindung, padahal jika kita berani jujur pada realitas bahwa sekitar 5 juta Ha Hutan indonesia yang masih terjaga dengan baik justru yang di dalamnya terdapat masyarakat adat yang dengan kearifan lokalnya mampu menjaga keseimbangan antara pemakaian berdasar kebutuhan (subsisten) dengan pelestarian. Artinya masyarakat adat adalah penjaga hutan paling baik dan selayaknya mereka diberdayakan bukan justru disingkirkan. Masyarakat Adat (Vs) Pertambangan Kuatnya penetrasi modal tidak dapat dipungkiri berdampak sampai pada tingkatan terkecil pemerintahan dalam satuan negara seperti desa. Tak dapat disangkal pula bahwa masyarakat adat yang banyak mendiami wilayah yang nantinya akan dikonsesikan terhadap pertambangan. Ada ketidakdemokratisan terhadap rencana pembangunan di sebuah wilayah, ada passifikasi terhadap masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Tercatat di beberapa Komunitas hal ini terjadi, misalnya di Komunitas Barambang-‐Katute yang dengan secara sepihak Pemerintah Kabupaten mengeluarkan IUP Eksplorasi pertambangan di wilayah adat mereka yang juga diklaim Kehutanan sebagai Kawasan Lindung. Di kabupaten Maros, Nasib serupa juga dialami oleh Komunitas Adat Pattontongang yang tanpa sepengetahuan mereka tiba-‐tiba saja telah berlangsung kegiatan produksi pertambangan Batu Bara.
3 | P a g e
Masyarakat adat yang telah mengantongi pengakuan hak-‐hak justru tetap dijadikan objek dari pembangunan, kondisi ini diramalkan akan diperparah dengan skema MP3EI yang maha dahsyat membuka ruang-‐ruang investasi di wilayah masyarakat adat. Masyarakat Adat (Vs) Industri Perkebunan/PTPN Selain tipologi konflik sebelumnya, tipologi konflik yang satu ini juga sangat banyak menimpa masyarakat adat di Indonesia. Dalam wilayah Sulawesi selatan, ada dua titik besar tipologi konflik ini dan telah berlangsung lama masing-‐masing di Kab. Takalar dan Kab.Wajo (Komunitas Pasangloreng). Konflik tenurial ini berkutat pada upaya perluasan oleh perusahaan ataukah izin pinjam pakai yang telah berakhir namun enggan dikembalikan ke tangan rakyat. Tabel data Konflik Masyarakat Adat tahun 2013 NO
NAMA KOMUNITAS Barambang Katute
WILAYAH ADMINISTRASI Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai
2.
Kajang
Kecamatan Kajang, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba
3.
Paselloreng
Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo
1.
4 | P a g e
BENTUK KONFLIK 1. Penetapan batas kawasan secara sepihak oleh Dinas Kehutanan pada tahun 1994 yang menyerobot lahan warga. 2. Izin eksplorasi pertambangan di lahan yang sama dengan luasan 24.800 Ha di kuasakan pada PT. Galena Sumber Energi sejak 2008-‐2013 1. Penyerobotan Wilayah Adat Kajang oleh PT. London Sumaterah (Lonsum). 2. Luas wilayah Kajang bagian dalam: 729 Km persegi. 3. Luas Wilayah Adat: 22,708.08 Ha 1. Penetapan secara sepihak wilayah masyarakat adat Paselloreng sebagai kawasan Hutan negara. 2. Rencana pembangunan bendungan Gilireng di Desa Paelloreng Kec. Gilireng bisa menimbulkan konflik di masyarakat, dimana rencana awal lokasi pembangunan bendungan menenggelamkan lingkungan Lurae. Yang jadi masalah adalah terjadi relokasi penduduk yang tinggal dilingkungan Lurae sebanyak kurang lebih 3.000 jiwa dengan jumlah rumah 387 unit. Sumber pendapatan yang lebih menjanjikan dengan mengelola sawah yang di garap dua kali dalam setahun, kebun dan tanaman yang sudah dinikmati hasilnya. Sementara tempat relokasi di dusun Abbekae hanya berupa hamparan dan jauh dari sumber mata air.
