MEMAKNAI ULANG PERSATUAN BANGSA Oleh Retor AW Kaligis*
Abstract The Youth Oath 1928 often criticized as a way of the rulers to secure their political and economic concept in the name of "national interest". Projection of the Youth Oath 1928 "only" in the aspect of unity makes historian Sartono Kartodirdjo assess assess the historical steps of the Youth Oath 1928 less advanced than the Political Manifesto 1925. Political Manifesto 1925 transcend ethnicity and localism movement into the principle of unity as a heterogeneous nation. The power of the legitimate government elected by the people and rely on their own strength has a responsibility to the people so that it becomes exploitative power antithesis. But the Youth Pledge actually has advantages because it was first discussed a nation inhabiting the same country with the language of unity. There is no freedom and equality without the nation and the territory it claims, as well as the language of unity that endorse. It means the Political Manifesto 1925 and the Youth Oath 1928 contribute complementary. Contribution complementarity between the Political Manifesto 1925 and the Youth Oath 1928 led to ideals of the Proclamation 1945. Keywords: the Youth Oath 1928, the Political Manifesto1925, unity Abstrak Pengagungan Sumpah Pemuda 1928 sering dikritik karena dianggap sebagai cara penguasa mengamankan konsepsi politik dan ekonominya dengan mengatasnamakan “kepentingan bangsa”. Penonjolan Sumpah Pemuda 1928 “hanya” pada aspek persatuan membuat sejarawan Sartono Kartodirdjo menilai langkah historis Sumpah Pemuda 1928 kalah maju ketimbang Manifestasi Politik 1925. Manifesto Politik 1925 mentransendensi gerakan etnisitas dan lokalisme ke dalam prinsip persatuan sebagai satu bangsa yang heterogen. Kekuasaan pemerintahan yang sah dipilih oleh rakyat dan mengandalkan kekuatan sendiri memiliki tanggung jawab kepada rakyat sehingga menjadi antitesa kekuasaan eksploitatif. Namun Sumpah Pemuda sesungguhnya memiliki kelebihan karena pertama kali dibicarakan satu bangsa yang mendiami tanah air sama, dengan bahasa persatuannya. Tidak ada kemerdekaan dan kesetaraan tanpa adanya bangsa dan wilayah yang diklaim, serta bahasa persatuan yang menyokongnya. Artinya, Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 memiliki kontribusi saling melengkapi. Kontribusi saling melengkapi antara Manifesto 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 bermuara pada cita-cita Proklamasi 1945. Kata kunci: Sumpah Pemuda 1928, Manifesto Politik 1925, persatuan
1. Pendahuluan Di tengah himpitan beban kehidupan ekonomi, rakyat menyaksikan rangkaian berita korupsi yang berputar-putar tanpa penyelesaian hingga kepemimpinan pemerintahan dan birokrasi yang inefisien. Pergantian kekuasaan masih cenderung merupakan ritualitas elitis yang tidak menjamin pemberdayaan rakyat. Kebebasan politik yang diraih di era reformasi baru menghasilkan ”ritualitas demokrasi” yang memberi ruang kepada rakyat 86
menyalurkan partisipasinya melalui Pemilu dan Pilkada secara berkala. Adapun bobot ”spiritualitas” kedaulatan rakyat tersumbat kepentingan marginalisasi dan eksploitasi sumber daya ekonomi. Rakyat selalu dihujani janji perubahan namun terus terdesak dari sumber kehidupannya. Aspirasi kaum tani tak tersalurkan ketika tanahnya kian tergerus, irigasi tak merata, kesulitan bibit dan pupuk, hingga tergusur oleh konglomerasi yang bermain di sektor pertanian. Dengan peralatan
| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012
