Meliput Kejahatan Asusila: Melepas Asumsi dan Stigma By Uni Lubis Dalam dua bulan terakhir, setidaknya dalam lima kali kesempatan bertemu dengan para wartawan di lima propinsi, saya mendiskusikan mengenai Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan Asusila. Di Makasar, ada cerita menarik dari seorang wartawan lokal. Koran tempatnya bekerja pernah disomasi oleh orang tua seorang murid sekolah menengah atas di kotanya, karena memberitakan sebuah peristiwa perkosaan di kota itu, dan menyebut nama korban sebagai “Mawar”. “Kami sudah menyamarkan nama korban, tapi kog masih disomasi juga?” tanya wartawan itu. Masalahnya, orang tua yang menyomasi koran lokal itu keberatan karena putrinya bernama Mawar, dan menjadi siswi di sekolah menengah yang dimaksud dalam berita itu. Apes. Untung persoalan ini bisa diselesaikan dengan damai. “Sebut saja namanya Mawar –atau Bunga, Melati—“,” adalah kalimat yang sering digunakan media dalam memberitakan kasus kejahatan asusila, khususnya korban perkosaan atau perundungan seksual. Saya tidak paham sejak kapan cara ini dipilih. Sejak menjadi wartawan awal 1990, cara ini sudah dilakukan. Banyak contoh ketika media hanya sekedar menyamarkan nama korban, namun lalai menyamarkan data lainnya, seperti alamat, identitas orang tua, guru, sekolah dan lainnya, sehingga upaya mengganti nama korban (atau berlaku juga untuk pelaku di bawah umur), menjadi sia-sia. Padahal Kode Etik Jurnalistik yang berlaku universal maupun yang disepakati berlakunya sejak 2006, mengatur bahwa identitas dari korban kejahatan asusila dan pelaku di bawah umur harus dirahasiakan. Pasal 5 KEJ Indonesia menyebutkan: “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Penafsiran dari pasal ini adalah: a) Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang, yang memudahkan orang lain untuk melacak. B) Anak adalah seseorang yang belum berusia 16 tahun dan belum menikah. Lantas, sesudah berdiskusi, teman-teman wartawan peserta workshop jurnalistik yang diadakan Dewan Pers itu bersepakat, bahwa penggunaan “Mawar, Bunga, Melati” tidak lagi pas untuk merahasiakan identitas korban kejahatan asusila. Pakai saja inisial 2 huruf, dan jangan lupa perlebar ruang lokasi peristiwa. Tidak perlu menyebutkan alamat, nama jalan, cukup sebutkan areanya. Misalnya: di kawasan utara Makassar. Sebab memberitakan peristiwa kejahatan asusila maksudnya adalah antara lain memberikan peringatan dini atas sebuah modus kejahatan. Jadi yang lebih penting adalah mengeksplorasi identitas pelaku, apalagi jika belum tertangkap, ketimbang menyampaikan detil mengenai korban. Siang ini, @LenteraID, sebuah komunitas peduli penyintas (survivors) kejahatan pemerkosaan dan perundungan seksual, melakukan diskusi mengenai “Breaking The Silence of Rape and Sexual Abuse”. Saya memonitor beberapa yang dibicarakan melalui linimasa mereka dan beberapa peserta. Sayang sekali saya tidak bisa hadir, meski sempat diundang berbicara oleh panitia. Berbekal pengalaman berdiskusi dengan teman-teman wartawan di daerah dan sejumlah bahan dokumentasi dan riset, saya ingin berbagi mengenai bagaimana harapan kepada media atas peliputan menyangkut korban kejahatan asusila. Jelas, korban adalah perempuan (sangat sedikit yang lelaki), dan kasus yang banyak diberitakan adalah kasus pemerkosaan.
Dalam sejumlah kesempatan diskusi saya memulai dengan mengingatkan (termasuk diri saya sendiri) bagaimana kita menyikapi sebuah tindak kriminal?