JUMLAH JIWA/KK YG TERKENA DAMPAK a. Desa Bonto Katute: 2.678 jiwa (1.492 laki-‐laki, 1.189 perempuan) b. Desa barambang : 2.461 Jiwa (1.240 Laki-‐laki, 1.221 Perempuan) 3.600 jiwa (900 Kk)
2.672 jiwa, 725 KK (1.276 Laki-‐ laki dan 1.396 perempuan).
4.
Matteko
Kecamatan Tombolo, Kabupaten Gowa
5.
Karampuang
Kecamatan Bulupoddo, Kab. Sinjai
6.
Sando Batu
Desa Leppangeng, Kec. Pitu Riase, Kab. Sidrap
7
Teko
8.
Pattallassang
Kabupaten Gowa; Desa Manimbahoi, Kecamatan Parigi Kabupaten Gowa; Desa Pao, Kecamatan
9
Baringin
Kabupaten Enrekang; Desa Baringin, Kecamatan Maiwa
10
Tapong
Kabupaten Enrekang; Desa Tapong, Kecamatan Maiwa
11
Cendreanging
Kabupaten Sidrap, Kecamatan Kulo
5 | P a g e
1. Penetapan wilayah Adat matteko sebagai Kawasan Hutan Negara. 2. Pembatasan Akses Atas Wilayah kelola masyarakat Adat Matteko dan upaya Kriminalisasi oleh PT. Adimitra Pinus Utama (Perusahaan Penyadap getah pinus) Penetapan wilayah Adat Karampuang sebagai Kawasan Hutan Negara. Permasalahan/konflik yang terjadi disebabkan wilayah Kelola Masyarakat Adat Sando Batu, ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Negara sejak tahun 1984/1985 dan 1997/1998. Akibatnya hampir semua wilayah adat dan wilayah kelola itu ditetapkan status dan fungsinya sebagai Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Sejak itu, masyarakat mulai merasa terusik, terancam pengusiran, bahkan di tangkap dan dipenjarakan.
Penetapan Wilayah Masyarakat Adat TEKO, menjadi kawasan hutan Negara. 1. Penetapan wilayah Adat matteko sebagai Kawasan Hutan Negara. 2. Pembatasan Akses Atas Wilayah kelola masyarakat Adat Matteko dan upaya Kriminalisasi oleh PT. Adimitra Pinus Utama (Perusahaan Penyadap getah pinus) Penetapan Wilayah Masyarakat Adat BARINGIN, menjadi kawasan hutan Negara.
1. Penetapan wilayah Adat Tapong menjadi kawasan hutan Negara. 2. Rencana Pekebunan Kelapa sawit skala besar oleh PT. ASTRA Agro Lestari 1. Penetapan Wilayah Masyarakat (wilayah kelola) Cendreanging, menjadi kawasan hutan Negara. 2. kuatnya infiltrasi dari pemerintah berupa program di banyak sector, misalnya program di sector kehutanan berupa pemaksaan penerapan Skema HKm (Hutan Kemasyarakatan), HD (hutan Desa). 3. Disamping itu adanya pengawasan yang
323 orang, 88 KK (159 orang laki-‐laki dan 164 orang perempuan)
(Data sementara diolah) Jumlah Penduduk yg menerima dampak dari konflik tersebut adalah : 1. Dusun Bolapatti =53 KK (laki-‐ laki = 110, perempuan 114 = 224 orang) 2. Dusun Leppangeng = 37 KK (laki-‐laki 81, perempuan 83 = 164 orang) 3. Dusun Wala-‐wala = 45 KK (laki-‐ laki 141, perempuan 113 = 254 orang) 4. Dusun Galung = 58 KK (laki-‐ 4. laki 139, perempuan 124 = 263 orang) 5. Dusun Lengke = 91 KK (laki-‐ laki 251, perempuan 216 = 462 orang) -‐ -‐
jumlah anggota Masyarakat Adat Baringin sebanyak 1.093 jiwa yang terdiri dari laki-‐laki sebanyak 547 jiwa, dan perempuan 546 jiwa -‐
-‐
Dokumentasi AMAN Sulsel, 2013
ketat dari BKSDA di wilayah hutan-‐ hutan konservasi yang berada di wilayah masyarakat adat Cendreanging.