sederhana dan harga solar yang mahal, nelayan juga kesulitan melaut. Adapun pedagang kecil kian tergusur negara (aparat tramtib) dan pasar modern, hingga lemahnya posisi tawar buruh dihadapan pemilik modal. Indonesia kian membiarkan diri terhanyut irama reorganisasi kapitalisme global yang lebih menampakkan wajah, meminjam istilah Anthony Giddens, global pillage ketimbang global village. Tercatat jumlah masyarakat miskin sekitar 17,9% yang berpenghasilan kurang dari 1 dolar AS, sedangkan di bawah 2 dolar AS sekitar 49,8% (MDG, 2010). Ketika negara didominasi kepentingan segelintir pemodal dan mayoritas lain mengalami pengucilan dari penguasaan sumber-sumber ekonomi, ruang penghubung, perajut dan pemakna kesadaran bersama sebagai satu bangsa menjadi sempit. Kewarganegaraan (citizenship) yang tidak setara mempengaruhi komitmen hidup berbangsa. Kepentingan pasar yang menguasai lembagalembaga negara membuat kepercayaan (trust) terhadap negara menjadi rendah. Padahal, trust merupakan elemen pra kontraktual (precontractual element) yang mempengaruhi komitmen persatuan dan kesatuan bangsa sebagaimana cita-cita Sumpah Pemuda 1928. 2. Pembahasan 2.1. Akar Sosio-Historis Lahirnya kesadaran bangsa-bangsa Asia, termasuk di Hindia Belanda, untuk bangkit mengalahkan bangsa-bangsa Eropa yang menjajahnya diinspirasi kemenangan Jepang atas Rusia pada perang tahun 1905, yang membuktikan bahwa bangsa Asia dapat mengalahkan bangsabangsa Barat.1 Kaum terdidik di Hindia Belanda juga mempelajari gerakan Turki Muda untuk mencapai perbaikan nasib yang menimbulkan revolusi anti kaum kolot tahun 1908.2 Beritaberita dari luar negeri masuk ke sini melalui media massa.3 1
2
3
Tirtoprodjo, Susanto. 1982. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT Pembangunan Jakarta, 1982, h. 8. Selain itu, Kusuma Sumantri, Iwa dalam Sejarah Revolusi Indonesia: Masa Perdjuangan Sebagai Perintis Revolusi (Jilid Pertama). Jakarta: (tanpa penerbit), 1963, h. 13-14 mencatat timbulnya kepercayaan kepada diri sendiri ini lebih diperkuat oleh bangkitnya gerakan kebangsaan di India, kemudian Revolusi tahun 1911 di Tiongkok dan khusus pula oleh kemenangan Pemimpin Besar Tiongkok Dr Sun Yat Sen merebut Canton. Pringgodigdo, AK. 1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, h. xi. Berita-berita tersebut masuk ke Hindia Belanda antara lain dengan perantara majalah “Bintang Hindia” pimpinan Dr.
Pergerakan politik yang lebih teroganisir dan melampaui identitas daerah dimunculkan oleh pemuda-pemuda berpendidikan barat yang mulai berkembang sejak dimulainya politik etis. Kebanyakan dari mereka berasal dari golongan priyayi, golongan kecil orang-orang profesional di kota-kota besar, dan keluarga pedagang luar pulau Jawa. Benedict Anderson berpendapat, dengan penduduknya yang beragam (agama, suku, ras, dan etnolinguistik), tidak ada yang lebih berperan dalam memupuk rasa keterikatan ini selain sekolah-sekolah yang didirikan kolonial Belanda. Mereka yang berasal dari beragam latar belakang bertemu dan berinteraksi dalam satu institusi kolonial dengan pengalaman bersama sebagai inlander yang bermakna inferior jika berhadapan dengan kaum kulit putih, meski mereka berasal dari kalangan atas pribumi. Mereka juga belajar di peta, Hindia Belanda selalu berbeda warna dengan Melayu-nya Britania atau Filipina-nya Amerika Serikat, sebuah realitas imajiner yang benteng kewilayahannya spesifik. Dengan begitu, orang pesisir Timur Sumatera yang memiliki kesamaan secara fisik, kesukuan, logat, dan agama dengan penduduk semenanjung Melayu justru mulai memahami orang-orang Ambon sebagai sesamanya, sementara orang-orang Melayu yang hanya dibatasi selat sebagai “orang-orang asing”.4 Mohammad Hatta menyebutkan di Pengadilan Den Haag tahun 1928: “Angkatan muda Indonesia mengalami sejak dari kecil betapa mereka secara nasional dan rasial diterbelakangkan. Sudah sejak Sekolah Rendah mereka merasakan pukulan dari pertentangan kolonial dan rasial. Ini bukan mereka pelajari dari buku-buku ilmiah, ini mereka rasakan pada kulit mereka sendiri. Pada kulit mereka terasa pertentangan tajam