Setiap korban punya keunikan, dan itu membuat setiap peristiwa/tindak kriminal unik Bantuan/asistensi terhadap korban tindak kriminal pun menjadi berbeda antara satu kejahatan dengan kejahatan lain, karena dampaknya pada korbanpun berbeda-beda Media saat meliput peristiwa/tindak kriminal/kejahatan diharapkan menerapkan strategi pemberitaan yang berbeda pula untuk setiap jenis kasus
Berdasarkan data yang dikumpulkan dalam sebuah penelitian di AS oleh Dean G. Kilpatrick , 2007) Jenis peristiwa kriminal/kejahatan yang sering diliput media:
Pemerkosaan dan kejahatan seksual Kekerasan dalam rumah tangga Kejahatan pada anak-anak Pembunuhan Mengemudi sambil mabuk
Di AS, pengalaman wartawan dalam meliput pemerkosaan dan kejahatan seksual, biasanya adalah:
Korban, baik dewasa maupun anak-anak, biasanya tidak ingin identitasnya diketahui publik. Mereka merasa malu Korban tak ingin ada yang terinspirasi atas kejahatan yang dialaminya, sehingga tidak mau melapor atau dipublikasikan Korban bersedia dipublikasi/diwawancarai media, tapi pihak keluarga keberatan Di AS sejumlah negara bagian melarang siapapun (termasuk media) menyebarkan informasi identitas korban kejahatan seksual
Menurut Dean G. Kilpatrick dalam publikasi hasil penelitiannya, di AS, Drug-Facilitated, Incapacitated, And Forcible Rape: A National Study, pemerkosaan adalah jenis kejahatan seksual yang paling sedikit dilaporkan kepada aparat hukum oleh korbannya. Hanya 18% dari kasus pemerkosaan yang dilaporkan ke aparat hukum. Hanya 16% kasus pemerkosaan di kalangan pelajar yang dilaporkan ke polisi. Laporan lengkap penelitian Profesor Kilpatrick dapat diakses di sini: https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/grants/219181.pdf
Kebanyakan korban tidak laporkan kejahatan seksual yang mereka alami karena mereka tidak ingin keluarga dan kawan tahu, atau mereka tidak ingin Korban juga kuatir ada tindakan balasan dari pihak pelaku kejahatan Stigma sosial yang cenderung menyalahkan korban kejahatan seksual Post-traumatik sesudah alami kejahatan, termasuk mental dissorder, depresi, susah tidur yang dialami korban Pelaku kejahatan seksual terutama kepada anak dibawah umur/remaja adalah orang dekat. Mitos “bahaya orang tidak dikenal” tidak akurat dalam kasus kejahatan seksual Istilah “Alleged Victim” atau terduga korban “ dianggap merendahkan derajat dari korban yang alami kejahatan seksual. Ada nuansa tidak percaya dalam penggunaan istilah yang seringkali digunakan media.
Karena itu media diharapkan menggunakan istilah yang netral seperti: “korban melaporkan tindakan pemerkosaan yang dialaminya”.
Saya belum menemukan data persisnya berapa persentase pelaporan kejahatan pemerkosaan yang terjadi di Indonesia. Namun, melihat karakteristik yang hampir sama, saya menduga persentasenya hampir sama, kurang dari 20% yang dilaporkan. Dari seminar publik yang diadakan @LenteraID terungkap bahwa Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menerima pengaduan 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2011. Sebanyak 3.753 adalah kasus pemerkosaan Rata2 terjadi 10,28 kasus pemerkosaan setiap hari. Angka ini dipercaya jauh lebih kecil dari yang sebenarnya terjadi mengingat korban biasanya enggan melaporkan dengan berbagai alasan terutama yang telah disampaikan di atas. Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 2010 mencatat, terdapat 40 perempuan korban pemerkosaan. Sementara itu, untuk tahun ini, jumlah korban pemerkosaan sudah mencapai 41 orang. Menurut Kepala Biro Operasional Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sujarno, kejahatan pemerkosaan paling dominan dilakukan di rumah, yakni sebanyak 26 kali. Menurut Komnas Perempuan, sebagaimana dikutip dalam artikel yg ditulis oleh Tunggal Pawestri di Tempo, keengganan korban melaporkan kasusnya disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya stigmatisasi dari masyarakat yang kadang berujung pada pengusiran korban, budaya menyalahkan korban, dan tidak adanya dukungan dari keluarga. Masih segar dalam ingatan kita kontroversi pernyataan Gubernur DKI Fauzi Bowo atas pemerkosaan yang dialami seorang perempuan dan