Sosialisasi MK-‐35 dan Dukungan Pengesahan RUU-‐PPHMA Seiring perkembangan zaman, masyarakat adat sebagai bangsa dalam sebuah negara sedikit demi sedikit telah menemukan momentumnya kembali untuk memperjuangkan hak-‐hak politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kebangkitan tersebut tercermin dalam beberapa momentum penting, misalnya lahirnya Keputusan MK No. 35/PUU-‐X/2012 tentang diakuinya Hutan Adat sebagai Hutan Hak Masyarakat Adat. Sosialisasi terhadap putusan MK-‐35 ini dilakukan oleh komunitas adat dengan memasang plang di wilayah adat mereka. Pemasangan ini terlaksana di semua tingkatan pemgurus daerah meski tidak di semua komunitas adat karena adanya pertimbangan lain. Pemasangan Plang didahului dengan dialog tentang putusan MK tersebut sebagai upaya transformasi pengetahuan secara merata. Selain dengan pemasangan Plang, AMAN Sulsel juga menggalakkan penandatanganan petisi dukungan implementasi regulasi tersebut. Selain menitik beratkan pada anggota AMAN, juga bekerja sama dengan jaringan-‐jaringan yang ada. Sedangkan dukungan terhadap pengesahan RUU-‐PPHMA yang dikemas dalam bentuk dialog para pihak berlangsung di 4 Kabupaten masing-‐masing: Bulukumba, Sidrap, Enrekang dan Maros. Lain halnya di Sinjai yang melaksanakan aksi demonstrasi, pembagian selebaran dan penandatanganan petisi dukungan yang dilaksanakan oleh Front GERTAK. Rekomendasi
Terkait berbagai hal yang telah disampaikan di atas, maka kami Pengurus AMAN Sulsel
menyampaikan sejumlah rekomendasi, antara lain: Terkait dengan Tanah, Wilayah dan Sumber Daya 1.
Mendesak Pemerintah untuk memberikan pengakuan formal atas wilayah-‐wilayah adat dan memasukkan peta-‐peta wilayah yang telah dihasilkan oleh masyarakat adat untuk di masukkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulsel dan daerah kabupaten/kota di Sulsel.
2.
Mendesak Pemerintah Provinsi Sulsel dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulsel untuk melakukan transparasi kepada masyarakat adat terkait pengelolaan dan pemanfaatan wilayah adat sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik.
6 | P a g e
3.
Mendesak kepada Pemerintah Provinsi Sulsel dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulsel untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun dalam melakukan eksploitasi terhadap hutan dan sumber daya alam yang berada di wilayah-‐wilayah adat tanpa persetujuan dari masyarakat adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama.
4.
Mendesak Pemprov Sulsel dan Kabupaten/Kota di Sulsel dalam penyusunan peraturan daerah harus mengakomodir sistem-‐sistem adat yang berlaku di komunitas-‐komunitas serta otonomi asli masyarakat adat.
5.
Mendesak kepada Pemprov Sulsel dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulsel menggunakan MoU antara BPN dan AMAN dan MoU AMAN dan Kementrian Lingkungan Hidup sebagai landasan untuk mengidentifikasi, menginventarisasi dan meregistrasi wilayah-‐wilayah adat dan penyelesaian konflik-‐konflik yang terjadi di masyarakat adat.
Terkait dengan Hak dan Prinsip atas Free, Prior and Informed Consent (FPIC)/Persetujuan di awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA). 1. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemprov Sulsel dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulsel, berikut implementasinya di komunitas masyarakat adat, harus dilaksanakan dengan prinsip-‐ prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC)/Persetujuan di awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA). 2.
FPIC atau PADIATAPA sebagai prinsip dan hak masyarakat adat baik laki-‐laki maupun perempuan, harus diketahui oleh seluruh level pemerintahan dan menjadi landasan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan serta program.
Terkait dengan Perubahan Iklim, Krisis Pangan, Energi dan REDD+ 1.
Menyerukan kepada Pemprov Sulsel dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulsel untuk melindungi pangan lokal sebagai makanan pokok di masing-‐masing daerah dan komunitas-‐komunitas adat sebagai dasar dari kekuatan pangan nasional.
2.
Menyerukan kepada Pemprov Sulsel dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulsel untuk melibatkan dan mengutamakan Masyarakat Adat dalam proses-‐proses perubahan iklim dan REDD+, karena masyarakat adat sebagai pemilik wilayah adat, hidupnya sangat tergantung pada hutan. Hutan merupakan identitas Masyarakat Adat. Hilangnya hutan menyebabkan hilangnya identitas Masyarakat Adat.