4
Abdul Rivai dan koran berbahasa Melayu “Medan Prijaji” pimpinan Tirto Adhi Suryo. Koran “Medan Prijaji” diterbitkan di Bandung pada 1907 sebagai koran yang membawa suara Sarekat Prijaji –yakni organisasi yang bertujuan memajukan anak-anak priyayi melalui pendidikan dan beasiswa. Tapi dalam perkembangnya, isi koran “Medan Prijaji” tidak sebatas pada kepentingan golongan priyayi, melainkan meluas ke seluruh golongan bumiputera di Hindia Belanda. Lihat ibid., h. 14 dan Shiraishi, Takashi. 1990. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca: Cornell University Press, h. 33-4. Adapun Hering, Bob dalam Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Sebuah Biografi 1901-1945, Jakarta: Hasta Mitra, 2003, h.56 mengatakan, RM Tirto Adhi Soerjo juga dianggap sebagai “Bapak Jurnalisme Indonesia” karena korannya Medan Prijaji, terbit pertama 1 Januari 1907, adalah koran yang pertama diterbitkan dan dikelola oleh bumiputera. Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso, h. 120-122.
| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012
87
antara kaum kulit putih dan kulit berwarna, antara kaum penjajah dan yang dijajah. Tidak ada kesempatan lewat untuk menyadarkan mereka, bahwa mereka bukanlah merupakan sebagian dari bangsa ‘Inlander kotor’. Ah, Tuan Ketua, sampai muak kami mendengar dan membaca berbagai penamaan rendah bagi bangsa kami yang diucapkan atau ditulis oleh orang-orang yang katanya ‘beradab’, yang bukan saja menganggap diri sendiri sebagai tuan besar-besar di negeri kami, tapi juga memperkaya diri dengan harta yang dihasilkan dengan keringat dan darah si Kromo yang miskin. Kepada kami dilemparkan hinaan-hinaan, bahwa ‘si Inlander orang yang malas, jorok, tak dapat dipercaya, curang, tak tahu berterima kasih, serampangan, tak punya kebutuhan apa pun’. Ia kekurangan energi, tak tahu berhemat, tak punya kesadaran ekonomis, dan entah apa lagi. Hinaan-hinaan itu dilontarkan dengan sengaja dan sadar untuk menyakiti perasaan halus kami.”5 Pengalaman bersama yang dialami dalam kehidupan sehari-hari secara terus-menerus menggumpalkan kesadaran tentang perasaan senasib diantara kaum terpelajar akan penindasan kolonial di berbagai tempat di nusantara. Padahal mereka memperoleh sosialiasi nilai dari keluarga dan masyarakat tentang kejayaan dan kepahlawanan leluhurnya, tapi apa yang diperoleh dari sekolah-sekolah berbeda dengan kenyataan yang diyakini. Hatta juga menjelaskan di Pengadilan Den Haag tersebut: “Sudah sejak di Sekolah-sekolah Rendah Belanda, anak-anak Indonesia dicekoki untuk mencintai dan mengagumi pahlawananpahlawan kemerdekaan Eropa seperti Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi, Willem van Oranye dan banyak lagi. Sebaliknya sejarah tanah airnya sendiri dilukiskan seperti sejarah Hindia Belanda, yang mulai dengan datangnya tuan Houtman di Teluk Banten. Kejayaan masa lampau Indonesia sebelum itu dengan sendirinya tidak pernah diajarkan kepada mereka…Dan sebaliknya, setiap perlawanan dari raja-raja dan kepala suku Indonesia yang menentang masuknya orang kulit putih, dicap sebagai pemberontakan dan 5
88
Lihat pidato pembelaan Hatta di Pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928 berjudul “Indonesia Merdeka” dalam Hatta, Mohammad.1998. Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 1): Kebangsaan dan Kerakyatan. Jakarta: LP3ES, h. 87.
