( r e)k onstruksi k egiatan:
belajar bersama th. VIII |
[email protected]/2013
nomor: ???
Memahami Vektor ; 4 Prinsip Membangun Sikap Toleran Dipersiapkan oleh: Bun-YanumMarshus
… … …; … … …; … … …! A.
“Bagi saya, kita akan menjadi lebih baik bila bisa menerima perbedaan-perbedaan itu sebagai kumpulan pengetahuan yang berharga. Saya berharap, kamu akan berusaha belajar melakukannya. “Kita lanjutkan ya....”
Siswa, diminta 'menebak' gambar tersebut. “... …?” “ “... …!” ” “... …?” “ “... …!” ” “... …?” “ “... …!” ” “Baik. Penting untuk diingat ya; satu objek yang sama, dapat dipahami sebagai sesuatu yang berbeda tergantung pada sudut dan cara pandang kita. Adalah tidak salah, bukan sesuatu yang keliru kalau kita mengatakan gambar tersebut adalah gambar bebek, burung, pelikan, atau kelinci. Atau malah yang lain lagi …. “Jawaban beda-beda, tapi bisa betul semuanya kan?
B. Berikutnya. Tayangan gambar sebuah anak panah; atau, kalau kebetulan listrik sedang 'pet', gambar anak panah tersebut tempatkan di papan tulis. Kemudian, kepada para siswa ajukan pertanyaan: hal ihwal menyangkut vektor yang pernah mereka pelajari. “... …?” “ “... …!” ” “... …?” “ “... …!” ” “... …?” “ “... …!” ” “Dengan demikian, vektor adalah??” ““Besaran yang memiliki ukuran dan araaah!””
Lalu, iseng bagi saya; sebaliknya, masalah bagi anak-anak. Ihwalnya, saya bukan guru fisika. Dan dengan dalih saya bukan guru fisika, urusan vektor di tangan saya menjadi bisa berbeda dan sangat melenceng. “Baiklah. Sekarang begini; kalau vektor ini saya bikin dengan ukuran yang lebih panjang, dan kemudian vektor ini saya sebut sebagai cemeti ….” “Apa itu Pak cemeti?” “Ada yang tahu apa itu cemeti?” “... …? …?” “Belum pernah dengan sesuatu yang disebut cemeti? Kalau cambuk? Pecut? Sabet? Kamu tahu?” “ “Oooo.....” ” “Ada sebutan lainkah?” “Sebat Pak!” Sadra yang menjawab. “Ya. Nah baiklah. Kalau ujung cemeti yang bentuknya mata panah itu kuarahkan dan kulecutkan padamu, apa rasanya menurutmu?” “ “Sakit lah Pak. | Pedih, Pak.” “ “Begitu ya. Ini bedanya kamu dengan saya. Saya, kalau dilecuti cambuk, pedih ngnggaaak, sakit juga enggak. Tapi capek. ” “Kok capek Pak?” “Lha iya lah. Wong sebelum ujung sabet itu kena badanku, aku lekas-lekas lari keponthalponthal.” “ “ : ))) “ “ “Kamu ini, disebat, malah pasang badan. Lariiii!!” … … …. “Yuk, kita lanjutkan. Sekarang, saya misalkan, Ade dan Hudi duduk saling berhadapan, di antara mereka vektor ini terletak;
Ade
Hudi
“Nah, pertanyaan saya, ada berapa hal yang bisa menjadi sumber perbedaan pendapat Ade dan Hudi?”
“ “ … … ….” “ “Maksud saya, berkaitan dengan vektor itu, hal apa yang bisa jadi bikin Ade dan Hudi bertengkar, berdebat?” “ “Nggak ngerti Pak. | Nggak mudheng saya.” “ “Saya bantu dengan mengingatkan kamu. Kita balik lagi pada definisi dan pengertian vektor. Sekali lagi, vektor adalah? Apa tadi?” ” “Besaran yang memiliki ukuran dan arah.” “Ya.... Vektor adalaaah.... besaran yang memiliki...” Sambil saya menulis di papan:
1. ukuran, dan 2. arah. “Saya ulang lagi pertanyaan; kalau suatu vektor dapat diukur dan ditentukan arahnya, berapa hal yang bisa bikin Ade dan Hudi bertengkar?” “Ada dua Pak.” “Nah, tu, Yulia dah jawab. Ada dua hal. Yang lain, bisa mengerti?” “ “Belum Pak. | Masih belum ngerti Pak. | Belum mudheng Pak.” “ “Baik. Saya akan pakai penjelasan trabas centum, kalau kamu masih belum juga ngerti, saya bakal kesulitan untuk bisa bikin kamu mengerti.” … …. “Perdebatan pertama, menyangkut ukuran. Saya gunakan ukuran kurang lebih saja biar agak mudah. Misal, karena menggunakan alat ukur yang beda skala, Ade mengatakan panjang vektor tersebut 4 inci; sedangkan Hudi bilang, vektor itu panjangnya 10 senti.” “ “ Oooo....” “ “Nah, sudah bisa ngerti kan. Kurang lebih, sama saja kan?! Tetapi, kalau keduanya tetap bersikeras menggunakan alat ukurnya masingmasing, pertengkaran itu bakal berlanjut-lanjut. Pertanyaan saya; cara atau cara-cara apa yang bisa ditempuh agar mereka, Ade dan Hudi misalnya, menyelesaikan persoalan debatnya? Coba pikirkan!”