3.
Menegaskan kembali, bahwa semua inisiatif untuk melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus didasarkan pada prinsip-‐prinsip FPIC atau PADIATAPA, melaksanakan proses-‐proses
7 | P a g e
konsultasi dan menjamin pelibatan Masyarakat Adat dalam proses-‐proses pengambilan keputusan. 4.
Menyatakan, bahwa semua inisiatif Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD) harus memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan hak-‐hak masyarakat adat termasuk perlindungan terhadap hak atas tanah dan wilayah adat, ekosistem dan memberikan manfaat sebesar-‐besarnya bagi komunitas-‐komunitas masyarakat adat.
5.
Menegaskan bahwa tanpa jaminan atas hak-‐hak ini, masyarakat adat menolak segala bentuk implementasi REDD+ maupun inisiatif-‐inisiatif mitigasi perubahan iklim lainnya.
Terkait Partisipasi Politik Masyarakat Adat 1.
Ikut terlibat mendorong terbentuknya Kementerian Negara tentang Masyarakat Adat
2.
Mendorong tersedianya alokasi APBN/APBD untuk Masyarakat Adat yang terdapat pada setiap daerah dan terdaftar sebagai anggota AMAN.
3.
Sistem pemerintahan Adat masuk ke dalam struktur pemerintahan Negara.
4.
Masyarakat Adat mendukung Presiden RI, Gubernur dan Bupati/Walikota, anggota legislatif dari masyarakat adat dan yang berpihak kepada masyarakat Adat.
5.
Pemerintah harus memfasilitasi terbangunnya kerjasama TRIPARTIT antara Pemerintah, Pelaku usaha dan masyarakat adat/AMAN dalam pengelolaan sumber daya alam.
6.
Moratorium perizinan pertambangan di Indonesia dan kontrak karya.
7.
Mencabut perizinan tambang di wilayah masyarakat adat yang tidak ada kesepakatan dengan masyarakat adat.
8.
Mendesak pemerintah membuat fasilitas pertanian untuk meningkatkan produksi hasil pangan lokal masyarakat adat dan fasilitas umum lainnya.
9.
Mengharapkan pemerintah dapat melihat keberadaan masyarakat adat seluruh nusantara dalam proses pengembangan ekonomi Kreatif.
10. Pemerintah harus mengangkat dan meningkatkan perekonomian masyarakat adat (hasil-‐hasil komoditinya) Terkait Hukum dan Kebijakan Negara 1. Mendesak DPR RI harus segera mengesahkan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-‐ hak Masyarakat Adat (PPHMA). 2. Mendesak Pemprov Sulsel dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulsel untuk segera melakukan penetapan kawasan hutan berdasarkan putusan MK No. 45 tentang penetapan kawasan hutan dan mengeluarkan hutan adat dari hutan Negara berdasarkan putusan MK No.35/PUU-‐X/2012. 8 | P a g e
3. Mendesak Pemerintah harus mengakui dan menguatkan proses peradilan Adat yang berlaku dimasyarakat Adat sesuai dengan kearifan Lokalnya. 4. Mendesak Pemerintah untuk mengakui dan mengembalikan tanah-‐tanah dan wilayah masyarakat adat yang di rampas oleh negara dan atau pihak lain dalam wilayah administrasi Provinsi Sulsel. Terkait Penguatan Ekonomi Kreatif dan Budaya 1. Pemerintah harus memfasilitasi sarana dan prasarana dan penguatan kapasitas dalam kearifan lokal kepada masyarakat adat di komunitas adat nusantara. 2. Mencabut undang-‐undang dan peraturan yang tidak berpihak, tidak konsisten atau justru mematikan keberadaan, pengembangan adat dan budaya masyarakat adat. 3. Perlunya perlindungan terhadap motif-‐motif tradisional, lagu-‐lagu, alat music, legenda adat setempat dan bahasa daerah. 4. Model-‐model pengelolaan masyarakat adat pesisir dan pulau-‐pulau kecil yang berbasis kearifan tradisional dan lestari guna meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri, berdaulat dan bermartabat perlu mendapat perhatian dan dukungan lebih besar dari pemerintah, dan untuk selanjutnya diadopsi. Makassar, 28 Desember 2013 Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan Sardi Razak Ketua Badan Pengurus Harian (HP 081 355 446 625)
9 | P a g e