dilakukan oleh pengemudi mikrolet bersama sekongkol jahatnya. Ucapan Gubenur Fauzi Bowo dianggap sebagai contoh gamblang dari budaya menyalahkan korban. Perempuan pemakai rok mini dianggap menjadi penyebab tindak kejahatan pemerkosaan. Fauzi Bowo sudah meminta maaf atas komentarnya yang kontroversial itu, dan berjanji melakukan pembenahan di angkutan umum untuk lebih melindungi penumpang. Bagaimana media meliput kejahatan asusila? Di atas saya telah menyampaikan pasal khusus dalam Kode Etik Jurnalistik yang mengatur soal ini. Melihat dampak bagi penyintas (istilah yang disarankan oleh Komnas Perempuan untuk menyebut korban, maka penanganan terhadap kasus ini perlu dilakukan secara khusus pula. Selain soal kerahasiaan identitas, ada soal perlindungan privasi yang harus diperhatikan, dan diatur dalam Pasal 9 KEJ, yang bunyinya: Pasal 9: “Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.” Penafsiran dari pasal itu adalah: a) Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. b) Kehidupan pribadi adalah segala kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik Soal privasi ini termasuk paling sering dilanggar oleh media dalam meliput korban kejahatan asusila. Mulai dari mewawancarai ala detektif polisi dengan mengorek detil mengenai peristiwa, yang berakibat membangkitkan ingatan akan kejahatan yang dialami, sampai gagal merahasiakan identitas sesuai tuntutan etika. Dengan menggunakan alasan The right of public to know, freedom of the press, dan prinsip “melaporkan fakta” media menyajikan laporan yang justru melanggar hak privasi. Padahal sebagaimana telah disampaikan di atas, tiap kejahatan kriminal itu memerlukan penanganan yang berbeda.
Menghormati privasi korban kejahatan asusila (juga pelaku jika di bawah umur), adalah bagian dari hak privasi yang dijamin oleh konstitusi pula, dan harus dihormati oleh media. Helen Benedict, guru besar jurnalistik dari Universitas Columbia, New York, menyebutkan, bagi korban kejahatan asusila, diliput oleh media –baik sebagai korban maupun yang dituduh menjadi penyebab terjadinya kejahatan—sama dengan harus siap dibongkar masa lalunya, aspek pribadinya, termasuk kehidupan seksualnya (The Privacy Rights of Rape Victims in the Media and The Law, Panel Discussion, 1993). Mengapa media berasumsi bahwa detil kehidupan korban kejahatan pemerkosaan dan gaya hidupnya penting untuk disajikan ke publik? Media tidak menyajikan detil kehidupan dari pemilik toko minuman keras yang jadi korban perampokan? Wartawan juga tidak peduli untuk menyelidiki dan menyajikan riwayat kehidupan cinta dari seorang laki-laki pemilik apartemen yang dirampok? Padahal media cenderung mudah tidak percaya pada perempuan korban kejahatan pemerkosaan? Ingat kasus tuduhan kejahatan seksual yang menimpa mantan direktur Dana Moneter Internasional Dominich Strauss Kahn. Setelah sempat ditahan rumah dan kehilangan jabatannya, belakangan pengadilan New York berubah angin. Perempuan karyawan hotel di NY yang melaporkan dirinya menjadi korban perundungan seksual Tuan Kahn itu terpaksa membuka identitasnya dan bersedia diwawancarai majalah Newsweek. Dia tidak ingin dituduh berbohong, sebagaimana kecenderungan yang muncul dalam persidangan majelis hakim. Tuan Kahn bahkan sudah tidak ditahan rumah. Kecenderungan media untuk tidak mempercayai korban kejahatan asusila menurut Benedict, disebabkan dua mitos: 1) bahwa perempuan memprovokasi/mengundang kejahatan seksual itu dan 2) bahwa perempuan yang mengaku diperkosa biasanya berbohong. Sikap media ini didorong oleh kultur yang masih ada di masyarakat, pula karena media cenderung menggunakan narasi yang cepat, biasa digunakan dan tak perlu berpikir panjang. Padahal, kejahatan pemerkosaan dan bentuk kejahatan asusila lainnya, kendatipun dilakukan oleh orang dekat, bahkan suami/pacar adalah kejahatan. “Sexual assault is a violent crime motivated by anger, hatred, or more rarely, sadism, in which perpetrators use sexual acts as weapons of degradation and punishment (A Nicholas Groth, Men Who Rape: The Psychology of the Offender, 1979). Jadi, demikianlah seharusnya media melaporkan kasus kejahatan asusila. Sebagai