“ “... …!” ” “... …?” “ “... …!” ”
“Dari sudut pandang siapa?” “Sudut pandang masing-masing!?” terdengar jawaban ragu yang lebih bersifat tanya.
“Kalau saja kamu menggunakan imajinasimu, kamu pasti bakal bisa menjawabnya. Padahal, setidaknya, ada dua cara lho.... Tapi baiklah, kita lanjut saja dulu. Mungkin nanti ada gagasangagasan tertentu yang terpikir olehmu.” … … ….
“Iyya. Mereka sama-sama betul, tetapi, kalau mereka terus saja eyel-eyelan mempertahankan sudut pandangnya sendiri; nggak akan selesai itu urusan penentuan arah.
“Kalau tadi Ade dan Hudi bertengkar tentang ukuran, hal lain yang bisa menjadi sebab pertengkaran baru adalah tentang...??” “ “Araaaaaa...h!” “Dan bagaimana ujud pernyataan pertengkaran mereka? Apa yang dinyatakan oleh masingmasing, Ade dan Hudi tentang arah sehingga mereka berdebat lagi?” “ “ … … ….” ” “Lha! Kamu bisa jawab lho. Arah.” Saya, lalu menikmati ketika anak-anak menggumamkan jawaban-jawaban yang raguragu dinyatakan, atau sekadar melihat pikiran mereka yang menerawang. Benak saya seolah melihat jalur-jalur pikiran mereka sedang menempuh perjalanan pencarian sesuatu. Sesuatu yang disebut sebagai: jawaban. “Kita punya dua tangan kan?! Saya angkat tangan mana nih?” “ “Kiriiii...!” “ “Yang ini?” “ “Kanaaaann!” “ “Nah, kalau dipandang dari sisi Ade, vektor itu mengarah ke mana?” “ “Ke kiriiii....” “ “Dan dari sisi Hudi, ke arah?” “ “Kanaaaa....n!” “ “Menurutmu, siapa yang betul dan siapa yang keliru menyebut arah vektor?” “ “Tidak ada Pak. Dua-duanya betul.” “ “Dua-duanya betul dari sudut pandang??” ““ … …?””
“Nah, cara apa yang bisa dilakukan agar mereka berhenti bertengkar? Ada yang tahu?” “Pindah tempat Pak?” “Betul lagi, Puteri. Ya. Pindah tempat, bertukar posisi, menempatkan diri pada tempat pijak orang lain. Itulah salah satu cara kita untuk memahami pandangan orang lain yang berbeda dengan kita.
Hudi
Ade
“Yang menjadi masalah adalah, tidak semua orang akan mudah begitu saja berusaha memahami orang lain dengan bertukar sudut pandang. Orang semacam itu boleh jadi pikirannya cerdas; tetapi hatinya boleh jadi terlalu sempit untuk bisa dimasuki oleh pandangan yang berbeda. Kamu mungkin pernah ketemu dengan orang yang semacam itu. Dan mungkin masih akan bakal ketemu lagi dengan orang semacam itu.” ……… “Nah; kita lanjut lagi. Ada setidaknya satu cara lagi untuk menyelesaikan perbedaan pandangan tentang arah vektor tersebut; cara apa lagi hayooo.... Pikirkan dulu.” …………… “Ada yang tahu?” “ “… … … … … … … ….” “ “Saya bantu kamu dengan sedikiiiit saja bantuan. Saya beri simbol garis lintang... sehingga;
Ade
Hudi
vektor bisa disebut menghadap ke arah??” “ “Utaraaa!” “ “ ;) ^_^ (: “ Kemudian, saya lanjutkan dengan pertanyaan, “Kalau Ade dan Hudi sudah bisa sama-sama menyebut vektor itu mengarah ke utara, masih layak ada eyel-eyelan lagi tentang arah tidak?” “ “Tidaaaaak!” “ “Itulah yang disebut sebagai menyamakan persepsi; saat, ketika dua orang atau lebih berbeda pandangan, kemudian mereka menyerap pengetahuan yang sama, dan memahami dengan cara yang sama. “Harap kamu sedia menyimak-baca yang berikut ini.” Kemudian, tayangan:
Ada ketidaksamaan esensi pada penyelesaian perbedaan pendapat melalui (1) pertukaran posisi dan melalui (2) penyamaan persepsi. Dalam hal bertukar posisi, orang saling memahami dengan tetap mempertahankan perbedaan yang ada; sedangkan dalam hal persamaan persepsi, orang saling memahami dengan cara mengeliminasi perbedaan pandangan masingmasing.