pengacauan. Demikianlah maka anak-anak muda Indonesia diharuskan membeo gurugurunya dan menganggap pahlawanpahlawan Indonesia –seperti Diponegoro, Tuanku Imam (Bonjol). Teuku Umar, dan banyak lainnya- seperti pemberontak, pengacau, bandit, dan entah apa lagi. Padahal mereka adalah juga pahlawan-pahlawan bangsa seperti halnya Willem van Oranye, Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi dan sebagainya. Kepada mereka semua kita merasa berhutang budi.”6 Sebagai bagian dari pendidikan Barat, para pelajar juga menyerap ide-ide nasionalisme dan liberalisme masyarakat Eropa abad ke-19. Ketika wawasan mereka terbentuk, mereka mulai mengartikulasikan nasionalisme mereka sendiri dan mulai dikembangkan melampaui bentukbentuk perlawanan sebelumnya.7 Sumpah Pemuda merupakan daya cipta pemuda membangun simbol kebangsaan di tengah negara (Hindia Belanda) yang eksploitatif. Sejak 1957, Sumpah Pemuda digunakan mengampanyekan persatuan dan kesatuan nasional ketika pertama kali dirayakan dalam skala besar-besaran untuk menghadapi pemberontakan daerah (PRRI/ Permesta). Pengagungan Sumpah Pemuda 1928, terutama pada masa Orde Baru, sering dikritik karena dianggap sebagai cara penguasa mengamankan konsepsi politik dan ekonominya dengan mengatasnamakan “kepentingan bangsa”. Orde Baru menggunakan magic words ”persatuan dan kesatuan” untuk menyeragamkan bentuk perangkat sosioekonomi dan sistem sosial di masyarakat demi kepentingan akulumasi modal. 2.2. Manifesto Politik 1925 dan Pemaknaan Ulang Sumpah Pemuda 1928 Penonjolan Sumpah Pemuda 1928 “hanya” pada aspek persatuan itu membuat sejarawan Sartono Kartodirdjo menilai langkah historisnya kalah maju ketimbang Manifestasi Politik 1925. Pada 1925, dalam salah satu edisi media Indonesia Merdeka, Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang dipimpin Mohammad Hatta, mengeluarkan apa yang disebut sebagai “Manifesto Politik” dengan isi:
6 7
Ibid., h. 88. Mintz, Jeanne S. Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, h. 21.
| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012
1. Rakyat Indonesia seharusnya diperintah oleh para pemimpin yang dipilih mereka sendiri; 2. Dalam memperjuangkannya tidak diperlukan bantuan dari pihak mana pun; 3. Supaya perjuangan itu tercapai, perbedaan dari kelompok-kelompok etnis harus disatukan, agar seluruh proses tidak mengalami kegagalan.8 Perhimpunan Indonesia juga mengeluarkan program prinsip “Indonesia Merdeka, Sekarang Juga” pada tahun 1925, yang berbunyi: 1. Hanya satu Indonesia yang merasa bersatu dan mengesampingkan perbedaan-perbedaan antarkelompok yang dapat mematahkan kekuatan penjajahan. Tujuan bersamakemerdekaan Indonesia- menuntut terwujudnya suatu aksi massa nasionalis yang sadar dan berdiri atas kekuatan sendiri. 2. Turut sertanya semua lapisan bangsa Indonesia dalam perjuangan bersama mencapai kemerdekaan adalah pula suatu syarat mutlak untuk mencapai cita-cita itu. 3. Unsur yang dominan dan penting dalam setiap masalah ketatanegaraan kolonial adalah pertentangan kepentingan antara pihak penjajah dan yang dijajah. Kecondongan politik penguasa untuk menghilangkan dan menyembunyikan unsur-unsur itu haruslah dijawab oleh pihak yang dijajah dengan mempertajam dan menekankan pertentanganpertentangan itu. 4. Mengingat pengaruh yang melumpuhkan dan merusak moril daripada penjajahan atas kondisi psikis dan fisik yang hidup di Indonesia, maka kita harus bekerja keras agar hubunganhubungan rohani dan jasmani menjadi normal kembali.9 Menurut Hatta: “Dua dalil yang pertama dari program prinsip ini mengemban pikiran tentang persatuan dan solidaritas Indonesia. Seperti yang telah dikatakan di atas, kedua-duanya merupakan syarat mutlak untuk mencapai bentuk kekuatan nasional, dan hanya pembentukan kekuatan, tegasnya aksi massa ini, yang akan sanggup untuk mempersoalkan pertanyaan kekuasaan. Dalil ketiga meliputi prinsip non-kooperasi. Dan
dalam dalil keempat tentang self-help.10
11
9
Kartodirdjo, Sartono. 2001. Indonesian Historiography, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, h. 120-1. Hatta, Mohammad. Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 1), op.cit., h. 150-151.