kejahatan. Bukan sebuah kejadian yang dipicu oleh daya tarik atau perilaku hidup korban. Mengingat kian meningkatnya kasus kejahatan asusila yang tentu menjadi obyek peliputan media, banyak lembaga penelitian media yang menyajikan sejumlah saran bagi media agar meliput kasus seperti ini dengan penuh empati. Sebelum meliput, saat mewawancarai, saat mengedit dan menyajikannya ke publik, pikirkan seandainya korban kejahatan (dan pelaku di bawah umur) yang akan kita beritakan adalah orang yang kita kenal, kita sayangi. Bisa adik, kakak, anak, keponakan, kerabat, teman dan lainnya. Pikirkan jika media lain menulis tanpa empati, sebagaimana yang akan kita lakukan. Bagaimana perasaan kita? Selain melakukan peliputan sesuai KEJ, saya menawarkan beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam peliputan kejahatan asusila. Saya kutip dari “Etika pemberitaan yang Perlu diperhatikan dalam kasus pemerkosaan/kejahatan seksual” (Louisiana Foundation Against Sexual Assault, Judy Benitez, Baton Rouge, L.A, 2002)
Dalam memberitakan kejahatan seksual wartawan/media diharapkan menyeimbangkan antara hak privasi dengan hak publik untuk mengetahui (public right to know) Wartawan membuat penilaian (news judgment) kapan aspek detil diperlukan untuk public safety dan early warning, dan kapan detil tertentu hanya akan membuat korban trauma karena teringat kejahatan yang dialaminya. Trauma bisa timbul ketika korban seolah diingatkan kembali akan perannya dalam peristiwa kejahatan yang dia alami. Misalnya, memilih taksi yang tidak bonafid, membiarkan dirinya berdua dalam ruang sepi dengan pelaku, dan lain-lain. Wartawan perlu memperhatikan detil tentang pelaku yang relevan dengan peristiwa: deskripsi fisik, bagaimana pelaku dapat akses melakukan kejahatan, ada senjata yang digunakan? Kekerasan fisik? Misalnya korban disekap, dilumpuhkan, dan sebagainya. Eksplorasi data pelaku dan bukan korban! Hindari menampilkan detil tentang kebiasaan/gaya hidup korban: habit, sejarah kehidupan seksual, penampilan fisik, baju –hal ini biasanya bisa menimbulkan efek korban jadi pihak yang disalahkan sebagai penyebab kejahatan seksual – karena dianggap memancing/memprovokasi terjadinya kejahatan. Hati-hati dalam memilih kata/kalimat yang digunakan dalam naskah berita, termasuk penggunaan istilah. Misalnya korban berparas “cantik” berbadan “langsing”…seolah karena cantik dan langsing dia mengundang terjadinya kejahatan. Semua korban pada dasarnya “innocent”. Pemerkosaan dan kejahatan seksual pada dasarnya adalah aksi kekerasan atas korban, tak peduli korbannya luka atau tidak secara fisik. Gunakan “laporan pemerkosaan” ketimbang “dugaan pemerkosaan”. Kata “dugaan” tidak netral dan mengisyaratkan keraguan media atas kejahatan yang dilaporkan. Gunakan istilah “pemerkosaan yang dilakukan kenalan korban” ketimbang “pemerkosaan oleh teman kencan”. Hal ini biasanya digunakan saat korban ternyata kenal dekat dengan pelaku.
Bagaimana meliput kasus pemerkosaan/kejahatan seksual?
Wartawan perlu membangun rasa percaya kepada korban dan keluarga korban. Kalau perlu tunjukkan contoh peliputan sejenis yang pernah dilakukan Gunakan kalimat/kata yang akurat dan sensitif terhadap korban. Pemerkosaan atau serangan seksual bukanlah hubungan seks Banyak wartawan pemenang award menunjukkan draf berita yang mereka tulis kepada korban. Ini tidak mengganggu kemerdekaan/independensi jurnalis, tetapi bisa menunjukkan bagian mana yang ditulis kurang sensitif. Hal seperti ini bisa membuat korban sebagai narasumber bahkan bersedia membagi lebih banyak kisah kepada jurnalis Menyajikan detil grafis terlalu banyak akan menimbulkan efek dramatisasi yang berlebihan, terlalu sedikitpun akan melemahkan kisah yang kita beritakan. Sampaikan secara terukur, tidak melanggar hak privasi. Sajikan informasi yang bisa membuat publik lebih berhati-hati tanpa menempatkan korban sebagai pihak yang ikut bersalah Sertakan informasi/alamat kontak organisasi yang dapat membantu korban selamat termasuk narasumber berita kita memulihkan diri dari tidak kejahatan yang dialaminya. Ada banyak kasus kejahatan asusila yang tidak dilaporkan.