“Kita mulai lagi ya. Urusan vektor belum kita bikin kelar kan?! Masalah arah sudah kita selesaikan; yang masih belum, perbedaan pandangan yang menyangkut?? Apa tadi?” “ “ … …? | Ukuran Pak.” “ “Dan cara apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan, serta bagaimana melakukannya?” ………… ………… ………… “Saya tanya; ketika tadi saya bilang Ade mengatakan panjang vektor 4 inci, sedangkan Hudi menyatakan 10 senti, kamu membayangkan mereka berdua memegang mistar ukur tidak?” “ “Nggak Pak.” “ “Itu yang saya bilang, bahwa kamu belum menggunakan imajinasi. Nah, coba bayangkan bahwa sebelum mereka berdua, Ade dan Hudi menyatakan ukuran panjang vektor, mereka telah melakukan pengukuran lebih dahulu. “Jadi, bayangkan mereka memegang mistar; dan ingat cara penyelesaian perbedaan pandang tentang arah.” “Tahu Pak, tahu; saya tahu.” “Apa yang kamu tahu Miranti?” “Tukeran mistar Pak. Ade pakai mistar Hudi, Hudi pakai mistar Ade.” “Bagus sekali. Satu lagi masalah bisa diselesaikan. Kalau tadi menyangkut arah diselesaikan dengan ...?? Apa?” “ “Tukar posisii!” “ “Dan menyangkut ukuran, dilakukan dengan??” “Tukeran alat pengukurrrnya pak.”
Setelah cukup waktu baca, “Sudah selesai baca?” “ “ … … …!” “
“Leherku kok mendadak jadi gatel ya....” “Emang kenapa Pak?”
Tutup tayangan; dan bertanya kepada siswa tentang ihwal yang baru dibacanya. Kemudian; jeda. …………
“Kamu kan lihat to? Waktu kamu tadi bilang pengukur, aku langsung 'ngukur' leherku. Gatel soalnya.” “Bapak ni; orang serius, malah becanda.”
“Lha kamu juga kenapa?! Orang becanda, malah kamu serius.” “ “ :)) “ ” “Ini contoh vektor beda arah kan? Vektorku mengarah ke becanda; vektor Novi mengarahnya ke seurieus. Kayaknya pikiran Novi tadi sambil nyanyi /vektor bisa manusia/.” “ “ :)) “ “ “Masih ada satu cara lagi nih untuk menyelesaikan masalah beda pandangan. Coba pikirkan.” ………… “Ada yang tahu caranya? Atau nyerah mikir dan kamu pilih kusuapi jawaban?” “Nyerah aja lah Pak.” “Enak aja; nyerah. Wong kamu juga bisa jawab lho. Nih, kalau nggak percaya. Coba, Ade dan Hudi, harap kamu berdiri. ………… “Siapa lebih tinggi badannya? Ade? Atau Hudi?” “ “Ade....” “ “Apa yang dilakukan pikiranmu sehingga kamu tahu Ade lebih tinggi ketimbang Hudi?” “Mmmm, membandingkan?!” “Puteri, kamu ini nggak adil.” “Kok nggak adil Pak?” “Kamu ingat waktu kamu kasih tebakan lalu aku balik tanya padamu, kamu bilang apa?” “Ingettt.” “Apa katamu waktu itu?” “Saya paling benci kalau nanya terus balik ditanya.”
“Iya. Dan berapa kali kamu menjawab pertanyaan dengan intonasi tanya? Hayo.” “ … (mesem) ….” “Jadi betul kata Puteri. Untuk tahu ukuran tinggi Ade dan Hudi, bandingkan saja mereka berdua. Ha! Pada kebayang kan? Dalam hal vektor tadi, kita juga bisa melakukan hal yang sama, membandingkan hasil pengukuran dengan, dalam hal masalah vektor yang kita hadapi, cukup dengan menjajarkan alat pengukurnya. ”Kamu sudah pada capek ya ....” “Iyyaaa Paaaak.” “Dah, terserah kamu; waktu sisa ini mau kamu isi dengan apa.” “ “Iyyyesss!” “ “Hanya saja, harap kamu ingat kalau kamu belum sepenuhnya selesai berurusan denganku untuk masalah vektor ini lho!” “ “ … … …! | … … …! | … … …! “ “
C. 4 Tiang Utama Bangunan Sikap Toleran di Atas Fondasi Vektor. 1. Berpikir dan bersikap atas dasar perbandingan; RASIO-nal. 2. Kesediaan menggunakan alat ukur pihak/orang lain. 3. Kesediaan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain; ber-empati. 4. Bersedia ke luar dari kurungan pemahaman yang melulu subjektif; dan sedia menyamakan persepsi.