gagasan
Manifesto Politik 1925 lahir ketika liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda berada dipuncaknya. Manifesto tersebut merupakan daya cipta para pemuda Indonesia yang berada di tanah perantauan untuk menolak penindasan atas nama negara (Hindia Belanda) dan pasar yang tidak berakar pada kepentingan rakyat. Manifesto Politik 1925 mentransendensi gerakan etnisitas dan lokalisme, seperti Boedi Oetomo, Jong Java, dan Pasoendan, ke dalam prinsip persatuan sebagai satu bangsa yang heterogen. Kekuasaan pemerintahan yang sah dipilih oleh rakyat dan mengandalkan kekuatan sendiri memiliki tanggung jawab kepada rakyat sehingga menjadi antitesa kekuasaan eksploitatif. Manifesto Politik tersebut, menurut Sartono, merumuskan nasionalisme Indonesia sebagai ideologi, mencakup unitarisme sebagai dasar pembentukan negara-nasion. Ketiga konsep itu saling melengkapi di mana persatuan (unity) dijalankan bersama konsep kemerdekaan (liberty) dan kesetaraan (equality). Persatuan dan kesetaraan hanya dapat dicapai dalam suasana merdeka.11 Pada perjalanan bangsa selanjutnya, Sumpah Pemuda 1928 banyak ditonjolkan, adapun Manifesto Politik 1925 seperti hilang dari ingatan kolektif bangsa. Namun begitu, Sumpah Pemuda 1928 memiliki kelebihan karena pertama kali dibicarakan tentang “wadah”, yakni satu bangsa yang mendiami tanah air sama, dengan bahasa persatuannya. Meski tidak berbicara tentang kemerdekaan dan relasi kekuasaan antara penguasa-rakyat, Sumpah Pemuda 1928 menjadi batu pijakan membangun negara 17 tahun kemudian dan dituangkan dalam UUD 1945. Mengacu David Brown dari segi gagasan promosi keyakinan baru identitas nasional dan struktur politik yang menunjang nasionalisme12, Sumpah Pemuda sesungguhnya memiliki kelebihan karena pertama kali dibicarakan satu bangsa yang mendiami tanah air sama, dengan bahasa persatuannya.
10
8
terwujudlah
12
Hatta, Mohammad. Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 1), op.cit., h. 151. Kartodirdjo, Sartono. 2001. Indonesian Historiograph, op.cit., h. 121. Brown, David. 2000. Contemporary Nationalism: Civic, Ethnocultural and Multicultural Politics. London: Routledge, h. 138.
| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012
89
Tidak ada kemerdekaan dan kesetaraan tanpa adanya bangsa dan wilayah yang diklaim, serta bahasa persatuan yang menyokongnya. Artinya, Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 memiliki kontribusi saling melengkapi. Pada titik itu, Sumpah Pemuda perlu dimaknai sebagai komitmen membangun kehidupan berbangsa yang mengakomodasi berbagai bentuk perangkat sosioekonomi dan sistem sosial di masyarakat Indonesia yang bhinneka. Indonesia memiliki tanah air luas dan kaya yang diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Karena itu, perlu dirumuskan apa yang dimaksud “kepentingan nasional” yang seringkali dijadikan dalih menggusur aspirasi masyarakat lokal? Jika dilihat, nilai-nilai kepentingan nasional yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah kehidupan kebangsaan yang bebas. Kehidupan kebangsaan yang bebas berurusan dengan usaha memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam alinea ke 3 dan 4 Pembukaan UUD 1945. Artinya, kepentingan nasional merupakan usaha pembebasan dari kemiskinan, kebodohan, dan penindasan, berkaitan dengan perjuangan mencapai tatanan nasional dan dunia yang adil. Landasan perjuangan di bidang ekonomi adalah UUD 1945 Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Koperasi dijadikan sokoguru ekonomi sebagai perwujudan Pasal 33 ayat (1). Negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai ayat (2), yang diawali dengan perjuangan nasionalisasi atau setidaknya kontrak ulang sektor pertambangan yang banyak merugikan negara dan memarjinalkan masyarakat setempat, agar dapat diperuntukkan sebesarnya bagi kemakmuran rakyat. Adapun reforma agraria merupakan langkah konkrit ayat (3). 3. Kesimpulan Kontribusi saling melengkapi antara Manifesto 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 bermuara pada cita-cita Proklamasi 1945. Persatuan bangsa tidak hanya pada bingkai juga mencakup isi, yakni usaha bangsa merombak ketimpangan penguasaan sumber-sumber ekonomi di tengah masyarakat yang bhinneka. Proses berbangsa harus menolak negara dan pasar 90
memonopoli tafsir dengan menjadikan subyektivitasnya sebagai ”standar obyektivitas” yang memarginalisasi masyarakat lokal. Nilai-nilai kepentingan nasional yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah kehidupan kebangsaan yang bebas dengan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan keadilan sosial. Usaha mengeksploitasi sumber daya alam yang memisahkan masyarakat dari basis kehidupannya dan penempatan penduduk sebagai sumber tenaga kerja murah bukanlah ”kepentingan nasional” sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Promosi terhadap keyakinan identitas nasional harus didukung beberapa faktor. Pertama, struktur politik yang menunjang dan aturan negara mengakomodir nilai-nilai dan kepentingan yang ada di masyarakat. Kedua, strategis negara dalam pengaturan ekonomi di masyarakat untuk mengatur sektor modern hingga sektor ekonomi tradisional dan aturan adat-istiadat bagi kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Ketiga, tingkat eklektisitas negara berkaitan dengan prosedur dan nilai-nilai kelembagaan berupa ruang dari bangunan keindonesiaan sebagai saluran kepentingan dan aspirasi berbagai komunitas. Diperlukan gerakan nasional kembali ke Pasal 33 UUD 1945 yang merevisi atau membatalkan segala peraturan yang bertentangan dengannya. Kegagalan mengelaborasi persoalan keadilan sosial ke arah kerja-kerja konkrit membuat kemampuan integratif dan transformatif bangsa Indonesia kian terkikis.
REFERENSI
Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. Brown, David. 2000. Contemporary Nationalism: Civic, Ethnocultural and Multicultural Politics. London: Routledge. Hatta, Mohammad.1998. Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 1): Kebangsaan dan Kerakyatan. Jakarta: LP3ES
| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012
Hering, Bob. 2003. Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Sebuah Biografi 1901-1945. Jakarta: Hasta Mitra. Kartodirdjo, Sartono. 2001. Indonesian Historiography. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
* Retor AW Kaligis Doktor Sosiologi Universitas Indonesia, dosen S2 Ilmu Kesejahteraan Sosial STISIP (Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Widuri, Jakarta. Email:
[email protected]
Kusuma Sumantri, Iwa. 1963. Sejarah Revolusi Indonesia: Masa Perdjuangan Sebagai Perintis Revolusi (Jilid Pertama). Jakarta: (tanpa penerbit). Mintz, Jeanne S. 2002. Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pringgodigdo, AK. 1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. Shiraishi, Takashi. 1990. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca: Cornell University Press. Tirtoprodjo, Susanto. 1982. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT Pembangunan Jakarta.
“Small minds talk about people, average minds talk about events, great minds talk about ideas” (Orang berpikiran kecil sibuk membicarakan orang lain, orang berpikiran medioker sibuk bicara kejadian-kejadian, dan orang yang berpikiran besar selalu bicara soal ide-ide, soal gagasan) (Eleanor Roosevelt, Ibu Negara AS 1933-1945)
| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012
91