Informasi mengenai lembaga konseling akan membantu:”silent majority” yang mengkonsumsi berita yang kita sajikan. Ingin mengetahui lebih banyak mengenai bagaimana media sebaiknya meliput kejahatan, termasuk kejahatan asusila? Silahkan akses link ini: http://www.victimprovidersmediaguide.com/specific.html Bagaimana dengan “Anak-anak sebagai korban kejahatan seksual. Bagaimana media meliput mereka?” Media memberitakannya secara reguler, karena kasusnya marak terjadi. Banyak melibatkan kekerasan fisik maupun kejahatan seksual. Pelakunya bisa orang asing, atau – sering terjadi– adalah orang yang dekat dengan korban (keluarga, tetangga, dll). Umumnya para ahli berpendapat bahwa korban anak seyogyanya dilindungi dari pemberitaan media. Alasannya adalah
Anak, karena masih kecil dan dalam pertumbuhan kognitif, belum dapat memahami sepenuhnya apa yang terjadi dirinya dan apa konsekuensi di masa depan Orang tua/wali seringkali buat keputusan atas kasus yang menimpa anaknya tanpa pertimbangkan aspek privasi dan kepentingan anak Anak-anak mengalami dan menghadapi trauma yang berbeda dengan yang dialami orang dewasa. Stigma sebagai korban kejahatan seks berat bagi anak-anak.
Seorang peserta workshop yang diadakan Sekolah Jurnalistik Indonesia PWI di Semarang, Kamis lalu bertanya kepada saya, “bagaimana jika orang tua anak yang bersangkutan bersedia anaknya diwawancarai?”. Jawaban saya merujuk kepada poin di atas yang menyatakan, belum tentu orang tua/wali paham konsekuensi masa depan anaknya jika mereka mengijinkan wawancara dilakukan. Jadi, keputusan ada pada wartawan dan media, bukan pada orang tua/wali. Mengingat kentalnya aspek psikologis dalam menangani pemberitaan terkait kejahatan asusila, perlu dipikirkan untuk melibatkan ahli dalam melakukan peliputan/wawancara. Khusus untuk media penyiaran, ada aturan lain yang harus diperhatikan yakni Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan Komisi Penyiaran Indonesia. Pasal 38: P3SPS KPI 2009, Anak dan Remaja Sebagai Narasumber Dalam menyiarkan program yang melibatkan anak dan remaja sebagai narasumber, lembaga penyiaran harus mematuhi ketentuan sebagai berikut: 1. dilarang mewawancarai anak dan remaja berusia di bawah umur 18 tahun, mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya, seperti: kematian, perceraian, perselingkuhan orangtua dan keluarga, serta kekerasan yang menimbulkan dampak traumatik; 2. harus mempertimbangkan keamanan dan masa depan anak dan remaja yang menjadi narasumber; dan/atau
3. harus menyamarkan identitas anak dan remaja yang terkait permasalahan dengan polisi atau proses peradilan, terlibat kejahatan seksual atau korban kejahatan seksual. Mengingat kian meningkatnya kasus kejahatan asusila yang tentu menjadi obyek peliputan media, banyak lembaga penelitian media yang menyajikan sejumlah saran bagi media agar meliput kasus seperti ini dengan penuh empati. Sebelum meliput, saat mewawancarai, saat mengedit dan menyajikannya ke publik, pikirkan seandainya korban kejahatan (dan pelaku di bawah umur) yang akan kita beritakan adalah orang yang kita kenal, kita sayangi. Bisa adik, kakak, anak, keponakan, kerabat, teman dan lainnya. Pikirkan jika media lain menulis tanpa empati, sebagaimana yang akan kita lakukan. Bagaimana perasaan kita? Pertanyaan itu untuk saya juga.